Anda di halaman 1dari 96

Kebijakan

Pendidikan

Penulis:
Dr. Dian, M.Ag
Dr. Bambang Qomaruzzaman, M.Ag
Fatimah Nur Fitriani, S.Ag
Henie Hikmah Mediani, S.Ak
Hilya Gania Adilah, S.Pd
KATA PENGANTAR
Pendidikan merupakan hal penting dalam suatu
negara yang tidak boleh dikesampingkan, karena
salah satu tujuan negara adalah untuk dapat
mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan
merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia
sehingga setiap warga negara berhak memperoleh
pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan
bakat yang dimilikinya tanpa memandang status
sosial, status ekonomi, suku, etnis, agama, dan
gender. Pendidikan untuk semua akan menjamin
keberpihakan kepada peserta didik yang memiliki
hambatan fisik maupun mental, hambatan ekonomi
dan sosial ataupun kendala geografis, dengan
menyediakan layanan pendidikan untuk menjangkau
mereka yang tidak terjangkau.
Dengan demikian, kebijakan pendidikan
mempunyai peran yang sangat penting dan
menentukan arah serta jalur dalam proses
pendidikan itu sendiri. Pengambilan keputusan untuk
menentukan kebijakan pendidikan yang akan
diambil, akan sangat berpengaruh pada kualitas mutu
pendidikan dari tingkat satuan pendidikan. Kebijakan
pendidikan yang diambil merupakan perubahan dari
aspek pendidikan sebelumnya, yaitu perbaikan dalam
tujuan, rencana, program-program maupun kegiatan
yang akan dilaksanakan untuk menjadi pedoman
ketika melakukan kegiatan atau mengambil
keputusan.

i
Kebijakan pendidikan yang akan dilaksanakan
harus direncanakan dalam suatu rangkaian kegiatan
yang meliputi perumusannya, analisis, implementasi,
monitoring/pemantauan serta evaluasi seputar
masalah pendidikan yang akan diterapkan agar dapat
menjawab tantangan pendidikan, dapat diberlakukan
dan diperbarui secara periodik. Dengan demikian,
dapat dinyatakan bahwa kebijakan pendidikan dibuat
untuk dapat dijadikan sebagai pedoman dalam
melakukan kegiatan dalam menentukan program
pendidikan atau organisasi atau sekolah dengan
masyarakat dan pemerintah demi pencapaian tujuan
yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien.
Buku Kebijakan Pendidikan menyajikan pokok
bahasan, dimulai dari konsep memahami teori
ataupun formulasi kebijakan pendidikan dan ruang
lingkupnya, memahami perkembangan paradigma
kebijakan pendidikan, mengetahui aspek-aspek yang
memengaruhi kebijakan pendidikan, memahami
fungsi kebijakan pendidikan, mengenali komponen,
faktor-faktor, dan aktor kebijakan pendidikan yang
memengaruhi dalam memformulasikan,
mengiplementasikan, serta melakukan evaluasi
kebijakan pendidikan. Penulis berharap, kehadiran
buku ini dapat memberikan sumbangan yang berarti
bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................... iii
BAB I KONSEP KEBIJAKAN PENDIDIKAN.................................1
A. Pengertian Kebijakan Pendidikan..................................1
B. Pendekatan Dalam Kebijakan Pendidikan..................6
C. Tujuan Kebijakan Pendidikan..........................................7
D. Karakteristik Kebijakan Pendidikan.............................9
E. Komponen Kebijakan Pendidikan..............................11
F. Ruang Lingkup Kebijakan Pedidikan..........................13
G. Dimensi Kebijakan Pendidikan.....................................15
H. Unsur-unsur Pokok Kebijakan Pendidikan..............16
I. Impelementasi Kebiakan Pendidikan.........................21
BAB II DINAMIKA KEBIJAKAN PENDIDIKAN........................24
A. Persoalan di ranah Pendidikan.....................................24
B. Kebijakan Pendidikan di era orde lama....................26
C. Kebijakan Pendidikan di era orde baru.....................29
D. Kebijakan Pendidikan di era reformasi.....................31
E. Arah Pendidikan di Indonesia.......................................32
BAB III FORMULASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN....................38
A. Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik. .38
B. Model Kebijakan Pendidikan.........................................43
1. Model Kelembagaan.....................................................43
2. Model Sistem...................................................................44

iii
3. Model Penyelidikan Campuran................................46
4. Model Proses...................................................................47
5. Model Teori Elite...........................................................47
6. Model Rasional...............................................................48
7. Model Inkrementalis....................................................49
8. Model Analisis Kebijakan Pendidikan...................50
9. Model Pendekatan Implementasi Kebijakan......51
BAB IV IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN............54
A. Konsep Implementasi Kebijakan..................................54
1. Pengertian Implementasi Kebijakan......................54
2. Proses Implementasi Kebijakan..............................56
3. Model Proses Implementasi Kebijakan.................60
C. Faktor Pengaruh Implementasi Kebijakan..............61
D. Implementasi Kebijakan Pendidikan..........................66
BAB V MONITORING DAN EVALUASI KEBIJAKAN
PENDIDIKAN...................................................................................... 70
A. Konsep Monitoring dan Evaluasi.................................70
1. Pengertian Monitoring dan Evaluasi.....................70
2. Monitoring dan Evaluasi Kebijakan.......................71
B. Evaluasi Formatif dan Sumatif......................................75
C. Studi Evaluasi Kebijakan.................................................77
REFERENSI.......................................................................................... 84

iv
BAB I
KONSEP KEBIJAKAN PENDIDIKAN
A. Pengertian Kebijakan Pendidikan
Kebijakan Pendidikan (Educational Policy)
merupakan penggabungan dari kata Kebijakan dan
Pendidikan. Kebiakan (policy) secara etimologi
diturunkan dari bahasa Yunani, yaitu “polis” yang
artinya kota. Pada dasarnya terdapat banyak
penjelasan dengan batasan-batasan atau pengertian
mengenai kebijakan.
Kebijakan berkenaan dengan gagasan pengaturan
organisasi dan merupakan pola normal yang sama-
sama diterima pemerintah/lembaga sehingga dengan
hal itu mereka berusaha mengejar tujuannya
(Syafaruddin, 2008). Kebijakan merupakan upaya
memecahkan problem sosial bagi kepentingan
masyarakat atas asas keadilan dan kesejaheraan
masyarakat. Dan dalam kebijakan setidaknya harus
memenuhi empat hal penting yakni; (1) tingkat hidup
masyarakat meningkat, (2) terjadi keadilan : By the
law, social justice, dan peluang prestasi dan kreasi
individual, (3) diberikan peluang aktif partisipasi
masyarakat (dalam membahas masalah,
perencanaan, keputusan dan implementasi), dan (4)
terjaminnya pengembangan berkelanjutan (Muhadjir,
2020).
Kebijakan dapat dibedakan menjadi dua,  yaitu
kebijakan substantif dan kebijakan implementatif. 

1
Kebijakan substantif adalah keputusan yang dapat
diambil berupa memilih alternatif yang dianggap
benar untuk mengatasi masalah.  Tindak lanjut dari
kebijakan substantif adalah kebijakan implementatif, 
yaitu keputusan-keputusan yang berupa upaya-upaya
yang harus dilakukan untuk melaksanakan kebijakan
substantif (Noeng, 2003).
(Syafaruddin, 2008) menyampaikan pernyataan Putt
dan Springer bahwa ada 3 (tiga) tahapan dalam
proses penentuan kebijakan, yaitu:
1. Tahap formulasi, yaitu formulasi atau
pembuatan kebijakan dalam pemerintahan
termasuk aktivitas politis. Dalam konteks ini,
aktivitas politis dijelaskan sebagai pembuatan
kebijakan yang divisualisasikan, yang berisi
serangkaian tahap yang saling bergantung dan
diatur menurut urutan waktu, penyusunan
agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan,
implementasi kebijakan dan penilaian
kebijakan sehingga dapat dijadikan sebagai
pedoman dalam melakukan tindakan;
2. Tahap implementasi kebijakan, yaitu yang
memiliki prinsipnya dapat dilaksanakan agar
kebijakan tersebut dapat mencapai tujuannya.
Implementasi kebijakan adalah serangkaian
aktivitas dan keputusan yang memudahkan
pernyataan kebijakan dalam formulasi
terwujud ke dalam praktik organisasi;

2
3. Tahap evaluasi, yaitu dalam proses kebijakan
adalah evaluasi. Evaluasi kebijakan
dilaksanakan sebagai proses untuk
mengetahui sejauh mana keefektifan
kebijakan guna dipertanggungjawabkan
kepada semua pihak terkait (stakeholders),
atau sejauh mana tujuan kebijakan tersebut
telah tercapai. Di sisi lain, evaluasi
dipergunakan untuk mengetahui kesenjangan
antara harapan atau tujuan dengan kenyataan
yang dicapai sehingga dapat diterima umpan
balik dari proses kebijakan.
Menurut Duke dan Canady dalam (Arwildayanto,
Arifin Suking, 2018) dalam menetapkan suatu
kebijakan harus memperhatikan hal sebagai berikut:
1) suatu penegasan dan tujuan, 2) keputusan untuk
mengatur, mengendalikan, mempromosikan,
melayani, dan mempengaruhi lingkungan
kewenangan, 3) panduan tindakan disresional, 4)
strategi guna memecahkan suatu masalah, 5)
perilaku yang mempunyai sanksi, 6) norma,
konsistensi, peraturan, dan substantil, 7) keluaran
dalam sistem kebijakan, dan 8) pengaruh dalam
pembuatan kebijakan yang mengarah pada
implementasi dan sasaran.
Dari beragamnya pemahaman tentang kebijakan
dari berbagai pakar, dapat ditarik benang merah
konsepsi kebijakan sebagai aturan atau ketentuan
tertulis dari keputusan formal lembaga atau

3
organisasi, sifatnya mengikat, mengatur perilaku
orang guna mencapai tujuan, menciptakan tata nilai
baru dalam institusi atau organisasi. Kebijakan juga
jadi referensi para anggota organisasi atau institusi
dalam berperilaku (behavior).
Sedangkan kebijakan Pendidikan adalah suatu
pertimbangan yang didasarkan atas sistem nilai dan
beberapa penilaian terhadap faktor-faktor yang
bersifat situasional, pertimbangan tersebut dijadikan
sebagai dasar untuk mengoperasikan pendidikan
yang bersifat melembaga, pertimbangan tersebut
merupakan perencanaan umum yang dijadikan
sebagai pedoman untuk mengambil keputusan, agar
tujuan yan bersifat melembaga dapat tercapai
(Imron, 1999).
Kebijakan pendidikan merupakan keseluruhan
proses dan hasil perumusan langkahlangkah strategis
pendidikan yang dijabarkan dari visi dan misi
pendidikan, dalam rangka untuk mewujudkan
tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu
masyarakat untuk kurun waktu tertentu (Tilar H.A.R
& Nugroho, 2008).
Aspek-apek yang tercakup di dalam kebijakan
pendidikan meliputi:
1. Kebijakan pendidikan merupakan suatu
keseluruhan deliberasi mengenai
2. hakikat manusia sebagai makhluk yang
menjadi manusia dalam lingkungan
kemanusiaan.

4
3. Kebijakan pendidikan dilahirkan dari ilmu
pendidikan sebagai ilmu praksis yaitu
kesatuan antara teori dan praktk pendidikan.
4. Kebijakan pendidikan haruslah mempunyai
validitas dalam perkembangan
5. prbadi serta masyarakat yang memiliki
pendidikan itu.
6. Keterbukaan (openness)
7. Kebijakan pendidikan didukung oleh riset dan
pengembangan.
8. Analisis kebijakan.
9. Kebijakan pendidikan pertama-tama ditujukan
kepada kebutuhan peserta didik.
10. Kebijakan pendidikan diarahkan pada
terbentuknya masyarakat yang
11. demokratis.
12. Kebijakan pendidikan berkaitan dengan
penjabaran misi pendidikan dalam pencapaian
tujuan-tujuan tertentu.
13. Kebijakan pendidikan harus berdasarkan
efisiensi.
14. Kebijakan pendidikan bukan berdasarkan
pada kekuasaan tetapi kepada
15. kebutuhan peserta didik.
16. Kebijakan pendidikan bukan berdasarkan
intuisi atau kebijaksanaan yang irasional.
17. Kejelasan tujuan akan melahirkan kebijakan
pendidikan yang tepat.

5
18. Kebijakan pendidikan diarahkan bagi
pemenuhan kebutuhan peserta didik dan
bukan kepuasan birokrat (Tilar H.A.R &
Nugroho, 2008)
Pernyataan para ahli tersebut dapat disimpulkan
bahwa kebijakan pendidikan merupakan suatu sikap
dan tindakan yang diambil seseorang atau dengan
kesepakatan kelompok pembuat kebijakan sebagai
upaya untuk mengatasi masalah atau suatu persoalan
dalam dunia pendidikan. Artinya. kebijakan
pendidikan merupakan kebijakan yang ditujukan
untuk mencapai tujuan pembangunan negara di
bidang pendidikan.
B. Pendekatan Dalam Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan diambil agar dapat
dijadikan sebagai pedoman dalam mengarahkan
pendidikan antara pemerintah dengan masyarakat
dalam mencapai tujuan pendidikan. Artinya,
kebijakan pendidikan merupakan garis umum untuk
bertindak bagi pengambilan keputusan pada semua
jenjang pendidikan atau organisasi pendidikan dalam
melakukan aktivitas yang berkaitan dengan proses
pendidikan. Untuk menentukan kebijakan dalam
pendidikan agar dapat bermanfaat bagi masyarakat
maka harus dilakukan dengan berbagai pendekatan.
(Sukarman Purba, Erika Revida, 2021)
menyatakan pendekatan yang dilakukan untuk
mengambil kebijakan dalam bidang pendidikan
dilakukan dengan:

6
1. Pendekatan Empirik (Empirical Approach),
yaitu yang ditekankan terutama pada
penjelasan berbagai sebab dan akibat dari
suatu kebijakan tertentu dalam bidang
pendidikan yang bersifat faktual dan macam
informasi yang dihasilkan bersifat deskriptif
dan prediktif. Analisis kebijakan secara
empirik diharapkan akan menghasilkan dan
memindahkan informasi penting mengenai
nilai-nilai, fakta-fakta, dan tindakan
pendidikan.
2. Pendekatan Evaluatif (Evaluatif Approach),
yaitu pendekatan evaluasi dilakukan untuk
mengetahui seberapa jauh suatu kegiatan itu
dapat dilaksanakan ataukah tidak, berhasil
sesuai yang diharapkan atau tidak. Penekanan
pendekatan evaluatif ini terutama pada
penentuan bobot atau manfaatnya (nilai)
beberapa kebijakan menghasilkan informasi
yang bersifat evaluatif. Evaluasi terhadap
kebijakan pendidikan akan membantu
menjawab pertanyaan pertanyaan evaluasi,
yaitu bagaimana nilai suatu kebijakan dalam
pendidikan yang ditentukan.
C. Tujuan Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan adalah upaya yang
dilakukan untuk perbaikan dalam konsep
pendidikan, peraturan-peraturan dan pelaksanaan
pendidikan serta menghilangkan praktik pendidikan

7
masa lalu yang tidak sesuai sehingga adanya
perubahan aspek pendidikan di masa yang akan
datang. Untuk itu, kebijakan pendidikan sangat
diperlukan guna mencapai tujuan pendidikan
nasional secara efektif dan efisien.
(Rusdiana, 2015) menyatakan tujuan kebijakan
apabila dihubungkan dengan pendidikan dapat
dikelompokan menjadi:
1. Dilihat dari sisi tingkatan masyarakat, yaitu
tujuan kebijakan dapat diamati, dianalisis dari
fakta serta realita dari hakikat tujuan
pendidikan yang universal, yaitu
mencerdaskan kehidupan bangsa;
2. Dilihat dari sisi tingkatan politisi, yaitu tujuan
kebijakan ini dapat diamati dan ditelusuri dari
sumbangan pendidikan terhadap
perkembangan politik pada tingkatan sosial
yang berbeda. Pendidikan sebagai suatu
kebijakan publik diharapkan dapat
memberikan kontribusi yang positif dalam
menciptakan generasi masyarakat dalam
aspek adanya keseimbangan antara hak dan
kewajiban sehingga wawasan, sikap dan
perilakunya semakin demokratis
3. Dilihat dari sisi tingkatan ekonomi, yaitu
tujuan kebijakan ini dapat dilihat dan
ditelusuri dari kesadaran pentingnya
pendidikan sebagai investasi jangka panjang
yang didasarkan pada beberapa alasan, yaitu:

8
a. Pendidikan adalah untuk perkembangan
ekonomi dan bukan sekedar pertumbuhan
ekonomi.
b. Inventasi pendidikan memberikan nilai baik
yang lebih tinggi daripada inventasi fisik di
bidang lain. Pendidikan mempunyai
kedudukan yang cukup signifikan terutama
ketika seseorang telah menggali dan
mengaktualisasikan potensi diri dan
mempunyai kompetensi yang cukup sesuai
dengan bidangnya.
D. Karakteristik Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan di Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, diarahkan
untuk mencapai perluan dan pemerataan
kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu
tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia agar dapat
diperoleh manusia Indonesia berkualitas tinggi.
Untuk itu, kebijakan pendidikan yang diambil
haruslah dapat dirasakan dan berdampak bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui
pendidikan yang merata. Untuk meningkatkan
kebijakan pendidikan haruslah memiliki karakteristik
yang khusus. Adapun karakteristik kebijakan
pendidikan yaitu (Subarsono, 2013):
1. Memiliki tujuan pendidikan
Sebuah kebijakan pendidikan harus memiliki
tujuan khusus yang berhubungan dengan dunia

9
pendidikan. Tujuan pendidikan yang disusun harus
lebih terarah dan jelas serta memberikan gambaran
mengenai kontribusi terhadap dunia Pendidikan.
2. Terpenuhinya aspek legal dan formal
Sebelum kebijakan pendidikan di belakukan maka
perlu dipenuhi prasyarat-prasyarat yang agar
kebijakan tersebut berlaku sah dan diakui. Oleh
sebab itu perlunya kebijakan tersebut di sah kan
melalui persyaratan konstitusional berdasarkan
hirarki konstitusi yang berlaku sehingga dilahirkan
legimasi kebijakan Pendidikan.
3. Memiliki konsep operasional
Kebijakan pendidikan merupakan seperangkat
panduan yang bersofat umum. Maka sebuah
kebijakan pendidikan harus memiliki manfaat
operasional yang dapat diterapkan, (Solichin, 2015).
Konsep operasional ini harus dimiliki agar
pencapaian tujuan dapat di ukur secara jelas.
4. Dibuat oleh yang berwenang
Kebijakan pendidikan dirumuskan dan dibuat
oleh par ahli yang memiliki hak dan wewnang dalam
pembuatan kebijakan. Hal ini bertujuan agar tidak
timbulnya permasalahan baru yang dihasilkan dari
kebijakan tersebut.
5. Dapat dievaluasi
Kebijakan pendidikan harus dapat dievaluasi.
Suatu kebijakan apabila baik maka kebijakan tersebut
dapat dikembangkan. Apabila kebijakan tersebut
terdapat kesalahan maka harus dapat diperbaiki

10
6. Memiliki sistematika
Kebijakan pendidikan terdapat sistematika yang
berhubungan dengan seluruh aspek yang terdapat
didalamnya. Sistematika harus memperhatikan
efisiensi, efektivitas dan keberlanjutan. Kebijakan
juga harus bersifat tidak pragmatis dan deskriminatif.
Kebijakan juga tidak boleh bersofat rapuh struktur.
Hal ini agar kebijakan yang dilahirkan tidak
mengalami kecacatan hukum baik secara internal
maupun eksternal.
E. Komponen Kebijakan Pendidikan
(Jones, 1979) menyatakan ada 5 komponen kebijakan
pendidikan yaitu;
1. Goal (Tujuan).
Tujuan diartikan sebagai hasil yang ingin
didapatkan oleh individu maupun kelompok dalam
rentang waktu yang ditetapkan. Tujuan dirancang
sebagai langkah awal dalam merencanakan suatu
kegiatan. Sebuah kebijakan pendidikan harus
memiliki tujuan yang jelas agar proses penerapanya
terarah. Tujuan kebijakan pendidikan harus dibuat
rasional agar mudah diterima oleh berbagai pihak;
2. Plans (Rencana).
Setelah tujuan pendidikan dirancang maka
selanjutnya adalah membuat perencanaan kerja yang
lebih spesifik agar dapat mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Rencana kerja dibuat bertujuan untuk
proses manejemen dan penerapan kebijakan

11
pendidikan kebijakan pedidikan agar proses
pengeimplementasianya terarah dan jelas;
3. Programme (Program).
Setelah perencanaan kerja dibuat maka
selanjutnya adalah proses pengembangan program.
Program merupakan aktivitas berupa proyek yang
nyata berdasarkan tujuan yang telah didesain
sebelumnya. Program merupakan upaya yang
dilakukan agar tercapainya tujuan dengan cara
melihat tingkat keberhasilannya. Pembuatan
kebijakan pendidikan diharapkan untuk dapat
mengembangkan beberapa alternatif yang dapat
dijadikan pertimbangan ketika proses pengambilan
keputusan;
4. Decision (Keputusan).
Keputusan merupakan sebagai bentuk tindakan
dalam penentuan tujuan, pembuatan rencana
program, pelaksanaan program, dan proses evaluasi
program. Pengambilan keputusan dilakukan dengan
mempertimbangkan hasil uji coba terhadap
alternatif-alternatif kebijakan pendidikan. Hasil
keputusan kebijakan pendidikan harus bersifat
rasionalitas agar hasil tersebut dapat diterima oleh
berbagai pihak;
5. Efects (Dampak).
Dampak merupakan pengaruh yang ditimbulkan
setelah kebijakan di laksanakan. Dampak ini dapat
berupa sengaja maupun ketidaksengajaan baik
berupan dampak priimer maupun dampak sekunder.

12
Dampak juga dapat berupa dampak positif maupun
dampak negatif. Komponen-komponen ini lah yang
dapat melahirkan sebuah kebijakan pendidikan.
Tanpa adanya salah satu dari komponen tersebut
maka tidak akan berjalannya kebijakan pendidikan.
Kelima komponen ini saling berhubungan dan
mendukung satu dengan yang lainnya.
F. Ruang Lingkup Kebijakan Pedidikan
Kebijakan pendidikan mengadung 3 (tiga)
komponen penting yang saling berkaitan dalam
proses formulasi kebijakan pendidikan yakni Pelaku
Kebijakan, Lingkungan Kebijakan dan Isi Kebijakan
(Abidin, 2006).
1. Pelaku Kebijakan
Orang-orang atau pelaku yang terlibat dalam
perumusan kebijakan disebut juga dengan aktor
kebijakan. Menurut James Anderson aktor kebijakan
dibagi kedalam dua peran yakni pelaku resmi dan
pelaku tidak resmi.
a. Pelaku resmi, yang termasuk dalam pelaku
resmi adalah pemerintah yang terdiri dari:
1) Legislatif
Legislatif adalah lembaga yang bertugas
merumuskan dan membentuk kebijakan berupa
undang-undang dan menjadi sebuah kebijakan.
Dimana undang-undang tersebut menjadi payung
hukum bagi pembuatan kebijakan publik pada level
berikutnya seperti instruksi presiden, peraturan

13
pemerintah, keputusan-keputusan hingga peraturan
daerah dibawahnya.
2) Eksekutif
Setelah kebijakan dibuat oleh lembaga legislatif
makan fungsi eksekutif adalah melaksanakan
kebijakan publik tersebut atau kata lain
mengimplementasikan kepada publik apa saja isi dari
pada sebuah kebijakan yang telah lahir tersebut.
3) Yudikatif
Lembaga pemerintah ini bertugas mengawasi dan
memberikan pertimbangan sanksi apabila kemudian
terdapat kesalahan atau kekeliruan dalam proses
implementasi sebuah kebijakan publik tersebut.
b. Pelaku tidak resmi,
biasa berasal dari luar lembaga pemerintah
seperti kelompok kepentingan, partai politik,
organisasi massa, warga negara dan individu. Pelaku
tidak resmi ini tidak mempunyai peran dalam
pengambilan keputusan kebijakan akan tetapi
mereka berperan dalam memberikan saran, usul,
masukkan bahkan intervensi kepada pelaku resmi
pembuat kebijakan agar dapat meloloskan atau
menggunakan bentuk kebijakan yang mereka
inginkan.
2. Lingkungan Kebijakan
Tuntutan terhadap kebijakan dapat dilahirkan
karena pengaruh lingkungan dan ditransformasikan
kedalam suatu sistem politik. Akan tetapi proses
perumusan kebijakan publik yang dihasilkan tentu

14
memperhatikan pula faktor lingkungan antara lain ;
sumber daya alam, iklim, topografi, jumlah penduduk,
distribusi penduduk, lokasi spasial, kebudayaan,
struktur sosial, sistem ekonomi dan politik. Dalam
kasus kebijakan tertentu perlu diperhatikan pula
lingkungan internasional dan kebijakan
internasional. Lingkungan sangat berpengaruh
terhadap isi kebijakan, sebab dari lingkunganlah
pelaku kebijakan dapat menyusun sebuah strategi
pembuatan suatu isi kebijakan bagi ruang publik.
Kebijakan pendidikan sebagai pengalokasian nilai-
nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang
keberadaannya mengikat sehingga pelaku kebijakan
dalam membuat kebijakan pendidikan harus benar-
benar memperhatikan lingkungan dimana tuntutan
sebuah kebijakan berasal.
3. Isi Kebijakan
Yang dimaksud dengan isi kebijakan adalah hasil
akhir dari pada sebuah formulasi kebijakan yang
telah terwujud dalam bentuk undang-undang,
peraturan pemerintah hingga peraturan daerah.
Wujud dari pada kebijakan publik tersebut tertuang
dalam isi kebijakan yang memuat pertimbangan,
penetapan dan keputusan yang selanjutnya terdiri
atas bab dan pasal hingga aturan-aturan tambahan.
G. Dimensi Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan memiliki empat dimensi
pokok (Hermino, 2013):

15
1. Dimensi normatif, teridiri atas nilai, standar,
dan filsafat. Dimensi ini memaksa masyakakat
untuk melakukan peningkatan dan perubahan
melalui kebijakan pendidikan yang ada. Dalam
pelaksanaannya, dimensi ini memerlukan
dukungan dari dimensi stuktur;
2. Dimensi struktural, dimensi ini berkaitan
dengan ukuran pemerintah (desentralisasi,
sentralisasi, federal, atau bentuk lain),
dukungan kebijakan bidang pendidikan; (3)
dimensi konstituentif, terdiri atas individu,
kelompok kepentingan, dan penerima yang
menggunakan kekuatan untuk
memmengaruhi proses pembuatan kebijakan;
3. Dimensi teknis, menggabungkan
pengembangan, praktik, implemnetasi dan
penilaian dari pembuatan kebijakan
pendidikan.
H. Unsur-unsur Pokok Kebijakan Pendidikan
1. Unsur Masalah
Unsur masalah berkaitan dengan bidang-
bidang garapan pemerintahan seperti
pendidikan, kesejahteraan masyarakat,
kesehatan masyarakat, pengembangan wilayah,
hubungan luar negeri, pertahanan dan
keamanan, perpajakan, kependudukan dan lain-
lain.Unsur ini lebih dikenal dengan bidang
ideologi, politik, sosial-budaya, pertahanan dan
keamanan.

16
(Fattah, 2014) mengelompokkan masalah
yang dihadapi menjadi masalah global dan
masalah nasional. Masalah global bersumber
dari laporan OECD tahun 2003 mencakup:
a. Peningkatan IPTEK yang pesat yang
membutuhkan penyesuaian budaya
(culture lag)
b. Produktivitas tenaga kerja yang rendah
“tenaga kerja terbesar merupakan
unskill labor (buruh bangunan, buruh
perkebunan, TKI/TKW)”
c. Kemampuan membaca siswa
menduduki urutan ke-39
d. Kemampuan sains urutan ke-38 dari 41
negara maju dan berkembang.
Sementara masalah nasional meliputi:
a. Krisis multidimensi termasuk ekonomi
mengakibatkan munculnya angkatan
kerja yang tidak produktif
b. Mengabaikan relevansi relevansi
pendidikan dengan perkembangan
zaman dan kualitas Pendidikan
c. Pendidikan terlalu berorientasi pada
input (masukan) dan pola pembangunan
yang dilakukan terpatok pada sarana-
sarana fisik
d. Pemerataan akses untuk memperoleh
pendidikan masih rendah (faktor
ekonomi, geografis, kultural, gender dll)

17
e. Rendahnya mutu pendidikan atau
kualitas pendidikan.
f. Tantangan yang dihadapi dalam
pendidikan mencakup:
1) Kemampuan keuangan yang tidak
memadai
2) Kepemimpinan kepala sekolah yang
tidak kompeten
3) Organisasi dan komitmen guru yang
masih rendah
4) Persepsi negatif dari masyarakat
5) Penataan staf
6) Kurikulum yang tidak relevan
7) Konflik politik dan rasial
8) Keterbatasan fasilitas
9) Komunikasi yang tidak kondusif
10) Pelaksanaan Manajemen Berbasis
Sekolah tidak jelas
11) Rendahnya peningkatan mutu guru
12) Peningkatan kesejahteraan guru yang yang
belum memadai
2. Unsur Tujuan
Unsur tujuan berkenaan dengan sasaran yang
hendak dicapai melalui program-program yang telah
ditetapkan oleh Negara. Berikut ini mengenai tujuan
umum dan khusus Pendidikan (Mudiyaharjo, 2014).
a) Tujuan Umum Pendidikan
Tujuan umum pendidikan berkenaan dengan
keseluruhan peristiwa-peristiwa pendidikan dan cita-
cita ideal tentang manusia atau masyarakat.Tujuan

18
umum pendidikan merupakan tujuan dari
keseluruhan jenis kegiatan dan waktu
berlangsungnya peristiwa- peristiwa pendidikan.
Terdapat tujuan umum pendidikan yang berorientasi
pada pencapaian manusia ideal, dari menyatakan
nahwa tujuan umum pendidikan adalah kedewasaan
(Langeveld), manusia yang berkarater dan bermoral
sosial (Herbart), manusia seutuhnya (Indonesia), dan
sebagainya. Di samping itu, ada pula yang
berorientasi pada pencapaian masyarakat ideal, dan
antara lain menyatakanbahwa tujuan umum
pendidikan adalah efisiensi sosial tujuan umum
pendidikan adalah efisinsi sosial (Dewey), warga
Negara yang baik dalam arti warganegara yang
berkarakter (Kerschenteiner), dan sebagainya.
b) Tujuan Khusus Pendidikan
Tujuan pendidikan bergerak dari tujuan
pendidikan setiap peristiwa pendidikan (tujuan
insidental pendidikan, yaitu tujuan yang terkandung
dalam setiap peristiwa pendidikan, atau tujuan
setiap kehiatan pendidikan) sampai dengan tujuan
keseluruhan peristiwa-peristiwa pendidikan (tujuan
umum pendidikan). Di antara keduanya terdapat
beberapa macam tujuan, yaitu:
1) Tujuan sementara pendidikan, yaitu tujuan
yang berkenaan dengan pencapaian tugas-
tugas perkembangan pada setiap tahap
perkembangan (masa kanak-kanak awal, masa

19
kanak-kanak pertengahan, masa remaja, masa
dewasa, dan masa usia lanjut).
2) Tujuan tak lengkap pendidikan, yaitu tujuan
yang berkenaan dengan pencapaian
perkembangan sesuatu aspek kepribadian
(intelektual, moral, sosial, dan sebagainya).
3) Tujuan institusional pendidikan, yaitu tujuan
pendidikan sesuatu jenis dan/atau jenjang
pendidikan (TK, SD, SLTP, SMU/SMK, PT,
Kursus, dan sebagainya).
4) Tujuan kurikuler pendidikan, yaitu tujuan
berkenaan dengan pencapaian penguasaan
suatu lingkup isi atau materi suatu jenis
pendidikan.
5) Tujuan instruksional pendidikan, yaitu tujuan
yang hendak dicapai dalam satu kesatuan
kegiatan-kegiatan pendidikan atau rangkaian
kegiatan pendidikan.
3. Cara Kerja atau Cara Pemecahan Masalah
Unsur cara kerja berkaitan dengan prosedur
sistematis berdasarkan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku. Metodologi analisis
kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang
lazim dipakai dalam pemecahan masalah manusia;
definisi; prediksi; deskripsi; dan evaluasi.
Dalam analisis kebijakan prosedur-prosedur
tersebut memperoleh nama-nama khusus.
Perumusan masalah (definisi) menghasilkan
informasi mengenai kondisi- kondisi yang

20
menimbulkan masalah kebijakan. Peramalan
(prediksi) menyediakan informasi mengenai
konsekuensi pada masa datang dari penerapan
alternatif kebijakan, termasuk tidak melakukan
sesuatu. Rekomendasi (preskripsi) menyediakan
informasi mengenai nilai atau kegunaan relatif dari
konsekuensi sekarang dan masa lalu dari
diterapkannya alternatif kebijakan. Evaluasi, yang
mempunyai nama sama dengan yang dipakai dalam
bahasa sehari-hari menyediakan informasi mengenai
nilai atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan
atau mengatasi masalah.
I. Impelementasi Kebiakan Pendidikan
Dalam proses pembuatan kebijakan ada satu
tahapan penting yang harus dilaksanakan yaitu
implementasi kebijakan. Implementasi kebijakan
merupakan sebuah proses dalam menerapkan
kebijakan yang telah diesepakati dari beberbagai
alternatif kebijakan yang telah di desain.
Implementasi kebijakan pendidikan merupakan
aktivitas dalam menerapkan kebijakan yang telah
disepakati yang berguna untuk mencapai tujuan
pendidikan. Dalam proses implementasi kebijakan
akan terlihat kendala atau permasalahan yang
dihadapi dalam pencapain tujuan pendidikan. Dari
semua rangkaian perumusan kebijakan pendidikan,
maka proses implementasi ini lah yang menjadi
tahapan yang lebih rumit dan kompleks. Hal ini
dikarenakan perlunya kerjasama yang kuat antar

21
elemen yang ada baik dari pihak pusat maupun
elemen daerah.
Proses implementasi kebijakan pendidikan
terdiri umumnya menggunakan empat pendekatan
yaitu (Elwijaya, Mairina, & Gistituati, 2021):
1. Pendekatan struktural.
Pada hakikatnya pendekatan struktural bersifat
top down. Pendekatan ini memandang bahwa
perancangan, pengimplementasian dan proses
evaluasi kebijakan pendidikan dilakukan secara
struktutral serta sesuai dengan tingkatan maupun
tahapannya. Sehingga jika diamati bahwa pendekatan
ini lebih bersifat birokratis dan cendrung kaku;
2. Pendekatan prosedural dan manajerial.
Pendekatan prosedural dan manjerial lebih
mementingkan prosedur dan teknik yang tepat dalam
mengembangkan kebijakan dibandingkan penantaan
struktur pelaksana. Sehingga pendekatan ini
membutuhkan alat teknologi dalam proses
pengimplementasian kebijakan;
3. Pendekatan perilaku.
Pendekatan perilaku memandang bahwa
pelaksana kebijakan adalah prilaku manusia.
Implementasi kebijakan pendidikan akan terlaksana
dengan baik apabila manusia juga memiliki prilaku
yang baik;
4. Pendekakatan politik.
Pendekatan politik lebih memfokuskan faktor
politik penguasa dalam mempermudah maupun

22
memperhambat penerapan kebijakan Pendidikan.
Pendekatan ini cendrung mempertimbangkan
kenyataan politik yang terjadi. Keempat pendekatan
ini memiliki kelebihan dan kekurangan namun
sehingga memerlukan kebijaksanaan dalam
menggunakanya agar kebijakan pendidikan dapat
mencapai tujuan pendidikan yang telah di tetapkan.

23
BAB II
DINAMIKA KEBIJAKAN PENDIDIKAN
A. Persoalan di ranah Pendidikan
Pendidikan di Indonesia dari tahun ke tahun
penuh dengan dinamika, maupun persoalan, mulai
dari persoalan konsep dan arah pendidikan,
ketidakjelasan kebijakan dan sistem yang
melingkupinya, serta buruknya metode pengajaran,
dan evaluasi pengajarannya.
Menurut Azyumardi Azra dalam (Nurtanio Agus
Purwanto, 2008) persoalan diranah pendidikan
adalah sebagai berikut: (1) terbatasnya kesempatan
mendapatkan pendidikan (limited capacity); (2)
sentralisasi kebijakan pendidikan nasional dan
menekankan pada uniformitas (keseragaman). Akibat
dari kebijakan ini adalah gagalnya pendidikan
merespon tuntutan stakeholders dan masyarakat
luas. Kondisi demikian mengakibatkan semakin
meningkatnya pengangguran terdidik; (3) minimnya
dana pendidikan. Persoalan dana hingga saat ini
masih sangat rumit, hal itu cukup beralasan
mengingat pemerintah kita belum menempatkan
pendidikan sebagai perioritas utama dalam
pembangunan; (4) masih timpangnya akuntabilitas
yang berkaitan dengan pengembangan dan
pemeliharaan sistem dan kualitas pendidikan.
Ketimpangan sosial, budaya dan ekonomi diberbagai
wilayah menjadikan kesulitan dalam pencapaian
kualitas yang standardized dalam basic potencies

24
khususnya; (5) belum memadainya profesionalisme
guru dan tenaga kependidikan. Jumlah guru dan
tenaga kependidikan kita bisa dikatakan mencukupi
tetapi tidak demikian dari sisi kualitas, masih banyak
dari mereka yang masih unqualified, underqualified,
dan mismatch sehingga kurang mengangkat kualitas
pendidikan; (6) relevansi. Hingga saat ini masih
terdapat ketimpangan antara pendidikan dan
kebutuhan dunia kerja dan masyarakat karena
lembaga pendidikan kurang peka dan mampu
menangkap dan merespon aspirasi masyarakat.
Sementara itu, menurut Zamroni dalam (Nurtanio
Agus Purwanto, 2008) berpendapat mengenai
pentinganya dilakukan restrukturisasi dan deregulasi
pendidikan yang mencakup empat aspek yaitu: (a)
orientasi pembelajaran siswa; (b) profesionalitas
guru; (c) akuntabilitas sekolah, dan; (d) partisipasi
orang tua peserta didik dan masyarakat sekitar.
Di sisi lainnya, menurut Subandi Sardjoko, Deputi
Menteri PPN/- Kepala Bappenas Bidang
Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan
BAPPENAS mengatakan bahwa guru yang bekualitas
menjadi kunci seluruh proses pendidikan. Berikut
kutipan lengkapnya: Mutu pendidikan ditentukan
oleh kualitas guru. Kurikulum merupakan faktor
sekunder saja, sebab efektivitas pelaksanaan
kurikulum pun bergantung pada kualitas guru. Peran
guru sangat vital dalam kegiatan pembelajaran, yang
berpengaruh langsung pada tinggi-rendahnya

25
kualitas pendidikan. Kualitas guru merupakan faktor
determinan terhadap mutu pembelajaran di kelas,
yang tercermin pada hasil belajar murid (student
learning outcomes). Buku merupakan sumber
pengetahuan, tetapi melalui guru pengetahuan dapat
ditransmisikan kepada peserta didik. Guru adalah
sosok yang menjadi sumber pembelajaran dan
praktik pendidikan di sekolah. Guru dengan
kompetensi tinggi, baik dalam hal penguasaan subject
knowledge maupun pedagogical knowledge,
berpengaruh langsung pada hasil belajar murid, yang
tercermin pada pencapaian akademik tinggi.
Metode pengajaran juga berpengaruh besar
terhadap efektivitas pembelajaran, yang ditandai oleh
kemampuan siswa dalam menyerap dan mencerna
materi pelajaran (Sardjoko, 2016). Gambaran
persoalan tersebut di atas, jika ditilik secara filosofis
berpangkal pada kebijakan—momot politik—di
bidang pendidikan. Persoalan kebijakan pendidikan
ditengarai menjadi persoalan krusial di Indonesia.
Sejak era penjajahan, bahkan kemerdekaan--baik,
orde lama, orde baru, maupun reformasi--kebijakan
pendidikan menjadi zona “terseksi” dalam perjanan
kehidupan berbangsa dan bernegara.
B. Kebijakan Pendidikan di era orde lama
Dasar-dasar pendidikan yang diletakkan suatu
rezim pemerintahan pada hakikatnya berpangkal
pada dinamika perpolitikan kebangsaan. Lebih
praktis lagi, pendidikan selalu berpaut pada politik

26
kepentingan kepemimpinan (leadership) berkuasa.
Menurut M. Sirozi, dalam (Malla, 2011) bahwa
hubungan antara pendidikan dan politik saling
terkait karena pendidikan berperan besar dalam
integrasi sistem politik. Apabila pendidikan tidak
sanggup berperan menjalankan fungsi integratifnya
akan muncul tekanan dan hambatan yang harus
dihadapi oleh sistem politik. Kebijakan pendidikan di
era orde baru pun demikian adanya, diwaktu itu
setidaknya ada dua kebijakan pendidikan yang
dominan, yakni: arah pendidikan, dan pemerataan
pendidikan.
Arah pendidikan di masa orde lama dapat
dicermati dari kebijakan Menteri pendidikan pertama
Ki Hajar Dewantara beberapa bulan sesudah
proklamasi kemerdekaan mengeluarkan Instruksi
Umum, yang isinya menyerukan kepada para
pengurus upaya membuang sistem pendidikan
kolonial dan mengutamakan patriotisme (Tilaar,
1995). Sosialisme Indonesia yang dijalankan oleh
pemerintah, di tingkatan kebijakan, sampai
penerapannya dilingkungan pendidikan formal, SMP,
SMA, dan perguruan tinggi, merupakan salah satu
cara menyelaraskan tujuan pendidikan dengan tujuan
negara. Pemerintah membuat suatu kurikulum yang
sesuai dengan tujuan tersebut, dan lahirlah mata
pelajaran Ilmu Kewargaan Negara atau Civics, yang
diajarkan di tingkat SMP dan SMA. Kebijakan
pendidikan pada masa ini disesuaikan dengan tujuan

27
negara, yaitu pendidikan sosialisme Indonesia oleh
pemerintahan Ir. Soekarno (1961-1966) (Hartono,
1999). Sementara itu, kebijakan pemerataan
pendidikan di orde lama dituangkan secara yuridis
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang
Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah
(Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 550).
Kemudian pelaksanaannya pun ditegaskan dalam
UU No.12 Tahun 1954, tentang pernyataan
berlakunya UU No. 4 Tahun 1950 tentang Dasar-
Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah Untuk
Seluruh Indonesia (lembaran Negara Tahun 1954
Nomor 38. Tambahan lembaran Negara Nomor 550).
Tujuan dan dasar pendidikan pada Orde Lama dapat
dilihat pada pasal 3 dan 4. Pasal 3 menyebutkan
bahwa “Tujuan pendidikan dan pengajaran adalah
membentuk manusia susila yang cakap dan warga
Negara yang demokratis serta bertanggungjawab
tentang kesejahteraan masyarakatdan tanah air”.
Sementara itu, pasal 4 berbunyi: “Pendidikan dan
pengajaran berdasar atas asas-asas yang termaktub
dalam Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia dan
atas kebudayaan kebangsaan Indonesia”. Konsep
pendidikan ini akhirnya berakhir ketika pada tahun
1965 (Hartono, 1999). Di masa orde lama, kebijakan
pendidikan diletakkan sebagai bangunan
fundamental pembangunan, sekaligus penguatan
sumber daya manusia. Hal ini sebagaimana
ermanivestasikan melalui perundangan. UU No. 4

28
tahun 1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan
Pengadjaran di Sekolah untuk Seluruh Indonesia.
Instruksi Menteri Muda Pendidikan Pengajaran dan
Kebudayaan No. 1 tentang Sapta Usaha Tama tahun
1959, dan Instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan
Kebudayaan No. 2 tentang Panca Wardhana/Hari
Krida tahun 1961. Produkproduk perundangan
tersebut merupakan bukti keseriusan pemerintah di
bidang pendidikan.
C. Kebijakan Pendidikan di era orde baru
Pembangunan pendidikan di masa orde baru
dilaksanakan melalui tahap-tahapan Pembangunan
Jangka Panjang Tahap Pertama (PJPT-I) dan PJPT-II,
dan berujung pada orde reformasi 1998. Menurut
(Tilaar, 1995) orde baru menandakan lahirnya suatu
orde pembangunan yang ingin membawa bangsa dan
masyarakat Indonesia menuju suatu masyarakat yang
adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
pelaksanaan UUD 1945 secara konsekuen. Hal
tersebut dinyatakan di dalam TAP MPRS No. LI/
MPRS/1968 tentang Tugas Pokok Kabinet
Pembangunan. Sementara itu, pembangunan bidang
pendidikan didasarkan kepada TAP MPPRS RI No.
XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan dan
Kebudayaan.
Lebih lanjut, tentang pendidikan digariskan
sebagai berikut: Sebagai dasar pendidikan ialah
falsafah negara Pancasila. Tujuan pendidikan ialah
membentuk manusia Pancasilais sejati berdasarkan

29
ketentuanketentuan seperti yang dikehendaki oleh
Pembukaan UUD 1945 dan isi UUD 1945. Untuk
mencapai dasar dan tujuan pendidikan tersebut maka
isi pendidikan adalah sebagai berikut: (1)
mempertinggi mental/ moral/ budi pekerti dan
memperkuat keyakinan beragama; (2) mempertinggi
kecerdasan dan keterampilan; (3) membina/
memper-kembangkan fisik yang kuat dan sehat
(Tilaar, 1995).
Produk-produk hukum terkait dengan perbaikan
di bidang pendidikan setelah TAP MPRS tersebut
sangat beragam, diantaranya: (1) Ketetapan
Permusjawaratan Rakjat Sementara Republik
Indonesia No. XXVII- /MPRS/1966 tentang Agama,
Pendidikan, Kebudayaan; (2) Instruksi Presiden
Republik Indonesia No. 15 Tahun 1974 tentang
Pelaksanaan Keputusan Presiden Republik Indonesia;
(3) Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 15
Tanggal 13 September Tahun 1974 Pokok-Pokok
Pelaksanaan Pembinaan Pendidikan dan Latihan; (4)
Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 15 Tanggal
13 September Tahun 1974 PokokPokok Pembinaan
Pendidikan Umum dan Kejuruan; (5) Instruksi
Presiden Republik Indonesia No. 15 Tanggal 13
September Tahun 1974 Pokok-Pokok Pelaksanaan
Pembinaan Pendidikan dan Latihan Khusus Bagi
Pegawai Negeri. Selain itu, disetiap pidato
pertanggung jawaban Presiden/ Mandataris di sidang

30
umum MPR persoalan pendidikan nasional menjadi
salah satu pokok perhatian presiden
D. Kebijakan Pendidikan di era reformasi
Di era reformasi setidaknya ada empat kebijakan
pendidikan yang menjadi agenda perbaikan sistem
pendidikan nasional. Keempat program di bidang
pendidikan yaitu: (1) peningkatan mutu pendidikan;
(2) efisiensi pengelolaan pendidikan; (3) relevansi
pendidikan, dan (4) pemerataan pelayanan pendi--
dikan. Kempat isu utama di bidang pendidikan
tersebut, di dasarkan kepada keinginan dan tuntutan
bangsa Indonesia berkaitan dengan peningkatan
kualitas serta mempermudah dan mempercepat
pelayanan di bidang pendidikan.
Selain itu, paradigma baru dalam bidang
pendidikan adalah menjadikan pendidikan agama
sebagai salah satu isu utama dalam setiap kebijakan
pemerintah, baik dalam substansi Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas maupun
Peraturan Pemerintah yang mengikutinya, karena
dianggap bahwa agama sebagai dasar pembentukan
karakter bangsa, pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya
(Malla, 2011). Kebijakan pendidikan di era reformasi
walaupun belum sepenuhnya berhasil, tapi sudah
menunjukkan perbaikan yang signifikan.
Hal ini terbukti dari capaian Indek Pembangunan
Manusia dari tahun ke tahun semakin baik. Capaian
pembangunan manusia di Indonesia secara umum

31
terus menunjukkan peningkatan kecuali pada tahun
1999 dimana Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Indonesia turun menjadi 64,30 poin dari capaian
67,70 poin pada tahun 1962. Pada tahun-tahun
berikutnya IPM Indonesia selalu meningkat dari
65,80 pada tahun 2002, meningkat menjadi 68,69
pada tahun 2004, hingga pada tahun 2010 mencapai
72,27 (Statistik, 2011). Berdasarkan catatan BPS
pada 2015 tercatat pembangunan manusia di
Indonesia memperlihatkan perkembangan yang
cukup signifikan dari tahun ke tahun. Pada tahun
2015, capaian IPM di Indonesia sudah mencapai
69,55. Angka ini meningkat 0,65 poin dari tahun
2014 dimana capaian pada tahun 2014 sebesar 68,90.
Perkembangan ini menunjukkan semakin
membaiknya pembangunan manusia secara umum di
Indonesia. Jika dilihat dari trennya, IPM yang
merupakan salah satu alat ukur pembangunan
manusia mengalami kenaikan.
E. Arah Pendidikan di Indonesia
Orientasi pendidikan nasional di masa pra
kemerdekaan di pemerintahan Belanda adalah
menjadi bagian tak terpisahkan dari keseluruhan
perjuangan politik menuju kemerdekaan (Buchori,
1994). Dimasa perjuangan ini, semua tenaga dan
pikiran pendidikan nasional dijadikan sebagai alat
perjuangan kemerdekaan. Hal ini tercermin dari
berdirinya organisasi kepemudaan yang diinisiasi
oleh para pelajar. Sebut saja berdirinya Trikoro

32
Dharmo, atau tiga tujuan mulia, yang didirikan oleh
Dr. R. Satiman (17 Maret 1915). Lahirnya Trikoro
Dharmo ini mengilhami berdirinya gerakan Jong Java,
Jong Sumatera (1917), Jong Ambon (1910), Jong
Minahas (1919), Jong Celebes, Jong Batak, Sekar
Rukun Pemuda Sunda (1920), Pemuda Timor,
Pemuda Betawi hingga Budi Utomo (Tilaar, 1995).
Sementara itu, pendidikan nasional di masa
pemerintahan Jepang berorientasi melakukan
berbagai intervensi administratif untuk mencairkan
kembali sistem pendidikan Indonesia yang menjadi
beku sejak pemerintahan Hindia Belanda.
Lebih dari itu, pewajahan pendidikan nasional
mulai menunjukkan tanda-tanda profesional
dibandingkan masa kolonial Belanda (Buchori, 1994).
Namun demikian, usaha perbaikan pendidikan di
masa Jepang ini hanya didasarkan atas keterpaksaan
semata, bukan atas niatan luhur memberdayakan
masyarakat pribumi. Di era orde lama, (masa awal
kemerdekaan) urusan pendidikan dan kebijakan
didalamnya diserahkan pada Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Hanya saja penamaan
kementeriannya berbeda-beda. Perbedaan penamaan
seolah menjadi tanda bahwa arah dan tujuan
pendidikan nasional acapkali “tidak konsisten” dari
kabinet satu ke kabinet lainnya. Alih kata, arah dan
tujuan pendidikan nasional dimasa orde lama tengah
mencari performa terbaiknya. Sebut saja, dimasa Ki
Hadjar Dewantara (19 Agustus 1945-14 November

33
1945) bahkan di masa Muhammad Muhadjir (2016-
sekarang) penamaan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nasional acapkali berganti-ganti. Yakni,
mulai dari Menteri Pengajaran, Menteri Muda
Pengajaran, Menteri Negara Urusan Pemuda, Menteri
P.P. dan K, Departemen P. dan K, Menteri Muda
Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Pendidikan
Nasional, dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Nasional.
Kemudian periode 1945-1949 orientasi
pendidikan digunakan sebagai pelopor perjuangan
kemerdekaan (Buchori, 1994). Di samping itu, arah
dan tujuan pendidikan di masa orde lama berorentasi
pada penguatan sumber daya manusia. Hal ini
tercermin dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1950
tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengadjaran,
pada pasal 3 yang menye-butkan bahwa “tujuan
pendidikan dan pengadjaran ialah membentuk
manusia susila jang cakap dan warga negara jang
demokratis serta bertanggung jawab tentang
kesejahteraan masjarakat dan tanah air” (Tilaar,
1995).
Selanjutnya, selama periode 1950-1965
(penghujung orde lama) sistem pendidikan nasional
berorientasi pada aksesibitas pendidikan. Bahkan,
menurut Mochtar Buchori aksesibitas pendidikan
berjalan dengan sangat cepat, dan melam-paui batas-
batas kemampuan yang secara nyata dimiliki oleh
kekuatan pendidikan nasional kita pada waktu itu

34
(Buchori, 1994). Kemudian, runtuhnya orde lama ke
tangan orde baru dimasa awal menjadi angin segar
dalam dunia pendidikan. Hal itu dikarenakan
pendidikan nasional merupakan bidang garapan
pembangunan nasional yang tertuang pada PJP-I. UU
No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional merupakan salah satu prestasi besar yang
telah dicapai dalam PJP-I ini. Kemudian bergeser
pada PJP-II sebagai tanda bahwa Indonesia tengah
memasuki era tinggal landas. Namun demikian, PJP-II
ditandai polemik yang mengiringinya, yakni
perubahan stategi pembangunan dari Widjojonomics
menjadi Habibienomics.
Alih kata, tarik menarik domain pembangunan
dari prioritas keunggulan komparatif—ciri khas
Widjojonomics— menuju prioritas keunggluan
kompetitif—ciri khas Habibienomics (Tilaar, 1995).
Alhasil, pembangunan ala Habibienomics lebih
dominan. Bahkan, di era BJ. Habibie menjadi Menteri
Ristek pabrikan PT Dirgantara Indonesia (DI)
berjaya. Pesawat terbang CN235, CN-250 Gatotkaca
berhasil diorbitkan dan menorehkan sejarah emas.
Sayangnya, Indonesia waktu itu gagal dalam
pemasaran. Barter pesawat terbang dengan bahan
pokok beras ketan di Negara Thailand pun menjadi
isu negatif (Pratomo, 2015). Sementara itu,
tumbangnya rezim orde baru akibat tuntutan arus
reformasi pada tahun 1998 berdampak terhadap
perubahan kebijakan pendidikan. Kebijakan

35
pendidikan pun bergeser tumpuannya dari PJP-II
menuju tuntutan reformasi.
Undang-Undang Sisdiknas tahun 2003 adalah
produk perundangan yang keluar dari rahim era
reformasi. Tujuan pendidikan pun mulai menemukan
titik pijak yang lebih kuat. Jika, tujuan pendidikan
yang tercantum pada TAP MPRS-RI No.
XXVII/MPRS/1996 tentang Agama, Pendidikan dan
Kebudayaan pada pasal 3 “membentuk manusia
Pantjasilais sedjati berdasarkan ketentuan-ketentuan
seperti jang dikehendaki oleh Pembukaan
UndangUndang Dasar 1945 dan isi Undang-Undang
Dasar 1945” (Tilaar, 1995), maka tujuan pendidikan
di era reformasi lebih fundamental, yakni: Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermar-\tabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab (Presiden Indonesia, 2003).
Namun demikian, harus diakui tujuan pendidikan
sebagaimana UU Sisdiknas tahun 2003 belum bisa
terlaksana sesuai harapan. Alasan klasik yang
dijadikan sebagai pembenar dari kealfaan
pelaksanaan darinya pun beragam. Mulai dari
persoalaan sumber daya manusia, luasnya cakupan

36
wilayah pendidikan (demografi), perbedaan budaya
dan adat istiadat hingga minimnya anggaran belanja
di bidang pendidikan nasional. Poin terpenting yang
harus dipahami adalah setiap rezim pemerintahan
senantiasa berusaha memenuhi tanggung jawabnya
dalam mencerdaskan kehidupan warga negara, akan
tetapi belum mampu memenuhi harapan mulia
tersebut.

37
BAB III
FORMULASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN
A. Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan
Publik
Kebijakan publik merupakan ilmu yang relatif
baru karena secara historis baru muncul pada
pertengahan dasawarsa 1960- an sebagai sebuah
disiplin yang menonjol dalam lingkup administrasi
publik maupun ilmu politik. Sementara itu, analisis
kebijakan publik bisa dibilang telah lama eksis dan
dapat dirunut sejak adanya peradaban umat manusia.
Sejak itu, kebijakan publik tidak terpisahkan dari
kehidupan manusia dalam bentuk tataran mikro
individual maupun konteks tataran makro dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Wahab,
2008).
Kebijakan publik merupakan keputusan-
keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara
langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian
sumberdaya alam, finansial dan manusia demi
kepentingan publik, yakni rakyat banyak, penduduk,
masyarakat atau warga negara. Ditinjau dari proses,
kebijakan publik diartikan sebagai hasil dari adanya
sinergi, kompromi atau bahkan kompetisi antara
berbagai gagasan, teori, ideologi, dan kepentingan-
kepentingan yang mewakili sistem politik suatu
negara. Oleh karena itu, kebijakan merupakan
instrumen pemerintah untuk melakukan suatu
tindakan dalam bidang tertentu seperti fasilitas

38
umum, tranportasi, pendidikan, kesehatan,
perumahan, kesehjahteraan, dan lain-lain yang
dianggap akan membawa dampak positif bagi
kehidupan warganya.
Pengertian lainnya, kebijakan publik hanya
sebatas dokumen-dokumen resmi seperti perundang-
undangan, dan peraturanperaturan pemerintah.
Namun sebagian lagi mengartikan kebijakan publik
sebagai pedoman acuan, strategi dan kerangka
tindakan yang dipilih atau ditetapkan sebagai garis
besar pemerintah dalam melakukan kegiatan
pembangunan. Disadari variasi pengertian kebijakan
publik begitu luas dan tidak dapat dihindari, karena
istilah kebijakan berupaya menjelaskan secara
ringkas berbagai tindakan mulai dari mencermati isu
atau masalah, merumuskan formulasi dan
memutuskan, sampai pada implementasi, monitoring
dan evaluasi. Setiap perundang-undangan dan
peraturan adalah kebijakan, akan tetapi tidak setiap
kebijakan diwujudkan dalam bentuk perundang-
undangan atau peraturan. Dalam konteks pengertian
kebijakan publik seperti tersebut, teridentifikasi
dimensi-dimensi yang saling bertautan antara
kebijakan publik sebagai pilihan tindakan legal secara
hukum, kebijakan publik sebagai hipotesis dan
kebijakan publik sebagai tujuan (Bridgeman dan
Davis, 2004). Kebijakan publik sebagai pilihan
tindakan yang legal karena dibuat oleh orang yang
memiliki otoritas dan legitimasi dalam sistem

39
pemerintahan. Keputusan keputusannya mengikat
aparatus pemerintahan untuk bertindak dalam
menyiapkan rancangan perundang-undangan dan
peraturan pemerintah untuk dipertimbangkan oleh
parlemen atau mengalokasikan anggaran guna
mengimplementasikan program tertentu. Kebijakan
sebagai keputusan legal bukan juga berarti bahwa
pemerintah selalu memiliki kewenangan dalam
menangani berbagai isu dan masalah publik. Setiap
pemerintahan biasanya bekerja berdasarkan warisan
kebiasaan-kebiasaan pemerintahan terdahulu.
Rutinitas birokrasi yang diterima biasanya
merefleksikan keputusan kebijakan lama yang sudah
terbukti efektif jika diterapkan. Dalam konteks ini,
penting dikembangkan proses kebijakan yang
partisipatif dan dapat diterima secara luas sehingga
dapat menjamin bahwa usulan dan aspirasi
masyarakat dapat diputuskan secara teratur dan
mencapai hasil yang baik. Kebijakan publik sebagai
hipó tesis artinya kebijakan dibuat berdasarkan teori
dan proposisi-proposisi sebab akibat. Oleh karena itu,
kebijakan hendaknya bersandar pada asumsi-asumsi
mengenai prilaku. Hal ini penting agar kebijakan
selalu mendorong orang untuk melakukan sesuatu,
serta mampu memprediksi keadaan dan menyatukan
perkiraan-perkiraan mengenai keberhasilan yang
akan dicapai dengan mekanisme mengatasi
kegagalan yang mungkin terjadi. Namun kebijakan
bukanlah laboratorium tempat uji coba, karena sulit

40
untuk mengevaluasi asumsi-asumsi prilaku sebelum
sebuah kebijakan benar-benar dilaksanakan.
Pemerintah mungkin memperkirakan bahwa sebuah
paket pengurangan pajak akan mendapat respon
positif dari rakyat. Tetapi, hingga pemerintah
mengumumkan pengurangan tersebut dan mengukur
dampaknya, para pengambil kebijakan harus selalu
waspada karena akibat yang ditimbulkan kebijakan
tersebut belum tentu sesuai dengan perkiraan
sebelumnya. Dalam konteks tersebut, pelajaran dan
temuan-temuan dari hasil implementasi, monitoring
dan evaluasi menjadi sangat penting. Artinya,
pembuatan kebijakan yang baik didasari kemampuan
dalam memahami pelajaran-pelajaran dari
pengalamanpengalaman kebijakan dan menerapkan
pelajaran itu dalam langkah perumusan kebijakan
berikutnya.
Oleh karena banyaknya pemain dan kepentingan
dalam perumusan sebuah kebijakan,
mengintegrasikan pengalaman penerapan kebijakan
dengan perbaikan kebijakan berikutnya tidak selalu
mudah dilakukan. Temuan-temuan dilapangan
mengenai konsewensi-konsekwensi kebijakan perlu
dicatat dan didokumentasikan secara baik dalam
sebuah naskah kebijakan sehingga dapat dipelajari
dan disebarluaskan. Berkaitan dengan kebijakan
publik sebagai tujuan dimaksudkan kebijakan
menjadi alat untuk mencapai sebuah tujuan. Artinya,
kebijakan publik adalah seperangkat tindakan

41
pemerintah yang didesain untuk mencapai hasil-hasil
tertentu yang diharapkan oleh publik. Pembuat
kebijakan harus mampu merumuskan tujuan yang
ingin dicapai, karena kebijakan tanpa tujuan tidak
memiliki arti, bahkan tidak mustahil akan
menimbulkan masalah baru. Misalnya, sebuah
kebijakan yang tidak memiliki tujuan jelas, program-
programnya akan diterapkan secara berbeda-beda,
strategi pencapaiannya menjadi kabur, dan akhirnya
para analis dan kritikus akan menyatakan bahwa
pemerintah telah kehilangan arah. Dalam
kenyataannya, pembuat kebijakan seringkali
kehilangan arah dalam penetapan tujuan-tujuan
kebijakan.
Solusi kerapkali dipandang lebih penting dari
masalah. Padahal yang terjadi seringkali sebaliknya
dimana sebuah solusi yang baik akan gagal jika
diterapkan pada masalah yang salah. Dalam konteks
ini, identifikasi masalah dan kebutuhan menjadi
sangat penting. Oleh karena itu kebijakan yang baik
dirumuskan berdasarkan masalah dan kebutuhan
masyarakat. Dengan demikian, kebijakan yang baik
akan dapat merumuskan secara eksplisit pernyataan
resmi mengenai pilihan tindakan yang akan
dilakukan, dan teori, proposisi dan model sebab-
akibat yang mendasari kebijkan, serta hasil-hasil
yang akan dicapai dalam kurun waktu tertentu.
Artinya, dalam sebuah lingkaran perumusan
kebijakan, pilihan-pilihan tindakan yang legal dibuat

42
berdasarkan hipó tesis dari proposisiproposisi
berbagai teori guna mencapai tujuan-tujuan
kebijakan yang ditetapkan. Rumusan yang sederhana
ini menunjukkan hubungan antara ketiga dimensi
kebijakan di atas. Artinya, kebijakan publik sebagai
pilihan tindakan legal, sebagai hipó tesis dan sebagai
tujuan merupakan tiga serangkai yang saling
berkaitan satu sama lain sehingga ketiganya
merupakan prasyarat sekaligus tantangan bagi
kebijakan publik yang efektif.
B. Model Kebijakan Pendidikan
Formulasi kebijakan pendidikan sangat penting
untuk dilaksanakan agar tujuan pendidikan yang
telah disusun dapat dicapai secara maksimal. Untuk
merumuskan kebijakan pendidikan maka perlu
diketahui model-model perumusan kebijakan
pendidikan tersebut, diantaranya adalah sebagai
berikut :
1. Model Kelembagaan
Model kelembagaan ini berprinsip bahwa
pemerintah adalah penanggung jawab pembuatan
kebijakan, (Wibowo, 2013). Apapun yang dihasilkan
oleh pemerintah merupakan kebijakan publik. Model
kelembagaan ini didasari oleh fungsi kelembagaan
dari setiap sektor pemerintah dalam merumuskan
kebijakan, (Nurain et al, 2016). Pemberian kebijakan
oleh pemerintah dicirikan dengan lembaga negara
memberikan legitimasi, kebijakan negara bersifat
universal dan kebijakan tersebut dapat dimonopoli

43
dan dipaksakan oleh pemerintah kepada masyarakat.
Hal ini selaras dengan pendapat yang menyatakan
bahwa model lembaga merupakan model yang
digunakan oleh pemerintah dalam merumuskan
kebijakan (Fatem, 2020). Maka oleh sebab itu model
kelembagaan ini dapat diterapkan dalam
merumuskan kebijakan pendidikan di sektor
pemerintah.
Berdasarkan pengkajian yang penulis lakukan
ditemukan bahwa model kelembagaan ini memiliki
keunggulan yaitu pemerintah dapat menuntun
masyarakat untuk dapat melaksanakan kebijakan
melalui kekuatan dan monopoli kekuasaan yang sah.
Namun model ini juga memiliki kelemahan yaitu
model ini tidak memperhatikaan hubungan antar
lembagai dan substansi dari kebijakan itu sendiri.
2. Model Sistem
Model sistem ini dikembangkan oleh ahli yang
bernama Paine dan Naumes, (Triastuti, 2003). Model
sistem merupakan model yang menggambarkan
kejadian nyata yang terjadi saat pembuatan
kebijakan. Model sistem ini disebut juga dengan
model deskriptif. Model sistem ini dirumuskan dari
sudut pandang pembuat kebijakan. Dalam
merumuskan kebijakan dengan model ini pembuat
kebijakan dilihat perannya dari proses perancangan
maupun pengkoordinasian dalam menemukan
pemecahan masalah yang akan 1) memformulasikan
kesempatan dan menggunakan bantuan dari aspek

44
internal maupun aspek internal, 2) memberikan
kepuasan sesuai dengan permintaan lingkungan, dan
3) dapat memberikan kepuasan terhadap pembuat
kebijakan, (Paiane and Naumes, 1975). Model sistem
mendeskripsikan bahwa adanya interaksi antara
pembuat kebijakan dan lingkungan sebagai hal yang
dinamis. Interaksi tersebut dapat berbentuk inputs
dan outputs. Outputs yang dihasilkan akan menjadi
bahagian dari lingkungan yang akan melakukan
interaksi dengan organisasi. Model sistem
mempercayai bahwa kebijakan politik yang timbul
dari interaksi dianggap sebagai masukan sedangkan
yang dikeluarkan merupakan respon dari setiap
tuntutan yang dianggap sebagai luaran sistem politik.
Agar setiap tuntutan dapat menjadi kebijakan
maka diperlukan penyelesaian dari pihak-pihak yang
bertentangan. Maka sebuah sistem dapat dibangun
dari aspek-aspek yang mendukung sistem tersebut.
Selain itu juga di dukung oleh sub sistem yang salin
berhubungan (Walukow, 2012). Dengan saling
berinteraksinya sebuah sistem maka sistem tersebut
akan menghasilkan luaran yang jelas, memiliki akar-
akar sistem yang kuat, dan memiliki penggunaan
yang bersifat otoritas, (Toha dan Himy, 2020). Maka
dari penjabaran model sistem tersebut maka model
sistem dapat di aplikasikan pada kebijakan
pendidikan namun perlu adnaya keikutsertaan
masyarakat secara menyeluruh agar dapat
memetakan permasalahan untuk dicarikan solusi

45
yang tepat. Berdasarkan kajian yang penulis lakukan
ditemukan bahwa model sistem memiliki kelebihan
yaitu memiliki input dan proses yang jelas dan sesuai
prosedur sehingga menghasilkan output yang jelas.
Sedangkan efisiensi waktu menjadi kelemahan dari
model ini dikarenakan membutuhkan waktu yang
banyak dalam menampun input dan melaksanakan
proses sebelum dilahirkannya kebijakan.
3. Model Penyelidikan Campuran
Model penyelidikan campuran disebut juga
dengan model mixed scanning yang menggunakan
aspekaspekdari dua pendekatan maupun dua sudut
pandang. Model penyelidikan campuran menuntut
pembuat kebijakan untuk menggunakan teori
rasional yang bersifat menyeluruh dan
inkrementalisme dengan memperhatikan situasi dan
kondisi yang berbeda, (Mulyana et al, 2019). Pada
beberapa kasus penggunaan pendekatan
inkrementalisme sangat tepat untuk digunakan
namun pada kasus lainnya pendekatan yang bersifat
komprehensif lebih tepat untuk digunakan.
Penggunaan model penyelidikan campuran dapat
digunakan pada proses kebijakan pendidikan dengan
mengambil keputusan yang dilakukan secara
inkremental dan rasional (Ismail, 2016).
Berdasarkan kajian yang peneliti lakukan
ditemukan bahwa model penyelidikan campuran
memiliki kelebihan yaitu melihat dari dua sisi utama
dan khusus dalam merumuskan kebijakan sehingga

46
kebijakan yang ditemukan lebih terperinci namun hal
ini menjadi kelemahan karena pembidikan
permasalahan tersebut hanya difokuskan kepada
beberapa daerah saja sehingga banyak daerah yang
akan luput dari pantuan.
4. Model Proses
Model proses mengansumsikan bahwa politik
merupakan kegiatan yang memiliki proses. Adapun
tahapan perumusan kebijakan dengan model proses
yaitu mengindentifikasi masalah, menyusun agenda,
merumuskan perancangan kebijakan, pengesahan
kebijakan, penerapan kebijakan, dan penilaian
kebijakan, (Thomas, 2011). Penerapan model proses
ini dalam kebijakan pendidikan dapat dilaksanakan
dengan mengikuti setiap tahapan agar mendapatkan
kebijakan yang tepat. Berdasarkan kajian yang
peneliti lakukan ditemukan bahwa model proses
memiliki kelebihan yaitu kebijakan yang lahir
merupakan bentuk kefokusan terhadap elemen
irasinal perumus kebijakan dengan memperhatikan
setiap kebutuhan masyarakat namun yang menjadi
kelemahanya adalah membutuhkan waktu yang lama
hingga kebijakan dapat di sahkan.
5. Model Teori Elite
Teori elite mengasumsikan bahwa masyarkat
terdiri dari dua kelompok yaitu kelompok pemegang
kekuasaan (penguasa/ elite) dan kelompok yang
tidak memegan kekuasaan (masa),(Suryono, 2014).
Teori elite ini berpadangan bahwa demokrasi yang

47
dijalankan secara penuh akan memumngkinkan
adanya bias dalam merumuskan kebijakan. Hal ini
dikarenakan kebijakan yang dihasilkan merupakan
bagian dari prefensi politik kaum elite, (Sjoraida,
2017). Model ini lebih banyak mempertimbangkan
kepentingan elit dibandingkan tuntutan dari
masyarakat. Maka isu kebijakan yang akan
dimasukan dalam proses perumusan kebijakan
pendidikan menjadi hasil konflik dan kesepakatan
dari kaum elit politi tersebut sedangkan masyarakat
tidak memiliki kekuatan untuk dapat mencampuri
kebijakan yang dihasilkan. Oleh sebab itu perlunya
kebijaksanaan kaum elit politik untuk dapat
merumuskan kebijakan yang berlandasan
kepentingan umum. Berdasarkan kajian yang peneliti
lakukan ditemukan bahwa model elit memiliki
kelebihan bahwa kebijakan yang dihasilkan lebih
cepat yang dilandasi dengan konsep dan teori pakar
ahli namun kebijakan tersebut tidak di tampung dari
bawah sehingga masyarakat hanya mengetahui
bahwa kebijakan telah ada dan wajib untuk
dilaksanakan.
6. Model Rasional
Model rasional merupakan kebijakan yang
didapatkan dari perolehan sosial maksimum. Artinya
bahwa model rasional yang digunakan oleh
pemerintah harus mampu untuk menghasilkan
kebermanfaatan yang maksimal bagi masyarakat,
(Latifa, 2016). Teori ini mempreskripsikan berbagai

48
bentuk prosedur dalam mengambil keputusan yang
diperoleh dari cara yang dianggap effisien dalam
merumuskan kebijakan. Model rasional berasal dari
pemikiran rasionalisme dan positifisme yang bersifat
ilmiah, (Susanto, 2016). Hal ini dikarenakan model
rasional meyakini bahwa permasalahan yang
dihadapi dapat diselesaikan melalui metode yang
ilmiah dan rasional. Maka dapat disimpulkan bahwa
keputusan publik tidak mengoptimalkan manfaat
diatas bebas namun hanya memenuhi kriteria
pembuat kebijakan sedangkan rasionalitas manusia
memiliki keterbatasan. Berdasarkan kajian yang
peneliti lakukan ditemukan bahwa model rasional
memiliki keleibihan yaitu kebijakan yang akan
dilahirkan sesuai dengan kondisi dilapangan namun
model ini memiliki kelemahan yaitu keterbatasan
rasional intelektual dari sipembuat kebijakan.
7. Model Inkrementalis
Model inkrementalis merupakan bentuk dari
kritik model rasional. Model ini beranggapan bahwa
pembuat kebijakan tidak memungkinkan
melaksanakan proses seperti model rasional
dikarenakan adanya keterbatasan pada pembuat
kebijakan seperti keterbatasan waktu, intelektual dan
biaya, (Handrian et al, 2021). Model ini melakukan
penyesuaian dengan realitis kehidupan demokratis
dan pluralitas serta keterbatasan yang dimiliki
manusia. Model ini berlandasan bahwa adanya
perubahan inkrementalis mengakibatkan adanya

49
proses keamanan apabila terjadinya perubahan
kebijakan. Segala bentuk pengetahuan yang
dipercaya dilandaskan kepada satu-satunya acara
untuk memperoleh keputusan tanpa memunculkan
resiko, (Maulana et al, 2018).
Maka secara umum dapat disimpulkan bahwa
model inkrementalis merupakan model yang yang
tidak melakukan proses sehingga kurang tepat
digunakan dalam proses perumusan kebijakan
dikarenakan kebijakan dalam pendidikan bersifat
kontiniu dan memakan waktu yang lama.
Berdasarkan kajian yang peneliti lakukan ditemukan
bahwa model inkremantalis memiliki kelebihan yaitu
kebijakan yang dilahirkan lebih cepat karena
kebijakan yang dilahirkan merupakan kebijakan yang
dianggap paling tepat tanpa memikirkan alternatif
lainnya namun yang menjadi kelemahanya adalah
kebijakan hanya dapat diterapkan pada
permasalahan yang bersifat rutin.
8. Model Analisis Kebijakan Pendidikan
Model analisis kebijakan merupakan suatu upaya
dalam memperoleh dan menghasilkan kebijakan
melalui proses argumentasi dan metode inkuiri
dalam pendekatan disiplin ilmu sosial terapan
dengan pengambilan keputusan politis dalam upaya
memecahkan permasalahan dalam sebuah kebijakan,
(Chabibi, 2019). Proses analisis dimanfaatkan untuk
menggunakan pengetahuan dan pemahaman dasar
dalam memecahkan permasalahan yang tidak hanya

50
sekedar argumentasi. Model ini terdiri dari 3 bentuk
yaitu model prospektif, model retrospektif dan model
integratif. Model prospektif merupakan model
analisis yang dilakukan sebelum sebuah kebijakan di
implementasikan, (Igbal and Salomo, 2018). Model
retrospektif merupakan model analisis kebijakan
yang dilakukan setelah kebijakan tersebut
diterapkan. Model integratif merupakan model yang
menggabungkan kedua analisis kebijakan
sebelumnya. Model ini disebut juga dengan model
analis holistic atau komprehensif. Artinya model ini
melakukan analisis sebelum dan sesudah kebijakan
tersebut di implementasikan. Maka dalam kebijakan
pendidikan diperlukan analisis yang dilakukan secara
menyeluruh baik sebelu dan sesudah kebijakan
tersebut di implementasikan. Berdasarkan kajian
yang peneliti lakukan ditemukan bahwa model ini
memiliki kelebihan bahwa kebijakan yang dihasilkan
sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh
masyarkat namun kebijakan ini akan membutuhkan
biaya dan tenaga yang banyak.
9. Model Pendekatan Implementasi
Kebijakan
Model pendekatan Implementasi kebijakan
publik terdapat dua pendekatan kontrol dan
komando (top down) serta pendekatan pasar
(bottom up), (Nasiri and Hermawan, 2017).
Pendekatan ini mengacu kepada model kerangka
kerja yang saling berhubungan antara kebijakan dan

51
hasilnya. Pendekatan top down merupakan
pendekatan yang dilahirkan dari tingkat atas (pusat)
sedangkan pendekatan buttom up lebih bersifat
rasional, (Akib, 2012). Model ini diasumsikan sebagai
sebuah alur maupun proses. Model ini memandang
proses dari perubahan politik dan sosial yang mana
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah merupakan
hal untuk memperbaiki permasalahan yang terdapat
pada masyarakat.
Maka dapat penulis simpulkan bahwa penerapan
model ini harus disesuaikan dengan kebutuhan serta
tujuan yang akan dicapai dalam pengimplementasian
pada dunia pendidikan. Dari penjelasan mengenai
model perumusan kebijakan pendidikan tersebut
maka dapat kita lihat terdapat banyak model yang
bisa digunakan dalam merumuskan kebijakan
pendidikan. Masing-masing model memiliki kekuatan
dan kelemahan yang bisa kita maksimalkan agar
dapat melahirkan kebijakan yang tepat dengan
sasaran. Namun berdasarkan kajian penulis model
yang tepat digunakan adalah model analisis
kebijakan pendidikan dan model implementasi
kebijakan publik. Hal ini dikarenakan bahwa kedua
model tersebut menghasilkan kebijakan
menggunakan metode saintifik. Artinya bahwa
kebijakan tersebut lahir dari metode ilmiah. Sebelum
kebijakan dilahirkan, pembuat kebijakan akan
menghimpun data dari hal yang mendasar hingga hal
yang lebih luas sehingga data yang dimiliki lebih

52
komprehensif. Pada saat proses perumusan
kebijakan juga dilakukan uji coba secara saintifik
sehingga pada proses uji coba tersebut didapatkan
kelemahan-kelemahan yang dapat diperbaiki. Selain
itu juga ada bentuk evaluasi terpadu yang digunakan
untuk menilai keberhasilan kebijakan tersebut.

53
BAB IV
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN
A. Konsep Implementasi Kebijakan
Suatu kebijakan jika tidak segera
diimplementasikan, tidak dapat diketahui tingkat
keberhasilannya untuk orang banyak. Maka kita akan
membahas tentang konsep implementasi kebijakan.
1. Pengertian Implementasi Kebijakan
Memahami pengertian implementasi kebijakan
merupakan bagian dalam upaya memahami
kebijakan secara komprehensif. Pada gilirannya,
pemahaman itu menggiring pada pemahaman
mengenai implementasi kebijakan dalam bidang
pendidikan. Bahkan, implementasi kebijakan
pendidikan seringkali berlangsung lebih rumit dan
kompleks dibandingkan dengan proses
perumusannya. Istilah implementasi dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti pelaksanaan
atau penerapan.
Istilah implementasi biasanya dikaitkan dengan
suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai
tujuan tertentu. Kamus Webster merumuskan secara
pendek bahwa to implement (mengimplementasikan)
berarti to provide the means for carryingout
(menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu),
to give practical effect (menimbulkan dampak atau
akibat terhadap sesuatu). Pengertian tersebut
mempunyai arti bahwa untuk mengimplementasikan

54
sesuatu harus disertai sarana yang mendukung yang
nantinya akan menimbulkan dampak atau akibat
terhadap sesuatu itu (Wahab, 2008).
Wibawa (1994) menyebutkan bahwa
implementasi kebijakan merupakan bentuk
pengejawantahan keputusan mengenai kebijakan
yang mendasar. Biasanya tertuang dalam suatu
undang-undang. Namun juga dapat berbentuk
instruksi-instruksi yang penting atau keputusan
perundang-undangan. Idealnya, keputusan-
keputusan tersebut menjelaskan masalah-masalah
yang hendak ditangani, menentukan tujuan yang
hendak dicapai dan dalam berbagai cara
“menggambarkan struktur” proses implementasi
tersebut (Wibawa, 1994).
Implementasi kebijakan publik tidak hanya
menyangkut perilaku badan-badan administratif
yang bertanggung jawab untuk melaksanakan
program dan menimbulkan ketaatan pada kelompok
sasaran, melainkan pula menyangkut kekuatan-
kekuatan politik, ekonomi, dan sosial yang langsung
atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku
dari semua pihak yang terlibat,dan akhirnya
berpengaruh terhadap dampak baik yang
diharapkan.
Bahkan lebih dari itu, Grindle (1980) menyatakan
bahwa implementasi kebijakan bukan hanya sekedar
bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran
55
keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-
prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi,
melainkan juga menyangkut masalah konflik
kepentingan, keputusan, dan siapa yang memperoleh
apa dari kebijakan tersebut.
Wahab (2008) menyatakan bahwa policy
implementation encompasses those actions by public
or private individuals groups that are directed the
achievement of objecteves set forth in prior decision
(tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-
individu atau pejabatpejabat atau kelompok-
kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan
pada tercapainya tujuantujuan yang telah digariskan
dalam keputusan kebijakan). Tentang implementasi
kebijakan, Udoji mengatakan dengan tegas bahwa
The execution of policies is a important if not more
important than policy-making. Policy will remain
dreams or blue prints file jackets unless they are
implemented (Pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu
yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting
daripada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan
akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang
tersimpan rapih dalam arsip jika tidak
diimplementasikan). Oleh karena itu implementasi
kebijakan perlu dilakukan secara arif, bersifat
situasional, mengacu pada semangat kompetensi, dan
berwawasan pemberdayaan.

56
2. Proses Implementasi Kebijakan
Mengimplementasikan sebuah kebijakan
bukanlah masalah yang mudah terutama dalam
mencapai tujuan bersama. Cukup sulit untuk
membuat sebuah kebijakan publik yang baik dan adil.
Dan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam
bantuk dan cara yang memuaskan semua orang
termasuk mereka yang dianggap klien. Masalah
lainnya adalah kesulitan dalam memenuhi tuntutan
berbagai kelompok yang dapat menyebabkan konflik
yang mendorong berkembangnya pemikiran politik
sebagai konflik.
Dalam proses implementasi kebijakan terdapat
beberapa aspek yang berkaitan dengan proses ini dan
layak untuk diperhatikan yaitu teori dan model
implementasi kebijakan, pendekatan dalam
implementasi kebijakan, langkahlangkah
implementasi, faktorfaktor pelaksanaan kebijakan,
serta tantangan dan kendala dalam keberhasilan
implementasi kebijakan. Pembahasan tiga aspek
terakhir akan dikemukakan dalam pembahasan
mengenai strategi implementasi serta kecukupan dan
kelengkapan implementasi kebijakan.
Terdapat cukup banyak teori dan model yang
menjelaskan tentang implementasi kebijakan,
termasuk kebijakan dalam bidang pendidikan.
Beberapa diantaranya seperti yang sampaikan oleh
Wahab (2008) adalah teori Brian W. Hogwood dan

57
Lewis A. Gunn, teori Van Meter dan Van Horn, serta
teori Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier.
Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn merupakan
pencetus teori implementasi kebijakan dengan
pendekatan The top down approach. Menurutnya,
terdapat beberapa syarat agar kebijakan dapat
dilaksanakan secara sempurna yaitu:
a. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh Badan
atau Instansi pelaksana tidak akan
menimbulkan gangguan serta kendala yang
serius.
b. Tersedianya waktu dan sumber yang cukup
memadai untuk pelaksanaan program.
c. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan
benar-benar tersedia.
d. Kebijakan yang akan diimplementasikan
didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang
andal.
e. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan
hanya sedikit mata rantai penghubungnya.
f. Hubungan saling ketergantungan harus
sedikit.
g. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan
terhadap tujuan.
h. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam
urutan yang tepat.
i. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.

58
j. Pihak-pihak yang memiliki wewenang dan
kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan
kepatuhan yang sempurna.
Teori dan model yang dikembangkan oleh Van
Meter dan Van Horn seringkali disebut sebagai A
model of the policy implementation process (model
proses implementasi kebijakan) dimana dalam
teorinya beranjak dari suatu argumen bahwa
perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi
akan dipengaruhi oleh sifat kebijaksanaan yang akan
dilaksanakan (Wahab, 2008). Selanjutnya mereka
menawarkan suatu pendekatan yang mencoba untuk
menghubungkan antara isu kebijakan dengan
implementasi dan suatu model konseptual yang
mempertalikan kebijakan dengan prestasi kerja
(performance). Kedua ahli ini menegaskan pula
pendiriannya bahwa perubahan, kontrol dan
kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep
penting dalam prosedur-prosedur implementasi. Van
Meter dan Van Horn (1975) kemudian berusaha
membuat tipologi kebijakan sebagai berikut:
a. Jumlah masing-masing perubahan yang akan
dihasilkan
b. Jangkauan atau ruang lingkup kesepakatan
terhadap tujuan diantara pihak-pihak yang
terlibat dalam proses implementasi.
Alasan yang dikemukakannya disini ialah bahwa
proses implementasi itu akan dipengaruhi oleh
59
dimensidimensi kebijaksanaan semacam itu, dalam
artian bahwa kebanyakan implementasi akan
berhasil apabila perubahan yang dikehendaki relatif
sedikit, sementara kesepakatan terhadap tujuan-
terutama dari mereka yang mengoperasikan program
dilapangan- relatif tinggi.
3. Model Proses Implementasi Kebijakan
Ada beberapa model dalam proses implementasi
kebijakan yang dikemukakan para ahli. Berikut
uraiannya:
a. Model Implementasi Kebijakan Grindle (1980)
Merilee S. Grindle: Content of Policy & Context of
Implementation (1980), dalam bukunya yang
berjudul Politics and Policy Implementation in The
Third Word (1980), menyatakan bahwa dalam
implementasi sebuah kebijakan bergantung pada
content (isi) dan context-nya, dan tingkat
keberhasilan nya bergantung pada kondisi tiga
komponen variabel sumber daya implementasi yang
diperlukan.
Ketiga komponen ini menyebabkan program
nasional menghasilkan variasi outputs dan outcomes
yang berbeda di daerah. Ketiga komponen itu, yaitu
sebagai berikut.
1) Contents of policy messages, yang terdiri dari:
ketersediaan dana dan sumber lain untuk
melaksanakan kebijakan; adanya sanksi; dan
tingkat kesukaran masalah kebijakan.

60
2) Kredibilitas pesan kebijakan, yang terdiri dari:
kejelasan pesan kebijakan; konsistensi
kebijakan; frekuensi pengulangan kebijakan;
dan penerimaan pesan.
3) Bentuk kebijakan, yang terdiri dari: partisipasi
masyarakat dan tipe kebijakan.
b. Model Implementasi Kebijakan Edward III
(1980)
Salah satu penjelasan proses implementasi yang
dipandang lebih sederhana dalam melihat
keberkaitan berbagai variabel dan faktor yang
memengaruhi proses implementasi diungkapkan oleh
Edward III (1980), yang mengemukakan faktor kritis
yang memengaruhi keberhasilan atau kegagalan
implementasi, yaitu pendekatan yang dilakukan
dengan meng ajukan pertanyaan:
"Pra-kondisi apa yang harus ada agar implementasi
berhasil?"
"Apa yang menjadi kendala pokok bagi suksesnya
suatu implementasi?"
Setelah mengkaji dua pendekatan tersebut, Edwar
(1980) menemu kan empat variabel penting yang
harus diperhatikan untuk melihat keberkaitan
berbagai faktor terhadap kegagalan dan keberhasilan
implementasi kebijakan publik. Keempat variabel
tersebut, antara lain komunikasi, sumber daya,
disposisi atau sikap pelaksana, dan struktur
birokrasi.
61
Dalam prosesnya, keempat variabel tersebut
saling berhubungan dan saling memengaruhi satu
sama lain dalam menentukan keberhasilan atau
kegagalan implementasi.
C. Faktor Pengaruh Implementasi Kebijakan
Keberhasilan implementasi kebijakan akan
ditentukan oleh banyak variabel atau faktor, dan
masing-masing variabel tersebut saling berhubungan
satu sama lain. Menurut Edwards III dalam Tilaar
(2012), implementasi kebijakan dipengaruhi oleh
empat variabel, yakni:
1. Komunikasi
Implementasi akan berjalan efektif apabila
ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan kebijakan
dipahami oleh individuindividu yang
bertanggungjawab dalam pencapaian tujuan
kebijakan. Kejelasan ukuran dan tujuan kebijakan
dengan demikian perlu dikomunikasikan secara
tepat dengan para pelaksana. Konsistensi atau
keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan perlu
dikomunikasikan sehingga implementor mengetahui
secara tepat ukuran maupun tujuan kebijakan itu.
Komunikasi dalam organisasi merupakan suatu
proses yang amat kompleks dan rumit. Seseorang
bisa menahannya hanya untuk kepentingan tertentu,
atau menyebarluaskannya. Di samping itu sumber
informasi yang berbeda juga akan melahirkan
interpretasi yang berbeda pula.

62
Agar implementasi berjalan efektif, siapa yang
bertanggungjawab melaksanakan sebuah keputusan
harus mengetahui apakah mereka dapat
melakukannya. Sesungguhnya implementasi
kebijakan harus diterima oleh semua personel dan
harus mengerti secara jelas dan akurat mengenahi
maksud dan tujuan kebijakan. Jika para aktor
pembuat kebijakan telah melihat ketidakjelasan
spesifikasi kebijakan sebenarnya mereka tidak
mengerti apa sesunguhnya yang akan diarahkan.
Para implemetor kebijakan bingung dengan apa yang
akan mereka lakukan sehingga jika dipaksakan tidak
akan mendapatkan hasil yang optimal. Tidak
cukupnya komunikasi kepada para implementor
secara serius mempengaruhi implementasi
kebijakan.
2. Sumber Daya
Komponen sumberdaya ini meliputi jumlah staf,
keahlian dari para pelaksana, informasi yang relevan
dan cukup untuk mengimplementasikan kebijakan
dan pemenuhan sumber-sumber terkait dalam
pelaksanaan program, adanya kewenangan yang
menjamin bahwa program dapat diarahkan kepada
sebagaimana yamg diharapkan, serta adanya
fasilitas-fasilitas pendukung yang dapat dipakai
untuk melakukan kegiatan program seperti dana dan
sarana prasarana.

63
Sumber daya manusia yang tidak memadai
(jumlah dan kemampuan) berakibat tidak dapat
dilaksanakannya program secara sempurna karena
mereka tidak bisa melakukan pengawasan dengan
baik. Jika jumlah staf pelaksana kebijakan terbatas
maka hal yang harus dilakukan meningkatkan
skill/kemampuan para pelaksana untuk melakukan
program. Untuk itu perlu adanya manajemen SDM
yang baik agar dapat meningkatkan kinerja program.
Ketidakmampuan pelaksana program ini disebabkan
karena kebijakan konservasi energi merupakan hal
yang baru bagi mereka dimana dalam melaksanakan
program ini membutuhkan kemampuan yang
khusus, paling tidak mereka harus menguasai
teknik-teknik kelistrikan. Informasi merupakan
sumberdaya penting bagi pelaksanaan kebijakan.
Ada dua bentuk informasi yaitu informasi
mengenahi bagaimana cara menyelesaikan
kebijakan/program serta bagi pelaksana harus
mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan dan
informasi tentang data pendukung kepetuhan
kepada peraturan pemerintah dan undang-undang.
Kenyataan dilapangan bahwa tingkat pusat tidak
tahu kebutuhan yang diperlukan para pelaksana
dilapangan.
Kekurangan informasi/pengetahuan bagaimana
melaksanakan kebijakan memiliki konsekuensi
langsung seperti pelaksana tidak bertanggungjawab,
64
atau pelaksana tidak ada di tempat kerja sehingga
menimbulkan inefisien. Implementasi kebijakan
membutuhkan kepatuhan organisasi dan individu
terhadap peraturan pemerintah yang ada. Sumber
daya lain yang juga penting adalah kewenangan
untuk menentukan bagaimana program dilakukan,
kewenangan untuk membelanjakan/mengatur
keuangan, baik penyediaan uang, pengadaan staf,
maupun pengadaan supervisor. Fasilitas yang
diperlukan untuk melaksanakan kebijakan/program
harus terpenuhi seperti kantor, peralatan, serta dana
yang mencukupi. Tanpa fasilitas ini mustahil
program dapat berjalan.
3. Disposisi
Disposisi adalah watak dan karakteristik yang
dimiliki oleh implementor, seperti komitmen,
kejujuran, dan sifat demokratis. Salah satu faktor
yang mempengaruhi efektifitas implementasi
kebijakan adalah sikap implementor. Jikamplemetor
setuju dengan bagian-bagian isi dari kebijakan maka
mereka akan melaksanakan dengan senang hati
tetapi jika pandangan mereka berbeda dengan
pembuat kebijakan maka proses implementasi akan
mengalami banyak masalah.
Ada tiga bentuk sikap/respon implementor
terhadap kebijakan, kesadaran pelaksana,
petunjuk/arahan pelaksana untuk merespon
program kearah penerimaan atau penolakan, dan
65
intensitas dari respon tersebut. Para pelaksana
mungkin memahami maksud dan sasaran program
namun seringkali mengalami kegagalan dalam
melaksanakan program secara tepat karena mereka
menolak tujuan yang ada didalamnya sehingga
secara sembunyi mengalihkan dan menghindari
implementasi program.
Disamping itu dukungan para pejabat pelaksana
sangat dibutuhkan dalam mencapai sasaran
program. Dukungan dari pimpinan sangat
mempengaruhi pelaksanaan program dapat
mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Wujud
dari dukungan pimpinan ini adalah Menempatkan
kebijakan menjadi prioritas program, penempatan
pelaksana dengan orang-orang yang mendukung
program, memperhatikan keseimbangan daerah,
agama, suku, jenis kelamin dan karakteristik
demografi yang lain. Disamping itu penyediaan dana
yang cukup guna memberikan insentif bagi para
pelaksana program agar mereka mendukung dan
bekerja secara total dalam melaksanakan
kebijakan/program.
4. Struktur Birokrasi
Struktur organisasi yang bertugas mengimple-
mentasikan kebijakan memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah
satu dari aspek struktur yang penting dari setiap
organisasi adalah adanya prosedur operasi yang
66
standar (standard operating procedures atau SOP).
SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor
dalam bertindak. Struktur organisasi yang panjang
akan cenderung melemahkan pengawasan dan
menimbulkan red-tape yaitu prosedur birokrasi
yang rumit dan kompleks.ini pada gilirannya
menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel.
D. Implementasi Kebijakan Pendidikan
Implementasi merupakan tahapan pelaksanaan
atas sebuah kebijakan. Interaksi merupakan konsep
penting dalam implementasi, yang mengacu pada
suatu hubungan yang terkadang kompleks. Dalam
implementasi terdapat dua hal yang harus
diperhatikan, yaitu (a) formulasi tujuan kebijakan
harus jelas termasuk kelompok sasaran; siapa yang
berperan; dan bagaimana kebijakan tersebut harus
dilaksanakan; dan (b) dana pendukung yang
proporsional. Tanpa dana kebijakan tidak akan
pernah terealisir.
Implementasi dalam kenyataannya tidak selalu
berjalan dengan baik, beberapa faktor diantaranya
adalah:
1. Faktor organisasi
Suatu kebijakan dalam implementasinya
seringkali memerlukan keterlibatan dari banyak
organisasi (aktor) yang terkadang memiliki persepsi
dan interest yang berlainan, baik dalam organisasi
pemerintah maupun antara organisasi pemerintah

67
dengan organisasi swasta. Keadaan ini sering
menimbulkan masalah, (a) koordinasi, menyangkut
bagaimana mengkoordinasikan kepentingan yang
berbeda; (b) compliance, menyangkut ketaatan
bawahan pada instansi yang lebih tinggi.
2. Faktor politik
Faktor politik seringkali disebit sebagai faktor
non teknis, yang mencakup: (a) legislasi tentang isu
yang terlalu kabur sebagai akibat dari tujuan yang
ingin dicapai yang sering tidak jelas. Misalnya
masalah penanggulangan anak putus sekolah; (b) log-
rolling, dimaksudkan sebagai gagalnya implementasi
suatu program diakibatkan kesalahan pada saat
proses legitimasi, proses bargaining yang dilakukan
aktor-aktor perumus kebijakan dilakukan dengan
cara setuju atau ketidaksetujuan terhadap uslan
kebijakan dilakukan dengan tukar tambah atau
modifikasi usulan, sehingga akibatnya setelah usulan
ditetapkan menjadi kebijakan, tujuan menjadi tidak
jelas (vague).
3. Faktor politik antar organisasi
Merupakan perbedaan mengenai lingkungan
politik masing-masing organisasi, yang disebabkan
oleh perbedaan interest dan persepsi masing-masing
aktor. Dalam konteks hubungan antar organisasi
politik (pelaksana) terbagi dalam:
a. Struktur implementasi secara vertikal

68
Yang mempengaruhi keberhasilan impelementasi
adalah kepatuhan pemerintah daerah kepada
pemerintah pusat untuk melaksanakan kebijakan
seperti yang telah digariskan.
b. Struktur implementasi secara horisontal
Dalam struktur ini, koordinasi menjadi kata kunci
keberhasilan implementasi, walaupun seringkali ada
kesombongan sektoral masing-masing instansi dalam
mengejar keberhasilan mereka sendiri-sendiri, yang
dalam terminologi implementasi disebut politik antar
organisasi dalam implementasi.
Implementasi kebijakan dalam beberapa kasus
dapat dilakukan oleh bukan organisasi pemerintah,
tetapi oleh swasta (interest groups), yang sering bias
karena pelaksana mempunyai keterkaitan dengan
kelompok sasaran (target groups).

69
BAB V
MONITORING DAN EVALUASI KEBIJAKAN
PENDIDIKAN
A. Konsep Monitoring dan Evaluasi
Sebuah kebijakan pendidikan tentu memerlukan
evaluasi dan monitoring agar proses implementasi
kebijakan dapat ditinjau.
1. Pengertian Monitoring dan Evaluasi
Monitoring merupakan fungsi manajemen yang
dilakukan pada saat suatu kegiatan sedang
berlangsung. Monitoring yang dilakukan oleh se
orang pimpinan mengandung fungsi pengendalian.
Kegiatan monitoring mencakup penelusuran
pelaksanaan kegiatan dan keluarannya (output),
pelaporan tentang kemajuan, dan identifikasi
masalah-masalah penge lolaan dan pelaksanaan
(Wrihatnolo, 2009).
Evaluasi berasal dari kata evaluation yang dapat
diartikan sebagai pe nilaian atau to find out, deside
the amount of value (A.S. Hornby, 1986).
Suchman (Arikunto dan Cepi Safruddin, 2009)
memandang evaluasi sebagai proses menentukan
hasil yang telah dicapai beberapa kegiatan yang
direncanakan untuk mendukung tercapainya tujuan.
Definisi lain dikemukakan oleh Worthen dan
Sanders (Arikunto dan Cepi Safruddin, 2009),
evaluasi adalah kegiatan mencari sesuatu yang ber
harga, termasuk mencari informasi yang bermanfaat

70
dalam menilai suatu program, produksi, prosedur,
serta alternatif strategi yang diajukan untuk
mencapai tujuan yang ditentukan.
Definisi dan konsep dasar evaluasi merupakan
fungsi manajemen yang dilakukan setelah kurun
waktu tertentu atau setelah kegiatan telah berlalu.
Evaluasi ini mencakup kegiatan penilaian atas
dampak kolektif, baik positif maupun negatif dari
semua (sebagian besar) kegiatan yang telah
dilakukan di lokasi dan/atau kelompok sasaran yang
berbeda beda. Deskripsi keluaran dan hasil/manfaat
sebagaimana dilihat dari sudut pandang penerima
manfaat (Wrihatnolo, 2009).
Evaluasi kebijakan juga bervariasi, bergantung
pada dimensi yang menjadi fokus evaluasi. Salah satu
dimensi yang sering mendapat sorotan adalah
dimensi kuantitas dan kualitas. Instrumen yang
digunakan untuk mengevaluasi dimensi kuantitif
berbeda dengan dimensi kualitatif. Instrumen yang
digunakan untuk mengevaluasi dimensi kuantitatif,
seperti tes standar, tes prestasi belajar, tes
diagnostik, dan lain-lain. Adapun instru men untuk
mengevaluasi dimensi kualitatif dapat digunakan
kuesionar, inventori, wawancara, catatan anekdot,
dan sebagainya.
2. Monitoring dan Evaluasi Kebijakan
a. Monitoring Kebijakan

71
Monitoring ditujukan untuk menghasilkan
informasi dalam usaha menjawab alasan
kebijakan/program itu pada suatu tahap dapat meng
hasilkan konsekuensi yang demikian. Monitoring
berhubungan dengan mendapatkan premis faktual
suatu kebijakan, dengan bergerak mundur dari hal-
hal yang diamati sekarang untuk menginter-
pretasikan yang telah terjadi sebelumnya (expost
facto).
Dunn (1981) mengemukakan bahwa monitoring
berfungsi untuk: 1) ketaatan (compliance),
menentukan tindakan administrator, staf dan semua
yang terlibat mengikuti standar dan prosedur yang
ditetap kan; 2) pemeriksaan (auditing), menetapkan
sumber dan layanan yang diperuntukkan bagi target
group telah mencapai sasaran; 3) laporan
(accounting), menghasilkan informasi yang
membantu meng hitung hasil perubahan sosial dan
masyarakat sebagai akibat implementasi kebijakan
sebuah periode waktu tertentu; 4) penjelasan
(explanation), menghasilkan informasi yang
membantu menjelaskan akibat kebijakan dan alasan
antara perencanaan dan pelaksanaan tidak cocok.
b. Evaluasi Implementasi
Tahap akhir proses kebijakan adalah penilaian
mengenai hal-hal yang telah terjadi sebagai akibat
pilihan dan implementasi kebijakan. Apabila

72
dipandang perlu, dapat dilakukan perubahan
terhadap kebijakan yang telah dilakukan.
Menghasilkan evaluasi yang akurat bukanlah
pekerjaan mudah, apalagi untuk mengubah kebijakan
yang di dalamnya ditemukan kesalahan yang
memerlukan perbaikan segera.
Pada tahap evaluasi, hasil evaluasi sangat
berguna bagi pemerintah, terutama untuk
menentukan kebijakan atau program tersebut dapat
di lanjutkan, diperbaiki, direvisi, atau dimodifikasi.
Berbagai kendala yang menghambat evaluasi
adalah (Peters, 1985: 146-157) sebagai berikut.
1) Kebijakan yang ditetapkan kadang-kadang
tidak memiliki tujuan yang jelas, yang
diakibatkan pertimbangan politis.
Ketidakjelasan tujuan meliputi: (a) tujuan
yang tidak mungkin dicapai; (b) tujuan yang
kontradiktif; (c) tujuan yang terlalu sempit
atau terlalu spesifik; (d) tujuan antara atau
tujuan sementara.
2) Pengukuran (measurement), menyangkut
penggunaan konsep ter tentu sebagai suatu
alat untuk mengukur keberhasilan atau
kegagalan suatu program.
3) Kelompok sasaran (target groups), yang
perlu diperhatikan adalah program
meskipun berdampak pada keseluruhan
populasi sasaran, belum tentu memiliki
73
dampak terhadap kelompok sasaran. Sering
terjadi bukan kelompok sasaran yang
memperoleh manfaat program, melainkan
kelompok lain dalam populasi tersebut yang
disebabkan bias birokrasi.
4) Sistem nilai yang berkembang di
masyarakat. Seorang analis kebijakan
terkadang sulit untuk menerjemahkan
sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Padahal, pertimbangan sistem nilai tidak
dapat diabaikan dalam melakukan evaluasi
kebijakan.
c. Evaluasi Dampak Kebijakan
Evaluasi dampak (evaluation of impact) berbeda
dengan evaluasi implementasi dalam hal waktu.
Evaluasi dampak hanya dapat dilakukan secara
memuaskan apabila program telah dilaksanakan
secara lengkap dan berjalan dalam waktu yang relatif
lama.
Evaluasi dampak sering bersifat terlalu ilmiah
dan cenderung meng abaikan realitas. Akibatnya,
muncul beberapa tipe evaluasi yang terlalu baik,
tetapi mengandung kelemahan, seperti anekdot
murni, menampil kan data statistik yang terlalu
terperinci, berbagai analisis tanpa kesimpul an,
argumentasi ahli, dan dominasi intuisi.
Menurut Ripley (1985), ada empat dimensi yang
berkaitan dengan dampak, yaitu waktu, hubungan
74
antara dampak yang sebenarnya dengan dampak
yang ingin dicapai, akumulasi dampak, dan tipe
dampak (kesejahteraan ekonomi, pembuatan
keputusan, sistem politik, dan kualitas kehidupan).
B. Evaluasi Formatif dan Sumatif
Model ini menunjukan adanya tahapan dan
lingkup objek yang dievaluasi, yaitu evaluasi yang
dilakukan pada waktu program masih berjalan
(disebut evaluasi formatif) dan ketika program sudah
selesai atau berakhir (disebut evaluasi sumatif).
Berbeda dengan model yang pertama
dikembangkan, model yang kedua ini ketika
melaksanakan evaluasi, evaluator tidak dapat dapat
melepaskan diri dari tujuan. Tujuan evaluasi formatif
memang berbeda dengan tujuan evaluasi sumatif.
Dengan demikian, model yang dikemukakan oleh
MichaelScriven ini menunjuk tentang “apa, kapan dan
tujuan” evaluasi tersebut dilaksanakan.
Evaluasi formatif secara prinsip merupakan
evaluasi yang dilaksanakan ketika program masih
berlangsung. Tujuan evaluasi formatif tersebut
adalah untuk mengetahui seberapa jauh program
yang dirancang dapat berlangsung, sekaligus dapat
mengidentifikasi hambatan. Dengan diketahuinya
hambatan dan hal-hal yang menyebabkan program
tidak lancar, pengambil keputusan secara dini dapat
mengadakan perbaikan yang mendukung kelancaran
pencapaian tujuan program.

75
Evaluasi sumatif dilakukan setelah program
berakhir. Tujuan dari evaluasi sumatif adalah untuk
mengukur ketercapaian program. Fungsi evaluasi
sumatif dalam evaluasi program pembelajaran
dimaksudkan sebagai sarana untuk mengetahui
posisi atau kedudukan individu didalam
kelompoknya. Mengingat bahwa objek sasaran dan
waktu pelaksanaan berbeda antara evaluasi formatif
dan sumatif, maka lingkup sasaran yang dievaluasi
juga berbeda.
Senada dengan uraian diatas, Ramayulis
mengatakan bahwa Evaluasi formatif adalah evaluasi
yang digunakan untuk mengetahui hasil belajar yang
dicapai peserta didik setelah ia menyelesaikan
program dalam satuan bahan pelajaran dalam satu
bidang studi tertentu. Sedangkan evaluasi sumatif
adalah evaluasi yang dilakukan terhadap hasil belajar
peserta didik setelah mengikuti pelajaran dalam satu
caturwulan, satu semester, atau akhir tahun untuk
menentukan jenjang berikutnya.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dapat
penulis simpulkan bahwa Formatif Sumatif
Evaluation Model adalah model evaluasi yang
dilaksanakan dalam waktu yang berbeda, jika
melaksanakan evaluasi ketika kegiatan atau program
sedang berlangsung ini disebut evaluasi formatif.
Sedangkan melaksanakan evaluasi di akhir kegiatan
atau program ini disebut evaluasi sumatif.
76
C. Studi Evaluasi Kebijakan
Evaluasi program atau kebijakan tidak dapat
dilakukan hanya melalui kajian teoritik atau hanya
melalui data-data sekunder, sebab jika hal tersebut
yang dilakukan, maka penilaian dan rekomendasi
yang dihasilkan tidak valid karena hanya
berdasarkan perkiraan saja. Untuk dapat disebut
sebagai sebuah Studi/kajian, maka Evaluasi
kebijakan harus memenuhi hal-hal berikut ini.
1. Karakteristik Penelitian Evaluasi
a. Evaluasi harus empirik tidak spekulatif
hipotetik atau asumtif teoritik
b. Tidak bias pada satu alternatif atau dampak
tertentu
c. Rasional, harus sistematis dan dapat
dipertanggungjawabkan dihadapan pakar
d. Kajian harus dilakukan dari berbagai aspek
e. Handal dan sahih baik dalam analisis,
ketersediaan data dan reliabilitas datanya.
2. Teknis Penelitian Evaluasi
Penelitian evaluasi kebijakan bukanlah hal yang
dapat dipandang sepele karena dari hasil penelitian
tersebut diharapkan diperoleh masukan/ umpan
balik dan penilaian-penilaian yang akurat atas sebuah
kinerja kebijakan/program, serta hasilnya dapat
dipertanggung-jawabkan. Untuk itu Leonard
Rutman memberikan panduan yang perlu
diperhatikan sbb:
Sebelum pelaksanaan:

77
a. Gunakan prosedur-prosedur ilmiah terdiri
dari; Mengamati dan memahami tujuan
evaluasi, Mengamati dan memilih kriteria; dan
Mengamati sensitivitas metode.
b. Focus pada proses dan outcomes
kebijakan/program, bukan hanya pada
outcomesnya saja. Dengan demikian dapat
diperoleh informasi mengenai aktifitas-
aktifitas apa menghasilkan apa; serta
memungkinkan upaya replikasi di kemudian
hari.
c. Jangan batasi dampak hanya pada sasaran-
sasaran yang dinyatakan secara formal saja,
sebab tidak semua sasaran kebijakan
dinyatakan secara formal. Konsekuensi-
konsekuensi yang mungkin terjadi akibat
program/kebijakan juga dipertimbangkan.
Untuk itu manfaatkan hasil penelitian yang
terkait, gunakan logika, atau pengalaman-
pengalaman atas program yang serupa.
d. Pertimbangkan informasi-informasi yang
dibutuhkan oleh pembuat keputusan di masa
mendatang, bukan hanya kebutuhan saat ini.
Bersikaplah sebagai ilmuwan, bukan teknisi
evaluasi.
Persiapan sebelum menguji Program:
a. Definisi Program Secara Jelas. Harus
dipastikan bahwa label yang diberikan pada
sebuah program memiliki makna dan maksud

78
yang sama bagi semua yang terlibat, sehingga
jelas data mana yang harus diukur (definisi
konsep harus jelas, sehingga definisi
operasionalnya juga jelas dan dapat
direplikasikan).
b. Spesifikasi Sasaran/goals. Karena sasaran-
sasaran merupakan criteria keberhasilan
program, maka harus dinyatakan secara
spesifik agar dapat diperoleh tolok ukurnya.
Sayangnya seringkali tujuan/sasaran tersebut
hanya disebutkan secara umum, jangka
panjang, bahkan kadang kontradiksi dan tidak
terkait dengan aktifitas-aktifitas program. Jika
hal ini terjadi, maka peneliti bertanggung-
jawab untuk merumuskannya secara bersama-
sama dengan perencana program dan manajer
program.
c. Keterkaitan Rasional. Harus ada keterkaitan
rasional antara program yang akan dievaluasi
dengan sasaran yang dituju dan dampak yang
diharapkan. Ada tidaknya kaitan rasional
tersebut, dapat menentukan apakah program
tersebut yang harus dimodifikasi atau sasaran
dan hasil yang harus dirubah (misal Program
Pelatihan Angkatan Kerja dengan sasaran
jangka panjang berkurangnya angka
pengangguran. Akan lebih masuk akal jika
dikaitkan dengan sasaran jangka pendek:
pencapaian tenaga kerja berketrampilan.

79
d. Pastikan Kegunaan Evaluasi. Kendati studi
evaluasi dimaksudkan sebagai akuntabilitas
program, serta untuk memberikan informasi
yang terkait dengan pelaksanaan dan hasil
program kepada pembuat keputusan dan
manajemen, namun seringkali studi evaluasi
dilakukan dengan maksud-maksud tertentu,
yang disebut oleh Edward Suchman
sebagai Pseudoevaluations. Karenanya
evaluator juga harus mengetahui siapa yang
menghendaki dan mendanai studi evaluasi
tersebut untuk mencegah timbulnya
ketegangan dengan administrator program.
Spesifikasikan Variabel-variabel Evaluasi. Yang
terdiri dari: 1) Spesifikasikan komponen-
komponen program, dengan memperjelas terdiri
dari komponen-komponen aktifitas apa saja program
tersebut (misalnya PKK dengan 10 Program PKKnya).
Gunanya adalah sebagai Component testing untuk
menguji sumbangan keefektifan masing-masing
komponen terhadap program. 2) Spesifikasikan
sasaran-sasaran dan efeknya. Bukan hanya yang
dinyatakan secara formal dalam dokumen atau oleh
pengelola program, namun juga sasaran-sasaran
latent dan dampak-dampak lain yang diharapkan
oleh masyarakat (misal kasus program Bantuan
Langsung Tunai BLT yang ditujukan untuk
meringankan beban masyarakat miskin akibat
kenaikan harga BBM, dapat ditanggapi   beragam –

80
missal: apa criteria ‘miskin’ dan apa criteria
‘meringankan’ yang dimaksudkan oleh program tsb?
Karena jawabannya dapat beragam, demikian juga
dampaknya). 3) Spesifikasikan Variabel-variabel
antesedennya. Anteseden variable adalah factor-
faktor konteks yang dapat mempengaruhi jalannya
program (misalnya karakteristik target kebijakan;
sifat dasar permasalahan sehingga memerlukan
intervensi kebijakn, dll). 4) Spesifikasikan variable-
variabel Interveningnya dengan menanyakan:
”setelah program dijalankan, factor-faktor apakah
yang dapat mendukung atau menghambat
pencapaian sasaran program? 5) Measurement:
setelah mengetahui apa saja yang harus diukur, maka
langkah selanjutnya adalah memilih tehnik
pengukuran yang tepat untuk menilai. Untuk itu
perlu: a). ketepatan indicator (tolok ukur) yang
digunakan; b). Reliabilitas alat ukur (hasil yang
diberikan konsisten meski dilakukan dalam situasi
yang berbeda) dan c). Validitas alat ukur (ketepatan
alat ukur dalam mengukur fenomena).
3. Kriteria yang harus dipenuhi dalam
evaluasi
a. Relevansi: harus mampu memberikan
informasi yang tepat pada pembuat dan
pelaku kebijakan, mampu menjawab secara
benar pertanyaan dalam waktu yang tepat.
b. Signifikan: harus mampu memberikan
informasi yang baru dan penting.

81
c. Validitas: mampu memberikan pertimbangan
yang tepat sesuai dengan hasil nyata/data
empiric mengenai hasil kebijakan.
d. Reliabilitas: dapat membuktikan bahwa
hasilnya diperoleh dengan penelitian yang
teliti
e. Obyektif: tidak memihak /bias
f. Tepat waktu
g. Daya guna: hasil penelitian dapat dipahami
dan dimanfaatkan oleh pelaku dan pembuat
kebijakan
4. Metode dan Model-Model Studi Evaluasi
Beragam methoda dan model-model evaluasi
program yang dapat digunakan untuk mengukur
kinerja implementasi Program/kebijakan. Untuk
pemahaman yang lebih baik dan lebih dalam (sebab
buku ini hanya untuk memberikan informasi dasar
saja), salah satu buku yang dianjurkan dan patut
dipelajari adalah buku “Measuring Performance in
Public and Nonprofit Organizations” karya Theodore
H. Poister.
5. Problem Dalam Studi Evaluasi
a. Ketidakpastian dan ketidakjelasan tujuan
kebijakan
b. Evaluasi tidak dilakukan dengan sistematis,
sehingga kesulitan menguji kausalitas bahwa
dampak memang disebabkan oleh kebijakan
tersebut

82
c. Dampak kebijakan biasanya menyebar di luar
sasaran kebijakan
d. Kesulitan dalam memperoleh data primer
6. Evaluasi Kebijakan Di Indonesia
a. Sering tidak sungguh-sungguh karena
evaluatornya dari Pemerintah sendiri.
b. Hasil evaluasi tidak konklusif, membahas
banyak persoalan tetapi tanpa arah yang jelas,
sehingga tak ada rekomendasi yang
argumentative
c. Bersifat formalitas dari pada berdasarkan
kebutuhan riel. Karena dilakukan secara rutin
maka hasilnya kurang tajam. Hanya untuk
memenuhi formalitas, membaca data dan
memasukkannya dalam form-form tertentu.

83
REFERENSI
Abidin, S. Z. (2006). Kebijakan Publik. Jakarta: Suara
Bebas.
Arwildayanto, Arifin Suking, W. T. S. (2018). Analisis
Kebijakan Pendidikan Kajian Teoretis,
Eksploratif, dan Aplikatif. Bandung: Cendikia
Press.
Elwijaya, F., Mairina, V., & Gistituati, N. (2021).
Konsep dasar kebijakan pendidikan. JRTI (Jurnal
Riset Tindakan Indonesia), 6(1), 67.
https://doi.org/10.29210/3003817000
Fattah, N. (2014). Analisis Kebijakan Pendidikan.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Hermino, A. (2013). Asesmen Kebutuhan Organisasi
Persekolahan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Imron, A. (1999). Kebijakan Pendidikan Indonesia.
Jakarta: Bumi Aksara.
Jones, C. O. (1979). American politics and the
organization of energy decision making. Annual
Review of Energy. 4 (1).
Mudiyaharjo, R. (2014). Pengantar Pendidikan:
Sebuah Studi Awal tentang Dasar-dasar
Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di
Indonesia. Jakarta: RadjaGrapindo Persada.
Muhadjir, N. (2020). Ilmu pendidikan dan Perubahan
Sosial. Teori Pendidikan Pelaku Sosial Kreatif.
Yogyakarta: Raka Sarasin.
Noeng, M. (2003). Metodologi Penelitian Kebijakan
dan Evaluasi Reseach. Yogyakarta: Rake Sarakin.
Rusdiana. (2015). Kebijakan Pendidikan dari Filosofi
ke Implementasi. Bandung: Pustaka Setia.
Subarsono. (2013). Analisis Kebijakan Publik.
84
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sukarman Purba, Erika Revida, A. F. T. (2021).
Analisis Kebijakan Pendidikan. Yayasan Kita
Menulis.
Syafaruddin. (2008). Efektivitas Kebijakan
Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Tilar H.A.R & Nugroho. (2008). Kebijakan Pendidikan,
Kebijakan Untuk Memahami Kebijakan
Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan Sebagai
Kebijakan Publik. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Akib, H. (2012). Implementasi kebijakan: Apa,
mengapa dan bagaimana. Jurnal Ilmiah Ilmu
Administrasi Publik, 1(1), 1-11.
Alamsyah, K., Hidayat, T. R., & Bustomi, T. (2020).
Implementasi Kebijakan Deteksi Dini Pelayanan
Dasar Masyarakat Di Kota Bekasi. Khazanah
Multidisiplin, 1(2), 72-89.
Aziz, A. A., Nurfarida, R., Budiyanti, N., & Zakiah, Q. Y.
(2020). Model Analisis Kebijakan Pendidikan.
Tapis: Jurnal Penelitian Ilmiah, 4(2), 192-201.
Bahri, S. (2017). Pengembangan Kurikulum Dasar dan
Tujuannya. Jurnal Ilmiah Islam Futura, 11(1), 15-
34.
Chabibi, M. (2019). Model Analisis Kebijakan Publik
Dalam Program Beasiswa Santri Berprestasi
Kemenag. Zawiyah: Jurnal Pemikiran Islam, 5(1),
135-152.
Fatem, S. M., Maryudi, A., Pudyatmoko, S., & Marwa, J.
(2020). Model Kelembagaan Lokal Kabupaten
Konservasi Tambrauw di Papua Barat. Jurnal
Ilmu Kehutanan, 14(2), 167-184.
Fitria, H., Kristiawan, M., & Rahmat, N. (2019). Upaya
85
Meningkatkan Kompetensi Guru Melalui
Pelatihan Penelitian Tindakan Kelas. Abdimas
Unwahas, 4(1),1-10
Hakim, L. (2016). Pemerataan akses pendidikan bagi
rakyat sesuai dengan amanat Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. EduTech: Jurnal Ilmu Pendidikan Dan
Ilmu Sosial, 2(1), 1-10
Handrian, E., Rosmita, R., & Khan, M. C. (2021). Model
Inkremental: Evaluasi Program Peningkatan
Kesempatan Kerja di Provinsi Riau. JIAP (Jurnal
Ilmu Administrasi Publik), 9(1), 1-12.
Inah, E. N. (2013). Peranan komunikasi dalam
pendidikan. Al-TA'DIB: Jurnal Kajian Ilmu
Kependidikan, 6(1), 176-188.
Iqbal, A. M., & Salomo, R. V. (2018). Analisis Kebijakan
Pengenaan Pajak atas Bahan Bakar Minyak
Bersubsidi Minyak Solar. Transparansi: Jurnal
Ilmiah Ilmu Administrasi, 1(1), 1-11.
Ismail, M. H., & Sofwani, A. (2016). Konsep dan Kajian
Teori Perumusan Kebijakan Publik. JRP (Jurnal
Review Politik), 6(2), 195-224.
Istanti, D. J. (2019). Dinamika Kebijakan Kurikulum
Pendidikan di Indonesia Pasca Reformasi. Jurnal
Ilmu Politik dan Pemerintahan, 5(2), 140-156.
Latifa, A. (2016). Aplikasi Model Pengambilan
Keputusan Dalam Perilaku Fertilitas. Jurnal
Kependudukan Indonesia, 5(1), 55-73.
Maulana, H. F., Mayunita, S., Hastuti, H., & Wijaya, A. A.
M. (2018). Diskurusus Kebijakan Publik Model
Incremental. Kybernan: Jurnal Studi
Kepemerintahan, 1(2), 1-13.
86
McPhail, B. A. (2003). A feminist policy analysis
framework: Through a gendered lens. The Social
Policy Journal, 2(2-3), 39-61.
Mukhid, A. (2017). Meningkatkan kualitas pendidikan
melalui sistem pembelajaran yang tepat. TADRIS:
Jurnal Pendidikan Islam, 2(1).
Mulyana, Y., Huraerah, A., & Martiawan, R. (2019).
Kebijakan pengembangan destinasi pariwisata
Cianjur Selatan di Kabupaten Cianjur Jawa Barat.
JISPO Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 9(1),
490-511.
Nasirin, C., & Hermawan, D. (2017). Kontroversi
Implementasi Kebijakan Penenggelaman Kapal
Dalam Rangka Pemberantasan Illegal Fishing di
Indonesia. Spirit Publik, 12(1), 9-24.
Nuraini, C., Darwanto, D. H., Masyhuri, M., & Jamhari,
J. (2016). Model Kelembagaan pada Agribisnis
Padi Organik Kabupaten Tasikmalaya. AGRARIS:
Journal of Agribusiness and Rural Development
Research, 2(1), 9-16.
Paine, F. T., & Naumes, W. (1975). Organizational
strategy & policy. Saunders.
Ramdhani, A., & Ramdhani, M. A. (2017). Konsep
umum pelaksanaan kebijakan publik. Jurnal
Publik, 11(1), 1-12.
Simanjuntak, K. M. (2015). Implementasi kebijakan
desentralisasi pemerintahan di Indonesia. Jurnal
Bina Praja: Journal of Home Affairs Governance,
7(2), 111-130.
Sjoraida, D. F. (2017). Urgensi unsur elit dalam
pelaksanaan kebijakan informasi publik di jawa
barat. JWP (Jurnal Wacana Politik), 2(2), 1-10.
87
Suryono, A. (2014). Kebijakan publik untuk
kesejahteraan rakyat. Transparansi: Jurnal
Ilmiah Ilmu Administrasi, 6(2), 98-102.
Susanto, R. (2016). Hubungan Pengambilan
Keputusan Rasional Dengan Akuntabilitas
Kepemimpinan Kepala Sekolah. Eduscience:
Jurnal Ilmu Pendidikan, 2 (1), 22, 39.
Thomas R. (2011). Understanding Public Policy. New
Jersey: Prentice Hall.
Toha, M., & Hilmy, M. (2020). Pendidikan Islam di
Kota Metropolis: Studi Kebijakan
Penyelenggaraan PAI di Surabaya. Inteligensia
Media.
Triastuti, M. R. H. (2003). Analisis Formulasi
Kebijakan Kenaikan Tarif Listrik, Telepon dan
BBM di Tahun 2003: Disintegrate System Model of
Public Policy Toward Organizational Learning
and Policy Change. Jurnal Administrasi Publik,
2(1), 1-10.
Walukow, A. F. (2012). Analisis Kebijakan Penurunan
Luas Hutan Di Daerah Aliran Sungai Sentani
Berwawasan Lingkungan (Environmental Based
of Policy Analysis About the Decrease of Forest
Area in Sentani Watershed). Jurnal Manusia dan
Lingkungan, 19(1), 74-84.
Wibowo, L. R. (2013). Analisis Kebijakan Publik
Pengembangan Model Kelembagaan Kompensasi
Das Ciliwung (Public policy analysis on the
development of a compensation institution model
at Ciliwung Watershed). Jurnal Manusia dan
Lingkungan, 20(3), 353-366 Buchori, M. (1994).
Pendidikan dalam Pembangunan. Jakarta: IKIP
88
Muhammadiyyah Jakarta Press.
Djohar MS. (2003). Pendidikan Strategi Alternatif
untuk Pendidikan Masa Depan. (A. Darmawan,
Ed.). Yogyakrta: LESFI.
Hartono, Y. (1999). Pendidikan dan Kebijakan Politik
Kajian Reformasi Pendidikan Di Indonesia Masa
Orde Lama Hingga Reformasi. Jurnal Agastya, 6.
No. 1, 35–45.
Iradhatie Wurinanda. (2015, November). Empat
Masalah Utama Pendidikan Indonesia.
Http://news.okezone.com. Indonesia.
Irianto, H. A. (2013). Pendidikan Sebagai Investasi
dalam Pembangunan Suatu Bangsa (2nd ed.).
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Malla, H. A. B. (2011). Kajian Sosio Historis Tentang
Politik Kebijakan Pendidikan Islam Di Indonesia.
Inspirasi, XIV(October), 13. Mukodi. (2015).
Tantangan Profesionalisme Guru Menyonsong
Indonesia Emas 2030.
Nurtanio Agus Purwanto. (2008). Perjalanan
Kebijakan Pendidikan di Indonesia. In: Jurnal
Manajemen Pendidikan.
Tilaar, H. A. R. (1995). 50 Tahun Pembangunan
Pendidikan Nasional 1945-1995 Suatu Analisi
Kebijakan. Indonesia: PT. Grasindo.
H.M. Hasbullah, Kebijakan Pendidikan Dalam
Perspektif Teori, Aplikasi, dan Kondisi Objektif
Pendidikan di Indonesia”, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2015), h. 106
Anderson, James E; Public Policy Making, Reinhart
and Wiston, New York; 1970. 
Dolbeare, Kenneth M. (ed); Public Policy
89
Evaluation; Sage Yearbooks in Politics and Public
Policy; 1975.
Dunn, William N. Public Policy Analysis – An
Introduction; Pearson education; New jersey;
1981.
Arikunto, Suharsimi, Dasar-dasar Evaluasi
Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2007, ed.
Revisi, cet. 7
Purwanto, M. Ngalim. 1988. Prinsip-Prinsip dan
Teknik-Teknik Evaluasi Pengajaran. Cet 2.
Bandung: Remaja Rosda Karya.
Rosyadi, Khoiron. November 2004. Pendidikan
Profetik. Cet 1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suhardan, Dadang, dkk. 2011. Manajemen Pendidikan.
Bandung: Alfabeta.
Solichin Abdul Wahab. Pengantar Analisis Kebijakan
Publik”, (Malang: UMM Press. 2008), h. 70
H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan
Pendidikan, Pengantar Untuk Memaahami
Kebijakan Pendidikan Dan Kebijakan Pendidikan
Sebagai Kebijakan Publik”, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2012), h. 106
Yuliah, E. (2020). Implementasi Kebijakan
Pendidikan. Jurnal At-Tadbir: Media Hukum Dan
Pendidikan, 30(2), 129-153. 
Dunn, W. N. (2003). Pengantar Analisis Kebijakan
Publik Edisi Kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Hasbullah, H.M. (2015). Kebijakan Pendidikan; Dalam
Perspektif Teori, Aplikasi, dan Kondisi Objektif
Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Wahab, S. A. (2008). Analisis Kebijaksanaan; Dari
90
Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan
Negara. Jakarta: Bumi Aksara.

91

Anda mungkin juga menyukai