Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH EKONOMI PERTANIAN II

KEBIJAKAN-KEBIJAKAN PETANIAN DI INDONESIA

Disusun untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah: Ekonomi Pertanian II
Dosen Pengampu: Yustirania Septiana, S. Pd., M.Sc.

Disusun oleh :
1. Maulana Khoirul Rizky 2010101053
2. Yulyta Nur Afifah 2010101064
3. Taufiq Setiawan 2010101065
4. Farakh Aini Fitri 2010101074
5. Nurul Annisa 2010101075
6. Iqbal Kurniawan 2010101101

Kelas : K2
FAKULTAS EKONOMI
PROGAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN
UNIVERSITAS TIDAR
2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha kuasa karena telah memberikan
kesempatan pada kelompok kami untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat
dan hidayah-Nya kelompok kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Kebijakan-Kebijakan Pertanian di Indonesia” tepat waktu.

Makalah Kebijakan-Kebijakan Pertanian di Indonesia disusun guna


memenuhi tugas Ibu Sudati Nur Sarfiah pada mata kuliah Ekonomi Pertanian II di
Universitas Tidar. Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat
menambah wawasan bagi pembaca tentang kiat- kiat keberhasilan berwirausaha.

Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Sudati Nur


Sarfiah selaku dosen mata kuliah Ekonomi Pertanian II. Tugas yang telah diberikan
ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni
kelompok kami. Kelompok kami juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak
yang telah membantu proses penyusunan makalah ini. Kami menyadari makalah ini
masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.

Magelang, 23 Oktober 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii


DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 1
1.3 Tujuan ....................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 4
2.1 Kebijakan Harga ....................................................................................... 4
2.1.1 Kebijakan Harga Dasar ..................................................................... 4
2.1.2 Kebijakan Harga Atap (Price Ceiling) .............................................. 6
2.1.3 Contoh Penerapan Kebijakan Harga di Indonesia ............................ 7
2.2 Kebijakan Pemasaran ............................................................................... 7
2.2.1 Tujuan Kebijakan Pemasaran ............................................................ 8
2.2.2 Jenis kebijakan pemasaran ................................................................ 8
2.2.3 Instrumen .......................................................................................... 9
2.2.4 Kelebihan dan kelemahan dari kebijakan pemasaran ....................... 9
2.2.5 Contoh Pemasaran:.......................................................................... 10
2.3 Kebijakan Kredit .................................................................................... 11
2.3.1 Sejarah kredit Pada Program Pertanian ........................................... 11
2.3.2 Pelaksanaan Kredit Program/Bantuan Modal Usaha Pertanian ...... 12
2.3.3 Keunggulan dan Kelemahan Sistem Pembiayaan Kredit Program . 15
2.4 Kebijakan Input ...................................................................................... 16
2.5 Kebijakan Mekanisme ............................................................................ 16
2.6 Kebijakan Perbaikan Lahan .................................................................... 19
2.6.1 Kebijakan Revitalisasi Pertanian..................................................... 20
2.6.2 Kebijakan Perbaikan Lahan Suboptimal Berkelanjutan ................. 21
2.7 Kebijakan Penelitian dan Irigasi ............................................................. 22
2.7.1 Kebijakan Penelitian ....................................................................... 22
2.7.2 Kebijakan Irigasi ............................................................................. 23

iii
2.7.3 Pendekatan pokok-pokok kebijakan irigasi tahun 2015-2025 ........ 24
2.7.4 Sasaran kebijakan pengelolaan irigasi ............................................ 26
2.8 Kelebihan dan Kelemahan Negara ......................................................... 26
2.8.1 Kelebihan Pertanian di Indonesia.................................................... 26
2.8.2 Kelemahan Pertanian di Indonesia .................................................. 27
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 29
3.1 Kesimpulan .................................................................................................. 29
3.2 Saran ............................................................................................................ 29
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 30

iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sektor pertanian berperan penting dalam kehidupan, pembangunan, dan
perekonomian Indonesia. Indonesia sebagai negara agraris, sector pertanian mampu
melestarikan sumber daya alam, memberi hidup dan penghidupan, serta
menciptakan lapangan pekerjaan. Keberlangsungan sector pertanian dalam jangka
panjang membutuhkan perencanaan yang amtang, serta data yang akurat dan dapat
dipercaya.
Sektor pertanian di Indonesia masih menjadi ruang untuk rakyak kecil.
Kurang lebih 100 juta jiwa atau hampir separuh dari jumlah rakyak Indonesia
bekerja di sector pertanian. Untuk itu Kementerian Pertanian yang bekerja sama
dengan pemerintah telah melakukan upaya untuk membina dan membantu para
pelaku pertanian di Indonesia agar menjadi pondasi kuat dalam mendukung
perekonomian Indonesia. Upaya-upaya yang dilakukan terssebut adalah dengan
dikeluarkannya kebijakan pada sector pertanian. Adapun kebijakan yang telah
dikeluarkan antara lain kebijakan harga, kebijakan pemasaran, kebijakan kredit,
kebijakan input, kebijakan mekanisme, kebijakan perbaikan lahan, kebijakan
penelitian, dan kebijakan irigasi. Kebijakan-kebijakan tersebut dilakukan dalam
rangka mendorong pertanian di Indonesia agar menjadi pertanian yang lebih unggul.
Dalam makalah ini akan dijelaskan bagaimana penerapan kebijakan
pertanian tersebut dilaksanakan. Selain itu juga akan dijelaskan apa saja rincian dari
kebijakan-kebijakan pertanian tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, maka dapat disusun rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Apa saja kebijakan harga pada pertanian di Indonesia?
2. Bagaimana kebijakan pemasaran pertanian di Indonesia?
3. Bagaimana kebijakan kredit pertanian di Indonesia?
4. Apa saja kebijakan input pertanian di Indonesia?
5. Bagaimana kebijakan mekanisme pertanian di Indonesia?

1
6. Bagaimana kebijakan perbaikan lahan di Indonesia?
7. Apa saja kebijakan penelitian dan irigasi pada pertanian?
8. Apa saja kelebihan dan kelemahan pertanian di Indonesia?

2
1.3 Tujuan
Dari rumusan masalah di atas maka dapat diketahui tujuan pembuatan makalah
sebagai berikut:
1. Mengetahui macam-macam kebijakan harga pada pertanian di Indonesia.
2. Mengetahui pelaksanaan kebijakan pemasaran di Indonesia.
3. Mengetahui macam dan pelaksanaan kebijakan kredit di Indonesia.
4. Mengetahui macam-macam kebijakan input pada pertanian.
5. Mengetahui pelaksanaan kebijakan mekanisme pertanian di Indonesia.
6. Mengetahui pelaksanaan kebijakan perbaikan lahan di Indonesia.
7. Mengetahui macam kebijakan penelitian dan irigasi pada pertanian.
8. Mengetahui kelebijan dan kelemahan pertanian di Indonesia.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kebijakan Harga


Pada sektor pertanian, kebijakan harga merupakan instrumen penting untuk
memberi dukungan bagi produsen maupun konsumen. Oleh karena itu, dalam
beberapa literatur dikenal istilah price support sebagai instrumen dalam penerapan
kebijakan harga komoditas pertanian. Namun pada dasarnya, kebijakan harga
komoditas pertanian (agricultural price policy) memiliki tujuan untuk melindungi
produsen dan konsumen. Kebijakan harga untuk melindungi produsen diterapkan
dalam bentuk harga dasar (price floor) sedangkan kebijakan harga untuk melindungi
konsumen diterapkan dalam bentuk harga atap (price ceiling).
Kebijakan harga merupakan salah satu langkah yang diambil ketika harga
yang terbentuk di pasar tidak berada dalam kondisi normal akibat kegagalan pasar
(market failure). Dalam hal ini, kebijakan harga merupakan intervensi regulator
(pemerintah) sehingga harga yang terbentuk tidak dalam titik equilibrium.
Secara teoritis kebijakan harga dalam kebijakan pertanian berisikan tiga
tujuan yaitu stabilitas harga hasil-hasil pertanian terutama pada tingkat petani,
meningkatkan pendapatan petani melalui pebaikan dasar tukar (term of trade),
memberikan arah dan petunjuk pada jumlah produksi. Sehingga analisis dan
penerapan kebiajakan harga dalam pembangunan pertanian sangat diperlukan guna
mencapai tujuan pembangunan pertanian yang ada juga mensejahterakan seluruh
masyarakat khususnya para petani di Indonesia (Setiawan, 2021).

2.1.1 Kebijakan Harga Dasar


Harga dasar (price floor) merupakan harga yang ditetapkan di atas titik
equilibrium. Tujuan penetapan kebijakan harga dasar adalah untuk melindungi
produsen dari penurunan harga jual yang berdampak pada kerugian. Secara konsep,
terdapat dua jenis kebijakan harga dasar, yaitu:
1. Harga minimum yang ditetapkan secara sah dalam bentuk peraturan oleh
pemerintah (legal floors) dimana harga komoditas yang dijual produsen
ditentukan batas minimalnya. Dalam hal ini, pemerintah melalui regulasi

4
menetapkan harga minimum suatu komoditas.
2. Dukungan program oleh pemerintah dimana pemerintah melakukan intervensi
dengan melakukan sejumlah pembelian komoditas pertanian hingga tercapai
harga yang diinginkan. Hal ini umumnya dikenal dengan istilah price support
program.
Kebijakan harga dasar dapat mendistorsi pasar yang memaksa harga yang
terbentuk di atas titik equilibrium. Sebagai akibatnya, harga yang dibentuk tidak
berdasarkan mekanisme pasar sehingga timbul inefisiensi. Secara umum, kebijakan
harga dasar akan menimbulkan kehilangan (deadweight loss) bagi seluruh pelaku
pasar serta menimbulkan surplus penawaran.
Kebijakan harga dasar juga menimbulkan dampak lain dimana besarnya
tergantung pada jenis kebijakan harga dasar. Jika kebijakan harga dasar yang
diambil adalah jenis yang pertama (legal floors), maka beberapa dampak yang
timbul antara lain sebagai berikut:
a. Inefisensi alokasi penjualan diantara produsen. Dalam pasar yang tidak
terdistorsi, alokasi penjualan antar produsen akan dipengaruhi oleh marginal
cost masing-masing produsen. Semakin kecil marginal cost suatu produsen,
maka tingkat efisiensi yang dimiliki produsen tersebut semakin baik sehingga
dapat menjual produk lebih cepat dibandingkan dengan produsen yang
memilikimarginal cost yang relatif lebih tinggi. Dengan adanya legal floors,
hal tersebut dapat diminimalisir karena seluruh produsen memiliki harga
minimum yang sama. Hanya saja inefisiensi alokasi penjualan akan tetap
terjadi di antara produsen yang menerima kebijakan floor price dengan yang
tidak.
b. Kebijakan harga dasar legal floors menimbulkan sumber daya yang terbuang
(wasted resources). Kasus upah minimum merupakan contoh yang mudah
dipahami bahwa pencari kerja akan mengoptimalkan sumber dayanya untuk
mendapatkan pekerjaan sesuai dengan upah minimum yang ditetapkan
sementara tidak semua perusahaan mampu menyerap seluruh tenaga kerja pada
tingkat upah minimum.
c. Legal floors pada dasarnya merupakan bagian dari peningkatan kualitas secara

5
tidak efisien karena regulator (pemerintah) menentukan harga minimum namun
tidak menjamin kualitas produk yang dijual.
d. Legal floors akan membuka peluang terciptanya pasar illegal (black market)
dimana pemain pasar (misal broker) dapat menjual produk yang dibeli
berdasarkan harga minimum dan menjualnya ke pasar umum untuk
mendapatkan margin yang tinggi.
Sedangkan jika kebijakan yang diambil adalah price support program, maka
beberapa dampak tambahan yang ditimbulkan antara lain sebagai berikut:
a. Pemerintah harus membeli kelebihan produksi sehingga jika tidak disertai
dengan efisiensi kelembagaan seperti pergudangan, maka dapat mengakibatkan
pemborosan (wasted resources)
b. Price support program umumnya menyebabkan kebijakan pemerintah menjadi
meluas seperti intervensi tambahan pada sisi produksi. Hal ini akan semakin
mendistorsi pasar.
c. Dana yang dibutuhkan relatif besar dan dibebankan pada pajak. Dalam hal ini,
pembayar pajak seolah-olah melakukan pembayaran ganda (double tax) yaitu
pajak untuk pembelian kelebihan produksi dan harga komoditas yang relatif
lebih tinggi dari harga pasar.

2.1.2 Kebijakan Harga Atap (Price Ceiling)


Harga atap (price ceiling) merupakan harga yang ditetapkan di bawah titik
equilibrium. Tujuan penetapan kebijakan harga atap adalah untuk melindungi
konsumen dari kenaikan harga yang berdampak pada penurunan daya beli. Secara
umum, kebijakan harga atap akan memberikan disinsentif bagi produsen sehingga
berpotensi menimbulkan kelangkaan produk di pasar, dengan asumsi tidak ada
impor.
Adapun beberapa dampak dari kebijakan harga atap adalah sebagai berikut:
a. Harga atap akan menyebabkan terbuangnya sumberdaya (wasted resources)
terutama dari pihak konsumen yang akan mengeluarkan sumberdaya lebih
untukmemperoleh barang yang terbatas.
b. Kualitas barang akan menurun karena pada umumnya produsen merasa rugi
dengan tingkat harga yang dibatasi di bawah harga pasar.

6
c. Harga atap akan membuka peluang terciptanya pasar illegal (black market)
dimana pemain pasar (misal broker) dapat membeli produk berdasarkan harga
minimum dan menjualnya ke pasar umum untuk mendapatkan margin yang
tinggi.
d. Harga atap akan menimbulkan inefisiensi alokasi bagi konsumen karena harga
yang terbentuk tidak berdasarkan penilaian konsumen (harga pasar).

2.1.3 Contoh Penerapan Kebijakan Harga di Indonesia


Kebijakan harga untuk komoditas beras dimaksudkan untuk menjamin
ketersediaan dan menjaga stabilitas harga di pasar. Terdapat dua kebijakan harga,
yaitu kebijakan harga dasar dan kebijakan harga tertinggi.
Kebijakan harga dasar pada umumnya sebagai bentuk jaminan harga yang
akan diterima petani padi pada saat panen. Hal ini dimaksudkan agar petani dapat
memperoleh harga yang layak. Harga dasar ini ditetapkan oleh pemerintah. Kalau
pada awalnya dikenal dengan nama kebijakan harga dasar gabah (HDG), sekarang
telah berkembang menjadi harga pembelian pemerintah (HPP). Untuk menjamin
harga dasar yang efektif, pada saat panen pemerintah melalui Bulog melakukan
operasi pembelian gabah petani, terutama apabila harga gabah di tingkat petani
tertekan dibawah harga yang ditetapkan pemerintah.

2.2 Kebijakan Pemasaran


Kebijakan pemasaran diartikan sebagai kegiatan pemerintah untuk
mengatur distribusi barang (terutama beras) antar daerah dan/atau antar waktu
sehingga di antara harga yang dibayarkan konsumen akhir dan harga yang diterima
oleh produsen terdapat margin pemasaran dalam jumlah tertentu sehingga dapat
merangsang proses produksi dan proses pemasaran. Proses produksi dan proses
pemasaran berkaitan erat sekali. Jika komoditi yang diproduksikan tidak efisien
(biaya per unit tinggi) maka harga per unit juga tinggi sehingga sulit sekali
dipasarkan. Sebaliknya, kegiatan pemasaran yang tidak efisien menyebabkan
bagian petani (Farmer's Share) menjadi kecil, yang pada gilirannya tidak akan
merangsang peningkatan produksi lebih lanjut. Efisiensi pemasaran biasanya

7
diukur dari besar kecilnya margin pemasaran, setelah mempertimbangkan berbagai
fungsi yang dijalankan dalam kegiatan pemasaran tersebut.

2.2.1 Tujuan Kebijakan Pemasaran


1. Untuk melindungi petani atau konsumen dari pedagang parasit
2. Untuk menstabilkan atau meningkatkan harga di tingkat petani
3. Mengurangi margin pemasaran
4. Meningkatkan kualitas dan standar minimum
5. Meningkatkan ketahanan pangan

2.2.2 Jenis kebijakan pemasaran


1. Margin pemasaran
Margin pemasaran merupakan biaya dan keuntungan yang diterima
pedagang perantara dalam saluran pemasaran. Saluran pemasaran merupakan aliran
yang dilewati suatu produk dari produsen ke konsumen. Umumnya, semakin
panjang saluran pemasaran, akan memperbesar margin pemasarannya. Sebab,
lembaga pemasaran yang terlibat akan semakin banyak. Petani harus bisa memilih
saluran terpendek dalam memasarkan produknya atau bisa langsung dipasarkan ke
pihak konsumen akhir. Petani akan mampu menjadi price maker atau penentu harga
jika bisa memasarkan produknya langsung ke konsumen akhir karena dapat
menentukan sendiri harganya. Petani akan lebih merasa diuntungkan karena bisa
menentukan harga di tingkat konsumennya secara langsung.
Kelemahan:
Pada saluran ini, biaya pemasaran ditanggung oleh petani, mulai dari
pemanenan, penggilingan, dan pengemasan. Dengan tidak adanya lembaga
pemasaran yang terlibat, menyebabkan lebih rendahnya harga di tingkat konsumen
dan petani lebih diuntungkan.
2. Farmer’s share
Farmer’s share merupakan analisis yang berguna untuk mengetahui bagian
harga yang diterima oleh petani dari harga di tingkat konsumen yang dinyatakan
dalam persentase. Dengan memerhatikan farmer’s share, petani akan lebih tahu
sebenarnya berapa bagian harga yang diterimanya dibanding harga yang dibayarkan

8
konsumen sehingga petani dapat melakukan evaluasi terhadap strategi
pemasarannya. Apabila nilainya lebih mendekati 100%, berarti petani semakin
tidak dirugikan.
Kelemahan:
Dengan adanya nilai farmer’s share, berarti ada pula bagian harga yang
diambil oleh lembaga pemasaran yang akan menyebabkan semakin rendahnya
harga di tingkat petani dan meningkatnya harga di tingkat konsumen.

2.2.3 Instrumen
Policy instruments atau instrumen kebijakan adalah perangkat sarana yang
melalui mana kebijakan diimplementasikan. Ini biasanya dikategorikan
berdasarkan tingkat intervensi, intrusi, atau paksaan yang mereka wakili.
Dalam ekonomi makro, instrumen kebijakan merupakan alat pengambil
kebijakan untuk mempengaruhi aktivitas ekonomi secara agregat. Untuk kebijakan
moneter, bank sentral menggunakan bauran instrumen suku bunga kebijakan,
cadangan wajib dan operasi terbuka untuk mempengaruhi jumlah uang beredar dan
perekonomian. Sementara itu, untuk kebijakan fiskal, instrumen kebijakannya
adalah pajak dan belanja pemerintah.
Sementara itu, pemerintah juga dapat menggunakan sejumlah instrumen
untuk mempengaruhi aktivitas ekonomi dan bisnis. Mereka dapat mengambil
banyak bentuk, mulai dari subsidi hingga pembangunan infrastruktur.

2.2.4 Kelebihan dan kelemahan dari kebijakan pemasaran


Kelebihan dari kebijakan pemasaran
a. Dengan menerapkan kebijakan Pemasaran, masyarakat dapat menerima apa
saja yang dibutuhkan
b. Memudahkan dalam menarik pelanggan karena kebutuhan yang dibutuhkan
oleh masyarakat lengkap, apa saja yang dibutuhkan dapat terpenuhi
c. Pemasaran yang terkoordinir, yang berarti tidak akan memiliki stok berlebih
lagi, karena tersedianya kebutuhan yang dibutuhkan oleh pelanggan.
d. Modal yang tidak terlalu banyak karena target pemasaran yang sudah
diketahui.

9
Kelemahan dari kebijakan pemasaran
a. Dalam Praktiknya tidak selalu independen Dibentuk sebagai badan semi-
otonom dengan kemampuan pengambilan keputusan yang seharusnya
independen dalam domain tugas yang mereka lakukan.
b. Pembatasan Pemerintah Sering beroperasi dalam batasan yang ditentukan
oleh kebijakan pemerintah yang lebih luas, misalnya, harga tingkat petani dan
harga eceran yang menentukan margin di mana mereka harus beroperasi, atau
kebijakan nilai tukar yang menentukan mata uang domestik yang setara
dengan harga pasar dunia.
c. Peraturan yang ditetapkan Pemerintah Mereka juga harus mengikuti
peraturan negara dalam hal lain, seperti kondisi pelayanan pemerintah dan
skala gaji, dan ini jarang mendorong semangat dinamisme. Parasental
pemasaran membuktikan diri mereka rentan terhadap kelebihan staf,
penyelewengan dana, dan praktik akuntansi yang meragukan.
d. Sering kali terjadi biaya overhead Hal ini terjadi karena kewajiban hukum
untuk menyediakan layanan yang sama di banyak lokasi berbeda terlepas dari
biaya yang terlibat.

2.2.5 Contoh Pemasaran:


Program pemerintah dalam pemasaran
Kebijakan Harga
Harga merupakan cerminan dari interaksi dari penawaran dan permintaan
yang bersumber dari sektor rumah tangga (sebagai sector konsumsi) dan sector
industri (sebagai sector produksi).
Sebagai cerminan kekuatan-kekuatan pasar, pemerintah tidak selalu dapat
mengendalikan mekanisme pembentukan harga kepada kekuatan harga atau atas
suatu komoditi tertentu.
Pengembangan pemasaran
- Pengembangan Pasar Lelang Produk Pertanain/ Agribisnis
- Sitem Resi Gudang
- Pemberian sudsidi

10
Kebijaakan tariff dan non tariff impor
Kebijakan tariff impor adalah pemeberian bea masuk bagi produk-produk
impor kedalam negeri tujuan dari tariff ini agar produk impor tidak bebas masuk
kedalam negara lain dengan adanya tariff juga akan meningkatkan cost dari produk
tersebut sehingga dengan harga produk tersebut akan mejadi tinggi sehingga produk
dalam negeri mampu bersaing dengan produk impor tersebut.

2.3 Kebijakan Kredit


2.3.1 Sejarah kredit Pada Program Pertanian
Sejalan dengan dinamika lingkungan strategis baik local, nasional, dan
internasional.Maka dalam penyusunan program atau kebijakan kredit di masa yang
akan datang harus melihat pengalaman sebelumnya yang sudah
terlaksana.Permasalahan permodalan memang menjadi suatu fenomena klasik di
dalam proses pembangunan.Permodalan petani diupayakan pemerintah setelah
kemerdekaan, pemerintah memeberikan bantuan modal khusus kepada petani
dalam bentuk kredit program.Bantuan kredit tujuannya untuk mendukung para
petani untuk pelaksanaan dalam proyek tertentu.
Menurut Soentoro et al. (1992), perkembangan kredit program pemerintah
untuk sektor pertanian tidak dapat dipisahkan dengan program intensifikasi
pertanian dan program peningkatan ekonomi perdesaan. Agenda utama dari
program tersebut adalah untuk mencapai swasembada beras nasional. Dari upaya
tersebut lahirlah Program Bimas yang keberhasilannya sangat ditunjang oleh
keberadaan program kredit pertanian.
Kredit Bimas dilakukan pendamoingan pendanaan untuk mempercepat adopsi
teknologi budidaya padi, dengan memberi bantuan bibit unggul, pupuk, pestisida,
dan biaya hidup (cost living) tujuannya menuingkatkan produktivitas usaha tani.

Setelah mengalami penyempurnaan program Bimas menjadi Inmas,Inmum,


Insus, dan Supra Insus.Perubahan berdampak pada program kredit pendampingan
baik dari sistem penyalurab dan pengembalian.Bimas berubah Kembali menjadi
KUT (Kredit Usaha Tani).Seiring berjalannya waktu pemerintah juga meluncurkan
berbagai jenis kreedit/bantuan modal contoh : BLM, PMUK(Penguatan Modal

11
Usaha Kelompok), subsidi bunga (KKP) mendekati komersial (Skim Pelayanan
Pembiayaan Pertanian/SP3).

2.3.2 Pelaksanaan Kredit Program/Bantuan Modal Usaha Pertanian


Program Bimas
Program ini merupakan bimbingan yang berhubungan dengan aplikasi ilmu
dan teknologi dalam rangka mencapai hasil yang optimal. Kredit Bimas yang di
kelola oleh BRI mulai diimplementasikan tahun 1967/1970. Keadaan ini
memotivasi BRI untuk membangun BRI Unit Desa yang dimulai dengan empat unit
Pilot Proyek di Yogyakarta. Dana kredit disediakan dari subsidi pemerintah (BI)
pada tingkat bunga 3 persen per tahun sementara tingkat bunga BRI sebesar 12
persen. Total Kredit Bimas yang disalurkan sejak dari mulai program dilaksanakan
(1967/70) sampai musim tanam 1984/85 mencapai Rp 636,7 miliar dengan total
nasabah 28.847 petani. Selama periode 1970-75 jumlah pinjaman yang dilunasi
tepat waktu sebesar 80 persen, sementara sejak 1976 dan selanjutnya hanya 57
persen yang dibayar Kembali.Program Bimas skala nasional sukses swasembada
produksi padi di tahyn 1984 meskipun diakhiri tahun 1983 program ini.

1. Kredit Usaha Tani


Diakhirinya program Bimas, program KUT diintroduksikan pada tahun
1985 yang secara administrasi ditangani oleh Koperasi Unit Desa (KUD). Program
ini merupakan salah satu dari program lanjutan dengan dana Kredit Likuiditas Bank
Indonesia (KLBI) bagi petani yang telah mengembalikan 100 persen pinjaman
program Bimas, dengan tingkat bunga 3 persen. KUT disediakan untuk petani yang
belum memiliki kemampuan menyediakan kebutuhan yang diperlukan untuk
usahatani dari sumber pembiayaan sendiri.

2. Kredit Ketahanan Pangan (KKP)


Pemerintah mengganti KUT dengan kredit program yang diperbaharui,
yaitu KKP. Aturan pada KKP kembali pada keikutsertaan bank yang berhadapan
dengan peluang resiko (executing) menjadikan mereka sangat berhati-hati dan
menghindari individu-individu dan organisasi yang masih memiliki tunggakan

12
KUT dan mempunyai riwayat buruk di masa lalu. Tingkat bunga masih disubsidi,
dan dengan beberapa modifikasi kredit tersebut masih eksis. KKP ditujukan untuk:
(1) intensifikasi tanaman pangan (padi, jagung, kedelai, ubi kayu) dan (2)
pengadaan pangan. Target dari KKP adalah kelompok tani dan koperasi. Bank
pelaksana adalah BUMN seperti BRI, Bank Agro, Bukopin, Bank Mandiri, dan
Bank Pembangunan Daerah. Bank menggunakan dana mereka dalam penyaluran
KKP tetapi mereka menerima subsidi bunga dari kredit yang disalurkan.

3. BLM/BPLM/PMUK
Departemen Pertanian memperkenalkan program Peningkatan Ketahanan
Pangan (PKP) pada tahun 2001 dengan menggunakan dana BLM. Dana BLM ini
merupakan dana bergulir yang disalurkan langsung ke kelompok tani (klomtan).
yang diharapkan dapat diputar dalam kelompok. Klomtan membuat rencana
kegiatan kelompok dan anggota diharapkan dapat menggunakan untuk usaha dalam
rencana dan membayar ke kelompok dengan tingkat suku bunga yang disepakati
dalam kelompok. tahun 2002, Deptan juga meluncurkan program yang disebut
Proyek Pembangunan Agribisnis berbasis Komunitas (PPABK) melalui Bantuan
Pinjaman Langsung Masyarakat (BPLM). BPLM merupakan design ulang dari
BLM dalam konteks desentralisasi yaitu pengelolaan di tingkat kabupaten/kota
dengan melibatkan penyuluh pertanian dalam peningkatan kapasitas petani dalam
kredit, seleksi group dan monitoring.

4. Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA)


Konsep pengembangan LKMA diintroduksikan bersamaan dengan
pelaksanaan kegiatan Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK) pada saat terjadi
keterbatasan anggaran pemerintah pada tahun 2004/2005 (defisit). Di pihak lain,
Direktorat Pembiayaan, Deptan pada tahun 2001 memformulasikan kebijakan
untuk mengoptimalkan sumber dana yang berasal dari luar Deptan seperti lembaga
perbankan dan non perbankan, pendanaan dari donor, dan juga pembiayaan yang
dikelola oleh masyarakat. Pembentukan LKMA ini merupakan langkah berikutnya
dari program BLM/BPLM dimana setelah kelompok tani yang mendapat dana
BLM telah mampu memupuk modal diharapkan dapat membentuk LKM. Program

13
yang dilakukan pemerintah pada dasarnya adalah peningkatan kapasitas melalui
pelatihan dan penyuntikan modal kerja LKMA.
Departemen Pertanian telah memberikan pembinaan serta dukungan
terhadap 368 LKMA di 12 provinsi selama periode 2004-2006. Dengan
memanfaatkan bantuan dana Second Round Kennedy (SRK), pada tahun 2006
Deptan juga melaksanakan peningkatan kapasitas 30 LKMA yang merupakan
trasnformasi dari Baitul Mal wa Tamwil (BMT), Koperasi Simpan Pinjam (KSP),
Koperasi Pertanian (koptan) dan Koperasi Pondok Pesantren (kopontren) bersama
dengan 30 LKM embrio hasil trasnformasi dari kelompok tani di beberapa provinsi.

5. Proyek Peningkatan Pendapatan Petani/Nelayan Kecil (P4K)


P4K merupakan suatu proyek penyuluhan (pendidikan nonformal), yang
membimbing dan memotivasi petani-nelayan agar mau dan mampu menjangkau
sumber daya pembangunan yang tersedia untuk meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan keluarganya. Sasaran P4K adalah petani-nelayan dan keluarganya
serta rumah tangga perdesaan yang hidup di bawah kemiskinan. Sasaran P4K
adalah petani-nelayan dan keluarganya serta rumah tangga perdesaan yang hidup di
bawah kemiskinan.

6. Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan/DPM-


LUEP
DPM LUEP merupakan dana talangan tanpa bunga dari APBN yang harus
dikembalikan oleh penerima dana tersebut ke kas negara setiap akhir tahun. Tujuan
penyelenggaraan kegiatan DPM-LUEP adalah: (1) melakukan pembelian dalam
rangka menjaga stabilitas harga gabah/beras yang diterima petani minimal sesuai
HPP; (2) mendekatkan petani dan atau kelompok tani terhadap pasar melalui
kerjasama dengan LUEP; (3) menumbuhkembangkan dan menggerakkan
kelembagaan usaha ekonomi di perdesaan; dan (4) memperkuat posisi daerah dalam
ketahanan pangan wilayah.

7. Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian /SP3

14
SP3 merupakan skim program untuk meningkatkan akses petani pada
fasilitas kredit/pembiayaan dari bank pelaksana melalui mekanisme bagi risiko (risk
sharing) antara bank pelaksana dengan pemerintah. Diharapkan dengan SP3 ini
dapat membantu kemudahan akses petani pada layanan perbankan melalui jasa
penjaminan bagi petani/kelompok tani skala usaha mikro, kecil dan menengah yang
tidak mempunyai agunan yang cukup. Dengan adanya program penjaminan kredit
pemerintah dalam bentuk Kredit Usaha Rakyat (KUR), maka pada akhir tahun 2008,
SP3 diintegrasikan dan dileburkan ke dalam KUR tersebut.

8. Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan/PUAP


PUAP merupakan program terobosan Departemen Pertanian untuk
penanggulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja di perdesaan, sekaligus
mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah pusat dan daerah serta
antarsubsektor. PUAP merupakan bagian tak terpisahkan dari Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang dikoordinasikan oleh Kantor
Menko Kesejahteraan Rakyat. Lokasi PUAP awalnya difokuskan di 10.000 desa
miskin/tertinggal yang memiliki potensi pertanian.PUAP komposisinya terdiri dari
program lanjutan kementrian pertanian.

2.3.3 Keunggulan dan Kelemahan Sistem Pembiayaan Kredit Program


Pertama, bantuan langsung (grant) dan bersifat bergulir. Pada jenis ini tidak
ada kewajiban secara tegas untuk mengembalikan baik pokok maupun bunga.
Kedua, kredit komersial dengan bantuan subsidi bunga oleh pemerintah. bantuan
modal dengan grant ini juga sarat dengan kelemahan-kelemahan diantaranya: (1)
kurang mendidik petani untuk lebih bertanggung jawab dan berperilaku
professional dalam penggunaan dana masyarakat, (2) peluang terjadinya moral
hazard sangat besar, (3) kontinuitas pelaksanaan sangat tergantung dengan
keberadaan suatu proyek sehingga ketika proyek berakhir program pun juga
terhenti, (4) reward dan punishment sangat lemah, dan (5) sangat membebani
anggaran pemerintah dengan output yang tidak terukur secara jelas.

15
2.4 Kebijakan Input
Kebijakan merupakan salah satu bentuk perhatian pemerintah untuk
mencapai kemajuan di sektor pertanian. Salah satu kebijakan tersebut adalah
Kebijakan Input, yaitu subsidi harga input usaha tani berupa subsidi pupuk, benih,
alat mesin pertanian dan bunga kredit. Kebijakan subsidi input, dalam hal ini pupuk
dan benih, sudah ada sejak program Bimas dan Inmas tahun 1969. Meskipun
sempat dicabut pada tahun 1994, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
kembali memberikan subsidi input dengan nilai subsidi yang terus meningkat,
bahkan mencapai 18 triliun pada tahun 2014 (Hermawan, 2014).
Kebijakan input ini pula merupakan kewajiban pemerintah membantu
petani yang sebagian besar merupakan masyarakat miskin yang tidak mempunyai
kapasitas yang memadai untuk mengembangkan kapasitas produksi pertanian
sementara eksistensi produksi pertanian ke depan masih sangat diperlukan.
Kebijakan input memiliki tujuan untuk melindungi petani dari ancaman eksternal
akibat ketidakadilan perdagangan dalam rangka memberdayakan mereka menjadi
masyarakat yang mandiri mampu menghidupi dirinya dan menjaga eksistensi sektor
pertanian ke depan.
Kebijakan input dalam pelaksanaanya memiliki dampak positif antara lain
perlindungan terhadap keseimbangan input bagi petani yang menjamin
produktivitas dan efisiensi usaha yang diharapkan dapat meningkatakan produksi
hasil pertanian sehingga menaikkan pendapatan petani selaku pelaku usaha. Namun,
terdapat pula dampak negatif yaitu terjadinya sifat ketergantungan dari pelaku
usaha terhadap subsidi pemerintah yang secara tidak langsung ikut merubah pola
usaha dan produksi mereka, sehingga dapat menyebabkan over supply dan akhirnya
berpengaruh terhadap perubahan keseimbangan harga di pasar. Kebijakan ini perlu
dilakukan pengawasan dan regulasai terhadap pelaksanaanya sehingga tujuan awal
dapat tercapai.

2.5 Kebijakan Mekanisme


Mekanisasi pertanian merupakan penerapan teknologi serta manajemen dalam
penggunaan mesin pertanian untuk pengolahan tanah, tanaman, air, pemupukan,

16
perawatan, pemanenan sampai ke produk siap di pasarkan (Priyanto, 1997).
Mekanisasi pertanian diharapkan mampu meningkatkan efisiensi dan efektivitas
usaha tani serta meningkatkan kualitas hasil produksi pertanian meminimalisasi
gagal panen. Menurut menteri pertanian mekanisme pertanian merupakan
komponen penting untuk pertanian modern dalam mencapai target swasembada
pangan berkelanjutan (Sulaiman et al., 2018). Penggunaan mekanisasi tidak hanya
untuk meningkatkan produktivitas pertanian namun juga untuk menarik generasi
muda untuk berminat kerja dalam bidang pertanian. Dalam mekanisasi pertanian
dibutuhkan manajemen pertanian terintegritas hulu-hilir yang bisa dibagi menjadi
empat (Sulaiman et al., 2018), yaitu :
1. manajemen input untuk mencapai produksi tanaman yang optimal dan
berkelanjutan mengikuti konsep praktek budidaya sampai dengan panen
yang benar.
2. manajemen proses pascapanen primer dan sekunder, pengemasan serta
penyimpanan untuk menjamin sistem distribusi yang benar.
3. manajemen pemasaran hasil berkualitas sesuai keinginan konsumen.
4. manajemen sistem informasi pendukung produksi dan pemasaran hasil.
Kebijakan pengembangan mekanisasi pertanian merupakan sistem sosio-teknis
yang dipengaruh berbagai faktor internal maupun eksternal. Mekanisasi disebut
sistem sosio-teknis karena mekanisasi pertanian tidak dapat didekati hanya dari segi
teknis namun juga dari interkasi sosial.

17
Sistem mekanisasi pertanian sebagai sistem sosio-kultural masyarakat (Sulaiman et
al., 2018)
Kebijakan pemerintah yang berubah dapat mengubah pola pikir masyarakat
dalam menggunakan mekanisasi pertanian. kebijakan pengembangan mekanisme
di Indonesia hingga saat inin masih berasaskan konsep sentralisasi yang tidak untuh.
Namun, sekarang ini pengembangan mekanisasi pertanian sangat diperlukan
dilakukan secara desentralisasi sebagai potensi dan kebutuhan pengembangan
mekanisasi. Indonesia yang memiliki beragam kondisi lingkungan sehingga
dibutuhkan pendekatan sistem transformasi sosio-kultural masyarakat.
Untuk mewujudkan swasembada pangan Indonesia melakukan program
kebijakan kementrian pertanian dalam bentuk peraturan perundangan pada tahun
2015-2016. Peraturan kebijakan berisi tentang perilaku masyarakat serta norma dan
standar teknis perlatan, proses dan produk pelaku usaha. Dalam mekanisasi
pertanian kebijakan untuk mengatur mengenai penggunaan, pengadaan,
pengawasan, penindakan, standar mekanisasi dan norma. Adanya peraturan
bertujuan untuk melindungki konsumen dan memberikan kepastian berusaha bagi
pengusaha tani secara umum (Sulaiman et al., 2018). Indonesia menggunakan
kebijakan bantuan pemberian teknologi bagi para petani untuk membantu petani
beralih dari pertanian tradisional menjadi pertanian modern. Bentuk bantuan yang
diberikan adalah traktor roda dua untuk pengolahan lahan pertanian, pompa air
untuk irigasi, combine harvester untuk panen dan perontokan padi dan transplanter
untuk penanaman padi.
Perkembangan teknologi mekanisasi pertanian sudah dimulai sejak tahun
1950 dengan penggunaan alat pembajak dan traktor. Pada tahun 1966 alat mesin
pertanian dari luar negeri sudah masuk ke Indonesia.pada tahun 1975, Dr.
Soedjatmiko MA, menciptakan konsep sistem dan pola pengembangan mekanisasi
selektif dan spesifikasi dalam penggunaan alat mesin sesuai dengan kondisi wilayah
di Indonesia. Mekanisasi selektif dan spesifikasi dapat dibagi menjadi empat yaitu
wilayah maju, wilayah berkembang, wilayah semi-berkembang dan wilayah
terbatas. Pada tahun 1980 hingga 1982 dikembangkan mesin perontok pada yang
telah dimodifikasi. Pada tahun 1990 dibuat kebijakanan pemetaan untuk penerapan

18
teknologi sesuai dengan aspek agrofisik, infrastruktur wilayah dan sosial ekonomi.
Model yang digunakan menggunakan model matrik pemilihan tingkat teknologi
merupakan sistem pendukung dalam pengambil kebijakan. Pada tahun 2005
dihasilkan peta aahan seleksi tingkat teknologi mekanisasi pertanian sebgai
panduan untuk pelaku agribisnis sebagai pengembanan lahan sawah dan lahan
kering di Indonesia. Tahun 2006 prasarana dan sarana pertanian menyelengarakan
pengembangn sistem mekanisme pertanian melalui kebijakan pengembangan,
pengawasan, kelembagaan teknologi pertanian di indoensia. Indonesia sekarang
sudah mengalami peningkatan mekanisasi pertanian terbesar dalam sejarah
indonesia.
Kebijakan yang digunakan di Indonesia dari pemberian bantuan teknologi,
penelitian alat dan mesin pertanian yang sesuai dengan wilayah di Indonesia, dan
pembuatan peta untuk memudahkan penggunaan teknologi yang tepat sasaran
untuk meningkatkan mekanisasi pertanian di Indonesia. Tahun 2016 kementrian
pertanian melakukan kebijakan refocusing merupakan pengalihan alokasi anggaran
biaya oprasional yang kurang efisien bagi kehidupan ekonomi petani dialihkan pada
kegiatan yang produktif dan prioritas yang berdampak langsung kepada
perekonomian petani.
Mekanisasi di indoneisa sangat berperan dalam pembangunan Indonesia
yaitu meningkatkan efisiensi tenga kerja, meningkatkan taraf hidup petani,
meningkatkan kualitas dan kuanitas produksi serta mempercepat tarnsisi Indonesia
dari sifat agraris manual menjadi pertanian industrial. Namun, mekanisasi di
Indonesia masih mengalami kendala dalam permodalan, kondisi lahan, tenaga kerja
dan tenaga ahli. Untuk mengatasi permasalahan yang ada kementrian pertanian
menggunakan kebjikan Critical Mass Analisys setiap tahunnya dalam peningkatan
kualitas SDA dalam penelitian alat dan mesin pertanian (Pertanian, 2014).

2.6 Kebijakan Perbaikan Lahan


Meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia sementara luas lahan yang ada
relatif tetap, menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan terhadap sumber daya
lahan dan air terutama di Pulau Jawa. Selain makin sempitnya penguasaan lahan

19
oleh para petani, terjadi pula persaingan lahan antara sektor pertanian dan
nonpertanian. Menurut Isa (2006) faktor-faktor yang mendorong terjadinya
konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian, yaitu: 1) Pesatnya peningkatan
jumlah penduduk, 2) Pembangunan real estate, kawasan industri, kawasan
perdagangan, dan jasa-jasa lainnya, 3) Tingginya land rent, 4) Keberadaan hukum
waris yang menyebabkan terfragmetnasinya tanah pertanian, 5) Degradasi
lingkungan, 6) Otonomi daerah yang mengutamakan pembangunan pada sektor
yang menjanjikan keuntungan jangka pendek, 7) Lembahnya sistem perundang-
undangan dan penegakan hukum dari peraturan-peraturan yang ada.
Berbagai kebijakan berkaitan dengan masalah alih fungsi lahan pertanian
terutama sawah perlu ditegaskan kembali. Telah muncul banyak dampak negatif
dari konversi lahan sawah, namun masalah ini tidak dianggap sebagai persoalan
yang serius untuk segera ditangani dengan konsisten. Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Landasan konstitusional undang-undang tersebut bersumber pada Pasal 33 Ayat 3
UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat”. Lebih lanjut undang-undang ini juga merupakan sebuah
implementasi dari Pasal 48 ayat 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang. Dengan demikian, dalam membahas kebijakan perbaikan lahan
pertanian harus berangkat dari kerangka berpikir yang mana ditujukan bagi
kepentingan kemakmuran rakyat dan harus melihat juga penjabaran dalam dimensi
hukum penataan ruang (Pitaloka, 2020).

2.6.1 Kebijakan Revitalisasi Pertanian


Dalam penelitian oleh Fuad dan Mu (2005) Revitaslisasi Pertanian
dimaksudkan sebagai upaya untuk membangun pertanian dengan cara lebih
partisipatif, dan bukan berorientasi proyek untuk menggalang dana. Melalui
program ini, dalam pertanian diharapkan dapat tumbuh sebuah komitmen serta
kerjasama seluruh stakeholder serta adanya perubahan paradigma pola pikir
masyarakat dalam memandang pertanian yang multifungsi dan merupakan way of

20
life serta sumber kehidupan sebagian besar masyarakat. Langkah pengendalian alih
fungsi lahan pertanian yang bertumpu pada masyarakat dan juga mereka pihak-
pihak yang berkepentingan. Pertama, strategi pengendalian adalah melalui
partisipasi segenap pelaku kepentingan yang bersentuhan langsung dengan proses
alih fungsi lahan pertanian. Kemudian, fokus analisis strategi pengendalian adalah
sikap pandang pemangku kepentingan terhadap eksistensi peraturan kebijakan
seperti instrumen hukum, ekonomi, dan zonasi (batasan-batasan alih fungsi lahan
pertanian. Terakhir sasaran strategi pengendalian adalah terwujudnya pengendalian
alih fungsi lahan pertanian yang selaras dan berkelanjutan.

2.6.2 Kebijakan Perbaikan Lahan Suboptimal Berkelanjutan


Dalam penelitian oleh Lakitan & Gofar (2013) dijelaskan bahwa lahan
suboptimal merupakan lahan yang secara alami mempunyai satu atau lebih kendala
yang menyebabkan lahan tersebut membutuhkan upaya ekstra agar dapat dijadikan
lahan budidaya yang produktif bagi komoditi tanaman, ternak, maupun ikan.
Kendalah tersebut dapat berupa: [1] kesulitan dalam menyediakan air yang cukup
untuk mendukung usaha tani yang produktif dan menguntungkan; [2] sifat
kemasaman tanah yang tinggi (pH rendah) sehingga butuh upaya untuk menetralisir
kemasaman tanah tersebut; [3] dinamika pasang-surut genangan air yang sulit
diprediksi sehingga dapat menyebabkan gagal tanam maupun gagal panen; [4]
lahan terpengaruh oleh intrusi air laut; [5] terdapat lapisan pirit dangkal yang
menjadi ancaman karena dapat meracuni sistem perakaran tanaman; [6] sangat
miskin unsur hara sehingga membutuhkan dosis pemupukan yang lebih tinggi;
dan/atau [7] tanah berbatu sehingga sulit diolah secara mekanis.
Kondisi suboptimal ini dapat terjadi secara alami, akibat terkena dampak
dari kegiatan manusia di dan/atau sekitar lokasi yang bersangkutan, atau akibat
salah kelola pada periode sebelumnya. Ada dua alur pokok yang saling
komplementer dalam pengelolaan lahan suboptimal agar bisa dijadikan lahan
pertanian yang produktif, yakni: [1] perbaikan sifat fisika, kimia, dan biologi tanah
serta tata air agar lebih optimal; dan [2] peningkatan daya adaptasi tanaman, ternak,
atau ikan terhadap karakteristik lahan dan kondisi agroklimat yang tidak optimal.

21
Gambar 1. Alur ganda pengelolaan lahan suboptimal agar menjadi lahan
pertanian yang produktif

Untuk memenuhi kebutuhan lahan sektor pertanian ini dan


mempertimbangkan kondisi sumberdaya lahan Indonesia, maka ekstensifikasi
lahan pertanian akan merambah ke lahan-lahan suboptimal. Pembangunan
pertanian Indonesia harus dirancang agar dapat berkelanjutan. Oleh sebab itu, perlu
dijaga keseimbangan pengelolaan lahan antara untuk kepentingan pertanian
(ekonomi) dengan kepentingan konservasi (ekologi). Sebagai langkah antisipatif,
Indonesia perlu menyiapkan peta rencana pemanfaatan lahan (land use) untuk
semua bentang lahan suboptimal di seluruh wilayah.

2.7 Kebijakan Penelitian dan Irigasi


2.7.1 Kebijakan Penelitian
Kebijakan penelitian (Reserch Policy) adalah tentang peran negara dalam
pendekatan alternatif untuk generasi dan penyebaran teknologi pertanian baru untuk
rumah tangga pertanian. Beberapa deskripsi tercakup dalam kebijakan penelitian
ini, seperti pemilihan topik untuk penelitian, organisasi atau kelembagaan riset,
sumber alokasi untuk riset, manajemen riset, dan hasil riset.
Kebijakan penelitian adalah keunggulan kebijakan teknologi, dalam konteks
perbedaan antara kebijakan harga dan kebijakan teknologi. Bukti menunjukkan
pengembalian anggaran yang tinggi ke penelitian pertanian di sebagian besar dunia.

22
Dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagian besar pemerintah kekurangan sumber
daya penelitian pertanian dibandingkan dengan alokasi anggaran lainnya karena
menghasilkan pengembalian investasi yang jauh lebih rendah.
Tujuan umum kebijakan riset pada dasarnya sama dengan tujuan dari
kebijakan pertanian lainnya: pertumbuhan, kesetaraan, dan keamanan pangan.
Namun, sifat kontribusi penelitian terhadap tujuan-tujuan ini berbeda dengan
kebijakan lainnya.
Beberapa problem, keterbatasan dan keraguan terkait dampak
riset/penelitian pertanian:
a) Definisi dari investasi penelitian/riset (sisi biaya dari kalkulasi biaya)
adalah problematika.
b) Definisi tentang perolehan, atau sumber daya yang mencakup
ambiguitas yang sama.
c) Beberapa penulis akan mempertanyakan manfaatnya mengukur dampak
riset dengan menggunakan istilah-istilah ekonomis yang sempit seperti
itu.
d) Jenis dampak studi cenderung mengabaikan dampak lingkungan jangka
panjang dan dampak keberlanjutan dari inovasi penelitian.
e) Dampak studi cenderung ditempatkan secara kukuh dalam linear.

2.7.2 Kebijakan Irigasi


Irigasi adalah semua atau segala kegiatan yang mempunyai hubungan
dengan usaha untuk mendapatkan air guna keperluan pertanian. Usaha yang
dilakukan tersebut dapat meliputi: perencanaan, pembuatan, pengelolaan, serta
pemeliharaan sarana untuk mengambil air dari sumber air dan membagi air tersebut
secara teratur dan apabila terjadi kelebihan air dengan membuangnya melalui
saluran drainasi.
Secara garis besar, tujuan irigasi dapat digolongkan menjadi 2 (dua)
golongan, yaitu:
a) Tujuan Langsung, yaitu irigasi mempunyai tujuan untuk membasahi tanah
berkaitan dengan kapasitas kandungan air dan udara dalam tanah sehingga

23
dapat dicapai suatu kondisi yang sesuai dengan kebutuhan untuk
pertumbuhan tanaman yang ada di tanah tersebut.
b) Tujuan Tidak Langsung, yaitu irigasi mempunyai tujuan yang meliputi :
mengatur suhu dari tanah, mencuci tanah yang mengandung racun,
mengangkut bahan pupuk dengan melalui aliran air yang ada, menaikkan
muka air tanah, meningkatkan elevasi suatu daerah dengan cara
mengalirkan air dan mengendapkan lumpur yang terbawa air, dan lain
sebagainya (Rachman, 2009).
Dari sisi petani, pelaksanaan perkembangan pengelolaan irigasi memiliki
manfaat sebagi berikut.
a) Meningkatkan kemampuan P3A sebagai lembaga petani yang mandiri dan
mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi
b) Petani mempunyai kewenangan dalam mengambil keputusan dan
pengelolaan dana IPAIR.
Sedangkan dari sisi pemerintah adalah:
a) Beban pemerintah pusat atau daerah dalam biaya OP jaringan irigasi
berkurang
b) Pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator
c) Pemerintah bersifat koordinatif dan menjaga keberlanjutan sumber daya air.

2.7.3 Pendekatan pokok-pokok kebijakan irigasi tahun 2015-2025


1. Pendekatan Kebijakan Perkuatan Kelembagaan dan Pemberdayaan
masyarakat
a. Penyusunan konsep dan implementasi asas human capital.
b. Pembentukan lembaga koordinasi pengelolaan irigasi di area Pusat
dan Perkuatan Lembaga Koordinasi di Daerah.
c. Revitalisasi pelatihan dan sertifikasi irigasi.
d. Pemberdayaan petani dan kelembagaan petani.
e. Pengembangan konsep partisipasi.
f. Pengembangan sistem informasi irigasi terpadu dan sistem
monitoring dan evaluasi (ME).
g. Percepatan penerbitan aturan hukum irigasi.

24
h. Forum dialog irigasi.
i. Pengembangan konsep kerja sama antara Pemerintah Pusat, Provinsi
dan Kabupaten/Kota.
2. Pendekatan Kebijakan Operasi dan Pemeliharaan (OP) Irigasi
a. Melakukan perkuatan institusi operasi dan pemeliharaan (OP).
b. Penyediaan data OP yang sahih (valid) dan akurat.
c. Melakukan evaluasi pelaksanaan OP berdasarkan peraturan yang
berlaku.
d. Mengupayakan pembiayaan OP irigasi sesuai dengan AKNOP.
e. Perkuatan pelaksanaan program pengelolaan aset strategis secara
terpadu.
3. Pendekatan Kebijakan Pengembangan dan Rehabilitasi Irigasi
a. Pengembangan irigasi (pembangunan baru dan peningkatan).
b. Rehabilitasi jaringan irigasi.
c. Keterkaitan dengan pemberdayaan dan perkuatan institusi untuk
pengembangan dan peningkatan.
d. Persiapan operasi dan pemeliharaan (POP).
4. Pendekatan Kebijakan Pembiayaan Irigasi
a. Membangun konsep pembiayaan irigasi atas dasar aturan yang
berlaku.
b. Pembiayaan pembangunan jaringan irigasi baru.
c. Pembiayaan peningkatan (upgrading).
d. Pembiayaan rehabilitasi.
e. Pembiayaan operasi dan pemeliharaan.
f. Perencanaan pembiayaan irigasi.
g. Pembiayaan POP.
5. Pendekatan Kebijakan Riset Keirigasian − Riset Perubahan Iklim dan Cuaca
Serta Adaptasi Tanaman
a. Riset pengembangan teknologi infrastruktur dan hidrolika.
b. Riset operasi dan pemeliharaan irigasi.
c. Riset sistem informasi manajemen irigasi.

25
d. Riset pengembangan institusi pendukung teknologi.
e. Riset-riset berkaitan dengan keseimbangan lingkungan strategis.

2.7.4 Sasaran kebijakan pengelolaan irigasi


a. adanya kejelasan pembagian tugas dan tanggung jawab dari masing-
masing lembaga yang bergerak di dalam bidang keirigasian;
b. terwujudnya perkumpulan petani pemakai air sebagai organisasi
yang mandiri dan mempunyai otoritas di dalam pengelolaan sistem
irigasi yang menjadi tanggung jawabnya;
c. terciptanya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan irigasi;
d. merata dan meningkatnya sumberdaya manusia pemerintah
kabupaten/kota dan di perkumpulan petani pemakai air dengan
kualifikasi yang sesuai;
e. terciptanya suasana yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya
perkumpulan petani pemakai air; dan meningkatnya efektivitas dan
efisiensi pengelolaan irigasi.

2.8 Kelebihan dan Kelemahan Negara


2.8.1 Kelebihan Pertanian di Indonesia
1. Peran strategis pertanian dalam pengentasan kemiskinan sehingga melalui
pertumbuhannya lebih efektif dua kali lipat ketimbang sector non-pertanian.
2. Kian kompetitis di kancah internasional.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia terus bertumbuh setiap tahunnya ke arah
yang lebih baik khususnya dari sector pertanian. Hingga tahun 2018,
pertumbuhan pertanian di Indonesia mencapai angka di atas 9%. Pemerintah
mengklaim bahwa pertumbuhan sector pertanian Indonesia menjadi yang
tertinggi dalam 10 tahun terakhir. Hal tersebut membuat sector pertanian
Indonesia dilirik oleh dunia internasional.
3. Keunggulan pertanian terkait ekspor.
Nilai ekspor pertanian periode April 2021 mencapai nilai yang tinggi
sebesar 18,98% (YoY).

26
4. Menjadi sector pemegang peranan penting dalam membangun
perekonomian nasional maupun daerah.
Sector pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam
membangun perekonomian nasional termasuk perekonomian daerah,
karena sector pertanian berfungsi sebagai penyedia bahan pangan untuk
ketahanan pangan masyarakat, sebagai pengentas kemiskinan, penyedia
lapangan kerja, seerta sumber pendapatan masyarakat.
2.8.2 Kelemahan Pertanian di Indonesia
1. Penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya lahan pertanian
Dari segi kualitas, lahan dan pertanian Indonesia sudah mengalami
degradasi yang cukup parah, dari sisi kesuburan akibat pemakaian pupuk
anorganik. Dari sisi kuantitasnya, konfeksi lahan di daerah jawa memiliki
memiliki kultur dimana orang tua akan memberikan pembagian lahan
kepada anaknya turun temurun, sehingga terus terjadi penciutan luas lahan
pertanian yang beralih fungsi menjadi lahan bangunan dan industri.
2. Terbatasnya aspek ketersediaan infrastruktur penunjang
Dari total areal sawah di Indonesia sebesar 7.230.183 ha, sumber airnya 11%
(787.971 ha) berasal dari waduk, sementara 89% (6.432.212 ha) berasal dari
non-waduk. Dalam kenyataannya badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) menyatakan, 42 waduk saat ini dalam kondisi waspada akibat
berkurangnya pasokan air selama kemarau. Selain itu masih rendahnya
kesadaran dari para pemangku kepentingan di daerah untuk
mempertahankan lahan pertanian produksi menjadai salah satu penyebab
infrastruktur pertanian buruk.
3. Adanya kelemahan dalam system alih teknologi
Ciri utama pertanian modern adalah produktivitas, efisiensi, mutu, dan
kontinuitas pasokan yang terus menerus harus ditingkatkan dan dipelihara.
Produk-produk pertanian baik komoditi tanaman pangan, perikanan,
peternakan, dan perkebunan harus menghadapi pasar dunia yang dikemas
dengan kualitas tinggi dan memiliki standar tertentu. Produk berkualitas
tinggi tersebut dihasilkan melalui proses yang menggunakan muatan

27
teknologi standar. Namun tidak semua teknologi dapat diadopsi dan
diterapkan begitu saja karena pertanian di negara sumber teknologi
memiliki karakteristik yang berbeda dengan Indonesia.
4. Terbatasnya akses layanan usaha terutama mengenai permodalan
Kemampuan petani untuk membiayai usaha taninya sangat terbatas
sehingga produktivitas yang dicapai masih di bawah produktivitas potensial.
5. Masih panjangnya mata rantai tata niaga pertanian
Panjangnya mata rantai menyebabkan petani tidak dapat menikmati harga
yang lebih baik karena pedagang telah mengambil untung terlalu besar dari
hasil penjualan.
6. Kurangnya minat masyarakat untuk bertani karena tambang dan sawit
menjanjikan.

28
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sektor pertanian berperan penting dalam kehidupan, pembangunan, dan
perekonomian Indonesia. Indonesia sebagai negara agraris, sector pertanian mampu
melestarikan sumber daya alam, memberi hidup dan penghidupan, serta
menciptakan lapangan pekerjaan. Untuk itu Kementerian Pertanian yang bekerja
sama dengan pemerintah telah melakukan upaya untuk membina dan membantu
para pelaku pertanian di Indonesia agar menjadi pondasi kuat dalam mendukung
perekonomian Indonesia. Upaya-upaya yang dilakukan terssebut adalah dengan
dikeluarkannya kebijakan pada sector pertanian. Adapun kebijakan yang telah
dikeluarkan antara lain kebijakan harga, kebijakan pemasaran, kebijakan kredit,
kebijakan input, kebijakan mekanisme, kebijakan perbaikan lahan, kebijakan
penelitian, dan kebijakan irigasi. Kebijakan-kebijakan tersebut dilakukan dalam
rangka mendorong pertanian di Indonesia agar menjadi pertanian yang lebih unggul.
Tetapi dalam kehidupan nyata, pertanian Indonesia masih memiliki beberapa
kelemahan yang dialami walaupun ada juga kelebihan pada pertanian Indonesia.
3.2 Saran
Pelaksanaan kebijakan-kebijakan perertanian demi memajukan pertanian di
Indonesia tentunya mengalami berbagai rintangan dan hambatan. Untuk itu, perlu
adanya kerja sama dari berbagai pihak terutama pihak-pihak yang terjun langsung
dalam sector pertanian tersebut seperti petani dan lembaga terkait. Sebelum
pelaksanaan kebijakan dalam pertanian tersebut sebaiknya pemerintah dan lembaga
terkait lebih dahulu memberikan sosialisasi maupun pembekalan kepada para petani
agar pentani dapat memahami dan melaksanakan kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah dengan baik.

29
DAFTAR PUSTAKA
Hermawan, I. (2014). Analisis dampak kebijakan subsidi pupuk urea dan TSP
terhadap produksi padi dan capaian swasembada pangan di Indonesia.

Isa, I. (2006). Strategi Pengendalian Fungsi Lahan Pertanian. National Agrarian


Agency, 1–16.
https://www.google.co.id/books/edition/Strategi_Bertanam_CabaiPen/uPuD
AgAAQBAJ?hl=id&gbpv=1&dq=rostini+strategi+bertanam+cabai&printsec
=frontcover

Lakitan, B., & Gofar, N. (2013). Kebijakan Inovasi Teknologi untuk Pengelolaan
Laahan Suboptimal Berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional Lahan
Suboptimal “Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal Dalam Rangka
Mendukung Kemandirian Pangan Nasional,” 1, 1–11.

Pitaloka, E. D. A. (2020). Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan


Berkelanjutan Dalam Dimensi Politik Hukum Penataan Ruang. Jurnal IUS
Kajian Hukum Dan Keadilan, 8(1), 49.
https://doi.org/10.29303/ius.v8i1.718Arifin. B, 2007. Diagnosi

Pertanian, K. (2014). Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP)


2013 Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian.

Priyanto, A. (1997). Penerapan Mekanisasi Pertanian. Jurnal Keteknikan Pertanian,


11(1), 21889.

Sulaiman, A. A., Herodian, S., Hendriadi, A., Jamal, E., Prabowo, A., Prabowo, A.,
Mulyantara, L. T., Budiharti, U., Syahyuti, & Haerudin. (2018). Revolusi
Mekanisasi Pertanian (Agricultural Mechanization Revolution).
http://ppid.pertanian.go.id/doc/1/Buku Seri/Revolusi Mekanisasi
Pertanian.pdf

Ekonomi Politik Pangan dan Pertanian, Rajawali Press. Jakarta

Hakim,B.D, 2009. Bunga Rampai Agribisnis Seri Pemasaran, IPB Press, Bogor

30
Hanafie. R 2010. Pengantar Ekonomi Pertanian, Penerbit Andi, Yogyakarta

Mubyarto, 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian, LP3ES, Jakarta

31

Anda mungkin juga menyukai