Anda di halaman 1dari 22

NAMA JOURNAL: GUNADI KASNOWIHARDJO

[ SEKILAS TENTANG SEBARAN MANUSIA PRASEJARAH INDONESIA ]

NAMA : TYMOTY DOLI SINAGA

NIM : 3221121010

DOSEN PENGAMPU : AFRAN DIANSYAH S.Pd, M.Pd.

MATA KULIAH : PRAAKSARA HINDU & BUDDHA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

OKTOBER 2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,karena atas berkat dan
Rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tugas kuliah ini yaitu “CRITICAL JOURNAL
REVIEW” dalam mata kuliah Praaksara Hindu & Buddha dengan dosen pengampu Afran
Diansyah S.Pd, M.Pd., dalam arti analisa adalah merupakan salah satu cara pendekatan yang
digunakan oleh para ahli Pendidikan dalam memecahakan problematika pendidikan dan
menyusun teori-teori pendidikannya, di samping menggunakan metode-metode ilmiah
lainnya. Saya mengharapkan tidak hanya terpenuhinya tugas kuliah, tetapi juga dapat
bermanfaat bagi semua pembacanya,dan semoga juga dapat menambah pengetahuan bagi kita
semua. Saya menyadari bahwa pembuatan makalah ini belum sempurna,dan pada hakikatnya
Tuhan lah yang memliki kesempurnaan. Oleh sebab itu Saya memohon maaf jika pembaca
menemukan kesalahan pada penulisan dan tata bahasa dalam makalah ini, dan saya juga
selaku penulis memohon kritik dan saran dari pembaaca untuk dapat memperbaiki makalah
yang telah saya buat ini. Akhir kata saya mengucapkan terimakasih, dan semoga dapat
menambah pengetahuan pembaca.

TEBING TINGGI

OKTOBER 2022
DAFTAR ISI

Cover ..............................................................................................................................i

Kata Pengantar ..............................................................................................................ii

Daftar Isi ........................................................................................................................iii

BAB I PENDAHALUAN

 Latar Belakang .......................................................................................1


 Manfaat ..................................................................................................2
 Tujuan ....................................................................................................3
 Identitas Artikel dan Journal yang direview ...............................................4

BAB II RINGKASAN ISI BUKU

 Pendahuluan ..........................................................................................5
 Deskripsi ................................................................................................7

BAB III PEMBAHASAN

 Pembahasan isi Journal............................................................................14


 Kelebihan dan Kekurangan Isi Artikel Journal ...........................................15

BAB IV PENUTUP

 Kesimpulan .........................................................................................20
 Daftar Pustaka .....................................................................................21

BAB I
PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Pra-sejarah adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada masa di saat catatan sejarah
yang tertulis belum tersedia. istilah praaksara yang berasal dari gabungan kata, yaitu pra dan
aksara. Pra artinya sebelum dan aksara berarti tulisan. Dengan demikian, yang dimaksud
masa praaksara adalah masa sebelum manusia mengenal bentuk tulisan. Masa pra-sejarah dan
pra-aksara disebut juga dengan masa nirleka (nir artinya tidak ada, dan leka artinya tulisan),
yaitu masa tidak ada tulisan. Masa pra-aksara disebut juga dengan masa pra-sejarah, yaitu
suatu masa dimana manusia belum mengenal tulisan. Adapun masa sesudah manusia
mengenal tulisan disebut juga dengan masa aksara atau masa sejarah. Mengenai istilah,
terdapat pendapat bahwa istilah pra-aksara sebenarnya lebih tepat karena pra-aksara berarti
sebelum ada tulisan. Berbeda dengan pra sejarah yang berarti sebelum ada sejarah. Meski
manusia belum mengenal tulisan, tidak berarti manusia tidak memiliki sejarah dan
kebudayaan. Seperti diungkapkan Colin Renfrew, zaman pra-sejarah dapat dikatakan
permulaan terbentuknya alam semesta, namun umumnya digunakan untuk mengacu kepada
masa di saat kehidupan manusia di Bumi yang belum mengenal tulisan.

1. 2 Manfaat

1. Membantu memahami tentang Sebaran Manusia Prasejarah Indonesia

2. Membantu memahami

1. 3 Tujuan

1.3 TUJUAN

Critical Journal ini bertujuan untuk:

1. Memahami kebijakan Sebaran Manusia Prasejarah Indonesia

2. Mengetahui konsep

1.4 IDENTITAS JOURNAL

 Judul Artikel : Sebaran Manusia prasejarah Indonesia


 Nama Journal : Papua Journal Penelitian Arkeologi
 Edisiterbit : 03 Juni 2017
 Pengarang artikel : Gunadi Kasnowihardjo
 Penerbit : Balai Arkeologi Yogyakarta
 Kota terbit : Yogyakarta
 NomorISBN : 00036550
 Alamat Situs : Situs web Journal

 Judul Artikel : Jejak Migrasi Penguhuni pulau Miscool Masa


Prasejarah
 Nama Journal : Papua Jurnal Penelitian Arkeologi
 Edisiterbit : 03 Juni 2017
 Pengarang artikel : Klementin Fairyo
 Penerbit : Balai Arkeologi Yogyakarta
 Kota terbit : Yogyakarta
 NomorISBN : 00036550
 Alamat Situs : Situs Web Journal

BAB II

RINGKASAN ISI BUKU


2. 1 Pendahuluan

Sekilas Tentang Sebaran Manusia Prasejarah Indonesia

Lebih dari 1 juta tahun yang lalu di pulau Jawa pernah hidup satu jenis primata yang oleh
para ahli pada waktu itu disebut Pithecanthropus erectus (manusia-kera yang berjalan tegak)
yang kemudian disebut Homo erectus. Dalam perkembangan dan proses evolusi selanjutnya,
jenis primata tersebut yang akan berevolusi “menurunkan” Homo soloensis. Adapun pada
proses yang paling sempurna yaitu munculnya Homo sapiens atau manusia modern yang
hidup di kala akhir Plestosen – awal Holosen. Di Indonesia, fosil jenis Homo sapiens tertua
ditemukan di Desa Campurdarat, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur yang kemudian
dikenal sebagai Homo wajakensis (manusia Wajak). Para ahli paleoantropologi akhirnya
berkesimpulan bahwa manusia Wajak ini memiliki ciri-ciri Australomelanesid seperti yang
dimiliki oleh manusia yang sekarang menjadi penduduk Australia (suku Aborigin) dan
disejajarkan dengan manusia-manusia penghuni gua di Niah, Serawak, Malaysia Timur dan
Tabon, Pallawan, Philipina (Soejono dan Leirissa, 2008: 92).

Penelitian arkeologis yang pernah dilakukan di bukit-bukit kerang atau kjokkenmodinger di


pantai Timur Sumatera (Wiradnyana, 2008) dan gua-gua di Kedah dan Pahang, Malaysia
(Haji Taha, 1989) serta beberapa situs –situs dari masa akhir pleistosin – awal holosin
ditandai dengan temuan Kapak Perimbas yang monofasial dan sering disebut Sumatralith
(Soejono dan Leirissa, 2008: 31). Dalam konteks dengan Asia Tenggara, jenis kapak
perimbas dan penetak (chopper – chopping tools) seperti tersebut banyak ditemukan di gua-
gua di daerah Bac-Son yang terletak di sebelah Utara Hanoi dan di gua-gua di daerah Hoa-
Binh yang terletak di Selatan Hanoi, Vietnam. Alat batu ini diperkirakan berasal dari China
Selatan yang kemudian berkembang di Vietnam. Dari sini budaya Sumatralith ini menyebar
ke Kamboja Laos, Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Melihat asal usul budaya alat batu
tersebut, maka dapat dipastikan bahwa pendukung budaya tersebut adalah manusia yang
bercirikan ras Mongoloid.

Teuku Jacob menjelaskan bahwa manusia Wajak yang oleh Dubois diklasifi kasikan
sebagai proto-Australoid, adalah hasil campuran antara ras Australomelanesid dan ras
Mongoloid (Jacob, 1977: 117). Walaupun pertanggalan absolut fosil Manusia Wajak masih
belum ditemukan, akan tetapi apabila kita mengacu pada pernyataan Teuku Jacob tersebut,
maka dapat disimpulkan pula bahwa kedatangan ras Mongoloid di Jawa kirakira berlangsung
sedikitnya 10.000 tahun yang lalu, hal ini sesuai dengan hasil analisis pertanggalan C-14 dari
fosil fauna Wajak (Shutler, 1994; 2). Sementara berdasarkan posisi stratigrafi situs diketahui
secara relatif bahwa manusia Wajak diperhitungkan telah ada sejak antara 40.000 – 25.000
tahun yang lalu (Soejono dan Leirissa, 2008: 92).

Di atas telah disebutkan bahwa manusia Wajak yang Australomelanesid sisasisanya masih
ditemukan di Australia. Oleh karena itu dalam pembahasan selanjutnya sampel yang
digunakan pada kesempatan ini adalah kepulauan Melanesia, satu kawasan di Pasifi k yang
dekat dengan Benua Australia. Kepulauan Melanesia meliputi beberapa kelompok pulau
yaitu New Guinea (Papua), New Britain, Bismarck, New Ireland, Solomon, Royalty, New
Hibride, dan Kepulauan Fiji, serta pulau-pulau kecil lainnya yang seluruhnya berjumlah 341
gugusan. Pembagian wilayah antara Melanesia, Polynesia, dan Micronesia adalah
berdasarkan ciri budaya atau kulturalnya. Diantara ketiga wilayah tersebut, secara kultural
Melanesia yang paling dekat dengan Indonesia. Oleh karena itu dalam pembahasan
selanjutnya situs-situs yang dijadikan sampel diambil dari kawasan Melanesia. Di dalam
mengkaji prasejarah Melanesia, kita tidak akan lepas dari konteks proses migrasi bangsa-
bangsa yang sekarang ini mendiami beberapa wilayah seperti Asia Tenggara, Oceania, dan
Australia (Irwin, G.J, 1980: 324-332).

Artikel berjudul “Sekilas Tentang Manusia Prasejarah Indonesia” sengaja saya angkat
dalam Jurnal Papua yang bertemakan “migrasi manusia” ini dengan tujuan: Pertama,
mengingatkan kepada para peneliti arkeologi bahwa masih banyak permasalahan migrasi
bangsa – bangsa yang mendiami wilayah Asia Tenggara dan Pasifi k yang belum tuntas
terjawab. Kedua, khusus bagi para peneliti arkeologi di Balai Arkeologi Jayapura khususnya
dan Balai Arkeologi lainnya yang berada di Kawasan Timur Indonesia pada umumnya,
mudah-mudahan artikel ini dapat memberikan inspirasi dalam merencanakan kegiatan
penelitian di waktu-waktu yang akan datang.
2. 2 Deskripsi

Manusia Wajak, Homo sapiens tertua di Indonesia

Berbicara tentang Homo wajakensis, kita akan selalu diingatkan pula kepada seorang
dokter asal Belanda yang memiliki keinginan keras untuk datang ke Hindia Belanda
(Indonesia) untuk membuktikan atau mencari bukti-bukti akan teori evolusi Charles Darwin
seperti yang tertuang dalam bukunya berjudul The Origin Of Species, walaupun saat itu
masih sarat akan polemik-akademik. Dengan mendaftar sebagai tentara Belanda untuk tenaga
medis, bersama isteri dan anak Dubois akhirnya dikirim ke Sumatera. Di sela-sela waktunya
bertugas sebagai dokter tentara Belanda, Dubois selalu mencari waktu untuk melakukan
“misi utamanya” yaitu mencari fosil dan sisa-sisa nenek moyang manusia. Sayang ekspedisi
Sumatera rupanya belum berhasil, dan dia mengalihkan perhatiannya ke Jawa. Hal ini juga
dipicu adanya informasi tentang temuan fosil tulang-belulang manusia di Desa Campurdarat,
Kabupaten Tulungagung yang kemudian dikenal sebagai fosil Wajak I. Berdasarkan data
tersebut Dubois melakukan penggalian di lokasi disekitar tempat penemuan fosil Wajak I,
dan beruntung dia juga menemukan fosil manusia Wajak II (Widianto, inpress). Selain
tulang-belulang dari Campurdarat di atas, temuan penting Eugene Dubois selama
penelitiannya di Jawa adalah beberapa fosil tulang hominid yang dia pastikan sebagai
makhluk nenek moyang manusia yang selama ini dicari-cari oleh para pengikut teori evolusi
Darwin. Temuan spesies hominid yang dinamakan Pithecanthropus erectus yang kemudian
disebut Homo erectus inilah missing link yang berhasil ia temukan di Trinil, Madiun, Jawa
Timur tidak jauh dari aliran Bengawan Solo. Temuan yang menggemparkan dunia ilmu
pengetahuan yang dimaksud adalah fosil cranium, femur, dan gigi hominid yang dipastikan
dari satu individu yang sama. Sebagai seorang ahli anatomi, Dubois berhasil merekonstruksi
dan menyimpulkan bahwa cranium, gigi, dan tulang paha tersebut milik hominid yang telah
berjalan tegak, walaupun bentuk muka menyerupai kera. Dalam publikasinya disebutkan
bahwa hominid tersebut adalah makhluk manusiakera yang berjalan tegak.

Homo erectus (Latin: “manusia yang berdiri tegak”) adalah spesies yang telah punah dari
genus Homo. Pakar anatomi Belanda Eugene Dubois pertama kali menggambarkannya
sebagai Pithecanthropus erectus berdasarkan fosil tempurung kepala dan tulang paha yang
ditemukannya di Trinil, Jawa Timur. Sepanjang abad ke-20, antropolog berdebat tentang
peranan Homo erectus dalam rantai evolusi manusia. Pada awal abad itu, setelah
ditemukannya fosil di Jawa dan di Zhoukoudian, para ilmuwan mempercayai bahwa manusia
modern berevolusi di Asia. Hal ini bertentangan dengan teori Charles Darwin yang
mengatakan bahwa manusia modern berasal dari Afrika. Namun, pada tahun 1950-an dan
1970-an, beberapa fosil yang ditemukan di Kenya, Afrika Timur, ternyata menunjukkan
bahwa hominine memang berasal dari benua Afrika. Sampai saat ini para ilmuwan
mempercayai bahwa Homo erectus adalah keturunan dari makhluk mirip manusia era awal
seperti Australopithecus dan keturunan spesies Homo awal seperti Homo habilis. Homo
erectus dipercaya berasal dari Afrika dan bermigrasi selama masa Pleistosen awal sekitar 2,0
juta tahun yang lalu, dan terus menyebar ke seluruh Dunia Lama hingga mencapai Asia
Tenggara (Poirier, 1981: 280 – 285; Pope, 1984: 277 – 297). Tetapi hasil penelitian yang
dilakukan secara intensif di Sangiran beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa Homo
erectus Sangiran telah ada sejak 1,9 juta tahun yang lalu (Widianto dan Simanjuntak, 2009).

Volume otak rata-rata Homo erectus bervariasi antara 750 cc hingga 1200 cc, sedangkan
volume otak Homo erectus Jawa rata-rata 900 cc lebih kecil dibandingkan dengan volume
otak Homo erectus dari China yang mencapai 1043 cc (Poirier, 1981: 277). Temuan fosil
manusia purba dalam jumlah yang mencapai 11 buah tengkorak di suatu di Desa Ngandong,
Kabupaten Blora, Jawa Tengah pada tahun 1931 dan 1941. Berdasarkan lokasi temuan yang
berada di teras Bengawan Solo, maka Dubois dan von Koenigswald menyebutnya Homo
soloensis. Dinding cranium ke 11 tengkorak tersebut relatif sudah menipis sehingga volume
otak lebih besar dibanding otak Homo erectus. Yaitu antara 1150 cc dan 1300 cc (Poirier,
1981: 281). Berdasarkan volume otaknya, maka dapat diperkirakan bahwa Homo soloensis
lebih maju daripada Homo erectus. Sementara manusia Wajak yang diklasifi kasikan sebagai
Homo sapiens tertua di Indonesia diketahui bahwa volume otaknya mencapai 1550 cc
(Widianto, inpress), merupakan kapasitas yang sama dengan otak Neanderthal Eropa yaitu
antara 1525 cc – 1600 cc (Poirier, 1981: 332).

“Eugene Dubois was given two fossil skulls from Wadjak, central Java.(yang benar
mestinya east Java) These were cemented in limestone, and unaccompanied by any cultural
assemblage” (Poirier, 1981: 363). Sebagai “manusia modern” manusia Wajak walaupun
dalam taraf sederhana pasti telah mengenal berbagai jenis peralatan dan tentu saja api sebagai
sarana dalam mempertahankan hidupnya. Secara kontekstual antara temuan fosil tulang-
belulang manusia Wajak dan peralatan yang dimilikinya dalam satu lokasi penelitian, selama
ini memang tidak ditemukan. Akan tetapi konteks secara universal dapat diketahui dari
adanya temuan alat – alat batu seperti serpih-bilah, kapak perimbas, serta alat-alat yang
terbuat dari tulang maupun tanduk binatang merupakan bukti budaya akhir masa pleistosen
dan awal holosen (Soejono dan Leirissa, 2008: 27).

Alat batu hoabinhian, yang merupakan perkakas milik Homo sapiens ini ditemukan
memanjang dari Sumatera hingga Asia Tenggara Daratan, kemudian ditemukan pula di Cina
Selatan dan Taiwan. Di Sumatera Utara, artefak Hoabinhian ditemukan terkait dengan tiga
jenis situs yaitu: 1. Situs-situs terbuka di daerah batu kapur di tepian pantai; 2. Situs-situs
terbuka yang berada di perbukitan dekat pantai dan di kaki-kaki Pegunungan Bukit Barisan;
dan 3. di Bukit Kerang atau kjokkenmoddinge. Alat batu yang juga dikenal sebagai
Sumatralith ini banyak ditemukan di pantai Timur Sumatera Utara telah diteliti sejak tahun
1925 oleh Van Stein Callenfels dan pada tahun 1972 dilanjutkan oleh Van Heekeren
(McKinnon, 1991: 132). Artefak sejenis Sumatralith atau sering juga disebut dengan istilah
Hoabinhian di Indonesia ditemukan tersebar hampir di seluruh kepulauan.

Di Indonesia bagian Timur, temuan perkakas Hoabinhian ditemukan pula di guagua


pegunungan kapur di wilayah Timor Barat. Hasil penelitian di Gua Jepang, dan Gua
Camplong, Kabupaten Kupang ditemukan beberapa fl akes yang terbuat dari silicifi ed tuff
carbonatan dan cangkang kerang yang mengindikasikan bahwa gua-gua tersebut pernah
dihuni oleh manusia prasejarah. Di Gua Tubaki dan Rock Shelter di Leluat, Kecamatan
Malaka Tengah, Kabupaten Belo selain ditemukan beberapa akes, ditemukan pula cangkang
moluska laut dan tulang binatang vertebrata yang diperkirakan merupakan sisa-sisa bukti
bermukimnya manusia prasejarah. Temuan sejenis juga didapatkan di beberapa rock shelter
di wilayah Kecamatan Amfuang Selatan, Kabupaten Kupang (Sukandarrumidi dan Suprijo,
2008: 2 – 9).

Hubungan antara Indonesia dan Asia Tenggara

Pada paragraf sebelumnya telah disinggung bahwa sebaran salah satu alat batu jenis kapak
perimbas yang berasal dari budaya pleistosen akhir-awal holosen mencapai hampir seluruh
kawasan Indonesia, bahkan secara universal alat batu tersebut ditemukan pula di kawasan
Asia Tenggara lainnya. Di Vietnam misalnya, kapak perimbas atau chopper banyak
ditemukan di gua Lang Trang I – IV, dan Tam Hang cave, lebih lanjut dijelaskan bahwa di
gua-gua tersebut juga ditemukan fosil hominid yang dapat disejajarkan dengan Homo erectus
modjokertensis dari Jawa (Ciochon and Olsen, 1990: 59 – 73). Selain di Bac Son dan Hoa
Binh, kapak batu serupa juga ditemukan di situs Da But yang terletak di Kabupaten Vinh
Loc, Propinsi Thanh Hoa, Vietnam. Berbeda dengan budaya Bac Son – Hoa Binh, alat batu
Da But ditemukan bersama-sama dengan perkakas tembikar serta berasosiasi dengan kubur
berposisi jongkok atau terlipat yang diidentifi kasi dari manusia berciri Melanesid (Bui Vinh,
1991: 127 – 131).

Di Thailand alat batu sejenis Hoabinhian ditemukan di lapisan pleistosen atas dan
berkorelasi dengan fosil sisa-sisa tulang-belulang binatang dan pecahan tembikar. Penelitian
yang dilakukan di Lembah Khwae Noi yang meliputi 9 (sembilan) situs gua dan 4 (empat)
lokasi situs terbuka (open air sites). Hasil ekskavasi salah satu situs Gua Lang Kamnan antara
lain: Pada lapisan pertama dan kedua ditemukan pecahan tembikar, tulang binatang, fl akes,
kerang, dan tungku perapian. Lapisan ke tiga dan ke empat ditemukan konsentrasi
(asemblage) fl akes dan batu inti, serta tulang dan kerang yang terbakar. Pertanggalan situs
Gua Lang Kamnan berdasarkan salah satu sampel C-14 dating diketahui berumur 7540±180
BP (Shoocongdej, 1991: 143 – 149).

Di Filipina, penemuan fosil manusia purba dan perkakas hidupnya antara lain di Gua
Tabon. Oleh para peneliti, Manusia Tabon diyakini sebagai Homo sapiens tertua di Filipina.
Gua Tabon yang terletak di Lipuun Point, Quezon, Palawan, pernah diteliti oleh Robert B.
Fox antara tahun 1960 – 1967. Berdasarkan pertanggalan Carbon 14 fosil Manusia Tabon
diketahui berumur antara 22.000 – 24.000 tahun yang lalu. Fosil Manusia Tabon berkorelasi
dengan alat-alat batu dari budaya paleolitik awal. Dari hasil analisis pertanggalan terakhir
dari sisa-sisa arang yang ditemukan dalam penelitian di Gua Tabon, diketahui adanya umur
30.000 tahun yang lalu. Hal ini memberikan informasi pula bahwa di Filipina manusia Tabon
telah mengenal api kira-kira 30.000 tahun yang lalu.

Budaya pendahulu hoabinhian di Asia Tenggara adalah artefak atau alat batu kerakal
dengan serpihan lebih sederhana. Alat ini disebut pula dengan istilah sonviian dan dijelaskan
oleh Bellwood (2000) antara lain ditemukan di Vietnam, Thailand, dan Malaysia. Di wilayah-
wilayah tersebut antara alat-alat sonviian dan hoabinhian diketahui adanya perbedaan yang
jelas baik dari tinjauan teknologi maupun waktu atau pertanggalannya. Pertanggalan artefak
sonviian di berdasarkan analisis carbon-14 ditarikhkan antara 23.000 dan 11.000 tahun,
sedangkan peralatan hoabinhian di Vietnam bertarikh kira-kira 18.000 tahun (Bellwood,
2000: 238 – 239). Perbedaan waktu antara sonviian dan hoabinhian yang relatif tumpang-
tindih, maka keberadaan artefak baik sonviian maupun hoabinhian dapat disejajarkan dengan
keberadaan manusia homo sapiens pendukungnya.
Hubungan antara Indonesia dan Pasifik

Homo “wajakensis” sapiens mulai menyebar atau bermigrasi masuk ke Australia kira-kira
30.000 tahun yang lalu, demikian mereka masuk ke Amerika Utara diperkirakan pada waktu
yang hampir bersamaan (Poirier, 1981: 350-351). Di Australia dibuktikan dengan temuan sisa
tulang-belulang manusia di situs Kow Swamp, Victoria Utara. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan pada tahun 1967 diketahui bahwa ada 40 (empat puluh) lebih rangka manusia baik
laki-laki maupun perempuan, dewasa dan anak. Pada umumnya rangka-rangka manusia
tersebut dapat disejajarkan dengan manusia Aborigin yang datang ke Australia pada masa
lalu, akan tetapi dari wajah, dahi, dan gigi-geliginya tidak mirip dengan Aborigin modern.
Mereka memiliki ciri yang arkaik dan secara osteologis termasuk primitif seperti hominid
pleistosen tengah yang ditemukan di Jawa. Adapun pertanggalan yang diperoleh dari analisis
radiometrik, secara variatif berkisar antara 15.000 – 9.000 tahun yang lalu (Thorne, 1980: 96
– 100).

Seperti telah disebutkan pada bagian sebelumnya, bahwa yang dimaksud wilayah Pasifi k
dalam artikel ini adalah Kepulauan Melanesia, dengan pertimbangan bahwa sebagian besar
dari Kepulauan tersebut dahulu secara geologis pernah menyatu dengan benua Australia
(periksa peta). Beberapa situs prasejarah di Melanesia antara lain ditemukan di Irian Jaya
(Papua) yang ada di bagian wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Papua New
Guinea di sebelah Timur. Tentang prasejarah di Papua, R. P. Soejono (1963) telah menulis
sebuah buku berjudul “Prehistori Irian Barat” yang menyebutkan bahwa tinggalan prasejarah
di Papua terdiri dari:

1. Artefak Mesolitik seperti misalnya fl akes, scrapper, mata tombak, dan mata panah yang
terbuat dari batu yang ditemukan di Gua Dudumunir, Pulau Arguni. Selain perkakas
Mesolitik di gua tersebut ditemukan lukisan dinding gua.

2. Artefak Neolitik antara lain kapak persegi, kapak lonjong, pecahan tembikar baik polos
maupun berhias ditemukan di Ayambori, Kotabaru dan di sekitar Danau Sentani.

3. Artefak Megalitik seperti patung nenek moyang, tembok perbentengan, altar batu, dan
lesung batu ditemukan di Pulau Adi, Namatate, Patipi, Fu-um, Ora, Batanta, Sorong, Numfor,
dan Danau Sentani.

4. Artefak Perunggu misalnya kapak corong, sisa-sisa nekara, dan mata tombak ditemukan di
sekitar Danau Sentani dan Danau Aimaru.
Di Papua New Guinea (PNG), tinggalan artefak prasejarah terdapat baik di kawasan dataran
tinggi (high land) maupun di dataran rendah (lowland). Situs – situs di wilayah dataran tinggi
antara lain:

1. Situs Kosipe, merupakan situs terbuka (open site) terletak kira – kira 135 Km disebelah
Utara Port Moresby ibukota PNG suatu wilayah yang terletak ± 2000 meter diatas permukaan
air laut. Beberapa artefak prasejarah yang ditemukan di situs ini yaitu waisted axe dan axe-
adze. Selain itu ditemukan pula sisa-sisa domestikasi tanaman seperti taro, yam, dan
breadfruit yang dikonsumsi manusia prasejarah waktu itu. Berdasarkan pertanggalan carbon-
14 diketahui situs Kosipe berumur 26.000 tahun BP (Irwin, 1980: 324 – 325).

2. Situs Kafi avana, merupakan situs gua payung (rock shelter) dengan pertanggalan c-14
diketahui bahwa situs ini umurnya 11.000 tahun BP. Artefak penting yang ditemukan di Situs
Kafi avana antara lain, serpih dengan retus, axe-adze, pebble, dan tulang babi (Irwin, 1980:
324 – 325).

3. Situs Kiowa, situs ini berupa rock shelter yang pernah diteliti oleh Susan Bulmer,
informasi dari hasil penelitian tersebut antara lain, situs Kiowa kira-kira berumur 10.000
tahun BP. Adapun beberapa artefak yang ditemukan dalam penelitian tersebut antara lain,
waisted axe, axe-adze, pebble, dan tembikar polos (Bulmer, 1964; Bulmer, 1976).

4. Pada penelitian situs – situs sejenis (rock shelter) seperti Yuku, Niobe, dan Batari
ditemukan pula artefak seperti axe-adze, waisted axe, serpih, dan tulang babi, anjing dan
sejenis ayam. Adapun pertanggalan situs-situs di atas diketahui berumur 10.000 tahun BP
(Irwin, 1980: 324 – 325).

Situs-situs di wilayah dataran rendah (low land) PNG ditemukan di kawasan pantai seperti
daerah Nibera, Wanigela, dan di pulau Tami. Berdasarkan analisis pertanggalan C-14,
diketahui bahwa situs-situs di kawasan low land berumur 3000 tahun BP, umur yang jauh
lebih muda dibandingkan dengan bukti-bukti kehidupan di kawasan highland. Temuan
artefak di situs-situs dataran rendah ini antara lain axe-adze yang sudah diasah, tembikar
berhias yang bercirikan Lapita. Temuan artefak seperti ini banyak ditemukan di New Brittain,
Bismarck, New Hibride, dan Fiji (Irwin, 1992: 21 – 23).
BAB III

PEMBAHASAN

3. 1 ANALISIS JURNAL

B. JOURNAL PEMBANDING

Jejak Migrasi Penghuni Pulau Miscool Masa Prasejarah

3.1 Pembahasan Isi Journal

Pulau Misool merupakan bagian dari wilayah Raja Ampat, wilayah ini sejak masa lampau
menjadi tempat pertemuan dua budaya Austronesia dan budaya Melanesia. Teori Riesenfeld
(1952) menyatakan bahwa Papua telah menerima pengaruh megalitik dari Asia Tenggara
melalui dua jurusan. Pengaruh pertama melalui kepulauan Indonesia sebelah selatan, lewat
kepulauan Maluku menuju bagian barat Papua (Soejono, 1994).

Imigran Austronesia yang datang ke Pasifi k bermukim di sepanjang tepi pantai.


Penghunian wilayah pesisir yang dapat dilakukan dengan mudah dan cepat rupanya lebih
diminati daripada penghunian wilayah pedalaman yang lebih membutuhkan tenaga, dan lagi
di beberapa tempat sudah dihuni oleh penduduk lain yang mungkin tidak bisa menerima
mereka. Data artefak gerabah dan bahasa menunjukkan bahwa para pendatang atau migran
penutur Austronesia dari Asia Tenggara ternyata lebih banyak menghuni dan menanamkan
pengaruhnya secara kuat di pesisir utara daratan Papua, pesisir Kepala Burung, Teluk
Cenderawasih dan Teluk Bintuni (Suroto, 2010:43).

Data lainnya dari hasil penelitian arkeologi tahun 2010 di Pulau Misool, berhasil
menemukan tinggalan-tinggalan arkeologi dari masa prasejarah. Adapun tinggalan– tinggalan
Arkelogi prasejarah yang di temukan di Pulau Misool Kampung Tomolol dan Limalas Distrik
Misool Timur adalah berupa: Lukisan dinding /seni cadas dengan gambar cap tangan, ikan,
matahari, manusia,bumerang, kapak batu, penguburan ceruk, situs benteng keramat dengan
sejumlah susunan batu yang membentuk suatu hunian/tempat tinggal pada masa megalithik;
situs batu perahu dan meja batu, Situs Gua Lengsom serta adanya temuan beberapa artefak
dan ekofak seperti fragmen gerabah polos, cangkang moluska, fragmen tulang binatang dan
fragmen tulang manusia”.
Tinggalan-tinggalan arkeologi tersebut menunjukkan corak kebudayaan di masa prasejarah.
Kebudayaan-kebudayaan baru yang datangnya dari daratan Asia membawa coraknya sendiri.
Kebudayaan baru ini disebut dengan mesolithikum (Soekmono 1973:38). Suatu corak
istimewa dari mesolithikum berupa kulit kerang dan alat-alat dari tulang.

Dari peninggalan-peninggalan itu dapat diketahui bahwa manusia jaman itu masih hidup
dari berburu, dan menangkap ikan (food gathering), bekas-bekas tempat tinggal mereka
ditemukan di pinggir pantai dan di dalam gua-gua. Terutama disitulah didapatkan banyak
bekas-bekas kebudayaannya.

Secara geografi s Pulau Misool merupakan wilayah yang sangat strategis, berada diantara
Maluku dan Papua. Letaknya yang strategis menjadikan pulau ini sebagai bagian dari jalur
migrasi manusia dan budaya pada masa prasejarah atau dapat dikatakan pulau ini menjadi
titik temu antara budaya Austronesia dan Melanesia.

Sementara itu data lainnya mengenai keadaan sosial masyarakat Pulau Misool, bahwa
penduduk asli Pulau Misool adalah suku Matbat. Matbat ini dalam bahasa setempat di berarti
orang tanah. Selain suku Matbat terdapat juga suku-suku dari luar yang bermigrasi ke Pulau
Misool sejak lama dan mengalami pembauran dengan suku Matbat. Kelompok ini
diperkirakan berasal dari Pulau Waigeo, yang oleh beberapa ahli disebut dengan kelompok
suku Maya baik orang maupun bahasanya, tetapi mereka juga telah mengalami percampuran
dengan kelompok suku dari Kepulauan Maluku seperti Seram, Tobelo, Tidore, dan Ternate.
Hal ini dapat dilihat dari bentuk fi sik penduduk suku ini, dan juga dari sejarah suku Misool
sendiri. Orang Matbat memanggil orang dari suku Misool dengan sebutan Mat Lou, yang
berarti ‘orang pantai’.

Berdasarkan hal tersebut diatas maka penulis akan mencoba mengkaji proses terjadinya
migrasi penghuni pertama ke Pulau Misool terkait dengan data etnografi dan tinggalan-
tinggalan Arkeologi berupa lukisan dinding, situs penguburan ceruk, situs benteng keramat
dan situs gua Lengsom di Kampung Linmalas dan Kampung Tomolol Distrik Misool Timur.

B. Kelebihan dan Kekurangan Isi Artikel Pmebanding

Data Arkeologis di Pulau Misool

Tim Peneliti dari Balai Arkeologi Jayapura pada tahun 2010 melakukan penelitian
Arkeologi Prasejarah di Distrik Misool Timur, Pulau Misool. Dalam penelitian ini, ditemukan
adanya tinggalan arkeologis berupa lukisan dinding (seni cadas), situs penguburan ceruk,
situs benteng keramat di Kampung Tomolol dan situs Gua lengsom, di Kampung Linmalas.
Temuan-temuan arkeologis tersebut sebagai bahan kajian dalam penulisan ini tentang adanya
migrasi penghuni awal Pulau Misool. Tinggalan-tinggalan arkeologis tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut:

Situs Seni Cadas

Di kawasan gugusan Pulau Misool ditemukan tinggalan prasejarah berupa seni cadas yang
diterakan pada dinding batu karang. Uniknya, seni cadas ini berada sangat dekat dengan
permukaan laut dan tidak berada di dalam gua. Menurut perkiraan, lukisan dinding menjadi
bagian dari rangkaian petunjuk jalur migrasi di gugusan Pulau Misool. Seperti yang terdapat
diwilayah kampung Tomolol dengan 9 situs seni cadas yaitu situs Mloialdlo 1, situs
Mloialdlo 2, situs Kajipo 1, situs Kajipo 2, situs Kajipo 3, situs Kabilitlo, situs Kapalaupa,
situs Funmalelen, dan situs Manyaimleudi. Motif-motif gambar cadas yang berada pada
dinding-dinding tebing karang tersebut dapat diklasifi kasikan ke dalam, kelompok manusia
berupa gambar manusia kangkang seolah-olah sedang menari dan cap tangan, kelompok
fauna meliputi motif ikan, lumba-lumba, paus, kadal, kupu-kupu, kuda laut, penyu, ular,
kelompok fl ora seperti motif tumbuhan, kelompok benda budaya seperti motif topeng,
panah, kapak batu, kotak, tas, simbol, alat tusuk, dan bumerang, kelompok geometris berupa
matahari, segi empat, dan kelompok abstrak atau lukisan yang belum teridentifi kasi berupa
gambar-gambar yang tidak berbentuk dan juga gambar-gambar yang sudah pudar.

Situs Ceruk Manyaimleudi

Situs penguburan ceruk ini berada pada tempat yang sama dengan situs lukisan dinding
Manyaimleudi (Pulau Manyaimleudi). Pada situs ini selain terdapat lukisan pada salah satu
dinding tebing, juga terdapat 2 ceruk yang digunakan sebagai tempat penyimpanan tulang-
tulang orang mati. Pada ceruk 1 terdapat sejumlah besar fragmen tulang-tulang manusia yang
berserakan diatas permukaan lantai ceruk dan kulit kerang (triton). Jika dilihat dari jumlah
dan ragam fragmen tulang manusia yang ditemukan menunjukkan bahwa situs tersebut
sebagai tempat penguburan komunal dan merupakan penguburan primer, serta keberadaan
kulit kerang (triton) sebagai bekal kubur. Pada ceruk 2, terdapat 2 fragmen tulang tengkorak
sehingga dapat dikatakan bahwa kubur ceruk 2 merupakan kubur sekunder karena hanya
tulang tengkorak saja yang disimpan ditempat tersebut.
Situs Benteng Keramat (Claudi)

Situs Benteng Keramat terdapat di wilayah Kampung Tomolol, situs ini sebagai salah satu
bentuk peninggalan masa lampau. Benteng keramat merupakan susunan bangunan tembok-
tembok batu pada sebuah bukit. Benteng ini terdiri dari tiga buah susunan tembok batu yang
mengelilingi bukit tersebut dengan jarak antara masing-masing tembok batu cukup luas
sebagai tempat untuk bergerak. tembok-tembok tersebut disusun layaknya bangunan
berundak, Jika dilihat dari kondisi situs dan temuan di dalamnya menggambarkan bahwa
tempat tersebut dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan yaitu selain sebagai tempat
perlindungan juga sebagai tempat tinggal karena didukung oleh temuan cangkang moluska
yang cukup banyak, serta juga sebagai pusat kegiatan religi karena pada bagian puncak bukit
terdapat susunan batu yang mungkin di atasnya pernah didirikan suatu bangunan pemujaan,
hal ini didukung oleh temuan sebuah pilar penyangga bangunan. Kondisi situs terlihat cukup
rusak karena batu-batu yang disusun membentuk tembok sudah jatuh berserahkan
dikekitarnya namun bekas-bekas temboknya masih terlihat jelas, dipihak lain di situs tersebut
telah ditumbuhi beragam jenis pohon maupun semak, sehingga sedikit sulit untuk
merekonstruksi kembali bentuk situs, namun demikian bentuk situs secara umum berbentuk
melingkar.

Situs Gua Lengsom

Situs gua lengsom terdapat di Kampung Linmalas, situs ini terletak diantara Tanjung
Sarawangket dan Tanjung Selatan. Kampung Linmalas dibangun di sepanjang pesisir pantai
oleh suku asli Matbat bersama orang-orang yang datang dari wilayah Maluku. Di wilayah
Kampung Linmalas telah ditemukan situs arkeologi yaitu Situs Gua Lengsom. Secara geologi
Gua Lengsom merupakan gua alam yang terbentuk dari batu gamping, dengan memiliki ciri
fi sik seperti mempunyai 3 buah pintu yaitu dua pintu dibagian belakang dan satu pintu
dibagian depan yang paling besar dan memiliki bentuk pintu setengah lingkaran. Pada bagian
mulut gua depan terdapat batu-batu besar yang menutupi bagian bawah mulut gua, keadaan
dinding gua kering, langit-langit gua yang terdapat stalaktit, pada bagian atap terdapat satu
buah lubang angin, dan keadaan permukaan lantai yang rata dan lebih rendah dari batu di
mulut. Gua Lengsom berada dekat dengan pemukiman penduduk dan berdasarkan pada
keadaan topografi nya Gua Lengsom berada pada lokasi yang cukup terlindung yaitu di atas
bukit yang disekitarnya tumbuh beragam jenis pepohonan. Berdasarkan pada kondisi fi sik
gua maupun lingkungannya maka Gua Lengsom sangat layak dimanfaatkan oleh menusia
sebagai tempat hunian, hal ini didukung pula oleh temuan arkeologi berupa fragmen gerabah,
fragmen tulang-tulang binatang dan deposit cangkang kerang yang mendominasi permukaan
lantai gua. Keberadaan fragmen gerabah menggambarkan bahwa manusia pendukung gua
tersebut telah mengenal teknologi peralatan dari tanah liat berupa gerabah yang dimanfaatkan
sebagai wadah penyimpanan maupun untuk mengolah makanan. Namun jika dilihat dari
kondisi fi sik lingkungan sekitar situs menunjukkan bahwa gerabah yang berada di wilayah
tersebut bukan dibuat di wilayah tersebut tetapi didatangkan dari luar pulau. Disamping itu
temuan tulang-tulang binatang seperti tulang-tulang dan taring babi, tulang kanguru pohon
(lau-lau), tulang ikan, dan jenis tulang lainnya yang belum teridentifi kasi serta cangkang
moluska di Gua Lengsom, menggambarkan jenis makanan yang dikonsumsi oleh manusia
pendukungnya.

Pembahasan

Terdapatnya seni cadas, fragmen tengkorak manusia dan gerabah adalah sebagai faktor
pendukung adanya migrasi di Pulau Misool. Melalui kajian ini perihal migrasi penghuni
pulau Misool masa prasejarah merupakan salah satu fokus utama, karena hal tersebut
berkaitan dengan Suku Matbat yang di kenal sebagai suku asli yang mendiami Pulau Misool,
ini diketahui dari Istilah “Matbat” yang dalam bahasa setempat disebut orang tanah. Oleh
karena itu, dalam bagian ini dibahas mengenai migrasi tersebut.

Awal Penghunian Pulau Misool

Dalam penggambaran kembali penghunian Situs Gua Lengsom dan situs penguburan
ceruk. Suku Matbat (orang tanah) pada awalnya membangun suatu pemukiman atau
perkampungan yang di sebut dengan nama tip atau kampung tua dan ini terdiri dari beberapa
kampung termasuk Kampung Tomolol dan kampung Linmalas. Dengan adanya bukti awal
hunian manusia di Pulau Misool yang terdapat di Gua Lengsom Kampung Linmalas, maka
dapat diperkirakan bahwa telah terjadi perpaduan kebudayaan antara budaya Austronesia dan
Melanesia ini dibuktikan dengan temuan arkeologi berupa fragmen gerabah, fragmen tulang-
tulang binatang dan deposit cangkang kerang serta gigi manusia yang mengindikasikan
bahwa telah hadir penghuni di Pulau Misool yang membawa berbagai unsur budaya baru.
Ada pendapat bahwa kehadiran gerabah sangat ditentukan oleh konteks ruang, waktu serta
bentuk budaya manusia pendukungnya, sehingga belum dapat di pastikan siapa pendukung
hunian tersebut. Dari data penelitian arkeologi prasejarah tahun 2010 mengisyaratkan bahwa
penghunian Gua Lengsom sebagai bagian dari migrasi di Pulau Misool. Namun, kajian ini
masih perlu pembuktian lebih jauh, karena tinggalan yang dihasilkan diperoleh dari
tinggalan– tinggalan di permukaan lantai gua. Kajian ini tidak akan dibahas mengenai siapa,
kapan, mengapa dan bagaimana manusia dapat mencapai Pulau Misool dan menjadikan Gua
Lengsom sebagai tempat hunian, karena ini membutuhkan penelitian mendetail dengan
berbagai model pendekatan.

Faktor Penyebab Migrasi

Dari data arkeologi dapat diketahui bahwa, penghuni Gua Lengsom merupakan manusia
pemburu-pengumpul yang mengantungkan hidupnya dari kemampuan daya dukung
sumberdaya lingkungan.

Suku Matbat pada umumnya nelayan tradisional yang berdiam di kampungkampung kecil
yang letaknya berjauhan dan berbeda pulau. Kemungkinan migrasi manusia di Pulau Misool
memanfaatkan bergantian arah angin dan arus laut yang berubah setiap musim. Atau dapat
dikatakan bahwa faktor penyebab migrasi ke Pulau Misool adalah mencari wilayah baru
untuk mencari sumber eksploitasi. Sumber makanan tersebut terdapat di sepanjang pantai
seperti kerang-kerangan maupun hewan pantai lainnya. Barangkali juga mereka
mempertahankan hidup mereka dengan cara melaut dan menjala ikan, ada kemungkinan juga
mereka bereksperimen memakan berbagai jenis tumbuhan yang mereka temukan di sekitar
mereka.

Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan sisa–sisa tinggalan arkeologi, sehingga dapat
diketahui bahwa mata pencaharian mereka yaitu berburu dan menangkap ikan. Tidak ada
perbedaan yang signifi kan dengan mata pencaharian suku Matbat (orang tanah).

Dalam proses migrasi sangat juga ditentukan oleh aspek lingkungan di daerah kepulauan
adalah jarak antar pulau yang dapat saling terlihat dan mudah dicapai. Faktor atau unsur yang
berpengaruh pada aspek jarak antar pulau dan susunan bentang lahan adalah: angin, pola arus
laut dan bahaya (misalnya badai). Suku Matbat pada umumnya nelayan tradisional yang
berdiam di kampung-kampung kecil yang letaknya berjauhan dan berbeda pulau.
Kemungkinan migrasi manusia ke Pulau Misool memanfaatkan bergantian arah angin dan
arus laut yang berubah setiap musim.
BAB IV

PENUTUP

4. 1 KESIMPULAN

Dalam artikel ini terminologi Prasejarah Indonesia diawali dari kehidupan Manusia Wadjak
kira-kira 40.000 tahun yang lalu seperti yang diperkirakan oleh GHR von Koenigswald,
berdasarkan lapisan geologis yang dapat dijadikan pertanggalan secara relatif. Oleh karena
manusia Wajak ini besar kemungkinan hasil dari evolusi Homo erectus dan Homo soloensis,
maka dapat disimpulkan sementara bahwa manusia modern tertua Indonesia ini memang
“lahir” di Jawa. Salah satu cara untuk mengetahui budaya manusia prasejarah adalah dengan
mengetahui jenis peralatan hidup mereka, yang pada umumnya terbuat dari bahan yang
cukup kuat seperti misalnya bahan batuan yang ditemukan dilingkungan tempat tinggalnya.
Peralatan jaman batu tersebut biasanya ditinggal atau disimpan dimana mereka bermukim
antara lain di gua – gua ataupun rock shelter yang merupakan lokasi paling cocok pada waktu
itu bagi manusia prasejarah.

Dengan demikian besar kemungkinan persebaran atau migrasi manusia prasejarah seperti
Homo wadjakensis diawali dari Jawa kemudian menyebar ke arah Barat-Laut hingga Asia
Tenggara Daratan dan adapula yang ke Timur hingga sampai ke Australia melalui Melanesia
(periksa peta berikut). Pertanggalan C14 Homo erectus tertua di Sangiran diketahui 1,9 juta
tahun yang lalu (Widianto dan Simanjuntak, 2009) memperjelas bahwa munculnya manusia
purba sejak kala plestosen awal dan manusia prasejarah pada masa plestosen akhir-awal
holosen di Indonesia, mereka bukanlah berasal dari Afrika. Fosil – fosil seperti Meganthropus
paleojavanicus, Homo erectus, dan Homo wadjakensis adalah bukti bahwa manusia purba
dan manusia prasejarah Indonesia berevolusi di Jawa.
4.2 DAFTAR PUSTAKA

Soejono, R. P. 1963. ”Prehistori Irian Barat”, dalam Koentjaraningrat dan Harsja W.


Bachtiar: Penduduk Irian Barat, Projek Penelitian Universitas Indonesia, PT. Penerbitan
Universitas.

Soejono, R. P. dan Leirissa, R. Z. 2008. “Jaman Prasejarah Di Indonesia”, dalam: Sejarah


Nasional Indonesia I. Jakarta: Balai Pustaka.

Shutler (et al). 1994. “Wadjak AMS bone apatite C – 14 dates”, The 15th Indo Pacifi c
Prehistory Association Congress, Chiangmai, Thailand.

Sukandarrumidi dan Suprijo, Agus. 2008. “Geologi dan Manusia Prasejarah, Suatu
Pendekatan Menemukan Hunian Manusia Nomad”, dalam Gunadi dan Sumijati: Prasejarah
Indonesia dalam Lintasan Asia Tenggara dan Pasifi k, diterbitkan oleh Asosiasi Prehistorisi
Indonesia (API), ISBN 978-979-17897- 0-7.

Thorne, Alan. 1980. “The arrival of man in Australia”, dalam Andrew Sherratt: The
Cambridge Encyclopedia of Archaeology, Cambridge University Press.

Widianto, Harry. Tanpa Tahun. “Kehidupan Manusia Purba di Indonesia”, dalam: Sejarah
Nasional Indonesia, diterbitkan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (inpress).

Widianto, Harry dan Simanjuntak, Truman 2009. Sangiran Menjawab Dunia, diterbitkan
oleh: Balai Pelestarian Situs Manusua Purba Sangiran, Direktorat Jenderal Sejarah dan
Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (inpress).

Muller, Kal. 2008. Mengenal Papua. Daisy World Books

Soejono, R.P. 1963 : ”Prehistori Irian Barat” dalam Penduduk Irian Barat. (Koentjaraningrat
dan H.W. Bachtiar ed.) Jakarta : Penerbitan Universitas.

Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1. Yogyakarta: Kanisius

Suroto, Hari. 2010. Prasejarah Papua. Denpasar: Udayana University Press.

Tim Penelitian, 2010. Laporan Penelitian Arkeologi Prasejarah di Pulau Misool Kebupaten
Raja Ampat. Jayapura: Balai Arkeologi Jayapura.

Anda mungkin juga menyukai