1
Tulisan ini merupakan versi elektronik dari versi cetaknya.
Tidak untuk diperjual-belikan
Hak cipta atas setiap tulisan tersebut dilindungi oleh Undang-undang.
Pengutipan atas setiap tulisan harus dengan menyebutkan sumbernya
DENGAN KATA SAMBUTAN REKTOR IPDN
PROF. DR Drs H. I NYOMAN SUMARYADI, MSi
DITERBITKAN UNTUK
INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI (IPDN)
OLEH SIRAO CREDENTIA CENTER (SCC)
BEKERJASAMA DENGAN
YAYASAN KYBERNOLOGI INDONESIA (YKI)
PENGANTAR
Buku berjudul Kybernologi dan Metodologi: Metodologi Ilmu Pemerintahan
sejauh ini merupakan himpunan tulisan paling tipis di antara seri Kybernologi
sebelumnya. Bab I Metodologi Ilmu Pemerintahan ditulis memenuhi permintaan
Direktur Program Pascasarjana (PPs) Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)
Prof. DR Tjahya Supriatna, SU, melalui surat tgl 17 Desember 2009
No. 4235/256/AK/PPS/09 tentang Kesediaan Menyusun Silabi Mata Kuliah
Program S3, S2, dan Profesi Kepamongprajaan IPDN. Silabi dua matakuliah
lainnya, yaitu Kybernologi dan Kepamongprajaan, telah terbit dengan judul GBPP
Kybernologi dan Kepamongprajaan (2009).
Oleh sebab itu, buku Kybernologi dan Metodologi: Metodologi Ilmu Pemerintahan
ini diterbitkan untuk IPDN oleh Sirao Credentia Center (SCC), sebuah penerbit
nirlaba yang berkedudukan di Tangerang, bekerjasama dengan Yayasan
Kybernologi Indonesia (YKI) Jakarta, yayasan yang bertujuan mengembangkan
Kybernologi menjadi “ilmu bagi semua orang.” Yayasan itu sendiri berdiri
berdasarkan Akte Notaris Rr Idayu Kartika, SH, tgl 23 Desember 2006 No. 01,
disahkan dengan Keputusan MENHUKHAM RI No. C-1318.HT.01.02.TH.2007
tgl 20 April 2007 (Tambahan Berita Negara RI tgl 24/7 – 2007 No. 59). Dalam
hubungan itu disampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Rektor
IPDN Prof. DR Drs H. I Nyoman Sumaryadi, MSi,.atas sambutan beliau terhadap
penerbitan buku ini, dan kepada Ketua Umum YKI Jakarta
DR Ir A. Asri Harahap, SE, MM, atas kerjasama yang baik dengan Direktur SCC
Pdt Pramudianto, STh, SE, MMin.
Namun apa sesungguhnya yang terjadi? Sambil makan ambrosia dan minum
nectar, dewi dan dewa keluarga Olympia “joking, feasting, warring, playing tricks
on humans,” demikian W. H. D. Rouse dalam Gods, Heroes and Men of Ancient
Greece (1957). Olympia punya api, tanah manusia hanya punya lumpurnya.
Prometheus tidak nyaman dengan, dan tidak percaya terhadap pemerintahan
despotik a la Olympia itu. Kehormatan dan keadilan, menurut Prometheus, sama
seperti hidup dan kehidupan, bukan pemberian, bukan anugerah siapa-siapa, tetapi
nilai dasar bawaan manusia yang harus diakui, dihormati, dilindungi, dan dipenuhi
oleh Zeus dan para punggawanya. Kemerdekaan untuk memilih dan menentukan
sendiri masadepan jauh, jauh lebih terhormat dan adil ketimbang hidup dari
kemurahan hati dan belas kasihan rezim-rezim korup, Setiap orang, betapapun ia
dianggap tidak santun dan jahat, hina dan jelata, tetap memiliki kehidupan,
kehormatan dan berhak mengejari keadilan, dan oleh sebab itu, layak didengar.
Keinginan Prometheus untuk berbagi api, sumber kehidupan, dengan Zeus, tidak
digubris. “Tidak ada aturannya,” sahut Hermes. “Zeus tidak punya agenda untuk
membahas hal itu,” lanjutnya sambil mencibir.
Maka suatu ketika di musim hujan seperti ini (140110), kendatipun sadar bahwa
sepandai-pandai tupai meloncat, sesekali terpelesat jua, suatu waktu ulahnya
ketahuan karena mata-mata Zeus mengintai di mana-mana, telefon siapa saja
disadap, facebook dibungkam, bisa-bisa ia ditangkap dan dihilangkan tanpa bekas,
Prometheus sudah tunggang tak tertahankan dan beraksilah dia. Bumi kembali
gempar, bukan oleh Hermes tetapi oleh Prometheus: “Prometheus stealing
heavenly fire, Theseus slaying the Minotaur, Hercules straining under his Twelve
Labors, Jason seeking the Golden Fleece,” demikian Rouse kembali memberi
kesaksian di sampul belakang bukunya. Separatis! Pelanggaran! Tangkap!
Hilangkan! Sebuah jeritan panjang memilukan disertai erangan menyayat jiwa dari
mulut Prometheus yang dipaku di pegunungan batu bernama Caucasos, dan
kepakan dahsyat sayap burung rajawali yang mengoyak isi perut Prometheus
dengan paruhnya yang tajam sehingga memburai di angkasa, menyentakkan
penulis dari lamunannya, kembali di dunia nyata.
Pada tgl 22 Mei 2003, Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) meluncurkan satu produk
akademik bernama Kybernologi. Kybernologi adalah sebuah bangunan
pengetahuan (body-of-knowledge, BOK) pemerintahan (governance). Secara
formal, Kybernologi adalah bangunan pengetahuan (body-of-knowledge) hasil
rekonstruksi buah pendaratan Bestuurskunde, Bestuurswetenschap, dan
Bestuurswetenschappen di bumi Indonesia pada sudutpandang kemanusiaan,
tidak pada sudutpandang kekuasaan, dan pengaitannya dengan
sudutpandang lain yang berbeda, misalnya sudutpandang kekuasaan
Bestuurskunde (Belanda besturen) yang kemudian berkembang menjadi
Bestuurswetenschap dan Bestuurswetenschappen, di negeri asalnya yaitu Belanda,
didefinisikan sebagai “. . . . . ilmupengetahuan yang bertujuan memimpin
hidupbersama manusia ke arah kebahagiaan yang sebesar-besarnya, tanpa
merugikan orang lain secara tidak sah,” demikian van de Spiegel sebagaimana
dikutip oleh G. A. Van Poelje dalam bukunya Algemene Inleiding tot de
Bestuurskunde (1953). Bangunan BOK Bestuurswetenschap di masa itu di negeri
asalnya berderajat akademik tertinggi sehingga kepada lulusan program
pendidikannya dianugerahi gelar Doktor.
Melalui proses pembelajaran Program S1, S2 dan S3 sejak tahun 1994 (antara lain
bekerjasama dengan Universitas Padjadjaran), BOK tersebut kini di Indonesia
telah mencapai derajat keilmuan tertinggi yang utuh dan lengkap, seperti terlihat
dalam buku GBPP Kybernologi dan Kepamongprajaan yang terbit tahun lalu.
Esensi sisi Ontologi dan Epistemologi Kybernologi adalah Metodologi Ilmu
Pemerintahan, sementara sisi Axiologinya berkembang menjadi satu bidangkajian
dan program diklat baru bernama Kepamongprajaan. Perkembangan akademik
ini langsung mendukung kebijakan baru Pemerintah yang menetapkan IPDN
sebagai Penyelenggara Sistem Pendidikan Tinggi Kepamongprajaan
berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2009. Dengan demikian
Kybernologi bukan hanya judul seri buku yang terbit sejak tahun 2003, melainkan
sebuah BOK yang terus berkembang.
Penerbitan buku ini memperkaya khazanah pustaka Ilmu Pemerintahan yang masih
terhitung langka di Indonesia. Buku ini diharapkan menjadi pegangan bagi
segenap Masyarakat Akademik di lembaga-lembaga perguruan tinggi, khususnya
di lingkungan IPDN, dalam menjalankan proses belajar-mengajar di bidang Ilmu
Pemerintahan (Kybernologi) melalui Tridharma Perguruan Tinggi: pengajaran,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, dalam rangka membangun
pemerintahan Indonesia yang maju dan berkelanjutan.
1
PENGERTIAN
1
alat, ia pada hakikatnya tidak dapat dan tidak mau mengontrol dirinya sendiri.
Pemangku kekuasaan cenderung menempuh jalan pintas yang disebut korupsi,
mudah menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan kekuasaan dan dirinya
sendiri. Oleh sebab itu, kekuasaan harus dikontrol.
Siapa atau lembaga apa yang berfungsi mengontrol kekuasaan? “Jangan beli
kucing dalam karung,” demikian kearifan sosial kita. “Pembeli kucing” yang
membuka karung pada saat transaksi terjadi (di hilir) adalah masyarakat dalam
kualitasnya sebagai pelanggan. Sudah barang tentu, jauh sebelum ada larangan itu,
ada aturan (di hulu) yang menyatakan bahwa penjual harus membuka karungnya
dan memberi kesempatan kepada pelanggan untuk memeriksa isinya. Pembuat
aturan itu adalah masyarakat juga tetapi dalam kualitasnya sebagai konstituen.
Jadi masyarakat berfungsi mengontrol SKK di hulu melalui pembuatan peraturan,
dan di hilir melalui pemantauan dan evaluasi (monev). Konsekuensinya,
masyarakat menuntut pertanggungjawaban SKK atas penyelenggaraan fungsi-
fungsinya. Kepercayaan masyarakat kepada SKK bergantung pada
pertanggungjawaban tersebut. Usaha masyarakat untuk berperan mengontrol SKK
di hulu dan di hilir, yang berdampak pada tingkat kepercayaannya kepada
pemerintah, membentuk subkultur sosial (SKS) di dalam masyarakat.
2
besarnya, tanpa merugikan orang lain secara tidak sah,” demikian van de
Spiegel sebagaimana dikutip oleh G. A. Van Poelje dalam bukunya Algemene
Inleiding tot de Bestuurskunde (1953). Jadi sejak awal, Bestuurswetenschap itu
lahir di sudut (ke)manusia(an), bukan di sudut kekuasaan. Bangunan (body-of-
knowledge, BOK) Bestuurswetenschap di masa itu di negeri asalnya berderajat
akademik tertinggi sehingga kepada lulusan program pendidikannya dianugerahi
gelar Doktor.
--------------------------------------------------------------------------------
| |
| janji vote,trust,hope monev kinerja |
| ---------------- ---------------- ---------------- |
| | penepatan | | mandat,ke- | | SKK | |
| | 2 | | hormatan | | 5 | |
| SUMBER- | | 1 | | | |
| SUMBER | | DPR DPD | |
| | | | MEWAKILI MEWAKILI | |
| | | | KONSTITUEN PELANGGAN | |
| berva- | | | | | |
| riasi | | PEMILU | |
| | | | |
| | | | | | |
| SUBKULTUR SUBKULTUR SUBKULTUR SUBKULTUR |
| EKONOMI-------- KEKUASAAN-------- SOSIAL-------- KEKUASAAN------|
| (SKE) (SKK) (SKS) (SKK) |
| | | | |
| | | | |
| pemba- | | | | | |
| ngunan | | | | | |
| | | | | | | |
| | nilai | | redistribusi | | pertanggung- | |
| ---------------- ---------------- ---------------- |
| 3 nilai jawaban |
| 4 6 |
| |
-----------------------------------MASYARAKAT-----------------------------------
Bencana nasional yang terjadi pada tahun 1965 membawa kesadaran baru bahwa
ada yang tidak beres dalam penyelenggaraan negara. Kesadaran baru ini
mendorong usaha pendaratan-kembali Bestuurswetenschap, Bestuurswetenschap,
dan Bestuurswetenschappen di Indonesia pada sudutpandang yang berbeda, tidak
pada kekuasaan seperti di masa lalu tetapi pada (ke-) manusia (-an), yaitu habitat
yang melahirkannya di negeri asalnya, dan merekonstruksi hasil-hasilnya.
Rekonstruksi tersebut berlangsung senyap, tidak gegap, tetapi pasti, terlebih
setelah bencana nasional tahun 1998, disusul bencana nasional 2004-2005. Hasil
rekonstruksi buah pendaratan itu pada tgl 8 Mei 2000 diberi nama Kybernologi
(dari bahasa Greek kybernán, Inggeris steering, Belanda besturen, mengemudi,
3
diberi akhiran –logy, -logi) dan diluncurkan oleh Institut Ilmu Pemerintahan (IIP)
di Jakarta pada tgl 22 Mei 2003. Secara formal, Kybernologi adalah bangunan
pengetahuan (body-of-knowledge) hasil rekonstruksi buah pendaratan
Bestuurskunde, Bestuurswetenschap, dan Bestuurswetenschappen di bumi
Indonesia pada sudutpandang kemanusiaan, tidak pada sudutpandang
kekuasaan, dan pengaitannya dengan sudutpandang lain yang berbeda,
misalnya sudutpandang kekuasaan (Gambar 2).
PENDEKATAN
MENGGUNAKAN
KACAMATA
KEKUASAAN/
KEWENANGAN
sudut pendekatan
4
Istilah methodology terdiri dari methodos dan logos. Methodos berasal dari meta
dan hodos. Meta berarti beyond, “di luar sana,” yang belum diketahui (unknown),
sedangkan hodos berarti jalan, cara, atau alat. Jadi metodologi adalah jalan (cara,
alat) yang ada (known) yang perlu ditempuh (digunakan) oleh seseorang (knower)
untuk mengetahui (knowing) sesuatu yang belum diketahui. Knowing
menghasilkan pengetahuan (knowledge). Menurut Fred N. Kerlinger dalam Bab I
Foundations of Behavioral Research (1973), ada empat cara (methods of) knowing,
yaitu the method of tenacity, the method of authority, the method of intuition (a
priori method), dan the method of science. Dilihat dari sudut the method of
science, Metodologi Ilmu adalah metodologi yang didasarkan pada hipotesis-dasar
berbunyi: “There are real things, whose characters are entirely independent of our
opinion about them.” Bagian sesuatu yang belum diketahui yang bisa diketahui
disebut sesuatu yang dapat diketahui (knowable), sedangkan bagian yang
selebihnya meliputi bagian yang belum diketahui dan bagian yang tidak dapat
diketahui (unknowable). Hubungan antara bagian yang diketahui dengan bagian
yang tidak diketahui itu ialah, semakin diketahui, semakin tidak diketahui.
KNOWER
|
|
KNOWN---------->KNOWING----------->KNOWABLE---------->UNKNOWABLE--------->?
| |
| |
------------KNOWLEDGE<--------------
5
2
HUBUNGAN METODOLOGI DENGAN FILSAFAT ILMU
“Every science begins as philosophy and ends as art, it arises in hypothesis and
flows into achievement. Philosophy is a hypothetical interpretation of the unknown
(as in metaphysics), or of the inexactly known (as in ethics or political
philosophy); it is the front trench in the siege of truth. Science is the captured
territory; and behind it are those secure regions in which knowledge and art build
our imperfect and marvelous world,” demikian Will Durant dalam The Story of
Philosophy (1956). Filsafat Ilmu meliputi tiga hal. Pertama Ontologi (ontologia,
cabang Metafisika; Metafisika sendiri mempelajari the nature of existence), yaitu
sistem pemikiran tentang hakikat sesuatu objek pengetahuan. Sutan Takdir
Alisjahbana (STA) dalam Pembimbing Ke Filsafat I Metafisika (1952)
menggambarkan hakikat itu sebagai Serbatunggal dan Serbaganda (Bab IV),
Serbazat (Bab V) dan Serbaroh (Bab VI), Serbadua dan Serba(e)sa Bab VII),
Serbasawat dan Serbatuju (Bab IX), Serbatentu dan Serbataktentu (Bab X).
Hakikat lainnya terlihat pada Bab VIII berjudul Perhubungan Sebabakibat. Dalam
bab itu STA berpendapat segala sesuatu serbahubung, khususnya hubungan kausal.
Pada suatu saat suatu hal merupakan akibat dari sesuatu, pada saat lain hal yang
sama menjadi sebab terjadinya sesuatu yang lain pula.
Kedua, Epistemologi (epistēmē, pengetahuan). Epistemologi di sini meliputi apa
yang oleh M. J. Langeveld dalam Menuju Ke Pemikiran Filsafat (1957) disebut
Logika (Bab IV) dan Teori Pengetahuan (Bab V). Ia memasukkan Metodologi
dalam Logika. Epistemologi adalah sistem pemikiran tentang “tau,” “mungkin
tau,” “tidak tau,” dan “bagaimana mengetahui sesuatu.” Kebenaran sebagai carian
Epistemologi dibahas oleh Langeveld dalam Bab III bukunya.
Ketiga, Axiologi (dari áxio, bernilai, berharga) yaitu Teori Nilai meliputi Etika,
Estetika, Kepercayaan, dan sebagainya (Bab VII Langeveld). Oleh sebab itu,
sementara Epistemologi membentuk faktor “tau,” Epistemologi membangun
kekuatan “mau” dan “mampu” dalam diri manusia.
Gambar 4 menunjukkan hubungan antara tiga liputan Filsafat Ilmu tersebut.
Gambar 4 juga menunjukkan bahwa Metodologi meliputi Metodologi Penelitian,
Metodologi Ilmu, dan Metodologi Pengajaran, dengan ruang lingkup masing-
masing. Metodologi Penelitian (Research) mempelajari bagaimana menemukan
pengetahuan dari hasil pengamatan terhadap fakta melalui pendekatan kualitatif
dan kuantitatif, Metodologi Ilmu mempelajari bagaimana mengonstruksi
(merekonstruksi) pengetahuan menjadi bangunan pengetahuan (body-of-
knowledge, BOK), dan memfungsikannya sehingga BOK yang bersangkuitan
berkualitas ilmu (science). Metodologi Pengajaran mempelajari bagaimana
6
--KUALITATIF---
PENE | |
--ONTOLOGI --LI-----| |--
| | TIAN | | |
| | --KUANTITATIF-- |
| | |
| | --BAHAN BAKU<-----
FIL- | EPIS- METO- | | | keber-
-->SAFAT--|--TEMO---DO- ---|--ILMU---| |--BOK---------ILMU
| ILMU | LOGI LOGI | | | fungsian |
| | | --KONSTRUKSI--- |
| | | |
| | | --DIDAKTIK----- |
| | | PENGA- | | SCIENTIFIC
| --AXIOLOGI --JA- ---| |<-------------ENTER-
| | RAN | | PRISE
| | --METODIK------|
| | |
| ----------->NILAI------------------
| |
| |
-------------FEEDBACK-----------
identifikasi
deskripsi
diolah diuji dikons- BODY OF eksplanasi ILMU
-->DATA----->INFO----->PENGE- --------->KNOWLEDGE----konstruksi-->PENGE---
| TAHUAN truksi (BOK) prediksi TAHUAN |
| diagnosis |
| kontrol |
| direkam dengan concept (kuanti) |
|--direkam peneliti sebgmn adanya saat digunakan--|
| ”keluar” dari sumbernya (kuali) |
| |
| |
| scientific |
---FAKTA<-----PENERAPAN<-----KEBIJAKAN<-----PEMASARAN<-------enterprise---
diklat
<------------------------METODOLOGI PENGAJARAN----------------------------->
7
metodologi itu lebih lanjut ditunjukkan dalam Gambar 5.
3
BAHAN BAKU BOK: DATA
Data berasal dari kata datum (tunggal) dan data (jamak), dari dare, a thing given,
individual fact. Fact adalah the quality of existing, or of being real. Factum,
facere, to do. Fakta adalah kualitas keberadaan sesuatu, misalnya fenomena,
kejadian, peristiwa, atau keadaan. Data berfungsi sebagai:
1. Bahan baku dan juga sebagai bahan bangunan. Tanah liat adalah bahan baku
pembuatan batubata, sementara batubata merupakan bahan bangunan.
2. Bahan baku untuk diolah menjadi informasi. Salah satu bentuk informasi
adalah masalah pemikiran. Masalah pemikiran adalah sesuatu yang
mendorong atau membuat orang berfikir, yaitu keingintahuan (curiosity).
3. Jawaban faktual terhadap masalah pemikiran, terutama pemikiran
berpendekatan kualitatif
4. Bahan mentah pengujian empirik terhadap hipotesis
5. Alat untuk memaparkan suatu hal secara deskriptif
6. Alat pendukung permasalahan pemikiran (dari dalamnya dimunculkan
masalah pemikiran)
7. Temuan penelitian
8. Bahan mentah untuk analisis statistik
8
artinya alat itu mengukur apa yang dapat diukurnya: kunci roda untuk
membuka roda dan bukan tang, gram untuk mengukur berat dan bukan liter.
Reliable artinya penggunaan alat ukur valid yang sama memberikan hasil
yang sama walau digunakan untuk objek, waktu, dan tempat yang berbeda-
beda. Hasilnya adalah data kuantitatif.
Dimensi-dimensi data:
1. Waktu, kemutakhiran, urutan data menurut waktu, dan periode data (time
series)
2. Lokasi atau setting terjadinya fakta yang hendak direkam
3. Kejelasan sumbernya
4. Kejelasan substansi fakta (tentang apa)
5. Relevansi data dengan pokok pemikiran
6. Kompatibilitas data dengan data lainnya
7. Faktualitas (factuality)
8. Akurasi, reliability
9. “Bersih,” “kebersihan” data, artinya bebas-cacad, bebas salah-ketik, salah
ejaan, salah bahasa, dsb)
10. Keamanan data
11. Kemudahan (aksesibilitas, servabilitas) untuk pelanggan
12. Validitas data
13. Status data (database, dokumen, rahasia, terbatas, dsb)
9
tetapi di fihak lain bernilai rendah, karena biasa ketinggalan zaman (out-of-
date)
3. Data Primer yaitu data “kasar” (raw data) yang belum diolah
4. Data Sekunder adalah data olahan dari data primer.
5. Data Kualitatif adalah data hasil perekaman sekenal dan sebulat mungkin
seluruh kualitas suatu fakta sebagaimana adanya pada saat “keluar dari
sumbernya,” dengan alat rekam yang ada, terutama pengamatan dan
pengalaman
6. Data Kuantitatif adalah data hasil rekaman fakta dengan menggunakan
konsep atau konsep-konsep tertentu sebagai alat rekam dan alat ukur.
7. Data Berulang adalah hasil rekaman kejadian atau peristiwa pada sisi
keulangannya, misalnya upacara ulang tahun kemerdekaan
8. Data Sekalilalu, yaitu hasil rekaman kejadian atau peristiwa pada sisi
kesekalilaluannya, misalnya upacara ulang tahun kesepuluh
9. Data Kontinyu (continuous data). Disebut demikian jika di antara dua nilai
dapat disisipkan nilai lain, Misalnya usia. Di antara usia 14 dan 15 tahun
secara teoretik dapat disisipkan usia 14⅛ tahun
10. Data Diskrit (discrete data). Disebut demikian jika di antara dua nilai tidak
bisa disisipkan nilai lain. Misalnya jumlah anak. Jumlah anak dalam sebuah
keluarga bisa 2 dan bisa 3, tetapi tidak mungkin 2⅓ anak
Database bukan sekedar bahan baku tetapi bisa jadi bahan bangunan. Data
berkualitas database jika data itu definitif, terstandardisasi, dan merupakan
referensi buat data lainnya. Misalnya data kependudukan.
4
BAHAN BOK: KONSEP (CONCEPT)
Konsep bukan konsepsi dan bukan draft. Konsep adalah pengertian. Sebuah
pengertian bisa terdiri dari beberapa kata atau kalimat. Di satu fihak, konsep adalah
satuan pengetahuan, dan di fihak lain konsep adalah alat untuk merekam,
“menangkap” atau “menjaring” suatu fakta (Gambar 5) pada suatu saat. Menurut
kamus, konsep (concept) adalah “an idea or something formed by mentally
combining all its characteristics or particulars; a construct.” “Basic building blocks
of theory,” demikian Turner sebagaimana dikutip oleh Earl Babbie dalam The
Practice of Social Research (1983, h. 37). “A concept expresses an abstraction
formed by generalization from particulars,” demikian Kerlinger. Contoh abstraksi
(ladder of abstraction) terdapat dalam Djadja Saefullah, Pemikiran Kontemporer
Administrasi Publik (2007, h. 13). Contoh lain terdapat dalam Taliziduhu Ndraha,
10
Research: Teori, Metodologi, Administrasi I (1985, h. 22).
FAKTA
-------------------------------------------observasi-----------------------
| | |
| khusus |
| | |
| BUKU TULIS |
| | |
| ---------- |
| | | |
| ------ ------- |
| BUKU TULIS ----------| BUKU | | TULIS |------- |
| | | ------ ------- | |
| | | | | | |
| | | per- per- | |
|---BUKU LAIN-----BUKU---konsep---umum---sama beda---diabstraksikan |
| | | an an | |
| | | | | | |
| | | ------ -------- | |
| BUKU GAMBAR ----------| BUKU | | GAMBAR |------ |
| ------ -------- |
| | | |
| ---------- |
| | |
| BUKU GAMBAR |
| | |
| khusus |
| | |
-------------------------------------------observasi-----------------------
FAKTA
jika di atas meja terletak sebuah buku tulis dan sebuah buku gambar yang tentu
saja berbeda, dan seseorang disuruh mengambil buku, maka ia tentu saja sedikit
banyak ragu-ragu, buku mana yang dimaksud di antara dua buku yang ada.
Berbeda halnya jika yang bersangkutan disuruh mengambil buku gambar (konsep
berkualitas dua), keragu-raguan itu hilang. Semakin lengkap kualitas suatu
konsep, semakin kualitatif konsep, dan semakin definitif konsep itu.
11
perilaku ditimbang disepakati
-->KONSEP--------->KUALITAS--------->NILAI-------------->NORMA
| bisa dipaksakan (N)
| |
| |
| feedback N<H dimonitor ditegakkan |
---------------N=H<--------------HASIL---------------------
feedforward N>H dievaluasi (H) diterapkan
Definisi konsep diambil dari teori atau sumber tertentu, dan sedapat-dapatnya tidak
dari kombinasi berbagai teori atau sumber. Sebab pengombinasian definisi dari
berbagai sumber tidak bisa langsung digunakan, harus diuji dulu. Juga tidak dari
suatu kebijakan, undang-undang, atau peraturan, karena ketiganya bukan teori.
Yang menyatakan sesuatu itu definisi konsep(tual) seharusnya penulis sumbernya,
bukan peneliti. Formula sebuah definisi tidak boleh tautologik seperti A = A yang
B, melainkan A = B yang C (ref. Irving M. Copi, Introduction to Logic, 1959,
Chapter Four). A disebut definiendum dan B yang C adalah definiens. Misalnya
“segitiga (definiendum) adalah bidang yang dibatasi oleh tiga garislurus
(definiens).”
Bagaimana jika fenomena yang diteliti merupakan fenomena baru atau langka,
belum diteliti secara akademik, atau belum ada definisinya? Misalnya fenomena
kepemimpinan kepala desa pantai rawan tsunami. Katakanlah, konsep
“kepemimpinan kepala desa pantai rawan tsunami” itu belum ada. Jika konsep
yang ada hanya definisi konsep “kepemimpinan,” maka harus dibentuk
(dirumuskan) definisi konsep “kepemimpinan kepala desa,” dan selanjutnya
definisi konsep “kepemimpinan kepala desa pantai rawan tsunami.” Proses
pembentukan konsep baru ini disebut conceptualization (konseptualisasi).
Konseptualisasi adalah proses pembentukan konsep (baru) dengan memasukkan
kualitas (karakteristik) yang baru ke dalam konsep yang ada bersama
karakteristiknya, sehingga definisi konsep yang baru dapat dirumuskan. Jadi dalam
definisi konsep kepemimpinan dimasukkan (ditambahkan) karakteristik
kepemimpinan kepala desa, karakteristik kepemimpinan kepala desa pantai, dan
karakteristik kepemimpinan kepala desa pantai rawan tsunami, melalui analisis
berbagai teori yang relevan. Dengan demikian, kualitas konsep terlengkapi dan
diperkaya.
12
Kerlinger menarik perbedaan dan hubungan antara concept dengan construct. Jika
concept diumpamakan unsur bangunan tertentu, sebuah komoditi, misalnya sebuah
kipas angin, maka construct adalah kipas angin yang sama yang telah dipasang di
dinding atau langit-langit sebuah kamar dan menjadi bagian integral seluruh
bangunan. Jadi construct adalah concept yang telah digunakan menjadi bagian
integral bangunan yang lebih besar. Dalam hubungan ini BOK. Besar
kemungkinan, komoditi itu dimodifikasi atau dipesan khusus hanya untuk
bangunan terkait. Bisa juga, konsep yang terbentuk di lingkungan sebuah
bangunan dengan fungsi tertentu, digunakan untuk bangunan lain dengan fungsi
yang berbeda.
13
5
JARAK KONSEPTUAL
Definisi konsep berfungsi menunjukkan dimensi-dimensi konsep. Pada gilirannya
definisi operasional dibuat berdasarkan definisi konsep. Definisi suatu variable
X Z Y
X----------<-----Z----->-----------Y
kepemimpinan (Z), semakin dekat jarak antara kedua konsep itu (Gambar 9). Pada
suatu kondisi, bisa saja X konsentrik dengan Y. Jika itu terjadi, maka X = Y. Jarak
14
konseptual = nol. Pada kondisi itu, konstruksi hubungan eksternal antar konsep
tidak valid. Pemikiran dianggap valid jika Z minimal lebih besar daripada nol
(Gambar 9), tetapi tidak “tidak terhingga.” “Tidak terhingga” sama dengan nol.
X1 goals----------
|
X2 standards------|
|
X3 feedback-------|
|
VARIABEL X X4 opportunity----|------->performance VARIABEL Y
|
X5 means----------|
|
X6 competence-----|
|
X7 motive---------
Konsep “jarak konseptual” dibentuk seperti konstruksi konsep “jarak social” dalam
Sosiologi atau “jarak kekuasaan” dalam Ilmu Politik. Jarak konseptual
menunjukkan tingkat atau derajat (variabilitas) keeratan hubungan antara dua atau
lebih konsep, dekat atau jauh. Jika hubungan itu bersifat kausal atau pengaruh,
---contingent factors---
| | |
X------------Z1-----------Z2----------Z3-----------Y
| | | | |
--->X1 GOAL------>ACTIVITY--->OPPORTUNITY-->STANDARD-->PERFORMANCE
| X7 MOTIVE TIME, SPACE PROCEDURE |
| X6 COMPETENCE X4 X2 |
| X5 MEANS |
| |
---------FEEDBACK<---------EVALUASI<---------PELANGGAN<-----
X3 = Z4
X--->Y jembatan, objek penelitian; Z1, Z2, Z3, Z4, contingent factors
(necessary factors), tiang penyangga yang menerangkan bagaimana X
mempengaruhi Y atau bagaimana Y bergantung pada X. Untuk menjadikannya model
sirkuler, ditambahkan activity, pelanggan, dan evaluasi sebagai contingent
factors baru. Dalam hubungan itu, feedback adalah Z4. Factor Z tidak bisa
diepsilonkan semuanya; jika X1 dan X7 diteliti, yang bisa dijadikan epsilon
hanya X5 dan X6. Jadi “epsilonisasi” variable itu tidak boleh sembarangan
atau suka-suka!
15
maka semakin dekat hubungan (semakin pendek jarak) antara X dengan Y, maka
semakin langsung pengaruh X terhadap Y, semakin pendek “jembatan” antara X
dengan Y, dan semakin tidak diperlukan tiang penyangga (Z) antara keduanya.
Sudah barang tentu, semakin ringan pula masalahnya. Antara “makan” dengan
“kenyang,” tidak ada yang perlu dipertanyaan, karena jika makan cukup, pasti
kenyang, lihat Gambar 10. Sebaliknyalah yang terjadi bilamana hubungan itu
semakin jauh (Gambar 11).
Untuk menemukan jarak konseptual, diperlukan definisi konsep, dan dari definisi
konsep dapat diketahui dimensi-dimensi, baik dimensi X maupun dimensi Y.
Derajat kedekatan antara dimensi X dengan dimensi Y itulah yang menunjukkan
hubungan antar konsep sebagai dasar rekonstruksi teori. Baca Bab XIII
Kybernologi Sebuah Profesi (2007) dan Bab IX Kybernologi Sebuah
Metamorphosis, 2008
6
HUBUNGAN ANTAR KONSEP
16
berada di luar (eksternal) akibat. Dilihat dari sisi ini, tidak ada faktor internal
sebagaimana disangkakan banyak orang. Di dalam organisasi ada uang dan SDM.
Uang (faktor) terhadap SDM (result) di dalam (internal) organisasi, tetapi uang
bukan faktor internal organisasi melainkan dimensi organisasi. “Ada tiga kriteria
hubungan kausal,” demikian Babbie.
1. Yang satu (cause) persis (in time) mendahului yang lain (effect)
2. Yang satu dengan yang lain secara empirik berkorelasi
3. Korelasi empirik antara yang satu dengan yang lain tidak dipengaruhi oleh
fihak ketiga
Menurut Babbie lebih lanjut, ada dua macam causes, yaitu necessary cause dan
sufficient cause (Gambar 11). “A necessary cause represents a condition that must
be present for the effect to follow,” woman---->pregnant. “A sufficient
cause represents a condition which, if it is present, inevitably results in in the
effect,” army---->uniform. Yang satu “must,” yang lain “if.” Katahubung
antara satu dengan yang lain adalah “terhadap,” “Pengaruh X terhadap Y,”
“Apakah X berpengaruh terhadap Y?” “Jika. . . . . , maka. . . . . .” Cause dan
effect disebut terminal dan simbol ----> menunjukkan rute antar terminal.
Yang menjadi persoalan sekarang ialah, hubungan itu deterministik atau tidak? Di
dalam ruang perilaku manusia, akibat yang sama ditimbulkan oleh sebab yang
berbeda-beda. Derajat kepastian hubungan pengaruh antara X dengan Y dalam
lingkungan sosial, lebih rendah ketimbang lingkungan fisikal. Kinerja
(performance) pada Gambar 11 memang secara sufficient dipengaruhi oleh tujuh
faktor (Gambar 10), tetapi performance itu sendiri contingent pada Z1Z2Z3
(contingent, necessary factors). Faktor-faktor itulah yang memastikan kadar
kinerja. Dengan demikian, pemikiran Ilmu-Ilmu Sosial tidak berhenti pada
penemuan faktor-faktor sufficient saja, tetapi harus mengejar faktor-faktor
contingent-nya. Dengan perkataan lain, dalam Kybernologi, implementasi
kebijakan merupakan contingent faktor keberhasuilan kebijakan itu sendiri.
Konsekuensinya ialah, implementasi kebijakan tidak boleh diposisikan sebagai cek
kosong yang bebas diisi oleh implementor sesuka-suka hatinya.
Selanjutnya, jika korelasi empirik antara yang satu dengan yang lain dipengaruhi
oleh fihak ketiga, maka hubungan antara yang satu dengan yang lain disebut
korelasional. “Semakin meningkat pendidikan, semakin semakin meningkat jumlah
mobil.” Faktor ketiga adalah “Semakin meningkat pendapatan.” Yang satu tidak
langsung mempengaruhi yang lain, faktor ketigalah yang melakukannya.
Katahubung antara yang satu dengan yang lain adalah “dengan” (hubungan X
dengan Y) dan rumus hipotesisnya “Semakin. . . . . , semakin. . . . . .”
17
Ketiga, hubungan positif dengan hubungan negatif. Hubungan antara X dengan
Y disebut positif jika secara empirik nilai yang satu naik diiringi kenaikan nilai
yang lain, atau sebaliknya jika secara empirik nilai yang satu turun, nilai yang lain
juga turun. Hubungan itu disebut negatif, jika secara empirik nilai yang satu naik
sementara nilai yang lain turun, atau sebaliknya.
7
BAHAN BOK: TEORI (THEORY)
18
Many theories make a causal statements, or a proposition, about the expected
relation among variables.” “A theory is a set of interrelated constructs (concepts),
definitions and propositions that present a systematic view of phenomena by
specifying relations among variables, with the purpose of explaining and
predicting the phenomena,” demikian Kerlinger. Donald R. Cooper dan C. William
Emori dalam Business Research Methods (1995), menjelaskan perbedaan dan
--------TEORI---------
| |
abstraksi | |
DATA------------------>KONSEP KONSEP
| | |
| | |
|<-------direkam |---operasionalisasi---|
| | |
| | |
FAKTA----------------->VARIABEL VARIABEL
nilai | |
| |
------HIPOTESIS-------
19
generalisasi empirik (empirical generalization) yang bersifat induktif, dan
pendekatan kuantitatif yang berjalan dari teori ke observasi melalui pengujian
hipotesis dan bersifat deduktif.
------------->THEORIES--------------
| |
| |
| |
EMPIRICAL HYPOTHESES
GENERALIZATIONS |
| |
| |
| |
------------OBSERVATIONS<-----------
Inti dinamik suatu teori adalah hipotesis. Pemikiran bermula dari keingintahuan
(curiosity). Keingintahuan itu dirumuskan dalam bentuk pertanyaan (question).
Kerlinger menyatakan bahwa masalah penelitian “should express a relation
between two or more variables. It asks, in effect, questions like: “Is A related to
B?” How are A and B related to C?” How is A related to B under condition C and
D?” Ada yang cenderung mengambil jalan pintas yang lebih mudah, yaitu
mengutip “temuan” (sebenarnya hipotesis) penelitian orang lain sebelumnya yang
berbunyi: “X mempengaruhi Y,” sehingga yang bersangkutan tinggal melanjutkan
dengan pertanyaan: “Seberapa besar pengaruh X terhadap Y?”
Pertanyaan pemikiran dijawab dengan dua cara. Langsung merekam fakta empirik
yang dipertanyakan (ingin diketahui), yaitu melalui pendekatan kualitatif, atau
berkonsultasi dengan teori yang ada. Pertanyaan dijawab dengan teori berdasarkan
alasan, bahwa teori yang ada merupakan jawaban yang telah teruji dalam
masyarakat, bahkan dalam sejarah. Menurut Earl Babbie dalam The Practice of
Social Research, (Bab 2, 1983), dalam penelitian kuantitatif yang menggunakan
metodologi deduktif, masalah (pertanyaan) penelitian dijawab dengan teori dan
hasil deduksi teori berakhir pada hipotesis. Jadi hipotesis adalah jawaban teoretik
terhadap pertanyaan pemikiran. Hipotesis disebut juga jawaban sementara karena
hipotesis perlu diamati, diuji, atau dibuktikan dengan fakta (secara empirik), agar
kualitasnya sebagai “hipō-” “sub-” (under), “supposition,” (“ponere,” to put under)
berubah meningkat menjadi “tithenai,” yang kemudian menjadi thesis (pernyataan,
dalil, proposisi). Berbagai pertanyaan dengan bermacam-macam hipotesis sebagai
jawabannya muncul di lingkungan dunia akademik di Indonesia.
20
body-of-knowledge (BOK)
|
|
theory
|
---------------------
| |
concept concept
| |
|---operasionalisasi--|
| |
variable variable
| |
|------hypotesis------|
| | |
dimensions | dimensions
| | |
| | |
indicators | indicators
| | |
| | |
items-----testing-----items
| |
| |
------alat ukur------
Gambar 14 Hipotesis
21
sembarangan, melainkan perkiraan berdasarkan analisis teoretik yang relevan dan
kuat.
X----------------->Y
|
-----|-----
| | |
D1 D2 Dn D = dimensi
Gambar 15 Dimensi-Dimensi X
berubah menjadi
22
D1 (X1)-----
|
D2 (X2)-----|------------>Y
|
Dn (Xn)-----
Model Gambar 16 harus dianalisis lebih lanjut, artinya dimensi-dimensi X1, X2,
Xn harus diidentifikasi, kemudian dimensi baru itu berubah lagi menjadi variable
bebas, demikian terus-menerus. Kapan berakhirnya? Oleh sebab itu harus diingat
bahwa faktor berbeda dengan dimensi dan dimensi tidak boleh diperlakukan
sebagai faktor atau variable bebas. Kesalahfahaman tentang faktor dengan dimensi
ini sering terjadi. Misalnya pada hari Sabtu 12 November 2005, di gedung Program
Pascasarjana sebuah universitas besar di Bandung, Ujian Disertasi (biasa juga
disebut Ujian Terbuka, promosi Doktor) mahasiswa Program Doktor atas nama
L3G03810 dan L3G03855, berlangsung. Inilah promosi Doktor ke 5 dan 6
Program tersebut yang dibuka sejak tahun 2000. Keduanya berhasil
mempertahankan naskah disertasi masing-masing dalam Ujian Naskah Disertasi
(Ujian Tertutup) sekitar tiga bulan sebelumnya.
23
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ---------------------> KEMANDIRIAN
PENYULUHAN PERTANIAN KELOMPOK TANI
|
|
komunikasi
sumberdaya
disposisi
struktur birokrasi
KOMUNIKASI--------------
|
SUMBERDAYA--------------| IMPLEMENTASI PENDA-
|------>KEBIJAKAN --------->PATAN
DISPOSISI---------------| PERBERASAN PETANI
| |
STRUKTUR BIROKRASI------ |
|
harga dasar
----------------------------------------------------------------------
DISERTASI PERTANYAAN JAWABAN TEORETIK
----------------------------------------------------------------------
D5 Bagaimana Pengaruh X X Berpengaruh Terhadap Y
Terhadap Y?
24
Segera terlihat bahwa terdapat inkonsistensi antara pertanyaan dengan jawaban
pada D5. Pertanyaan “bagaimana” (“how”) dalam bahasa Indonesia menunjukkan
beberapa makna (arti), yaitu sebagai proses yaitu contingent atau necessary factors
yang diperlukan untuk menghasilkan suatu output, dan sebagai kualitas, misalnya
“baik,” “lancar,” dan sebagainya. Jadi pertanyaan “bagaimana” dalam arti pertama,
sangat penting, dan berkaitan erat dengan pertanyaan “mengapa.” Jika “mengapa”
bertanya tentang penyebab penyakit, “bagaimana” bertanyan tentang cara
mencegah dan mengobatinya. Sudah barang tentu, pertanyaan “bagaimana” dalam
arti kedua hanya layak untuk penelitian kualitatif yang langsung dapat menjawab
dengan fakta empirik. Jawaban “berpengaruh” pada Tabel 1 menunjukkan output,
bukan proses atau kualitas.
25
hanya satu yaitu harga dasar beras. Apakah harga dasar beras dapat diposisikan
sebagai dimensi implementasi kebijakan perberasan?
X Z Y
KOMUNIKASI--------------
|
SUMBERDAYA--------------| IMPLEMENTASI KESEJAH-
|------>KEBIJAKAN --------->TERAAN
DISPOSISI---------------| PERBERASAN PETANI
| | |
STRUKTUR BIROKRASI------ | |
| |
(dengan dimensinya masing- manajemen dan ope- HDI
masing) rasi perberasan
X Z Y
KOMUNIKASI------------
|
SUMBERDAYA------------| IMPLEMENTASI KE- KEMANDIRIAN
|---->BIJAKAN PENYULUH- ---> KELOMPOK
DISPOSISI-------------| AN PERTANIAN TANI
| | |
STRUKTUR BIROKRASI---- | |
| |
(dengan dimensinya manajemen dan operasi HDI
masing-masing) penyuluhan pertanian
Ada juga yang berusaha menjawab pertanyaan “seberapa besar” itu dengan
hipotesis berbunyi: “Semakin tinggi X, semakin tinggi Y” (hubungan positif) atau
“Semakin tinggi X, semakin rendah Y” (hubungan negatif). Jawaban yang
berbunyi demikian bukanlah jawaban terhadap pertanyaan “seberapa besar,”
tetapi jawaban terhadap pertanyaan “bagaimana sifat hubungan antara X dengan
Y.” Pertanyaan ini didahului dengan pertanyaan “Adakah hubungan teoretik antara
Y dengan X?” Barulah kemudian: “jika ada, bagaimana sifat hubungan itu?”
26
“Besarnya pengaruh,” yang ditunjukkan oleh koefisien hubungan (r) atau pengaruh
R) pada hipotesis berepsilon, bias, tidak sesuai dengan fakta. Lebih-lebih di bidang
Ilmu Sosial, akurasi temuan penelitian, dalam hal ini “besarnya pengaruh,”
relative. Penyebabnya antara lain faktor “science is not portable,” “sufficient
factors” yang tidak lengkap, “contingent factors” yang sulit diidentifikasi
mengingat proses social bersifat culture bound, dan contingent factor diwarnai
oleh cultural lag, hubungan antar faktors yang berbeda-beda dan berubah-ubah,
sehingga selalu saja ada faktor yang belum diketahui. Jika diketahui sekalipun,
mungkin sulit diteliti. Hal-hal itu membuka ruang abu-abu yang disebut factor
epsilon. Mengingat epsilon itu, pertanyaan “Bagaimana X mempengaruhi Y,” atau
“Di bawah kondisi apa X mempengaruhi Y,” jauh lebih penting ketimbang
pertanyaan “Seberapa besar” itu, demikian Kerlinger dan Babbie di atas. Sebab,
walaupun koefisien hubungan itu diketahui, selalu saja koefisien itu bias.
X GRAND THEORY
|
|
|
tingkat
abstractness MID-RANGE THEORIES
konsep
|
|
|
| LOWER RANGE THEORIES
|
X-----------------------JARAK KONSEPTUAL-----------------------Y
27
terjadi, semakin besar teori. Pada tingkat tertentu, teori seperti itu disebut
Teori Besar (Grand Theory). Selanjutnya, semakin besar atau kuat dukungan
variable penyangga (variable antara, contingent factor), kemerosotan
pengaruh X terhadap Y semakin kecil atau semakin lemah, dan explanatory
power pemikiran semakin kuat (masalah pemikiranpun semakin jelas).
8
BAHAN (BOK):
OBJEK MATERIA DAN OBJEK FORMA
Gambar 22 Pendekatan
Pendekatan awal Kybernologi bertolak dari sebuah dalil Filsafat Ilmu berbunyi
credo et intelligam (percaya baru tau). Pendekatan ini disebut pendekatan
metadisiplin, karena pada saat Y dipandang, alat memandang bukanlah
pengetahuan (teori Kybernologi), karena Kybernologi pada saat itu secara formal
belum ada, melainkan credo. Kalaupun pemandang X menggunakan alat Z, alat itu
bukanlah Kybernologi, melainkan kompleks disiplin lain, misalnya Teologi,
Filsafat, Fisika, Biologi, Demografi, Sosiologi, Politik, dan sebagainya. Kompleks
inilah sumber bangunan Ontologi Kybernologi (Gambar 23).
Dengan pendekatan metadisiplin itu, terlihat hubungan pemerintahan (Gambar 23.
Hubungan pemerintahan itu terdapat dalam setiap masyarakat. Dalam hubungan
pemerintahan itu berlangsung interaksi antar subkultur masyarakat (Gambar 1).
28
ALLAH
mencipta
CIPTAAN<---------------------HUBUNGAN PEMERINTAHAN--------------------->
MAKHLUK
MANUSIA-->MEMBUMI
1 CIPTAAN
| MANUSIA
| PENDUDUK-->BERMASYARAKAT
| 2 CIPTAAN
| MANUSIA
| PENDUDUK
| WARGAMA-
| SYARAKAT-->BERBANGSA
| 3 CIPTAAN
| MANUSIA
| PENDUDUK
KUALITAS MASYARAKAT
MANUSIA WARGABANGSA-->BERNEGARA
| 4 CIPTAAN
| MANUSIA
| PENDUDUK
| MASYARAKAT
| BANGSA
| WARGANE-
| GARA----->BERPEMERINTAHAN
5 CIPTAAN
MANUSIA
7 PENDUDUK
YANG DI- MASYARAKAT
PERINTAH BANGSA
konstituen NEGARA
pelanggan<------------hubungan pemerintahan------------>PEMERINTAH
konsumer (peran)
korban 6
mangsa
Dari interaksi itu terbentuk fenomena pemerintahan yang merupakan objek materia
semua disiplin ilmu pengetahuan, dan common platform Ilmu-Ilmu Sosial.
Selanjutnya lihat Gambar 24. Objek forma Kybernologi mulai terkuak tatkala
pemandang mendaratkan pandangannya pada sudut manusia dengan HAM dan
kebutuhan dasarnya, lingkungan dengan keberlanjutannya (Gambar 2). Objek
forma semakin jelas manakala pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan
kebutuhan itu tidak diletakkan di ruang peran Ilmu Ekonomi (pasar bebas) tetapi
pada peran Negara (Gambar 25).
29
ONTOLOGI
|
BASIC PLATFORM
|
metadisiplin
|
------------------------|------------------------
| |
| TITIKPANDANG |
| fenomena pemerintahan (objek materia) |
| COMMON PLATFORM |
| ILMUPENGETAHUAN |
| KHUSUSNYA ILMU-ILMU SOSIAL (ALATPANDANG) |
| | |
| | |
| SUDUTPANDANG (MANUSIA DAN LINGKUNGAN) |
| GOVERNANCE |
| objek forma |
| | |
| | |
| ANGGAPAN DASAR* |
| rekonstruksi |
| | |
| | |
| KYBERNOLOGI |
| perbedaannya dengan ilmu-ilmu lain |
| | |
------------------------|------------------------
|
monodisiplin, dst
30
-------------------------------------------------------------------------
| |
| 7 |
| PENGORBANAN |
| CIVIL SERVANT |
| | |
| | |
| 4 5 6 9 |
| ----INDI- -----CIVIL-–----acting---------CIVIL------- |
| | VIDU RIGHTS action SERVICES | |
| | | | |
| | | | |
| | 8 | |
| | KESEMPATAN dan HARAPAN (HOPE) | |
| | PELANGGAN UNTUK MENJADI KONSUMER, | |
| | KORBAN dan MANGSA untuk SELAMAT | |
| | | |
2 | | |
1 HUMAN 3 12 14 20 |
MANU- ----RIGHTS-----HUMAN PUBLIC PUBLIC kontrol,-----|
SIA & INS- NEEDS POLICY ACTOR monev |
TINCTS | | | | |
| | 13 | | |
| 11 | POLICY | 16 | |
| -----PUBLIC---------IMPLE----------PUBLIC----- |
| | CHOICE MENTATION | SERVICES |
| | | | | |
| | | | | |
| 10 | | 15 |
----MASYA- | | penggunaan oleh pelanggan |
RAKAT | | HAK HIDUP KORBAN atau HAK MANGSA |
| | | UNTUK MEMPERTAHANKAN DIRI |
| | | KEPERCAYAAN (TRUST) terhadap PEMERINTAH |
| | | PENGHARAPAN (HOPE) DI MASA DEPAN |
| | | |
| | ---------------------------------------------
| |
| 17 18 19
----PRIVATE------ --BARANG---------MARKET
CHOICE JASA (SATISFACTION)
31
X1---
eureka! cūriōsitās |
?--------->X X--------->Y X2---|--->Y X<----->Y Z<---X<--->Y--->Z
a b | d e
X3---
c
Dalam perkembangan lebih lanjut, melalui pendekatan yang sama, antar disiplin
misalnya Kybernologi dengan Ilmu Politik, didorong oleh kekuatan sentrifugal dari
dalam Kybernologi, lahir hibrida sebaliknya, yaitu Kybernologi Politik. Kekuatan
sentrifugal tersebut menggerakkan pengkajian lain ke arah berbagai disiplin di luar
Kybernologi: Kybernologi Pertanian dengan Agro-Pemerintahan, Kybernologi
Administrasi dengan Administrasi Pemerintahan, dan seterusnya. Perkembangan
ini direkam dalam Kata Pengantar buku Menuju Ke Pemikiran Kybernologi
Pertanian dan Agro-Pemerintahan (2009). Sebagian Kata Pengantar itu dikutip
sebagai berikut.
32
Rahadian, MSi dan Dr Ir Abdul Samad Melleng, MM, co-writers buku ini, diberi
nama kajian Agro-Pemerintahan, dapat dibaca dalam Bab III, IV, dan V buku ini.
Bab III dan Bab IV pernah dimuat dalam Bab VI dan VII Kybernologi dan
Pengharapan (2009), Bab I terdapat dalam Bab IX Kybernologi Sebuah
Metamorphosis (2008), sedangkan Bab II berasal dari Bab Bab IV Kybernologi
Sebuah Rekonstruksi Ilmu Pemerintahan (2005). Kajian Agro-Pemerintahan
adalah kajian tentang kebijakan pemerintahan dilihat dari sudut Agronomi
(Agronomics) guna mengimbangi kajian tentang kebijakan pertanian dilihat dari
sudut kepentingan politik dan birokrasi yang dalam kondisi sekarang sangat
mendominasi pemerintahan. Bangunan rekonstruksi buah pendekatan lintasdisiplin
lainnya terdapat di dalam Kybernologi Politik dan Kybernologi Administrasi
(2009).
33
4). Sebagai pegawai pemerintahan, PNS Dinas Pertanian wajib memahami proses
kebijakan pemerintahan daerah sebagai dasar implementasi dan monev kebijakan
pemerintahan daerah di bidang pertanian. Melalui rute 4 diklat profesional
9
-------------------------------KYBERNOLOGI-------------------------------
| | (ILMU PEMERINTAHAN BARU) | |
| | | |
| 8 8 |
| KEAHLIAN KEAHLIAN |
| DI BIDANG----------GENERALIS----------DI BIDANG |
| PEMERINTAHAN | PEMERINTAHAN |
| | | | |
| | | | |
| 7 | 7 |
| PROFESI KOMPONEN PROFESI |
| BIDANG PE- --10---PENDIDIKAN---10-----BIDANG PE- |
| MERINTAHAN DIPLOMA MERINTAHAN |
| | | | |
| | | | |
| | --------------------- | |
| 6 | vooruitzien | 6 |
AGRO- PEMERINTAHAN | conducting | PEMERINTAHAN TEKNOLOGI
PEMERINTAHAN DAERAH | coordinating | DAERAH PEMERINTAHAN
| | | peace-making | | |
| | | residue-caring | | |
| 5 | turbulence-serving | 5 |
| KEBIJAKAN | | KEBIJAKAN |
|--------------BIDANG-----|---KEPAMONGPRAJAAN---|-----BIDANG--------------|
| PERTANIAN | | PEKERJAAN UMUM |
| | | Freies Ermessen | | |
| | | gen&spec function* | | |
| 4 | omnipresence | 4 |
KYBERNOLOGI PNS DINAS | responsibility | PNS DINAS KYBERNOLOGI
PERTANIAN PERTANIAN |magnanimous-thinking | PEK.UMUM PEK.UMUM
| | | statesmanship | | |
| | --------------------- | |
| | | | |
| 3 | 3 |
| PROFESI KOMPONEN DIKLAT PROFESI |
| BIDANG----11------PROFSIONAL----11----BIDANG |
| PERTANIAN KEPAMONGPRAJAAN PEK. UMUM |
| | | | |
| | | | |
| 2 | 2 |
| KEAHLIAN | KEAHLIAN |
| DI BIDANG----------SPESIALIS----------DI BIDANG |
| PERTANIAN PEK. UMUM |
| | | |
| | | |
| 1 1 |
-------------AGRONOMI TEKNOLOGI-------------
AGRONOMICS CIVIL
gen&spec function,
generalist & specialist function
34
pemerintahan, ia diharapkan mampu memahami kebijakan pemerintahan daerah
tersebut (terminal 5). Dari terminal 5 melalui competence building workshop (atau
apapun namanya, rute 5), terbentuk kompetensi PNS Dinas Pertanian sebagai
aparat pemerintahan daerah (terminal 6).
Oleh setiap orang yang berdiri di terminal 5 dan memandang sekeliling, terlihat
bahwa pertanian, profesi pertanian, pegawai Dinas Pertanian, dan sebagainya,
hanya sebuah matarantai antar berbagai matarantai pemerintahan lainnya. Satu
dengan yang lain berhubungan interdependen. Kinerja yang satu ditentukan oleh
dan atau bergantung pada kinerja yang lain. Sementara itu lingkungan berubah dan
masa depan tidak menentu. Konstruksi pemikiran tersebut berakhir pada
pertanyaan, apakah pemerintahan itu? Apakah nilai-nilai dasar pemerintahan?
Pertanyaan pertama dijawab dengan definisi: Pemerintahan adalah proses
interaksi antar subkultur ekonomi (SKE), subkultur kekuasaan (SKK), dan
subkultur sosial (SKS dengan dua kualitasnya yaitu sebagai konstituen dan
sebagai pelanggan), di dalam masyarakat, dalam upaya mengejar
kebahagiaan rohani dan jasmani yang sebesar-besarnya tanpa merugikan
orang lain secara tidak sah). Definisi tersebut adalah kombinasi Teori
Governance dengan ide yang terkandung dalam definisi Regeerkunde menurut van
de Spiegel. Dari definisi itulah Kybernologi yang dalam Gambar 27 terletak pada
terminal 9, bermula. Melalui sistem pendidikan akademik (rute 9), keahlian di
bidang pemerintahan ditanamkan di dalam diri pesertadidik (terminal 8), dan
selanjutnya melalui pendidikan diploma (rute 7) dibentuk profesi pemerintahan
(terminal 7). Antara terminal 7 dengan terminal 5, yaitu pada terminal 6, timbul
pertanyaan kedua, yang dijawab dengan definisi: Sistem nilai dasar
pemerintahan adalah Kepamongprajaan. Oleh sebab itu, isi the governance
competence building workshop adalah Kepamongprajaan itu (ref Garis-Garis
Besar Program Pembelajaran Kybernologi dan Kepamongprajaan, 2009).
35
9
BAHAN BOK: VERSTEHEN
Ada tiga hal yang melatarbelakangi pentingnya pendekatan ini. Dua di antaranya
berkaitan dengan praktik politik, dan satu yang berkaitan dengan metodologi.
Pertama artikel Sofyan A. Djalil “Harga BBM dan Masa Depan Indonesia,”
(Kompas, 121005) “Kali ini saya amat sedih, Pak Effendi, logika opposisi Anda
tanpa berempati sedikit pun pada kesulitan negara yang begitu parah: . . . . . . ,“
kedua, pernyataan Alwi Shihab “Pasti ada kendala, tetapi persentasenya sangat
kecil,” (sehingga dapat diabaikan) ujar Alwi di Jakarta kemarin (Kompas, 181005),
dan ketiga penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian pemerintahan pada
tingkat pascasarjana di lingkungan UNPAD (S2 sejak 1996 dan S3 sejak 2000).
36
“intellectual identification,” didorong oleh keingintahuan yang dalam (curiosity),
untuk menafsirkan fenomena sosial sehingga terlihat perbedaan, uniqueness,
kualitas, karakteristik, antara yang satu dengan yang lain sebagaimana adanya,
sedangkan simpati merupakan konsep yang digunakan untuk memahami proses
sosial yang terjadi antar pelaku yang berbeda-beda, yang terjadi berdasarkan
adanya ketertarikan atau kesamaan. Jadi seseorang bisa bersimpati melalui empati,
dan bisa juga bersimpati tanpa melalui empati melainkan melalui kesamaan atau
ketertarikan satu dengan yang lain. Dalam Gambar 28, A menggunakan FOR B.
Dalam Gambar 29, simpati A terhadap B terbentuk karena adanya ketertarikan atau
kesamaan antara keduanya.
37
pembenaran, voting, kurva normal, rata-rata, generalisasi, statistik, exchange,
bargaining, kekuasaan, dan sebangsanya. Alwi Shihab dalam pernyataannya di
atas, menggunakan pendekatan kuantitatif. Berdasarkan pendekatan kuantitatif,
maka yang kalah, minoritas, yang tidak terdaftar, powerless, tontonan, korban,
mangsa, dianggap tidak ada, atau dapat diabaikan. Pendekatan kualitatif adalah
kebalikannya. Pendekatan ini telah dibahas dalam, Kybernologi (2003), Bab 36,
Melalui pendekatan kualitatif yang dijadikan pegangan oleh peneliti dalam
mereproduksi dalam pikirannya “the feelings, motives, and thoughts behind the
action of others,” adalah frame-of-reference (FOR) subjek yang diamatinya,
sedangkan dengan pendekatan kuantitatif, peneliti menggunakan FORnya sendiri.
Dengan pendekatan kualitatif, sekecil apapun hal yang diamati, ia mempunyai
kualitas dan nilai, dan oleh sebab itu ia tidak pernah dianggap tidak ada, dan
kehadirannya tidak pernah terabaikan. Sama seperti tubuh manusia. Komponennya
yang kelihatannya terkecil, terlemah, ternyata memberi sumbangan vital terhadap
keseluruhan.
Terlepas dari persoalan, pendekatan mana yang digunakan, hubungan antara nilai
empati dan simpati dengan kedua pendekatan (kuantitatif dan kualitatif), dapat
digambarkan sebagai berikut (Gambar 30). Gambar 30 menunjukkan hubungan
jalur antara empati dengan simpati. Simpati dapat terbentuk melalui empati (sel 4
melalui sel 3). Yang dimaksud oleh Sofyan A. Djalil dengan empati adalah empati
dalam sel 1, sedangkan simpati yang diharapkan terbentuk melalui pernyataan
Alwi Shihab adalah simpati dalam sel 2.
---------------------------------
| NILAI |
|---------------------------------|
| EMPATI | SIMPATI |
| Keberbedaan | kebersamaan |
--------------------------|----------------|----------------|
| | KUANTITATIF | yg berbeda 1 | mayoritas yg 2|
| | (FOR pene- | dan kecil | dijadikan da- |
| | liti) | diabaikan | sar kebersamaan|
| PENDEKATAN |-------------|----------------|----------------|
| | KUALITATIF | setiap kom- 3 | keberadaan 4|
| | (FOR subjek | ponen ber- | yg menjadi da- |
| | yg diamati) | nilai | sar kebersamaan|
------------------------------------------------------------
38
Alwi Shihab membenarkan kebijakan pemberian kompensasi BBM langsung tunai
kepada orang terdaftar miskin, kendatipun banyak yang sesungguhnya tidak berhak
tetapi terdaftar, dan sebaliknya banyak yang berhak tetapi tidak terjangkau
pendaftaran, sementara banyak pula orang melarat lanjut usia setelah menempuh
perjalanan yang jauh, antri berjam-jam, berdesakan, bahkan ada mati terinjak-
injak, tetapi itu semua, dianggap tidak apa-apa, karena “persentasenya sangat
kecil.” Jika seorang yang usil bertanya: “Jika orang tua miskin yang terinjak itu,
Anda sendiri, bagaimana?” Dia diam, tidak menjawab, atau dia menjawab dengan
ketus: “Boro-boro saya miskin, bahkan sayalah yang membuat orang miskin dan
terinjak. Anda tau, kan, saya tidak miskin, oleh sebab itu saya tidak bisa me-
‘reproduce in my own mind the feelings, motives, and thoughts behind the action
of other’” (“feelings” dibaca “sufferings,” “misery”).
Apakah melalui perbedaan (sel 3, Gambar 30) orang bisa tiba pada kebersamaan
(sel 4)? Bisa, “through diversity toward unity,” atau E Pluribus Unum, demikian
proposisi satu Eduard C. Lindeman dalam T. V. Smith dan Eduard C. Lindeman,
The Democratic Way of Life (1955, 112), dan demikian juga makna Bhinneka
Tunggal Ika. Bisa, jika sikap terhadap perbedaan bahkan heterogenitas, bertolak
dari serenity: “Menerima secara sadar dan ikhlas apa adanya.” Seperti tajuk doa
Reinhold Niebuhr (1892-1971):
God,
Give us grace to accept with serenity
The things that cannot be changed
Courage to change the things
Which should be changed
And the wisdom to distinguish
The one from the other
39
Sosial lainnya, dan dijadikan dasar pendekatan kualitatif Metodologi Penelitian
Sosial. Adalah Wilhelm Dilthey yang mengelompokkan ilmu pengetahuan menjadi
Naturwissenschaft yang tersusun berdasarkan abstract explanation (Erklärung)
dan Geisteswissenschaft yang berakar dalam “an empathetic understanding, or
Verstehen, of the everyday lived experience of people in specific historical
settings” (Neuman, 1997, 68). Tujuan Naturwissenschaft adalah scientific
explanation, sedangkan Geisteswissenschaft “the grasping or understanding
(Verstehen) of the “meaning” of social phenomena” (Denzin dan Lincoln, 1994,
119).
Menurut Schwandt ada dua pendekatan yang digunakan dalam human inquiry.
Pertama, pendekatan constructivist yang berpendapat bahwa “knowledge and truth
are created, not discovered by mind,” dan kedua pendekatan interpretivist, yang
menyatakan “. . . the facts of the world are essentially there for study. They exist
independently of us as observers, and if we are rational we will come to know the
facts as they are.” Lepas dari persoalan tersebut, diperlukan adanya intersubjective,
common meanings---“ways of experiencing action in society which are expressed
in the language and descriptions of institutions and practices.” Oleh sebab itu,
“Accordingly, constructivists and interpretivists in general focus on the processes
by which these meanings are created, negotiated, sustained, and modified within a
specific context of human action. The means or process by which the inquirer
SETTING
|
| menerangkan
FENOMENA SOSIAL <----------- TEORI
| meramal |
| |
SUBJEK |
PENELITI --- berempati --> YG DIAMATI -----------> VERSTEHEN
| FOR the meaning
| | |
| | |
|------- menafsir-------> DATA |
| | |
| | |
--- mengonstruksi ---> KATEGORI ------------------
properties
FOR frame-of-reference
40
arrives of this kind of interpretation of human action (as well as the ends or aim of
the process), is called Verstehen (understanding)” (Denzin dan Lincoln, 1994,
120). Jadi jelaslah, Verstehen adalah proses dan temuan proses penafsiran
fenomena sosial dan perilaku manusia melalui pendekatan kualitatif penelitian.
Pentingnya Verstehen itu dijelaskan oleh Max Weber sebagaimana dikutip oleh
Neuman (1997, 68): “Weber argued that social science needed to study
meaningful social action, or social action with a purpose,” karena mengerti
tidaknya seseorang akan suatu hal pada akhirnya menentukan pola perilaku yang
bersangkutan. Untuk Indonesia, konsep Verstehen sebagai metode sangat penting,
mengingat budaya Indonesia adalah budaya yang sangat kaya, sangat beragam,
purba, unik, tetapi minat untuk mengungkapkannya semakin lemah, sementara
FOR generasi sekarang jauh berbeda dengan FOR generasi pelaku budaya pada
zamannya. Menurut Metodologi Sejarah, nilai-nilai purba dapat diungkapkan
melalui Verstehen, bilamana peneliti mampu berempati dengan masa lampau,
menempatkan diri seolah-olah berada di masa silam itu. Hanya saja, biaya
penelitian dan pelestariannya mahal. Belum lagi pola perilaku sosial yang bersifat
covert, tertutup, tidak jelas (wayang), “lain di mulut, lain di hati,” lain yang
tersurat, lain yang tersirat. Melalui Verstehen, ada apa di belakang perilaku
manusia, bahkan mungkin di bawah sadarnya sebagaimana adanya, bisa terungkap,
bisa difahami. Verstehen bisa menggambarkan perilaku teror dan menyawab
pertanyaan mengapa seseorang menjadi teroris, tetapi dengan Verstehen orang
tidak bisa membenarkan terorisme. Dilihat dari sudut ini, Metodologi Kualitatif
unggul dalam pengungkapan nilai dan sistem nilai, sementara Metodologi
Kuantitatif dapat digunakan untuk memproses norma. Teknik dan prosedur yang
harus ditempuh guna menemukan Verstehen di belakang dan teori tentang
fenomena yang diamati, diuraikan oleh Anselm Strauss dan Juliet Corbin dalam
SERENITY----->EMPATHY----->UNDERSTANDING
| |
| |
---------------
|
| membangkitkan empati MUTUAL
EMPATHIC UNDERSTANDING----------------------->EMPATHIC
(VERSTEHEN) fihak yang lain UNDERSTANDING
| |
| |
| A tdk hrs berubah menjadi B |
------dan B tdk hrs berubah-------------
menjadi A, saling menghargai
41
Basics of Qualitative Research (1990) dan Joseph A. Maxwell dalam Qualitative
Research Design (1996).
Aplikasi langkah-langkah tersebut pada Gambar 32, diawali dengan pertanyaan
tentang manusia sebagai fihak ketiga: “Manusia, yang diingat apanya?”
Sekarang manusia jadi rebutan. Bahkan penyandang tuna sekalipun. Yang sehari-
harinya dipandang sampah! Kabarnya menjelang pemilu 2009 KPU telah
menyiapkan alat dan cara buat para penyandang tuna dan onggokan sampah ini
suatu saat bagi orang lain tahun depan. Sebenarnya metodologi ini sudah lama
digunakan oleh sektor bisnis. Terutama marketing. Sebuah keluarga kumuh sekali-
sekalinya seperti mendadak (padahal sudah direkayasa sebelumnya) dikunjungi
seorang selebriti TV biasanya perempuan didampingi seorang kamerawan lelaki
yang membawa sebuah bingkisan yang berharga disertai ucapan selamat dan
pelukan mesra dari siperempuan. Tentu saja itu bingkisan apa segepok uang
diterima bak jatuh dari langit dengan syukur dan cium tangan oleh keluarga yang
ketiban. Apakah dengan memberikan sebingkis hadiah kepada keluarga kumuh itu,
kemiskinan berkurang? Andalah yang menjawab. Yang penting adalah udang di
balik batunya: guna menaikkan rating TV doang. Siasat partai politik (parpol)
demikian jualah. Parpol lantas menirunya dengan menggunakan label kepedulian
kiri kanan. Itulah yang terbaca tgl 7 Oktober 09 di halaman 8 Kompas, “Narasi
Baru Partai bla bla bla.” Atau label “kemanusiaan,” seperti yang terbaca --- lagi-
lagi --- dalam Kompas, 8 Oktober 09, juga di halaman 8, “Amien Rais Beri
Nasihat. . . . ,” agar kampanye “. . . memunculkan sisi kemanusiaan, tokoh politik
bisa berkomunikasi dengan bahasa yang mudah dicerna oleh masyarakat.” Bukan
hanya parpol, perseorangan juga yang merasa terpanggil untuk dipilih,
menggunakan komunikasi politik dalam bentuk iklan. Bahasa gaulnya taktik
tebarpesona. Foto diri berpakaian rapi dengan senyuman manis, memikat ratusan
ribu pemudik. Atau melancarkan “Surat Buat Semua” (Kompas 5 Agustus 08,
halaman 11). Mula-mula ia menyapa sini-sana, memperkenalkan diri siapa dia,
mengidentifikasi dirinya dengan simbol-simbol tertentu guna menarik simpati,
mengapa dia dan bukan orang lain, maunya supaya bla bla bla, dan bahwa
“bersama kita bisa!” mewujudkannya. Memperkenalkan diri saja menggunakan
berbagai cara. Ada yang memperkenalkan diri sebagai “Generasi Baru,” pembawa
“Harapan Baru,” bintang tunggal di angkasa dua nol nol sembilan, ada yang
memromosikan partainya, yang satu dengan semboyan “Berjuang Untuk Rakyat,”
sedangkan yang lain dengan semboyan “Hidup adalah Perbuatan.”
42
dirayu dan diiming-iming oleh Tim Kampanye atau Tim Sukses yang tersebar di
mana-mana. Juga oleh wartawan dan tim konsultan pemilu. Rupanya jasad yang
tinggal kulit pembalut tulang itu semasih bisa nyoblos (nyontreng) atau memberi
tanda bahwa ia masih bernyawa, pasti dikejar, dibutuhkan. Apa pasal? Rupanya ia
mempunyai sesuatu yang setara dengan “Vox Dei,” suara Tuhan. Luarbiasa!
Bahwa kendatipun demikian, sesudah itu kemudian “Vox Populi” hanya dihargai
seikatkepala, sebaju kaosoblong, atau limasepuluh-ribuan buat nyeterik mentari
seharian sembari berteriak “Hidup!!!” dan mendengar slogan-slogan, siapa yang
mempersoalkannya? Cacing yang terinjak, membelalak dibohongi, menggeliat lalu
mati, siapa yang peduli? Anti klimaks memang. Itulah sisi rakyat sebagai
pelanggan. Rupanya pada saat-saat menjelang pemilu seperti sekarang manusia
diingat karena butuh suaranya, di waktu sesudahnya manusia diingat karena butuh
telinganya untuk mendengar kebohongan, sementara itu mata manusia selamanya
tidak dibutuhkan supaya ia tidak melihat kenyataan lalu pasrah belaka. Itulah yang
terjadi di ruang politik, dipanggung sandiwara.
43
Pemerintah ingin supaya mereka yang-diperintah berperilaku tertib, teratur, bersih,
indah, seragam, bila diperintah bergerak serentak, disatukan oleh kepatuhan dan
kesetiaan pada rezim yang berkuasa, ibarat sapulidi yang terikat dengan tali di
pangkalnya. Tetapi sabda alam lain. Kenyataan selalu bersifat jamak dan serbadua,
kapan saja dan di mana saja. Siang dan malam, terang dan gelap, pria dan wanita,
benar dan salah. Setiap eksistensi terdiri dari dua sisi ini. Pemerintah tidak eksis
tanpa yang-diperintah. Hubungan ini merupakan salah satu anggap dasar Teori
Governance. Dalam bahasa Teori Governance, kekuasaan (Negara, Pemerintah)
dan kemasyarakatan adalah dua subkultur yang berbeda yang hadir di dalam setiap
masyarakat. Dalam sejarah, di samping hubungan eksistensial, antara keduanya
terbentuk perlahan tapi pasti hubungan lain yang bersifat kategorial. Dalam
kondisi kategorial itu, masing-masing memiliki referensi yang berbeda tentang hal
yang sama. Misalnya “janji” dalam kampanye. Menurut fihak yang berkampanye,
“janji” yang dijualnya kepada pelanggan adalah “janji,” yang dianggap sudah
terpenuhi pada saat “janji” itu dipercaya (dibayar). Tetapi menurut fihak
pelanggan, “janji” adalah “apa yang dijanjikan,” dan oleh sebab itu ditagih pada
suatu saat.
Frame-of-reference (FOR) subkultur yang satu tidak sah untuk digunakan buat
mengukur dan mengevaluasi subkultur yang lain yang FOR-nya berbeda. Menurut
Teori Budaya, bahasa yang digunakan subkultur kekuasaan (SKK) adalah bahasa
authority, force, coercion, violence, sedangkan bahasa subkultur sosial (SKS,
pelanggan) adalah bahasa cacing (diam, elusdada, tutupmulut, jahitmulut, sindiran,
kiasan, dan jika tidak mempan, jika sudah melampaui ambang batas kesabarannya,
dia bisa juga murka tidak alang kepalang
Oleh perbedaan budaya itu, norma yang dianut oleh satu fihak tidak kompatibel
dengan norma-normanya yang dianut oleh fihak lain yang budayanya berbeda,
demikian sebaliknya, dan bilaman digunakan begitu saja, dipaksakan, timbullah
konflik. Jadi harus digunakan pendekatan empirik lintasbudaya. Demikian juga
penelitian antardisiplin seperti telah dikemukakan dalam pengantar tulisan ini,
44
misalnya antara ruang Ilmu Politik dengan ruang Ilmu Pemerintahan. Masing-
masing ilmu memiliki metodologinya sendiri. Jadi harus digunakan pendekatan
lintasdisiplin.
Sesuai dengan judul, yang ditelusuri dalam tulisan ini adalah Metodologi Ilmu
Pemerintahan (Kybernologi) yang digunakan dalam mempelajari fenomena politik.
Di ruang politik terdapat Pemerintah (A) dengan FORnya sendiri, yang disoroti
dengan menggunakan Metodologi Ilmu Pemerintahan (Gambar 33) oleh yang
diperintah (B), dengan subkultur (FOR) yang berbeda. Sementara fihak A dapat
dianggap homogen, fihak B yaitu masyarakat, heterogen (beragam). FOR fihak A
dapat dianggap seragam, FOR fihak B, beragam, terdiri dari berbagai subkultur.
A1 B1
A3 (+)
90° 90°
A B
(-)
A2
45
X
X1 X2
A1 ---------------- B1
jembatan Y
sudut A sudut B
A <----------------------------->B
berempati Verstehen
ideologinya sehingga baginya dua terdiri dari putih dan hitam belaka. Adakah
kemungkin terjadinya “temu” dalam kondisi besaran sudut (A + B) = 180° atau
(A + B) > 180°? Jawabannya ialah “ada,” dengan syarat, yang dicari bukan
“titiktemu” X melainkan “garistemu” Y yang pada Gambar 34 disebut “jembatan.”
Jembatan itu bisa dibangun pada setiap titik yang berseberangan pada garis AX1
dan garis BX2, yaitu titik-titik A1B1.
Pengertian dan saling-mengerti, cepat atau lambat dapat terbentuk dan tercapai
melalui pelbagai cara di dalam masyarakat. Salah satu cara yang dikenal dalam
metodologi adalah pembentukan pengertian dan pencapaian saling-mengerti
melalui empati (empathy, bukan emphaty). Konsep empati tidak terpisahkan
46
dengan konsep pengertian (understanding). Salah satu bentuk understanding
adalah empathic understanding yang dalam bahasa Jerman disebut Verstehen. “It
(Verstehen) must mean an act of sympathetic imagination or empathic
identification on the part of inquirers that allowed them to grasp the psychological
state (i.e. motivation, belief, intention, or the like) of an individual actor,”
demikian Schwandt. Bisa saja peneliti bermaksud mengenal seorang aktor dengan
motif ketertarikan (sympathetic imagination) dan bukan karena ingin mengenalnya
sebagaimana adanya. Menurut Max Weber, Verstehen adalah “empathic
understanding or an ability to reproduce in one’s own mind the feelings, motives,
and thoughts behind the action of others.”
47
Persoalannya, bagaimana membangun jembatan? Siapa mengempati siapa?
Verstehen tentang apa atau siapa yang perlu ditemukan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Kybernologi meminjam konstruksi Ilmu
Politik yang menggambarkan body-of-knowledge (BOK) dengan model atas-bawah
(below), struktursupra dengan strukturinfra, dengan menempatkan kekuasaan di
atas dan rakyat di bawah. Rakyat yang di bawah itu berlapis-lapis. Lapis tengah
dan lapis atas ke atas biasanya kekasih kesayangan kekuasaan, karena bisa
menyumbang pajak besar, mudah dirayu dan gampang diajak bertepuktangan.
Sedangkan lapis bawah ke bawah boro-boro menyumbang, bahkan menjadi beban
bagi struktursupra, dan oleh sebab itu dianggap sampah masyarakat (tapi nyontreng
atawa nyoblos sih bisa, mangkanya sudah barang tentu kecuali menjelang pemilu!
Iya nggak?).
A A
A turun secara pribadi (personally) serendah mungkin da-
ri posisinya, menempatkan diri seutuhnya setara dgn kon-
disi B dgn tulus, emik & etik, sehingga oleh B ia dite-
rima sebagai seorang sesama di antara mereka, berbuka
diri mengamati, mendengar & merekam isyarat, prilaku &
perkataan B sebagaimana adanya begitu keluar dari B tan-
pa dipengaruhi oleh A. Mengingat B heterogen, katakanlah
terdiri dari 10 sub-B, maka jika waktu yg digunakan A
= utk berbicara 10 menit, waktu yg harus disediakannya utk
mendengar, sambil merekam, 10 x 10 = 100 menit, belum
terhitung waktu yang diperlukannya untuk bersosialisasi,
membangun rapport, membangun kebersamaan melalui peri-
laku etik & emik, mengamati & merekam amatannya. A mela-
wan arus? Ya, ia tdk populer di kalangan politisi dan
birokrasi, bahkan oleh parpol ia dituduh pengkhianat.
Tetapi percayalah, 99% rakyat ada di didepannya dan se-
jarah bertinta emas terbentang di belakangnya. Ialah
Semar, ialah Nelson Mandela
B B
48
Makna ilustrasi di atas ialah, memang keduabelah fihak bisa memulai pemasangan
jembatan dari fihaknya (B1) ke fihak lain (A1), dan sebaliknya. Namun
kenyataannya, manakah yang lebih terbuka, kemungkinan bagi seorang PKL naik
ke atas, naik dan naik lagi untuk memasuki kawasan istana negara atau halaman
balaikota untuk menyampaikan isi hatinya, ketimbang kemudahan bagi presiden
atau walikota turun, turun dan turun lagi untuk mengenal, memahami, dan
menyelamatkan manusia terhilang di liang terbawah?
10
BAHAN BOK: OBJEK DAN SUBJEK,
WAKTU DAN RUANG,
Pengetahuan manusia terbatas dan tergantung pada objek (sasaran yang ingin
diketahui) dan subjek (fihak yang ingin tau), waktu (time), dan ruang (space).
Objek pengetahuan dipandang dari aras abstrak (lepas dari waktu dan ruang),
ADA ADA
ADANYA BERADA
KEADAAN KEBERADAAN
KEADAANNYA KEBERADAANNYA
| |
| |
terdapat terjadi
di mana saja kapan saja
| |
------fenomena------
49
(teoretik) adalah keadaan sesuatu (keadaannya) yang ada dan bagaimana adanya,
Ada berarti exist secara objektif lepas dari kesadaran manusia. Pada aras empirik
dalam dimensi waktu dan ruang objek pengetahuan adalah keberadaan sesuatu
(keberadaannya) yang ada dan berada. Berada berarti hadir di dalam waktu dan
ruang. Walau ada jika tidak berada, mustahil diketahui secara empirik.
Adanya sesuatu dalam wujud keadaan (kualitatif dan kuantitatif), sedangkan
sesuatu berada dalam bentuk peristiwa atau kejadian. Peristiwa adalah keberadaan
melalui proses berulang, sedangkan kejadian adalah keberadaan melalui proses
sekalilalu, tidak berulang, unik, khas, kasus, satu-satunya. HUT Kemerdekaan RI
berulang setiap tanggal 17 Agustus tiap tahun (peristiwa), tetapi HUT
Kemerdekaan RI tahun 2009 tidak berulang, hanya sekali itu saja (kejadian).
---------------------------------------
| BENTUK |
|---------------------------------------|
| PERISTIWA | KEJADIAN |
----------------------------------|------------------|--------------------|
| | | 1 | 2|
| | TEORETIK | berulangtetap | ---- |
| | KEADAAN | kuantitatif | |
| ARAS |--------------------|------------------|--------------------|
| | | 3 | 4|
| | EMPIRIK | ---- | sekalilalu |
| | KEBERADAAN | | kualitatif |
--------------------------------------------------------------------------
Setiap orang yang ada di dalam keadaan tertentu (sel 1 Gambar 37) berpeluang
untuk berada dalam situasi tertentu (sel 4). Situasi tertentu itu pada gilirannya
berfungsi sebagai variabel dependen (X) yang menimbulkan suasana (Y) tertentu.
Suatu situasi ditandai dengan titikpusat yang disebut S. Misalnya dalam situasi S1
ada mahasiswa M merasa terlempar ke dalam situasi tidak lulus ujian, namun
beroleh kesempatan mengulang dengan biaya besar. Dalam situasi lain, Sn, ada
orang (N) yang jangankan beroleh kesempatan mengulang, kuliah saja tidak. Jika
M hanya menempatkan dirinya pada situasi S1, ia mungkin gantung diri karena
kecewa atau putusasa, Tetapi andaikata M mampu menempatkan dirinya dalam
situasi Sn, ia bisa berkata kepada dirinya sendiri: “Dibanding dengan mereka, aku
masih beruntung. . . . .” Orientasi ke Sn mengubah suasana hati M dari negatif
menjadi positif.
50
atau tidak utuh. Melalui kesadaran, orang mengenal sesuatu, berada di dalam
waktu dan ruang. Setiap orang pada suatu waktu berada di dalam sebuah ruang
bersituasi. Itu berarti pada saat itu kesadaran manusia terisi dengan pengalaman.
Jika ia merasa sebagai bagian situasi itu, ia disebut mengalaminya. Dalam
hubungan itu, pada saat subjek mengalami objeknya, jarak antara subjek dengan
objek memendek mendekati nol, dan seiring dengan itu, subjektivitas membesar
dan objektivitas mengecil. Subjektivitas membuat pengetahuan serba relatif, daya
generalisasi pengetahuan semakin terbatas.
Suasana “samar dan tidak utuh” dan serba relatif seperti dikemukakan di atas
menggerakkan pikiran untuk melakukan penyelidikan (inquiry). Menurut John
Dewey (Logics, The Theory of Inquiry, 1955),
Inquiry is the controlled or directed transformation of an indeterminate
situation into one that is so determinate in its constituent distinctions and
relations as to convert the elements of the original situation into a unified
whole
Jika inquiry ditafsirkan sebagai proses pemikiran, maka pemikiran adalah
transformasi terkendali suatu situasi yang masih tidak menentu menjadi situasi
yang susunan dan hubungan antar bagiannya jelas, dengan mengubah unsur-unsur
situasi awal menjadi sebuah kesatuan yang menyeluruh. Proses tersebut semakin
sulit jika disadari bahwa pada suatu saat hanya sebagian kecil objek (sasaran)
pengetahuan yang terlihat dari sudut tertentu (sudut A) dengan menggunakan alat
dan cara tertentu. Katakanlah pengetahuan tentang sesuatu (objek) yang dapat
direkam oleh seseorang (subjek) dari sudut A itu, Y. Yang lain “tersembunyi,”
sangat jauh sehingga tak terlihat, bahkan menurut metodologi objek pengetahuan
tertentu hanya bisa diketahui bilamana objek itu “berkenan menampakkan dirinya
kepada manusia” (Gambar 2 dan Gambar 3). “Ada” itu bukan hanya “ada” dalam
kesadaran, tetapi juga “ada” di luar kesadaran. Apakah “ada” di dalam kesadaran
itu sama dengan “ada” yang sesungguhnya di luar kesadaran?
Di samping itu muncul kesulitan lain. Pengamatan terhadap objek yang sama ke
sudut yang lain (A1), memerlukan waktu, dan seiring dengan waktu yang
digunakan untuk itu, Y pun berubah menjadi Y1. Hal itu menunjukkan bahwa
perubahan-perubahan lingkungan eksternal dan kelemahan, keterbatasan, dan
kekurangan internal manusia, menyebabkan bahan pengetahuan yang pada suatu
saat dianggap baru, valid dan reliable, pada saat lain sudah menjadi basi, tidak
sahih, tidak dapat dipercaya, dan metode yang berhasil di lingkungan sebuah
masyarakat, ternyata gagal diterapkan di dalam masyarakat lain. Dimensi waktu
mengandung makna ya ng luas sekali. Waktu bisa berarti time (pukul berapa?),
duration (lamanya berapa menit?), kesempatan, urutan, perasaan (30 menit terasa
lama jika menunggu, terasa cepat jika sibuk), kekuatan (terhitung.mulai kapan,
sampai kapan?). Dimensi waktu sangat penting di lingkungan Ilmu Hukum. Di
51
lingkungan ini, sikap presiden SBY terhadap rekomendasi Tim 8 Kasus Bibit-
Chandra “Cicak Lawan Buaya,” merupakan antiklimaks: jurang yang sangat curam
di celah batukarang yang sangat tajam (VIVANews Rabu 25November09).
Pemikiran ilmiah tentang pemerintahan sangat rawan kekeliruan karena kebijakan
apapun yang ditetapkan, pertimbangan akademik yang melatarbelakanginya selalu
saja culture bound (David Easton, The Political System, 1953, 31) dan
implementasinya culture lag (G. A. Lundberg, Foundations of Sociology, 1956,
521; dan Emory S. Bogardus, Sociology, 1957, 576). Inilah dimensi ruang. Salah
satu spesi dimensi ini adalah bahasa pemerintahan (Bab 34 Kybernologi, 2003).
Dalam hubungan itu, jika bahasa Indonesia sekarang, di pasar maupun di
gedongan, diibaratkan sebuah rawa, maka rawa yang penuh buaya adalah bahasa
politik, bahasa pemerintah, dan bahasa peraturan, baik yang tertulis di kantor-
kantor megah, maupun yang keluar dari mulut pejabat. .
11
KONSTRUKSI BOK: ROH DAN RAGA
Pengetahuan berwujud roh, bukan jiwa. Jiwa terkait dengan hidup dan mati, tetapi
roh abadi. Wujud pengetahuan telah diuraikan dalam bagian 1 sd 10 di atas. Roh
itu ada dan hadir (berada, terlihat, terbaca) dalam raga yang disebut bahasa.
Bahasa adalah salah satu wujud budaya manusia (ref. Bab VIII dan Bab IX
Menuju Ke Pemikiran Kybernologi Pertanian dan Agro-Pemerintahan, 2009).
Ada tiga macam bahasa:
1. Bahasa Isyarat
2. Bahasa Tutur, dan
3 Bahasa Tulis
Bahasa Tulis berbentuk tulisan. Berdasarkan tujuan penulisannya, tulisan dapat
dikelompokkan menjadi
1. Tulisan Ilmiah, yaitu tulisan yang bertujuan menyebarkan,
mengembangkan dan mewariskan (BOK) pengetahuan dari generasi ke
generasi, dan disusun menurut bentuk dan cara tertentu
2. Tulisan Nonilmiah, yaitu tulisan lainnya .
Tulisan Ilmiah meliputi:
52
1. Tulisan Ilmiah Formal, yaitu tulisan ilmiah yang oleh suatu institusi
ilmiah (akademik) ditetapkan sebagai syarat untuk dapat memperoleh
suatu nilai akademik. Oleh sebab itu, isi, bentuk, prosedur, cara
penyusunan, teknik penulisan, pengujian, penilaian, dan sebagainya,
ditetapkan oleh institusi akademik yang bersangkutan.
2. Tulisan Ilmiah Nonformal
Tulisan Ilmiah Formal pada hakikatnya merupakan laporan
pertanggungjawaban ilmiah (akademik)
1. Warga institusi akademik yang bersangkutan terhadap institusinya untuk
dapat memperoleh nilai dan atau status akademik tertentu
2. Institusi yang bersangkutan terhadap masyarakat pelanggan dan
lingkungan hidupnya. Tulisan ini disusun secara mandiri (bukan
pesanan) oleh institusi yang bersangkutan untuk dapat dinyatakan
berhasil (Invention and Innovation, Movement and Reforms)
menyelesaikan tugas atau program akademik tertentu (Research and
Development, Public & Civil Service): Tridharma Perguruan Tinggi
Tulisan Ilmiah Formal yang diwajibkan bagi warga atau bakal warga institusi
akademik berdasarkan tujuan penulisannya adalah Tulisan Ilmiah Formal yang
diwajibkan
1. Untuk dapat dianugerahi status atau derajat akademik tertentu,
2. Untuk dapat dinyatakan berhasil menyelesaikan tugas atau program
institusional tertentu yang bersifat internal institusi (Laporan
Pertanggungjawaban Penyelesaian Tugas)
3. Sebagai bukti kelayakan untuk memangku jabatan akademik tertentu
(misalnya jabatan akademik tertinggi GuruBesar). Tulisan ini (Orasi)
diucapkan pada saat upacara pengukuhan jabatan yang diperoleh tenaga
yang bersangkutan dalam Rapat Senat Terbuka
Tulisan Ilmiah Formal untuk dapat dianugerahi status atau derajat akademik
tertentu meliputi:
1. Term Paper, yaitu tulisan yang diwajibkan kepada seorang atau
sekelompok mahasiswa sebagai bagian kurikulum, untuk dapat lulus
matakuliah tertentu
2. Status Report (Laporan Akhir Studi) yaitu tulisan yang diwajibkan
kepada seorang atau sekelompok mahasiswa untuik dapat dinyatakan
berhasil menyelesaikan suatu program akademik tertentu
3. Tulisan yang diwajibkan kepada seorang mahasiswa sebagai syarat untuk
dapat dianugerahi derajat (gelar) akademik tertentu. Di Indonesia saat ini
tulisan itu disebut Skripsi untuk gelar Sarjana (Program Stratum 1),
Tesis untuk gelar Magister atau Master (Program Stratum 2), dan
Disertasi untuk gelar Doktor (Program Stratum 3)
53
4. Termasuk dalam konsep Disertasi adalah Naskah Orasi (atau apapun
namanya) yang disusun oleh tim promotor yang dibentuk oleh suatu
institusi akademik untuk diucapkan oleh seseorang tenaga akademik atau
yang dianggap layak dipromosikan dan dianugerahi kehormatan
akademik tertinggi (Doktor Kehormatan) oleh institusi akademik yang
bersangkutan, mengingat nilai besar yang telah disumbangannya bagi
pengembangan dunia akademik dan atau kesejahteraan umat manusia
-----------------------------------------------
| BOBOT LAPORAN
|-----------------------------------------------
| LA | SKRIPSI | TESIS | DISERTASI
--------------------------|-----------|-----------|-----------|-----------
| | MEMBANGUN | | | |
| | DAN MEMPER- | XX | --- | --- | ---
| | KAYA JOB | | | |
| |--------------|-----------|-----------|-----------|-----------
| | MENCARI & | | | |
| TEORI | MENEMUKAN | -- | XXX | XXX | XXX
| BERFUNGSI | INFORMASI | | | |
| SEBAGAI |--------------|-----------|-----------|-----------|-----------
| ALAT | MENEMUKAN | | | |
| UNTUK | SOLUSI THD | -- | --- | XXX | XXX
| | MASALAH | | | |
| |--------------|-----------|-----------|-----------|-----------
| | MENEMUKAN | | | |
| | NILAITAMBAH | -- | --- | --- | XXX
| | IPSTEK | | | |
--------------------------------------------------------------------------
54
jangan begini: apalagi beini: tetapi begini:
(ordinal) (nominal, zig-zag) (interval)
S3 ------>S3 S3
| | ilmu X |
| | |
| | |
| | S2
| | |
S2 ------>S2 |
| | ilmu Y |
S1 S1 S1
ilmu X ilmu Z ilmu X
sebagai berikut:
----------------------------------------------------------------------------------------------------
KODE ETIK PROFESIONAL KYBERNOLOGI
1
Seperti halnya cabang ilmu pengetahuan lainnya, Kybernologi
bersumber dari Kuasa dan diamalkan untuk menyatakan
Kasih ALLAH, TUHAN YANG MAHAESA,
bagi sesama Manusia dan Lingkungan, melalui Profesi Pemerintahan
2
Ilmu Pemerintahan (Bestuurskunde yang kemudian hari berkembang
menjadi Bestuurswetenschap dan Bestuurswetenschappen) adalah “ilmupengetahuan
yang bertujuan memimpin hidupbersama berkelanjutan manusia
ke arah kebahagiaan yang sebesar-besarnya,
tanpa merugikan orang lain secara tidak sah”
3
Secara formal, Kybernologi adalah bangunan pengetahuan (body-of-knowledge)
hasil rekonstruksi buah pendaratan Ilmu Pemerintahan
yang semula tersebut di bumi Indonesia pada sudutpandang kemanusiaan,
tidak pada sudutpandang kekuasaan,
dan pengaitannya dengan berbagai sudutpandang lain yang berbeda
55
OLEH SEBAB ITU, KAMI, PEMBELAJAR KYBERNOLOGI,
PROFESIONAL PEMERINTAHAN
BERIKRAR
1
Menegakkan kemerdekaan berpikir dalam belajar Kybernologi
dan senantiasa menggunakan pertimbangan hatinurani
dalam menjalankan profesi pemerintahan
dengan penuh rasa tanggungjawab
2
Mengabdikan profesi pemerintahan
bagi terwujudnya Bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika
3
Mengajarkan Kybernologi guna menanamkan sistem nilai
dan membentuk tenaga-tenaga profesional pemerintahan di dalam masyarakat
4
Melakukan penelitian Kybernologi untuk mengejar kebenaran ilmiah
dan tidak untuk mencari alasan pembenaran (atas) suatu hal
5
Mengembangkan dan mewariskan Kybernologi,
tanpa pengrahasiaan, pemalsuan, dan penyalahgunaan,
dalam rangka menjawab tuntutan perubahan zaman
6
Menjunjung tinggi keluhuran profesi pemerintahan, kebenaran ilmiah,
dan kehormatan diri selaku profesional pemerintahan
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
56
Tabel 3 Tulisan Ilmiah Formal dan Nonformal
-----------------------------------------------------------------------------
DIMENSI TULISAN ILMIAH FORMAL TULISAN ILMIAH NONFORMAL
-----------------------------------------------------------------------------
3 Kekuatan Hukum Tidak dapat dijadikan alat Dapat dijadikan alat bukti
bukti di Pengadilan di Pengadilan
4 Fihak terlibat Tiga fihak: Warga, Lembaga Tiga fihak: Penulis (Penga-
dan Pelanggan lembaga rang), Penerbit, dan Pembaca
-----------------------------------------------------------------------------
57
--isyarat --nonformal
| | instan- bukti
bahasa--|--tutur --ilmiah--| --sional --kela-
| | | | ke luar | yakan
--tulis--| --formal--| |
| | warga | bukti --term
--nonilmiah --ke ------|--keber- | paper
dalam | hasilan |
| |--status
| syarat | report
--penganu- -|
gerahan |--skripsi,
| tesis
| disertasi
|
--orasi
Fungsi tulisan. Tulisan berfungsi, baik bagi penulis maupun bagi pembacanya.
Khusus bagi penulisnya, tulisan berfungsi sebagai:
1. Satu di antara tiga matarantai utama yang terlihat pada (raga) proses
belajar-mengajar (learning process) adalah membaca, menulis, dan
menerangkan, dengan model
membaca----->menulis----->menerangkan
2. Cermin: setiap orang berkaca (“ngaca”) pada tulisannya
3. Alat komunikasi ilmiah antar pelaku dan institusi akademik
4. Informasi ilmiah
5. Warisan ilmiah
6. Sumber akademik antar generasi
7. Produk dan komoditas intelektual
8. Karya seni: produk artistik dan kreatif dengan kualitas mandiri, orisinal,
langka, inovatif, dan unik
9. Rekaman (bukti) perkembangan intelektual masyarakat dan perubahan
kondisi pribadi penulis (misalnya, ketikan yang salah menunjukkan
kekurangtelitian atau ketergesa-gesaan)
10. Laporan pertanggungjawaban penulis kepada atasan atau masyarakat
11. Sasaran dan alat penilaian tentang kualitas akademik seseorang
12. Alat sosialisasi penulis dengan lingkungannya
13. Bahan ajaran (teaching material)
14. Bahan publikasi. Semboyan “Publish or Perish!” menunjukkan betapa
pentingnya publikasi karya tulis sendiri. Nilai akademik publikasi jauh
lebih tinggi ketimbang nilai ekonomibisnisnya
58
12
KONSTRUKSI BOK: BEBERAPA PERTIMBANGAN
Konstruksi BOK disebut juga desain BOK. Sama seperti bangunan fisik,
konstruksi bangunan pengetahuan (BOK) ditentukan oleh beberapa pertimbangan:
1. Hakikat BOK
2. Fungsi BOK (untuk apa dan untuk siapa bangunan didirikan, tujuan),
3. Hubungan antar BOK
Hakikat BOK terdiri dari lima pilar:
1. BOK sebagai representasi (sampel) dunia yang diketahui (populasi,
universe, the known).
2. BOK merupakan ekspresi (pernyataan diri, ekspresi tentang sesuatu),
dengan menggunakan cara/alat tertentu)
3. BOK adalah seperangkat alat menghadapi (memecahkan, mengatasi, dan
menyelesaikan masalah)
4. BOK sebagai simbol sesuatu di belakang atau di dalamnya, mungkin
sebuah rahasia, sebuah misteri, atau sebuah maksud yang tersembunyi
(udang di balik batu)
5. BOK tidak lain dan tidak bukan, adalah tanda yang disepakati bersama
dan ditaati, untuk membedakan satu dengan yang lain, atau sebuah isyarat
guna menunjukkan sesuatu
Rekonstruksi pengetahuan menjadi BOK bertujuan meningkatkan kualitas
pengetahuan (knowledge) menjadi ilmu (ilmupengetahuan, science). Pengetahuan
berkualitas ilmu manakala BOK mampu berfungsi sebagai alat/cara untuk
59
itu. Dalam bahasa kualitatif, kualitas itu ditimbang guna diberi nilai,
sedangkan dalam bahasa kuantitatif disebut dimensi yang akan diukur
baik langsung ataupun tidak. Sebagaimana halnya definisi, kualitas juga
bisa berubah dari waktu ke waktu dan berbeda yang satu dibanding
dengan yang lain
3. Menjelaskan hubungan antar objek. Penjelasan hubungan antar konsep
merupakan inti Teori Hubungan, sementara Teori Hubungan adalah
nyawa konstruksi BOK. Itulah sebabnya pertanyaan pemikiran “Apa ini,”
“apa itu?” disusul dengan pertanyaan “Adakah hubungan antara. . . . .
dengan . . . . . .?” baru kemudian pertanyaan “Jika ada, bagaimana sifat
hubungan itu?” Korelasional? Kausal?
4. Meramal (memprediksi) apa yang akan terjadi atau apa yang dapat
terjadi. Terjadinya sesuatu merupakan sebuah proses. Proses dalam
1 a 2 b 3 c 4 d 5
---> LK ------------> IP ------------> TP ------------> OP ------------> LK ---
| info kebijakan implementasi “marketing” |
| distribusi |
| |
j -- komunikasi penggunaan -- e
| |
| |
| b<g pembandingan pemantauan manfaat, guna |
---- FB <----b=g---- HEV <------------ EV -------------MON <-------------OC ---
10 b>g 9 h 8 g 7 f 6
i
X ---------> ?
Apa yang akan terjadi
X ----- X1 -----> ?
Apa yang dapat terjadi
60
berbagai contingent factors, termasuk waktu dan conditio sine qua non
lainnya tersedia dan bekerja. Peramalan harus memeperhatikan dan
memperhitungkan setiap terminal dan rute sistem (Gambar 40). Model
peramalan seperti Gambar 41
5. Mendiagnosis penyebab terjadinya sesuatu. Bagi banyak orang,
terutama lapisan elit yang hidupnya senang dan gemerlap, sesuatu yang
ada dan berada, dipandang sebagai sesuatu yang “given,” yang hak, tidak
perlu dipertanyaakan, yang diterima sebagai keistimewaan. Mereka tidak
perlu bertanya “Mengapa? Bagi sebagian lagi, walau tidak terucapkan
karena takut, malu, atau pasrah, pertanyaan itu selalu mendera. Ingin
keluar dari dinanestapa. Diagnosis bermula dari anggapan bahwa dunia
yang diketahui (the known, Y) adalah akibat (konsekuensi, dampak)
sesuatu penyebab (faktor) yang belum diketahui. Bukan hanya sekedar
bertanya “Mengapa. . . . .?” atau “Faktor apa. . . . . . . ?” tetapi lebih
daripada itu, ingin tau penyebab dengan harapan, pengetahuan tentang
penyebab mengarahkan pemikiran pada solusi atau terapinya. Dengan
perkataan lain, pertanyaan “Mengapa. . . . .” mengarahkan pemikiran pada
hubungan kausal.
? ---------> Y
faktor apa yang menyebabkan Y
? ---------- ? ---------- Y
Y yang sama disebabkan oleh faktor yang berbeda-beda
X -----X1-----> Y
61
desain eksperimental mirip desain kausal di atas (Gambar 41).
Perbedaannya terletak pada variabel bebas. Pada model kausal, X diteliti
sebagaimana adanya, given, sedangkan pada model eksperimental,
variabel tersebut dimanipulasi (direkayasa dengan sengaja), diberlakukan
secara sadar, untuk kemudian efeknya terhadap variabel tergantung
diamati dengan teliti. Ada empat unsur khusus desain eksperimenntal.
a. Perlakuan (treatment), yaitu variabel bebas yang hendak diujicobakan,
diberi simbol X
b. Rancangan waktu, yaitu waktu yang ditetapkan dan diperlukan untuk
perlakuan, diberi simbol T
c, Kelompok Tes (yang diberi treatment) dan Kelompok Kontrol (yang
tidak diberi treatment), diberi simbol Rt dan Rk (R = responden).
Kelompok Kontrol berfungsi sebagai tolok ukur
d. Observasi (sebelum, sepanjang, dan sesudah treatment) diberi simbol
Ob, Oc, dan Oa
Ujicoba tidak diberitahukan kepada responden, dan dijalankan seolah-olah
kegiatan rutin, supaya perilaku responden serealistik mungkin, tidak
terpengaruh, namun bisa juga diberitahukan atau disosialisasi, jika
lingkungan hendak diubah (ref Taliziduhu Ndraha, Bab V Desain Riset,
1987)
7. BOK harus mampu membangun dirinya sendiri secara heuristik.
Kekuatan sentripetal dari luar
(Politik---->Pemerintahan ----> Politik Pemerintahan)
diimbangi dengan kekuatan sentrifugal dari dalam
(Kybernologi---->Politik ----> Kybernologi Politik)
Dengan demikian, pada suatu waktu di depan, Pohon Kybernologi ada dua
batang. Pohon pertama yang ada sekarang seperti tertera di h. xxxvi
Kybernologi (2003) dan Kybernologi Beberapa Konstruksi Utama (2005,
h. 19) yang tumbuh dan berbuah oleh kekuatan sentripetal (Politik
Pemerintahan), dan pohon kedua yang tumbuh dan mulai berbuah oleh
kekuatan sentrifugal (Kybernologi Politik). Buah kedua pohon itulah yang
pada suatu saat menunjukkan Kybernologi berada pada paradigma normal
di dalam masyarakat ilmupengetahuan
8. Sama seperti manusia, BOK harus siap mengontrol dirinya (“check-up”)
secara menyeluruh, agar BOK tetap sehat, kuat, dan tetap berperan dalam
menghadapi perubahan pesat dan tidak menentu (selalu pada posisi
normal science) di depan. Jika perlu, BOK merekonstruksi durinya,
seperti halnya Ilmu Pemerintahan, dari BOK yang bagian Ilmu Politik
menjadi Kybernologi. Memang, seperti halnya semua “makhluk hidup,”
terkadang grafik kehidupan fluktuatif (turun-naik), maju-mundur, dan
62
timbul tenggelam, tak terhindarkan. Yang penting adalah kesiapan
mengantisipanya: BOK serba-cuaca.
13
KONSTRUKSI BOK: PERTANYAAN
Konstruksi BOK bermula pada kesadaran. Suatu saat pojok yang sebelumnya bagi
seseorang gelap, apakah secara berangsur ataupun mendadak, terang-benderang.
Itu membuatnya berteriak “Eureka!” Ia melihat sesuatu: ia sadar, ia mengetahui,
namun ia bimbang. Prosesnya sebagai berikut:
1. Dari gelap (tidak tau) menjadi terang (tau)
2. Dalam terang ia melihat sesuatu hal (John Dewey, How We Think, 1933)
3. Ia melihat adanya sesuatu yang lain
4. Ia dapat membedakan sesuatu itu dengan sesuatu yang lain (the sense of
discrimination); ia melihat perbedaan antara keduanya
5. Dapat saja ia membiarkan pengalamannya itu berlalu, tetapi ia memilih
untuk mengamatinya: ia tertarik, ia ingin tau (curious). Max Black
“Observation and Experiment,” dalam Maurice Mandelbaum, Francis W.
Grammlich, dan Alan Ross Anderson, eds, Philosophic Problems (1958)
menyatakan: “. . . . If one trait, more than any other, is characteristik of the
scientific attitude, it ia reliance upon the data of experience.” Inilah dasar
sikap ilmiah (scientific attitude). Sikap ilmiah berlanjut pada sikap ragu-
ragu (skeptis, skeptic, skepticism), namun yang ditempuh adalah sikap
positif (positive thinking, “setiap celaka ada gunanya), yang berbuahkan
skeptisisme positif, bukan skeptisisme negatif pesimistik. Mengapa
skeptis? Karena seringkali kenampakan (appearance, kedua rel keretaapi
di kejauhan terlihat bertemu kedua ujungnya) tidak sesuai dengan realitas
(reality, yang sesungguhnya), demikian Bertrand Russell, “Philosophy
and Common Sense,” dalam Mandelbaum di atas
6. Ia mengamati apa yang terjadi pada yang lain jika yang satu berubah
63
7. Ternyata yang satu berkaitan dengan yang lain
8. Ia mengamati sifat hubungan tersebut, di bawah kondisi mana sifat itu
terlihat, dalam hal apa saja hubungan itu berlangsung, sejauh mana
kebenarannya? Skeptisisme positif berubah menjadi sikap kritis (Greek
krinein, Ingg. to judge, discern, menimbang; lalu kritikos, criticus,
critique, dan critisism).
---WHAT---
---KEINGINTAHUAN---- | |
| | |---WHY----|
|---KETIDAKPASTIAN---| | |
| | YANG DI- |---WHERE--|
DATA--->INFO---|---KETIDAKJELASAN---|--->PERTA- ----|----------|--->MASALAH
| | NYAKAN |---WHEN---|
|---KERAGU-RAGUAN----| | |
| | |---WHO----|
---KESENJANGAN------ | |
---HOW----
pernyataan pertanyaan
--------------------------------PERMASALAHAN-------------------------------->
input throughput output
Gambar 44 Permasalahan
Jika pemikiran didasarkan pada pendakat Max Black di atas, maka permasalahan
adalah infrastruktur setiap BOK. Permasalahan yang menjadi pertimbangan utama,
bangunan seperti apa yang dapat atau perlu dibangun di atasnya. Sudah barang
tentu, berbeda halnya jika pemikiran didasarkan pada pendekatan spekulatif seperti
Will Durant yang telah dikutip di atas, yang menyatakan bahwa setiap ilmu
berawal dari Filsafat dan berakhir sebagai Seni. Atau seperti Gustav Bergmann
64
dalam Philosophy of Science (1958, 31, 35). Bagi para pemikir spekulatif, fondasi
bangunan adalah dalil, scientific laws, axioma, theorema (a sight, theorein, to look
at, theoria, pegangan, dan anggapan-dasar).
Masalah ada dalam bentuk pernyataan, dan berada (hadir) dalam bentuk
pertanyaan (Gambar 44). Pertanyaan hadir untuk dijawab. Dengan menggunakan
model Gambar 44, maka menjawab pertanyaan melalui pemikiran berarti
pemikiran bertujuan:
1. Mencari, mengejar, dan berupaya mengetahui sesuatu yang dapat
menjawab pertanyaan yang bersangkutan: memenuhi rasa ingin tau
2. Memastikan, menepatkan, dan meningkatkan akurasi jawaban:
mengurangi ketidakpastian
3. Menjelaskan, menerangkan: mengurangi ketidakjelasan
4. Memilih yang terbaik: mengurangi keragu-raguan
5. Merancang langkah-langkah pengurangan kesenjangan
Di antara enam pertanyaan pada Gambar 44 (“5W1H”), ada tiga yang terpenting,
yaitu “apa,” “mengapa,” dan “bagaimana.” Pertanyaan “apa” mengarahkan
pemikiran pada fenomena (objek) yang mengandung kegelapan (ketidaktahuan),
ketidakpastian, ketidakjelasan, keragu-raguan, dan kesenjangan, dan pada aspek
fenomena yang dipertanyakan, “apa yang terjadi atau terlihat.” Katakanlah,
65
Tabel 4 Beberapa Model Bangunan Masalah
---------------------------------------------------------------------------
MODEL DESAIN DEFINISI MASALAH HIPOTESIS
---------------------------------------------------------------------------
66
X1- kausal X1 dan Xn ber- seberapa kuat X mempengaruhi
| multi- sama mempengaruhi pengaruh to- Y secara lini-
|-->Y variat Y dgn cara apa; tal dan tiap er, linier ber
| X + Xn = total X thd Y, dan ganda atau ja-
Xn- faktor dgn cara apa? lur
jawaban terhadap pertanyaan “apa” itu adalah “Y.” Terhadap “Y” pada gilirannya
dapat diajukan “5W1H.” Misalnya “Hal apa yang berhubungan dengan “Y,”
“adakah hubungan antara “Y” dengan sesuatu hal lain, dan jika ada “bagaimana
sifat hubungan itu,” “seberapa kuat” hubungan itu,” “hubungan itu signifikan di
bawah kondisi seperti apa,” dan seterusnya. Modelnya -----Y----- . Pertanyaan
“mengapa” membawa pemikiran terarah ke hubungan kausal antara “Y” dengan
satu atau beberapa “hal yang menyebabkan, melatarbelakangi atau melatardepani
keberadaan atau terjadinya “Y” itu. Penyebab (faktor) kejadian atau latar
keberadaan “Y” itu disebut saja “X.” Jadi modelnya X----->Y. Pertanyaan
“bagaimana” diajukan untuk mengetahui “proses atau perihal kejadian atau
keberadaannya,” “lokasi,” “waktu,” dan “pelaku,” dengan model: X---?--->Y.
Adapun kesalahan metodologi yang paling fatal adalah level pemikiran yang
tak meningkat, ialah tetap pada level pemikiran S2, dengan studi-studi yang
bersifat verifikatif tanpa dasar. (Oleh mahasiswa) Diupayakan agar
ditemukan hubungan antara 2 dan tiga variabel, secara signifikan,
berlandaskan uji statistikal tertentu. Ini adalah variabel-variabel yang
dipasang-pasangkan tanpa landasan teori yang benar. Maka bila ada suatu
hubungan kausalitas yang signifikan, karena tanpa landasan teori yang
“sound,” kajian itu bersifat spurious atau kosong. ……. (h. 11)
Dengan uraian ini, mudah-mudahan tidak lagi terjadi “asal pasang” saja,
yang biasanya kini terjadi pada tingkatan S2, bahkan terus terjadi pada
tingkat S3. “Asal pasang,” suatu hubungan antara X dengan Y tanpa
dilandasi dengan teori hanya akan menghasilkan hubungan yang spurious,
67
atau suatu signifikansi tanpa dasar logika (h. 12)
Yang dimaksud oleh pakar Filsafat Ilmu dan Sosiologi Pertanian ini dengan
hubungan yang spurious adalah bangunan pertanyaan antara X dengan Y tanpa
teori yang menjelaskan mengapa X yang dihubungkan dengan Ydan bukan X1,
adakah hubungan (kausal) antara X dengan Y, dan jika ada, bagaimana X
mempengaruhi Y atau bagaimana Y dipengaruhi oleh X, yaitu faktor-faktor yang
oleh gurubesar senior UNPAD tersebut diberi nama contingent factors (variabel
Z).
68
terjerumus ke debat kusir belaka. Tanya-jawab yang berputar-putar tanpa
ujungpangkal seperti alurpikir lingkaran-setan-kemiskinan (the vicious circle of
poverty) tidak bermanfaat, walau dari panggung kedengarannya keren. Tanya-
jawab harus terkendali; dikendalikan oleh kebutuhan akan konklusi yang tepat.
Dialogues of Plato seperti “Apology,” “Crito,” “Phaedo,” “Symposium,” dan
“Republic,” adalah contoh dialog yang sehat. Sudah barang tentu, dalam suatu
batas, pada suatu tingkat, semakin sukar suatu pertanyaan dijawab
(diterangkan), semakin layak pertanyaan itu dipelajari menurut Metodologi.
Perlu dikemukakan di sini bahwa semua pertanyaan layak diajukan, baik melalui
pendekatan kualitatif, maupun kuantitatif. Pertanyaan “mengapa” misalnya, dapat
dijawab melalui Metodologi Kualitatif dan juga Metodologi Kuantitatif. Perbedaan
utamanya ialah, temuan kualitatif hanya berlaku untuk kasus yang bersangkutan,
sedangkan temuan kuantitatif pada sampel, di bawah kondisi tertentu, berlaku
untuk populasinya.
JAWABAN
bangunan struktursupra
PERTANYAAN
fondasi,bangunan strukturinfra
Unit BOK terkecil adalah tulisan ilmiah formal (Gambar 39). Disertasi diambil
sebagai contoh, berdasarkan anggapan bahwa rekonstruksi Disertasi adalah model
yang merupakan bekal bagi seorang ilmuwan profesional dalam menjalankan
fungsi pengembangan BOK sebagai ilmu, maupun pengusahaan BOK sebagai
komoditi ilmiah.
Seperti telah disinggung, ada dua cara pendekatan rekonstruksi tulisan ilmiah
formal: kualitatif dan kuantitatif (Gambar 37). Dua pendekatan itu terhubung pada
fungsi fakta (empirik, “the quality of existing or of being real,” Babbie: “some
phenomenon that has been observed”) dalam proses pemikiran manusia. Jika fakta
difungsikan sebagai bahan baku atau bahan bangunan (pembentukan) teori, maka
pendekatan yang ditempuh adalah kualitatif. Manakala fakta difungsikan sebagai
alat untuk menguji (membuktikan) teori, maka pendekatannya adalah kuantitatif.
Kedua pendekatan itu bergulir ibarat sebuah roda yang oleh Babbie disebut “the
wheel of science:”
69
THEORIES
EMPIRICAL
GENERAL- HYPOTHESES
IZATIONS
OBSERVATIONS
Roda Babbie ini digunakan di sini sebagai model pemikiran. Pendekatan kuantitatif
berawal pada pertanyaan yang terungkap dari dalam fakta, dijawab dengan teori,
melalui hipotesis teori diuji dengan fakta pada sampel. Hasil analisis data pada
sampel kemudian digeneralisasikan pada populasi. Dari sini teori terlihat,
didukung (sesuai dengan) atau tidak (tidak sesuai) oleh fakta. Pendekatan kualitatif
bermula pada pertanyaan dan langsung dijawab dengan fakta hasil observasi.
Melalui metodologi yang bervariasi dan rumit, antara lain adalah yang lazim
disebut “grounded,” fakta diinterpretasi (reduksi, kategorisasi, dan triangulasi),
direkonstruksi (induktif), --- empirical generalization --- sehingga terbentuklah
konsep (baru) dan teori (baru). Contoh klasik tentang hal ini terdapat dalam Barney
G. Glaser dan Anselm L. Strauss, The Discovery of Grounded Theory: Strategies
for Qualitative Research (1974), lihat Bab 36 Kybernologi (2003). Ada juga yang
tidak langsung menjawabnya dengan fakta, melainkan dengan teori yang ada,
seadanya. Inilah yang model kualitatif yang menggunakan hipotesis kerja
(working hypothesis).
70
THEORIES
EMPIRICAL
GENERAL- HYPOTHESES
IZATIONS
F1
FAKTA
F2
INTERPRETASI WORKING
REKONSTRUKSI HYPOTHESES
GAMBAR 32 DESAIN OBSERVASI
VERSTEHEN
(lihat tanda panah). Sudah barang tentu gaya perjalanan yang satu dibanding
dengan yang lain, berbeda. Hal itu akan diuraikan di bawah. Cukuplah bila
ditandaskan di sini bahwa pertanyaan apapun tidak boleh dan tidak bisa
dikonstruksi berdasarkan (di atas) dugaan dan atau asumsi sebagaimana dilakukan
oleh banyak kandidat yang menggunakan metodologi kuantitatif. Misalnya: “Y
belum berhasil.” “Diduga, Y belum berhasil karena X lemah.” Dugaan itu
berangkat dari asumsi bahwa “Jika X ditingkatkan, maka Y berhasil” (dari naskah
Disertasi kandidat NPM 170 730067 XXX, dan diluluskan). Dalam metodologi
kuantitatif, teori yang menerangkan adanya hubungan kausal antara X dengan Y.
71
14
KONSTRUKSI BOK: JAWABAN KUALITATIF
----------------------------------------
| JAWABAN |
| bangunan struktursupra |
| JAWABAN KUALITATIF |
| |
| |
| |
| |
| PERTANYAAN |
| fondasi,bangunan strukturinfra |
----------------------------------------
72
3. Ilmu Perbandingan Politik
4. Teori Politik, dan menurut versi Universitas Gadjah Mada
5. Ilmu Pemerintahan
adalah Political Sciences, sementara basis Program Studi Ilmu-Ilmu Sosial terletak
pada terminal 3, yang dihuni oleh berbagai cabang ilmu seperti
1. Sociology
2. Social Psychology
3. Anthropology
4. Social Anthropology
dan seterusnya, seperti UNESCO, The University Teaching of Social Sciences
(1954). yang disebut Social Sciences, lepas dari perdebatan tentang isi konsep
Social Sciences itu apakah meluas ke Ilmu Ekonomi, Ilmu Hukum, dan
sebagainya, atau tidak. Terminal 4 membentuk linkage antara terminal 3 dengan
terminal 4. Dalam analisis ini, konstruksi pemikiran G. A Lundberg dalam
Foundations of Sociology (1956), sangat menarik. Berbicara tentang “foundations”
suatu cabang ilmu pengetahuan, adalah juga berbicara tentang “foundations”
semua ilmu pengetahuan. Artinya kerangka “foundations” semua ilmu
pengetahuan, sama. Jika demikian, basis setiap program pembelajaran suatu
cabang ilmu pengetahuan adalah Filsafat Ilmu disiplin yang bersangkutan,
dalam hal ini Filsafat Ilmu (di bidang) Ilmu Pemerintahan (Kybernologi).
Lihat juga Karl Pearson, The Grammar of Science, (1951).
73
Bagaimana (Sebagai Apa) Fakta itu Terlihat?
Jawaban kualitatif bersumber pada masyarakat dan lingkungan hidupnya
sebagaimana berakar dari kualitasnya sebagai manusia. Sasaran observasi adalah
manusia atau sepotong alam. Apakah yang terlihat pada sasaran (fenomenon) itu
dapat disebut fakta? Berdasarkan Max Black yang menyatakan bahwa “if one trait,
more than any other, is charakteristic of the scientific attitude, it is reliance upon
the data of experience,” arti fakta sebagai “the quality of existing or of being real,”
dan Babbie yang mendefinisikan fakta sebagai “some phenomenon that has been
observed,” maka jawabannya adalah tidak atau belum tentu. Gambar 5
menunjukkan bahwa rekaman “fakta sebagaimana terlihat di permukaan” yaitu
data, harus diolah dulu, dan info yaitu hasil pengolahannya harus diuji terus-
menerus, agar “fakta yang sesungguhnya di dalam” atau “di seberang sana,” yaitu
“kuman di seberang lautan,” dan bukan hanya “gajah di pelupuk mata,” terungkap.
Seperti kata pepatah: “Dalam laut dapat diduga, dalam hati siapa tau.”
Yang menjadi pertanyaan dalam hubungan itu ialah, rekaman seperti apa (sejauh
mana) di permukaan yang dapat menunjukkan fakta yang sesungguhnya,
mengingat waktu, kesempatan dan keterbatasan manusia? Dengan pertanyaan lain:
“Apakah induksi tak lengkap bisa menunjukkan fakta yang sesungguhnya?”
Apakah jawabannya, ibarat eksplorasi minyak bumi, “sampai sumber minyaknya
INDUKSI
Y X
A Z B
C D
OBSERVATIONS
74
ditemukan?” Gambar 49 menunjukkan bahwa dengan segala kelemahan,
kekurangan dan keterbatasannya, subjek tidak mampu atau tidak sempat
melakukan perekaman induktif lengkap (sempurna, 360°), melainkan induksi
taklengkap. Induksi taklengkap itu dianggap mampu mencapai Y manakala proses
pemikiran (baca: rekonstruksi BOK) mengikuti disiplin yang ketat, sebagaiamana
terlihat pada Gambar 32 dan yang berikutnya. Jika tidak, rekonstruksi hanya
sampai di Z dan tidak menjawab pertanyaan.
75
konstituen. Kekuatan yang membentuk FOR suatu subkultur bermacam-macam,
misalnya kepentingan, kebutuhan, pengalaman, pendidikan, perbedaan,
perbandingan, sejarah, kepercayaan, dan seterusnya. Kualitas SKS terlihat oleh
sipemikir sebagaimana SKS mengungkapkan dirinya yang “transendental,”
menurut FOR-nya dan direkam pada saat SKS memperagakannya
(memperagakannya kembali). Oleh sebab itu persoalan yang menentukan seperti
telah disebut di atas ialah bagaimana supaya objek bersedia membuka dirinya dan
memperlihatkan kualitasnya (kembali) sebagaimana adanya? Jawabannya, dengan
berempati itulah (Gambar 32 dan yang berikutnya).
76
Apakah Fungsi Fakta Dalam BOK Kualitatif?
Ada dua macam fakta. Fakta sebagai sebagai pemuncul pertanyaan dan fakta
sebagai jawaban terhadap pertanyaan. Fakta memenuhi seluruh bangunan (BOK,
Gambar 48). Seperti dikemukakan di atas, jawaban terhadap pertanyaan yang
dijadikan fondasi BOK kualitatif bisa (langsung) berupa fakta, dan bisa juga
berupa teori yang relevan dan aktual. Baik fakta maupun teori telah diuraikan di
atas.
---------------------------
| JAWABAN |
---------------------------------------------|---------------------------|
| | | BELUM | | |
| | MASYA- | DIKENAL | ? | LANGSUNG FAKTA |
| PERTANYAAN | RAKAT, |---------|-------------|---------------------------|
| | KASUS | SUDAH | FAKTA | TEORI DULU | BARU FAKTA |
| | | DIKENAL | | | |
-------------------------------------------------------------------------
-----------------------------------------------------------
| JAWABAN |
-------------|-----------------------------------------------------------|
| | | |
| ? | LANGSUNG FAKTA | VERSTEHEN |
|-------------|-----------------------------| HIPOTESIS |
| FAKTA | TEORI DULU | BARU FAKTA | GROUNDED THEORIES |
| | | | |
-------------------------------------------------------------------------
77
Jawaban teoretik (Gambar 50 dan Gambar 51), yang disebut juga hipotesis kerja,
tidak seperti hipotesis statistik yang dirumuskan untuk diuji dengan data empirik,
melainkan “disimpan” untuk kemudian pada gilirannya digunakan sebagai bahan
pembahasan dan penafsiran data empirik. Yang dimaksud dengan data empirik di
sini adalah buah pengamatan lapangan terhadap fokus (objek) pemikiran, dan
bukan hasil observasi terhadap hipotesis kerja. Pencarian dan penggunaan data
tentang hipotesis kerja untuk diolah menjadi bahan bangunan BKO kualitatif, sama
saja dengan upaya mengujinya di lapangan.
Oleh sebab itu pemahaman tentang fokus pemikiran dan metodologi yang tepat
guna menemukan faktanya, merupakan kunci keberhasilan rekonstruksi BOK
kualitatif. Sebuah Disertasi yang menggunakan bahan bangunan dari Teori George
communi-
cation
resour-
ces implementa-
tion
dispo-
sitions
bureau-
cratic
structure
78
C. Edwards III dalam Implementing Public Policy (1980), diambil sebagai contoh.
Berbicara tentang “approach to studying implementation,” terhadap pertanyaan
“What are the preconditions for successful policy implementation,” Edwards
menyampaikan jawaban, bahwa ada “four critical factors or variables in
implementing public policy: communication, resources, dispositions or attitudes,
and bureaucratic strukture,” seperti Gambar 1 di atas. Empat faktor itulah yang
oleh penulisnya dalam Preface disebut sebagai “four critical factors affecting
policy implementation. . . . .” Sayang sekali, Edwards membahas empat faktor
tersebut lengkap dengan dimensi-dimensi dan indikator-indikator masing-masing,
dalam Bab 2, 3, 4, 5, dan hubungan antar faktor di Bab 6, tetapi tidak menjelaskan
secara eksplisit dimensi dan indikator implementasi kebijakan yang justru
merupakan fokus perhatian. Para mahasiswa terpaksa menggunakan teori lain di
luar Edwards, seperti teori yang menyatakan bahwa dimensi-dimensi implementasi
kebijakan adalah organization, interpretation, dan application (OIA). Yang
menjadi persoalan metodologikal di sini adalah validitas penjelasan hubungan
antara variabel X dengan variabel Y beserta pengukurannya, pada model
X----->Y, jika tiap variabel dijelaskan oleh teori dari sumber yang berbeda
(misalnya X diterangkan dengan teori Edwards, sedangkan Y oleh teori Jones).
Apakah definisi, dimensi, indikator, dan hubungan antar variabel sebuah model
harus dijelaskan dengan teori dari sumber yang sama (misalnya Edwards)?
79
teoretik yang ditemukan oleh Edwards di masyarakat Amerika. Bukankah faktor
yang berbeda ini merupakan temuan akademik yang berharga?
Jadi yang perlu diobservasi dan direkam pada implementasi kebijakan tersebut
adalah keseluruhan langkah-langkah, proses dan urutannya, yang perlu (dalam hal
ini yang sedang atau sudah) ditempuh oleh semua fihak terkait, sejak penetapan
kebijakan (policy adoption) sampai efek yang diharapkan dari kebijakan itu (policy
outcomes) dirasakan oleh masyarakat yang bersangkutan. Hipotesis yang menjadi
dasar pembuatan grounded theory direkonstruksi dari hasil pengamatan terfokus
terhadap urutan kejadian yang terlihat dari waktu ke waktu. Jika urutan kejadian
empirik itu memenuhi syarat “X precede Y in time,” maka antara Y dengan X
terdapat hubungan kausal: Y adalah effect dan X adalah cause, dengan model
X---->Y, demikian Babbie (1983, 57). Selanjutnya lihat John W. Creswell,
Research Design Qualitative and Quantitative Approaches (1994), dan Anselm
Strauss dan Juliet Corbin, Basics of Qualitative Research: Grounded Theory
Procedures and Techniques (1990). Ringkasan Barney G. Glaser dan Anselm L.
Strauss, The Discovery of Grounded Theory: Strategies for Qualitative Research
(1974) terdapat dalam Bab 36 Kybernologi (2003).
XV
KONSTRUKSI BOK: JAWABAN KUANTITATIF
Pada dasarnya tidak ada pertanyaan yang khas kualitatif atau kuantitatif. Pada (di
atas) fondasi yang sama dapat dibentuk BOK kualitatif dan kuantitatif. Setiap
pertanyaan yang dapat dijawab dengan suatu teori, layak dijadikan fondasi BOK
kuantitatif.
----------------------------------------
| JAWABAN |
| bangunan struktursupra |
| JAWABAN KUANTITATIF |
| |
| |
| |
| |
| PERTANYAAN |
| fondasi,bangunan strukturinfra |
----------------------------------------
80
Perbedaannya terdapat pada bangunan struktursupranya seperti terlihat pada
Gambar 55 dan 56.
-----------------------------------------
| JAWABAN TEORETIK TENTATIF |
-------------------------------|-----------------------------------------|
| | | | | | |
| | MASYA- | SUDAH | EKSPLO- | KERANGKA | |
| PERTANYAAN | RAKAT, | DIKE- | RASI | PEMI- | HIPOTESIS |
| |UNIVERSE| NAL | PUSTAKA | KIRAN | |
| | | | | | |
-------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------
| JAWABAN |JAWABAN TEORTIK,|KE LAPANG-| |
| TEORETIK | DIKETAHUI,TAPI |AN UTK UJI| JAWABAN TEORETIK KRITIS |
| TENTATIF | UNASPIRATED* |HIPOTESIS | |
|------------------------------|----------|-------------------------------|
| | | | | PENGUJI- | | |
| | | | DATA | AN HIPO | |IM- |
| HIPOTESIS | EPSILON* |METODOLOGI| EMPI-| TESIS & | TEMUAN |PLI-|
| | | | RIK | PEMBA- | |KASI|
| | | | | HASAN | | |
-------------------------------------------------------------------------
Apakah epsilon itu? Epsilon (*Gambar 56) adalah huruf kelima abjad bahasa Latin
(Greek) ê psilon, artinya bare, simple ê, unaspirated; lawannya aspirate,
articulate, desired. Eksplorasi pustaka (Gambar 55) yang kaya dengan teknologi
informasi yang semakin canggih, membuka cakrawala pengetahuan yang luas dan
dalam sebagai sumber jawaban yang seolah tak terbatas. Dalam hubungan itu, ada
beberapa kemungkinan:
1. Katakanlah dari eksplorasi pustaka diketahui bahwa Y bergantung pada
faktor-faktor X1, X2, dan X3, entah itu sufficient factors atau necessary
(contingent) factors, atau dua-duanya.. Mengingat keterbatasan,
kekurangan dan kelemahan subjek, sifat objek (sosial dan humaniora
yang padat-nilai), dan kondisi lingkungan yang berubah-ubah,
diperkirakan masih ada faktor lain yang tidak diketahui, tidak dapat
diketahui, atau tidak sempat diketahui, yaitu Xn. Di sini Xn
bukanlah epsilon.
2. Dari kajian pustaka diketahui bahwa Y dipengaruhi oleh X1, X2, dan
X3, tetapi dengan alasan akademik-metodologik yang sah, hanya X1 dan
81
X2 yang digunakan sebagai bahan bangunan. Di sini X3 dijadikan
(adalah) epsilon
Adanya epsilon dalam arti ini membawa konsekuensi metodologik yang serius.
Konsekuensinya ialah, sekuat dan sesignifikan apapun pengaruh X1 dan X2, baik
masing-masing maupun bersama-sama terhadap Y (koefisien determinasi),
koefisien itu mengandung bias, baik kuantitas (tidak sesuai dengan fakta yang
sesungguhnya, menurut statistik besar padahal sesungguhnya kecil), maupun
kualitasnya (dianggap kuat atau efektif, padahal ternyata lemah atau gagal).
Respons seorang responden terhadap X1 dan X2, misalnya berbeda dengan
responsnya bilamana kepadanya ditawarkan X1, X2, dan X3, baik sufficient
maupun contingent factors. Semakin banyak pilihan, perhatian responden semakin
terbagi dan tersebar. Kendatipun sufficient factors lengkap, tidak biased, atau
semua variabel bebasnya di bawah kontrol (misalnya di laboratorium), contingent
(necessary) factornya (variabel antara, intervening) culture bound, sehingga pada
gilirannya mengalami culture lag. Ini lebih buruk ketimbang bias! Mengenai
culture-bound lihat David Easton, The Political System (1953), dan culture-lag
lihat Emory S. Bogardus, Sociology (1954) dan G. A. Lundberg, Foundations of
Sociology (1956).
Hipotesis dalam Gambar 55 dan Gambar 56 bisa terlihat bagai sebuah bangunan
yang keren dengan dua ruangan di dalamnya yaitu ruangan X dan ruangan Y.
Hubungan antara dua ruangan ini dinyatakan dengan “Semakin . . . , semakin. . . . ”
Pernyataan tersebut membawa kesan seolah-olah terdapat hubungan kausal antara
Y dengan X. Sesungguhnya menurut Babbie, hubungan yang memberi kesan
seperti itu “not genuine, authentic, or true,” melainkan spurious (spurious
relationship). Di suatu daerah terlihat angka kelahiran bayi tinggi dan banyak
burung bangau beterbangan. Pengamatan ini dijadikan dasar untuk membangun
hipotesis berbunyi “Semakin banyak burung bangau, semakin tinggi angka
kelahiran bayi,” disusul dengan jawaban terhadap pertanyaan “Dari mana
datangnya bayi,” yaitu “Dibawa burung bangau.” Jadi banyaknya burung bangau
menyebabkan banyaknya bayi. Setelah diamati ternyata, faktor lingkunganlah yang
menyebabkan X dan Y. Hubungan antara lingkungan pedesaan dengan banyaknya
burung bangau dan banyaknya bayi, disebut “hubungan yang genuine.” Bukankah
ruang politik dan ruang bisnis dipenuhi oleh anggapan-anggapan yang spurious
tersebut? Oleh sebab itu, setiap pernyataan tentang hubungan antara X dengan Y
harus disertai dengan penjelasan (explanations) yang terbuka dan teruji (testable)
guna mencegah pernyataan yang spurious dan membangun pernyataan yang
genuine.
82
Oleh sebab itu, pernyataan memerlukan penjelasan. Menurut Babbie, ada dua
model penjelasan. Penjelasan dengan model ideografik (ideographic model of
explanation) adalah penjelasan yang “probe the multiplicity of reasons that would
account for a specific behavior,” “aims at explanation through the enumeration of
very many, perhaps unique, considerations that lie behind a given action.” BOK
kualitatif, terlebih yang menggunakan model interpretivist, berisi penjelasan
ideografik ini. Selanjutnya, penjelasan dengan model nomotetik (nomothetic
model) adalah penjelasan yang “consciously seeks to discover those
considerations that are most important in explaining general classes of actions or
events.” Istilah nomothetic berasal dari bahasa Greek, nomothetikόs, artinya
“pertaining or involving the study or formulation of general or universal law.”
Dengan mudah dapat ditebak bahwa BOK kuantitatif bersifat nometetik.
Sebagaimana BOK kuantitatif terdiri dari bahan bangunan bernama teori, setiap
teori mengandung pernyataan tentang hubungan antar konsep, dan hipotesis
mengandung hubungan antar variabel, demikian juga setiap konsep dan variabel
harus definitif. Hal itu penting guna membedakannya sekaligus menggambarkan
hubungannya dengan sesuatu yang lain di dalam himpunan (kelas) yang sama.
Jauh di atas telah dikemukakan bahwa formula sebuah definisi tidak boleh
tautologik seperti A = A yang B, “spidol adalah spidol untuk white board,”
melainkan A = B yang C, “spidol adalah alattulis untuk white board,” guna
membedakannya dengan kapurtulis yang sehimpunan dengan spidol (himpunan
alattulis) untuk black board (ref. Irving M. Copi, Introduction to Logic, 1959,
Chapter Four), dengan catatan bahwa B adalah sebuah himpunan yang berisi A dan
anggota lainnya. A disebut definiendum dan B yang C adalah definiens. Contoh
lain “segitiga (definiendum) adalah bidang yang dibatasi oleh tiga garislurus
(definiens).” Perulangan penjelasan dalam bentuk A = A itu dalam metodologi
disebut tautology atau redundancy. Biasanya, Pasal 1 tiap Undang-Undang (UU),
Peraturan Pemerintah (PP), dan Peraturan Daerah (Perda) penuh batasan-batasan
atau ketentuan. Ketentuan Pasal 1 butir 10 UU 32/04 berbunyi: “Peraturan daerah
selanjutnya disebut Perda adalah peraturan daerah provinsi dan atau peraturan
daerah kabupaten/kota,” bentuknya tautologik dan bukanlah definisi konsep Perda.
83
learning process, seterbatas apapun sebuah BOK, ada gunanya. Anggapan
dasarnya ialah, seseorang yang ternyata mampu membangun BOK X----->Y, ia
diharapkan mampu membangun BOK lainnya.
Ruang bagi temuan akademik tersedia di Gambar 56. Yang dimaksud dengan
temuan akademik adalah hasil proses penjawaban teoretik terhadap pertanyaan
mulai dari hipotesis dan pengujiannya dengan data empirik, sampai pada
pembahasan. Bahan yang dibahaa dalam proses pembahasan adalah hasil uji
hipotesis. Jadi proses uji hipotesis belum dapat disebut pembahasan. Pembahasan
itu sendiri meliputi:
1. Identifikasi keterbatasan penelitian dari sudut metodologi (politik,
birokrasi, teori, responden, komunikasi dan teknologi informasi, dsb)
2. Epsilon (apa yang terjadi bila epsilon dijadikan bahan bangunan)
3. Penafsiran (interpretasi)
4. Reformulasi konsep (conceptualization) dan hipotesis
5. Rekonstruksi teori yang digunakan
6. Apakah hipotesis teruji?
7. Apakah BOK berfungsi?
Konstruksi sebuah BOK sejajar dengan pembangunan sebuah rumah, terdiri dari
beberapa tahap:
----------------------------------------------------------------
TAHAPAN PEMBANGUNAN RUMAH TAHAPAN REKONSTRUKSI BOK
----------------------------------------------------------------
1 Perancangan (designing) 1 Hipotesis dan Epsilon
2 Penyediaan Bahan Bangunan 2 Pengumpulan dan Pengolahan Data
3 Konstruksi dan Evaluasi 3 Pengujian Hipotesis
Bangunan dan Pembahasan
4 Evaluasi Bangunan 4 Temuan: BOK
5 Penggunaan Bangunan 5 Implikasi
----------------------------------------------------------------
Sudah barang tentu, dilihat dari sudut BOK sebagai bangunan penjelasan, BOK
kuantitatif lebih nomotetik ketimbang ideografik, sementara BOK kualitatif,
sebaliknya. Konsekuensinya ialah, kemungkinan sejumlah BOK nomotetik
dibangun seragam dalam periode yang sama, terbuka lebar. Ibarat ribuan rumah
yang dibangun dengan tipe, konstruksi, dan bahan bangunan yang sama! Inilah
malapetak BOK kuantitatif, jika boleh disebut demikian. Himpunan Disertasi
84
berpendekatan kuantitatif, misalnya, dengan variabel yang sama “implementasi
kebijakan. . . . ,” pertanyaan yang seragam “seberapa besar,” dan teori yang itu-itu
saja, “Edwards III,” terlihat seperti barang cetakan yang dijual dipasar swalayan
yang megah. BOK dewasa ini cenderung berubah dari BOK akademik menjadi
barang komoditi bisnis. Jika demikian, mana nilai tambah akademik, orisinalitas,
kreativitas, pembaharuan, dan kemajuan ilmupengetahuan? Upaya apa yang perlu
ditempuh guna mencegah kecenderungan inflastag itu di depan?
16
REKONSTRUKSI BOK: JAWABAN KOMBINATIF
Kybernologi memandang proses kebijakan tidak dari sudut Politik tetapi dari sudut
Teori Governance. Dari sudut ini proses kebijakan itu ibarat naik gunung, sesudah
tiba di puncak, harus turun lagi, demikian terus-menerus. Atau seperti naik pesawat
terbang tinggi. Di awang-awang, apapun di bawah tidak terlihat. Saat turun pada
ketinggian tertentu, bumi di bawah memang terlihat, tetapi sama terlihat jauh,
sangat jauh, tidak jelas, sama semua, seragam, hijau pekat. Barulah ketika
mendarat semuanya nampak, semakin dekat semakin jelas. Bukan hanya jelas,
tetapi berbeda-beda. Bukan hanya berbeda-beda dari pandangan mata, tetapi dilihat
dari nilai dan rasa, ada ketimpangan, ada kesenjangan antara yang sini dibanding
dengan yang sana. Bahkan ada yang merosot dan terhilang jika yang kemarin
dibanding dengan yang sekarang. Sudah barang tentu, pengalaman penerbangan
yang lalu dijadikan masukan bagi persiapan penerbangan berikutnya.
Proses kebijakan seperti take-off dan landing pesawat. Dari policy agenda
(identifikasi masalah) sampai pada policy adoption (penetapan kebijakan) itulah
take-off mengudara setinggi-tingginya (ketok palu dan tepuk tangan, tandatangani
daftar hadir dan terima uang), dan dari policy adoption sampai pada policy
outcome melalui policy implementation itulah landingnya. Sudah barang tentu
pula, hasil evaluasi policy terhadap policy outcome, dijadikan masukan bagi policy
agenda berikutnya. Take-off itu penetapan das Sollen bagi semua orang, landing
adalah realisasinya menjadi fakta (das Sein) bagi setiap orang, yang kondisi
kebutuhan, dan kepentingannya berbeda.
Sebagaimana halnya pesawat tidak cukup hanya take-off tetapi harus landing,
demikian juga kebijakan (harapan semua orang) yang telah ditetapkan, harus
diimplementasikan sehingga outcomenya mencapai setiap orang yang kondisi
kebutuhan, dan kepentingannya berbeda. Sementara sebuah pertanyaan tentang
suatu peristiwa khusus, kasus baru, atau sesuatu yang unik, cukup dijawab dengan
85
BOK kualitatif, yang bersifat ideografik, pertanyaan lain yang bersifat umum tidak
cukup hanya dijawab dengan BOK kuantitatif, yang nomotetik, tetapi perlu
dilengkapi dengan BOK ideografik yaitu BOK kualitatif. Kebijakan itu bersifat
nomotetik. Supaya implementasinya bisa mencapai setiap orang yang kondisi
kebutuhan, dan kepentingannya berbeda, maka mau tidak mau perlu digunakan
BOK kualitatif.
Seperti diketahui, demi efisiensi dan penghematan ruang, rekayasa bangunan sejak
puluhan tahun terakhir menggunakan konstruksi kombinatif, dengan menggabung
beberapa fungsi sekaligus ke dalam lingkungan sebuah bangunan. Misalnya fungsi
rumah dikombinasikan dengan fungsi kantor atau fungsi toko, sehingga
terbentuklah bangunan rukan atau ruko. Pembahasan kuantitatif sehebat apapun,
jika temuan akademik disandarkan pada uji hipotesis belaka, terlebih jika
hipotesisnya direkonstruksi dari fenomena sosial masyarakat yang budayanya
berbeda, hasilnya tidak mendarat, dan tidak sekaya rekonstruksi BOK kuantitatif
yang pembahasannya dikombinasikan dengan bahan bangunan kualitatif setempat.
BOK juga demikian. BOK kualitatif diibaratkan fungsi rumah, sedangkan BOK
kuantitatif fungsi kantor atau toko, sehingga BOK kuantitatif dapat
dikombinasikan dengan BOK kualitatif sehingga terbentuklah BOK-Kuantitatif-
Kualitatif atau BOK Kualitatif-Kuantitatif. Pilihan bergantung pada pertimbangan
mana yang dominan. Pilihan itu pada gilirannya menentukan di mana letak ruang
kualitatif dan di mana ruang kuantitatif di dalam BOK yang sama. Dengan
perkataan lain, di dalam BOK yang sama, komponen kuantitatif masuk di mana
dan komponen kualitatif masuk di mana. .
86
policy adoption
|
|
|
|
|
formulasi | implementasi
kebijakan | kebijakan
|
|
|
|
policy agenda | policy outcome
BOK explanation
BOK Nomotetik
|
|
|
pada tingkat
penjelasan abstractness ini penjelasan
nomotetik yg terlihat adalah ideografik
prediktif kecenderungan,rerata deskriptif
yang umum dan seragaman
|
|
pertanyaan dari di sini baru semakin jelas, ter- BOK Ideografik
yg terpenting lihat perbedaan dan kesenjangan memperdalam yg khusus
87
digeneralisasikan (pembenaran), sengaja atau tidak, bisa membawa bias yang
sangat besar, seolah-olah keberhasilan itu adalah kinerja pembuat kebijakan
(SKK), dan jika gagal adalah kesalahan pelanggan kebijakan (SKS, mana ada
kekuasaan yang menyalahkan dirinya sendiri dan secara otonom bersedia
menanggung risikonya? Paling-paling minta maaf!).
BOK explanation
BOK Nomotetik: Uji Hipotesis
|
|
|
pada tingkat
penjelasan abstractness ini penjelasan
nomotetik yg terlihat adalah ideografik
prediktif kecenderungan,rerata deskriptif
yang umum dan seragaman
|
|
pertanyaan dari di sini baru semakin jelas, ter- BOK Ideografik
yg terpenting lihat perbedaan dan kesenjangan memperdalam yg khusus*
Gambar 60 pendalaman terhadap hal yang khusus (*) mengacu pada komponen
BOK Kuantitatif (Tabel 5) yang memerlukan bantuan BOK Kualitatif untuk
membahasnya:
1. Identifikasi keterbatasan penelitian dari sudut metodologi (politik,
birokrasi, teori, responden, komunikasi dan teknologi informasi, dsb)
2. Epsilon (apa yang terjadi bila epsilon dijadikan bahan bangunan)
3. Penafsiran (interpretasi)
4. Reformulasi konsep (conceptualization) dan hipotesis
5. Rekonstruksi teori yang digunakan
6. Apakah hipotesis teruji?
7. Apakah BOK berfungsi?
Dengan demikian, pada BOK Kuantitatif (quantitative dominant), komponen
kualitatif masuk ke dalam BOK pada tahap (ruang) identifikasi masalah dan pada
tahap (ruang) pembahasan (Gambar 60). Telah dikemukakan juga bahwa pada
BOK Kualitatif (qualitative dominant), komponen kuantitatif berfungsi sebagai
jawaban teoretik, dan kemudian melalui penafsiran serta rekonstruksi data, hadir
sebagai temuan melalui proses conceptualization dan dalam bentuk grounded
theory. Maka terbentuklah BOK gabungan antara keduanya (combined BOK) ,
88
Gambar 60. Bagaimana halnya dengan sisi evaluasi dan feedback pada segitiga
kebijakan pada Gambar 58?
Jika sisi ini direkonstruksi menjadi BOK ketiga, terdiri dari komponen apa saja?
Input buat sisi ini adalah buah pendaratan kualitatif dan penjelasan ideografik.
Outputnya adalah pertanyaan seputar pelanggan yang nyata, yang paling
membutuhkan, pada dukungan hidup yang paling dibutuhkan, aspirasi setiap orang
yang kondisi, kebutuhan, dan kepentingannya satu dibanding dengan yang lain
yang berbeda-beda. BOK ini didasarkan pada faham demokrasi dan ajaran HAM
dan lingkungan hidupnya. Output ini pada gilirannya menjadi masukan bagi policy
agenda berikutnya. Untuk evaluasi pada proses (throughput) diperlukan tolokukur
dan tolakukur yang disepakati bersama yang disebut norma. Oleh sebab itu BOK
ketiga ini disebut BOK Normatif.
17
REKONSTRUKSI BOK: JAWABAN NORMATIF
|
|
|
pada tingkat
penjelasan abstractness ini penjelasan
nomotetik yg terlihat adalah ideografik
prediktif kecenderungan,rerata deskriptif
yang umum dan seragaman
|
|
pertanyaan dari di sini baru semakin jelas, ter- BOK Ideografik
hal yg umum lihat perbedaan dan kesenjangan memperdalam yg khusus*
Gambar 61 Unified (Triple BOK): BOK Kuantitatif, BOK Kualitatif, dan BOK Normatif
kualitas, hasil observasi atau eksplorasi terhadap keberadaan dan perilaku suatu
living organism, outward (masyarakat) dan inward (hatinurani)-nya, ke luar dan di
89
dalamnya. Kualitas itu kemudian diolah, ditimbang, dipilah dan dipilih, diberi
nilai. Nilai-nilai yang berguna bagi kelangsungan hidup dan kesejahteraan bersama
manusia di dalam masyarakat (governance), baik nilai sosial maupun nilai
hatinurani, diidentifikasi. Nilai-nilai tersebut kemudian disepakati menjadi pola
perilaku setiap orang di dalam masyarakat pada setiap lingkungan. Nilai yang
disepakati itu disebut norma. Dengan demikian, pola perilaku setiap orang dalam
ruang SKE, SKK, dan SKS adalah nilai yang disepakati bersama itu, dan bukan
hanya norma aturan hukum positif yang dibuat oleh SKK. Nilai-nilai sisa yang
belum atau tidak disepakati pada masyarakat-masyarakat lokal, menjadi isu dan
agenda bagi proses kebijakan pada tingkat nasional. Pada tingkat inilah bermula
BOK kuantitatif seperti telah diuraikan di atas. Baik BOK kuantitatif maupun BOK
kualitatif, tidak menjawab “bagaimana seharusnya sesuatu,” melainkan
“bagaimana kenyataannya, faktanya,” yang satu menjawab pada tingkat abstrak
teoretik, sedangkan yang lain menjawab sebagaimana adanya pada tingkat praktik,
BOK normatiflah yang berkompeten menjawabnya.
----------------------------------------
| JAWABAN |
| bangunan struktursupra |
| JAWABAN NORMATIF |
| |
| |
| |
| |
| PERTANYAAN |
| fondasi,bangunan strukturinfra |
----------------------------------------
Pentingnya BOK normatif ini bahkan menjadi bahan pertanyaan fundamental bagi
Babbie, dengan meletakkannya pada ruang “social regularities,” setara dengan
natural law atau axioms. Sosial regularities itulah yang kemudian menjadi dasar
pembangunan BOK Sosiologi modern yang mampu menerangkan perilaku sosial
dan melakukan prediksi ke depan dengan menggunakan ketiga BOK, kuantitatif,
kualitatif, dan normatif.
.
90
18
EVERY SCIENCE BEGINS AS PHILOSOPHY AND ENDS AS ART
Pernyataan Will Durant yang mengawali bagian 2, mengakhiri bab I buku ini. Jika
Filsafat diibaratkan fondasi bangunan yang tidak kelihatan namun menentukan
tingkat kekokohan bangunan, maka Seni terlihat melalui seluruh penampakan
bangunan. Seni menentukan seperti apa bangunan itu terlihat oleh, dan apa makna
bangunan itu bagi pelanggannya (Seni Pemerintahan, lihat Bab 19, kaitkan dengan
Teknologi Pemerintahan Bab 30 Kybernologi 2003). BOK itu sendiri hanya
merupakan sebuah matarantai bangunan yang lebih besar sebagaimana ditunjukkan
melalui Gambar 4 dan Gambar 5. Seni Pemerintahan terajut oleh proses
penggunaan Ilmu dalam hal ini Kybernologi: titik-titik yang membentuk proses
empirik pemerintahan dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat.
seni
seni seni
BAHAN
DAN
KONSTRUKSI
seni seni
filsafat
0212101649SDG
1101101132SDG
File METODOLOGI PEMERINTAHAN
91
92