Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI

PERCOBAAN 1
PENANGANAN HEWAN PERCOBAAN

Asisten Penanggung Jawab:


apt. Muhammad Fakhrur Rajih, M.Farm.

Disusun oleh:
Shift/Kelompok: A/2

Khodimul Haramain 10060319007


Nadia Rahayu 10060319008
Dike Kusniati 10060319009
Dwi Maulidani Fadhlan 10060319010
Novia Nur Islamiati 10060319011
Shannie Megaliane 10060319012

Tanggal Praktikum : 20 September 2021


Tanggal Laporan : 27 September 2021

LABORATORIUM FARMASI TERPADU UNIT D


PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2021 M / 1442 H
PERCOBAAN 1
PENANGANAN HEWAN PERCOBAAN

I. Tujuan Percobaan
1.1 Dapat menjelaskan kembali karakteristik hewan-hewan yang lazim
dipergunakan dalam percobaan
1.2 Dapat memperlakukan dan menangani hewan percobaan, seperti mencit,
tikus, kelinci, dan marmot, untuk percobaan farmakologi dengan baik
1.3 Dapat menghitung konversi dosis antar spesies

II. Teori Dasar


2.1 Hewan Percobaan
Pada uji farmakologi suatu sediaan dilakukan uji praklinis dan uji klinik
dimana uji praklinik dilakukan pada hewan coba seperti mencit (Mus musculus),
tikus (ratus Novergikus), kelinci (oryctogal us cuniculus), marmot (carvia
parcellus) dan untuk uji klinik dilakukan pada manusia (Sulaksono, 1987).
Pemanfaatan hewan percobaan demi pengembangan ilmu dan teknologi
semakin meningkat, baik dalam penggandan jumlah, ras, maupun aneka kondisi
hewan. Sejalan dengan hal tersebut terjadi pula peningkatan teknik dalam tata
laksana peternakan dan pengembanganbiakan, serta cara-cara perlakuan dan
penanganan terhadap hewan percobaan (Sulaksono, 1987).
Ditinjau dari segi sistem pengelolaannya atau cara pemeliharaannya, di mana
faktor keturunan dan lingkungan berhubungan dengan sifat biologis yang
terlihat/karakteristik hewan percobaan, maka ada 4 golongan hewan menurut
(Sundari,1986), yaitu:
1. Hewan liar.
2. Hewan yang konvensional, yaitu hewan yang dipelihara secara terbuka.
3. Hewan yang bebas kuman spesifik patogen, yaitu hewan yang dipelihara dengan
sistem barrier (tertutup).
4. Hewan yang bebas sama sekali dari benih kuman, yaitu hewan yang dipelihara
dengan sistem isolator. Sudah barang tentu penggunaan hewan percobaan
tersebut di atas disesuaikan dengan macam percobaan biomedis yang akan
dilakukan. Semakin meningkat cara pemeliharaan, semakin sempurna pula hasil
percobaan yang dilakukan. Dengan demikian, apabila suatu percobaan dilakukan
terhadap hewan percobaan yang liar, hasilnya akan berbeda bila menggunakan
hewan percobaan konvensional ilmiah maupun hewan yang bebas kuman.
Penggunaan hewan percobaan dalam penelitian ilmiah dibidang
kedokteran/biomedis telah berjalan puluhan tahun yang lalu. Hewan sebagai model
atau sarana percobaan haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, antara
lain persyaratan genetis/keturunan dan lingkungan yang memadai dalam
pengelolaannya, disamping faktor ekonomis, mudah tidaknya diperoleh, serta
mampu memberikan reaksi biologis yang mirip kejadiannya pada manusia (Smith,
1988).
2.2. Karakteristik Hewan Uji
Hewan yang digunakan dalam pengujian biasanya berupa mencit, tikus,
kelinci, dan marmot. Karakteristik utama mencit: hewan mencit di laboraturium
mudah ditangani ia bersifat penakut, fotofobia, cenderung berkumpul sesamanya,
mempunyai kecenderungan untuk bersembunyi dan lebih aktif dimalam hari dari
pada siang hari. Kehadiran manusia akan menghambat aktivitas mencit. Suhu
normal 37,4 ℃. Laju respirasi normal 163 kali tiap menit (Tjay,2002).
Karakteristik utama tikus: tikus relatif resisten terhadap infeksi dan cerdas.
Tikus putih pada umumnya tenang dan mudah ditangani. Ia tidak begitu bersifat
fotofobik dibandingkan dengan mencit dan kecenderungan untuk berkumpul
sesamanya, ukuran tidak begitu besar. Aktivitasnya tidak begitu terganggu dengan
adanya manusia disekitanya. Suhu tubuh normal: 37,5 - 38,0 ℃. Laju respirasi
normal 210 tiap menit. Bila diperlakukan kasar (atau apabila ia mengalami
defisiensi nutrisi) tikus menjadi galak dan sering menyerang si pemegang. Mencit
dan tikus digunakan sebagai hewan model hidup dalam berbagai kegiatan penelitan
terutama yang akan diterapkan pada manusia. Hewan ini mudah didapat, mudah
dikembangbiakkan dan harganya relatip murah, ukurannya kecil sehingga mudah
ditangani, jumlah anak perperanakannya banyak. Sebagaimana makhluk hidup
lainnya selama pertumbuhan dan perkembangannya mencit tidak dapat lepas dari
pengaruh berbagai faktor lingkungan hidupnya (Moriwaki,1994).
2.3. Konversi dosis
Penggunaan hewan uji untuk melakukan pengujian efektivitas obat
merupakan langkah awal untuk mendapatkan obat yang efektif yang dapat
digunakan oleh manusia. Mengingat ukuran tubuh hewan uji dan manusia sangat
berbeda jauh, oleh karena itu dibutuhkan adanya konversi dosis antara hewan uji –
manusia maupun hewan uji – hewan uji. Adapun tabel konversi dosis ialah sebagai
berikut:

Tabel Perbandingan Luas Permkaan Tubuh Hewan Percobaan untuk


Konversi Dosis
20 g 200 g 400 g 1,5 kg 2 kg 4 kg 12 kg 70 kg
mencit tikus marmot kelinci kucing kera anjing manusia
20 g
1,0 7,0 12,29 27,8 23,7 64,1 124,2 387,9
mencit
200 g
0,14 1,0 1,74 3,3 4,2 9,2 17,8 56,0
tikus
400 g
0,08 0,57 1,0 2,25 2,4 5,2 10,2 31,5
marmot
1,5 kg
0,04 0,25 0,44 1,0 1,08 2,4 4,5 14,2
kelinci
2 kg
0,03 0,23 0,41 0,92 1,0 2,2 4,1 13,0
kucing
4 kg
0,016 0,11 0,19 0,42 0,45 1,0 1,9 6,3
kera
12 kg
0,008 0,06 0,1 0,22 0,24 0,52 1,0 3,1
anjing
70 kg
0,0026 0,018 0,031 0,07 0,13 0,16 0,32 1,0
manusia
Sumber: Laurence and Bacharach (1964)
2.4. Rute Pemberian Obat
Rute Penggunaan obat dapat dengan cara:
a. Rute oral
b. Rute parenteral
c. Rute inhalasi
d. Rute membran mukosa
e. Rute kulit (Anief, 1990).
Cara pemberian obat melalui oral (mulut), sublingual (bawah lidah), rektal
(dubur) dan parenteral tertentu, seperti melalui intradermal, intramuskular,
subkutan, dan intraperitonial, melibatkan proses penyerapan obat yang berbeda-
beda. Pemberian secara parenteral yang lain, seperti melalui intravena, intra-arteri,
intraspinal dan intraseberal, tidak melibatkan proses penyerapan, obat langsung
masuk ke peredaran darah dan kemudian menuju sisi reseptor (receptor site) cara
pemberian yang lain adalah inhalasi melalui hidung dan secara setempat melalui
kulit atau mata. Proses penyerapan dasar penting dalam menentukan aktifitas
farmakologis obat. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses penyerapan akan
memperngaruhi aktifitas obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan
(Siswandono dan Soekardjo, B., 1995).

III. Bahan, alat dan hewan percobaan


Bahan Alat Hewan Percobaan
1. Aquadest 1. Alat suntik 1. Kelinci
2. NaCl fisiologis 2. Kandang hewan 2. Marmot
3. Sampel obat A (untuk oral) 3. Sonde oral 3. Mencit
4. Sampel obat B (untuk 4. Tikus
parenteral)

IV. Prosedur
4.1. Menghitung Konversi Dosis pada Hewan Percobaan
a. Dosis obat A peroral pada manusia dewasa adalah 500 mg. Konversi dosis
dihitung untuk diberikan kepada mencit atau tikus yang tersedia sesuai bobot
badannya dan dihitung volume yang akan diberikan secara oral kepada mencit
atau tikus tersebut bila konsentrasi larutan obat A yang tersedia di laboratorium
adalah 5 mg/mL.
b. Dosis obat B intraperitonial pada manusia dewasa adalah 50 mg. Konversi dosis
dihitung untuk diberikan kepada mencit atau tikus yang tersedia sesuai bobot
badannya dan dihitung volume yang akan diberikan secara peritonial kepada
mencit atau tikus tersebut bila konsentrasi larutan obat B yang tersedia di
laboratorium adalah 5 mg/mL.
4.2. Cara Memegang Hewan Percobaan sehingga Siap untuk Diberi Sediaan
Uji
a. Mencit
Mencit diangkat ujung ekornya dengan tangan kanan, diletakkan pada suatu
tempat yang permukaannya tidak licin (misal ram kawat pada penutup kandang),
sehingga kalau ditarik, mencit akan mencengkram. Telunjuk dan ibu jari tangan
kiri menjepit kulit tengkuk, sedangkan ekornya tetap dipegang dengan tangan
kanan. Posisi tubuh mencit dibalikkan, sehingga permukaan perut menghadap
praktikan dan ekor dijepitkan antara jari manis dan kelingking tangan kiri.
b. Tikus
Tikus dapat diperlakukan sama seperti mencit, tetapi bagian ekor yang
dipegang sebaiknya pada bagian pangkal ekor dan pegangannya pada bagian
tengkuk bukan dengan memegang kulitnya.
Cara memegang tikus adalah tikus diangkat dengan memegang ekornya dari
belakang dan kemudian diletakkan di atas permukaan kasar. Tangan kiri
diluncurkan perlahan-lahan dari belakang tubuhnya menuju kepala. Ibu jari dan
telunjuk diselipkan ke depan dan kaki kanan depan dijepit di antara kedua jari
tersebut.
c. Kelinci
Kelinci harus diperlakukan dengan halus, tetapi sigap, karena kadang-
kadang memberontak. Untuk menangkap atau memperlakukan kelinci, jangan
dengan telinganya diangkat, tetapi dengan cara kulit lehernya dipegang dengan
tangan kiri, kemudian pantatnya diangkat dengan tangan kanan dan didekapkan
ke dekat tubuh.
d. Marmot
Marmot diangkat dengan cara dipegang bagian punggung atas dengan
tangan kiri dan dipegang bagian punggung bawah dengan tangan kanan.
4.3. Cara Memberikan Obat Pada Hewan Percobaan
a. Mencit
Oral: cairan obat diberikan dengan menggunakan sonde oral. Sonde oral
ditempelkan pada langit-langit mulut atas mencit, kemudian dimasukkan
perlahan-lahan sampai ke esopagus dan dimasukkan cairan obat. Obat A secara
oral diberikan sesuai hasil konversi dosis yang telah dilakukan.
Sub kutan: kulit di daerah tengkuk diangkat dan ke bagian bawah kulit
dimasukkan obat dengan menggunakan alat suntik 1 ml.
Intra vena: mencit dimasukkan ke dalam kandang restriksi mencit, dengan
ekornya menjulur keluar. Ekornya dicelupkan ke dalam air hangat agar
pembuluh vena ekor mengalami dilatasi, sehingga memudahkan pemberian obat
ke dalam pembuluh vena. Pemberian obat dilakukan dengan menggunakan
jarum suntik no.24.
Intramuscular: obat disuntikkan pada paha posterior dengan jarum suntik
no. 24.
Intra peritonial: mencit dipegang dengan cara seperti pada 1.4.2.a, pada saat
penyuntikan, posisi kepala lebih rendah dari abdomen. Jarum disuntikkan
dengan sudut sekitar 10 dari abdomen pada daerah yang sedikit menepi dari garis
tengah, agar jarum suntik tidak mengenai kandung kemih. Penyuntikan juga
jangan di daerah yang terlalu tinggi untuk menghindari terjadinya penyuntikan
pada hati. Obat B diberikan secara intraperitonial sesuai hasil konversi dosis
yang telah dilakukan.
b. Tikus
Permberian secara oral, intramuskular dan intra peritonial dapat dilakukan
dengan cara yang sama seperti pada mencit. Pemberian secara sub kutan dapat
dilakukan di bawah kulit tengkut atau kulit abdomen. Pemberian secara intra
vena lebh mudah dilakukan pada vena penis dibandingkan dengan vena ekor.
c. Kelinci
Oral: pemberian obat dengan cara oral pada kelinci umumnya jarang
dilakukan, tetapi bila dilakukan biasanya digunakan alat penahan rahang dan
pipa lambung.
Subkutan: pemberian subkutan dapat dilakukan pada sisi sebelah pinggang
atau tengkuk. Caranya kulit diangkat dan ditusukkan jarum (no. 15) dengan arah
anterior.
Intra vena: penyuntikan dilakukan pada vena marginalis di daerah dekat
ujung telinga. Sebelum penyuntikan, telinga dibasahi terlebih dahulu dengan
alkohol atau air hangat, dan bila perlu bulunya dicukur, terutama bagi kelinci
yang berwarna gelap.
Intra muskular: pemberian intramuskular dapat dilakuakn pada otot kaki
belakang.
Intraperitoneal: posisi kelinci diatur sedemikian rupa sehingga letak kepala
lebih rendah daripada perut. Penyuntikan dilakukan pada garis tengah di muka
kandung kencing.
d. Marmot
Oral: pemberian obat secara oral dilakukan dengan menggunakan sonde
oral.
Intradermal: bulu marmot pada daerah yang akan disuntik terlebih dahulu
dicukur. Obat disuntikkan ke dalam kulit secara perlahan-lahan.
Subkutan: bagian kulit diangkat dengan cara dicubit, dan jarum suntik
ditusukkan ke bawah kulit dengan arah paralel dengan otot di bawahnya.
Intraperitonial: marmot dipegang punggungnya sedemikian sehingga
perutnya agak menjolok ke muka. Jarum suntik ditusukkan seperti pada cara
subkutan, sesudah masuk ke dalam kulit, jarum ditegakan sehingga menembus
lapisan otot dan masuk ke dalam daerah peritonium.
Intra muskular: jarum ditusukkan pada jaringan otot, tetapi jangan terlalu
dalam sampai menyentuh tulang paha. Daerah penyuntikkan adalah otot paha
bagian posterior – lateral.
Intra vena: jarang dilakukan.
4.4. Cara Menganestesi Hewan Percobaan
a. Mencit
Senyawa-senyawa yang dapat digunakan untuk anestesi adalah:
Eter: digunakan untuk anestesi singkat. Caranya adalah obat diletakkan
dalam suatu wadah, kemudian hewan dimasukkan dan wadah ditutup. Bila
hewan sudah kehilangan kesadaran, hewan dikeluarkan dan siap dibedah.
Penambahan selanjutnya bisa diberikan dengan bantuan kapas yang dibasahi
dengan obat tersebut.
Halotan: obat ini digunakan untuk anestesi yang lebih lama.
Pentobarbital natrium dan heksobarbital natrium: dosis pentobarbital
natrium adalah 45-60 mg/kg untuk pemberian intra peritonial dan 35 mg/kg
untuk cara pemberian intra vena. Dosis heksobarbital natrium adalah 75 mg / kg
untuk intraperitonial dan 47 mg/kg untuk pemberian intra vena.
Uretan (etil karabamat): uretan diberikan pada dosis 1000 – 1250 mg/kg
secara intraperitoneal dalam bentuk larutan 25% dalam air
b. Tikus
Senyawa penganestesi yang digunakan dan cara melakukan anestesi pada
tikus, umumnya sama seperti pada mencit.
c. Kelinci
Obat anestetika yang paling banyak digunakan untuk kelinci adalah
pentobarbital natrium, dengan disuntikkan secara perlahan-lahan. Dosis untuk
anestesi umum, bisanya sekitar 22 mg/kg bobot badan. Untuk anestesi singkat
dapat dipergunakan setengah dosis di atas, dengan ditambah eter agar pembiusan
terjadi sempurna
d. Marmot
Anestesi marmot biasanya dilakukan dengan menggunakan eter atau
pentobarbital natrium. Eter digunakan untuk anestesi singkat, setelah hewan
dipuasakan selama 12 jam. Dosis pentobarbital natrium adalah 28 mg/kg bobot
badan
4.5. Cara Mengorbankan Hewan Percobaan
Mengorbankan hewan percobaan dapat dilakukan dengan cara kimia atau
cara fisika.
a. Mencit
Cara kimia antara lain dengan digunakan eter atau pentobarbital-Na pada
dosis yang mematikan.
Cara fisik dilakukan dengan dislokasi leher. Proses dislokasi dilakukan
dengan cara mencit dipegang ekornya dan kemudian ditempatkan pada
permukaan yang bisa dijangkaunya (misalnya ram kawat penutup kandang).
Dengan demikian mencit akan meregangkan badannya. Saat mencit
meregangkan badannya, pada tengkuk ditempatkan suatu penahan, misalnya
pensil atau batang logam yang dipegang dengan tangan kiri. Tangan kanan
menarik ekornya dengan keras, sehinga lehernya akan terdilokasi dan mencit
akan terbunuh
b. Tikus
Cara kimia antara lain dengan digunakan eter atau pentobarbital-Na pada
dosis yang mematikan.
Cara fisik dilakukan dengan proses tikus diletakkan di atas sehelai kain,
kemudian badan tikus dibungkus termasuk kedua kaki depannya dengan kain
tersebut. Tikus selanjutnya dibunuh dengan cara memukul bagian belakang
telinganya dengan tongkat, atau tikus dipegang dengan perutnya menghadap ke
atas, kemudian bagian belakang kepalanya dipukulkan dengan keras pada
permukaan yang keras seperti meja atau permukaan logam, atau ekor tikus
dipegang, kemudian diayunkan sampai tengkuknya tepat mengenai permukaan
benda keras seperti bagian pinggir meja.
c. Kelinci
Cara kimia antara lain dengan digunakan eter atau pentobarbital-Na pada
dosis yang mematikan secara intra vena.
Cara fisik dilakukan dengan proses kaki belakang kelinci dipegang dengan
tangan kiri sehingga badan dan kepalanya tergantung ke bawah menghadap ke
kiri. Sisi telapak tangan kanan dipukulkan dengan keras pada tengkuk kelinci.
Pemukulan pada tengkuk kelinci dapat dilakukan dengan menggunakan alat,
misalnya tongkat.
d. Marmot
Cara kimia antara lain dengan digunakan eter atau pentobarbital-Na pada
dosis yang mematikan secara intra vena.
Cara fisik dilakukan dengan proses tengkuk marmot dipukul dengan keras
dengan menggunakan alat atau dengan bagian belakang kepalanya dipukul pada
permukaan keras. Dislokasi leher dilakukan dengan tangan.

V. Data Pengamatan
5. 1. Cara Penanganan Hewan Percobaan
Mencit atau tikus diambil dari dalam kandang dengan mengangkat ekornya
menggunakan tangan kanan, mencit atau tikus ditaruh diatas tangan kiri dalam
keadaan ekor masih dipegang dengan tangan kanan, lalu mencit atau tikus dialihkan
perhatiannya dengan cara menyimpannya di atas tutup kandang, kemudian kulit di
bagian punggung dan lehernya ditarik dan dipegang oleh tangan kiri lalu
diposisikan dengan perut menghadap penguji, lalu ekor tikus dijepit di antara jari
manis dan kelingking, selanjutnya mencit atau tikus sudah siap untuk diberikan
sampel obat dengan rute yang telah ditentukan. Berikut ilustrasinya:
5. 2. Pemberian Rute-Rute

Rute Gambar
Oral
Sub Kutan

Intra Peritonial

Intra Vena

Hewan Intra Vena Intra Sub Kutan Oral


percobaan Peritonial
Mencit Disuntikkan Disuntikkan Disuntikkan Disuntikkan ke
kebagian ekor kebagian ke mulut (oral)
paha area perut kebagian
kerongkongan
menuju saluran
cerna
Tikus Disuntikkan Disuntikan Disuntikkan Disuntikkan ke
kebagian kebagian ke area perut mulut (oral)
penis paha kebagian
kerongkongan
menuju saluran
cerna

5. 3. Perhitungan Konversi Dosis


Obat A
Diketahui : Dosis obat A pada manusia dewasa = 500 mg
Konsentrasi obat A = 5 mg/mL
Bobot mencit = 30 g
Bobot tikus = 300 g
Ditanya : Konversi dosis & dosis yang diberikan
Jawab : Mencit
Konversi dosis = dosis manusia x factor konversi
= 500 mg x 0,0026
= 1,3 mg/20 g bb
5 𝑚𝑔 1,3 𝑚𝑔
Volume obat = 1 𝑚𝐿 = 𝑥

1,3 𝑚𝑔 𝑥 1 𝑚𝐿
X= 5 𝑚𝑔

X = 0,26 mL
30 𝑔
Volume pemberian = 20 𝑔 x 0,26 mL = 0,39 mL

Tikus
Konversi dosis = dosis manusia x factor konversi
= 500 mg x 0,018
= 9 mg/200 g bb
5 𝑚𝑔 9 𝑚𝑔
Volume obat = 1 𝑚𝐿 = 𝑥

9 𝑚𝑔 𝑥 1 𝑚𝐿
X= 5 𝑚𝑔

X = 1,8 mL
300 𝑔
Volume pemberian = x 1,8 mL = 2,7 mL
200 𝑔
Obat B
Diketahui : Dosis obat B pada manusia dewasa = 50 mg
Konsentrasi obat A = 0,5 mg/mL
Bobot mencit = 30 g
Bobot tikus = 300 g
Ditanya : Konversi dosis & dosis yang diberikan
Jawab : Mencit
Konversi dosis = dosis manusia x factor konversi
= 50 mg x 0,0026
= 0,13 mg/20 g bb
0,5 𝑚𝑔 0,13 𝑚𝑔
Volume obat = 1 𝑚𝐿
= 𝑥
0,13 𝑚𝑔 𝑥 1 𝑚𝐿
X=
0,5 𝑚𝑔

X = 0,26 mL
30 𝑔
Volume pemberian = 20 𝑔 x 0,26 mL = 0,39 mL

Tikus
Konversi dosis = dosis manusia x factor konversi
= 50 mg x 0,018
= 0,9 mg/200 g bb
0,5 𝑚𝑔 0,9 𝑚𝑔
Volume obat = =
1 𝑚𝐿 𝑥
0,9 𝑚𝑔 𝑥 1 𝑚𝐿
X= 0,5 𝑚𝑔

X = 1,8 mL
300 𝑔
Volume pemberian = 200 𝑔 x 1,8 mL = 2,7 mL

VI. Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan penanganan hewan percobaan dan konversi
dosis dengan menggunakan empat jenis hewan percobaan diantaranya, yaitu
mencit, tikus, kelinci, dan marmot. Pada mencit dan tikus tersedia di laboraturium,
sedangkan kelinci dan marmot hanya ditampilkan saat demo. Hewan-hewan ini
dapat digunakan sebagai hewan percobaan karena struktur organ yang terdapat pada
tubuhnya hampir mirip dengan struktur organ yang terdapat pada manusia.
Sehingga hewan-hewan tersebut biasa digunakan untuk uji praklinis sebelum
nantinya akan dilakukan uji klinis yang diujikan langsung terhadap manusia.
Percobaan ini membahas tentang bagaimana cara penanganan hewan coba sebelum
dilakukan pemberian obat terhadap hewan serta menghitung konversi dosis pada
mencit dan tikus.
Sebelum dilakukan percobaan, terlebih dahulu praktikan harus mengetahui
mengenai volume pemberian obat pada hewan percobaan. Volume cairan yang
diberikan pada setiap hewan percobaan tidak boleh melebihi batas maksimal yang
telah ditetapkan. Karena jika melebihi batas maksimal kemungkinan hewan
percobaan akan mengalami efek farmakologis yang dapat membahayakannya yang
bersifat toksisitas.
Hewan yang digunakan sebagai model atau sarana percobaan haruslah
memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, antara lain persyaratan genetis atau
keturunan dan lingkungan yang memadai dalam pengelolaannya, disamping faktor
ekonomis, mudah tidaknya diperoleh, serta mampu memberikan reaksi biologis
yang mirip kejadiannya pada manusia, maka dari itu perlu diketahui faktor internal
dan eksternal dari hewan percobaan sebelum dilakukannya percobaan.
Faktor internal yang dapat mempengaruhi hasil percobaan adalah variasi
biologik (usia, jenis kelamin), ras, dan sifat genetik, status kesehatan, nutrisi bobot
tubuh, dan luas permukaan. Usia dan jenis kelamin berpengaruh pada hasil
percobaan karena pada usia yang tepat pada fase hidup hewan tersebut, efek
farmakologi yang dihasilkan akan lebih baik. Jenis kelamin juga berpengaruh
dilihat dari literatur bobot badan hewan akan berbeda. Hal ini akan berpengaruh
pada dosis yang akan di gunakan pada hewan percobaan hewan tersebut. Begitu
pula dengan ras dan genetik yang berbeda. Status kesehatan dan nutrisi berpengaruh
terhadap hasil percobaan karena efek yang dihasilkan dalam dosis akan cepat
diserap oleh tubuh dan berlangsung cepat efek yang dihasilkan. Selain itu, bobot
tubuh dan luas permukaan tubuh hewan yang besar akan lebih membutuhkan lebih
banyak dosis dibandingkan dengan yang memiliki bobot dan luas permukaan tubuh
kecil. Untuk mendapatkan data kuantitatif yang akurat pada efek far akologis yang
terjadi.
Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi hasil percobaan adalah
pemeliharaan lingkungan fisiologik (keadaan kandan, suasana asing atau baru,
keadaan ruangan tempat hidup seperti suhu, kelembaban, cahaya, kebisingan serta
penempatan hewan), suplai oksigen, pemeliharaan keutuhan struktur ketika
menyiapkan jaringan atau organ untuk percobaan. Meningkatnya kejadian penyakit
infeksi pada hewan percobaan, disebabkan karena kondisi lingkungan yang jelek di
mana hewan itu tinggal. Maka dengan meningkatnya kejadian penyakit infeksi dan
disertai dengan keadaan nutrisi yang jelek pula, akan berakibat resistensi tubuh
menurun, sehingga akan berpengaruh terhadap hasil suatu percobaan. Jadi, untuk
menghasilkan hasil percobaan yang baik, faktor eksternal tersebut harus
disesuaikan dengan karakteristik hewan percobaan agar hewan tersebut tidak stres.
Karena jika hewan tersebut stres akan menghambat percobaan.
Cara memegang hewan serta cara menangani hewan perlu diketahui, karena
cara memegang hewan dari masing-masing jenis itu berbeda-beda berdasarkan sifat
hewan, keadaan fisik (besar atau kecil), serta tujuannya. Kesalahan dalam
memegang atau menangani hewan dapat menyebabkan kecelakaan atau rasa sakit
bagi hewan yang akan menyulitkan praktikan dalam melakukan penyuntikan atau
pengambilan darah dan juga bagi orang yang memegangnya.
Cara memperlakukan hewan coba yaitu mula-mula mencit atau tikus dapat
dipegang dengan memegang ujung ekor dengan menggunakan tangan kanan,
biarkan mencit atau tikus mencengkram alas kasar (misalnya ram kawat pada
penutup kandang). Kemudian tangan kiri dengan ibu jari dan jari telunjuk mencepit
kulit tengkuk, kemudian posisi tubuh mencit atau tikus dibalikan, sehingga
permukaan perut menghadap ke atas dan ekor dijepitkan antara jari manis dan
kelingking tangan kiri. Dengan demikian, mencit atau tikus telah terpegang oleh
tangan kiri dan siap untuk diberi perlakuan.Jika cara penanganan mencit tidak
sesuai, biasanya mencit akan merasa stress dan ketakutan sehingga akan buang air
besar dan buang air kecil.
Selain cara memegang hewan yang berbeda-beda, rute pemberian sediaan
uji juga berbeda pada setiap hewan. Rute pemberian ini merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi respon obat pada hewan percobaan. Bentuk dan jumlah
sediaan yang akan digunakan perlu disesuaikan dengan rute pemberian yang dipilih,
disamping juga sifat obat yang akan digunakan. Rute pemberian obat menentukan
jumlah dan kecepatan obat masuk ke dalam tubuh, sehingga menjadi penentu
keberhasilan terapi atau kemungkinan timbulnya efek yang merugikan. Metode
yang biasa dilakukan dalam penanganan hewan coba diantaranya yaitu :
1. Per oral
Pemberian obat secara oral pada mencit dan tikus dilakukan dengan alat
suntik yang dilengkapi sonde oral. Hal ini untuk meminimalisir terjadinya luka atau
cedera ketika hewan uji akan diberikan sediaan uji. Perlu diperhatikan bahwa cara
peluncuran/pemasukan sonde yang mulus disertai pengeluaran cairan sediaannya
yang mudah adalah cara pemberian yang benar. Cara pemberian yang keliru, masuk
ke dalam saluran pernafasan atau paru-paru dapat menyebabkan gangguan
pernafasan dan kematian. Praktikan dapat mengetahui pemberian obat secara oral
ini berhasil atau tidak. Hal ini dapat dilihat dari cairan yang dimasukan tersebut.
Bila dari hidung hewan uji keluar cairan seperti yang kita berikan menunjukkan
adanya kesalahan dalam proses pemberian.
2. Subkutan
Pemberian obat secara subkutan pada mencit dan tikus dilakukan dengan
pemberian obat melalui bawah kulit dengan menggunakan alat suntik 1 mL. Rute
injeksi ini hanya boleh dilakukan untuk obat yang tidak menyebabkan iritasi
jaringan, karena dapat menyakiti hewan uji. Penyuntikkan dilakukan di bawah kulit
pada mencit dilakukan pada daerah kulit tengkuk, sedangkan pada tikus dilakukan
di bawah kulit tengkuk atau kulit abdomen. Apabila jarum suntikkan terasa longgar
ketika digerak-gerakkan, berarti suntikan sudah benar. Sebelum dilakukannya
penyuntikkan area kulit yang akan disuntik sebaiknya dibersihkan terlebih dahulu
dengan alkohol 70% agar daerah yang akan disuntik steril dan menjadi aseptik.
Pada mencit diusahakan dilakukan dengan cepat untuk menghindari pendarahan
yang terjadi karena pergerakan kepala dari mencit. Pemberian obat ini dikatakan
berhasil jika jarum suntik telah melewati kulit dan pada saat alat suntik ditekan,
cairan yang berada di dalamnya dengan cepat masuk ke daerah bawah kulit.
3. Intra vena
Pemberian obat secara intra vena pada mencit dilakukan pada vena ekor,
sedangkan pada tikus lebih mudah dilakukan pada vena penis karena ukuran vena
ekor pada tikus lebih kecil dan sulit ditemukan dibandingkan dengan mencit.
Tujuan dari pemberian obat dengan rute intra vena untuk memperoleh reaksi obat
yang cepat diabsorbsi daripada dengan injeksi parenteral lain, untuk menghindari
terjadinya kerusakan jaringan dan untuk memasukkan obat dalam jumlah yang
lebih besar. Pada saat melakukan injeksi pada alat suntik tidak boleh ada udara,
karena akan merusak dan membuat aliran darah vena hewan menjadi tidak stabil
serta ekor akan menggelembung. Pada mencit, mencit dimasukkan kedalam
kandang restriksi mencit dengan ekor menjulur keluar agar memudahkan dalam
penyuntikkan vena ekor mencit. Lalu ekor mencit dicelupkan ke dalam air hangat,
agar pembuluh vena ekor mengalami dilatasi dan memudahkan pemberian obat.
Ciri-ciri pembuluh vena yang mengalami dilatasi adalah garis merah pada ekor
mencit akan terlihat jelas dan besar sehingga akan memudahkan praktikan untuk
menyuntikan. Jangan menggunakan alkohol/bahan antiseptik lain, karena justru
akan menyebabkan vasokontriksi sehingga akan mempersulit masuknya jarum. Jika
pemberian obat secara intravena berhasil dengan posisi yang benar, maka akan
terlihat pada vena ekor mencit pergerakan obat ke dalam tubuh.
4. Intramuskular
Pemberian obat secara intramuskular pada mencit dan tikus dilakukan pada
paha posterior. Injeksi intramuskular yaitu memasukkan obat kedalam otot dengan
menusukkan jarum suntik dengan sudut tegak lurus atau 90° terhadap permukaan
kulit yang secara tidak langsung masuk ke dalam aliran darah melalui jaringan otot,
dimana obat akan diabsorbsikan oleh aliran darah yang berlebihan melalui kapiler
yang melayani otot. Lalu pada tempat suntikkan dipijat pelan-pelan, agar otot
bergerak dan dapat segera menyalurkan obat ke tubuh.
5. Intraperitonial
Pemberian obat secara intraperitonial pada mencit dan tikus dilakukan pada
daerah abdomen. Jarum disuntikkan dengan sudut sekitar 10° dari abdomen pada
daerah yang sedikit menepi dari garis tengah agar jarum tidak mengenai kandung
kemih. Penyuntikkan juga jangan terlalu tinggi untuk menghindari terjadinya
penyuntikkan pada hati. Intraperitonial mengandung banyak pembuluh darah
sehingga obat langsung masuk ke dalam pembuluh darah dan efek yang dihasilkan
lebih cepat dibandingkan intramuskular dan subkutan, karena obat di metabolisme
serempak sehingga durasinya lebih cepat.
Pada pemberian dosis hewan uji, dosis yang diberikan harus sesuai dengan
bobot hewan tersebut, yang berarti setiap hewan memiliki dosis yang berbeda-beda.
Hal ini disebabkan dari berbagai faktor yang mempengaruhi biovaibilitas obat,
yaitu jumlah obat dalam persen terhadap dosis yang mencapai sirkulasi sistemik
dalam bentuk utuh atau aktif juga fartor dari obat itu sendiri, seperti sifat fisikokimia
obat yaitu stabilitas pada pH lambung, stabilitas terhadap enzim percenaan, dll.
Dosis setiap hewan percobaan berbeda-beda, meskipun satu jenis tetap tidak
dapat menjamin dosis yang sama. Hal ini dikarenakan bobot hewan yang berbeda-
beda. Maka dari itu perlu dilakukannya konversi dosis, agar efek farmakologisnya
tercapai sempurna. Konversi dosis juga diperlukan untuk pergantian jumlah dosis
dari hewan ke manusia atau dari mencit ke tikus dan seterusnya. Untuk mengubah
dosis hewan ke manusia dapat dihitung dengan cara jumlah dosis dikali dengan
faktor konversi yang dapat dilihat pada pustaka, sehingga didapatkan dosis
manusia.
Dalam beberapa hal, anestesi hewan percobaan sangat diperlukan untuk
memudahkan cara pemberian obat/senyawa bioaktif tertentu. Senyawa-senyawa
yang dapat digunakan untuk anestesi adalah eter, halotan, pentobarbital natrium,
heksobarbital natrium dan uretan (etil karabamat). Anestesi pada setiap hewan
percobaan tentunya akan berbeda, mulai dari perlakuan anestesi, senyawa
penganestesi, serta dosis yang dipakainya pun juga berbeda. Pada mencit dan tikus
senyawa yang digunakan adalah eter, halotan, pentobarbital natrium, heksobarbital
natrium dan uretan (etil karabamat). Pada kelinci obat anestetika yang paling
banyak digunakan yaitu pentobarbital natrium, dengan menyuntikkannya secara
perlahan-lahan. Pada marmot anestesi biasa dilakukan dengan menggunakan eter
dan pentobarbital natrium. Eter digunakan untuk anestesi singkat, dengan cara
meletakkan obat didalam suatu wadah kemudian hewan dimasukkan kedalamnya
dan wadah ditutup rapat, tunggu hingga hewan sudah kehilangan kesadaran. Maka
hewan siap dilakukan uji percobaan. Sedangkan halotan digunakan untuk anestesi
yang lebih lama.
Apabila proses pengamatan telah selesai, hewan akan dilakukan untuk
keperluan pengamatan, terjadi kecelakaan saat proses percobaan yang
mengakibatkan hewan menderita rasa sakit yang hebat, atau jumlah hewan terlalu
banyak dari yang dibutuhkan, maka pada saat itu perlu dilakukannya pengorbanan
hewan. Hal ini dilakukan karena pertimbangan ekonomis, waktu, dan tempat yang
dibutuhkan dalam memelihara hewan. Hewan dikorbankan dengan prinsip
mematikan dalam waktu sesingkat mungkin dan rasa sakit yang seminimal
mungkin. Cara mengorbankan hewan percobaan dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu cara kimia dan cara fisik. Pada dasarnya cara fisik yaitu dengan melakukan
dislokasi leher adalah cara yang paling cepat, mudah dan berprikemanusiaan, tetapi
cara perlakuan kematian juga adab/caranya agar hewan merasakan sakit yang
seminimal mungkin. Cara kimia untuk mengorbankan mencit, tikus, kelinci dan
marmot umumnya sama dengan menggunakan eter atau pentobarbital natrium pada
dosis letal/dosis yang mematikan, perbedaannya yaitu pada kelinci dan marmot
dosis diberikan secara injeksi intra vena, sehingga dapat membunuh hewan-hewan
tersebut. Untuk cara fisik ada beberapa cara yang dapat dilakukan diantaranya yaitu
dislokasi leher, memukul tengkuk leher hewan dengan menggunakan benda keras
(tongkat, permukaan meja, dll), atau dengan mengayunkan hewan hingga tengkuk
tepat mengenai permukaan benda keras seperti pinggir meja.

VII. Kesimpulan
7.1. Hewan uji yang lazim dipergunakan dalam percobaan adalah mencit dan
tikus, dengan karakteristik keduanya yang mudah ditangani dan hanya akan
menjadi liar jika makanannya kurang atau diperlakukan secara kasar. Selain
itu karakteristik pada mencit adalah penakut dan fotofobik, serta cenderung
sembunyi dan berkumpul dengan sesama sementara untuk tikus
karakteristiknya adalah sangat cerdas, tidak begitu bersifat fotofobik, dan
kecenderungan berkumpul dengan sesamanya sangat kurang dibandingkan
dengan mencit.
7.2. Menangani mencit dan tikus pada prinsipnya sama. Hanya ketika pada tikus
pada bagian ekornya dipegang pangkalnya sedangkan mencit pada ujung
ekornya. Dan ketika memegang hewan uji, untuk mencit cukup pegang
kulitnya saja sementara untuk tikus pada tikus dipegang tengkuknya
sedangkan mencit pada kulitnya saja bisa.
7.3. Diketahui faktor konversi dosis pada tikus yaitu 0,018 dan pada mencit yaitu
0,0026.
DAFTAR PUSTAKA
Anief, Moh. (1990). Perjalanan dan Nasib Obat dalam Badan. D.I Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Laurence, D.R. and A.L. Bacharach (Eds.). (1964). Evaluation of Drug Activities:
Pharmacometrics, vol. 1st. 161-162. London: Academic Press.
Moriwaki, K.T., Shiroshi., H. Yonekawa. (1994). Genetic in Wild Mice Its
Application to Biomedical Research. Tokyo:.Japan Scientific Societies Press.
Siswandono dan Soekardjo, B. (1995). Kimia Medisinal. Surabaya: Airlangga
Press.
Smith, J. B., Soesanto M. (1988). Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan
Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Sulaksono, M.E. (1987). Peranan, Pengelolaan dan Pengembangan Hewan
Percobaan. Jakarta.
Sundari, S.Y., Pudjoprajitno, Edhie, M. S., Patra,K. (1986). Keadaan dan Masalah
Hewan Uji di Indonesia. Jurnal Penelitian Kesehatan. (3).14.
Tjay & Rahardja. (2002). Obat-obat Penting, Khasiat, Pengunaaan dan Efek
Sampingnya, Edisi V. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kelompok
Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai