Anda di halaman 1dari 102

Kybernologi dan Metodologi:

Metodologi Ilmu Pemerintahan

Taliziduhu Ndraha, Kybernolog

1
Tulisan ini merupakan versi elektronik dari versi cetaknya.
Tidak untuk diperjual-belikan
Hak cipta atas setiap tulisan tersebut dilindungi oleh Undang-undang.
Pengutipan atas setiap tulisan harus dengan menyebutkan sumbernya
DENGAN KATA SAMBUTAN REKTOR IPDN
PROF. DR Drs H. I NYOMAN SUMARYADI, MSi

DITERBITKAN UNTUK
INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI (IPDN)
OLEH SIRAO CREDENTIA CENTER (SCC)
BEKERJASAMA DENGAN
YAYASAN KYBERNOLOGI INDONESIA (YKI)
PENGANTAR
Buku berjudul Kybernologi dan Metodologi: Metodologi Ilmu Pemerintahan
sejauh ini merupakan himpunan tulisan paling tipis di antara seri Kybernologi
sebelumnya. Bab I Metodologi Ilmu Pemerintahan ditulis memenuhi permintaan
Direktur Program Pascasarjana (PPs) Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)
Prof. DR Tjahya Supriatna, SU, melalui surat tgl 17 Desember 2009
No. 4235/256/AK/PPS/09 tentang Kesediaan Menyusun Silabi Mata Kuliah
Program S3, S2, dan Profesi Kepamongprajaan IPDN. Silabi dua matakuliah
lainnya, yaitu Kybernologi dan Kepamongprajaan, telah terbit dengan judul GBPP
Kybernologi dan Kepamongprajaan (2009).

Dalam draft kurikulum di lingkungan PPs IPDN, matakuliah Ilmu Pemerintahan


sebagai core curriculum program, ditulis Ilmu Pemerintahan (Kybernologi),
mengingat nama Kybernologi belum dikenal di lingkungan birokrasi Departemen
Pendidikan Nasional (Depdiknas). Dengan penghadiran Kybernologi seperti itu
terlihat posisi Ilmu Pemerintahan yang diajarkan di PPs IPDN pada dua hal:
1. Ilmu Pemerintahan yang diajarkan pada PPs IPDN adalah Ilmu
Pemerintahan yang body-of-knowledge (BOK)-nya Kybernologi, bukan
Ilmu Pemerintahan yang merupakan bagian BOK Ilmu Politik
2. Derajat akademik BOK Kybernologi berkualitas akademik utuh dan bulat,
yaitu berderajat S1 (Sarjana), S2 (Magister), dan S3 (Doktor)

Oleh sebab itu, buku Kybernologi dan Metodologi: Metodologi Ilmu Pemerintahan
ini diterbitkan untuk IPDN oleh Sirao Credentia Center (SCC), sebuah penerbit
nirlaba yang berkedudukan di Tangerang, bekerjasama dengan Yayasan
Kybernologi Indonesia (YKI) Jakarta, yayasan yang bertujuan mengembangkan
Kybernologi menjadi “ilmu bagi semua orang.” Yayasan itu sendiri berdiri
berdasarkan Akte Notaris Rr Idayu Kartika, SH, tgl 23 Desember 2006 No. 01,
disahkan dengan Keputusan MENHUKHAM RI No. C-1318.HT.01.02.TH.2007
tgl 20 April 2007 (Tambahan Berita Negara RI tgl 24/7 – 2007 No. 59). Dalam
hubungan itu disampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Rektor
IPDN Prof. DR Drs H. I Nyoman Sumaryadi, MSi,.atas sambutan beliau terhadap
penerbitan buku ini, dan kepada Ketua Umum YKI Jakarta
DR Ir A. Asri Harahap, SE, MM, atas kerjasama yang baik dengan Direktur SCC
Pdt Pramudianto, STh, SE, MMin.

“Bertemu Prometheus” merupakan bab penutup Metodologi Ilmu Pemerintahan


(Rineka Cipta, 1997). Prometheus adalah seorang tokoh mitologi Junani. Menurut
Edith Hamilton dalam Mythology (1957), istri Uranus (Heaven) bernama Gaea
(Earth) melahirkan beberapa anak, salah seorang bernama Ocean. Istri Ocean
bernama Tethya melahirkan Iapetus. Iapetus mempunyai tiga anak, Prometheus
(Forethought), Atlas, dan Epimetheus (Afterthought) yang tanpa berpikir panjang
menikahi Pandora.

Di zaman itu, Zeus (terhitung paman Prometheus) berkuasa di Olympia, tempat


bersemayam para Dewi dan Dewa. Zeus beristri duabelas. Dari Maia istrinya yang
kedelapan, yang tinggal di gua Gunung Cyllene di Arcadia, Zeus memperoleh bayi
ajaib, licik, cerdik, kuat dan dalam hal musik, berbakat, Hermes namanya. Zeus
terlihat memerintah dengan “baik.” Populer. Lihat saja. Suatu saat dia memanggil
Hermes dan mengeluarkan titah: “Turunlah ke bumi, bawa dan anugerahkanlah
kehormatan (reverence) dan keadilan (justice) kepada manusia untuk digunakan
sebagai asas kehidupan di bawah Olympia.” Hermes yang memang cerdas
bertanya: “Bagaimana cara mendistribusi kedua nilai itu kepada manusia, apakah
misalnya sebagaimana halnya seni, hanya kepada beberapa orang yang berbakat,
derajat hanya kepada kaum ningrat, atau keterampilan hanya kepada kalangan
cerdik cendekia? Atau kuberikan kepada semua orang?” “Kepada setiap orang!”
Zeus tegas. “Aku berkenan melihat setiap orang memiliki kedua nilai luhur
tersebut.” Mendengar berita tentang anugerah itu manusia bersukacita, gempar di
mana-mana, gemuruh bertempik sorak. Baliho-baliho raksasa terpampang dengan
tulisan: “Hidup Olympia, Zeus Demokrat Sejati, Zeus pemimpin besar!”

Namun apa sesungguhnya yang terjadi? Sambil makan ambrosia dan minum
nectar, dewi dan dewa keluarga Olympia “joking, feasting, warring, playing tricks
on humans,” demikian W. H. D. Rouse dalam Gods, Heroes and Men of Ancient
Greece (1957). Olympia punya api, tanah manusia hanya punya lumpurnya.
Prometheus tidak nyaman dengan, dan tidak percaya terhadap pemerintahan
despotik a la Olympia itu. Kehormatan dan keadilan, menurut Prometheus, sama
seperti hidup dan kehidupan, bukan pemberian, bukan anugerah siapa-siapa, tetapi
nilai dasar bawaan manusia yang harus diakui, dihormati, dilindungi, dan dipenuhi
oleh Zeus dan para punggawanya. Kemerdekaan untuk memilih dan menentukan
sendiri masadepan jauh, jauh lebih terhormat dan adil ketimbang hidup dari
kemurahan hati dan belas kasihan rezim-rezim korup, Setiap orang, betapapun ia
dianggap tidak santun dan jahat, hina dan jelata, tetap memiliki kehidupan,
kehormatan dan berhak mengejari keadilan, dan oleh sebab itu, layak didengar.
Keinginan Prometheus untuk berbagi api, sumber kehidupan, dengan Zeus, tidak
digubris. “Tidak ada aturannya,” sahut Hermes. “Zeus tidak punya agenda untuk
membahas hal itu,” lanjutnya sambil mencibir.

Maka suatu ketika di musim hujan seperti ini (140110), kendatipun sadar bahwa
sepandai-pandai tupai meloncat, sesekali terpelesat jua, suatu waktu ulahnya
ketahuan karena mata-mata Zeus mengintai di mana-mana, telefon siapa saja
disadap, facebook dibungkam, bisa-bisa ia ditangkap dan dihilangkan tanpa bekas,
Prometheus sudah tunggang tak tertahankan dan beraksilah dia. Bumi kembali
gempar, bukan oleh Hermes tetapi oleh Prometheus: “Prometheus stealing
heavenly fire, Theseus slaying the Minotaur, Hercules straining under his Twelve
Labors, Jason seeking the Golden Fleece,” demikian Rouse kembali memberi
kesaksian di sampul belakang bukunya. Separatis! Pelanggaran! Tangkap!
Hilangkan! Sebuah jeritan panjang memilukan disertai erangan menyayat jiwa dari
mulut Prometheus yang dipaku di pegunungan batu bernama Caucasos, dan
kepakan dahsyat sayap burung rajawali yang mengoyak isi perut Prometheus
dengan paruhnya yang tajam sehingga memburai di angkasa, menyentakkan
penulis dari lamunannya, kembali di dunia nyata.

Rasa-rasanya Indonesia sekarang mirip Olympia dengan Zeus dan jaringan


hermesiannya. Oleh sebab itu Prometheus dijadikan gambar halaman depan buku
Kybernologi ini, Generasi promethean, bangkitlah!

Jakarta, 14 Januari 2010


Taliziduhu Ndraha, Kybernolog
KATA SAMBUTAN
REKTOR INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI

Pada tgl 22 Mei 2003, Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) meluncurkan satu produk
akademik bernama Kybernologi. Kybernologi adalah sebuah bangunan
pengetahuan (body-of-knowledge, BOK) pemerintahan (governance). Secara
formal, Kybernologi adalah bangunan pengetahuan (body-of-knowledge) hasil
rekonstruksi buah pendaratan Bestuurskunde, Bestuurswetenschap, dan
Bestuurswetenschappen di bumi Indonesia pada sudutpandang kemanusiaan,
tidak pada sudutpandang kekuasaan, dan pengaitannya dengan
sudutpandang lain yang berbeda, misalnya sudutpandang kekuasaan
Bestuurskunde (Belanda besturen) yang kemudian berkembang menjadi
Bestuurswetenschap dan Bestuurswetenschappen, di negeri asalnya yaitu Belanda,
didefinisikan sebagai “. . . . . ilmupengetahuan yang bertujuan memimpin
hidupbersama manusia ke arah kebahagiaan yang sebesar-besarnya, tanpa
merugikan orang lain secara tidak sah,” demikian van de Spiegel sebagaimana
dikutip oleh G. A. Van Poelje dalam bukunya Algemene Inleiding tot de
Bestuurskunde (1953). Bangunan BOK Bestuurswetenschap di masa itu di negeri
asalnya berderajat akademik tertinggi sehingga kepada lulusan program
pendidikannya dianugerahi gelar Doktor.
Melalui proses pembelajaran Program S1, S2 dan S3 sejak tahun 1994 (antara lain
bekerjasama dengan Universitas Padjadjaran), BOK tersebut kini di Indonesia
telah mencapai derajat keilmuan tertinggi yang utuh dan lengkap, seperti terlihat
dalam buku GBPP Kybernologi dan Kepamongprajaan yang terbit tahun lalu.
Esensi sisi Ontologi dan Epistemologi Kybernologi adalah Metodologi Ilmu
Pemerintahan, sementara sisi Axiologinya berkembang menjadi satu bidangkajian
dan program diklat baru bernama Kepamongprajaan. Perkembangan akademik
ini langsung mendukung kebijakan baru Pemerintah yang menetapkan IPDN
sebagai Penyelenggara Sistem Pendidikan Tinggi Kepamongprajaan
berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2009. Dengan demikian
Kybernologi bukan hanya judul seri buku yang terbit sejak tahun 2003, melainkan
sebuah BOK yang terus berkembang.

Penerbitan buku ini memperkaya khazanah pustaka Ilmu Pemerintahan yang masih
terhitung langka di Indonesia. Buku ini diharapkan menjadi pegangan bagi
segenap Masyarakat Akademik di lembaga-lembaga perguruan tinggi, khususnya
di lingkungan IPDN, dalam menjalankan proses belajar-mengajar di bidang Ilmu
Pemerintahan (Kybernologi) melalui Tridharma Perguruan Tinggi: pengajaran,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, dalam rangka membangun
pemerintahan Indonesia yang maju dan berkelanjutan.

Jakarta, 5 Januari 2010 Prof. DR Drs H. I Nyoman Sumaryadi, MSi


DAFTAR ISI

I METODOLOGI ILMU PEMERINTAHAN


1 Pengertian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
2 Hubungan Metodologi Dengan Filsafat Ilmu . . . . . . 6
3 Bahan Baku BOK: Data . . . . . . . . . . . . . . . . 8
4 Bahan BOK: Konsep. . . . . . . . . . . . . . . . . 10
5 Jarak Konseptual . . . . . . . . . . . . . . . . . 14
6 Hubungan Antar Konsep. . . . . . . . . . . . . . . 16
7 Bahan BOK: Teori . . . . . . . . . . . . . . . . . 18
8 Bahan BOK: Objek Materia dan Objek Forma . . . . . 28
9 Bahan BOK: Verstehen . . . . . . . . . . . . . . . 36
10 Bahan BOK: Objek dan Subjek, Waktu dan Ruang . . . 49
11 Konstruksi BOK: Roh dan Raga . . . . . . . . . . . 52
12 Konstruksi BOK: Beberapa Pertimbangan. . . . . . . 59
13 Konstruksi BOK: Pertanyaan . . . . . . . . . . . . 63
14 Konstruksi BOK: Jawaban Kualitatif . . . . . . . . 72
15 Konstruksi BOK: Jawaban Kuantitatif. . . . . . . . 80
16 Konstruksi BOK: Jawaban Kombinatif . . . . . . . . 85
17 Konstruksi BOK: Jawaban Normatif . . . . . . . . . 89
18 Every Science Begins as Philosophy . . . . . . . . 90a

II PEMERINTAHAN YANG BERKELANJUTAN


DAN KEKUATAN OPOSISIONAL
1 Pemerintahan Yang Berkelanjutan. . . . . . . . . . 91
2 Kekuatan Oposisional . . . . . . . . . . . . . . . 92
3 Mengembangkan Loyal Opposition . . . . . . . . . . 96
4 Dampak Akademik Gagasan Pemerintahan
Berkelanjutan. . . . . . . . . . . . . . . . . . . 96
5 Ringkasan. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 97

III PERANAN CAMAT DALAM MANAJEMEN SUMBERDAYA DAERAH


1 Otonomi Daerah . . . . . . . . . . . . . . . . . . 99
2 Kebijakan Pemerintahan Daerah. . . . . . . . . . . 101
3 Hubungan Antar Sumberdaya. . . . . . . . . . . . . 102
4 Tugas Camat. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 105
5 Manajemen Sumberdaya . . . . . . . . . . . . . . . 105
6 Wilayahkerja Camat: Garisdepan Pemerintahan. . . . 106
IV TEORI SOSIAL
1 Kurikulum Program Pascasarjana IPDN
Berbasis Apa?. . . . . . . . . . . . . . . . . . . 108
2 Basis Sistem (Bangunan) Kurikulum. . . . . . . . . 109
3 Teori Sosial . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 111

V LAGI-LAGI FAKTOR DAN DIMENSI


1 Indicators and Dimensions. . . . . . . . . . . . . 113
2 Faktor dan Dimensi . . . . . . . . . . . . . . . . 113

VI PENYELENGGARAAN LABORATORIUM LAPANGAN


ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN (DI) KABUPATEN WONOSOBO
1 Dasar Pemikiran. . . . . . . . . . . . . . . . . . 116
2 Desain Penyelenggaraan . . . . . . . . . . . . . . 117
3 Formulir Ujicoba . . . . . . . . . . . . . . . . . 118
METODOLOGI ILMU PEMERINTAHAN (MIP)
Taliziduhu Ndraha, Kybernolog

1
PENGERTIAN

Yang dimaksud dengan Ilmu Pemerintahan di sini adalah Kybernologi.


Kybernologi disebut juga Ilmu Pemerintahan Baru. Apakah Kybernologi itu?
Menurut Pasal 3 Deklarasi Umum Tentang Hak-Hak Asasi Manusia, “Setiap
Orang Berhak Atas Kehidupan, Kebebasan, dan Keselamatan Sebagai Individu”
warga suatu masyarakat. Untuk bisa hidup, manusia membutuhkan alat atau bahan
yang mendukung kehidupannya, seperti makanan, minuman, udara segar,
ketertiban, keadilan, kedamaian, dan sebagainya. Alat atau bahan itu disebut
bernilai (bermanfaat, berguna, bermakna). Pada zaman dahulu kala, nilai diperoleh
langsung dari alam, tetapi lama-kelamaan harus melalui usaha pengolahan
sumberdaya, penggunaan teknologi, dan penciptaan. Usaha manusia untuk
memenuhi kebutuhannya akan nilai di dalam suatu masyarakat membangun
subkultur masyarakat yang disebut subkultur ekonomi (SKE). SKE berfungsi
membentuk, menambah dan mencipta nilai melalui kerja. Sayang sekali, timbul
masalah. Kualitas sumberdaya, distribusi (pemilikan), kesempatan, dan
kemampuan mengolahnya berbeda-beda dan tidak merata, sehingga pada suatu
saat di mana-mana terdapat ketimpangan (kesenjangan). Ada masyarakat yang
memiliki nilai dalam jumlah besar (sangat kaya) dan ada yang nyaris tidak
memilikinya (sangat miskin). Kondisi ini oleh naluri kemanusiaan dan
persaudaraan dianggap tidak adil. Konflik sosial yang berlarut-larut yang merusak
masyarakat itu sendiri sering terjadi. Untunglah, masyarakat memiliki naluri
penyesuaian dan penyelamatan diri melalui berbagai cara untuk mengatasi masalah
di atas, antara lain dengan membuat dan menyepakati norma-norma sosial yang
mengatur perilaku warga masyarakat sehingga ketimpangan nilai semakin
berkurang dan rasa keadilan sosial antar warga masyarakat meningkat. Tetapi
rupanya kesepakatan saja tidak cukup. Norma-norma sosial perlu ditaati,
ditegakkan, dan jika perlu dipaksakan dengan kekuatan bahkan kekerasan. Upaya
penegakan sebagian norma-norma sosial tersebut melahirkan subkultur lain yang
disebut subkultur kekuasaan (SKK). Pelaku atau pemeran SKK adalah
pemerintah (government). Pada dasarnya, SKK berperan (berfungsi) mengontrol
sumber-sumber dan pengelolaannya, agar bisa menghasilkan nilai maksimal tanpa
merusak sumber-sumber itu sendiri, untuk kemudian diredistribusi kepada warga
masyarakat berdasarkan asas keadilan sosial. Tetapi karena kekuasaan itu hanya

1
alat, ia pada hakikatnya tidak dapat dan tidak mau mengontrol dirinya sendiri.
Pemangku kekuasaan cenderung menempuh jalan pintas yang disebut korupsi,
mudah menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan kekuasaan dan dirinya
sendiri. Oleh sebab itu, kekuasaan harus dikontrol.

Siapa atau lembaga apa yang berfungsi mengontrol kekuasaan? “Jangan beli
kucing dalam karung,” demikian kearifan sosial kita. “Pembeli kucing” yang
membuka karung pada saat transaksi terjadi (di hilir) adalah masyarakat dalam
kualitasnya sebagai pelanggan. Sudah barang tentu, jauh sebelum ada larangan itu,
ada aturan (di hulu) yang menyatakan bahwa penjual harus membuka karungnya
dan memberi kesempatan kepada pelanggan untuk memeriksa isinya. Pembuat
aturan itu adalah masyarakat juga tetapi dalam kualitasnya sebagai konstituen.
Jadi masyarakat berfungsi mengontrol SKK di hulu melalui pembuatan peraturan,
dan di hilir melalui pemantauan dan evaluasi (monev). Konsekuensinya,
masyarakat menuntut pertanggungjawaban SKK atas penyelenggaraan fungsi-
fungsinya. Kepercayaan masyarakat kepada SKK bergantung pada
pertanggungjawaban tersebut. Usaha masyarakat untuk berperan mengontrol SKK
di hulu dan di hilir, yang berdampak pada tingkat kepercayaannya kepada
pemerintah, membentuk subkultur sosial (SKS) di dalam masyarakat.

Interaksi antar tiga subkultur itu disebut pemerintahan (governance), bukan


“kepemerintahan.” Interaksi itu menghasilkan kinerja pemerintahan. Jika kinerja
pemerintahan itu berkualitas good, maka pemerintahan yang bersangkutan disebut
good governance. Jika tidak, bad governance. Interaksi berulang dan terjadi di
mana-mana antar subkultur masyarakat membentuk fenomena pemerintahan.
Fenomena itu merupakan kancah pengkajian bersama (common platform, landasan
bersama, objek materia bersama) berbagai ilmupengetahuan. Landasan bersama itu
mempunyai banyak sudut (sudutpandang). Setiap pengkajian (penelitian) mendarat
pada sudut yang berbeda-beda yang disebut objek forma pengkajian. Ilmu Politik
misalnya mendarat pada sudut kekuasaan. Bestuurskunde yang masuk di Indonesia
sejak awal abad ke-20, sekitar medio abad yang sama didaratkan pada sudut Ilmu
Politik, sehingga sampai sekarang apa yang disebut “Ilmu Pemerintahan” oleh
banyak kalangan dianggap (hanya) merupakan salah satu kajian Ilmu Politik, atau
sebagian aksiologinya.

Bestuurskunde (Belanda besturen) yang kemudian berkembang menjadi


Bestuurswetenschap dan Bestuurswetenschappen, di negeri asalnya yaitu Belanda,
tidak mendarati fenomena pemerintahan pada sudut kekuasaan, tetapi pada sudut
manusia: “Ilmu Pemerintahan adalah ilmupengetahuan yang bertujuan
memimpin hidupbersama manusia ke arah kebahagiaan yang sebesar-

2
besarnya, tanpa merugikan orang lain secara tidak sah,” demikian van de
Spiegel sebagaimana dikutip oleh G. A. Van Poelje dalam bukunya Algemene
Inleiding tot de Bestuurskunde (1953). Jadi sejak awal, Bestuurswetenschap itu
lahir di sudut (ke)manusia(an), bukan di sudut kekuasaan. Bangunan (body-of-
knowledge, BOK) Bestuurswetenschap di masa itu di negeri asalnya berderajat
akademik tertinggi sehingga kepada lulusan program pendidikannya dianugerahi
gelar Doktor.

--------------------------------------------------------------------------------
| |
| janji vote,trust,hope monev kinerja |
| ---------------- ---------------- ---------------- |
| | penepatan | | mandat,ke- | | SKK | |
| | 2 | | hormatan | | 5 | |
| SUMBER- | | 1 | | | |
| SUMBER | | DPR DPD | |
| | | | MEWAKILI MEWAKILI | |
| | | | KONSTITUEN PELANGGAN | |
| berva- | | | | | |
| riasi | | PEMILU | |
| | | | |
| | | | | | |
| SUBKULTUR SUBKULTUR SUBKULTUR SUBKULTUR |
| EKONOMI-------- KEKUASAAN-------- SOSIAL-------- KEKUASAAN------|
| (SKE) (SKK) (SKS) (SKK) |
| | | | |
| | | | |
| pemba- | | | | | |
| ngunan | | | | | |
| | | | | | | |
| | nilai | | redistribusi | | pertanggung- | |
| ---------------- ---------------- ---------------- |
| 3 nilai jawaban |
| 4 6 |
| |
-----------------------------------MASYARAKAT-----------------------------------

Gambar 1 Pemerintahan (Governance): Interaksi Antar SKE, SKK, dan SKS


Angka-angka Menunjukkan Rute Pemerintahan

Bencana nasional yang terjadi pada tahun 1965 membawa kesadaran baru bahwa
ada yang tidak beres dalam penyelenggaraan negara. Kesadaran baru ini
mendorong usaha pendaratan-kembali Bestuurswetenschap, Bestuurswetenschap,
dan Bestuurswetenschappen di Indonesia pada sudutpandang yang berbeda, tidak
pada kekuasaan seperti di masa lalu tetapi pada (ke-) manusia (-an), yaitu habitat
yang melahirkannya di negeri asalnya, dan merekonstruksi hasil-hasilnya.
Rekonstruksi tersebut berlangsung senyap, tidak gegap, tetapi pasti, terlebih
setelah bencana nasional tahun 1998, disusul bencana nasional 2004-2005. Hasil
rekonstruksi buah pendaratan itu pada tgl 8 Mei 2000 diberi nama Kybernologi
(dari bahasa Greek kybernán, Inggeris steering, Belanda besturen, mengemudi,

3
diberi akhiran –logy, -logi) dan diluncurkan oleh Institut Ilmu Pemerintahan (IIP)
di Jakarta pada tgl 22 Mei 2003. Secara formal, Kybernologi adalah bangunan
pengetahuan (body-of-knowledge) hasil rekonstruksi buah pendaratan
Bestuurskunde, Bestuurswetenschap, dan Bestuurswetenschappen di bumi
Indonesia pada sudutpandang kemanusiaan, tidak pada sudutpandang
kekuasaan, dan pengaitannya dengan sudutpandang lain yang berbeda,
misalnya sudutpandang kekuasaan (Gambar 2).

PENDEKATAN
MENGGUNAKAN
KACAMATA
KEKUASAAN/
KEWENANGAN

sudut pendekatan

PENDARATAN BANGUNAN UTUH,


BESTUURSKUNDE, LENGKAP,BERDERAJAT
BESTUURSWETENSCHAP & su- FENOMENA AKADEMIK STRATA
BESTUURSWETENSCHAPPEN dut PEMERINTAHAN SATU, DUA, & TIGA,
DENGAN MENGGUNAKAN pen- RUANG PENDA- HASIL REKON-
KACAMATA KEMANUSIAAN da- RATAN BERSAMA STRUKSI BUAH PEN-
HAK ASASI MANUSIA (HAM) ratan SEMUA PENELI- DARATAN, DAN
DAN LINGKUNGAN TIAN DIBERI NAMA
DI BUMI INDONESIA KYBERNOLOGI

KONSTRUKSI HASIL PENDEKATAN


KACAMATA KEKUASAAN/KEWENANGAN
TERHADAP FENOMENA PEMERINTAHAN
DISEBUT “ILMU PEMERINTAHAN”
SEBAGAI BAGIAN ILMU POLITIK

Gambar 2 Dua Cara Pendekatan Terhadap,


dan Pendaratan Pada Fenomena Pemerintahan

Perbedaan antara Ilmu Pemerintahan sebagai bagian Ilmu Politik dengan


Kybernologi, dapat dibaca dalam Bab I dan Bab II Kybernologi: Sebuah
Rekonstruksi Ilmu Pemerintahan, 2005. Body-of-knowledge (BOK) Kybernologi
dengan sisi Ontologi, Epistemologi, dan Axiologi, terdapat dalam Garis-Garis
Besar Program Pembelajaran Kybernologi dan Kepamongprajaan, 2009.

4
Istilah methodology terdiri dari methodos dan logos. Methodos berasal dari meta
dan hodos. Meta berarti beyond, “di luar sana,” yang belum diketahui (unknown),
sedangkan hodos berarti jalan, cara, atau alat. Jadi metodologi adalah jalan (cara,
alat) yang ada (known) yang perlu ditempuh (digunakan) oleh seseorang (knower)
untuk mengetahui (knowing) sesuatu yang belum diketahui. Knowing
menghasilkan pengetahuan (knowledge). Menurut Fred N. Kerlinger dalam Bab I
Foundations of Behavioral Research (1973), ada empat cara (methods of) knowing,
yaitu the method of tenacity, the method of authority, the method of intuition (a
priori method), dan the method of science. Dilihat dari sudut the method of
science, Metodologi Ilmu adalah metodologi yang didasarkan pada hipotesis-dasar
berbunyi: “There are real things, whose characters are entirely independent of our
opinion about them.” Bagian sesuatu yang belum diketahui yang bisa diketahui
disebut sesuatu yang dapat diketahui (knowable), sedangkan bagian yang
selebihnya meliputi bagian yang belum diketahui dan bagian yang tidak dapat
diketahui (unknowable). Hubungan antara bagian yang diketahui dengan bagian
yang tidak diketahui itu ialah, semakin diketahui, semakin tidak diketahui.

KNOWER
|
|
KNOWN---------->KNOWING----------->KNOWABLE---------->UNKNOWABLE--------->?
| |
| |
------------KNOWLEDGE<--------------

Gambar 3 Metodologi Ilmu

Metodologi meliputi tiga komponen, yaitu Metodologi Penelitian, Metodologi


Ilmu, dan Metodologi Pengajaran. Walaupun masih dapat diperdebatkan,
Metodologi Penelitian terdiri dari Metodologi Penelitian Kualitatif dan Metodologi
Penelitian Kuantitatif. Setiap disiplin ilmu memiliki metodologinya sendiri. Jadi
ada Metodologi Ilmu Politik, Metodologi Ilmu Sosial, dan Metodologi Ilmu
Hukum, dan seterusnya. Ilmu Pemerintahan memiliki Metodologi Ilmu
Pemerintahan. Metodologi Pengajaran menyangkut dua hal pokok, Didaktik
Pengajaran tentang bahan-ajar, dan Metodik Pengajaran tentang cara-ajar.

5
2
HUBUNGAN METODOLOGI DENGAN FILSAFAT ILMU

“Every science begins as philosophy and ends as art, it arises in hypothesis and
flows into achievement. Philosophy is a hypothetical interpretation of the unknown
(as in metaphysics), or of the inexactly known (as in ethics or political
philosophy); it is the front trench in the siege of truth. Science is the captured
territory; and behind it are those secure regions in which knowledge and art build
our imperfect and marvelous world,” demikian Will Durant dalam The Story of
Philosophy (1956). Filsafat Ilmu meliputi tiga hal. Pertama Ontologi (ontologia,
cabang Metafisika; Metafisika sendiri mempelajari the nature of existence), yaitu
sistem pemikiran tentang hakikat sesuatu objek pengetahuan. Sutan Takdir
Alisjahbana (STA) dalam Pembimbing Ke Filsafat I Metafisika (1952)
menggambarkan hakikat itu sebagai Serbatunggal dan Serbaganda (Bab IV),
Serbazat (Bab V) dan Serbaroh (Bab VI), Serbadua dan Serba(e)sa Bab VII),
Serbasawat dan Serbatuju (Bab IX), Serbatentu dan Serbataktentu (Bab X).
Hakikat lainnya terlihat pada Bab VIII berjudul Perhubungan Sebabakibat. Dalam
bab itu STA berpendapat segala sesuatu serbahubung, khususnya hubungan kausal.
Pada suatu saat suatu hal merupakan akibat dari sesuatu, pada saat lain hal yang
sama menjadi sebab terjadinya sesuatu yang lain pula.
Kedua, Epistemologi (epistēmē, pengetahuan). Epistemologi di sini meliputi apa
yang oleh M. J. Langeveld dalam Menuju Ke Pemikiran Filsafat (1957) disebut
Logika (Bab IV) dan Teori Pengetahuan (Bab V). Ia memasukkan Metodologi
dalam Logika. Epistemologi adalah sistem pemikiran tentang “tau,” “mungkin
tau,” “tidak tau,” dan “bagaimana mengetahui sesuatu.” Kebenaran sebagai carian
Epistemologi dibahas oleh Langeveld dalam Bab III bukunya.
Ketiga, Axiologi (dari áxio, bernilai, berharga) yaitu Teori Nilai meliputi Etika,
Estetika, Kepercayaan, dan sebagainya (Bab VII Langeveld). Oleh sebab itu,
sementara Epistemologi membentuk faktor “tau,” Epistemologi membangun
kekuatan “mau” dan “mampu” dalam diri manusia.
Gambar 4 menunjukkan hubungan antara tiga liputan Filsafat Ilmu tersebut.
Gambar 4 juga menunjukkan bahwa Metodologi meliputi Metodologi Penelitian,
Metodologi Ilmu, dan Metodologi Pengajaran, dengan ruang lingkup masing-
masing. Metodologi Penelitian (Research) mempelajari bagaimana menemukan
pengetahuan dari hasil pengamatan terhadap fakta melalui pendekatan kualitatif
dan kuantitatif, Metodologi Ilmu mempelajari bagaimana mengonstruksi
(merekonstruksi) pengetahuan menjadi bangunan pengetahuan (body-of-
knowledge, BOK), dan memfungsikannya sehingga BOK yang bersangkuitan
berkualitas ilmu (science). Metodologi Pengajaran mempelajari bagaimana

6
--KUALITATIF---
PENE | |
--ONTOLOGI --LI-----| |--
| | TIAN | | |
| | --KUANTITATIF-- |
| | |
| | --BAHAN BAKU<-----
FIL- | EPIS- METO- | | | keber-
-->SAFAT--|--TEMO---DO- ---|--ILMU---| |--BOK---------ILMU
| ILMU | LOGI LOGI | | | fungsian |
| | | --KONSTRUKSI--- |
| | | |
| | | --DIDAKTIK----- |
| | | PENGA- | | SCIENTIFIC
| --AXIOLOGI --JA- ---| |<-------------ENTER-
| | RAN | | PRISE
| | --METODIK------|
| | |
| ----------->NILAI------------------
| |
| |
-------------FEEDBACK-----------

Gambar 4 Filsafat Ilmu dengan Metodologi Ilmu

mengusahakan ilmupengetahuan (scientific enterprise) sehingga bermanfaat


membangun hidup-bersama manusia dalam damai sejahtera. Hubungan antar tiga

<--METODOLOGI PENELITIAN--><---------------METODOLOGI ILMU----------------->

identifikasi
deskripsi
diolah diuji dikons- BODY OF eksplanasi ILMU
-->DATA----->INFO----->PENGE- --------->KNOWLEDGE----konstruksi-->PENGE---
| TAHUAN truksi (BOK) prediksi TAHUAN |
| diagnosis |
| kontrol |
| direkam dengan concept (kuanti) |
|--direkam peneliti sebgmn adanya saat digunakan--|
| ”keluar” dari sumbernya (kuali) |
| |
| |
| scientific |
---FAKTA<-----PENERAPAN<-----KEBIJAKAN<-----PEMASARAN<-------enterprise---
diklat

<------------------------METODOLOGI PENGAJARAN----------------------------->

Gambar 5 Hubungan Antar Metodologi Penelitian,


Metodologi Ilmu, dan Metodologi Pengajaran Pemerintahan

7
metodologi itu lebih lanjut ditunjukkan dalam Gambar 5.

3
BAHAN BAKU BOK: DATA

Data berasal dari kata datum (tunggal) dan data (jamak), dari dare, a thing given,
individual fact. Fact adalah the quality of existing, or of being real. Factum,
facere, to do. Fakta adalah kualitas keberadaan sesuatu, misalnya fenomena,
kejadian, peristiwa, atau keadaan. Data berfungsi sebagai:
1. Bahan baku dan juga sebagai bahan bangunan. Tanah liat adalah bahan baku
pembuatan batubata, sementara batubata merupakan bahan bangunan.
2. Bahan baku untuk diolah menjadi informasi. Salah satu bentuk informasi
adalah masalah pemikiran. Masalah pemikiran adalah sesuatu yang
mendorong atau membuat orang berfikir, yaitu keingintahuan (curiosity).
3. Jawaban faktual terhadap masalah pemikiran, terutama pemikiran
berpendekatan kualitatif
4. Bahan mentah pengujian empirik terhadap hipotesis
5. Alat untuk memaparkan suatu hal secara deskriptif
6. Alat pendukung permasalahan pemikiran (dari dalamnya dimunculkan
masalah pemikiran)
7. Temuan penelitian
8. Bahan mentah untuk analisis statistik

Gambar 5 menunjukkan bahwa fakta direkam (ditangkap) dengan alat yang


disebut konsep (concept). Perekaman fakta dapat dilakukan dalam beberapa cara:
1. Perekaman suatu fakta begitu terjadi (begitu “keluar dari sembernya”) tanpa
menggunakan konsep tertentu (belum diketahui atau belum ada konsepnya)
melainkan merekam apa adanya dengan alat (bahasa, simbol, gambar,
ungkapan, dsb) yang ada, sedalam-dalamnya, kualitas serinci-rincinya
dikenal. Supaya hal itu terjadi, fakta yang direkam haruslah terarah
(focused) dan seterbatas mungkin (kasus). Hasilnya adalah data kualitatif
“murni”
2. Perekaman fakta dengan menggunakan konsep tertentu yang sudah ada.
Penggunaan konsep tertentu untuk merekam suatu fakta dimungkinan bila
fakta keluar dari sumber yang terjadi berulang-ulang atau terdapat di mana-
mana, sehingga leluasa untuk mendeduksi konsepnya dari konsep yang
sudah ada. Hasilnya adalah data semi-kualitatif
3. Perekaman fakta dengan menggunakan konsep sebagai alat ukur tertentu.
Sebagai alat ukur, konsep yang digunakan harus valid dan reliable. Valid

8
artinya alat itu mengukur apa yang dapat diukurnya: kunci roda untuk
membuka roda dan bukan tang, gram untuk mengukur berat dan bukan liter.
Reliable artinya penggunaan alat ukur valid yang sama memberikan hasil
yang sama walau digunakan untuk objek, waktu, dan tempat yang berbeda-
beda. Hasilnya adalah data kuantitatif.

Dari keterangan di atas diketahui bahwa akurasi data bergantung pada

1. Kemampuan untuk merekam suatu fakta sedalam-dalamnya sebagaimana


adanya pada saat “keluar dari sumbernya”
2. Validitas dan reliabilitas konsep sebagai alat perekaman dan pengukuran
fakta
3. Kelengkapan atau kebulatan data tentang suatu hal. Setiap fakta harus dapat
direkam dan diukur pada dan dari segala segi sepanjang waktu tertentu
(time series) sehingga perubahan-perubahannya diketahui

Dimensi-dimensi data:
1. Waktu, kemutakhiran, urutan data menurut waktu, dan periode data (time
series)
2. Lokasi atau setting terjadinya fakta yang hendak direkam
3. Kejelasan sumbernya
4. Kejelasan substansi fakta (tentang apa)
5. Relevansi data dengan pokok pemikiran
6. Kompatibilitas data dengan data lainnya
7. Faktualitas (factuality)
8. Akurasi, reliability
9. “Bersih,” “kebersihan” data, artinya bebas-cacad, bebas salah-ketik, salah
ejaan, salah bahasa, dsb)
10. Keamanan data
11. Kemudahan (aksesibilitas, servabilitas) untuk pelanggan
12. Validitas data
13. Status data (database, dokumen, rahasia, terbatas, dsb)

Jenis-jenis data sebagai berikut:


1. Data Orisinal, yaitu data hasil rekaman terhadap suatu fakta buat pertama
kalinya. Di satu fihak, data orisinal bernilai tinggi, mengingat
orisinalitasnya, tetapi di fihak lain bernilai rendah karena belum teruji
benar-tidaknya. Oleh sebab itu, data orisinal perlu diuji aatau dibuktikan
2. Data Derivatif, yaitu data yang sama tetapi tangan kedua, ketiga, dan
seterusnya. Data Derivatif di satu fihak bernilai tinggi karena sudah teruji,

9
tetapi di fihak lain bernilai rendah, karena biasa ketinggalan zaman (out-of-
date)
3. Data Primer yaitu data “kasar” (raw data) yang belum diolah
4. Data Sekunder adalah data olahan dari data primer.
5. Data Kualitatif adalah data hasil perekaman sekenal dan sebulat mungkin
seluruh kualitas suatu fakta sebagaimana adanya pada saat “keluar dari
sumbernya,” dengan alat rekam yang ada, terutama pengamatan dan
pengalaman
6. Data Kuantitatif adalah data hasil rekaman fakta dengan menggunakan
konsep atau konsep-konsep tertentu sebagai alat rekam dan alat ukur.
7. Data Berulang adalah hasil rekaman kejadian atau peristiwa pada sisi
keulangannya, misalnya upacara ulang tahun kemerdekaan
8. Data Sekalilalu, yaitu hasil rekaman kejadian atau peristiwa pada sisi
kesekalilaluannya, misalnya upacara ulang tahun kesepuluh
9. Data Kontinyu (continuous data). Disebut demikian jika di antara dua nilai
dapat disisipkan nilai lain, Misalnya usia. Di antara usia 14 dan 15 tahun
secara teoretik dapat disisipkan usia 14⅛ tahun
10. Data Diskrit (discrete data). Disebut demikian jika di antara dua nilai tidak
bisa disisipkan nilai lain. Misalnya jumlah anak. Jumlah anak dalam sebuah
keluarga bisa 2 dan bisa 3, tetapi tidak mungkin 2⅓ anak

Database bukan sekedar bahan baku tetapi bisa jadi bahan bangunan. Data
berkualitas database jika data itu definitif, terstandardisasi, dan merupakan
referensi buat data lainnya. Misalnya data kependudukan.

4
BAHAN BOK: KONSEP (CONCEPT)

Konsep bukan konsepsi dan bukan draft. Konsep adalah pengertian. Sebuah
pengertian bisa terdiri dari beberapa kata atau kalimat. Di satu fihak, konsep adalah
satuan pengetahuan, dan di fihak lain konsep adalah alat untuk merekam,
“menangkap” atau “menjaring” suatu fakta (Gambar 5) pada suatu saat. Menurut
kamus, konsep (concept) adalah “an idea or something formed by mentally
combining all its characteristics or particulars; a construct.” “Basic building blocks
of theory,” demikian Turner sebagaimana dikutip oleh Earl Babbie dalam The
Practice of Social Research (1983, h. 37). “A concept expresses an abstraction
formed by generalization from particulars,” demikian Kerlinger. Contoh abstraksi
(ladder of abstraction) terdapat dalam Djadja Saefullah, Pemikiran Kontemporer
Administrasi Publik (2007, h. 13). Contoh lain terdapat dalam Taliziduhu Ndraha,

10
Research: Teori, Metodologi, Administrasi I (1985, h. 22).

Tiap konsep memiliki kualitas (characteristic, property, attribute) tertentu, yang


dapat diukur atau dapat diamati. Kualitas adalah isi suatu konsep. Dalam buku-
buku tentang metodologi biasanya nilai (value) yang dianggap sebagai isi suatu
konsep. Dalam Kybernologi, kualitas dibedakan dengan nilai dan norma. Tiap
konsep mengandung minimal satu kualitas. Konsep “buku” berkualitas satu
bersifat abstrak, tidak terukur atau tidak dapat diidentifikasi dengan tepat. Contoh,

FAKTA
-------------------------------------------observasi-----------------------
| | |
| khusus |
| | |
| BUKU TULIS |
| | |
| ---------- |
| | | |
| ------ ------- |
| BUKU TULIS ----------| BUKU | | TULIS |------- |
| | | ------ ------- | |
| | | | | | |
| | | per- per- | |
|---BUKU LAIN-----BUKU---konsep---umum---sama beda---diabstraksikan |
| | | an an | |
| | | | | | |
| | | ------ -------- | |
| BUKU GAMBAR ----------| BUKU | | GAMBAR |------ |
| ------ -------- |
| | | |
| ---------- |
| | |
| BUKU GAMBAR |
| | |
| khusus |
| | |
-------------------------------------------observasi-----------------------
FAKTA

Gambar 6 Proses Abstraksi

jika di atas meja terletak sebuah buku tulis dan sebuah buku gambar yang tentu
saja berbeda, dan seseorang disuruh mengambil buku, maka ia tentu saja sedikit
banyak ragu-ragu, buku mana yang dimaksud di antara dua buku yang ada.
Berbeda halnya jika yang bersangkutan disuruh mengambil buku gambar (konsep
berkualitas dua), keragu-raguan itu hilang. Semakin lengkap kualitas suatu
konsep, semakin kualitatif konsep, dan semakin definitif konsep itu.

11
perilaku ditimbang disepakati
-->KONSEP--------->KUALITAS--------->NILAI-------------->NORMA
| bisa dipaksakan (N)
| |
| |
| feedback N<H dimonitor ditegakkan |
---------------N=H<--------------HASIL---------------------
feedforward N>H dievaluasi (H) diterapkan

Gambar 7 Hubungan Antar Kualitas, Nilai dan Norma

Definisi konsep diambil dari teori atau sumber tertentu, dan sedapat-dapatnya tidak
dari kombinasi berbagai teori atau sumber. Sebab pengombinasian definisi dari
berbagai sumber tidak bisa langsung digunakan, harus diuji dulu. Juga tidak dari
suatu kebijakan, undang-undang, atau peraturan, karena ketiganya bukan teori.
Yang menyatakan sesuatu itu definisi konsep(tual) seharusnya penulis sumbernya,
bukan peneliti. Formula sebuah definisi tidak boleh tautologik seperti A = A yang
B, melainkan A = B yang C (ref. Irving M. Copi, Introduction to Logic, 1959,
Chapter Four). A disebut definiendum dan B yang C adalah definiens. Misalnya
“segitiga (definiendum) adalah bidang yang dibatasi oleh tiga garislurus
(definiens).”

Bagaimana jika fenomena yang diteliti merupakan fenomena baru atau langka,
belum diteliti secara akademik, atau belum ada definisinya? Misalnya fenomena
kepemimpinan kepala desa pantai rawan tsunami. Katakanlah, konsep
“kepemimpinan kepala desa pantai rawan tsunami” itu belum ada. Jika konsep
yang ada hanya definisi konsep “kepemimpinan,” maka harus dibentuk
(dirumuskan) definisi konsep “kepemimpinan kepala desa,” dan selanjutnya
definisi konsep “kepemimpinan kepala desa pantai rawan tsunami.” Proses
pembentukan konsep baru ini disebut conceptualization (konseptualisasi).
Konseptualisasi adalah proses pembentukan konsep (baru) dengan memasukkan
kualitas (karakteristik) yang baru ke dalam konsep yang ada bersama
karakteristiknya, sehingga definisi konsep yang baru dapat dirumuskan. Jadi dalam
definisi konsep kepemimpinan dimasukkan (ditambahkan) karakteristik
kepemimpinan kepala desa, karakteristik kepemimpinan kepala desa pantai, dan
karakteristik kepemimpinan kepala desa pantai rawan tsunami, melalui analisis
berbagai teori yang relevan. Dengan demikian, kualitas konsep terlengkapi dan
diperkaya.

12
Kerlinger menarik perbedaan dan hubungan antara concept dengan construct. Jika
concept diumpamakan unsur bangunan tertentu, sebuah komoditi, misalnya sebuah
kipas angin, maka construct adalah kipas angin yang sama yang telah dipasang di
dinding atau langit-langit sebuah kamar dan menjadi bagian integral seluruh
bangunan. Jadi construct adalah concept yang telah digunakan menjadi bagian
integral bangunan yang lebih besar. Dalam hubungan ini BOK. Besar
kemungkinan, komoditi itu dimodifikasi atau dipesan khusus hanya untuk
bangunan terkait. Bisa juga, konsep yang terbentuk di lingkungan sebuah
bangunan dengan fungsi tertentu, digunakan untuk bangunan lain dengan fungsi
yang berbeda.

Konsep yang nilai kualitasnya bervariasi, disebut variabel (variable). Misalnya


salah satu kualitas konsep PNS adalah kesetiaan. Nilainya bervariasi, berkisar
antara 0 dengan 100. Jadi setelah ditimbang, diberi nilai 50 atau 80. Namun
demikian yang disepakati dan ditetapkan sebagai nilai minimal (norma) untuk
dapat dijadikan sebagai bahan pengusulan promosi adalah 91 (“passing grade”).
Variabel adalah hasil operasionalisasi konsep dengan memasukkan satu lagi atau
lebih nilai ke dalam konsep itu (jadi setiap variable mengandung minimal dua nilai,
satu nilai saja tidak bervariasi). Rumusan pernyataan hubungan antara atau antar
dua atau lebih variable, disebut hipotesis. Hipotesis selalu bersifat teoretik.
Kerlinger mendefinisikan hipotesis sebagai “. . . . . a conjectural statement of the
relation between two or more variables. Hypotheses are always in declarative
sentence form, and they relate, either generally or specifically, variables to
variables.” Kriteria hipotesis yang baik adalah, “One, hypotheses are statements
about the relations between variables. Two, hypotheses carry clear implications
for testing the stated relations.”

13
5
JARAK KONSEPTUAL
Definisi konsep berfungsi menunjukkan dimensi-dimensi konsep. Pada gilirannya
definisi operasional dibuat berdasarkan definisi konsep. Definisi suatu variable

X Z Y

Gambar 8 Interface antara X dengan Y

menunjukkan dimensi-dimensi variabel yang bersangkutan. Fungsi definisi konsep


yang lebih pelik adalah fungsinya dalam menemukan jarak konseptual. Misalnya
jarak konseptual antara kepemimpinan (X) dengan komunikasi (Y). Semakin
banyak dimensi komunikasi yang bersentuhan atau sama dengan dimensi

X----------<-----Z----->-----------Y

Gambar 9 XY Jarak Konseptual; Z minimal Nol

kepemimpinan (Z), semakin dekat jarak antara kedua konsep itu (Gambar 9). Pada
suatu kondisi, bisa saja X konsentrik dengan Y. Jika itu terjadi, maka X = Y. Jarak

14
konseptual = nol. Pada kondisi itu, konstruksi hubungan eksternal antar konsep
tidak valid. Pemikiran dianggap valid jika Z minimal lebih besar daripada nol
(Gambar 9), tetapi tidak “tidak terhingga.” “Tidak terhingga” sama dengan nol.

X1 goals----------
|
X2 standards------|
|
X3 feedback-------|
|
VARIABEL X X4 opportunity----|------->performance VARIABEL Y
|
X5 means----------|
|
X6 competence-----|
|
X7 motive---------

Gambar 10 Model Performance Dengan Sufficient Factors Lengkap


Menurut Clay Carr (1994)

Konsep “jarak konseptual” dibentuk seperti konstruksi konsep “jarak social” dalam
Sosiologi atau “jarak kekuasaan” dalam Ilmu Politik. Jarak konseptual
menunjukkan tingkat atau derajat (variabilitas) keeratan hubungan antara dua atau
lebih konsep, dekat atau jauh. Jika hubungan itu bersifat kausal atau pengaruh,

---contingent factors---
| | |
X------------Z1-----------Z2----------Z3-----------Y
| | | | |
--->X1 GOAL------>ACTIVITY--->OPPORTUNITY-->STANDARD-->PERFORMANCE
| X7 MOTIVE TIME, SPACE PROCEDURE |
| X6 COMPETENCE X4 X2 |
| X5 MEANS |
| |
---------FEEDBACK<---------EVALUASI<---------PELANGGAN<-----
X3 = Z4

X--->Y jembatan, objek penelitian; Z1, Z2, Z3, Z4, contingent factors
(necessary factors), tiang penyangga yang menerangkan bagaimana X
mempengaruhi Y atau bagaimana Y bergantung pada X. Untuk menjadikannya model
sirkuler, ditambahkan activity, pelanggan, dan evaluasi sebagai contingent
factors baru. Dalam hubungan itu, feedback adalah Z4. Factor Z tidak bisa
diepsilonkan semuanya; jika X1 dan X7 diteliti, yang bisa dijadikan epsilon
hanya X5 dan X6. Jadi “epsilonisasi” variable itu tidak boleh sembarangan
atau suka-suka!

Gambar 11 Model Performance Clay Carr Setelah Dielaborasi


Sufficient Factors dan Contingent Factors

15
maka semakin dekat hubungan (semakin pendek jarak) antara X dengan Y, maka
semakin langsung pengaruh X terhadap Y, semakin pendek “jembatan” antara X
dengan Y, dan semakin tidak diperlukan tiang penyangga (Z) antara keduanya.
Sudah barang tentu, semakin ringan pula masalahnya. Antara “makan” dengan
“kenyang,” tidak ada yang perlu dipertanyaan, karena jika makan cukup, pasti
kenyang, lihat Gambar 10. Sebaliknyalah yang terjadi bilamana hubungan itu
semakin jauh (Gambar 11).

Untuk menemukan jarak konseptual, diperlukan definisi konsep, dan dari definisi
konsep dapat diketahui dimensi-dimensi, baik dimensi X maupun dimensi Y.
Derajat kedekatan antara dimensi X dengan dimensi Y itulah yang menunjukkan
hubungan antar konsep sebagai dasar rekonstruksi teori. Baca Bab XIII
Kybernologi Sebuah Profesi (2007) dan Bab IX Kybernologi Sebuah
Metamorphosis, 2008

6
HUBUNGAN ANTAR KONSEP

Hubungan antar fenomena sejajar dengan hubungan antar konsep X dengan Y


beserta model-modelnya (beberapa di antaranya, ref. Peter Hagul, Chris Manning,
dan Masri Singarimbul, “Penentuan Variabel Penelitian dan Hubungan Antar
Variabel,” dalam Masri Singarimbul dan Sofian Effendi, peny. Metode Penelitian
Survai, 1982). Hubungan itulah yang harus diamati, diuji atau dibuktikan.
Hubungan itu memiliki sifat-sifat atau karakteristik, antara lain sebagai berikut:

Pertama, hubungan eksklusif dengan hubungan inklusif. Hubungan ini terkait


erat dengan jarak konseptual di atas. Hubungan itu disebut eksklusif, jika konsep
yang satu tidak berada di dalam konsep yang lain, jarak konseptual Z harus lebih
besar daripada nol. Dalam hubungan itu, X tidak berada di dalam Y dan
sebaliknya, Y tidak berada di dalam X. Disebut inklusif jika konsep yang satu
berada di dalam konsep yang lain. Jika hal itu terjadi, katahubung antara yang satu
dengan yang lain adalah “dalam” (peran X dalam Y).

Kedua, hubungan kausal dengan hubungan korelasional. Hubungan kausal


(sebab-akibat, cause and effect) adalah hubungan yang terpenting (Gambar 10 dan
11). Babbie menjelaskan hal ini panjang lebar dalam Bab 3 bukunya. Model
dasarnya adalah X---->Y. Jika factor didefinisikan sebagai “one of the
elements contributing to a particular result or situation,” maka X adalah faktor
(penyebab) dan Y adalah akibat (result). Penyebab (sebab) atau faktor itu selalu

16
berada di luar (eksternal) akibat. Dilihat dari sisi ini, tidak ada faktor internal
sebagaimana disangkakan banyak orang. Di dalam organisasi ada uang dan SDM.
Uang (faktor) terhadap SDM (result) di dalam (internal) organisasi, tetapi uang
bukan faktor internal organisasi melainkan dimensi organisasi. “Ada tiga kriteria
hubungan kausal,” demikian Babbie.
1. Yang satu (cause) persis (in time) mendahului yang lain (effect)
2. Yang satu dengan yang lain secara empirik berkorelasi
3. Korelasi empirik antara yang satu dengan yang lain tidak dipengaruhi oleh
fihak ketiga
Menurut Babbie lebih lanjut, ada dua macam causes, yaitu necessary cause dan
sufficient cause (Gambar 11). “A necessary cause represents a condition that must
be present for the effect to follow,” woman---->pregnant. “A sufficient
cause represents a condition which, if it is present, inevitably results in in the
effect,” army---->uniform. Yang satu “must,” yang lain “if.” Katahubung
antara satu dengan yang lain adalah “terhadap,” “Pengaruh X terhadap Y,”
“Apakah X berpengaruh terhadap Y?” “Jika. . . . . , maka. . . . . .” Cause dan
effect disebut terminal dan simbol ----> menunjukkan rute antar terminal.

Yang menjadi persoalan sekarang ialah, hubungan itu deterministik atau tidak? Di
dalam ruang perilaku manusia, akibat yang sama ditimbulkan oleh sebab yang
berbeda-beda. Derajat kepastian hubungan pengaruh antara X dengan Y dalam
lingkungan sosial, lebih rendah ketimbang lingkungan fisikal. Kinerja
(performance) pada Gambar 11 memang secara sufficient dipengaruhi oleh tujuh
faktor (Gambar 10), tetapi performance itu sendiri contingent pada Z1Z2Z3
(contingent, necessary factors). Faktor-faktor itulah yang memastikan kadar
kinerja. Dengan demikian, pemikiran Ilmu-Ilmu Sosial tidak berhenti pada
penemuan faktor-faktor sufficient saja, tetapi harus mengejar faktor-faktor
contingent-nya. Dengan perkataan lain, dalam Kybernologi, implementasi
kebijakan merupakan contingent faktor keberhasuilan kebijakan itu sendiri.
Konsekuensinya ialah, implementasi kebijakan tidak boleh diposisikan sebagai cek
kosong yang bebas diisi oleh implementor sesuka-suka hatinya.

Selanjutnya, jika korelasi empirik antara yang satu dengan yang lain dipengaruhi
oleh fihak ketiga, maka hubungan antara yang satu dengan yang lain disebut
korelasional. “Semakin meningkat pendidikan, semakin semakin meningkat jumlah
mobil.” Faktor ketiga adalah “Semakin meningkat pendapatan.” Yang satu tidak
langsung mempengaruhi yang lain, faktor ketigalah yang melakukannya.
Katahubung antara yang satu dengan yang lain adalah “dengan” (hubungan X
dengan Y) dan rumus hipotesisnya “Semakin. . . . . , semakin. . . . . .”

17
Ketiga, hubungan positif dengan hubungan negatif. Hubungan antara X dengan
Y disebut positif jika secara empirik nilai yang satu naik diiringi kenaikan nilai
yang lain, atau sebaliknya jika secara empirik nilai yang satu turun, nilai yang lain
juga turun. Hubungan itu disebut negatif, jika secara empirik nilai yang satu naik
sementara nilai yang lain turun, atau sebaliknya.

Keempat, hubungan langsung dengan hubungan tidak langsung. Hubungan ini


erat terkait dengan debat tentang determinisme perilaku manusia. Di lingkungan
fenomena fisikal, hubungan langsung X---->Y itu dengan derajat kepastian
tinggi. Tetapi mengingat sifat ketergantungan perilaku manusia pada berbagai hal
yang tak terduga, maka nyaris mustahil model perilaku sosial serta-merta bersifat
langsung. Selalu saja diperlukan contingent factor-nya. Derajat kepastian
hubungan antara X dengan Y bergantung pada contingent factor-nya yang paling
individual, kasus demi kasus. Jadi model pemikiran Ilmu-Ilmu Sosial tidak
X---->Y tetapi X---Z--->Y.

Kelima, hubungan searah dengan hubungan timbalbalik (bukan dua arah)


Hubungan searah misalnya hujan--->jalan licin. Tidak mungkin
jalan licin--->hujan. Hubungan timbal-balik misalnya
investasi--->laba. Tetapi bisa juga laba--->investasi.

Keenam, hubungan linier dengan hubungan siklik atau sirkuler. Hubungan


kelima di atas berkaitan dengan hubungan keenam ini. Pada umumnya hubungan
input--->output bersifat linier. Hubungan timbal-balik antar lebih dari dua
konsep menjadi sirkuler atau siklik. Dalam hubungan itu salah satu rute adalah
feedback (feedforward). Hubungan linier disebut juga hubungan fungsional,
misalnya input--->output di atas. Model hubungan sirkuler atau siklik
menjadi dasar bagi pemikiran beranalisis jalur (path analysis). Contoh klasik
tentang hal ini adalah Model Lingkaran Setan Kemuskinan (the vicious circle of
poverty, lihat Taliziduhu Ndraha dalam Desain Riset, 1987).

7
BAHAN BOK: TEORI (THEORY)

Earl Babbie mendefinisikan teori sebagai “a systematic explanation for the


observed facts and laws that relate to a particular aspect of life. . . . ,” sementara
Lawrence Neuman (Social Research Methods, 2003) berpendapat, “Theories tell us
whether concepts are related and, if they are, how they relate to each other.. . . . . .

18
Many theories make a causal statements, or a proposition, about the expected
relation among variables.” “A theory is a set of interrelated constructs (concepts),
definitions and propositions that present a systematic view of phenomena by
specifying relations among variables, with the purpose of explaining and
predicting the phenomena,” demikian Kerlinger. Donald R. Cooper dan C. William
Emori dalam Business Research Methods (1995), menjelaskan perbedaan dan

--------TEORI---------
| |
abstraksi | |
DATA------------------>KONSEP KONSEP
| | |
| | |
|<-------direkam |---operasionalisasi---|
| | |
| | |
FAKTA----------------->VARIABEL VARIABEL
nilai | |
| |
------HIPOTESIS-------

Gambar 12 Hubungan Antar Konsep,


Teori, Variabel, dan Hipotsis

hubungan antara propositions dengan hypotheses. “We define a proposition as a


statement about concepts that may be judged as true or false if it refers to
observable phenomena. When a proposition is formulated for empirical testing, we
call it a hypothesis. As a declarative statement, a hypothesis is of a tentative and
conjectural nature.” Menurut Babbie, teori terdiri dari beberapa pernyataan
(statements). Pertama asas-asas atau dalil-dalil (laws). Kedua axioma, yaitu
“fundamental assertions,” kebenaran yang dengan sendirinya benar tanpa perlu
diuji atau dibuktikan. Axioma berfungsi sebagai sebagai fondasi bangunan teori.
Ketiga, proposisi, yaitu “conclusions drawn about the relationship among concepts,
based on the logical interrelationships among the axioms.” Gustav Bergmann
dalam Philosophy of Science (1958) berpendapat bahwa “Theory is a group of
laws. The laws that serve as the premises of these deductions are called the axioms
of the theory; these which appear as conclusions are called theorems.” Lebih
lanjut Babbie menunjukkan hubungan timbal-balik antara teori dengan fakta
(observations) seperti Gambar 13. Gambar itu juga sekaligus menunjukkan
perbedaan dan hubungan antara pendekatan kualitatif dengan pendekatan
kuantitatif. Pendekatan kualitatif berjalan dari observasi (fakta) ke teori melalui

19
generalisasi empirik (empirical generalization) yang bersifat induktif, dan
pendekatan kuantitatif yang berjalan dari teori ke observasi melalui pengujian
hipotesis dan bersifat deduktif.

------------->THEORIES--------------
| |
| |
| |
EMPIRICAL HYPOTHESES
GENERALIZATIONS |
| |
| |
| |
------------OBSERVATIONS<-----------

Gambar 13 Hubungan Antara Teori Dengan Fakta

Inti dinamik suatu teori adalah hipotesis. Pemikiran bermula dari keingintahuan
(curiosity). Keingintahuan itu dirumuskan dalam bentuk pertanyaan (question).
Kerlinger menyatakan bahwa masalah penelitian “should express a relation
between two or more variables. It asks, in effect, questions like: “Is A related to
B?” How are A and B related to C?” How is A related to B under condition C and
D?” Ada yang cenderung mengambil jalan pintas yang lebih mudah, yaitu
mengutip “temuan” (sebenarnya hipotesis) penelitian orang lain sebelumnya yang
berbunyi: “X mempengaruhi Y,” sehingga yang bersangkutan tinggal melanjutkan
dengan pertanyaan: “Seberapa besar pengaruh X terhadap Y?”
Pertanyaan pemikiran dijawab dengan dua cara. Langsung merekam fakta empirik
yang dipertanyakan (ingin diketahui), yaitu melalui pendekatan kualitatif, atau
berkonsultasi dengan teori yang ada. Pertanyaan dijawab dengan teori berdasarkan
alasan, bahwa teori yang ada merupakan jawaban yang telah teruji dalam
masyarakat, bahkan dalam sejarah. Menurut Earl Babbie dalam The Practice of
Social Research, (Bab 2, 1983), dalam penelitian kuantitatif yang menggunakan
metodologi deduktif, masalah (pertanyaan) penelitian dijawab dengan teori dan
hasil deduksi teori berakhir pada hipotesis. Jadi hipotesis adalah jawaban teoretik
terhadap pertanyaan pemikiran. Hipotesis disebut juga jawaban sementara karena
hipotesis perlu diamati, diuji, atau dibuktikan dengan fakta (secara empirik), agar
kualitasnya sebagai “hipō-” “sub-” (under), “supposition,” (“ponere,” to put under)
berubah meningkat menjadi “tithenai,” yang kemudian menjadi thesis (pernyataan,
dalil, proposisi). Berbagai pertanyaan dengan bermacam-macam hipotesis sebagai
jawabannya muncul di lingkungan dunia akademik di Indonesia.

20
body-of-knowledge (BOK)
|
|
theory
|
---------------------
| |
concept concept
| |
|---operasionalisasi--|
| |
variable variable
| |
|------hypotesis------|
| | |
dimensions | dimensions
| | |
| | |
indicators | indicators
| | |
| | |
items-----testing-----items
| |
| |
------alat ukur------

Gambar 14 Hipotesis

Adakah jawaban teoretik (hipotesis) terhadap pertanyaan “Seberapa besar. . . . .?”


Tidak ada! Besarnya pengaruh X terhadap Y yang besarannya dinyatakan dengan
koefisien determinasi itu dengan sendirinya keluar dari komputer pada saat
hipotesis “X mempengaruhi Y,” diuji. Jika demikian, pertanyaan “Seberapa
besar pengaruh X terhadap Y?” bukan (tidak layak dijadikan) pertanyaan
penelitian.

Apakah “Besarnya pengaruh X terhadap Y diukur pada dimensi-dimensi X,”


memenuhi syarat sebagai sebuah hipotesis? Kerlinger (kemudian dikutip oleh
sejumlah penulis metodologi seperti John W. Creswell dalam Research Design,
1994, dan relatif sama dengan Donald R. Cooper dan C. William Emory dalam
Business Research Methodes, 1995) mendefinisikan hipotesis sebagai “conjectural
statement of the relation between two or more variables,” yang perlu diuji secara
empirik. Sudah barang tentu, sifat “conjectural” di sini tidak berarti terkaan

21
sembarangan, melainkan perkiraan berdasarkan analisis teoretik yang relevan dan
kuat.

“Besarnya pengaruh. . . . . .” tidak menjelaskan apakah ada, dan jika ada,


bagaimana sifat hubungan antara X dengan Y. Ia hanya menyatakan bahwa “ini”
diukur pada “itu.” Oleh sebab itu, kalimat “Besarnya pengaruh X terhadap Y
diukur pada dimensi-dimensi X” bukanlah hipotesis penelitian, melainkan
proposisi penelitian (Cooper dan Emory, op. cit., h. 39), yaitu sekedar “a
statement about concept,” bahwa “besarnya pengaruh. . . . “ (concept), “diukur
pada atau ditentukan oleh. . . . .” (statement). Dalam kalimat itu tidak ada sesuatu
yang diuji atau dibuktikan. Hubungan antara variable dengan dimensinya menurut
teori terkait, sudah pasti. Lagi pula fungsi dimensi dan indikator pada Gambar 14
tidak untuk mengukur, melainkan langkah yang harus ditempuh untuk mendeduksi
dan mengonstruksi alat-ukur yang sesungguhnya (alat untuk mengukur variabel)
yaitu items pertanyaan (rating scale) atau pernyataan (Likert).

Apakah kalimat yang berbunyi: “Besarnya pengaruh X terhadap Y bergantung


pada dimensi-dimensi X,” sebuah hipotesis?” Kalimat itu bukan hipotesis, karena
keseluruhan dimensi-dimensi X = X. Jawaban itu sama saja dengan: “Besarnya
pengaruh X terhadap Y bergantung pada X.” Jawaban tersebut bersifat
tautological, tidak reliable.

Bagaimana dengan kalimat “Besarnya pengaruh X terhadap Y ditentukan oleh


dimensi-dimensi X,” Pernyataan “ditentukan oleh” dalam kalimat hipotetik itu
berarti “besarnya” pengaruh X terhadap Y “bergantung pada” dimensi-dimensi X.
Pernyataan ini mengubah posisi dimensi-dimensi itu, dari dimensi X menjadi
faktor yang menentukan (mempengaruhi) X. Di sini X bergantung pada faktor-
faktor itu. Dengan sendirinya variabel yang tadinya X, berubah menjadi Y atau Z,
dan dimensi-dimensinya menjadi X baru. Model

X----------------->Y
|
-----|-----
| | |
D1 D2 Dn D = dimensi

Gambar 15 Dimensi-Dimensi X

berubah menjadi

22
D1 (X1)-----
|
D2 (X2)-----|------------>Y
|
Dn (Xn)-----

Gambar 16 Dimensi X (D1, D2, Dn)


Berubah Posisi dari Dimensi Menjadi Faktor (X)

Model Gambar 16 harus dianalisis lebih lanjut, artinya dimensi-dimensi X1, X2,
Xn harus diidentifikasi, kemudian dimensi baru itu berubah lagi menjadi variable
bebas, demikian terus-menerus. Kapan berakhirnya? Oleh sebab itu harus diingat
bahwa faktor berbeda dengan dimensi dan dimensi tidak boleh diperlakukan
sebagai faktor atau variable bebas. Kesalahfahaman tentang faktor dengan dimensi
ini sering terjadi. Misalnya pada hari Sabtu 12 November 2005, di gedung Program
Pascasarjana sebuah universitas besar di Bandung, Ujian Disertasi (biasa juga
disebut Ujian Terbuka, promosi Doktor) mahasiswa Program Doktor atas nama
L3G03810 dan L3G03855, berlangsung. Inilah promosi Doktor ke 5 dan 6
Program tersebut yang dibuka sejak tahun 2000. Keduanya berhasil
mempertahankan naskah disertasi masing-masing dalam Ujian Naskah Disertasi
(Ujian Tertutup) sekitar tiga bulan sebelumnya.

Judul kedua disertasi (sebutlah berturut-turut disertasi promovendus 5 atau D5 dan


disertasi promovendus 6 atau D6) menunjukkan perbedaan dan persamaan. D5
berjudul Pengaruh Komunikasi, Sumberdaya, Disposisi, dan Struktur Birokrasi
Terhadap Kemandirian Kelompok Tani, sedangkan D6 berjudul Pengaruh
Komunikasi, Sumberdaya, Disposisi, dan Struktur Birokrasi Terhadap
Implementasi Kebijakan Perberasan dan Dampaknya Terhadap Pendapatan Petani.
Dalam judul kedua disertasi terdapat kata “pengaruh.” Hal itu berarti promovendi
hendak mempelajari hubungan kausal antara dua atau lebih variabel, antara
variabel pengaruh (X) dengan variabel yang dipengaruhi (Y). Ada empat variabel
pengaruh yang diteliti oleh kedua promovendi, berturut-turut komunikasi (X1),
sumberdaya (X2), disposisi (X3) dan struktur birokrasi (X4). Variabel terpengaruh
(Y) berbeda. Y penelitian D5 adalah kemandirian kelompok tani, sedangkan Y
penelitian D6 (dalam naskah disebut Z) adalah pendapatan petani, sedangkan
implementasi kebijakan perberasan variabel antara Z (yang disebutnya Y).
Konstruksi kerangka pemikiran D5 adalah:

23
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ---------------------> KEMANDIRIAN
PENYULUHAN PERTANIAN KELOMPOK TANI
|
|
komunikasi
sumberdaya
disposisi
struktur birokrasi

Gambar 17 Model Penltian D5 (h.98 Disertasi)


Komunikasi dsb Adalah Dimensi Implementasi

Konstruksi teoretik D6 sebagai berikut:

KOMUNIKASI--------------
|
SUMBERDAYA--------------| IMPLEMENTASI PENDA-
|------>KEBIJAKAN --------->PATAN
DISPOSISI---------------| PERBERASAN PETANI
| |
STRUKTUR BIROKRASI------ |
|
harga dasar

Gambar 18 Model Penelitian D6 (h. 121 dan 127 Disertasi)


Komunikasi dsb Adalah Faktor Implementasi

Teori dikonstruksi seperti Gambar 17 untuk menjawab empat pertanyaan masalah


penelitian D5 yang semuanya dimulai dengan pertanyaan: “Bagaimana pengaruh X
terhadap Y?” yang dijawab dengan empat hipotesis “X berpengaruh terhadap Y,”
dan Gambar 18 untuk menjawab enam pertanyaan yang semuanya dirumuskan
dengan “Apakah X berpengaruh terhadap Y?” dan dijawab dengan enam hipotesis:
“X berpengaruh terhadap Y.” Jadi pertanyaan yang berbeda dijawab dengan
jawaban yang sama (Tabel 1).

Tabel 1 Masalah Penelitian Disertasi dan Hipotesis

----------------------------------------------------------------------
DISERTASI PERTANYAAN JAWABAN TEORETIK
----------------------------------------------------------------------
D5 Bagaimana Pengaruh X X Berpengaruh Terhadap Y
Terhadap Y?

D6 Apakah X Berpengaruh X Berpengaruh Terhadap Y


Terhadap Y?
------------------------------------------------------------------

24
Segera terlihat bahwa terdapat inkonsistensi antara pertanyaan dengan jawaban
pada D5. Pertanyaan “bagaimana” (“how”) dalam bahasa Indonesia menunjukkan
beberapa makna (arti), yaitu sebagai proses yaitu contingent atau necessary factors
yang diperlukan untuk menghasilkan suatu output, dan sebagai kualitas, misalnya
“baik,” “lancar,” dan sebagainya. Jadi pertanyaan “bagaimana” dalam arti pertama,
sangat penting, dan berkaitan erat dengan pertanyaan “mengapa.” Jika “mengapa”
bertanya tentang penyebab penyakit, “bagaimana” bertanyan tentang cara
mencegah dan mengobatinya. Sudah barang tentu, pertanyaan “bagaimana” dalam
arti kedua hanya layak untuk penelitian kualitatif yang langsung dapat menjawab
dengan fakta empirik. Jawaban “berpengaruh” pada Tabel 1 menunjukkan output,
bukan proses atau kualitas.

“Apakah X berpengaruh terhadap Y,” merupakan pertanyaan yang di dalam


metodologi diibaratkan pesawat yang sedang mengalami gangguan di udara dan
sibuk mencari lapangan untuk pendaratan darurat. Atau laksana seorang penjual
suatu obat (X) yang lagi ingin mengetahui penyakit apa (Y) yang bisa
disembuhkan dengan obat itu. Inilah “logika” birokrasi! Birokrasi memiliki
kekuasaan atau alat, dan ingin tau, dengan kekuasaan atau alat itu ia bisa apa.
Seharusnya, seorang peneliti Kybernologi ibarat pesawat yang hendak take off.
Dari FOR (frame-of-reference) fihak yang diperintah, yaitu pelanggan, korban, dan
mangsa pemerintahan ia berangkat. Penyakit apa yang sedang diderita
masyarakat? “Mengapa. . . .” (diagnosis) itulah pertanyaan yang diibaratkan
sebagai “take off.” Pertanyaan itulah yang membawa peneliti ke arah hubungan
kausal antara Y dengan X. Jika terjawab “Disebabkan oleh. . . . . ,” atau
“Karena. . . . .” maka terapinya dengan tepat dapat didefinisikan. Jadi pertanyaan
yang jauh lebih tepat ialah “Faktor apa sajakah yang mempengaruhi Y?”
D5 mengutip Edwards III yang menyatakan bahwa ada empat faktor yang
mempengaruhi implementasi kebijakan, yaitu komunikasi, sumberdaya, disposisi,
dan struktur birokrasi. Kata “factor” berarti “a maker,” “doer,” “performer,” yang
memfaktakan sesuatu, yang membuat sesuatu menjadi fakta (faktual). Variabel
bebas atau variabel yang mempengaruhi (berpengaruh, X) adalah faktor. Dalam
deduksi teoretik disertasinya, D5 memosisikan komunikasi, sumberdaya, disposisi,
dan struktur birokrasi sebagai variabel X, tetapi pada kerangka pemikiran, sebagai
dimensi variabel implementasi kebijakan. Jadi seharusnya, model penelitian D5
seperti model penelitian D6 (Gambar 18). Tetapi dengan demikian timbul
persoalan baru. Mana variabel-antara (intervening variable sekaligus contingent
factors) D5? Andaikata baik D5 maupun D6 memosisikan implementasi kebijakan
sebagai variabel-antara Z, mana dimensi-dimensi variabel, yaitu aspek-aspek
variabel yang hendak diukur? Dimensi implementasi kebijakan perberasan D6

25
hanya satu yaitu harga dasar beras. Apakah harga dasar beras dapat diposisikan
sebagai dimensi implementasi kebijakan perberasan?

X Z Y

KOMUNIKASI--------------
|
SUMBERDAYA--------------| IMPLEMENTASI KESEJAH-
|------>KEBIJAKAN --------->TERAAN
DISPOSISI---------------| PERBERASAN PETANI
| | |
STRUKTUR BIROKRASI------ | |
| |
(dengan dimensinya masing- manajemen dan ope- HDI
masing) rasi perberasan

Gambar 19 Model Penelitian D5 (disarankan)

X Z Y

KOMUNIKASI------------
|
SUMBERDAYA------------| IMPLEMENTASI KE- KEMANDIRIAN
|---->BIJAKAN PENYULUH- ---> KELOMPOK
DISPOSISI-------------| AN PERTANIAN TANI
| | |
STRUKTUR BIROKRASI---- | |
| |
(dengan dimensinya manajemen dan operasi HDI
masing-masing) penyuluhan pertanian

Gambar 20 Model Penelitian D6 (disarankan)

Dengan demikian, kerangka pemikiran penelitian D5 dan D6 disarankan seperti


Gambar 19 dan Gambar 20. Oleh sebab itu, kalimat “Besarnya pengaruh X
terhadap Y ditentukan oleh. . .” bukan hipotesis penelitian.

Ada juga yang berusaha menjawab pertanyaan “seberapa besar” itu dengan
hipotesis berbunyi: “Semakin tinggi X, semakin tinggi Y” (hubungan positif) atau
“Semakin tinggi X, semakin rendah Y” (hubungan negatif). Jawaban yang
berbunyi demikian bukanlah jawaban terhadap pertanyaan “seberapa besar,”
tetapi jawaban terhadap pertanyaan “bagaimana sifat hubungan antara X dengan
Y.” Pertanyaan ini didahului dengan pertanyaan “Adakah hubungan teoretik antara
Y dengan X?” Barulah kemudian: “jika ada, bagaimana sifat hubungan itu?”

26
“Besarnya pengaruh,” yang ditunjukkan oleh koefisien hubungan (r) atau pengaruh
R) pada hipotesis berepsilon, bias, tidak sesuai dengan fakta. Lebih-lebih di bidang
Ilmu Sosial, akurasi temuan penelitian, dalam hal ini “besarnya pengaruh,”
relative. Penyebabnya antara lain faktor “science is not portable,” “sufficient
factors” yang tidak lengkap, “contingent factors” yang sulit diidentifikasi
mengingat proses social bersifat culture bound, dan contingent factor diwarnai
oleh cultural lag, hubungan antar faktors yang berbeda-beda dan berubah-ubah,
sehingga selalu saja ada faktor yang belum diketahui. Jika diketahui sekalipun,
mungkin sulit diteliti. Hal-hal itu membuka ruang abu-abu yang disebut factor
epsilon. Mengingat epsilon itu, pertanyaan “Bagaimana X mempengaruhi Y,” atau
“Di bawah kondisi apa X mempengaruhi Y,” jauh lebih penting ketimbang
pertanyaan “Seberapa besar” itu, demikian Kerlinger dan Babbie di atas. Sebab,
walaupun koefisien hubungan itu diketahui, selalu saja koefisien itu bias.

X GRAND THEORY
|
|
|
tingkat
abstractness MID-RANGE THEORIES
konsep
|
|
|
| LOWER RANGE THEORIES
|
X-----------------------JARAK KONSEPTUAL-----------------------Y

Gambar 21 Abstractness dan Conceptual Distance

Jarak konseptual antara X dengan Y menunjukkan bobot masalah pemikiran, dan


pada gilirannya hal itu menunjukkan tingkat kebutuhan akan eksplanasi atau
prediksi hubungan antar keduanya. Semakin jauh jarak konseptual antara X
dengan Y, semakin tidak pasti hubungan, semakin berat bobot masalah,
semakin besar teori yang diperlukan., pengaruh X terhadap Y (Gambar 21).
Adapun abstractness konsep diukur dengan tingkat operasionalitasnya. Semakin
operasional konsep, semakin berkurang abstractness-nya. Dalam hubungan itu,
tingkat abstractness X sebaiknya setara dengan tingkat abstractness Y, agar
“jembatan” (hubungan antara keduanya) tidak “nungging” atau timpang, tetapi
relatif rata (setara). Semakin abstrak konsep atau variable, semakin jauh jarak
konseptual antar konsep atau variabel, semakin besar teori yang diperlukan
untuk menerangkan atau meramalkan hubungan antara X dengan Y.
Semakin banyak konsep yang direkonstruksi, semakin rumit hubungan yang

27
terjadi, semakin besar teori. Pada tingkat tertentu, teori seperti itu disebut
Teori Besar (Grand Theory). Selanjutnya, semakin besar atau kuat dukungan
variable penyangga (variable antara, contingent factor), kemerosotan
pengaruh X terhadap Y semakin kecil atau semakin lemah, dan explanatory
power pemikiran semakin kuat (masalah pemikiranpun semakin jelas).

8
BAHAN (BOK):
OBJEK MATERIA DAN OBJEK FORMA

Berbagai pendekatan diperlukan untuk menemukan ruang sasaran atau


objek.pemikiran ilmiah. Suatu pendekatan (pendaratan, approaching)
menunjukkan titikpandang terpandang (Y, fenomena, unknown) dari sebuah
sudutpandang pemandang (X, knower), alat yang digunakan untuk memandang-
nya (Z, knowledge, teori), dan proses (-------> knowing), Gambar 22.

TITIK TERPANDANG (Y)

ALAT MEMANDANG (Z)

SUDUT PANDANG (X) ------------------------------->

Gambar 22 Pendekatan

Pendekatan awal Kybernologi bertolak dari sebuah dalil Filsafat Ilmu berbunyi
credo et intelligam (percaya baru tau). Pendekatan ini disebut pendekatan
metadisiplin, karena pada saat Y dipandang, alat memandang bukanlah
pengetahuan (teori Kybernologi), karena Kybernologi pada saat itu secara formal
belum ada, melainkan credo. Kalaupun pemandang X menggunakan alat Z, alat itu
bukanlah Kybernologi, melainkan kompleks disiplin lain, misalnya Teologi,
Filsafat, Fisika, Biologi, Demografi, Sosiologi, Politik, dan sebagainya. Kompleks
inilah sumber bangunan Ontologi Kybernologi (Gambar 23).
Dengan pendekatan metadisiplin itu, terlihat hubungan pemerintahan (Gambar 23.
Hubungan pemerintahan itu terdapat dalam setiap masyarakat. Dalam hubungan
pemerintahan itu berlangsung interaksi antar subkultur masyarakat (Gambar 1).

28
ALLAH
mencipta
CIPTAAN<---------------------HUBUNGAN PEMERINTAHAN--------------------->
MAKHLUK
MANUSIA-->MEMBUMI
1 CIPTAAN
| MANUSIA
| PENDUDUK-->BERMASYARAKAT
| 2 CIPTAAN
| MANUSIA
| PENDUDUK
| WARGAMA-
| SYARAKAT-->BERBANGSA
| 3 CIPTAAN
| MANUSIA
| PENDUDUK
KUALITAS MASYARAKAT
MANUSIA WARGABANGSA-->BERNEGARA
| 4 CIPTAAN
| MANUSIA
| PENDUDUK
| MASYARAKAT
| BANGSA
| WARGANE-
| GARA----->BERPEMERINTAHAN
5 CIPTAAN
MANUSIA
7 PENDUDUK
YANG DI- MASYARAKAT
PERINTAH BANGSA
konstituen NEGARA
pelanggan<------------hubungan pemerintahan------------>PEMERINTAH
konsumer (peran)
korban 6
mangsa

Gambar 23 Ontologi Kybernologi dengan 7 Terminal

Dari interaksi itu terbentuk fenomena pemerintahan yang merupakan objek materia
semua disiplin ilmu pengetahuan, dan common platform Ilmu-Ilmu Sosial.
Selanjutnya lihat Gambar 24. Objek forma Kybernologi mulai terkuak tatkala
pemandang mendaratkan pandangannya pada sudut manusia dengan HAM dan
kebutuhan dasarnya, lingkungan dengan keberlanjutannya (Gambar 2). Objek
forma semakin jelas manakala pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan
kebutuhan itu tidak diletakkan di ruang peran Ilmu Ekonomi (pasar bebas) tetapi
pada peran Negara (Gambar 25).

29
ONTOLOGI
|
BASIC PLATFORM
|
metadisiplin
|
------------------------|------------------------
| |
| TITIKPANDANG |
| fenomena pemerintahan (objek materia) |
| COMMON PLATFORM |
| ILMUPENGETAHUAN |
| KHUSUSNYA ILMU-ILMU SOSIAL (ALATPANDANG) |
| | |
| | |
| SUDUTPANDANG (MANUSIA DAN LINGKUNGAN) |
| GOVERNANCE |
| objek forma |
| | |
| | |
| ANGGAPAN DASAR* |
| rekonstruksi |
| | |
| | |
| KYBERNOLOGI |
| perbedaannya dengan ilmu-ilmu lain |
| | |
------------------------|------------------------
|
monodisiplin, dst

Gambar 24 Pendekatan Metasisiplin Mengantar Pemikiran


Ke Arah Objek Materia dan Objek Forma Kybernologi

Rekonstruksi Ilmu Pemerintahan lama dan pembangunan BOK baru bernama


Kybernologi berlangsung di bawah sejumlah anggapan dasar (Bab 1 Kybernologi
2003). Misalnya anggapan dasar berbunyi: “Pemerintahan Sejajar Dengan Proses
Produksi Dengan Konsumsi,” atau “Jangan Beli Kucing Dalam Karung.”
Setelah konsep-konsep ditemukan dan hubungan antar konsep direkonstruksi,
terbentuklah BOK Kybernologi dalam wujud monodisiplin (Gambar 24).
Kybernologipun mengembangkan dirinya melalui pendekatan-pendekatan lanjutan
seperti di bawah ini (Gambar 26).

30
-------------------------------------------------------------------------
| |
| 7 |
| PENGORBANAN |
| CIVIL SERVANT |
| | |
| | |
| 4 5 6 9 |
| ----INDI- -----CIVIL-–----acting---------CIVIL------- |
| | VIDU RIGHTS action SERVICES | |
| | | | |
| | | | |
| | 8 | |
| | KESEMPATAN dan HARAPAN (HOPE) | |
| | PELANGGAN UNTUK MENJADI KONSUMER, | |
| | KORBAN dan MANGSA untuk SELAMAT | |
| | | |
2 | | |
1 HUMAN 3 12 14 20 |
MANU- ----RIGHTS-----HUMAN PUBLIC PUBLIC kontrol,-----|
SIA & INS- NEEDS POLICY ACTOR monev |
TINCTS | | | | |
| | 13 | | |
| 11 | POLICY | 16 | |
| -----PUBLIC---------IMPLE----------PUBLIC----- |
| | CHOICE MENTATION | SERVICES |
| | | | | |
| | | | | |
| 10 | | 15 |
----MASYA- | | penggunaan oleh pelanggan |
RAKAT | | HAK HIDUP KORBAN atau HAK MANGSA |
| | | UNTUK MEMPERTAHANKAN DIRI |
| | | KEPERCAYAAN (TRUST) terhadap PEMERINTAH |
| | | PENGHARAPAN (HOPE) DI MASA DEPAN |
| | | |
| | ---------------------------------------------
| |
| 17 18 19
----PRIVATE------ --BARANG---------MARKET
CHOICE JASA (SATISFACTION)

---> 7pembentukan civil service --->14pembentukan public actor


--->12pembuatan kebijakan publik --->15pemberdayaan (enabling, emp.*)
--->13pengadaan public goods --->17privatisasi vs statalisasi
*empowering

Gambar 25 Pemenuhan Kebutuhan Manusia Melalui Peran Negara Kebutuhan

Model c Gambar 26 menunjukkan pendekatan multidisiplin. Pendekatan ini


digunakan untuk merekam dan mempelajari suatu masalah dari berbagai sudut
yang berbeda guna menemukan objektivitas pengetahuan dan keseimbangan
kebijakan. Model d digunakan oleh suatu disiplin dalam berinteraksi dengan
disiplin lainnya yang berbeda dalam rangka mengembangkan diri agar tetap dalam
paradigma normal science. Model ini adalah lanjutan model c. Interaksi itu
berlangsung dalam bentuk saling meminjam konsep atau metode. Sudah barang
tentu berdasarkan norma, kode etik, dan dengan teknik yang lazim di dunia
akademik. Sebagai contoh adalah scientific movement berjudul reinventing
government akhir abad yang lalu. Gerakan ini meminjam konsep entrepreneurship

31
X1---
eureka! cūriōsitās |
?--------->X X--------->Y X2---|--->Y X<----->Y Z<---X<--->Y--->Z
a b | d e
X3---
c

metadisiplin monodisiplin multidisiplin interdisiplin lintasdisiplin

? credo X disiplin X disiplin X disiplin X disiplin


X disiplin Y masalah Y masalah Y disiplin Y disiplin
Z hibrida

Gambar 26 Berbagai Pendekatan

dari ruang Ekonomi-Bisnis, sehingga di Indonesia banyak menimbulkan salah-


faham: “Apa pemerintahan dijual-beli?” Model e adalah pengembangan dan
lanjutan model d. Model e digunakan untuk memupuk kerjasama maupun
kerjabersama antar disiplin secara sistematik. Dengan pendekatan itu, antara Ilmu
Politik dengan Kybernologi, misalnya, muncul kajian hibridal bernama Politik
Pemerintahan yang digunakan oleh IPDN sebagai nama salah satu fakultasnya.
Pendekatan sentripetal dari luar ke dalam ruang Kybernologi itulah yang terlihat
pada Pohon Kybernologi. Bab II Kybernologi Beberapa Konstruksi Utama, 2005)
menunjukkan Pohon Kybernologi yang tertanam, berakar, tumbuh dan berbuah
melalui berbagai pendekatan: metadisiplin, monodisiplin, multidisiplin, inter-
disiplin, dan lintasdisiplin (transdisiplin). Kekuatan sentripetal melahirkan hibrida
dari luar (Politik) ke dalam pemerintahan, misalnya Politik Pemerintahan. Baca
juga Bab 35 Kybernologi, 2003.

Dalam perkembangan lebih lanjut, melalui pendekatan yang sama, antar disiplin
misalnya Kybernologi dengan Ilmu Politik, didorong oleh kekuatan sentrifugal dari
dalam Kybernologi, lahir hibrida sebaliknya, yaitu Kybernologi Politik. Kekuatan
sentrifugal tersebut menggerakkan pengkajian lain ke arah berbagai disiplin di luar
Kybernologi: Kybernologi Pertanian dengan Agro-Pemerintahan, Kybernologi
Administrasi dengan Administrasi Pemerintahan, dan seterusnya. Perkembangan
ini direkam dalam Kata Pengantar buku Menuju Ke Pemikiran Kybernologi
Pertanian dan Agro-Pemerintahan (2009). Sebagian Kata Pengantar itu dikutip
sebagai berikut.

Seri Kybernologi yang sekarang berada di tangan Pembaca berjudul Menuju Ke


Pemikiran Kybernologi Pertanian dan Agro-Pemerintahan. Bab I sampai dengan
bab V berisi dua hibrida bangunan rekonstruksi buah kajian dengan pendekatan
lintasdisiplin antara Kybernologi dengan Agronomi atau Agronomics. Hibrida
pertama disebut Kybernologi Pertanian dan hibrida kedua oleh Dr Ir A. H.

32
Rahadian, MSi dan Dr Ir Abdul Samad Melleng, MM, co-writers buku ini, diberi
nama kajian Agro-Pemerintahan, dapat dibaca dalam Bab III, IV, dan V buku ini.
Bab III dan Bab IV pernah dimuat dalam Bab VI dan VII Kybernologi dan
Pengharapan (2009), Bab I terdapat dalam Bab IX Kybernologi Sebuah
Metamorphosis (2008), sedangkan Bab II berasal dari Bab Bab IV Kybernologi
Sebuah Rekonstruksi Ilmu Pemerintahan (2005). Kajian Agro-Pemerintahan
adalah kajian tentang kebijakan pemerintahan dilihat dari sudut Agronomi
(Agronomics) guna mengimbangi kajian tentang kebijakan pertanian dilihat dari
sudut kepentingan politik dan birokrasi yang dalam kondisi sekarang sangat
mendominasi pemerintahan. Bangunan rekonstruksi buah pendekatan lintasdisiplin
lainnya terdapat di dalam Kybernologi Politik dan Kybernologi Administrasi
(2009).

Penggunaan pendekatan lintasdisiplin didorong oleh dua kebutuhan.


Pertama adalah kebutuhan akan sebuah metodologi yang mampu
mengoordinasikan sisi aksiologi semua disiplin menjadi masukan ilmiah yang
memiliki scientific power yang kuat dalam proses kebijakan publik yang memihak
manusia, masyarakat, dan pelanggan. Nama Max Weber (1864-1920) disebut-sebut
berkaitan dengan kebutuhan yang pertama beserta jawabannya. Hampir seratus
tahun yang lalu kebutuhan kedua telah dirasakan oleh para pelopor Bestuurskunde,
Regeerkunde dan Bestuurswetenschap (ref. Bab I GBPP Kybernologi dan
Kepamongprajaan, 2009). Tentang hal ini, van Poelje dalam Pengantar Umum
Ilmu Pemerintahan (1959) menyatakan:
. . . . . . bahwa berbagai ilmu pengetahuan yang bertalian dengan salah satu
bagian dari penguasaan (beheer) perusahaan partikelir pada akhirnya
bermuara pada suatu ajaran perusahaan umum (algemene bedrijfsleer) yang
meliputi kesemuanya dan bahwa ajaran tentang penguasaan perusahaan-
perusahaan partikelir ini setidak-tidaknya untuk sebagian merupakan syarat
bagi adanya ilmu pengetahuan yang lebih tinggi daripadanya, ialah Ilmu
Pemerintahan (Bestuurskunde, Bestuurswetenschap, dan
Bestuurswetenschappen, TN).

Gambar 27 menunjukkan carakerja metodologi lintasdisiplin. Agronomi


(Agronomics) dan Teknologi Civil mewakili berbagai disiplin yang sisi
aksiologinya jadi masukan ke dalam proses kebijakan. Metodologi itu bekerja pada
9 terminal dan 9 rute. Dari terminal 1 Agronomi melalui rute 1 yaitu pendidikan
(pengajaran), keilmuan (pengetahuan) di bidang pertanian (terminal 2) ditanamkan
kepada peserta diklat. Dari terminal 2 melalui rute 2 pelatihan pertanian terbentuk
profesi bidang pertanian (terminal 3). Dari terminal 3 melalui rute recruitment
(rute 3), profesional pertanian diangkat menjadi pegawai Dinas Pertanian (terminal

33
4). Sebagai pegawai pemerintahan, PNS Dinas Pertanian wajib memahami proses
kebijakan pemerintahan daerah sebagai dasar implementasi dan monev kebijakan
pemerintahan daerah di bidang pertanian. Melalui rute 4 diklat profesional

9
-------------------------------KYBERNOLOGI-------------------------------
| | (ILMU PEMERINTAHAN BARU) | |
| | | |
| 8 8 |
| KEAHLIAN KEAHLIAN |
| DI BIDANG----------GENERALIS----------DI BIDANG |
| PEMERINTAHAN | PEMERINTAHAN |
| | | | |
| | | | |
| 7 | 7 |
| PROFESI KOMPONEN PROFESI |
| BIDANG PE- --10---PENDIDIKAN---10-----BIDANG PE- |
| MERINTAHAN DIPLOMA MERINTAHAN |
| | | | |
| | | | |
| | --------------------- | |
| 6 | vooruitzien | 6 |
AGRO- PEMERINTAHAN | conducting | PEMERINTAHAN TEKNOLOGI
PEMERINTAHAN DAERAH | coordinating | DAERAH PEMERINTAHAN
| | | peace-making | | |
| | | residue-caring | | |
| 5 | turbulence-serving | 5 |
| KEBIJAKAN | | KEBIJAKAN |
|--------------BIDANG-----|---KEPAMONGPRAJAAN---|-----BIDANG--------------|
| PERTANIAN | | PEKERJAAN UMUM |
| | | Freies Ermessen | | |
| | | gen&spec function* | | |
| 4 | omnipresence | 4 |
KYBERNOLOGI PNS DINAS | responsibility | PNS DINAS KYBERNOLOGI
PERTANIAN PERTANIAN |magnanimous-thinking | PEK.UMUM PEK.UMUM
| | | statesmanship | | |
| | --------------------- | |
| | | | |
| 3 | 3 |
| PROFESI KOMPONEN DIKLAT PROFESI |
| BIDANG----11------PROFSIONAL----11----BIDANG |
| PERTANIAN KEPAMONGPRAJAAN PEK. UMUM |
| | | | |
| | | | |
| 2 | 2 |
| KEAHLIAN | KEAHLIAN |
| DI BIDANG----------SPESIALIS----------DI BIDANG |
| PERTANIAN PEK. UMUM |
| | | |
| | | |
| 1 1 |
-------------AGRONOMI TEKNOLOGI-------------
AGRONOMICS CIVIL

gen&spec function,
generalist & specialist function

Gambar 27 Metodologi Lintasdisiplin

34
pemerintahan, ia diharapkan mampu memahami kebijakan pemerintahan daerah
tersebut (terminal 5). Dari terminal 5 melalui competence building workshop (atau
apapun namanya, rute 5), terbentuk kompetensi PNS Dinas Pertanian sebagai
aparat pemerintahan daerah (terminal 6).

Oleh setiap orang yang berdiri di terminal 5 dan memandang sekeliling, terlihat
bahwa pertanian, profesi pertanian, pegawai Dinas Pertanian, dan sebagainya,
hanya sebuah matarantai antar berbagai matarantai pemerintahan lainnya. Satu
dengan yang lain berhubungan interdependen. Kinerja yang satu ditentukan oleh
dan atau bergantung pada kinerja yang lain. Sementara itu lingkungan berubah dan
masa depan tidak menentu. Konstruksi pemikiran tersebut berakhir pada
pertanyaan, apakah pemerintahan itu? Apakah nilai-nilai dasar pemerintahan?
Pertanyaan pertama dijawab dengan definisi: Pemerintahan adalah proses
interaksi antar subkultur ekonomi (SKE), subkultur kekuasaan (SKK), dan
subkultur sosial (SKS dengan dua kualitasnya yaitu sebagai konstituen dan
sebagai pelanggan), di dalam masyarakat, dalam upaya mengejar
kebahagiaan rohani dan jasmani yang sebesar-besarnya tanpa merugikan
orang lain secara tidak sah). Definisi tersebut adalah kombinasi Teori
Governance dengan ide yang terkandung dalam definisi Regeerkunde menurut van
de Spiegel. Dari definisi itulah Kybernologi yang dalam Gambar 27 terletak pada
terminal 9, bermula. Melalui sistem pendidikan akademik (rute 9), keahlian di
bidang pemerintahan ditanamkan di dalam diri pesertadidik (terminal 8), dan
selanjutnya melalui pendidikan diploma (rute 7) dibentuk profesi pemerintahan
(terminal 7). Antara terminal 7 dengan terminal 5, yaitu pada terminal 6, timbul
pertanyaan kedua, yang dijawab dengan definisi: Sistem nilai dasar
pemerintahan adalah Kepamongprajaan. Oleh sebab itu, isi the governance
competence building workshop adalah Kepamongprajaan itu (ref Garis-Garis
Besar Program Pembelajaran Kybernologi dan Kepamongprajaan, 2009).

Kedua adalah penggunaan pendekatan lintasbudaya dengan menggunakan sebuah


teknik pemahaman kualitatif antar budaya yang berbeda yang lazim disebut
triangulasi, guna menemukan bukan hanya pengertian tetapi lebih daripada itu,
saling-pengertian antar budaya yang berbeda itu, bertolak dari serenity, melalui
jembatan yang disebut empathy. Pengertian yang dicapai melalui jembatan itu
disebut Verstehen (empathic understanding), seperti termuat dalam Bab 14
Kybernologi Beberapa Konstruksi Utama (2005) dan dalam Bab V Kybernologi
Politik dan Kybernologi Administrasi (2009). Demikian pentingnya Verstehen
dalam metodologi sehingga konsep itu ianggap sebagai puncak bahan bangunan
Kybernologi.

35
9
BAHAN BOK: VERSTEHEN

Ada tiga hal yang melatarbelakangi pentingnya pendekatan ini. Dua di antaranya
berkaitan dengan praktik politik, dan satu yang berkaitan dengan metodologi.
Pertama artikel Sofyan A. Djalil “Harga BBM dan Masa Depan Indonesia,”
(Kompas, 121005) “Kali ini saya amat sedih, Pak Effendi, logika opposisi Anda
tanpa berempati sedikit pun pada kesulitan negara yang begitu parah: . . . . . . ,“
kedua, pernyataan Alwi Shihab “Pasti ada kendala, tetapi persentasenya sangat
kecil,” (sehingga dapat diabaikan) ujar Alwi di Jakarta kemarin (Kompas, 181005),
dan ketiga penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian pemerintahan pada
tingkat pascasarjana di lingkungan UNPAD (S2 sejak 1996 dan S3 sejak 2000).

Empathy vs Sympathy. Kata empathy berasal dari bahasa Gerik empátheia,


affection (em-, in- dan pathy, pátheia, suffering, feeling), berarti “intellectual
identification with or vicarious experiencing of the feelings, thoughts, or attitudes
of another person,” dan “the imaginative ascribing to an object, as a natural object
or work of art, feeling or attitudes present in oneself.” Makna empathy kemudian
dipengaruhi oleh konsep Jerman Einfühlung. Kata tersebut berkaitan dengan kata
sympathy (Latin sympathīa, Gerik sympátheia, dari sym-, before, syn, co-, with,
dan páth(os), suffering, feeling), berarti “harmony of or agreement in feeling, as
between persons or on the part of one person with respect to another,” dan “a
quality of mutual relations between people or things whereby whatever affects one
also affects the other.” Arti kedua ini mirip sekali dengan ungkapan tat twam asi,
semboyan Kementerian Sosial dahulu kala, yang berarti “aku adalah engkau,”
“engkau adalah dia,” dan “dia adalah aku.” Apa yang dirasakan oleh yang satu,
dirasakan juga oleh yang lain. Simpati timbul karena adanya kesamaan atau
ketertarikan.

Apakah hubungan empati dengan simpati? W. Lawrence Neuman dalam Social


Research Methods (1997, 356) menyatakan bahwa “Empathy does not necessarily
mean sympathy, agreement or approval; it means feeling things as another does.”
Thomas A. Schwandt, “Constructivist, Interpretivist Approaches to Human
Inquiry,” dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, (eds), Handbook of
Qualitative Research (1994, 120) menggambarkan empati itu sebagai “getting
inside the head of another,” didukung oleh sikap etik dan emik (amïc).
Berdasarakan analisis hermeneutic (hermeneutics, Teori Pengertian, “a theory of
meaning,” Ilmu Penafsiran, “making the obscure plain,” (lihat Neuman, 1997, 68)
dapat dikatakan bahwa empati adalah konsep metodologi, yaitu cara memahami
perasaan, sikap, dan tindakan subjek yang diamati dengan menggunakan

36
“intellectual identification,” didorong oleh keingintahuan yang dalam (curiosity),
untuk menafsirkan fenomena sosial sehingga terlihat perbedaan, uniqueness,
kualitas, karakteristik, antara yang satu dengan yang lain sebagaimana adanya,
sedangkan simpati merupakan konsep yang digunakan untuk memahami proses
sosial yang terjadi antar pelaku yang berbeda-beda, yang terjadi berdasarkan
adanya ketertarikan atau kesamaan. Jadi seseorang bisa bersimpati melalui empati,
dan bisa juga bersimpati tanpa melalui empati melainkan melalui kesamaan atau
ketertarikan satu dengan yang lain. Dalam Gambar 28, A menggunakan FOR B.
Dalam Gambar 29, simpati A terhadap B terbentuk karena adanya ketertarikan atau
kesamaan antara keduanya.

A ------- berempati ------> B


FOR FOR
|
|
-------------------
| |
| |
empati A thd B simpati A thd B
| |
| |
------------------>

FOR, frame of reference

Gambar 28 Hubungan antara Empati dengan Simpati


Yang Satu Menggunakan FOR Yang Lain

Membangun kebersamaan dan kesepakatan bisa melalui pendekatan kuantitatif dan


bisa juga melalui pendekatan kualitatif. Dengan pendekatan kuantitatif orang
berbicara tentang dan memihak (ke)pada dominasi, mayoritas, kuorum,

A -------- bersimpati-------> B --------> SIMPATI


hobi X hobi X
tertarik menarik
turut berduka berduka
kepentingan Y kepentingan Y

Gambar 29 Terbentuknya Simpati


Via Kemersamaan dan Ketertarikan

37
pembenaran, voting, kurva normal, rata-rata, generalisasi, statistik, exchange,
bargaining, kekuasaan, dan sebangsanya. Alwi Shihab dalam pernyataannya di
atas, menggunakan pendekatan kuantitatif. Berdasarkan pendekatan kuantitatif,
maka yang kalah, minoritas, yang tidak terdaftar, powerless, tontonan, korban,
mangsa, dianggap tidak ada, atau dapat diabaikan. Pendekatan kualitatif adalah
kebalikannya. Pendekatan ini telah dibahas dalam, Kybernologi (2003), Bab 36,
Melalui pendekatan kualitatif yang dijadikan pegangan oleh peneliti dalam
mereproduksi dalam pikirannya “the feelings, motives, and thoughts behind the
action of others,” adalah frame-of-reference (FOR) subjek yang diamatinya,
sedangkan dengan pendekatan kuantitatif, peneliti menggunakan FORnya sendiri.
Dengan pendekatan kualitatif, sekecil apapun hal yang diamati, ia mempunyai
kualitas dan nilai, dan oleh sebab itu ia tidak pernah dianggap tidak ada, dan
kehadirannya tidak pernah terabaikan. Sama seperti tubuh manusia. Komponennya
yang kelihatannya terkecil, terlemah, ternyata memberi sumbangan vital terhadap
keseluruhan.

Terlepas dari persoalan, pendekatan mana yang digunakan, hubungan antara nilai
empati dan simpati dengan kedua pendekatan (kuantitatif dan kualitatif), dapat
digambarkan sebagai berikut (Gambar 30). Gambar 30 menunjukkan hubungan
jalur antara empati dengan simpati. Simpati dapat terbentuk melalui empati (sel 4
melalui sel 3). Yang dimaksud oleh Sofyan A. Djalil dengan empati adalah empati
dalam sel 1, sedangkan simpati yang diharapkan terbentuk melalui pernyataan
Alwi Shihab adalah simpati dalam sel 2.

---------------------------------
| NILAI |
|---------------------------------|
| EMPATI | SIMPATI |
| Keberbedaan | kebersamaan |
--------------------------|----------------|----------------|
| | KUANTITATIF | yg berbeda 1 | mayoritas yg 2|
| | (FOR pene- | dan kecil | dijadikan da- |
| | liti) | diabaikan | sar kebersamaan|
| PENDEKATAN |-------------|----------------|----------------|
| | KUALITATIF | setiap kom- 3 | keberadaan 4|
| | (FOR subjek | ponen ber- | yg menjadi da- |
| | yg diamati) | nilai | sar kebersamaan|
------------------------------------------------------------

Gambar 30 Model Hubungan Nilai dengan Pendekatan

38
Alwi Shihab membenarkan kebijakan pemberian kompensasi BBM langsung tunai
kepada orang terdaftar miskin, kendatipun banyak yang sesungguhnya tidak berhak
tetapi terdaftar, dan sebaliknya banyak yang berhak tetapi tidak terjangkau
pendaftaran, sementara banyak pula orang melarat lanjut usia setelah menempuh
perjalanan yang jauh, antri berjam-jam, berdesakan, bahkan ada mati terinjak-
injak, tetapi itu semua, dianggap tidak apa-apa, karena “persentasenya sangat
kecil.” Jika seorang yang usil bertanya: “Jika orang tua miskin yang terinjak itu,
Anda sendiri, bagaimana?” Dia diam, tidak menjawab, atau dia menjawab dengan
ketus: “Boro-boro saya miskin, bahkan sayalah yang membuat orang miskin dan
terinjak. Anda tau, kan, saya tidak miskin, oleh sebab itu saya tidak bisa me-
‘reproduce in my own mind the feelings, motives, and thoughts behind the action
of other’” (“feelings” dibaca “sufferings,” “misery”).

Apakah melalui perbedaan (sel 3, Gambar 30) orang bisa tiba pada kebersamaan
(sel 4)? Bisa, “through diversity toward unity,” atau E Pluribus Unum, demikian
proposisi satu Eduard C. Lindeman dalam T. V. Smith dan Eduard C. Lindeman,
The Democratic Way of Life (1955, 112), dan demikian juga makna Bhinneka
Tunggal Ika. Bisa, jika sikap terhadap perbedaan bahkan heterogenitas, bertolak
dari serenity: “Menerima secara sadar dan ikhlas apa adanya.” Seperti tajuk doa
Reinhold Niebuhr (1892-1971):

God,
Give us grace to accept with serenity
The things that cannot be changed
Courage to change the things
Which should be changed
And the wisdom to distinguish
The one from the other

Konsep empati dan simpati tidak terpisahkan dengan konsep pengertian


(understanding). Salah satu bentuk understanding adalah empathic understanding
yang dalam bahasa Jerman disebut Verstehen. “It (Verstehen) must mean an act of
sympathetic imagination or empathic identification on the part of inquirers that
allowed them to grasp the psychological state (i.e. motivation, belief, intention, or
the like) of an individual actor,” demikian Schwandt. Bisa saja peneliti bermaksud
mengenal seorang aktor dengan motif ketertarikan (sympathetic imagination) dan
bukan karena ingin mengenalnya sebagaimana adanya. Menurut Max Weber,
Verstehen adalah “empathic understanding or an ability to reproduce in one’s own
mind the feelings, motives, ang thoughts behind the action of others.” Konsep
Verstehen terkenal di lingkungan Humaniora, Sosiologi, Antropologi, dan Ilmu

39
Sosial lainnya, dan dijadikan dasar pendekatan kualitatif Metodologi Penelitian
Sosial. Adalah Wilhelm Dilthey yang mengelompokkan ilmu pengetahuan menjadi
Naturwissenschaft yang tersusun berdasarkan abstract explanation (Erklärung)
dan Geisteswissenschaft yang berakar dalam “an empathetic understanding, or
Verstehen, of the everyday lived experience of people in specific historical
settings” (Neuman, 1997, 68). Tujuan Naturwissenschaft adalah scientific
explanation, sedangkan Geisteswissenschaft “the grasping or understanding
(Verstehen) of the “meaning” of social phenomena” (Denzin dan Lincoln, 1994,
119).

Menurut Schwandt ada dua pendekatan yang digunakan dalam human inquiry.
Pertama, pendekatan constructivist yang berpendapat bahwa “knowledge and truth
are created, not discovered by mind,” dan kedua pendekatan interpretivist, yang
menyatakan “. . . the facts of the world are essentially there for study. They exist
independently of us as observers, and if we are rational we will come to know the
facts as they are.” Lepas dari persoalan tersebut, diperlukan adanya intersubjective,
common meanings---“ways of experiencing action in society which are expressed
in the language and descriptions of institutions and practices.” Oleh sebab itu,
“Accordingly, constructivists and interpretivists in general focus on the processes
by which these meanings are created, negotiated, sustained, and modified within a
specific context of human action. The means or process by which the inquirer

SETTING
|
| menerangkan
FENOMENA SOSIAL <----------- TEORI
| meramal |
| |
SUBJEK |
PENELITI --- berempati --> YG DIAMATI -----------> VERSTEHEN
| FOR the meaning
| | |
| | |
|------- menafsir-------> DATA |
| | |
| | |
--- mengonstruksi ---> KATEGORI ------------------
properties

FOR frame-of-reference

Gambar 31 Sebuah Pola Pikir Kualitatif

40
arrives of this kind of interpretation of human action (as well as the ends or aim of
the process), is called Verstehen (understanding)” (Denzin dan Lincoln, 1994,
120). Jadi jelaslah, Verstehen adalah proses dan temuan proses penafsiran
fenomena sosial dan perilaku manusia melalui pendekatan kualitatif penelitian.
Pentingnya Verstehen itu dijelaskan oleh Max Weber sebagaimana dikutip oleh
Neuman (1997, 68): “Weber argued that social science needed to study
meaningful social action, or social action with a purpose,” karena mengerti
tidaknya seseorang akan suatu hal pada akhirnya menentukan pola perilaku yang
bersangkutan. Untuk Indonesia, konsep Verstehen sebagai metode sangat penting,
mengingat budaya Indonesia adalah budaya yang sangat kaya, sangat beragam,
purba, unik, tetapi minat untuk mengungkapkannya semakin lemah, sementara
FOR generasi sekarang jauh berbeda dengan FOR generasi pelaku budaya pada
zamannya. Menurut Metodologi Sejarah, nilai-nilai purba dapat diungkapkan
melalui Verstehen, bilamana peneliti mampu berempati dengan masa lampau,
menempatkan diri seolah-olah berada di masa silam itu. Hanya saja, biaya
penelitian dan pelestariannya mahal. Belum lagi pola perilaku sosial yang bersifat
covert, tertutup, tidak jelas (wayang), “lain di mulut, lain di hati,” lain yang
tersurat, lain yang tersirat. Melalui Verstehen, ada apa di belakang perilaku
manusia, bahkan mungkin di bawah sadarnya sebagaimana adanya, bisa terungkap,
bisa difahami. Verstehen bisa menggambarkan perilaku teror dan menyawab
pertanyaan mengapa seseorang menjadi teroris, tetapi dengan Verstehen orang
tidak bisa membenarkan terorisme. Dilihat dari sudut ini, Metodologi Kualitatif
unggul dalam pengungkapan nilai dan sistem nilai, sementara Metodologi
Kuantitatif dapat digunakan untuk memproses norma. Teknik dan prosedur yang
harus ditempuh guna menemukan Verstehen di belakang dan teori tentang
fenomena yang diamati, diuraikan oleh Anselm Strauss dan Juliet Corbin dalam

SERENITY----->EMPATHY----->UNDERSTANDING
| |
| |
---------------
|
| membangkitkan empati MUTUAL
EMPATHIC UNDERSTANDING----------------------->EMPATHIC
(VERSTEHEN) fihak yang lain UNDERSTANDING
| |
| |
| A tdk hrs berubah menjadi B |
------dan B tdk hrs berubah-------------
menjadi A, saling menghargai

Gambar 32 Empat Langkah Menuju Mutual Empathic Understanding

41
Basics of Qualitative Research (1990) dan Joseph A. Maxwell dalam Qualitative
Research Design (1996).
Aplikasi langkah-langkah tersebut pada Gambar 32, diawali dengan pertanyaan
tentang manusia sebagai fihak ketiga: “Manusia, yang diingat apanya?”
Sekarang manusia jadi rebutan. Bahkan penyandang tuna sekalipun. Yang sehari-
harinya dipandang sampah! Kabarnya menjelang pemilu 2009 KPU telah
menyiapkan alat dan cara buat para penyandang tuna dan onggokan sampah ini
suatu saat bagi orang lain tahun depan. Sebenarnya metodologi ini sudah lama
digunakan oleh sektor bisnis. Terutama marketing. Sebuah keluarga kumuh sekali-
sekalinya seperti mendadak (padahal sudah direkayasa sebelumnya) dikunjungi
seorang selebriti TV biasanya perempuan didampingi seorang kamerawan lelaki
yang membawa sebuah bingkisan yang berharga disertai ucapan selamat dan
pelukan mesra dari siperempuan. Tentu saja itu bingkisan apa segepok uang
diterima bak jatuh dari langit dengan syukur dan cium tangan oleh keluarga yang
ketiban. Apakah dengan memberikan sebingkis hadiah kepada keluarga kumuh itu,
kemiskinan berkurang? Andalah yang menjawab. Yang penting adalah udang di
balik batunya: guna menaikkan rating TV doang. Siasat partai politik (parpol)
demikian jualah. Parpol lantas menirunya dengan menggunakan label kepedulian
kiri kanan. Itulah yang terbaca tgl 7 Oktober 09 di halaman 8 Kompas, “Narasi
Baru Partai bla bla bla.” Atau label “kemanusiaan,” seperti yang terbaca --- lagi-
lagi --- dalam Kompas, 8 Oktober 09, juga di halaman 8, “Amien Rais Beri
Nasihat. . . . ,” agar kampanye “. . . memunculkan sisi kemanusiaan, tokoh politik
bisa berkomunikasi dengan bahasa yang mudah dicerna oleh masyarakat.” Bukan
hanya parpol, perseorangan juga yang merasa terpanggil untuk dipilih,
menggunakan komunikasi politik dalam bentuk iklan. Bahasa gaulnya taktik
tebarpesona. Foto diri berpakaian rapi dengan senyuman manis, memikat ratusan
ribu pemudik. Atau melancarkan “Surat Buat Semua” (Kompas 5 Agustus 08,
halaman 11). Mula-mula ia menyapa sini-sana, memperkenalkan diri siapa dia,
mengidentifikasi dirinya dengan simbol-simbol tertentu guna menarik simpati,
mengapa dia dan bukan orang lain, maunya supaya bla bla bla, dan bahwa
“bersama kita bisa!” mewujudkannya. Memperkenalkan diri saja menggunakan
berbagai cara. Ada yang memperkenalkan diri sebagai “Generasi Baru,” pembawa
“Harapan Baru,” bintang tunggal di angkasa dua nol nol sembilan, ada yang
memromosikan partainya, yang satu dengan semboyan “Berjuang Untuk Rakyat,”
sedangkan yang lain dengan semboyan “Hidup adalah Perbuatan.”

Nampaknya, menjelang setiap pemilihan umum (pemilu), baik nasional maupun


lokal (pilkada), legislatif maupun eksekutif, manusia yang sehari-harinya dianggap
sampah, terlunta-lunta, wuih bau dan joroknya!, mendadak sontak diburu, dicari,

42
dirayu dan diiming-iming oleh Tim Kampanye atau Tim Sukses yang tersebar di
mana-mana. Juga oleh wartawan dan tim konsultan pemilu. Rupanya jasad yang
tinggal kulit pembalut tulang itu semasih bisa nyoblos (nyontreng) atau memberi
tanda bahwa ia masih bernyawa, pasti dikejar, dibutuhkan. Apa pasal? Rupanya ia
mempunyai sesuatu yang setara dengan “Vox Dei,” suara Tuhan. Luarbiasa!
Bahwa kendatipun demikian, sesudah itu kemudian “Vox Populi” hanya dihargai
seikatkepala, sebaju kaosoblong, atau limasepuluh-ribuan buat nyeterik mentari
seharian sembari berteriak “Hidup!!!” dan mendengar slogan-slogan, siapa yang
mempersoalkannya? Cacing yang terinjak, membelalak dibohongi, menggeliat lalu
mati, siapa yang peduli? Anti klimaks memang. Itulah sisi rakyat sebagai
pelanggan. Rupanya pada saat-saat menjelang pemilu seperti sekarang manusia
diingat karena butuh suaranya, di waktu sesudahnya manusia diingat karena butuh
telinganya untuk mendengar kebohongan, sementara itu mata manusia selamanya
tidak dibutuhkan supaya ia tidak melihat kenyataan lalu pasrah belaka. Itulah yang
terjadi di ruang politik, dipanggung sandiwara.

Disusul dengan pertanyaan: “Apatah salah Ibu mengandung?”


Apakah di masa lebih tiga dasawarsa Soeharto berkuasa, manusia seutuhnya tidak
diperhatikan? Diperhatikan! Itu termasuk ritual Pancasila, UUD45, dan GBHN.
Masih teringat tiap kali Soeharto “turun kebawah,” berdialog dengan rakyat.
Rakyat bertanya, Soeharto menjawab, rakyat mencurahkan uneg-unegnya,
Soeharto menyimak dengan senyumnya yang memikat. Semuanya lancar sesuai
skenario dan arahan sutradara. Semuanya bertepuk tangan. Tetapi mengapa Mei
sembilan-puluhdelapan rakyat yang sama meng-“impeach”-nya? Sekarangpun
begitu. Tidak kurang dari Kementerian Negara Daerah Tertinggal menetapkan lima
prinsip pembangunan daerah tertinggal, yaitu “berorientasi pada masyarakat,”
“sesuai dengan kebutuhan masyarakat,” “sesuai dengan adatistiadat dan budaya
setempat,” “berwawasan lingkungan,” dan “tidak diskriminatif.” Tetapi mengapa,
mengapa golput semakin membadai, Syamsuddin Haris menulis tentang korupsi
dan delegitimasi DPR (Kompas 5 Agustus 08), dan Adrianus Meliala berbicara
tentang kejahatan Negara (Kompas 23 November 06), sementara Budiarto
Shambazy menyatakan: “Saya janji mau ‘nyoblos’ capres yang punya resep
mengurangi jumlah orang miskin?” (Kompas 7 Oktober 08, halaman 15.
Sebenarnya, pak Budi, gampang. Dengan sebuah tandatangan diubah saja
tolokukur, dan dimainkan statistiknya, jumlah orang miskinpun jamin bisa naik
bisa turun dalam sekejap, walau kemiskinan tetap bahkan semakin berkualitas,
hehehe). Jadi ada yang tidak beres!

Rupanya “bukan salah Ibu mengandung (rakyat begitulah adanya) melainkan


Salah Bapa memandang (menggunakan kacamata kekuasaan).”

43
Pemerintah ingin supaya mereka yang-diperintah berperilaku tertib, teratur, bersih,
indah, seragam, bila diperintah bergerak serentak, disatukan oleh kepatuhan dan
kesetiaan pada rezim yang berkuasa, ibarat sapulidi yang terikat dengan tali di
pangkalnya. Tetapi sabda alam lain. Kenyataan selalu bersifat jamak dan serbadua,
kapan saja dan di mana saja. Siang dan malam, terang dan gelap, pria dan wanita,
benar dan salah. Setiap eksistensi terdiri dari dua sisi ini. Pemerintah tidak eksis
tanpa yang-diperintah. Hubungan ini merupakan salah satu anggap dasar Teori
Governance. Dalam bahasa Teori Governance, kekuasaan (Negara, Pemerintah)
dan kemasyarakatan adalah dua subkultur yang berbeda yang hadir di dalam setiap
masyarakat. Dalam sejarah, di samping hubungan eksistensial, antara keduanya
terbentuk perlahan tapi pasti hubungan lain yang bersifat kategorial. Dalam
kondisi kategorial itu, masing-masing memiliki referensi yang berbeda tentang hal
yang sama. Misalnya “janji” dalam kampanye. Menurut fihak yang berkampanye,
“janji” yang dijualnya kepada pelanggan adalah “janji,” yang dianggap sudah
terpenuhi pada saat “janji” itu dipercaya (dibayar). Tetapi menurut fihak
pelanggan, “janji” adalah “apa yang dijanjikan,” dan oleh sebab itu ditagih pada
suatu saat.

Frame-of-reference (FOR) subkultur yang satu tidak sah untuk digunakan buat
mengukur dan mengevaluasi subkultur yang lain yang FOR-nya berbeda. Menurut
Teori Budaya, bahasa yang digunakan subkultur kekuasaan (SKK) adalah bahasa
authority, force, coercion, violence, sedangkan bahasa subkultur sosial (SKS,
pelanggan) adalah bahasa cacing (diam, elusdada, tutupmulut, jahitmulut, sindiran,
kiasan, dan jika tidak mempan, jika sudah melampaui ambang batas kesabarannya,
dia bisa juga murka tidak alang kepalang

dia adalah semar


dia badai dan topan itu
yang menggeliat karena gencetan
yang bergerak karena penindasan
yang menggilas karena hinaan
yang sanggup mengubah roda zaman
rakyat jelata di mana saja. . . .
(Riantiarno dalam Semar Gugat, 1995).

Oleh perbedaan budaya itu, norma yang dianut oleh satu fihak tidak kompatibel
dengan norma-normanya yang dianut oleh fihak lain yang budayanya berbeda,
demikian sebaliknya, dan bilaman digunakan begitu saja, dipaksakan, timbullah
konflik. Jadi harus digunakan pendekatan empirik lintasbudaya. Demikian juga
penelitian antardisiplin seperti telah dikemukakan dalam pengantar tulisan ini,

44
misalnya antara ruang Ilmu Politik dengan ruang Ilmu Pemerintahan. Masing-
masing ilmu memiliki metodologinya sendiri. Jadi harus digunakan pendekatan
lintasdisiplin.

Sesuai dengan judul, yang ditelusuri dalam tulisan ini adalah Metodologi Ilmu
Pemerintahan (Kybernologi) yang digunakan dalam mempelajari fenomena politik.
Di ruang politik terdapat Pemerintah (A) dengan FORnya sendiri, yang disoroti
dengan menggunakan Metodologi Ilmu Pemerintahan (Gambar 33) oleh yang
diperintah (B), dengan subkultur (FOR) yang berbeda. Sementara fihak A dapat
dianggap homogen, fihak B yaitu masyarakat, heterogen (beragam). FOR fihak A
dapat dianggap seragam, FOR fihak B, beragam, terdiri dari berbagai subkultur.

A1 B1

A3 (+)
90° 90°
A B

(-)

A2

Gambar 33 Pendekatan Lintaskultural


Antara A dengan B yang FORnya Berbeda

Gambar 33 menunjukkan A dan B dengan sikap kategorial masing-masing yang


tidak akan memiliki titiktemu. Sikap digambarkan dengan sudut (Gambar 33). Hal
itu terjadi bilamana sudut A = sudut B = 90°. Andaikata salah satu sudut lebih
besar daripada 90°, keduanya pasti ketemu pada suatu titik negatif (titiktemu garis
A3A2 dengan garis B1B) dan itu berarti konflik. Bilamana salah satu sudut A atau
B < 90°.keduanya pasti bertemu pada suatu titiktemu positif. Hal itu terjadi
manakala salah satu fihak mencondongkan sikap ke arah fihak lainnya. Dalam
bahasa metodologi disebut: “A berempati terhadap B,” sebaliknya, atau sama-
sama. Semakin majemuk FOR, semakin berbeda besaran sudut A ketimbang sudut
B, semakin sulit menemukan titiktemu X positif. Semakin berbeda besaran sudut A
ketimbang besaran sudut B, semakin jauh jalan dan jarak yang ditempuh untuk
menemukan titiktemu X positif. Titik temu terjadi entah kapan, entah di mana, jika
besaran sudut (A + B) < 180°. Titik temu positif itu jadi mustahil manakala
besaran sudut (A + B) = 180° atau (A + B) > 180°. Artinya tidak ada kompromi,
100% kategorial. Kondisi itu terjadi, manakala salah satu mensakralisasi

45
X

X1 X2

A1 ---------------- B1
jembatan Y

sudut A sudut B
A <----------------------------->B
berempati Verstehen

Gambar 34 Triangulasi Antara A Dengan B


Guna Menemukan Titiktemu X atau Garistemu A1B1
Sudut = Sikap

ideologinya sehingga baginya dua terdiri dari putih dan hitam belaka. Adakah
kemungkin terjadinya “temu” dalam kondisi besaran sudut (A + B) = 180° atau
(A + B) > 180°? Jawabannya ialah “ada,” dengan syarat, yang dicari bukan
“titiktemu” X melainkan “garistemu” Y yang pada Gambar 34 disebut “jembatan.”
Jembatan itu bisa dibangun pada setiap titik yang berseberangan pada garis AX1
dan garis BX2, yaitu titik-titik A1B1.

Satu-satunya jembatan antar(a) berbagai fihak yang FOR-nya berbeda-beda yang


dapat dilalui oleh suatu fihak tanpa berubah menjadi seperti yang lain, adalah
salingpengertian (mutual understanding). Misalnya ungkapan Jawa yang
diucapkan hari ini Jumat tgl 10, berbunyi “. . . besok. . . ,” jika oleh orang Melayu
“besok” disimak “Sabtu tgl 11,” maka dunia bisa kiamat. Si Melayu murka karena
merasa ditipu mentah-mentah. Padahal sebenarnya yang dimaksudkan oleh si Jawa
adalah “kapan-kapan.” Konflik dapat dihindarkan jika orang Melayu mengerti
ungkapan Jawa tersebut tanpa berubah menjadi orang Jawa, identitasnya tetap
orang Melayu. Demikian juga sebaliknya. Fihak-fihak yang terhubung dengan
(berjembatan) suatu pengertian, disebut saling-mengerti.

Pengertian dan saling-mengerti, cepat atau lambat dapat terbentuk dan tercapai
melalui pelbagai cara di dalam masyarakat. Salah satu cara yang dikenal dalam
metodologi adalah pembentukan pengertian dan pencapaian saling-mengerti
melalui empati (empathy, bukan emphaty). Konsep empati tidak terpisahkan

46
dengan konsep pengertian (understanding). Salah satu bentuk understanding
adalah empathic understanding yang dalam bahasa Jerman disebut Verstehen. “It
(Verstehen) must mean an act of sympathetic imagination or empathic
identification on the part of inquirers that allowed them to grasp the psychological
state (i.e. motivation, belief, intention, or the like) of an individual actor,”
demikian Schwandt. Bisa saja peneliti bermaksud mengenal seorang aktor dengan
motif ketertarikan (sympathetic imagination) dan bukan karena ingin mengenalnya
sebagaimana adanya. Menurut Max Weber, Verstehen adalah “empathic
understanding or an ability to reproduce in one’s own mind the feelings, motives,
and thoughts behind the action of others.”

Dengan menggunakan FOR pemerintah (FOR politik), seorang pejabat atau


peneliti politik dari sebuah universitas besar di Bandung bertanya (berdasarkan
laporan bahwa para PKL kembali mengais di KL semula, lokasi lama, bukan di
lokasi baru): “Seberapa besar pengaruh implementasi kebijakan relokasi terhadap
perilaku PKL,” dan bukan “Mengapa PKL kembali mengais di lokasi lama?” Oleh
karena pertanyaan itu terkait dengan implementasi kebijakan maka perhatian
pemikiran terpusat pada kebijakan dan birokrasi. Peneliti tidak perlu mengenal dan
mengerti kondisi pelanggan, karena bukankah perilaku PKL sudah diketahui, yaitu
membangkang, dan pembangkangan melawan hukum! Tidak kualitatif tetapi
kuantitatif. Jembatan antara A1 dengan B1 tidak terbangun. Angka-angka,
persentase, dan grafik, sudah cukup baginya. Mudah-mudahan melalui penelitian
pesanan berbentuk projek dengan konsultan rekanan yang beken dapat ditemukan
alasan pembenaran bahwa biaya kurang, tenaga kurang, mobil kurang, dsb,
sehingga ada dasar untuk meminta semakin banyak anggaran. . . . . Oleh sebab itu,
pertanyaan tersebutlah yang paling disukai. Tetapi seorang pejabat atau peneliti
yang menggunakan FOR pelanggan (FOR Kybernologi), bertanya “Mengapa PKL
kembali mengais di lokasi lama?” Jawaban terhadap dua macam pertanyaan itu
sangat berbeda. Jika fokus perhatian penelitian berFOR pemerintah terarah pada
implementor kebijakan, fokus perhatian penelitian berFOR pelanggan bertolak dari
pengenalan dan pengertian terhadap PKL. Sudah barang tentu, perhatian terhadap
PKL harus jernih dan cerah. PKL jangan dilihat sebagai pelanggar UU/Perda yang
harus diusir dan digelandang oleh satuan PPP, melainkan sebagai manusia yang
ingin hidup meski melarat, dan dilindungi oleh Pasal 27 (2) dan Pasal 34
UUD1945. Jawaban teoretik terhadap pertanyaan “Mengapa PKL kembali mengais
di lokasi lama?” tentu saja menyentuh si implementor: “Karena kebijakan relokasi
PKL tidak diimplementasikan. . . . . . . ” Jawaban hipotetik ini membangun
jembatan yang kokoh antara A1 dengan B1.

47
Persoalannya, bagaimana membangun jembatan? Siapa mengempati siapa?
Verstehen tentang apa atau siapa yang perlu ditemukan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Kybernologi meminjam konstruksi Ilmu
Politik yang menggambarkan body-of-knowledge (BOK) dengan model atas-bawah
(below), struktursupra dengan strukturinfra, dengan menempatkan kekuasaan di
atas dan rakyat di bawah. Rakyat yang di bawah itu berlapis-lapis. Lapis tengah
dan lapis atas ke atas biasanya kekasih kesayangan kekuasaan, karena bisa
menyumbang pajak besar, mudah dirayu dan gampang diajak bertepuktangan.
Sedangkan lapis bawah ke bawah boro-boro menyumbang, bahkan menjadi beban
bagi struktursupra, dan oleh sebab itu dianggap sampah masyarakat (tapi nyontreng
atawa nyoblos sih bisa, mangkanya sudah barang tentu kecuali menjelang pemilu!
Iya nggak?).

Seorang gembala yang kehilangan seekor di antara 100 domba peliharaannya


dalam perjalanan kembali ke kandang pada suatu saat bisa menggunakan
metodologi kuantitatif dan bisa kualitatif. Ia menggunakan metodologi kuantitatif
jika ia berargumentasi: “Domba yang hilang hanya satu persen, masih ada 99%
lagi.” Tetapi ia menggunakan metodologi kualitatif jika ia mengambil keputusan
untuk berhenti sebentar dan mencari seekor yang hilang sampai dapat.

A A
A turun secara pribadi (personally) serendah mungkin da-
ri posisinya, menempatkan diri seutuhnya setara dgn kon-
disi B dgn tulus, emik & etik, sehingga oleh B ia dite-
rima sebagai seorang sesama di antara mereka, berbuka
diri mengamati, mendengar & merekam isyarat, prilaku &
perkataan B sebagaimana adanya begitu keluar dari B tan-
pa dipengaruhi oleh A. Mengingat B heterogen, katakanlah
terdiri dari 10 sub-B, maka jika waktu yg digunakan A
= utk berbicara 10 menit, waktu yg harus disediakannya utk
mendengar, sambil merekam, 10 x 10 = 100 menit, belum
terhitung waktu yang diperlukannya untuk bersosialisasi,
membangun rapport, membangun kebersamaan melalui peri-
laku etik & emik, mengamati & merekam amatannya. A mela-
wan arus? Ya, ia tdk populer di kalangan politisi dan
birokrasi, bahkan oleh parpol ia dituduh pengkhianat.
Tetapi percayalah, 99% rakyat ada di didepannya dan se-
jarah bertinta emas terbentang di belakangnya. Ialah
Semar, ialah Nelson Mandela
B B

Gambar 35 Membentuk (Membangun) Saling-Pengertian Yang Empatik

Ini hanya ilustrasi, Tidak dipersoalkan apakah hilangnya si domba karena


kesalahannya sendiri, tidak menaati peraturan. Yang penting ialah maknanya.

48
Makna ilustrasi di atas ialah, memang keduabelah fihak bisa memulai pemasangan
jembatan dari fihaknya (B1) ke fihak lain (A1), dan sebaliknya. Namun
kenyataannya, manakah yang lebih terbuka, kemungkinan bagi seorang PKL naik
ke atas, naik dan naik lagi untuk memasuki kawasan istana negara atau halaman
balaikota untuk menyampaikan isi hatinya, ketimbang kemudahan bagi presiden
atau walikota turun, turun dan turun lagi untuk mengenal, memahami, dan
menyelamatkan manusia terhilang di liang terbawah?

Mengapa ALLAH peduli terhadap alam semesta


dan Turun melalui FirmanNYA
untuk Menyelamatkan bumi renta
dan manusia berdosa?

Peneliti bisa menggunakan Metodologi Ilmu Pemerintahan berdesain kualitatif


seperti Gambar 35. Melalui metodologi itu, mutual empathic understanding yang
sejati tentang apa saja, kemiskinan, misalnya, dapat terbentuk di dalam benak
seorang pemikir. Jika pejabat atau peneliti menempuh prosedur seperti itu, definisi
kekuasaan pasti lain. Lakukanlah!

10
BAHAN BOK: OBJEK DAN SUBJEK,
WAKTU DAN RUANG,

Pengetahuan manusia terbatas dan tergantung pada objek (sasaran yang ingin
diketahui) dan subjek (fihak yang ingin tau), waktu (time), dan ruang (space).
Objek pengetahuan dipandang dari aras abstrak (lepas dari waktu dan ruang),

ADA ADA
ADANYA BERADA
KEADAAN KEBERADAAN
KEADAANNYA KEBERADAANNYA
| |
| |
terdapat terjadi
di mana saja kapan saja
| |
------fenomena------

Gambar 36 Keadaan dengan Keberadaan


Aras Teoretik dan Aras Empirik

49
(teoretik) adalah keadaan sesuatu (keadaannya) yang ada dan bagaimana adanya,
Ada berarti exist secara objektif lepas dari kesadaran manusia. Pada aras empirik
dalam dimensi waktu dan ruang objek pengetahuan adalah keberadaan sesuatu
(keberadaannya) yang ada dan berada. Berada berarti hadir di dalam waktu dan
ruang. Walau ada jika tidak berada, mustahil diketahui secara empirik.
Adanya sesuatu dalam wujud keadaan (kualitatif dan kuantitatif), sedangkan
sesuatu berada dalam bentuk peristiwa atau kejadian. Peristiwa adalah keberadaan
melalui proses berulang, sedangkan kejadian adalah keberadaan melalui proses
sekalilalu, tidak berulang, unik, khas, kasus, satu-satunya. HUT Kemerdekaan RI
berulang setiap tanggal 17 Agustus tiap tahun (peristiwa), tetapi HUT
Kemerdekaan RI tahun 2009 tidak berulang, hanya sekali itu saja (kejadian).

---------------------------------------
| BENTUK |
|---------------------------------------|
| PERISTIWA | KEJADIAN |
----------------------------------|------------------|--------------------|
| | | 1 | 2|
| | TEORETIK | berulangtetap | ---- |
| | KEADAAN | kuantitatif | |
| ARAS |--------------------|------------------|--------------------|
| | | 3 | 4|
| | EMPIRIK | ---- | sekalilalu |
| | KEBERADAAN | | kualitatif |
--------------------------------------------------------------------------

Gambar 37 Peristiwa dan Kejadian

Setiap orang yang ada di dalam keadaan tertentu (sel 1 Gambar 37) berpeluang
untuk berada dalam situasi tertentu (sel 4). Situasi tertentu itu pada gilirannya
berfungsi sebagai variabel dependen (X) yang menimbulkan suasana (Y) tertentu.
Suatu situasi ditandai dengan titikpusat yang disebut S. Misalnya dalam situasi S1
ada mahasiswa M merasa terlempar ke dalam situasi tidak lulus ujian, namun
beroleh kesempatan mengulang dengan biaya besar. Dalam situasi lain, Sn, ada
orang (N) yang jangankan beroleh kesempatan mengulang, kuliah saja tidak. Jika
M hanya menempatkan dirinya pada situasi S1, ia mungkin gantung diri karena
kecewa atau putusasa, Tetapi andaikata M mampu menempatkan dirinya dalam
situasi Sn, ia bisa berkata kepada dirinya sendiri: “Dibanding dengan mereka, aku
masih beruntung. . . . .” Orientasi ke Sn mengubah suasana hati M dari negatif
menjadi positif.

Seseorang sadar mengenal situasi di dalam mana ia berada. Kesadaran senyaris


apapun membawa terang bagi pikiran untuk melihat sesuatu walau masih samar

50
atau tidak utuh. Melalui kesadaran, orang mengenal sesuatu, berada di dalam
waktu dan ruang. Setiap orang pada suatu waktu berada di dalam sebuah ruang
bersituasi. Itu berarti pada saat itu kesadaran manusia terisi dengan pengalaman.
Jika ia merasa sebagai bagian situasi itu, ia disebut mengalaminya. Dalam
hubungan itu, pada saat subjek mengalami objeknya, jarak antara subjek dengan
objek memendek mendekati nol, dan seiring dengan itu, subjektivitas membesar
dan objektivitas mengecil. Subjektivitas membuat pengetahuan serba relatif, daya
generalisasi pengetahuan semakin terbatas.
Suasana “samar dan tidak utuh” dan serba relatif seperti dikemukakan di atas
menggerakkan pikiran untuk melakukan penyelidikan (inquiry). Menurut John
Dewey (Logics, The Theory of Inquiry, 1955),
Inquiry is the controlled or directed transformation of an indeterminate
situation into one that is so determinate in its constituent distinctions and
relations as to convert the elements of the original situation into a unified
whole
Jika inquiry ditafsirkan sebagai proses pemikiran, maka pemikiran adalah
transformasi terkendali suatu situasi yang masih tidak menentu menjadi situasi
yang susunan dan hubungan antar bagiannya jelas, dengan mengubah unsur-unsur
situasi awal menjadi sebuah kesatuan yang menyeluruh. Proses tersebut semakin
sulit jika disadari bahwa pada suatu saat hanya sebagian kecil objek (sasaran)
pengetahuan yang terlihat dari sudut tertentu (sudut A) dengan menggunakan alat
dan cara tertentu. Katakanlah pengetahuan tentang sesuatu (objek) yang dapat
direkam oleh seseorang (subjek) dari sudut A itu, Y. Yang lain “tersembunyi,”
sangat jauh sehingga tak terlihat, bahkan menurut metodologi objek pengetahuan
tertentu hanya bisa diketahui bilamana objek itu “berkenan menampakkan dirinya
kepada manusia” (Gambar 2 dan Gambar 3). “Ada” itu bukan hanya “ada” dalam
kesadaran, tetapi juga “ada” di luar kesadaran. Apakah “ada” di dalam kesadaran
itu sama dengan “ada” yang sesungguhnya di luar kesadaran?
Di samping itu muncul kesulitan lain. Pengamatan terhadap objek yang sama ke
sudut yang lain (A1), memerlukan waktu, dan seiring dengan waktu yang
digunakan untuk itu, Y pun berubah menjadi Y1. Hal itu menunjukkan bahwa
perubahan-perubahan lingkungan eksternal dan kelemahan, keterbatasan, dan
kekurangan internal manusia, menyebabkan bahan pengetahuan yang pada suatu
saat dianggap baru, valid dan reliable, pada saat lain sudah menjadi basi, tidak
sahih, tidak dapat dipercaya, dan metode yang berhasil di lingkungan sebuah
masyarakat, ternyata gagal diterapkan di dalam masyarakat lain. Dimensi waktu
mengandung makna ya ng luas sekali. Waktu bisa berarti time (pukul berapa?),
duration (lamanya berapa menit?), kesempatan, urutan, perasaan (30 menit terasa
lama jika menunggu, terasa cepat jika sibuk), kekuatan (terhitung.mulai kapan,
sampai kapan?). Dimensi waktu sangat penting di lingkungan Ilmu Hukum. Di

51
lingkungan ini, sikap presiden SBY terhadap rekomendasi Tim 8 Kasus Bibit-
Chandra “Cicak Lawan Buaya,” merupakan antiklimaks: jurang yang sangat curam
di celah batukarang yang sangat tajam (VIVANews Rabu 25November09).
Pemikiran ilmiah tentang pemerintahan sangat rawan kekeliruan karena kebijakan
apapun yang ditetapkan, pertimbangan akademik yang melatarbelakanginya selalu
saja culture bound (David Easton, The Political System, 1953, 31) dan
implementasinya culture lag (G. A. Lundberg, Foundations of Sociology, 1956,
521; dan Emory S. Bogardus, Sociology, 1957, 576). Inilah dimensi ruang. Salah
satu spesi dimensi ini adalah bahasa pemerintahan (Bab 34 Kybernologi, 2003).
Dalam hubungan itu, jika bahasa Indonesia sekarang, di pasar maupun di
gedongan, diibaratkan sebuah rawa, maka rawa yang penuh buaya adalah bahasa
politik, bahasa pemerintah, dan bahasa peraturan, baik yang tertulis di kantor-
kantor megah, maupun yang keluar dari mulut pejabat. .

Dengan demikian, untuk sementara selesailah sudah pembicaraan tentang bahan


bangunan BOK. Di bawah ini dalam beberapa pokok bahasan, diuraikan proses
rekonstruksi bahan-bahan tersebut menjadi sebuah bangunan BOK dalam berbagai
bentuk, dari yang paling sederhana, sampai pada bentuk yang kompleks.

11
KONSTRUKSI BOK: ROH DAN RAGA

Pengetahuan berwujud roh, bukan jiwa. Jiwa terkait dengan hidup dan mati, tetapi
roh abadi. Wujud pengetahuan telah diuraikan dalam bagian 1 sd 10 di atas. Roh
itu ada dan hadir (berada, terlihat, terbaca) dalam raga yang disebut bahasa.
Bahasa adalah salah satu wujud budaya manusia (ref. Bab VIII dan Bab IX
Menuju Ke Pemikiran Kybernologi Pertanian dan Agro-Pemerintahan, 2009).
Ada tiga macam bahasa:
1. Bahasa Isyarat
2. Bahasa Tutur, dan
3 Bahasa Tulis
Bahasa Tulis berbentuk tulisan. Berdasarkan tujuan penulisannya, tulisan dapat
dikelompokkan menjadi
1. Tulisan Ilmiah, yaitu tulisan yang bertujuan menyebarkan,
mengembangkan dan mewariskan (BOK) pengetahuan dari generasi ke
generasi, dan disusun menurut bentuk dan cara tertentu
2. Tulisan Nonilmiah, yaitu tulisan lainnya .
Tulisan Ilmiah meliputi:

52
1. Tulisan Ilmiah Formal, yaitu tulisan ilmiah yang oleh suatu institusi
ilmiah (akademik) ditetapkan sebagai syarat untuk dapat memperoleh
suatu nilai akademik. Oleh sebab itu, isi, bentuk, prosedur, cara
penyusunan, teknik penulisan, pengujian, penilaian, dan sebagainya,
ditetapkan oleh institusi akademik yang bersangkutan.
2. Tulisan Ilmiah Nonformal
Tulisan Ilmiah Formal pada hakikatnya merupakan laporan
pertanggungjawaban ilmiah (akademik)
1. Warga institusi akademik yang bersangkutan terhadap institusinya untuk
dapat memperoleh nilai dan atau status akademik tertentu
2. Institusi yang bersangkutan terhadap masyarakat pelanggan dan
lingkungan hidupnya. Tulisan ini disusun secara mandiri (bukan
pesanan) oleh institusi yang bersangkutan untuk dapat dinyatakan
berhasil (Invention and Innovation, Movement and Reforms)
menyelesaikan tugas atau program akademik tertentu (Research and
Development, Public & Civil Service): Tridharma Perguruan Tinggi
Tulisan Ilmiah Formal yang diwajibkan bagi warga atau bakal warga institusi
akademik berdasarkan tujuan penulisannya adalah Tulisan Ilmiah Formal yang
diwajibkan
1. Untuk dapat dianugerahi status atau derajat akademik tertentu,
2. Untuk dapat dinyatakan berhasil menyelesaikan tugas atau program
institusional tertentu yang bersifat internal institusi (Laporan
Pertanggungjawaban Penyelesaian Tugas)
3. Sebagai bukti kelayakan untuk memangku jabatan akademik tertentu
(misalnya jabatan akademik tertinggi GuruBesar). Tulisan ini (Orasi)
diucapkan pada saat upacara pengukuhan jabatan yang diperoleh tenaga
yang bersangkutan dalam Rapat Senat Terbuka
Tulisan Ilmiah Formal untuk dapat dianugerahi status atau derajat akademik
tertentu meliputi:
1. Term Paper, yaitu tulisan yang diwajibkan kepada seorang atau
sekelompok mahasiswa sebagai bagian kurikulum, untuk dapat lulus
matakuliah tertentu
2. Status Report (Laporan Akhir Studi) yaitu tulisan yang diwajibkan
kepada seorang atau sekelompok mahasiswa untuik dapat dinyatakan
berhasil menyelesaikan suatu program akademik tertentu
3. Tulisan yang diwajibkan kepada seorang mahasiswa sebagai syarat untuk
dapat dianugerahi derajat (gelar) akademik tertentu. Di Indonesia saat ini
tulisan itu disebut Skripsi untuk gelar Sarjana (Program Stratum 1),
Tesis untuk gelar Magister atau Master (Program Stratum 2), dan
Disertasi untuk gelar Doktor (Program Stratum 3)

53
4. Termasuk dalam konsep Disertasi adalah Naskah Orasi (atau apapun
namanya) yang disusun oleh tim promotor yang dibentuk oleh suatu
institusi akademik untuk diucapkan oleh seseorang tenaga akademik atau
yang dianggap layak dipromosikan dan dianugerahi kehormatan
akademik tertinggi (Doktor Kehormatan) oleh institusi akademik yang
bersangkutan, mengingat nilai besar yang telah disumbangannya bagi
pengembangan dunia akademik dan atau kesejahteraan umat manusia

Tulisan formal butir 1, 2, dan 3, dimaksudkan sebagai matarantai proses belajar-


mengajar guna membentuk pola perilaku akademik warga yang bersangkutan

Tabel 2 Bobot Tulisan Ilmiah Formal

-----------------------------------------------
| BOBOT LAPORAN
|-----------------------------------------------
| LA | SKRIPSI | TESIS | DISERTASI
--------------------------|-----------|-----------|-----------|-----------
| | MEMBANGUN | | | |
| | DAN MEMPER- | XX | --- | --- | ---
| | KAYA JOB | | | |
| |--------------|-----------|-----------|-----------|-----------
| | MENCARI & | | | |
| TEORI | MENEMUKAN | -- | XXX | XXX | XXX
| BERFUNGSI | INFORMASI | | | |
| SEBAGAI |--------------|-----------|-----------|-----------|-----------
| ALAT | MENEMUKAN | | | |
| UNTUK | SOLUSI THD | -- | --- | XXX | XXX
| | MASALAH | | | |
| |--------------|-----------|-----------|-----------|-----------
| | MENEMUKAN | | | |
| | NILAITAMBAH | -- | --- | --- | XXX
| | IPSTEK | | | |
--------------------------------------------------------------------------

tatkala ia bekerja sebagai ilmuwan dan profesional kelak di dalam masyarakat


selesai dari bangku sekolah. Tiga macam tulisan ilmiah formal itu mengandung
substansi yang sama, namun intensitasnya berbeda (Tabel 2). Mengingat kandidat
Doktor telah menempuh pendidikan strata sebelumnya, maka kualitas akademik
Doktor bersifat kumulatif. Kebijakan pendidikan yang secara bertahap mengarah-
kan pendidikan strata tersebut secara linier (Gambar 38), sejalan dengan Tabel 2.

Tulisan Ilmiah Nonformal adalah komoditi intelektual. Sama seperti komoditi


lainnya, baik Tulisan Ilmiah Formal maupun Tulisan Ilmiah Nonformal disusun,
diproduksi, dipasarkan, dan diwariskan berdasarkan kebutuhan dan tuntutan masa
depan, dengan tetap menjunjung tinggi Kode Etik Profesional Kybernologi

54
jangan begini: apalagi beini: tetapi begini:
(ordinal) (nominal, zig-zag) (interval)

S3 ------>S3 S3
| | ilmu X |
| | |
| | |
| | S2
| | |
S2 ------>S2 |
| | ilmu Y |
S1 S1 S1
ilmu X ilmu Z ilmu X

Gambar 38 Skala DM Program Strata Ilmu Pemerintahan

sebagai berikut:

----------------------------------------------------------------------------------------------------
KODE ETIK PROFESIONAL KYBERNOLOGI

KAMI, PEMBELAJAR KYBERNOLOGI,


PROFESIONAL PEMERINTAHAN,
PERCAYA BAHWA

1
Seperti halnya cabang ilmu pengetahuan lainnya, Kybernologi
bersumber dari Kuasa dan diamalkan untuk menyatakan
Kasih ALLAH, TUHAN YANG MAHAESA,
bagi sesama Manusia dan Lingkungan, melalui Profesi Pemerintahan

2
Ilmu Pemerintahan (Bestuurskunde yang kemudian hari berkembang
menjadi Bestuurswetenschap dan Bestuurswetenschappen) adalah “ilmupengetahuan
yang bertujuan memimpin hidupbersama berkelanjutan manusia
ke arah kebahagiaan yang sebesar-besarnya,
tanpa merugikan orang lain secara tidak sah”

3
Secara formal, Kybernologi adalah bangunan pengetahuan (body-of-knowledge)
hasil rekonstruksi buah pendaratan Ilmu Pemerintahan
yang semula tersebut di bumi Indonesia pada sudutpandang kemanusiaan,
tidak pada sudutpandang kekuasaan,
dan pengaitannya dengan berbagai sudutpandang lain yang berbeda

55
OLEH SEBAB ITU, KAMI, PEMBELAJAR KYBERNOLOGI,
PROFESIONAL PEMERINTAHAN
BERIKRAR

1
Menegakkan kemerdekaan berpikir dalam belajar Kybernologi
dan senantiasa menggunakan pertimbangan hatinurani
dalam menjalankan profesi pemerintahan
dengan penuh rasa tanggungjawab

2
Mengabdikan profesi pemerintahan
bagi terwujudnya Bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika

3
Mengajarkan Kybernologi guna menanamkan sistem nilai
dan membentuk tenaga-tenaga profesional pemerintahan di dalam masyarakat

4
Melakukan penelitian Kybernologi untuk mengejar kebenaran ilmiah
dan tidak untuk mencari alasan pembenaran (atas) suatu hal

5
Mengembangkan dan mewariskan Kybernologi,
tanpa pengrahasiaan, pemalsuan, dan penyalahgunaan,
dalam rangka menjawab tuntutan perubahan zaman

6
Menjunjung tinggi keluhuran profesi pemerintahan, kebenaran ilmiah,
dan kehormatan diri selaku profesional pemerintahan

Jakarta, 11 Desember 2009


HUT III YKI

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Perbandingan tentatif antara Tulisan Ilmiah Formal dengan Tulisan Ilmiah


Nonformal sebagai berikut (Tabel 3).

56
Tabel 3 Tulisan Ilmiah Formal dan Nonformal

-----------------------------------------------------------------------------
DIMENSI TULISAN ILMIAH FORMAL TULISAN ILMIAH NONFORMAL
-----------------------------------------------------------------------------

1 Status Syarat utk dianugerahi Komoditi pasar


status akademik atau bukti
kelayakan jabatan akademik

2 Peran Pembelajaran, masukan bagi Dapat langsung digunakan/


proses kebijakan publik/ diterapkan
bisnis

3 Kekuatan Hukum Tidak dapat dijadikan alat Dapat dijadikan alat bukti
bukti di Pengadilan di Pengadilan

4 Fihak terlibat Tiga fihak: Warga, Lembaga Tiga fihak: Penulis (Penga-
dan Pelanggan lembaga rang), Penerbit, dan Pembaca

5 Pengatur Institusi Akademik terkait Tradisi akademik dan pasar

6 Penulis Warga, Kelompok Warga, Ilmuwan, otodidak


Institusi terkait profesional

7 Sumber bahan Penelitian (Research) Hasil studi pada umumnya

8 Nilai Akademik Ekonomi bisnis

9 Publikasi Sangat terbatas Umum, pasar

10 Penguji Institusi, Masyarakat Masyarakat

11 Sifat Terbuka untuk kritik Bergantung pasar


akademik

12 Pemegang HAKI Institusi terkait Penulis dan atau Penerbit

-----------------------------------------------------------------------------

Genealogi tulisan dapat diringkas demikian:

57
--isyarat --nonformal
| | instan- bukti
bahasa--|--tutur --ilmiah--| --sional --kela-
| | | | ke luar | yakan
--tulis--| --formal--| |
| | warga | bukti --term
--nonilmiah --ke ------|--keber- | paper
dalam | hasilan |
| |--status
| syarat | report
--penganu- -|
gerahan |--skripsi,
| tesis
| disertasi
|
--orasi

Gambar 39 Genealogi Tulisan

Fungsi tulisan. Tulisan berfungsi, baik bagi penulis maupun bagi pembacanya.
Khusus bagi penulisnya, tulisan berfungsi sebagai:
1. Satu di antara tiga matarantai utama yang terlihat pada (raga) proses
belajar-mengajar (learning process) adalah membaca, menulis, dan
menerangkan, dengan model
membaca----->menulis----->menerangkan
2. Cermin: setiap orang berkaca (“ngaca”) pada tulisannya
3. Alat komunikasi ilmiah antar pelaku dan institusi akademik
4. Informasi ilmiah
5. Warisan ilmiah
6. Sumber akademik antar generasi
7. Produk dan komoditas intelektual
8. Karya seni: produk artistik dan kreatif dengan kualitas mandiri, orisinal,
langka, inovatif, dan unik
9. Rekaman (bukti) perkembangan intelektual masyarakat dan perubahan
kondisi pribadi penulis (misalnya, ketikan yang salah menunjukkan
kekurangtelitian atau ketergesa-gesaan)
10. Laporan pertanggungjawaban penulis kepada atasan atau masyarakat
11. Sasaran dan alat penilaian tentang kualitas akademik seseorang
12. Alat sosialisasi penulis dengan lingkungannya
13. Bahan ajaran (teaching material)
14. Bahan publikasi. Semboyan “Publish or Perish!” menunjukkan betapa
pentingnya publikasi karya tulis sendiri. Nilai akademik publikasi jauh
lebih tinggi ketimbang nilai ekonomibisnisnya

58
12
KONSTRUKSI BOK: BEBERAPA PERTIMBANGAN

Konstruksi BOK disebut juga desain BOK. Sama seperti bangunan fisik,
konstruksi bangunan pengetahuan (BOK) ditentukan oleh beberapa pertimbangan:
1. Hakikat BOK
2. Fungsi BOK (untuk apa dan untuk siapa bangunan didirikan, tujuan),
3. Hubungan antar BOK
Hakikat BOK terdiri dari lima pilar:
1. BOK sebagai representasi (sampel) dunia yang diketahui (populasi,
universe, the known).
2. BOK merupakan ekspresi (pernyataan diri, ekspresi tentang sesuatu),
dengan menggunakan cara/alat tertentu)
3. BOK adalah seperangkat alat menghadapi (memecahkan, mengatasi, dan
menyelesaikan masalah)
4. BOK sebagai simbol sesuatu di belakang atau di dalamnya, mungkin
sebuah rahasia, sebuah misteri, atau sebuah maksud yang tersembunyi
(udang di balik batu)
5. BOK tidak lain dan tidak bukan, adalah tanda yang disepakati bersama
dan ditaati, untuk membedakan satu dengan yang lain, atau sebuah isyarat
guna menunjukkan sesuatu
Rekonstruksi pengetahuan menjadi BOK bertujuan meningkatkan kualitas
pengetahuan (knowledge) menjadi ilmu (ilmupengetahuan, science). Pengetahuan
berkualitas ilmu manakala BOK mampu berfungsi sebagai alat/cara untuk

1. Mengidentifikasi suatu objek. Semakin tua dunia, semakin aneh


perilakunya. Semakin jauh orang berjalan, semakin banyak yang dilihat.
Semakin sering keluar pertanyaan “Apa ini,” “apa itu?” kemampuan
mengidentifikasi sesuatu objek keingintahuan (curiosity), semakin
penting. Alat untuk mengidentifikasi sesuatu adalah konsep (concept).
Semakin definitif konsep, semakin tajam ia mengidentifikasi. Formula
umum hasil identifikasi berbunyi “A adalah B yang C.” Definisi itu
menunjukkan keadaan A. “Spidol (A) adalah alat tulis (B) buat
whiteboard (C).” Dari sini objek yang satu dengan objek yang lain mulai
dapat dibandingkan dan dibedakan
2. Mendeskripsi sesuatu objek. Orang tidak cukup hanya mengetahui
bahwa suatu A, ada. Lebih jauh perlu dikenal keberadaannya (Gambar
36). Pengenalan keberadaan (karakteristik) A itu bermula pada penggalian
kualitasnya (Gambar 7), sampai pada nilai dan norma. Semakin terungkap
karakteristik suatu objek, semakin kualitatif pengenalan terhadap objek

59
itu. Dalam bahasa kualitatif, kualitas itu ditimbang guna diberi nilai,
sedangkan dalam bahasa kuantitatif disebut dimensi yang akan diukur
baik langsung ataupun tidak. Sebagaimana halnya definisi, kualitas juga
bisa berubah dari waktu ke waktu dan berbeda yang satu dibanding
dengan yang lain
3. Menjelaskan hubungan antar objek. Penjelasan hubungan antar konsep
merupakan inti Teori Hubungan, sementara Teori Hubungan adalah
nyawa konstruksi BOK. Itulah sebabnya pertanyaan pemikiran “Apa ini,”
“apa itu?” disusul dengan pertanyaan “Adakah hubungan antara. . . . .
dengan . . . . . .?” baru kemudian pertanyaan “Jika ada, bagaimana sifat
hubungan itu?” Korelasional? Kausal?
4. Meramal (memprediksi) apa yang akan terjadi atau apa yang dapat
terjadi. Terjadinya sesuatu merupakan sebuah proses. Proses dalam

1 a 2 b 3 c 4 d 5
---> LK ------------> IP ------------> TP ------------> OP ------------> LK ---
| info kebijakan implementasi “marketing” |
| distribusi |
| |
j -- komunikasi penggunaan -- e
| |
| |
| b<g pembandingan pemantauan manfaat, guna |
---- FB <----b=g---- HEV <------------ EV -------------MON <-------------OC ---
10 b>g 9 h 8 g 7 f 6
i

Gambar 40 Proses Pemerintahan (Sistem Terbuka). 1LK lingkungan sebagai sumber,


IP input, TP throughput, proses OP output, 5LK lingkungan sebagai pelanggan,
OC outcome, MON monitor, EV evaluasi, HEV hasil evaluasi, FB feedback

Kybernologi tidak linier (input-throughput-output saja) tetapi sirkuler atau


siklik. Circle atau cycle (cyclic) itu menurut hukum sistem (Gambar 40).
Sesuatu disebut “akan terjadi” jika terjadinya pasti, tinggal menunggu
waktu. Semua variabel terkendali (misalnya di dalam laboratorium),
termasuk waktu. Sistem tertutup. Disebut “dapat terjadi” bilamana

X ---------> ?
Apa yang akan terjadi

X ----- X1 -----> ?
Apa yang dapat terjadi

Gambar 41 Peramalan (ke Depan)


X1 adalah Conditio Sine Qua Non

60
berbagai contingent factors, termasuk waktu dan conditio sine qua non
lainnya tersedia dan bekerja. Peramalan harus memeperhatikan dan
memperhitungkan setiap terminal dan rute sistem (Gambar 40). Model
peramalan seperti Gambar 41
5. Mendiagnosis penyebab terjadinya sesuatu. Bagi banyak orang,
terutama lapisan elit yang hidupnya senang dan gemerlap, sesuatu yang
ada dan berada, dipandang sebagai sesuatu yang “given,” yang hak, tidak
perlu dipertanyaakan, yang diterima sebagai keistimewaan. Mereka tidak
perlu bertanya “Mengapa? Bagi sebagian lagi, walau tidak terucapkan
karena takut, malu, atau pasrah, pertanyaan itu selalu mendera. Ingin
keluar dari dinanestapa. Diagnosis bermula dari anggapan bahwa dunia
yang diketahui (the known, Y) adalah akibat (konsekuensi, dampak)
sesuatu penyebab (faktor) yang belum diketahui. Bukan hanya sekedar
bertanya “Mengapa. . . . .?” atau “Faktor apa. . . . . . . ?” tetapi lebih
daripada itu, ingin tau penyebab dengan harapan, pengetahuan tentang
penyebab mengarahkan pemikiran pada solusi atau terapinya. Dengan
perkataan lain, pertanyaan “Mengapa. . . . .” mengarahkan pemikiran pada
hubungan kausal.

? ---------> Y
faktor apa yang menyebabkan Y
? ---------- ? ---------- Y
Y yang sama disebabkan oleh faktor yang berbeda-beda

Gambar 42 Diagnosis (ke Belakang)

Kombinasi Gambar 40 dengan Gambar 41 menunjukkan model kausal


eksplanatori lengkap sebagai berikut:

X -----X1-----> Y

Gambar 43 Model Kausal Lengkap

6. Mengujicoba suatu gagasan, kebijakan atau rencana berisi sistem


nilai tertentu, berdasarkan desain yang lazim disebut desain
eksperimental. Campbell dan Stanley dalam Experimental and Quasi-
Experimental Designs for Research (1966) mendefinisikan desain itu
sebagai “. . . . portion of research in which variables are manipulated and
their effects upon other variables observed.” Pada garisbesarnya, unsur

61
desain eksperimental mirip desain kausal di atas (Gambar 41).
Perbedaannya terletak pada variabel bebas. Pada model kausal, X diteliti
sebagaimana adanya, given, sedangkan pada model eksperimental,
variabel tersebut dimanipulasi (direkayasa dengan sengaja), diberlakukan
secara sadar, untuk kemudian efeknya terhadap variabel tergantung
diamati dengan teliti. Ada empat unsur khusus desain eksperimenntal.
a. Perlakuan (treatment), yaitu variabel bebas yang hendak diujicobakan,
diberi simbol X
b. Rancangan waktu, yaitu waktu yang ditetapkan dan diperlukan untuk
perlakuan, diberi simbol T
c, Kelompok Tes (yang diberi treatment) dan Kelompok Kontrol (yang
tidak diberi treatment), diberi simbol Rt dan Rk (R = responden).
Kelompok Kontrol berfungsi sebagai tolok ukur
d. Observasi (sebelum, sepanjang, dan sesudah treatment) diberi simbol
Ob, Oc, dan Oa
Ujicoba tidak diberitahukan kepada responden, dan dijalankan seolah-olah
kegiatan rutin, supaya perilaku responden serealistik mungkin, tidak
terpengaruh, namun bisa juga diberitahukan atau disosialisasi, jika
lingkungan hendak diubah (ref Taliziduhu Ndraha, Bab V Desain Riset,
1987)
7. BOK harus mampu membangun dirinya sendiri secara heuristik.
Kekuatan sentripetal dari luar
(Politik---->Pemerintahan ----> Politik Pemerintahan)
diimbangi dengan kekuatan sentrifugal dari dalam
(Kybernologi---->Politik ----> Kybernologi Politik)
Dengan demikian, pada suatu waktu di depan, Pohon Kybernologi ada dua
batang. Pohon pertama yang ada sekarang seperti tertera di h. xxxvi
Kybernologi (2003) dan Kybernologi Beberapa Konstruksi Utama (2005,
h. 19) yang tumbuh dan berbuah oleh kekuatan sentripetal (Politik
Pemerintahan), dan pohon kedua yang tumbuh dan mulai berbuah oleh
kekuatan sentrifugal (Kybernologi Politik). Buah kedua pohon itulah yang
pada suatu saat menunjukkan Kybernologi berada pada paradigma normal
di dalam masyarakat ilmupengetahuan
8. Sama seperti manusia, BOK harus siap mengontrol dirinya (“check-up”)
secara menyeluruh, agar BOK tetap sehat, kuat, dan tetap berperan dalam
menghadapi perubahan pesat dan tidak menentu (selalu pada posisi
normal science) di depan. Jika perlu, BOK merekonstruksi durinya,
seperti halnya Ilmu Pemerintahan, dari BOK yang bagian Ilmu Politik
menjadi Kybernologi. Memang, seperti halnya semua “makhluk hidup,”
terkadang grafik kehidupan fluktuatif (turun-naik), maju-mundur, dan

62
timbul tenggelam, tak terhindarkan. Yang penting adalah kesiapan
mengantisipanya: BOK serba-cuaca.

Keseluruhan ilmupengetahuan membentuk sebuah masyarakat: masyarakat


ilmupengetahuan. Di dalamnya termasuk Seni dan Teknologi. Hubungan antar
BOK analog dengan hubungan antar warga (hubungan antar BOK) di dalam
sebuah masyarakat. Dalam hubungan itu, setiap BOK perlu membangun
hubungan (akses) dengan BOK lainnya, ebagai wadah dan jalur bekerjasama dan
saling kontrol antar BOK. Sudah barang tentu, dalam praktik, kerjasama antar
BOK berarti kerjasama antar institusi, komunitas ilmuwan, dan pelaku BOK terkait
dalam masyarakat ilmupengetahuan

13
KONSTRUKSI BOK: PERTANYAAN

Konstruksi BOK bermula pada kesadaran. Suatu saat pojok yang sebelumnya bagi
seseorang gelap, apakah secara berangsur ataupun mendadak, terang-benderang.
Itu membuatnya berteriak “Eureka!” Ia melihat sesuatu: ia sadar, ia mengetahui,
namun ia bimbang. Prosesnya sebagai berikut:
1. Dari gelap (tidak tau) menjadi terang (tau)
2. Dalam terang ia melihat sesuatu hal (John Dewey, How We Think, 1933)
3. Ia melihat adanya sesuatu yang lain
4. Ia dapat membedakan sesuatu itu dengan sesuatu yang lain (the sense of
discrimination); ia melihat perbedaan antara keduanya
5. Dapat saja ia membiarkan pengalamannya itu berlalu, tetapi ia memilih
untuk mengamatinya: ia tertarik, ia ingin tau (curious). Max Black
“Observation and Experiment,” dalam Maurice Mandelbaum, Francis W.
Grammlich, dan Alan Ross Anderson, eds, Philosophic Problems (1958)
menyatakan: “. . . . If one trait, more than any other, is characteristik of the
scientific attitude, it ia reliance upon the data of experience.” Inilah dasar
sikap ilmiah (scientific attitude). Sikap ilmiah berlanjut pada sikap ragu-
ragu (skeptis, skeptic, skepticism), namun yang ditempuh adalah sikap
positif (positive thinking, “setiap celaka ada gunanya), yang berbuahkan
skeptisisme positif, bukan skeptisisme negatif pesimistik. Mengapa
skeptis? Karena seringkali kenampakan (appearance, kedua rel keretaapi
di kejauhan terlihat bertemu kedua ujungnya) tidak sesuai dengan realitas
(reality, yang sesungguhnya), demikian Bertrand Russell, “Philosophy
and Common Sense,” dalam Mandelbaum di atas
6. Ia mengamati apa yang terjadi pada yang lain jika yang satu berubah

63
7. Ternyata yang satu berkaitan dengan yang lain
8. Ia mengamati sifat hubungan tersebut, di bawah kondisi mana sifat itu
terlihat, dalam hal apa saja hubungan itu berlangsung, sejauh mana
kebenarannya? Skeptisisme positif berubah menjadi sikap kritis (Greek
krinein, Ingg. to judge, discern, menimbang; lalu kritikos, criticus,
critique, dan critisism).

Dengan kesadaran, keingintahuan, ketidakpastian, ketidakjelasan, keragu-


raguan untuk menerima begitu saja apa yang dianggap diketahui, dan
kesenjangan antara das Sollen dengan das Sein, membentuk sebuah jaringan
pertanyaan demi pertanyaan yang pada gilirannya menuntut jawaban demi
jawaban. Boleh dikatakan, tanya-jawab yang tak berkesudahan itulah yang
menggerakkan dan mendorong proses knowing manusia, memperluas dan
memperdalam ruang the known. Setiap hal yang mengandung, menunjukkan, atau
membangkitkan keingintahuan, ketidakpastian, ketidakjelasan, keragu-raguan, dan
kesenjangan, disebut bermasalah. Proses yang perlu ditempuh guna menemukan
masalah, disebut permasalahan:

---WHAT---
---KEINGINTAHUAN---- | |
| | |---WHY----|
|---KETIDAKPASTIAN---| | |
| | YANG DI- |---WHERE--|
DATA--->INFO---|---KETIDAKJELASAN---|--->PERTA- ----|----------|--->MASALAH
| | NYAKAN |---WHEN---|
|---KERAGU-RAGUAN----| | |
| | |---WHO----|
---KESENJANGAN------ | |
---HOW----

pernyataan pertanyaan

--------------------------------PERMASALAHAN-------------------------------->
input throughput output

Gambar 44 Permasalahan

Jika pemikiran didasarkan pada pendakat Max Black di atas, maka permasalahan
adalah infrastruktur setiap BOK. Permasalahan yang menjadi pertimbangan utama,
bangunan seperti apa yang dapat atau perlu dibangun di atasnya. Sudah barang
tentu, berbeda halnya jika pemikiran didasarkan pada pendekatan spekulatif seperti
Will Durant yang telah dikutip di atas, yang menyatakan bahwa setiap ilmu
berawal dari Filsafat dan berakhir sebagai Seni. Atau seperti Gustav Bergmann

64
dalam Philosophy of Science (1958, 31, 35). Bagi para pemikir spekulatif, fondasi
bangunan adalah dalil, scientific laws, axioma, theorema (a sight, theorein, to look
at, theoria, pegangan, dan anggapan-dasar).

Masalah ada dalam bentuk pernyataan, dan berada (hadir) dalam bentuk
pertanyaan (Gambar 44). Pertanyaan hadir untuk dijawab. Dengan menggunakan
model Gambar 44, maka menjawab pertanyaan melalui pemikiran berarti
pemikiran bertujuan:
1. Mencari, mengejar, dan berupaya mengetahui sesuatu yang dapat
menjawab pertanyaan yang bersangkutan: memenuhi rasa ingin tau
2. Memastikan, menepatkan, dan meningkatkan akurasi jawaban:
mengurangi ketidakpastian
3. Menjelaskan, menerangkan: mengurangi ketidakjelasan
4. Memilih yang terbaik: mengurangi keragu-raguan
5. Merancang langkah-langkah pengurangan kesenjangan

Tidak setiap pertanyaan memerlukan jawaban yang ditemukan melalui pemikiran


metodologikal. Tingkat kebutuhan akan jawaban metodologikal bergantung pada
dua hal, yaitu jarak konseptual (horizontal) dan tingkat abstractness konsep
(vertikal), lihat Gambar 21. Semakin jauh jarak konseptual antar konsep, semakin
berat masalah yang dihadapi, dan semakin layak untuk dipikirkan. Semakin tinggi
tingkat abstractness konsep terkait, semakin sulit mengejar, memastikan, dan
menjelaskannya. Semakin abstrak konsep dan semakin jauh jarak konseptual,
semakin besar jawaban yang dibutuhkan. “Dahaga” dengan “minum” (air) adalah
konsep yang tingkat abstractness-nya rendah. Tidak diperlukan pemikiran
mjendalam untuk menerangkan bahwa dengan minum air, dahaga hilang. Jarak
konseptual antara dua konsep itu juga sangat dekat dengan derajat kepastian yang
tinggi. Tetapi “dahaga” akan pengetahuan dengan “minum” dari proses belajar-
mengajar, adalah dua konsep dengan tingkat abstractness tinggi dan jarak
konseptual yang jauh. Belum lagi kemungkinan bahwa semakin seseorang merasa
tau, semakin ragu dia bahwa dia tau, semakin tau dia bahwa semakin banyak yang
dia tidak tau.

Di antara enam pertanyaan pada Gambar 44 (“5W1H”), ada tiga yang terpenting,
yaitu “apa,” “mengapa,” dan “bagaimana.” Pertanyaan “apa” mengarahkan
pemikiran pada fenomena (objek) yang mengandung kegelapan (ketidaktahuan),
ketidakpastian, ketidakjelasan, keragu-raguan, dan kesenjangan, dan pada aspek
fenomena yang dipertanyakan, “apa yang terjadi atau terlihat.” Katakanlah,

65
Tabel 4 Beberapa Model Bangunan Masalah

---------------------------------------------------------------------------
MODEL DESAIN DEFINISI MASALAH HIPOTESIS
---------------------------------------------------------------------------

? eksplo- menemukan sesua- apakah ? itu? ---


ratif tu yg baru/lain ? disebut Y

Y deskrip- mengamati Y pada bagaimana Y ---


tif suatu saat T pd saat T?

YYY deskrip- mengamati peru- bagaimana Y berubah


tif long- bahan Y selama perubahan Y Y tidak ber-
itudinal periode T selama T? bah

Y : A evalua- mengukur Y de- sejauh mana Y Y = A; Y < A;


tif ngan A diukur dgn A? Y > A

X,Y kompa- mencari persamaan/ adakah/apakah persamaan/per-


--- = Z ratif perbedaan antara persamaan dan bedaan adalah
A X dgn Y, atau idem perbedaan an- Z; atau idem
berdasarkan A tara X dg Y?, berdasarkan A
atau idem ber adalah Z
dasarkan A?

? ---- Y kasus merekonstruksi bagaimana ter ---


(Y amat- kejadian/gejala ? jadinya ? se-
an per- yg indikasinya Y cara utuh?
tama) secara utuh

X ---- Y korela- X berubah, Y ber- adakah hubu- ada hubungan


sional ubah pd periode ngan antara X antara X dgn Y:
yang sama dgn Y?; jika semakin. . . X,
ada bgmn si- semakin. . . Y
fat hubungan jika X berubah
itu? Y pun berubah

X ---> Y kausal mencari X lain adakah X lain, X mempengaruhi


yg mempengaruhi Y seberapa kuat Y dgn cara ter-
(sufficient, con- pengaruh X tentu;
tingent, dan pro- thd Y; dan jika X = C,
ses pengaruhnya dgn cara apa? maka Y = D

? ---> Y diagno- sesuatu menyebab- mengapa Y ter Y terjadi kare-


stik kan terjadinya Y jadi?; bagai- na X; Y terben-
(mencari X) mana memben- tuk jika X di-
tuk Y? lakukan

X ---> ? predik- X menghasilkan apa dampak X? jika X dilaku-


tif, ex- (membawa) suatu jika X dila- kan, Y terjadi
peri- dampak (akibat, kukan, apa yg (if. . . ,
mental konsekuensi, dsb; terjadi? then. . . )
mencari Y)

66
X1- kausal X1 dan Xn ber- seberapa kuat X mempengaruhi
| multi- sama mempengaruhi pengaruh to- Y secara lini-
|-->Y variat Y dgn cara apa; tal dan tiap er, linier ber
| X + Xn = total X thd Y, dan ganda atau ja-
Xn- faktor dgn cara apa? lur

X--?-->Y kausal X tak langsung apakah Z itu? X mempengaruhi


inter- mempengaruhi Y; adakah Zn? bg- Y melalui Z
vened mencari Z mn X mempenga-
ruhi Y?
---------------------------------------------------------------------------
Lihat Bab VII Kybernologi Sebuah Metamorphosis (2008)

jawaban terhadap pertanyaan “apa” itu adalah “Y.” Terhadap “Y” pada gilirannya
dapat diajukan “5W1H.” Misalnya “Hal apa yang berhubungan dengan “Y,”
“adakah hubungan antara “Y” dengan sesuatu hal lain, dan jika ada “bagaimana
sifat hubungan itu,” “seberapa kuat” hubungan itu,” “hubungan itu signifikan di
bawah kondisi seperti apa,” dan seterusnya. Modelnya -----Y----- . Pertanyaan
“mengapa” membawa pemikiran terarah ke hubungan kausal antara “Y” dengan
satu atau beberapa “hal yang menyebabkan, melatarbelakangi atau melatardepani
keberadaan atau terjadinya “Y” itu. Penyebab (faktor) kejadian atau latar
keberadaan “Y” itu disebut saja “X.” Jadi modelnya X----->Y. Pertanyaan
“bagaimana” diajukan untuk mengetahui “proses atau perihal kejadian atau
keberadaannya,” “lokasi,” “waktu,” dan “pelaku,” dengan model: X---?--->Y.

Tabel 4 menunjukkan beberapa model bangunan masalah. Model X----->Y


dalam arti dengan alasan tertentu memasangkan Y dengan suatu X tertentu, oleh
Herman Soewardi dalam Prapasca S3 Ilmu-Ilmu Sosial (Bandung, Agustus 2005,
ref. Bab XV Kybernologi Beberapa Konstruksi Utama, 2005) disebut spurious:

Adapun kesalahan metodologi yang paling fatal adalah level pemikiran yang
tak meningkat, ialah tetap pada level pemikiran S2, dengan studi-studi yang
bersifat verifikatif tanpa dasar. (Oleh mahasiswa) Diupayakan agar
ditemukan hubungan antara 2 dan tiga variabel, secara signifikan,
berlandaskan uji statistikal tertentu. Ini adalah variabel-variabel yang
dipasang-pasangkan tanpa landasan teori yang benar. Maka bila ada suatu
hubungan kausalitas yang signifikan, karena tanpa landasan teori yang
“sound,” kajian itu bersifat spurious atau kosong. ……. (h. 11)

Dengan uraian ini, mudah-mudahan tidak lagi terjadi “asal pasang” saja,
yang biasanya kini terjadi pada tingkatan S2, bahkan terus terjadi pada
tingkat S3. “Asal pasang,” suatu hubungan antara X dengan Y tanpa
dilandasi dengan teori hanya akan menghasilkan hubungan yang spurious,

67
atau suatu signifikansi tanpa dasar logika (h. 12)

Yang dimaksud oleh pakar Filsafat Ilmu dan Sosiologi Pertanian ini dengan
hubungan yang spurious adalah bangunan pertanyaan antara X dengan Y tanpa
teori yang menjelaskan mengapa X yang dihubungkan dengan Ydan bukan X1,
adakah hubungan (kausal) antara X dengan Y, dan jika ada, bagaimana X
mempengaruhi Y atau bagaimana Y dipengaruhi oleh X, yaitu faktor-faktor yang
oleh gurubesar senior UNPAD tersebut diberi nama contingent factors (variabel
Z).

Pemasang-masangan sembarangan itu di beberapa kalangan akademik diikuti


dengan pertanyaan: “Seberapa besar pengaruh X terhadap Y,” dan seterusnya,
seperti telah diuraikan di atas. Hubungan kausal itu kemudian memang teruji,
koefisien dan signifikansinya dapat dihitung menurut analisis statistik. Setiap
konstruksi teoretik yang dimulai dari pemasang-masangan secara sembarangan
dua atau lebih konsep atau variabel sebagai dasar bagi konstruksi kerangka
pemikiran: X----->Y adalah spurious. Sifat spurious berarti 1. not genuine,
authentic, or true; 3. having a similar appearance but a different structure. –
synonim false, sham. Teruji, tetapi kosong, tidak sesuai dengan fakta. Kepalsuan
itu terlihat jika pemikiran mengikuti alurpikir yang genuine. Alurpikir disebut
genuine jika penemuan Y disusul dengan pertanyaan berkerangka ?----->Y atau
X----->? dan dijawab dengan teori. Teorilah yang menjelaskan apa saja
(X1X2X3Xn) yang menyebabkan Y atau apa saja yang dapat disebabkan oleh Y jika
fungsinya berubah dari variabel tergantung menjadi variabel bebas (X):
X----->Y1. Ada kemungkinan, dengan menggunakan teori tertentu model yang
ditemukan adalah kerangka yang berbeda ketimbangan model spurious. Dengan
alurpikir yang spurious ditemukan X----->Y, sedangkan dengan alurpikir yang
genuine ditemukan pertama, X1---->Y atau kedua, X----->Y1. Sudah barang
tentu, dalam kemungkinan kedua Y berubah menjadi X yang dapat menyebabkan
apa saja (Y1Y2Y3Yn). Penggunaan alurpikir spurious sebagai instrumen
pembelajaran, dapat difahami, tetapi tidak dalam proses kebijakan!

Seperti telah dikemukakan di atas, “bertanya” adalah dasar ajar, fondasi


pembelajaran. Filsafat bermula dari dan pada “tanya.” “Gayung (harus)
bersambut,” demikian peribahasa, dalam arti “penyambutan” bergantung pada
“gayung” dan “pelemparannya.” Ketepatan merumuskan pertanyaan (soal) dan
teknik penyampaiannya menunjukkan kadar intelektualitas, sementara ketepatan
merumuskan jawaban dan teknik penanggapannya menunjukkan tingkat kearifan.
Bukan hanya bentuk tetapi juga isi, motif dan tujuan tanya-jawab, agar tidak

68
terjerumus ke debat kusir belaka. Tanya-jawab yang berputar-putar tanpa
ujungpangkal seperti alurpikir lingkaran-setan-kemiskinan (the vicious circle of
poverty) tidak bermanfaat, walau dari panggung kedengarannya keren. Tanya-
jawab harus terkendali; dikendalikan oleh kebutuhan akan konklusi yang tepat.
Dialogues of Plato seperti “Apology,” “Crito,” “Phaedo,” “Symposium,” dan
“Republic,” adalah contoh dialog yang sehat. Sudah barang tentu, dalam suatu
batas, pada suatu tingkat, semakin sukar suatu pertanyaan dijawab
(diterangkan), semakin layak pertanyaan itu dipelajari menurut Metodologi.
Perlu dikemukakan di sini bahwa semua pertanyaan layak diajukan, baik melalui
pendekatan kualitatif, maupun kuantitatif. Pertanyaan “mengapa” misalnya, dapat
dijawab melalui Metodologi Kualitatif dan juga Metodologi Kuantitatif. Perbedaan
utamanya ialah, temuan kualitatif hanya berlaku untuk kasus yang bersangkutan,
sedangkan temuan kuantitatif pada sampel, di bawah kondisi tertentu, berlaku
untuk populasinya.

JAWABAN
bangunan struktursupra

PERTANYAAN
fondasi,bangunan strukturinfra

Gambar 45 Bangunan Pertanyaan dan Jawaban

Unit BOK terkecil adalah tulisan ilmiah formal (Gambar 39). Disertasi diambil
sebagai contoh, berdasarkan anggapan bahwa rekonstruksi Disertasi adalah model
yang merupakan bekal bagi seorang ilmuwan profesional dalam menjalankan
fungsi pengembangan BOK sebagai ilmu, maupun pengusahaan BOK sebagai
komoditi ilmiah.

Seperti telah disinggung, ada dua cara pendekatan rekonstruksi tulisan ilmiah
formal: kualitatif dan kuantitatif (Gambar 37). Dua pendekatan itu terhubung pada
fungsi fakta (empirik, “the quality of existing or of being real,” Babbie: “some
phenomenon that has been observed”) dalam proses pemikiran manusia. Jika fakta
difungsikan sebagai bahan baku atau bahan bangunan (pembentukan) teori, maka
pendekatan yang ditempuh adalah kualitatif. Manakala fakta difungsikan sebagai
alat untuk menguji (membuktikan) teori, maka pendekatannya adalah kuantitatif.
Kedua pendekatan itu bergulir ibarat sebuah roda yang oleh Babbie disebut “the
wheel of science:”

69
THEORIES

EMPIRICAL
GENERAL- HYPOTHESES
IZATIONS

OBSERVATIONS

Gambar 46 The Wheel of Science


(Sumber: Earl Babbie)

Roda Babbie ini digunakan di sini sebagai model pemikiran. Pendekatan kuantitatif
berawal pada pertanyaan yang terungkap dari dalam fakta, dijawab dengan teori,
melalui hipotesis teori diuji dengan fakta pada sampel. Hasil analisis data pada
sampel kemudian digeneralisasikan pada populasi. Dari sini teori terlihat,
didukung (sesuai dengan) atau tidak (tidak sesuai) oleh fakta. Pendekatan kualitatif
bermula pada pertanyaan dan langsung dijawab dengan fakta hasil observasi.
Melalui metodologi yang bervariasi dan rumit, antara lain adalah yang lazim
disebut “grounded,” fakta diinterpretasi (reduksi, kategorisasi, dan triangulasi),
direkonstruksi (induktif), --- empirical generalization --- sehingga terbentuklah
konsep (baru) dan teori (baru). Contoh klasik tentang hal ini terdapat dalam Barney
G. Glaser dan Anselm L. Strauss, The Discovery of Grounded Theory: Strategies
for Qualitative Research (1974), lihat Bab 36 Kybernologi (2003). Ada juga yang
tidak langsung menjawabnya dengan fakta, melainkan dengan teori yang ada,
seadanya. Inilah yang model kualitatif yang menggunakan hipotesis kerja
(working hypothesis).

Pemikiran Kybernologi yang bertujuan membangun empathic understanding,


mutual understanding (Verstehen) antar manusia, mengembangkan model “single-
wheel of science” tersebut menjadi “double-wheel of science” (Gambar 47).
Hubungan antar Verstehen kemudian diobservasi dari waktu ke waktu, dari ruang
ke ruang, dengan menggunakan “working hypotheses,” (desain observasi)
ditafsirkan, direkonstruksi, dan terbentuklah konsep atau teori baru. Gambar 47
menunjukkan bahwa pada gilirannya roda kuantitatif bergerak dari F1 ke
Verstehen, sedangkan pada giliran lain roda kualitatif bergerak dari F2 ke teori.

70
THEORIES

EMPIRICAL
GENERAL- HYPOTHESES
IZATIONS

F1

FAKTA
F2

INTERPRETASI WORKING
REKONSTRUKSI HYPOTHESES
GAMBAR 32 DESAIN OBSERVASI

VERSTEHEN

Gambar 47 Double-wheel of Science


(Proses Angka-8)

(lihat tanda panah). Sudah barang tentu gaya perjalanan yang satu dibanding
dengan yang lain, berbeda. Hal itu akan diuraikan di bawah. Cukuplah bila
ditandaskan di sini bahwa pertanyaan apapun tidak boleh dan tidak bisa
dikonstruksi berdasarkan (di atas) dugaan dan atau asumsi sebagaimana dilakukan
oleh banyak kandidat yang menggunakan metodologi kuantitatif. Misalnya: “Y
belum berhasil.” “Diduga, Y belum berhasil karena X lemah.” Dugaan itu
berangkat dari asumsi bahwa “Jika X ditingkatkan, maka Y berhasil” (dari naskah
Disertasi kandidat NPM 170 730067 XXX, dan diluluskan). Dalam metodologi
kuantitatif, teori yang menerangkan adanya hubungan kausal antara X dengan Y.

Dengan demikian, setiap pertanyaan mempunyai dua macam jawaban dasar:


jawaban kualitatif dan jawaban kuantitatif. Derivat dari dua jawaban tersebut
adalah jawaban kuantitatif-kualitatif atau jawaban kualitatif-kuantitatif. Gambar 46
dan 47 menunjukkan hubungan antara dua pendekatan itu.

71
14
KONSTRUKSI BOK: JAWABAN KUALITATIF

Konstruksi BOK berpendekatan kualitatif bermula pada konsep kualitas (Gambar


7), Semakin terungkap kualitas (karakteristik, perilaku) suatu hal atau sebuah
fenomena, semakin kualitatif konsep yang ditemukan. Pengungkapan itu dilakukan
melalui pendalaman, mulai dari perilaku yang terlihat ke nilai dan norma, sampai
pada hakikat (Gambar 32).

----------------------------------------
| JAWABAN |
| bangunan struktursupra |
| JAWABAN KUALITATIF |
| |
| |
| |
| |
| PERTANYAAN |
| fondasi,bangunan strukturinfra |
----------------------------------------

Gambar 48 BOK Kualitatif


(Lihat juga Gambar 44 dan Gambar 45)

Seperti dikemukakan di atas, jawaban terhadap pertanyaan yang dijadikan fondasi


BOK kualitatif bisa (langsung) berupa fakta, dan bisa juga berupa teori yang
relevan dan aktual. Baik fakta maupun teori telah diuraikan di atas. Di bawah ini
beberapa isu tentang fakta disinggung lagi sepanjang berkaitan dengan BOK
kualitatif.
1. Fakta tentang apa
2. Bagaimana (sebagai apa) fakta itu terlihat
3. Fakta menurut FOR siapa
4. Fakta ditangkap menurut alat apa
5. Fungsi fakta

Fakta Tentang Apa?


Jawaban terhadap pertanyaan tersebut terdapat dalam Gambar 23 tentang Ontologi
Kybernologi. Gambar 23 itu menunjukkan bahwa basis Program Studi Ilmu-Ilmu
Politik terletak pada terminal 5, yang dihuni oleh sejumlah disiplin, seperti
1. Ilmu Administrasi Publik
2. Ilmu Hubungan Internasional

72
3. Ilmu Perbandingan Politik
4. Teori Politik, dan menurut versi Universitas Gadjah Mada
5. Ilmu Pemerintahan
adalah Political Sciences, sementara basis Program Studi Ilmu-Ilmu Sosial terletak
pada terminal 3, yang dihuni oleh berbagai cabang ilmu seperti
1. Sociology
2. Social Psychology
3. Anthropology
4. Social Anthropology
dan seterusnya, seperti UNESCO, The University Teaching of Social Sciences
(1954). yang disebut Social Sciences, lepas dari perdebatan tentang isi konsep
Social Sciences itu apakah meluas ke Ilmu Ekonomi, Ilmu Hukum, dan
sebagainya, atau tidak. Terminal 4 membentuk linkage antara terminal 3 dengan
terminal 4. Dalam analisis ini, konstruksi pemikiran G. A Lundberg dalam
Foundations of Sociology (1956), sangat menarik. Berbicara tentang “foundations”
suatu cabang ilmu pengetahuan, adalah juga berbicara tentang “foundations”
semua ilmu pengetahuan. Artinya kerangka “foundations” semua ilmu
pengetahuan, sama. Jika demikian, basis setiap program pembelajaran suatu
cabang ilmu pengetahuan adalah Filsafat Ilmu disiplin yang bersangkutan,
dalam hal ini Filsafat Ilmu (di bidang) Ilmu Pemerintahan (Kybernologi).
Lihat juga Karl Pearson, The Grammar of Science, (1951).

Berdasarkan kerangka pemikiran itu, pemikiran Kybernologi dipusatkan pada


masyarakat dalam hubungannya dengan Ontologi Ilmu Pemerintahan
berBOK Kybernologi itu (tidak berBOK Ilmu-Ilmu Politik), lihat GBPP
Kybernologi dan Kepamongprajaan (2009). Menurut perkembangan pemikiran
terakhir, Kybernologi dikembalikan pada definisi asli ketika dilahirkan (definisi
materia), yaitu “ilmu yang bertujuan menuntun hidup bersama manusia dalam
upaya mengejar kebahagiaan rohani dan jasmani yang sebesar-besarnya
tanpa merugikan orang lain secara tidak sah” (G. A. van Poelje, Algemene
Inleiding tot de Bestuurskunde, 1953), sedangkan secara formal Kybernologi
didefinisikan sebagai bangunan pengetahuan (body-of-knowledge) hasil
rekonstruksi buah pendaratan Bestuurskunde, Bestuurswetenschap, dan
Bestuurswetenschappen di bumi Indonesia pada sudutpandang kemanusiaan
dan lingkungannya, dan pengaitannya dengan berbagai sudutpandang yang
berbeda, antara lain sudutpandang kekuasaan. Oleh sebab itu, fakta BOK
Kybernologi adalah fakta tentang masyarakat, yang bermula pada terminal 1 dan 2,
pada manusia dan lingkungannya, berdasarkan credo bahwa manusia itu adalah
ciptaan ALLAH, TUHAN YANG MAHAESA, yang didudukkan di bumi menjadi
penduduk dunia.

73
Bagaimana (Sebagai Apa) Fakta itu Terlihat?
Jawaban kualitatif bersumber pada masyarakat dan lingkungan hidupnya
sebagaimana berakar dari kualitasnya sebagai manusia. Sasaran observasi adalah
manusia atau sepotong alam. Apakah yang terlihat pada sasaran (fenomenon) itu
dapat disebut fakta? Berdasarkan Max Black yang menyatakan bahwa “if one trait,
more than any other, is charakteristic of the scientific attitude, it is reliance upon
the data of experience,” arti fakta sebagai “the quality of existing or of being real,”
dan Babbie yang mendefinisikan fakta sebagai “some phenomenon that has been
observed,” maka jawabannya adalah tidak atau belum tentu. Gambar 5
menunjukkan bahwa rekaman “fakta sebagaimana terlihat di permukaan” yaitu
data, harus diolah dulu, dan info yaitu hasil pengolahannya harus diuji terus-
menerus, agar “fakta yang sesungguhnya di dalam” atau “di seberang sana,” yaitu
“kuman di seberang lautan,” dan bukan hanya “gajah di pelupuk mata,” terungkap.
Seperti kata pepatah: “Dalam laut dapat diduga, dalam hati siapa tau.”

Yang menjadi pertanyaan dalam hubungan itu ialah, rekaman seperti apa (sejauh
mana) di permukaan yang dapat menunjukkan fakta yang sesungguhnya,
mengingat waktu, kesempatan dan keterbatasan manusia? Dengan pertanyaan lain:
“Apakah induksi tak lengkap bisa menunjukkan fakta yang sesungguhnya?”
Apakah jawabannya, ibarat eksplorasi minyak bumi, “sampai sumber minyaknya

INDUKSI

Y X

A Z B

C D
OBSERVATIONS

Gambar 49 Induksi Tidak lengkap Namun Efektif (AB)


Y Adalah Fakta Yang Sesungguhnya Di Dalam Atau Di Seberang Sana
CD Induksi Tak Lengkap. Apakah Z Dapat Dianggap Sebagai Y?
X Fakta Sebagaimana Terlihat Di Permukaan

74
ditemukan?” Gambar 49 menunjukkan bahwa dengan segala kelemahan,
kekurangan dan keterbatasannya, subjek tidak mampu atau tidak sempat
melakukan perekaman induktif lengkap (sempurna, 360°), melainkan induksi
taklengkap. Induksi taklengkap itu dianggap mampu mencapai Y manakala proses
pemikiran (baca: rekonstruksi BOK) mengikuti disiplin yang ketat, sebagaiamana
terlihat pada Gambar 32 dan yang berikutnya. Jika tidak, rekonstruksi hanya
sampai di Z dan tidak menjawab pertanyaan.

Fakta sebagaimana terlihat adalah fakta sebagaimana objek memperlihatkan


dirinya yang “transendental,” atau semampu subjek menerobos kabut antara subjek
dengan objek untuk bisa mencapai fakta yang sesungguhnya? Mampukan subjek
dengan segala keterbatasan, kelemahan dan kekurangannya mengetahui fakta yang
benar? Bagaimana supaya objek bersedia membuka dirinya dan memperlihatkan
kualitasnya sebagaimana adanya? Dunia bisnis mengenal konsep yang disebut
perilaku komoditi. Konsep ini mengandung arti, bahwa barangpun --- sepotong
lingkungan --- walau tak bernyawa, mempunyai perilaku, yaitu kenampakannya,
dayatariknya, warna, aroma, cahaya, getaran, gerakan, harga, ukuran, bobot, sifat,
jarak, dan sebagainya. Fakta yang direkam adalah perilaku komoditi, yang
dianggap mewakili karakteristik atau kualitasnya (penjelasan mengenai karakter
dan karakteristik, lihat Bab XI Kybernologi Sebuah Metamorphosis (2008).

Fakta Menurut FOR Siapa?


Pertanyaan ini erat berkaitan dengan upaya mendaratkan pemikiran pada
Kybernologi (lihat juga Bab XV Kybernologi Sebuah Metamorphosis, 2008).
Menurut Gambar 2, pemikiran mendarat pada Kybernologi bilamana kualitas yang
dipertanyakan adalah kualitas manusia (Gambar 23), bukan kualitas kekuasaan.
Itupun masih abstrak. Di antara tiga subkultur, SKS itulah yang lebih penting, dan
di antara dua kualitas SKS, yaitu masyarakat sebagai konstituen dan masyarakat
selaku pelanggan, masyarakat sebagai pelanggan itulah yang terpenting. Jadi
pemikiran disebut mendarat pada Kybernologi jika yang dipermasalahkan adalah
kualitas masyarakat sebagai pelanggan, dan bukan kualitas pemerintah sebagai
provider layanan pemberdayaan. Misalnya “taraf kehidupam masyarakat A
rendah” dan bukan “efektivitas program pemberdayaan masyarakat rendah,”
sehingga yang dipertanyakan adalah “mengapa taraf kehidupan masyarakat A
rendah?” dan bukan “mengapa efektivitas program pemberdayaan masyarakat
rendah?”

“Taraf kehidupan masyarakat rendah,” menurut siapa? Setiap subkultur dalam


masyarakat memiliki frame-of-references (FOR) yang berbeda satu dengan yang
lain. FOR masyarakat selaku pelanggan berbeda dengan FOR masyarakat selaku

75
konstituen. Kekuatan yang membentuk FOR suatu subkultur bermacam-macam,
misalnya kepentingan, kebutuhan, pengalaman, pendidikan, perbedaan,
perbandingan, sejarah, kepercayaan, dan seterusnya. Kualitas SKS terlihat oleh
sipemikir sebagaimana SKS mengungkapkan dirinya yang “transendental,”
menurut FOR-nya dan direkam pada saat SKS memperagakannya
(memperagakannya kembali). Oleh sebab itu persoalan yang menentukan seperti
telah disebut di atas ialah bagaimana supaya objek bersedia membuka dirinya dan
memperlihatkan kualitasnya (kembali) sebagaimana adanya? Jawabannya, dengan
berempati itulah (Gambar 32 dan yang berikutnya).

Fakta Ditangkap dan Direkam Menurut (Dengan) Alat Apa?


Mengingat “lain padang lain belalangnya, lain lubuk lain ikannya,” apakah
alat/cara yang berhasil digunakan terhadap objek yang satu ternyata berhasil untuk
objek lainnya yang berbeda? Jika tidak, diperlukan kreativitas tinggi dan
persediaan peralatan yang memadai dalam menghampiri sasaran yang berlain-
lainan. Ada dua sikap ekstrim yang dapat ditempuh oleh subjek dan objek
1. Subjek membiarkan dirinya terbuka penuh, kosong, ibarat tabula rasa
(meja lilin) yang siap ditulisi apa saja oleh siapa saja kapan dan di mana
saja. “Siapa saja” di sini adalah objek yang dalam hal ini berubah peran
menjadi subjek yang memancarkan rangsangan terhadap subjek yang
pada gilirannya berubah peran menjadi objek. Seperti papan ingatan
(fieldnotes) seorang pengunjung sebuah rumahadat di Tanah Karo tahun
50-an sebagaimana ditulisi oleh perilaku dua orang, seorang tuarenta dan
seorang perempuan usia 30-an: “Seorang lelaki tuarenta di ruang depan
berkata dengan lirih: ‘meja aku haus.’ Seorang perempuan usia 30-an
datang dari ruang belakang membawa sepotong ruas bambu dan
meletakkannya di sebuah bangku kecil, lalu pergi, tanpa kata, tanpa
menoleh ke situarenta. Lelaki tuarenta minum dari ruas bambu itu, juga
tanpa kata. O ya, saya ditemani oleh seorang Karo, teman kelas.” Di sini
diri subjek sendiri yang ditulisi (menjadi alat perekam) oleh
objeknya
2. Subjek sekuat tenaga membangun citra, menebar pesona, mengalunkan
janji yang memukau, melancarkan hipnotisme politik, dan melambaikan
simbol yang indah, agar objek merasa terbuai, tanpa sadar berubah dan
memberikan respons atau reaksi yang sesuai dengan keinginan subjek.
Di sini, diri objek diubah oleh pengaruh subjek, sehingga objek
menunjukkan fakta yang sesuai dengan keinginan subjek.
Fakta difungsikan sebagai alat pembenaran, bukan kebenaran

76
Apakah Fungsi Fakta Dalam BOK Kualitatif?
Ada dua macam fakta. Fakta sebagai sebagai pemuncul pertanyaan dan fakta
sebagai jawaban terhadap pertanyaan. Fakta memenuhi seluruh bangunan (BOK,
Gambar 48). Seperti dikemukakan di atas, jawaban terhadap pertanyaan yang
dijadikan fondasi BOK kualitatif bisa (langsung) berupa fakta, dan bisa juga
berupa teori yang relevan dan aktual. Baik fakta maupun teori telah diuraikan di
atas.

Di Bawah Kondisi Apa


Pertanyaan Dijawab Langsung Dengan Fakta
dan Di Bawah Kondisi Apa Dengan Teori?
Pertanyaan dijawab langsung dengan fakta, manakala masyarakat sasaran
eksplorasi pemikiran adalah masyarakat atau kasus yang belum dikenal (terra
incognita) sehingga belum ada teori yang menjelaskan fenomenanya. Oleh karena
teorinya belum ada, maka tidak ada hipotesis sebagai masukan (input), melainkan
hipotesis sebagai keluaran (produk) pemikiran. Pertanyaan dijawab dulu dengan
teori, bilamana masyarakat atau kasus yang bersangkutan telah dikenal sehingga
sudah ada teori yang menjelaskannya. Jika demikian, hipotesis sebagai masukan
dapat dirumuskan, dan hipotesis sebagai keluaran juga dapat dihasilkan. Dengan
demikian model BOK kualitatif sebagai berikut (Gambar 50):

---------------------------
| JAWABAN |
---------------------------------------------|---------------------------|
| | | BELUM | | |
| | MASYA- | DIKENAL | ? | LANGSUNG FAKTA |
| PERTANYAAN | RAKAT, |---------|-------------|---------------------------|
| | KASUS | SUDAH | FAKTA | TEORI DULU | BARU FAKTA |
| | | DIKENAL | | | |
-------------------------------------------------------------------------

Gambar 50 Model BOK Kualitatif

-----------------------------------------------------------
| JAWABAN |
-------------|-----------------------------------------------------------|
| | | |
| ? | LANGSUNG FAKTA | VERSTEHEN |
|-------------|-----------------------------| HIPOTESIS |
| FAKTA | TEORI DULU | BARU FAKTA | GROUNDED THEORIES |
| | | | |
-------------------------------------------------------------------------

Gambar 51 Model BOK Kualitatif (Lanjutan)

77
Jawaban teoretik (Gambar 50 dan Gambar 51), yang disebut juga hipotesis kerja,
tidak seperti hipotesis statistik yang dirumuskan untuk diuji dengan data empirik,
melainkan “disimpan” untuk kemudian pada gilirannya digunakan sebagai bahan
pembahasan dan penafsiran data empirik. Yang dimaksud dengan data empirik di
sini adalah buah pengamatan lapangan terhadap fokus (objek) pemikiran, dan
bukan hasil observasi terhadap hipotesis kerja. Pencarian dan penggunaan data
tentang hipotesis kerja untuk diolah menjadi bahan bangunan BKO kualitatif, sama
saja dengan upaya mengujinya di lapangan.

PERTA- --JAWABAN----KE LAPANGAN----JAWABAN <---------temuan-------> JAWABAN


NYAAN TEORETIK | EMPIRIK | TEORETIK
| input metodologi | | output
| | | | | |
| | | | | |
| | ------> data ten- penafsiran Verstehen
fokus ------|-------------------> tang fokus ------rekonstruk- ---->grounded
| si data | theories
| |
hipo- tidak |
tesis --------------untuk------------------ ------------
kerja diuji

Gambar 52 BOK Kualitatif

Oleh sebab itu pemahaman tentang fokus pemikiran dan metodologi yang tepat
guna menemukan faktanya, merupakan kunci keberhasilan rekonstruksi BOK
kualitatif. Sebuah Disertasi yang menggunakan bahan bangunan dari Teori George

communi-
cation

resour-
ces implementa-
tion

dispo-
sitions

bureau-
cratic
structure

Gambar 53 Faktor-faktor Implementasi Kebijakan


Sumber Figure 6.1 Edwards III (1980)

78
C. Edwards III dalam Implementing Public Policy (1980), diambil sebagai contoh.
Berbicara tentang “approach to studying implementation,” terhadap pertanyaan
“What are the preconditions for successful policy implementation,” Edwards
menyampaikan jawaban, bahwa ada “four critical factors or variables in
implementing public policy: communication, resources, dispositions or attitudes,
and bureaucratic strukture,” seperti Gambar 1 di atas. Empat faktor itulah yang
oleh penulisnya dalam Preface disebut sebagai “four critical factors affecting
policy implementation. . . . .” Sayang sekali, Edwards membahas empat faktor
tersebut lengkap dengan dimensi-dimensi dan indikator-indikator masing-masing,
dalam Bab 2, 3, 4, 5, dan hubungan antar faktor di Bab 6, tetapi tidak menjelaskan
secara eksplisit dimensi dan indikator implementasi kebijakan yang justru
merupakan fokus perhatian. Para mahasiswa terpaksa menggunakan teori lain di
luar Edwards, seperti teori yang menyatakan bahwa dimensi-dimensi implementasi
kebijakan adalah organization, interpretation, dan application (OIA). Yang
menjadi persoalan metodologikal di sini adalah validitas penjelasan hubungan
antara variabel X dengan variabel Y beserta pengukurannya, pada model
X----->Y, jika tiap variabel dijelaskan oleh teori dari sumber yang berbeda
(misalnya X diterangkan dengan teori Edwards, sedangkan Y oleh teori Jones).
Apakah definisi, dimensi, indikator, dan hubungan antar variabel sebuah model
harus dijelaskan dengan teori dari sumber yang sama (misalnya Edwards)?

Memang, Edwards tidak menjelaskan dimensi dan indikator implementasi


kebijakan secara eksplisit, tetapi bila diperhatikan sungguh-sungguh, hal itu secara
implisit terdapat di Bab 1 bukunya. Di sana dinyatakan bahwa
Policy implementation. . . . . is the stage of policymaking between the
establishment of a policy --- such as the passage of a legislative act, the
issuing of an executive order, the handling down of a judicial decision, or
the promulgation of a regulatory rule --- and the consequences of the
policy for the people whom it affects
Definisi implementasi kebijakan tersebut menunjukkan bahwa dimensi-dimensi
implementasi adalah keseluruhan langkah-langkah yang perlu ditempuh oleh
semua fihak terkait, sejak penetapan kebijakan (policy adoption) sampai efek yang
diharapkan dari kebijakan itu (policy outcomes) dirasakan oleh masyarakat yang
bersangkutan. Penggunaan Metodologi Kualitatif dalam penelitian terhadap
langkah-langkah tersebut di dalam masyarakat setempat, sangat tepat. Joseph A.
Maxwell dalam Qualitative Research Design (1996, 17) berpendapat bahwa
dengan metodologi kualitatif, “causal explanations” dapat dikembangkan. Analisis
data yang terekam melalui observasi dan eksplorasi terhadap hubungan antar
langkah, menunjukkan ada-tidaknya faktor-faktor empirik setempat di Indonesia,
yang mungkin sama tetapi kemungkinan besar berbeda dengan faktor-faktor

79
teoretik yang ditemukan oleh Edwards di masyarakat Amerika. Bukankah faktor
yang berbeda ini merupakan temuan akademik yang berharga?
Jadi yang perlu diobservasi dan direkam pada implementasi kebijakan tersebut
adalah keseluruhan langkah-langkah, proses dan urutannya, yang perlu (dalam hal
ini yang sedang atau sudah) ditempuh oleh semua fihak terkait, sejak penetapan
kebijakan (policy adoption) sampai efek yang diharapkan dari kebijakan itu (policy
outcomes) dirasakan oleh masyarakat yang bersangkutan. Hipotesis yang menjadi
dasar pembuatan grounded theory direkonstruksi dari hasil pengamatan terfokus
terhadap urutan kejadian yang terlihat dari waktu ke waktu. Jika urutan kejadian
empirik itu memenuhi syarat “X precede Y in time,” maka antara Y dengan X
terdapat hubungan kausal: Y adalah effect dan X adalah cause, dengan model
X---->Y, demikian Babbie (1983, 57). Selanjutnya lihat John W. Creswell,
Research Design Qualitative and Quantitative Approaches (1994), dan Anselm
Strauss dan Juliet Corbin, Basics of Qualitative Research: Grounded Theory
Procedures and Techniques (1990). Ringkasan Barney G. Glaser dan Anselm L.
Strauss, The Discovery of Grounded Theory: Strategies for Qualitative Research
(1974) terdapat dalam Bab 36 Kybernologi (2003).

XV
KONSTRUKSI BOK: JAWABAN KUANTITATIF

Pada dasarnya tidak ada pertanyaan yang khas kualitatif atau kuantitatif. Pada (di
atas) fondasi yang sama dapat dibentuk BOK kualitatif dan kuantitatif. Setiap
pertanyaan yang dapat dijawab dengan suatu teori, layak dijadikan fondasi BOK
kuantitatif.

----------------------------------------
| JAWABAN |
| bangunan struktursupra |
| JAWABAN KUANTITATIF |
| |
| |
| |
| |
| PERTANYAAN |
| fondasi,bangunan strukturinfra |
----------------------------------------

Gambar 54 BOK Kuantitatif


(Lihat juga Gambar 44, 45, dan 48)

80
Perbedaannya terdapat pada bangunan struktursupranya seperti terlihat pada
Gambar 55 dan 56.

-----------------------------------------
| JAWABAN TEORETIK TENTATIF |
-------------------------------|-----------------------------------------|
| | | | | | |
| | MASYA- | SUDAH | EKSPLO- | KERANGKA | |
| PERTANYAAN | RAKAT, | DIKE- | RASI | PEMI- | HIPOTESIS |
| |UNIVERSE| NAL | PUSTAKA | KIRAN | |
| | | | | | |
-------------------------------------------------------------------------

Gambar 55 Model BOK Kuantitatif

-------------------------------------------------------------------------
| JAWABAN |JAWABAN TEORTIK,|KE LAPANG-| |
| TEORETIK | DIKETAHUI,TAPI |AN UTK UJI| JAWABAN TEORETIK KRITIS |
| TENTATIF | UNASPIRATED* |HIPOTESIS | |
|------------------------------|----------|-------------------------------|
| | | | | PENGUJI- | | |
| | | | DATA | AN HIPO | |IM- |
| HIPOTESIS | EPSILON* |METODOLOGI| EMPI-| TESIS & | TEMUAN |PLI-|
| | | | RIK | PEMBA- | |KASI|
| | | | | HASAN | | |
-------------------------------------------------------------------------

Gambar 56 Model BOK Kuantitatif (Lanjutan)

Apakah epsilon itu? Epsilon (*Gambar 56) adalah huruf kelima abjad bahasa Latin
(Greek) ê psilon, artinya bare, simple ê, unaspirated; lawannya aspirate,
articulate, desired. Eksplorasi pustaka (Gambar 55) yang kaya dengan teknologi
informasi yang semakin canggih, membuka cakrawala pengetahuan yang luas dan
dalam sebagai sumber jawaban yang seolah tak terbatas. Dalam hubungan itu, ada
beberapa kemungkinan:
1. Katakanlah dari eksplorasi pustaka diketahui bahwa Y bergantung pada
faktor-faktor X1, X2, dan X3, entah itu sufficient factors atau necessary
(contingent) factors, atau dua-duanya.. Mengingat keterbatasan,
kekurangan dan kelemahan subjek, sifat objek (sosial dan humaniora
yang padat-nilai), dan kondisi lingkungan yang berubah-ubah,
diperkirakan masih ada faktor lain yang tidak diketahui, tidak dapat
diketahui, atau tidak sempat diketahui, yaitu Xn. Di sini Xn
bukanlah epsilon.
2. Dari kajian pustaka diketahui bahwa Y dipengaruhi oleh X1, X2, dan
X3, tetapi dengan alasan akademik-metodologik yang sah, hanya X1 dan

81
X2 yang digunakan sebagai bahan bangunan. Di sini X3 dijadikan
(adalah) epsilon
Adanya epsilon dalam arti ini membawa konsekuensi metodologik yang serius.
Konsekuensinya ialah, sekuat dan sesignifikan apapun pengaruh X1 dan X2, baik
masing-masing maupun bersama-sama terhadap Y (koefisien determinasi),
koefisien itu mengandung bias, baik kuantitas (tidak sesuai dengan fakta yang
sesungguhnya, menurut statistik besar padahal sesungguhnya kecil), maupun
kualitasnya (dianggap kuat atau efektif, padahal ternyata lemah atau gagal).
Respons seorang responden terhadap X1 dan X2, misalnya berbeda dengan
responsnya bilamana kepadanya ditawarkan X1, X2, dan X3, baik sufficient
maupun contingent factors. Semakin banyak pilihan, perhatian responden semakin
terbagi dan tersebar. Kendatipun sufficient factors lengkap, tidak biased, atau
semua variabel bebasnya di bawah kontrol (misalnya di laboratorium), contingent
(necessary) factornya (variabel antara, intervening) culture bound, sehingga pada
gilirannya mengalami culture lag. Ini lebih buruk ketimbang bias! Mengenai
culture-bound lihat David Easton, The Political System (1953), dan culture-lag
lihat Emory S. Bogardus, Sociology (1954) dan G. A. Lundberg, Foundations of
Sociology (1956).

Hipotesis dalam Gambar 55 dan Gambar 56 bisa terlihat bagai sebuah bangunan
yang keren dengan dua ruangan di dalamnya yaitu ruangan X dan ruangan Y.
Hubungan antara dua ruangan ini dinyatakan dengan “Semakin . . . , semakin. . . . ”
Pernyataan tersebut membawa kesan seolah-olah terdapat hubungan kausal antara
Y dengan X. Sesungguhnya menurut Babbie, hubungan yang memberi kesan
seperti itu “not genuine, authentic, or true,” melainkan spurious (spurious
relationship). Di suatu daerah terlihat angka kelahiran bayi tinggi dan banyak
burung bangau beterbangan. Pengamatan ini dijadikan dasar untuk membangun
hipotesis berbunyi “Semakin banyak burung bangau, semakin tinggi angka
kelahiran bayi,” disusul dengan jawaban terhadap pertanyaan “Dari mana
datangnya bayi,” yaitu “Dibawa burung bangau.” Jadi banyaknya burung bangau
menyebabkan banyaknya bayi. Setelah diamati ternyata, faktor lingkunganlah yang
menyebabkan X dan Y. Hubungan antara lingkungan pedesaan dengan banyaknya
burung bangau dan banyaknya bayi, disebut “hubungan yang genuine.” Bukankah
ruang politik dan ruang bisnis dipenuhi oleh anggapan-anggapan yang spurious
tersebut? Oleh sebab itu, setiap pernyataan tentang hubungan antara X dengan Y
harus disertai dengan penjelasan (explanations) yang terbuka dan teruji (testable)
guna mencegah pernyataan yang spurious dan membangun pernyataan yang
genuine.

82
Oleh sebab itu, pernyataan memerlukan penjelasan. Menurut Babbie, ada dua
model penjelasan. Penjelasan dengan model ideografik (ideographic model of
explanation) adalah penjelasan yang “probe the multiplicity of reasons that would
account for a specific behavior,” “aims at explanation through the enumeration of
very many, perhaps unique, considerations that lie behind a given action.” BOK
kualitatif, terlebih yang menggunakan model interpretivist, berisi penjelasan
ideografik ini. Selanjutnya, penjelasan dengan model nomotetik (nomothetic
model) adalah penjelasan yang “consciously seeks to discover those
considerations that are most important in explaining general classes of actions or
events.” Istilah nomothetic berasal dari bahasa Greek, nomothetikόs, artinya
“pertaining or involving the study or formulation of general or universal law.”
Dengan mudah dapat ditebak bahwa BOK kuantitatif bersifat nometetik.

Sebagaimana BOK kuantitatif terdiri dari bahan bangunan bernama teori, setiap
teori mengandung pernyataan tentang hubungan antar konsep, dan hipotesis
mengandung hubungan antar variabel, demikian juga setiap konsep dan variabel
harus definitif. Hal itu penting guna membedakannya sekaligus menggambarkan
hubungannya dengan sesuatu yang lain di dalam himpunan (kelas) yang sama.
Jauh di atas telah dikemukakan bahwa formula sebuah definisi tidak boleh
tautologik seperti A = A yang B, “spidol adalah spidol untuk white board,”
melainkan A = B yang C, “spidol adalah alattulis untuk white board,” guna
membedakannya dengan kapurtulis yang sehimpunan dengan spidol (himpunan
alattulis) untuk black board (ref. Irving M. Copi, Introduction to Logic, 1959,
Chapter Four), dengan catatan bahwa B adalah sebuah himpunan yang berisi A dan
anggota lainnya. A disebut definiendum dan B yang C adalah definiens. Contoh
lain “segitiga (definiendum) adalah bidang yang dibatasi oleh tiga garislurus
(definiens).” Perulangan penjelasan dalam bentuk A = A itu dalam metodologi
disebut tautology atau redundancy. Biasanya, Pasal 1 tiap Undang-Undang (UU),
Peraturan Pemerintah (PP), dan Peraturan Daerah (Perda) penuh batasan-batasan
atau ketentuan. Ketentuan Pasal 1 butir 10 UU 32/04 berbunyi: “Peraturan daerah
selanjutnya disebut Perda adalah peraturan daerah provinsi dan atau peraturan
daerah kabupaten/kota,” bentuknya tautologik dan bukanlah definisi konsep Perda.

Dengan demikian, epsilon, pernyataan spurious, dan tautologi, membatasi


keberlakuan, validitas dan reliabilitas bangunan BOK. Untuk menjaga kualitas
BOK --- Kebebasan Akademik dan Etika Ilmu Pengetahuan ---, epsilon hubungan
spurious, dan tautologi, harus dijadikan masukan terbuka dalam ruang
pembahasan bangunan (baca: marketing, penawaran, servicing) dan diberi label
“keterbatasan bangunan.” Konsekuensinya ialah, bangunan BOK tidak bisa
langsung ditawarkan kepada pelanggan tanpa pilihan. Namun demikian, dalam

83
learning process, seterbatas apapun sebuah BOK, ada gunanya. Anggapan
dasarnya ialah, seseorang yang ternyata mampu membangun BOK X----->Y, ia
diharapkan mampu membangun BOK lainnya.

Ruang bagi temuan akademik tersedia di Gambar 56. Yang dimaksud dengan
temuan akademik adalah hasil proses penjawaban teoretik terhadap pertanyaan
mulai dari hipotesis dan pengujiannya dengan data empirik, sampai pada
pembahasan. Bahan yang dibahaa dalam proses pembahasan adalah hasil uji
hipotesis. Jadi proses uji hipotesis belum dapat disebut pembahasan. Pembahasan
itu sendiri meliputi:
1. Identifikasi keterbatasan penelitian dari sudut metodologi (politik,
birokrasi, teori, responden, komunikasi dan teknologi informasi, dsb)
2. Epsilon (apa yang terjadi bila epsilon dijadikan bahan bangunan)
3. Penafsiran (interpretasi)
4. Reformulasi konsep (conceptualization) dan hipotesis
5. Rekonstruksi teori yang digunakan
6. Apakah hipotesis teruji?
7. Apakah BOK berfungsi?

Konstruksi sebuah BOK sejajar dengan pembangunan sebuah rumah, terdiri dari
beberapa tahap:

Tabel 5 Tahapan Rekonstruksi BOK

----------------------------------------------------------------
TAHAPAN PEMBANGUNAN RUMAH TAHAPAN REKONSTRUKSI BOK
----------------------------------------------------------------
1 Perancangan (designing) 1 Hipotesis dan Epsilon
2 Penyediaan Bahan Bangunan 2 Pengumpulan dan Pengolahan Data
3 Konstruksi dan Evaluasi 3 Pengujian Hipotesis
Bangunan dan Pembahasan
4 Evaluasi Bangunan 4 Temuan: BOK
5 Penggunaan Bangunan 5 Implikasi
----------------------------------------------------------------

Sudah barang tentu, dilihat dari sudut BOK sebagai bangunan penjelasan, BOK
kuantitatif lebih nomotetik ketimbang ideografik, sementara BOK kualitatif,
sebaliknya. Konsekuensinya ialah, kemungkinan sejumlah BOK nomotetik
dibangun seragam dalam periode yang sama, terbuka lebar. Ibarat ribuan rumah
yang dibangun dengan tipe, konstruksi, dan bahan bangunan yang sama! Inilah
malapetak BOK kuantitatif, jika boleh disebut demikian. Himpunan Disertasi

84
berpendekatan kuantitatif, misalnya, dengan variabel yang sama “implementasi
kebijakan. . . . ,” pertanyaan yang seragam “seberapa besar,” dan teori yang itu-itu
saja, “Edwards III,” terlihat seperti barang cetakan yang dijual dipasar swalayan
yang megah. BOK dewasa ini cenderung berubah dari BOK akademik menjadi
barang komoditi bisnis. Jika demikian, mana nilai tambah akademik, orisinalitas,
kreativitas, pembaharuan, dan kemajuan ilmupengetahuan? Upaya apa yang perlu
ditempuh guna mencegah kecenderungan inflastag itu di depan?

16
REKONSTRUKSI BOK: JAWABAN KOMBINATIF

Kybernologi memandang proses kebijakan tidak dari sudut Politik tetapi dari sudut
Teori Governance. Dari sudut ini proses kebijakan itu ibarat naik gunung, sesudah
tiba di puncak, harus turun lagi, demikian terus-menerus. Atau seperti naik pesawat
terbang tinggi. Di awang-awang, apapun di bawah tidak terlihat. Saat turun pada
ketinggian tertentu, bumi di bawah memang terlihat, tetapi sama terlihat jauh,
sangat jauh, tidak jelas, sama semua, seragam, hijau pekat. Barulah ketika
mendarat semuanya nampak, semakin dekat semakin jelas. Bukan hanya jelas,
tetapi berbeda-beda. Bukan hanya berbeda-beda dari pandangan mata, tetapi dilihat
dari nilai dan rasa, ada ketimpangan, ada kesenjangan antara yang sini dibanding
dengan yang sana. Bahkan ada yang merosot dan terhilang jika yang kemarin
dibanding dengan yang sekarang. Sudah barang tentu, pengalaman penerbangan
yang lalu dijadikan masukan bagi persiapan penerbangan berikutnya.

Proses kebijakan seperti take-off dan landing pesawat. Dari policy agenda
(identifikasi masalah) sampai pada policy adoption (penetapan kebijakan) itulah
take-off mengudara setinggi-tingginya (ketok palu dan tepuk tangan, tandatangani
daftar hadir dan terima uang), dan dari policy adoption sampai pada policy
outcome melalui policy implementation itulah landingnya. Sudah barang tentu
pula, hasil evaluasi policy terhadap policy outcome, dijadikan masukan bagi policy
agenda berikutnya. Take-off itu penetapan das Sollen bagi semua orang, landing
adalah realisasinya menjadi fakta (das Sein) bagi setiap orang, yang kondisi
kebutuhan, dan kepentingannya berbeda.

Sebagaimana halnya pesawat tidak cukup hanya take-off tetapi harus landing,
demikian juga kebijakan (harapan semua orang) yang telah ditetapkan, harus
diimplementasikan sehingga outcomenya mencapai setiap orang yang kondisi
kebutuhan, dan kepentingannya berbeda. Sementara sebuah pertanyaan tentang
suatu peristiwa khusus, kasus baru, atau sesuatu yang unik, cukup dijawab dengan

85
BOK kualitatif, yang bersifat ideografik, pertanyaan lain yang bersifat umum tidak
cukup hanya dijawab dengan BOK kuantitatif, yang nomotetik, tetapi perlu
dilengkapi dengan BOK ideografik yaitu BOK kualitatif. Kebijakan itu bersifat
nomotetik. Supaya implementasinya bisa mencapai setiap orang yang kondisi
kebutuhan, dan kepentingannya berbeda, maka mau tidak mau perlu digunakan
BOK kualitatif.

Seperti diketahui, demi efisiensi dan penghematan ruang, rekayasa bangunan sejak
puluhan tahun terakhir menggunakan konstruksi kombinatif, dengan menggabung
beberapa fungsi sekaligus ke dalam lingkungan sebuah bangunan. Misalnya fungsi
rumah dikombinasikan dengan fungsi kantor atau fungsi toko, sehingga
terbentuklah bangunan rukan atau ruko. Pembahasan kuantitatif sehebat apapun,
jika temuan akademik disandarkan pada uji hipotesis belaka, terlebih jika
hipotesisnya direkonstruksi dari fenomena sosial masyarakat yang budayanya
berbeda, hasilnya tidak mendarat, dan tidak sekaya rekonstruksi BOK kuantitatif
yang pembahasannya dikombinasikan dengan bahan bangunan kualitatif setempat.

BOK juga demikian. BOK kualitatif diibaratkan fungsi rumah, sedangkan BOK
kuantitatif fungsi kantor atau toko, sehingga BOK kuantitatif dapat
dikombinasikan dengan BOK kualitatif sehingga terbentuklah BOK-Kuantitatif-
Kualitatif atau BOK Kualitatif-Kuantitatif. Pilihan bergantung pada pertimbangan
mana yang dominan. Pilihan itu pada gilirannya menentukan di mana letak ruang
kualitatif dan di mana ruang kuantitatif di dalam BOK yang sama. Dengan
perkataan lain, di dalam BOK yang sama, komponen kuantitatif masuk di mana
dan komponen kualitatif masuk di mana. .

pesawat tinggi di angkasa


di bawah tak terlihat apa-apa
|
|
|
|
pada ketinggian
pesawat ini yg di bawah pesawat
membumbung terlihat samar, menurun
sama, dan seragam
|
|
di sini semakin jelas, ter-
semua take-off lihat perbedaan dan kesenjangan landing

evaluation and feedback utk penerbangan berikutnya

Gambar 57 Pesawat Take-off dan Landing

86
policy adoption
|
|
|
|
|
formulasi | implementasi
kebijakan | kebijakan
|
|
|
|
policy agenda | policy outcome

policy evaluation and feedback

Gambar 58 Tiga Tahap Proses Kebijakan

Gambar 57 menunjukkan bahwa kendatipun policy adoption (Gambar 58) yang


oleh sementara kalangan dianggap sebagai bukti keberhasilan politik kekuasaan
(SKK), terletak di puncak dengan segala kemegahannya, dilihat dari sudut
governance belum apa-apa. Hasil akhir proses kebijakan bukanlah output yang
berbentuk kebijakan, peraturan, rencana atau pidato, melainkan outcome
sebagaimana dirasakan atau dialami oleh setiap orang terutama warga lapisan
“sampah masyarakat.”

BOK explanation
BOK Nomotetik

|
|
|
pada tingkat
penjelasan abstractness ini penjelasan
nomotetik yg terlihat adalah ideografik
prediktif kecenderungan,rerata deskriptif
yang umum dan seragaman
|
|
pertanyaan dari di sini baru semakin jelas, ter- BOK Ideografik
yg terpenting lihat perbedaan dan kesenjangan memperdalam yg khusus

evaluation and feedback utk pemikiran selanjutnya

Gambar 59 BOK Nomotetik dan BOK Ideografik

Penjelasan nomotetik yang bermula dari fenomena umum, berorientasi


kepentingan, atau bertujuan mencari kecenderungan dan rata-rata untuk

87
digeneralisasikan (pembenaran), sengaja atau tidak, bisa membawa bias yang
sangat besar, seolah-olah keberhasilan itu adalah kinerja pembuat kebijakan
(SKK), dan jika gagal adalah kesalahan pelanggan kebijakan (SKS, mana ada
kekuasaan yang menyalahkan dirinya sendiri dan secara otonom bersedia
menanggung risikonya? Paling-paling minta maaf!).

BOK explanation
BOK Nomotetik: Uji Hipotesis

|
|
|
pada tingkat
penjelasan abstractness ini penjelasan
nomotetik yg terlihat adalah ideografik
prediktif kecenderungan,rerata deskriptif
yang umum dan seragaman
|
|
pertanyaan dari di sini baru semakin jelas, ter- BOK Ideografik
yg terpenting lihat perbedaan dan kesenjangan memperdalam yg khusus*

evaluation and feedback utk pemikiran selanjutnya

Gambar 60 Unified (Combined) BOK: BOK Nomotetik dan BOK Ideografik


BOK Quantitative Dominant

Gambar 60 pendalaman terhadap hal yang khusus (*) mengacu pada komponen
BOK Kuantitatif (Tabel 5) yang memerlukan bantuan BOK Kualitatif untuk
membahasnya:
1. Identifikasi keterbatasan penelitian dari sudut metodologi (politik,
birokrasi, teori, responden, komunikasi dan teknologi informasi, dsb)
2. Epsilon (apa yang terjadi bila epsilon dijadikan bahan bangunan)
3. Penafsiran (interpretasi)
4. Reformulasi konsep (conceptualization) dan hipotesis
5. Rekonstruksi teori yang digunakan
6. Apakah hipotesis teruji?
7. Apakah BOK berfungsi?
Dengan demikian, pada BOK Kuantitatif (quantitative dominant), komponen
kualitatif masuk ke dalam BOK pada tahap (ruang) identifikasi masalah dan pada
tahap (ruang) pembahasan (Gambar 60). Telah dikemukakan juga bahwa pada
BOK Kualitatif (qualitative dominant), komponen kuantitatif berfungsi sebagai
jawaban teoretik, dan kemudian melalui penafsiran serta rekonstruksi data, hadir
sebagai temuan melalui proses conceptualization dan dalam bentuk grounded
theory. Maka terbentuklah BOK gabungan antara keduanya (combined BOK) ,

88
Gambar 60. Bagaimana halnya dengan sisi evaluasi dan feedback pada segitiga
kebijakan pada Gambar 58?

Jika sisi ini direkonstruksi menjadi BOK ketiga, terdiri dari komponen apa saja?
Input buat sisi ini adalah buah pendaratan kualitatif dan penjelasan ideografik.
Outputnya adalah pertanyaan seputar pelanggan yang nyata, yang paling
membutuhkan, pada dukungan hidup yang paling dibutuhkan, aspirasi setiap orang
yang kondisi, kebutuhan, dan kepentingannya satu dibanding dengan yang lain
yang berbeda-beda. BOK ini didasarkan pada faham demokrasi dan ajaran HAM
dan lingkungan hidupnya. Output ini pada gilirannya menjadi masukan bagi policy
agenda berikutnya. Untuk evaluasi pada proses (throughput) diperlukan tolokukur
dan tolakukur yang disepakati bersama yang disebut norma. Oleh sebab itu BOK
ketiga ini disebut BOK Normatif.

17
REKONSTRUKSI BOK: JAWABAN NORMATIF

Gambar 61 menunjukkan BOK kombinatif, meliputi BOK kuantitatif, BOK


kualitatif. BOK, dan BOK normatif. Ini bermula pada Gambar 58, 59, dan 60. dan
yang sebelumnya, pada sisi evaluasi dan feedback. BOK normatif berawal pada

BOK Nomotetik: Uji Hipotesis

|
|
|
pada tingkat
penjelasan abstractness ini penjelasan
nomotetik yg terlihat adalah ideografik
prediktif kecenderungan,rerata deskriptif
yang umum dan seragaman
|
|
pertanyaan dari di sini baru semakin jelas, ter- BOK Ideografik
hal yg umum lihat perbedaan dan kesenjangan memperdalam yg khusus*

evaluation and feedback utk pemikiran selanjutnya


BOK Normatif: Pola Perilaku Manusia di Dalam Masyarakat
dan Lingkungan Hidupnya. Fenomena dan Pertanyaan

Gambar 61 Unified (Triple BOK): BOK Kuantitatif, BOK Kualitatif, dan BOK Normatif

kualitas, hasil observasi atau eksplorasi terhadap keberadaan dan perilaku suatu
living organism, outward (masyarakat) dan inward (hatinurani)-nya, ke luar dan di

89
dalamnya. Kualitas itu kemudian diolah, ditimbang, dipilah dan dipilih, diberi
nilai. Nilai-nilai yang berguna bagi kelangsungan hidup dan kesejahteraan bersama
manusia di dalam masyarakat (governance), baik nilai sosial maupun nilai
hatinurani, diidentifikasi. Nilai-nilai tersebut kemudian disepakati menjadi pola
perilaku setiap orang di dalam masyarakat pada setiap lingkungan. Nilai yang
disepakati itu disebut norma. Dengan demikian, pola perilaku setiap orang dalam
ruang SKE, SKK, dan SKS adalah nilai yang disepakati bersama itu, dan bukan
hanya norma aturan hukum positif yang dibuat oleh SKK. Nilai-nilai sisa yang
belum atau tidak disepakati pada masyarakat-masyarakat lokal, menjadi isu dan
agenda bagi proses kebijakan pada tingkat nasional. Pada tingkat inilah bermula
BOK kuantitatif seperti telah diuraikan di atas. Baik BOK kuantitatif maupun BOK
kualitatif, tidak menjawab “bagaimana seharusnya sesuatu,” melainkan
“bagaimana kenyataannya, faktanya,” yang satu menjawab pada tingkat abstrak
teoretik, sedangkan yang lain menjawab sebagaimana adanya pada tingkat praktik,
BOK normatiflah yang berkompeten menjawabnya.

----------------------------------------
| JAWABAN |
| bangunan struktursupra |
| JAWABAN NORMATIF |
| |
| |
| |
| |
| PERTANYAAN |
| fondasi,bangunan strukturinfra |
----------------------------------------

Gambar 62 BOK Normatif


(Lihat juga Gambar 44, 45, 48, dan 54)

Pentingnya BOK normatif ini bahkan menjadi bahan pertanyaan fundamental bagi
Babbie, dengan meletakkannya pada ruang “social regularities,” setara dengan
natural law atau axioms. Sosial regularities itulah yang kemudian menjadi dasar
pembangunan BOK Sosiologi modern yang mampu menerangkan perilaku sosial
dan melakukan prediksi ke depan dengan menggunakan ketiga BOK, kuantitatif,
kualitatif, dan normatif.
.

90
18
EVERY SCIENCE BEGINS AS PHILOSOPHY AND ENDS AS ART

Pernyataan Will Durant yang mengawali bagian 2, mengakhiri bab I buku ini. Jika
Filsafat diibaratkan fondasi bangunan yang tidak kelihatan namun menentukan
tingkat kekokohan bangunan, maka Seni terlihat melalui seluruh penampakan
bangunan. Seni menentukan seperti apa bangunan itu terlihat oleh, dan apa makna
bangunan itu bagi pelanggannya (Seni Pemerintahan, lihat Bab 19, kaitkan dengan
Teknologi Pemerintahan Bab 30 Kybernologi 2003). BOK itu sendiri hanya
merupakan sebuah matarantai bangunan yang lebih besar sebagaimana ditunjukkan
melalui Gambar 4 dan Gambar 5. Seni Pemerintahan terajut oleh proses
penggunaan Ilmu dalam hal ini Kybernologi: titik-titik yang membentuk proses
empirik pemerintahan dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat.

seni

seni seni

BAHAN
DAN
KONSTRUKSI
seni seni

filsafat

Gambar 63 (dalam dua dimensi)


Every Science Begins as Philosophy
And Ends as Art---Will Durant

0212101649SDG
1101101132SDG
File METODOLOGI PEMERINTAHAN

91
92

Anda mungkin juga menyukai