Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

Telaah Puisi

Bunyi Dalam Sajak

Oleh :

KELOMPOK 2

ANNISA RAMADHANI
RIZKI ANANDA
MUHAMMAD ARIF BUDIMAN

Dosen Pengampu :
Megasari Martin, S.S,M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA BARAT
PADANG PANJANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadiran Allah SWT yang telah memberikan rahmat
serta karunia Nya kepada penulis, sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah yang
berjudul “ Bunyi Dalam Sajak” dengan tepat pada waktunya.
Kami mengharapkan makalah ini dapat dijadikan sebagai informasi atau sebagai
sumber pengetahuan kepada kita semua. Penulis mengharapkan dapat memenuhi nilai tugas
mata kuliah “ Telaah Puisi” sesuai apa yang diharapkan.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,oleh sebab itu
penulis mohon kritik dan sarannya, kepada kita semua demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Padang Panjang, 14 Oktober 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................

DAFTAR ISI................................................................................................................................

BAB 1 PENDAHULUAN...........................................................................................................

1.1 Latar Belakang....................................................................................................................

1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................................

1.3 Tujuan.................................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................

2.1 Irama...................................................................................................................................

2.2 Kakafoni dan Efoni.............................................................................................................

2.3 Onomatope.........................................................................................................................

2.4 Aliterasi..............................................................................................................................

2.5 Anonasi...............................................................................................................................

2.6 Anafora dan Epifora...........................................................................................................

BAB III PENUTUP......................................................................................................................

3.1 Kesimpulan.........................................................................................................................

3.2 Saran...................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bahasa di dalam sajak pada hakikatnya adalah bunyi. Bunyi yang dirangkai
dengan menggunakan pola tertentu, dengan mengikuti konvensi bahasa tertentu. Jika
sebuah sajak dibacakan maka pertama- pertamayang tertangkap oleh telinga
sesungguhnya adalah rangkaian bunyi. Hanya karena bunyi itu dirangkai dengan
mengikuti konvensi bahasa, maka bunyi itu sekaligus mengandung makna.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud irama?
2. Apa yang dimaksud kakafoni dan efoni?
3. Apa yang dimaksud onomatope?
4. Apa yang dimaksud aliterasi?
5. Apa yang dimaksud asonansi?
6. Apa yang dimaksud anafora dan epifora?

1.3 Tujuan
1. Memahami apa itu irama.
2. Memahami apa itu kakafoni dan efoni.
3. Memahami apa itu onomatope.
4. Memahami apa itu aliterasi.
5. Memahami apa itu asonansi.
6. Memahami apa itu anafora dan epifora.
BAB II
PEMBAHASAN

Bahasa di dalam sajak pada hakikatnya adalah bunyi. Bunyi yang dirangkai
dengan menggunakan pola tertentu, dengan meng ikuti konvensi bahasa tertentu. Jika
sebuah sajak dibacakan, maka pertama-tama yang tertangkap oleh telinga
sesungguhnya adalah rangkaian bunyi. Hanya karena bunyi itu dirangkai dengan
mengikuti konvensi bahasa, maka bunyi itu sekaligus mengandung makna.
Bunyi di dalamn sajak memegang peranan penting. Tanpa bunyi yang ditata
secara serasi dan apik, unsur kepuitisan di dalam sajak tidak mungkin dibangun.
Dengan demikian, bunyi di dalam sajak memiliki peran ganda. Jika di dalam prosa-
fiksi bunyi berperan menentukan makna, maka di dalam sajak, bunyi tidak hanya
sekedar menentukan makna melainkan ikut menentukan nilai estetis sajak.
Peran ganda unsur bunyi di dalam sajak menempatkan aspek ini (bunyi) pada
kedudukan yang penting. Bunyi begitu fungsional dan mendasar di dalam penciptaan
sajak. Sebelum sampai kepada unsur-unsur lain, maka lapis bunyi berperan terlebih
dahulu. Jika unsur bunyi di dalam sajak tidak. dimanfaatkan secara baik oleh penyair,
maka idak dapat diharapkan timbulnya suatu suasana dan pengaruh paaa dízi pembaca
atau penikmat sajak ketika berhadapan dengan sajak yang diciptakannya. Dengan
demikian, sugesti di dalam diri pembaca dan penikmat sajak juga tidak akan muncul.
Bunyi memang dapat menciptakan efek dan kesan. Bunyi mampu memberikan
penekanan, dan dapat pula menimbulkan suasana tertentu.
Bunyi erat hubungannya dengan unsur musikalitas. Bunyi vokal dan konsonan
jika dirangkai dan disusun sedemikian rupa akan mampu menimbulkan bunyi yang
menarik dan berirama. Bunyi berirama ini menimbulkan tekanan tempo dan dinamik
tertentu seperti layaknya bunyi musik dan melodi. Bunyi musik inilah yang diharapkan
dapat menimbulkan dan membangkitkan imajinasi, memberikan sugesti, serta
menciptakan kepuitisan dan keindahan.
Dari uraian di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pembicaraan tentang
persoalan bunyi di dalam sajak meliputi tekanan hal-hal sebagai berikut, yaitu: irama,
metrum, kakafoni, efoni, tekanan onomatope, asonansi, aliterasi, dan anafora. Untuk
lebih jelasnya maka hal-hal yang telah disebutkan di atas akan diuraikan satu persatu.
2.1 Irama
Irama merupakan bunyi yang teratur, terpola, menimbulkan variasi bunyi,
sehingga dapat menimbulkan stasana.
Dengan demikian, irama tidak hanya tercipta di dalam sajak dengan pola-
pola bunyi yang teratur, namun juga oleh suasana yang tercipta. Suasana
melankolis akan menyebabkan tempo lambat pada sajak tersebut. Suasana
meledak-ledak akan menyebabkan tekanan dinamik tinggi.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa irama terbagi atas dua bagian, ritme
dan metrum. Metrum adalah irama yang tetap. terpola menurut pola tertentu,
sedangkan ritme adalah irama yang disebabkan pertentangan-pertentangan atau
pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur, tapi tidak merupakan jumlah suku
kata yang tetap dan hanya menjadi gema dendang penyair (Semi, 1984: 109).
Menurut Teeuw (1983: 23) masalah irama belum ada yang tahan uji di
dalam bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan karena bahasa Indonesia tidak
mempunyai aturan dalam persoalan tekanan kata. Berbeda dengan bahasa Inggris
yang mempunyai tekanan pada bagian-bagian suku katanya.
Di dalam sajak-sajak Indonesia, metrum hampir dikatakan tidak ada.
Kalaupun ada, metrum itu bersifat individual yang digunakan tanpa patokan atau
aturan tertentu, karena metrum disandarkan pada suku kata. Hal ini dapat dipahami
karena bahasa Indonesia di dalam sajak-sajak lebih bersandar pada kata. Mungkin,
yang terasa seperti mempunyai metrum adalah pantun dan syair. Beberapa tampak
pada sajak sajak penyair Pujangga Baru. Kelihatannya, sajak-sajak karya penyair
periode Poedjangga Baroe, seperti memiliki metrum. Penyebabnya, bentuk sajak-
sajak penyair Pujangga Baru tersebut juga disusun dengan teratur dan rapi dengan
jumlah suku kata yang relatif tetap. Lihat contoh berikut, pertama pada bentuk
pantun dan kedua pada sajak periode Poedjangga Baroe. Sajak Cempaka karya
Penyair Amir Hamzah. Sajak yang lain karya penyair J.E. Tatengkeng. Pada sajak
kedua penyair itu, metrum terkesan muncul.
1) Pantun :
Kupaskan terung dengan mumbang
letak rebung dalam kuali
Lepaskan burung hendak terbang
kalau untung balik kembali
Atau,
Air dalam bertambah dalam
hujan dahulu belum lagi teduh
Hati dendam bertambah dendam
dendam dahulu belum lagi sembuh

Atau sajak berikut.


2) SAJAK PERIODE “POEDJANGGA BAROE”

CEMPAKA …..

Cempaka, aduhai bunga penglipur


Tempat cinta duduk bersemayam
Sampakkan pelukkan, wahai kusuma
Pada adinda setiap malam

Sungguh harum sedap malam


Sungguh pelik bunga kemboja
Tetapi tuan, aduhai pualam
Pakaian adinda setiap masa

Sungguh tak kelihatan ia berbunga


Cempaka tersembunyi dalam sanggul
Tetapi harumnya, aduhai kelana
Di dalam rambut duduk tersimpul

Amat bersahaja cempaka bunga


Putih arona, hijau nan tumpuk
Pantas benar suntingan adinda
Terlebih pula sanggul duduk.

Pada sajak-sajak di atas, bunyi-bunyi dipertentangkan Bunyi-bunyi


ditampilkan dengan pola tertentu. Pemanfaatan bunyi dengan cara yang demikian
merupakan penyebab timbulnya irama. Setiap jenis pertentangan dan setiap jenis
pola pemanfaatan bunyi akan menyebabkan munculnya jenis irama tertentu pula.
Aspek bunyi yang menjadi irama ini akan menyebabkan munculnya
semacam aliran perasaan atau pikiran yang tak terputus. Dengan begitu, kondisi ini
dapat memancing daya bayang (imaji) pembaca. Daya bayang pembaca itu yang
akan menghubungkan imajinasinya dengan intuisi penyair.
Adanya irama di dalam sajak selain menyebabkan sajak terdengar merdu,
juga menyebabkan sajak enak untuk dibaca. Dengan mengetahui aspek irama di
dalam sajak, penikmat sajak dengan mudah pula menentukan tekanan dan jeda. Hal
ini amat membantu terhadap proses penikmatan dan pemahaman ter hadap sajak
yang sedang dihadapi.

2.2 Kakafoni dan Efoni


Kakafoni dan efoni adalah pemanfaatan bunyi sedemikian rupa sehingga
bunyi yang dirangkaikan di dalam sajak dapat menimbulkan kesan yang cerah serta
sebaliknya, suatu kesan keburaman. Kesan ini tercermin dari keseluruhan sajak.
Kesan ini tertangkap dari keseluruhan sajak melalui suasana yang melingkupinya.
Secara teoretis, kesan buram timbul karena bunyi yang dirangkaikan berasal
dari konsonan tak bersuara seperti /k/. /p/. /t/. is/. Penggunaan bunyi konsonan
tersebut menciptakan perasaan jiwa yang tertekan, gelisah, bahkan yang
memuakkan. Karena menggambarkan perasaan yang demikian, akibatnya yang
muncul adalah kesan suasana buram. Pemanfaatan unsur bunyi yang memunculkan
efek semacam hal ini disebut dengan istilah kakafoni (ca-caphony).
Pemanfaatan unsur bunyi mampu menghasilkan kesan keburaman. Unsur
bunyi juga dapat dipergunakan untuk memunculkan kesan suasana sebaliknya.
Kebalikan dari keburaman, yaitu kesan suasana cerah. Kesan yang membangkitkan
kegembiraan dan rasa riang serta nyaman.
Kesan suasana cerah muncul karena bunyi-bunyi yang dirangkaikan berasal
dari bunyi vokal serta konsonan bersuara.
Penggunaan unsur bunyi yang dilakukan dengan cara demikian,
menciptakan bunyi-bunyi ringan dan lembut, mesra dan bahagia. Akibatnya,
sebagaimana dicontohkan melalui sajak Episode (Rendra) di atas, pembaca akan
tergiring serta pada suasana keriangan sajak. Pemanfaatan unsur bunyi yang
sedemikian itu dikenal dengan istilah efoni (euphony).
2.3 Otomatope
Salah satu pemanfaatan unsur bunyi yang cukup dominan di dalam sajak
adalah onomatope. Istilah onomatope menurut Kamus Istilah Sastra (Sudjiman,
1984: 54) adalah penggunaan kata yang mirip dengan bunyi atau suara yang
dihasilkan oleh barang, gerak, atau orang. Istilah lain untuk onomatope ini ada lah
tiruan bunyi.

2.4 Aliterasi
Pemanfaatan bunyi dengan cara lain dapat pula dilakukan, yaitu dengan
cara mengulang pemakaian bunyi. Pengulangan bunyi itu berupa pengulangan
bunyi yang sama. Pengulangan bunyi konsonan yang sama disebut aliterasi.
Pengulangan bunyi yang dapat dikategorikan pada bunyi aliterasi adalah
pengulangan bunyi secara dominan.

2.5 Asonansi
Asonansi merupakan pemanfaatan unsur bunyi secara berulang- ulang
dalam satu baris sajak. Halnya sama dengan aliterasi, hanya pengulangan di sini
merupakan pengulangan bunyi-bunyi vokal. Efek yang diharapkan muncul dari
pemanfaatan bunyi vokal secara berulang ini adalah kemerduan bunyi.
Sebagaimana pada aliterasi, pada asonansi pun tidak semua pengulangan
bunyi vokal dapat disebut asonansi. Hanya pengulangan bunyi yang sama secara
dominan (di dalam sajak) yang dapat dikategorikan sebagai asonansi. Beberapa
baris dari sajak Chairil Anwar yang berjudul Cintaku Jauh Di Pulau, menggunakan
unsur asonansi untuk menciptakan kemerduan bunyi. Misalnya asonansi a dan u
pada cintaku jauh di pulau, kemudiar juga dimanfaatkan asonansi a pada perahu
melancar, bulan memancar Untuk lebih jelasnya simak sajak tersebut secara utuh.

2.6 Anafora dan Epifora


Satu lagi cara memanfaatkan bunyi di dalam sajak guna menimbulkan unsur
kepuitisan disebut anafora dan epifora. Cara yang dipergunakan untuk teknik
anafora atau epifora ini adalah dengan menggunakan unsur bunyi yang berulang-
ulang dalam bentuk kata atau bentukan linguistik pada awal atau akhir tiap tiap
larik (baris) sajak. Pengulangan bunyi dalam bentuk kata yang sama pada awal
larik disebut anafora, sedangkan yang disebut epifora adalah pengulangan bunyi
dalam bentuk kata yang sama pada akhir larik-larik sajak. Karena adanya
persamaan bentukan yang diulang, maka sekaligus pengulangan itu menyangkut
pengulangan bunyi yang sama. Pengulangan kata yang sama, sehingga
menimbulkan perulangan bunyi yang sama beberapa kali, dapat menimbulkan
kesan sugesti pada sebuah sajak.
Cara memanfaatkan bunyi di dalam sajak cukup bervariasi. Cara-cara
seperti telah diuraikan di atas dapat dipergunakan oleh penyair. Penggunaan itu
mungkin terpisah-pisah, mungkin pula dipergunakan secara bersamaan pada sebuah
sajak Tidak tertutup kemungkinan seorang penyair menggunakan semua sarana
pemanfaatan unsur bunyi itu sekaligus. Untuk memanfaatkan unsur bunyi ini
diperlukan kecermatan serta keahlian penyair, sehingga bunyi yang dihasilkan serta
merta menggoda telinga, karena bunyi yang menarik untuk disimak lebih jauh. Hal
yang dapat disimpulkan, unsur bunyi diramu dan ditata oleh para penyair di dalam
sajak. Kepuitisan diharapkan dapat menimbulkan keharuan. Keharuan pembacalah
yang akan mengantar-kan pembaca menemukan sebuah dunia. Dunia sebuah sajak.
Sebuah dunia yang dapat memberikan kepuasan dan kenikmatan batin bagi para
penikmat sajak.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Irama merupakan bunyi yang teratur, terpola, menimbulkan variasi bunyi, sehingga
dapat menimbulkan stasana.
2. Kakafoni dan efoni adalah pemanfaatan bunyi sedemikian rupa sehingga bunyi
yang dirangkaikan di dalam sajak dapat menimbulkan kesan yang cerah serta
sebaliknya, suatu kesan keburaman.
3. Otomatope merupakan suatu gaya bahasa yang meniru suara makluk hidup dan
bunyi yang ada di lingkungan sekitar atau menggambarkan suatu keadaan tertentu.
4. Aliterasi adalah pengulangan bunyi konsonan dalam baris- baris karya.
5. Asonansi merupakan pemanfaatan unsur bunyi secara berulang- ulang dalam satu
baris sajak.
6. Anafora atau epifora adalah penggunaan unsur bunyi yang berulang-ulang dalam
bentuk kata atau bentukan linguistik pada awal atau akhir tiap tiap larik (baris)
sajak.

3.2 Saran
Makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka penulis sangat mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca agar makalah menjadi lebih
baik untuk masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai