Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH SEJARAH PERADABAN ISLAM

Mata Kuliah : Sejarah Peradaban Islam


Dosen Pengampu : Dr.Solihah Titin Sumanti, M.Ag

Disusun Oleh
Kelompok 1 :
1. Avio Andhara Perdana Putra (0801222418)
2. Fahita Warda Situmorang (0801221123)
3. Naila Salsabilla Lubis (0801222416)
4. Rani Ramadani (0801221131)

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN


MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UIN SUMATRA UTARA MEDAN
2022
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah melimpahkan dan karunia-Nya, Tidak lupa
pula selawat serta salam kepada nabi besar Muhammad SAW
yang telah meninggalkan contoh cemerlang tentang bagaimana
seharusnya menjalani kehidupan kita di dunia ini. Sehingga kami
dapat menyelesaikan makala ini untuk mata kuliah Sejarah
Peradaban Islam, Dengan judul:”Kemunculan Masyarakat Arab
Sebelum Islam”. Kami menyadari bahwa dalam membuat makala
ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak yang telah tulus
memberikan doa, saran dan keritik sehingga ini dapat
terselesaikan. Makala ini banyak ditemukan kekurangan karna
sesungguhnya kesempurnaan hanya milik Allah, Demi
kesempurnaan makalah ini penyusuan sangat berharap perbaikan,
Kritik dan saran yang sifatnya membangun apabila terdapat
kesalahan. Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua, lebih kurangnya kami mohon maaf dan kepada Allah
kami mohon ampun.

Medan, 11 Oktober 2022

Kelompok 1
DAFTAR ISI
Kata pengantar………………………………………………………………………………………………………………………………….i
Daftar isi………………………………………………………………………………………………………………………………………..…ii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………………………………………………………….1

1.1 Latar
belakang…………………………………………………………………………………………………………………….1

1.2 Rumusan
masalah……………………………………………………………………………………………………………….2

1.3 Tujuan………………………………………………………………………………………………………………………
…………2
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………………………………………………………………3
2.1 Geografis jazirah arab………………………………………………………………………………………………………….3
2.2 Asal usul masyarakat arab sebelum islam……………………………………………………………………………5

2.3 Sistem-sistem masyarakat arab dari segi social, politik, kepercayaan, ekonomi, kerajaan arab

Sebelum islam………………………………………………………………………………………………………………………7

BAB III PENUTUP……………………………………………………………………………………………………………………………….8

3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………………………………………………………………8

3.2 Saran…………………………………………………………………………………………………………………………………….8

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………………………………………………………………9
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masa sebelum kedatangan Islam dikenal dengan zaman jahiliyah.
Dalam Islam, periode jahiliyah dianggap sebagai suatu kemunduran dalam
kehidupan beragama. Pada saat itu masarakat Arab jahiliyah mempunyai
kebiasaan-kebiasaan buruk seperti meminum minuman keras, berjudi, dan
menyembah berhala.
Ketika nabi Muhammad SAW lahir (570M). Mekah adalah sebuah
kotayang sangat penting dan terkenal di antara kota-kota di negeri Arab,
baik karenatradisinya maupun karena letaknya. Kota ini dilalui jalur
perdagangan yang ramaimenghubungkan &aman di selatan dan Syiria di
utara. Dengan adanya Ka'bah ditengah kota. Mekah menjadi pusat
keagamaan Arab. Ka'bah adalah tempatmereka berziarah. Didalamnya
terdapat 360 berhala mengelilingi berhala utama,Hubal. Mekah kelihatan
makmur dan kuat. Agama dan masyarakat Arab ketika itumencerminkan
realitas kesukuan masyarakat jazirah Arab dengan luas satu jutamil
persegi.
Biasanya, dalam membicarakan wilayah geografis yang didiami
bangsaArab sebelum Islam, orang membatasi pembicaraan hanya pada
jazirah Arab, padahal bangsa Arab juga mendiami daerah-daerah di sekitar
jazirah. Jazirah Arabmemang merupakan kediaman mayoritas bangsa Arab
kala itu.
Dalam makalah ini, kami akan membahas tentang kondisi Bangsa
Arabsebelum kedatangan agama Islam. Khususnya mengenai letak
geografisnya, asal-usulnya, agamanya, serta peradabannya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Geografis Jazirah Arab?
2. Bagaimana asal-usul masyarakat Arab sebelum islam?
3. Bagaimana sistem-sistem masyarakat Arab dari segi social,
politik, kepercayaan, ekonomi, pengetahuan/intelektual, dan
komunitas-komunitas kerajaan masyarakat arab sebelum islam?

1.3 Tujuan
1. Mengkaji lebih dalam geografis Jazirah Arab.
2. Untuk mengetahui asal-usul masyarakat Arab sebelum islam.
3. Agar dapat mengatahui sistem-sistem masyarakat Arab dari segi
social politik, kepercayaan, ekonomi, pengetahuan/intelektual,
dan komunitas-komunitas kerajaan masyarakat arab sebelum
Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Geografis Jazirah Arab
Jazirah dalam bahasa Arab berarti pulau, jadi "Jazirah Arab" berarti
"Pulau Arab". Oleh bangsa Arab tanah air mereka disebut jazirah, kendati
pun hanya dari tiga jurusan saja dibatasi oleh laut. Yang demikian itu
adalah secara majas (tidak sebenarnya). Sebagian ahli sejarah menamai
tanah Arab itu "Shibhul jazirah" yang dalam bahasa Indonesia berarti
"Semenanjung". Kalau diperhatikan kelihatanlah bahwa Jazirah Arab itu
berbentuk empat persegi panjang, yang sisi-sisinya tiada sejajar.1
Di sebelah barat berbatasan dengan Laut Merah, disebelah selatan
dengan Lautan Hindia, di sebelah timur dengan Teluk Arab (dahulu
namanya Teluk Persia) dan di sebelah utara dengan Gurun Irak dan Gurun
Syam (Gurun Siria). Panjangnya 1000 Km lebih, dan lebarnya kira-kira
1000 Km.
Jazirah Arab terletak di bagian barat daya Benua Asia. Daratan ini
dikelilingi oleh laut dari tiga sisinya, yaitu Laut Merah, Lautan Hindia,
Laut Arab, Teluk Oman dan Teluk Persia. Meskipun tanah Arab ini lebih
tepat disebut semenanjung, namun Bangsa Arab menyebutnya jazirah atau
pulau. Boleh jadi sebutan ini diambil dari kata shibh al-jazirah yang
artinya semenanjung Bangsa Arab sebelum Islam tidak hanya mendiami .1
Jazirah Arab, namun telah menyebar di daerah-daerah di sekitar Jazirah.
Jazirah Arab terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu bagian tengah
(pedalaman) dan bagian pesisir. di sana tidak ada sungai yang menagalir
tetap, yang ada hanya lembah-lembah (wadi) yang berair di musim
hujan2.Lembah-lembah ini sangat bermanfaat sebagai jalan bagi kafilah
dan orang-orang yang menunaikan ibadah haji. 3Penduduk Sahara (ahl al-
badw) terdiri dari suku-suku Badui yang mempunyai gaya hidup pedesaan
1

1
Abdul Jabbar Adlan, Dirasat Islamiyyah, (Surabaya: Anika Bahagia Offset, 1995), 9.

2
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 1997), 9.
yang nomadik, berpindah dari satu daerah ke daerah lain guna mencari air
dan padang rumput untuk binatang gembalaan mereka.

Mereka sempat membina berbagai macam budaya, bahkan kerajaan, 4


antara lain Ahsa (Bahrain), Oman, Mahrab, Hadramaut, Yaman dan Hijaz.
Dan menjelang kelahiran Islam, bangsa Arab keturunan Yaman berhasil
mendirikan kerajaan Hirrah (Manadzirah) dan Ghassasinah di ujung
Jazirah Arab bagian utara.5
Secara umum, iklim di Jazirah Arab sangat panas, bahkan jazirah ini
termasuk salah satu daerah yang paling panas dan paling kering di bumi.
6
Ahli geografi memperkirakan, bahwa daratan Arab dahulu (sebelum
terputus oleh lembah Sungai Nil dan laut Merah) merupakan sambungan
padang pasir yang terbentang luas dari Sahara di Afrika sampai padang
pasir Gobi di Asia. dua buah laut yang kini membatasi Jazirah Arab di tepi
barat dan di tepi timur, terlampau kecil untuk mengimbangi udara padang
npasir yang terlalu panas dan kering, sementara uap air yang dikirim dari
samudera menjangkau daerah pedalaman. tidak mengherankan apabila
angina timur yang sejuk dan segar menjadi dambaan dan sering kali
menjelma dalam syair-syair para penyair Arab.7
Para ahli sejarah Arab membagi bangsa Arab atas dua kelompok
besar, yaitu Arab Baidah dan Arab Baqiah. Arab Baidah merupakan
bangsa Arab yang sudah lama punah jauh sebelum Islam lahir. Cerita-
cerita tentang Arab Baidah hanya termaktub di dalam kitabkitab suci
agama Samawi dan yang diungkapkan oleh syair-syair Arab, semisal kaum
Ad dan Tsamud.8
Sedangkan Arab Baqiah terdiri dari dua bagian besar, yaitu Arab
Aribah dan Arab Musta’ribah. Arab Aribah disebut pula Qahthaniyah
dinisbatkan kepada Qahthan, nenek moyang mereka, atau Yamaniyah
dinisbatkan kepada negeri Yaman tempat asal persebaran mereka. 9Arab
3
Philip K. Hitti, Dunia Arab; Sejarah Ringkas, terj. Usuludin Hutagalung dan O.D.P. Sihombing (Bandung: Sumur
Bandung, 1970), 16.

4
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 10
5
5 Abdul Jabbar Adlan, Dirasat Islamiyyah, 12.
6
6 Ibid., 11.
7
Philip K. Hitti, Dunia Arab; Sejarah Ringkas, 13-14.
8
Abdul Jabbar Adlan, Dirasat Islamiyyah, 12.
9
Ahmad Hasan al-Zayyat, Tarikh al-Adab al-‘Arabi, (Beirut: Dar al-Tsaqafah, t.t), 7
Aribah ini bercabang menjadi beberapa kabilah, yang terkenal diantaranya
adalah kabilah Jurhum dan Yarib
Sedangkan Arab Musta’ribah merupakan keturunan Ismail ibn
Ibrahim. karena itu, mereka disebut Ismailiyah atau Adnaniyah
dinisbatkan kepada salah seorang keturunan Ismail yang bernama Adnan.
Mereka disebut Musta’ribah, karena Ismail sendiri bukan keturunan Arab,
melainkan berasal dari bangsa Ibrani. Ia lahir dan dibesarkan di Makkah
yang saat itu berada di bawah kekuasaan kabilah Jurhum dari Yaman.
Tidak ada pilihan lain bagi Ismail kecuali menggunakan bahasa Arab
(bahasa kabilah Jurhum) dalam kesehariannya.11 Pada mulanya, wilayah
utara Jazirah Arab diduduki golongan Adnaniyun dan wilayah selatan
didiami golongan Qahthaniyun. Akan tetapi, kedua golongan tersebut
kemudian membaur karena perpindahan-perpindahan dari utara ke selatan
atau sebaliknya.12 Dalam struktur masyarakat Arab, terdapat kabilah
sebagai intinya. Kabilah adalah organisasi keluarga besar yang biasanya
hubungan antara anggota-anggotanya satu sama lain terikat oleh nasab 13
dan shihr 14 . Namun, terkadang juga terjadi hubungan seseorang dengan
kabilahnya disebabkan oleh perkawinan, suaka politik 15 atau karena
sumpah setia.16 Perbudakan juga bisa menyebabkan terjadinya hubungan
seseorang dengan suatu kabilah.17 Di atas kabilah terdapat sya’b (bangsa)
yang juga didasarkan atas pertalian darah, sedangkan di bawah kabilah
adalah buthun, di bawah buthun terdapat fakhd (marga) dan di bawah
fakhd adalah ‘asyirah (keluarga).18 10
Sebuah kabilah dipimpin oleh seorang kepala yang disebut syaikh al-
qabilah. Syaikh al-qabilah biasanya dipilih dari salah seorang anggota
yang usianya paling tua dengan melalui musyawarah. Akan tetapi, dalam
kasus tertentu bisa terjadi seseorang yang usianya muda mendapat
kepercayaan untuk memimpin sebuah kabilah. Seorang syaikh al-qabilah
mempunyai kekuasaan untuk memimpin dan setiap anggota memiliki
kedudukan yang sama dalam kabilahnya. Mereka mengenal prinsip-prinsip

10

11
Abdul Jabbar Adlan, Dirasat Islamiyah, 13.12 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 10. 13 Nasab adalah
hubungan yang dibangun dari garis laki-laki. 14 Shihr adalah hubungan yang yang terjalin dari garis perempuan.
15
Karena itu, kabilah dalam masyarakat badui, disamping merupakan ikatan keluarga juga merupakan ikatan
politik, meskipun tidak terikat oleh suatu daerah tertentu. 16 W. Montgomery Watt, Muhammad’s Mecca;
History in the Quran, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1988), 15. 17 Ibid., 16 18 Abdul Jabbar Adlan,
Dirasat Islamiyah., 15. 19 Ibid.
demokrasi, sebagaimana diperlihatkan oleh sikap mereka dalam
menghargai pendapat anggota.19
Masyarakat Arab yang mendiami pedalaman jazirah sangat
menekankan hubungan kesukuan sehingga kesetiaan atau solidaritas
kelompok menjadi sumber kekuatan bagi suatu kabilah atau suku. 20
Perasaan senasib mendorong mereka untuk mengatasi bersama setiap
kesulitan yang muncul. Akan tetapi, karena masyarakat Arab sejak awal
sudah terstruktur dalam kabilah-kabilah, maka kepentingan bersama lebih
mereka pahami dalam perngertian yang terbatas hanya untuk kabilahnya
sendiri. Hal ini menimbulkan persaingan ketat yang menempatkan kabilah-
kabilah badui selalu dalam posisi konflik untuk memenuhi kebutuhan
masing-masing.21 Dari sinilah, tumbuh fanatisme kesukuan yang
berlebihan di kalangan masyarakat padang pasir. Oleh karena itu, di
kalangan mereka berlaku ketentuan, bahwa kesalahan seorang anggota
kabilah terhadap kabilah lain menjadi tanggung jawab kabilahnya.
Ancaman terhadap salah seorang anggota kabilah berarti ancaman
terhadap kabilah itu. 11
Arab pedalaman (badui) sangat mencintai kebebasan, seakan tidak
ada kekuatan lain yang mampu mengekangnya. Dari prinsip ini, tidak
jarang terjadi suatu persoalan kecil yang bisa menimbulkan perang dahsyat
dan permusuhan yang berlarut-larut dengan dalih mempertahankan harga
diri. Karena itu, pada masyarakat badui berlaku hukum “siapa yang kuat
akan hidup dan siapa yang lemah akan tertindas”. Akibat peperangan yang
terjadi terus menerus, kebudayaan mereka tidak berkembang dan nilai
wanita menjadi sangat rendah. 22
Lain halnya dengan masyarakat Arab yang mendiami pesisir jazirah.
Mereka telah mencapai tingkat kemajuan kebudayan di masanya. Dengan
bertempat tinggal tetap, mereka memiliki kesempatan untuk membangun
pemerintahan yang teratur dan membangun kebudayaan. Kesempatan
inilah yang tidak dimiliki oleh kaum badui.23

1120
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 11.
21
Abdul Jabbar Adlan, Dirasat Islamiyah, 15-16.
22
Ibid.,
23
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 12
2.2 Asal Usul Masyarakat Arab Sebelum Islam
Orang Arab memiliki akar panjang dalam sejarah, di antaranya milik
ras atau keluarga Kaukasia, miliki subras Mediterania, yang anggotanya
adalah Mediterania, Afrika Utara, Armenia, Arab, Ini mencakup wilayah
di sekitar Iran secara pribadi. penduduk Jazirah Arab dapat dibagi menjadi
dua kelompok utama: Qathaniyun (keturunan athan) dan 'Adaniyun
(keturunan Ismail bin Ibrahim as).
Masyarakat Arab adalah orang yang tinggal dan menetap di
semenanjung terbesar di dunia, yaitu Jazirah Arab yang terletak di Asia
Barat Daya dan memiliki luas 1.027.000 kilometer persegi. Sebagian besar
wilayah Arab ditutupi oleh gurun dan merupakan salah satu tempat
terpanas di dunia. Masyarakat Arab menjalani kehidupan nomaden Karena
tanahnya terdiri dari gurun pasir kering dan memiliki sedikit hujan Migrasi
dari satu tempat ke tempat lain mengikuti tanaman stepa atau Padang
rumput yang tumbuh secara sporadis di tanah Arab di sekitar oasis atau
genangan air setelah hujan (Wilkinson,200:2 Hitti, 1970: 23). Padang
rumput dibutuhkan oleh Badawi, Badawa dan Badui untuk
menggembalakan ternak. Mereka tinggal di wilayah Jazirah Arab,
penghubung antara wilayah gurun yang membentang dari sub-Sahara
Afrika barat ke Asia, Iran tengah, dan timur melalui Gurun Gobi Cina.Uap
air membuatnya sangat kering dan panas. Namun demikian, wilayah ini
kaya akan produksi minyak, terbesar di dunia (Supriyadi, 2016:7-9;
Wilkinson, 20:2)
Tidak ada sungai yang bisa dilayari atau air sungai yang terus
mengalir ke laut, yang ada hanya lembah yang banjir saat musim hujan
(Nasution, 2018: 7). Ada dua suku dari mana orang Arab berasal. Pertama,
suku Arab al-Baidah. Suku ini adalah bangsa Arab yang telah punah,
keberadaannya mirip dengan Ad dan Tsamud. Kedua, suku Arab al Baqiah
mereka adalah bangsa arab yang berasal dari keturunan ya’rub bin yasyjuj
bin Qahthn mereka disebut juga dengan al arab al Qahthaniyah. Arab yang
kering dan keras mempengaruhi bentuk dan karakter fisik mereka.
Dalam bentuk fisik kaku, kuat dan sangat tahan lama, tetapi di alam
mereka memberikan karakteristik khusus, baik positif dan baik dan juga
negatif atau buruk.Karakter positif orang Arab adalah kedermawanan,
keberanian, dan kepahlawanan. Sifat negatifnya adalah suka berperang,
sombong dan arogan, serta pemabuk dan penjudi Masyarakat Arab terbagi
menjadi dua kelompok besar, yaitu masyarakat Badui dan Hadhar atau
masyarakat Wabar dan Madar. Klasifikasi ini berlaku untuk orang Arab
utara dan selatan dan semua bagian Arab lainnya. Masyarakat Madar
adalah masyarakat Arab yang tinggal di kota-kota dan di pedesaan. Mereka
hidup dengan bertani, berkebun, memelihara hewan dan membawa barang
dagangan ke berbagai negara. Sedangkan masyarakat wabar yang menetap
di padang pasir dan mencari nafkah dengan memerah susu unta dan
diambil dagingnya. Mereka mengembara mencari padang rumput dan
kolam air hujan dan kemudian berkemah di sana sampai mereka
menemukan tanah subur dan menggembalakan ternak mereka. Kemudian
mereka pindah mencari padang rumput dan mata air baru sehingga mereka
menjadi perantau (Ali, 2019: 199). Masyarakat Arab mungkin juga hidup
dalam suku atau kabilah-kabilah Mereka hidup berdampingan di antara
suku, membuat perjanjian damai yang disebut al-Ahlaf. Kecintaan mereka
terhadap keluarga, generasi (nasab) dan suku melebihi kecintaan mereka
terhadap hal lainnya. Ibn Khaldun menyebut ungkapan ini al-'Ashabiyah
(Hitti, 1970: 27). Fanatisme suku ini sering menimbulkan pertengkaran
dengan suku, yang berakhir dengan peperangan, bahkan lebih dari hal
sepele seperti kalah dalam pacuan kuda, adu hewan memperebutkan
ternak, mata air atau padang rumput. Faktor geografis orang Arab,
dipengaruhi oleh padang pasir yang luas dan tandus, mempengaruhi
karakter dan perilaku rata-rata orang Arab yang tampaknya parah. Kepala
suku Arab, selain tegas dan Tangguh terkenal dengan tanggung jawab,
kedermawanannya, menerima tamu dan membantu mereka yang
membutuhkan (Nicholson, 1907: 92; Hitti, 1970: 95; Palmer, 2005 : 157;
Karim, 2015: 50, 52 -5).
Pada saat yang sama, orang Arab dikenal tidak pandai mengatur
pasukan dan mengkoordinasikan kegiatan karena tidak ada hukum reguler
dan universal dan mereka lebih mementingkan kekuasaan pribadi dan
pendapat suku lain (Supriyadi,2016: 55). Mungkin inilah alasan sulitnya
menyatukan suku dan suku Arab.

2.3 sistem-sistem masyarakat Arab dari segi social, politik,


kepercayaan, ekonomi, pengetahuan/intelektual, dan komunitas-
komunitas kerajaan masyarakat arab sebelum islam
A. Dari Segi Sosial
Di samping sebagai suatu bentuk kesenian, syair dapat
menggambarkan kehidupan, budi pekerti, dan adat istiadat bangsa Arab
pra Islam sampai dengan awal kehadiran pendidikan Islam yang terkenal
dengan zaman Jahiliyah. Menurut Charis Waddy, yang dikutip oleh Ibu
Ratu Suntiah ungkapan “Jahiliyah” mempunyai konotasi berbarisme; tidak
beradab, kasar, buas, dan tak berbudaya, (Ahmad Al-Usairy, 2011).
Kebiasaan mereka sudah sangat menyesatkan, seperti membunuh anak-
anak perempuan karena dianggap membawa sial dalam keluarga,
berperang terus menerus antar kabilah, minum khamer, berjudi, dan
berzina. Sebagai suatu seni yang paling indah, syair amat dihargai dan
dimuliakan oleh bangsa Arab sehingga seorang penyair mempunyai
kedudukan yang sangat tinggi dalam masyarakat. Membela dan
mempertahankan kabilah dengan syair-syair, melebihi seorang pahlawan
yang membela kabilahnya dengan pedang dan tombak. Syair sangat
berpengaruh bagi bangsa Arab sehingga dapat meninggikan derajat
seseorang yang tadinya hina dina (seperti kisah Abdul ‘Uzza ibnu ‘Amir
yang hidup melarat dan banyak anak, dipuji oleh penyair Al-A’sya
sehingga menjadi masyhur dan penghidupannya menjadi baik dan dapat
menghina dinakan seseorang yang tadinya mulia (seperti kisah penyair
Hassan ibnu Tsabit yang mencela sekumpulan manusia sehingga menjadi
hina dina), (Ahmad Al-Usairy, 2011). Menurut Mushthafa Sa’id al-Khinn
dalam buku Dirasat Tarikhiyyat li al-Fiqh wa Ushulih wa al-Ittijahat al-lati
Zhaharat Fihima yang dikutip Jaih Mubarok, bahwa bangsa Arab pra Isalm
menjadikan adat sebagai hukum dengan berbagai bentuknya, (Dedi
Supriyadi, 2008). Dalam perkawinan, mereka mengenal berbagai macam,
diantarnya adalah:
a. Istibdla, yaitu seorang suami meminta kepada istrinya supaya
berjimak dengan laki-laki yang dipandang mulia atau memiliki kelebihan
tertentu seperti keberanian dan kecerdasan. Selama istri “bergaul” dengan
laki-laki tersebut, suami menahan diri dengan tidak berjimak dengan
istrinya sebelum terbukti bahwa istrinya hamil. Tujuan perkawinan
semacam ini adalah agar istri melahirkan anak yang memiliki sifat yang
dimiliki oleh laki-laki yang menyetubuhinya yang tidak dimiliki oleh
suaminya. Seperti seorang suami merelakan istrinya berjimak dengan raja
sampai terbukti hamil agar memperoleh anak yang berasal dari orang
terhormat.
b. Poliandri, yaitu beberapa lelaki berjimak dengan seorang
perempuan. Setelah perempuan itu hamil dan melahirkan anak, perempuan
tersebut memanggil semua lelaki yang pernah menyetubuhinya untuk
berkumpul di rumahnya. Setelah semuanya hadir, perempuan tersebut
memberitahukan bahwa ia telah dikaruniai anak hasil hubungan dengan
mereka; kemudian perempuan tersebut menunjuk salah seorang dari semua
laki-laki dan yang ditunjuk tidak boleh menolak.
c. Maqthu, yaitu seorang laki-laki menikahi ibu tirinya setelah
bapaknya meninggal dunia. Jika seorang anak ingin mengawini ibu tirinya,
dia melemparkan kain kepada ibu tirinya sebagai tanda bahwa ia
menginginkannya; sementara ibu tirinya tidak memiliki kewenangan untuk
menolak. Jika anak laki-laki tersebut masih kecil, ibu tiri diharuskan
menunggu sampai anak itu dewasa. Setelah dewasa, anak tersebut berhak
memilih untuk menjadikannya isteri atau melepaskannya.
d. Badal, yaitu tukar menukar isteri tanpa bercerai terlebih dahulu
dengan tujuan untuk memuaskan hubungan sex dan menghindari dari
kebosanan.
e. Shighar, yaitu seorang wali menikahkan anak atau saudara
perempuannya kepada seorang lakilaki tanpa mahar.
Di samping tipe perkawinan di atas, Abdul karim khalil mengemukakan
analisis Fyzee yang mengutip pendapat Abdur Rahim dalam buku Kasf al-
Ghumma, bahwa beberapa perkawinan lain yang terjadi pada bangsa Arab
sebelum datangnya Isalm yaitu, (Dedi Supriyadi, 2008).
a. Bentuk perkawinan yang diberi sanksi oleh Islam, yakni
seseorang meminta kepada orang lain untuk menikahi saudara perempuan
atau budak dengan bayaran tertentu (mirip kawin kontark).
b. Prostitusi sudah dikenal. Biasanya dilakukan kepada para
pendatang/tamu di tenda-tenda dengan cara mengibarkan bendera sebagai
tanda memanggil. Jika wanitanya hamil, maka ia akan memilih di antara
laki-laki yang mengencaninaya itu sebagai bapak dari anaknya yang
dikandung.
c. Mut’ah adalah praktik yang umum dilakukan oleh bangsa Arab
sebelum Islam. Meskipun pada awalnya, Nabi Muhammad Saw.
mentolelir, namun akhirnya melarang. Hanya kelompok Syiah Itsna
‘Ashariah yang mengizinkan perkawinan tersebut. Subhi Mahmashshani
sebagaimana dikutip Jaih Mubarok mengatakan bahwa dalam bidang
mu’amalat, diantara kebiasaan mereka adalah kebolehan transaksi
mubadalat (barter), jual beli, kerjasama pertanian (muzara’at), dan riba.
Salain itu, terdapat jual beli yang bersifat spekulatif seperti bay al-
Munabadzat. Di antara ketentuan hukum keluarga Arab pra Islam adalah
kebolehan berpoligami dengan perempuan tanpa batas, serta anak kecil
dan perempuan tidak dapat menerima harta pusaka atau harta peninggalan.
Mengenai tatanan masayrakat Arab pra Islam yang cenderung
merendahkan harkat dan martabat wanita, Charis Waddy yang dikutip oleh
ibu Ratu Suntiah menyebutnya, dengan suatu bentuk kejahatan-kejahatan
sosial yakni memperlakukan wanita secara sewenang-wenang: poligami
yang tak terbatas, tidak adanya hak pemilikan, dan kelaziman membunuh
bayi perempuan, (Ratu Suntiah, 2011). Sementara itu, Nurcholis Majid
melihatnya dari dua kasus: pertama, perempuan dapat diwariskan, seperti
pada pernikahan Maqthu dimana ibu tiri harus rela dijadikan isteri oleh
anak tirinya ketika suaminya meninggal; ibu tiri tidak mempunyai hak
pilih, baik untukmenerima maupun untuk menolaknya; dan kedua,
perempuan tidak memperolah harta pusaka.
B. Dari Segi Politik
Penduduk jazirah Arab dterbagi menjadi dua: penduduk kota dan
penduduk badui. Aturan yang berlaku di sana adalah adat kesukuan.
Bahkan aturan adat kesukuan ini berlaku hingga di lingkungan kerajaan
yang notabene merupakan lingkungan kota di jazirah Arab. Seperti
kerajaan Yaman di Arab bagian selatan, kerajaan Hairah di Arab bagian
timur laut, dan kerajaan Ghassasanah di Arab bagian barat laut. Mereka
tidak melebur menjadi satu golongan, akan tetapi terpecah menjadi
beberapa kabilah dan setiap kabilah fanatik dengan kabilahnya masing-
masing. Kabilah Arab terdiri dari sekelompok orang yang diikat dengan
hubungan satu darah, satu nasab, dan satu golongan. Untuk memayungi
kehidupan mereka dibuatlah undang-undang adat yang mengatur
hubungan antar individu dan jama’ah mereka. Prinsip solidaritas dan
kesetiakawanan sangat dijunjung tinggi oleh mereka dalam menjalankan
hak dan kewajibannya. Dan undang-undang adat inilah yang kemudian
mereka pegang teguh dalam mengatur kehidupan politik dan sosial mereka
(Abu Syuhbah, 1996: 60).
Pemimpin kabilah dipilih dan diangkat oleh kalangan mereka sendiri
dan untuk menjadi pemimpin kabilah harus memiliki beberapa kriteria
tertentu, di antaranya adalah pemberani, berwibawa, karismatik, dan lain
sebagainya. Pemimpin kabilah memiliki hak baik yang bersifat moral
maupun material. Di antara hak moral bagi pemimpin kabilah adalah
mendapatkan penghormatan, penghargaan dan dipatuhi segala
perintahnya, memutuskan, dan menjatuhkan hukuman. Adapun hak
materialnya adalah dia mendapatkan seperempat dari harta rampasan
perang, dan sebelum harta rampasan perang dibagikan dia juga berhak
untuk mengambil sebagiannya atas nama pribadi. Sebagai konsekuensinya,
seorang pemimpin kabilah memiliki tanggung jawab dan kewajiban, di
antaranya adalah pada masa damai seorang pemimpin kabilah dituntut agar
bersikap dermawan dan murah hati, pada saat perang dia berada di garda
terdepan. Dia juga memiliki tugas untuk memutuskan genjatan senjata dan
mengagendakan perjanjian. Muhammad Qal’aji ( 1988: 31) menyatakan
Peperangan antar kabilah sering terjadi. Dan perang antar kabilah yang
paling terkenal adalah perang Fujjar. Selain peperangan dalam skala besar,
antar anggota kabilah juga sering terjadi keributan dan serangan-serangan
kecil. Faktor yang melatari serangan mereka adalah karena masalah
pribadi, atau karena masalah yang menyangkut kehidupan mereka. Ketika
sebagian anggota kabilah sedang mendapatkan kelapangan makanan atau
harta yang melimpah, maka tak jarang anggota kabilah lain datang
menyergap untuk merampas atau merampoknya, baik di siang hari
maupun di malam hari. Kemudian tempat tinggal anggota kabilah yang
dirampok tersebut ditinggalkan begitu saja.
C. Dari Segi Kepercayaan
Bangsa Arab pernah didera kemunduran dalam aspek keagamaan.
Praktik penyembahan berhala yang mereka lakukan sampai pada tarap
yang tidak masuk akal dan tak tertandingi. Selain itu juga telah terjadi
penyimpangan moral dan sosial, serta kekacauan di bidang politik dan
hukum. Sudah pasti semua itu menyebabkan kondisi mereka
memprihatinkan dan lambat laun lembaran sejarah mereka tergulung oleh
waktu. Mereka menyembah berhala. Bahkan setiap kabilah memiliki
berhala masing-masing. Kabilah Khuza’ah dan Quraisy menyembah
berhala Isaf dan Na’ilah. Ada juga berhala yang bernama Manat yang
terletak di pinggiran pantai. Seluruh bangsa Arab memujanya, terutama
kabilah Auz dan Khazraj. Di Tsaqif terdapat berhala yang bernama Lata,
dan di Dzatu’Irq terdapat berhala ‘Uzza, berhala yang paling besar d
kalangan kabilah Quraisy (Salman al-‘Audah: 60).
Di samping berhala-berhala tersebut ada juga berhala berbentuk
kecil yang tak terhitung jumlahnya. Mereka biasanya membawa berhala
tersebut kemana pun mereka pergi dan meletakkannya di tempat tinggal
mereka, ketika sedang tidak dalam perjalanan.
Sungguh, praktik penyembahan terhadap berhala telah menghalangi
bangsa Arab untuk mengenal Allah, memuja, dan mengagungkan-Nya,
mempercayai-Nya, dan untuk mempercayai adanya hari kiamat. Dalam
pandangan mereka, berhala-berhala tersebut bertindak sebagai tuhantuhan
yang selalu mengawasi hati, perbuatan, tindakan, dan segala gerak gerik
kehidupan mereka. (lihat QS. Al-An’am: 36).
Adapun beberapa ajaran yang tersisa dari agama Ibrahim juga telah
melakukan penyimpangan, perubahan, dan pergantian. Di satu musim,
mereka berhaji hanya sekadar untuk membanggakan dan menyombongkan
diri atas derajar yang mereka miliki. Akidah agama Ibrahim
diselewengkan dari sifat kehanifannya dan menggantinya dengan akidah
yang berbau klenik dan mitos. Sebagian orang Arab menganut agama
Nasrani dan sebagian yang lain menganut agama Yahudi. Akan tetapi
mayoritas dari mereka menyembah patung dan berhala.
D. Dari Segi Ekonomi
Secara geografis, hampir seluruh kawasan jazirah Arab terdiri dari
dataran sahara yang terhampar luas. Kondisi ini menyebabkan tidak
tersedianya ladang perkebunan, kecuali hanya sebagian kecil, yaitu di
daerah pinggiran seperti Syam dan Yaman. Beberapa sumber mata atau
oase yang tersebar di kawasan jazirah arab biasanya dihuni masyarakat
arab badui. Di situ mereka menggembala onta atau kambing ternak
mereka. Beberapa kabilah datang mengembara dari satu tempat ke tempat
lain untuk mendapatkan kawasan berpadang rumput. Mereka tidak
mengenal hidup menetap, kecuali hanya sekadar memasang tenda-tenda.
Ketika kawasan tersebut sudah tidak menguntungkan lagi, mereka pun
pindah dan mencari tempat lain demi kelangsungan hidup mereka dan
ternak-ternaknya (Su’ud Abu, 2003: 11).
Munir Al-Ghadhban ( 2008: 54) menyatakan Masyarakat Arab
sangat buta dalam bidang industri. Mereka tidak menyukai bidang industri,
dan menyerahkannya untuk dikuasai orangorang non Arab atau kaum
bangsawan. Bahkan ketika bermaksud untuk membangun Ka’bah mereka
meminta bantuan seseorang yang beragama Kristen Koptik.
Untuk bidang pertanian dan perindustrian memang jazirah arab
kurang cocok, namun ia merupakan kawasan yang sangat strategis, aitu
sebagai jalur persimpangan antara Afrika dan Asia Timur. Pada waktu
kawasan ini sangat strategis untuk menjadi sentra bisnis tingkat
internasional yang sangat maju.
Mereka yang terjun di dunia bisnis rata-rata tinggal di daerah
perkotaan. Terutama kota Makkah, ia menjadi pusat perdagangan yang
luar biasa. Di samping itu juga, tidak dipungkiri bahwa dalam pandangan
masyarakat Arab kawasan ini merupakan Tanah Haram. Jadi, tidak ada
alasan untuk tidak meliriknya, karena dari kacamata bisnis kawasan ini
sangat menguntungkan. Allah menggambarkan keistimewaan Kota
Makkah dalam QS. Al-Ankabut: 67.
Terkait di bidang bisnis, bangsa Quraisy, kabilah terbesar di
kawasan ini memiliki dua musim perjalanan bisnis yang sangat masyhur.
Pada musim dingin mereka melakukan perjalanan dagang ke negeri
Yaman. Sedangkan pada musim panas mereka melakukan perjalanan niaga
ke negeri Syam. Dengan aman, mereka melakukan perjalanan di kedua
musim tersebut. (lihat QS. AlQuraisy: 1-4) Sebelum kemunculan Islam,
kultur yang mengakar pada mereka dalam bisnis adalah praktik riba di
seantero jazirah Arab. Barangkali, virus riba yang membahayakan ini
bersumber dari Yahudi (Abu Syuhbah, 98: 101). Bukan hanya dari
kalangan terhormat saja yang menerapkan sistem riba, masyarakat awam
dan kalangan lainnya pun menjalaninya. Terkadang riba yang mereaka
tetapkan bisa sampai lebih dari 100 persen.
Penduduk jazirah Arab memiiki pasar-pasar yang terkenal di
antaranya adalah Ukazh, Majinnah, dan Dzul Majaz. Ketika Islam datang,
pasar-pasar tersebut masih tetap eksis hingga beberapa waktu lamanya,
namun kemudian punah. Pasar-pasar tersebut bukan hanya berfungsi
sebagai tempat jual beli saja, tapi juga sebagai ajang tempat berkumpulnya
para penyair, sastrawan, dan orator. Jadi, pasar pada masa itu bukan hanya
menjadi sumber kekayaandi bidang bisnis, tapi juga di bidang bahasa dan
sastra (Muhammad Qal’aji: 31).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sebelum Islam datang kondisi geografis Jazirah Arab tidaklah
seperti sekarang ini. Dahulu, kawasan Jazirah Arab sebagian besar
tanahnya berupa hamparan gurun pasir yang disebut Badiyat Asy-Sya’in,
Perbukitan batu dinamakan Arabia Petraea, hingga Arabia Felix, atau bumi
hijau.

Kondisi geografis Jazirah Arab seperti demikian sebelum Islam


datang, hingga akhirnya daerah tersebut sering dikenal dengan sebutan
tanah gundul, padang pasir, hingga tanah gersang. Sebutan dan istilah ini
sudah diberikan sejak dahulu kepada Jazirah Arab. Arab menurut bahasa
berarti, tanah gundul, padang pasir, gersang, dan tiada air, maupun
tanaman.
3.2 Saran
Kepada Pembaca yang senantiasa menyempatkan waktu unttuk
membaca makalah ini, sangat diharapkan untuk mengambil apa yang bisa
di pelajari dalam makalah Paragraf ini. Kami sadar bahwa makalah ini
penuh dengan kekurangan. Oleh karena itu kami berpesan agar para
pembaca mengambil pelajran positif yang dapat menjadi wawasan yang
sangat bermanfaat. Semoga dengan makalah ini kita dapat lebih mengenal
bahasa dan marilah kita terus berusaha untuk menggapain semua cita-cita.
DAFTAR PUSTAKA
Adlan, Abdul Jabbar, Dirasat Islamiyyah. Surabaya: Anika Bahagia
Offset, 1995 al-Baqi, Muhammad Fuad Abd, al-Mu’jam al-Mufahras li
Alfadz al-Quran al-Karim, cet. I.
ttp: Dar al-Fikr, 1986
al-Khurbuthuli, Ali Husni, Ma’a al-‘Arab (I): Muhammad wa al-
Qaumiyah al-‘Arabiyah, cet.
II. Kairo: al-Mathbu’ah al-Haditsah, 1959
al-Wahidi, Abu al-Hasan ‘Ali ibn Ahmad, Asbab al-Nuzul. Kairo:
Maktabah al-Da’wah, t.t. al-Zayyat, Ahmad Hasan, Tarikh al-Adab
al-‘Arabi. Beirut: Dar al-Tsaqafah, t.t.
Ali, Syed Amir, Api Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1978
Hitti, Philip K., History of Arabs from Earliest Times to the Present, edisi
X. London:
The Macmillan Press, 1974
Jawad, Haifaa A., The Right of Women in Islam; An Authentic Approach,
cet. I. New York:
S.T. Martin’s Press, 1989
Lapidus, Ira M., A History of Islamic Societies, cet. X. Cambridge:
Cambridge University Press, 1995
Leboun, Gustav, Hadlarah al-‘Arab. Kairo: Mathba’ah Isa al-Babi al-
Halabi, t.t.
Wafi, Ali Abd al-Wahid, al-Musawah fi al-Islam, terj. Anshari Sitanggal
dan Rosichin. Bandung: al-Ma’arif, 1984
Watt, W. Montgomery, Muhammad: Prophet and Statesman, cet. II.
Oxford: Oxford University Press, 1969
Hasjmy, A. 1993. Sejarah Kebudayaan Islam. Cetakan ke-4, Jakarta;
Bulan Bintang

Anda mungkin juga menyukai