Anda di halaman 1dari 26

IDENTITAS PENULIS

Nama : Daelami Ahmad, S.Ag, M.Si


Instansi Tempat Dinas : Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten
Alamat email : daelami.ahmad@gmail.com , daelami_ahmad@yahoo.com

PERGESERAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY


DI ERA INDUSTRI 4.0

A. PENDAHULUAN
Corporate Social Repsonsibility (CSR) atau lebih dikenal dengan tanggung
jawab sosial perusahaan merupakan sebuah konsep pemikiran yang menyatakan
bahwa suatu organisasi bisnis (perusahaan) memiliki tanggung jawab dalam segala
aspek operasionalnya bukan hanya kepada pemegang saham tetapi juga kepada
stake holders lainnya, yaitu kosumen, komunitas/ masyarakat, dan lingkungan
sekitarnya. Corporate Social Responsibility juga dapat dinyatakan sebagai niat baik
(good will) dan tanggung jawab korporat sekaligus interaksi sukarela korporat dengan
stake holders-nya. Dalam Corporate Social Responsibility terdapat tanggung jawab
untuk mengintegrasikan konsep Triple Bottom Line yang mencakup aspek ekonomi,
sosial, dan lingkungan.
CSR memiliki manfaat yang baik dan menguntungkan bagi korporate, salah
satunya dapat meningkatkan reputasi perusahaan. Bahkan, tindakan CSR dianggap
sebagai investasi jangka panjang. Oleh karenanya CSR juga berkaitan erat dengan
bagaimana korporat/ perusahaan menjalin komunikasi yang baik dan harmonis
dengan masyarakat untuk menumbuhkan citra dan reputasi yang baik bagi
perusahaan. Reputasi yang baik merupakan asset yang tak ternilai bagi perusahaan.
Dunia industri terus mengalami perkembangan dan tumbuh seiring dengan
berjalannya waktu, oleh karenanya muncullah istilah Revolusi Industri yang menunjuk
kepada perkembangan dan perubahan besar pada sektor industri. Seperti diketahui,
era Revolusi Industri Pertama (Revolusi Industri 1.0) terjadi pada tahun 1750-1850
ketika ditemukannya mesin uap pertama hingga abad ini yang disebut sudah
memasuki era Revolusi Industri Keempat (Revolusi Industri 4.0). Revolusi Industri 4.0
telah mengubah segala tatanan kehidupan secara radikal. Era ini juga dikenal dengan
era digital, di mana terjadi otomatisasi dalam proses bisnis dengan menggunakan
teknologi informasi dan digitalisasi. Demikian juga cara perusahaan berkomunikasi
dengan stake holders dan masyarakat pun mengalami perubahan. Pergeseran cara
berkomunikasi dan berinteraksi ini berpengaruh juga terhadap pola Corporate Social
Responsibility sebagai bentuk komunikasi perusahaan dalam membangun reputasi
perusahaan.
1
B. ISTILAH DAN PENGERTIAN CSR
Istilah Corporate Social Repsonsibility (CSR) atau Coroporate Responsibility of
Corporation (CSR) berasal dari literatur etika bisnis di Amerika Serika. Akar kata
‘corporation’ (perusahaan) berasal dari bahasa Latin ‘corpus/corpora’ yang berarti
badan (Jumadiah et al, 2018). Istilah korporasi atau perusahaan telah diadopsi dalam
bahasa Indonesia yang dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) diartikan
sebagai ‘badan usaha yang sah’, ‘badan hukum’, atau ‘perusahaan atau badan usaha
yang sangat besar atau beberapa perusahaan yang dikelola dan dijalankan sebagai
satu perusahaan besar’. Lebih lanjut Jumadiah et al (2018) menjelaskan, dilihat dari
konteks sejarah perusahaan, pada awalnya perusahaan merupakan suatu badan
hukum yang didirikan untuk melayani kepentingan umum (not for profit), namun dalam
perkembangannya justru perusahaan justru berorientasi pada mengumpulkan
keuntungan sebanyak-banyaknya (for profit). Hal inilah yang menegaskan John
Elkington’s untuk merumuskan prinsip CSR yang merujuk pada Triple Bottom Line.
Konsep tentang tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social
Responsibility) hingga saat ini ternyata belum memiliki definisi yang tunggal, namun
demikian terdapat satu hal tentang Corporate Social Responsibility yang perlu dicatat,
yaitu telah diimplementasikanya tanggung jawab perusahaan oleh perusahaan dalam
berbagai bentuk kegiatan yang didasarkan atas asas kesukarelaan dengan motivasi
yang beragam. Rumusan CSR (tanggung jawab sosial perusahaan) perusahaan dari
para ahli dan lembaga-lembaga pemerintah/ swasta sangat beragam, karena
didasarkan pada persepektif subyektifitas masing-masing, meskipun maknanya tetap
dipersamakan dengan tanggung jawab sosial perusahaan. Sebagai gambaran,
menurut Prayitno dkk. (2015), di Indonesia CSR diartikan sebagai tanggung jawab
sosial perusahaan, tanggung jawab korporasi, atau tanggung jawab sosila dunia usaha.
Sedangkan di USA, digunakan terminologi business reponsibility, corporate citizenship,
dan business citizenship untuk menunjukkan pengertian tanggung jawab sosial
perusahaan.
Para akademisi telah merumuskan istilah ‘Corporate Social Responsibility
(Tanggung Jawab Sosial Perusahaan)', namun demikian masih belum ada definisi
yang umum dan mutlak yang disepakati meskipun berbagai penelitian telah dilakukan.
Business for Social Responsibility mendefinisikan Corporate Social Responsibility
sebagai mencapai kesuksesan komersial dengan cara menghormati nilai-nilai etika
dan menghormati orang lain, komunitas, dan lingkungan alam. Sedangkan The World
Business Council for Sustainable Development mendefinisikan CSR sebagai
komitmen berkelanjutan oleh dunia bisnis untuk memberikan kontribusi dalam
pembangunan ekonomi dengan tetap memperhatikan aspek peningkatan kualitas
hidup tenaga kerja dan keluarganya, kommunitas, dan masyarakat pada umumnya
(Simson dan Taylor, 2013). Kedua definisi ini menekankan bahwa bisnis memiliki
tanggung jawab yang lebih luas terhadap masyarakat, baik secara etis, sosial, ekonomi,
dan lingkungan; dan membentuk pemahaman dasar tentang apa yang tersirat dari
2
istilah Corporate Social Responsibility (tanggung jawab sosial perusahaan).
Johnson dan Johnson sebagaimana dikutip oleh Hadi (2015) mendefinisikan CSR
sebagai: Corporate Social Responsibility (CSR) is about hiw companies manage tha
business processes to produce an overall positive impact on society. Definisi ini
menggarisbawahi tentang bagaimana perusahaan mengelola proses bisnisnya untuk
menghasilkan dampak yang positif secara luas kepada masyarakat. Definisi tersebut
pada dasarnya berangkat dari komitmen dalam mengelola perusahaan agar memiliki
dampak positif bagi diri dan lingkungannya. Kotler dan Lee (2005) mendefinisikan CSR
sebagai: corporate social responsibility is a commitment to improve community well
being through discretionary business practices and contribution of corporate resources.
Definisi ini memberikan makna CSR sebagai sebuah komitmen korporasi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di lingkungan sekitarnya melalui kebijakan
praktik bisnis dan pemberian kontribusi sumber daya korporasi. Menurut Solihin (2009),
definisi yang dikemukakan oleh Kotler dan Lee ini memberikan penekanan pada kata
‘discretionary’ yang dimaknai bahwa kegiatan CSR merupakan komitmen perusahaan
secara suka rela untuk berpartisipasi dalam meningkatkan kesejahteraan komunitas,
dan CSR itu bukanlah aktivitas bisnis yang diwajibkan oleh hukum dan perundang-
undangan sebagaimana kewajiban membayar pajak atau kewajiban mematuhi
undang-undang ketenagakerjaan. Hal lainnya, discretionary juga memberikan nuansa
bahwa dalam pelaksanaan bisnisnya, perusahaan yang melakukan aktivitas CSR
harus menaati hukum.
Di Indonesia, Corporate Social Responsibility telah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 25 tahun
2007 tentang Penanaman Modal, Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor: Per-
5/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha kecil dan Program
Bina Lingkungan khusus untuk Perusahaan-perusahaan BUMN. Dalam Penjelasan
Pasal 15 huruf b Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 disebutkan bahwa tanggung
jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap
perusahaan penanam modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi,
seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat
setempat.
Dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pada
Pasal 74 ayat (1) disebutkan bahwa perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya
di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung
jawab sosial dan lingkungan. Kemudian pada ayat (2) disebutkan bahwa kewajiban
tersebut diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan
dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Undang-undang ini tampaknya
memisahkan antara tanggung jawab sosial dengan tanggung jawab lingkungan, dan
mengarahkan CSR sebagai komitmen perusahaan terhadap pembangunan
berkelanjutan dalam rangka untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa CSR adalah komitmen usaha/bisnis
3
dan bentuk kegiatan untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat melalui
peningkatan kemampuan manusia secara individu untuk beradaptasi dengan
lingkungan dan keadaan sosial yang ada di sekitarnya, menikmati dan memanfaatkan
serta memelihara lingkungan hidupnya. Dari pengertian-pengertian CSR di atas juga
dapat diketahui dengan jelas perbedaan antara Corporate Social Responsibility (CSR)
dengan charity (sumbangan sosial). Corporate Social Responsibility harus dijalankan
dalam bentuk program dengan memperhatikan kebutuhan dan keberlanjutan program
dalam jangka panjang. Sedangkan charity (sumbangan sosial) lebih bersifat sesaat
dan berdampak sementara. Jadi, program dan sustainability (keberlanjutan)
merupakan pembeda utama antara Corporate Social Responsibility dengan Charity.
Semangat CSR ini diharapkan dapat membantu menciptakan keseimbangan antara
perusahaan, masyarakat, dan lingkungan yang melibatkan dan memerlukan
responsibility (tanggung jawab) kemitraan antara pemerintah sebagai pemegang
kebijakan dan regulasi, perusahaan sebagai pelaku bisnis, dan komunitas masyarakat
setempat yang bersifat aktif dan dinamis.
Pemahaman tentang Corporate Social Responsibility pada umumnya berkisar
pada tiga hal pokok. Pertama, CSR merupakan suatu peran yang bersifat voluntary
(suka rela). Dalam hal ini perusahaan memiliki kehendak bebas untuk melakukan atau
tidak melakukan peran dalam membantu mengatasi masalah sosila dan lingkungan.
Kedua, CSR sebagai philanthropy. Di samping sebagai institusi yang berorientasi pada
profit, perusahaan menyisihkan sebagian (filantropi) keuntungan yang diperolehnya
untuk kedermawanan yang bertujuan untuk pemberdayaan sosial dan perbaikan
kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh eksplorasi dan eksploitasi. Ketiga, CSR
sebagai bentuk kewajiban (obligation) perusahaan. Menurut pemahaman ini,
perusahaan berkewajiban untuk peduli dan mengentaskan berbagai krisis
kemanusiaan, sosial, dan lingkungan yang semakin meningkat.
Menurut Lawrence dan Weber (2014), perusahaan harus terlibat dalam
meningkatkan kehidupan masyarakat dan memiliki tanggung jawab terhadap setiap
tindakannya yang mempengaruhi orang, komunitas, dan lingkungan. Konsep ini
didasarkan pada istilah ‘tanggung jawab’ yang berarti ‘mengembalikan janji’,
menciptakan komitmen untuk memberikan kembali kepada masyarakat dan pemangku
kepentingan organisasi. Secara tersirat, kerugian orang-orang dan masyarakat harus
diakui dan dikoreksi jika memungkinkan. Alasan inilah yang mengharuskan
perusahaan melepaskan sebagian keuntungannya jika dampak sosialnya sangat
merugikan pemangku kepentingan, atau dana perusahaan dapat digunakan untuk
memberikan dampak sosial yang positif bagi masyarakat. Bertanggung jawab secara
sosial bukan berarti perusahaan harus meninggalkan tujuan lainnya. Bagaimanapun
bisnis memiliki banyak tanggung jawab, baik tanggung jawab ekonomi, hukum, dan
sosial. Dan ini merupakan tantangan bagi manajemen untuk mengintegrasikan semua
tanggung jawab itu menjadi koheren dan komprehensif.
Masalah-masalah sosial bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah
4
melalui penetapan kebijakan publiknya (public policy), tetapi menjadi juga tanggung
jawab perusahaan. Bisnis didorong untuk melakukan pendekatan yang proaktif
terhadap pembangunan berkelanjutan. Konsep Corporate Social Responsibility juga
dilandasi oleh argumentasi moral, bahwa tidak ada satu entitas perusahaan pun yang
bisa hidup sendirian dan terisolasi. Perusahaan hidup di dalam sebuah lingkungan
masyarakat. Perushaan dan bisnis dapat hidup dan tumbuh berkat adanya masyarakat,
perangkat hukum yang ada di masyarakat, infrastruktur umum, dan penegakan hukum
oleh para penegak hukum.
Menurut Rahman (2009) dalam Prayitno (2015), di Indonesia, tanggung jawab
sosial perusahaan gencar dikampanyekan oleh Indonesia Business Link (IBL).
Terdapat lima pilar aktivitas tanggung jawab sosial perusahaan. Pertama, building
human capital yang berkaitan dengan internal perusahaan untuk menciptakan sumber
daya manusia yang andal. Di sisi lain, perusahaan juga dituntut melakukan
pemberdayaan masyarakat. Kedua, strengtening economies, yang dimaknai
perusahaan harus memberdayakan ekonomi masyarakat sekitarnya agar terjadi
pemerataan kesejahteraan masyarakat. Ketiga, assesing social chesion, sebagai
upaya menjaga keharmonisan dengan masyarakat sekitar agar tidak menimbulkan
konflik. Keempat, encouraging good governance, yaitu perusahaan dalam
menjalankan bisnisnya mengacu pada Good Corporate Governence (GCG). Dan
kelima, protecting the environment yang mengharuskan perusahaan untuk menjaga
lingkungan sekitarnya.
Secara tegas dapat dikatakan bahwa CSR bermakna perusahaan memiliki tugas
moral untuk berlaku jujur, patuh dan taat hukum, menjunjung tinggi integritas, dan tidak
melakukan tindakan korupsi. Perusahaan semestinya menjalankan praktik bisnis yang
etis dan berkelanjutan baik dari segi ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Oleh
karenanya, sebagian kalangan menganggap CSR sebagai jawaban atas praktik bisnis
yang selalu mengedepankan dan berorientasi pada profit yang sebesar-besarnya,
walaupun tidak dapat dipungkiri terdapat sebagian pihak yang beranggapan bahwa
aktifitas CSR menghambat perusahaan dalam mendapatkan keuntungan sebesar-
besarnya dan memaksimalkan shareholders.

C. KONSEP DASAR CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY


Konsep dasar dari Corporate Social Responsibility adalah perusahaan memiliki
tanggung jawab terhadap lingkungan sosial di mana perusahaan itu berada, walaupun
dalam pelaksanaannya tergantung kepada kemampuan perusahaan. Demikian juga
bentuk kegiatan dari Corporate Social Repsonsibility pun bisa bermacam-macam, di
antaranya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menjaga dan memperbaiki
lingkungan, memberikan beasiswa bagi pelajar yang kurang mampu, pembangunan
dan pemeliharaan fasilitas umum dan sarana ibadah, sumbangan untuk fasilitas
msyarakat yang bersifat sosial, dan sebagainya. Tentunya perusahaan harus lebih
memprioritaskan masyarakat yang berada di lingkungan terdekat di mana perusahaan
5
itu berada dan merasakan dampak langsung dari adanya perusahaan tersebut.
Bisnis yang memiliki akar yang kuat yang peduli terhadap lingkungan sosial
sekitarnya yang tidak sekadar memburu keuntungan (profit), inilah konsep dasar dari
Corporate Social Responsibility yang belakangan ini digunakan oleh banyak
perusahaan. Menurut Lawrence dan Weber (2014), gagasan bahwa bisnis memiliki
dan memikul tanggung jawab yang luas kepada masyarakat saat mereka mengejar
tujuan ekonomi adalah kepercayaan kuno. Baik pemangku kepentingan pasar maupun
nonpasar mengharapkan bisnis bertanggung jawab secara sosial, dan banyak
perusahaan telah merespons dengan menjadikan tujuan sosial sebagai bagian dari
operasi bisnis mereka secara keseluruhan. Beberapa bisnis bahkan telah
mengintegrasikan manfaat sosial dengan tujuan ekonomi sebagai misi utama mereka.
Dulu konsep CSR dianggap sebagai cost yang ‘menghambur-hamburkan’ uang
perusahaan, namun kini CSR telah menjadi komponen penting dan diintegrasikan ke
dalam public relationship strategic. Corporate Social Relationship dipandang sebagai
investasi jangka panjang yang justru menguntungkan perusahaan, sehingga CSR
disebut-sebut sebagai emotional benefit. CSR memiliki dampak yang positif bagi
perusahaan dan masyarakat. Bagi perusahaan, ditinjau dari equitas merk, CSR akan
membantu melekatkan merk perusahaan sebagai perusahaan peduli lingkungan dan
sosial kepada konsumen/masyarakat. Sebagai catatan, keputusan
konsumen/masyarakat untuk membeli sebuah produk dari suatu perusahaan tidak
hanya ditentukan oleh keunggulan yang bersifat tangible, tetapi juga ditentukan oleh
faktor lainnya yaitu sentuhan-sentuhan intangible. CSR ini merupakan salah satu
faktor intangible yang turut mempengaruhi reputasi dan citra perusahaan di mata
masyarakat yang dapat memperkuat brand perusahaan. CSR yang dilaksanakan oleh
sebuah perusahaan juga dapat menjadi faktor diferensiasi bagi perusahana tersebut
dibandingkan dengan kompetitornya.
Menurut Jumadiah et al (2018), mengutip pendapat pakar manajemen Gurvy
Kavey dari Universitas Manchester Inggris, setiap perusahaan yang
mengimplementasikan CSR dalam aktivitas usahanya akan mendapatkan 5 (lima)
manfaat utama. Pertama, CSR akan meningkatkan profitabilitas dan kinerja finansial
yang lebih kokoh. Kedua, CSR akan meningkatkan akuntabilitas, assessment dan
komunitas investasi. Ketiga, CSR akan mendorong komitmen karyawan karena
mereka diperhatikan dan dihargai. Keempat, CSR dapat menurunkan kerentanan
gejolak dengan komunitas. Dan kelima, CSR dapat meningkatkan dan mempertinggi
reputasi dan corporate branding. Pernyataan Kavey dalam hal reputasi dan corporate
branding selaras dengan hasil riset majalah SWA atas 45 perusahaan di Indonesia
pada tahun 2006. Hasil tersebut riset menunjukkan bahwa CSR bermanfaat sebagai
berikut: (1) memelihara dan meningkatkan citra perusahaan 37,38%, (2) hubungan
yang baik dengan masyarakat 16,82%, (3) mendukung operasional perusahaan
10,28%, (4) sarana aktualisasi perusahaan dan karyawannya 8,88%, (5) memperoleh
bahan baku dan alat-alat untuk produksi perusahaan 7, 48%, (6) mengurangi
6
gangguan masyarakat pada operasional perusahaan 5,61%.
Idealnya keberadaan perusahaan seharusnya dapat memberikan manfaat bagi
masyarakat sekitarnya. Prinsip dasar CSR terletak pada pemberdayaan masyarakat
setempat yang kurang mampu agar terbebas dari kemiskinan. CSR merupakan
komitmen untuk untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui praktik bisnis.
Manfaat CSR tidak hanya dirasakan oleh pemerintah dan korporasi tetapi juga
bermanfaat bagi masyarakat, di antaranya dapat meningkatkan kapasitas sumber
daya manusia masyarakat. Demikian juga CSR dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sekitar dan kelestarian lingkungan hidup, sosial, dan budaya di sekitar
perusahaan. Intinya, CSR bermanfaat bagi masyarakat untuk mengembangkan diri
dan usahanya, sehingga sasaran untuk mencapai kesejahteraan dapat terwujud.
Pelaksanaan CSR juga memberikan manfaat bagi pemerintah. CSR yang
dilaksanakan oleh perusahaan akan menciptakan hubungan yang baik antara
pemerintah dan perusahaan dalam mengatasi berbagai masalah sosial dan
kemasyarakatan. Pun tanggung jawab dan tugas pemerintah untuk menciptakan
kesejahteraan bagi rakyatnya menjadi lebih ringan dengan adanya partisipasi pihak
swasta melalui kegiatan CSR. CSR yang secara efektif dapat mengatasi
permasalahan sosial adalah CSR yang bersifat community development, seperti
pemberian beasiswa, pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin, pembangunan
sarana kesehatan dan sebagainya.

D. PERKEMBANGAN KONSEP CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY DARI


MASA KE MASA
Corporate Social Responsibility memiliki akar sejarah yang cukup panjang. Hal
ini dapat diketahui dari Revolusi Industri yang terjadi pada akhir 1800-an, meskipun
perkembangan pemikiran dan konsep CSR sebagian besar merupakan produk abad
ke dua puluh, terutama dari awal 1950-an hingga saat ini. Seperti diketahui, hingga
dekade pertama tahun 2000-an, implementasi CSR di banyak perusahaan
diintegrasikan penuh dengan manajemen strategis dan tata kelola perusahaan. Hal ini
menjadikan CSR sebagai isu yang meluas dan banyak dibahas oleh stakeholders.
Menurut Marnelly (2012) dalam penelitiannya, istilah Corporate Social Responsibility
(CSR) menjadi populer setelah kehadiran buku Cannibals With Forks: The Triple
Bottom Line in 21st Century Business karya John Elkington pada tahun 1998,
walaupun istilah CSR sendiri sudah digunakan sejak tahun 1970-an.
Carroll (2008) membagi fase perkembangan Corporate Social Responsibility
menjadi beberapa fase sebagai berikut: fase sebelum tahun 1950, fase pada tahun
1950-an, fase pada tahun 1960-an, fase pada tahun 1970-an, fase pada tahun 1980-
an, fase pada tahun 1990-an, dan fase abad 21.
1. CSR Sebelum Tahun 1950
Pada masa ini Amerika sedang dalam pertumbuhan yang begitu pesat yang
ditandai dengan banyaknya perusahaan-perusahaan raksasa yang muncul dan
7
hidup berdampingan dengan masyarakat. Pada saat itu, banyak perusahaan besar
menyalahgunakan kekuasaan mereka dengan melakukan diskriminasi harga,
perlakuan buruk terhadap buruh, dan perilaku lainya yang menyalahi moralitas dan
kemanusiaan. Menurut Carrol (2008), titik awal perkembangan CSR sebelum tahun
1950 tidak lepas dari Revolusi Industri yang terjadi pada abad 18. Perkembangan
bisnis pada pertengahan hingga akhir 1800-an berkembang dengan pesat. Bisnis
yang sedang berkembang saat itu sangat memperhatikan karyawan dan
bagaimana membuat mereka menjadi pekerja yang lebih produktif. Pada masa ini
terkadang sulit untuk membedakan apa yang dilakukan organisasi untuk alasan
bisnis, yaitu membuat pekerja lebih produktif, dan apa yang dilakukan organisasi
untuk alasan sosial, yaitu membantu memenuhi kebutuhan mereka dan
menjadikan kehidupan mereka lebih baik. Isu utama yang menjadi topik kritik
terhadap sistem industri/ pabrik yang muncul di Inggris Raya dan Amerika Serikat
saat itu adalah mengenai pekerja wanita dan anak-anak. Para reformis di kedua
negara tersebut menganggap sistem industri/ pabrik sebagai sumber berbagai
masalah sosial, di antaranya kerusuhan buruh, kemiskinan, pemukiman kumuh,
kemiskinan, dan pekerja anak dan wanita. Gerakan perbaikan kesejahteraan
industri pada periode awal ini sudah mulai dilakukan oleh para pelaku industri.
Gerakan ini bertujuan untuk mencegah masalah perburuhan dan meningkatkan
kinerja dengan mengambil tindakan yang dapat diartikan sebagai bisnis dan sosial,
misalnya penyediaan klinik rumah sakit, ruang makan siang, pembagian
keuntungan, fasilitas rekreasi, dan praktik semacam itu lainnya.
Selain kepedulian terhadap karyawan, filantropi muncul pada akhir 1800-an.
Banyak dari pemimpin bisnis pada awal periode ini sangat murah hati, dan filantropi
oleh para pebisnis sudah dimulai sejak berabad-abad sebelumnya seperti
membangun gereja, kurator seni, penyandang dana lembaga pendidikan, dan
penyedia dana untuk berbagai proyek komunitas. Pengusaha individu dan pemilik
bisnis yang selama bertahun-tahun memberikan dana mereka sendiri untuk
mendukung tujuan sosial tersebut dapat dikategorikan sebagai Social
Responsibility (SR) atau tanggung jawab sosial.
Filantropi, atau kontribusi perusahaan, berperan sentral dalam
pengembangan CSR sejak awal periode ini. Robert Hay dan Ed Gray (1974) dalam
Carroll (2008) menyebut periode awal ini sebagai fase profit maximizing
management (manajemen yang memaksimalkan keuntungan) dalam
perkembangan tanggung jawab sosial. Fase ini disebut sebagai fase trusteeship
management (manajemen perwalian) yang muncul pada tahun 1920-an dan 1930-
an sebagai akibat dari perubahan yang terjadi dalam bisnis dan masyarakat. Dalam
perwalian, manajer perusahaan bertanggung jawab untuk memaksimalkan
kekayaan pemegang saham serta menciptakan dan memelihara keseimbangan
yang adil antara konsumen, karyawan, dan masyarakat. Dengan demikian,
manajer mulai dipandang sebagai 'wali' bagi berbagai kelompok dalam
8
hubungannya dengan bisnis dan tidak hanya dipandang sebagai agen perusahaan.
Perubahan ini disebabkan oleh meningkatnya difusi kepemilikan saham dan
kondisi sosial masyarakat yang semakin pluralistik.
Menurut Post, Weber, dan Lawrence (2002) dalam Cahya (2014), sejak kurun
waktu tahun 1930-an sampai periode tahun 1960-an terdapat tiga cara
pandang yang saling berkaitan untuk menjelaskan tanggung jawab sosial
korporasi yang digunakan oleh para pemimpin bisnis, yaitu trusteeship, balancing
of interest, and service. Dalam pandangan ini manajer dianggap berperan sebagai
sebagai wakil dari berbagai pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan, oleh
sebab itu manajer harus mempertimbangkan berbagai kebijakan perusahaan. Post,
Lawrence, dan Weber menyebutnya sebagai stewardship principle, yang dalam
prinsip ini manajer dianggap sebagai wali publik yang mengendalikan sumber daya
dalam jumlah yang sangat besar dan penggunaan sumber daya tersebut akan
berpengaruh terhadap berbagai pihak. Perbedaan antara charity principle dengan
stewardship principle adalah sebagai berikut:
a) Perusahaan diharapkan melakukan berbagai aktifitas yang tidak hanya baik
untuk perusahaan tetapi juga baik untuk lingkungan sekitarnya. Sebagai pihak
yang dipercaya oleh masyarakat untuk mengelola berbagai sumber daya,
perusahaan diharapkan dapat menghasilkan produk yang berguna bagi para
konsumen serta bisa memberikan dampak positif bagi para pemangku
kepentingan.
b) Para manajer memiliki kewajiban untuk menyeimbangkan kepentingan berbagai
konstituen utama perusahaan. Mereka juga bertindak sebagai koordinator yang
melakukan rekonsiliasi atas beragam tuntutan yang diajukan berbagai kelompok
terhadap perusahaan. Dalam kaitan ini manajer setidaknya memiliki dua jenis
tanggung jawab sosial, yakni operational responsibilities dan citizen
responsibilities. Operational responsibilities dapat dipandang sebagai berbagai
standar yang harus dicapai oleh perusahaan dalam melaksanakan usahanya
secara formal, yang mencakup perlindungan terhadap kesehatan dan
keselamatan pekerja, perlakuan yang adil terhadap karyawan, dan sebagainya.
Sedangkan citizen responsibilities mencakup berbagai tanggung jawab
perusahaan terhadap masyarakat, seperti memelihara lingkungan hidup,
menyediakan produk berkualitas dengan harga terjangkau, membayar pajak dll.
c) Manajer memiliki tanggung jawab unutuk melayani masyarakat. Dalam hal ini
terdapat suatu keyakinan bahwa manajer berkewajiban untuk melaksanakan
serangkaian program sosial dalam rangka memberikan manfaat bagi
masyarakat.
2. CSR pada tahun 1950-an
Gaung Social Responsibility semakin menggema pada tahun 1950-an. Hal ini
dikarenakan persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang semula kurang
mendapat perhatian, mulai mendapatkan perhatian lebih luas dari berbagai
9
kalangan. Menurut Jumadiah et al (2018), konsep awal tanggung jawab sosial
(social responsibility) dari suatu perusahaan secara eksplisit baru dikemukakan
oleh Howard R. Bowen melalui karyanya “Social Responsibilities of the
Businessmen”. Terdapat dua hal penting yang perlu dicatat tentang CSR pada era
ini. Pertama, ketika Bowen menulis buku ini, dunia bisnis pada saat itu belum
mengenal bentuk perusahaan korporasi sebagaimana yang dipahami sekarang ini.
Kedua, judul buku Bowen masih menyiratkan bias gender, karena pada saat itu
pelaku bisnis, khususnya di Amerika, masih didominasi oleh kaum pria. Bowen
memberikan rumusan tanggung jawab sosial sebagai berikut: “it refers to the
obligations of businessmen to pursue those policies, to make those decisions, or
tofollow those lines of action which are desireable in terms of the objectives and
values of our society”. Definisi tanggung jawab sosial yang diberikan oleh
Bowen telah memberi landasan awal bagi pengenalan kewajiban pelaku bisnis
untuk menetapkan tujuan bisnis yang selaras dengan tujuan dan nilai-nilai
masyarakat.
Menurut Carroll (2008), buku Bowen secara khusus mengupas doktrin social
responsibility (tanggung jawab sosial). Tanggung jawab sosial dalam pandangan
Bowen bukanlah obat mujarab untuk menyelesaikan semua masalah sosial bisnis.
Tetapi, bagaimanapun tanggung jawab sosial mengandung kebenaran penting
yang akan memandu bisnis di masa depan. Karena karya awal dan pemikiran yang
fenomenal ini, Howard Bowen layak disebut sebagai ‘Father of Corporate Social
Responsibility’, Bapak Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Buku dan definisi
Bowen ini mewakili literatur paling penting dari tahun 1950-an.
Pada dekade 1950-an ini wacana tentang CSR sudah mulai banyak
dibicarakan walaupun aksi untuk pelaksanaan CSR masih terbatas. Pada periode
ini sudah mulai terjadi perubahan sikap dan pandangan dari para eksekutif tentang
CSR. Bagaimanapun Bowen telah meletakkan dasar pemikiran penting tentang
CSR yang kemudian direfleksikan dalam sejumlah strategi manajemen dan
menjadi praktik standar pengelolaan Corporate Social Responsibility saat ini.
3. CSR pada tahun 1960-an
Dekade 1960-an ditandai dengan perkembangan pemikiran dan konsep CSR
dari para akademisi yang telah berupaya untuk mendefinisikan CSR secara lebih
luas. Salah satu penulis pertama dan menonjol yang memiliki kontribusi besar
tentang pemikiran CSR adalah Keith Davis. Menurut Jumadiah et al (2018), Keith
Davis menambahkan dimensi lain bagi tanggung jawab sosial perusahaan
dengan rumusan definisi sebagai berikut: “businessmens decisions and actions
taken for reasons at least partially beyond the firm’s direct economic or technical
interest”. Rumusan Davis tersebut menggambarkan adanya tanggung jawab sosial
perusahaan selain tanggung jawab ekonomi semata. Pandangan Davis tersebut
menjadi sangat relevan pada masa itu karena pandangan tanggung jawab sosial
masih sangat didominasi oleh para ekonom klasik yang memandang bahwa para
10
pelaku bisnis memiliki tanggung jawab sosial apabila mereka berhasil melakukan
efisensi setinggi mungkin untuk menghasilkan produk barang dan jasa yang
diperlukan oleh masyarakat dengan harga yang dapat dijangkau oleh masyarakat
dan masyarakat bersedia membayar harga tersebut. Dan bila proses tersebut
berjalan dengan baik, maka perusahaan akan memperoleh keuntungan maksimum
dan dapat melanjutkan tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat dengan cara
menghasilkan produk dengan harga rasional dan terjangkau, menciptakan
lapangan kerja, memberikan profit bagi faktor-faktor produksi, dan memberikan
kontribusi kepada Pemerintah melalui pajak.
Pada saat itu, konsep ini telah mengakibatkan sebagian pihak yang terlibat
dalam aktivitas bisnis maupun para teoritisi ekonomi klasik berkesimpulan bahwa
satu-satunya tujuan utama perusahaan adalah meraih laba semaksimal mungkin,
serta menjalankan operasi perusahaan sesuai dengan hukum dan undang-undang
yang berlaku. Setelah itu, Davis memperkuat argumennya dengan menegaskan
adanya “Iron Law Responsibility”. Berkaitan dengan ini Davis menyatakan: “Social
responsibilities of businessmen need to be commensurate with their social
power…then the avoidance of social responsibility leads to gradual erosion of social
power” (tanggung jawab sosial para pelaku bisnis akan sejalan dengan
kekuasaan sosial yang mereka miliki….oleh karenanya apabila para pelaku usaha
mengabaikan tanggung jawab sosialnya maka hal ini bisa mengakibatkan
merosotnya kekuatan sosial perusahaan). Argumen-argumen yang dibangun oleh
Davis menjadi cikal bakal bagi identifikasi kewajiban perusahaan yang akan
mendorong munculnya konsep CSR di era tahun 1970-an. Selain itu, konsepsi
Davis mengenai “Iron Law of Responsibility” menjadi acuan bagi pentingnya
reputasi dan legitimasi publik atas keberadaan suatu perusahaan (Jumadiah,
2018).
Davis (1960) dalam Carroll (2008) menjelaskan bahwa tanggung jawab sosial
adalah ide yang masih samar, tetapi ide tersebut harus dilihat dalam konteks
manajerial. Beberapa keputusan bisnis tentang tanggung jawab secara sosial
memiliki peluang bagus untuk meraih keuntungan ekonomi dalam jangka panjang
bagi perusahaan, sehingga perusahaan dapat membayarnya kembali dalam
bentuk tanggung jawab sosial. Pandangan Davis ini menjadi umum diterima pada
akhir 1970-an dan 1980-an. Kontribusi Davis untuk definisi awal CSR begitu
penting sehingga ia dianggap sebagai orang kedua setelah Howard Bowen yang
dijuluki ‘Father of Corporate Social Responsibility’.
Kontributor lainnya yang berpengaruh tentang definisi awal tanggung jawab
sosial adalah William C. Frederick (1960, 1978, 1998). Salah satu pandangannya
menyatakan: One of his views is stated below: Social responsibility in the final
analysis implies a public posture toward society’s economic and human resources
and a willingness to see that those resources are utilized for broad social ends and
not simply for the narrowly circumscribed interests of private persons & firms
11
(tanggung jawab sosial dalam analisis akhir menyiratkan sikap publik terhadap
sumber daya ekonomi dan manusia masyarakat dan kesediaan untuk melihat
bahwa sumber daya tersebut digunakan untuk tujuan sosial yang luas dan bukan
hanya untuk kepentingan pribadi yang dibatasi secara sempit dan perusahaan).
Filantropi terus menjadi manifestasi CSR yang paling nyata selama tahun
1960-an. Bahkan, Muirhead (1999) dalam Carroll (2008) mengkategorikan periode
dari pertengahan 1950-an hingga pertengahan 1980-an sebagai periode ‘growth
and expansion of corporate contributions’ (pertumbuhan dan perluasan kontribusi
perusahaan). Menjelang akhir tahun 1960-an, praktik bisnis yang dapat
dikategorikan sebagai tanggung jawab sosial semakin luas mencakup topik-topik
seperti filantropi, peningkatan kesejahtraan karyawan (kondisi kerja, hubungan
industrial, kebijakan personalia), hubungan pelanggan dan pemegang saham.
4. CSR pada 1970-an
Tahun 1970-an merupakan era di mana mulai banyak pemikiran yang
menunjukkan pentingnya pendekatan manajerial untuk CSR. Pendekatan
manajerial CSR adalah pendekatan di mana manajer bisnis menerapkan fungsi
manajemen tradisional untuk menangani masalah CSR. Oleh karena itu,
perusahaan disarankan untuk memperkirakan dan merencanakan CSR, mengatur
CSR, menilai kinerja sosial, dan melembagakan kebijakan dan strategi sosial
perusahaan. Seperti era sebelumnya, terdapat lebih banyak pembahasan terutama
di kalangan akademisi daripada tindakan di pihak perusahaan.
Banyak pemikiran-pemikiran yang berkembang tentang CSR pada masa ini,
salah satunya adalah Morrell Heald. Pandangan Morrell Heald tentang CSR
tertuang dalam bukunya The Social Responsibilities of Business: Company and
Community 1900–1960. Meskipun Heald tidak memberikan definisi yang ringkas
tentang konsep tanggung jawab sosial, jelas bahwa pemahamannya tentang istilah
itu sesuai dengan definisi yang disajikan selama tahun 1960-an dan sebelumnya.
Heald menegaskan bahwa dia prihatin dengan gagasan tanggung jawab sosial
'seperti yang telah didefinisikan dan dialami oleh para pengusaha sendiri'. Dia
melanjutkan dengan mengatakan bahwa 'makna konsep tanggung jawab sosial
bagi pengusaha akhirnya harus dicari dalam kebijakan aktual yang terkait dengan
mereka'. Ia berpandangan bahwa pebisnis selama periode ini secara signifikan
disibukkan oleh filantropi perusahaan dan hubungan masyarakat.
Pandangan selanjutnya, sebagaimana dijelaskan oleh Carroll (2008), Harold
Johnson dalam bukunya Business in Contemporary Society: Framework and
Issues (1971), menyajikan konsep yang disebut sebagai conventional wisdom
(kebijaksanaan konvensional). Menurutnya, perusahaan yang bertanggung jawab
secara sosial adalah perusahaan yang staf manajerialnya dapat menyeimbangkan
berbagai kepentingan. Alih-alih berjuang hanya untuk keuntungan yang lebih besar
bagi pemegang sahamnya, perusahaan yang bertanggung jawab juga
memperhitungkan karyawan, pemasok, dealer, komunitas lokal, dan negara.
12
Selanjutnya, kontribusi konsep CSR datang dari Committee for Economic
Development (CED) dalam publikasinya pada tahun 1971 yang berjudul Social
Responsibilities of Business Corporations. CED memandang bahwa fungsi bisnis
dan tujuan dasarnya adalah untuk melayani kebutuhan masyarakat secara
konstruktif untuk memenuhi kepuasan masyarakat. CED mencatat bahwa kontrak
sosial antara bisnis dan masyarakat berubah secara substansial dan penting.
Bisnis dituntut untuk memikul tanggung jawab yang lebih luas kepada masyarakat
daripada sebelumnya dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Perusahaan
bisnis dituntut untuk memberikan kontribusi lebih banyak pada kualitas kehidupan
masyarakat daripada hanya memasok barang dan jasa dalam jumlah banyak.
Karena bisnis itu ada untuk melayani masyarakat, maka masa depan bisnis akan
bergantung pada kualitas respons manajemen terhadap perubahan harapan publik.
CED selanjutnya mengartikulasikan gagasan Three Concentric Circles Notion
of Responsibility (tiga lingkaran konsentris tentang tanggung jawab sosial), yaitu
(Carroll, 2008):
a) The inner circle of responsibility (lingkaran tanggung jawab terdalam), yang
meliputi tanggung jawab dasar perusahaan dalam melaksanakan fungsi
ekonomi yang efisien, baik dari segi produksi, pelaksanaan pekerjaan, dan
pertumbuhan ekonomi;
b) The intermediate circle of responsibility (lingkaran tanggung jawab
pertengahan) yang mencakup tanggung jawab perusahaan untuk menjalankan
fungsi ekonomi namun di satu sisi juga memiliki kesadaran tentang terhadap
perubahan nilai-nilai dan prioritas sosial, misalnya terlibat dan perhatian
terhadap pelestarian lingkungan, menjalin hubungan industrial yang baik
dengan karyawan, meningkatnya ekspektasi konsumen untuk memperoleh
informasi produk, perlakuan yang adil terhadap karyawan, dan jaminan
keselamatan kerja;
c) The outer circle of responsibility (lingkaran tanggung jawab terluar), yang
mencakup kewajiban dan tanggung jawab perusahaan untuk terlibat secara
aktif dalam meningkatkan lingkungan kualitas sosial.
Beberapa ahli seperti Frederick dan Sethi mengajukan kritik terhadap konsep
CSR. Frederick dan Sethi memandang konsep CSR tidak memberikan arahan
yang cukup tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh perusahaan dalam
menghadapi masalah atau tekanan dari masyarakat. Konsep CSR hanya
menjelaskan kewajiban perusahaan terhadap masyarakat sebagaimana yang
dijabarkan dalam konsep CSR. Sebagai alternatif, Frederick dan Sethi
menawarkan konsep Corporate Social Responsiveness. Menurut Frederick yang
dimaksud dengan corporate social responsiveness adalah “the capacity of a
corporation to respond social pressures” (Jumadiah, 2018).
Carroll mengusulkan empat kategori CSR yang tercantum dalam model
Corporate Social Performance (CSP). Tanggung jawab sosial bisnis mencakup
13
aspek ekonomi, hukum, etika, dan pilihan yang dimiliki masyarakat terhadap
organisasi pada titik waktu tertentu (Carroll, 2008). Dari pernyataan Carroll tersebut
dapat diketahui bahwa terdapat empat komponen tanggung jawab sosial
perusahaan, yaitu tanggung jawab ekonomi (economic responsibilities), tanggung
jawab etis (ethical responsibilities), tanggung jawab hukum (legal responsibilities),
dan tanggung jawab dikresi (discretionary responsibilities). Masing-masing
komponen tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Economic Responsibilities. Tanggung jawab ekonomi merupakan tanggung
jawab utama dari perusahaan. Bagaimanapun perusahaan bisnis merupakan
pusat aktivitas ekonomi yang berorientasi pada profit yang menghasilkan barang
dan jasa bagi masyarakat;
b) Legal Responsibilities. Walaupun berorientasi pada profit, bisnis harus
dijalankan dengan tetap menaati hukum dan peraturan yang berlaku, karena
hukum dan peraturan pada hakikatnya dibuat oleh masyarakat melalui lembaga
legislatif yang dipilih oleh masyarakat. Bentuk ketaatan pada hukum dan
peraturan yang berlaku bisa berbentuk ketataan perusahaan dalam membayar
pajak, retribusi, kelengkapan perizinan, penerapan peraturan ketenagakerjaan
dan hubungan industrial di perusahaan, dan sebagainya.
c) Ethical Responsibilities. Tanggung jawab etis merupakan tanggung jawab
perusahaan untuk selalu memperhatikan dan menjunjung tinggi nilai-nilai etis
dalam menjalankan bisnisnya. Etika bisnis merupakan refleksi moral yang
dilakukan oleh pelaku bisnis, baik secara perorangan maupun kelembagaan.
Tanpa etika dalam berbisnis, persaingan antarperusahaan menjadi tidak sehat,
konsumen dirugikan, terjadi pencemaran lingkungan, timbulnya praktik monopoli
perdagangan, dan sebagainya.
d) Discretionary Responsibilities. Tanggung jawab diskresi merupakan tanggung
jawab yang didorong oleh keinginan dari perusahaan untuk memberikan
kontribusi sosial kepada masyarakat. Perusahaan diharapkan dapat
memberikan kontribusi positif dan manfaat bagi masyarakat dan lingkungan.
Kontribusi dan manfaat bagi masyarakat tersebut diimplementasikan dalam
program-program kegiatan yang bersifat filantropis, misalnya pembangunan
sarana dan fasilitas umum, beasiswa pendidikan, pembangunan tempat ibadah,
dan lain-lain.
Definisi dasar CSR Carroll yang mencakup tanggung jawab ekonomi, hukum,
etika, dan kebijaksanaan/ filantropi tersebut kemudian digambarkan sebagai
pyramid of CSR (piramida CSR) dengan tanggung jawab ekonomi yang menjadi
dasar atau fondasi piramida. Konsep Corporate Social Performance (CSP)
mengintegrasikan konsep CSR ke dalam model tiga dimensi, yaitu dimensi
tanggung jawab sosial (ekonomi, hukum, etika, dan dsicretionary), dimensi
kemampuan perusahaan dalam memberikan respon (responsiveness) terhadap isu
sosial, dan dimensi dalam isu sosial tempat perusahaan ikut terlibat, misalnya
14
lingkungan, diskriminasi, keamanan produk, serta keselamatan pekerja dan
pemegang saham (Carroll, 2008).
Kemudian Konsep CSP disempurnakan oleh Wartick dan Cochran yang
menambahkan pentingnya pengukuran dampak pelaksanaan CSR terhadap
stakeholder, karena bagaimanapun dana yang digunakan untuk melaksanakan
aktivitas CSR berasal dari dana pemegang saham yang harus
dipertanggungjawabkan oleh manajer perusahaan. Sehingga, konsep Corporate
Social Performance menurut rumusan Wartick dan Cochran (1985) menjadi: A
business organizations’s configuration of principles of social responsibility,
process of social responsiveness, and policies, programs and observable
outcomes as they relate to the firms’s societal relationships. Hal mendasar yang
ingin dicapai melalui konsep Corporate Social Performance adalah agar aktifitas
CSR bukan semata-mata aktifitas perusahaan yang bersifat sukarela, tetapi juga
dapat diukur dampaknya terhadap peningkatan kinerja keuangan perusahaan.
5. CSR pada tahun 1980-an
Pengembangan definisi baru tentang CSR pada 1980-an memberikan
peluang untuk penelitian tentang CSR dan konsep alternatif, seperti respon sosial
perusahaan, kinerja sosial perusahaan, kebijakan publik, etika bisnis, dan
stakeholders. Pada era ini muncul dua tema alternatif penting untuk CSR, yaitu
teori stakeholders (pemangku kepentingan) dan etika bisnis. R. Edward Freeman
menerbitkan buku klasiknya tentang stakehoders (teori pemangku kepentingan)
pada tahun 1984. Meskipun buku itu lebih fokus pada manajemen strategis, tetapi
buku itu memiliki dampak substansial di tahun-tahun berikutnya di bidang bisnis
dan masyarakat, tanggung jawab sosial perusahaan, dan etika bisnis. Pada era
1980-an ini makin banyak perusahaan yang menggeser konsep philantropis-nya
ke arah community development. Kegiatan kedermawanan yang sebelumnya
kental dengan kedermawanan ala Robin Hood makin berkembang ke arah
pemberdayaan masyarakat, misalnya pengembangan kerja sama, memberikan
keterampilan, pembukaan akses pasar, hubungan inti plasma, dan sebagainya.
Pada tahun 1987, The World Commission on Environment and
Development yang lebih dikenal dengan The Brundtland Commission merilis
laporan yang dipublikasikan oleh Oxford University Press berjudul “Our Common
Future”. Komisi tersebut disebut The Brundtland Commission, sesuai dengan nama
ketua komisinya yaitu Gro Harlem Brundtland. The Brundtland Commission
dibentuk untuk menyikapi keperihatinan para pemimpin dunia atas kerusakan
lingkungan hidup dan sumber daya alam yang semakin meningkat serta
mencermati dampak kerusakan lingkungan hidup dan sumber daya alam terhadap
ekonomi dan pembangunan sosial. Konsep sustainability development yang
diusung oleh The Brundtland Commission tersebut dibangun di atas tiga pilar yang
saling berhubungan, yaitu sosial, ekonomi, dan lingkungan yang ditegaskan
kembali dalam United Nations 2005 World Summit Outcome Document.
15
Pembangunan berkelanjutan (sustainability development) didefinisikan sebagai:
“Sustainable development is development that meets the needs of the present
without compromising the ability of future generations to meet their own needs”
(pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi
kebutuhan manusia saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang
akan datang dalam memenuhi kebutuhan mereka). Konsep tersebut mengandung
dua ide utama (Jumadiah, 2018), yaitu:
a) Untuk melindungi lingkungan dibutuhkan pembangunan ekonomi yang baik.
Kemiskinan dianggap sebagai penyebab menurunnya kualitas lingkungan.
Masyarakat yang kesulitan dan kekurangan pangan, perumahan, dan kebutuhan
dasar hidup lainnya lebih cenderung menyalahgunakan sumber daya alam
hanya untuk bertahan hidup, oleh karenanya perlindungan terhadap lingkungan
hidup membutuhkan standar hidup yang memadai bagi masyarakat;
b) Demikian juga pembangunan ekonomi harus memperhatikan keberlanjutan,
yakni dengan cara melindungi sumber daya yang dimiliki bumi bagi generasi
mendatang. Dengan demikian, dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi
yang tinggi tidak dapat dibenarkan dengan cara merusak hutan, lahan pertanian,
air, dan udara yang sangat dibutuhkan untuk mendukung kehidupan manusia di
planet bumi ini.
6. CSR pada tahun 1990-an
Secara umum dapat dikatakan bahwa pada periode ini kontribusi terhadap
konsep CSR sangat sedikit. Tema-tema menonjol yang terus berkembang dan
menjadi pusat perhatian pada tahun 1990 antara lain kinerja sosial perusahaan
(coporate social performance/CSP), teori stakeholders, etika bisnis, keberlanjutan,
dan corporate citizenship. Konsep corporate citizenship merupakan konsep yang
menonjol di samping CSR. Meskipun corporate citizenship pada awalnya
didefinisikan untuk istilah lingkungan hidup, konsep itu kemudian berkembang dan
meluas yang mencakup isu lingkungan sosial dan pemangku kepentingan yang
yang lebih besar.
Istilah CSR yang telah digunakan sejak tahun 1970-an menjadi semakin
populer pada tahun 1990-an setelah John Elkington mengembangkan konsep
Triple Bottom Line. Menurut Wibisono (2007), Elkington dalam bukunya Cannibal
with Fork, The Triple Bottom Line of Twentieth Century Business mengembangkan
konsep Triple Bottom Line dalam istilah economic prosperity, environmental quality,
dan sosial justice. Elkington berpandangan bahwa perusahaan yang ingin
berkelanjutan harus memperhatikan 3P (Profit, People, Planet). Dalam hal ini
perusahaan tidak lagi dihadapkan hanya pada tanggung jawab yang bertumpu
pada single bottom line (aspek ekonomi), namun juga harus memperhatikan aspek
sosial dan lingkungan. Hubungan yang ideal antara profit (keuntungan), people
(masyarakat), dan planet (lingkungan) Hubungan yang idel antara profit
(keuntungan), people (masyarakat), dan planet (lingkungan) harus seimbang.
16
Salah satu elemen tidak bisa mendominasi elemen lainnya, atau hanya salah satu
elemen saja yang dipentingkan. Konsep 3P dari Elkington ini diyakini dapat
menjamin keberlangsungan bisnis suatu perusahaan.
Menurut Carroll (2008), selama akhir 1980-an hingga 1990-an, filantropi
berkembang dengan pesat. Banyak perusahaan global yang muncul, tanggung
jawab sosial perusahaan dan urusan publik/masyarakat menjadi hal yang biasa.
Konsep baru, seperti investasi sosial global, reputasi perusahaan, kemitraan
komunitas, kebijakan sosial perusahaan, dan lain-lain, menjadi sesuatu yang
penting di perusahaan besar. Pada masa ini sudah muncul banyak inisiatif CSR.
Penerima manfaat dari inisiatif CSR sudah mulai meluas yang meliputi pendidikan,
budaya dan seni, kesehatan dan layanan manusia, sipil dan masyarakat, donatur
internasional, mitra masyarakat, dan mitra LSM.
Selama tahun 1990-an banyak dari penerima manfaat ini telah menjadi global.
Kemajuan CSR yang paling signifikan pada tahun 1990-an datang dari bidang
praktik bisnis. Pada tahun 1992, sebuah organisasi nirlaba bernama Business for
Social Responsibility (BSR) dibentuk untuk mewakili inisiatif dan profesional yang
bertanggung jawab atas CSR di perusahaan mereka. BSR adalah organisasi global
yang membantu perusahaan anggota mencapai kesuksesan komersial dengan
cara menghormati nilai-nilai etika, masyarakat, dan lingkungan. Melalui kebijakan
dan praktik bisnis yang bertanggung jawab secara sosial, perusahaan dapat
mencapai pertumbuhan berkelanjutan yang menguntungkan stakeholders dan juga
pemegang saham. Dengan menyediakan alat, pelatihan, dan layanan konsultasi,
BSR memungkinkan anggotanya untuk meningkatkan CSR sebagai keunggulan
kompetitif. Selain pertumbuhan dan penerimaan BSR, tren besar lain yang menjadi
ciri tahun 1990-an dan berlanjut hingga saat ini adalah munculnya banyak
perusahaan yang telah mengembangkan reputasi yang sangat baik dalam praktik
CSR.
7. Konsep CSR pada Abad Kedua Puluh Satu
Konsep CSR pada periode ini lebih menitikberatkan pada nilai-nilai
masyarakat secara berkelanjutan. Pada perkembangan selanjutnya, konsep
tanggung jawab sosial adalah pembangunan berkelanjutan dari segala aspek oleh
para pemangku kepentingan. Selama kurun waktu 20 tahun sebelumnya, terutama
pada tahun 2000-an, gerakan CSR telah menjadi fenomena global. Menurut Carroll
(2008), dari sudut pandang bisnis, minat terhadap ‘CSR best practices’ (praktik
terbaik CSR) menjadi pusat perhatian. Sebuah buku penting yang memberikan
petunjuk tentang praktik terbaik CSR yang diperuntukkan bagi para pebisnis ditulis
oleh Philip Kotler dan Nancy Lee pada tahun 2005. Kotler dan Lee menunjukkan
bagaimana pendekatan CSR membentuk cara baru dalam melakukan bisnis yang
menggabungkan keberhasilan dan nilai-nilai sikap menghormati dan proaktif
terhadap pemangku kepentingan. Kotler dan Lee menyajikan 25 praktik terbaik
yang dapat membantu perusahaan dengan program CSR mereka. Menurut Kotler
17
dan Lee (2011), praktik-praktik terbaik ini dikategorikan ke dalam enam jenis inisiatif
sosial utama yang meliputi: (1) cause promotion, yakni meningkatkan kesadaran
dan kepedulian terhadap penyebab sosial; (2) cause-related marketing, yakni
berkontribusi pada penyebab berdasarkan penjualan; (3) corporate social
marketing, yakni inisiatif perubahan perilaku; (4) corporate philanthropy, yakni
berkontribusi langsung pada tujuan; (5) corporate philanthropy, yakni karyawan
menyumbangkan waktu dan bakat di masyarakat); dan (6) socially responsible
business practices, yakni praktik diskresi dan investasi untuk mendukung tujuan.
Dari tren dan praktik CSR terlihat jelas bahwa tanggung jawab sosial memiliki
komponen etika atau moral serta komponen bisnis. Dalam persaingan global yang
ketat saat ini, CSR hanya dapat berkelanjutan selama terus memberikan nilai
tambah bagi keberhasilan perusahaan. Akan tetapi harus diperhatikan juga bahwa
masyarakat atau publik memegang peranan yang semakin penting dalam
membentuk bisnis yang sukses. Oleh karena itu, CSR memiliki masa depan yang
cerah di arena bisnis global. Namun, tekanan persaingan global akan terus
meningkat, dan ini akan menentukan bahwa kasus bisnis untuk CSR akan selalu
menjadi pusat perhatian.

E. CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY DAN REPUTASI PERUSAHAAN


Corporate Social Responsibility saat ini menjadi salah satu tema yang paling
banyak diperbincangkan dalam dunia bisnis maupun akademis. Krisis keuangan dan
ekonomi global telah mendorong topik ini ke permukaan. Tanggung jawab bisnis
terhadap masyarakat telah dipertanyakan, karena krisis tersebut terutama disebabkan
oleh distribusi instrumen keuangan yang salah, praktik pemberian pinjaman yang
meragukan, dan keputusan bisnis yang semata-mata didorong oleh maksimalisasi
keuntungan jangka pendek. Akibatnya, timbul krisis kepercayaan pada bisnis di tingkat
global. Edelman (2013) dalam surveinya menyebutkan bahwa hanya 58% dari lebih
dari 31.000 orang di 26 negara menyatakan bahwa mereka memiliki kepercayaan
terhadap dunia bisnis. Yang lebih mengejutkan lagi, para responden tidak
menyalahkan pemerintah dan kurangnya kontrol atas perusahaan atas krisis tersebut.
Sebaliknya, insentif yang salah untuk manajer, korupsi dan penyuapan,
ketidakmampuan, dan kurangnya transparansi dianggap sebagai penyebab dominan
krisis.
Dunia usaha merupakan bagian dari komunitas masyarakat dan memiliki
tanggung jawab sosial yang sama dengan masyarakat. Namun, pada kenyataannya
tidak dapat dipungkiri bahwa peran bisnis selama ini baru sebatas pada pemberian
dukungan dana secara suka rela (voluntary) dan kedermawanan (philanthropy) yang
manfaatnya kurang begitu dirasakan oleh masyarakat. Kondisi ini menimbulkan rasa
kecewa dari masyarakat dan pemerintah karena minimnya peran bisnis dalam
kehidupan sosial dan ada kencenderungan pelaksanaan CSR hanya sekadar untuk
pencitraan di masyarakat atau konsumen.
18
Pelaku bisnis saat ini sudah mulai menyadari bahwa perkembangan dan
keberlanjutan perusahaan tidak hanya didasarkan pada aspek finansial saja, tetapi
juga harus diimbangi dengan perannya di ranah tanggung jawab sosial. Tantangan ini
dapat diartikan sebagai tuntutan masyarakat untuk memasukkan nilai-nilai sosial dan
lingkungan ke dalam praktik bisnis. Perkembangan zaman yang semakin heterogen
dan permasalahan masyarakat yang semakin kompleks menuntut setiap perusahan
untuk menemukan ide-ide kreatif dan inovatif dalam mencapai tujuan yang bersifat
profit oriented maupun keberlanjutan bagi perusahaan. Pertumbuhan profit yang
signifikan tidak dapat menjamin keberlanjutan perusahaan di masyarakat, terlebih
pada masyarakat yang merasakan dampak langsung dari keberadaan perusahaan
tersebut. Oleh karenanya masyarakat menjadi elemen penting dalam proses
keberlanjutan perusahaan.
Cahya (2014) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa dewasa ini
perkembangan Corporate Social Responsibility (CSR) serta penerimaan kalangan
berbagai perusahaan terhadap CSR laksana bola salju yang menggelinding semakin
besar. Berbagai perusahaan, mayoritas multinasional, berupaya untuk melaksanakan
CSR. Konsep CSR sendiri pertama kalinya dikemukakan oleh Howard R. Bowen pada
tahun 1953 dan setelah itu mengalami pengayaan konsep sejak kurun waktu 1960
sampai saat ini. Perkembangan CSR yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, tak
pelak lagi telah banyak mengubah orientasi CSR. Bila pada awalnya aktivitas CSR
lebih banyak dilandasi oleh kegiatan filantropi, maka saat ini kita melihat bahwa CSR
telah dijadikan sebagai salah satu strategi perusahaan untuk meningkatkan citra
perusahaan yang akan turut mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan. Perubahan
orientasi CSR ini telah memunculkan konsep baru yang sekarang dikenal dengan
nama corporate citizen.
CSR mampu membentuk persepsi positif masyarakat terhadap perusahaan
sehingga dapat meningkatkan citra perusahaan. Citra positif yang terbangun
perusahaan yang terbangun di masyarakat akan berdampak pada penerimaan
masyarakat yang pada akhirnya akan menciptakan keseimbangan bagi jalannya
perusahaan. Apa yang tertulis dalam laporan CSR di satu sisi memberikan informasi
tentang bagaimana perusahaan mencoba membangun diri mereka sebagai bentuk
pertanggungjawaban secara sosial, dan pada saat yang sama menciptakan standar
tertentu yang dapat digunakan sebagai pertanggungjwaban kepada perusahaan.
Carasco dan Singh (2003) dalam Sandoval (2014) menyebutkan lima alasan yang
mendorong perusahaan untuk menggunakan CSR, yaitu:
1) untuk meningkatkan reputasi perusahaan;
2) menyampaikan informasi kepada pemangku kepentingan tentang komitmen etis
mereka;
3) menciptakan budaya perusahaan dan operasionalisasi nilai-nilai;
4) menghindari denda dan sanksi, dan

19
5) pengembangan standar universal yang melampaui hukum nasional.
Berbagai penelitian telah membuktikan adanya hubungan yang erat antara CSR
dan reputasi perusahaan. CSR telah menjadi strategi bisnis yang inheren dalam
perusahaan untuk meningkatkan daya saing dan menjaga reputasi perusahaan.
Keterlibatan perusahaan untuk ikut bertanggung jawab terhadap masalah-masalah
sosial dalam pelaksanaan aktivitas perusahaan dan pemasaran akan dapat
membangun penilaian positif dari para stakeholders termasuk konsumen. Penilaian
positif tersebut tidak hanya berpengaruh secara positif terhadap reputasi perusahaan,
tetapi juga produk-produk dan layanan jasa lainnya yang dikeluarkan oleh perusahaan.
Menurut Fomburn & Gardberg (2000), reputasi sebuah perusahaan dapat diukur
melalui enam indikator utama, yaitu (1) emotional appeal, (2) produk dan jasa, (3)
kinerja keuangan, (4) visi dan kepemimpinan, (5) lingkungan kerja, dan (6) tanggung
jawab sosial. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa produk dan jasa merupakan
salah satu faktor pembentuk reputasi perusahaan. Demikian juga konsumen
merupakan salah satu stakeholders yang memegang peranan penting dalam
perusahaan. Persepsi konsumen terhadap prosuk dan jasa yang dihasilkan oleh
sebuah perusahaan akan menciptakan citra merk.
Reputasi dan citra korporat merupakan aset yang paling utama dan tak ternilai
harganya. Oleh karena itu, berbagai daya, kreatifitas, dan biaya dikeluarkan oleh
perusahaan untuk menjaga, merawat, dan mengembangkan reputasi dan citra
korporat. Salah satu unsur penting dalam pembentukan citra perusahaan tersebut
adalah melalui CSR dan penegakan Good Corporate Governance (GCG). Dari
berbagai hasil penelitian dan pengalaman perusahaan yang telah berhasil
menjalankan CSR dapat diambil kesimpulan bahwa CSR terbukti secara positif dapat
meningkatkan performance dan profit perusahaan.

F. CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY DAN KOMUNIKASI DI ERA INDUSTRI


4.0
Industri terus mengalami perkembangan dan perubahan. Dari perkembangan
industri ini lahirlah Revolusi Industri. Era Revolusi 1.0 dimulai ketika ditemukannya
mesin uap oleh James Watt pada tahun 1776 di Inggris. Era Revolusi Industri 1.0
dimulai ketika ditemukannya mesin uap di Inggris oleh James Watt pada tahun 1776.
Revolusi Industri 1.0 ini ditandai dengan digunakannya mesin tenun mekanis
bertenaga uap pertama di dunia yang digunakan untul meningkatkan produktivitas
industri tekstil. Penggunaan mesin uap ini secara perlahan dan pasti menggeser
tenaga manusia dalam proses produksi. Selanjutnya penggunaan mesin uap tidak
sebatas digunakan dalam dunia industri tetapi semakin berkembang ke ranah
transportasi dan berbagai industri lainnya seperti pertambangan, pertanian,
manufaktur, dan lain-lain. Pada era ini untuk pertama kalinya terjadi kegiatan produksi
massal, yang meningkatkan pendapatan per kapita negara-negara di dunia meningkat
hingga enam kali lipat.
20
Era Revolusi Industri 1.0 berakhir pada tahun 1850-an seiring dengan
ditemukannya tenaga listrik, dan revolusi industri pun memasuki tahap selanjutnya,
yaitu Revolusi Industri 2.0. Jika Revolusi Industri 1.0 lebih menitikberatkan pada
efisiensi mesin, maka Revolusi Industri 2.0 lebih berfokus pada proses produksi itu
sendiri. Sebagai contoh, jika awalnya proses produksi mobil tidak bisa dilakukan di
tempat lainnya karena memerlukan biaya yang sangat mahal, dengan ditemukannya
listrik, kemudian diselesaikan dengan konsep Lini Produksi (Assembly Line) yang
memanfaatkan conveyor belt pada tahun 1913. Assembly line ini mengakibatkan
proses perakitan mobil dapat dilakukan dengan lebih efisien oleh orang lain di tempat
yang berbeda. Dampak Revolusi Industri 2.0 ini terlihat ketika Perang Dunia II di mana
produksi kendaraan tempur seperti tank, pesawat, dan senjata tempur diproduksi
secara masal dana besar-besaran.
Perkembangan teknologi yang sangat cepat memicu dimulainya Revolusi Industri
3.0. Pada era ini peran manusia di dunia industri mulai berkurang yang kemudian
digantikan oleh mesin-mesin berteknologi tinggi yang bisa memprediksi dan membuat
keputusan sendiri. Pada era ini komputer mulai menggantikan pekerjaan-pekerjaan
yang dulunya dilakukan oleh manusia, seperti mengirim dokumen, membuat catatan
keuangan, menghitung formula yang rumit, dan sebagainya. Dalam industri
manufaktur, Revolusi Industri 3.0 merupakan revolusi yang sangat penting, karena
manufaktur menuntut akurasi dan ketelitian yang sangat tinggi yang sulit dilakukan
oleh manusia. Sehingga, produksi dalam jumlah yang besar dapat dilakukan secara
otomatis, cepat, dan berkualitas.
Tahap Revolusi Industri berikutnya adalah Revolusi Industri 4.0 yang berfokus
pada perkembangan dunia digital dan Internet of Thing. Di era Industri 4.0 terjadi
otomasi dan digitalisasi dalam segala aspek industri dalam rangka menghasilkan
produk yang memuaskan kebutuhan konsumen. Campur tangan manusia akan
berkurang dengan dengan sendirinya digantikan oleh teknologi tinggi. Pada era ini
berbagai inovasi teknologi yang terhubung ke internet, Artificial Intelligence (AI), Cloud
Computing, dan sebagainya berkembang sangat pesat dan memunculkan teknologi
baru yang belum pernah ada sebelumnya, seperti ojek online, tarik tunai lewat ponsel
hingga warung digital. Dalam skala industri, Revolusi Industri 4.0 meningkatkan
kemampuan software dan internet untuk meningkatkan efisiensi perusahaan. Salah
satu contohnya adalah pengumpulan data historis mesin oleh software yang
digunakan untuk menjadwalkan maintenance bulanan secara otomatis. Data-data
tersebut nantinya akan diproses oleh algoritma sehingga menghasilkan keputusan
logis layaknya manusia.
Kemajuan teknologi telah mengubah lanskap media komunikasi dari kovensional
menjadi digital. Demikian juga media yang awalnya menjadi alat komunikasi bagi
perusahaan untuk menyampaikan pesan-pesan korporat kepada stakeholders dan
publik mengalami pergeseran. Munculnya tren baru media sosial dengan berbagai
macam platform pilihan turut menggantikan model media cetak dan media
21
konvensional lainnya. Akibatnya, transformasi informasi menjadi lebih cepat dan tidak
dapat dikontrol seperti dulu. Fenomena ini bagaikan dua mata pisau, di satu sisi adalah
peluang dan satu sisi lainnya adalah tantangan. Tanggung jawab sosial perusahaan
(Corporate Social Responsibility) mengandalkan komunikasi, baik untuk internal
maupun eksternal perusahaan. Di luar perusahaan, komunikasi CSR merupakan
penghubung ke masyarakat dan berbagai subsistemnya di mana perusahaan berada.
Di dalam perusahaan, komunikasi CSR setidaknya didasarkan pada strategi
komunikasi dan profil citra serta organisasi, staf, dan infrastruktur teknologi informasi
dan komunikasi. Dalam beberapa tahun terakhir, komunikasi CSR telah menjadi topik
yang lebih luas dan global di kalangan akademisi, bisnis, dan pemerintah. Karena
semakin relevan dengan perusahaan dan pasar modal, bahkan di mata investor, maka
saat ini komunikasi CSR semakin meluas, baik dalam cakupan maupun kualitasnya.
Berkomunikasi tatap muka dengan pemegang saham dalam hal komunikasi
pasar atau melalui hubungan investor dipandang sudah tidak memadai lagi.
Komunikasi CSR bergeser cepat dari praktik yang jelas-jelas ketinggalan zaman yang
hanya dengan menyediakan 'brosur mengkilap' yang sering diproduksi di media cetak
dan biasanya disiapkan sebagai kendaraan 'satu ukuran cocok untuk semua', menuju
pendekatan online canggih yang berkomunikasi dengan sejumlah pemangku
kepentingan yang menawarkan sistem komunikasi CSR. Sistem seperti itu tersedia di
world wide web dan mencakup seperangkat alat yang dirancang khusus untuk
kelompok sasaran, individual atau bahkan dipersonalisasi, misalnya: laporan, brosur,
selebaran, buletin, siaran pers, slide, presentasi, urutan audio, klip video, dll. yang
dapat diakses melalui unduhan dan/atau online, disiapkan untuk ditarik atau
disebarluaskan secara otomatis melalui email atau teknologi push terkini lainnya. Tidak
dapat dipungkiri bahwa media sosial telah menjadi pemain utama dalam arena media
dan komunikasi. Sebagai gambaran, menurut laporan dari We Are Social dan Hootsuit
di laman https://datareportal.com/, di pada Januari 2021 di Indonesia terdapat 170 juta
pengguna media sosial. Demikian juga pengguna media sosial meningkat 6,3% atau
10 juta orang. Jumlah pengguna media sosial di Indonesia setara dengan 61,8% dari
total penduduk pada Januari 2021. Berdasarkan aplikasi yang paling banyak
digunakan, Yuotube menempati posisi pertama disusul oleh WhatsApp, Instagram,
Facebook, dan Twitter.
Di era Revolusi Industri 4.0, media memegang peran penting untuk meningkatkan
kesadaran dan memungkinkan perdebatan publik tentang CSR. Sandoval (2014
menjelaskan, menurut The European Commission(2011), media dapat meningkatkan
kesadaran akan dampak positif dan negatif dari perusahaan. Pendapat ini senada
dengan pandangan Dyck dan Zingales (2002) bahwa media memang memainkan
peranan penting dalam membentuk citra publik manajer dan direktur perusahaan, dan
dengan demikian media dapat menekan mereka untuk berperilaku sesuai dengan
norma-norma masyarakat. Perkembangan media pada era Industri 4.0 yang begitu
cepat telah mengubah aktivitas bisnis. Media massa dan media sosial menjadi media
22
yang efektif untuk menyampaikan pesan CSR kepada stakeholders dan publik yang
telah mendegradasi peran media konvensional. Media sosial dan media massa digital
telah memaksa komunikasi bisnis beralih menjadi proses dialog di antara stakeholders
dan korporate yang sama-sama memiliki peran dan kekuasaan yang sama terhadap
pesan yang beredar.
Kesuksesan dan kegagalan sebuah perusahaan dalam dunia korporasai di era
Industri 4.0 saat ini sangat tergantung kepada persepsi publik. Persepsi dan opini dari
stakeholders, seperti investor, pemegang saham, pegawai ataupun masyarakat
merupakan hal yang sangat penting bagi keberhasilan tujuan jangka panjang, oleh
karenanya harus menjadi perhatian bagi para eksekutif perusahaan. Media sosial
memberikan peluang terlaksananya komunikasi korporat tentang CSR yang pada
masa-masa sebelumnya tidak dapat dilaksanakan karena dianggap tidak masuk akal.
Kemajuan media dan teknologi digital berbasis web ini memberikan tantangan
sekaligus peluang baru bagi organisasi untuk berkomunikasi dan terlibat langsung
dengan stakehoders, termasuk dengan karyawan mereka sendiri, komunitas lokal,
pelanggan, dan media massa.

G. RANGKUMAN MATERI
1. Corporate Social Repsonsibility (CSR) memiliki berbagai macam istilah. Sebgai
contoh, di Indonesia CSR dimaknai sebagai tanggung jawab sosial perusahaan,
tanggung jawab korporasi, dan tanggung jawab sosial dunia usaha. Di Amerika
Serikat CSR memiliki makna yang sama dengan business reponsibility, corporate
citizenship, dan business citizenship yang semuanya menunjukkan pengertian
tanggung jawab sosial perusahaan. Dalam konsep CSR, entitas bisnis dalam
menjalankan aktivitas bisnisnya memiliki tanggung jawab bukan hanya kepada
pemegang saham, tetapi juga kepada stake holders lainnya yaitu konsumen,
komunitas, masyarakat, dan lingkungan sekitarnya. Makna lainnya, perusahaan
memiliki tugas dan kewajiban moral untuk menjunjung tinggi kejujuran, patuh dan
taat hukum, memiliki integritas, dan tidak melakukan korupsi. Oleh karenanya
perusahaan seharusnya menjalankan praktik bisnis yang etis dan berkelanjutan
baik dari segi ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Sebagian kalangan
beranggapan CSR sebagai jawaban atas praktik bisnis yang hanya berorientasi
pada profit yang sebesar-besarnya.
2. Corporate Social Responsibility memiliki akar sejarah yang cukup panjang, yang
diketahui berawal dari Revolusi Industri yang terjadi pada akhir 1800-an. Meskipun
dalam perkembangannya pemikiran dan konsep CSR sebagian besar merupakan
produk abad ke dua puluh. Konsep dan praktik CSR sejak terjadinya Revolusi
Industi 1.0 hingga saat ini memasuki Revolusi Industri 4.0 terus mengalami
perkembangan dan pergeseran. Bila diruntut berdasarkan masanya,
perkembangan CSR dapat dibagi menjadi beberapa fase, yaitu fase sebelum tahun
1950, fase pada tahun 1950-an, fase pada tahun 1960-an, fase pada tahun 1970-
23
an, fase pada tahun 1980-an, fase pada tahun 1990-an, dan fase abad 21.
3. CSR memiliki banyak manfaat bagi perusahaan, di antaranya untuk meningkatkan
reputasi perusahaan, menyampaikan informasi kepada pemangku kepentingan
tentang komitmen etis mereka, menciptakan budaya perusahaan dan
operasionalisasi nilai-nilai, menghindari denda dan sanksi, dan pengembangan
standar universal yang melampaui hukum nasional. Reputasi sebuah perusahaan
dapat diukur melalui beberapa indikator utama sebagai berikut, emotional appeal,
produk dan jasa, kinerja keuangan, visi dan kepemimpinan, lingkungan kerja, dan
tanggung jawab sosial.
4. CSR berkaitan erat dengan bagaimana korporat/perusahaan menjalin komunikasi
yang baik dengan masyarakat untuk menumbuhkan citra dan reputasi yang baik
bagi perusahaan. Reputasi yang baik merupakan asset yang tak ternilai bagi
perusahaan. CSR mampu membentuk persepsi positif masyarakat terhadap
perusahaan sehingga dapat meningkatkan citra perusahaan. Citra positif
perusahaan yang terbangun di masyarakat akan berdampak pada penerimaan
masyarakat yang pada akhirnya akan menciptakan keseimbangan bagi jalannya
perusahaan. Berbagai penelitian telah membuktikan adanya hubungan yang erat
antara CSR dan reputasi perusahaan. CSR telah menjadi strategi bisnis yang
inheren dalam perusahaan untuk meningkatkan daya saing dan menjaga reputasi
perusahaan. Keterlibatan perusahaan untuk ikut bertanggung jawab terhadap
masalah-masalah sosial dalam pelaksanaan aktivitas perusahaan dan pemasaran
akan dapat membangun penilaian positif dari para stakeholders termasuk
konsumen. Penilaian positif tersebut tidak hanya berpengaruh secara positif
terhadap reputasi perusahaan, tetapi juga produk-produk dan layanan jasa lainnya
yang dikeluarkan oleh perusahaan.
5. CSR mengandalkan komunikasi, baik untuk internal maupun eksternal perusahaan.
Di era Revolusi Industri 4.0, media memiliki peran penting untuk meningkatkan
kesadaran dan memungkinkan perdebatan publik tentang CSR. Kemajuan
teknologi di era Revolusi Industri 4.0 telah mengubah lanskap media komunikasi
dari kovensional menjadi digital. Demikian juga media yang awalnya menjadi alat
bagi perusahaan untuk menyampaikan pesan-pesan korporat kepada stakeholders
dan publik pun mengalami pergeseran. Munculnya tren baru media sosial dengan
berbagai macam platform pilihannya turut menggantikan model media cetak dan
media konvensional lainnya. Media massa dan media sosial menjadi media yang
efektif untuk menyampaikan pesan CSR kepada stakeholders dan publik dan telah
mendegradasi peran media konvensional. Media sosial dan media massa digital
telah memaksa komunikasi bisnis beralih menjadi proses dialog di antara
stakeholders dan korporate yang sama-sama memiliki peran dan kekuasaan yang
sama terhadap pesan yang beredar.
6. Kesuksesan dan kegagalan sebuah perusahaan dalam dunia korporasi di era
Industri 4.0 saat ini sangat tergantung kepada persepsi publik. Persepsi dan opini
24
dari stakeholders merupakan faktor yang sangat penting bagi keberhasilan tujuan
jangka panjang perusahaan. Media sosial memberikan peluang terlaksananya
komunikasi korporat tentang CSR yang pada masa-masa sebelumnya tidak dapat
dilaksanakan. Kemajuan media dan teknologi digital berbasis web ini memberikan
tantangan sekaligus peluang baru bagi organisasi untuk berkomunikasi dan terlibat
langsung dengan stakehoders.

H. DAFTAR PUSTAKA

Cahya, Bayu Tri. (2014, September). Transformasi Konsep Corporate Social


Responsibility (CSR). Jurnal Iqtishadia, Vol. 7, No. 2, September 2014: 203-222.
Diakses dari https://media.neliti.com/media/publications/90504-ID-none.pdf
Carroll, Archie B. (2008). "A History of Corporate Social Responsibility: Concepts and
Practices." In Andrew Crane, Abigail McWilliams, Dirk Matten, Jeremy Moon &
Donald Siegel (eds.) The Oxford Handbook of Corporate Social Responsibility.
Oxford University Press, 19-46.
Edelman. (2013). Global Deck: 2013 Edelman Trust Barometer. New York.
Fomburn, C., Gardberg, N., Saver, J. (2000, March). The Reputation Quotient: A Multi-
Stakholder Measure of Corporate Reputation. Journal of Brand Management, 7
(4), March 2000: 241-255. https://doi.org/10.1057/bm.2000.10
Fomburn, C.J., Gardberg, N.A., Saver, J.M. (2000). The Reputation Quotient: A Multi-
Stakholder Measure of Corporate Reputation. Journal of Brand
Management, 7 (4): 241-255.
Hadi, Nor. (2011). Corporate Social Responsibility. Yogyakarta: Graha Ilmu,
Yogyakarta.
Jonker, J., De Witte, M. (ed). (2006). Management Models for Corporate Social
Responsibility. Berlin: Springer.
Jumadiah et.al. (2018). Penerapan Prinsip Corporate Social Responsibility Di Provinsi
Aceh. Lhokseumawe: Unimal Press.
Kotler, P., & Nance, L. (2011). Corporate Social Responsibility: Doing The Most Good
for Your Company and Your Cause. Hoboken, New Jersey: John Wiley & Sons
Inc.
Lawrence, Anne T., Weber, James. (2014). Business And Society: Stakeholders, Ethics,
Public Policy, Fourteenth Edition. New York: McGraw-Hill.

25
Lewis, V., Kay, K. D., Kelso, C., Larson, J. (2010). Was the 2008 Fnancial Crisis Caused
By a Lack Of Corporate Ethics? Global Journal of Business Research, 4(2):
77–85.
Marnelly, T. Romi. (2012, April). Corporate Social Responsibility (CSR): Tinjauan Teori
dan Praktek di Indonesia. Jurnal Aplikasi Bisnis, Vol. 2, No. 2, April 2014: 49-59.
Diakses dari
https://www.academia.edu/5757424/CORPORATE_SOCIAL_RESPONSIBILITY
_CSR_Tinjauan_Teori_dan_Praktek_di_Indonesia
Prayitno, Ujianto Singgih. (2015). Corporate Social Responsibility: Konsep, Strategi,
Dan Implementasia. Jakarta: P3DI Setjen DPR RI dan Azza Grafika.
Rahman, Reza. (2009). Corporate Social Responsibility: Antara Teori dan Kenyataan.
Jakarta: MedPress.
Sandoval, Marisol. (2014). From Corporate to Social Media: Critical Perspectives on
Corporate Social Responsibility in Media and Communication Industries.
Abingdon Oxon UK: Routledge.
Simson, J., Taylor, J. (2013). Corporate Governance, Ethics and CSR. London:
Koganpage.
Solihin, Ismail. (2009). Corporate Social Responsibility from Charity to Sustainability.
Jakarta: Salemba Empat.
Wartick, Steven L., and Cochran, Philip L. (1985, October). Evolution of Corporate
Social Performance Model. Academy of Management Review, Vol. 10. No. 4,
October 1985: 758-769.
Wibisono, Yusuf. (2007). Membedah Konsep dan Aplikasi CSR. Gresik: Fascho
Publishing.

26

Anda mungkin juga menyukai