Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

ASUHAN KEGAWATDARURATAN IBU NIFAS

DOSEN : Yesi Septina Wati, SST,M.Kes

DISUSUN OLEH KELOMPOK 3

 Asmia
 Silvi Ayu
 Herni Yanti
 Sariyanti
 Ramona Lisa

PROGRAM STUDI S1 KEBIDANAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes)

AL INSYIRAH PEKANBARU

TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan hidayah, rahmat, serta lindungannya
akhirnya makalah bisa kami selesaikan dengan lancar tanpa hambatn apapun. Makalah ini kami susun
untuk memenuhi tugas dan untuk menambah wawasan Kegawatdaruratan Maternal dalam Masa Nifas.
Mungkin makalah yang kami buat ini belum sempurna karena kami juga dalam tahap belajar, oleh
karena itu kami sangat bersedia menerima kritik dan saran pembaca supaya makalah kami selanjutnya
bisa lebih baik lagi dari sebelumnya. Dalam makalah ini kami membahas materi tentang proses critical
thingking. Semoga makalah yang kami buat bisa bermanfaat bagi para pembaca. Demikianlah makalah
yang kami susun dan jika ada tulisan atau perkataan yang kurang berkenan kami mohon maaf sebesar –
besarnya.

Pekanbaru, 26 oktober 2022


BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Masa nifas (puerperium) merupakan masa yang dimulai setelah plasenta keluar dan
berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan semula (sebelum hamil), dan
berlangsung selama kira-kira 6 minggu (Ari Sulistyawati, 2009;1).
Masa ini merupakan masa yang cukup penting bagi tenaga kesehatan untuk selalu
melakukan pemantauan karena pelaksanaan yang kurang maksimal dapat menyebabkan ibu
mengalami berbagai masalah, bahkan dapat berlanjut pada komplikasi masa nifas, seperti sepsis
puerperalis. Perawatan payudara yang kurang atau sama sekali tidak dilakukan maka akan
mengakibatkan terjadi sumbatan sehingga terjadi bendungan ASI. Selain itu, penggunaan bra
yang ketat serta keadaan putting susu yang tidak bersih dapat menyebabkan sumbatan pada
duktus (Vivian dan Tri, 2011;40).
Jika ditinjau dari penyebab kematian para ibu, infeksi merupakan penyebab kematian
terbanyak nomor dua setelah perdarahan sehingga sangat tepat jika para tenaga kesehatan
memberikan perhatian yang tinggi pada masa ini. Adanya permasalahan ibu akan berimbas juga
pada kesejahteraan bayi yang dilahirkannya, karena bayi tersebut tidak akan mendapatkan
perawatan maksimal dari ibunya. Dengan demikian, angka morbiditas dan mortalitas bayi pun
akan meningkat ( Ari Sulistyawati, 2009;2).
Masa nifas merupakan masa yang rawan bagi ibu, sekitr 60% kematian ibu terjadi
setelah melahirkan dan hampir 50% dari kematian pada masa nifas terjadi pada 24 jam pertama
setelah persalinan, diantaranya disebabkan oleh adanya komplikasi masa nifas. Oleh karena itu,
peran dan tanggung jawab bidan untuk memberikan asuhan kebidanan ibu nifas dengan
pemantauan mencegah beberapa kematian ini (Vivian dan Tri, 2011;3).
Di desa Sendang, kec. Jambon, kab. Ponorogo banyak di temui ibu-ibu nifas yang
memberikan bayinya susu formula sebagai pendukung ASI, hal tersebut terjadi karena ASI
belum bisa keluar setelah melahirkan, salah satu faktor penyebabnya adalah kurangnya
perawatan payudara. Untuk mengurangi masalah tersebut diperlukan penyampaian informasi
tentang cara melakukan perawatan payudara pada ibu nifas. Namun sampai saat ini bagaimana
sikap ibu nifas dalam melakukan perawatan payudara pada masa nifas di desa Sendang,
Jambon, Ponorogo masih belum jelas. Dalam penelitian, bendungan ASI di Indonesia banyak
terjadi pada ibu-ibu pekerja, sekitar 16% adalah para ibu yang menyusui (Depkes RI, 2006).
Kesibukan dalam keluarga menurunkan tingkat perawatan dan perhatian ibu dalam
melakukan perawatan payudara setelah melahirkan sehingga cenderung mengakibatkan
terjadinya peningkatan angka kejadian bendungan ASI (Ratna, 2012). Berdasarkan laporan dari
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI, 2007) diusia lebih dari 25 tahun sepertiga
wanita di Dunia (38%) didapati tidak menyusui bayinya karena terjadi pembengkakan
payudara, dan di Indonesia angka cakupan ASI eksklusif 3 mencapai 32,3% ibu yang
memberikan ASI eksklusif pada anak
mencapai 32,3% ibu yang memberikan ASI eksklusif pada anak mereka. SDKI tahun
2008-2009 menunjukkan bahwa 55% ibu menyusui mengalami payudara bengkak dan mastitis.
Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan di Ds. Sendang, Kec. Jambon, Kab.
Ponorogo pada bulan Desember 2013, terhadap 5 ibu nifas dengan wawancara diketahui 40%
(2) ibu yang sudah pernah melakukan perawatan payudara, sedangkan 60% (3) ibu belum
pernah melakukan perawatan payudara. Pada umumnya masalah menyusui terjadi dalam dua
minggu pertama masa nifas. Pada masa ini, pengawasan dan perhatian petugas kesehatan sangat
diperlukan agar masalah menyusui dapat segera ditanggulangi, sehingga tidak menjadi penyulit
atau menyebabkan kegagalan menyusui. (Sitti Saleha, 2009;102).
Namun biasanya pada ibu nifas belum mau meluangkan waktu untuk melakukan
perawatan payudara, karena pada perawatan payudara membutuhkan waktu yang lama,
pengetahuan dan ketrampilan yang cukup. Apabila perawatan payudara kurang atau sama sekali
tidak dilakukan maka akan terjadi sumbatan sehingga terjadi bendungan ASI. Terkumpulnya
ASI didalam saluran ASI disebabkan karena kurangnya ASI yang dikeluarkan atau penghisapan
yang tidak efektif, dapat juga disebabkan karena pengetahuan ibu yang kurang tentang
perawatan payudara. Penyebab lain yaitu: hisapan yang buruk pada payudara, pembatasan
frekuensi atau durasi menyusui. Selain hal tersebut bendungan ASI dapat disebabkan karena
kurangnya perawatan payudara selama kehamilan. Karena adanya penyempitan duktus
Laktiferus pada payudara ibu dan dapat terjadi pula bila ibu memiliki kelainan putting susu
(misalnya putting susu datar, terbenam dan panjang). Bila bendungan ASI dibiarkan terus
menerus tanpa penatalaksanaan yang benar, lama-lama payudara akan bengkak, merah
terkadang diikuti dengan rasa nyeri dan pada bagian dalam terasa ada masa padat (lump).
Kejadian ini terjadi pada masa nifas 1-3 minggu setelah persalinan yang diakibatkan oleh
sumbatan saluran susu yang berlanjut (Vivian dan Tri, 2011;41).
Perawatan payudara sangat penting dilakukan tidak hanya saat hamil tetapi yang paling
penting setelah melahirkan, dalam upaya meningkatkan produksi ASI, dan mencegah terjadinya
bendungan ASI pada payudara apabila tidak diatasi akan terjadi mastitis pada payudara.
Perawatan yang dilakukan terhadap payudara bertujuan untuk melancarkan sirkulasi darah dan
mencegah tersumbatnya saluran susu, sehingga memperlancar pengeluaran ASI. (Sitti Saleha,
2009;112). Perlu adanya informasi tentang perawatan payudara, bendungan ASI pada ibu nifas
baik dari petugas kesehatan, kader terlatih yang ada di masyarakat dalam upaya meningkatkan
kesehatan ibu dan bayi.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah ditemukan di atas penulis merumuskan maslaah yang
akan di bahas yaitu bagaimana menangani jika masalah diatas terjadi.
C. TUJUAN PENELITIAN
Makalah ini dibuat bertujuan untuk mengetahui bagaimana menangani masalah pada makalah
ini
 Melakukan deteksi Preeklamsia/eklamsia Post partum
 Menentukan tanda gejala adanya preeklamsia/eklamsia
 Menentukan daya subyek dan obyektif
 Melakukan penatalaksanaan preeklamsia/eklamsia
 Melakukan kegawatan darururatan ibu nifas dengan puerperium dan mastitis
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1Konsep Dasar Ibu Nifas Dengan Preeklampsia


2.1.1. Pengertian
Preeklampsi adalah sekumpulan gejala yang timbul pada wanita hamil, bersalin, dan
nifas yang terdiri dari hipertensi, oedema, dan proteinuria tetapi tidak menunjukan tanda-tanda
kelainan vaskuler atau hipertensi sebelumnya, sedangkan gejalanya biasa muncul setelah
kehamilan berumur 28 minggu atau lebih( Mochtar, 1998).
Preeklampsi adalah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, oedema, dan proteinuria
yang timbul karena kehamilan (Hanifa wiknjosastro, 2007). Preeklampsia berat adalah suatu
komplikasi kehamilan yang ditandai dengan timbulnya hipertensi 160/110 mmhg atau lebih
disertai proteinuria ndan atau disertai oedema, pada kehamilan 20 minggu atau lebih Asuhan
patologi Kebidanan, (Hidayat, 2009).
Menurut (Prawirohardjo, 2010) Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai
proteinuria dan oedema akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 mgg atau segera setelah
persalinan.
Preeklampsia adalah toksemia pada kehamilan lanjut yang ditandai oleh hipertensi ,
oedema, proteinuria (Bobak, 2004).

2.1.2. Etiologi
Menurut Bobak (2005) penyebab preeklampsia sampai sekarang belum diketahui.
Tetapi ada teori yang dapat menjelaskan tentang penyebabnya preeklampsia, yaitu
bertambahnya frekuensi pada primigraviditas, kehamilan ganda, hidramion, dan
molahidatidosa. Bertambahnya frekuensi yang makin tuanya kehamilan. dapat terjadi perbaikan
keadaan penderita dengan kematian janin dalam uterus. Timbulnya hipertensi, edema,
proteinuria, kejang dan koma.
Preeklampsia ialah suatu kondisi yang hanya terjadi pada kehamilan manusia.tanda dan
gejala timbul hanya selama masa hamil dan menghilang dengan cepat setelah janin lahir dan
plasenta lahir. Tidak ada profil tertentu yang mengidentifikasi wanita yang akan menderita
preeklampsia. Akan tetapi,ada beberapa faktor resiko tertentu yang berkaitan dengan
perkembangan penyakit: Primigravida, grand multigravida, janain besar, kehamilan dengan
janin lebih dari satu, morbid obesitas.kira-kira 85% preeklampsia terjadi pada kehamilan
pertama. Preeklampsia terjadi pada 14%-20% kehamilan dengan janin lebih dari satu dan 30%
pasien mengalami anomali rahim yang berat. pada ibu yang mengalami hipertensi kronis atau
penyakit ginjal, insiden dapat 11 mencapai 25% (Zuspan, 1991), preeklampsia ialah suatu
penyakit yang tidak terpisahkan dari preeklampsia ringan sampai berat, sindrom HELLP atau
eklampsia (Bobak dkk, 2005)
Beberapa teori yang mengatakan bahwa perkiraan etiologi dari kelainan tersebut
sehingga kelainan ini sering di kenal sebagai the diseases of theory.
Adapun teori-teori tersebut di antara lain :
a. Peran faktor imunologis. Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi system
komplemen pada preeklampsia atau eklampsia.
b. Peran faktor genetik atau familial.
Terdapat kecenderungan meningkatnya frekuensi preeklamsia atau eklamsi pada
anakanak dari ibu yang menderita preeklamsi atau eklampsia. Kecenderungan meningkatnya
frekuensi preeklampsia dan anak dan cucu ibu hamil dengan riwayat preeklampsia dan bukan
pada ipar mereka. Peran rennin angiotensin-aldosteron system (RAAS) (Bobak dkk, 2005)
Adapun faktor maternal yang menjadi predisposisi terjadinya Banyak pendapat para
Sarjana tentang etiologi terjadinya preeklampsia. Salah satunya adalah hepotisa bahwa
terjadinya preeklampsia adalah diawali oleh faktor plasenta, oleh karena perfusi yang tidak
sempurna, atau diawali oleh faktor maternal, karena adanya predisposisi ibu terhadap adanya
penyakit arteri.
yang kemudian diwujudkan dalam bentuk problem jangka panjang seperti
atherosklerosis atau hipertensi kronis. Dari kedua faktor tersebut mengalami konfergensi pada
proses aktivasi endothel dan sel granulosit/monosit dengan hasil akhir berupa peningkatan
respon inflamasi sistemik dalam wujud Preeklampsia (Bobak dkk, 2005).
Menurut Winkjosastro, (2007) faktor yang menjadi predisposisi terjadinya
preeklampsia:
1. Usia (kurang dari 16 tahun dan lebih dari 35 tahun) Resiko terjadinya preeklampsia
meningkat seiring dengan peningkatan usia (peningkatan resiko 1,3 per 5 tahun
peningkatan usia) dan dengan interval antar kehamilan (1,5 per 5 tahun interval
antara kehamilan pertama dan kedua).
2. Riwayat Preeklampsia pada kehamilan sebelumnya Riwayat preeklampsia pada
kehamilan sebelumnya memberikan resiko sebesar 13,1% untuk terjadinya
preeklampsia pada kehamilan kedua dengan partner yang sama.
3. Riwayat keluarga yang mengalami preeklampsia Eklampsia dan Preeklampsia
memiliki kecenderungan untuk diturunkan secara familial (keturunan).
4. Paparan sperma, primipaternitas Paparan semen sperma merangsang timbulnya
suatu kaskade kejadian seluler dan molekuler yang menyerupai respon inflamasi
klasik. Ini yang kemudian merangsang produksi GMCSF sebesar 20 kali lipat.
5. Penyakit yang mendasari
a. Hipertensi kronis dan penyakit ginjal
b. Obesitas, resistensi insulin dan diabetes
c. Gangguan thrombofilik
d. Faktor eksogen
e. Merokok, mnurunkan resiko preeklamsi
f. Stress, tekanan psikososial yang berhubungan dengan pekerjaan, latihan
fisik
g. Infeksi saluran kemih
2.1.3. Patofisiologi Preeklampsia
Preeklampsia terdapat penurunan aliran darah. Perubahan ini menyebabkan prostaglandin
plasenta menurun dan mengakibatkan iskemia uterus. Keadaan iskemia pada uterus, merangsang
pelepasan tropoblastik yaitu akibat hiperoksidase lemak dan pelepasan rennin uterus. Bahan
troboblastik menyebabkan terjadinya endotheliosis menyebabkan pelepasan tromboplastin.
Tromboplastin yang di lepaskan mengakibatkan pelepasan tomboksan dan aktifitas aktivasi trombosit
deposisi fibrin.
Pelepasan tromboksan akan menyebabkan terjadinya vasopasme sedangkan aktivasi atau
agregrasi trombosit deposisi fibrin akan menyebabkan koagulasi intravaskuler yang mengakibatkan
perfusi darah menurun dan konsumsiftif koagulapati. Konsumtif koagulapati mengakibatkan trombosit
dan faktor pembekuan darah menurun dan menyebabkan gangguan faal hemostasis. Renin uterus yang
yang di keluarkan akan mengalir bersama darah sampai organ hati dan bersama-sama angiotensin 2.
Angiotensin 2 bersama tromboksan akan menyebabkan terjadinya vasospasme. Vasospasme
menyebabkan lumen arteriol menyempit menyebabkan lumen hanya dapat di lewati oleh satu sel darah
merah. Tekanan perifer akan meningkat agar oksigen mencukupi kebutuhan sehingga menyebabkan
terjadinya hipertensi. Selain menyebabkan terjadinya vasospasme, angiontensin 2 akan merangsang
glandula suprarenal untuk mengeluarkan aldoteron. Vasospasme bersama dengan koagulsi
intravaskuler akan menyebabkan gangguan perfusi darah dan gangguan multi organ (Wiknjosastro,
2007).
Gangguan multi organ akan terjadi pada organ –organ tubuh diantaranya otak, ginjal, darah,
paru-paru, hati, jantung, kelenjar adrenal, retina dan plasenta. Di otak akan dapat menyebabkan
terjadinya edema serebri dan selanjutnya terjadi peningkatan tekanan intracranial. Tekanan intrakranial
yang menyebabkan terjadinya gangguan perfusi serebral, nyeri dan terjadinya kejang sehingga
menimbulkan diagnosa keperawatan resiko cidera. Di darah akan terjadi enditheliosis menyebabkan sel
darah merah dan pembuluh darah pecah. Pecahnya pembuluh darah akan menyebabkan sel darah akan
menyebabkan terjadinya perdarahan, sedangkan sel darah merah yang pecah akan menyebabkan
anemia hemolitik (Wiknjosastro, 2007).
Di Paru-paru menunjukaan berbagai tingkat edema dan perubahan karena bronkopneomonia
sebagai akibat aspirasi. kadang-kadang ditemukan abses paru-paru. Jantung sebagian besar penderita
yang mati karena eklampsia jantung biasanya mengalami perubahan degeneratif pada miokardium.
Sering ditemukan degenerasi lemak dan claudy swelling serta nekrosis dan perdarahan.Sheehan(1980)
menggambarkan perdarahan subendokardial disebelah kiri septum interventrikulare pada kirakira dua
pertiga penderita eklampsia yanh meninggal dalam 2 hari pertama setelah timbulnya penyakit. Pada
kelenjar adrenal dapat menunjukan kelainan berupa perdarahan dan nekrosis dalam berbagai tingkat
(Wiknjosatro, 2007).
Plasenta pada pre-eklampsia terdapat spasmus arteriola spinalis desidua dengan akibat
menurunnya aliran darah ke plasenta. perubahan plasenta normal sebagai akibat tuanya kehamilan,
seperti menipisnya sinsitium, menebalkan dinding pembuluh darah dalam villi karena fibrosis, dan
konversi mesoderm menjadi jaringan fibrotik, dipercepat prosesnya pada preeklampsia dan hipertensi.
Pada pre-eklampsia yang jelas ialah atrifi sinsitium, sedangkan pada hipertensi menahun terdapat
terutama perubahan pada pembuluh darah dan stroma. Arteria spiralis mengalami 18 kontraksi dan
penyempitan, akibat aterosis akut disertai necrotizing arteriopathy (Wiknjosatro, 2007).
2.1.4. Preeklamsia Berat
Preeklamsia berat adalah tekanan darah 160 /100 mmHg atau lebih. Proteinuria 5 gram
atau lebih per liter. Oliguria, yaitu jumlah urin kurang dari 500 cc per 24 jam. Adanya
gangguan serebral, gangguan visus. Dan rasa nyeri pada epigastrium. Terdapat edema paru dan
sianosis (Bobak, 2005).
Preeklampsia berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai dengan timbulnya
hipertensi 150/110 mmHg atau lebih disertai proteinuria dan atau oedema pada kehamilan 20
minggu atau lebih (Pudiastuti, 2012).
Preeklampsia berat adalah preeklampsia dengan tekanan darah ≥ 160 mmHg dan
tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg disertai proteiuria lebih 5 gram/ 24 jam (Prawirohardjo,
2008).
Menurut Prawirohardjo, (2008)Terdapat edema paru dan sianosis :
1. Tanda dan gejala
a. Tekanan darah > 160/110 mmHg pada usia kehamilan > 20 minggu
b. Tes celup urin menunjukan proteinuria ≥ 2 + atau pemeriksaan protein kuantitatif
menunjukan hasil > 5 g /24 jam
c. Atau di sertai keterlibatan organ lain :
1) Trombositopenia (< 100.000 sel / uL), atau penurunan trombosit dengan
cepat.hemolisis mikroangiopati
2) Peningkatan SGOT /SGPT, nyeri abdomen kuadran kanan atas
3) Pertumbuhan janin terhambat,oligohidramion.
d. Oliguria (< 500 mL/24 jam), kenaikan kadar kreatinin plasma> 1,2 mg/dl.
e. Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma dan
pandangan kabur.
f. Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat teregangnya
kapsula aglisson).
g. Oedema paru dan sianosis
h. Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatosuler): peningkatan kadar alanin dan
aspartate aminotransferase.
i. Sindrom HELLP
2. Komplikasi,menurut Hanifa Wiknjosastro, (2007):
a. Solusio Plasenta Biasanya terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut
b. Hipofibinogenemia sehingga di anjurkan pemeriksaan fibrinogen secara berkala.

c. Hemolisis Ibu dengan preeklamsia berat biasanya menunjukan gejala klinik hemolisis
yang di kenal dengan ikterus. Belum di ketahui dengan pasti atau destruksi sel darah
merah. Nekrosis periportal hati yang sering ditemukan pada autopsy penderita eklamsi
yang dapat menerangkan ikterus tersebut.
d. Perdarahan otak. Yang menjadi penyebab utama kematian maternal penderita eklampsia
e. Kelainan mata Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung sampai
seminggu dapat terjadi. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina, hal ini merupakan
tanda gawat akan terjadinya apopleksia serebri.
f. Edema paru Disebabkan karena payah jantung.
g. Nekrosis hati Nekrosis periportal hati merupakan akibat vasospasmus arteriol
umum.Kerusakan sel-sel hati dapat di ketahui dengan pemeriksaan faal hati, terutama
penentuan ensim-ensimnya.
h. Sindroma HELLP yaitu hemolisis, elevated Liver enzymes dan low plateled.
(Preeklampsia-eklampsia disertai timbulnya 24 hemolisis, peningkatan enzim hepar,
disfungsi hepar, dan trombositopenia.
i. Kelainan ginjal Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan
sitoplasma sel endothelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Kelainan lain yang
dapat timbul ialah anuria sampai gagal ginjal.
j. Komplikasi lain Yaitu lidah tergigit, trauma dan fraktura karena jatuh akibat kejang-
kejang, pneomonia, aspirasi, dan DIC (Disseminated intravascular coagulation)
k. Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intra-uterin.
2.1.5. Faktor Predisposisi
Menurut (Prawirohardjo, 2010) Faktor predisposisi terjadinya preeklampsi adalah:
1. Nuliparitas
2. Kehamilan ganda
3. Diabetes
4. Riwayat keluarga dengan eklampsia dan preeklampsia
5. Hipertensi Kronik
6. Molahidatidosa

2.2 KONSEP MANAJEMEN ASUHAN KEBIDANAN PADA IBU NIFAS DENGAN PRE
EKLAMPSIA BERAT
2.2.1. Pengkajian Data
1. Data Subyektif
a. Usia merupakan Resiko terjadinya preeklampsia meningkat seiring dengan peningkatan usia
(peningkatan resiko 1,3 per 5 tahun peningkatan usia). Resiko terjadinya Preeklampsia pada wanita
usia belasan terutama adalah karena lebih singkatnya lama paparan sperma. Sedang pada wanita usia
lanjut terutama karena makin tua usia endothel makin berkurang kemampuannya dalam mengatasi
terjadinya respon inflamasi sistemik dan stress regangan hemodinamik (Manuaba, ,2013).
b. Pekerjaan Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh kesehatan pasien dalam aktifitasnya dan pada
pasien post operasi dapat mulai beraktivitas normal kembali didalam waktu 7 hari (Ambarwati, 2010).
c. Suku bangsa untuk mengetahui asal daerah dan juga adat kebiasaan yang dilakukan (Ambarwati,
2010).
d. Keluhan utama: Melahirkan dengan cara SC, pada ibu post operasi keluhan yang biasa timbul yaitu
rasa nyeri pada perut, badan terasa lemah, demam, sulit mobilisasi,mual muntah. Pada Preeklampsia
didapatkan sakit kepala didaerah frontal, 55 skotoma, diplopia, penglihatan kabur, nyeri didaerah
epigastrium, mual atau muntah-muntah karena perdarahan subkapsuer spasme areriol. Gejala-gejala ini
sering ditemukan pada preeklampsia yang meningkat dan merupakan petunjuk bahwa eklampsia akan
timbul. Tekanan darah pun akan meningkat lebih tinggi, edema dan proteinuria bertambah meningkat.
(Ambarwati, 2010)
e. Status Perkawinan : Kemungkinan psikologi pasien sebagai penyebab terjadinya preeklampsia berat,
meskipun merupakan penyebab yang belum jelas, gangguan psikologi pada ibu dapat memicu
timbulnya preeklampsia berat pada kehamilan (Ambarwati, 2010).
f. Riwayat kehamilan dan persalinan lalu: Riwayat preeklampsia pada kehamilan dan persalinan
sebelumnya memberikan resiko sebesar 13.1% untuk terjadinya preeklampsia pada kehamilan dan
persalinan berikutnya (Ambarwati, 2010).
g. Riwayat keluarga preeklampsia dan eklampsia memiliki kecenderungan untuk diturunkan secara
familiar (keturunan). hasil studi Norwegia menunjukan bahwa mereka yang saudara kandungnya
pernah alami preeklampsia, estimasi OR (Odds Ratio) adalah sebesar 2,2. Sedangkan bagi mereka yang
satu ibu lain ayah Odds Ratio sebesar 1,6. Bagi mereka yang satu ayah lain ibu Odds Ratio adalah 1,8.
Sementara itu hasil studi lain menunjukan bahwa riwayat keluarga dengan preeklampsia menunjukan
resiko 3 kali lipat untuk mengalami preeklampsia (Rukiah, 2004).
h. Latar belakang sosial budaya Mempengaruhi ibu nifas dalam aktifitas sehari-hari. Pasien dengan
preeklampsia berat harus memeriksakan diri secara teratur dan rutin, dan sebagian besar klien belum
mengerti penyakitnya oleh karena iu perlu penjelasan dan nasehat dari petugas kesehatan (Saifudin,
2002).
i. Status Gizi Tidak ada hubungan bermakna antara menu/pola diet tertentu (WHO). Penelitian lain
yaitu kekurangan kalsium berhubungan dengan angka kejadian yang tinggi. Angka kejadian juga lebih
tinggi pada ibu hamil yang obesitas/overwight. Pasien dengan preeklampsia berat yang habis
mengalami post SC puasa 1x24 jam. Nutrisi untuk mengetahui pola makan dan minum, frekwensi/
banyaknya, dan jenis makanan dan pantangan. Selama ibu dapat mengonsumsi sesuai dengan tahap-
tahap yang berlaku bagi pasien post operasi.
j. Pola eliminasi Pada ibu post SC dengan PEB mengalami oliguria yaitu produksi urin kurang dari
500cc/24 jam. Pasien dengan post SC tidak mengalami perubahan pada eliminasi, sebaliknya 57
eliminasi urin kadang-kadang produksi urin berkurang. Produksi urin diukur tiap 3 jam BAK melalui
kateterisasi, karena ibu masih berbaring di tempat tidur beberapa hari sedangkaan BAB menggunakan
pispot
k. Pola istirahat Untuk mengetahui pola istirahat dan tidur pasien. pada istirahat sangat penting bagi ibu
masa post operasi karena dengan istirahat cukup dapat mempercepat proses pemulihan. ibu beristirahat
dengan cukup.
l. Aktivitas Pasien dengan perawatan post SC mengalami bedrest dan aktivitasnya tergantung karena
adanya oedema pada anggota geraknya (kaki) selain itu juga karena pemberian cairan parenteral
(infus).
2. Data Obyektif
a. Pemeriksaan Umum
1) Keadaan Umum : Lemah
2) Kesadaran Samnolen : ibu dalam keadaan setengah sadar
3) Tanda-tanda vital PEB => TD : 160/110 mmHg, S : 36,5-37,5◦c, RR : 12-24 x / menit
b. Pemeriksaan fisik
1) Fokus pemeriksaan fisik diantaranya :
Observasi Oedema, oedema dinilai dari distribusi, derajat, dan pitting. jika periobital atau wajah
tidak jelas, tanyakan ibu apakah edemanya lebih jelas saat ia bangun tidur. edema digambarkan sebagai
dependen pitting.
a) Edema dependen: adalah edema pada bagian bawah tubuh yang dependen,dimana tekanan
hidrostatiknya paling besar. Apabila sedang berjalan, edema ini paling jelas terlihat dikaki dan
pergelangan kaki. Apabila berbaring, edema lebih sering timbul dibagian sakrum
b) Edema pitting, meninggalkan lekukan kecil setelah bagian yang bengkak ditekan dengan
jari. lekukan ini disebabkan pergeseran cairan ke jaringan sekitar, menjauh dari tempat yang mendapat
tekanan. Pertahatikan derajat relative edema.
2) Abdomen
Apakah ada bekas SC atau tidak, linea ada atau tidak, strie ada atau tidak, bagaiamana involusio
uteri dan kontraksi uterus.
3) Ekstremitas
Ada oedema atau tidak, oedema pada tungkai adalah patologis pada usia kehamilan di atas 20
minggu karena berhubungan dengan preeclampsia. Melakukan pengukuran refleks patella, apakah
reflek positif atau negatif.
4) Genitalia
Vulva/vagina ada pengeluaran lendir darah atau tidak, ada oedema atau tidak, ada varises atau
tidak, anus ada haemoroid atau tidak. Pemeriksaan penunjang Laboratorium : Urin lengkap
(pemeriksaan glukosa urin, protein urin, albumin) Darah lengkap (haemoglobulin, trombosit, leokosit).
2.2.2. Analisa Masalah dan Diagnosa
Diagnosa preeklampsia ditegakkan berdasarkan adanya dua dari tiga gejala yaitu hipertensi
160/110 mmHg atau lebih disertai proteinuria dan atau disertai oedema pada kehamilan 20 minggu
atau lebih (Arif Mansjoer, 1999).
2.2.3. Mengantisipasi Masalah Potensial.
Komplikasi tergantung dari berat ringannya preeklampsia atau eklampsia. Yang paling sering
ditemukan adalah aligouria. Penyebab Utama kematian pada preeklampsia atau eklampsia adalah
penimbunan cairan di paru-paru akibat kegagalan jantung kiri. Sebab lainnya adalah pendarahan otak,
terganggunya fungsi ginjal, dan masuknya isi lambung kedalam saluran pernapasan. Yang termasuk
komplikasi khusus antara lain sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver enzymes, low platelet count),
sianosis 60 (kerusakan hati dan penurunan trombosit, gagal jantung, gagal ginjal (gangguan nefrotik).
Sedangkan yang termasuk komplikasi umum adalah eklampsia, gagal jantung, dan oedema
(Prawirohardjo, 2010).
2.2.4. Tindakan Segera
Antisipasi tindakan segera dibuat berdasarkan hasil identifikasi pada diagnosa potensial. Pada
langkah ini mengidentifikasi dan menetapkan penanganan segera untuk mengantisipasi dan bersiap-
siap terhadap kemungkinan yang terjadi ( Hidayat, 2008).
Berdasarkan pendokumentasian kebidanan yang dilakukan dengan manajemen varney pada
antisipasi masalah potensial ibu dengan PEB beresiko terjadinya Eklamsia, IUFD, sehingga tindakan
segera yang perlu dilakukan dalam penanganan preeklampsi berat yaitu dengan pemasangan infuse RL
drip MgSO4 28 tetes per menit sehingga tidak terjadi komplikasi bagi ibu, dan persiapan section
caesaria dengan instruksi dari dokter Tindakan segera yang dilakukan pada ibu nifas post SC dengan
preeklampsia berat adalah kolaborasi dengan dokter .
2.2.5. Rencana Tindakan Rencana asuhan pada ibu nifas post SC dengan preeklampsia berat, antara lain :
1. Jelaskan pada ibu nifas tentang hasil pemeriksaan
2. Pantau tekanan darah
3. Nutrisi masa nifas
4. Jelaskan tanda-tanda bahaya pada ibu nifas
5. Anjurkan ibu untuk mobilisasi
6. Anjurkan ibu untuk menjaga personal hygiene
7. Menjelaskan dan menganjurkan ibu untuk BAK bila ingin berkemih dan BAB.
8. Perawatan luka SC.
2.2.6. Pelaksanaan
Menurut Sulistiawati, 2010, Pelaksanaan asuhan pada ibu nifas post SC dengan preeklampsia
berat antara lain:
1. Menjelaskan pada ibu tentang hasil pemeriksaan Ku : masih pusing dan lemah Kesadaran :
composmentis TFU : 2 jari bawah pusat ,Lochea : Rubra ,Kontraksi uterus : Baik
2. Memantau Tekanan darah TD : 170/100 mmhg , suhu : 37°C , Nadi : 84x/menit , RR: 18x/menit.
3. Nutrisi masa nifas Makan sesuai aturan dengan makan –makanan yang bergizi yaitu telur ,daging,
ikan, tahu , tempe.
4. Menjelaskan pada ibu tentang tanda-tanda bahaya ibu nifas yaitu perdarahan lewat jalan lahir ,keluar
cairan yang berbau dari jalan 62 lahir, demam lebih dari 2 hari, nyeri dan panas didaerah
tungkai,payudara bengkak berwarna kemerahan dan sakit, putting susu lecet.
5. Menganjurkan ibu untuk mobilisasi dini semampu ibu yaitu ibu mau melakukan mobilisasi dini
sudah dapat miring kiri dan kanan.
6. Menganjurkan ibu untuk menjaga personal hygiene
7. Menjelaskan dan menganjurkan ibu untuk BAK bila ingin berkemih dan BAB.
8. Melakukan perawatan luka SC Dengan merawat luka mengganti balutan atau penutup yang sudah
kotor atau lama dengan pembalut luka yang baru. Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya infeksi
serta memberikan rasa aman dan nyaman pada pasien. Persiaapan alat dan bahan yang dibutuhkan
antara lain : bak instrument, kassa, gunting, plester,lidi waten, antiseptic (betadine), pinset
anatomis,pinset sirulgis,bengkok,perlak pengalas, sarung tangan steril, Nacl untuk membersihkan luka,
salep antiseptic, tempat sampah, larutan clorin 0,5%.
2.2.7. Evaluasi
Menurut Varney, 2004, Evaluasi dilaksanakan untuk menilai pelaksanaan asuhan kebidanan
mengacu pada diagnosa nomenklator, masalah dan kebutuhan pasien telah dapat teratasi atau belum
dan hasil yang diharapkan adalah:
1. Ibu dan keluarga dapat menerima dan memahami penjelasan yang diberikan serta dapat
bekerja sama dalam program asuhan dan pengobatan.
2. Tanda-tanda vital ibu sedang tidak dalam batas normal, keadaan ibu masih pusing
3. Ibu dan keluarga mengerti dengan anjuran yang diberikan dengan selalu makan yang bergizi
yaitu telur, tahu ,tempe,ikan dan sayur bayam untuk mempercepat proses pemulihan.
4. Tidak ada tanda-tanda bahaya pada masa nifas
5. Ibu sudah mobilisasi yaitu miring kiri dan kanan untuk mempercepat proses penyembuhan
6. Ibu telah melakukan vulva hygiene dibantu suami
7. Ibu mengerti dengan informasi yang diberikan 8. Ibu dan keluarga mengerti dan mau
melakukan perawatan luka.

2.3 Penatalaksanaan Preeklamsia/ eklamsia Post Partum


preeklampsia pasca persalinan (postpartum pre-eclampsia) atau tekanan darah tinggi setelah
melahirkan ini bisa terjadi pada wanita memiliki tekanan darah tinggi dan kelebihan protein dalam
urinenya setelah melahirkan. Menangani preeklampsia setelah melahirkan diperlukan penanganan
medis segera karena dapat membahayakan ibu mengalami komplikasi serius setelah melahirkan.
Dian Burhansah, SpOG, M.Kes, FMAS selaku Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan
dari Primaya Hospital Bekasi Timur menjelaskan bahwa postpartum pre-eclampsia merupakan
hipertensi yang terjadi dalam waktu 48 jam dan bisa sampai 6 minggu pasca persalinan disertai
gangguan organ. Preeklampsia setelah melahirkan ini memiliki kriteria tensi ≥ 140/90mmHg dan
disertai minimal satu gejala seperti; protenuria ≥ +1, sakit kepala/penglihatan kabur, edema paru,
peningkatan fungsi hati dan ginjal, trombositopenia, serta gangguan pertumbuhan janin.
Penyebab preeklampsia hingga kini masih belum diketahui secara pasti. “Meskipun demikian,
penyebab preeklampsia setelah melahirkan adalah pada pasien dengan preeklampsia ini mengalami
gangguan pertumbuhan serta perkembangan plasenta yang menyebabkan kerusakan endotel pembuluh
darah pada ibu sehingga menyebabkan timbulnya gejala-gejala hipertensi dan lain sebagainya.
Adapun faktor risiko terjadi preeklampsia diantaranya:
 Memiliki riwayat atau masalah kesehatan seperti diabetes, penyakit ginjal, tekanan darah tinggi,
penyakit autoimun (lupus), atau sindroma antifosfolipid
 Memiliki riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya
 Hamil pada usia diatas 35 tahun atau kurang dari 18 tahun
 Hamil pertama kali
 Obesitas
 Kehamilan kembar
 Jarak kehamilan sangat jauh (10 tahun atau lebih) dari kehamilan sebelumnya
 Selain itu juga faktor genetik, diet makanan atau nutrisi, serta gangguan pembuluh darah

2.4 Masa Nifas


a. Pengertian
Masa nifas (puerperium) dimulai setelah plasenta lahir dan berakhir ketika alat-alat
kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa nifas berlangsung selama kira-kira 6
minggu atau 42 hari, namun secara keseluruhan akan pulih dalam waktu 3 bulan (Anggraini,
2010).
Masa nifas adalah masa dimulai beberapa jam sesudah lahirnya plasenta sampai 6
minggu setelah melahirkan. Masa nifas dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhir ketika
alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil yang berlangsung kira-kira 6
minggu (Marmi, 2012).
b. Macam-macam periode pada masa nifas adalah sebagai berikut:
1) Puerperium Dini (immediate puerperium) : waktu 0-24 jam post partum.Yaitu
kepulihan dimana ibu telah diperbolehkan berdiri dan berjalan-jalan, dalam agama Islam telah
bersih dan boleh bekerja setelah 40 hari.
2) Puerperium Intermedial (early puerperium) : waktu 1-7 hari post partum. Yaitu
kepulihan menyeluruh alat-alat genetalia yang lamanya 6-8 minggu.
3) Remote Puerperium (later puerperium) : waktu 1-6 minggu post partum. Yaitu waktu
yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna, terutama bila selama hamil dan waktu
persalinan mempunyai komplikasi. Waktu untuk sehat bisa bermingguminggu, bulan atau tahun
(Anggraini, 2010).
c. Perubahan Fisiologis Yang Terjadi Pada Masa Nifas
1) Perubahan uterus
Terjadi kontraksi uterus yang meningkat setelah bayi keluar. Hal ini
menyebabkan iskemia pada lokasi perlekatan plasenta (plasenta site) sehingga jaringan
perlekatan antara plasenta dan dinding uterus, mengalami nekrosis dan lepas. Ukuran
uterus mengecil kembali (setelah 2 hari pasca persalinan, setinggi sekitar umbilikus,
setelah 2 minggu masuk panggul, setelah 4 minggu kembali pada ukuran sebelum
hamil).
Jika terjadi subinvolusi dengan kecurigaan infeksi, diberikan antibiotika. Untuk
memperbaiki kontraksi uterus dapat diberikan uterotonika (ergometrin maleat), namun
ergometrin mempunyai efek samping menghambat produksi prolaktin.

Tabel 2.4.1 Proses involusi uterus


Involusi Tinggi fundus uteri Berat uterus
Bayi lahir Setinggi pusat 1000 gram
Uri lahir Dua jari dibawah pusat 750 gram
Satu minngu Pertengahan pusat- 500 gram
symphis
Dua minggu Tak teraba di atas symphis 350 gram
Enam minggu Bertambah kecil 50 gram
Delapan Sebesar normal 30 gram
minggu

Segera setelah persalinan bekas implantasi plasenta berupa luka kasar dan menonjol ke dalam
cavum uteri.Penonjolan tersebut diameternya kira-kira 7,5 cm. Sesudah 2 minggu diameternya
berkurang menjadi 3,5 cm. Pada minggu keenam mengecil lagi sampai 2,4 cm, dan akhirnya akan
pulih kembali. Di samping itu, dari cavum uteri keluar cairan sekret disebut lochia.
Ada beberapa jenis lochia yaitu:
a) Lochia rubra (Cruenta): Berisi darah segar dan sisa-sisa selaput ketuban, sel-sel desidua,
verniks kaseosa, lanugo dan mekonium selama 2 hari pasca persalinan.
b) Lochia sanguinolenta: Warnanya merah kuning berisi darah dan lendir. terjadi pada hari ke
3-7 pasca persalinan.
c) Lochia serosa: Berwarna kuning dan cairan ini tidak berdarah lagi pada hari ke 7-14 pasca
persalinan.
d) Lochia alba: Cairan putih yang terjadinya pada hari setelah 2 mingggu. 13
e) Lochia purulenta: Ini karena terjadi infeksi, keluar cairan sepert nanah busuk f) Lochiotosis :
Lochia tidak lancar keluarnya (Suherni, 2009).
e) Lochia purulenta: Ini karena terjadi infeksi, keluar cairan sepert nanah busuk
f) Lochiotosis : Lochia tidak lancar keluarnya (Suherni, 2009).
2) Perubahan pada vulva, vagina dan perineum
Vulva dan vagina mengalami penekanan serta peregangan yang sangat besar selama proses
melahirkan bayi, dan dalam beberapa hari pertama sesudah proses tersebut, kedua organ ini tetap
berada dalam keadaan kendur. Setelah 3 minggu vulva dan vagina kembali kepada keadaan tidak hamil
dan rugae dalam vagina secara berangsur-angsur akan muncul kembali sementara labia menjadi lebih
menonjol. Himen tampak sebagai tonjolan kecil dan dalam proses pembentukan berubah menjadi
kurunkulae motiformis yang khas bagi wanita multipara.
Segera setelah melahirkan, perineum menjadi kendur karena sebelumnya teregang oleh
tekanan kepala bayi yang bergerak maju. Perubahan pada perineum pasca melahirkan terjadi pada saat
perineum mengalami robekan. Robekan jalan lahir dapat terjadi secara spontan ataupun dilakukan
episiotomi dengan indikasi tertentu. Sebagian besar tonusnya sekalipun tetap lebih kendur dari pada
keadaan sebelum melahirkan (Marmi, 2012).
3) Perubahan sistem Pencernaan
Perubahan kadar hormon dan gerak tubuh yang kurang menyebabkan menurunannya fungsi
usus, sehingga ibu tidak merasa ingin atau sulit BAB. Biasanya ibu mengalami obstipasi setelah
persalinan. Hal ini disebabkan karena pada waktu melahirkan alat pencernaan mendapat tekanan yang
menyebabkan kolon menjadi kosong, pengeluaran cairan yang berlebihan pada waktu persalinan
(dehidrasi), kurang makan, haemoroid, laserasi jalan lahir. Supaya buang air besar kembali teratur
dapat diberikan diet/makanan yang mengandung serat dan pemberian cairan yang cukup. Bila usaha ini
tidak berhasil dalam waktu 2 atau 3 hari dapat ditolong dengan pemberian huknah/ gliserin spuit atau
diberikan obat laksan yang lain (Anggraeni, 2010).
4) Perubahan sistem perkemihan
Pada masa hamil, perubahan hormonal yaitu kadar steroid tinggi yang berperan meningkatkan
fungsi ginjal. Begitu sebaliknya, pada pasca melahirkan kadar steroid menurun sehingga menyebabkan
penurunan fungsi ginjal. Fungsi ginjal kembali normal dalam waktu satu bulan setelah melahirkan.
Urin dalam jumlah yang besar akan dihasilkan dalam waktu 12-36 Jam sesudah melahirkan (Marmi,
2012).
5) Perubahan sistem muskuloskeletal atau diatesis Rectie Abdominis
a) Diathesis
Setiap wanita nifas memiliki derajat diathesis/ konstitusi (yakni keadaan tubuh yang membuat
jaringanjaringan tubuh bereaksi secara luar biasa terhadap rangsangan-rangsangan luar
tertentu,sehingga membuat orang itu lebih peka terhadap penyakit-penyakit tertentu). Kemudian
demikian juga adanya rectie/muskulus rectus yang terpisah dari abdomen. Seberapa diathesis terpisah
ini tergantung dan beberapa faktor termasuk kondisi umum dan tonus otot. Sebagian besar wanita
melakukan ambulasi(ambulation=bisa berjalan) 4-8 jam post partum. Ambulasi dini dianjurkan untuk
menghindari komplikasi,maningkatkan involusi dan meningkatkan cara pandang emosional. Relaksasi
dan peningkatan mobilitas artikulasi pelvic terjadi dalam 6 minggu setelah melahirkan
b) Abdominis dan Peritonium
Akibat peritonium berkontraksi dan ber-retraksi pasca persalinan dan juga beberapa hari setalah
itu, peritonium yang membungkus sebagian besar dari uterus, membentuk lipatanlipatan dan kerutan-
kerutan. Pasca persalinan dinding perut menjadi longgar, disebabkan karena teregang begitu lama.
Namun demikian umunya akan pulih dalam waktu 6 minggu (Suherni, 2009).
6) Perubahan tanda-tanda vital pada masa nifas
a) Suhu Badan
(1) Sekitar hari ke-4 setalah persalinan suhu ibu mungkin naik sedikit, antara 37,20C – 37,50C.
Kemungkinan disebabkan karena dari aktivitas payudara.
(2) Bila kenaikan mencapai 380C pada hari kedua sampai hari-hari berikutnya, harus diwaspadai
adanya infeksi atau sepsis nifas.
b) Denyut nadi
(1) Denyut nadi ibu akan melambat sampai sekitar 60 x/menit yaitu pada waktu habis persalinan
karena ibu dalam keadaan istirahat penuh. Ini terjadi umumnya pada minggu petama post partum.
(2) Pada ibu nervus nadinya bisa cepat, kira-kira 110x/menit. Bisa juga terjadi gejala syok karena
infeksi, khususnya bila disertai peningkatan suhu tubuh.
c) Tekanan darah
(1) Tekanan darah < 140/90 mmHg. Tekanan darah tersebut bisa meningkat dari pra persalinan
pada 1-3 hari post partum.
(2) Bila tekanan darah menjadi rendah menunjukan adanya perdarahan post partum. Sebaliknya
bila tekanan darah tinggi, merupakan petunjuk kemungkinan adanya preeklamsia yang bisa timbul
pada masa nifas. Namun hal seperti itu jarang terjadi.
d) Respirasi
(1) Pada umumnya respirasi lambat atau bahkan normal. Mengapa demikian, tidak lain karena Ibu
dalam keadaan pemulihan atau dalam kondisi istirahat .
(2) Bila ada respirasi cepat post partum (> 30 x/menit), mungkin karena adanya tanda-tanda syok
(Suherni, 2009).
d. Perubahan Psikologi Ibu Pada Masa Nifas
Pengawasan dan asuhan postpartum masa nifas sangat diperlukan yang tujuannya adalah sebagai
berikut :
1) Menjaga kesehatan ibu dan bayinya, baik fisik maupun psikologi
2) Melaksanakan sekrining yang komprenshensif, mendeteksi masalah mengobati, atau merujuk bila
terjadi komplikasi pada ibu maupun bayinya
3) Memberikan pendidikan kesehatan tentang perawatan kesehatan diri, nutrisi, KB, menyusui,
pemberian imunisasi pada saat bayi sehat
4) Memberikan pelayanan KB
5) Gangguan yang sering terjadi pada masa nifas berupa gangguan psikologis seperti postpartum blues
(PPS), depresi postpartum dan postpartum psikologi.

2.5 Mastitis
2.5.1 Pengertian Mastitis
adalah infeksi peradangan pada mamma, terutama pada primipara yang biasanya disebabkan
oleh staphylococcus aureus, infeksi terjadi melalui luka pada putting susu, tetapi mungkin juga
mungkin juga melalui peredaran darah (Prawirohadjo, 2005 : 701)
Mastitis adalah suatu peradangan pada payudara disebabkan kuman, terutama Staphylococcus
aureus melalui luka pada puting susu, atau melalui peredaran darah.
2.5.2 Klasifikasi Mastitis
1. Berdasarkan lokasinya mastitis terbagi atas:
1) di bawah areola mammae 
2) di tengah areola mammae
3) mastitis yang lebih dalam antara payudara dan otot-otot
2. Menurut penyebab dan kondisinya dibagi pula menjadi 3, yaitu :
1) Mastitis periductal Mastitis periductal biasanya muncul pada wanita di usia menjelang
menopause, penyebab utamanya tidak jelas diketahui. Keadaan ini dikenal juga dengan sebutan
mammary duct ectasia, yang berarti peleburan saluran karena adanya penyumbatan pada
saluran di payudara.
2) Mastitis puerperalis/lactational Mastitis puerperalis banyak dialami oleh wanita hamil atau
menyusui. Penyebab utama mastitis puerperalis yaitu kuman yang menginfeksi payudara ibu,
yang ditransmisi ke puting ibu melalui kontak langsung.
3) Mastitis supurativa Mastitis supurativa paling banyak dijumpai. Penyebabnya bisa dari kuman
Staphylococcus, jamur, kuman TBC dan juga sifilis. Infeksikuman TBC memerlukan
penanganan yang ekstra intensif. Bila penanganannya tidak tuntas, bisa menyebabkan
pengangkatan payudara/mastektomi. 
2.5.3 Etiologi
1. Bakteri stafilokokkus aureus Mastitis adalah suatu peradangan pada payudara disebabkan kuman,
terutama Staphylococcus aureus melalui luka pada puting susu, atau melalui peredaran darah. Sebagian
besar yang ditemukan pada pembiakan pus ialah stafilokokkus aureus. Bakteri seringkali berasal dari
mulut bayi dan masuk ke dalam saluran air susu melalui sobekan atau retakan di kulit (biasanya pada
puting susu). Mastitis biasanya terjadi pada wanita yang menyusui dan paling sering terjadi dalam
waktu 1-3 bulan setelah melahirkan. Sekitar 1-3% wanita menyusui mengalami mastitis pada beberapa
minggu pertama setelah melahirkan.
2. Daya tahan tubuh yang lemah dan kurangnya menjaga kebersihan puting payudara saat menyusui
3. Saluran ASI tersumbat tidak segera diatasi sehingga menjadi mastitis

2.5.4 Fatofisiologis
Biasanya mastitis yang tidak segera diobati akan menyebabkan abses payudara yang bisa pecah ke
permukaan kulit dan menimbulkan borok yang besar. Keluhannya adalah payudara membesar, keras, nyeri,
kulit memerah, dan membisul (abses), dan akhirnya pecah dengan borok serta keluarnya cairan nanah
bercampur air susu. Dapat disertai suhu badan naik dan menggigil.

2.5.4 Tanda dan Gejalan


1) suhu meningkat dengan cepat mencapai 39,5°C – 40 °C 
2) denyut nadi meningkat
3) menggigil, malaise, sakit kepala
4) daerah payudara menjadi merah, tegang, nyeri, disertai benjolan yang keras
2.5.5 Penanganan
1) Bila terjadi mastitis pada payudara yang sakit penyusuan bayi dihentikan.
2) Karena penyebab utama adalah Staphylococcus aureus, antibiotika jenis penisislin dengan dosis
tinggi dapat membantu, sambil menunggu hasil pembiakan dan uji kepekaan air susu.
3) Lokal dilakukan kompres dan pengurutan ringan dan penyokong payudara; bila panas dan nyeri
berikan obat-obat anti panasdan analgetika. 
4) Bila terjadi abses lakukanlah insisi radial sejajar dengan jalannya duktus laktiferus. Pasang pipa
(drain) atau tamponade untuk mengeringkan nanah
2.5.6 Pencegahan
nanganan terbaik mastitis adalah dengan pencegahan. Pencegahan dilakukan dengan cara sebagai
berikut :
1)perawatan puting susu atau perawatan payudara
2)Susukan bayi setiap saat tanpa jadwal
3)Pembersihan puting susu sebelum dan sesudah menyusui untuk menghilangkan kerak dan susu yang
sudah kering
4)Teknik menyusui yang benar, bayi harus menyusu sampai ke kalang payudara.
5)Bra yang cukup meyangga tetapi tidak ketat
6) Perhatian yang cermat saat mencuci tangan dan perawatan payudara
7) Kompres hangat pada area yang terkena
8) Masase area saat menyusui untuk memfasilitasi aliran air susu
9)Peningkatan asupan cairan
10) Istirahat
11) Membatu ibu menentukan prioritas untuk mengurangi stress dan keletihan dalam kehidupannya
12) Suportif, pemeliharaan perawatan ibu
13) Menyusui secara bergantian payudara kiri dan kanan
14) Untuk mencegah pembengkakan dan penyumbatan saluran, kosongkan payudara dengan cara
memompanya
15) Rajin mengganti bh / bra setiap kali mandi atau bila basah oleh keringat dan ASI, BH tidak boleh
terlalu sempit dan menekan payudara.
16) Senam laktasi (menggerakkan lengan secara berputar sehingga sendi bahu ikut bergerak kearah yang
sama guna membantu memperlancar peredaran darah dan limfe di payudara.
17) tindakan rutin sebagai bagian perawatan kehamilan Misalnya bayi harus mendapat kontak dini
dengan ibunya dan mulai menyusui segera setelah tampak tanda-tanda kesiapan,biasanya dalam jam
pertama atau lebih
18) Penatalaksanaan yang efektif pada payudara yang penuh dan kencang Misalnya ibu harus dibantu
memperbaiki kenyutan pada payudara oleh bayinya untuk memperbaiki pengeluaran ASI
19) Perhatian dini terhadap semua tanda stasis ASI Ibu harus tahu cara merawat payudara dan tanda stasis
ASI atau mastitis sehingga mereka dapat mengobatinya sendiri di rumah dan mencari pertolongan
secepatnya bila keadaan tersebut tidak menghilang
20) Perhatian dini pada kesulitan menyusui lain Pemberian pengetahuan dan keterampilan dari petugas
kesehatan untuk para ibu agar dukungan menyusui terus menerus harus tersedia di masyarakat,serta
pemberian pengobatan secar dini
21) Pengendalian infeksi Misalnya petugas kesehatan harus mencuci tangan setiap kali setelah kontak
dengan ibu dan bayi,kontak kulit dini dan rawat gabung bayi dengan ibu,pemijatan,salep dan
semprotan payudara (penisilin, klorheksidin)
22) Jika ibu melahirkan bayi lalu bayi tersebut meninggal, sebaiknya dilakukan bebat tekan pada
payudara dengan menggunakan kain atau stagen dan ingat untuk minta obat penghenti ASI pada
dokter atau bidan.
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka simpulan yaitu sebagai berikut:
1. Penulis telah mampu melakukan deteksi preeklamsia post partum
2. Penulis telah mampu menentukan tanda dan gejala preeklamsi post partum
3. Penulis telah mampu menentuka data subyek dan obyek pada pasien preeklamsia
4. Penulis telah mampu melakukan penatalaksanaan preeklamsia post partum

B. Saran
1. Bagi Penulis
Menambah pengetahuan dan pengalaman dengan mengamati suatu permasalahan sehingga
mendapat pengalaman yang nyata bagi peneliti dalam proses penelitian.
2. Bagi Akademik
Dijadikan sebagai bahan informasi untuk penelitian berikutnya sebagai wahana untuk
menambah bahan kepustakaan.
3. Bagi lahan penelitian
Memberikan pelayanankesehatan dengan melaksanakan asuhan kebidanan secara teori dan
standart pelayanan yang berlaku.
Daftar Pustaka

file:///C:/Users/HP/Downloads/BAB%20II%20%20Karlinah.pdf

https://core.ac.uk/download/pdf/335034565.pdf
https://primayahospital.com/kebidanan-dan-kandungan/preeklampsia-setelah-melahirkan/
http://eprints.umpo.ac.id/943/2/BAB%20I.pdf
https://pdfcoffee.com/gadar-ibu-nifas-dengan-mastitis-pdf-free.html

Anda mungkin juga menyukai