Anda di halaman 1dari 3

Mengunjungi Tempat Pendidikan

Biarawan-Biarawati Katolik di Yogyakarta


Penulis : Novena Brigita Sahabati
Editor : Rashika Nabila Hamid
Koentjaningrat menyebutkan bahwa unsur-unsur universal dari kebudayaan adalah sistem
religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa,
kesenian, sistem mata pencaharian hidup, dan sistem teknologi dan peralatan. Oleh karena itu,
sistem religi merupakan suatu kesatuan yang tak bisa dipisahkan dari kebudayaan. Perjalanan
menelusuri kebudayaan Yogyakarta kami kali ini berpusat pada sistem religi katolik, untuk
berdialog dengan para biarawan-biarawati katolik dan berbagi pengalaman perjuangan kehidupan
religius mereka. Perjalanan tersebut direalisasikan pada hari Sabtu kemarin tepatnya tanggal 1
Oktober 2022. Kami 20 mahasiswa modul nusantara dibawah pimpinan Bpk. Yohanes Widodo,
S.Sos, M.Si. mengunjungi Komunitas Skolastikat SCJ Yogyakarta (komunitas biarawan) dan
Komunitas Suster CB Yogyakarta (komunitas biarawati).

Kunjungan ke Komunitas
Skolastikat SCJ
Tempat pertama yang kami
kunjungi adalah Biara Skolastikat
SCJ. Biara adalah istilah yang
digunakan untuk tempat tinggal para
biarawan, sedangkan Skolastikat
adalah istilah untuk tempat belajar
(sekolah) mereka. Biara Skolastikat
SCJ dihuni oleh para calon Imam
(Frater) dan Bruder dari Kongregasi
Imam-Imam Hati Kudus Yesus
(Sacerdotum a Sacro Corde Iesu).
Saat ini, Biara Skolastikat SCJ
berlokasi di Jl. Kaliurang, Ngabean Kulon, Sinduharjo, Kec. Ngaglik, Kab. Sleman, Yogyakarta.
Kedatangan kami disambut hangat oleh Romo Sigit Pranoto sebagai kepala biara, para frater,
seorang bruder, seorang frater OCD, dan juga Suster Valensia dari Kongregasi Suster St.
Fransiskus Charitas (FCh). Kami disuguhkan dengan video perkenalan singkat tentang Kongregasi
SCJ dan bagaimana hidup sebagai seorang biarawan.
Romo bercerita tentang bagaimana tahapan untuk menjadi seorang Imam, yaitu pertama-
tama harus masuk Seminari Menengah, menghadapi Tahun Orientasi Rohani, masuk Seminari
Tinggi, menghadapi Tahun Orientasi Pastoral, kembali ke Seminari Tinggi, mengikuti Pendidikan
Pastoral atau pra Diakon, Tahbisan Diakonat, dan pada akhirnya menjadi seorang Imam atau
Pastor. Maka tak heran bahwa Pastor yang seringkali kita temui adalah seseorang yang pastinya
sudah berumur. Hal ini dikarenakan masa pendidikan mereka yang berlangsung lama, minimal 14
tahun. Seorang Imam yang telah ditahbiskan memiliki hak untuk menerimakan 7 Sakramen dalam
gereja Katolik, yaitu Sakramen Baptis, Sakramen Rekonsiliasi, Sakramen Ekaristi, Sakramen
Krisma, Sakramen Perkawinan, Sakramen Imamat, dan Sakramen Pengurapan Orang Sakit.
Setelah berbincang-bincang cukup lama, kami diajak berkeliling biara. Kami melewati
refter atau ruang makan, ruangan berisi sepeda yang digunakan frater dan bruder, kapel yang
merupakan tempat beribadah, dan halaman belakang biara yang memiliki Gua Maria di sudut
halamannya.

Kunjungan ke Novisiat dan


Postulat CB Yogyakarta
Tempat kedua yang kami
kunjungi setelah Skolastikat SCJ
adalah Novisiat dan Postulat CB
Yogyakarta. Tempat ini adalah
tempat tinggal sekaligus tempat
pendidikan calon suster Carolus
Borromeus. Kongregasi ini didirikan
oleh Suster Elisabeth Gruyters sejak
April 1837 dan berpusat di Belanda.
Saat ini Kongregasi Suster CB telah menjalankan misi misionaris ke berbagai negara.
Sesaat setelah tiba disana, kami langsung diajak
berkeliling oleh suster Christin. Bahkan kami dibawa
ke tempat pembuatan hosti. Hosti adalah roti tak beragi
berbentuk bulat kecil dengan ketebalan ±1 cm dan
terbuat dari tepung gandum dan air dengan
perbandingan 1:1, digunakan oleh Imam dalam
Perayaan Ekaristi. Di dapur hosti itu, adonan hosti
dipanggang selama 1 menit dengan suhu 125 derajat
celcius. Adonan hosti yang telah dipanggang
menghasilkan hosti dengan ukuran yang besar. Hosti
besar tersebut akan melalui tahap pemotongan menjadi
hosti kecil, dan dimasukkan ke dalam kemasan untuk
selanjutnya didistribusikan ke gereja-gereja yang ada
di Jawa maupun di luar Jawa. Setelah melihat proses
pembuatan hosti, kami lanjut menelusuri makam para
Suster CB, chapel tempat berdoa, memutari halaman
samping bertemu dengan Gua Maria, dan kembali ke
halaman depan Novisiat. Kami pun diajak masuk ke
museum Carolus Borromeus, disana terdapat aset
bersejarah kongregasi Suster CB Indonesia dari awal berdiri hingga sekarang. Suster CB dari
Belanda sering dijuluki Suster di Bawah Lengkungan (Zusters onder de Bogen). Hal ini
dikarenakan tempat tinggal para suster CB di sana berada di bawah tembok-tembok yang
berbentuk lengkungan, seperti yang ada di foto yang saya lampirkan. Di akhir pertemuan, kami
berkumpul di sebuah ruangan seperti aula kecil, dan disana kami disuguhkan video perkenalan
singkat tentang Kongregasi Suster CB dan kehidupan komunitas mereka. Kami juga berdialog dan
berdiskusi tentang beberapa pertanyaan yang muncul dalam benak kami. Pertemuan kami diakhiri
dengan foto bersama.
Itulah keseruan kami menelusuri Biara dan Novisiat biarawan-biarawati yang ada di
Yogyakarta. Semoga apa yang kami dapatkan dan kami diskusikan selama pertemuan dapat
menambah wawasan kami sebagai mahasiswa.
Salam PMM2 : Bertukar Sementara, Bermakna Selamanya !
Terima kasih dan sampai jumpa di kegiatan Modul Nusantara berikutnya.

Anda mungkin juga menyukai