PROPOSAL PENELITIAN
Oleh
Risa Yuliani
NIM 1802257
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN GURU ANAK USIA DINI
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
KAMPUS TASIKMALAYA
2021
1. PENDAHULUAN
1.1 Judul Penelitian
Penelitian ini berjudul “Pengembangan Model Pelatihan Reflektif Asesmen
Alternatif bagi Guru Pendidikan Anak Usia Dini”
1.2 Latar Belakang Masalah
Guru dipandang sebagai aset terbesar dalam praktik pengajaran dengan
tugas dan peran mengajar, mendidik, melatih, membimbing, mengarahkan, serta
menilai dan mengevaluasi. (Sadtyadi & Kartowagiran, 2014). Berdasarkan tugas
dan peran di atas, maka penelitian ini akan lebih memfokuskan pada tugas dan
peran guru dalam melakukan penilaian atau asesmen. Asesmen pada anak usia
dini merupakan aspek yang menentukan dalam pengambilan keputusan mengenai
pencapaian perkembangan anak. (Faizah, 2017). Tugas guru dalam melakukan
asesmen menjadi bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dengan proses
pembelajaran. Kegagalan guru dalam menguasai konsep dan teknik asesmen akan
berakibat fatal bagi anak, terutama dalam menstimulus potensi anak dalam
kegiatan belajar sehari-hari. (Kurniah et al., 2021). Asesmen yang dilakukan guru
dalam pelaksanaan pembelajaran diproyeksikan sebagai proses pengumpulan
informasi tentang anak dari beberapa teknik, untuk selanjutnya ditafsirkan sebagai
bahan keputusan dalam memperbaki proses dan hasil belajar anak. (Wortham,
2014, hlm. 8).
Asesmen pada anak usia dini tentu berbeda dengan pelaksanaan asesmen
pada orang dewasa. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan, yaitu
ketidakmampuan anak membaca dan menulis pada masa kanak-kanak dan
karakteristik perkembangan anak yang unik sehingga memerlukan strategi
asesmen yang berbeda. Oleh karena itu, strategi asesmen yang digunakan harus
sesuai dengan tingkat perkembangan mental, sosial, dan fisik anak pada setiap
usia. Asesmen pada anak tidak mengenal tes, ujian, apalagi tes objektif. Namun,
dilakukan dengan mengamati, mencatat, dan mendokumentasikan segala sesuatu
tentang anak, baik perkembangannya, perilakunya maupun hasil pekerjaannya.
(Novianti et al., 2013). Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa
asesmen konvensional berupa tes tidak digunakan untuk menggali informasi
tentang perkembangan dan pencapaian anak, sehingga penting bagi guru untuk
mempertimbangkan alternatif penilaian lain.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak guru Pendidikan Anak
Usia Dini (PAUD) yang belum memahami prinsip-prinsip dalam melakukan
asesmen. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan guru tentang tahapan
perkembangan anak, bagaimana melakukan asesmen, dan apa yang harus
dilakukan dengan informasi atau data yang dikumpulkan melalui asesmen. Hal ini
diperkuat oleh penelitian Indriyani (2017) yang mengungkapkan bahwa
kebebasan guru dalam menerapkan Kurikulum 2013 dapat berimplikasi pada
pelaksanaan asesmen yang tidak sesuai dengan pedoman asesmen. Dimana guru
hanya melakukan asesmen harian dan tidak melakukan asesmen mingguan
ataupun bulanan, serta tidak jarang juga guru yang hanya mengamati anak pada
akhir pembelajaran dengan menggunakan satu alat asesmen saja. Lebih lanjut
hasil penelitian Srinadi et al. (2020) mengungkap bahwa guru dalam melakukan
asesmen tidak menggunakan instrumen, guru hanya mendeskripsikan apa yang
dilihat tanpa ada acuan pembelajaran seperti PROSEM (Program Semester),
RPPM (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Mingguan), RPPH (Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran Harian) dan rubrik asesmen.
Sebagian besar guru saat ini masih menggunakan pendekatan konvensional
yang hanya berfokus pada aspek kognitif anak. Hal ini diperkuat oleh penelitian
Haryati & Retnawati (2016) yang mengungkapkan bahwa kebanyakan guru saat
ini hanya melakukan asesmen pada aspek kognitif saja, karena dianggap lebih
mudah dibandingkan aspek lainnya, serta masih banyak sekolah yang belum
memiliki bentuk asesmen untuk aspek afektif dan pisikomotorik. Lebih lanjut
hasil penelitian Fadlilah (2021) mengungkapkan bahwa kurangnya pemahaman
guru tentang pelaksanaan asesmen informal atau asesmen non tes menjadi salah
satu penyebab, guru tidak melakukan asesmen kinerja anak atau proses selama
pembelajaran. Padahal pelaksanaan asesmen berdasarkan Kurikulum 2013 jelas
menuntut guru melaksanakan asesmen yang tidak hanya berfokus pada aspek
kognitif saja, tetapi harus menyeluruh mencakup aspek lainnya yaitu afektif dan
psikomotorik. (Setiadi, 2016). Alat asesmen yang diasumsikan dapat menilai
secara menyeluruh adalah asesmen alternatif atau asesmen kinerja sebagai bentuk
dari asesmen autentik.
Beckmann, et. al (1997; dalam Kitta, 2014) mengungkapkan tiga alasan
mengapa guru tidak menggunakan beragam teknik asesmen. Pertama, beberapa
guru memiliki pengetahuan yang terbatas tentang berbagai bentuk dan teknik
asesmen. Kedua, guru merasa tidak punya waktu untuk membuat berbagai
perencanaan asesmen. Ketiga, guru merasa kurang mendapatkan pelatihan terkait
asesmen. Hal ini menunjukkan bahwa dari beberapa alasan mengapa guru tidak
melakukan asesmen dengan beragam teknik yaitu dikarenakan kurangnya guru
menerima pelatihan terkait asesmen. Guru dalam melaksanakan tugasnya
memiliki tanggungjawab dalam meningkatkan keterampilannya. Salah satu
keterampilan yang paling penting dalam kaitannya dengan kemampuan seorang
guru yaitu pemahaman tentang asesmen. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk
meningkatkan pemahaman dan keterampilannya dalam melakukan asesmen.
Usaha untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan guru dalam
melakukan asesmen adalah dengan melaksanakan pelatihan tentang asesmen.
Pelatihan bagi guru didefiniskan sebagai suatu upaya yang direncanakan untuk
membantu guru memperoleh pengetahuan, keterampilan, juga kompetensi yang
berkaitan dengan tugasnya sebagai pendidik, sehingga hasil pembelajaran yang
diperoleh selama pelatihan dapat segera diimplementasikan dalam bidang
pendidikan yang diajarkannya. (Wahjusaputri & Bunyamin, 2020). Tugas guru
sebagai tulang punggung pendidikan dalam proses pembelajaran yang
berkelanjutan bagi anak, maka upaya untuk mengembangkan dan meningkatkan
keterampilan mengajar guru sangat dibutuhkan di bidang pendidikan. Selain itu,
sudah menjadi kepercayaan umum bahwa pelatihan adalah proses belajar secara
berkelanjutan yang berkontribusi dalam meningkatkan keterampilan mengajar dan
memperoleh pengetahuan baru di bidang pelajaran, dan ini pada gilirannya akan
membantu meningkatkan pembelajaran anak. (Boudersa, 2016).
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu guru PAUD diperoleh
informasi bahwa guru pernah mengikuti pelatihan, namun belum pernah
mengikuti pelatihan terkait asesmen. Berdasarkan pentingnya pelaksanaan
pelatihan asesmen alternatif maka dinilai penting bagi peneliti untuk melakukan
penelitian berkenaan pelatihan asesmen alternatif secara terstruktur meliputi fase-
fase penting dalam proses pembelajaran hingga mengimplementasikan asesmen
alternatif dalam pelaksanaan pembelajaran. Kebutuhan guru terhadap pelatihan
terkait asesmen sejalan dengan harapan dan antusiasme guru untuk mengikuti
pelatihan asesmen alternatif.
Program pelatihan yang pernah diikuti guru selama ini tidak pernah
dilakukan tindak lanjut. Maka berdasarkan permasalahan tersebut dinilai sangat
penting untuk mengembangkan pelaksanaan pelatihan reflektif asesmen alternatif
bagi guru agar proses belajar mengajar dapat terlaksana dengan baik sesuai
dengan tuntutan mengenai pentingnya pelaksanaan asesmen alternatif di PAUD
dan program pelatihan dikatakan berhasil apabila setelah pelatihan guru
mengimplementasikan hasil pelatihan dalam pengajarannya. Model pelatihan
yang dikembangkan oleh peneliti adalah model pelatihan reflektif untuk
memudahkan guru dalam memahami dan menguasai keterampilan melaksanakan
asesmen alternatif serta dilakukan tindak lanjut setelah pelatihan. Dengan
demikian, tindak lanjut dalam penelitian ini adalah melakukan praktik reflektif
atau memonitoring kinerja guru dalam melakukan asesmen dengan
membandingkan hasil pengukuran sebelum dan sesudah pelatihan. Pelaksanaan
pelatihan reflektif didasarkan pada kebutuhan guru untuk memiliki pengetahuan
dan keterampilan dalam melaksanakan tugas dan perannya dalam menilai proses
dan hasil belajar anak melalui asesmen alternatif.
Atas dasar pentingnya pengembangan model pelatihan asesmen alternatif
bagi guru PAUD maka peneliti berencana melakukan penelitian dan
pengembangan dengan judul “Pengembangan Model Pelatihan Reflektif Asesmen
Alternatif bagi Guru Pendidikan Anak Usia Dini”. Dalam hal ini pelaksanaan
asesmen alternatif dilakukan untuk menilai proses dan hasil belajar anak pada sub
tema gejala alam materi gunung meletus. Materi gunung meletus dipilih atas dasar
bahwa materi ini merupakan salah satu bentuk pembelajaran sains dengan
pendekatan saintifik yang selalu ada di PAUD. Proses penelitian dan
pengembangan ini mengikuti langkah-langkah “Analysis, Design, Development,
Implementation, Evaluation”, juga dikenal sebagai ADDIE yang dicetuskan oleh
Romiszowki (1996) dan dikombinasikan dengan langkah-langkah penelitian dan
pengembangan yang dicetuskan oleh Borg and Gall (1983). Struktur model
pelatihan asesmen alternatif akan dikembangkan dalam bentuk panduan
pelaksanaan pelatihan reflektif asesmen alternatif. Pelatihan asesmen alternatif ini
bersifat berkelanjutan, sehingga model pelatihan dapat di adopsi oleh semua guru
Pendidikan Anak Usia Dini dimana pun karena tidak dibatasi oleh wilayah dalam
penyelesaian masalah penelitian ini.
1.3 Identifikasi Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka diperoleh
informasi bahwa diperlukan adanya pengembangan model pelatihan asesmen
alternatif bagi guru Pendidikan Anak Usia Dini. Melalui penelitian ini diharapkan
mampu mengembangangkan model pelatihan asesmen alternatif yang sesuai
dengan kebutuhan guru di lapangan, sehingga tercipta model pelatihan reflektif
asesmen alternatif bagi guru Pendidikan Anak Usia Dini. Dalam penelitian ini
akan dibatasi pada lingkup guru Kelompok B saja, hal ini didasarkan pada studi
pendahuluan bahwa sub tema gejala alam materi gunung meletus dilakukan pada
Kelompok B.
1.4 Rumusan Masalah
Pelaksanaan penelitian mengenai pelatihan bagi guru guru paud perlu
bertolak dari rumusan masalah umum yang harus di pecahkan. Maka peneliti
merumuskan masalah umum penelitian berikut : “Bagaimana perencanaan,
pelaksanaan dan tindak lanjut Pelatihan Asesmen Alternatif bagi guru PAUD?”.
Atas dasar rumusan masalah umum tersebut maka peneliti menurunkan menjadi
rumusan masalah khusus sesuai dengan tahapan model ADDIE sebagai berikut :
1) Bagaimana analisis kebutuhan pelatihan asesmen alternatif bagi guru
Kelompok B pada sub tema gejala alam?
2) Bagaimana desain pelatihan reflektif asesmen alternatif bagi guru
Kelompok B pada sub tema gejala alam?
3) Bagaimana pengembangan pelatihan reflektif asesmen alternatif bagi guru
Kelompok B pada sub tema gejala alam?
4) Bagaimana impelementasi pelatihan reflektif asesmen alternatif bagi guru
Kelompok B pada sub tema gejala alam?
5) Bagaimana evaluasi pelatihan reflektif asesmen alternatif bagi guru
Kelompok B pada sub tema gejala alam?
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan
penelitian pun diuraikan sebagai berikut :
1) Untuk mendeskripsikan analisis kebutuhan pelatihan asesmen alternatif
bagi guru Kelompok B pada sub tema gejala alam
2) Untuk memperoleh gambaran desain pelatihan reflektif asesmen alternatif
bagi guru Kelompok B pada sub tema gejala alam
3) Untuk memperoleh gambaran pengembangan pelatihan reflektif asesmen
alternatif bagi guru Kelompok B pada sub tema gejala alam
4) Untuk mendeskripsikan impelementasi pelatihan reflektif asesmen
alternatif bagi guru Kelompok B pada sub tema gejala alam
5) Untuk memperoleh informasi terkait evaluasi pelatihan reflektif asesmen
alternatif bagi guru Kelompok B pada sub tema gejala alam
1.5 Manfaat Penelitian
Tujuan utama pelaksanaan penelitian, tidak lain untuk memperoleh model
pelatihan asesmen alternatif yang sesuia dengan kebutuhan di lapangan sehingga
mampu memberikan manfaat dan perubahan positif terhadap praktik pengajaran
yang dilakukan pada Pendidikan Anak Usia Dini. Adapun manfaat pada penelitian
ini dibagi menjadi dua, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Berikut
manfaat teoritis dan manfaat praktis yang peneliti maksud :
1.6.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini dilakukan dengan harapan mampu mengembangkan model
pelatihan asesmen alternatif bagi guru Pendidikan Anak Usia Dini. Selain itu
diharapkan mampu memberikan pengetahuan, wawasan, juga keterampilan bagi
guru dalam melaksanakan asesmen alternatif pada praktik Pendidikan Anak Usia
Dini.
1.6.2 Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini akan memberikan manfaat bagi :
1) Kepala Sekolah
Pelaksanaan penelitian ini berdampak positif bagi kepala sekolah dalam
memberikan gambaran dan informasi mengenai pelaksanaan asesmen alternatif
pada jenjang Pendidikan Anak Usia Dini sekaligus menjamin mutu guru dalam
hal kualitas pelaksanaan asesmen atau penilaian.
2) Guru
Penelitian yang dilakukan dengan memfokuskan kepada guru menjadikan
pengaruh besar bagi guru. Guru memperoleh informasi teori dan teknis
pelaksanaan asesmen alternatif di kelas dengan mengalami langsung melalui
proses penggalian informasi oleh peneliti hingga pelaksanaan pelatihan
asesmen alternatif. Selain itu guru dapat menilai diri terhadap proses asesmen
yang dilakukan terhadap anak hingga mampu meningkatkan kualitas
pelaksanaan tersebut.
3) Siswa
Pelaksanaan penilaian alternatif berdampak juga bagi anak yaitu
kemampuan anak yang diukur dilakukan dengan cara alternatif tidak dengan
cara tradisional saja. Asesmen alternatif yang dipraktikan oleh peneliti dan
guru dapat mengukur kemampuan secara kolektif antara kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Sehingga proses pembelajaran hingga proses penilaian
diharapkan mampu memberi makna kontekstual kepada anak.
4) Peneliti
Penelitian ini menjadikan peneliti semakin belajar dan mengkaji lebih
dalam mengenai pelaksanaan asesmen alternatif pada Pendidikan Anak Usia
Dini. Pengalaman yang diperoleh saat pelaksanaan penelitian diharapkan dapat
mematangkan peneliti untuk terjun sebagai guru dan mempraktikan
pelaksanaan asesmen alternatif.
5) Peneliti Lain
Informasi yang disajikan berdasarkan hasil penelitian dapat dijadikan
studi komparasi dengan hasil penelitian yang sedang ataupun akan dilakukan
mendatang. Selain itu hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar pengembangan
lebih lanjut berkenaan dengan pelaksanaan asesmen alternatif pada Pendidikan
Anak Usia Dini.
2 KAJIAN PUSTAKA
2.1 Guru Pendidikan Anak Usia Dini
Pendidik atau guru memiliki peran penting dalam merangsang pertumbuhan
dan perkembangan anak, khususnya pada lembaga Pendidikan Anak Usia Dini,
yaitu prasekolah. (Sumitra et al., 2021). Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
marupakan pendidikan prasekolah yang ditunjukkan untuk anak sejak lahir
sampai dengan usia 6 tahun tergantung pada tingkat perkembangannya. Usia sejak
lahir hingga 6 tahun disebut juga sebagai usia emas (golden age) ketika anak
dapat menerima rangsangan dengan cepat. (Apriyanti, 2017). Oleh karena itu,
dapat disimpulkan bahwa guru Pendidikan Anak Usia Dini dipahami sebagai guru
yang mendidikan anak pada jenjang prasekolah bagi anak sejak lahir sampai
dengan usia 6 tahun.
Pendidikan pra-sekolah dapat diselenggarakan secara formal, nonformal dan
informal. Sebagaimana Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Pasal 28 ayat 2 menyatakan bahwa “Pendidikan anak usia
dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau
informal”. Selanjutnya pada ayat 3 menyatakan bahwa “Pendidikan anak usia dini
pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK), Raudatul
Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat”. TK dan RA diselenggarakan untuk
anak usia 4-6 tahun yang biasanya dibagi menjadi dua kelompok bermain yaitu
Kelompok A usia 4-5 tahun dan Kelompok B usia 5-6 tahun. Dengan demikian
guru PAUD dapat terbagi menjadi dua yaitu guru Kelompok A dan guru
Kelompok B.
Dengan menerapkan serangkaian pembelajaran, guru akan memulai dari
perencanaan dan persiapan pembelajaran, melaksanakan asesmen dan
mengevaluasi serangkaian tindakan pembelajaran yang telah dilaksanakan untuk
mengetahui tercapai atau tidaknya tujuan pembelajaran yang telah disusun.
Berhasil atau tidaknya kegiatan belajar mengajar di bergantung pada kemampuan
guru dalam menjalankan fungsi dan peran guru secara profesional berdasarkan
tujuan pembelajaran. (Maiza & Nurhafizah, 2019). Guru PAUD sebagai seorang
profesional sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 58
Tahun 2009 tentang Standar PAUD harus memiliki empat kompetensi yaitu:
kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian, dan
kompetensi sosial. Kompetensi pedagogik yang harus dimiliki guru PAUD salah
satunya yaitu kemampuan mealukan asesmen terhadap proses dan hasil belajar
anak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa guru PAUD harus mampu
melaksanakan asesmen secara komprehensif, mulai dari pemilihan cara atau
metode asesmen hingga pendokumentasian hasil asesmen tersebut dengan baik
untuk kepentingan Pendidikan Anak Usia Dini. Pendokumentasian hasil asesmen
ini akan menjadi umpan balik untuk persiapan penyusunan program pembelajaran
anak berikutnya. (Nurhayati & Rakhman, 2017).
Guru menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Harian (RPPH) dalam
bentuk kegiatan bermain yang menjelaskan kegiatan dalam satu hari yang
meliputi: identitas program, kegiatan pembukaan, kegiatan inti dan kegiatan
penutup serta penilaian yang disesuaikan dengan indikator dari Komptensi Dasar
(KD) yang disesuaikan dengan tingkat usia. Sejalan dengan Susetya (2017) bahwa
perencanaan pembelajaran yang disusun dalam Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) atau beberapa istilah lain seperti desain pembelajaran,
skenario pembelajaran, dan sebagainya. RPP meliputi Kompetensi Inti (KI),
Komptensi Dasar (KD), indikator pencapaian anak, bahan ajar, prosedur
pembelajaran, media pembelajaran, sumber belajar dan penilaian. Kinerja guru
dalam membuat perencanaan asesmen menjadi salah satu faktor keberhasilan
kegiatan belajar mengajar.
Kinerja dalam bahasa Inggris yaitu “performance” yang dapat diartikan
sebagai bentuk unjuk kerja dari kompetensi. Maksudnya kinerja diartikan sebagai
perwujudan dari pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan guru dalam
melaksanakan tugasnya sebagai pendidik. Hal ini pun dipertegas oleh
Savanevičienė (2008) bahwa keberhasilan suatu perkejaan tergantung pada
kompetensi guru itu sendiri. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja guru
diungkapkan Iftikhar & Durrani (2020) meliputi : pelatihan dan pengembangan,
dukungan manajemen sekolah, kompensasi dan imbalan, beban kerja, identifikasi
organisasi. Pelatihan memainkan peran penting dalam memberikan pengetahuan,
keterampilan, teknik, dan pedagogi baru bagi guru dan menjadi bagian yang tak
terpisahkan dalam pengembangan sumber daya manusia. (Karim et al., 2019).
Selain itu, pelatihan juga mampu meningkatkan kemampuan guru dengan cara
memotivasi dan mengubah mereka menjadi lebih terorganisir, yang pada akhirnya
akan mempengaruhi kinerja dan efektivitas meraka dalam praktik pengajarannya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa kinerja seorang guru dapat berkembang melalui
pelatihan yang diikuti.
Guru harus memiliki pemahaman yang jelas tentang tujuan asesmen yaitu
untuk memperbaiki dan meningkatkan kemajuan belajar. Ada berbagai cara untuk
menilai tingkat berpikir anak dan mengumpulkan bukti yang cukup untuk
membuat asesmen tentang pembelajaran anak, seperti memberi tugas, melakukan
kegiatan, bermain atau melakukan permainan berbasis pendidikan. Selama
berlangsungnya kegiatan ini, anak akan terlibat aktif dan menikmati lingkungan
pendidikan. Suasana seperti ini akan memberikan berbagai pilihan kepada anak
untuk mengungkapkan informasi, pengetahuan, pemahaman dan kemampuannya
yang secara tidak langsung membantu mereka untuk mengidentifikasi tujuan
belajar mereka. (Siti Salwa Md. Sawari, 2013). Jadi, profesional guru dalam
melakukan penilaian tergantung pada kualitas dan variasi tugas penilaian yang
diselesaikan anak dari waktu ke waktu. Penekanannya adalah pada penyediaan
berbagai kesempatan penilaian bagi anak. Sebagaimana kompetensi guru PAUD
dalam melakukan asesmen berdasarkan Permendikbud No. 137 tahun 2014 yaitu :
Tabel 2.1
Kompetensi Pedagogik Guru PAUD dalam Melakukan Asesmen berdasarkan
Permendikbud No. 137 Tahun 2014 tentang Standar Nasional PAUD
Kompetensi Sub Kompetensi
Menyelenggarakan dan membuat Memahami prinsip-prinsip penilaian dan
laporan penilaian, evaluasi proses evaluasi proses dan hasil belajar anak usia
dan hasil belajar anak usia dini dini
Memilih pendekatan, metode dan teknik
asesmen proses dan hasil kegiatan
Menentukan lingkup sasaran
pengembangan pada anak usia dini
asesmen proses dan hasil
Menggunakan prinsip dan prosedur asesmen
pembelajaran pada anak usia dini
proses dan hasikegiatan pengembangan
pada anak usia dini
Mengadministrasikan penilaian proses dan
hasil belajar secara berkesinambungan
dengan mengunakan berbagai instrumen
Menentukan tingkat capaian perkembangan
anak usia dini
Menganalisis hasil penilaian proses dan
hasil belajar untuk berbagai tujuan
Melakukan evaluasi proses dan hasil belajar
Menggunakan informasi hasil penilaian dan
evaluasi untuk kesinambungan belajar anak
usia dini
Melaksanakan program remedial dan
Menggunakan hasil penilaian,
pengayaan
pengembangan dan evaluasi
Memanfaatkan informasi hasil penilaian dan
program untuk kepentingan
evaluasi pembelajaran untuk meningkatkan
pengembangan anak usia dini
kualitas pembelajaran
Mengomunikasikan hasil penilaian
pengembangan dan evaluasi program
kepada pemangku kepentingan
Asesmen yang berkualitas memiliki dampak positif yang lebih besar pada
pembelajaran anak daripada intervensi lainnya. Asesmen berkualitas mencakup
asesmen pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik serta dinilai secara otentik
dan valid. (Catholic Education Office Archdiocese of Canberra and Goulburn,
2011). .Tujuan utama dari penilaian adalah memberikan bukti bagaimana anak
mengalami kemajuan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan selama periode
pembelajaran, serta pencapaian pada akhir periode pembelajaran. Kriteria tersebut
terangkum dalam rubrik.
2.2 Kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini
Pendidikan Anak Usia Dini diselenggarakan sebelum pendidikan dasar
sebagai upaya pengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak sejak lahir
hingga usia enam tahun. Sejalan dengan Awalya (2012) mendefinisikan
pendidikan anak usia dini sebagai layanan pendidikan pra-sekolah yang dilakukan
sebagai upaya pembangunan bagi anak sejak lahir hingga 6 tahun melalui
pemberian stimulus pendidikan untuk mempromosikan pertumbuhan fisik,
mental, dan kesiapan anak untuk selanjutnya ke Pendidikan Dasar.
Kurikulum didefinisikan sebagai acuan dalam penyelenggaraan
pembelajaran. Sebagaimana termuat dalam Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional Nomor 20 tahun 2003 Pasal 1 Ayat 9 bahwa ”Kurikulum adalah
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran
serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”. Pengertian kurikulum
dapat diabstraksikan ke dalam empat dimensi yaitu : 1) Kurikulum sebagai tujuan,
bahwa dalam proses pengembangan kurikulum harus memuat tujuan yang jelas
dan spesifik dalam berbagai kemampuan, sikap, dan nilai yang harus dikuasai, 2)
Kurikulum sebagai program studi atau isi, bahwa kurikulum menggambarkan atau
menentukan isi pengajaran yang harus dipelajari, 3) Kurikulum sebagai rencana,
bahwa kurikulum dapat dilihat sebagai rencana, atau semacam blue print (cetak
biru) untuk melaksanakan kegiatan pendidikan secara sistematis, dan 4)
Kurikulum sebagai dokumen, bahwa kurikulum sebagai penunjang dalam
pelaksanaan pembelajaran yang tertulis dan terdokumentasikan. Dalam pengertian
ini, kurikulum identik dengan istilah, "silabus". (Su, 2012).
Perubahan kurikulum saat ini membuktikan bahwa kurikulum bersifat
dinamis dan fleksibel dalam menyempurnakan kurikulum sebelumnya.
Sebagaimana Kurikulum 2013 PAUD lahir sebagai penyempurna KTSP.
(Gandana, 2019). Kebijakan diberlakukan bahwa penyusunan KTSP dilakukan
oleh setiap Satuan Pendidikan. (Prihantini, 2014). Kurikulum 2013 PAUD disusun
dengan karakteristik, sebagai berikut :
Kurikulum 2013 dirancang dengan karakteristik sebagai berikut:
1. Mengoptimalkan perkembangan anak yang meliputi: aspek nilai agama
dan moral, fisik-motorik, kognitif, bahasa, sosial emosional, dan seni
yang tercermin dalam keseimbangan kompetensi sikap, pengetahun,
dan keterampilan;
2. Menggunakan pembelajaran tematik dengan pendekatan saintifik dalam
pemberian rangsangan pendidikan;
3. Menggunakan penilaian autentik dalam memantau perkembangan anak;
dan
4. Memberdayakan peran orang tua dalam proses pembelajaran
Dapat kita pahami bahwa Kurikulum 2013 PAUD memiliki karakteristik
dalam mengoptimalkan enam aspek perkembangan anak yang meliputi aspek nilai
agama dan moral, fisik motorik, kognitif, bahasa, sosial emosional, dan seni untuk
mengembangkan kompetensi pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang
dikonsepkan dalam pembelajaran tematik dengan pendekatan saintifik. Penilaian
autentik atau asesmen autentik merupakan sistem penilaian yang selaras dengan
konsep pembelajaran. Oleh karena itu proses dan hasil belajar anak dapat
terangkum secara menyeluruh pada tiga kompetensi di atas. Tiga kompetensi
tersebut menuntut pengguanakan bentuk asesmen yang dapat mengetahui kinerja
anak dalam pembelajaran sains tersebut. Bentuk asesmen yang memenuhi
ketentuan di atas adalah asesmen alternatif.
2.2.1 Pembelajaran Tematik
Pembelajaran tematik di PAUD diimplementasikan dengan penggunaan
“Tema” sebagai acuan utama dalam pengembangan muatan atau materi/topik
pembelajaran untuk mencapai Kompetensi Dasar (KD). Tema yang
dikembangkan bukanlah materi yang harus dikuasai anak. Namun sebagai
jembatan untuk mengembangkan kompetensi pengetahuan, sikap, dan
keterampilan anak. Tema dikembangkan menjadi sub tema, sub tema
dikembangkan menjadi sub-sub tema dan seterusnya akan dijadikan landasan atau
acuan dalam menetukan materi atau topik pembelajaran. Keluasan tema
tergantung pada sejauh mana guru dapat memberikan fasilitas dalam
keberlangsungan proses pembelajaran. (Maryatun, 2017).
Guru dapat mengembangkan sebuah tema menjadi sangat luas sesuai
dengan kebutuhan. Dalam pengembangannya guru harus tetap memperhatikan
prinsip-prinsip dalam menentukan tema, diantaranya : 1) Kedekatan, dipandang
sebagai prinsip yang menekankan pada kehidupan sehari-hari anak, 2)
Kesederhanaan, diorientasikan pada perkembangan anak, sehingga anak dapat
mempelajari materi pembelajaran secara optimal, 3) Kemenarikan, diorinteasikan
pada minat anak, 4) Daya dukung, dimaksudkan pada kemampuan guru dalam
menyediakan fasilitas belajar dan pemahaman pada tema yang akan dipilih, 5)
Keinsidentalan, diorentasikan pada keluwesan tema yang menyesuaikan dengan
kejadian isidental bermakna. (Kemendikbud, 2019). Rahman (2018) dalam
bukunya yang berjudul “Model-model Penyeleggaraan PAUD”
mengklasifikasikan tema dan sub tema pada kurikulum 2013 menjadi delapan
tema, yaitu : diriku, keluargaku, lingkunganku, binatang, tanaman, kendaraan,
alam semesta, dan negaraku.
2.2.2 Sub Tema Gejala Alam, Materi Gunung Meletus
Sub tema gejala alam merupakan pengembangan dari tema alam semesta
pada Pendidikan Anak Usia Dini di Semester Genap. Sub tema tersebut dijadikan
acuan untuk membuat materi atau topik pembelajaran. Sub tema gejala alam
menjadi salah satu sub tema yang selalu ada di setiap satuan Pendidikan Anak
Usia Dini. Gejala alam disebut juga dengan fenomena alam yang berarti peristiwa
alam yang terjadi di permukaan bumi. Pengenalan gejala alam pada anak usia dini
erat kaitannya dengan peran guru dalam memusatkan pembangunan pengetahuan
tentang konsep yang dibahas atau pendekatan pembelajaran. (Pahlawaniati, 2013).
Kreativitas guru sangat dibutuhkan untuk menciptakan pembelajaran yang aktif,
kreatif, inovatif, dan menyenangkan bagi anak, dengan menggunakan berbagai
media sebagai alat bantu pengamatan dengan indera, sehingga anak berpartisipasi
aktif dalam pembelajaran.
Fenomena gunung meletus merupakan materi yang dapat meningkatkan
minat dan perhatian anak usia dini, serta berkontribusi terhadap mata pelajaran
yang mampu memberikan pengaruh dalam pembentukan sikap peduli terhadap
lingkungan dimana mereka tinggal. (Kalogiannakis & Violintzi, 2012). Materi
gunung meletus menjadi daya tarik tersendiri bagi anak, karena sering terkesan
dengan hal-hal yang meledak. Selain itu pembelajaran tentang gunung meletus
untuk anak pra-sekolah memberi mereka kesempatan untuk memahami bahwa
dunia ini merupakan ruang yang sangat besar melebihi batas lingkungan yang
mereka kenal. Materi gunung meletus dapat didesain dalam pembelajaran sains
atau permainan sains misalnya percobaan gunung meletus dengan alat dan bahan
yang sederhana. Pembelajaran sains ini dilakukan dengan tujuan untuk
mengembangkan ide-ide anak, mengarahkan mereka ke arah pembelajaran ilmiah,
misalnya gunung bukan hanya identik dengan meledak tetapi juga mampu
menyemburkan api.
2.2.3 Pendekatan dan Keterampilan Saintifik
Pendekatan pembelajaran didefinisikan sebagai sudut pandang seorang guru
terhadap proses pembelajaran, apakah berpusat pada siswa (student centered
approach) atau guru (teacher centered approach) (Hatimah, 2013). Dalam
Kurikulum 2013 PAUD mengatur penerapkan pembelajaran dengan pendekatan
saintifik. Pendekatan saintifik didefinisikan sebagai pendekatan ilmiah yang
mengadaptasi tahap-tahap ilmiah dalam sains yang mencakup lima tahap, dikenal
dengan 5M (Mengamati, Menanya, Mengumpulkan informasi, Menalar dan
Mengkomunikasikan) dalam memfasilitasi pengembangan pengetahuan, sikap,
dan keterampilan anak. (Saeroji et al., 2018). Berikuti tahapan keterampilan
saintifik berdasarkan Permendikbud No. 146 tahun 2014 tentang Kurikulum 2013
Pendidikan Anak Usia Dini :
1. Mengamati (Observasi)
Metode observasi mengutamakan makna dari proses pembelajaran. Metode
observasi sangat membantu dalam memuaskan rasa ingin tahu ank, sehingga
proses pembelajaran sangat bermakna. Dengan metode observasi, anak menyadari
bahwa ada hubungan antara objek yang dianalisis dengan bahan ajar yang
digunakan guru. Observasi dilakukan untuk mengeksplorasi objek, termasuk
menggunakan indera seperti penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, dan
perabaan.
2. Menanya
Dalam kurikulum 2013, pertanyaan harus datang dari anak. Pembelajaran
menanya dilakukan dengan mengajukan pertanyaan tentang informasi yang tidak
diinformasikan dari apa yang diamati atau mengajukan pertanyaan untuk
mendapatkan informasi lebih lanjut tentang apa yang diamati. Anak-anak
didorong untuk bertanya, baik tentang objek yang diamati maupun tentang hal
lain yang ingin mereka ketahui
3. Mengumpulkan informasi
Pengumpulan informasi dilakukan setelah interogasi. Kegiatan ini dilakukan
dengan menggali dan mengumpulkan informasi dari berbagai sumber melalui
berbagai cara. Anak dapat membaca sumber yang berbeda, dengan lebih berfokus
pada fenomena atau objek, atau bahkan dengan melakukan eksperimen.
4. Menalar
Menalar didefinisikan sebagai kemampuan untuk menghubungkan
informasi yang sudah anak miliki dengan informasi yang baru diperoleh sehingga
anak lebih memahami sesuatu.
5. Mengkomunikasikan
Dalam pendekatan saintifik, guru harus memberikan kesempatan kepada
anak untuk mengomunikasikan apa yang telah mereka pelajari, misalnya melalui
cerita, gerakan, dan representasi visual karya lainnya.
Sejalan dengan Gelman dan Brenneman (2004; dalam Gerde et al. 2013)
menjabarkan beberapa metode ilmiah. Metode ilmiah dipahami sebagai proses
untuk bertanya dan menjawab pertanyaan menggunakan seperangkat prosedur
tertentu. Proses ini dapat digunakan sebagai panduan untuk menciptakan
pengalaman sains yang komprehensif dan bermakna bagi anak. Melibatkan anak
dalam setiap langkah penyelidikan ilmiah dapat mendukungnya dalam
membangun pengetahuan yang terkait secara konseptual, karena pada setiap
langkah yang dilakukan anak dibutuhkan berbagai keterampilan, maka dengan itu
anak akan menemukan informasi baru tentang konsep studi. Metode ilmiah
tersebut meliputi :
1. Observing (Mengamati)
Obseervasi adalah proses sains yang mendasar. Proses mengamati
merupakan kegiatan yang memberikan kesempatan bagi anak untuk mengamati
dunia di sekitar mereka, menemukan hal-hal yang menarik minat mereka, dan
mengeksplorasi fenomena yang terjadi. Mengamati mencakup melihat,
mendengar, mencium, mengecap, merasakan (tekstur, suhu, dll.) itu artinya
menggunakan seluruh panca inderanya.
2. Asking questions (Menanya)
Pertanyaan harus berasal dari anak tentang apa yang mereka amati
sebelumnya. Guru dapat membantu anak menghasilkan pertanyaan dan
memperbaiki pertanyaan mereka sehingga semua anak mengerti. Anak perlu
mengembangkan keterampilan untuk mengenali dan mengajukan pertanyaan,
bertanya dan menjawab pertanyaan sehingga dapat mendukung perkembangan
bahasa pada anak.
3. Generating hypotheses and predictions (Menghasilkan hipotesis dan prediksi)
Selama langkah metode ilmiah ini, anak membuat hipotesis atau prediksi
tentang jawaban atas pertanyaan mereka. Guru dapat mendorong anak untuk
berpikir tentang apa yang mereka ketahui tentang suatu topik dan kemudian
menebak apa yang mereka pikir mungkin menjadi jawaban atas pertanyaan ilmiah
mereka. Misalnya, guru dapat meminta anak-anak untuk melihat benda-benda dan
memprediksi apakah mereka akan berguling atau tidak.
4. Experimentation or testing of a hypothesis (Melakukan eksperimen atau
pengujian hipotesis)
Eksperimen atau pengujian terjadi ketika anak terlibat dalam aktivitas yang
membantu mereka menjawab pertanyaan mereka. Di sini guru melibatkan anak
dalam mendeskripsikan, menemukan pola, membandingkan, mengorganisasikan,
mengukur, dan menyortir. Guru dapat merancang kegiatan yang memandu
kegiatan eksperimen anak dan dapat menindaklanjuti ide-ide dengan membantu
anak untuk berpikir lebih dalam tentang ide-ide tersebut. Eksperimen membantu
anak dalam mengilustrasikan fenomena dengan cara konkret, yang mendukung
klarifikasi ide dan pengembangan konsep.
5. Summarizing or analyzing data to draw a conclusion (Meringkas dan
menganalisis hasil untuk membentuk kesimpulan)
Selama membuat ringkasan kegiatan, guru membantu anak mengumpulkan
semua temuan dari eksperimen mereka. Guru membuat mendampingi anak dalam
merepresentasikan data secara visual dengan membuat daftar, membuat bagan,
membuat grafik, dan menyortir semua temuan. Penting untuk membantu anak
dalam meringkas temuan mereka dan/atau membuat beberapa asumsi umum yang
menjawab pertanyaan awal mereka. Kegiatan ini membantu anak untuk menarik
kesimpulan tentang fenomena ilmiah dan mengembangkan konsep.
6. Communicating Discoveries (Mengkomunikasikan penemuan)
Setelah membuat penemuan, penting bagi anak-anak untuk memiliki
kesempatan untuk berbagi temuan mereka dengan orang lain. Berkomunikasi
tentang penemuan ilmiah mereka mendukung kemampuan anak-anak untuk
mengkomunikasikan pemahaman mereka terhadap berbagai konsep ilmiah. Selain
itu, anak-anak sering bersemangat tentang apa yang telah mereka pelajari dan
ingin berbagi informasi itu dengan orang lain. Guru dapat membantu anak-anak
mengembangkan keterampilan ini dengan memberi mereka berbagai cara untuk
mengkomunikasikan hasil mereka, seperti diskusi verbal dengan orang lain atau
menulis dan menggambar.
7. Identifying a new question (Mengidentifikasi pertanyaan baru)
Langkah terakhir dari metode ilmiah adalah memperluas temuan dari
percobaan menjadi studi baru. Seringkali dalam sains, satu penemuan membuka
pintu untuk pertanyaan baru. Membangun rasa ingin tahu ini penting karena
memungkinkan anak-anak untuk mengikuti minat mereka dan menggunakan
pengetahuan mereka yang muncul untuk belajar lebih banyak. Guru memfasilitasi
proses ini dengan menanyakan kepada anak-anak apakah ada yang ingin
ditanyakan sebagai upaya menindaklanjuti pengamatan yang dilakukan anak-anak
selama langkah-langkah percobaan atau meringkas. (Gerde et al., 2013).
Berdasarkan memaparan di atas dapat disimpulkan bahawa pendekatan
saintifik mencerminkan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa
(student centered approach) untuk menggali pengetahunnya sendiri sehingga
memperoleh pengetahuan yang mendalam dan mampu meningkatkan kualitas
siswa yang diimpelemtasikan melalui tahap-tahap ilmiah yang meliputi:
mengamati, menanya, membuat prediksi dan hipotesis, terlibat dalam eksperimen
dan pengujian, hingga dapat meringkas dan menganalisis hasil untuk membuat
kesimpulan. Inilah yang menunjukkan pelaksanaan pembelajaran pada Kurikulum
2013 yang berlandaskan teori kontruktivis, sehingga peran guru sebagai fasilitator
dalam mengembangkan semua bidang pengembangan.
2.2.4 Pendidikan atau Pembelajaran Sains
Sains berasal dari kata latin scientia yang berarti pengetahuan. Namun,
menurut Davis dan Howe (2003; dalam Campbell et al. 2019, hlm. 36) bahwa
sains bukan hanya sekedar kumpulan pengetahuan tetapi menggambarkan (a)
conceptual knowledge (pengetahuan konseptual), yang berarti pemahaman tentang
suatu ilmu pengetahuan, (b) procedural knowledge (pengetahuan prosedural),
yang berarti keterampilan dalam melakukan suatu prosedur kegiatan, dan (c)
attitudinal knowledge (pengetahuan sikap), yang berarti sikap dalam
mengembangkan pengetahuan baru.
Dalam hal ini Sarkim (1998) yang dikutip oleh Mulyana (2018, hlm. 9)
dalam bukunya yang berjudul “Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam di Sekolah
Dasar” mengungkapkan bahwa hakikat pembelajaran sains dapat dikelompokkan
menjadi tiga dimensi, yaitu : 1) Dimensi Produk, diproyeksikan dengan fakta,
data, konsep hukum atau teori tentang fenomena alam sebagai hasil rekaan
manusia untuk memahami dan menjelaskan alam juga fenomena yang terjadi di
dalamnya, 2) Dimensi Proses, diimplementasikan dengan melibatkan anak secara
aktif dalam kegiatan-kegiatan yang biasa dilakukan oleh para ilmuwan, seperi
melakukan pengamatan, eksperimen, dll, 3) Dimensi Sikap, diorganisasikan
sebagai kalkulasi dari pemerolehan pengetahuan dan pengalaman selama
melakukan kegiatan maka terbentuklah sikap ilmiah.
Pendidikan sains mangacu pada pengajaran dan pembelajaran sains kepada
non-ilmuwan, seperti anak sekolah yang dapat disediakan baik pada pendidikan
formal, yaitu dalam kerangka kurikulum yang ditentukan dan lembaga khusus
(sekolah), dan secara informal, yaitu ekstrakurikuler dalam berbagai situasi fisik.
(Gilbert, 2015). Pembelajaran sains anak usia dini difokuskan pada pembelajaran
tentang dirinya, lingkungan, dan gejala alam dalam meningkatkan perkembangan
sosial, emosional, kognitif, bahasa dan fisik pada anak. (Prasetyo, 2017).
Perkembangan-perkembangan tersebut tidaklah semata terbentuk dari lingkungan,
tetapi hasil konstruk pengetahuan dalam konteks interaksi yang
berkesinambungan dari pembelajar yang aktif dengan dunia di mana ia
berkembang. (Ravanis, 2017).
Jadi, untuk memperkenalkan dunia alami pada anak usia dini dapat
dilakukan dengan aktivitas pengetahuan fisik yang berkaitan dengan kehidupan
anak. Pilihan ini sepenuhnya dapat dibedakan dari pengajaran sains, yang
berfokus pada teori, model, hukum dan metodologi eksperimental. Peran guru
selama kegiatan adalah untuk mendukung, mendorong dan memfasilitasi pilihan
kreatif anak. Anak memiliki kecenderungan alami untuk merasakan, mengamati
alam dan memikirkannya. Dengan melakukan investigasi, anak belajar bagaimana
melakukan observasi, mengajukan pertanyaan, merencanakan investigasi,
menggunakan alat untuk mengumpulkan informasi, membuat prediksi,
mengajukan penjelasan, mengkomunikasikan hasil, dan merefleksikan proses
yang telah mereka gunakan. (Abdurrahman, 2017).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan atau
pembelajaran sains anak usia dini memberikan kesempatan kepada mereka untuk
memperoleh pengetahuan dengan bertanya dan menjawab pertanyaan
menggunakan seperangkat prosedur sehingga terbentuk sikap dalam
mengembangkan pengetahuan baru. Oleh karena itu guru pendidikan anak usia
dini memerlukan pemahaman dasar tentang konsep-konsep ilmiah kunci untuk
mendukung pembelajaran sains anak. Sehingga anak memiliki berbagai
pemahaman tentang konsep-konsep ilmiah, berkembang dari interaksi sehari-hari
mereka dengan lingkungan.
2.2.5 Asesmen Autentik
Asesmen istilah lain yang dapat digunakan dalam menyebutkan penilaian.
Menurut Yambi (2018) Asesmen mengacu pada serangkaian tindakan yang
digunakan untuk mengumpulkan informasi yang kompleks dari individu atau
kelompok individu tentang tingkat pencapaian tujuan pembelajaran Istilah
autentik berarti mengacu pada situasi dunia nyata atau keadaan sebenarnya, yaitu
kemampuan atau keterampilan yang dimiliki anak. (Bruce et al., 2012). Asesmen
autentik merupakan alat penilaian yang tepat digunakan bagi pendidik anak usia
dini untuk menganalisis informasi yang dikumpulkan selama kegiatan sehari-hari
di kelas karena asesmen autentik memberikan pendekatan alternatif untuk
mengumpulkan informasi kinerja anak yang sesuai dengan perkembangan.
(Southern, 2010). Sehingga asesmen autentik mampu memberikan gambaran
mengenai hasil belajar anak dalam proses pembelajaran seperti mengamati,
menalar, mencoba, dan lain sebagainya. (Asrul et al., 2014).
Asesmen autentik dikonsepkan dengan bentuk penilaian di mana anak
diminta untuk melakukan tugas yang mirip dengan tugas-tugas kehidupan nyata
sebagai bentuk simulasi dari penerapan pengetahuan dan keterampilan yang telah
dimiliki. (Sridharan, 2016). Menurut Nguyen & Phan (2020) Asesmen autentik
mengacu pada penilaian pembelajaran yang dilakukan melalui tugas dunia nyata
yang mengharuskan anak untuk menunjukkan pengetahuan dan keterampilan
mereka dalam konteks yang bermakna. Dengan kata lain asesmen autentik
menuntut anak untuk melakukan dan menyelesaikan tugas-tugas yang bermakna.
(Pantiwati, 2013). Tugas yang bermakna dimaksudkan pada tugas yang tidak
sekedar menuntut anak “mengetahui” tetapi juga perlu “mengalami” sehingga
memberikan bekal dalam penyelesaian masalah yang dihadapinya di masa
sekarang maupun di masa yang akan datang. (Kadir, 2013).
Sesuai dengan Permendikbud No. 137 Tahun 2014 tentang Standar Nasional
Pendidikan Anak Usia Dini mengenai prinsip asesmen pada pendidikan anak usia
dini yaitu :
a. Edukatif, dijadiakan sebagai alat untuk memotivasi dan membina anak
dalam pertumbuhan dan perkembangannya
b. Autentik, diproyeksikan sebagai kegiatan menilai yang dilakukan guru
terhadap anak dalam kegiatan yang alami serta menyeluruh (holistik)
c. Obyektif, didefinisikan sebagai prinsip penilaian dengan indikator
pencapaian perkembangan yang jelas tanpa subyetivitas dari manapun dan
dari siapapun.
d. Akuntabel, dipahami sebagai pelaksanaan penilaian denagn prosedur yang
jelas sehingga dapat dipertanggungjawabkan
e. Transparan, dikonsepkan dengan penilaian yang bukan hanya guru yang
mengetahui tetapi dapat juga diakses oleh orang tua dan pemangku
kepentingan lainnya.
f. Terintegrasi, diimplementasikan dengan pelaksanaan penilaian yang
dilakukan selama proses pembelajaran, dari awal anak datang ke sekolah
hingga anak kembali ke rumah.
g. Berkesinambungan, dimana penilaian dilakukan secara continue yang
menggambarkan pertumbuhan dan perkembangan anak
h. Bermakna, bahwa hasil penilaian dapat memberikan kebermanfaatan
kepada anak, guru, dan pemangku kepentingan lainnya.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa prinsip autentik
menekankan pada pengoptimalan kemampuan anak secara menyeluruh baik
dalam pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang digunakan untuk
menyelesaikan permasalahan kehidupan sehari-hari pada situasi realistis atau
sebenarnya. Oleh karena itu asesmen autentik mengharuskan proses pembelajaran
dengan tugas-tugas autentik. Tugas autentik didefinisikan sebagai tugas yang
melibatkan anak untuk menunjukkan kemampuannya secara bermakna sebagai
penerapan dari pengetahuan dan keterampilan untuk menghadapi permasalahan
yang nyata. (Nisrokha, 2018).
2.3 Asesmen Alternatif
Asesmen alternatif didefinisikan sebagai budaya penilaian baru yang
berfokus pada peningkatan proses belajar dan kinerja siswa. Budaya penilaian ini
membahas tentang peralihan pengujian tradisional ke pengujian yang lebih
holistik atau setidaknya dilengkapi dengan asesmen alternatif seperti penilaian
berbasis kinerja, penilaian berbasis hasil dan penilaian yang berpusat pada siswa
dalam situasi otentik. (Sulaiman et al., 2019). Pada praktik pendidikan anak usia
dini, asesmen alternatif dipandang sebagai penilaian berbasis kinerja yang
terintegrasi dengan pembelajaran. Jenis penilaian ini disebut juga asesmen
autentik, karena dilakukan dalam konteks yang otentik (nyata). Istilah alternatif
digunakan untuk menggambarkan jenis prosedur asesmen sebagai pengganti atau
tambahan dari pengujian standar atau tes kertas dan pensil yang lebih bersifat
deskriptif dan mengambil berbagai bentuk penilaian. Pada penilaian ini lebih
menggambarkan bagaimana anak memproses informasi, membangun pengetahuan
baru, dan memecahkan masalah. Perlu digarisbawahi bahwa asesmen alternatif ini
memberikan informasi kepada guru tentang kemajuan anak (Milenova, 2020).
Garro (2016, hlm. 97) mengungkapkan bahwa “Asesmen alternatif dikenal
juga sebagai asesmen kinerja anak di lingkungan alami mereka berdasarkan
perilaku khas yang tidak diminta”. Dalam hal ini Popham (2018, hlm. 197-198)
juga menyebutkan bahwa “Pendidik terkadang menggunakan frasa lain untuk
menggambarkan asesmen kinerja, misalnya menggunakan istilah asesmen
autentik (karena tugas penilaian lebih mirip dengan kehidupan nyata, tugas non-
sekolah) atau asesmen alternatif (karena penilaian semacam itu merupakan
alternatif dari tes tradisional, kertas dan pensil). Keaslian dalam penilaian
menekankan perilaku, pengetahuan, strategi, dan keterampilan yang digunakan
dalam situasi kehidupan yang tidak dibatasi. Praktik penilaian berbasis
kinerja/autentik anak usia dini berorientasi untuk mengevaluasi kemampuan
individu anak dalam lingkungan alami.
Asesmen alternatif mencakup kegiatan kelas sehari-hari yang sudah ada
dalam kurikulum, yang memungkinkan anak untuk dinilai pada apa yang biasanya
mereka lakukan di kelas setiap hari, sehingga memberikan informasi tentang
kekuatan dan kelemahan anak juga kemajuan perkembangannya dari waktu ke
waktu. Asesmen alternatif dimaksudkan untuk memotivasi anak agar lebih
bertanggung jawab atas pembelajaran mereka dan menjadikan penilaian sebagai
bagian integral dari pengalaman belajar dalam kegiatan otentik. Hal ini yang akan
mengenali dan merangsang kemampuan anak untuk membuat dan menerapkan
berbagai pengetahuan, daripada hanya terlibat dalam tindakan menghafal dan
pengembangan keterampilan dasar. (Derakhshan et al., 2011)
Jadi, dapat disimpulkan bahwa asesmen alternatif disebut juga asesmen
kinerja karena menuntut siswa melakukan suatu tugas/kegiatan dalam dunia
nyata/otentik. Oleh karena itu asesmen alternatif menjadi bagian dari penilaian
autentik/otentik sebagai alternatif penialaian tes/tradisional. Sehingga asesmen
alternatif diartikan sebagai metode penilaian apapun yang tidak menggunakan tes
kertas dan pensil (paper and pencil test) yang lebih bersifat deskriptif, berfokus
pada praktik, produk, dan proyek anak dalam situasi otentik. Sehingga
memberikan gambaran kemajuan tentang apa yang telah dipelajari bukan hanya
segi pengetahuan tetapi lebih kepada penerapan pengetahuan tersebut.
Dalam menggunakan asesmen alternatif berupa asesmen kinerja guru harus
menetapkan persyaratan yang lebih ketat agar prosedur pengukuran dapat
menggambarkan kinerja anak, oleh karena itu setidaknya harus memiliki tiga
unsur :
a. Beberapa kriteria evaluasi, kinerja siswa harus dinilai menggunakan
lebih dari satu kriteria evaluatif. Misalnya dalam menilai kemampuan
bahasa perlu ditanjau dari kompetensi berbicara, membaca, menulis,
dan mendengarkan.
b. Standar kualitas yang telah ditentukan sebelumnya. Masing-masing
kriteria evaluasi dijelaskan terlebih dahulu kepada siswa sebelum
menilai kualitas kinerja siswa.
c. Penilaian yang menghakimi. Maksudnya penilaian yang membutuhkan
manusia dalam pengolahannya. Oleh karena itu asesmen kinerja asli
bergantung pada penilaian manusia untuk menentukan seberapa dapat
diterima kinerja siswa sebenarnya. (Popham, 2018).
Instrumen yang digunakan dalam mengukur kinerja anak yang ditampilkan
dalam tugas-tugas kinerja. Adapun teknik dan instrumen asesmen kinerja dapat
berupa :
1. Daftar cek, digambarkan dengan format yang menampilkan kategori
kinerja siswa pada pilihan ya atau tidak
2. Skala penilaian, didesain dengan skala penilaian lebih dari dua kategori
yaitu 1, 2, dan, 3.
3. Scoring rubric, diimplementasikan sebagai panduan yang
mendeskripsikan terkait kinerja yang selanjutnya digunakan untuk
menilai. (Hamdu, 2016).
Berikut hal-hal yang harus diperhatikan guru dalam menyusun tugas kinerja
anak dalam pembelajaran :
1. Guru menentukan Kompetensi Dasar (KD) yang bersesuaian dengan
konteks kinerja yang diharapkan, indikator pencapaian kompetensi,
tujuan penilaian, dan kriteria/patokan capaian standar yang akan
digunakan untuk mengukur kompetensi.
2. Guru menentukan bentuk penilaian (praktik, produk, proyek) dalam hal
ini bentuk penilain kinerja yang bersesuaian dengan kompetensi dan
domain pembelajaran yang akan dinilai.
3. Guru membuat indikator yang sesuai dengan bentuk penilaian yang
dipilih berdasarkan kompetensi yang akan diukur.
4. Guru membuat tugas kinerja yang relevan dengan pengetahuan yang
akan diukur (fakta, konsep, prinsip, prosedur) dan keterampilan
(pemecahan masalah, pengambilan keputusan, investigasi, percobaan,
atau sintesis) yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas. Tugas
kinerja yang dibuat dapat disusun dari yang paling sederhana hingga
paling kompleks sesuai dengan indikator pencapaian yang diharapkan.
5. Guru menyusun tugas kinerja dengan memperhatikan : (a) siapa yang
akan mengerjakan tugas (individu, kelompok kecil, atau lainnya), (b)
waktu yang diperlukan, (c) perangkat yang digunakan, dan (d) aspek-
aspek yang akan dinilai dalam penugasan tersebut.
6. Guru memberi penjelasan kepada siswa tentang prosedur dalam
mengerjakan tugas kinerja yang dicakup dalam pelaksanaan asesmen
kinerja.
7. Guru membuat rubrik penilaian baik untuk individu maupun kelompok
sebagai pedoman dalam pelaksanaan asesmen kinerja. (Pendidikan,
2019).
2.4 Rubrik Asesmen
Untuk menilai tugas kinerja anak yang kompleks di lingkungan dan sulit
untuk diukur dengan tes. Maka guru dihendaki untuk menggunakan kriteria rinci
dan penskoran yaitu rubrik. Rubrik dirancang untuk membantu guru dalam
menilai kualitas kinerja anak. (Panadero, 2016). Rubrik dijadikan sebagai standar
atau dasar penilaian terhadap tugas kinerja anak dan berguna menambah
realibilitas, validitas, dan transparansi penilaian (Popham, 2018, hlm. 203)
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa rubrik digambarkan dengan
kriteria-kriteria yang diberi skor untuk menilai kinerja anak yang diperoleh dari
hasil pengamatan yang dapat membantu anak memperoleh keterampilan tertentu
dan pengetahuan.
Sebagian besar guru biasanya tidak mengungkapkan standar penilaian
mereka kepada anak. Guru sering berharap bahwa anak bisa melakukan kegiatan
atau unjuk kerja yang sempurna. Namun, harapan ini sering kali menimbulkan
kekecewaan ketika guru kemudian menyadari bahwa siswa berkinerja buruk atau
bahkan sangat buruk. Oleh karena itu rubrik dapat membantu guru untuk secara
jelas menyampaikan harapan mereka kepada anak dengan memberikan evaluasi
kriteria untuk digunakan dalam penilaian. Dengan bantuan rubrik, anak dapat
memahami tingkat pekerjaan apa yang dianggap sangat baik, baik, cukup atau
buruk. (Chowdhury, 2019). Selain menjadi alat yang efektif dalam melaksanakan
asesmen autentik. Rubrik memiliki potensi untuk meningkatkan pengajaran guru
juga meningkatkan pembelajaran anak, memfasilitasi pembelajaran yang
konstruktif dan mandiri, meningkatkan kesadaran anak tentang tujuan
pembelajaran, memperjelas tujuan dan harapan guru, dan menjelaskan kriteria
yang diperlukan untuk memenuhi kinerja yang berkualitas. Selain itu, rubrik
memberi anak umpan balik yang tepat tentang kekuatan, kelemahan dan kemajuan
mereka dalam mencapai harapan guru, dan mengarahkan mereka ke arah evaluasi
diri. Hasilnya sering ditandai peningkatan kualitas pekerjaan anak dan dalam
pembelajaran. (Dandis, 2014).
Di dalam rubrik terdapat dua fitur mendasar. Pertama, rubrik mencakup
informasi tentang aspek atau kriteria mana yang harus dilihat dalam kinerja anak.
Kedua, rubrik mencakup deskripsi kinerja siswa pada tingkat yang berbeda
kualitas, maksudnya perbedaan skor pada setiap kriteria, misalnya menggunakan
skor angka (1, 2, 3, 4, 5). Hal ini tergantung skala penilaian yang digunakan pada
asesmen kinerja (Chowdhury, 2019). Rubrik yang dirancang dengan baik juga
dapat membantu anak dengan memberikan umpan balik yang konstruktif tentang
kesalahan umum mereka dan dengan memberikan informasi lebih lanjut tentang
bagaimana meningkatkan pekerjaan mereka. Guru dapat menggunakan rubrik
dalam menilai tugas anak dalam praktikum, proyek, bercerita, dan banyak jenis
unjuk kerja lainnya.
Berdasarkan jenisnya, rubrik dibagi menjadi dua yaitu : rubrik holistik dan
rubrik analitik. Rubrik holistik didesain dengan menetapkan skor tunggal
berdasarkan penilaian keseluruhan dari kinerja anak. Sementara rubrik analitik
kebalikannya yaitu menetapkan skor secara rinci dengan membagi komponen-
komponen kinerja anak. (Mutiara et al., 2017). Skala holistik mencakup indikator
global, sehingga tidak membagi komponen-komponen kinerja anak. Penskoran
menggunakan skala analitik biasanya lebih konsisten dan area perkembangan
secara spesifik dapat diidentifikasi. (Dandis, 2014).
Langkah-langkah menyusun rubrik menurut Mertler (2018) sebagai berikut :
1. Memeriksa tujuan atau standar pembelajaran yang durujuk dari
kurikulum yaitu Kompetensi Dasar (KD) yang ingin dicapai melalui
tugas kinerja.
2. Menspesifikan aspek kinerja yang akan dinilai
3. Mendeskripsikan harapan dari masing-masing aspek kinerja yang harus
dicapai oleh anak
4. Menguraikan dengan cermat hasil kerja anak yang luar biasa atau
sangat baik dan atur sesuai dengan setiap aspek kinerja. (rubrik holistik)
5. Memberikan deskripsi yang terpisah dan cermat tentang hasil kinerja
anak yang luar biasa atau sangat baik dari untuk setiap aspek kinerja
tertentu. (rubrik analitik)
6. Melengkapi rubrik analitik dengan mendeskripsikan tingkat-tingkat
mulai dari hasil kerja yang sangat baik, sedang, dan buruk untuk
masing-masing aspek kinerja secara terpisah.
7. Mengumpulkan contoh-contoh hasil kinerja siswa untuk masing-masing
tingkat.
8. Melakukan revisi terhadap rubrik sesuai dengan kebutuhan.
2.5 Konsep Dasar Pelatihan
2.5.1 Definisi Pelatihan
Pelatihan didefinisikan sebagai aktivitas dengan tujuan dan maksud untuk
memperbaiki dan mengembangkan sikap, perilaku, keterampilan dan
pengetahuan. Sejalan dengan Milhem et al., (2014) menyebutkan pelatihan
sebagai proses yang direncanakan untuk mengubah sikap, pengetahuan,
keterampilan atau perilaku seseorang yang dilakukan melalui pengalaman belajar
untuk mencapai kinerja yang efektif dalam suatu kegiatan atau berbagai kegiatan.
Menurut Pribadi (2020, hlm. 2) pelatihan dilakukan sebagai upaya
meningkatkan keterampilan spesifik seorang individu sehingga keterampilan
tersebut dapat segera diimplementasikan dalam dunia kerjanya. Pelatihan
merupakan salah satu bidang kegiatan yang dapat membantu guru meningkatkan
pengetahuan dan keterampilannya. Dengan kata lain, pelatihan yang diberikan
kepada guru merupakan bagian yang sangat penting dari kegiatan sekolah untuk
pengembangan dan penunjang kegiatan profesional guru. Menurut Soisangwarn &
Wongwanich (2014) guru yang profesional ditunjukkan dengan sikap yang selalu
berusaha mengembangkan diri dalam praktik pengajarannya, sehingga dapat
memberikan pembelajaran yang berkualitas kepada anak. Pelatihan menjadi
sebuah kebutuhan bagi guru, karena melalui pelatihan, guru menjadi lebih percaya
diri dan berpengetahuan, mengumpulkan berbagai data, dan belajar tentang
pembelajaran mereka. (Cain & Harris, 2013).
Pelatihan pada bidang pendidikan yang ditunjukkan kepada guru
dimaksudkan untuk membantu meningkatkan kemampuan para guru dan lebih
berorientasi pada peningkatan kemampuan untuk melaksanakan tugas pendidikan
dimasa sekarang hingga tantangan dimasa yang akan datang. Pelatihan mengacu
pada pemerolehan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang diperlukan
untuk melaksanakan suatu kegiatan atau fungsi tertentu, sehingga manfaat
pelatihan dapat dirasakan baik oleh sekolah maupun guru. Untuk menghadapi
tantangan saat ini dan masa depan dalam bidang pendidikan, pelatihan
mengasumsikan berbagai tindakan pembelajaran mulai dari pelatihan bagi guru
dalam asesmen dan terlebih lagi, untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan.
Pelatihan merupakan proses terencana yang ditujukan untuk memodifikasi
atau mengembangkan keterampilan melalui penerapan pengalaman dan
pendidikan. Oleh karena itu pelatihan sebagai rencanaan berkelanjutan yang
mereplikasi banyak tahapan terlibat dalam tugas untuk mencapai manfaat yang
diinginkan. (Gettinger et al., 2020). Menurut Sumitra et al., (2021) ada beberapa
faktor yang menentukan efektivitas pelatihan dapat diringkas dalam tiga kategori,
yaitu : (1). Tahap pra-pelatihan, (2) Tahap pelatihan, (3) Tahap pasca pelatihan.
Pada tahap pra pelatihan misalnya, lingkungan yang baik akan menjadi daya tarik
bagi peserta pelatihan, sedangkan lingkungan yang tidka baik atau tidak nyaman
akan mempengaruhi semangat bagi perserta. Tahap pelatihan, misalnya instruktur
mampu menciptakan suasana pelatihan yang baik dan menyenangkan sehingga
setiap materi dapat tersampaikan dengan baik. Sementara tahap pasca pelatihan
dilihat pada perubahan meningkatan pengathuan dan keterampilan para peserta.
Beberapa faktor harus diperhatikan dan berperan dalam pelatihan
diungkapkan oleh Kamil (2012) yaitu : (1) Instruktur atau pelatih, (2) Peserta
pelatihan, (3) Proses pembelajaran atau pelatihan, (4) Materi pelatihan. Sedangkan
menurut Pribadi (2020, hlm. 9) memaparkan indikator pelatihan yang efektif dan
efisien yaitu :
1. Pelatihan dapat membantu peserta dalam mencapai tujuan atau
kemampuan program pelatihan;
2. Pelatihan dapat termotivasi peserta untuk mengikuti proses
pembelajaran yang berkelanjutan;
3. Pelatihan dapat meningkatkan pengetahuan peserta dan
mempertahankan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari
latihan;
4. Pelatihan dapat mendorong peserta untuk menerapkan pengetahuan dan
keterampilan yang telah dipelajari di dunia kerjanya.
Lebih lanjut Pribadi (2020, hlm. 11) menjelaskan beberapa persyaratan yang
diperlukan untuk dapat membuat program pelatihan yang efektif, yaitu :
1. Pelatihan diselenggarakan atas dasar kebutuhan atau masalah yang
dihadapi organisasi, lembaga pendidikan, atau perusahaan
2. Pelatihan didasarkan pada tujuan atau keterampilan yang harus dimiliki
peserta pelatihan;
3. Jadwal pelaksanaan pelatihan terstruktur dengan baik;
4. Latar belakang peserta pelatihan sesuai dengan kompetensi program
yang dilatih
5. Instrukturnya berkualifikasi dan kompeten di bidang pelatihan;
6. Pelatihan dilakukan di lokasi yang nyaman dengan fasilitas yang
memadai;
7. Pelaksanaan pelatihan menggunakan metode dan dukungan yang sesuai
dengan keterampilan yang dilatih;
8. Pelatihan dapat menciptakan kondisi bagi peserta pelatihan untuk
memiliki keterampilan yang diperlukan;
9. Pelatihan harus dapat memuaskan peserta program;
10. Pelatihan harus terus dievaluasi.
2.5.2 Manfaat Pelatihan
Beberapa manfaat dari pelatihan dijabarkan oleh Vinesh (2014) bahwa
pelatihan sangat penting karena : (1) Membantu mengatasi kelemahan kinerja
karyawan, (2) Peningkatan kinerja seorang karyawan, (3) Konsistensi dalam
pelaksanaan tugas, (4) Menjamin kepuasan pekerja, (5) Peningkatan
produktivitas, (6) Peningkatan kualitas layanan dan produk, (7) Mengurangi
biaya, (8) Pengurangan pengawasan.
Dalam bidang pendidikan, pelatihan dan pengembangan yang berkiatan
dengan kegiatan belajar mengajar seorang guru memiliki rtujuan untuk
meningkatkan kinerja guru dalam melaksanakan tugasnya. Dalam gilirannya juga
memainkan peran yang sangat penting dalam membangun kemajuan teknologi,
dan efektivitas sekolah. Guru adalah tulang punggung sektor Pendidikan. Kini
pelatihan guru menjadi sangat diperlukan terutama untuk mengatasi tuntutan
perubahan industri pengajaran. Hal ini juga diperlukan karena meningkatkan
kualitas guru. Sayangnya tidak banyak guru terlatih tersedia. Oleh karena itu,
perlu adanya pelatihan bagi para guru. Hai ini merupakan tanggung jawab otoritas
pengelola untuk memeriksa bahwa karyawan mereka di tempat kerja telah
memiliki keterampilan, kemampuan, semangat, dan pengetahuan yang diperlukan
untuk bekerja, sehingga dapat terjadi peningkatan produktivitas dan kinerja.
Oyitso (2012) mengungkapkan bahwa pelatihan membawa kepercayaan
yang lebih tinggi pada seorang pekerja, pengetahuannya, dan keterampilan
kinerjanya juga meningkat. Selain itu, pelatihan juga mampu menciptakan
efisiensi dan efektivitas yang lebih besar pada suatu organisasi. Dalam hal ini
Khan & Abdullah (2019) juga menunjukkan beberapa fungsi dari pelatihan yang
diantaranya: peningkatan produktivitas dan kinerja, peningkatan kualitas
pekerjaan, peningkatan keterampilan, pengetahuan, pemahaman dan sikap yang
lebih baik. Berdasarkan paparan diatas membuktikan bahwa pelatihan mamapu
meningkatkan produktivitas tenaga kerja dalam melakukan tugas dan perannya
dalam lingkup perkerjaannya. Selain itu melalui pelatihan pengetahuan,
pemahaman, sikap dan keterampilan individu juga meningkat.
2.5.3 Model-Model Pelatihan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “Model” diartikan
sebagai pola (contoh, acuan, ragam, dan sebagainya) dari sesuatu yang akan
dibuat atau dihasilkan. Menurut Stachowiak (1973, dalam Thomas, 2005) model
perlu memiliki tiga fitur : (1) Fitur Pemetaan, dimaknai dengan sebuah model
yang didasarkan pada yang asli. (2) Fitur Reduksi, dimaknai dengan sebuah model
yang hanya mencerminkan dari yang asli, maksudnya memilih salah satu atau
beberapa yang relevan. (3) Fitur Pragmatis, dimaknai dengan sebuah model yang
diciptakan atau dapat digunakan sebagai pengganti model yang aslinya
sehubungan dengan beberapa tujuan. Dua fitur pertama dibahas secara bersamaan
jika seseorang berbicara tentang model sebagai "proyeksi" karena ini menyiratkan
sesuatu yang diproyeksikan (dari yang asli) dan beberapa informasi dari model
yang asli hilang selama proyeksi. Tentu saja, informasi apa yang dihilangkan dan
apa yang dipertahankan tergantung pada tujuan akhir model yang akan digunakan.
Fitur ketiga menjelaskan bahwa sebuah model dapat dielaborasi lebih lanjut pada
isi, pembuat atau pengirim, penerima, dan tujun.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa model didefinisikan
sebagai sebuah pola atau acuan dalam melaksanakan suatu kegiatan.
Pengembangan sebuah model dapat dilakukan dengan beberapa cara : (1) Model
yang dihasilkan didasarkan pada model yang sudah ada, namun
pengembangannya terletak pada isi, pembuat rancangan isi, penerima isi, dan
tujuan dari penyampaian isi tersebut. (2) Model yang dihasilkan merupakan
kombinasi dari beberapa pilihan dari model yang sudah ada, dengan kata lain
dalam model tersebut terdapat beberapa aspek yang sama dengan model yang
sudah ada. (3) Model yang dihasilkan merupakan suatu hal yang baru dan belum
ada sebelumnya.
Perkembangan peran pelatihan saat ini memungkinkan terciptanya model
pelatihan sederhana hingga model pelatihan yang kompleks, semuanya sangat
bergantung pada budaya manusia (masyarakat itu sendiri). Khususnya yang
berkaitan dengan pendidikan, bisnis, manajemen, teknologi dan keadaan
masyarakat. Terdapat banyak jenis model pelatihan yang dapat digunakan, namun
dalam pelaksanaanya tentu harus disesuaikan dengan tujuan dari pelatihan
tersebut. Beberapa model tersebut dijabarkan oleh Hidayat (2015) diantaranya :
(1) Model empat langkah, (2) Model lima langkah, (3) Model enam langkah, (4)
Pelatihan tujuh langkah, (5) Pelatihan delapan langkah, (6) Pelatihan sembilan
langkah, (7) Pelatihan sepuluh langkah, (8) Model pelatihan aktif (the active
training model), (9) Model pengembangan kurikulum pelatihan, (10) Model
pembelajaran prosedur pengembangan sistem instruksional (PPSI), (11) Model
pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi, (12) Model ADDIE (Analysis,
Design, Development, Implementatio, Evaluation).
Model pengembangan menggambarkan prosedur atau langkah-langkah
selanjutnya untuk mengembangkan sebuah model. Ada beberapa model
pengembangan yang dikemukakan oleh para ahli yang dapat dijadikan acuan
untuk membuat model pengembangan. Sesuai dengan kebutuhan penelitian maka
akan dibahas dua model pengembangan pelatihan Borg and Gall (1983) dan Dick
and Carry (2008) serta model ADDIE pada prosedur penelitian.
1. Model Borg and Gall (1983)
3. METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
3.1.1 Pendekatan Penelitian Mix Method
Pendekatan penelitian mix method didefiniskan sebagai penelitian dengan
menggabungkan dua metode kuantitatif dan kualitatif, dalam hal ini bertujuan
untuk mendapatkan data yang lebih lengkap. Penelitian mix method dilakukan
dengan merumuskan dua bentuk pengumpulan data (kuantitatif dan kualitatif),
penggunaan dua bentuk rancangan (kuantitatif dan kualitatif), dan dalam analisis
dan interpretasinya dapat dilakukan secara berbeda antara kuantitatif dan kualitatif
atau bersamaan antara keduanya. (Creswell, 2014, hlm. 14). Penelitian mix
method dipandang sebagai metodologi penelitian di mana seorang peneliti atau
tim peneliti menggabungkan unsur pendekatan penelitian kuantitatif dan kualitatif
(misalnya, penggunaan sudut pandang kuantitatif dan kualitatif, pengumpulan
data, analisis, dan teknik inferensi) untuk tujuan memperoleh keluasan dan
kedalaman pemahaman serta pembuktian. (Creswell & Clark, 2018, hlm. 38).
Berdasarkan paparan teori sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa desain
penelitian mix method didefinisikan sebagai metodologi penelitian yang dilakukan
untuk mengumpulkan, menganalisis, dan mencampurkan metode kuantitatif dan
kualitatif dalam satu penelitian atau serangkaian penelitian agar lebih memahami
suatu masalah penelitian.
Bentuk data kuantitatif cenderung close ended (pertanyaan tertutup), artinya
jawaban telah ditentukan sebelumnya seperti pada angket/kuesioner. Sedangkan
data kualitatif menitikberatkan pada pertanyaan open ended (pertanyaan terbuka),
artinya jawaban tidak ditentukan sebelumnya, seperti pada observasi dan
wawancara. (Creswell, 2014, hlm. 19). Rancangan penelitian mix method secara
umum menurut Efron (2013, hlm. 46-47) terbagi menjadi tiga jenis, yaitu: 1)
Embedded-design research, didesain dengan menyertakan kedua metode
pengumpulan data kuantitatif dan kualitatif, salah satunya lebih mendominasi
dalam penelitian, baik itu kuantitatif maupun kualitatif, 2) Two‑phase research,
diproyeksikan dengan dua fase dalam membahas pertanyaan yang berbeda dalam
masalah penelitian. Metode kuantitatif dan kualitatif digunakan secara terpisah,
bersamaan, atau berurutan, tanpa banyak pencampuran, untuk menyelidiki setiap
pertanyaan dan, 3) Integrated research, diimplementasikan dengan
mengkombinasikan metode kuantitatif dan kualitatif sepanjang proses penelitian.
Lebih rinci Creswell (2009, hlm. 203-216) membahas pendekatan mix
method dengan mengklasifikasikannya dengan dua strategi utama, yaitu: 1)
Sequental strategy didefinisikan sebagai jenis penelitian mix method yang
dilakukan secara berurutan antara kuantitatif dan kualitataif atau sebaliknya untuk
mendapatkan jenis data yang berbeda. Dalam sequental strategy terbagi lagi
menjadi tibag bagian yaitu: (a) Sequental expalanatory strategy didesain dengan
melakukan penelitian kuantitatif terlebih dahulu kemudian diikuti oleh penelitian
kualitatif sebagai pendukung untuk menjelaskan penelitian kuantitatif
sebelumnya, (b) Sequental exploratory strategy merupakan kebalikan sequental
expalanatory, yaitu dilakukan penelitian kualitatif terlebih dahulu untuk
membangun instrumen berbasis teori kemudiaan diperkuat dengan data penelitian
kuantitatif, (c) Sequental transformative strategy dikategorikan sebagai penelitian
yang memiliki dua fase dengan lensa teoritis (misalnya gender, ras, teori ilmu
sosial) yang menutupi prosedur sequensial. Fase pertama dilakukan penelitian
(baik kuantitatif atau kualitatif) kemudian diikuti oleh fase kedua (baik kualitatif
atau kuantitatif) yang dibangun di atas fase sebelumnya. 2) Concurrent strategy
didefinisikan sebagai jenis penelitian mix method yang dilakukan secara
bersamaan antara kuantitatif dan kualitataif untuk memperoleh informasi lebih
komprehensif. Dalam concurrent strategy pun terbagi kembali menjadi tiga
bagian yaitu: (a) Concurrent triangulation strategy, diimplementasikan dengan
mengumpulkan data kuantitatif atau kualitatif secara bersamaan kemudian
membandingkan kedua database untuk menentukan apakah ada konvergensi,
perbedaan atau beberapa kombinasi, (b) Concurrent embedded strategy,
diidentifikasi dengan desain penelitian yang menggunakan satu fase pengumpulan
data, data kantitatif dan kualitatif dikumpulkan secara bersamaan, (c) Concurrent
trasmormative strategy, seperti halnya sequental transformative. Pendekatan
concurrent trasmormative dipandu oleh peneliti menggunakan teori tertentu serta
mengumpulkan data kuantitatif dan kualitatif dilakukan secara bersamaan.
Pendekatan penelitian ini menggunakan jenis concurrent triangulation
strategy. Desain concurrent memliki istilah lain seperti including simultaneous
triangulation, parallel study, convergence model, dan concurrent triangulation.
Terlepas dari namanya, maksud dari desain concurrent yaitu penelitian yang
dilakukan dengan menggabungan dua metode yang berbeda untuk mendapatkan
data yang berbeda tetapi saling melengkapi pada topik yang sama. Desain
concurrent ini digunakan apabila peneliti ingin membandingkan hasil statistik
kuantitatif dengan temuan kualitatif sehingga memperoleh pemahaman yang
lengkap tentang masalah. (Creswell & Clark, 2018, hlm. 125).
Menurut Creswell & Clark, (2018, hlm. 278) menyebutkan bahwa penting
untuk memperhatikan keputusan dalam pengumpulan data desain concurrent
triangulation meliputi : Pertama, tentukan siapa yang akan dipilih untuk dua
sampel apakah mencakup individu yang berbeda atau sama. Kedua, tentukan
apakah ukuran dua sampel akan sama atau berbeda. Ketiga, tentang rancang
pertanyaan pengumpulan data paralel. Keempat, tentukan apakah data akan
dikumpulkan dari dua sumber independen atau satu sumber dan tentukan urutan
pengumpulan data.
Dalam penelitian ini digunakan kombinasi pengumpulan data kuantitatif dan
kualitatif yang dilakukan secara bersamaan dalam setiap tahapan model ADDIE
(Analysis, Design, Development, Implementation, Evaluation). Sampel yang
digunakan mencakup individu yang sama dari populasi yang sama, dua sampel
yang sama, desain pertanyaan yang sama, dan dibahas dalam pengumpulan data
kuantitatif dan kualitatif, sehingga kedua basis data dapat dengan mudah
dibandingkan atau digabungkan. Selanjutnya, kedua kumpulan data tersebut akan
dikumpulkan secara independen, dengan menggunakan bentuk yang berbeda,
yaitu pengumpulan data kuantitatif dan kualitatif. Untuk lebih jelas perhatikan
tabel di bawah ini :
Tabel 3.1
Rumusan Masalah, Teknik Pengumpulan Data, Instrumen, Jenis Data, dan
Sumber Data
Teknik
Sumber
No Rumusan Masalah Pengumpulan Instrumen Jenis Data
Data
Data
Pedoman
Wawancara Kualitatif Guru
wawancara
Bagaimana analisis Lembar angket
kebutuhan pelatihan Angket kinerja guru Kuantitatif Guru
asesmen alternatif dalam asesmen
1
bagi guru Kelompok Lembar
B pada sub tema observasi
gejala alam Observasi pelaksanaan Kualitatif Guru
asesmen
alternatif
Lembar
Bagaimana desain Kuantitatif, Validator
Tes validasi soal
model pelatihan Kualitatif ahli
tes
reflektif asesmen
2 Lembar
alternatif bagi guru Kuantitati, Validator
Angket validasi angket
Kelompok B pada Kualitatif ahli
respon guru
sub tema gejala alam
Tes Soal tes Kuantitatif Mahasiswa
Bagaimana
pengembangan
Lembar expert
model pelatihan
Expert judgement Kuantitatif, Validator
3 reflektif asesmen
Judgement model Kualitatif Ahli
alternatif bagi guru
pelatihan
Kelompok B pada
sub tema gejala alam
Bagaimana Soal pre-test
4 Tes Kuantitatif Guru
implementasi model dan post-test
pelatihan reflektif Lembar angket
asesmen alternatif respon guru
Angket Kualitatif Guru
bagi guru Kelompok terhadap
B pada sub tema pelatihan
gejala alam Lembar
observasi
Observasi keterlaksanaan Kuantitatif Observer
model
pelatihan
Lembar angket
Bagaimana evaluasi Angket kinerja guru Kuantitatif Guru
model pelatihan dalam asesmen
reflektif asesmen Lembar
5
alternatif bagi guru observasi
Kelompok B pada Observasi pelaksanaan Kualitatif Guru
sub tema gejala alam asesmen
alternatif
Gambar 3.1 Tahapan Model ADDIE berdasarkan Input, Proses, dan Output
Tabel 3.2
Partisipan Penelitian, Peran, dan Jumlah Partisipan
No Partisipan Peran Jumlah Partisipan
Subjek penelitian dan
1 Guru Kelompok B 4 orang
Peserta pelatihan
2 Fasilitator Pemateri/ Instruktur 1 orang
Ahli pengembangan
3 Validator dan atau Observer 1 orang
model
4 Ahli asesmen Validator dan atau Observer 1 orang
5 Ahli pedagogic Validator dan atau Observer 1 orang
Subjek uji validitas dan
6 Mahasiswa 10 orang
reliabilitas instrumen tes
Jumlah 18 orang
3.3. Variabel dan Definisi Operasional Variabel
3.3.1 Variabel
Variabel diidentikkan dengan adanya variasi pada atribut seseorang atau
objek. Oleh karena itu tidak dapat dikatakan variabel jika tidak terdapat variasi di
dalamnya. (Sugiyono, 2020, hlm. 60). Variabel dapat juga didefinisikan dengan
segala sesuatu yang ditetapkan peneliti dalam penelitiannya untuk dipelajari
sehingga diperoleh informasi dan ditarik kesimpulannya. Menurut Sugiyono,
(2019, hlm. 75-79) variabel ditinjau dari hubungannya dapat dibedakan menjadi
lima macam, yaitu : 1) Variabel independen atau variabel bebas diabstraksikan
sebagai variabel yang mempenagruhi atau penyebab timbulnya perubahan pada
variabel dependen atau variabel terikat, 2) Variabel dependen diabstraksikan
sebagai variabel yang dipengaruhi atau akibat dari adanya variabel independen
atau variabel bebas, 3) Variabel moderator diabstarksikan sebagai variabel yang
mempengaruhi dengan memperkuat atau memperlemah hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen, 4) Variabel intervening diabstraksikan
sebagai variabel yang hadir diantara variabel variabel independen dengan variabel
dependen. Dalam hal ini diartikan bahwa variabel interventing ini menjadi
penghalang variabel independen dalam mempengaruhi variabel dependen, jadi
anatara variabel independen dan variabel dependen menjadi hubungan yang tidak
langsung dan tidak dapt diamati dan diukur.
Dalam penelitian ini berfokus pada pengembangan model pelatihan, yaitu
pelatihan asesmen alternatif. Hasil atau output dari pengembangan model
pelatihan ini, diharapkan mampu memberikan inovasi pelaksanaan pelatihan yang
berlandaskan kebutuhan guru dalam dunia kerjanya. Praktik reflektif ini bertujuan
untuk melihat pengimplementasian hasil belajar guru yang diperoleh selama
pelatihan. Maksudnya pasca atau setelah pelatihan peneliti akan melakukan tindak
lanjut dengan membandingkan hasil pengukuran tahap analisis dengan tahap
evaluasi. Dengan demikian variabel independen atau variabel bebas dari
penelitian ini adalah pelatihan reflektif asesmen alternatif. Sementara variabel
dependen atau variabel terikatnya adalah pengimplementasian hasil pelatihan
yang dilakukan oleh guru.
3.3.2 Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional dapat diartikan sebagai penjelasan definisi yang
dijabarkan peneliti pada variabel penelitiannya. Pada penelitan peneliti
menjabarkan definisi operasional, sebagai berikut :
1. Model pelatihan reflektif didefinisikan sebagai pola atau acuan yang
menggambarkan proses sistematis untuk mengatur kegiatan pelatihan terkait
asesmen alternatif yang dilakukan secara siklus, yaitu rencana, aksi, observasi
dan evaluasi, serta refleksi. Proses sistematis yang dimaksud adalah proses
pengembangan model pelatihan yang meliputi (1) proses analisis masalah dan
kebutuhan sebagai bentuk refleksi terhadap pelaksanaan asesmen, (2) proses
perencanaan pelatihan yang dirumuskan berdasarkan analisis masalah dan
kebutuhan, (3) proses pengembangan panduan pelatihan yang dilengkapi
dengan materi tentang asesmen alternatif, (4) proses pelaksanaan pelatihan
asesmen alternatif yang dilakukan dengan penyampaian teori juga praktik,
observasi terhadap keterlaksanaan model pelatihan, dan evaluasi program
peltaihan dengan mengetahui respon guru terhdap penyelenggaraan pelatihan
dan mengetahui hasil belajar perserta pelatihan dengan soal pre-test dan post-
test, (5) proses evaluasi dimaksudkan sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan
pelatihan yang telah dilakukan. Tindak lanjut yang dimaksud adalah
melakukan refleksi sebagaimana pada tahap analisis, yaitu analisis kinerja
guru dan observasi pelaksanaan asesmen. Oleh karena itu peneliti akan
membandingkan hasil pengukuran tahap analisis dengan tahap evaluasi.
2. Asesmen alternatif atau asesmen kinerja sebagai bentuk asesmen autentik
yang menuntut anak melakukan suatu tugas dalam situasi otentik. Tugas
tersebut menuntut anak untuk mengekspresikan pengetahuan dan
keterampilan yang mengacu pada kinerja atau performance anak saat
melakukan kegitan pada materi gunung meletus. Dalam pelaksanaan asesmen
alternatif tersebut guru menggunakan rubrik sebagai acuan untuk menilai
tugas kinerja anak yang berisi kriteria rinci dan penskoran.
3. Guru Pendidikan Anak Usia Dini ditujukkan kepada guru Kelompok B atau
kelompok anak pada usia 5-6 tahun.
3.3 Data dan Instrumen Penelitian
3.3.1 Jenis Data
Menurut Sugiyono (2019, hlm.11) jika ditinjau dari jenis datanya maka
dapat berupa data kuantitatif, kualitatif, dan gabungan. Data kuantitatif
digambarkan dengan data yang berbentuk angka atau data kualitatif yang
diangkakan atau diberi scoring. Data kualitatif digambarkan dengan data yang
berbentuk kata, kalimat, narasi, gerak tubuh, ekspresi wajah, bagan, gambar dan
foto. Sementara data gabungan diperoleh dari data kuantitatif dan kualitatif yang
kemudian digabungkan ditarik kesimpulan. (Sugiyono, 2013). Jenis data pada
penelitian ini terdiri dari data kuantitatif dan kualitatif. Untuk lebih jelas,
perhatikan tabel di bawah ini :
Tabel 3.3
Rumusan Masalah, Instrumen, Jenis Data, dan Skala Pengukuran Instrumen
Skala
No Rumusan Masalah Instrumen Jenis Data Pengukuran
Instrumen
Pedoman Deskripsi/ transkip
Kualitatif
wawancara wawancara
Rating Scale :
5= Sangat Sesuai
Lembar angket 4= Sesuai
Bagaimana analisis
kinerja guru Kuantitatif 3= Cukup Sesuai
kebutuhan pelatihan
dalam asesmen 2= Tidak Sesuai
asesmen alternatif
1 1= Sangat Tidak
bagi guru Kelompok
Sesuai
B pada sub tema
Daftar Checklist :
gejala alam Lembar
- Melaksanakan
observasi
- Tidak
pelaksanaan Kualitatif
Melaksanakan
asesmen
alternatif
Keterangan
Bagaimana desain Rating Scale :
Lembar validasi Kuantitatif,
2 model pelatihan 5= Sangat Baik
soal tes Kualitatif
reflektif asesmen 4= Baik
alternatif bagi guru 3= Cukup Baik
Kelompok B pada 2= Tidak Baik
sub tema gejala alam 1= Sangat Tidak
Baik
Rating Scale :
5= Sangat Baik
Lembar validasi 4= Baik
Kuantitatif,
angket respon 3= Cukup Baik
Kualitatif
guru 2= Tidak Baik
1= Sangat Tidak
Baik
Multiple choice/
pilihan ganda (PG)
Tabel 3.4
Kisi-kisi Pedoman Wawancara
Fokus Penelitian Indikator
Perencanaan asesmen
Asesmen Pelaksanaan asesmen
Pelaporan asesmen
Pelaksanaan asesmen alternatif
Pemahaman terkait asesmen alternatif
Asesmen Alternatif
Pelaksanaan pembelajaran sains
Ketersediaan rubrik asesmen
Pemaparan pengalaman pelatihan
Pemaparan pendapat mengenai pengaruh
Kebutuhan Pelatihan
pelatihan
Pemaparan harapan pelatihan
Tabel 3.5
Kisi-kisi Lembar Angket Kinerja Guru
Fokus Penelitian Sub Kompetensi
Menyelenggarakan dan membuat Memahami prinsip-prinsip penilaian dan
laporan penilaian, evaluasi proses evaluasi proses dan hasil belajar anak usia
dan hasil belajar anak usia dini dini
Menentukan lingkup sasaran Memilih pendekatan, metode dan teknik
asesmen proses dan hasil asesmen proses dan hasil kegiatan
pembelajaran pada anak usia dini pengembangan pada anak usia dini
Menggunakan prinsip dan prosedur asesmen
proses dan hasikegiatan pengembangan
pada anak usia dini
Mengadministrasikan penilaian proses dan
hasil belajar secara berkesinambungan
dengan mengunakan berbagai instrumen
Menentukan tingkat capaian perkembangan
anak usia dini
Menganalisis hasil penilaian proses dan
hasil belajar untuk berbagai tujuan
Melakukan evaluasi proses dan hasil belajar
Tabel 3.7
Kisi-kisi Lembar Expert Judgement
Fokus
Indikator Pernyataan
Penelitian
Kejelasan latar belakang pelaksanaan
pelatihan
Kejelasan tujuan pelatihan
Model Pelatihan Kesesuaian antara tujuan dan hasil yang
yang dituangkan diharapkan
Pendahuluan
dalam Panduan Kejelasan peserta pelatihan
Pelatihan Kejelasan tugas fasilitator/instruktur
Kejelasan metode dan teknik pelatihan
Kejelasan waktu dan tempat pelatihan
Kejelasan topik pelatihan
Kejelasan media pelatihan
Kejelasan langkah-langkah pelatihan
Ketepatan langkah-langkah pelatihan
Penyelenggaraan
dengan kajian teori
pelatihan
Kejelasan jadwal pelatihan
Kejelasan tata tertib pelatihan
Kejelasan materi asesmen autentik sebagai
tuntutan pelaksanaan asesmen berdasarkan
Kurikulum 2013
Materi pelatihan Kejelasan mteri asesmen alternatif atau
asesmen kinerja sebagai bentuk asesmen
autentik
Kejelasan materi terkait rubrik asesmen
Keindahan tampilan produk panduan
pelatihan
Kemenarikan
Keteraturan isi panduan pelatihan
model
Kejelasan kata-kata dalam panduan
pelatihan
Tabel 3.8
Kisi-kisi Soal Tes
Jumlah
No Indikator Kisi-kisi Pertanyaan
Soal
Memahami tuntutan pelaksanaan
Pemahaman asesmen 1
asesmen berdasarkan Kurikulum 2013
1 autentik berdasarkan
Memahami 6 aspek perkembangan anak 1
Kurikulum 2013
Memahami pembelajaran tematik dan 2
pendekatan saintifik
Memahami prinsip-prinsip asesmen 1
Memahami mekanisme asesmen 1
Memahami strategi asesmen pada anak 3
Pemahaman istilah Mamahami definisi asesmen autentik 1
asesmen alternatif atau Memahami istilah asesmen alternatif 1
asesmen kinerja Memahami ciri-ciri asesmen alternatif 1
2
sebagai bentuk Mengetahui asesmen kinerja merupakan
1
asesmen autentik bentuk asesmen alternatif
Mengetahui manfaat asesmen alternatif 1
3 Pemahaman Rubrik Pengetahuan tentang rubrik asesmen 3
Asesmen Mengetahui tahapan penyusunan rubrik 3
asesmen kinerja
Total Soal 20
Tabel 3.9
Kisi-kisi Lembar Angket Respon Guru
Fokus Penelitian Indikator
Tujuan Pelatihan
Materi Pelatihan
Metode Pelatihan
Penyelenggaran Pelatihan
Media Pelatihan
Waktu Pelatihan
Fasilitator/Instruktur
c. Lembar Observasi Keterlaksanaan Model Pelatihan
Lembar observasi keterlaksanaan model pelatihan ini diberikan kepada ahli
sebagai observer saat pelatihan berlangsung. Hal ini dilakukan untuk mengetahui
keterlaksaan model pelatihan. Di bawah ini kisi-kisi lembar observasi :
Tabel 3.10
Kisi-kisi Lembar Observasi Keterlaksanaan Model Pelatihan
Fokus Penelitian Indikator Pernyataan
Keterlaksanaan Menyampaikna tujuan pelatihan
Model Pelatihan Memotivasi peserta pelatihan
Pendahuluan
Menyampaikan tata tertib pelatihan
Mengkondisikan peserta pelatihan
Interaksi fasilitator dengan peserta
terjalin dengan baik
Pelaksanaan Materi tersampaikan dengan baik
Peserta pelatihan mengikuti pelatihan
dengan kondusif
Memberikan tugas kepada peserta
Evaluasi
Melakukan evaluasi
Tabel 3.11
Jadwal Penelitian
September Oktober November Desember
No Jenis Kegiatan
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Melakukan studi lapangan
1 untuk menemukan fokus
Penelitian
Menentukan fokus
2
Penelitian
3 Menyusun draf proposal
4 Merevisi draf proposal
5 Mengirim skema penelitian
Menyusun instrumen
4
Penelitian