Anda di halaman 1dari 173

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/324079382

Studi Evaluasi Kebijakan : Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia

Book · March 2018

CITATIONS READS

2 22,190

1 author:

Muh Firyal Akbar


Universitas Muhammadiyah Gorontalo
39 PUBLICATIONS   35 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

ANALISA KARAKTERISTIK FUNGSI LAHAN DI KECAMATAN DUNGINGI KOTA GORONTALO View project

All content following this page was uploaded by Muh Firyal Akbar on 29 March 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


STUDI EVALUASI KEBIJAKAN
(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)

MUH. FIRYAL AKBAR, S. IP., M.Si.


WIDYA KURNIATI MOHI, S.IP., M.Si

Gorontalo, 2018

i
IP.015.03.2018

STUDI EVALUASI KEBIJAKAN


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)

MUH. FIRYAL AKBAR, S. IP., M.Si.


WIDYA KURNIATI MOHI, S.IP., M.Si

Pertama kali diterbitkan


oleh Ideas Publishing, Maret 2018

Alamat: Jalan Pageran Hidayat No. 110 Kota Gorontalo


Surel: infoideaspublishing@gmail.com
Anggota Ikapi, No. 0001/ikapi/gtlo/II/17

ISBN : 978-602-6635-88-4

Penyunting: Mira Mirnawati dan Yulin Kamumu


Penata Letak: Yulin Kamumu
Sampul: Abdul Hanan Nugraha

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang


dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit

ii
PRAKATA

Alhamdulillahirabbilalamin, Segala puja dan puji bagi


Allah Swt, Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah
memberikan petunjuk kepada penulis untuk selalu
mengedepankan pikiran-pikiran positif yang mencerahkan,
sehingga dapat menyelesaikan penulisan buku ini dalam
waktu yang tidak terlalu lama. Salawat serta Salam penulis
penulis kirimkan kepada baginda Rasulullah Muhammad
saw, sebagai suri tauladan bagi umat manusia.
Salah satu tahapan penting dalam siklus kebijakan
publik adalah evaluasi kebijakan. tahapan evaluasi
kebijakan menjadi begitu urgent karena berhasil tidaknya
suatu kebijakan diterapkan ketika kebijakan tersebut
membawa dampak yang luar biasa bagi publik/masyarakat.
Oleh karena itu, tahapan evaluasi kebijakan merupakan
tahapan yang krusial untuk menilai apakah kebijakan itu
berhasil diterapkan atau tidak, atau dengan kata lain
apakah kebijakan itu telah berhasil mencapai tujuannya
atau tidak.
Buku ini berjudul Studi Evaluasi Kebijakan (Evaluasi
beberapa Kebijakan di Indonesia), ditulis dengan maksud
untuk memberikan penjelasan mengenai studi evaluasi
sebagai bagian dari cabang ilmu pengetahuan dan juga
sebagai bagian dari studi analisis kebijakan. Selain itu

iii
beberapa kebijakan yang pernah diterapkan juga dibahas
dalam buku ini sebagai suatu analisis kasus mengenai
evaluasi kebijakan yang telah diterapkan di Indonesia. Oleh
karena itu buku ini dapat dibaca oleh mahasiswa, aparat
Pemerintahan pembuat kebijakan, dan tentunya khalayak
umum yang berminat dalam studi evaluasi kebijakan.
Melalui kesempatan ini penulis menyampaikan rasa
terima kasih yang sangat besar kepada pihak-pihak yang
telah membantu dalam proses penerbitan buku ini, ucapan
khusus kepada Rektor Universitas Muhammadiyah
Gorontalo selaku pimpinan di tempat kami bekerja, Bapak
Hasim, Bapak Abdul Rahmat dan Ibu Hj.Yuszda K. Salimi
sebagai mentor sekaligus penyemangat kami, teman-
teman dosen dan para sahabat yang selalu memberikan
energi positif bagi kami dalam penerbitan buku ini.

Gorontalo, Maret 2018


Penulis

iv
DAFTAR ISI

Prakata........................................................................ iii
Daftar isi .................................................................... v

BAB I SEJARAH EVALUASI ...................................... 1


BAB II DEFINISI DAN PENDEKATAN EVALUASI
KEBIJAKAN ................................................... 9
A. Definisi Evaluasi ............................................... 9
B. Konsep dan Pendekatan Evaluasi .................. 21

BAB III PERSPEKTIF EVALUASI DALAM


STUDI ILMU KEBIJAKAN ........................... 27
A. Tokoh-Tokoh dalam Perkembangan Evaluasi . 27
B. Studi Analisis (Bagian dari Analisis Kebijakan) 33

BAB IV KONSEP DAN MODEL-MODEL EVALUASI


PROGRAM DAN KEBIJAKAN...................... 37
A. Konsep Evaluasi Program .............................. 37
B. Model-Model dalam Evaluasi
Kebijakan ......................................................... 44

BAB V STRATEGI MENILAI DAMPAK KEBIJAKAN


SEBAGAI BAGIAN DALAM
MENGEVALUASI KEBIJAKAN .................... 65

v
A. Strategi Evaluasi dalam Penilaian Dampak
Kebijakan ...................................................... 75
B. Evaluasi Dampak Kebijakan ......................... 77
C. Evaluasi Kinerja dan Dampak Program
Kebijakan ...................................................... 86

BAB VI STUDI EVALUASI KEBIJAKAN BBM DAN


PROGRAM BLT ............................................ 93
A. Kebijakan Kenaikan BBM Antara
Menyelamatkan dan Diselematkan
(Isu Kenaikan Harga BBM Tahun 2013) ........ 93
B. Kebijakan Pemerintah dalam
Pemberian Bantuan Langsung
Tunai (BLT) ..................................................... 105

BAB VII EVALUASI KEBIJAKAN PROGRAM


PEMBERIAN DANA BANTUAN
OPERASIONAL SEKOLAH (BOS) .......... 133
A. Evaluasi Program Pemberian Dana
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) ............. 145
B. Kriteria Evaluasi Program Dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS).. ........................ ..152

DAFTAR PUSTAKA ................................................. 195

vi
BAB I
SEJARAH STUDI EVALUASI

Studi evaluasi hingga saat ini masih menjadi


sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dalam melihat
keberhasilan suatu program ataupun kebijakan yang
dikeluarkan oleh pihak yang berwenang dalam hal ini
Pemerintah. Dari segi historis evaluasi merupakan alat
dari berbagai cabang ilmu pengetahuan untuk
menganalisis dan menilai fenomena ilmu pengetahuan
dan aplikasi ilmu pengetahuan dalam penerapannya.
Karena itu ilmu evaluasi berada di berbagai cabang ilmu
pengetahuan seperti ilmu-ilmu sosial, ilmu ekonomi,
bisnis, manajemen, pendidikan, ilmu politik, sosiologi dan
sebagainya. Evaluasi juga merupakan alat ilmu
kedokteran dan ilmu kesehatan lainnya. Demikian juga
evaluasi merupakan alat teknologi. Dengan kata lain
evaluasi merupakan alat ukur yang ada kaitannya dengan
ilmu-ilmu pengetahun.Sejarah evaluasi dimulai di
Tiongkok (Cina) pada Tahun 2000 SM. Evaluasi
dipergunakan untuk mengevaluasi para pegawai kerajaan.
Pada abad ke-19 di Inggris sudah dibentuk Royal
Commision yang bertugas mengevaluasi layanan publik.
Akan tetapi, evaluasi hanya merupakan aktivitas

Studi Evaluasi Kebijakan | 1


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
administrasi belum merupakan cabang ilmu pengetahuan
yang mandiri. Dalam perkembangannya kemudian ilmu
evaluasi mulai berkembang menjadi suatu cabang ilmu
yang mandiri di Amerika Serikat dengan dikemukakannya
teori evaluasi pertama oleh Ralph Tyler.

Evaluasi
Kebijakan,Program
Proyek Kesehatan

ILMU
KESEHATAN

ILMU
ADMINISTRASI ILMU
PUBLIK ILMU PENDIDIKAN
EVALUASI

Evaluasi, Kebijakan, Evaluasi


Program Kebijakan,Program
Proyek Administrasi Publik Proyek Pendidikan

Gambar 1. Evaluasi Sebagai Ilmu Antar Cabang- Ilmu


Sumber : Wirawan 2012:30

Di Indonesia evaluasi sudah dilaksanakan pada


zaman penjajahan Belanda. Evaluasi di Indonesia
digunakan untuk menilai kualitas produk dari hasil jarahan
rempah-rempahnya yang diistilahkan dengan

2 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
connoisseurship, selain itu evaluasi pada masa itu
digunakan dengan untuk menilai kinerja pegawai
(amtenaar) penjajah dan kondite tentara dan polisi
penjajahan, (Wirawan, 2012: 4-5).
Sebagai cabang ilmu pengetahuan yang mandiri,
ilmu evaluasi didukung oleh sejumlah teori. Seperti yang
dikemukakan oleh Daniel L Stufflebearn dan Anthony J
ShInkfield (2007).
Menurut mereka bahwa teori evaluasi program
mempunyai enam ciri, yaitu : pertalian menyeluruh;
konsep-konsep inti; hipotesis-hipotesi teruji mengenai
bagaimana prosedur-prosedur evaluasi menghasilkan
keluaran yang diharapkan; persyaratan-persyaratan etikal;
dan kerangka umum untuk mengarahkan praktik evaluasi
program dan melaksanakan penelitian mengenai evaluasi
program. Hal ini hampir sama yang diungkapkan oleh Hue
Tsy Chen (1990) yang berpendapat bahwa teori evaluasi
merupakan seperangkat konsep yang menyajikan suatu
set peraturan; preskripsi; larangan dan kerangka pedoman
yang menentukan apa yang dimaksud dengan evaluasi
yang baik dan tepat dan bagaimana evaluasi harus
dilakukan.
Dalam perkembangannya kemudian evaluasi juga
sebagai bagian dari kegiatan peelitian. Sebagai cabang

Studi Evaluasi Kebijakan | 3


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
ilmu penelitian, evaluasi memerlukan teori evaluasi sendiri
dan teori ilmu-ilmu sosial sebagai bagian dari objek
evaluasi. Sekalipun kemudian dalam perkembangannya
para teoritisi evaluasi kemudian berbeda pendapat
mengenai penggunaan teori evaluasi dan teori ilmu sosial.
Sebagian menganggap bahwa studi evaluasi sangat
membutuhkan teori namun sebagian lain beranggapan
bahwa evaluator tidak membutuhkan teori dalam
melakukan evaluasi.
Teori evaluasi dan teori ilmu sosial mempunyai
pengaruh penting terhadap evaluasi program modern.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Shadish dalam
pidatonya yang berjudul Evaluation Theory is Who We Are
menyatakan bahwa semua evaluator harus mengetahui
teori evaluasi sebab teori adalah sentral untuk identitas
profesional para peneliti. Teori evaluasi merupakan inti
dari pada identitas peneliti itu sendiri. Setiap profesi
memerlukan dasar pengetahuan yang unik, dan bagi para
evaluator teori evaluasi merupakan ilmu pengetahuan itu.
Pendapat ini kemudian juga didukung oleh beberapa
pakar lainnya yang menganggap begitu pentingnya teori
digunakan dalam studi evaluasi (Alkin; Chen;
Donaldson;Fetterman; Lipsey; Mark; Rossi; Freeman;
Shadish; Cooc;Campbell dan Weiss,2006).

4 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
Adapun untuk sebagian pakar yang menyatakan
bahwa studi evaluasi tidak memerlukan teori evaluasi.
Sepbagaimana yang diungkap oleh Michael Scriven
menyatakan bahwa evaluasi tidak membutuhkan teori.
Scriven menyatakan bahwa evaluator mungkin melakukan
evaluasi program dengan baik tanpa mempergunakan
teori evaluasi atau teori program, (Wirawan,2012:31-32).
Ditinjau dari segi tujuan studi evaluasi bahwa tujuan
evaluasi adalah mengumpulkan informasi untuk
menentukan nilai dan manfaat objek evaluasi, mengontrol,
memperbaiki, dan mengambil keputusan menganai objek
tersebut. Beberapa pakar lebih terperinci menjelaskan
tujuan dari evaluasi yakni evaluasi untuk mengukur
pengaruh program terhadap masyarakat; menilai apakah
program telah dilaksanakan sesuai dengan rencana;
mengukur apakah pelaksanaan program, sesuai dengan
standar; untuk mengidentifikasi mana dimensi yang
berjalan mana yang tidak berjalan; apakah memenuhi
ketentuan undang-undang; mengukur cost effeftiveness
dan cost efficiency; mengambil keputusan mengenai
program; memberikan feed back bagi pimpinan dan staff
dan mengembangkan teori ilmu evaluasi atau riset
evaluasi (Dunn : 2000, Weiss : 1998, Shadish : 1998,

Studi Evaluasi Kebijakan | 5


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
Posvavac dan Carey : 1997 Soetari : 2014, Wirawan :
2012).
Seperti yang telah dijelaskan pada awal bab bahwa
studi evaluasi merupakan studi yang terkait dengan
dengan studi evaluasi kebijakan sebagai salah satu
cabang ilmu utama dari administrasi publik. Sejumlah
penulis mengaitkan evaluasi dengan kebijakan publik
(Peter H Rossi & Howard E. Freeman (1985), Evert
Vendug (2000). Rossi dan Freeman menyatakan
mengenai evaluasi sebagai berikut :
Evaluation research is A systematic aplication of
social research procedures in assessing the
conceptualization, and design, implementation, and utility
of social intervention programs”. Menurut kedua pakar
evaluasi tersebut evaluasi berkaitan dengan penelitian
sosial mengenai konsepsialisasi dan pendesainan,
implementasi dan pemanfaatan program intervensi sosial
yang dilakukan oleh Pemerintah. Lebih lanjut Vendug
menjelaskan bahwa “ evaluation is limited to government
intervention only, that is politically or administratively
planned social change,like public policies, public
programs, and public services”

6 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
Menurut Vendung bahwa evaluasi berkaitan
dengan intervensi Pemerintah yaitu perubahan sosial
politik dan administratif yang direncenakan misalnya
kebijakan publik, program publik, dan layanan publik.
Evaluasi kebijakan dalam perspektif alur
proses/siklus kebijakan publik, menempati posisi terakhir
setelah implementasi kebijakan sehingga sudah
sewajarnya jika kebijakan publik yang telah dibuat itu
dilaksanakan lalu dievaluasi. Menurut Parsons (2005),
analisis kebijakan publik bisa dilihat dari mulai proses
perumusan kebijakan dan proses implementasi dan
evaluasi kebijakan. Begitu pentingnya studi evaluasi
kebijakan karena hasil dari evaluasi akan menjadi penentu
apakah program ataupun kebijakan itu dapat dilanjutkan
atau tidak dilanjutkan. Olehnya itu studi evaluasi kebijakan
tidak dapat dilihat sebagai sesuatu prosedur formal biasa
melainkan studi evaluasi harus dilakukan dengan penuh
keseriusan dengan ukuran-ukuran yang telah ditetapkan.
Berbagai studi evaluasi kebijakan telah banyak
dilakukan oleh beberapa akademisi maupun para periset
profesional dalam rangka mengukur keberhasilan suatu
program maupun kebijakan, dengan berbagai pendekatan,
teori maupun model evaluasi yang digunakan. Hal ini
merupakan sesuatu yang wajar kemudian mengingat dari

Studi Evaluasi Kebijakan | 7


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
segi objek kebijakan sendiri masih banyak program-
program yang belum terevaluasi dengan baik, ditambah
hampir setiap tahunnya ada saja program baru yang
dikeluarkan oleh Pemerintah khususnya Indonesia.
Namun, jika kita telusuri literatur hasil penelitian
baik secara daring maupun di beberapa perpustakaan
yang ada mengenai studi kebijakan, studi evaluasi
kebijakan di Indonesia masih lebih sedikit dibandingkan
dengan studi implementasi kebijakan. Itu artinya masih
ada sebagian akademisi maupun para profesional yang
belum tertarik dalam melakukan studi evaluasi kebijakan
itu sendiri.

8 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
BAB II
DEFINISI DAN PENDEKATAN
EVALUASI KEBIJAKAN

A. Definisi Evaluasi
Dari segi bahasa evaluasi berasal dari kata bahasa
inggris “evaluation” yang diserap dalam perbendaharaan
istilah bahasa Indonesia dengan tujuan mempertahankan
kata aslinya dengan sedikit penyesuaian lafal Indonesia
menjadi “evaluasi” yang dapat diartikan memberikan
penilian dengan membandingkan sesuatu hal dengan
satuan tertententu sehingga bersifat kuantitatif. Pengertian
evaluasi yang bersumber dari kamus Oxford Advanced
Leaner’s Dictionary of Current English evaluasi adalah to
find out, decide the amount or value yang artinya suatu
upaya untuk menentukan nilai atau jumlah. Selain arti
berdasarkan terjemahan, kata -kata yang terkandung
dalam dalam definisi tersebut menunjukkan bahwa
kegiatan evaluasi harus dilakukan secara hati-hati,
bertangung jawab, menggunakan strategi dan dapat
dipertanggung jawabkan .
Ralph Tyler (1949), yang dikenal sebagai yang
pertama kali mengembangkan teori evaluasi modern

Studi Evaluasi Kebijakan | 9


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
mengungkapkan bahwa Evaluation is the process of
determining to what extent the educational objectives are
actually being realized, ia mengungkapkan bahwa
evaluasi adalah sebuah proses untuk menentukan sejauh
mana tujuan pendidikan bisa terealisasi.
Pendapat Peter H Rossi dan Howard E Freeman
(1985) mengungkapkan bahwa evaluation research is a
systematic application of social research procedures in
asessing the conceptualization and design,
implementation, and unity of social intervention programs,
mereka menjelaskan bahwa penelitian evaluasi adalah
sebuah aplikasi prosedur penelitian sosial yang sistematis
dalam menilai konseptualisasi dan perancangan,
implementasi, dan kesatuan program intervensi sosial.
Pendapat Rossi dan Freeman tersebut hampir
sama dengan yang diungkapkan oleh Michael Quin Patton
(1978) yang menjelaskan bahwa penelitian evaluasi
adalah aktivitas yang sistematis terkait dengan informasi
dan dampak yang ditimbulkan dari sebuah program, yang
nantinya akan dibuatkan penilaian spesifik terkait program
yang dilaksanakan. Dari beberapa pakar mengenai
evaluasi juga mengungkapkan evaluasi adalah suatu
proses penilaian yang sistematis dengan standar-standar
prosedur yang telah ditetapkan untuk melihat bagaimana

10 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
program maupun kebijakan dilaksanakan oleh para
pembuat kebijakan, kemudian dari evaluasi akan
memberikan hasil dan dampak dari program dan
kebijakan tersebut yang bisa digunakan Pemerintah untuk
melakukan intervensi terhadap kebijakan yang akan
dikeluarkan selanjutnya (Daniel L Stufflebeam : 2003,
Alkin : 1990, C.H Weiss : 1998, Evert Vendung:2004).
Dari beberapa definisi yang telah dijelaskan dapat
ditarik kesimpulan bahwa evaluasi kebijakan merupakan
suatu kegiatan yang dilakukan dalam rangka melihat
implementasi kemudian melakukan penilaian terhadap
jalannya suatu kebijakan apakah kebijakan sudah
terealisasi dengan baik atau belum, adapun tujuan dari
evaluasi ialah untuk mengetahui apakah kebijakan
tersebut layak untuk dilanjutkan atau tidak.
Memahami pengertian evaluasi kebijakan harus
dimulai dengan mendefinisikan arti kata dari evaluasi itu
sendiri. Ada dua istilah yang dipergunakan untuk evaluasi,
yaitu evaluation research (riset evaluasi) atau evaluative
research (riset evaluatif), evaluation (evaluasi), dan
evaluation science (sains evaluasi). Istilah riset evaluasi
diperkenalkan oleh F.G Caro (1971) dalam bukunya yang
berjudul Reading in Evaluation Research. Semenjak itu
sebagian teoritisi evaluasi, peneliti, lembaga pemerintah,

Studi Evaluasi Kebijakan | 11


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
dan lembaga swasta menggunakan istilah riset evaluasi.
Misalnya, Evaluation Research Society sebuah lembaga
asosiasi profesi evaluasi yang kemudian marger dengan
American Evaluation Asociation, USA Office of Health
Evaluation, Michael Quin Patton (1978), dan Peter H. Rosi
dan Howard Freeman (1985) menggunakan istilah riset
evaluasi. Sedangkan sejumlah teoritisi dan peneliti lainnya
seperti Daniel Stufflebeam dan Anthony J. Shinkfield
(1985) dan Blaine R. Worthen dan James R Sanders
(1987), Emil J Posavac dan Raymond G. Carey (1997)
menggunakan istilah evaluasi. Dalam perkembangannya
istilah-istilah tersebut kemudian menjadi pertentangan
namun sebagian pakar menganngap bahwa istilah
tersebut pada prinsipnya sama, seperti yang
diungkapkan oleh Peter H Rosi dan Howard Freeman
dalam bukunya secara bergantian menggunakan istilah
yang sama (Wirawan, 2012 : 3).
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian awal
sebelumnya bahwa studi evaluasi adalah studi yang
terkait dengan beberapa cabang ilmu pengetahuan
lainnya. Termasuk ketika evaluasi dalam konteks
kebijakan publik sebagai bagian dari disiplin ilmu
Administrasi publik. Seperti yang diungkapkan oleh Peter
Rossi, Howard Freeman dan Evert Vendung, yang

12 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
menyatakan bahwa evaluasi adalah berkaitan dengan
penelitian sosial. Pendapat para pakar ini kemudian
sejalan dengan para pendahulu sebelumnya yang terkenal
dengan predikat “ Metodologist Experiment Society”, yakni
Donald Campbell. Dalam karir ilmiahnya selama 40 Tahun
Campbell kemudian konsen dalam beberapa penelitian
yang kemudian melahirkan perspektif evaluasi mengenai
desain eksperimen murni dan eksperimen semu yang
sangat mempunyai pengaruh besar terhadap penelitian
ilmu sosial. Karya Campbell bersama-sama dengan
Stanley yang berjudul Experimental and quasi
experimental design for research membahas berbagai
desain untuk penelitian ilmu sosial diungkapkan sangat
sistematis.
Selanjutnya Vendung menyatakan bahwa
intervensi publik dewasa ini meliputi program-program
substantif dan yang berorientasi pada proses. Program-
program substantif meliputi berbagai domain fungsional
seperti pendidikan, energi,
lingkungan, sumber daya alam, penggunaan tanah,
perumahan, kesejahtraan sosial, kesehatan, transportasi,
perkembangan ekonomi, politik luar Negeri dan beberapa
sektor lainnya. Intervensi Pemerintah berorientasi pada
proses yaitu reformasi administrasi berkaitan dengan ide-

Studi Evaluasi Kebijakan | 13


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
ide dan langkah-langkah yang diarahkan organisasi dan
fungsi administrasi publik. Evaluasi merupakan
mekanisme untuk memonitor, mensistematikan, dan
meningkatkan aktivitas Pemerintah dan hasil-hasilnya
sehingga para pejabat publik dalam pekerjannya di masa
akan datang dapat bertindak serta bertanggung jawab,
kreatif, dan seefisien mungkin.
Beberapa pakar kemudian evaluasi kebijakan
publik adalah bagian dari analisis kebijakan yang paling
akhir untuk menentukan apakah program maupun
kebijakan yang dikeluarkan dapat mencapai hasil yang
diharapkan dari apa yang telah direncanakan sebelumnya
melalui proses formulasi dan proses yang dilaksanakan
melalui implementasi, sehingga akan diketahui seberapa
besar manfaat yang didapatkan dari adanya kebijakan
tersebut.
Pendapat William Dunn yang dikutip Suratman
(2017:160-161), secara umum bahwa evaluasi dapat
disamakan dengan penaksiran (appraisal), pemberian
angka (rating), dan penilaian (assesment). Dalam arti
spesifik evaluasi berkaitan dengan produksi informasi
mengenai nilai atau manfaat hasil kebijaksanaan.
Evaluasi kebijakan adalah suatu kegiatan untuk menilai
tingkat pencapaian tujuan kebijakan. Sedangkan Parsons

14 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
yang dikutip Anggara (2014:274) menjelaskan studi
evaluasi kebijakan adalah bagaimana kebijakan publik
dapat ditaksirkan, diaudit, dinilai dan dikontrol. Studi
tentang evaluasi kebijakan terdiri dari menilai apakah
kebijakan publik mencapai tujuan. Evaluasi kebijakan
sebagai pemeriksaan sistematis objektif atas dasar
keadaan empirik (Hawlet, Ramesh, David Nachmias).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
evaluasi kebijakan publik merupakan serangkaian
kegiatan yang dilakukan dalam rangka mencari informasi
terkait hasil dari implementasi kebijakan secara
keseluruhan, kemudian melakukan penilaian terhadap
hasil dari kebijakan tersebut apakah baik dalam hal
pelaksanaan, manfaat untuk dijadikan bahan rekomendasi
untuk kebijakan selanjutnya.
Menurut Lester dan Stewart (Leo Agustino,
2008:185) menjelaskan bahwa evaluasi ditujukan untuk
melihat sebagian-sebagian kegagalan suatu kebijakan
dan untuk mengetahui apakah kebijakan yang telah
dirumuskan dan dilaksanakan dapat menghasilkan
dampak yang dinginkan. Anderson (dalam Arikunto, 2004)
memandang Evaluasi sebagai sebuah proses
menentukan hasil yang telah dicapai beberapa kegiatan
yang direncanakan untuk mendukung tercapainya tujuan.

Studi Evaluasi Kebijakan | 15


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
Sedangkan Stufflebeam (dalam Arikunto, 2004),
mengungkapkan bahwa Evaluasi merupakan proses
penggambaran, pencarian dan pemberian informasi yang
bermanfaat bagi pengambil keputusan dalam menentukan
alternatif keputusan. Wirawan (2012:7) menjelaskan
“Evaluasi sebagai riset untuk mengumpulkan,
menganalisis, dan menyajikan informasi yang bermanfaat
mengenai objek evaluasi, menilainya dengan
membandingkannya dengan indikator dan hasilnya
dipergunakan untuk mengambil keputusan mengenai
objek evaluasi”
Evaluasi kebijakan secara sederhana, menurut
William Dunn (1999:608), berkenaan dengan produksi
informasi mengenai nilai-nilai atau manfaat-manfaat hasil
kebijakan. Lebih lanjut Dunn (Subarsono, 2011: 124)
menjelaskan ada tiga jenis pendekatan terhadap evaluasi,
yakni evaluasi semu; yakni pendekatan evaluasi yang
menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan
informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil-hasil
kebijakan, tanpa menayakan manfaat atau nilai dari dari
hasil kebijakan tersebut pada individu, kelompok, atau
masyarakat. Selanjutnya evaluasi formal; yakni adalah
pendekatan evaluasi yang menggunakan metode
deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya

16 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
dan valid mengenai hasil-hasil kebijakan berdasarkan
sasaran program kebijakan yang telah ditetapkan secara
formal oleh pembuat kebijakan. Selanjutnya evaluasi
proses keputusan teroitis; yakni pendekatan evaluasi yang
menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan
informasi yang dapat dipercaya dan valid mengenai hasil-
hasil kebijakan yang secara eksplisit diinginkan oleh
berbagai steakholders.
Sebagai pembanding James P. Lester dan Joseph
Steward Jr. (Nugroho, 2009:674) mengelompokkan
evaluasi implementasi kebijakan menjadi evaluasi proses,
yaitu evaluasi yang berkenaan dengan proses
implementasi; evaluasi impak, yaitu evaluasi berkenaan
dengan hasil dan/atau pengaruh dari implementasi
kebijakan; evaluasi kebijakan yaitu apakah benar hasil
yang dicapai mencerminkan tujuan yang dikehendaki; dan
evaluasi metaevaluasi yang berkenaan dengan evaluasi
berbagai implementasi kebijakan yang ada untuk
menemukan kesamaan-kesamaan tertentu.
Sedangkan James Anderson (Winarno,2012:168),
membagi evaluasi kebijakan publik menjadi tiga, tipe
pertama, evaluasi kebijakan publik yang dipahami sebagai
kegiatan fungsional. Kedua, evaluasi yang memfokuskan
pada bekerjanya kebijakan. Ketiga, evaluasi kebijakan

Studi Evaluasi Kebijakan | 17


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
sistematis yang melihat secara objektif program-program
kebijakan yang ditujukan untuk mengukur dampkanya
bagi masyarakat dan sejauh mana tujan-tujuan yang ada
telah dinyatakan telah dicapai
Secara umum Dunn (Nugroho, 2009:671)
menjelaskan mengenai indikator-indokator dalam
melakukan evaluasi terhadap suatu kebijakan yakni
sebagai berikut.
- Efektifitas; apakah hasil yang diinginkan telah
dicapai?
- Efisiensi ; seberapa banyak usaha diperlukan untuk
mencapai hasil yang diinginkan?
- Kecukupan; seberapa jauh pencapaian hasil yang
diinginkan memecahkan masalah?
- Perataan ; apakah biaya manfaat didistribusikan
dengan merata kepada kelompok-kelompok yang
berbeda?
- Responsivitas; apakah hasil kebijakan memuaskan
kebutuhan, preferensi, atau nilai kelompok-
kelompok tertentu?
- Ketepatan; apakah hasil (tujuan) yang diinginkan
benar-benar berguna atau bernilai?

18 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
Edward A. Suchman (Winarno, 2012:169) disisi lain
mengemukakan enam langkah dalam mengevaluasi suatu
kebijakan, yaitu sebagai berikut.
- Mengidentifikasi tujuan program yang akan dievaluasi
- Analisis terhadap masalah
- Deskripsi dan standarisasi kegiatan
- Pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang
terjadi.
- Menentukan apakah perubahan yang diamati
merupakan akibat dari kegiatan tersebut atau karena
penyebab lain
- Beberapa indikator untuk menentukan keberadaan
suatu dampak.
Dalam perkembangannya, evaluasi sangat
diperlukan dalam melihat kinerja dari kebijakan/program
itu sendiri, seperti yang diungkapkan oleh Samodra
Wibawa (1994), bahwa evaluasi kebijakan publik memiliki
empat fungsi, yaitu sebagai beikut.
1. Eksplanasi; melalui evaluasi dapat dipotret realitas
pelaksanaan program dan dapat dibuat suatu
generalisasi
tentang pola-pola hubungan antar berbagai dimensi
realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini evaluator
dapat mengidentifikasi masalah, kondisi, dan aktor

Studi Evaluasi Kebijakan | 19


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
yang mendukung keberhasilan atau kegagalan
kebijakan.
2. Kepatuhan; melalui evaluasi dapat diketahui apakah
tindakan yang dilakukan para pelaku, maupun pelaku
lainnya, sesuai dengan standar dan prosedur yang
ditetapkan oleh kebijakan
3. Audit; melalui evaluasi dapat diketahui, apakh output
benar-benar sampai ke tangan kelompok sasaran
kebijakan, atau justru ada kebocoran atau
penyimpangan.
4. Akunting; dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat
sosial-ekonomi dari kebijakan tersebut.
Subarsono (2011:120-121) menjelaskan bahwa
evaluasi memiliki beberapa tujuan yakni:
1. Menentukan tingkat kinerja suatu kebijakan. Melalui
evaluasi maka dapat diketahui derajat pencapaian
tujuan dan sasaran kebijakan.
2. Mengukur tingkat efisiensi suatu kebijakan. Dengan
evaluasi juga dapat diketahui berapa biaya dan
manfaat dari suatu kebijakan.
3.Mengukur tingkat keluaran (outcome) suatu kebijakan.
Salah satu tujuan evaluasi adalah mengukur berapa
besar dan kualitas pengeluaran atau output dari suatu
kebijakan

20 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
4. Mengkur dampak suatu kebijakan. Pada tahap lebih
lanjut, ditunjukkan untuk melihat dampak dari suatu
kebijakan, baik dampak positif maupun negatif
5. Untuk mengetahui apabila terjadi penyimpangan.
Evaluasi juga bertujuan utnuk mengetahui adanya
penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi,
dengan cara membandingkan antara tujuan dan
sasaran dengan pencapaian target.
6. Sebagai bahan masukan (input) untuk kebijakan yang
akan datang. Tujuan akhir evaluasi adalah untuk
memberikan masukan bagi prosews kebijakan ke
depan agar dihasilkan kebijakan yang lebih baik.

B. Konsep dan Pendekatan Evaluasi Kebijakan


Dalam perkembangannya studi evaluasi kebijakan
melahirkan beberapa pendekatan-pendekatan seperti
yang diungkapkan oleh William Dunn (2003), pendekatan-
pendekatan tersebut antara lain evaluasi semu, evaluasi
formal dan evaluasi teoritis keputusan. Berikut dijelaskan
masing-masing dari ketiga pendekatan tersebut.

1. Evaluasi Semu
(Psuedu Evaluation) adalah pendekatan yang
menggunakan metode-metode deskriptif untuk
menghasilkan informasi yang valid dan dapat dipercaya

Studi Evaluasi Kebijakan | 21


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
mengenai hasil kebijakan, tanpa berusaha untuk
menanyakan tentang manfaat atau nilai dari hasil-hasil
tersebut terhadap individu, kelompok, atau masyarakat
secara keseluruhan.Asumsi utama dari evaluasi semu
adalah bahwa ukuran tentang manfaat atau nilai
merupakan sesuatu yang dapat terbukti sendiri (self
evident) atau tidak kontroversial.

2. Evaluasi Formal
(formal evaluation) merupakan pendekatan yang
menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan
informasi yang valid dan cepat dipercaya mengenai hasil-
hasil kebijakan tetapi mengevaluasi hasil tersebut atas
dasar tujuan program kebijaksanaan yang telah
diumumkan secara formal oleh pembuat kebijakan dan
administrator program. Asumsi utama dari evaluasi formal
adalah bahwa tujuan dan target diumumkan secara formal
adalah merupakan ukuran yang tepat untuk manfaat atau
nilai kebijakan program. Dari segi metode evaluasi formal
menggunakan metode yang sama dengan evaluasi semu.
Perbedaanya dengan evaluasi semu ialah bahwa evaluasi
formal menggunakan undang-undang dokumen program,
dan wawancara dengan pembuat kebijakan dan

22 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
administrator untuk mengidentifikasikan, mendefinisikan
dan mengspeksifikan tujuan dan target kebijakan.

3. Evaluasi Keputusan Teoritis


(Decision-Theoritic Evaluation) adalah pendekatan
dengan menggunakan metode-metode dekriptif untuk
menghasilkan informasi yang dapat
dipertanggungjawabkan
dan valid mengenai hasil-hasil kebijakan secara eksplisit
dinilai oleh berbagai macam pelaku kebijakan. Perbedaan
pokok antara evaluasi teoritis keputusan di satu sisi, dan
evaluasi semu dan evaluasi formal di sisi lainnya, adalah
bahwa evaluasi keputusan teoritis berusaha untuk
memunculkan dan membuat eksplisit tujuan dan target
dari pelaku kebijakan baik yang tersembunyi atau yang
dinyatakan.
Dalam evaluasi ada hal yang tentunya ingin dicapai
dalam pelaksanaan kebijakan, sebagaimana tujuan
evaluasi menurut H. Weiss dalam Mulyadi (2016 : 113)
yang menyatakan,,to measure the effect of a Program
against the goals it set to accomplish as a means of
contributing to subsequent decision making about the
program improving future programing. Weiss menyatakan
bahwa tujuan analisis evaluasi adalah bagaimana

Studi Evaluasi Kebijakan | 23


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
melakukan pengukuran efek dan dampak dari sebuah
program atau kebijakan yang ada pada masyarakat.
Beberapa tujuan dan fungsi evaluasi adalah :
- Mengukur efek suatu program/kebijakan pada
kehidupan masyarakat dengan membandingkan
kondisi antara sebelum dan setelah adanya program
tersebut;
- Mengukur kepatuhan, artinya mampu melihat
keseusian antara pelaksanaan dengan standar dan
prosedur yang telah ditetapkan;
- Memberikan ekplanasi yang logis atas realitas
pelaksanaan sebuah program/kebijakan;
- Memperoleh informasi tentang kinerja implementasi
kebijakan serta menilai kesesuaian dan perubahan
program dengan rencana;
- Memberikan umpan balik bagi manajeman dalam
rangka perbaikan/penyempurnaan implementasi;
- Melakukan auditing untuk melihat output kebijakan
sampai pada sasaran yang dituju, ada tidaknya
kebocoran dalam penyimpangan pada penggunaan
anggaran, ada tidaknya penyimpangan tujuan dan
pelaksanaan program
- Akunting untuk melihat dan mengukur akibat sosial
ekonomi dari kebijakan. Misalnya seberapa efektif

24 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
program yang dimaksud dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat, dampak yang ditimbulkan
telah sesuai dengan yang diharapkan;
- Memberikan rekomendasi pada pembuat kebijakan
untuk pembuatan keputusan lebih lanjut mengenai
program pada masa mendatang, sebagai bentuk
pertanggungjawaban publik dalam memenuhi
akuntabilitas publik (Anggara :2014, Dunn :2003) dan
Ripley :1985).

Studi Evaluasi Kebijakan | 25


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
26 | Studi Evaluasi Kebijakan
(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
BAB III
PERSPEKTIF EVALUASI
DALAM STUDI KEBIJAKAN

A. Tokoh-Tokoh dalam Perkembangan Evaluasi


Kebijakan
Wayne Parson, (2005:20-26), mengemukakan
bahwa ada empat tokoh utama yang banyak memberikan
kontribusi dalam perkembangan studi kebijakan. Mereka
adalah Harold Laswell, Herbert Simon, Charles
Lindblom, dan David Easton. Lasswell barangkali
adalah tokoh yang paling menonjol di balik perkembangan
studi kebijakan. Tulisan-tulisannya tentang kebijakan
publik muncul sejak 1930-an, ketika dia diilhami oleh
pemikiran Aliran Chicago dalam mendekati persoalan-
persoalan dengan menggunakan pendekatan
multidisipliner. Secara singkat, apa yang kita kenal
dengan sebutan analisa kebijakan (policy analysis) pada
hakikatnya baru muncul pada dasawarsa 1970-an. Pada
masa dasa warsa 1960-an, disiplin yang berorientasi pada
masalah-masalah kebijakan ini masih dalam proses
mencari bentuk dan para ahlinya belum mendapatkan
tempatnya yang tepat, misalnya, pada dekade Lerner dan
Lasswell (1951), ilmu ini masih menggunakan istilah ’ilmu

Studi Evaluasi Kebijakan | 27


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
kebijakan’ (policy science). Lasswell (1970),
memperkenalkan ide tentang pengetahuan proses dan dia
menyatakan bahwa pandangan ilmu kebijakan
mengandung ciri khas, yakni berorientasi pada persoalan
(problem oriented). Fokus pada problem berarti kajiannya
harus multidisipliner dan melibatkan sintesis dari berbagai
ide dan tehnik penelitian. Hal ini berarti, seorang ilmuwan
kebijakan harus mampu menerapkan ”manajemen kreatif”
dan memperluas peta konseptual yang mendefinisikan
persoalan sebagaimana yang dilihat oleh spesialis.
Seorang ilmuwan kebijakan kontemporer memandang
dirinya sebagai integrator (pemersatu) dari pengetahuan
dan tindakan, oleh karena itu, ia melihat dirinya sebagai
ahli dalam mempengaruhi semua bidang rasionalitas yang
dikuasai oleh individu dan kelompok pada kurun waktu
tertentu. Oleh karena itu, Lasswell menyimpulkan bahwa
ilmu kebijakan itu adalah kontekstual, multi-metode, dan
berorientasi pada masalah.
Konsep ini, kini mulai banyak diakui orang, dan
semakin banyak orang pula ikut mengakui bahwa peran
seorang integrator sangat penting sebagai mediator atau
pengantara. Lasswell menggunakan dua pendekatan
dalam mengkaji kebijakan, yaitu pertama, ”knowledge of
the policy process” (pengetahuan tentang analisis proses

28 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
kebijakan) berkaitan dengan pengetahuan tentang formasi
dan implementasi kebijakan publik, dan yang kedua,
”knowledge in the policy process” (pengetahuan tentang
kebijakan) berkaitan dengan pengetahuan dalam, dan
untuk proses kebijakan. Berdasarkan gagasan ini, kita
dapat menyimpulkan bahwa ”analisis kebijakan” adalah
aktivitas menciptakan pengetahuan tentang dan dalam
proses pembuatan kebijakan. (Dunn, 2003:1).
Secara lebih sederhana kita dapat menjelaskan
bahwa dalam menciptakan pengetahuan tentang proses
pembuatan kebijakan, analisis kebijakan meneliti sebab,
akibat, dan kinerja kebijakan dalam program publik.
Pengetahuan tersebut betapapun tetap tidak dapat
lengkap kecuali jika hal tersebut disediakan bagi para
pengambil kebijakan dan publik terhadap siapa para
analis berkewajiban melayaninya. Hanya jika
pengetahuan tentang kebijakan dikaitkan dengan
pengetahuan dalam proses kebijakan, anggota-anggota
badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif bersama dengan
warga negara yang memiliki peranan dalam keputusan-
keputusan publik, dapat menggunakan hasil-hasil analisis
kebijakan untuk memperbaiki proses pembuatan
kebijakan dan kinerjanya. Karena efektivitas pembuatan
kebijakan tergantung pada akses terhadap stok

Studi Evaluasi Kebijakan | 29


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
pengetahuan yang tersedia, maka komunikasi dan
penggunaan analisis kebijakan menjadi penting sekali
dalam praktik dan teori pembuatan kebijakan publik.
(Dunn, 2003:2).
Tokoh selanjutnya ialah Herbert Simon (1947),
Simon dalam perpsektif ilmu Administrasi berada pada
generasi kedua, atau model kedua seperti yang
digambarkan Fredrickson dalam bukunya Administrasi
Negara Baru sebagai model neo birokrasi. Simon dikenal
dengan decision theory atau teori keputusannya. Herbert
A. Simon menerbitkan bukunya Administrative Behavior; A
Study of Decision Making process in Admnistration
Organization.
Simon menunjukkan bahwa di setiap prinsip
administrasi didalamnya terdapat prinsip tandingannya
(Counter principle). Oleh karena itu seluruh ide tentang
prinsip-prinsip tersebut dapat dipecahkan. Sebagai
contoh, dalam literatur administrasi yang tradisional
menyatakan bahwa birokrasi itu hendaknya diatur dengan
rentang kendali (span of control) yang sempit, agar bisa
berkomunikasi dan melakukan pekerjaan-pekerjaan
secara efektif.
Menurut Simon tujuan dasar dari setiap organisasi
adalah untuk menemukan atau menetapkan tujuan

30 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
mereka dan mengambil tindakan yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan mereka. Pengambilan keputusan
menggambarkan proses yang menghubungkan organisasi
ke segala aspek organisasi. Aplikasi penting dari logika
awal pengambilan keputusan biasa disebut teori
keputusan simpel, yang lebih matang dan sepenuhnya
menjadi bagian yang dikembangkan sebagai teori empirik
yang diformasikan pada administrasi publik. Teori
keputusan ternyata merupakan bagian multidisiplin dari
teori dalam administrasi publik yang terpengaruh oleh
ekonomi, sosiologi organisasi, psikologi sosial dan ilmu
politik. Kesempurnaan teori keputusan ini dtunjukkan
dengan disepakatinya secara umum kumpulan konsep
kategori dan penggunaan bahasa yang jelas untuk
menegaskan kategori tersebut.
Kontribusi Herbert Simon untuk perkembangan
studi kebijakan jelas lebih besar ketimbang ahli teori
manapun. Karena sifat kebijakan publik yang
multidisipliner, maka karya Simon berdampak luas
terhadap ilmu-ilmu sosial manapun, termasuk ilmu
pendidikan. Perhatiannya terhadap proses pengambilan
keputusan manusia dipusatkan pada ide rasionalitas
sebagai sesuatu yang ”terkekang” namun mampu
membuat perbaikan. Tema ini dikaji Simon secara teoritis

Studi Evaluasi Kebijakan | 31


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
dan eksperimental. Ide Simon tentang pengkajian
pembuatan keputusan dari sudut tahapan rasional, yakni
intelligensi, desain, dan pilihan, telah menjadi unsur utama
dalam analisis kebijakan.
Tokoh kunci yang ketiga dalam perkembangan
analisis kebijakan yang mengkaji proses pembuatan
kebijakan adalah Charles Lindblom. Dia terkenal karena
mendukung pendekatan rasional yang sedikit berbeda
dengan Simon. Lindblom mendukung pendekatan
”incrementalism” (bertingkat menaik). Artikelnya tentang
”ilmu untuk mengatasi” yang terbit pada tahun 1959
menjadi teks klasik dalam literatur studi kebijakan. Teks ini
mungkin masih merupakan satu-satunya kontribusi
terpenting dalam pembentukan teori proses pembuatan
kebijakan. Tokoh yang terakhir adalah David Easton.
Walau karyanya (1953, 1965) tidak dianggap sebagai
karya utama ’kebijakan publik’, namun itu telah
memberikan kontribusi penting bagi pembentukan
pendekatan kebijakan seperti halnya karya tiga tokoh
lainnya. karya Easton menyediakan model ”sistem politik”
yang sangat mempengaruhi ”cara studi kebijakan (output)
pada 1960-an.

32 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
B. Studi Evaluasi (Bagian dari Analisis Kebijakan)
Dalam perkembangannya kemudian analisis
kebijakan publik menjadi bagian penting dari studi ilmu
administrasi publik, dimana dalam kebijakan publik
terdapat tiga komponen utama sebagai unit analisisnya
yakni apa yang dikenal dengan policy formulation
(formulasi kebijakan), policy implementation (implementasi
kebijakan) dan policy evaluation (evaluasi kebijakan).
Studi kebijakan publik pada mulanya hanya terbatas pada
masalah pertahanan, hubungan luar Negeri dan masalah
hukum dan ketertiban. Namun era studi kebijakan saat ini
telah melampaui ketiga bidang tersebut dan telah
mencakup berbagai bidang, seperti pendidikan,
kesehatan, perumahan, pariwisata, pertanian, industri,
perdagangan, lingkungan, transportasi serta pemerintahan
(Suratman,2017: 183).
Dalam perkembangan studi evaluasi kebijakan ada
beberapa pendekatan dan model yang digunakan dalam
melakukan evaluasi kebijakan, seperti halnya dalam studi
implementasi kebijakan evaluasi kebijakan dapat
dikategorikan dalam berbagai pendekatan. Evaluasi
kebijakan tidak terlepas dari pendekatan yang digunakan
dalam implementasi kebijakan karena evaluasi sangat erat
kaitannya dengan studi implementasi kebijakan.

Studi Evaluasi Kebijakan | 33


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
Model implementasi kebijakan yang juga terkait
dengan evaluasi kebijakan yang pertama ialah
pendekatan Top-Down, dimana model ini adalah model
pendekatan rasional untuk melihat sebuah proses
interaksi antara penentuan tujuan dan
tindakan untuk mencapai tujuan. Model pendekatan
topdown menekankan pada (1) Karakteristik masalah; (2)
Struktur manajemen program yang tercermin dalam
berbagai macam peraturan operasional kebijakan; (3)
faktor-faktor di luar peraturan.
Model yang kedua ialah pendekatan Buttom-Up.
Munculnya pendekatan buttom-up, merupakan kritikan
terhadap model top-down yang hanya beorientasi pada
pencapaian tujuan dengan efektif tanpa membangun
suatu model-model teoritis atau kerangka analisis yang
dapat dijadikan panduan dalam analisis empiris. Proses
model buttom-up, menekankan pada pelibatan pembuat
kebijakan dari pihak-pihak yang terlibat dalam
pelaksanaan kebijakan. Model top down banyak dikritik
karena tidak menjelaskan peran aktor dan unsur lain
dalam proses implementasi. Menurut pendukung model
buttom-up, yang benar-benar penting adalah hubungan
antara pembuat kebijakan dengan pelaksana kebijakan.
Model buttom-up adalah pendekatan yang memandang

34 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
proses sebuah proses sebagai sebuah negosiasi dan
pembentukan konsensus.
Model buttom-up menekankan pada fakta bahwa
implementasi di lapangan memberi keleluasaan dalam
penerapan kebijakan. Mereka yang berada di garis depan
pelaksanaan kebijakan memiliki keleluasaan dengan
tingkat yang berbeda-beda dalam hal memilih aturan apa
yang akan mereka gunakan untuk menerapkan sebuah
kebijakan.

Studi Evaluasi Kebijakan | 35


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
36 | Studi Evaluasi Kebijakan
(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
BAB IV
KONSEP DAN MODEL-MODEL
EVALUASI PROGRAM
DAN KEBIJAKAN

A. Konsep Evaluasi Program


Program dapat diartikan sebagai unit atau kesatuan
kegiatan yang merupakan realisasi atau implementasi dari
kebijakan, berlangsung dalam proses yang
berkesinambungan dan terjadi dalam suatu organisasi
yang melibatkan sekelompok orang. Dengan demikian
yang perlu ditekankan bahwa program terdapat 3 unsur
penting yaitu sebagai berikut.
1. Program adalah realisasi atau implementasi dari
suatu kebijakan.
2. Terjadi dalam kurun waktu yang lama dan bukan
kegiatan tunggal tetapi jamak berkesinambungan.
3. Terjadi dalam organisasi yang melibatkan
sekelompok
orang.
Ralp Tyler, 1950 (dalam Farida 2008:7)
mendefinisikan bahwa evaluasi program adalah proses
untuk mengetahui apakah tujuan program sudah dapat
terealisasi. Sedangkan Cronbach dan Stufflebeam
menjelaskan evaluasi program adalah upaya

Studi Evaluasi Kebijakan | 37


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
menyediakan informasi untuk disampaikan kepada
pengambil keputusan. Suharsmi Arikunto (2004:14)
“Evaluasi program adalah proses penetapan secara
sistematis tentang nilai, tujuan, efektifitas atau kecocokan
sesuatu sesuai dengan kriteria dan tujuan yang telah
ditetapkan sebelumnya. Proses penetapan keputusan itu
didasarkan atas perbandingan secara hati-hati terhadap
data yang diobservasi dengan menggunakan standard
tertentu yang telah dibakukan.”
Dari berbagai definisi tersebut di atas, dapat
diintisarikan bahwa yang dimaksud dengan evaluasi
program adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi
tentang bekerjanya sesuatu program pemerintah, yang
selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk
menentukan alternative atau pilihan yang tepat dalam
mengambil sebuah keputusan.
Selanjutnya, Bridgman dan Davis (dalam Farida
Yusuf, 2008) yaitu evaluasi program yang secara umum
mengacu pada 4 (empat) dimensi yaitu sebagai berikut.
a. Indikator input,
b. Indikator process,
c. Indikator outputs
d. Indikator outcomes.

38 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
Tujuan evalusi program adalah agar dapat
diketahui dengan pasti apakah pencapaian hasil,
kemajuan dan kendala yang dijumpai dalam pelaksanaan
program dapat dinilai dan dipelajari untuk perbaikan
pelaksanaan program dimasa yang akan datang”
Lebih lanjut bahwa dimensi utama evaluasi
diarahkan kepada hasil, manfaat, dan dampak dari
program. Pada prinsipnya yang perlu dibuat perangkat
evaluasi yang dapat diukur melalui empat dimensi yaitu
sebagai beriku.
a. indikator masukan (input),
b. Proses (process)
c. keluaran (output),
d. indikator dampak atau (outcame)
Evaluasi merupakan cara untuk membuktikan
keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan dari suatu
program, oleh karena itu pengertian evaluasi sering
digunakan untuk menunjukan tahapan siklus
pengelolahan program yang mencakup:
a. Evaluasi pada tahap perencanaan (EX-ANTE). Pada
tahap perencanaan, evaluasi sering digunakan untuk
memilih dan menentukan prioritas dari berbagai
alternative dan kemungkinan cara mencapai tujuan
yang telah dirumuskan sebelumnya.

Studi Evaluasi Kebijakan | 39


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
b. Evaluasi pada tahap pelaksanaan (ON-GOING). Pada
tahap pelaksanaan, evaluasi digunakan untuk
menentukan tingkat kemajuan pelaksanaan program
dibandingkan dengan rencana yang telah ditentukan
sebelumnya.
c. Evaluasi pada tahap Pasca Pelaksanaan (EX-POST)
pada tahap paska pelaksanaan evalusi ini diarahkan
untuk melihat apakah pencapaian
(keluaran/hasil/dampak) program mampu mengatasi
masalah pembangunan yang ingin dipecahkan.
Evaluasi ini dilakukan setelah program berakhir untuk
menilai relevansi (dampak dibandingkan
masukan), efektivitas (hasil dibandingkan keluaran),
kemanfaatan (dampak dibandingkan hasil), dan
keberlanjutan (dampak dibandingkan dengan hasil dan
keluaran) dari suatu program. Hubungan ketiga
tahapan tersebut sangat erat, selajutnya terdapat
perbedaan metodelogi antara evaluasi program yang
berfokus kerangka anggaran dengan yang berfokus
pada kerangka regulasi. Evaluasi program yang
berfokus pada anggaran dilakukan dengan dua cara
yaitu: Penilaian indikator kinerja program berdasarkan
keluaran dan hasil dan studi evaluasi program
berdasarkan dampak yang timbul. Cara pertama

40 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
dilakukan melalui perbandingan indikator kinerja
sasaran yang direncanakan dengan realisasi,
informasi yang relevan dan cukup harus tersedia
dengan mudah sebelum suatu indikator kinerja
program dianggap layak. Cara yang kedua
dilaksanakan melalui pengumpulan data dan informasi
yang bersifat lebih mendalam ( in-depth evaluation )
terhadap hasil, manfaat dan dampak dari program
yang telah selesai dilaksanakan. Hal yang paling
penting adalah mengenai informasi yang dihasilkan
dan bagaimana memperoleh informasi, dianalisis dan
dilaporkan. Informasi harus bersifat independen,
obyektif, relevan dan dapat diandalkan. Untuk lebih
jelas tahapan evaluasi sebagaimana gambar berikut :

Gambar 2 :Tahapan Evaluasi Program


Sumber : Subarsono (2005)

Evaluasi kebijakan maupun program sebagai


bagian dari studi kebijakan memiliki tujuan-tujuan tertentu.

Studi Evaluasi Kebijakan | 41


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
Seperti disebutkan oleh Sudjana (2006 : 48), tujuan
khusus Evaluasi Program terdapat 6 (enam) hal, yaitu
untuk sebagai berikut.
1. Memberikan masukan bagi perencanaan program;
2. Menyajikan masukan bagi pengambil keputusan yang
berkaitan dengan tindak lanjut, perluasan atau
penghentian program;
3. Memberikan masukan bagi pengambilan keputusan
tentang modifikasi atau perbaikan program
4. Memberikan masukan yang berkenaan dengan faktor
pendukung dan penghambat program;
5. Memberi masukan untuk kegiatan motivasi dan
pembinaan (pengawasan,supervisi dan monitoring)
bagi penyelenggara, pengelola dan pelaksana program
dan
6. Menyajikan data tentang landasan keilmuan bagi
evaluasi program pendidikan luar sekolah.
Sudjana menjelaskan bahwa tujuan evalusi adalah
untuk melayani pembuat kebijakan dengan menyajikan
data yang diperlukan untuk pengambilan keputusan
secara bijaksana. Oleh karenanya evaluasi program dapat
menyajikan 5 (lima) jenis informasi dasar sebagai berikut :
1. Berbagai data yang dibutuhkan untuk menentukan
apakah pelaksanaan suatu program harus dilanjutkan.

42 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
2. Indikator-indikator tentang program-program yang
paling berhasil berdasarkan jumlah biaya yang
digunakan.
3. Informasi tentang unsur-unsur setiap program dan
gabungan antar unsur program yang paling efektif
berdasarkan pembiayaan yang diberikan sehingga
efisiensi pelaksanaan program dapat tercapai.
4. Informasi untuk berbagai karakteristik sasaran
program-program pendidikan sehingga para pembuat
keputusan dapat menentukan tentang individu,
kelompok, lembaga atau komunitas mana yang paling
menerima pengaruh dari palayanan setiap program.
5. Informasi tentang metode-metode baru untuk
memecahkan berbagai permasalahan yang berkaitan
dengan evaluasi pengaruh program.
Dari penjelasan di atas penulis menarik kesimpulan
bahwa evaluasi program adalah kegiatan sistematis
dengan menggunakan metode dan model-model evaluasi
tertentu, yang dilaksanakan untuk menilai jalan atau
tidaknya suatu implementasi produk kebijakan dengan
tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Adapun tujuan dari evaluasi program yakni memberikan
gambaran mengenai informasi apakah kebijakan tersebut
sudah dapat terealisasi dengan baik atau tidak.

Studi Evaluasi Kebijakan | 43


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
B. Model-Model dalam Evaluasi Kebijakan
Dalam evaluasi program juga dikenal berbagai
macam model evaluasi program. Seperti yang dijelaskan
oleh Wirawan (2012:80), yang menjelaskan mengenai
beberapa bentuk/model evaluasi yakni :

1. Model Evaluasi Berbasis Tujuan


Model Evaluasi Berbasis Tujuan dalam Bahasa
Inggris disebut Goal Based Evaluation Model atau
Objective Oriented Evaluation atau Objective-Referenced
Evaluation Model atau Objective Oriented Approach atau
Behavioral Objective Approach merupakan model evaluasi
tertua dan dikembangkan oleh Ralph W Tyler. Ia
mendefinisikan evaluasi sebagai ". process of determining
to what extent the educational objective are actually being
realized " (Brikerhoff et.al, 1983). Evaluasi merupakan
proses menentukan sampai seberapa tinggi tujuan
pendidikan sesungguhnya dapat dicapai.

44 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
1. Tujuan Program dan 7. Keputusan
Intervensi pemanfaatan hasil
program

2. Evaluator merumuskan
tujuan menjadi indikator
kuantitaif dan kualitatif yang
6. Kesimpulan :
dapat diukur
- Tujuan tercapai
- Tujuan tercapai
sebagian
- Tujuan tidak tercapai
3. Mengembangkan desain
dan instrumen evaluasi

5. Menjaring dan
menganalisis data
4. Evaluator memastikan informasi/pencapaian
aktifitas program telah indikator-indikator tujuan
berakhir

Gambar 3 Proses model evaluasi berbasis tujuan


Tyler, dalam Wirawan (2012)
akhir
Model Evaluasi Berbasis Tujuan dirancang dan
dilaksanakan dengan proses sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi tujuan.
Mengidentifikasi dan mendefinisikan tujuan atau objektif
intervensi, layanan dari program yang tercantum dalam
rencana program. Objektif program kemudian
dirumuskan dalam indikator-indikator kuantitas dan
kualitas yang diukur.
2. Merumuskan tujuan menjadi indikator-indikator.

Studi Evaluasi Kebijakan | 45


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
Evaluator merumuskan tujuan program menjadi
indikator-indikator kuantitatif dan kualitatif yang dapat
diukur.
3. Mengembangkan metode dan instrumen untuk
menjaring data. Evaluator menentukan apakah akan
menggunakan metode kuantitatif atau kualitatif atau
campuran. Mengembangkan instrumen untuk menjaring
data. Jenis instrumen tergantung pada metode yang
dipergunakan.
4. Memastikan program telah berakhir dalam mencapai
tujuan. Layanan, intervensi dari program telah
dilaksanakan dan ada indikator mencapai pencapaian
tujuan, pengaruh atau perubahan yang diharapkan.
5. Menjaring dan menganalisis data/informasi mengenai
indikator-indikator program. Menjaring dan
menganalisis data/ mengenai semua indikator program
dalam butir (2).
6. Kesimpulan. Mengukur hasil pencapaian program, atau
pengaruh intervensi atau perubahan yang diharapkan
dari pelaksanaan program dan membandingkan
dengan objektif yang direncanakan dalam rencana
program untuk menentukan apakah terjadi
ketimpangan. Hasilnya salah satu dari berikut.
a. Program dapat mencapai objektifnya sepenuhnya

46 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
b. Program dapat mencapai sebagian dari objektifnya
antara 50 % - 99,9%
c. Program mencapai objektifnya di bawah 50 %
d. Program gagal mencapai objektifnya
e. Mengambil keputusan mengenai program.
Keputusan dapat berupa:
a) Jika program dapat mencapai tujuannya
sepenuhnya, mungkin program dilanjutkan atau
dilaksanakan di daerah lain jika sebelumnya
hanya dilakukan di daerah tertentu.
b) Dapat juga terjadi jika program berhasil
sepenuhnya dan masyarakat yang dilayani tidak
memerlukan lagi layanan program aka
program dihentikan. Misalnya, jika program-
program pengentasan kemiskinan berhasil
membuat mereka yang miskin menjadi tidak
miskin lagi, maka program tersebut dapat
dihentikan.
c) Jika program ternyata gagal akan tetapi masih
diperlukan layanannya oleh sebagian besar
masyarakat, maka program dianalisis penyebab
kegagalan dan kemudian dikembangkan atau
dimodifikasi.

Studi Evaluasi Kebijakan | 47


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
2. Model Evaluasi Bebas Tujuan
Model Evaluasi Bebas Tujuan (Goal Free
Evaluation Model) dikemukakan oleh Michael Scriven
(1973). Menurut Scriven model evaluasi ini merupakan
evaluasi mengenai pengaruh yang sesungguhnya, objektif
yang ingin dicapai oleh program. Ia mengemukakan
bahwa evaluator seharusnya tidak mengetahui tujuan
program sebelum melakukan evaluasi. Evaluator
melakuakn evaluasi untuk mengetahui pengaruh yang
sesungguhnya dari operasi program. Pengaruh program
yang sesungguhnya mungkin berbeda atau lebih banyak
atau lebih luas dari tujuan yang dinyatakan dalam program
tersebut. Suatu program dapat mempunyai tiga jenis
pengaruh (lihat gambar 4).
- Pengaruh sampingan yang negatif. Yaitu pengaruh
sampingan yang tidak dikehendaki oleh program. Ini
seperti jika orang meminum obat atau pengobatan
yang sering mempunyai efek sampingan yang tidak
dikehendaki. Misalnya, wanita yang diobati kanker
payu daranya dengan menggunakan sinar X-Ray
dapat berakibat rambutnya rontok. Dalam hal
pelaksanaan program juga dapat terjadi efek
sampingan. Misalnya program-program untuk orang
miskin disamping membantu kehidupan orang miskin

48 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
juga dapat membuat penerima layanan program
menjadi malas bekerja.

Pengaruh sampingan yang


negatif yang tidak diharapkan

Pengaruh Program Pengaruh positif sesuai


dengan tujuan yang ditetapkan

Pengaruh sampingan yang positif


diluar tujuan program yang
ditetapkan

Gambar 4. Pengaruh Suatu Program


- Pengaruh positif yang ditetapkan oleh tujuan program.
Suatu program mempunyai tujuan yang ditetapkan
oleh rencana program.
Tujuan program merupakan apa yang akan dicapai
atau perubahan atau pengaruh yang diharapkan
dengan layanan atau perlakuan program.
- Pengaruh sampingan positif. Yaitu pengaruh positif
program diluar pengaruh positif yang ditentukan oleh
tujuan program. Misalnya, tujuan dari Bantuan
Langsung Tunai (BLT) untuk orang miskin adalah
subsidi kepada orang miskin karena pemerintah

Studi Evaluasi Kebijakan | 49


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
menaikkan harga minyak tanah. Tujuannya adalah
untuk membantu orang miskin agar dapat membeli
minyak tanah yang diperlukannya. Akan tetapi,
bantuan sejumlah Rp. 300.000 untuk 3 bulan tersebut
dapat dipergunakan oleh penerima BLT di desa untuk
kulakan atau berdagang yang dapat mengentaskan
kemiskinan dan menumbuhkan ekonomi disuatu desa
jika penerima mempunyai jiwa kewirausahaan yang
tinggi.
Model Evaluasi Bebas Tujuan akan sangat meluas
dan menimbulkan masalah bagi evaluator dalam kaitan
dengan beba kerja, biaya, dan waktu evaluasi. Oleh
karena itu, sebelum merancang evaluasi, evaluator harus
memprediksi, mengidentifikasi, dan mendefinisikan apa
saja yang termasuk efek sampingan yang negatif dari
program; apa saja yang termasuk pengaruh positif sesuai
dengan tujuan program dan apa saja pengaruh positi
diluar dari tujuan program.
Dengan demikian, dapat diperhitungkan beban
kerja, biaya dan waktu yang diperlukan untuk
merencanakan dan melaksanakan evaluasi.

50 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
3. Model Evaluasi Formatif dan Sumatif
Model evaluasi formatif dan sumatif mulai dilakukan
ketika kebijakan program atau proyek muali dilaksanakan
(evaluasi formatif) dan sampai akhir pelaksanaan program
(evaluasi sumatif)
a. Evaluasi formatif
Istilah evaluasi formatif (formative evaluation)
diperkenalkan oleh Michael Scriven pada tahun 1967
yang awalnya ia menggunakan istilah outcome evaluation
of an intermediate stage in development of the teaching
instrument. Menurut Scriven evaluasi formatif merupakan
loop balikan dalam memperbaiki produk. The Program
Evaluation Standards (1994) mendefinisikan evaluasi
formatif sebagai evaluasi yang didesain dan dipalai untuk
memperbaiki suatu objek, terutama ketika objek tersebut
sedang dikembangkan.
Sepanjang pelaksanaan kebijakan, program atau
proyekdapat dilakukan sejumlah evaluasi formatif sesuai
dengan kebutuhan atau kontrak kerja evaluasi.
- Untuk mengukur hasil pelaksanaan program secara
periodik. Apakah pelaksanaan program mencapai tujuan
yang telah ditetapkan atau tidak? Evaluasi mengukur
apakah target tersebut telah dicapai atau tidak. Jika
target tersebut tidak dicapai, akan mempegaruhi termin

Studi Evaluasi Kebijakan | 51


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
kerja berikutnya. Pengertian target disini termasuk
perubahan keterampilan dan perilaku penerima layanan
jasa. Apakah target tersebut telah dicapai sesuai dengan
waktu yang telah ditetapkan atau tidak. Mungkin target
waktu dapat dicapai sesuai dengan rencana, akan tetapi
dapat juga target waktu tidak tercapai. Misalnya,
seharusnya bulan juli, tetapi baru dapat tercapai bulan
Agustus. Jika target waktu gagal, maka akan
menghambat pelaksanaan pekerja termin berikutnya.
- Untuk mengukur apakah klien/partisipan bergerak ke
arah tujuan yang direncanakan. Program atau proyek
memberikan layanan kepada klien atau pemangku
kepentingan. Layanan tersebut perlu diukur kuantitas
dan kualitasnya pada waktu tertentu secara periodik.
Jika kualitas dan kuantitasnya tidak memenuhi target,
perlu diketahui hambatan apa yang dihadapi untuk
mencapai target dan koreksi apa yang harus dilakukan.
- Untuk mengukur apakah sumber-sumber telah
dipergunakan sesuai dengan rencana. Dalam
melaksanakan program dipergunakan sumber-sumber
aktivitas seperti anggaran, tenaga, dan peralatan.
Setiap termin pekerjaan telah disediakan sumber-
sumber dalam jumlah tertentu. Manajemen program
tidak boleh melampaui penggunaan sumber yang tekah

52 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
disediakan. Jika melampaui jumlah yang ditetapkan,
akan memengaruhi sumber-sumber termin pekerjaan
berikutnya.
- Untuk menentukan koreksi apa yang harus dilakukan
jika terjadi penyimpangan. Penyimpangan ada
beberapa bentuk. Pertama target tujuan, waktu, dan
biaya tidak tercapai. Jika ini yang terjadi maka terjadi
penyimpangan yang negatif. Evaluasi formatif harus
menentukan berapa besar penyimpangan terjadi.
- Untuk menentukan koreksi apa yang harus dilakukan
jika terjadi penyimpangan. Penyimpangan ada
beberapa bentuk:
- Penyimpangan positif. Penyimpangan positif terjadi jika
target terlamapaui, artinya kegiatan program
dilaksanakan lebih cepat dari yang direncanakan.
Target tujuan lebih besar dari yang direncanakan, akan
tetapi kualitasnya memenuhi standar dan target
sumber-sumber lebih kecil daripada yang ditentukan.
Ini bentuk penyimpangan yang diharapkan.
- Penyimpangan negatif. Jika terjadi penyimpangan
negatif harus dilakukan koreksi misalnyadengan
mempercepat kegiatan termin berikutnya.
Penyimpangan negatif merupakan penyimpangan
yang tidak diharapkan dan harus dihindari. Jika terjadi

Studi Evaluasi Kebijakan | 53


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
penyimpangan sumber harus dilakukan penghematan
pada kegiatan termin berikunya. Disamping itu, harus
dilakukan audit kegiatan dan penggunaan anggaran.
- Memberikan balikan. Evaluasi mformatif merupakan
bagian integral dari proses pengembangan
pelaksanaan program. Evaluasi ini memberikan
balikan secar terus-menerus untuk memperbaiki
perncanaan, standar prosedur operasi, penggunaan
sumber-sumber dan perkembangan pelaksanaan
program.
b. Evaluasi Sumatif
Evaluasi sumatif dilaksanakan pada akhir pelaksanaan
program. Evaluasi ini mengukur kinerja akhir objek
evaluasi. Evaluasi sumatif berupaya untuk mengukur
indikator-indikator sebagai berikut
- Hasil dan pengaruh layanan atau intervensi program
- Mengukur persepsi klien mengenai layanan dan
intervensi program
- Menentukan cost effectiveness, cost efficiency, dan
cost benefit program evaluasi sumatif dilakukan
dengan tujuan untuk.
- Menentukan sukses keseluruhan pelaksanaan
program

54 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
- Menentukan apakah tujuan umum dan tujuan khusus
program telah tercapai
- Menentukan apakah klien mendapatkan manfaat dari
program
- Menentukan komponen yang mana yang paling efektif
dalam program
- Melakukan keluaran yang tidak diantisipasi dari
program
- Menetukan cost dan benefit program
- Mengkomunikasikan temuan evaluasi kepada para
pemangku kepentingan
- Mengambil keputusan apakah, program harus
dihentikan, dikembangkan, atau dilkasanakan ditempat
lain.

4. Model Evaluasi Responsif


Model Evaluasi Responsif (responsive evaluation
model) dikembangkan pada tahun 1975 oleh Robert Stake
(1975). Menurut Stake, evaluasi disebut responsif jika
memenuhi tiga kriteria: (1) lebih berorientasi secara
langsung kepada aktifitas program daripada tujuan
program. (2) merespon kepada persyaratan kebutuhan
informasi dari audiens, dan (3) perspektif nilai-nilai yang

Studi Evaluasi Kebijakan | 55


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
berbeda dari orang-orang dilayani dilaporkan dalam
kesuksesan dan kegagalan dari program.
Menurut Stake, evaluator pendidikan harus bekerja
untuk mendapatkan dukungan para pendidik yang
menyajikan layanan pendidikan. Evaluator melayani
berbagai jenis klien termasuk para guru, para
administrator sekolah, pengembang kurikulum, pembayar
pajak, para legislator, sponsor finansial dan masyarakat
umumnya yang sering mempunyai perbedaan kebutuhan.
Para evaluator harus berinteraksi secara terus-menerus
untuk merespons kebutuhan para kliennya. Ia mengkritik
Model Evaluasi Berbasis Tujuan yang diberinya label
sebagai evaluasi preordinat, yaitu evaluasi yang sudah
ditentukan sebelumnya. Menurut dia yang dimaksud
dengan countenance evaluation model adalh muka dari
evaluas, gambaran keseluruhan atau hamparan evaluasi
bukan sekedar mengukur tujuan. Gambar 5 melukiskan
proses pelaksanaan Model Evaluasi Responsif. Proses
tersebut meliputi langkah-langkah sebagai berikut.
- Evaluator mengidentifikasi jenis dan jumlah setiap
pemangku kepentingan (respondent). Jika jenisnya
terlalu banyak, maka harus di ranking berdasarkan
pentingnya setiap pemangku kepentingan bagi

56 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
program. Evaluasi mengalami keterbatasan sumber
dan waktu pelaksanaan evaluasi.
- Melakukan dengar pendapat dengan pemangku
kepentingan. Evaluator dapat mengunjungi sampel
pemangku kepentingan secar langsung dan
berbincang-bincang dengan mereka atau
mengumpulkan mereka disuatu tempat. Dengar
pendapat merupakan bagian dari penelitian
pendahuluan.
- Menyusun proposal evaluasi. Proposal evaluasi
disusun dengan memperhatikan pendapat para
pemangku kepentingan. Misalnya, pernyataan evaluasi
dan jenis informasi yang akan dijaring memerhatikan
kebutuhan dan harapan para pemangku kepentingan
mengenai program
- Melaksanakan evaluasi. Dalam melaksanakan
evaluasi disamping harus melakukan komunikasi
dengan pimpinan dan staf program, evaluator harus
juga melakukan komunikasi dengan para pemangku
kepentingan.
- Membahas hasil evaluasi dengan para pemangku
kepentingan. Draf hasil evaluasi disamping dibahas
dengan

Studi Evaluasi Kebijakan | 57


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
pimpinan dan staf proyek juga dibahas dengan para
pemangku kepentingan. Masukan, kritik, dan saran
dari mereka sebanyak mungkin harus diperhatikan.
Akan tetapi, dapat terjadi para pemangku kepentingan
mempunyai pendapat yang bertentangan dan tak
mungkin disatukan.
- Pemanfaatan hasil evaluasi. Evaluator mendorong
para pemangku kepentingan untuk menerima dan
memanfaatkan hasil evaluasi.
-
6. Pemanfaatan
hasil evaluasi

1. Mengidentifikasi jenis, jumlah


dsn mengambil sampel 5. Hasil evaluasi
pemangku kepentingan dibahas
bersama
dengan
Evaluator 2. Dengar pendapat dengan pemangku
sampel pemangku kepentingan kepentingan

4.
3. Menyusun proposal evaluasi
Melaksanakan
evaluasi

Gambar 5 Proses Model Evaluasi Responsif

58 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
5. Model Evaluasi Context, Input, Process, dan
Product (CIPP)
Model evaluasi CIPP mulai dikembangkan oleh
Daniel Stufflebeam pada tahun 1966. Stufflebeam
mendefinisikan evaluasi sebagai proses melukiskan
(delineating), memperoleh, dan menyediakan informasi
yang berguna untuk menilai alternatif-alternatif
pengambilan keputusan. Melukiskan artinya
menspesifikasi, mendefinisikan, dan menjelaskan untuk
memfokuskan informasi yang diperlukan oleh para
pengambil keputusan.
Memperoleh artinya dengan memakai pengukuran
dan statistik untuk mengumpulkan, mengorganisasi dan
menganalisis informasi. Menyediakan artinya
mensintensiskan informasi sehingga akan melayani
dengan baik kebutuhan evaluasi para pemangku
kepentingan evaluasi. Stufflebeam menyatakan model
evaluasi CIPP merupakan kerangka yang komprehensif
untuk mengarahkan pelaksanaan evaluasi formatif dan
evaluasi sumatif terhadap objek program, proyek,
personalia, produk, institusi, dan sistem. Model ini
dikonfigurasi untuk dipakai oleh evaluator internal yang
dilakukan oleh organisasi evaluator, evaluasi diri yang

Studi Evaluasi Kebijakan | 59


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
dilakukan oleh tim proyek, atau penyedia layanan
individual nyang dikontrak atau evaluator eksternal.
Model evaluasi ini dipakai secara meluas di seluruh
dunia dan dipakai untuk mengevaluasi berbagai disiplin
dan layanan misalnya pendidikan, perumahan,
pengembangan masyarakat, transportasi dan sistem
evaluasi personalia militer (Stufflebeam, 2003). Model
CIPP terdiri dari empat jenis evaluasi, yaitu: Evaluasi
Konteks (Context Evaluation), Evaluasi Masukan (Input
Evaluation), Evaluasi Proses (Process Evaluation), dan
Evaluasi Produk (Product Evaluation) yang dilukiskan
pada Gambar 6.

60 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
 Berupaya untuk
 Berupaya untuk mencari jawaban atas
mencari jawaban atas pertanyaan: Apa yang
pertanyaan: Apa yang perlu dilakukan?
perlu dilakukan?  Waktu pelaksanaan:
 Waktu pelaksanaan: Sebelum program
Sebelum program dimulai.
diterima.  Keputusan:
 Keputusan: Penstrukturan
Perencanaan program.
program.

 Berupaya untuk
mencari jawaban atas  Berupaya untuk
pertanyaan: Apakah mencari jawaban atas
program sukses? pertanyaan: Apakah
 Waktu pelaksanaan: program sedang
Ketika program dilaksanakan?
selesai.  Waktu pelaksanaan:
 Keputusan: Resikel: Ketika program
Ya atau Tidak sedang dilaksanakan.
program harus  Keputusan:
diresikel. Pelaksanaan.

Gambar 6 : Model CIPP


- Evaluasi Konteks. Menurut Daniel Stufflebeam
Evaluasi konteks untuk menjawab pertanyaan: apa
yang perlu dilakukan? (What needs to be done?)
Evaluasi ini mengidentifikasikan dan menilai

Studi Evaluasi Kebijakan | 61


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
kebutuhan-kebutuhan yang mendasari disusunnya
suatu program.

- Evaluasi Masukan. Evaluasi masukan untuk mencari


jawaban atas pertanyaan: apa yang harus dilakukan?
(What should be done?) Evaluasi ini mengidentifikasi
dan problem, aset, dan peluang untuk membantu para
pengambil keputusan mendefinisikan tujuan, prioritas-
prioritas, dan membantu kelompok-kelompok lebih luas
pemakai untuk menilai tujuan, prioritas, dan manfaat-
manfaat dari program, meniali pendekatan alternatif,
rencana tindakan, rencana staf, dan anggaran untuk
feasibiltas dan potensi cost effectiveness untuk
memenuhi kebutuhan dan tujuan yang ditargetkan.
Para pengambil keputusan memakai Evaluai masukan
dalam memilih diantara rencana-rencana yang ada,
menyusun proposal pendanaan, alokasi sumber-
sumber, menempatkan staf, menskedul pekerjaan,
menilai rencana-rencana aktivitas, dan penganggaran.
- Evaluasi Proses. Evaluasi proses berupaya untuk
mencari jawaban atas pertanyaan: Apakah program
sedang dilaksanakan? (is it being done?) Evaluasi ini
berupaya mengakses pelaksanaan dari rencana untuk
membantu staf program melaksanakan aktivitas dan

62 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
kemudian membantu kelompok pemakai yang lebih
luas menilai program dan menginterpretasikan
manfaat.
- Evaluasi Produk. Evaluasi produk diarahkan untuk
mencari jawaban pertanyaan: Did it suceed? Evaluasi
ini berupaya mengidentifikasi dan mengakses keluaran
dan manfaat, baik yang direncanakan atau tidak
direncanakan, baik
jangka pendek maupun jangka panjang. Keduanya
untuk membanyu staf menjaga upaya memfokuskan
pada mencapai manfaat yang penting dan akhirnya
untuk membantu kelompok-kelompok pemakai lebih
luas mengukur kesuksesan upaya dalam mencapai
kebutuhan-kebutuhan yang ditargetkan.
Menurut Stufflebeam, Model Evaluasi Model CIPP
bersifat linier. Artinya, Evaluasi Input harus didahului
Evaluasi Context; Evaluasi proses harus didahului oleh
Evaluasi input; sesungguhpun demikian menurut
Stufflebeam dalam Model Evaluasi CIPP juga dikenal
evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Dalam evaluasi
formatif CIPP berupaya mencari pertanyaan atas: Apa
yang perlu dilakukan? Bagaimana melakukannya?
Apakah hal tersebut sedang dilakukan? Apakah Berhasil?
Evaluator subunit memberikan informasi mengenai

Studi Evaluasi Kebijakan | 63


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
temuan kepada para pemangku kepentingan; membantu
mengarahkan pengambilan keputusan, dan memperkuat
kerja staf. Ketika evaluasi formatif dilaksanakan, dapat
dilakukan penyesuaian dan pengembangan jika yang
direncanakan tidak dapat dilaksanakan dengan baik.

64 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
BAB V
STRATEGI MENILAI DAMPAK
KEBIJAKAN SEBAGAI BAGIAN
DALAM MENGEVALUASI KEBIJAKAN

Bila kebijakan dipandang sebagai suatu pola


kegiatan yang berurutan, maka evaluasi kebijakan
merupakan tahap akhir dalam proses kebijakan. Namun
demikian, ada beberapa ahli yang mengatakan sebaiknya
bahwa evaluasi bukan merupakan tahap akhir dari proses
kebijakan publik. Pada dasarnya, kebijakan publik
dijalankan dengan maksud tertentu, untuk meraih tujuan-
tujuan tertentu yang berangkat dari masalah-masalah
yang telah dirumuskan sebelumnya. Evaluasi dilakukan
karena tidak semua program kebijakan publik meraih hasil
yang diinginkan. Seringkali terjadi, kebijakan publik gagal
meraih maksud atau tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya. Dengan demikian, evalusi kebijakan
ditujukan untuk melihat sebab-sebab kegagalan suatu
kebijakan atau untuk mengetahui apakah kebijakan publik
yang telah dijalankan meraih dampak yang diinginkan.
Dalam bahasa yang lebih singkat evaluasi adalah
kegiatan yang bertujuan untuk menilai “manfaat” suatu
kebijakan.

Studi Evaluasi Kebijakan | 65


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan
sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau
penilaian kebijakan yang mencakup substansi,
implementasi dan dampak. Dalam hal ini, evaluasi
kebijakan dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional.
Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada
tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh
proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan
bisa meliputi tahap perumusan masalah-masalah
kebijakan, program-program yang diusulkan untuk
menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun
tahap dampak kebijakan.
Evaluasi merupakan penilaian pencapaian kerja
dari implementasi. Evaluasi dilaksanankan setelah
kegiatan “selesai dilaksanakan” dengan dua pengertian
“selesai”, yaitu (1) pengertian waktu (mencapai/melewati
‘tenggat waktu’) dan (2) pengertian kerja (“pekerjaan
tuntas”).
Menurut Lester dan Stewart, evaluasi kebijakan
dapat dibedakan ke dalam dua tugas yang berbeda.
Tugas pertama adalah untuk menentukan konsekuensi-
konsekuensi apa yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan
dengan cara menggambarkan dampaknya. Sedangkan
tugas kedua adalah untuk menilai keberhasilan atau

66 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
kegagalan dari suatu kebijakan berdasarkan standard
atau kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Tugas
pertama merujuk pada usaha untuk melihat apakah
program kebijakan public mencapai tujuan atau dampak
yang diinginkan ataukah tidak. Bila tidak, faktor-faktor apa
yang menjadi penyebabnya? Misalnya, apakah karena
terjadi kesalahan dalam merumuskan masalah ataukah
karena faktor-faktor yang lain? Tugas kedua dalam
evaluasi kebijakan pada dasarnnya berkait erat dengan
tugas yang pertama.
Setelah kita mengetahui konsekuensi-konsekuensi
kebijakan melalui penggambaran dampak kebijakan
publik, maka kita dapat mengetahui apakah program
kebijakan yang dijalankan sesuai atau tidak dengan
dampak yang diinginkan. Dari sini kita dapat melakukan
penilaian apakah program yang dijalankan berhasil
ataukah gagal? Dengan demikian, tugas kedua dalam
evaluasi kebijakan adalah menilai apakah suatu kebijakan
berhasil atau tidak dalam meraih dampak yang
diiinginkan. Dari kedua hal yang dipaparkan di atas, maka
kita dapat menarik suatu kesimpulan mengenai arti
pentingnya evaluasi dalam kebijakan publik. Pengetahuan
menyangkut sebab-sebab kegagalan suatu kebijakan
dalam meraih dampak yang diinginkan dapat dijadikan

Studi Evaluasi Kebijakan | 67


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
pedoman untuk mengubah atau memperbaiki kebajikan di
masa yang akan datang.
Untuk memenuhi tugas tersebut, suatu evaluasi
kebijakan harus meliputi beberapa kegiatan, yakni
pengkhususan, pengukuran, analisis dan rekomendasi.
Spesifikasi merupakan kegiatan yang paling penting
diantara kegiatan yang lain dalam evaluasi kebijakan.
Kegiatan ini meliputi identifikasi tujuan atau criteria melalui
mana program kebijakan tersebut akan dievaluasi.
Ukuran-ukuran atau kiteria-kriteria inilah yang akan kita
pakai untuk menilai manfaat program kebijakan.
Pengukuran menyangkut aktivitas pengumpulan informasi
yang relevan untuk obyek evaluasi, sedangkan analisis
adalah penggunaan informasi yang telah terkumpul dalam
rangka menyusun kesimpulan. Dan akhirnya,
rekomendasi, yakni penentuan mengenai apa yang harus
dilakukan di masa yang akan datang.
Dengan mengidentifikasi tujuan-tujuan evaluasi
yang berbeda-beda ini kita dapat melihat bagaimana
suatu program dinilai gagal oleh suatu perangkat kriteria,
sementara itu dilain pihak dianggap berhasil oleh
seperangkat kriteria lainnya. Dalam kenyataannya sangat
mungkin apabila suatu program yang dinilai berhasil
secara organisasional dan politis tidak dapat dievaluasi

68 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
oleh kriteria yang nyata dan kalaupun dapat, hasilnya
diabaikan. Bagi pengevaluasi professional menemukan
permasalahan yang disebabkan kegagalan subtantif
dalam program dengan dukungan organisasional dan
politis yang kuat adalah merupakan suatu hal mudah dan
jelas. Dan menjadikan pembawa pesan dalam keadaan ini
bukanlah suatu hal yang menyenangkan.
Metode-metode yang sama aktualnya-sistematis
dan ilmiah, kasual dan impresionistis ataupun gabungan-
gabungannya mungkin akan dipakai untuk mencapai tiga
tujuan evaluasi. Akan tetapi sebagaimana yang terjadi,
semakin banyak metode ilmiah (dari riset evaluasi) yang
condong digunakan dalam evaluasi impresionistis yang
digunakan dalam evaluasi politis. Dalam kenyataanya,
sementara orang menganggap kurang etis untuk
menggunakan evaluasi ilmiah untuk tujuan-tujuan politis,
meskipun kebanyakan sarjana dan ahli riset evaluasi
berpendapat bahwa keduanya (ilmu pengetahuan dan
politik) dapat disatukan. Laura I. Lanbein mengamati
bahwa “sementara riset evaluasi menggunakan metode-
metode ilmu sosial untuk menentukan berhasil tidaknya
suatu program, pengalaman mengajarkan bahwa batas
antara ilmiah dan politis menjadi tidak jelas dan pasti. Dan
David Nachmias mengutip seorang pengamat yang

Studi Evaluasi Kebijakan | 69


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
menyatakan bahwa “evaluasi dapat mempengaruhi
keputusan butir program yang baik. Bagi keputusan
kebijakan yang besar, riset bersifat marjinal.
Sebuah kebijakan publik tidak bisa dilepas begitu
saja. Kebijakan harus diawasi, dan salah satu mekanisme
pengawasan tersebut disebut “evaluasi kebijakan”.
Evaluasi biasanya ditujukan untuk menilai sejauh mana
keefektifan kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan
kepada konstituennya, sejauh mana tujuan dicapai.
Evaluasi diperlukan untuk melihat kesenjangan antara
“harapan” dan “kenyataan”.
Premis yang dikembangkan disini adalah bahwa
setiap kebijakan harus dievaluasi sebelum diganti
sehingga perlu ada klausul “dapat diganti setelah
dilakukan evaluasi” dalam setiap kebijakan publik. Ada
dua alasan pokok mengapa hal ini harus dipegang, yaitu
sebagai berikut.
1. Menghindari kebiasaan buruk administrasi publik
Indonesia, yaitu “ganti pejabat, harus ganti
peraturan”.
2. Setiap kebijakan tidak dapat diganti dengan serta-
merta karena “keinginan” atau “selera” pejabat yang
pada saat itu memegang kewenangan publik.

70 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
Tujuan pokok evaluasi bukanlah untuk menyalah-
nyalahkan, melainkan untuk melihat seberapa besar
kesenjangan antara pencapaian dan harapan suatu
kebijakan publik. Tugas selanjutnya adalah bagaimana
mengurangi atau menutup kesenjangan tersebut. Jadi,
evaluasi kebijakan publik harus dipahami sebagai suatu
yang bersifat positif. Evaluasi bertujuan untuk mencari
kekurangan dan menutup kekurangan. Ciri dari evaluasi
kebijakan adalah:
- Tujuannya menemukan hal-hal yang strategis untuk
meningkatkan kinerja kebijakan
- Evaluator mampu mengambil jarak dari pembuat
kebijakan, pelaksana kebijakan, dan target kebijakan
- Prosedur dapat dipertanggungjawabkan secara
metodologi
- Dilaksanakan tidak dalam suasana permusuhan atau
kebencian
- Mencakup rumusan, implementasi, lingkungan dan
kinerja
Mengikuti William N. Dunn (1999:608-610). Istilah
evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran (appraisal),
pemberian angka (rating), dan penilaian (assessment).
Evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai
nilai atau manfaat hasil kebijakan. Evaluasi member

Studi Evaluasi Kebijakan | 71


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai
kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai,
dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan
publik; evaluasi member sumbangan pada klarifikasi dan
kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari
pemilihan tujuan dan target; dan evaluasi member
sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis
kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan
rekomendasi. Jadi, meskipun berkenaan dengan
keseluruhan proses kebijakan, evaluasi kebijakan lebih
berkenaan pada kinerja kebijakan, khususnya pada
implementasi kebijakan publik. Evaluasi pada
“perumusan” dilakukan pada sisi post-tindakan. Yaitu lebih
pada proses perumusan daripada muatan kebijakan yang
biasanya “hanya” menilai apakah prosesnya sudah sesuai
dengan prosedur yang disepakati. Secara umum, Dunn
menggambarkan kriteria-kriteria evaluasi kebijakan publik
sebagai berikut:

72 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
Tipe Evaluasi Menurut Dunn

Tipe Kriteria Pertanyaan Ilustrasi


Efektivitas Apakah hasil yang Unit pelayanan
diinginkan telah dicapai?
Efisiensi Seberapa banyak usaha Unit biaya, manfaat
diperlukan untuk mencapai bersih, rasio cost-
hasil yang diinginkan? benefit
Kecukupan Seberapa jauh pencapaian Biaya tetap.
hasil yang diinginkan Efektivitas tetap
memecahkan masalah?
Perataan Apakah biaya manfaat Kriteria Pareto,
didistribusikan dengan Kriteria Kaldor
merata kepada kelompok- Hicks, Kriteria Rawls
kelompok yang berbeda?
Responsivita Apakah hasil kebijakan Konsistensi dengan
s memuaskan kebutuhan, survey warga
preferensi, atau nilai Negara
kelompok-kelompok nilai?
Ketepatan Apakah hasil (tujuan) yang Program publik
diinginkan benar-benar harus merata dan
berguna atau bernilai? efisian

Studi Evaluasi Kebijakan | 73


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
Pendekatan-Pendekatan dalam Evaluasi Kebijakan (Dunn : 2003)
Bentuk-bentuk
Pendekatan Tujuan Asumsi Teknik
Utama
Evaluasi Menggunaka Ukuran manfaat Eksperimentasi Sajian
Semu n metode atau nilai sosial. Akuntansi grafik.
deskriptif terbukti dengan sistem social. Tampilan
untuk sendirinya atau Pemeriksaan table.
menghasilka controversial social. Sintesis Angka
n informasi riset dan praktik indeks.
valid tentang Analisis seri
hasil waktu
kebijakan terinterupsi.
Analisis
terkontrol.
Analisis
diskontinur
egresi
Evaluasi Menggunaka Tujuan dan Evaluasi Pemetaan
Formal n metode sasaran perkembangan. sasaran.
deskriptif pengambil Evaluasi Klarifikasi
untuk kebijakan dan eksperimental. nilai. Kritik
menghasilka administrator Evaluasi proses nilai.
n informasi yang secara retrospektif (ex- Pemetaan
yang resmi post). Evaluasi hambatan.
terpercaya diumumkan hasil retrospektif Analisis
dan valid merupakan dampak
mengenai ukuran yang silang
hasil tepat dari Discounting
kebijakan manfaat atau
secara formal nilai
diumumkan
sebagai
tujuan
program
kebijakan
Evaluasi Menggunaka Tujuan dan Penilaian tentang Brainstormi
Keputusan n metode sasaran dari dapat-tidaknya ng. Analisis
Teoritis deskriptif berbagai pelaku dievaluasi. argumentas
untuk yang Analisis utilitas i. Delphi
menghasilka diumumkan multi-atribut. kebijakanm.
n informasi secara formal Analisis
yang ataupun diam- survey
terpercaya diam merupakan pemakai
dan valid ukuran yang
mengenai tepat dari
hasil manfaat atau
kebijakan nilai
yang secara
eksplisit
diinginkan
oleh berbagai
pelaku
kebijakan

74 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
A. Strategi Evaluasi dalam Penilaian Dampak
Kebijakan
James P. Lester dan Joseph Steward, Jr.
mengelompokkan evaluasi implementasi kebijakan
menjadi evaluasi proses, yaitu evaluasi yang berkenaan
dengan proses implementasi; evaluasi impak, yaitu
evaluasi berkenaan dengan hasil dan/atau pengaruh dari
implementasi kebijakan; evaluasi kebijakan yaitu apakah
benar hasil yang dicapai mencerminkan tujuan yang
dikehendaki; dan evaluasi meta-evaluasi yang berkenaan
dengan evaluasi berbagai implementasi kebijakan yang
ada untuk menemukan kesamaan-kesamaan tertentu.
Seperti didefinisikan oleh Rossi dan Freeman,
dalam Parsons (Public Policy): Penilaian atas dampak
adalah untuk memperkirakan apakah intervensi
menghasilkan efek yang diharapkan atau tidak. Perkiraan
seperti ini tidak menghasilkan jawaban yang pasti tapi
hanya jawaban yang mungkin masuk akal, tujuan dasar
dari penilaian dampak adalah untuk memperkirakan “efek
bersih” dari sebuah intervensi-yakin perkiraan dampak
intervensi yang tidak dicampuri oleh pengaruh dari proses
dan kejadian lain yang mungkin juga mempengaruhi
perilaku atau kondisi yang menjadi sasaran suatu program
yang sedang dievaluasi itu.

Studi Evaluasi Kebijakan | 75


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
Metodenya antara lain sebagai berikut.
- Membandingkan problem/situasi/kondisi dengan apa
yang terjadi sebelum intervensi
- Melakukan eksperimen untuk menguji dampak suatu
program terhadap suatu area atau kelompok dengan
membandingkannya dengan apa yang terjadi di area
atau kelompok lain yang belum menjadi sasaran
intervensi
- Membandingkan biaya dan manfaat yang dicapai
sebagai hasil dari intervensi
- Menggunakan model untuk memahami dan
menjelaskan apa yang terjadi sebagai akibat dari
kebijakan masa lalu
- Pendekatan kualitatif dan judgemental untuk
mengevaluasi keberhasilan/kegagalan kebijakan dan
program
- Membandingkan apa yang sudah terjadi dengan tujuan
atau sasaran tertentu dari sebuah program atau
kebijakan
- Menggunakan pengukuran kinerja untuk menilai
apakah tujuan atau targetnya sudah terpenuhi.

76 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
B. Evaluasi Dampak Kebijakan
Evaluasi kebijakan merupakan usaha untuk
menentukan dampak dari kebijakan pada kondisi-kondisi
kehidupan nyata. Kalimat “usaha untuk menentukan”
digunakan dalam pembahasan ini karena evaluasi
dipahami sebagai usaha untuk menentukan dampak atau
konsekuensi yang sebenarnya dari
kebijakan, suatu tugas yang sebenarnya sangat kompleks
dan sulit. Secara minimum, tujuan evaluasi kebijakan
adalah agar kita mengetahui apa yang ingin dicapai dari
suatu kebijakan tertentu (tujuan-tujuan kebijakan),
bagaimana kita melakukannya (program-program), dan
jika ada, apakah kita telah mencapai tujuan-tujuan
(dampak atau akibat dan hubungan kebijakan) yang telah
ditetapkan sebelumnya.
Disamping itu, fokus kita dalam mengukur
pencapaian kebijakan tidak hanya perubahan yang telah
terjadi dalam kehidupan nyata, seperti misalnya
pengurangan angka pengangguran, tetapi juga bahwa
perubahan itu disebabkan oleh tindakan-tindakan
kebijakan dan bukan karena faktor-faktor lain, seperti
misalnya diakibatkan oleh keputusan-keputusan ekonomi
swasta. Hal ini berarti bahwa dalam melakukan evaluasi
kebijakan kita harus memastikan bahwa suatu perubahan

Studi Evaluasi Kebijakan | 77


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
yang terjadi di masdyarakat benar-benar diakibatkan oleh
tindakan-tindakan kebijakan dan bukan diakibatkan oleh
faktor-faktor yang lain.
Namun demikian, evaluasi tentang dampak
kebijakan pada dasarnya hanya merupakan salah satu
saja dari apa yang bisa dilakukan oleh seorang evaluator
dalam melakukan evaluasi kebijakan. Setidaknya ada tiga
hal yang dapat dilakukan oleh seorang evaluator dalam
melakukan evaluasi kebijakan publik. Ketiga hal tersebut
adalah: pertama, evaluasi kebijakan mungkin menjelaskan
keluaran-keluaran kebijakan, seperti misalnya pekerjaan,
uang, materi yang diproduksi, dan
pelayanan yang disediakan. Keluaran ini merupakan hasil
yang nyata dari adanya kebijakan, namun tidak
memberikan makna sama sekali bagi seorang evaluator.
Kategori yang lain menyangkut dampak yang dihasilkan
oleh kebijakan publik terhadap kelompok-kelompok yang
telah ditargetkan, atau keadaan yang ingin dihasilkan dari
kebijakan publik. Pada saat seorang evaluator
menganalisis konsekuensi-konsekuensi yang dihasilkan
tersebut, maka seorang evaluator harus menjelaskan
bagaimana kebijakan ditampilkan dalam hubungannya
dengan keadaan yang dituju. Kedua, evaluasi kebijakan
barangkali mengenai kemampuan kebijakan dalam

78 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
memperbaiki masalah-masalah sosial, seperti misalnya
usaha untuk mengurangi kemacetan lalu lintas atau
mengurangi tingkat kriminalitas. Ketiga, evaluasi kebijakan
barangkali menyangkut konsekuensi-konsekuensi
kebijakan dalam bentuk policy feed-back, termasuk
didalamnya adalah reaksi dari tindakan-tindakan
pemerintah atau pernyataan dalam sistem pembuatan
kebijakan atau dalam beberapa pembuat keputusan.
Pada sisi yang lain, dampak dari suatu kebijakan
mempunyai beberapa dimensi dan semuanya harus
diperhitungkan dalam membicarakan evaluasi. Ada
beberapa dimensi yang akan dibahas disini. Pertama,
dampak kebijakan pada masalah-masalah publik dan
dampak kebijakan pada orang-orang yang terlibat.
Dengan demikian, mereka atau individu-individu yang
diharapkan untuk dipengaruhi oleh kebijakan harus
dibatasi, seperti misalnya apakah termasuk kelompok
miskin, pengusaha kecil, anak-anak sekolah yang cacat,
produsen minyak, atau apapun. Selain itu, dampak yang
diharapkan dari adanya kebijakan harus ditentukan.
Misalnya, jika program itu adalah program anti
kemiskinan, maka pertanyaan yang akan diajukan adalah
apakah tujuan program tersebut untuk meningkatkan
pendapatan kelompok masyarakat miskin, meningkatkan

Studi Evaluasi Kebijakan | 79


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
kesempatan-kesempatan mereka untuk memperoleh
pekerjaan atau untuk mengubah tingkah laku dan perilaku
mereka? Bila tujuan-tujuan program yang diharapkan
merupakan kombinasi dari semua itu, maka analisis akan
menjadi semakin rumit karena prioritas-prioritas harus
dikaitkan dengan bermacam-macam dampak yang
diinginkan.
Sementara itu, suatu kebijakan mungkin
mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang diinginkan
dan yang tidak diinginkan atau malahan kedua-duanya.
Misalnya, suatu program kesejahteraan mungkin akan
memperbaiki tingkat pendapatan dari kelompok-kelompok
yang beruntung sebagaimana yang diinginkan. Namun,
apakah program tersebut juga mendorong prakarsa
mereka dalam mencari pekerjaan? Atau justru sebaliknya,
program tersebut malahan mengurangi prakarsa mereka
dalam mencari pekerjaan? Pertanyaan-pertanyaan seperti
ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa suatu
program kebijakan yang dijalankan pada dasarnmya
mempunyai peluang untuk menimbulkan konsekuensi-
konsekuensitertentu, baik yang diinginkan maupun tidak.
Contoh yang paling nyata barangkali adalah
kebijakan pemerintah menentukan harga komuditas
pertanian. Pada satu sisi, program-program pemerintah

80 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
yang mendukung peningkatan harga-harga komuditas
pertanian akan mendorong petani untuk lebih giat
berproduksi atau mendorong terjadinya peningkatan hasil
pertanian. Namun disis yang lain, peningkatan harga-
harga komuditas tersebut akan mengurangi daya beli
konsumen atau harga-harga bahan pangan mengalami
kenaikan. Dengan demikian, pada satu sisi, peningkatan
harga-harga komuditas pertanian akan meningkatkan
penghasilan petani, namun pada sisi yang lain akan
merugikan konsumen.
Kedua, kebijakan mungkin mempunyai dampak
pada keadaan-keadaan atau kelompok-kelompok di luar
sasaran atau tujuan kebijakan. Kebijakan-kebijakan ini
dinamakan eksternalitas atau dampak yang melimpah. Uji
coba terhadap senjata nuklir dengan cara meledaknya di
atmosfer bumi barangkali akan berguna bagi
pengembangan persenjataan, namun kegiatan tersebut
juga akan menimbulkan bahaya bagi penduduk dunia
sekarang ini dan di masa yang akan datang. Dampak
ledakan nuklir di atmosfer bagi kehidupan manusia
merupakan contoh eksternalitas yang negatif. Pada sisi
yang lain, eksternalitas juga dapat bersifat positif.
Misalnya bila cukai atau tarif dikurangi agar para eksportir
dapat meningkatkan penjualan mereka di luar negeri,

Studi Evaluasi Kebijakan | 81


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
maka para konsumen mungkin mendapat keuntungan dari
harga yang lebih rendah karena impor yang meningkat
akan mendorong cukai yang lebih rendah.
Ketiga, kebijakan mungkin akan mempunyai
dampak pada keadaan-keadaan sekarang dan keadaan
dimasa yang akan datang. Untuk menjelaskan dimensi
yang ketiga ini kita dapat mengajukan pertanyaan seperti:
apakah suatu program direncanakan untuk memperbaiki
keadaan yang secara langsung untuk jangka pendek atau
untuk jangka panjang, menjangkau beberapa tahun atau
beberapa dasawarsa? Apakah program yang
berhubungan dengan anak-anak cacat dimaksudkan
untuk memperbaiki kemampuan kognitif anak-anak
tersebut untuk jangka waktu yang relatif pendek ataukah
sebaliknya, yakni untuk mempengaruhi perkembangan
jangka panjang mereka serta kemampuan mencari
nafkah? Apakah program pengendalian harga yang baru
terjadi atau apakah program itu mempunyai dampak
jangka panjang pada perilaku ekonomi, seperti dengan
membantu menghilangkan adanya “psikologi inflasi”.
Apakah kebijakan deregulasi dan debirokratisasi
mendorong ekspor komoditas non-migas dalam jangka
pendek. Bila demikian, apakah dampak jangka panjang
dari kebijakan itu? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini

82 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
ditujukan untuk melihat konsekuensi-konsekuensi yang
ditimbulkan oleh adanya kebijakan berdasarkan dimensi
waktu, yakni masa sekarang atau masa yang akan
datang.
Keempat, dampak kebijakan yang menyebar. Kita
mengenal apa yang dimaksud sebagai eksternalitas atau
dampak yang melimpah, yakni suatu dampak yang
ditimbulkan oleh kebijakan pada keadaan-keadaan atau
kelompok-kelompok selain mereka yang menjadi sasaran
atau tujuan kebijakan. Tindakan-tindakan kebijakan
mungkin mempengaruhi kelompok-kelompok lain selain
kelompok-kelompok yang menjadi sasaran kebijakan.
Suatu program kesejahteraan mungkin mempengaruhi
tidak hanya kelompok masyarakat miskin, tetapi juga
kelompok-kelompok masyarakat lain, seperti misalnya
pembayar pajak, pejabat-pejabat pajak, masyarakat yang
mempunyai pendapatan rendah yang tidak menerima
keuntungan-keuntungan dari suatu program
kesejahteraan.
Dampak dari program pada kelompok-kelompok ini
mungkin bersifat simbolik atau material. Para pembayar
pajak mungkin mengeluh bahwa “uang yang mereka
peroleh dengan sulit digunakan untuk menghidupi orang-
orang yang sangat malas bekerja”. Beberapa orang yang

Studi Evaluasi Kebijakan | 83


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
berpenghasilan kecil mungkin memutuskan untuk ikut
terus dalam program-program kesejahteraan daripada
mempunyai pekerjaan yang tidak menyenangkan dengan
mendapat upah yang rendah. Sejauh menyangkut
lapisan masyarakat yang miskin yang menerima
keuntungan-keuntungan materi, maka kita dapat
mengajukan pertanyaan mengenai dampak apa dari
keuntungan-keuntungan yang ada terhadap prakarsa dan
kemandirian mereka, pada solidaritas keluarga, dan pada
pemeliharaan tertib sosial? Perlu diperhatikan pula bahwa
kebijakan-kebijakan mungkin mempunyai tujuan-tujuan
yang tidak dinyatakan.
Dengan demikian, suatu program antara anti
kemiskinan mungkin dimaksudkan untuk membantu dalam
meredam tuntutan-tuntutan masyarakat bawah; atau
kasus lain, suatu program pengawasan daging sapi
mungkin dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan politik
para peternak sapi, sementara program itu sebenarnya
tidak banyak yang dapat dilakukan untuk membatasi
impor daging sapi. Selain itu, dampak dari beberapa
program mungkin bersifat sangat luas dan mempunyai
jangkauan yang panjang. Program anti-trust di Amerika
Serikat merupakan contoh yang tepat. Pada awalnya
program ini dimaksudkan untuk membantu mendukung

84 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
persaingan dan mencegah monopoli ekonomi, namun
yang terjadi persoalan kemudian adalah bagaimana
sekarang orang dapat mengevaluasi efevitasnya? Pada
awalnya program ini dapat mencegah merger-merger
tertentu dan komplotan penetapan harga dapat
dihilangkan, tetapi hal ini tidak menyingkap banyak hal
mengenai persaingan dan monopoli dalam kehidupan
ekonomi secara umum. Seperti diungkapkan oleh
Anderson, bahwa kita dapat mengatakan dengan baik bila
kita mampu menentukan bahwa ekonomi adalah n persen
lebih kompetitif daripada dalam keadaan tidak ada
kebijakan anti-trust. Atas dasar generalisasi tujuan-
tujuannya dan kesulitan-kesulitan dalam mengukur
persaingan dan monopoli, maka kita tidak mungkin
melakukan hal ini.
Namun setelah sekian puluh tahun program anti-
trust dijalankan, masih terdapat ketidaksepakatan
terhadap pembatasan tentang monopoli dan persaingan
untuk mengarahkan tindakan dan evaluasi kebijakan. Oleh
karena itu, menjadi tidak mengherankan bagi mereka
yang menilai keefektifan program anti-trust kadang-
kadang mempunyai kesimpulan-kesimpulan yang berbeda
secara tajam.

Studi Evaluasi Kebijakan | 85


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
C. Evaluasi Kinerja dan Dampak Program Kebijakan
Penilaian kinerja menjadi isu penting dalam
kebijakan publik. Alasan pertama karena kebijakan dibuat
untuk suatu tujuan. Kebijakan dibuat tidak untuk kebijakan
itu sendiri. Oleh karena itu, kebijakan harus dinilai dari
sejauh mana ia mencapai tujuan kebijakan yang
diharapkan. Disini kita memasuki alasan kedua, bahwa
pengukuran kinerja menentukan kemana kebijakan akan
dibawa.
Kita mempergunakan pemahaman Spitzer yang
secara khusus mengemukakan bahwa penilaian kinerja
merupakan kunci keberhasilan organisasi, karena
menentukan apa yang harus dicapai oleh organisasi,
sejauh mana pencapaian, dan apa yang belum dicapai.
Dikemukakan Spitzer sebagai berikut.
“…one of the most important keys to your organization’s
success can be found in a very unlikely place-a place
many of you may consider to be complicated,
inaccessible, and perhaps even downright boring? What
if… (that) key success is already one of the most
ubiquitous and impactful forces in your organization?...
this key to success is measurement.
Measurement done right can transform your organization.
It can

86 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
not only show you where you are now, but can get you to
wherever you want to go…measurement is fundamental to
high performance, improvement, and, ultimately, success
in business, or in any other area of human endeavour…
no matter how important and powerful rewards are, they
are no better than the measurement system they are
based on”.
Untuk melakukan evaluasi terhadap program yang
telah diimplementasikan ada beberapa metode evaluasi,
yakni: 1. Single program after-only, 2. Single program
before-after, 3. Comparative after-only dan 4. Comparative
before-after.
Evaluator dapat menggunakan kelompok kontrol di
samping menggunakan kelompok eksperimen. Yang
dimaksud kelompok eksperimen adalah kelompok yang
mendapat program atau dikenai kebijakan. Sedangkan
kelompok kontrol adalah kelompok tidak mendapat
program tetapi memiliki karakteristik yang sama atau
hamper sama dengan kelompok eksperimen. Evaluator
juga mendapat membandingkan kondisi sebelum dan
sesudah diimplementasikan suatu program, atau hanya
melihat kondisi setelah suatu program diimplementasikan.
Masing-masing jenis evaluasi tersebut akan menghasilkan
jenis informasi dan data yang berbeda. Apabila evaluator

Studi Evaluasi Kebijakan | 87


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
menggunakan kelompok kontrol harus sama atau hampir
sama dengan kondisi dan karakteristik kelompok
eksperimen sebelum mendapat program. Dengan
demikian dapat diketahui adanya perubahan pada kedua
kelompok tersebut dalam kurun waktu tertentu. Dalam
kenyataannya, tidak mudah untuk mencari kelompok
kontrol tersebut, karena setiap masyarakat memiliki
keunikan sendiri.
Dalam evaluasi dampak program juga harus
dicermati bahwa dampak yang terjadi betul-betul sebagai
akibat dari program yang sedang dievaluasi, bukan
dampak dari program lain. Untuk itu, perlu ada pertanyaan
yang bersifat check and recheck.
Dalam kenyataanya, dalam waktu yang bersamaan ada
beberapa program yang dilancarkan oleh pemerintah
kepada masyarakat, dan sering beberapa program
tersebut memiliki tujuan yang saling tumpang tindih atau
sejenis. Oleh karenanya, pengalaman membuktikan, tidak
mudah untuk mengklaim bahwa suatu dampak sebagai
akibat dari program tertentu. Bisa jadi dampak tersebut
merupakan akumulasi dari berbagai program yang
berdampingan atau bersinergi.

88 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
Metodologi untuk Evaluasi Program

Jenis Pengukuran Kondisi Kelompok Informasi yang


Evaluasi Sebelum Sesudah Kontrol Diperoleh
Single Keadaan
program Tidak Ya Tidak ada kelompok
after-only sasaran
Single
Perubahan
program
Ya Ya Tidak ada kelompok
before-
sasaran
after
Keadaan
Comparat kelompok
ive after- Tidak Ya Ada sasaran dan
only kelompok
kontrol
Efek program
Comparat terhadap
ive kelompok
Ya Ya Ada
before- sasaran dan
after kelompok
kontrol

Evaluasi dengan menggunakan tipe sistematis atau


juga sering disebut sebagai evaluasi ilmiah merupakan
evaluasi yang mempunyai kemampuan lebih baik untuk
menjalankan evaluasi kebijakan dibandingkan dengan tipe
evaluasi yang lain. Menyangkut evaluasi kebijakan dalam
pandangan Jones, didorong oleh persyaratan-persyaratan
legal untuk evaluasi program dan pembiayaan untuk
melakukan kerja, saat ini riset evaluasi telah berkembang
menjadi usaha yang signifikan. Untuk melakukan evaluasi
yang baik dengan margin kesalahan yang minimal
beberapa ahli mengembangkan langkah-langkah dalam

Studi Evaluasi Kebijakan | 89


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
evaluasi kebijakan. Salah satu ahli tersebut adalah
Edward A. Suchman.
Suchman mengemukakan enam langkah dalam
evaluasi kebijakan, yakni:
1. Mengidentifikasi tujuan program yang akan dievaluasi
2. Analisis terhadap masalah
3. Deskripsi dan standarisasi kegiatan
4. Pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang terjadi
5. Menentukan apakah perubahan yang diamati
merupakan akibat dari kegiatan tersebut atau karena
penyebab yang lain
6. Beberapa indikator untuk menentukan keberadaan
suatu dampak
Selain itu, Suchman juga mengidentifikasi
beberapa pertanyaan operasional untuk menjalankan riset
evaluasi, yakni: pertama, apakah yang menjadi isi dari
tujuan program? Kedua, siapa yang menjadi target
program? Ketiga, kapan perubahan yang diharapkan
terjadi? Keempat, apakah tujuan yang ditetapkan satu
atau banyak (unitary or multiple). Kelima, apakah dampak
yang diharapkan besar? Keenam, bagaimanakah tujuan-
tujuan tersebut dicapai? Menurut Suchman, dari
keseluruhan tahap yang paling penting dalam evaluasi
kebijakan. Hanya setelah maslah-masalah dapat

90 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
didefinisikan dengan jelas, maka tujuan-tujuan dapat
disusun dengan jelas pula. Kegagalan dalam
mendefinisikan masalah akan berakibat pada kegagalan
dalam memutuskan tujuan-tujuan.

Studi Evaluasi Kebijakan | 91


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
92 | Studi Evaluasi Kebijakan
(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
BAB VI
STUDI EVALUASI KEBIJAKAN KENAIKAN
BBM DAN PROGRAM BLT

A. Kebijakan Kenaikan BBM Antara Menyelamatkan


Dan Diselematkan (Isu Kenaikan Harga BBM Tahun
2013)
Isu kenaikan BBM kembali menjadi bahan
perbincangan di kalangan khalayak ramai, masyarakat
dan pembicara-pembicara baik yang ada di media cetak,
maupun elektronik. Isu ini seakan menjadi bahan utama
pembahasan khususnya untuk sebulan terakhir
dikarenakan berbagai cerita-cerita tersendiri yang ada di
dalamnya. Fenomena kabijakan kenaikan BBM yang
rencananya akan dengan segera ditetapkan oleh
pemerintah mendapat berbagai tanggapan dari beberapa
pihak, baik yang pro maupun yang kontra, dengan asumsi
dan statment dari masing-masing kelompok-kelompok
tersebut. Pada saat sedang menulis pun saat ini
beberapa pihak dalam hal ini kelompok-kelompok
mahasiswa maupun LSM berkumpul dan bergerak
mengumandangkan aspirasi mereka untuk menolak
kenaikan harga BBM yang dianggap akan semakin
menambah beban penderitaan rakyat. Pemerintah pun

Studi Evaluasi Kebijakan | 93


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
kali ini seakan tidak bergeming dengan aksi yang
dilakukan dihampir beberapa daerah di nusantara karena
mereka juga berasumsi kuat jika kebijakan tentang
kenaikan harga BBM tidak segera dilakukan akan
membuat stabilitas perekonomian Indonesia terganggu.
Kata-kata menyelematkan dan diselamatkan kini
menjadi hal yang sering terdengar di media elektronik oleh
pemerintah, para politisi dan publik sendiri. Pihak
pemerintah mengklaim jika saat ini tak ada pilihan lain
selain menaikkan harga BBM untuk menyelamatkan
perekonomian dan menyehatkan postur anggaran negara.
Beberapa asumsi yang dijelaskan diantaranya bahwa
subsidi yang diberikan oleh negara terhadap ketersediaan
BBM untuk tahun ini sudah sangat membengkak
mencapai Rp.120 Trilyun lebih dan diperkirakan akan
membuat APBN defisit hingga 3% lebih yang dapat
berakibat buruk bagi stabilitas ekonomi. Asumsi lain dari
Pemerintah adalah bahwa subsidi untuk BBM selama ini
yang diperuntukkan bagi masyarakat menengah ke bawah
dianggap tidak tepat sasaran karena yang menikmati
justru mereka pemilik kendaraan yang mempunya
ekonomi lebih, padahal bagi mereka dianjurkan untuk
memakai BBM non subsidi. Hal lain yang saat ini menjadi
perbincangan hangat bahwa dampak subsidi BBM yang

94 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
harus dikeluarkan oleh Negara berpengaruh akan kurs
mata uang rupiah saat ini yang terus melemah hingga
menyentuh angka 10.000 per dollar. Berbagai asumsi
tersebut maka Pemerintah baik dari beberapa Kementrian
yang terkait dan Presiden SBY sendiri bersikukuh untuk
mengambil kebijakan menaikkan BBM dari harga
Rp.4.500 menjadi Rp.6.000 atau Rp.6.500 sesuai dengan
hitungan kasar para analis ekonomi pemerintah, dan
untuk itu Pemerintah selalu memposisikan diri sebagai
pihak yang wajib “menyelamatkan”
Negara dan warga Negaranya.
Kebijakan yang akan dilakukan Pemerintah tidak
berhenti dengan hanya menaikkan harga BBM bersubsidi,
tetapi kebijakan lain yang akan diambil adalah pemberian
Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) yang
akan dilakukan setelah proses naiknya harga BBM.
Pemerintah kemudian juga mengeluarkan KJS atau kartu
Jaminan Sosial kepada mayarakat yang nantinya
berhakmenerima, di mana dengan KJS ini masyarakat
berhak untuk menerima tambahan bantuan beras untuk
masyarakat miskin, tambahan untuk beasiswa untuk
siswa-siswi miskin dan untuk keluarga sejahtera. Hal-hal
yang akan dilakukan oleh pemerintah tentunya sangat
membantu jika kebijakan BBM sudah dinaikkan, karena

Studi Evaluasi Kebijakan | 95


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
secara tidak langsung masyarakat akan sangat
mengharapkan bantuan langsung dalam waktu dekat,
apalagi menjelang puasa dan lebaran. Hal yang kemudian
dipermasalahkan oleh beberapa pihak khususnya bagi
yang menolak kebijakan kenaikan BBM adalah
momentum dan dampak jangka panjang dari kebijakan
BLSM dan KJS itu sendiri.
Bagi mereka yang kontra atau yang “diselamatkan”
akan kebijakan kenaikan BBM secara umum menganggap
bahwa kenaikan BBM nantinya akan sangat berdampak
pada kehidupan sehari-hari mereka. Para LSM, kelompok
mahasiswa, sebagian politisi hingga beberapa kalangan
akademisi misalnya menganggap bahwa kebijakan yang
akan dikeluarkan oleh Pemerintah setelah kenaikan harga
BBM nanti yakni pemberian BLSM dan KJS syarat akan
kepentingan pihak tertentu. Tentunya yang dimaksudkan
adalah pemerintah lebih khusus bagi partai penguasa. Hal
ini terlihat dari konflik internal yang saat ini terjadi untuk
partai koalisi pemerintah yakni Partai Demokrat dan PKS
yang berbeda pandangan dalam kebijakan kenaikan
BBM.BLSM dan KJS kemudian menjadi sesuatu yang
dipertanyakan dikarenakan kebijakan yang dianggap tidak
populis oleh Pemerintah ini seakan-akan menjadi jualan
politik bagi partai penguasa untuk meraup suara rakyat

96 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
menjelang Pemiliu 2014. Beberapa LSM dan kelompok-
kelompok mahasiswa bereaksi keras akan kebijakan
kenaikan BBM yang akan dikeluarkan oleh Pemerintah di
mana mereka kemudian menganggap bahwa kebijakan
kenaikan BBM belum tepat dilaksanakanm di tengah
kondisi perekonomian masyarakat di tingkat mikro belum
stabil, dikarenakan kenaikan sebagian bahan-bahan
makanan dan barang yang ada di pasaran. Asumsi
lain adalah masih banyak hal lain yang dapat dilakukan
oleh pemerintah, misalnya merestrukturisasi postur
anggaran APBN yang sangat boros untuk belanja
kementrian dan birokrasi, dan beberapa pos anggaran lain
yang mengalami kebocoran anggaran untuk dialihkan ke
pos tambahan untuk subsidi BBM sehingga subsidinya
tidak membengkak. Selain itu, hal lain yang dapat
dilakukan ialah dengan memanfaatkan sumber cadangan
energi dan pemanfaatan sumber energi baru untuk
konsumsi industri-industri yang sangat banyak memakai
BBM.
“menyelamatkan dan “diselamatkan”
Kata-kata tersebut seakan menjadi tanda tanya
dibenak penulis yang selalu bertanya siapakah yang
sebenarnya yang menyelamatkan dan siapa yang
diselamatkan. Jika kata menyelematkan diberikan ke pada

Studi Evaluasi Kebijakan | 97


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
Pemerintah dengan asumsi bahwa Pemerintah akan
menyelamatkan Negara dari defisit karena subsidi BBM
yang membengkak dan menyelamatkan Warga Negara
dari kesulitan ekonomi jika Kebijakan kenaikan BBM
terealisasi mungkin akan bisa diterima, namun jika
melihatnya dari sisi yang berbeda mungkin kata
menyelamatkan untuk Pemerintah dapat dipertimbangkan
ulang, mengapa? Penulis mencoba memberikan
gambaran bahwa ketika pemerintah mengambil kebijakan
untuk menaikkan BBM dibarengi dengan pemberian
BLSM dan KJS bukan berarti hal tersebut sebagai solusi
terbaik, perlu diketahui bahwa dana BLSM dan KJS yang
dipakai untuk diberikan ke pada masyarakat nantinya di
luar dari perhitungan APBN sebelumnya dan tentunya pos
untuk BLSM dan KJS akan diatur ulang dari APBNP, yang
menjadi ironis ketika dana tersebut nantinya akan
didapatkan dari pinjaman luar Negeri sebesar Rp.60
Trilun, artinya dana yang didapatkan masyarakat adalah
dana pinjaman yang diklaim Pemerintah sebagai
pemberian bantuan oleh Negara ke pada rakyatnya.
Selanjutnya, bahwa kebijakan BLSM dan KJS syarat akan
makna politis, hal ini tentu saja dikarenakan bahwa
fenomena “membagi-bagikan uang” sangat identik
dengan menarik simpati rakyat terlebih pada saat

98 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
momentum menjelang Pemilu 2014. Realistis ketika saat
ini partai penguasa atau partai Pemerintah mengalami
sedikit badai masalah dikarenakan kasus korupsi yang
menimpa beberapa kader penting partai Demokrat. Dari
fakta tersebut tak ada jalan lain untuk partai Demokrat
untuk mengembalikan citra partai yang saat ini sangat
menurun, dari hasil survey dari beberapa lembaga survey
menunjukkan elektabilitas partai Demokrat menurun
drastis. Salah satu cara diantaranya ialah memanfaatkan
program-program yang akan dikeluarkan oleh Pemerintah
yang pro rakyat termasuk diantaranya pemberian BLSM.
Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa sebenarnya
dengan kebijakan BLSM yang nantinya jika terealisasi
diperkirakan akan “menyelamatkan” citra positif
Pemerintah atau partai pemerintah di mata masyarakat.
Bagi yang “diselamatkan” dalam hal ini rakyat
hanya bisa pasrah dan menunggu Pemerintah untuk
membagi-bagi uang BLSM. Hal yang menarik ketika
rakyat yang dianggap sebagai yang diselamatkan justru
penulis anggap sebagai penyelamat pemerintah terutama
para elite birokrat dan para pejabat-pejabat baik yang
berada pada jajaran eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Diselamatkan dalam arti ketika kebijakan kenaikan BBM
dinaikkan untuk mengurangi subsidi BBM yang

Studi Evaluasi Kebijakan | 99


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
membengkak, maka pos-pos anggaran khususnya untuk
belanja birokrasi dan kementrian akan aman, dan
tentunya yang menikmati adalah mereka yang mempunyai
kepentingan.
Padahal jika seandainya kita dapat berandai-andai
pemerintah dapat memangkas belanja birokrasi yang
terlalu banyak, maka pemerintah setidaknya dapat
mengalihkan anggaran tersebut untuk penambahan
subsidi BBM jika ada niatan baik untuk menyelamatkan
rakyat. Hal tersebut memungkinkan saja terjadi karena jika
kita melihat pos anggaran di APBN untuk belanja birokrasi
sangat membengkak bahkan menurut survey mengenai
belanja birokrasi 80% dari anggaran tersebut justru
mengalami kebocoran yang tidak jelas ke mana
peruntukannya, yang tidak sesuai dengan kinerja
pemerintah khususnya apratur Negara yang saat ini
terbentur dengan praktek-praktek KKN.
Saat ini yang diperlukan Pemerintah adalah
kecerdasan dalam menentukan kebijakan menaikkan
BBM itu sendiri. Permasalahan bukan terletak pada harus
naik atau tidaknya karena segala hal yang berkaitan
dengan kebijakan strategis pemerintah berada pada
tangan Presiden sebagai kepala Pemerintahan dan kepala
Negara yang mempunyai hak prerogatif untuk

100 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
menentukan sesuatu termasuk menaikkan BBM. Menurut
hemat penulis langkah menaikkan BBM saat ini belum
tepat melihat kondisi Negara saat ini. Asumsi yang
pertama menjadi pertimbangan adalah dari sisi
masyarakat isu kenaikan BBM sangat berpengaruh
terhadap pasar di mana saat ini harga barang dan bahan
pokok sudah naik di pasaran, belum lagi menjelang puasa
dan Lebaran tentunya harga-harga tersebut akan semakin
melonjak. BLSM dan KJS, apapun bentuknya itu yang
diadakan untuk meringankan beban masyarakat pastinya
tidak akan berhasil untuk membantu warga, BLSM sendiri
yang akan dikeluarkan hanya Rp.150 ribu/bulan yang mau
tidak mau harus dicukupi oleh warga, dan menurut penulis
tidak akan mencukupi kebutuhan warga. Selain itu
pemberian BLSM yang akan diberikan dari sisi
kemanusiaan sangat tidak mendidik warga, hal ini
dikarenakan bahwa warga diajarkan untuk selalu
menerima bantuan dari Pemerintah dalam bentuk uang.
Beberapa hasil penelitian tentang efektifitas bantuan
langsung yang dulu dikenal dengan BLT dan sekarang
BLSM juga menunjukkan bahwa pemberian bantuan
langsung justru mendidik masyarakat menjadi “malas” dan
selalu menggantungkan nasibnya kepada pemerintah,

Studi Evaluasi Kebijakan | 101


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
bahkan seakan-akan warga menjadi”pengemis” ke pada
pemerintah.
Hal lain adalah reaksi dari masyarakat LSM dan
kelompok mahasiswa khususnya yang sangat keras
menentang kebijakan kenaikan BBM perlu menjadi faktor
pertimbangan sendiri untuk Pemerintah dalam mengkaji
ulang niat untuk menaikkan BBM, khususnya yang terjadi
di Makassar kelompok mahasiswa bereaksi keras bahkan
melakukan tindakan anarkis hingga merusak fasilitas-
fasilitas pemerintahan. Reaksi tersebut tentunya bukan
semata-mata tak beralasan karena penulis meyakini
bahwa kelompok mahasiswa yang turun ke jalan telah
melakukan kajian yang mendalam mengenai pantas
tidaknya BBM naik atau tidak.
Pertimbangan lain yang mungkin Pemerintah
mengetahuinya tapi sengaja untuk diindahkan adalah
bahwa banyak kebijakan lain yang bisa diambil, menurut
penulis kebijakan yang mungkin dapat diambil selain
menaikkan BBM dalam rangka penyelamatan ekonomi
Indonesia adalah penegasan aturan mengenai
penggunaan BBM non subsidi bagi mereka yang tidak
berhak untuk menerima BBM subsidi, dengan jalan
kendaraan roda empat atau sejenisnya wajib memakai
BBM non subsidi, jika tidak ijin kendaraannya akan

102 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
dicabut, atau pajak kendaraannya akan dinaikkan.
Begitupun dengan SPBU yang jika kedapatan mengisi
BBM bersubsidi bagi kendaraan yang tidak berhak
menerima BBM bersubsidi ijin opersinya juga harus
dicabut. Intinya terletak pada kemauan untuk menjalankan
dan menegakkan aturan, dan hal itulah yang masih sangat
sulit terealisasi di Negara kita.
Selanjutnya adalah penggunaan sumber energi
baru yang ramah lingkungan selain BBM untuk digunakan
dalam rangka penghematan BBM khususnya bagi indutri-
industri yang ada di Indonesia yang menggunakan BBM
bersubsidi. Hal lain adalah pemanfaatan potensi pajak
yang ada di Indonesia sebagai salah satu sumber utama
penerimaan Negara, selain itu hal lain yang realistis
dilakukan dalam upaya menyehatkan postur anggaran
belanja Negara adalah pemangkasan belanja birokrasi
pada pos-pos anggarana yang tidak efektif, yang
performancenya kurang optimal.
Kebijakan lain adalah pemerintah dituntut untuk
menyediakan infrasturktur transportasi massal yang
nyaman layaknya yang sudah dikembangkan oleh
Negara-negara maju seperti Jepang dengan
Sinkansennya, Singapura dengan MRT dan Negara-
negara maju lainnya, yang berdampak pada penggunaan

Studi Evaluasi Kebijakan | 103


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
transportasi massal oleh para warga sehingga selain
menghemat BBM karena banyak yang tidak
menggunakan kendaraan pribadi, juga akan mengurangi
kemacetan. Hal yang menjadi lucu yang terjadi di Negara
kita bahwa Pemerintah selalu mendorong untuk
melakukan penghematan energi khususnya BBM namun
disatu sisi kendaraan yang masuk tiap harinya di
Indonesia tak terhitung jumlahnya saking banyaknya yang
ingin berkendara di Negara ini yang tentunya seakan
dibiarkan oleh Pemerintah karena kepentingan-
kepentingan tertentu, padahal justru kendaraan-
kendaraan yang baru inilah yang sangat banyak
menghabiskan BBM.
Pada akhirnya penulis berkesimpulan bahwa
dibutuhkan kemauaan yang tinggi untuk membangun
Negara, dan berupaya semaksimal mungkin untuk
menghilangkan disorientasi yang terjadi selama ini oleh
para elite, birokrat, pejabat, politis dan stakeholder yang
ada di Negara ini. Sadarlah untuk “menyelamatkan” rakyat
bukan yang justru “diselamatkan”.

104 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
B. Kebijakan Pemerintah dalam Pemberian Bantuan
Langsung Tunai (BLT)
(Deskripsi Mengenai formulasi, Implementasi,dan Evaluasi
kebijakan)
Kebijakan merupakan hal yang identik dengan
masalah organisasi, organisasi yang dimaksud meliputi
organisasi pemerintah secara umum, maupun yang ada
dalam pemerintah serta organisasi non pemeritah atau
organisasi sektor swasta. Sebagai suatu dimensi yang
ada dalam bidang administrasi publik kebijakan
mempunyai peran yang penting dalam menentukan hal-
hal apa yang harus diberikan kepada publik dalam hal
penentuan suatu formulasi dalam rangka pemecahan
sesuatu yang dianggap menjadi kesenjangan publik.
Dimensi kebijakan berkenaan dengan dengan keputusan
tentang apa yang harus dikerjakan. Dimensi kebijakan
dianalogikan dengan pekerjaan otak yang selalu
memutuskan apa yang hendak dikerjakanoleh sistem
organ tubuh atau dimensi struktur organisasi melalui suatu
energi atau sistem penggerak dan kendali atau dimensi
manajemen.
Dalam kenyataan, untuk memproses sebuah
keputusan yang benar dibutuhkan serangkaian prinsip
yang secara umum dibedakan atas prinsip rasionalitas

Studi Evaluasi Kebijakan | 105


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
dan politis. Output dari proses tersebut dapat berupa
keputusan tentang alternatif terbaik yang siap untuk
diimplementasikan. Akan tetapi, sampai sejauh mana
prinsip-prinsip pilihan terbaik ini digunakan dalam proses
pembuatan keputusan, merupakan isu penting yang
terkesan kurang diberi perhatian yang memadai selama
ini. Dimensi kebijakan ini memang sangat penting
mengingat kedudukannya sebagai penentu tentang apa
yang hendak dikerjakan.
Sebelum membahas mengenai kebijakan lebih luas
penulis akan memberikan mengenai apa sebenarnya
definisi kebijakan itu sendiri. Istilah kebijakan berbeda
kebijaksanaan, kebijakan lebih menunjukkan adanya
serangkaian alternatif yang siap dipilih berdasarkan
prinsip-prinsip tertentu, sedangkaian kebijaksanaan
berkenaan dengan suatu keputusan yang
memperbolehkan sesuatu yang sebenarnya dilarang, atau
sebaliknya, berdasarkan alasan-alasan tertentu seperti
pertimbangan kemanusiaan, keaadaan gawat, dan
sebagainya.
Kebijakan seperti yang didefinisikan oleh Graycar
dapat dipandang dari perspektif filosofis, produk, proses,
dan kerangka kerja. (Keban,2008). Sebagai suatu konsep
“filosofis”, kebijakan dipandang sebagai serangkaian

106 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
prinsip, atau kondisi yang diinginkan. Sebagai suatu
“produk”, kebijakan diartikan sebagai serangkaian
kesimpulan atau rekomendasi, sebagai suatu “proses”,
kebijakan menunjuk pada cara dimana melalui cara
tersebut suatu organisasi dapat mengetahui apa yang
diharapkan darinya yaitu program dan mekanisme dalam
mencapai produknya, dan sebagain suatu “kerangka
kerja”, kebijakan merupakan suatu proses tawar menawar
dan negosiasi untuk merumuskan isu-isu dan metode
dimplementasinya.
Definisi lain tentang kebijakan dijelaskan oleh David
Easton, Easton menjelaskan kebijakan dalam perspektif
publik, bahwa kebijakan publik adalah pengalokasian nilai-
nilai secara sah/paksa kepada seluruh masyarakat.
Menurut buku kamus administrasi publik (Chandler and
Plano) public policy adalah pemanfaatan yang strategis
terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk
memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah.
Setelah mengetahui istilah kebijakan ataupun
kebijakan publik bahwa pada dasarnya baik itu kebijakan
maupun kebijakan publik adalah suatu hal yang
menggambarkan bagaimana lahirnya suatu keputusan-
keputusan yang memiliki nilai maupun prinsip yang
diwujudkan dalam bentuk aturan yang dapat dikatakan

Studi Evaluasi Kebijakan | 107


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
mengikat dalam rangka pencapaian ekspektasi atau
harapan-harapan masyarakat. Berbicara tentang
kebijakan maupun kebijakan publik di Negara kita
Indonesia sudah lahir berbagai macam kebijakan baik itu
kebijakan yang sifatnya internal pemerintah maupun
kebijakan external yang secara langsung berhubungan
dengan publik atau masyarakat. Dari berbagai macam
kebijakan pemerintah yang ada yang telah dikeluarkan
oleh pemerintah khususnya pada sektor publik, kebijakan
pemerintah dalam pemberian. Bantuan Langsung Tunai
atau yang lebih tren dengan kebijakan BLT adalah salah
satunya. Kebijakan BLT adalah
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui
instruksi Presiden NO.3 Tahun 2008. Kebijakan BLT lahir
sebagai manifestasi dari impact kenaikan bahan bakar
minyak (BBM), yang merupakan pengurangan subsidi
BBM itu sendiri. Dalam perkembangannya sendiri bahwa
BLT merupakan pemberian
dalam bentuk uang tunai kepada masyarakat yang mana
bagi mereka yang mendapatkan adalah khusus bagi
rumah tangga sangat miskin, yang miskin dan hampir
miskin. Besarannya ialah uang tunai Rp.100.000 per
bulan, yang dibagikan setiap pertriwulannya atau per
tigabulannya.

108 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
Proses kebijakan BLT sendiri pada dasarnya sudah
tidak berlanjut hingga saat ini, namun begitu kebijakan ini
kemudian melahirkan pendapat-pendapat yang beragam,
ada yang berpendapat mendukung ada juga yang
menganggap bahwa kebijakan ini dianggap sebagai suatu
kebijakan yang tidak efektif dalam menuntaskan
permasalahan-permasalahan kompleks masyarakat kita
khususnya permasalahan klasik yakni kemiskinan.
Sebagian mereka yang mendukung kebijakan ini
beranggapan bahwa kebijakan ini sangat membantu
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan
pokoknya karena mereka menggunakan uang tersebut
untuk membeli berbagai macam keperluan rumah tangga
mereka.
Secara konseptual, bantuan langsung tunai (BLT)
bersifat sebagai bantuan darurat. Bantuan ini hampir
sama seperti bantuan tanggap darurat yang diberikan
kepada korban bencana alam atau korban bencana sosial,
yaitu bantuan yang diberikan untuk penanggulangan
pertama terhadap kondisi kehidupan masyarakat yang
mengalami kehilangan atau musibah. Selanjutnya akan
dirumuskan dan ditetapkan lagi program-program,
kegiatan dan jenis bantuan yang bertujuan untuk
memulihkan kondisi kehidupan masyarakat tersebut.

Studi Evaluasi Kebijakan | 109


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
Bantuan dalam bentuk uang tunai sebesar Rp. 100.000,-
/bulan (Seratus Ribu Rupiah per bulan) bertujuan untuk
menambahkan sejumlah biaya yang tidak mampu
disediakan oleh masyarakat untuk membeli bahan bakar
minyak. Sebagai contoh : kemampuan ekonomi
masyarakat miskin untuk membeli bahan bakar minyak
(minyak tanah) adalah sebesar Rp. 2.000,-/liter. Dengan
kenaikan harga BBM yang menyebabkan minyak tanah
menjadi Rp. 2.500,-/liter menyebabkan masyarakat
mengalami defisit atau ketidakmampuan ekonomi sebesar
Rp. 500/liter. Oleh karena itu uang tunai dalam tersebut
dimaksudkan untuk menutupi atau memberikan dukungan
sebesar Rp. 500,-/liter untuk pembelian minyak tanah bagi
masyarakat miskin.
Selain sifatnya yang merupakan bantuan darurat,
BLT juga merupakan bantuan antara pada masa transisi,
yaitu bantuan yang bertujuan untuk menjaga kestabilan
kondisi ekonomi dan sosial masyarakat pada saat kondisi
perekonomian negara sedang mengalami perubahan atau
pembenahan. BLT bukan merupakan satu-satunya jenis
bantuan yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah
perekonomian masyarakat dan negara. Penyusunan
rencana program dan pemberian bantuan untuk
memulihkan dan meningkatkan kondisi tersebut

110 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
membutuhkan proses, baik dalam persiapan maupun
dalam pelaksanaannya. Disisi lain, sebagian yang kontra
atau yang kurang mendukung kebijakanini menganggap
bahwa kebijakan ini tidak mendidik masyarakat khususnya
masyarakat miskin kita untuk bagaimana berusaha
sehingga kemudian mereka dapat survive. Mereka
beralasan bahwa dana tersebut ialah barang yang habis
dan juga sangat tidak seimbang dengan kebutuhan
masyarakat miskin setiap bulannya.
Beberapa unsur DPR menilai bahwa BLT Plus
merupakan jenis bantuan konsumtif dan habis pakai.
Bantuan ini dipandang tidak akan memberikan daya ungkit
terhadap kemampuan ekonomi masyarakat miskin dan
bahkan cenderung akan membuat masyarakat menjadi
ketergantungan. DPR juga menilai bahwa pemberian
bantuan perlu diujicobakan terlebih dahulu sebelum
ditetapkan kebijakannya untuk seluruh daerah di
Indonesia. Dari beberapa pendapat ini maka penulis
tertarik untuk mendapatkan lebih dalam mengenai
kebijakan BLT ini, dimana penulis akan mencoba melihat
apakah kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah
ini efektif dalam pelaksanaannya. Olehnya itu penulis
akan mencoba melihatnya dari segi komponen-komponen
kebijakan yakni bagaiamana proses formulasinya,

Studi Evaluasi Kebijakan | 111


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
implementasi hingga tahap evaluasinya, sehingga pada
akhirnya penulis akan mendapatkan suatu kesimpulan
yang cukup jelas untuk kemudian memberikan suatu
rekomendasi apakah kebijakan ini efektif atau tidak
dilaksanakan oleh pemerintah.
Formulsi Kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT)
Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun
2008 tentang Pelaksanaan Program Bantuan Langsung
Tunai (BLT) untuk Rumah Tangga Sasaran (RTS) dalam
rangka kompensasi pengurangan subsidi BBM, Program
BLT-RTS pelaksanaannya harus langsung menyentuh
dan memberi manfaat langsung kepada masyarakat
miskin, mendorong tanggung jawab sosial bersama dan
dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada
perhatian pemerintah yang secara konsisten benar-benar
memperhatikan.
Rumah Tangga Sasaran yang pasti merasakan
beban yang berat dari kenaikan harga BBM. Tujuan dari
Program BLT-RTS dalam rangka kompensasi
pengurangan subsidi BBM adalah: 1) Membantu
masyarakat miskin agar tetap dapat memenuhi kebutuhan
dasarnya; 2) Mencegah penurunan taraf kesejahteraan
masyarakat miskin akibat kesulitan ekonomi; 3)
Meningkatkan tanggung jawab sosial bersama.

112 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
Pada saat pemerintah menaikkan harga dasar
BBM, kenaikan harga dapat mengakibatkan harga
kebutuhan pokok meningkat dan bagi masyarakat miskin
dapat mengakibatkan daya beli mereka semakin menurun,
karena akan mengalami kesulitan untuk beradaptasi
dengan perkembangan harga di pasar. Warga masyarakat
miskin akan terkena dampak sosial semakin menurun
taraf kesejahteraannya atau menjadi semakin miskin.
Untuk itu diperlukan program perlindungan sosial bagi
masyarakat miskin dalam bentuk program kompensasi
(compensatory program) yang sifatnya khusus (crash
program) atau program jaring pengaman sosial (social
safety net), seiring dengan besarnya beban subsidi BBM
semakin berat dan resiko terjadinya defisit yang harus
ditanggung oleh pemerintah. Selain itu, akibat selisih
harga BBM dalam negeri dibanding dengan luar negeri
berakibat memberi peluang peningkatan upaya
penyelundupan BBM ke luar negeri.
Kebijakan baru pengalihan subsidi BBM selain
Bantuan Langsung Tunai untuk Rumah Tangga Sasaran
(BLT-RTS), juga diperuntukan bagi pembebasan biaya
pendidikan pada tingkat tertentu, biaya pengobatan pada
masyarakat miskin, subsidi beras, subsidi minyak goreng,
subsidi gula dan pembangunan prasarana pedesaan.

Studi Evaluasi Kebijakan | 113


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
Kebijakan pengalihan subsidi BBM ini juga disinergikan
dengan kebijakan pemberdayaan masyarakat melalui
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM),
sehingga skema perlindungan sosial bagi masyarakat
miskin tetap mendorong keberdayaan masyarakat sesuai
dengan potensi yang dimiliki.
Dalam buku petunjuk teknis pelaksanaan bantuan
langsung tunai dijelaskan bahwa Bantuan Langsung Tunai
tanpa syarat diberikan kepada Rumah Tangga Sasaran
(unconditional cash transfer) sebesar Rp.100.000,- per
bulan selama satu tahun, dan setiap tahap diberikan
Rp.300.000.- / 3 bln. Sasarannya Rumah Tangga Sasaran
sejumlah 19,1 juta sesuai hasil pendataan yang
dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik dan DIPA
Departemen Sosial yang diterbitkan oleh Departemen
Keuangan. Pada Tahun 2008 Pemerintah melanjutkan
skema program PKPS BBM dari bulan Juni s.d Desember
2008 dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai tanpa syarat
kepada Rumah Tangga Sasaran (unconditional cash
transfer) sebesar Rp.100.000,- per bulan selama 7 bulan,
dengan rincian diberikan Rp.300.000.- / 3 bln (Juni-
Agustus) dan Rp.400.000.- / 4 bln (September-
Desember). Sasarannya Rumah Tangga Sasaran
sejumlah 19,1 juta sesuai hasil pendataan yang

114 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik dan DIPA
Departemen Sosial yang diterbitkan oleh Departemen
Keuangan.
Selanjutnya dalam juknis dijelaskan bahwa secara
umum, tahapan yang dilaksanakan berkaitan dengan
penyaluran dana BLT-RTS adalah:
1. Sosialisasi Program Bantuan Langsung Tunai,
dilaksanakan oleh Departemen Komunikasi dan
Informatika, Departemen Sosial, bersama dengan
Kementerian/Lembaga di Pusat bersama-sama
Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/ Kota,
Aparat Kecamatan dan Tenaga Kesejahteraan Sosial
Masyarakat (Karang Taruna, Kader Taruna Siaga
Bencana (TAGANA), Pekerja Sosial Masyarakat (PSM),
Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat.
2. Penyiapan data Rumah Tangga Sasaran dilaksanakan
oleh Badan Pusat Statistik (BPS Pusat). Daftar nama
dan alamat yang telah tersedia disimpan dalam sistem
database BPS, Departemen Sosial dan PT Pos
Indonesia.
3. Pengiriman data berdasarkan nama dan alamat Rumah
Tangga Sasaran dari BPS Pusat ke PT Pos Indonesia.

Studi Evaluasi Kebijakan | 115


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
4. Pencetakan KKB Bantuan Langsung Tunai Untuk
Rumah Tangga Sasaran (KKB) berdasarkan data
yangditerima oleh PT Pos Indonesia.
5. Penandatanganan KKB oleh Menteri Keuangan
Republik Indonesia.
6. Pengiriman KKB ke Kantor Pos seluruh indonesia
7. Pengecekan kelayakan daftar Rumah Tangga Sasaran
di tingkat Desa/ Kelurahan.
8. Penerima Program Keluarga Harapan juga akan
menerima BLT-RTS, sehingga dimasukkan sebagai
Rumah Tangga Sasaran yang masuk dalam daftar.
9. Pembagian KKB kepada Rumah Tangga Sasaran
olehPetugas Kantor Pos dibantu aparat desa/
kelurahan, Tenaga Kesejahteraan Sosial Masyarakat,
serta aparat keamanan setempat jika diperlukan.
10. Pencairan BLT-RTS oleh Rumah Tangga Sasaran
berdasarkan KKB di Kantor Pos atau di lokasi-lokasi
pembayaran yang telah ditetapkan. Terhadap KKB
Penerima dilakukan pencocokan dengan Daftar
Penerima (Dapem), yang kemudian dikenal sebagai
KKB Duplikat.
11. Pembayaran terhadap penerima KKB dilakukan untuk
periode Juni s.d Agustus sebesar Rp. 300.000,- dan
periode September s.d Desember sebesar Rp.

116 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
400.000,. Penjadwalan pembayaran pada setiap
periode menjadi kewenangan dari PT. Pos Indonesia.
12. Jika kondisi penerima KKB tidak memiliki identitas
sebagai persyaratan kelengkapan verifikasi proses
bayar, maka proses bayar dilakukan dengan verifikasi
bukti diri yang sah (KTP, SIM, Kartu Keluarga, Surat
Keterangan dari Kelurahan, dll).
13. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyaluran
BLTRTS oleh tim terpadu.
14. Pelaporan bulanan oleh PT. Pos Indonesia kepada
Departemen Sosial.
Kurang lebih beberapa deskripsi yang telah
dijelaskan di atas telah memperlihatkan bagaimana
konsep formulasi mengenai kebijakan Bantuan Langsung
Tunai (BLT), lantas bagaimana dengan tahapan
implemntasinya? Apakah penyaluran BLT sudah berjalan
dengan baik? Untuk menjawab itu maka penulis akan
memberikan gambaran secara umum mengenai tahapan
implementasi penyaluran dana BLT.
Implementasi dan Evaluasi Penyaluran Dana Bantuan
Langsung Tunai (BLT).
Tahapan pelaksanaan bantuan langsung tunai
(BLT) yang telah dilaksanakan oleh pemerintah pada
dasarnya secara pelaksanaan dapat dikatakan baik.

Studi Evaluasi Kebijakan | 117


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
Indikatornya seperti yang terlihat dalam hasil evaluasi
Bantuan Langsung Tunai (BLT) 2008 oleh Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
menyebut, sebanyak 35,1% penerima BLT dari sekitar
18,8 juta rumah tangga sasaran (RTS) naik kelas dari
sebelumnya kategori miskin menjadi kategori tidak miskin.
Itu berarti, tujuan Program BLT untuk mempertahankan
daya beli masyarakat miskin sejak Pemerintah menaikkan
harga bahan bakar minyak (BBM) mulai akhir Mei 2008
lalu ada hasil. "Ada dampak positif dari pemberian BLT
pada tingkat kesejahteraan rumah tangga miskin," kata
Deputi Bidang Evaluasi Kinerja Pembangunan Bappenas .
Yang dimaksud dengan tingkat kesejahteraan di sini
adalah tingkat berobat ke pelayanan medis, cakupan
balita yang diimunisasi BCG dan Polio, serta penggunaan
air bersih. Lalu, konsumsi RTS penerima BLT meningkat
6% lebih tinggi ketimbang yang tidak menerima BLT.
Pemberian BLT juga tidak menyebabkan orang menjadi
malas bekerja.
Penerima BLT tahap pertama periode Juni-Agustus
2008 mencapai 18,83 juta rumah tangga atau 99,02% dari
seluruh RTS. Total duit yang disalurkan sebesar Rp 5,69
triliun. Sedang tahap kedua (September-Desember 2008)

118 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
18,78 juta rumah tangga atau 98,74% dari total RTS.
Uang yang dibagikan Rp 7,51 triliun.
Namun begitu beberapa pakar dan pengamat
kemudian berpendapat lain, tidak hanya itu sebagian
masyarakat juga memberikan komentarnya mengenai
kebijakan pemerintah ini secara umum mereka yang
mengkritik kebijakan pemerintah ini beranggapan bahwa
pemberian bantuan langsung tunai berupa pemberian
uang tidak relevan dengan pemberantasan kemiskinan di
negara ini. Pemberian bantuan langsung tunai sering
mendapat kritikan tajam dari masyarakat hal itu
dikarenakan tidak semua masyarakat mendapatkan
bantuan langsung tunai. Kriteria masyarakat yang
mendapat bantuan langsung tunai yaitu berdasarkan data
dalam badan pusat statistik. pendataan tersebut memang
dilakukan untuk mendapatkan data rumah tangga miskin,
yang nantinya akan diberikan BLT, berbicara mengenai
data, tidak akan pernah lepas dari sekian persen error,
yang bagi orang awam adalah kesalahan yg tidak dapat
ditolerir, BPS pun dijadikan kambing hitam, jajaran BPS
berdasarkan metodologi dan kreteria yang dipegang tentu
tidak dapat dipersalahkan begitu saja, banyak aspek.
Tahun 2008 rencana pemerintah untuk menaikan harga
BBM sudah pada tahap final, BLT pun tetap menjadi

Studi Evaluasi Kebijakan | 119


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
pilihan pemerintah untuk memberikan subsidi BBM
kepada rumah tangga miskin, Data BPS (yang ditahun
2005 dihujat habis) tetap menjadi satu-satunya pilihan,
celakanya kartu BLT yang dicetak berdasarkan data 2005,
hal ini terjadi karena pemerintah tidak mempunyai
persiapan sebelumnya bahwa akan harus menaikan harga
BBM di tahun 2008, sehingga belum sempat menurunkan
dana untuk BPS melakukan pendataan. Sekali lagi BPS
menjadi kambing hitam, data 2005 dicari kelemahannya
kemudian di beritakan di media masa.
Pada praktiknya, kedua BLT tidak efektif
menjangkau rakyat miskin dan menimbulkan berbagai
masalah di lapangan. Apa saja ketidakefektifan
penyaluran BLT? Pertama, BLT tidak memiliki efektifitas
dari segi penyaluran di lapangan. Kita sering menjumpai
kasus pemberian bantuan yang tidak tepat sasaran.
Misalnya, rumah miskin justru tidak mendapatkan bantuan
namun rumah tangga yang lebih mampu mendapatkan
bantuan. Barangkali pemerintah dapat menanggap bahwa
ini bersifat kasuistik. Namun pada praktiknya, kesalahan
penyaluran bantuan berawal dari data yang tidak jelas dan
menimbulkan gesekan di masyarakat. Hingga sekarang,
tidak pernah dilakukan pendataan dan pencacahan ulang
tentang data rumah tangga miskin tersebut. Kedua dalam

120 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
masalah sosial, BLT menyebabkan moral hazard, dimana
BLT dapat menurunkan mental masyarakat dan tidak
mendidik secara jangka panjang. Terdapat sebagian
masyarakat yang pada akhirnya mengaku miskin karena
ingin mendapatkan bantuan. Mereka bangga dengan ’cap
miskin’ demi memperoleh rupiah tertentu. Mental
masyarakat akan menjadi buruk dengan program BLT.
Ketiga, penyaluran BLT bermasalah karena tidak
didukung dengan kelembagaan yang baik. Penerapan
BLT secara terburu-buru dan tidak disertai dengan
kesiapan aparat pemerintah tentu saja akan berakibat
tidak efektifnya penyaluran BLT.
Keempat, penyaluran BLT bukan merupakan suatu
jalan keluar dalam menuntaskan masalah kemiskinan,
dikarenakan proses pemberian uang bukan merupakan
cara mendidik, pada saat dana itu telah habis digunakan
maka masyarkat akan kembali mengalami kesusahan
dikarenakan program ini tidak berlangsung secara
kontinyu.
Kelima, isu yang berkembang di masyarakat bahwa
masalah klasik mengenai penyalahgunaan dan bantuan
langsung tunai dan potongan-potongan yang dilakukan
petugas-petugas atau oknum-oknum yang memanfaatkan

Studi Evaluasi Kebijakan | 121


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
situasi, yang semakin menjadikan masalah dalam
penyaluran BLT.
Kalau melihat pada dampak yang akan ditimbulkan
oleh kebijakan BLT ini, kebijakan BLT tidak akan
memberikan dampak yang signifikan terhadap kondisi
masyarakat miskin di Indonesia. Ini disebabkan nominal
BLT yang diberikan tidak seimbang dengan kenaikan
biaya hidup yang ditanggung oleh masyarakat akibat
kenaikan harga BBM. Coba kita bayangkan, kenaikan
BBM tersebut akan mendorong kenaikan biaya untuk
pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat miskin,
mendorong kenaikan biaya input produksi masyarakat
miskin yang kebanyakan berada pada sektor pertanian
(baik petani maupun nelayan) yang berada di pedesaan.
Apabila kita membandingkan total kenaikan biaya hidup
(biaya pemenuhan kebutuhan dasar dan input produksi)
masyarakat miskin dengan nominal dana BLT yang
diberikan, kebijakan ini tidak akan berdampak siginifikan.
Apalagi, pemerintah tidak bisa menjamin efesiensi dan
efektifitas penggunaan dana BLT yang diberikan kepada
masyarakat.
Berdasarkan hasil analisis, terdapat perbedaan
antara prioritas pengeluaran masyarakat miskin untuk
kebutuhan dan keinginan. Dampak BLT terhadap

122 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
kesejahteraan ini terlihat pada prioritas masyarakat miskin
dimana prioritas penggunaan uang BLT paling utama
adalah SEMBAKO. Hal ini menunjukkan bahwa BLT
belum efisien dalam memenuhi kebutuhan masyarakat
miskin karena prioritas utama dari BLT tersebut masih
untuk kebutuhan dasar. Namun, BLT tersebut memiliki
manfaat yang sangat besar bagi kelangsungan hidup
masyarakat miskin terutama dalam pemenuhan
kebutuhannya. Selain itu, BLT tidak berpengaruh terhadap
kinerja masyarakat miskin karena masyarakat miskin tidak
bisa hidup jika hanya menggantungkan penerimaannya
pada BLT, tetapi untuk beberapa kasus masyarakat
miskin tergantung dengan BLT tersebut. Selain itu,
dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan BLT tersebut
tidak mampu memberikan dampak positif pada
peningkatan produktifitas masyarakat miskin, melainkan
kecenderungannya memberikan dampak negatif pada
penurunan produktifitas. Kebijakan BLT hanya merupakan
kebijakan yang hanya meberikan hasil bukan bagaimana
memproduksi hasil itu kepada masyarakat miskin.
Bantuan langsung tunai yang diberikan pemerintah
kepada masyarakat miskin untuk mensiasati kenaikan
BBM malah menimbulkan beberapa dampak. Antara lain
yaitu menyebabkan pertikaian antar individu, hal itu terjadi

Studi Evaluasi Kebijakan | 123


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
karena tidak semua masyarakat mendapatkan bantuan
langsung tunai, karena yang menentukan adalah data dari
badan pusat statistik. Masalah yang ditimbulkan adalah
data dari BPS banyak yang tidak valid, misalnya ada
beberapa masyarakat yang tergolong mampu malah
mendapatkan bantuan langsung tunai dan sebaliknya
banyak masyarakat yang tidak mampu malah mendapat
bantuan langsung tunai. Masalah ini timbul karena BPS
hanya mengambil data dari tahun 2005, tidak melakukan
pendataan ulang yang dikarenakan menghemat biaya
pengeluaran. Sehingga banyak terjadi kesalahan-
kesalahan dalam pendataanya.misalnya pemberian BLT
pada periode 2008 menggunakan data 2005 (yang
diketahui memiliki beberapa kelemahan) untuk BLT 2008
adalah menoreh luka baru di atas luka lama, hal ini
hendaknya menjadi sebuah pelajaran bagi Indonesia, BPS
dan Pemerintah khususnya. Perlunya sebuah tatanan
yang baik dalam upaya menyediakan data secara terus
menerus dan update, penyediaan data yang update dan
sistematis, tentu memerlukan sebuah sistem yang
ditopang oleh teknologi dan SDM yang memadai, selain
sumber daya manusia juga sarana dan prasarana yang
memadai dalam mengumpulkan, mengolah, menganalisa
dan menyajikan data, sudah saatnya pemerintah

124 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
memerhatikan pembangunan SDM dan IT BPS, jika tanpa
ini semua data lama akan menjadi masalah baru terus-
menerus.
Dampak lain yaitu bantuan yang diberikan
pemerintah kepada masyarakat dengan tujuan
memberikan subsidi kepada masyarakat atas kenaikan
BBM malah digunakan masyarakat untuk kebutuhan yang
mendasar,hal ini menjadi bukti bahwa pemberian subsidi
BBM kepada masyarakat miskin lewat bantuan langsung
tunai masih belum evektif. Berkaca pada kebijakan BLT di
masa lalu (kebijakan BLT tahun 2008) banyak kelemahan-
kelemahan dan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh
kebijakan BLT ini, antara lain :
1) Kebijakan BLT bukan kebijakan yang efektif dan
efisien untuk menyelesaiakan kemiskinan di
Indonesia, ini dikarenakan kebijakan ini tidak
mampu meningkatkan derajat dan tingkat
kesejahteraan mayarakat miskin.
2) Efektifitas dan efisiensi penggunaan dana BLT
yang tidak dapat diukur dan diawasi karena
lemahnya fungsi pengawasan pemerintahan
terhadap kebijakan tersebut.
3) Validitas data masyarakat miskin yang diragukan
sehingga akan berdampak pada ketepatan

Studi Evaluasi Kebijakan | 125


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
pemberian dana BLT kepada masyarakat yang
berhak.
4) Kebijakan BLT memiliki kecenderungan menjadi
pemicu konflik sosial di masyarakat.
5) Peran aktif masyarakat yang kurang/minim,
sehingga optimalisasi kinerja program yang sulit
direalisasikan.
6) Dari sisi keuangan negara, kebijakan BLT
merupakan kebijakan yang bersifat menghambur-
hamburkan uang negara karena kebijakan tersebut
tidak mampu menyelesaiakan masalah kemiskinan
secara berkelanjutan dan tidak mampu
menstimulus produktifitas masyarakat miskin.
Beberapa Alternatif dalam Reformasi Kebijakan Bantuan
Langsung Tunai (BLT)
Sebelum penulis mencoba untuk menjelaskan
beberapa alternatif dalam pemecahan masalah terhadap
kebijakan pemerintah dalam pemberian dana Bantuan
Langsung Tunai maka penulis mencoba untuk
mengidentifikasi beberapa hal yang kemudian berkaitan
dengan masalah BLT ini. (Lihat Tabel Pemecahan
Masalah).
Dari beberapa hal-hal yang telah dijelaskan
sebelumnya mengenai implementasi hingga evaluasi

126 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
maka dapat disimpulkan bahwa waktu yang terbatas pada
saat tahap perencanaan menyebabkan program
pelaksanaan BLT terkesan “dipaksakan”. Keterbatasan
waktu tersebut turut memengaruhi keberhasilan
pelaksanaan masing-masing tahapan dan keseluruhan
program. Dalam penargetan ditemui adanya kesalahan
sasaran meskipun dalam tingkat yang relatif rendah. Hal
ini terindikasi dari adanya rumah tangga tidak miskin yang
menjadi penerima BLT dan adanya rumah tangga miskin
yang belum menjadi penerima.
Tabel Pemecahan Masalah
NO Tahapan Masalah
1. Situasi Ketidakefektifan Penyaluran Dana BLT
Masalah
2. Meta - Data penerima yang tidak valid
Masalah - Ketergantungan masyarakat yang tinggi
terhadap pemerintah
- Kurang mendidik masyarakat dalam
menuntasakan masalah kemiskinan
- Tingkat penyalahgunaan yang terjadi
dalam penyaluran dana BLT
- Lemahnya pengawasan
3. Masalah - Data penerima tidak valid
subtantif - Kurang mendidik masyarakat miskin
- Lemahnya pengawasan
4. Masalah - Kurang mendidik masyarakat dalam
Formal menuntaskan masalah kemiskinan

Studi Evaluasi Kebijakan | 127


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
Adanya kesalahan sasaran yang diperparah
dengan sosialisasi yang tidak memadai, khususnya
tentang kriteria target dan tujuan program, telah memicu
munculnya ketidakpuasan masyarakat. Ketidakpuasan
masyarakat diungkapkan dalam berbagai bentuk, mulai
dari keluhan, protes atau demonstrasi, melakukan
ancaman, hingga pengrusakan. Pengaduan yang
berbentuk aksi protes dan ancaman biasanya ditangani
oleh kepala desa/lurah dibantu oleh aparat kepolisian.
Di beberapa daerah aparat pemda kabupaten/kota
dan kecamatan serta BPS juga turun tangan. Kemudian,
BLT yang sudah pernah dilakukan bisa dianggap gagal,
jadi seharusnya pemerintah bisa berkaca pada
kegagalannya terdahulu, seharusnya mengapa harus
dilakukan kembali dengan adanya BLT yang kemungkinan
bisa juga gagal. Bisa kita simpulkan bahwa walaupun BLT
merupakan sebuah program baik yang dibuat oleh
pemerintah dengan tujuan ingin mensejahterakan
masyarakatnya terkait menghadapi dampak naiknya
minyak dunia, bisa dikatakan merupakan program gagal
yang dilakukan oleh pemerintah, karena terbukti terdapat
banyak sekali kelemahannya dalam penerapannya dan
dilapangan sendiri kita mengetahui bahwa banyak sekali
masyarakat yang tidak puas terhadap BLT tersebut.

128 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
Apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah
saat ini? Pemerintah semestinya memperhatikan hasil
evaluasi BLT sebelum berencana menerapkan BLT tahap
selanjutnya. Jangan sampai penyaluran BLT periode
berikutnya hanya untuk ’tambal sulam’ sebagai
pembenaran kenaikan harga BBM. Jika memang
pemerintah ingin meningkatkan daya beli masyarakat
miskin, masih terdapat langkah yang dapat dilakukan,
terutama dengan memperhatikan bidang pendidikan dan
kesehatan.
Dalam jangka panjang, bidang pendidikan dan
kesehatan akan meningkatkan kualitas sumber daya
manusia. Atau jika pemerintah ingin tetap memberikan
bantuan langsung
kepada rakyat miskin akibat kenaikan biaya BBM,
pemerintah dapat memberikan Bantuan Langsung Tunai
Bersyarat (BLTB). Skema ini dikenal dengan nama cash
conditional transfer (CCT), dimana pemerintah
memberikan bantuan kepada rumah tangga sangat miskin
(RTSM) dengan sejumlah kewajiban tertentu (misalnya
kewajiban untuk menyekolahkan anaknya, memeriksakan
kesehatan dan lain-lain). Sedangkan skema
Bantuan Tunai Langsung dikenal dengan nama
uncondtiional cash transfer (UCT), dimana pemerintah

Studi Evaluasi Kebijakan | 129


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
hanya memberikan bantuan tunai tanpa syarat apapun.
CCT sudah dilakukan di beberapa daerah yang menjadi
pilot project, antara lain beberapa kota/kabupaten di
provinsi Gorontalo, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur.
Skema CCT lebih masuk akal karena dapat
membantu RTSM secara jangka pendek. Skema CCT
yang dibuat dengan memberikan syarat tertentu kepada
RTSM akan mampu mengkontrol RTSM untuk
menggunakan dana tersebut secara bermanfaat. Bantuan
CCT dapat berupa uang tunai dan bantuan bahan
makanan pokok. Syarat pertama untuk melaksanakan
CCT adalah pendataan yang tepat dan kelembagaan yang
bagus. Kesalahan pendataan adalah awal dari masalah.
Kelembagaan pemerintah harus melibatkan masyarakat
untuk mengurangi gesekan di tingkat grass root. Inilah
sebuah solusi yang lebih optimal daripada sekedar
mengulang pelaksanaan BLT yang telah lalu yang terbukti
banyak menimbulkan permasalahan.
Hal lain yang mungkin jadi alternatif ialah, dengan
adanya dana bantuan langsung tunai semestinya lebih
dimanfaatkan ke hal-hal yang lebih reel yang dapat
dirasakan manfaatnya oleh masyarakat yang tergolong
masyarakat sangat miskin, miskin dan hampir miskin.

130 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
Secara umum bahwa miskin dikategorikan bagi
mereka yang tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan
hidupnya sehari-hari dengan indikatornya ialah mereka
tidak memiliki tingkat pendidikan yang mumpuni untuk
kemudian berusaha memperoleh pekerjaan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan deskripsi seperti
itu semestinya pemerintah lebih teliti untuk memilih
alternatif pemecahan masalah yang mana pada dasarnya
hal ini sudah menjadi agenda setting dalam melahirkan
suatu kebijakan yang baik. Misalnya saja pemerintah
seharusnya lebih melihat bahwa sebaiknya dana itu lebih
baik dikonversikan untuk membangun atau membuka
lapangan kerja bagi mereka masyarakat miskin. Dalam
artian lapangan kerja yang sesuai dengan kemampuan
mereka.
Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan manfaat
dari manifestasi jika kebijakan dana BLT dialihkan untuk
membuka lapangan pekerjaan, karena selain untuk
mengurangi tingkat pengangguran yang semakin
kompleks di Negara kita juga akan membantu pemerintah
dalam perolehan keuntungan, yang akan berdampak pada
tingkat perokonomian negara. Olehnya itu pemerintah
dituntut untuk kemudian lebih resposiv dalam mengkaji
ulang kebijakan BLT jika program ini akan dilanjutkan,

Studi Evaluasi Kebijakan | 131


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
dalam artian pemerintah harus lebih jauh melihat dampak
ke depannya dan asas manfaat pemberian dana kepada
masyrakat dalam hal pengurangan subsidi BBM sehingga
program ini lebih efektif dikarenakan tuntutan unutuk
kesejahtraan masyarakat sudah sangat lama menjadi
tujuan yang hingga saat ini masih sangat sulit terwujud di
Negara kita.

132 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
BAB VII
EVALUASI KEBIJAKAN PROGRAM PEMBERIAN
DANA BANTUAN OPERASIONAL SEKOLAH
(BOS)

Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan Undang


undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang merupakan dasar hukum
penyelenggaraan sistem pendidikan di Indonesia,di dalam
tujuan pendidikan nasional menurut UU No. 20 Tahun
2003 tentang sistem pendidikan nasional menyatakan:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa. Bertujuan untuk berkembangnya
potensi anak didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat berilmu cakap, kreatif, mandiri dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”
Dalam perkembangan dunia pendidikan di
Indonesia , berbagai program pendidikan telah
diluncurkan oleh pemerintah sendiri seperti program wajib
belajar 9 tahun, kebijakan pendidikan gratis, pemberian
dana bantuan operasional sekolah (BOS) dan masih
banyak program-program dalam upaya peningkatan

Studi Evaluasi Kebijakan | 133


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
kualitas pendidikan di Indonesia. Salah satu dari berbagai
program yang telah diluncurkan oleh pemerintah tersebut
yang masih berlangsung hingga saat ini ialah pemberian
dana bantuan operasional sekolah atau pemberian dana
BOS. Definisi dari BOS adalah program pemerintah yang
pada dasarnya adalah untuk penyediaan pendanaan
biaya operasi nonpersonalia bagi satuan pendidikan dasar
sebagai pelaksanaan program wajib belajar. Dalam
penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008
Tentang Pendanaan Pendidikan, bahwa biaya non
personalia adalah biaya untuk bahan atau peralatan
pendidikan habis pakai, dan biaya tak langsung berupa
daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan
prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak,
asuransi, dan lain-lain. Namun demikian, ada beberapa
jenis pembiayaan investasi dan personalia yang
diperbolehkan dibiayai dengan dana BOS. Dana Bos
sendiri pada dasarnya lahir sebagai manifestasi dari
pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM) oleh
pemerintah yang dialihkan ke bidang pendidikan,
kesehatan, infrastruktur pedesaan dan bantuan langsung
tunai (BLT). Lebih lanjut bahwa dana BOS sebagai
program yang disinergikan untuk penuntasan wajib belajar
9 tahun. Dalam buku petunjuk teknis penggunaan dana

134 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
bantuan operasional sekolah (BOS) dan laporan
keuangan bantuan operasional sekolah dijelaskan bahwa
secara umum program BOS bertujuan untuk meringankan
beban masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan
dalam rangka wajib belajar 9 tahun yang bermutu.
Secara khusus, program BOS bertujuan untuk
membebaskan pungutan bagi seluruh siswa SD/SDLB
negeri dan SMP/SMPLB/SMPT (Terbuka) negeri terhadap
biaya operasi sekolah, kecuali pada rintisan sekolah
bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf
internasional (SBI). Sumbangan/pungutan bagi sekolah
RSBI dan SBI harus tetap mempertimbangkan fungsi
pendidikan sebagai kegiatan nirlaba, sehingga
sumbangan/pungutan tidak boleh berlebih;, selanjutnya
Membebaskan pungutan seluruh siswa miskin dari seluruh
pungutan dalam bentuk apapun, baik di sekolah negeri
maupun swasta; dan meringankan beban biaya operasi
sekolah bagi siswa di sekolah swasta.
Pemberian BOS kemudian menjadi salah satu
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam bentuk
pemberian bantuan kepada siswa siswi seluruh indonesia
khususnya bagi mereka yang tidak mampu untuk
melanjutkan atau mengenyam bangku pendidikan minimal
hingga tingkat sekolah menengah pertama (SMP).

Studi Evaluasi Kebijakan | 135


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
Permasalahan yang terjadi kemudian ialah
pemanfaatan dana BOS di lapangan sejak dimulainya
pada tahun 2006 hingga memasuki tahun 2012 kurang
bahkan tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh
pemerintah, seperti yang dimuat di harian KOMPAS pada
tanggal 5 Maret 2012, dijelaskan bahwa memasuki tahun
ketujuh, penyaluran dan penggunaan dana BOS masih
mengalami berbagai permasalahan baik dalam
penyaluran maupun penggunaannya. Masalah tersebut
terkait dengan efisiensi dan efektifitas pengelolaan yang
kemudian menghambat tercapainya tujuan dana BOS itu
sendiri.
Hal itu terlihat dari data yang dikeluarkan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud)
per 15 Desember 2011. Dari 497 kabupaten/kota di
Indonesia, untuk triwulan II (April-Juni) baru 493 (99,2
persen) kabupaten/kota yang menyalurkan dana BOS.
Sementara untuk triwulan III (Juli-September) baru 439
(88,3 persen) kabupaten/kota, dan untuk triwulan IV
(Oktober-Desember) hanya 108 (21,7 persen)
kabupaten/kota yang tuntas menyalurkan BOS
Kelemahan lain pelaksanaan program BOS adalah secara
konseptual BOS diberikan kepada siswa/siswi tidak
mampu atau masyarakat miskin, tetapi kenyataan di

136 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
lapangan belum sepenuhnya siswa/siswi miskin tidak
mampu mendapatkan layanan pendidikan secara
memadai. Hal ini sangat bertentangan dengan konsep
program bantuan BOS sehingga perlu diluruskan.
Permasalahan lain adalah penggunaan dana BOS oleh
sekolah yang selama ini kurang melakukan musyawarah
dengan orang tua/wali termasuk dalam hal ini penyusunan
RAPBS, sebaliknya orang tua murid /wali diundang oleh
sekolah untuk berpartisipasi memberikan bantuan
kekuarangan anggaran sekolah yang sudah di tetapkan
oleh sekolah.
Kenyataan lain yang menjadi cerminan dalam
kurang maksimalnya pelaksanaan BOS di kabupaten
Mamuju Utara dapat dilihat dari indeks pembangunan
manusia bidang pendidikan di Kabupaten Mamuju Utara.
Indeks pendidikan merupakan komponen IPM yang
penting. Meskipun secara
umum pembangunan pendidikan di Kabupaten Mamuju
Utara relatif membaik, di mana ditunjukkan dengan
semakin meningkatnya persentase penduduk yang melek
huruf. Jumlah penduduk yang mampu membaca dan
menulis di Kabupaten Mamuju Utara tergolong tinggi. Hal
ini terlihat pada periode tahun 2006‐2011, angka melek
huruf Kabupaten Mamuju Utara cenderung mengalami

Studi Evaluasi Kebijakan | 137


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
kenaikan walaupun bergerak lambat. Pada tahun 2011,
angka melek huruf penduduk Kabupaten Mamuju Utara
telah mencapai 95,59 persen. Dengan demikian masih
terdapat 4,41 persen penduduk usia 10 tahun ke atas
yang buta huruf. Jika dibandingkan dengan kabupaten lain
di Provinsi Sulawesi Barat. Namun, untuk indikator angka
partisipasi sekolah (APS) tidak mengalami perubahan
yang signifikan. Hal ini menjadi penting karena APS
sendiri menjadi indikator penting untuk menilai bagaimana
tingkat partispasi anak-anak di Kabupaten Mamuju Utara
untuk menempuh pendidikan atau bersekolah, yang jika
dikaitkan dengan adanya progaram dana BOS yang
bertujuan untuk menggratiskan biaya operasional sekolah
terutama bagi masyarakat miskin untuk siswa/siswi tingkat
SD,MI, serta tingkat SLTP dan MTS baik negeri maupun
swasta, tentu akan membantu masyarakat untuk
kemudian mendorong anak-anaknya untuk bersekolah.
Tingkat angka partispasi sekolah APS untuk
Kabupaten Mamuju Utara untuk tiga tahun terakhir dari
2009-2011, dapat dilihat dari tabel yang tersaji berikut ini :

138 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
Angka Partisipasi Sekolah di Kabupaten
Mamuju Utara Tahun 2009-2011
Angka Partisipasi Sekolah (APS) 2009 2010 2011
99,04 97,04 89,38
Sekolah Dasar (SD) usia (7-12)
% % %
Sekolah Menengah Pertama (SMP) 87,14 82,08 59,78
usia (13-15) % % %
(Sumber : IPM Matra,2009-2011)

Dari data tersebut menunjukkan bahwa data angka


partisipasi sekolah (APS) selama 3 tahun terakhir hingga
tahun 2011 menunjukkan bahwa persentasenya
mengalami penurunan, dan hal itu juga menunjukkan
bahwa walaupun pelaksanaan dana pemberian BOS
sudah dilaksanakan di Kabupaten mamuju Utara dengan
harapan akan meningkatkan partisipasi peserta didik,
namun pada kenyataannya justru menunjukkan bahwa
tingkat APS yang menurun, khususnya untuk sasaran dari
dana BOS itu sendiri yakni tingkatan pendidikan dasar dan
Menengah.
Selanjutnya indikator lain yang juga menjadi tolak
ukur indeks pendidikan di Kabupaten Mamuju Utara
adalah rata-rata lama sekolah, di mana hingga tahun 2011
rata-rata penduduk

Studi Evaluasi Kebijakan | 139


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
Mamuju utara hanya dapat menamatkan pendidikan
hingga kelas 2 SLTP yang berarti program pemerintah
dalam pemberian dana BOS yang salah satu tujuannya
untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun belum dapat
terealisasi dengan baik.
Jika kembali melihat dari tujuan dari program dana
BOS itu sendiri, permasalahan-permasalahan yang ada
menunjukkan bahwa terjadi disorientasi dari tujuan BOS,
padahal dari data yang diperoleh dari Dinas Pendidikan
Kabupaten Mamuju Utara dana BOS yang diperoleh untuk
Kabupaten Mamuju Utara setiap tahunnya mendapat
tambahan.
Data untuk periode 2010-2011 dalam penyaluran
dana BOS seperti yang ada pada tabel di bawah ini:
Data Penyaluran Dana BOS periode 2010-2011
Tingkat Jumlah Jumlah
Jumlah Dana BOS
Pendidikan Sekolah Siswa/siswi

SD 123 20.872 Rp.8.286.184.000

SMP 27 5.437 Rp.3.099.090.000

Total anggaran Rp. 11.385.274.000

Sumber :
Dinas Pendidikan,Pemuda dan Olahraga Mamuju Utara
Adapun untuk periode 2011-2012 seperti yang ada
pada tabel di bawah ini :

140 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
Data Penyaluran Dana BOS Periode 2011-2012
Tingkat Jumlah Jumlah
Jumlah Dana BOS
Pendidikan Sekolah Siswa/siswi

SD 131 21.953 Rp.12.732.740.000


SMP 31 56.497 Rp. 4.612.870.000
Total anggaran Rp. 17.345.610.000

Sumber :
Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Mamuju Utara

Dari kedua tabel menunjukkan bahwa jumlah


anggaran dana BOS yang diberikan untuk wilayah
Kabupaten Mamuju Utara cukup besar dan setiap
tahunnya mengalami peningkatan sesuai dengan
penambahan Sekolah dan jumlah siswa/siswi yang ada.
Apa yang telah dijelaskan sebelumnya
menggambarkan bahwa kebijakan program dana BOS
pada prakteknya masih jauh dari harapan kita pada
khususnya dan pemerintah sendiri pada umumnya. Dalam
hal ini dilihat dari sudut pandang ilmu kebijakan publik
bahwa ada ketidaksesuaian antara tujuan atau poin-poin
program dengan hasil yang dicapai di lapangan. Olehnya
itu, sangatlah perlu diadakan penelitian mengenai
Evaluasi kebijakan tentang program pemberian dana BOS
tersebut untuk melihat sejauh mana program ini berjalan
dengan baik atau tidak, dan apakah telah mencapai

Studi Evaluasi Kebijakan | 141


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
tujuannya, serta apakah kebijakan tersebut memberi
dampak yang baik bagi masyarakat. Seperti yang
dijelaskan oleh Lester dan Stewart (Budi Winarno 2012),
bahwa evaluasi kebijakan dapat dibedakan dalam dua
tugas berbeda, tugas pertama adalah untuk menentukan
konsekwensi-konsekwensi apa yang ditimbulkan oleh
suatu kebijakan dengan cara menggambarkan
dampaknya. Sedangkan tugas kedua ialah untuk menilai
keberhasilan atau kegagalan dari suatu kebijakan
berdasarkan standard atau kriteria yang telah ditetapkan
sebelumnya.
. Wirawan (2012:7) menjelaskan Evaluasi sebagai
riset untuk mengumpulkan, menganalisis, dan menyajikan
informasi yang bermanfaat mengenai objek evaluasi,
menilainya dengan membandingkannya dengan indikator
dan hasilnya dipergunakan untuk mengambil keputusan
mengenai objek evaluasi. Dalam evaluasi juga dikenal
tentang evaluasi program, Ralp Tyler,1950 (dalam
Farida,2008) mendefinisikan bahwa evaluasi program
adalah proses untuk mengetahui apakah tujuan program
sudah dapat terealisasi. Sedangkan Cronbach dan
Stufflebeam dalam Karding (2008) menjelaskan evaluasi
program adalah upaya menyediakan informasi untuk
disampaikan kepada pengambil keputusan. Beni Setiawan

142 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
dalam Karding,(2008) menjelaskan bahwa tujuan evaluasi
program adalah agar dapat diketahui dengan pasti apakah
pencapaian hasil, kemajuan dan kendala yang dijumpai
dalam pelaksanaan program dapat dinilai dan dipelajari
untuk perbaikan pelaksanaan program dimasa yang akan
datang.
Dunn (2003:608) menjelaskan bahwa istilah
evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran(appraisal),
pemberian angka (rating) dan penilaian (assesment), kata-
kata yang menyatakan uasaha untuk menganalisis hasil
kebijakan dalam arti satuan nilainya. Lebih lanjut Dunn
menjelaskan bahwa evaluasi berkenan dengan produksi
informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan.
Lebih lanjut Dunn menjelaskan menjelaskan mengenai
indikator-indokator dalam melakukan evaluasi terhadap
suatu kebijakan yakni :
- Efektifitas ; apakah hasil yang diinginkan telah dicapai?
- Efisiensi; seberapa banyak usaha diperlukan untuk
mencapai hasil yang diinginkan?
- Kecukupan; seberapa jauh pencapaian hasil yang
diinginkan memecahkan masalah?
- Perataan; apakah biaya manfaat didistribusikan
dengan merata kepada kelompok-kelompok yang
berbeda?

Studi Evaluasi Kebijakan | 143


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
- Responsivitas; apakah hasil kebijakan memuaskan
kebutuhan, preferensi, atau nilai kelompok-kelompok
tertentu?
- Ketepatan; apakah hasil (tujuan) yang diinginkan
benar-benar berguna atau bernilai
Dengan memahami kondisi yang terjadi di
lapangan mengenai pelaksanaan dana BOS dengan
tujuan dan pemanfaatan dari dana BOS itu sendiri dan
melihatnya dalam konsep teori kebijakan tentunya
terdapat permasalahan-permasalahan yang perlu untuk
dikaji dalam suatu penelitian akademik, khusususnya
untuk melihat evaluasi dari program pemberian dana BOS
di Kabupaten Mamuju Utara. Poin penting yang menjadi
kesimpulan dalam penelitian yang akan dilakukan adalah
bahwa permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan
dana BOS di Kabupaten Mamuju utara selama ini terkait
program yang dilaksanakan yang mengalami kendala
hampir disetiap periode pelaksanaannya, hal ini kemudian
menandakan bahwa pemerintah kabupaten Mamuju utara
selama ini kurang mengevaluasi program pemberian dana
BOS sehingga terjadi disorientasi dalam pelaksanaan
dana BOS sehingga dapat dikatakan tujuan dari program
ini belum terealisasi dengan baik.

144 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
A. Pelaksanaan Evaluasi Program Pemberian Dana
Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
Program BOS dilatarbelakangi adanya kebijakan
Pemerintah mengurangi subsidi bahan bakar minyak dan
telah merelokasikan sebagian besar anggaran yang
dirancang untuk mengurangi beban masyarakat miskin
akibat dampak dari kenaikan bahan bakar minyak. Ada 4
(empat) sektor alokasi anggaran subsidi bahan baker
minyak antara lain untuk:
a. Bidang pendidikan
b. Bidang kesehatan
c. Bantuan infrastruktur pedesaan
d. Subsidi Langsung Tunai ( SLT)
Khusus bidang pendidikan program kompensasi
Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM)
untuk SD dan SMP yang semula program Bantuan
Khusus Murid (BKM) yang langsung diberikan kepada
siswa/murid miskin yang telah diseleksi oleh sekolah
sesuai alokasi anggaran yang diterima, program tersebut
telah diubah menjadi Program Bantuan Opersional
Sekolah (BOS) yang diberikan kepada sekolah untuk
dikelola sesuai dengan ketentuan. Besarnya dana untuk
tiap tiap sekolah ditetatapkan berdasarkan jumlah murid.
Untuk menyamakan persepsi dan kesamaan pemahaman

Studi Evaluasi Kebijakan | 145


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
BOS secara singkat kita uraikan terlebih dahulu mengenai
definisi Biaya Pendidikan dan terminologi program BOS.
Biaya Satuan Pendidikan (BSP) adalah besarnya
biaya yang diperlukan rata-rata tiap siswa tiap tahun,
sehingga mampu menunjang proses belajar mengajar
sesuai dengan standar pelayanan yang telah ditetapkan.
Dari cara penggunaannya, BSP dibedakan menjadi BSP
Investasi dan BSP Operasional. BSP Investasi adalah
biaya yang dikeluarkan setiap siswa dalam satu tahun
untuk pembiayaan sumberdaya yang tidak habis pakai
dalam waktu lebih dari satu tahun, seperti pengadaan
tanah, bangunan, buku, alat peraga, media, perabot dan
alat kantor. Sedangkan BSP Operasional adalah biaya
yang dikeluarkan setiap siswa dalam satu tahun untuk
pembiayaan sumber daya pendidikan yang habis pakai
dalam satu tahun atau kurang. BSP Operasional
mencakup biaya personil dan biaya non personil.
Biaya personil meliputi biaya untuk kesejahteraan
(honor Kelebihan Jam Mengajar (KJM) , Guru tidak tetap
(GTT), Pegawai tidak tetap (PTT), uang lembur) dan
pengembangan profesi guru (Pendidikan dan Latihan
Guru, Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP),
Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS), Kelompok
Kerja Kepala Sekolah (KKKS), Kelompok Kerja Guru

146 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
(KKG), dan lain-lain. Biaya non personil adalah biaya
untuk penunjang Kegiatan Belajar Mengajar (KBM),
evaluasi/penilaian, perawatan/pemeliharaan, daya dan
jasa, pembinaan kesiswaan, rumah tangga sekolah dan
supervise. Selain dari biaya-biaya tersebut, masih
terdapat jenis biaya operasional yang ditanggung oleh
peserta didik, misalnya biaya transportasi, konsumsi,
seragam, alat tulis, kesehatan, rekreasi dan sebagainya.
Adapun dasar hukum program pemberian dana
bantuan opersional sekolah atau dana BOS ialah :
1. Amanat Undang Undang Dasar 1945 (Pembukaan,
alinea ke-4): Salah satu tujuan kemerdekaan adalah “
mencerdaskan kehidupan bangsa”.
2. Pasal 28 B (ayat 2) Amandemen Undang Undang
Dasar 1945: “Setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
3. Pasal 28 C (ayat 2) Amandemen Undang Undang
Dasar 1945 : “Setiap anak berhak mengembangkan diri
melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak
mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari
ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya,
demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia”.

Studi Evaluasi Kebijakan | 147


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
4. Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Pasal 1, Butir 14) : Pendidikan
anak adalah “suatu upaya pembinaan yang ditujukan
kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun
yang dilakukan melalui pemberian rangsangan
pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan
perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki
kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut”.
5. Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang nomor 12 Tahun 2008
6. Undang-undang nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan
Hukum Pendidikan
7. Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan
8. Peraturan Pemerintah No.47 Tahun 2008 tentang Wajib
Belajar
9. Peraturan Pemerintah No.48 Tahun 2008 tentang
Pendanaan Pendidikan
10. Instruksi Presiden No.5 Tahun 2006 tentang Gerakan
Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar
Pendidikan Dasar 9 Tahun dan Pemberantasan Buta
Aksara

148 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
11. Peraturan Mendiknas No.19 Tahun 2007 tentan
Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah
12. Peraturan Mendiknas No.2 Tahun 2008 tentang Buku
13. Peraturan Mendiknas No. 15 Tahun 2010 tentang
Standar Pelayanan
Berdasarkan hasil kajian Badan Penelitian dan
Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) mencakup dua
komponen yaitu biaya operasional dan biaya non personil,
oleh karena biaya satuan yang digunakan adalah rata-rata
nasional, maka penggunaan BOS dimungkinkan untuk
membiayai beberapa kegiatan lain yang tergolong dalam
biaya personil dan biaya investasi. Namun perlu
ditegaskan bahwa prioritas utama BOS adalah untuk
biaya operasional non personil bagi sekolah. Oleh karena
keterbatasan dana BOS dari pemerintah Pusat, maka
biaya untuk investasi sekolah dan kesejahteraan guru
harus dibiayai dari sumber lain, dengan prioritas utama
dari sumber pemerintah, pemerintah daerah dan
selanjutnya dari partisipasi masyarakat yang mampu.
Dalam buku petunjuk teknis penggunaan dana
bantuan operasional sekolah (BOS) dan laporan
keuangan bantuan operasional sekolah dijelaskan bahwa

Studi Evaluasi Kebijakan | 149


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
secara umum program BOS bertujuan untuk meringankan
beban masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan
dalam rangka wajib belajar 9 tahun yang bermutu.
Secara khusus, program BOS bertujuan untuk
membebaskan pungutan bagi seluruh siswa SD/SDLB
negeri dan SMP/SMPLB/SMPT (Terbuka) negeri terhadap
biaya operasi sekolah, kecuali pada rintisan sekolah
bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf
internasional (SBI). Sumbangan/pungutan bagi sekolah
RSBI dan SBI harus tetap mempertimbangkan fungsi
pendidikan sebagai kegiatan nirlaba, sehingga
sumbangan/pungutan tidak boleh berlebih;, selanjutnya
Membebaskan pungutan seluruh siswa miskin dari seluruh
pungutan dalam bentuk apapun, baik di sekolah negeri
maupun swasta; dan meringankan beban biaya operasi
sekolah bagi siswa di sekolah swasta.
Adapun Sasaran program BOS adalah semua
sekolah SD dan SMP, termasuk Sekolah Menengah
Terbuka (SMPT) dan Tempat Kegiatan Belajar Mandiri
(TKBM) yang diselenggarakan oleh masyarakat, baik
negeri maupun swasta di seluruh provinsi di Indonesia.
Program Kejar Paket A dan Paket B tidak termasuk
sasaran dari program BOS ini.

150 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
Besar biaya satuan BOS yang diterima oleh
sekolah termasuk untuk BOS Buku, dihitung berdasarkan
jumlah siswa dengan ketentuan:
- SD/SDLB : Rp 580.000,-/siswa/tahun
- SMP/SMPLB/SMPT : Rp 710.000,-/siswa/tahun
Program pemberian dana bantuan operasional
sekolah (BOS) di Kabupaten Mamuju Utara sudah dimulai
digulirkan sejak program ini dikeluarkan oleh pemerintah
sejak Tahun 2005. Sebagai daerah otonom baru yang
baru dimekarkan pada tahun 2003 setelah berpisah dari
Kabupaten induk yakni Kabupaten Mamuju lewat Undang-
undang nomor 7 Tahun 2003, program pemberian dana
bantuan operasional sekolah
sangat membantu dalam upaya peningkatan sumber daya
manusia khususnya di bidang pendidikan, guna mengejar
ketertinggalannya dengan daerah-daerah atau
kabupaten/kota yang terlebih dahulu menjadi daerah
otonom.
Variabel-variabel atau kriteria-kriteria yang
digunakan dalam menilai evaluasi yang dilakukan
berdasar kepada konsep evaluasi yang digunakan oleh
William Dunn, yakni : Efektifitas ; apakah hasil yang
diinginkan telah dicapai? Selanjutnya Kecukupan ;
seberapa jauh pencapaian hasil yang diinginkan

Studi Evaluasi Kebijakan | 151


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
memecahkan masalah? Selanjutnya Perataan ; apakah
biaya manfaat didistribusikan dengan merata kepada
kelompok-kelompok yang berbeda? Selanjutnya
Responsivitas ; apakah hasil kebijakan memuaskan
kebutuhan, preferensi, atau nilai kelompok-kelompok
tertentu? dan Ketepatan ; apakah hasil (tujuan) yang
diinginkan benar-benar berguna atau bernilai?

B. Kriteria Evaluasi Program Dana Bantuan


Operasional Sekolah (BOS)
Hasil evaluasi mengenai program dana bantuan
operasional sekolah (BOS) pada sekolah dasar di
Kabupaten Mamuju Utara, secara keseluruhan
menunjukkan bahwa program ini sudah berjalan cukup
baik, walapun demikian masih ada poin-poin yang menjadi
kelemahan ataupun kekurangan dalam menunjang
berjalannya program ini, namun hal itu semestinya masih
dapat diatasi.

Adapun hasil yang didapatkan yang dapat


disimpulkan dari setiap kriteria yang digunakan dalam
evaluasi program dana bantuan operasional sekolah
(BOS) pada sekolah dasar di Kabupaten Mamuju Utara
adalah sebagai berikut :

152 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
1. Kriteria efektifitas
Dari lima indikator yang digunakan peneliti yakni
pencapaian tujuan dari dana BOS,selanjutnya proses
perencanaan kegiatan dan anggaran sekolah (RKAS) ,
selanjutnya realisasi dari komponen-komponen
penggunaan dana BOS di sekolah dasar di Kabupaten
Mamuju Utara, berikut adalah sosialisasi yang dilakukan
dalam program dana BOS, dan yang terakhir pengawasan
dalm pelaksanaan dana BOS, menunjukkan hasil bahwa
pencapaian tujuan dari dana BOS yakni pembebasan
pungutan bagi siswa-siswi SD/MI/SDLB sudah tercapai,
dimana hingga saat ini sejak adanya dana BOS para
siswa sudah tidak dipungut biaya lagi dalam operasional
sekolah sebagaimana yang diatur dalam Juknis BOS.
Untuk indikator kedua usaha sosialisasi yang dilakukan
dalam pelaksanaan program BOS juga sudah terealisasi,
sebagaimana hasil wawancara dan pengamatan yang
dilakukan menunjukkan bahwa ada usaha sosialisasi yang
dilakukan baik itu dalam bentuk rapat, pertemuan dan di
beberapa sekolah sudah terpasang spanduk yang
mengajak para masyarakat untuk menyekolahkan
anaknya karena sekolah sudah tidak dipungut biaya lagi.
Selanjutnya indikator ketiga mengenai realisasi dari
komponen-komponen penggunaan dana BOS dapat

Studi Evaluasi Kebijakan | 153


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
dikatakan bahwa untuk realisasi program dalam
penggunaan item atau komponen dalam pembiayaan
dana BOS sudah hampir terealisasi secara merata
dibeberapa sekolah yang ada, tetapi hampir pula dapat
dikatakan bahwa pencapaiannya tidak maksimal karena
kebutuhan sekolah yang satu dengan sekolah lain itu
berbeda sehingga ada perbedaan dalam porsi pembiyaan
terhadap masing-masing item penggunaan dana BOS.
Dan yang terakhir untuk pengawasan terhadap program
dana BOS menunjukkan hasil yang kurang maksimal atau
dengan kata lain pelaksanannya belum tercapai maksimal,
karena terkendala masalah dana dan personil yang tidak
ada.
2. Kriteria Kecukupan
Untuk kriteria kecukupan dari indikator yang
digunakan yakni ketersediaan alokasi dana dan
pelaksanaan item-item program dana BOS, dari hasil
wawancara disimpulkan bahwa dana yang tersedia untuk
sekolah-sekolah yang jumlah muridnya tidak terlalu
banyak masih perlu mendapat perhatian lebih. Hendaknya
ada penambahan dana dalam rangka memenuhi
kebutuhan-kebutuhan operasional sekolah sebagaimana
yang diatur dalam Juknis BOS itu sendiri, karena

154 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
selain kebutuhan-kebutuhan ditiap sekolah yang berbeda
besaran dana BOS untuk membiayai komponen tersebut
juga berbeda. Olehnya itu untuk kriteria kecukupan ini
masih belum maksimal realisasinya.

3. Kriteria Perataan
Untuk kriteria perataan, dari dua indikator yang
digunakan yakni tingkat kesamaan para siswa dalam
proses belajar mengajar serta kegiatan-kegiatan sekolah
dan tingkat kesempatan siswa-siswi tidak mampu dalam
mendapatkan bantuan pendidikan, dijelaskan bahwa
untuk indikator pertama dari hasil wawancara dan
penelusuran data didapatkan bahwa untuk masalah
mengenai kesamaan dan kesempatan para siswa dalam
memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah mereka sudah
berjalan sebagaimana yang diharapkan, karena dari
beberapa sekolah yang ada menjelaskan bahwa mereka
tidak membeda-bedakan para siswa dalam memperoleh
akses pendidikan yang ada di sekolah mereka sehingga
dapat disimpulkan bahwa tingkat kesamaan dan
kesempatan yang diberikan sekolah kepada siswa
sebagai manifestasi dari pendistribusian alokasi anggaran
program dana bantuan operasional sekolah sudah
berjalan sebagaimana mestinya. Selanjutnya untuk

Studi Evaluasi Kebijakan | 155


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
indikator tingkat kesempatan siswa tidak mampu atau
miskin dalam mendapatkan bantuan pendidikan
sebagaimana hasil wawancara dengan para informan
menunjukkan bahwa sudah ada pemberian bantuan dana
untuk mereka yang tidak mampu, namun masih ada
beberapa sekolah yang belum memberikan bantuan
tersebut secara merata untuk setiap tahunnya,
disebabkan jumlah dana yang terbatas, tetapi secara
keseluruhan bahwa kesempatan para siswa tidak mampu
atau miskin dalam mendapatkan bantuan pendidikan
sudah terealisasi.

4. Kriteria Responsivitas
Dari dua indikator yang ada yang digunakan
peneliti untuk melihat kriteria responsivitas yakni tingkat
kepuasan masyarakat dan dampak yang ditimbulkan
dalam program dana bantuan operasional sekolah di
Kabupaten Mamuju Utara, dari hasil penelitian
menunjukkan bahwa tingkat kepuasan masyarakat
Mamuju Utara di lokasi penelitian yang didatangi di
beberapa kecamatan menujukkan bahwa rata-rata
masyarakat sudah cukup puas dengan adanya program
ini dengan asumsi dari sebagian menganggap bahwa
program ini sangat membantu masyarakat khususnya

156 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
masyarakat dengan tingkat ekonomi kelas menengah ke
bawah dimana mereka dapat menyekolahkan anak-anak
mereka di sekolah tanpa harus mengeluarkan biaya yang
banyak. Sedangkan untuk dampak dari program BOS ini
lebih banyak berdampak positif dimana dampaknya antara
lain dapat meningkatkan kesadaran dan merubah pola fikir
masyarakat akan pentingnya pendidikan dan secara tidal
langsung dapat meningkatkan derajat kesejahtraan dalam
hal pendidikan.

5. Kriteria Ketepatan
Secara keseluruhan untuk kriteria ketepatan dari
dua indikator yang digunakan yakni peningkatan angka
partisipasi sekolah dan tingkat penurunan jumlah siswa-
siswi putus sekolah dalam pelaksanaan program
pemberian dana bantuan.
operasional sekolah (BOS) pada sekolah dasar di
kabupaten Mamuju Utara menunjukkan pencapaian hasil
yang baik.
Pada indikator pertama dalam peningkatan angka
partisipasi sekolah dari hasil wawancara dan pengamatan
pada beberapa sekolah. menunjukkan bahwa program
dana BOS telah dapat meningkatkan APS dengan
tingginya minat para orang tua dalam mendaftarkan pada

Studi Evaluasi Kebijakan | 157


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
sekolah-sekolah yang ada di beberapa kecamatan yang
ada di Kabupaten Mamuju Utara. Selanjutnya indikator
kedua yakni penurunan jumlah siswa yang putus sekolah
dari hasil wawancara dan penelusuran data yang ada
menunjukkan bahwa hampir tidak ada lagi siswa-siswi di
beberapa sekolah yang ada di Mamuju Utara yang putus
sekolah disebabkan karena masalah biaya, semenjak
dilucurkannya program dana bantuan operasional sekolah
(BOS) .

158 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab, Solichin, 2001. Analisis Kebijakan Dari


Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara,
Jakarta : Bumi Aksara,
Agustino, Leo. 2008. Dasar-Dasar Kebijakan
Publik.Bandung : Alfabeta.
Alkin, Marvin. 1972. Accountability defined : Evaluation
Comment. The Journal of Educational Evaluation 3 :
1-5
Alkin, Marvin C. & Christie, Christina A.2004. Evaluation
Theory Tree. In Evaluation Roots.Thousand Oax,CA
: Sage Publication
Anderson, J. E. 1978. Public Policy Making. New York:
Holt Rinehart and Winston.
Anderson, J. E. 1984. Public policy and politics in
America. Harcourt Brace.
Anggara,Sahya 2014. Kebijakan Publik. Bandung :
Pustaka Setia
Dye, T. R. 1995. Understanding public policy by Thomas
R. Dye. New Jersey: Prentice Hall.
Dunn, William, 2003. Analisis Kebijakan Publik,
Yogyakarta : Gadjah Mada University.

Studi Evaluasi Kebijakan | 159


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
Easton, D. 1975. A re-assessment of the concept of
political support. British journal of political science,
5(4), 435-457.
Edward, George C.,III. 1980. Implementation Public
Policy.Washington DC : Congresional Quarter Press.
Edwards, George C., III dan Sharkansky, Ira. 1978. The
Policy Predicament. San Francisco: W.H. Freeman.
Evans, Nicholas. 2006. Kebijakan Publik : Teori dan
Proses. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Keban, Yeremias. 2008. Enam Dimensi Strategis
Administrasi Publik. Yogyakarta : Gava Media.
Mulyadi, Dedy. 2016. Studi Kebijakan Publik dan
Pelayanan Publik. Bandung : Alfabeta
Nugroho,Riant.2009. Public Policy. PT.Elex Media
Komputindo. Jakarta
Parson, Wayne.2005. Public Policy : An Introduction to
The Theory and Practice of Policy Analysis.
Cambridge : Edward Elgar Publishing,Inc.
Patton, Carl V. and David Sawicki. 1986. Basic Methods of
Policy Analysis and Planning, Prentice-Hall.
Peraturan Pemerintah No 48 Tahun 2008 Tentang
Pendanaan Pendidikan. Pemerintah RI.
Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 37 Tahun 2010 Tentang Petunjuk

160 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
Teknis Penggunaan Dana Bantuan Operasional
Sekolah Dan Laporan Keuangan Bantuan
Operasional Sekolah Tahun Anggaran 2011
Ripley, Ronald B and Franklin, Grace. 1986. Policy
Implementation Bereaucracy. Chicago : Dorsey
Press.
Rossi. P.H. dan H.E. Freeman. 1985. Evaluation A
Systematic Approach (3rd de) Beverly Hill CA:Sage
__________.2004. Evaluation A systematic approach.
Beverly Hill : Sage Publication
Subarsono, 2005. Analisis Kebijakan Publik..Yogyakarta :
Pustaka Pelajar
Sunggono, Bambang, 1994. Hukum dan Kebijakan Publik.
PT. Jakarta: Sinar Grafika,
Suharsimi Arikunto dan Cepi Safrudin Abdul Jabar, 2004.
Evaluasi Program Pendidikan, Pedoman Teoritis
Bagi Praktisi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara
Suratman. 2017. Generasi Implementasi dan Evaluasi
Kebijakan Publik. Yogyakarta : Capiya Publishing
Stufflebeam, Daniel. 2007. Evaluation : Theory,
Model,Aplication. San Francisco,CA : Whilley
__________.& Shinkfield Anthony. 2007. Evaluation
Theory : Models and Aplication. Jossey-Bass

Studi Evaluasi Kebijakan | 161


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
__________.2003. The CIPP model for evaluation : An
update. A review of the models development, a
checklist to guide implementation. Presented at The
2003 Annual Confrence of The Oregon Program
Evaluation Network (OPEN)
Weiss,C.H. 1998. Evalaution : Methods for Studying
Programs and Policies. Upper Sadle River,NJ :
Prentice Hall
Wibawa, Samodra, dkk, 1994. Evaluasi Kebijakan
Publik.Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Winarno, Budi, 2004. Teori dan Proses Kebijakan Publik,
Edisi/Cetakan Kedua, Yogyakarta: Media Pressindo,
Winarno, Budi. 2012. Kebijakan Publik, teori,proses dan
studi kasus. Jakarta : CAPS.PT. Buku Seru.
Wirawan.2012. Evaluasi, Teori, Model, Standar, Aplikasi
dan Profesi. Rawjawali Prses.
Yusuf Farida. 2008. Evaluasi Program Dan Instrumen
Evaluasi Untuk Program Pendidikan dan Penelitian.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.

162 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
BIOGRAFI PENULIS

Muh. Firyal Akbar,S.IP.,M.Si Lahir di


Pare-Pare pada Tanggal 31 Agustus
1989, anak dari pasangan Amra,
S.Pd.,M.Si (Alm) dan Hj.Nurhayati,
S.Pd. Menyelesaikan Pendidikan SD ,
SMP dan SMA di Kota Pasangkayu,
Provinsi Sulawesi Barat.
Menyelesaikan Pendidikan Sarjana
(S1) di Universitas Hasanuddin pada
Tahun 2010 di Jurusan Politik Pemerintahan, kemudian
menyelesaikan Pendidikan Magister (S2) di Universitas
Hasanuddin Tahun 2013 di Jurusan Administrasi
Pembangunan, dan saat ini menempuh Pendidikan Doktor
(S3) juga di Universitas Hasanuddin dengan mengambil
Jurusan Administrasi Publik.
Penulis tercatat sebagai Dosen di Universitas
Muhammadiyah Gorontalo sejak awal Tahun 2015 hingga
sekarang, dan saat ini menjabat sebagai Kepala Bidang
Penelitian dan Publikasi Ilmiah pada Lemabag Penelitian
dan Pengabdian Masyarakat (LPPM). Mata kuliah yang
diampu seperti Pengantar Ilmu Politik; Sistem Sosial
Politik; Analisis Kebijakan Publik; Administrasi
Pemerintahan Daerah dan lain-lain.
Selain aktif mengajar beliau juga aktif di beberapa
pertemuan ilmiah baik Nasional maupun Internasional.
Selain itu juga aktif di beberapa organisasi, saat ini
sebagai Koordinator Daerah Relawan Jurnal Indonesia
(RJI) wilayah Provinsi Gorontalo, wakil koordinator LPPM
Perguruan Tinggi Muhammadiyah, Kawasan Indonesia
Timur,anggota bidang Publikasi Ilmiah Asosiasi Perguruan
Tinggi Swasta (APTISI) wilayah IX-C Provinsi Gorontalo.

Studi Evaluasi Kebijakan | 163


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)
BIOGRAFI PENULIS

Widya Kurniati Mohi,S.IP.,M.Si Lahir


di Limboto pada Tanggal 1 Januari
1988, anak dari pasangan Hi.
Sukardi Mohi S.Pd dan Hj.Win
Tongkodu SE. Menyelesaikan
Pendidikan SD ,SMP dan SMA di
Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo.
Menyelesaikan Pendidikan Sarjana
(S1) di Universitas Hasanuddin pada
Tahun 2010 di Jurusan Politik Pemerintahan, kemudian
menyelesaikan Pendidikan Magister (S2) di STIA Bina
Taruna Gorontalo Tahun 2013 di Jurusan Ilmu Administrasi
Publik.
Penulis tercatat sebagai Dosen di Universitas
Muhammadiyah Gorontalo sejak awal Tahun 2013 hingga
sekarang, dan saat ini menjabat sebagai Ketua Program
Studi pada Program Studi Ilmu Administrasi Publik pada
Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial. Mata kuliah yang
diampu seperti Pengantar Ilmu Politik; Sistem Sosial
Politik; Hubungan Antra Kelembagaan Publik; Administrasi
Pemerintahan Daerah dan lain-lain. Selain aktif mengajar
beliau juga aktif di beberapa pertemuan ilmiah baik
Nasional maupun Internasional.

164 | Studi Evaluasi Kebijakan


(Evaluasi Beberapa Kebijakan di Indonesia)

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai