Anda di halaman 1dari 10

KONSEP DASAR IPS

TEORI TEORI SOSIOLOGI

TEORI PERTUKARAN, NEOMARXIAN, STRUKTURALISME

Dosen Pengampu : Musyarofah, S.Pd.I., M.Pd.

Oleh kelompok 6:

1. Ira Yulianti (211101090049)


2. Hadi Zainullah (211101090059)
3. Durotun Nafisah (212101090001)
4. Ahmad Komarudin (212101090004)
5. Kharisma Lailatul Fadlilah (212101090006)
6. Muhammad Alghazali (212101090008)
7. Silviana Wulandari (212101090018)

1. Teori Pertukaran
Teori pertukaran yang dibangun oleh George C. Homans merupakan reaksi
terhadap paradigma fakta sosial yang terutama dikemukakan oleh Durkheim. Homans
mengatakan bahwa proses interaksi sosial dapat memunculkan suatu fenomena baru
akibat dari interaksi tersebut. Sekalipun ia mengakui proses interaksi, namun ia juga
memperoalkan bagaimana cara menerangkan fenomena yang muncul dari proses
interaksi.
Substansi Teori Pertukaran Teori pertukaran adalah teori yang berkaitan dengan
tindakan sosial yang saling memberi atau menukar objek-objek yang mengandung niali
antar individu berdasarkan tatanan sosial tertentu Objek yang ditukarkan tidak berbentuk
benda nyata, namun hal-hal yang tidak nyata. Adapun prinsip- prinsip teori pertukaran ini
adalah (Wirawan, 2012 : 174- 176) :
1. Satuan analisis yaitu sesuatu yang diamati dalam penelitian dan memainkan
peran penting dalam menjelaskan tatanan sosial dan individu.
2. Motif pertukaran diasumsikan bahwa setiap orang mempunyai keinginan
sendiri. Setiap orang akan memerlukan sesuatu tetapi itu tidaklah merupakan
tujuan yang umum. Artinya orang melakukan pertukaran karena termotivasi
oleh gabungan berbagai tujuan dan keinginan yang khas.
3. Faedah atau Keuntungan berbentuk biaya yang dikeluarkan seseorang akan
memperoleh suatu “hadiah” (reward) yang terkadang tidak memperhitungkan
biaya yang dikeluarkan. Cost dapat didefenisikan sebagai upaya yang
dibutuhkan untuk mendapatkan kepuasan ditambah dengan reward apabila
melakukan sesuatu. Kepuasan atau reward yang diperoleh seseorang itu dapat
dinilai sebagai sebuah keuntungan.
4. Pengesahan sosial merupakan suatu pemuas dan merupakan motivator yang
umum dalam sistem pertukaran. Besarnya ganjaran tidak diberi batasan karena
sifatnya individual dan emosional. Reward adalah ganjaran yang memiliki
kekuatan pengesahan sosial (social approval).
2. Teori Neomarxian
Teori neomarxis atau dikenal juga dengan strukturalisme merupakan kritik
terhadap marxis. Teori ini pada dasarnya adalah pengembangan dari teori marxis. Konsep
neo-marxis muncul dan melihat kembali pemikiran awal Karl Marx dengan menyerap
kembali ide-ide yang menurut mereka hilang atau diabaikan oleh kaum marxis karena
adanya misintrepertasi (Teeuw, 2003:216).
Menurut Steans dan Pettiford (Taum, 1999:243), asumsi dasar dari teori ini
sendiri antara lain sebagai berikut.
1. Sifat dasar manusia tidak tetap maupun bersifat esensial, namun terkondisikan
melalui masyarakat.
2. Kepentingan dan pemahaman manusia sangat ditentukan oleh identitas kolektif
(berkenaan dengan status dan kelas) yang pada akhirnya ditentukan oleh sistem
ekonomi secara keseluruhan.
3. Strukturalisme merupakan sebuah ilmu pengetahuan dan ideologi. Sebagai ilmu itu
dimaksudkan untuk memberitahu masyarakat tentang sifat dasar dari dunia di mana
kita hidup. Dan yang terakhir tidak ada perbedaan jelas antara nasional dan
internasional. Asumsiasumsi tersebut menghantarkan kaum strukturalis kepada
pemikiran yang sama terhadap kaum marxis, yakni perekonomian adalah tempat
eksploitasi dan perbedaan antarkelas sosial. Kelas ekonomi yang dominan berarti
dominan pula secara politik. Pembangunan kapitalis global bersifat tidak seimbang
bahkan menghasilkan krisis dan kontradiksi.
Sejarah Lahirnya Teori Neomarxis
Teori neomarxis (marxis baru) ini merupakan pengembangan teori marxis. Teori
ini secara khusus meneliti ajaran-ajaran Karl Marx pada masa mudanya, namun pada
akhirnya teori marxis ditinggalkan karena tidak dapat mengimbangi perubahan kehidupan
dari masa ke masa. Dan banyak dari para penganutnya beranggapan bahwa juga memiliki
banyak kelemahan pada kasus sastra modern. Penganutnya sudah tidak mendasarkan
argumennya pada Marx, Lenin dan Engel (tiga tokoh kunci paham Marxis), sebagai
dokma politik, ataupun menerima supremasi Partai Komunis terhadap kebudayaan dan
ilmu. Kaum neomarxis hanya mengambil ajaran Karl Marx sebagai sumber inspirasi,
khususnya dalam hal studi kritik sastra Marxis. Teori neomarxis ini dikembangkan oleh
kelompok aliran Frankfrut di Jerman. Tokoh-tokoh penting teori neomarxis ini adalah
Terry Eagletnon, Fredric Jameson, Walter Benjamin, Lucien Goldman, dan Theodor
Adorno (Ratna, 2013:268). Neomarxis adalah teori yang lebih dari epistemologis dari
pada teori politis. Walaupun lingkup pembahasannya jauh lebih luas tetapi mereka
menganut paham yang bermetode dialektika. Mereka pun tidak hanya berpandangan
khusus kepada sastra saja namun menurut Adorno mereka mengemukakan empat gagasan
pembicaraan dalam metode dialektika ini yaitu sebagai berikut.
1. Metode dialektika dapat memberi suatu pemahaman mengenai totalitas masyarakat
sehingga mencegah kekerdilan pandangan terhadap seni hanya sebagai fakta atau
masalah. Metode ini merupakan bagian suatu kajian ilmiah yang mampu mempelajari
konteks sosial suatu fakta estetik.
2. Metode dilektika berorientasi pada hubungan antara konkretisasi sejarah umum dan
sejarah individu. Konteks kajiannya bukan hanya sekedar masa lampau tetapi juga
masa depan.
3. Aspek teleologis tergantung kepada perbedaan antara hukum kebenaran yang tampak
dan kebenearan esensial. Hanya fenomena-fenomena yang tampak secara nyatalah
yang dapat dikaji secara empiris, tetapi tetap harus dipandang dalam kerangka
kebenaran esensial.
4. Perlu diperhatikan perbedaan antara teori dan praktik, antara objek bahasa dan
metabahasa, dan antara fakta-fakta hasil observasi dengan nilai-nilai yang dilekatkan
pada fakta itu.
Berdasarkan metode berpikir dialektika tersebut, salah satu tokoh teori neo-Marxism
yaitu Fredric Jameson berkata, hakikat suatu karya sastra dapat diketahui dari penelitian
tentang latar belakang historisnya. Kita bukan hanya sekedar ingin menangkap nilai yang
sempit terhadap permukaan seperti yng terjadi pada kaum New Criticism (titik baru) di
Amerika Serikat, melainkan harus dapat menemukan hubungan orisinal antara subjek dan
objek sesuai dengan kedudukannya (Sehandi, 2014:184).
Tokoh-tokoh penting Neomarxis dan Pemikiran-pemikirannya
a. Terry Eagleton
Ia lahir pada tanggal 22 Februari 1943 di Inggris dan adapula yang mengatakan ia
lahir pada 22 April 1943. Menurut Eagleton teori neomarxis radikal berusaha
menghidupkan kembali kritik marxis di Inggris melalui revolusi radikal perkembangan
novel Inggris. Menurutnya tugas utama kritik sastra adalah mendefinisikan hubungan
sastra dan ideologi, karena sastra bukan merupakan cerminan kenyataan melainkan
mengandung efek ideologis yang nyata. Ragleton menyebutkan teori-teori sastra modern
yang murni adalah pelarian diri dari keadaan buruk sejarah masyarakat modern.
Ironisnya, menurut dia teori-teori tersebut justru menjadi pelarian dari kenyataan menuju
sejumlah alternatif yang tiada batasan. Mereka bukannya melibatkan diri dari puisi
manusia tetapi malah melarikan diri dari puisi itu sendiri, dari imajinasi, kebenaran abadi,
mitos, bahasa, dan sebagainya (Sehandi, 2014:184).
Bagi Eagleton, alternatif pelarian itu lebih merujuk kepada penipuan. Ia menilai
secara ironis menilai teori-teori itu sebagai proyek kaum Scunirity (peniliti yang cermat,
tetapi kaku), yang sudah saatnya ditinggalkan karena kesukarannya, keabstrakannya,
serta keabsurdannya (Sehandi, 2014:185).
Seorang peneliti sastra harus membongkar gagasan-gagasan kesusastraannya dan
menempatkan kepada pembaca sebuah ideologi yang subjektivitas, dan lebih jauh
menghasilkan efek-efek tertentu yang barangkali tidak terlalu diharapkan. Ia melihat
bahwa kebanyakan studi sastra memulai pendekatan secara benar, tetapi kemudian gagal
dalam melihat relevansi sosial politiknya, lebih-lebih karena tidak adanya relevansi
terhadap ideologi (Sehandi, 2014:186).
b. Walter Benjamin
Ia lahir pada tanggal 15 Juli 1892 di Jerman. Walter Benjamin merupakan seorang
filsuf asal Jerman yang seringkali dianggap sebagai salah satu pemikir terpenting
Madzhab Frankfurt. Beberapa pemikiran yng memengaruhi tulisan-tulisannya antara lain
Marxisme Berthold Brecht, Mistisisme Yahudi Gershom Scholem.
Karya-karyanya memiliki landasan teori yang sangat kuat, tetapi gaya penulisan
dan pemilihan subjek kajiannya seringkali tidak mengikuti standar zamannya. Beberapa
studi yang dilakukan setelah kematiannya menunjukkan bahwa dia ialah pemikir brilian
yang seringkali tidak diakui semasa hidupnya.
Kekhasan pandangan Walter Benjamin sebagai pejuang neomarxis terhadap sastra
dapat dideskripsikan sebagai berikut (Eagleton, 2002:73):
1. Karya seni sastra adalah ruang yang masih tersedia bagi suatu usaha pembebasan
manusia ketika masyarakat dikuasai oleh reifikasi (pemberhalaan, pembendaan) total
masyarakat kapitalistik.
2. Dalam dunia kapitalistik sastra telah kehilangan aura kultis-ritual karena didesak oleh
reproduksi mekanis karya seni, termasuk sastra, tetapi justru karena itu sastra harus
dikeluarkan dari dunia esoterisnya untuk dibawa ke ruang eksoteris, yakni publik
masyarakat, sehingga menjadi lebih demokratis.
3. Karya seni sastra dengan bahasa eksoteris dapat menjadi media komunikasi politik di
tengahtengah masyarakat yang dikuasai oleh modernisme kapitalistik.
3. Teori Strukturalisme
Sebenarnya semua teori sastra sejak Aristoteles telah menekankan pentingnya
pemahaman struktur dalam analisis sebuah karya sastra. Akan tetapi istilah kritik strukturalisme
secara khusus mengacu kepada praktik kritik sastra yang men dasarkan model analisisnya pada
teori linguistik modern. Termasuk ke dalam kelompok ini beberapa teoretisi Formalis Rusia
seperti Roman Jakobson, tetapi umumnya strukturalisme mengacu kepada sekelompok penulis di
Paris yang menerapkan metode dan istilah-istilah analisis yang dikembangkan oleh Ferdinand de
Saussure (Abrams, 1981: 188-190). Strukturalisme menetang teori mimetik (yang berpandangan
bahwa karya sastra adalah tiruan kenyataan), teori ekspresif (yang menganggap sastra pertama-
tama sebagai ungkapan perasaan dan watak pengarang), dan menentang teori-teori yang
menganggap sastra sebagai media komunikasi antara pengarang dan pembacanya.
Teori strukturalisme memiliki latar belakang sejarah evolusi yang cukup panjang dan
berkembang secara dinamis. Dalam perkembangan itu terdapat banyak konsep dan istilah yang
berbeda-beda, bahkan saling bertentangan. Misalnya strukturalisme di Perancis tidak memiliki
kaitan erat dengan struk turalisme ajaran Boas, Sapir, dan Whorf di Amerika. Akan tetapi semua
pemikiran strukturalisme (di bidang matematika, logika, fisika, biologi, psikologi, antropologi
dan ilmu-ilmu humaniora lainnya) dapat dipersatukan dengan adanya pembaruan dalam ilmu
bahasa yang dirintis Ferdinand de Saussure. Jadi walaupun terdapat banyak perbedaan antara
pemikir-pemikir strukturalis, namun titik persamaannya adalah bahwa mereka semua
mempunyai kaitan tertentu dengan prinsip-prinsip dasar linguistik Saussure (Bertens, 1985: 379-
381).
Ferdinand de Saussure (1857-1913) meletakkan dasar bagi linguistik modern melalui
mazhab yang didirikannya: Mazhab Jenewa. Menurut Saussure, prinsip dasar linguistik adalah
adanya perbedaan yang jelas antara: signifiant (bentuk, tanda, lambang) dan signifie (yang
diartikan, yang ditandakan, yang dilambangkan); antara parole (tuturan) dan langue (bahasa);
dan antara sinkroni dan diakroni. Dengan klasifikasi yang tegas dan jelas ini ilmu bahasa
dimungkinkan berkembang menjadi ilmu yang otonom, di mana fenomena bahasa dapat
dijelaskan dan dianalisis tanpa mendasarkan diri atas apa pun yang letaknya di luar bahasa.
Saussure membawa perputaran perspektif yang radikal dari pendekatan diakronik ke pendekatan
sinkronik.
Sistem dan metode linguistik mulai berkembang secara ilmiah dan menghasilkan teori-
teori yang segera dapat diterima secara luas. Keberhasilan studi linguistik kemudian diikuti oleh
berbagai cabang ilmu lain seperti antropologi (Claude Levi-Strauss), filsafat (Foucault,
Althuser), psikoanalisis (Lacan), puisi (Roman Jacobson), dan analisis cerita (Genette).
Pengaruh teori strukturalisme bahasa terhadap teori sastra terutama dikembangkan oleh
Lingkaran Praha. Mula-mula Jan Mukarovsky memperkenalkan konsep kembar "artefakta-objek
estetik". Sastra dianggap sebagai sebuah fakta semiotik yang tetap. Teks-teks sastra dianggap
sebagai suatu tanda majemuk (polimorfik) dalam konteks luas yang meliputi sistem-sistem sastra
dan sosial. Sklovsky mengembangkan konsep otomatisasi dan deotomatisasi, yang serupa
dengan konsep Roman Jakobson tentang familiarisasi dan de familiarisasi. Dasar anggapan
mereka adalah: bahasa sastra sering kali memunculkan gaya yang berbeda dari gaya bahasa
sehari-hari maupun gaya bahasa ilmiah. Struktur bahasa ini pun sering kali menghadirkan
berbagai pola yang menyimpang dan unfamilier. Tugas peneliti sastra adalah mengembalikan
pola yang menyimpang ini kepada bentuk yang dapat dikenal pembaca (naturalisasi).
Penyimpangan bahasa ini hanya dapat diamati secara struktural, yakni dalam jaringan relasi
oposisi. Selain itu peneliti sastra mengamati pula evolusi literer dalam suatu lingkungan tradisi
tertentu untuk melihat penyimpangan-penyimpangan norma-norma sastra yang memunculkan
fungsi estetik yang baru.
Teori strukturalisme sastra merupakan sebuah teori pendekatan terhadap teks-teks sastra
yang menekankan keseluruhan relasi antara berbagai unsur teks. Unsur-unsur teks secara berdiri
sendiri tidaklah penting. Unsur-unsur itu hanya memperoleh artinya di dalam relasi, baik relasi
asosiasi ataupun relasi oposisi. Relasi-relasi yang dipelajari dapat berkaitan dengan mikroteks
(kata, kalimat). keseluruhan yang lebih luas (bait, bab), maupun intertekstual (karya-karya lain
dalam periode tertentu). Relasi tersebut dapat berwujud ulangan, gradasi ataupun kontras dan
parodi (Hartoko, 1986b: 135-136).
Strukturalisme Perancis, yang terutama diwakili oleh Roland Barthes dan Julia Kristeva,
mengembangkan seni penafsiran struktural berdasarkan kode kode bahasa teks sastra. Melalui
kode bahasa itu, diungkapkan kode-kode retorika, psikoanalitis, sosiokultural. Mereka
menekankan bahwa sebuah karya sastra haruslah dipandang secara otonom. Puisi khususnya dan
sastra umumnya harus diteliti secara objektif (yakni aspek intrinsiknya). Keindahan sastra
terletak pada penggunaan bahasanya yang khas yang mengandung efek-efek estetik. Aspek-
aspek ekstrinsik seperti ideologi, moral, sosiokultural, psikologi, dan agama tidaklah indah pada
dirinya sendiri melainkan karena dituangkan dalam cara tertentu melalui sarana bahasa puitik.
Strukturalisme sastra mengupayakan adanya suatu dasar yang ilmiah bagi teori sastra,
sebagaimana dituntut oleh disiplin-disiplin ilmiah lainnya. Untuk itu objek penelitiannya, yakni
karya sastra diidentifikasi sebagai suatu benda seni (artefact) yang indah karena penggunaan
bahasanya yang khusus. Objek studi teori strukturalisme itu ditempatkan dalam suatu sistem atau
susunan relasi relasi yang memudahkan pengaturannya. Dengan sistem ini kita menghimpun dan
menemukan hubungan-hrbungan yang ada dalam realitas yang diamati (Bakker, 1992: 14).
Sistematika semacam ini berfungsi meletakkan aksentuasi dalam cara penanganan objek
kajiannya. Dengan demikian teori strukturalisme memperkenalkan metode pemahaman karya
sastra dengan langkah-langkah sistematis.
Oleh karena teori strukturalisme sastra menganggap karya sastra sebagai "artefak" maka
relasi-relasi struktural sebuah karya sastra hanya dapat dipahami dalam keseluruhan relasi unsur-
unsur artefak itu sendiri. Jika dicermati, sebuah teks sastra terdiri dari komponen-komponen
seperti: ide, tema, amanat, latar, watak dan perwatakan, insiden, plot, dan gaya bahasa.
Komponen-komponen tersebut memiliki perbedaan aksentuasi pada berbagai teks sastra.
Strukturalisme sastra memberi keluasan kepada peneliti sastra untuk menetapkan komponen
komponen mana yang akan mendapat prioritas signifikasi. Keluasan ini tetap harus dibatasi,
yakni sejauh komponen-komponen itu tersurat dalam teks itu sendiri. Jadi teks sastra berfungsi
mengontrol objektivitas dan validitas hasil penelitian sastra. Prosedur ilmiah ini menempatkan
teori strukturalisme sastra berkembang dengan baik, pesat, dan diterima dalam kalangan yang
luas.
Teori strukturalisme sastra, sesuai dengan penjelasan di atas, dapat dipandang sebagai
teori yang ilmiah mengingat terpenuhinya tiga ciri ilmiah. Ketiga ciri ilmiah itu adalah:
1. Sebagai aktivitas yang bersifat intelektual, teori strukturalisme sastra mengarah pada
tujuan yang jelas yakni eksplikasi tekstual;
2. Sebagai metode ilmiah (scientific method), teori ini memiliki cara kerja teknis dan
rangkaian langkah-langkah yang tertib untuk mencapai simpulan yang valid, yakni
melalui pengkajian ergosentrik; dan
3. Sebagai pengetahuan, teori strukturalisme sastra dapat dipelajari dan dipahami secara
umum dan luas dan dapat dibuktikan kebenaran cara kerjanya secara cermat.
Sekalipun demikian, teori strukturalisme yang hanya menekankan otonomi dan
prinsip objektivitas pada struktur karya sastra memiliki beberapa kelemahan pokok.
1. Karya sastra diasingkan dari konteks dan fungsinya sehingga sastra kehilangan
relevansi sosialnya, tercerabut dari sejarah, dan terpisah dari permasalahan manusia.
2. Karya sastra tidak dapat diteliti dalam rangka konvensi-konvensi kesusastraan sehingga
pemahaman kita mengenai genre dan sistem sastra sangat terbatas.
Jenis – Jenis Struktualisme
Dengan adanya perbedaan pendapat dalam teori strukturalisme sendiri dapat dibagi
menjadi tiga jenis yaitu strukturalisme formalis , strukturalisme genetik, strukturalisme dinamik
yang pada dasarnya secara global strukturalisme menganut paham penulis paris yang
dikembangkan oleh Ferdinand de Sausessure, yang memunculkan konsep bentuk dan makna
(sign and meaning).
1. Strukturalisme Formalis
Istilah Formalisme (dari kata Latin forma yang berarti bentuk, wujud) berarti cara
pendekatan dalam ilmu dan kritik sastra yang mengesampingkan data biografis, psikologis,
ideologis, sosiologis dan mengarahkan perhatian pada bentuk karya sastra itu sendiri. Para
Formalis meletakkan perhatiannya pada ciri khas yang membedakan sastra dari ungkapan bahasa
lainnya. Istilah Strukturalisme acap kali digunakan pula untuk menyebut model pendekatan ini
karena mereka memandang karya sastra sebagai suatu keseluruhan struktur yang utuh dan
otonom berdasarkan paradigma struktur kebahasaannya.Tokoh; Kaum Formalis Rusia tahun
1915-1930 dengan tokoh-tokohnya seperti Roman Jakobson, Rene Wellek,Sjklovsky,
Eichenhaum, dan Tynjanov .Rene Wellek dan Roman Jakobson beremigrasi ke Amerika Serikat.
Sumbangan penting kaum formalis bagi ilmu sastra adalah secara prinsip mereka
mengarahkan perhatian kita kepada unsur-unsur kesastraan dan fungsi puitik. Sampai sekarang
masih banyak dipergunakan istilah teori sastra dan analisis sastra yang berasal dari kaum
Formalis. Karya sastra merupakan sesuatu yang otonom atau berdiri sendiri .Karya sastra
merupakan sebuah struktur yang terdiri dari unsur-unsur pembangun karya sastra.Makna sebuah
karya sastra hanya dapat diungkapkan atas jalinan atau keterpaduan antar unsure.
2. Strukturalisme Dinamik
Lahirnya strukturalisme dinamik didasarkan atas kelemahan-kelemahan strukturalisme
murni yang dianggap sebagai perkembangan kemudian formalisme. Strukturalisme dinamik
dimaksudkan sebagai penyempurnaan strukturalisme yang semata-mata memberikan intensitas
terhadap struktur intrinsik, yang dengan sendirinya melupakan aspek-aspek ekstrinsiknya.
Strukturalime dinamik mula-mula dikemukakan oleh Mukarovsky dan Felix Vodicka (Fokkema
dalam Penelitian Sasta, Kutha Ratna, 2008:93). Menurutnya, karya sastra adalah proses
komunikasi, fakta semiotik, terdiri atas tanda, struktur, dan nilai-nilai. Karya seni adalah petanda
yang memperoleh makna dalam kesadaran pembaca. Oleh sebab itu, karya seni harus
dikembalikan pada kompetensi penulis, masyarakat yang menghasilkannya, dan pembaca
sebagai penerima. Secara definitif strukturalisme memberikan perhatian terhadap analisis unsure-
unsur karya. Setiap karya sastra, baik baik karya sastra dengan jenis yang sama maupun berbeda,
memiliki unsur-unsur yang berbeda. Disamping akibat dari cirri-ciri inheren tersebut, perbedaan
unsur tersebut juga terjadi sebagai akibat perbedaan proses resepsi pembaca. Dalam hubungan
inilah karya sastra dikatakan sebagai memiliki cirri-ciri yang khas, otonom, tidak bisa
digeneralisasikan.
3. Strukrutalisme Genetik
Merupakan jembatan penghubung antara teori struktural formalis dan teori
semiotik .Hampir sama dengan struktural genetik (mengaitkan dengan asal-usul teks) tetapi
penekanannya berbeda, Struktural Dinamik menekankan pada struktur, tanda, dan realitas.
Tokoh-tokohnya : Julia Cristeva dan Roland Bartes (Strukturalisme Prancis).

Anda mungkin juga menyukai