Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH

MANAJEMEN TRANSPORTASI
“Tindakan Simpang Tidak Sebidang Dan Jembatan Penyebrangan”

OLEH :

ASRI
G2T121047

MANAJEMEN REKAYASA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022
KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami panjatkan puja dan puji syukur atas rahmat dan ridho
Allah SWT, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas
mata kuliah Manajemen Transportasi, dengan judul : “Tindakan Simpang Tidak
Sebidang Dan Tindakan Jembatan Penyebrangan”

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya


kepada dosen mata kuliah Manajemen Transportasi yang telah memberikan tugas
makalah terhadap kami. Kami juga ingin mengucapkan terimakasih kepada pihak-
pihak yang turut membantu dalam pembuatan makalah ini.

Dalam penulisan makalah ini penulis merasa masi banyak kekurangan-


kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengigat kemampuan yang
dimiliki penulis masi terbatas. Untuk itu kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya kami berharap semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat.

Kendari, Maret 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL ……………………………………………………………………….. i
KATA PENGANTAR …………………………………………………………. ii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………....... iii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………... iv
DAFTAR TABEL ……………………………………………………………… v
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………. 1
BAB II TINDAKAN SIMPANG TIDAK SEBIDANG
2.1 Persimpangan (Intersection) …………………………………….. 4
2.2.1 Simpang Sebidang ……………………………………....... 6
2.2.2 Simpang Tak Sebidang ………………………………….... 7
2.2.3 Manajemen Lalu Lintas …………………………………... 13
2.2 Konflik di Persimpangan ……………………………………….. 17

BAB III TINDAKAN JEMBATAN PENYEBRANGAN


3.1 Jembatan Penyebrangan ………………………………………… 20
3.1.1 Syarat-syarat Khusus Jembatan Penyebrangan …………... 21
3.1.2 Efektifitas Jembatan Penyebrangan ……………………… 22
3.2 Fasilitas Penyeberangan ………………………………………... 23
3.3 Jembatan Penyeberang Orang ………………………………….. 25
3.3.1 Ketentuan pembangunan jembatan penyeberangan
orang (JPO) ......................................................................... 27
3.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penggunaan
Jembatan Penyeberangan ………………………………... 31
1.3.3 Pejalan Kaki ……………………………………………... 32

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………….. 36

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Pergerakan lalu lintas pada persimpangan ………………………… 6

Gambar 2.1.1. Bagian-bagian Dari Persimpangan Tidak Sebidang …………….. 8

Gambar 2.1.2. Hubungan Langsung (Direct) …………………………………… 9

Gambar 2.1.3. Hubungan Setengah Langsung (Semi direct) …………………… 10

Gambar 2.1.4. Hubungan Tidak Langsung (indirect) …………………………... 10

Gambar 2.1.5. Pertemuan Tidak Sebidang Bercabang Tiga …………………… 11

Gambar 2.1.6. Pertemuan Tidak Sebidang Bercabang Empat …………………. 13

Gambar 2.2.1 Konflik Utama dan Kedua pada Simpang Bersinyal dengan …… 18

Gambar 2.2.2 Titik – Titik Konflik pada Persimpangan 4 kaki ………………… 19

Gambar. 3.1.1. Perspektif jembatan penyeberangan orang …………………….. 21

Gambar. 3.1.2. Tipikal jembatan penyeberangan ………………………………. 22

iv
DAFTAR TABEL

Tabel. 2.2.2.1 Klasifikasi Efektifitas Jembatan Penyeberangan …………….… 23

v
BAB 1
PENDAHULUAN

Menurut PP 43/ 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan, simpang
adalah pertemuan atau percabangan jalan baik sebidang maupun yang tak sebidang.
Simpang merupakan tempat yang rawan terhadap kecelakaan karena terjadinya
konflik antara pergerakan kendaraan dengan pergerakan kendaraan lainnya.

Diberlakukannya Undang – Undang No 22 tahun 1999 tentang


Pemerintahan Daerah, yang di dalamnya tercantum pemberian otonomi daerah
maka diharapkan pembangunan dapat dilakukan oleh daerah. Pembangunan daerah
akan berjalan dengan baik jika salah satunya mempunyai strategi yang baik dalam
pengembangan sarana dan prasarana transportasi.

Pengembangan sarana dan prasarana transportasi yang baik diharapkan


akan mampu menumbuh kembangkan potensi daerah dan kegiatan ekonomi yang
ada Oleh karenanya, pengembangan sarana dan prasarana transportasi perlu
dilaksanakan secara sistematik dan berkelanjutan sesuai dengan pola pergerakan
barang atau orang yang dapat mendukung dinamika pembangunan daerah.

Seiring dengan pesatnya pembangunan di segala bidang maka makin


meningkat pula taraf hidup masyarakat. Mobilitas yang tinggi untuk melaksanakan
aktifitas kehidupan sehari-hari menuntut tersedianya sarana dan prasarana yang
aman, nyaman dan lancar. Tuntutan pelaksanaan aktifitas tersebut disesuaikan
dengan dinamika kehidupan masyarakat yang beraneka ragam, hal ini
membutuhkan terpenuhinya angkutan umum dan angkutan kota yang memadai
Contohnya di bidang perdagangan, kita tidak lepas dari sistem pengangkutan
barang dan orang dari satu daerah ke daerah lain, hal ini membutuhkan sarana
transportasi yang memadai demi lancarnya perdagangan. Di bidang pendidikan 1 -
2 kita dapat melihat pada saat jam berangkat sekolah maupun saat pulang sekolah
dapat menimbulkan kepadatan arus lalu lintas di jalan raya. Begitu juga pada

1
masalah sosial, untuk memudahkan segala kegiatan masyarakat dari satu tempat ke
tempat yang lain, hal ini juga tergantung pada sarana transportasi yang baik.

Menurut Hobbs (1995) menyebutkan bahwa tujuan pokok manajemen


lalu lintas adalah memaksimumkan pemakaian sistem jalan yang ada dengan
meningkatkan keamanan jalan, tanpa merusak kualitas lingkungan.

Menurut Peraturan Menteri Perhubungan nomor KM 14 tahun 2006,


manajemen dan rekayasa lalu lintas adalah kegitan yang dilakukan untuk
mengoptimalkan penggunaan seluruh jaringan jalan, guna peningkatan
keselamatan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas. Menurut Malkhamah (1996)
pada Da Cruz (2011) menyebutkan bahwa manajemen lalu lintas adalah proses
pengaturan dan penggunaan sistem jalan yang sudah ada dengan tujuan untuk
memenuhi suatu kepentingan tertentu, tanpa perlu pertambahan atau pembuatan
infrastruktur baru. Kegiatan pengaturan lalu lintas meliputi kegiatan penetapan
kebijaksanaan lalu lintas pada jaringan atau ruas-ruas jalan tertentu (antara lain
dengan rambu, marka dan lampu lalu lintas), sedangkan kegiatan pengawasan
meliputi :

1. Pemantauan dan penilaian terhadap pelaksanaan lalu lintas,


2. Tindakan korektif terhadap pelaksanaan kebijaksanaan lalu lintas.
(Munawar, 2003) menyebutkan bahwa manajemen lalu lintas bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan transportasi, baik saat ini maupun di masa mendatang,
dengan mengefisiensikan pergerakan orang/kendaraan dan mengidentifikasikan
perbaikan-perbaikan yang diperlukan dibidang teknik lalu lintas, angkutan umum,
perundang-undangan, road pricing dan operasional dari system transportasi yang
ada.
Menurut Hobbs (1995) menyebutkan bahwa tujuan pokok manajemen
lalu lintas adalah memaksimumkan pemakaian sistem jalan yang ada dengan
meningkatkan keamanan jalan, tanpa merusak kualitas lingkungan.
Pejalan kaki adalah suatu bentuk transportasi yang penting di daerah
perkotaan. Para pejalan kaki berada pada posisi yang lemah jika mereka bercampur

2
dengan kendaraan terutama bagi pejalan kaki yang menyeberang jalan, sehingga
secara tidak langsung mereka akan memperlambat arus lalu lintas. Keberadaan
penyeberang jalan pada tingkat tertentu akan mengakibatkan konflik yang tajam
dengan arus kendaraan yang pada gilirannya berakibat tundaan lalu lintas dan
tingginya tingkat kecelakaan, selain itu juga akan mempengaruhi kapasitas jalan
sehingga penyediaan prasarana dan sarana bagi pejalan kaki yang memenuhi
persyaratan keamanan, kenyamanan, keselamatan dan yang dapat meminimalkan
konflik antara penyeberang jalan dan kendaraan, memperkecil tundaan lalu lintas
sudah sangat diperlukan.
Pejalan kaki merupakan bagian yang sangat penting dalam transportasi,
terutama di daerah perkotaan, khususnya di daerah pusat perdagangan retail,
perbelanjaan dan perkantoran. Oleh karena itu, diperlukan alternatif bagi para
pejalan kaki terutama dalam hal penyebrangan jalan. Jembatan penyebrangan
merupakan salah satu alternatif dalam permasalahan penyebrangan yang digunakan
oleh para pejalan kaki.

3
BAB II
TINDAKAN SIMPANG TIDAK SEBIDANG

2.1 Persimpangan (Intersection)

Persimpangan merupakan bagian penting dari sistem jaringan jalan,


lancar tidaknya pergerakan dalam suatu jaringan jalan sangat ditentukan oleh
pengaturan pergerakan di persimpangan, secara umum kapasitas
persimpangan dapat dikontrol dengan mengendalikan arus lalu lintas dalam
sistem jaringan jalan tersebut. Sehingga persimpangan dapat dikatakan
sebagai bagian dari suatu jaringan jalan yang merupakan daerah penting atau
kritis dalam melayani arus lalu lintas (Prasetyanto, 2013).

Persimpangan merupakan daerah dimana dua atau lebih ruas jalan


bertemu atau bersilangan. Persimpangan dapat bervariasi dari persimpangan
sederhana yang terdiri dari pertemuan dua ruas jalan sampai persimpangan
kompleks yang terdiri dari pertemuan beberapa ruas jalan (Prasetyanto, 2013).

Tingkat kelancaran lalu lintas dipengaruhi oleh beberapa faktor,


yaitu:

1. Kondisi pergerakan pengguna jalan dan penggunaan lahan sekitar ruas


jalan;
2. Kondisi persimpangan jalan;
3. Kondisi volume lalu lintas di persimpangan;
4. Kondisi trase jalan;
5. Kondisi kecepatan kendaraan;
6. Kondisi hambatan samping di sekitar persimpangan.
Terjadinya kemacetan di persimpangan biasanya terjadi konflik
akibat beragam jenis pergerakan dan hambatan-hambatan yang terjadi
disekitar persimpangan. Konflik di persimpangan biasanya terjadi antara
kendaraan dengan kendaraan, kendaaran dengan pejalan kaki, dan kendaraan
yang terhambat lajunya oleh hambatan samping yang terjadi di ruas jalan.

4
Persimpangan jalan adalah daerah atau tempat dimana dua atau lebih
jalan raya yang berpencar, bergabung, bersilangan dan berpotongan, termasuk
fasilitas jalan dan sisi jalan untuk pergerakan lalu lintas pada daerah itu.
Fungsi operasional utama dari persimpangan adalah untuk menyediakan
perpindahan atau perubahan arah perjalanan.

Menurut Abubakar dkk., (1995), persimpangan adalah simpul pada


jaringan jalan dimana jalan-jalan bertemu dan lintasan kendaraan
berpotongan. Lalu lintas pada masing- masing kaki persimpangan
menggunakan ruang jalan pada persimpangan secara bersama-sama dengan
lalu lintas lainnya.

Menurut Hobbs (1995), persimpangan jalan merupakan simpul


transportasi yang terbentuk dari beberapa pendekat dimana arus kendaraan
dari beberapa pendekat tersebut bertemu dan memencar meninggalkan
persimpangan.

Persimpangan merupakan bagian penting dari jalan raya karena


sebagian besar dari efisiensi, keamanan, kecepatan, biaya operasional dan
kapasitas lalu lintas tergantung pada perencanaan persimpangan. Masalah
masalah yang terkait pada persimpangan adalah:

1. Volume dan kapasitas (secara langsung mempengaruhi hambatan)


2. Desain geometrik dan kebebasan pandangan.
3. Perilaku lalu lintas dan panjang antrian.
4. Kecepatan.
5. Pengaturan lampu jalan.
6. Kecelakaan dan keselamatan
7. Parkir
Tujuan utama perencanaan simpang adalah mengurangi konflik
antara kendaraan bermotor serta tidak bermotor (gerobak, sepeda) dan
penyediaan fasilitas yang memberikan kemudahan, kenyamanan, dan
keselamatan terhadap pemakai jalan yang melalui persimpangan. Menurut

5
Departemen Pekerjaan Umum (1997) terdapat empat jenis dasar dari alih
gerak kendaraan yang berbahaya seperti berikut:
1. Berpencar (diverging) 2. Bergabung (merging)

3. Bersilang (weaving) 4. Berpotongan (crossing)

Gambar 2.1 Pergerakan lalu lintas pada persimpangan

Persimpangan dapat dibagi atas 2 (dua) jenis yaitu (Morlok, 1991) :


1. Persimpangan sebidang (At Grade Intersection)
2. Persimpangan tak sebidang (Grade Separated Intersection)

2.1.1 Simpang Sebidang

Persimpangan sebidang (At Grade Intersection) Yaitu


pertemuan dua atau lebih jalan raya dalam satu bidang yang
mempunyai elevasi yang sama. Desain persimpangan ini berbentuk
huruf T, huruf Y, persimpangan empat kaki, serta persimpangan
berkaki banyak. Simpang yang dimaksud adalah pertemuan satu
bidang antara dua jalur atau lebih pada jalan raya. Pertimbangan yang
perlu diperhatikan dalam perencanaan alinyemen untuk simpang
sebidang antara dua jalur jalan raya adalah sebagai berikut:
1. Keadaan topografi dan geografi sekitarnya.
2. Kemantapan alinyemen simpang (Alinyemen adalah penyesuaian
dari obyek dalam kaitannya dengan obyek lain, atau orientasi
statis beberapa objek atau set objek dalam hubungan dengan
orang lain), yaitu adanya koordinasi alinyemen horisontal dan
alinyemen vertikal.

6
3. Keamanan bagi pengemudi, penumpang dan pejalan kaki
4. Keterbatasan alokasi dana Pertemuan jalan yang memiliki semua
gerakan membelok,maka jumlah simpang pada jalan tersebut
tidak boleh lebih dari empat lengan, demi kesederhanaan dalam
perencanaan dan pengoperasiannya. hal ini untuk membatasi titik
konflik dan membantu pengemudi untuk mengamati keadaan
Simpang sebidang dengan sinyal merupakan pertemuan atau
perpotongan pada satu bidang antara dua atau lebih jalur jalan
raya dengan lalu lintas masing-masing, dan pada titik-titik
simpang dilengkapi dengan sinyal. Penggunaan sinyal lalu lintas,
bila dipasang dan dioperasikan dengan baik akan memberikan
keuntungan dalam pengelolaan dan keselamatan lalu lintas
Adanya sinyal lalu lintas di daerah simpang bisa digunakan
secara bergiliran dengan pembagian beberapa fase bagi arus
kendaraan yang lewat pada tiap kaki simpang dan juga terlibatnya
arus pejalan kaki yang akan menyeberang jalan. Pengaturan fase
bagi arus-arus lalu lintas yang ada akan mengurangi jumlah titik
konflik di daerah simpang sehingga dapat mengurangi
kemungkinan akan terjadinya konflik atau benturan.

2.1.2 Simpang Tak Sebidang


Persimpangan tidak sebidang adalah persimpangan dimana
dua ruas jalan atau lebih saling bertemu tidak dalam satu bidang tetapi
salah satu ruas berada diatas atau dibawah ruas jalan yang lain.
Simpang tak sebidang (interchange) biasanya menyediakan
gerakan membelok tanpa berpotongan, maka dibutuhkan tikungan
yang besar dan sulit serta biaya yang mahal. Pertemuan jalan tak
sebidang juga membutuhkan daerah yang luas serta penempatan dan
tata letaknya sangat dipengaruhi oleh topografi. Contoh keragaman
tipe pertemuan jalan tak sebidang antara lain adalah bundaran dan

7
layang-layang atas, pertigaan bentuk Y dimodifikasi satu jembatan,
pertigaan bentuk T dimodifikasi tiga jembatan, dan sebagainya.
Sebagian besar persimpangan jalan biasanya yang penting
adalah dapat digunakan oleh truk besar sehingga kelengkungannya
harus dibuat cukup besar Sebagai gambaran untuk tepi dalam belokan
90 pada sebuah persimpangan yang rendah, AASTHO (American
Association of State Highway and Transportation Officials)
menganjurkan penggunaan lengkung gabungan yang terdiri atas tiga
buah lingkaran yang masing-masing berjari-jari 180 ft (54,9 m), 65
ft(19,8 m) dan 180 ft (54,9 m) sebagai batas minimum. Ada beberapa
contoh gambar simpang tak sebidang antara lain sebagai berikut :
1. Elemen atau bagian-bagian dari persimpangan tidak sebidang

Gambar 2.1.1. Bagian-bagian Dari Persimpangan Tidak Sebidang

Sesuai dengan fungsinya, maka jalur-jalur jalan dalam


daerah interchange bisa digolongkan sbb:
a) Jalur Utama (Main Lane)
Jalur utama adalah merupakan jalur untuk arus lalu lintas
yang utama, arus mana bisa menerus , bisa juga membelok
baik kekiri maupun kekanan.
b) Collector & Distributor road
Collector & Distributor road adalah satu atau lebih jalur yang
dipisahkan, teapot sejajar dan searah dengan jalur utama, pada

8
jalur mana kenderaan masuk, atau dari jalur mana kenderaan
keluar dari suatu arah utama tanpa mengganggu arus alalu
lintas dijalur utama tersebut pada ujung-ujungnya jalur ini
disatukan kembali dengan jalur utamanya setelah melalui
jalur perlambatan /percepatan.
c) Jalur percepatan/perlambatan (Acceleration Lane/speed
change lane)
Jalur percepatan/perlambatan adalah suatu jalur dengan
panjang terbatas dan terletak tepat disebelah jalur cepat (
sebagai pelebaran jalur cepat ) dan berfungsi sebagai tempat
kenderaan menyesuaikan kecepatannya dari situasi
dibelakangnya kesituasi didepannya. Kalau meninggalkan
arus cepat kenderaan mengurangi kecepatannya , ka!au akan
memasuki arus cepat kenderaan menambahkan
kecepatannya.
d) Jalur penghubung ( Ramp)
Jalur penghubung ( Ramp) adalah jalur yang berfungsi untuk
membelokkan kenderaan dari satu jalan kejalan lain.
2. Hubungan langsung (Direct)
Jenis ini kendaraan dapat berbelok langsung kearah tujuan
sebelum titik pusat pertemuan.

Gambar 2.1.2. Hubungan Langsung (Direct)

9
3. Hubungan setengah langsung (Semi direct)
Kendaraan dalam menuju arah tujuan melewati atau mengelilingi
titik pusat pertemuan dahulu dan memotong salah satu arus lain
secara tegak (hubungan setengah langsung).

Gambar 2.1.3. Hubungan Setengah Langsung (Semi direct)

4. Hubungan tidak langsung (Indirect)


Kendaraan berbelok kearah berlawanan dahulu, dan baru
memutar sekitar dua ratus tujuh puluh derajat.

Gambar 2.1.4. Hubungan Tidak Langsung (indirect)

5. Pertemuan tidak sebidang bercabang tiga


Simpangan ini disebut juga Y interchange, terompet atau kepala
burung. Pada umumnya sistim ini hanya mempunyai suatu
bangunan persilangan, pengecualian adalah apabila semua
hubungan adalah langsung.
Apabila volume lalu lintas pada masing-masing jalan terus
membesar,maka suatu saat pertemuan sebidang bercabang tiga bi
asa akan tidak memadai lagi.kemacetan akan terjadi.

10
Untuk mengatasi hal tersebut diatas maka,antara lain,da - pat
dilakukan penambahan jalur.Ada 4 cara penambahan jalur ya itu,
Penambahan jalur di sebelah dalam, Penambahan jalur di sebelah
luar, Penambahan jalur di tengah dan Penambahan jalur di
sebelah luar dan dalam.

Gambar 2.1.5. Pertemuan Tidak Sebidang Bercabang Tiga

6. Pertemuan tidak sebidang bercabang empat


Simpangan ini dapat dibagi atas 5 golongan yaitu :
a) Diamond interchange
Tipe ini dipakai apabila suatu jalan utama memotong suatu
jalan lokal, tipe ini juga merupakan yang paling sederhana,
tetapi harus diusahakan supaya jalan keluar dan masuk
keinterchange ditandai dengan jelas untuk menghindari
kekeliruan.
b) Clover leaf interchange (daun semanggi)
Sistem ini biasanya dipakai pada perpotongan dua jalan
utama, Untuk perpotongan jalan utama dan jalan lokal bisa
digunakan clover leaf tidak lengkap (partial clover leaf).

11
c) Rotary interchange
Sistem ini adalah merupakan peningkatan dari rotary biasa
(sebidang) yang hanya mempunyai kemampuan terbatas.
Fungsi bundaran adalah untuk menampung lalu lintas yang
akan membelok sehingga arus-arus yang menerus tidak
terganggu.
d) Directional interchange
Apabila arus lalu lintas pada interchange yang hendak
membelok kekanan cukup besar, maka hubungan-hubungan
indirect tak bisa dipakai lagi karena terhambat oleh gerakan
weaving (khusus untuk arus yang akan membelok kekanan).
Pada directional interchange, daerah weaving ditiadakan
dengan membuat belokan kekanan secara semi direct
ataupun direct sebagai akibatnya diperlukan banyak
bangunan jembatan sehingga biayanya relatif lebih mahal.

Keuntungan dan kerugian penggunaan interchange


Keuntungan penggunaan simpang susun ( interchange) ini
adalah kapasitas persimpangan dapat ditingkatkan lebih
besar sehingga sesuai untuk digunakan pada persimpangan-
persimpangan dimana arus lalu lintasnya sangat tinggi dan
sudah tidak dapat dilakukan lagi pengaturan dan
pengendalian sehingga cenderung terjadi kemacetan dan
juga dapat digunakan pada pertemuan jalan bebas hambatan
dengan jalan umum. Kerugian penggunaan jenis
persimpangan ini adalah dari segi ekonomi dimana biaya
pembangunannya relatif sangat mahal dan membutuhkan
lokasi tanah yang lebih luas.

12
e) Kombinasi beberapa macam
Sistem ini adalah merupakan kombinasi dari tipe-tipe diatas.

Gambar 2.1.6. Pertemuan Tidak Sebidang Bercabang Empat

2.1.3 Manajemen Lalu Lintas

Menurut Hobbs (1995), tujuan pokok manajemen lalu lintas


adalah memaksimumkan pemakaian sistem jalan yang ada dan
meningkatkan keamanan jalan, tanpa merusak kualitas lingkungan.

Menurut Malkhamah (1996), manajemen lalu lintas adalah


suatu proses pengaturan dan penggunaan sistem jalan yang sudah ada
dengan tujuan untuk memenuhi suatu kepentingan tertentu, tanpa
perlu penambahan atau pembuatan infrastruktur baru.

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam perencanaan


simpang tidak sebidang antara lain sebagai berikut :

1. Arus Lalu Lintas


2. Karakteristik Volume
3. Karakteristik Geometrik
4. Kondisi Lingkungan
5. Unsur Kendaraaan

1. Arus Lalu Lintas


Menurut Tamin (1997), arus lalu lintas berinteraksi dengan
sistem jaringan transportasi. Jika arus lalu lintas meningkat pada

13
ruas jalan tertentu, waktu tempuh pasti bertambah (karena
kecepatan menurun. Arus maksimum yang dapat melewati suatu
ruas jalan bisa disebut kapasitas ruas jalan tersebut.
Menurut Abubakar, dkk., (1995), karakteristik arus lalu lintas
terdiri dari :
a. Karakteristik Primer
Karakteristik primer dari arus lalu lintas ada tiga macam, yaitu
: volume, kecepatan, dan kepadatan.
b. Karakteristik Sekunder
Karakteristik sekunder yang terpenting adalah jarak-antara.
Ada dua parameter jarak-antara yaitu waktu-antara kendaraan
dan jarak-antara kendaraan.
2. Karakteristik Volume
Menurut Abubakar, dkk., (1995), karakteristik volume lalu
lintas pada suatu jalan akan bervariasi tergantung pada volume total
dua arah, arah lalu lintas, volume harian, bulanan, dan tahunan serta
pada komposisi kendaraan.
a. variasi harian, yaitu arus lalu lintas bervariasi sesuai dengan
hari dalam seminggu. Selama 6 (enam) hari dan di jalan antar
kota akan menjadi sibuk di hari Sabtu dan Minggu sore.
b. variasi jam-an, yaitu volume lalu lintas umumnya rendah pada
malam hari, tetapi meningkat secara cepat sewaktu orang mulai
pergi ke tempat kerja.Volume jam sibuk biasanya terjadi di
jalan perkotaan pada saat orang melakukan perjalanan ke dan
dari tempat kerja atau sekolah. Volume jam sibuk pada jalan
antar kota lebih sulit untuk diperkirakan.
c. variasi bulanan, yaitu volume lalu lintas yang berbeda
disebabkan oleh karena adanya perbedaan musim atau budaya
masyarakat seperti pada saat liburan lebaran dan lain-lain.
d. variasi arah, yaitu volume arus lalu lintas dalam satu hari pada
masingmasing arah biasanya sama besar, tetapi kalau dilihat

14
pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada jam sibuk banyak
orang akan melakukan perjalanan dalam satu arah, demikian
juga pada daerah-daerah wisata atau pada saat upacara
keagamaan juga terjadi hal seperti ini dan akan kembali lagi
pada akhir masa liburan tersebut. Jenis variasi ini merupakan
suatu kasus yang khusus.
e. distribusi lajur, yaitu apabila dua lajur lalu lintas disediakan
pada arah yang sama, maka distribusi kendaraan pada masing-
masing lajur tersebut akan tergantung dari volume, kecepatan
dan proporsi dari kendaraan yang bergerak lambat dan lain
sebagainya
3. Karakteristik Geometrik
Menurut Abubakar, dkk., (1995), geometrik persimpangan
harus dirancang sehingga mengarahkan pergerakan (manuver) lalu
lintas ke dalam lintasan yang paling aman dan paling efisien, dan
dapat memberikan waktu yang cukup bagi para pengemudi untuk
membuat keputusan-keputusan yang diperlukan dalam
mengendalikan kendaraannya. Rancangan geometrik
persimpangan harus dapat :
a. Memberikan lintasan yang termudah bagi pergerakan-
pergerakan lalu lintas yang terbesar,
b. Didesain sedemikian rupa sehingga kendaraan dapat mengikuti
lintasanlintasannya secara alamiah. Radius-radius yang kecil
dan lengkung kurvakurva yang berbalik harus dihindarkan,
c. menjamin bahwa pengemudi dapat melihat secara mudah dan
cepat terhadap lintasan yang harus diikutinya dan dapat
mengantisipasi secara dini kemungkinan gerakan yang
berpotongan (crossing), bergabung (merging), dan berpencar
(diverging), kaki persimpangan yang jalannya menanjak
khusus harus dihindari.

15
Menurut Hariyanto (2004), elemen-elemen geometrik suatu
persimpangan secara umum memberikan pengaruh terhadap
operasional lalu lintas. Elemenelemen tersebut diantaranya adalah
alinemen dan propel, lebar dan jumlah lajur serta elemen-elemen
lainnya yang berpengaruh terhadap perencanaan atau
persimpangan.
4. Kondisi Lingkungan
Menurut Direktorat Jendral Bina Marga dalam Manual
Kapasitas Jalan Indonesia (1997), kondisi lingkungan merupakan
faktor penting dalam penentuan jenis simpang dengan parameter
sebagai berikut :
a. pemukiman merupakan tata guna lahan tempat tinggal dengan
jalan masuk langsung bagi pejalan kaki dan kendaraan,
b. komersial merupakan tata guna lahan komersial (sebagai
contoh toko, restoran, kantor) dengan jalan masuk langsung
bagi pejalan kaki dan kendaraan, 3. akses terbatas merupakan
jalan masuk terbatas atau tidak sama sekali,
c. ukuran kota merupakan jumlah penduduk dalam suatu
perkotaan. Maksud dari ukuran kota merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi kapasitas, karena dianggap adanya
korelasi antara ukuran kota dengan sifat pengemudi,
d. hambatan samping adalah interaksi arus lalu lintas dan kegiatan
di simpang jalan yang menyebabkan pengurangan arus jenuh di
dalam pendekatan parameter pengaturan sinyal.
5. Unsur Kendaraaan
Menurut Direktorat Jendral Bina Marga dalam Manual
Kapasitas Jalan Indonesia (1997), unsur-unsur kendaraan yang
dapat mempengaruhi suatu kondisi di persimpangan adalah sebagai
berikut :
a. Unsur lalu lintas adalah benda atau pejalan kaki sebagai bagian
dari lalu lintas,

16
b. Kendaraan adalah unsur lalu lintas di atas roda,
c. Kendaraan ringan adalah kendaraan bermotor ber as 2 dengan
4 roda dan dengan jarak as 2,0 meter sampai 3,0 meter (meliputi
mobil penumpang, minibus, pickup dan truk kecil),
d. Kendaraan berat adalah kendaraan bermotor dengan lebih dari
4 roda (meliputi bus AKAP, truk 2 as, truk 3 as dan trailer),
e. Sepeda motor adalah kendaraan bermotor dengan 2 atau 3 roda,
f. Kendaraan tidak bermotor adalah kendaraan yang rodanya
digerakan oleh orang atau hewan (meliputi becak, andong,
sepeda).

2.2 Konflik di Persimpangan


Dengan adanya persimpangan pada suatu jaringan jalan, kendaraan
bermotor, kendaraan tidak bermotor, dan pejalan kaki dapat bergerak dengan
arah yang berbeda – beda namun pada waktu yang bersamaan. Dengan
demikian maka akan muncul konflik di persimpangan akibat dari pergerakan
– pergarakan tersebut. Menurut MKJI 1997 berdasarkan sifatnya maka
konflik terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. Konflik utama (primary conflict) Konflik antara jalan dengan gerakan lalu
lintas yang berjalan lurus dengan jalan – jalan lainnya yang berpotongan,
termasuk konflik dengan pejalan kaki.
2. Konflik kedua (secondary conflict) Konflik antara gerakan lalu lintas yang
berbelok kanan dengan arus lalu lintas lurus melawan dan pejalan kaki,
atau gerakan lalu lintas yang berbelok kiri dengan pejalan kaki.

17
Untuk lebih jelasnya maka bentuk-bentuk simpang tersebut dapat
dilihat pada Gambar dibawah ini:

(Sumber: MKJI 1997)


Gambar 2.2.1 Konflik Utama dan Kedua pada Simpang Bersinyal dengan
Empat Lengan
Apabila ditinjau lebih lanjut banyaknya titik konflik dari suatu
persimpangan akan dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu:
a. Kondisi geometrik persimpangan
b. Arah pergerakan lalu lintas
c. Volume pergerakan lalu lintas
Didalam daerah persimpangan lintasan kendaraan dan pejalan kaki
akan berpotongan sehingga membentuk titik – titik konflik, konflik ini akan
menghambat pergerakan dan juga merupakan lokasi potensial untuk
terjadinya tabrakan (kecelakaan).
Arus lalu lintas yang mengalami konflik pada suatu persimpangan
memiliki tingkah laku yang kompleks, setiap gerakan arus lalu lintas lurus,
belok kanan, atau belok kiri masing – masing akan mengehadapi konflik –
konflik yang berbeda. Ada pun titik konflik dan jenis manuvernya dapat
dilihat pada Gambar 2.4.

18
Jumlah potensi konflik yang terjadi pada persimpangan bergantung
pada:
a. Jumlah kaki dipersimpangan
b. Jumlah lajur dari kaki persimpangan
c. Jenis pengaturan persimpangan
d. Jumlah arah pergerakan

(Sumber : Prasetyanto, D, 2003)


Gambar 2.2.2 Titik – Titik Konflik pada Persimpangan 4 kaki

19
BAB III
TINDAKAN JEMBATAN PENYEBRANGAN

3.1 Jembatan Penyebrangan

Menurut John J. Fruin (1971) dalam perencanaan fasilitas bagi


pejalan kaki, termasuk fasilitas penyeberangan harus memperhatikan tujuh
sasaran utama yaitu: keselamatan (safety), keamanan (security), kemudahan
(convenience), kelancaran (continuity), kenyamanan (comfort), keterpaduan
sistem (system coherence), dan daya tarik (attractiveness). Ketujuh faktor
tersebut saling berhubungan (inter'related) dan saling tumpang tindih
(overlapping). Berubahnya salah satu faktor akan mempengaruhi perubahan
faktor yang lain. O’Flaherty (1997) mengelompokkan fasilitas penyeberangan
jalan menjadi dua jenis yaitu:

a. Penyeberangan sebidang (at'grade crossing).


b. Penyeberangan tidak sebidang (segregated crossing).
Penyeberangan sebidang merupakan tipe fasilitas penyeberangan
yang paling banyak digunakan karena biaya pengadaan dan operasionalnya
relatif murah. Bentuk paling umum adalah berupa uncontrolled crossing
(penyeberangan tanpa pengaturan), light' controlled crossing (penyeberangan
dengan lampu sinyal), dan person'controlled crossing (penyeberangan yang
diatur oleh manusia) (TRRL, 1991).
Penyeberangan tidak sebidang berupa pemisahan ketinggian antara
pejalan kaki dan kendaraan; pertama kali diperkenalkan oleh Leonardo da
Vinci yang merencanakan kota dengan sistem jalan raya berganda (double
network streets) dimana para pejalan kaki berada di level atas dan kendaraan
berada di level bawah (Fruin, 1974).
Pada umumnya, contoh penyebrangan tidak sebidang ini seperti
terowongan dan jembatan penyeberangan orang. Jembatan adalah bangunan
pelengkap jalan yang berfungsi melewatkan lalu lintas yang terputus pada

20
kedua ujung jalan akibat adanya hambatan berupa sungai, saluran, kanal,
selat, lembah serta jalan dan jalan kereta api yang menyilang. Sedangkan
Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) adalah jembatan yang letaknya
bersilangan dengan jalan raya atau jalur kereta api, letaknya berada di atas
kedua objek tersebut, dan hanya diperuntukkan bagi pejalan kaki yang
melintas (menyeberang) jalan raya atau jalur kereta api.

3.1.1 Syarat-syarat Khusus Jembatan Penyebrangan

a. Lebar minimum jalur pejalan kaki dan tangga adalah 2,00 m.


b. Pada kedua sisi jalur pejalan kaki dan tangga harus dipasang
sandaran dengan tinggi minimum 1,35 m.
c. Ketinggian jembatan penyeberangan dengan jalan raya adalah 4,60
m (tidak dilalui bus tingkat) dan 5,10 m (dilalui bus tingkat).
d. Tinggi tanjakan minimum 15 cm dan maksimum 21,5 cm.
e. Lebar injakan minimum 21,5 cm dan maksimum 30,5 cm.
f. Jumlah tanjakan dan injakan disesuaikan dan ditetapkan
berdasarkan tinggi lantai jembatan yang direncanakan.
g. Penempatan jembatan tidak boleh mengurangi lebar efektif trotoar.

Gambar. 3.1.1. Perspektif jembatan penyeberangan orang

21
h. Beberapa tipikal jembatan penyeberangan

Gambar. 3.1.2. Tipikal jembatan penyeberangan

3.1.2 Efektifitas Jembatan Penyebrangan


Pengertian efektifitas secara umum menunjukan sampai seberapa
jauh tercapainya suatu tujuan yang terlebih dahulu ditentukan
sebelumnya. Oleh karena itu, efektivitas yang dimaksud disini adalah
mengkaji bagaimana pemanfaatan JPO oleh masyarakat dan bagaimana
strategisitas penempatan JPO. dikatakan efektif apabila JPO lebih
dipilih oleh sebagian besar masyarakat sebagai tempat untuk
menyeberang, walau mereka harus mengambil resiko lebih capek dan
lebih lama sampai dari pada menyebrang langsung dijalanan dengan
tingkat keselamatan yang rendah. Di samping itu, efektivitas juga
terletak pada indikator pemanfaatan JPO sebagai sarana penyebrangan.
Efektifitas jembatan penyeberangan dihitung dengan persamaan
sebagai berikut:
Efektifitas jembatan penyeberangan (%) = A/B x 100%
Dimana : A = Jumlah pejalan kaki yang menyeberang memakai
jembatan penyeberangan;
B = Jumlah pejalan kaki seluruhnya yang menyeberang jalan.

22
Efektifitas jembatan penyeberangan dapat diklasifikasikan
menjadi 5 kategori. Adapun klasifikasi tersebut dapat dilihat pada
berikut ini :
Tabel. 2.2.2.1 Klasifikasi Efektifitas Jembatan Penyeberangan
Presentasi (%) Kategori
0 – 20 Sangat Tidak Efektif
21 – 40 Tidak efektif
41 – 60 Cukup efektif
61 – 80 Efektif
81 – 100 Sangat efektif
Sumber : Departemen Perhubungan

3.2 Fasilitas Penyeberangan

Menurut Fruin (1971) dalam Setyawan (2006) dalam


perencanaan fasilitas bagi pejalan kaki, termasuk fasilitas penyeberangan
haruslah memperhatikan tujuh sasaran utama yaitu: keselamatan (safety),
keamanan (security), kemudahan (convenience), kelancaran (continuity),
kenyamanan (comfort), keterpaduan sistem (system coherence), dan daya
tarik (attractiveness). Ketujuh faktor tersebut saling berhubungan (inter-
related) dan saling tumpang tindih (overlapping). Berubahnya salah satu
faktor akan mempengaruhi perubahan faktor yang lain.

O’Flaherty (1997) dalam Setyawan (2006) mengelompokkan


fasilitas penyeberangan jalan menjadi dua jenis yaitu:

a. Penyeberangan sebidang (at-grade crossing) merupakan tipe fasilitas


penyeberangan yang paling banyak digunakan karena biaya pengadaan
dan operasionalnya relatif murah. Bentuk paling umum adalah berupa
uncontrolled crossing (penyeberangan tanpa pengaturan), light-
controlled crossing (penyeberangan dengan lampu sinyal) dan person-
controlled crossing (penyeberangan yang diatur oleh manusia).

23
b. Penyeberangan tidak sebidang (segregated crossing) berupa pemisahan
ketinggian antara pejalan kaki dan kendaraan; pertama kali diperkenalkan
oleh Leonardo da Vinci yang merencanakan kota dengan sistem jalan raya
berganda (double network streets) dimana para pejalan kaki berada
di level atas dan kendaraan berada di level bawah.
Berdasarkan penjelasan dari TRRL (1991), Hartanto (1986),
Levinson (1975), Wright (1975) dan Bruce (1965) bahwa idealnya
fasilitas penyeberangan jalan memang harus dipisahkan dari arus
kendaraan berupa jembatan penyeberangan
(overpass/crossingbridge/footbridge), penyeberangan bawah tanah
(skywalk) sehingga tidak terjadi konflik antara pejalan kaki dengan
kendaraan dan tidak menimbulkan tundaan bagi kendaraan (Setyawan,
2006).
TRRL (1991) dan Bruce (1965) menyatakan bahwa
meskipun dibutuhkan biaya investasi yang tinggi, fasilitas
penyeberangan tidak sebidang mampu menjamin keselamatan
penyeberang jalan, namun fasilitas tersebut kurang dimanfaatkan
karena pejalan kaki cenderung enggan untuk mengubah level
ketinggian jalur yang dilewatinya (Setyawan, 2006).
Allos (1983) dan Bruce (1965) dalam Setyawan (2006)
menyatakan bahwa jembatan penyeberangan mempunyai lebih banyak
keunggulan daripada penyeberangan bawah tanah. Pembangunannya
lebih mudah dan lebih murah. Selain itu, penyeberangan bawah tanah
sering mengalami masalah antara lain: keamanan, ventilasi,
pencahayaan dan drainase. Akan tetapi penyeberangan bawah tanah
lebih mampu melindungi pejalan kaki dari cuaca panas dan hujan
daripada jembatan penyeberangan.
Jembatan penyeberangan juga memiliki kelemahan yaitu
ketinggiannya, dimana semakin tinggi semakin banyak anak tangga,
karena ketinggian jembatan penyeberangan harus disesuaikan dengan
tinggi kendaraan yang lewat dibawahnya.

24
3.3 Jembatan Penyeberang Orang

Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) sebagai alat penyeberangan


merupakan salah satu kebutuhan manusia dalam menyeberang jalur lalu lintas
karena akhir-akhir ini banyak terjadi kecelakaan yang menimpa para
penyeberang jalan. Hal ini disebabkan alur penyeberang jalan dan pengendara
kendaraan menjadi satu serta tidak terpisah secara fisik. Meski telah ada
fasilitas zebra cross, tetapi alur penyeberang jalan dan pengendara
kendaraan tetap tidak terpisah secara fisik sehingga masih ada kemungkinan
terjadinya kecelakaan.

Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) adalah jembatan yang


letaknya bersilangan dengan jalan raya atau jalur kereta api, letaknya berada
di atas kedua objek tersebut, dan hanya diperuntukkan bagi pejalan kaki yang
melintas (menyeberang) jalan raya atau jalur kereta api.

Jembatan Penyeberangan Orang juga dapat diartikan sebagai


fasilitas pejalan kaki untuk menyeberangi jalan yang ramai dan lebar,
menyeberang jalan tol, atau jalur kereta api dengan menggunakan jembatan
tersebut, sehingga alur sirkulasi orang dan lalu lintas kendaraan dipisah secara
fisik dan kemungkinan terjadi kecelakaan dapat dikurangi. Jembatan
penyeberangan juga digunakan untuk menuju tempat pemberhentian
bus, seperti busway Transjakarta di Indonesia. Karena posisinya yang
lebih tinggi dari tanah, untuk memberikan akses kepada penderita cacat yang
menggunakan kursi roda, di dekat tangga jembatan terdapat ramp dengan
kelandaian tertentu. Langkah lain yang juga dilakukan untuk memberikan
kemudahan akses bagi penderita cacat adalah dengan menggunakan tangga
berjalan ataupun dengan menggunakan lift, sehingga mereka dapat dengan
dengan mudah menggunakan fasilitas meskipun cacat.

Jembatan adalah bangunan pelengkap jalan yang berfungsi


melewatkan lalu lintas yang terputus pada kedua ujung jalan akibat adanya
hambatan berupa sungai, saluran, kanal, selat, lembah serta jalan dan jalan

25
kereta api yang menyilang. Sedangkan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO)
adalah jembatan yang letaknya bersilangan dengan jalan raya atau jalur kereta
api, letaknya berada di atas kedua objek tersebut, dan hanya diperuntukkan
bagi pejalan kaki yang melintas (menyeberang) jalan raya atau jalur kereta
api. Jembatan Penyeberangan Orang juga dapat diartikan sebagai fasilitas
pejalan kaki untuk menyeberang jalan yang ramai dan lebar, menyeberang
jalan tol, atau jalur kereta api dengan menggunakan jembatan tersebut,
sehingga alur sirkulasi orang dan lalu lintas kendaraan dipisah secara fisik dan
kemungkinan terjadi kecelakaan dapat dikurangi. Keberadaan fasilitas
jembatan penyeberangan orang di suatu daerah yang di bangun akan
menimbulkan dampak untuk memulainya sebuah pembangunan kesadaran
masyarakat untuk mau menggunakan dan meningkatkan kesadaran
masyarakat untuk menggunakan fasilitas tersebut. Apabila setiapmasyarakat
dan para pengguna fasilitas mempunyai kesadaran yang tinggi, maka
kehidupan masyarakatpun akan menjadi sejahtera dan angka kecelakaan serta
kemacetan lalu lintas akan dapat dikurangi.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 melihat bahwa lalu lintas


dan angkutan jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung
pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan
kesejahteraan umum. Selanjutnya di dalam batang tubuh di jelaskan bahwa
tujuan yang hendak dicapai oleh Undang-Undang ini adalah :

1. Terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman,


selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan roda angkutan lain untuk
mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum,
memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung
tinggi martabat bangsa;
2. Terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan
3. Terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat

26
3.3.1 Ketentuan pembangunan jembatan penyeberangan orang (JPO).

Berdasarkan pedoman yang dikeluarkan oleh Departemen


Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga (1995) dalam ”Tata
Cara Perencanaan Jembatan Penyeberangan untuk Pejalan Kaki di
Perkotaan”, pembangunan jembatan penyeberangan disarankan
memenuhi ketentuan sebagai berikut :

2. Bila fasilitas penyeberangan dengan menggunakan zebra cross


dan Pelikan Cross sudah mengganggu lalu lintas yang ada.
3. Pada ruas jalan dimana frekuensi terjadinya kecelakaan yang
melibatkan pejalan kaki cukup tinggi.
4. Pada ruas jalan yang mempunyai arus lalu lintas dan arus pejalan
kaki yang tinggi, serta arus kendaraan memiliki kecepatan tinggi.

Perencanaan teknik jembatan penyeberangan untuk


pejalan kaki di perkotaan harus dilakukan berdasarkan ketentuan yang
berlaku serta mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut:

1. Jembatan penyeberangan untuk pejalan kaki yang dibangun


melintas di atas jalan raya atau jalur kereta:
a. Pelaksanaannya cepat dan lebih mudah
b. Tidak mengganggu kelancaran lalu lintas
c. Memenuhi kriteria keselamatan dan kenyamanan para
pemakai jembatan serta keamanan bagi pemakai jalan yang
melintas di bawahnya
d. Pemeliharaan cepat dan mudah tidak perlu dilakukan secara
intensif
2. Memenuhi tuntutan estetika dan keserasian dengan lingkungan dan
sekitarnya.
Dalam perencanaan jembatan penyeberangan untuk
pejalan kaki di perkotaan harus memenuhi ketentuan-ketentuan
sebagai berikut:

27
1. Perencanaan jembatan penyeberangan harus dilakukan dengan salah
satu metoda:
a. Kondisi batas ultimit dengan mengambil faktor keamanan 1,10
b. Kondisi batas layan dengan mengambil > 1,10
c. Kondisi batas beban kerja dengan mengambil faktor keamanan
> 2,0
2. Analisis perencanaan harus dilakukan dengan cara-cara mekanika
yang baku
3. Analisis dengan komputer, harus memberitahukan prinsip program
dan harus ditujukan dengan jelas data masukan serta data keluaran.
4. Bila metoda perencanaan menyimpang dari tata cara ini, harus
mengikuti ketentuan sebagai berikut:
a. Struktur yang dihasilkan dapat dibuktikan dengan
perhitungan dan atau percobaan cukup aman,
b. Tangggung jawab atas penyimpangan dipikul oleh perencana
dan pelaksana yang bersangkutan,
5. Dokumen perencanaan harus dilengkapi dengan tanggal, nama,
dan tanda tangan penanggung jawab perencanaan serta disetujui
oleh pejabat instansi yang berwenang.
Ketentuan jembatan penyeberangan yang melintas di atas jalan
raya.
1. Tangga dan kepala jembatan diletakkan di luar jalur trotoar
2. Pilar tengan diletakkan di tengan median
Ketentuan jembatan penyeberangan yang melintas di atas
jalur ketera api Tangga dan kepala jembatan diletakkan di luar daerah
milik jalur kereta api Pilar tengah diletakkan berdasarkan ketentuan
instansi yang terkait, Ketentuan lebar badan jembatan:
1. Lebar minimum jalur pejalan kaki dan tangga adalah 2,00 m
2. Pada kedua sisi jalur pejalan kaki dan tangga harus dipasang
sandaran yang mempunyai ukuran sesuai ketentuan yang berlaku

28
3. Pada jembatan penyeberangan pejalan kaki yang melintas di
atas jalan, sepanjang bagian bawah sisi luar sandaran dapat
dipasang elemen yang berfungsi untuk menanam tanaman hias
yang bentuk dan dimensinya harus sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.

Perencanaan gelagar dan lantai jembatan. Perencanaan


bangunan atas jembatan penyeberangan untuk lalu lintas pejalan kaki
harus dilakukan mengikuti ketentuan sebagai berikut:

1. Bangunan atas jembatan penyeberangan yang melintas jembatan


jalan raya dan jalan kereta api harus menggunakan elemen beton
pracetak.
2. Bentuk dan tipe elemen beton pracetak untuk gelagar harus dipilih
salah satu dari tipe yang tercantum di bawah.
3. Bila digunakan tipe balok tipe I dan T, maka lantai jembatan
dapat direncanakan dengan menggunakan pelat beton pracetak atau
pelan beton yang dicor setempat dan merupakan struktur monolit.
4. Penggunaan gelagar beton pracetak prategang pratarik tipe pelat
beton berongga harus sesuai dengan ketentuan: Spesifikasi Elemen
Beton Pracetak Pratarik Tipe Pelat Berongga untuk Gelagar
Jembatan bentang 6-16 m, kapasitas beban BM-70.
5. Penggunaan gelagar beton pracetak prategang pratarik tipe balok
T harus sesuai dengan ketentuan: Spesifikasi Elemen Beton
Pracetak Pratarik Tipe Balok T untuk Gelagar Jembatan bentang 20-
35 m, kapasitas beban BM-70.
6. Penggunaan gelagar beton pracetak prategang pasca tarik tipe balok
T harus sesuai dengan ketentuan: Spesifikasi Elemen Beton Pracetak
Pasca tarik Tipe Balok T untuk Gelagar Jembatan bentang 20-35 m,
kapasitas beban BM-70.
7. Penggunaan gelagar beton pracetak prategang pratarik tipe balok I
harus sesuai dengan ketentuan: Spesifikasi Elemen Beton Pracetak

29
Pratarik Tipe Balok I untuk Gelagar Jembatan bentang 20-35 m,
kapasitas beban BM-70.
8. Penggunaan gelagar beton pracetak prategang pratarik tipe I
harus sesuai dengan ketentuan : Spesifikasi Elemen Beton Pracetak
Prategang Pratarik tipe balok I untuk Gelagar Jembatan Bentang 20-
35 m, kapasitas beban BM-70.
9. Penggunaan gelagar beton pracetak prategang tipe lainnya harus
direncanakan sesuai ketentuan yang berlaku.
10. Pada permukaan pelat beton lantai jembatan harus dipasang
lapisan jenis latasir atau lataston tebal maksimum 4 cm dan miring
3% ke arah tepi.

Perencanaan sandaran jembatan penyeberangan pejalan


kaki harus mengikuti ketentuan sebagai berikut:
1. Tinggi minimum sandaran jembatan penyeberangan untuk pejalan
kaki adalah 1,35 m terhitung mulai dari permukaan lantai
sampai dengan tepi atas sandaran.
2. Setiap batang sandaran harus diperhitungkan mampu memikul
gaya vertikal dan horizontal yang bekerja secara bersamaan sebesar
0,75 kN/m.
3. Tipe sandaran dapat dipilih salah satu dari bentuk yang tercantum
pada gambar, yaitu:
a. Tiang sandaran dari pipa logam dengan 3 batang sandaran dari
pipa logam
b. Tiang sandaran dari pipa logam dengan 2 batang sandaran dari
pipa logam
c. Tiang sandaran dari alumunium aloy yang menumpu di atas
beton dengan 2 batang sandaran dari pipa logam
4. Pada jembatan penyeberangan yang melintas di atas jalan raya
dengan lalu lintas kecepatan tinggi, struktur sandaran harus

30
berfungsi sebagai dinding pengaman yang dilapisi kawat kasa 12 x
12 mm serta tinggi minimum 3 m
5. Bila panjang jembatan lebih dari 40 m, harus dipasang pelindung
terhadap panas matahari dan hujan
a. Pelindung panas dan hujan dipasang pada bingkai pipa logam
b. Setiap pelindung dari pelat fiber glass
c. Bingkai pelindung harus direncanakan kuat menahan tekanan
angin.

3.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Jembatan


Penyeberangan
Menurut O’Flaherty (1997) dalam Setyawan (2006) faktor-
faktor yang mempengaruhi penggunaan fasilitas penyeberangan tidak
sebidang, diurutkan berdasarkan yang terpenting menurut pejalan kaki
adalah:

1. Jarak (directness of route)


2. Kemudahan (ease of negotiation)
3. Estetik (interest of specific features)
4. Pertimbangan lingkungan (general environmental appeal)
5. Keselamatan (safety)
Menurut Hartanto (1986) dalam Setyawan (2006), pejalan kaki
enggan menggunakan jembatan karena malas dan capai serta kondisi
jembatan yang tidak menyenangkan semisal, ketinggian jembatan,
sempit dan terjalnya tangga, kondisi kotor dan suram, serta adanya
pengemis. Pejalan kaki lebih memilih mengambil resiko tertabrak
kendaraan karena merasa lebih cepat dan praktis karena tidak perlu
naik turun tangga. Hal lain yang mendorong penyeberangan sebidang
adalah adanya median jalan yang dapat dimanfaatkan sebagai refuge
island pada saat menyeberang.

31
Hal tersebut berarti jembatan penyeberangan hanya akan
digunakan jika rutenya lebih singkat daripada melalui penyeberangan
sebidang. Hal ini diperkuat dengan penjelasan dari Bruce (1965),
Hartanto (1986), TRRL (1991) dan O’Flaherty (1997) dimana untuk
meningkatkan penggunaan jembatan penyeberangan perlu diaplikasikan
pagar pembatas di tepi jalan dan atau di tengah jalan sehingga jika
memilih menggunakan penyeberangan sebidang harus menempuh rute
yang lebih panjang atau malah sama sekali tidak mungkin
dilakukan (Setyawan, 2006).
3.3.3 Pejalan Kaki
Pejalan kaki adalah orang yang melakukan aktifitas berjalan
kaki. Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum tahun 2014,
disebutkan bahwa seorang yang disebut pejalan kaki merupakan setiap
orang yang berjalan pada ruang lalu lintas jalan.
Peraturan Pemerintah (dalam Wiguna, A., 2014), menjelaskan
bahwa pejalan kaki harus berjalan pada bagian jalan yang diperuntukkan
bagi pejalan kaki, atau pada bagian pejalan kaki, atau pada bagian jalan
yang paling kiri apabila tidak terdapat bagian jalan yang diperuntukan
bagi pejalan kaki.
1. Keragaman Pejalan Kaki
Menurut Dewar, R (dalam Mulyawati, E., 2016)
penyeberang jalan dengan kondisi fisik yang mendapat perhatian
khusus dapat dibagi menjadi 3, yaitu: a. Penyeberang yang cacat
fisik.
a. Penyeberang yang cacat fisik
Penyeberang yang cacat fisik adalah pengguna
jalan/penyeberang yang cacat fisiknya atau mempunyai
keterbatasan fisiknya, oleh karena itu perlu diberikan fasilitas
khusus.

32
b. Penyeberang anak-anak
Penyeberang anak-anak adalah penyeberang pada usia anak-
anak (0-12 tahun) yang sering terjadi kecelakaan dibanding
dengan golongan lainnya. Sebab dalam fakta yang ada
dilapangan, anak-anak banyak yang belum mengerti bagaimana
bahaya dalam menyeberangan di jalan raya.
c. Penyeberang usia lanjut
Penyeberang usia lanjut lebih cenderung mengalami kecelakaan
dari pada usia yang lainnya disebabkan oleh:
 Kelemahan fisik
 Membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menyeberang
(karena faktor usia). Hal ini didudukung oleh kondisi
penglihatan yang tidak lagi berfungsi dengan baik oleh
pengguna jalan yang sudah lanjut usia.
2. Perilaku Pejalan Kaki
Karateristik pejalan kaki menurut Shane (dalam
Mulyawati, E., 2016) secara umum meliputi:
a. Kecepatan menyeberang, V (meter/detik).
b. Volume pejalan kaki, V (pejalan kaki/menit/meter).
c. Kepadatan, D (pejalan kaki/meter persegi).
3. Analisis Kelayakan Pejalan Kaki
Parameter yang digunakan dalam menganalisis kelayakan
pejalan kaki, secara umum adalah sebagai berikut:
a. Kecepatan pejalan kaki
Kecepatan pejalan kaki merupakan kecepatan rerata pejalan kaki
yang dinyatakan dalam satuan m/detik.

Kecepatan (V) = Panjang daerah penelitian (meter)


Satuan waktu (detik)

33
b. Arus Rerata Pejalan Kaki
Arus rerata pejalan kaki merupakan jumlah pejalan kaki yang
melintasi suatu titik dalam suatu satuan waktu tertentu, biasanya
dinyatakan dalam pejalan kaki/15 menit (Ped/15menit).

Arus rerata pejalan kaki (Q) =Jumlah pejalan kaki tiap 15 dtk (ped)
15 menit

c. Kepadatan pejalan kaki


Kepadatan pejalan kaki merupakan jumlah rerata area jalan atau
area antrian yang dinyatakan dalam satuan pejalan kaki per
meter persegi (ped/m2 ).

Kepadatan pejalan kaki (D) = Jumlah pejalan kaki tiap siklus (ped)
Luas trotoar dalam tinjauan (m²)

4. Fungsi Jalur Pejalan Kaki


Fungsi utama jalur pejalan kaki adalah sebagai berikut:
a. Sebagai pemisah antar jalur kendaraan dengan pejalan kaki.
b. Sebagai jalur pejalan kaki yang berperan dalam menghubungkan
antar tempat fungsional dengan tempat fungsional lainnya.
c. Sebagai tempat transit, dimana pada jalur pejalan kaki terdapat
halte, tempat beristirahat dan lain-lain.
d. Sebagai wadah pergerakan pejalan kaki, yang memungkinkan
pejalan kaki melakukan berbagai aktivitas.
5. Jalur Pejalan Kaki
Berdasarkan keputusan Direktur Jenderal Bina Marga
(1999), jalur pejalan kaki merupakan lintasan yang diperuntukkan
untuk berjalan kaki. Jalur pejalan kaki dapat berupa trotoar,
penyeberangan sebidang (penyeberangan zebra cross atau
penyeberangan pelican cross), dan penyeberangan tak sebidang
(jembatan penyeberangan dan terowongan).

34
Perencanaan dan perancangan jalur pejalan kaki yang baik
akan mendukung kegiatan yang dilakukan oleh penggunaanya
dengan aman dan nyaman. Jalur pejalan kaki juga merupakan ruang
bagi manusia melakukan kegiatan seperti berbelanja, berinteraksi,
dan menjadi ciri khas dari suatu lingkungan.
Jalur pejalan kaki dan perlengkapannya harus
direncanakan sesuai ketentuan. ketentuan tersebut secara umum
adalah sebagai berikut:
a. Fasilitas pejalan kaki tidak dikaitkan dengan fungsi jalan.
b. Pada hakekatnya pejalan kaki untuk mencapai tujuannya ingin
menggunakan lintasan sedekat mungkin, dengan nyaman, lancar
dan aman dari gangguan.
c. Adanya kontinuitas jalur pejalan kaki, yang menghubungkan
antara tempat asal ke tempat tujuan, dan begitu juga sebaliknya.
d. Jalur pejalan kaki harus dilengkapi dengan fisilitas-fasilitasnya
seperti: rambu-rambu, penerangan, marka, dan perlengkapan
jalan lainnya, sehingga pejalan kaki lebih mendapat kepastian
dalam berjalan, terutama bagi pejalan kaki penyandang cacat.
e. Jalur pejalan kaki harus diperkeras dan dibuat sedemikian rupa
sehingga apabila hujan permukaannya tidak licin, tidak terjadi
genangan air, serta disarankan untuk dilengkapi dengan
peneduh.
f. Untuk menjaga kesalamatan dan keleluasaan pejalan kaki,
sebaiknya dipisahkan secara fisik dari jalur lalu lintas kendaraan.
g. Pertemuan antara jenis jalur pejalan kaki yang menjadi satu
kesatuan harus dilakukan sedemikian rupa sehingga
memberikan keamanan dan kenyamanan serta pejalan kaki.

35
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pekerjaan Umum, 1997, “ Manual Kapasitas Jalan Indonesia


“,Ditjen Bina Marga, Jakarta.

Dinas Pekerjaan Umum,2007,”Kajian Simpang Tak Sebidang (Jati Baru-


KS.Tubun)”,Jati Baru,Jakarta Pusat.

Morlok Edward. K, 1991, ”Pengantar Teknik dan Perencanaan Transportasi”,


Erlangga, Jakarta.

Munawar Ahmad, 2004, ”Manajemen Lalu Lintas Perkotaan”, Beta


Offset,Yogyakarta.

Oglesby. CH dan Hicks. RG, 1998, “ Teknik Jalan Raya “, Erlangga,


Jakarta.Pline James. L, Institut of Transportation Engineers, 1992, Traffic
Engineering.

Pedoman Perencanaan Jalur Pejalan Kaki pada Jalan Umum No.032/T/BM/1999,


Kementrian Pekerjaan Umum.

Hoobs, F.D. (1995). “Perencanaan dan Teknik Lalu Lintas”. Yogyakarta


Universitas Gajah Mada.

Hariyanto,J. (2004). “Perencanaan Simpang Tak Sebidang Pada Jalan Raya”


Medan : USU Digital Library.

Setiawan, Rudy, 2006. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Jembatan


Penyeberangan, Penelitian Jurnal, Universitas Kristen Petra.

Setiawan, Rudy, 2006. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Jembatan


Penyeberangan, Penelitian Jurnal, Universitas Kristen Petra.

Setiawan, Rudy, 2006. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Jembatan


Penyeberangan, Penelitian Jurnal, Universitas Kristen Petra.

36

Anda mungkin juga menyukai