Anda di halaman 1dari 45

Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105

Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

KASUS 2
RSUD Dr. SOETOMO SURABAYA

Acute Confusional State e.c Ensefalopati sepsis dd


CVA infark + HAP+Sepsis+ESRD Reguler (Rabu &
Sabtu)+Hipoalbumin (2,6)+ Afasia motorik
Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 SEPSIS ENSEFALOPATI


1.1.1 Definisi
Sepsis ensefalopati adalah sindrom multifaktorial ditandai dengan disfungsi otak
karena sepsis dan adanya SIRS yang disebabkan oleh respon sistemik terhadap infeksi
(Thomas, 2011). Sepsis ensefalopati dapat disebabkan karena disfungsi organ sistemik,
Stroke, Perdarahan intracranial, Meningoensefalitis, Rusaknya eritrosit dan keterbatasan
peredaran oksigen ke otak, Blood Brain Barrier yang rusak. Manifestasi klinis meliputi
Delirium (gangguan kesadaran akut), Koma , Perubahan aktivitas motoric, Gangguan visual
dang fungsi ingatan, Gangguan verbal

1.1.2 PATOFISIOLOGI

Gambar 1.1 Patofisiologi ensefalopati sepsis (Chaudhry, 2014)

1.1.3 PENATALAKSANAAN
Manajemen terapi sepsis ensefalopati adalah dengan mendeteksi dini delirium yang
merupakan manifestasi utama dari sepsis ensefalopati. Menentukan penyebab infeksi dan
Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

bakteri sehingga dapat diberikan pengobatan infeksi yang tepat dan juga diberikan terapi
suportif. Pemberian terapi antibiotik secara intravena dilakukan segera setelahh dilakukan
kultur untuk menurunkan resiko kematian dengan mempertimbangkan riwayat pasien
(missal : CAP atau HAP), data pewarnaan gram, dan sensitivitas terhadap antibiotik. Jika
kemungkinan ada bakteri pseudomonas ditambahkan antipseudomonal seperti
florokuinolone, aminoglikosida atau monobaktam secara intravena.jika sudah ada kultur
monoterapi antibiotik sefalosporin generasi ketiga atau carbapenem dapat digunakan dengan
durasi minimal 7-10 hari.

1.2 AFASIA
1.2.1 DEFINISI
Afasia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan gangguan bahasa yang
dihasilkan dari kerusakan daerah-daerah di otak yang bertanggung jawab untuk berbahasa.
Dalam berbahasa tercakup berbagai kemampuan yaitu: bicara spontan, komprehensi,
menamai, repetisi (mengulang), membaca dan menulis (Lumbantobing S.M, 2014). Bahasa
melibatkan integrasi dua kemampuan berbeda yaitu, ekspresi (kemampuan berbicara) dan
pemahaman yang masing-masing berkaitan dengan bagian tertentu korteks.Daerah primer
korteks yang khusus untuk bahasa adalah daerah Broca dan daerah Wernicke. (Sherwood,
Lauralee, 2012)

Gambar 1.2 Anatomi Neurologi (Sherwood, Lauralee, 2012)


Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Gambar 1.3 Klasifikasi afasia (Sherwood, Lauralee, 2012)

1.2.2 ETIOLOGI
Afasia disebabkan oleh kerusakan otak pada bagian yang mengatur fungsi bahasa. Adapun
beberapa penyebabnya, yaitu Stroke (infark) Stroke merupakan penyebab terbanyak dari
afasia (80%), Perdarahan Hampir sama dengan infark pada stroke, Trauma Kontusio fokal,
Tumor, Encephalitis (Alexander, Michael, Aphasia: Chapter 9)

1.2.3 PATOFISIOLOGI
Area motorik disuplai oleh arteri serebri anterior dan arteri serebri media yang
bercabang dari arteri karotis interna. Arteri serebri anterior menyuplai korteks lobus
frontalis dan lobus parietalis, manakala arteri serebri media menyuplai korteks bagian
lateral. Apabila terjadi kerusakan pada arteri serebri media yang menyuplai area Wernicke,
Broca dan area fasikulus arkuata akan menyebabkan gangguan untuk memahami kata-kata,
berbicara dengan lancar dan juga mengulang kata kata (Pearl L.P, Emsellem A. Helene,
2014).
Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

1.3 CVA
1.3.1 Definisi
CVA (Cerebro Vascular Accident) merupakan kelainan fungsi otak yang timbul
mendadak yang disebabkan karena terjadinya gangguan peredaran darah otak yang bisa
terjadi dengan gejala-gejala berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan cacat
berupa kelumpuhan anggota gerak, gangguan bicara, proses berpikir, daya ingat dan bentuk-
bentuk kecacatan lain hingga menyebabkan kematian (Muttaqin, 2008). Ada beberapa
penyebab CVA infark (Muttaqin, 2008), antara lain adalah Trombosis serebri, dan Emboli

1.3.2 PATOFISIOLOGI

Gambar 1.4 Patofisiologi CVA Infark (Baticaca, 2008)

1.3.3 PENATALAKSANAAN
a. Fibrinolitik: rtPA (Alteplase)
b. Antiplatelet: ASA, Clopidogrel
c. Antihipertensi: ACE inhibitor, ARB, CCB
d. Obat Saluran Cerna: H2 blocker, PPI
e. Neuroprotektan: Citicolin
f. Antidislipidemia/Antitrigliserida: Simvastatin, Fibrat
Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Gambar 1.5 Terapi pada CVA Infark (Dipiro, 2009)

1.4 Hospital Acquired Pneumonia (HAP)


1.4.1 Definisi
Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang
disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit) (PDPI, 2003).
Pneumonia juga didefinisikan sebagai infeksi yang terjadi pada jaringan paru. Ketika
seseorang mengalami pneumonia maka kantong udara pada paru-paru akan terisi oleh
mikroorganisme, cairan, dan mediator inflamasi, sehingga paru-paru tidak dapat
bekerja dengan baik (NICE, 2014).
Pneumonia dibagi menjadi empat jenis, yaitu (ATS, 2004):

1. Community Acquired Pneumonia (CAP): pneumonia yang terjadi tanpa adanya


kontak dengan fasilitas kesehatan
2. Healthcare Associated Pneumonia (HCAP): pneumonia yang terjadi bukan karena
fasilitas medis kesehatan namun memiliki dua atau lebih faktor risiko pathogen MDR
Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

3. Hospital Acquired Pneumonia (HAP): pneumonia yang terjadi lebih dari 48 jam
perawatan di rumah sakit tanpa pemberian intubasi endotrakeal
4. Ventilator Acquired Pneumonia (VAP): pneumonia yang terjadi lebih dari 48 jam
intubasi atau adanya ventilasi mekanis.
1.4.2 Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam bakteri patogen. Bakteri
patogen yang umumnya menyerang adalah Pseudomonas aeruginosa, Acinebacter
spesies, dan methicillin-resistan Staphylococcus aureus. Pneumonia nosokomial
yang disebabkan oleh jamur antara lain, Candida spesies dan Aspergillus fumigatus
(ATS, 2004). Bahan pemeriksaan untuk menentukan bakteri penyebab dapat diambil
dari dahak, darah, cara invasif misalnya bilasan bronkus, sikatan bronkus, biopsi
aspirasi transtorakal dan biopsi aspirasi transtrakea (PDPI, 2003)
1.4.3 Patofisiologi
Pneumonia terjadi apabila mikroba masuk ke saluran napas bagian bawah.
Ada empat rute masuknya mikroba tersebut ke dalam saluran napas bagian bawah
yaitu :
• Aspirasi, merupakan rute terbanyak pada kasus-kasus tertentu seperti kasus
neurologis dan usia lanjut
• Inhalasi, misalnya kontaminasi pada alat-alat bantu napas yang digunakan pasien

• Hematogenik

• Penyebaran langsung

Pasien yang mempunyai faktor predisposisi terjadi aspirasi mempunyai risiko


mengalami pneumonia nosokomial. Apabila sejumlah bakteri dalam jumlah besar
berhasil masuk ke dalam saluran napas bagian bawah yang steril, maka pertahanan
pejamu yang gagal membersihkan inokulum dapat menimbulkan proliferasi dan
inflamasi sehingga terjadi pneumonia. Interaksi antara faktor pejamu (endogen) dan
faktor risiko dari luar (eksogen) akan menyebabkan kolonisasi bakteri patogen di
saluran napas bagian atas atau pencernaan makanan. Patogen penyebab pneumonia
nosokomial ialah bakteri gram negatif dan Staphylococcus aureus yang merupakan
flora normal sebanyak < 5%. Kolonisasi di saluran napas bagian atas karena
bakteribakteri tersebut merupakan titik awal yang penting untuk terjadi pneumonia.
Faktor risiko kuman MDR penyebab HAP antara lain; (ATS,2004)
• Pemakaian antibiotik pada 90 hari terakhir
Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

• Dirawat di rumah sakit ≥ 5 hari

• Tingginya frekuensi resisten antibiotik di masyarakat atau di rumah sakit tersebut

• Penyakit immunosupresi dan atau pemberian imunoterapi

1.4.4 Penatalaksanaan Terapi


Prioritas pertama pada penanganan pasien dengan pneumonia adalah
penilaian fungsi respiratori yang adekuat serta menentukan adanya tanda-tanda
penyakit sistemik seperti sepsis atau dehidrasi yang dapat memperburuk sistem
sirkulasi darah. Selanjutnya adalah terapi antibiotik empiris spektrum luas dan
penggunaan antibiotik definitif bila hasil kultur telah diketahui. Terapi suportif yang
dilakukan diantaranya oksigenasi untuk hypoxemia, resusitasi cairan, pemberian
bronkodilator bila terdapat bronkospame,fisioterapi dada dengan drainage postural
bila terdapat sekret yang tertahan, terapi nutrisi, dan kontrol temperatur tubuh
(Mandell et al, 2007).

Tabel 1.1 Terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP atau VAP pada pasien tanpa
faktor risiko patogen MDR, onset dini dan semua derajat penyakit (mengacu ATS / IDSA
2004)
Patogen potensial Antibiotik yang direkomendasikan
• Streptocoocus pneumoniae Betalaktam +

• Haemophilus influenzae antibetalaktamase (Amoksisilin


klavulanat) atau
• Metisilin-sensitif
Sefalosporin G3 nonpseudomonal
Staphylocoocus aureus
(Seftriakson, sefotaksim)
• Antibiotik sensitif basil
atau
Gram negatif enterik - Escherichia
Kuinolon respirasi (Levofloksasin,
coli
- Klebsiella pneumoniae Moksifloksasin)

- Enterobacter spp

- Proteus spp

- Serratia marcescens
Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Tabel 1.2 Terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP untuk semua derajat
penyakit pada pasien dengan onset lanjut atau terdapat faktor risiko patogen MDR
(mengacu ATS / IDSA 2004)
Patogen potensial Terapi Antibiotik kombinasi
Sefalosporin antipseudomonal (Sefepim,
• Patogen MDR tanpa atau dengan seftasidim, sefpirom)
patogen pada Tabel II.1 atau
Pseudomonas aeruginosa Karbapenem antipseudomonal (Meropenem,
Klebsiella pneumoniae imipenem) atau β-laktam / penghambat β
(ESBL) laktamase
Acinetobacter sp (Piperasilin – tasobaktam)
ditambah
Fluorokuinolon antipseudomonal
(Siprofloksasin atau levofloksasin)
atau
Aminoglikosida (Amikasin, gentamisin atau
Methicillin resisten tobramisin) ditambah
Staphylococcus aureus Linesolid atau vankomisin atau teikoplanin
(MRSA)

Tabel 1.3 Dosis antibiotik intravena awal secara empirik untuk HAP pada pasien dengan
onset lanjut atau terdapat faktor risiko patogen MDR (mengacu pada ATS/IDSA 2004)
Antibiotik Dosis
Sefalosporin antipseudomonal 1-2 gr setiap 8 – 12 jam
Sefepim 2 gr setiap 8 jam
Seftasidim 1 gr setiap 8 jam
Sefpirom
Karbapenem 1 gr setiap 8 jam
Meropenem 500 mg setiap 6 jam / 1 gr setiap
Imipenem
Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

βlaktam / β 4,5 gr setiap 6 jam


penghambat laktamase
Piperasilin-tasobaktam
Aminoglikosida 7 mg/kg BB/hr
Gentamisin 7 mg/kg BB/hr
Tobramisin 20 mg/kg BB/hr
Amikasin
Kuinolon antipseudomonal 750 mg setiap hari
Levofloksasin 400 mg setiap 8 jam
Siprofloksasin
Vankomisin 15 mg/kg BB/12 jam

Linesolid 600 mg setiap 12 jam


Teikoplanin 400 mg / hari

1.5 Sepsis
1.5.1 Batasan
Sepsis merupakan kondisi systemic inflammatory response syndrom (SIRS) yang
disebabkan oleh infeksi, dimana SIRS ditandai dengan terdapatnya minimal 2 gejala
dari: suhu >38oC atau <36oC; nadi > 90; RR >20 atau WBC >12.000 atau <4.000
(KangBirken, 2014).

1.5.2 Etiologi
Sepsis sering disebabkan oleh infeksi pada saluran pernapasan (40%), saluran kemih
(18%), dan rongga abdomen (14%). Patogen tersering adalah bakteri gram positif (50%),
diantaranya Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae, coagulase negatif
staphylococci, dan Enterococcus. Bakteri gram negatif menempati peringkat kedua
penyebab sepsis (25%). Jenis bakteri yang tersering adalah Escheria coli, diikuti oleh
Klebsiella spp, Proteus Spp, dan Pseudomonas aeruginosa. Selain itu, bakteri anaerob juga
dapat menjadi penyebab sepsis, yang sering ditemukan menginfeksi bersamaan dengan
patogen lain (polymicrobial infection). Penyebab sepsis yang lain adalah jamur dan virus
(Kang-Birken, 2014).
Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

1.5.3 Patofisiologi
Infeksi dari bakteri, jamur, dan virus mengakibatkan pelepasan mediator inflamasi
primer seperti TNF-α, IL-1, IFN, dan mediator lain yang dapat menyebabkan pelepasan
adrenokortikotropin hormon, memicu vasodilatasi serta menstimulasi PMN yang dapat
mengakibatkan kerusakan endotelial. Reaksi-reaksi yang terjadi secara simultan tersebut
mengakibatkan kondisi syok hipovolemik yang akan berkembang menjadi Multiple
Organ Disfunction Syndrome (MODS) akibat hipoperfusi, yang apabila tidak dapat
teratasi dengan baik dapat mengakibatkan kematian (Kang-Birken, 2014).

1.5.4 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis awal dapat dihubungkan dengan tanda dan gejala awal sepsis
(early sepsis), seperti demam, dingin dan perubahan status mental. Hipotermia dapat
terjadi akibat adanya infeksi sistemik dan seringkali memiliki prognosis yang jelek.
Oliguria seringkali mengikuti terjadinya hipotensi (Kang-Birken, 2014).

1.5.5 Penatalaksanaan
Penggunaan antimikroba atau antifungal atau antiviral yang tepat, yaitu sesuai
dengan mikroba penyebab sepsis. Umumnya, lama pengobatan untuk kasus sepsis
adalah 10-14 hari. Bila tidak memungkinkan untuk dilakukan kultur kuman, maka dapat
diberikan antibiotik empiris dengan memperkirakan jenis kuman penyebab. Tabel IV
menunjukkan pemilihan antibiotik empiris pada sepsis berdasarkan tempat atau lokasi
infeksi (Kang-Birken, 2014).

Tabel 1.4 Pemilihan Antibiotik Empiris pada Sepsis (Kang-Birken, 2014)

Infeksi (Tempat Antibiotik


atau Tipe) Community-acquired Hospital-acquired
Ceftriaxone atau Ciprofloxacin atau
Saluran kencing Ciprofloxacin atau levofloxacin atau Ceftriaxone
levofloxacin atau ceftazidim
Piperacillin/tazobactam atau
Levofloxacin atau
ceftazidim atau cefepim +
moxifloxacin atau ceftriaxone
Saluran pernapasan levofloxacin atau
+ clarithromycin atau
ciprofloxacin atau
azithromycin
aminoglikosida
Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Piperacillin/tazobactam atau
Piperacillin/tazobactam atau
Intraabdomen ciprofloxacin +
carbapenem
metronidazole
Vancomycin atau linezolid Vancomycin +
Kulit atau soft tissue
atau daptomycin piperacillin/tazobactam
Catheter-related Vancomycin
Piperacillin/tazobactam atau
ceftazidim atau cefepim atau
Tidak diketahui imipenem atau meropenen
levofloxacin/ciprofloxacin
atau aminoglikosida

1.6 END STAGE RENAL DISEASE


1.6.1 Definisi
End-stage renal disease (ESRD) disebut sebagai stadium akhir dari gagal ginjal dimana
merupakan tahap akhir yaitu tahap kelima dari CKD yang bersifat irreversible ditandai
dengan GFR < 15 ml/menit/1,73 m2 sehingga pada tahap ini pasien membutuhkan dialisis
(Dipiro, 2012; KDIGO, 2012).

Gambar 1.6 Kategori GFR pada CKD (KDIGO, 2012)


1.6.2 ETIOLOGI
Penyebab gagal ginjal pasien hemodialisis dari tahun 2015 didapatkan bahwa penyebab
tertinggi gagal ginjal adalah penyakit ginjal hipertensi 44%, nefropati diabetika 22%,
glomerulonefritis 8%, pielonefritis 7% dan nefropati obstruksi 5% (IRR, 2015).
Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

1.6.3 MANIFESTASI KLINIS


Manifestasi klinik dari ESRD adalah seperti gejala uremia contohnya kelelahan,
kelemahan otot, nafas pendek, mual, muntah, perdarahan, tidak nafsu makan sehingga
terjadi penurunan berat badan (Dipiro, 2012).

1.6.4 PATOFISIOLOGI
Pengurangan massa ginjal mengakibatkan terjadinya hipertrofi struktural dan fungsional
nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul
vasoaktif seperti growth factors.Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti
oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses ini akhirnya diikuti
dengan penurunan fungsi nefron yang progresif (Suwitra, 2006). Pada stadium 5 gejala
uremia umumnya menyertai dengan gejala gatal. Pengobatan hanya bertujuan untuk
menunda dan meminimalisir perkembangan dan keparahan komplikasi (Dipiro, 2008).

1.6.5 PENATALAKSANAAN
A. Dialisis
Dialisis adalah salah satu modalitas terapi pengganti ginjal yang menjadi kebutuhan
bagi pasien penyakit ginjal kronis stadium akhir. Ada beberapa metode dialisis yang saat
ini telah digunakan. Dua metode dialisis utama adalah hemodialisis (hemodialysis, HD)
dan dialisis peritoneal (peritoneal dialysis, PD)
a. Hemodialisis
Hemodialisis berasal dari kata hemo dan dialisis yang berarti menyaring darah dari
sampah tubuh dengan membran semi permeabel, dan kemudian sampah-sampah tersebut
dikeluarkan dari tubuh dan dibuang keluar bersama-sama dengan cairan dialisat.
Hemodialisis terutama ditujukan pada pasien dengan gagal ginjal akut maupun gagal
ginjal terminal. Pada penderita dengan gagal ginjal terminal hemodialisis diperlukan
untuk mempertahankan hidup dan memperbaiki kualitas hidup. Hemodialisis biasanya
dilakukan 3 kali dalam seminggu selama 3-4 jam
Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Gambar 1.7 Hemodialisis (Fleming, 2011)


Prinsip dari Hemodialisis adalah dengan menerapkan proses osmotis dan
ultrafiltrasi pada ginjal buatan, dalam membuang sisa-sisa metabolisme tubuh. Pada
hemodialisis, darah dipompa keluar dari tubuh lalu masuk kedalam mesin dialiser (yang
berfungsi sebagai ginjal buatan) untuk dibersihkan dari zat-zat racun melalui proses
difusi dan ultrafiltrasi oleh cairan khusus untuk dialisis (dialisat). Tekanan di dalam
ruang dialisat lebih rendah dibandingkan dengan tekanan di dalam darah, sehingga
cairan, limbah metabolik dan zat-zat racun di dalam darah disaring melalui selaput dan
masuk ke dalam dialisat. Proses hemodialisis melibatkan difusi solute (zat terlarut)
melalui suatu membrane semipermeabel. Molekul zat terlarut (sisa metabolisme) dari
kompartemen darah akan berpindah ke dalam kompartemen dialisat setiap saat bila
molekul zat terlarut dapat melewati membran semipermiabel demikian juga sebaliknya.
Setelah dibersihkan, darah dialirkan kembali ke dalam tubuh. Indikasi dilakukannya
hemodialissis pada penderita gagal ginjal stadium terminal antara lain kelainan fungsi
otak karena ensepalopati uremik, gangguan keseimbangan asam-basa dan elektrolit
misalnya asidoses metabolik, hiperkalemia, hiperkalsemia, kelebihan cairan yang masuk
ke dalam paru-paru sehingga menimbulkan sesak nafas, serta gejala-gejala keracunan
ureum (Fleming, 2011).

b. Peritoneal dialisis
Peritoneal Dialysis merupakan salah satu terapi pengganti ginjal yang fungsinya
sama dengan hemodialisis, tetapi dengan metode yang berbeda. Peritoneal dialisis
adalah metode dialisis dengan bantuan membran peritoneum
Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

(selaput rongga perut), jadi darah tidak perlu dikeluarkan dari tubuh untuk dibersihkan
dan disaring oleh mesin dialisis. Proses dialisis berlangsung dengan cara cairan
dimasukkan ke dalam rongga perut melalui suatu kateter yang lembut, kemudian
didiamkan beberapa waktu. Antara darah dengan cairan dialisis dibatasi oleh membran
peritoneum yang berfungsi sebagai media pertukaran zat. Ketika cairan dialisat berada
di dalam rongga peritoneum maka terjadi pertukaran zat-zat dimana produk limbah,
toksin, dan kelebihan air akan terserap ke cairan dialisat melalui proses ultrafiltrasi (Jha,
2008, Chau, 2007). Jenis-jenis dari peritoneal dialisis antara lain:
1. APD (Automated Peritoneal Dialysis).
Merupakan bentuk terapi dialisis peritoneal yang baru dan dapat dilakukan di rumah,
pada malam hari sewaktu tidur dengan menggunakan mesin khusus yang sudah
diprogram terlebih dahulu.
2. CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis).
Bedanya tidak menggunakan mesin khusus seperti APD. Dialisis peritoneal diawali
dengan memasukkan cairan dialisat (cairan khusus untuk dialisis) ke dalam rongga perut
melalui selang kateter, lalu dibiarkan selama 4-6 jam (Jha, 2008, Chau, 2007).
Indikasi penggunaan peritoneal dialisis adalah dialisis bayi dan anak-anak,
pasien dengan ketidakstabilan hemodinamik pada hemodialisis, pasien dengan akses
vaskular sulit. (Jha, 2008, Chau, 2007).

Gambar 1.8 Peritoneal Dialisis (Jha, 2008, Chau, 2007)


Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

BAB II

FORMAT ASUHAN KEFARMASIAN LAPORAN


KASUS

Inisial Pasien : Tn. M Berat Badan : 80 Gangguan Ginjal : (+) ESRD Reg.

Umur : 67 tahun Tinggi Badan : 171 Gangguan Hepar : -

• Keluhan utama :

Penurunan kesadaran sejak 2 hari, awalnya mengantuk dan tetap dilakukan HD, Kesadaran
semakin turun. Lemah setengah badan (-), pelo (-), kejang (-), muntah (-), pasien
mengeluh batuk berdahak (+)

• Diagnosis :

 (18/10) Acute Confusional State e.c Ensefalopati sepsis dd CVA infark +


HAP+Sepsis+ESRD Reguler (Rabu & Sabtu)+Hipoalbumin (2,6)+ Afasia motorik
 (25/10) ESRD Reguler 3x + HAP + sepsis + acute confusional state + CVA infark
+ afasia motorik + Hipoalbumin
• Alasan Masuk Rumah Sakit (MRS) :

Kesadaran menurun

• Riwayat Penyakit :

Hipertensi (sejak 4-5 tahun), ESRD (sejak 2 tahun)

• Riwayat Pengobatan :

Amlodipine 1x10mg, HD regular 2x seminggu (rabu & sabtu)

Status pasien :

BPJS

Alergi -

Kepatuhan - Obat Tradisional -


Merokok - OTC -
Alkohol - Lain-lain -
Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Catatan Perkembangan Pasien :


Tanggal Problem/Kejadian/Tindakan Klinisi
• Penurunan kesadaran sejak 2 hari, awalnya mengantuk dan tetap
dilakukan HD, Kesadaran semakin turun. Lemah setengah badan (-),
pelo (-), kejang (-), muntah (-), pasien mengeluh batuk berdahak (+)
 Masuk IGD (Triase merah). GCS pasien (121) ,TD 160/80mmHg,
nadi 110x, suhu 38,70 C, RR 32x.
• Pemriksaan awal di IGD :
• 1. Paru-paru : ronkhi kasar di 2/3 paru kanan
• 2. Kulit : Uremic frost
18/10/2017• 3. Saraf : penurunan kesadaran
• Selama di IGD pasien mendapatkan terapi Inj. Ranitidine 2x50mg, inj.
Ceftriaxone 2x1gr, As. Folat 3x1 tab p.o, inf. Albumin 100cc 20%
dalam 4 jam. Di ruangan pasien diberi tambahan terapi kidmin iv
1x250ml, amlodipine 1x10mg, inj. levofloxacin 1x750mg/48 jam,
nebul Ventolin 3x1/8 jam, inf. PZ 1000ml/24 jam, dan O2 10 lpm. Hb
pasien 8,9. Selama MRS pasien dilakukan hemodialysis 3x seminggu.

Pasien mengalami penurunan kesadaran (GCS 321). Rencana


dilakukan hemodialysis. TTV pasien nadi 90x, TD 160/80. Pasien
19/10/2017 mengalami udema pada sore harinya. Terapi amlodipine dihentikan.
Terapi hari ke-2 MRS ditambah terapi inj. Furamin 2x1 amp dan inj.
Mecobalamin 1x1 amp. Balance cairan pasien + 350ml
Pasien mengalami penurunan kesadaran (GCS 425). Buka mata
spontan, tubuh sebelah kiri tidak dapat digerakkan. Pasien mengeluh
20/10/2017 sesak. TTV pasien : suhu 36,90C ; nadi 90-100x; RR 20x; TD
150/80mmHg. Penggunaan amlodipine dilanjutkan kembali dan
kidmin dihentikan.
Kesadaran membaik, GCS 456. Rencana dilakukan hemodialysis.
TTV pasien : suhu 36,80 C ; nadi 84-115x, TD 160/100-170/88. Pasien
21/10/2017
mengalami udema. Keluhan sesak yang dialami pasien berkurang
Terapi amlodipine dilanjutkan. Terapi inj. Furamin 2x1 amp dan inj.
Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Mecobalamin 1x1 amp dihentikan.

Pasien mengalami penurunan kesadaran, Kesadaran fluktuatif GCS


425-325. TTV pasien : suhu 36,7-37,40 C; nadi 84-106; RR 30-35; TD
100/100-230/100mmHg. Hb pasien 5,9. Terapi inj. Furamin dan
22/10/2017
mecobalamin dilanjutkan. Pasien diberikan nicardipine 18tpm
microdrip untuk mengatasi HT krisis yang dialami. Pasien juga
diberikan PRC 1 kolf/hari hingga Hb pasien > 10
Pasien mengalami penurunan kesadaran, GCS 325. TTV pasien : suhu
36,9-37,70 C; nadi 70-88x; RR 24-27; TD 200/80-230/100mmHg.
23/10/2017
Pasien masih mengalami krisis hipertensi, terapi nicardipine
dilanjutkan, PRC dilanjutkan, dan ditambah terapi kidmin iv 1x250ml.
Pasien mengalami penurunan kesadaran, Kesadaran fluktuatif GCS
325-456. Pasien melakukan hemodialysis cito. Selama hemodialysis
24/10/2017 dilakukan transfusi PRC (transfusi intra HD). TTV pasien : Suhu
36,4-37,50 C; nadi 88x; RR 18-27x; TD 200/80-230/100mmHg.
Terapi furamin, mecobalamin, dan amlodipine dihentikan.
Pasien mengalami penurunan kesadaran, GCS 425. TTV pasien : suhu
25/10/2017 360 C; nadi 90-102x; RR 16-20X; TD 150/90-200/90 mmHg. Terapi
nicardipine dilanjutkan dan terapi amlodipine diberikan kembali.
Pasien mengalami penurunan kesadaran, Kesadaran fluktuatif GCS
425-456. Pasien melakukan hemodialysis. TTV pasien : suhu 370C;
26/10/2017
nadi 82-102x; RR 20x; TD 150/80-160/80mmHg. Terapi yang
diberikan sesuai dengan hari sebelumnya
Pasien mengalami penurunan kesadaran, GCS 425. TTV pasien : suhu
27/10/2017 370C; nadi 102; RR 20x; TD 160/80. Terapi dilanjutkan sesuai dengan
hari sebelumnya.
Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

A. PROFIL TERAPI PASIEN

Diagnosis : Acute Confusional State e.c Tgl. MRS / KRS : 18 Oktober 2017.
No. RM : 12.62.xx.xx Ruang asal : IGD Ensefalopati sepsis dd CVA infark + Keterangan KRS : Sembuh / Pulang
HAP+Sepsis+ESRD Reguler (Rabu & Paksa / Meninggal
Nama / umur : Tn. M / 67 tahun L/P Sabtu)+Hipoalbumin (2,6)+ Afasia
BB / TB / LPT : 80 kg / 171 cm / - m2 motorik Pindah ruangan/Tgl : IRNA Medik / 18
Oktober 2017 .
Alamat : Jl. X Alasan MRS / : Penurunan Kesadaran.
Nama Dokter :dr. H ,SP.PD
Riwayat Alergi :- . Riwayat : HT (4-5 th yang lalu), ESRD ( 2th
penyakit yang lalu) Nama Apoteker : B D.C, S.Farm .
No Nama Obat dan Dosis Regimen Tanggal Pemberian Obat

18/10 8/10 19/10 20/10 21/10 22/10 23/10 24/10 25/10 26/10 27/10

(IGD (Ruangan) (HD) (HD) (HD) (HD)

1. Inj.Ranitidine 2x50mg √

2. As. Folat 3x1 tab p.o √

3. Inf. Albumin 100cc 20% dalam 4 jam √

4. Infus pz 1000ml/24 jam √ √ √ √ √ √ √

5. O2 10 lpm √ √ √ √ √

6. Inj. Ceftriaxon 2x1 gr √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

7. Inj. Levofloxacin 1x750gr / 48 Jam √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

8. Drip Paracetamol (jika suhu > 38,5)

9. Nebul Ventolin 3x1 / 8 jam √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

10. Amlodipine 10mg 1x1 p.o √ √ √ √ √ √ √ √

11. Kidmin 1x1 i.v 250cc √ √ √ √ √ √ √


Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

12. Inj. Furamin 2x1 amp. i.v √ √ √ √

13. Inj. Mecobalamin 1x1 amp. i.v √ √ √ √

14. Tranfusi PRC 1 kolf/hari s/d Hb >8 √ √ √

15. Nicardipin dlm pz 100ml (0,5mcg/kg/min) √ √ √ √ √ √

CATATAN :

-Riwayat pengobatan : Amlodipine 10mg 1x1 pagi p.o

-Hasil RO : Ventriculo megali tanpa tanda hidrocepalus, brain atrofi

CT Scan : Infiltrat pada pericardial kanan

-Hasil Kultur :-
Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

B. DATA KLINIK PASIEN


DATA Nilai Normal Tanggal
KLINIK
18/10 19/10 20/10 21/10 22/10 23/10 24/10 25/10 26/10 27/10

Suhu 36,5-37,2 38,7 - 36,9 36,8- 36,7- 36,9- 36,4- 36 36,7-37 37

37,5 37,4 37,7 37,5

Nadi 60-100x 110 90 90-100 84- 84- 70-88 88 90-102 82-102 102

115 106

RR 12-20 32 - 20 - 30-35 24-27 18-27 16-20 20 20

Tekanan 140/90mmHg 160/80 160/80 150/80 160/100- 160/100- 200/80- 200/80- 150/90- 150/80- 160/80
Darah (JNC 8) 170/88 230/100 230/100 230/100 200/90 160/80

KU / 456 121 321 425 456 425-325 325 325-456 425 456- 425
GCS 425

sesak - + +

edema - + +
Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Komentar :
• Pada awal MRS di IGD, pasien menunjukkan tanda klinis SIRS, yakni dari suhu tubuh 38,7ºC, nadi 110x/menit, serta RR 32x/menit.
Adanya tanda SIRS tersebut mengindikasikan terjadinya sepsis.
• Pasien mengalami penurunan kesadaran dengan skor GCS 1-2-1. Adanya penuruna kesadaran dapat diakibatkan karena urea yang tidak
dapat dikeluarkan dengan baik pada pasien dengan ESRD. Akibatnya urea akan kembali menuju sirkulasi dan menyebabkan adanya urea
dalam darah (azotemia). Azotemia dapat menyebabkan ensefalopati dengan tanda tremor pada tangan dan bisa menuju pada koma. GCS
1-2-1 bisa terjadi juga karena sepsis yang menyebabkan enchephalopaty.
• Tekanan Darah meningkat pada pasien dikarenakan fungsi ginjal yang sudah jauh menurun sehingga produsksi renin menurun dan
system RAAS menjadi terganggu.
• Pasien mengeluh sesak dikarenakan pneumonia menyebabkan aveolus tetutup oleh cairan sehingga pertukaran gas menjadi terganggu.
• Edema yang dikeluhkan oleh pasien dikarekan pada pasien gagal ginjal terminal, terjadi gangguan regulasi cairan. cairan input dan output
yang tidak seimbang dapat menyebabkan udema. Balance cairan selalu (+) yang menandakan bahwa cairan yang masuk lebih banyak
daripada cairan yang dikeluarkan oleh pasien
Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

C. DATA LABORATORIUM PASIEN


DATA Nilai Tanggal
LABORATORIUM Normal
18/10 19/10 22/10 25/10 27/10 DATA Nilai 18/10 25/10
(yang penting) LAB Normal

DL : Hb 13.0– 8,3 5,9 7,1 LFT : 15-40 U/L 29 19


16.0 SGOT
g/dL
Leukosit (4.5- 4.950 4.660 SGPT 10-45 U/L 19 9
13.5)
x103μL
Trombosit (150- 44.000 62.000 Bili total 0,0-1,4 0,29
450) x mg/dL
3
10 μL
SE : K (3.5–5.5 ) 4,9 4,5 4,3 Bili Dir 0,0-0,3 0,09
mmoL mg/dL

Na (136– 132 134 125 Albumin 3,7-5,5 2,6 2,9


145) g/dL
mmoL
Cl 95-105 100 95 80 GDA <200 109 78
mmol/L mg/dL
Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

RFT : BUN 5–20 71 60 47


mg/dL
SCr 0.12– 11,96 6,43 4,9
1.06
mg/dL
CCr 90-159 6,78 12,61 16,55
ml/min
Perhitungan CCr (Cockcroft-Gault) :
BGA : pH 7,35- 7,505 7,23 7,43 7,45 7,47
7,45
Tanggal 18 : = 6,78 ml/min
PCO2 35-45 24 44 35 37 37
Tanggal 22 : = 12,61 ml/min
PO2 80-100 103 184 118 93 99
Tanggal 25 : = 16,55 ml/min
HCO3 22-26 19,5 18,4 23 25,7 26,9

BE -2 s.d+2 -8,0 -9,2 -1,1 1,7 3,2

SO2 93-99 100 99 99 98 98

HCT 42-54 18,4


%

Komentar :
• Penurunan fungsi ginjal, kapasitas pembentukan bikarbonat menurun, sedangkan produksi asam endogen pada CKD relatif tidak
berubah, hal ini memicu terjadinya asidosis metabolik (Dhondup dan Qian, 2017).
Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

• Hb : Kondisi Hb pasien selalu rendah (anemia). Hal ini disebabkan karena pada pasien CKD, sintesis Eritropoietin (EPO) akan
terganggu sehingga produksi sel darah merah dari sumsum tulang juga akan menurun, dan terjadi anemia. Apabila tubuh kekurangan
Hb, maka supply oksigen tubuh juga akan berkurang dibandingkan kebutuhannya. Penyebab lain anemia pada CKD antara lain
rendahnya intake nutrien zat besi dari makanan (Eckardt, et al, 2011).
• Nilai klirens kreatinin pasien sangat rendah karena pasien sudah mengalami CKD stage V. Nilai BUN yang tinggi menunjukkan
terjadinya uremia. Hal ini dapat diatasi dengan HD rutin. Efektifitas HD dapat dinilai dari penurunan BUN (Daugirdas dan Tattersall,
2010).
• Pada ESRD dengan pasien yang melakukan HD, albumin (protein) selalu rendah (hipoalbumin) Hal tersebut dikarenakan selama
proses dialysis, albumin terbuang dan tidak dapat diserap kembali.
Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

ANALISIS TERAPI

Tanggal Pemantauan
Nama Obat Regimen Indikasi Komentar dan alasan
Pemberian Obat kefarmasian

18-24/10/2017 Infus NaCl 14 tpm Perbaikan Kadar serum Pemberian NaCl yaitu sebagai stabilisasi hemodinamik pada
0,9% Hemodinamik elektrolit, pasien. Kondisi pasien dengan GCS 1-2-1 tidak
nadi, memungkinkan pasien untuk mendapat intake cairan secara
RR peroral, sehingga dibutuhkan terapi infus NaCl unutk
menjaga hemodinamin pasien.
NaCl 0,9% mengandung 154 mEq Na dan 154 mEq Cl yang
diberikan kepada pasien dari tanggal 18/10 sampai tanggal
24/10 sebagai penambah serum Na. Data lab serum Na
tanggal 18/10 adalah 132 mEq yang berada dibawah nilai
normal yaitu 136 mEq dan tanggal 22/10 dan 25/10 hasil
serum Na tidak mengalamin peningkatan, yaitu 134 dan 125
meq, karena penambahan Na pada pemberian Nacl 0,9% pada
pasien hanya sebesar 0,45 meq(Otsuka, 2016)
18-22/10/2017 O2 nasal 10 lpm Mengatasi sesak Keluhan Pasien MRS dengan keluhan sesak, sehingga pasien
sesak, mendapatkan O2 nasal untuk menenuhi kebutuhan oksigen
RR pasien. Oksigen yang diberikan sebesar 10 lpm dimana hal
ini disesuaikan dengan keluhan sesak yang dialami pasien.
Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

18/10/17 Asam folat 3x1tablet PO Suplemen - Asam folat diberikan kepada pasien sebagai suplemen untuk
menurunkan resiko terjadinya penyakit kardiovaskular,
berdasarkan literatur pemberian asam folat dapat
menurunkan resiko penyakit kardiovaskular pada pasien
CKD stage V dengan ClCr <30ml/menit. Asam folat dapat
menurunkan homocystein, hiperhomosistein berperan dalam
terjadinya penyakit kardiovaskular pada pasien CKD stages
V (Qin et al., 2011).
18/10/17 Ranitidine 50 mg/12 jam Menurunkan Mual, muntah, Ranitidin digunakan sebagai gastroprotection untuk
mencegah terjadinya stress ulcer. (Hossain et al., 2010)
sekresi HCl nyeri perut
18/10/17 Albumin 100ml 20% Mengatasi Kadar Pemberian Albumin untuk mengatasi kondisi hipoalbumin
dalam 4 jam hipoalbumine Albumin pada pasien, karena sesuai data lab pada tanggal 18/10 nilai
mia cerum albumin dibawah kadar normal (2,6). Maka diberikan
albumin untuk mengatasinya. Pemberian Albumin pada
pasien dengan gagal ginjal terminal kurang rasional, karena
pada pasien gagal ginjal dengan HD regular akan selalu
terjadi hipoalbumin akibat proses hemodialysis yang
menyebabkan protein tidak dapat tereabsorbsi kembali dan
terbuang selama proses dialysis.
Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

18-27/10/2017 Ceftriaxon 1 g/12 jam Antibiotik Tanda-tanda Pemberian Ceftriaxon 1g/ 12 jam pada pasien digunakan
empiris HAP SIRS (demam, sebagai antibiotik empiris untuk HAP. Antibiotik empiris
nadi, RR, untuk pasien HAP yang disebabkan bakteri-bakteri tersebut,
leukosit), sesuai dengan PPAB RSUD Dr. Soetomo, yaitu adalah
kultur Ceftriaxone (cephalosporin gen 3) dengan dosis 1000 mg/12
jam IV selama 5-10 hari. Atau, floroquinolone Levofloxacin
750 mg/Moxifloxacin 400 mg IV selama 5-10 hari.
Dipilihnya Ceftriakson sebagai AB empiris untuk pasien ini
karena, pemilihan golongan cephalosporin dibandingkan
floroquinolone lebih dipilih untuk mengurangi resiko
terjadinya multiresistant nosocomial gram-negative bacilli
(Zervos et al., 2004). Selain itu, pasien juga menderita CKD
stage V, maka untuk penggunaan Levofloxacin, jika dilihat
dari sifat farmakokinetiknya yang 87% di ekskresi kan lewat
ginjal, sedangkan kondisi ginjal pasien tidak lagi normal,
dilihat dari nilai GFR (ClCr) pasien yang mencapai 10,
sehingga harus dilakukan penyesuaian dosis. Maka,
pemilihan ceftriaxon pada pasien sudah tepat untuk antibiotik
empiris HAP. Mekanisme kerja dari Ceftriaxon adalah
dengan menghambat sintesis dinding sel pada bakteri.
Sefalosporin lebih aktif terhadap bakteri gram negatif
Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

dibanding gram positif.

18-27/10/2017 Levofloxacin 750mg/48 jam HAP + sepsis Tanda-tanda Levofloxacin diberikan untuk mengatasi infeksi yang dialami
SIRS (demam, oleh pasien karena pasien diketahui mengalami HAP dan
nadi, RR, sepsis. Pada awal MRS, pasien mengalami beberapa tanda
leukosit), SIRS serta dari hasil konsultasi ke bagian Paru (18/10) :
kultur pasien terdapat ronkhi pada 2/3 patu kanan dan berdasarkan
hasil CT scan terdapat infiltrate pada pericardial kanan.Dosis
menurut literatur untuk levofloxacin adalah 2x500 mg
(BNF,2011). Namun Regimen terapi dosis tinggi (750 mg),
short-course (5 hari) dapat dipertimbangkan sebagai
pengobatan yang lebih baik, terutama di HAP, karena
konsentrasi obat yang lebih tinggi, peningkatan kepatuhan
dan potensi untuk mengurangi perkembangan resistensi
(Torres and Liapikou, 2012). Pasien dengan GFR kurang dari
10 mL/min/1,73m3 disarankan untuk menggunakan
levofloksasin dengan dosis 500 mg initial dose, kemudian
250 sampai 500 mg tiap 48 jam (AAFP, 2007).
Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

18-27/10/2017 Nebul ventolin 3x1 Bronkodilator Sesak nafas Pasien mengalami sesak nafas sebagai manifestasi dari
Pneumonia yang diderita pasien, serta dari manifestasi efusi
pleura, karena adanya cairan di rongga paru, maka jalur nafas
akan terganggu dan pasien akan merasakan sesak. Maka perlu
diberikan nebul
18-27/10/2017 Amlodipin 10mg-0-0 PO Mengatasi Tekanan darah Pasien mendapatkan amlodipin sebagai obat antihipertensi
hipertensi dimana pasien memiliki riwayat hipertensi dan penggunaan
amlodipin. Amlodipin merupakan antihipertensi golongan
calcium channel blocker yang bekerja dengan menghambat
pemasukan ion kalsium ke dalam kanal dan menyebabkan
relaksasi otot polos vaskular. Amlodipin termasuk tidak
membutuhkan penyesuaian dosis pada pasien dengan
gangguan ginjal (Golightly et al., 2013). Dosis amlodipin
yang diberikan kepada pasien yaitu 10mg peroral dimana
berdasarkan literatur, dosis amlodipin sebagai antihipertensi
yaitu 5mg dalam sehari, maksimum 10mg dalam sehari
(Lacy et al., 2009). Dengan demikian dosis yang diberikan
telah sesuai. Selama rawat inap tekanan darah pasien
terkontrol dan mencapai target, dimana berdasarkan JNC 8,
target tekanan darah pada pasien dengan penyakit CKD
yaitu < 140/90 mmHg (James et al., 2014). Disisi lain,
Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

pemilihan CCB monoterapi sebagai terapi antihipertensi


pasien ini tidak sesuai dengan guideline yang ada dimana
berdasarkan JNC 8, pasien CKD (dengan atau tanpa DM)
diterapi dengan antihipertensi golongan ACEI atau ARB
sebagai monoterapi atau dikombinasi dengan golongan lain
seperti CCB (James et al., 2014).
18-27/10/2017 Kidmin 1x250ml Mengatasi Albumin
Pasien selama MRS dilakukan HD 3x seminggu. Selama
malnutrisi serum
proses HD, Asam amino ikut keluar sehingga dapat
(penurunan asam
menyebabkan pasien mengalamin malnutrisi (Navarro et.
amino)
al., 2000). Dosis kidmin yang direkomendasikan untuk
pasien dengan CKD adalah 200ml/24 jam. Dosis dapat
ditingkatkan sesuai dengan kondisi pasien, berat badan dan
usia. Jika diberikan selama hemodialis, harus diinfuskan
lewat sisi vena lubang injeksi dialisis, 90 – 60 menit
sebelum terapi hemodialysis berakhir. (Otsuka .co.id)

19,20,23,24/10/2017 Furamin 2x1 ampul Delirium/acute GCS Pasien menjalani hemodialisis pada tanggal 19, 21, 24 dan
confusional state 26 Oktober. Pasien menerima terapi Mecobalamine 1 x 1
ampul secara IV pada tanggal 19, 20, 22 dan 23 Oktober.
Pasien dengan ESRD cenderung mengalami
Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Hyperhomocysteinemia, yaitu peningkatan kadar


homosistein pada tubuh yang mengindikasikan terjadinya
defisiensi vitamin B6, B12 dan asam folat (Saifan et al,
2013). Peningkatan homosistein pada tubuh dapat
menyebabkan meningkatnya resiko seseorang lebih rentan
terhadap cedera endotel, yang menyebabkan peradangan
pembuluh darah, yang pada nantinya dapat menyebabkan
aterosklerosis, yang dapat menyebabkan cedera iskemi
(Manns et al, 2001). Terjadinya kekurangan asam folat,
vitamin B6 dan B12 merupakan faktor resiko menyebabkan
terjadinya delirium (Fong et al, 2009). Injeksi Vit.B12
(Mecobalamine) dapat diberikan dengan dosis 2-3
mg/minggu secara IV (Amini M., et al., 2015).

Injeksi Furamin diberikan post-dialisis dengan dosis 50-100


mg/hari secara IV yang diinjeksikan perlahan lebih dari 5
menit.

19,20,23,24/10/2017 Mecobalamin 1x1 ampul Terapi - Pasien menjalani hemodialisis pada tanggal 19, 21, 24 dan
hiperhomocystein 26 Oktober. Pasien menerima terapi Mecobalamine 1 x 1
ampul secara IV pada tanggal 19, 20, 22 dan 23 Oktober.
Pasien dengan ESRD cenderung mengalami
Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Hyperhomocysteinemia, yaitu peningkatan kadar


homosistein pada tubuh yang mengindikasikan terjadinya
defisiensi vitamin B6, B12 dan asam folat (Saifan et al,
2013). Peningkatan homosistein pada tubuh dapat
menyebabkan meningkatnya resiko seseorang lebih rentan
terhadap cedera endotel, yang menyebabkan peradangan
pembuluh darah, yang pada nantinya dapat menyebabkan
aterosklerosis, yang dapat menyebabkan cedera iskemi
(Manns et al, 2001). Terjadinya kekurangan asam folat,
vitamin B6 dan B12 merupakan faktor resiko menyebabkan
terjadinya delirium (Fong et al, 2009). Injeksi Vit.B12
(Mecobalamine) dapat diberikan dengan dosis 2-3
mg/minggu secara IV (Amini M., et al., 2015). Terapi dapat
dilanjutkan dan dapat menyarankan penggunaan vitamin b
complex untuk memenuhi kebutuhan vitamin B6, B12 dan
asam folat untuk mencegah terjadinya
Hyperhomocysteinemia dan memperbaiki kondisi delirium
pada pasien. Penggunaan kombinasi asam folat, vitamin b6
dan B12 dapat menurunkan resiko terjadinya
Hyperhomocysteinemia pada pasien dibandingkan dengan
penggunaan Vitamin B12 secara tunggal (M. Amini et al,
Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

2015).

22-27/10/2017 Nicardipin 18tpm Hipertensi Tekanan darah Penggunaan nicardipine ditujukan untuk pengatasan HT
microdrip krisis yang sempat dialami oleh pasien. Pemberian
nicardipine pada pasien gagal ginjal adalah dengan
menurunkan mean arterial pressure sebesar 25% pada 1 jam
pertama dan dilanjutkan sampai TD pasien <160/100 selama
6 jam dan dilanjutkan selama 24 jam hingga TD yang
diinginkan tercapai (<140/80) (Koda Kimble, 2009 : 525)

22-24/10/2017 Transfusi PRC 1 kolf/hari Anemia KU, TD, Pemberian PRC pada pasien yaitu untuk mengatasi anemia
sampai Hb >8 Nadi, Hb pasien. Kondisi anemia pasien dapat terjadi disebabkan CKD
yang diderita pasien. Anemia terjadi pada 80-90% pasien
penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit ginjal kronik
terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoietin.
Eritropoietin merupakan regulator utama produksi eritrosit
atau sel darah merah pada tubuh. Eritropoietin itu sendiri
diproduksi oleh ginjal. Dan ketika terjadi kerusakan pada
ginjal, sel-sel peritubular yang menghasilkan eritropoietin
rusak sebagian atau seluruhnya seiring dengan progresivitas
Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

penyakit ginjalnya. Maka, produksi sel darah merah juga


akan terhambat dan kadar Hb dalam darah akan menurun dari
batas normal (Babitt et al., 2012). Menurut tatalaksana
anemia pada CKD dapat diatasi dengan transfusi PRC,
pemberian EPO, atau pemberian terapi preparat besi
(KDIGO, 2012). Pada pasien ini diberikan transfusi PRC.
PRC mengandung eritrosit dan sedikit plasma. PRC
diberikan kepada pasien untuk mengatasi Hb yang rendah
pada pasien yaitu 5,9 (22/10). Kecepatan transfusi yaitu 1
cc/kg BB/jam (Pedoman Transfusi Darah dr.Soetomo).
Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

ASUHAN KEFARMASIAN

Hari /
No DRP Uraian Masalah Rekomendasi / Saran
Tanggal
Pasien mendapatkan levofloxacin 750mg/48jam. Dosis menurut Menurunkan dosis levofloxacin
literatur untuk levofloxacin adalah 2x500 mg (BNF,2011). menjadi 500mg untuk initial dose
Namun Regimen terapi dosis tinggi (750 mg), short-course (5 kemudian 250-500mg/48 jam .
hari) dapat dipertimbangkan sebagai pengobatan yang lebih baik,
18- Kelebihan dosis terutama di HAP, karena konsentrasi obat yang lebih tinggi,
1
27/10/2017 (3.a) peningkatan kepatuhan dan potensi untuk mengurangi
perkembangan resistensi (Torres and Liapikou, 2012). Pasien
dengan GFR kurang dari 10 mL/min/1,73m3 disarankan untuk
menggunakan levofloksasin dengan dosis 500 mg initial dose,
kemudian 250 sampai 500 mg tiap 48 jam (AAFP, 2007).
Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Pemberian Ceftriaxon 1g/ 12 jam pada pasien digunakan sebagai Melakukan konfirmasi kepada
antibiotik empiris untuk HAP. Antibiotik empiris untuk pasien dokter terkasit alasan diberikannya
HAP yang disebabkan bakteri-bakteri tersebut, sesuai dengan terapi kombinasi antibiotic
18- Pemilihan obat PPAB RSUD Dr. Soetomo, yaitu adalah Ceftriaxone ceftriaxone dan levofloxacin.
2
27/10/2017 (2) (cephalosporin gen 3) dengan dosis 1000 mg/12 jam IV selama 5-
10 hari. Atau, floroquinolone Levofloxacin 750 mg/Moxifloxacin
400 mg IV selama 5-10 hari. Namun pasien mendapatkan
kombinasi antibiotic Ceftriaxon dan Levofloxacin.
18- Penulisan di Pada RM 8 dan KCO ditulis bahwa pemberian terapi Mengonfirmasikan kepada perawat
27/10/2017 RPO tidak sesuai levofloxacin adalah 750mg/ 48 jam, namun pada RPO yang terkait penulisan terapi
3. dengan KCO ditulis oleh perawat obat diberikan tiap 24 jam levofloxacin di RPO
dan RM 8
(13)
Pasien diberikan kombinasi CCB yaitu amlodipine dan Mnginfokan kepada perawat untuk
nicardipine secara i.v mikrodrip untuk mengatasi HT krisis yang melakukan monitoring TD pasien
dialami oleh pasien. Kombinasi obet HT dengan golongan yg secara berkala untuk mengetahui
23- Duplikasi terapi
4. sama akan meningkatkan resiko terjadinya hipotensi. Secara efek dari pemberian kombinasi
27/10/2017 (12)
farmakodinamik interaksi antara CCB menghasilkan vasodilatasi CCB
yang lebih besar dibandingkan jika diberikan hanya satu CCB
(Sica, 2001).
Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

MONITORING

No Parameter Tujuan Monitoring

1 Suhu tubuh, nadi, RR, Mengetahui efektifitas levofloxacin dan ceftriaxone dalam mengatasi infeksi yang dialami oleh pasien.

WBC, Procalcitonin
2 Tekanan darah Mengetahui efektifitas amlodipine dan nicardipine dalam mengatasi hipertensi yang dialami pasien.
3 Keluhan sesak Mengetahui efektifitas pemberian O2 dan nebul ventolin dalam mengatasi HAP pasien

4 Hb Mengetahui efek pemberian PRC untuk meningkatkan Hb pasien yang rendah (anemia)

KONSELING

No Uraian Rekomendasi/Saran Evaluasi

1 (Kepada Indikasi: untuk menurunkan tekanan darah Keluarga


keluarga Dosis dan aturan minum: 1 tab 10 mg, dapat diminum sebelum/sesudah makan pasien
pasien) efek samping: pusing, sakit kepala, mengantuk memahami
Amlodipine
1x10mg
Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

2 (Kepada Ventolin digunakan dengan menggunakan nebulizer jika pasien mengalami sesak saja. Penggunaan 1- Perawat
perawat) 6 kali sehari (ASHP, 2015). memahami
Nebul Cara penggunaan Ventolin nebul adalah :
Ventolin No Langkah/Kegiatan
Medical Consent
1 Menyapa penderita
2 Berikan informasi umum kepada penderita atau keluarganya tentang indikasi/tujuan
dan cara pemakaian alat.
Persiapan alat
4 Mempersiapkan alat sesuai yang dibutuhkan :
- Main unit
- Air hose (selang)
- Nebulizer kit (masker, mouthpiece, cup)
- Obat-obatan

Main unit Nebulizer cup Air hose (selang)


Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Masker Mouthpiece Obat bronkodilator

5 Memperhatikan jenis alat nebulizer yang akan digunakan (sumber tegangan, tombol
OFF/ON), memastikan masker ataupun mouthpiece terhubung dengan baik, persiapan
obat)
Persiapan Penderita
6 Meminta penderita untuk kumur terlebih dahulu.
7 Mempersilakan penderita untuk duduk, setengah duduk atau berbaring (menggunakan
bantal), posisi senyaman mungkin.
8 Meminta penderita untuk santai dan menjelaskan cara penggunaan masker (yaitu
menempatkan masker secara tepat sesuai bentuk dan mengenakan tali pengikat). Bila
menggunakan mouthpiece maka mouthpiece tersebut dimasukkan ke dalam mulut dan
mulut tetap tertutup
9 Menjelaskan kepada penderita agar penderita menghirup uap yang keluar secara
perlahan-lahan dan dalam hingga obat habis
10 Melatih penderita dalam penggunaan masker atau mouthpiece.
11 Memastikan penderita mengerti dan berikan kesempatan untuk bertanya.
Pelaksanaan Terapi Inhalasi
12 Menghubungkan nebulizer dengan sumber tegangan
Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

13 Menghubungkan air hose, nebulizer dan masker/mouthpiece pada main kit

14 Buka tutup cup, masukkan cairan obat ke dalam alat penguap sesuai dosis yang telah
ditentukan.

15 Gunakan mouthpiece atau masker sesuai kondisi pasien


16 Mengaktifkan nebulizer dengan menekan tombol ON pada main kit. Perhatikan jenis
alat, pada nebulizer tertentu, pengeluaran uap harus menekan tombol pengeluaran
obat pada nebulizer kit.
17 Mengingatkan penderita, jika memakai masker atau mouthpiece, uap yang keluar
dihirup perlahan-lahan dan dalam secara berulang hingga obat habis (kurang lebih 10-
15 menit)
Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Menggunakan mouthpiece Menggunakan masker

18 Tekan tombol OFF pada main kit, melepas masker/mouthpiece, nebulizer kit, dan air
hose
19 Menjelaskan kepada penderita bahwa pemakaian nebulizer telah selesai dan
mengevaluasi penderita apakah pengobatan yang dilakukan memberikan
perbaikan/mengurangi keluhan
20 Membersihkan mouthpiece dan nebulizer kit serta obat-obatan yang telah dipakai

(Sumber : TERAPI INHALASI NEBULISASI, oleh Dr. dr. Irawaty Djaharuddin, SpP(K) dkk, 2015)
Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

DAFTAR PUSTAKA

American Thoracic Society. Hospital-acquired pneumonia in adults : Diagnosis, assessment


of severity, initial antimicrobial therapy and preventive strategies. Am J Respir Crit
Care Med 1995; 153 : 1711-25
American Thoracic Society. Official Consensus Statement (1995): Hospital Acquired
Pneumonia in adults : Diagnosis, assesment of severity, initial antimicrobial therapy
and preventive strategies. Am J Respir Crit Care Med. 153 : 1711-25.
American Thoracic Society . Guideline for the Managerment of Adults with Hospital
aquired, Ventilator-associated, and Healthcare-associated Pneumonia. Am J Respir
Crit Care Med 2005; 171: 388-416
Anonymous, (2014), National Aphasia Association, Speech Therapy. Diakses pada 24
November 2017, available from http://www.aphasia.org/content/aphasia-therapy-
guide.
Batticaca, F.B. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Chaudhry N. and Duggal A.K., 2014. Sepsis Associated Encephalopathy. Hindawi
Publishing Corporation : Advances in Medicine.
Davis, G. A. (2007). Aphasiology: Disorders and clinical practice (2nd ed.). Needham
Heights, MA: Allyn & Bacon.
Dickey, L., Kagan, A., Lindsay, M. P., Fang, J., Rowland, A., & Black, S. (2010). Incidence
and profile of inpatient stroke-induced aphasia in Ontario, Canada. Archives of
Physical Medicine and Rehabilitation, 91,196–202.
Dipiro, et al. 2009. Pharmacotherapy Handbook 7th Edition. New York: The McGraw-Hill
Companies, Inc.
Dipiro, J., T., et al, 2008, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 7th edition,
New York: Mc Graw-Hill Medical Publishing Division.
Dipiro, 2012, Pharmacotherapy Handbook 9th, McGraw-Hill.
Dixon BF and Vecihi B. Assessment and Mangement of Renal Transplantation Patient.
Medscape, update Jul 21,2015.
Edelstein CL. Biomarkers of acute kidney injury. Adv Chronic Kidney Dis 2008;15:222-34.
Fleming GM. Renal Replacement Therapy Review: Past, present and future. Organogenesis
2011; 71: 2-12.
Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Hudak, C.M. Gallo, B.M. 1996. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistic Edisi VI Volume
II. Jakarta: EGC.
Indonesian Renal Registry (IRR), 2015, 8th Report of Indonesian Renal Registry 2015,
Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI).
Jha V. Periotoneal dialysis in India: current status and challenges. PeritDial Int 2008;28:36-
41.
KDIGO, 2012, KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and
Management Chronic Kidney Disease, Kidney International Supplements.
Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. 2000. Kapita Selekta Kedokteran
FKUI Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persyarafan.
Jakarta: Salemba Medika.
National Institute on Deafness and Other Communication Disorders. 2008.Fact Sheet:
Aphasia.
Pearl L.P, Emsellem A. Helene, (2014), The Central Nervous System : Brain and Cord
dalam Neurologic a primer on localization, page 3-27.
Pau TRT, Michelle W, Nadey H, David T, and Vassilios P. Renal Transplantation. BMJ
2011;343, pp 1-8
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.2003. Pneumonia Nosokomial Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia
Rambe AS. 2002. Obat Obat Penyakit Serebrovaskular. Medan: FK USU.
(http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/3458 diakses pada 29 November 2017).

Rubenstein D, Waine D & Bradley J. 2005. Kedokteran Klinis Edisi Ke 6. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Ringer, Thomas M., Axer, Hubertus., et al., 2011. Neurogical Sekuele of Sepsis : 1) Septic
Encephalopathy. The Open Critical Care Medicine Journal, 4,2-7.
Suwitra, K, 2006, Penyakit Ginjal Kronis, dalam Sudoyo et al, Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I Edisi 4, Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI.
Yu AWY, Chau KF, Ho YW, Li PKT. Development of the “Peritoneal Dialysis First”
model in HongKong. Perit Dial Int 2007;27:53-5.
Ziaja, Marek. 2013. Septic Encephalopathy. Curr Neurol Neurosci Rep : Springerlink.com.
Laporan Studi Kasus Program PKP Rumah Sakit Program Profesi Apoteker Periode 105
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Jankowska M, Hanna R. Thiamine Diphosphate Status and Dialysis-Related Losses in End-


Stage Kidney Disease Patients Treated with Hemodialysis. 2017:294-300.
doi:10.1159/000480651.
Chazot C, Kopple JD. Vitamin metabolism and requirements in renal disease and renal
failure. In: Kopple JD, Massry SG, eds. Nutritional Management of Renal
Disease. 2nd ed., Philadelphia, USA: Lipincott Williams and Wilkins; 2004:315–356
Schull PD, 2009, McGraw-Hill’s IV Drug Handbook, McGraw-Hill Companies, USA

Amini M, et al. Vitamin B12 supplementation in end stage renal diseases  : a systematic
review. 2015. MJIRI, Vol. 29.167.

Saifan, et al. Treatment of confirmed B12 deficiency in hemodialysis patients improves


Epogen ® requirements. International Journal of Nephrology and Renovascular Disease
2013:6 89–93

Manns, et al. Oral vitamin B 12 and high-dose folic acid in hemodialysis patients with
hyper-homocyst ( e ) inemia. Kidney International, Vol. 59 (2001), pp. 1103–1109

Anda mungkin juga menyukai