Anda di halaman 1dari 19

TUGAS DISKUSI DASAR KEBIJAKAN KESEHATAN

MENGENAI TAHAPAN DALAM PROSES PERUMUSAN MASALAH

Anggota: 1. Mustika Rani (10011182328011)


2. Annisa Aulia Maharani (10011182328012)
3. Auliya Kusuma Permata (10011182328013)
4. Farah Salsabila (10011182328014)
5. Geby Putri Berlian (10011182328015)
6. Ariqah Naura Quratu Hayata (10011182328016)
7. Gadis Pasyah Syawalia (10011182328017)
8. Dewi Jusdita (10011182328018)
9. Azzah Fadhia Wirna (10011182328019)
10. Jumi’atul Munawaroh (10011182328020)
11. Siti Nur Saffanah (10011282328051)

PRODI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN 2023
Kata Pengantar

Puji dan syukur selalu tercurahkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul “Tugas
Diskusi Dasar Kebijakan Kesehatan Mengenai Tahapan dalam Proses Perumusan Masalah”.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Dasar Kebijakan Kesehatan.
Kemudian kami juga mengucapkan terimakasih kepada dosen pengampu Alvera Noviyani, S.
K. M., M. SC sebagai dosen Dasar Kebijakan Kesehatan di Universitas Sriwijaya yang telah
memberikan banyak sumbangsih dan bantuan dalam penyusunan dan penyelesaian makalah
ini. Kami juga mengucapakan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam
memberikan berbagai sumber dan ilmunya. Harapannya, semoga makalah ini dapat
menambah pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca tentang Dasar Kebijakan Kesehatan
terutama tentang topik yang dibahas.

Topik pembahasan pada makalah ini adalah tentang Dasar Kebijakan Kesehatan yang
berfokus pada Tugas Diskusi Mata Kuliah Dasar Kebijakan Kesehatan Mengenai Tahapan
dalam Proses Perumusan Kebijakan. Dengan pembahasan makalah ini, penulis lebih
memfokuskan tentang bagaimana tahapan dalam proses perumusan masalah. Makalah ini
disusun dengan berdasarkan refrensi-refrensi yang ada, yaitu dengan jurnal sebagai acuan
yang ilmiah. Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari bahwa masih terdapat
kekurangan dan belum sempurna. Oleh karena itu, berbagai kritik dan saran yang
membangun sangat dibutuhkan untuk perbaikan dan menyempurnakan makalah ini.

Indralaya, 23 Oktober 2023


Penulis

Kelompok 1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.........................................................................................................................2

DAFTAR ISI.............................................................................................................................3

BAB I.........................................................................................................................................3

PENDAHULUAN.....................................................................................................................3

I.1 Latar Belakang................................................................................................................3

I.2 Rumusan Masalah..........................................................................................................3

I.3 Tujuan..............................................................................................................................4

BAB II.......................................................................................................................................4

PEMBAHASAN.......................................................................................................................4

II.1 Tahapan dalam Proses Perumusan Kebijakan...........................................................4

II.2 Model Perumusan Kebijakan......................................................................................5

II.3 Kebijakan Kesehatan Negara Maju (Jepang)............................................................9

BAB III....................................................................................................................................13

PENUTUP...............................................................................................................................13

III.1 Kesimpulan.................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................14
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Dalam kehidupan kita tentu tidak lepas dari masalah kesehatan. Masalah
kesehatan yang dihadapi tentunya harus memiliki manajemen yang baik. Dan dalam
hal ini, pemerintah turut campur tangan di bawahi oleh Kementrian Kesehatan
(Kemenkes). Sebagai suatu lembaga yang mengatur jalannya sistem kesehatan di
Indonesia, Kementrian Kesehatan sangat bertanggung jawab akan hal ini. Kemenkes
selaku pembuat kebijakan kesehatan juga perlu melakukan analisis terhadap setiap
kebijakan kesehatan yang dibuat supaya derajat kesehatan di Indonesia lebih terarah
untuk mencapai Indonesia Sehat. Lebih lanjut penjelasan mengenai "Analisis
Kebijakan Kesehatan", akan dibahas dalam makalah ini.

I.2 Rumusan Masalah


1. Apa tahapan proses perumusan kebijakan?

2. Bagaimana model perumusan kebijakan (institusional, elite massa, kelompok, dan

sistem politik)?

3. Bagaimana kebijakan kesehatan negara maju (Jepang)?

I.3 Tujuan
1. Mengetahui tahapan proses perumusan kebijakan?

2. Mengetahui model perumusan kebijakan (institusional, elite massa, kelompok, dan

sistem politik)?

3. Mengetahui kebijakan kesehatan negara maju (Jepang)?


BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Tahapan dalam Proses Perumusan Kebijakan


Kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan
pengambilan keputusan. Kebijakan digunakan sebagai pedoman untuk bertindak.
Kebijakan publik dapat didefinisikan sebagai respon suatu sistem politik melalui
kekuasaan pemerintah terhadap masalah-masalah masyarakat.Perumusan kebijakan
publik harus melalui proses dan tahapan-tahapannya. Dalam proses perumusan
kebijakan melibatkan beberapa tahapan yang penting. Berikut adalah tahapan umum
dalam proses perumusan kebijakan:

1. Identifikasi masalah: Tahap awal dalam proses perumusan kebijakan


adalah
mengidentifikasi masalah atau isu yang perlu diatasi. Identifikasi ini
melibatkan mengumpulkan informasi, menganalisis data, dan
mengidentifikasi dampak dari masalah tersebut.
2. Penentuan tujuan: Setelah masalah diidentifikasi, tahap selanjutnya adalah
menetapkan tujuan yang ingin dicapai melalui kebijakan tersebut. Tujuan
ini harus jelas, terukur, dan dapat dicapai dalam batas waktu yang realistis.
3. Analisis kebijakan yang ada: Tahap ini melibatkan pengumpulan dan
analisis kebijakan yang sudah ada yang berkaitan dengan masalah yang
sama atau serupa. Analisis ini membantu dalam memahami apa yang telah
dilakukan sebelumnya dan mengidentifikasi kelemahan atau keberhasilan
kebijakan yang sudah ada.
4. Pengembangan alternatif kebijakan: Setelah menganalisis kebijakan yang
ada, tahap selanjutnya adalah mengembangkan alternatif kebijakan yang
bisa diambil. Alternatif ini harus mempertimbangkan berbagai faktor
seperti dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan.
5. Evaluasi dan pemilihan kebijakan: Setelah mengembangkan alternatif
kebijakan, tahap ini melibatkan evaluasi masing-masing alternatif tersebut.
Evaluasi dilakukan dengan mempertimbangkan kriteria yang telah
ditetapkan sebelumnya. Setelah evaluasi, kebijakan yang paling sesuai
dipilih untuk diimplementasikan.
6. Implementasi kebijakan: Tahap implementasi melibatkan penerapan
kebijakan yang telah dipilih. Hal ini melibatkan koordinasi dengan
berbagai pihak terkait, pengorganisasian sumber daya, dan pelaksanaan
langkah-langkah yang diperlukan untuk menerapkan kebijakan.
7. Monitoring dan evaluasi: Setelah kebijakan diimplementasikan, tahap
berikutnya adalah memantau dan mengevaluasi hasilnya. Monitoring dan
evaluasi dilakukan untuk melihat apakah kebijakan mencapai tujuan yang
telah ditetapkan dan apakah ada perluasan atau perubahan yang
diperlukan.
8. Penyusunan ulang kebijakan: Jika evaluasi menunjukkan bahwa kebijakan
tidak mencapai tujuan yang diharapkan atau ada masalah baru yang
muncul, tahap terakhir adalah penyusunan ulang kebijakan. Proses ini
melibatkan memperbaiki kebijakan yang ada atau mengembangkan
kebijakan baru untuk mengatasi masalah yang muncul.

Tahapan-tahapan ini dapat bervariasi tergantung pada konteks dan


kompleksitas perumusan kebijakan yang dilakukan. Namun, secara umum,
tahapan-tahapan ini memberikan kerangka kerja yang dapat diikuti dalam
proses perumusan kebijakan.

II.2 Model Perumusan Kebijakan


1. Model Kelembagaan (Institutional)

A. Formulasi kebijakan model kelembagaan secara sederhana bermakna bahwa tugas


membuat kebijakan publik adalah tugas pemerintah. Jadi, apa pun yang dibuat
pemerintah dengan cara apa pun adalah kebijakan publik. Model ini mendasarkan
kepada fungsi-fungsi kelembagaan dari pemerintah, di setiap sektor dan tingkat, di
dalam formulasi kebijakan. Disebutkan Dye yang dikutip Nugroho dalam bukunya
Public Policy (2017:558), ada tiga hal yang membenarkan pendekatan ini, yaitu
bahwa pemerintah memang sah membuat kebijakan publik, fungsi tersebut bersifat
universal, dan memang pemerintah memonopoli fungsi pemaksaan (koersi) dalam
kehidupan bersama. Kebijakan sebagai Aktivitas yang bersifat Institusi
Merupakan model tradisional karena model ini menganggap bahwa kebijakan
merupakan kegiatan institusi.

1. Fokus pada struktur organisasi pemerintahan karena kegiatan-kegiatan politik


berpusat pada lembaga-lembaga pemerintah, antara lain: lembaga Legislatif, lembaga
Eksekutif, dan lembaga Yudikatif. Kebijakan publik secara otoritatif dirumuskan dan
dilaksanakan pada lembaga- lembaga tersebut.

2. Terdapat hubungan yang kuat antara kebijakan publik dengan lembaga-lembaga


tersebut, karena suatu kebijakan publik bukanlah "kebijakan publik" apabila tidak
dirumuskan, disahkan dan dilaksanakan oleh lembaga pemerintahan.
3. Secara sederhana bermakna bahwa tugas membuat dan melaksanakan kebijakan
publik adalah tugas pemerintah.
4. Mendasarkan pada fungsi-fungsi lembaga pemerintah
5. Masyarakat harus patuh, karena ada legitimasi politik dan berhak memaksakan
peraturan perundang-undangan tersebut.
6. Undang-undang menetapkan struktur kelembagaan negara dalam pembuatan
kebijakan.
7. Pembagian kekuasaan, checks and balances, otonomi daerah memberikan nuansa
pada kebijakan publik.

Ciri utama yang diberikan lembaga pemerintahan pada kebijakan publik :


a. Lembaga pemerintahan memberikan pengesahan / legitimasi terhadap kebijakan
publik.
b. Kebijakan publik bersifat universal dan dapat disebarluaskan pada seluruh
masyarakat.
c. Hanya pemerintah yang memegang hak monopoli untuk memaksakan secara sah
kebijakannya pada anggota masyarakat.

2 . Model Teori Elite (Elite)


Model teori elite berkembang dari teori politik elite-massa yang melandaskan
diri pada asumsi bahwa di dalam setiap masyarakat pasti terdapat dua kelompok, yaitu
pemegang kekuasaan atau elite dan yang tidak memiliki kekuasaan atau massa. Teori
ini mengembangkan diri kepada kenyataan bahwa sedemokratis apa pun, selalu ada
bais dalam formulasi kebijakan, karena pada akhirnya kebijakan-kebijakan yang
dilahirkan merupakan preferensi politik dari para elite-tidak lebih.

1. Memandang administrator negara bukan sebagai "abdi rakyat" (servant of the


people) tetapi lebih sebagai kelompok- kelompok kecil yang mapan (the
establishment).
2. Kelompok elite bertugas membuat dan melaksanakan kebijakan (mampu bertindak
berbuat) dalam suatu lingkungan yang ditandai dengan sikap massa yang apatis dan
pasif.
3. Kebijakan publik mengalir dari atas ke bawah (dari golongan elite ke golongan
massa).
4. Kebijakan publik merupakan perwujudan keinginan utama dan nilai-nilai golongan
elite yang berkuasa.

Ciri-ciri model-elite massa :


a. Masyarakat terbagi dalam 2 (dua) yaitu: kelompok kecil (elite) yang memiliki
kekuasaan (penguasa) dan kelompok besar (massa/non-elite) yang dikuasai.
b. Berlandaskan pada asumsi bahwa dalam setiap masyarakat, pasti terdapat 2 (dua)
kelompok (elite dan massa)
c. Kelompok elite mempunyai tipe yang berbeda dengan kelompok massa yang
dikuasai, karena kelompok elite ditentukan dipilih secara istimewa dari golongan
masyarakat yang tingkat sosial-ekonominya pada umumnya tinggi.
d. Kenyataan bahwa sedemokratis apapun selalu ada bias dalam formulasi kebijakan
karena pada akhirnya kebijakan- kebijakan yang dihasilkan merupakan preferensi
politik dari para elite.
e. Perpindahan posisi / kedudukan dari non-elite ke elite harus diusahakan selambat
mungkin dan terus menerus untuk mempertahankan stabilitas dan menghindari
pergolakan (revolusi).
f. Kebijakan publik tidak menggambarkan keinginan massa, tetapi keinginan elite,
sehingga perubahan dalam kebijakan umumnya dilakukan secara inkremental.
g. Kelompok elite yang mempengaruhi massa.
h. Kesejahteraan massa merupakan unsur penting bagi elite dalam membuat
keputusan, karena tanggung jawab kesejahteraan massa ada di tangan elite.

Pada kondisi ini masyarakat tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhi


dan menciptakan opini tentang isu kebijakan yang seharusnya menjadi agenda politik
di tingkat atas. Sementara birokrat administrator hanya menjadi mediator bagi
jalannya. informasi yang mengalir dari atas ke bawah.
Elit politik selalu ingin mempertahankan status quo maka kebijakannya
menjadi konservatif. Perubahan kebijakan bersifat inkremental maupun trial and error
yang hanya mengubah atau memperbaiki kebijakan sebelumnya. Namun, tidak berarti
bahwa kebijakan yang dibuat tidak mementingkan aspirasi masyarakat. Sampai level
tertentu, mereka tetap membutuhkan dukungan massa, sehingga mereka juga harus
memuaskan sebagian kepentingan masyarakat. Tanggung jawab untuk
mensejahterakan masyarakat dianggap terletak di tangan elit, bukan di tangan
masyarakat.
Di Indonesia peranan elit dalam kehidupan politik cukup menonjol. Model ini
dapat menjadi salah satu alat analisis untuk mengupas proses perumusan peraturan
perundang- undangan.

3. Model Kelompok (Group)

Model pengambilan kebijakan teori kelompok mengandaikan kebijakan


sebagai titik keseimbangan (equilibrium). Inti gagasan adalah interaksi di dalam
kelompok akan menghasilkan keseimbangan, dan keseimbangan adalah terbaik. Di
sini individu di dalam kelompok-kelompok kepentingan berinteraksi secara formal
maupun informal, secara langsung atau melalui media massa menyampaikan
tuntutannya kepada pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan publik yang
diperlukan.

4. Model Sistem-Politik

Model ini menekankan pada peran sistem politik dalam perumusan kebijakan
publik. Sistem politik yang dimaksud adalah sistem politik yang berlaku di suatu
negara atau wilayah tertentu.

Nilai utama model sistim terhadap analisis kebijakan, adalah:


1. Apa dimensi lingkungan yang menghasilkan permintaan dalam sistim politik?
2. Apa karakteristik sistim politik yang dapat merubah permintaan menjadi peratuan
perundang-undangan dan memuaskan dari waktu ke waktu?
3. Bagaimana input lingkungan berdampak pada karakteristik sistim politik?
4. Bagaimana karakteristik sistim politik berdampak pada isi peratuan perundang-
undangan?
5. Bagaimana input lingkungan berdampak pada isi peratuan perundang-undangan?
6. Bagaimana peratuan perundang-undangan berdampak, melalui umpan balik, pada
lingkungan?
Proses tidak berakhir di sini karena setiap hasil keputusan yang merupakan
keluaran sistim politik akan mempengaruhi lingkungan. Selanjutnya perubahan
lingkungan inilah yang selanjutnya akan mempengaruhi demands dan support dari
masyarakat.
Salah satu kelemahan dari model ini adalah terpusatnya perhatian pada
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah. Seringkali terjadi bahwa apa yang
diputuskan oleh pemerintah memberi kesan telah dilakukannya suatu tindakan, yang
sebenarnya hanya untuk memelihara ketenangan/kestabilan. Persoalan yang muncul
dari pendekatan ini adalah dalam menentukan tujuan itu sendiri.
Model sistim disusun hanya dari sudut pandang para pembuat kebijakan.
Dalam hal ini para pembuat kebijakan dilihat perannya dalam perencanaan dan
pengkoordinasian untuk menemukan pemecahan masalah yang akan menghitung
kesempatan dan meraih atau menggunakan dukungan internal dan eksternal,
memuaskan permintaan lingkungan, dan secara khusus memuaskan keinginan atau
kepentingan para pembuat kebijakan itu sendiri.
Model sistim ini menggambarkan model pembuatan kebijakan sebagai
interaksi yang terjadi antara lingkungan dengan para pembuat kebijakan dalam suatu
proses yang dinamis. Model ini dilandasi asumsi bahwa pembuatan kebijakan terdiri
dari interaksi yang terbuka dan dinamis antara para pembuat kebijakan dengan
lingkungannya dalam bentuk keluaran dan masukan (inputs dan outputs). Keluaran
yang dihasilkan oleh organisasi pada akhirnya akan menjadi bagian lingkungan dan
seterusnya akan berinteraksi dengan organisasi. Model ini juga menganggap bahwa
suatu kebijakan merupakan respons sistim politik terhadap tuntutan-tuntutan yang
timbul dari lingkungan yang merupakan kondisi atau keadaan yang berada di luar
batas-batas politik. Kekuatan-kekuatan yang timbul dari dalam lingkungan dan
mempengaruhi sistim politik dipandang sebagai masukan- masukan (inputs) sebagai
sistim politik, sedangkan hasil-hasil yang dikeluarkan oleh sistim politik yang
merupakan respons terhadap tuntutan-tuntutan dipandang sebagai keluaran (outputs)
dari sistim politik.
Sistim politik adalah sekumpulan struktur untuk dan proses yang saling
berhubungan yang berfungsi secara otoritatif untuk mengalokasikan nilai-nilai bagi
suatu masyarakat. Hasil-hasil (outputs) dari sistim politik merupakan alokasi-alokasi
nilai secara otoritatif dari sistim dan alokasi-alokasi ini merupakan kebijakan politik.
Di dalam hubungan antara keduanya, pada saatnya akan terjadi umpan balik antara
output yang dihasilkan sebagai bagian dari input berikutnya. Dalam hal ini,
berjalannnya sistim tidak akan pernah berhenti.

II.3 Kebijakan Kesehatan Negara Maju (Jepang)


1. Sistem administrasi dan situasi keuangan Jepang

Sistem pemerintahan Jepang terdiri dari tiga tingkatan: pemerintahan pusat; 47


prefektur; dan 1.718 kotamadya. Kementerian Kesehatan, Perburuhan dan
Kesejahteraan (MHLW) menetapkan prinsip-prinsip dan undang-undang dasar.
Kebijakan kesehatan nasional dilaksanakan melalui pemerintah daerah. Sebagian
besar layanan kesehatan dan kesejahteraan dasar, seperti layanan ibu dan anak serta
lansia, disediakan oleh pemerintah kota. Prefektur mengoordinasikan kegiatan antar
kota. merintah daerah kecil. Akibatnya, menjadi sulit bagi pemerintah kota untuk
menjalankan skema asuransi berbasis masyarakat dan sejak tahun 2018 pemerintah
prefektur telah memikul tanggung jawab keuangan ini.

Jepang cenderung menyelenggarakan pemilihan umum lebih sering


dibandingkan negara lain. Faktanya, sebanyak 15 perdana menteri memegang
kekuasaan antara tahun 1990 dan 2018. Masa jabatan terpendek adalah hanya dua
bulan. Alasan utama seringnya pergantian ini adalah skandal kabinet, termasuk
perdana menteri, dan perebutan kekuasaan di dalam partai politik. Liputan media
mengenai situasi ini telah menyebabkan meningkatnya ketidakpercayaan terhadap
politisi. Salah satu dampaknya adalah sulitnya pemerintah membuat program jangka
panjang bagi masyarakat lanjut usia. Dukungan yang tak tergoyahkan terhadap
populisme oleh para politisi telah mengakibatkan investasi publik yang tidak perlu
dan penundaan reformasi penting. Selain itu, ada kalanya persaingan politik
memperburuk situasi, misalnya dengan adanya duplikasi program serupa.

Neraca primer Jepang terkena dampak negatif karena pemerintah berulang kali
menambah kekurangan pendapatan dengan menerbitkan obligasi pemerintah.
Kebijakan penundaan ini dapat diterima ketika perekonomian sedang berkembang,
namun dapat menimbulkan masalah keuangan yang besar ketika perekonomian
menyusut dan angkatan kerja berkurang. Saat ini, seperempat dari total anggaran
nasional dihabiskan untuk pembayaran obligasi nasional, rasio terburuk terjadi di
antara negara-negara Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan
(OECD).

2. Demografi

Menurut statistik resmi pada 1 Oktober 2017, jumlah penduduk Jepang adalah
127 juta jiwa, dimana 48,7% adalah laki-laki dan 51,3% adalah perempuan. Sejak
tahun 2010, jumlah penduduk mengalami penurunan sebesar 1,35 juta (−1,06%) .

Menurut perkiraan Institut Nasional Penelitian Kependudukan dan Jaminan


Sosial, 30,5% penduduk akan berusia di atas 65 tahun pada tahun 2025 . Faktor
terpenting yang terkait dengan perubahan ini adalah penurunan angka kesuburan total,
yang turun dari 1,75 pada tahun 1990 menjadi 1,43 pada tahun 2017. Faktor utama
yang melatarbelakangi fenomena ini adalah meningkatnya jumlah orang yang tidak
menikah, dan semakin tingginya usia menikah. , dan usia ibu yang lebih tua saat
melahirkan anak pertama.

3. Statistik Kesehatan

Sejak Perang Dunia II, status kesehatan Jepang meningkat drastis. Saat ini,
Jepang menduduki peringkat salah satu negara tersehat di dunia. Faktor-faktor yang
berkontribusi mencakup peningkatan kebersihan umum, sistem medis dan gizi, lebih
rendahnya insiden kecelakaan kekerasan dan fatal, dan iklim yang moderat. Selain itu,
tidak ada keraguan bahwa sistem asuransi kesehatan universal yang didirikan pada
tahun 1961 telah memainkan peran penting dalam peningkatan kesehatan.

Seiring dengan perkembangan ekonomi, pola penyakit di Jepang juga


mengalami perubahan, dari penyakit akut menjadi penyakit kronis. Saat ini tiga
penyebab utama kematian (kanker, penyakit jantung, dan penyakit serebrovaskular)
menyumbang 60% dari seluruh kematian.

Pada tahun 2008, sistem pemeriksaan kesehatan dan pendidikan kesehatan


diperkenalkan untuk orang-orang yang berusia antara 40 dan 75 tahun. Langkah-
langkah ini juga membantu mencegah sindrom metabolik, yang merupakan faktor
risiko penyakit kronis tertentu.

4. Sistem Asuransi Kesehatan

Semua warga negara Jepang harus mengikuti skema asuransi kesehatan sesuai
dengan status pekerjaan, akomodasi, dan usia. Meskipun terdapat ribuan perusahaan
asuransi independen, mereka semua terintegrasi ke dalam kerangka kerja seragam
yang diamanatkan oleh pemerintah pusat. Sistem kesehatan Jepang didasarkan pada
penggantian biaya layanan berdasarkan jadwal tarif nasional yang seragam. Skema
asuransi kesehatan dikategorikan ke dalam tiga kelompok dasar menurut usia dan
status pekerjaan: skema Asuransi Kesehatan Karyawan (EHI) untuk karyawan dan
tanggungan mereka; skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi wiraswasta,
petani, pensiunan dan tanggungan mereka; dan Skema Perawatan Medis Tahap Akhir
untuk lansia.

Tertanggung membayar premi asuransinya sendiri. Dalam kasus EHI, tarif


rata-ratanya adalah 10% dari gaji dengan batas atas 13%, yang separuhnya pada
prinsipnya dibayar oleh pemberi kerja. Bagi JKN, pemerintah daerahlah yang
menentukan besaran iurannya. Rumus perhitungan dan besaran iuran berbeda-beda
menurut pemerintah daerah, dari rata-rata US$2.586 per tahun menjadi US$5.635 per
tahun. Bagi NHI, karena basis keuangannya yang lemah, sekitar 50% dari total biaya
ditanggung oleh subsidi pemerintah dan subsidi silang. Dalam kasus Skema
Perawatan Medis Tahap Akhir untuk Lansia, tertanggung memberikan kontribusi
sebesar 10% dari total biaya, 50% dibiayai oleh subsidi pemerintah, dan 40%
disubsidi oleh kontribusi angkatan kerja. Pada tahun 2015, 58,7% dari total penduduk
dilindungi oleh EHI, 28,3% oleh NHI, dan 12,4% oleh skema tahap akhir.
Apabila tertanggung mendapat pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan,
maka tertanggung wajib membayar 30% dari total biaya sebagai OPP. Mereka yang
berusia 75 tahun ke atas dan anak-anak di bawah 6 tahun membayar 10%, sedangkan
mereka yang berusia 70-74 tahun membayar 20%. Ambang batas pembayaran
bersama bulanan adalah US$707 untuk mereka yang berusia 50 tahun dengan
pendapatan tahunan sebesar US$50.000. Batasan ini berbeda-beda menurut
pendapatan tahunan, usia, dan frekuensi penggunaan layanan medis.

Karena Jepang menggunakan sistem pembayar pihak ketiga, fasilitas medis


meminta penggantian sisa biaya untuk pasien melalui Organisasi Peninjauan dan
Penggantian Klaim (CRRO), yang didirikan di 47 prefektur. Komite ahli CRRO
meninjau semua klaim yang diajukan dari fasilitas medis ke kantor untuk mengetahui
kelayakan prosedurnya. Jika terdapat prosedur yang tidak tepat atau tidak perlu,
CRRO dapat menolak penggantian biaya tersebut.

5. Jadwal Tarif

Di Jepang, hampir semua fasilitas kesehatan dibayar oleh skema asuransi


kesehatan sosial. Dasar penggantian adalah jadwal tarif nasional. Pada prinsipnya,
jadwal tarif ini direvisi setiap dua tahun setelah negosiasi di Central Social Medical
Insurance Council (CSMIC). Dewan ini terdiri dari perwakilan organisasi pembayar,
organisasi penyedia, dan mereka yang mewakili kepentingan umum MHLW.

Ada dua langkah untuk revisi jadwal biaya. Pada awalnya, kabinet perdana
menteri menetapkan tingkat perubahan total pengeluaran pengobatan. Setelah
menentukan bagian masing-masing sektor medis (misalnya dokter, dokter gigi,
apoteker), MHLW mengubah biaya untuk setiap prosedur berdasarkan hasil Survei
Kondisi Ekonomi dalam Pelayanan Kesehatan dan sesuai dengan negosiasi di
CSMIC. Seperti yang Ikegami dkk. ditunjukkan dalam studi mereka, sistem tarif
nasional memiliki dua tujuan . Pertama, mengontrol total pengeluaran. Kedua,
peraturan ini menetapkan biaya untuk prosedur tertentu sedemikian rupa sehingga
memberikan insentif kepada dokter untuk mengubah perilaku mereka. Misalnya,
jadwal tarif saat ini mencakup insentif untuk memberikan lebih banyak layanan
berbasis rumah. Metode pengendalian biaya yang tidak langsung namun telah
disesuaikan ini merupakan alat yang berguna bagi MHLW dalam mengubah kebijakan
kesehatan.
6. Sumber Daya Kesehatan dan Sistem Pemberian Layanan

Pada 30 Maret 2018 di Jepang terdapat 8.389 rumah sakit, 101.860 klinik, dan
68.756 klinik gigi. Lebih dari 80% adalah milik pribadi. Dibandingkan dengan
negara-negara OECD lainnya, Jepang memiliki kepadatan tempat tidur rumah sakit
per kapita yang lebih tinggi dan masa rawat inap yang lebih lama . Pada tahun 2014,
jumlah dokter, perawat, dan apoteker masing-masing berkisar 2,45, 11,61, dan 2,27
per seribu penduduk. Jepang juga memiliki jumlah dokter yang relatif sedikit dan
jumlah apoteker yang tinggi dibandingkan dengan Perancis, Jerman, Inggris, dan
Amerika Serikat.

Di Jepang, dokter dapat dengan bebas memilih lokasi untuk mendirikan klinik
dan pasien diperbolehkan mengakses tanpa batasan. Sebaliknya, pembuatan dan
perluasan tempat tidur rumah sakit telah diatur secara ketat berdasarkan Undang-
Undang Pelayanan Kesehatan sejak tahun 1985. Meskipun demikian, rumah sakit
diperbolehkan membeli peralatan apa pun dan membuka departemen khusus apa pun

Meski karakteristik tersebut dianggap terkait dengan biaya tinggi, Jepang


berhasil mengendalikan biaya jika dibandingkan dengan negara OECD lainnya.
Hashimoto dkk. dalam penelitian mereka menyatakan bahwa sistem layanan
kesehatan yang berfokus pada rawat jalan di Jepang adalah salah satu alasan utama
terjadinya hal ini . Faktanya, menurut Statistik Kesehatan OECD tahun 2016, jumlah
kunjungan layanan rawat jalan per kapita di Jepang adalah 12,8 (2013). Angka ini
lebih tinggi dibandingkan Jerman (9,9 pada tahun 2014), Perancis (6,3 pada tahun
2014), dan Amerika Serikat (4,0 pada tahun 2010).

Salah satu masalah terpenting dalam pemanfaatan sumber daya kesehatan di


Jepang adalah distribusi yang tidak merata antar wilayah geografis dan sub-
spesialisasi. Pemerintah Jepang telah menerapkan berbagai langkah untuk mengatasi
disparitas geografis tenaga profesional kesehatan, misalnya dengan meningkatkan
jumlah siswa yang belajar kedokteran dan dengan memperkenalkan sistem di mana
siswa sekolah menengah atas di daerah pedesaan dapat secara istimewa masuk
sekolah kedokteran. Dibutuhkan lebih banyak waktu untuk mengevaluasi dampak
penuh dari kebijakan ini.

Permasalahan lainnya adalah kurangnya indikator kebutuhan tenaga dokter


berdasarkan spesialisasi. Mahasiswa kedokteran di Jepang bebas memilih
spesialisasinya setelah lulus. Hal ini berkontribusi pada distribusi dokter yang tidak
merata berdasarkan spesialisasi dan ketidaksesuaian antara pasokan dan permintaan di
bidang spesialis tertentu. Panitia MHLW telah membahas permasalahan distribusi
yang tidak merata namun belum menemukan solusi yang efektif. Beberapa anggota
komite telah menyarankan agar ada pembatasan pada lokasi geografis tenaga
profesional medis, seperti yang terjadi di Perancis dan Jerman.

7. Pengeluaran Medis

Pengeluaran kesehatan nasional di Jepang meningkat. Pada tahun 2014,


pengeluaran mencapai US$361,1 miliar, setara dengan US$2.842 per orang. Angka ini
setara dengan 11,2% Pendapatan Nasional. Menurut database OECD, total
pengeluaran layanan kesehatan di Jepang adalah 10,9% dari PDB, 2% di atas median
negara-negara OECD. Pengeluaran menurut jenis pelayanan kesehatan adalah sebagai
berikut: rawat inap di rumah sakit (37,4%); rawat jalan (34,3%); apotek (17,9%);
klinik gigi (6,8%); layanan makan untuk pasien rawat inap (2,0%); dan kunjungan
panti jompo pada lansia (0,3%).

Pada tahun 2014, biaya layanan kesehatan bagi lansia mencapai US$1,085
miliar. Angka ini meningkat pesat dan kini mencapai 35,4% dari total belanja
kesehatan nasional.

Analisis struktural terhadap peningkatan tingkat pengeluaran kesehatan


nasional antara tahun 2014 dan 2015 menunjukkan bahwa dalam tingkat pertumbuhan
total sebesar 3,8%, terdapat penurunan sebesar 0,1% dalam tingkat pengeluaran
kesehatan nasional karena penurunan jumlah penduduk, peningkatan sebesar 1,2%.
karena penuaan (perubahan struktur populasi berdasarkan kelompok usia), dan
peningkatan alami pengeluaran layanan kesehatan nasional sebesar 2,7%, yang
mencakup dampak kemajuan teknologi medis . Hasil ini menyoroti dampak besar
penuaan dan kemajuan teknologi medis terhadap peningkatan biaya
perawatan kesehatan.
BAB III

PENUTUP

III.1 Kesimpulan
Perumusan kebijakan publik melibatkan beberapa tahapan penting, mulai dari
identifikasi masalah hingga evaluasi dan penyusunan ulang kebijakan. Ada beberapa
model perumusan kebijakan. Selain itu, konteks kebijakan kesehatan di Jepang
dibahas menyeluruh terkait proses perumusan kebijakan publik dan konteks kebijakan
kesehatan di Jepang, termasuk tantangan dan keberhasilan yang dihadapi dalam
menjaga sistem kesehatan yang berkualitas.
DAFTAR PUSTAKA

Dachi, R. A. (2017). Proses dan Analisis Kebijakan Kesehatan. Yogyakarta: Penerbit Deepublish (Grup
Penerbitan CV Budi Utama).

Budiyanti,Rani Tiyas. Ayun Sriatmi. Sutopo Patria Jati. (2020). Kebijakan Kesehatan: Implementasi
Kebijakan Kesehatan. Semarang: Undip Press.

Matsuda, S. (2019). Health Policy in Japan-Current Situation and Future Challenges. Journal Japan
Medical Association, 2(1),1-10.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai