Anda di halaman 1dari 22

BAB 3

PEMBAHASAN

3.1 Perlindungan Kepentingan Ekonomi Negara Berkembang Melalui


Ketentuan Special and Differential Treatment
Perdagangan internasional merupakan faktor yang sangat penting bagi
setiap negara. Banyaknya keuntungan potential dalam melakukan perdagangan
lintas batas menjadi pemicu bagi semua negara untuk berlomba merebut pangsa
pasar. Oleh karena itu, diperlukan aturan-aturan yang mampu menjaga serta
memelihara hak-hak para pelaku perdagangan internasional untuk menciptakan
suatu ketertiban dan keadilan dalam perdagangan internasional. Peranan hukum
pun harus terukur sehingga tidak mematikan inisiatif dan daya kreasi manusia
yang menjadi daya dorong utama dalam pembangunan ekonomi.66
Ketentuan-ketentuan hukum perdagangan internasional sebelumnya diatur
berdasarkan prinsip-prinsip hukum ekonomi liberal seperti prinsip kebebasan,
prisip persamaan dan prinsip timbal balik yang pada umumnya menyamaratakan
kekuatan dan kemampuan negara dalam hubungan ekonomi. John Rawl
mengatakan bahwa pranata pasar bebas yang menyamaratakan kekuatan negara
adalah pranata yang tidak adil. Hukum ekonomi internasional harus mampu
memberikan perlindungan terhadap pihak-pihak yang kurang beruntung karena
perbedaan kemampuan, khususnya kepada negara berkembang. Menurut Sunarti
Hartono, hukum ekonomi internasional yang dibangun atas prinsip “perlakuan
sama” akan menyulitkan negara berkembang karena sudah tentu mereka tidak
memilki kemampuan yang sama dengan negara maju. Lebih lanjut Sunarti
Hartono mengemukakan 5 (lima) norma dasar dari hukum ekonomi internasional,
yakni:67
1) Secara hukum diakui bahwa kekayaan dunia adalah milik
bersama umat manusia;

66
Irma H. Hanafi, “Perdagangan Internasional Pasca Putaran Uruguay dan Dampaknya di
Indonesia”, Jurnal Sasi Vol. 17 No. 4 Bulan Oktober-Desember 2011,hlm. 1.
67
Sunarti Hartono, Mencari Prinsip-prinsip Baru, (Jakarta: Bina Cipta, 1982), hlm. 101.

29
30

2) Masing-masing negara sebagai keluarga bangsa-bangsa


mempunyai hak asasi yang melekat menurut hukum terhadap
kekayaan itu sebagai warisan bersama umat manusia;
3) Sebagai mana halnya warga negara membayar pajak kepada
negaranya, sesuai dengan kemampuan ekonominya, dalam
masyarakat dunia, masing-masing negara harus membayar
“pajak” kepada masyarakat internasional berdasarkan gross
national product yang menggambarkan penghasilan negara. Pajak
tersebut kemudia disimpan dalam suatu dana bersama (common
fund) untuk keperluan bersama masyarakat internasional;
4) Dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi warisan bersama
terhadap setiap negara atau pihak yang menyebabkan perunbahan
atau kerusakan lingkungan hidup, terhadap negara yang
terganggu, secara langsung harus memberikan ganti rugi secara
layak berdasarkan prinsip “pertanggungjawaban seketika”;
5) Resiko kontrak antara dua pihak yang tidak seimbang akan
menguntungkan pihak yang lebih kuat, maka hukum ekonomi
internasional wajib melindungi pihak yang lemah.
Suatu usulan yang lebih tegas terhadap prinsip-prinsip hukum ekonomi
internasional, khususnya yang menyangkut aturan perdagangan multilateral,
disampaikan oleh Verwey sebagai berikut:68
1) Pembatasan terhadap prinsip kebebasan;
2) Perubahan parsial atas prinsip persamaan hak di bidang hukum
dengan prinsip perbedaan di bidang hukum;
3) Penghapusan parsial dari prinsip timbal balik.
Ketentuan-ketentuan hukum perdagangan multilateral dewasa ini sudah
banyak menyerap prinsip-prinsip dari pemikiran para pakar tersebut di atas.
Pengakuan terhadap perbedaan kemampuan antara negara maju dan negara
berkembang dalam tatanan hukum perdagangan multilateral telah diwujudkan
dalam suatu ketentuan bernama Special and Differential Treatment.

3.1.1 Kedudukan Negara Berkembang dalam Perdagangan Bebas


Dalam sudut pandang ekonomi, terdapat sejumlah keuntungan potensial
dalam berbagai perjanjian terkait perdagangan bebas. Sebelum Putaran Uruguay
digelar, perdagangan internasional banyak dipenuhi oleh kebijakan-kebijakan

68
Taryana Sunandar, Perkembangan Hukum Perdagangan Internasional dari GATT 1947
Sampai Terbentuknya WTO (World Trade Organization), (Jakarta: Departemen Kehakiman RI,
1996) hlm. 86.
31

yang menghambat perdagangan terutama oleh negara-negara maju. Hambatan


tersebut terjadi tidak hanya karena tidak taatnya negara-negara terhadap komitmen
tarif yang sudah disepakati, tetapi juga karena munculnya sejumlah hambatan-
hambatan non tarif untuk melindungi pasar domestik mereka. Kesepakatan GATT
banyak yang tidak ditaati karena tidak adanya lembaga yang mengawasi atau
mengontrol pelaksanaannya. Keadaan ini menyulitkan negara berkembang karena
produk mereka yang ditujukan untuk eksopr akan sulit menembus pasar negara
maju, karena banyaknya hambatan perdagangan untuk memasuki pasar negara-
negara tersebut. GATT 1994 diharapkan dapat menertibkan hambatan-hambatan
tersebut dan kehadiran WTO diharapkan dapat lebih mengefektifkan hasil-hasil
kesepakatan yang telah dicapai. Dengan demikian, akses pasar internasional akan
tetap terbuka tanpa adanya hambatan-hambatan perdagangan.69
Selain menangani hambatan-hambatan yang dialami negara berkembang,
kepentingan lain bagi negara berkembang adalah perlindungan secara multilateral
dalam hubungan perdagangan internasional. Sebelum Putaran Uruguay dan
berdirinya WTO, sangat sedikit negara berkembang yang pro aktif merundingkan
ketetuan perdagangan multilateral. Kebanyakan, hubungan perdagangan negara
maju dengan negara berkembang dilakukan berdasarkan hubungan yang bersifat
bilateral. Dalam hubungan seperti ini, kedudukan negara berkembang sangat
rentan terhadap tekanan negara maju melalui tindakan-tindakan sepihak, sehingga
posisi negara-negara berkembang secara individual menjadi sangat lemah. Dengan
hadirnya perjanjian perdagangan multilateral, tekanan yang bersifat sepihak dapat
dikurangi, karena setiap permasalahan akan dirundingkan secara multilateral
dengan melibatkan banyak negara berkembang.70 Dalam keadaan perundingan
semacam ini kedudukan negara-negara sedang berkembang relatif lebih kuat
daripada kekuatan negara berkembang secara sendiri-sendiri.
Dominasi negara maju juga terlihat dalam Putaran Uruguay yang pada saat
itu usulan dari negara-negara maju menghendaki agar Putaran Uruguay membahas
69
Dadan Suryadipura Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 236.
70
Jamilus, “Analisis Fungsi dan Manfaat WTO bagi Negara Berkembang (Khususnya
Indonesia)”, Jurnal Hukum, Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM, Kemente rian
Hukum dan HAM RI, Vol. 13 Juli 2017, hlm. 207.
32

masalah liberalisasi perdagangan jasa, perlindungan hak atas kekayaan intelektual


dan masalah penanaman modal yang terkait dengan perdagangan. Sementara itu
negara berkembang justru menghendaki agar pembahasan Putaran Uruguay lebih
difokuskan pada penegakan aturan GATT yang sudah ada mengingat masih
banyak negara maju yang tidak memenuhi komitmen yang sudah mereka setujui.
Negara berkembang memandang bahwa membicarakan masalah baru tersebut
hanya menguntungkan negara maju, karena negara berkembang tidak memiliki
keunggulan dalam bidang perdagangan jasa, hak atas kekayaan intelektual dan
masalah penanaman modal. Oleh karena itu, banyak yang berpandangan bahwa
gagasan negara maju untuk membahas agenda-agenda baru hanya merupakan
strategi untuk menghindari permasalahan utama, yakni tidak dipenuhinya
komitmen dari negara-negara maju itu sendiri.71
Dalam liberalisasi perdagangan, sistem perdagangan bebas tidak hanya
terkait tentang bagaimana cara meningkatkan ekspor produk melainkan juga
tentang meminimalkan masuknya produk impor. Pada gilirannya, jika impor lebih
tinggi dari kemampuan ekspor maka neraca perdagangan akan mengalami defisit.
Hal ini mungkin terjadi mengingat keterbatasan negara berkembang menyangkut
pada kualitas sumber daya manusia, kesenjangan penguasaan ilmu pengetahuan,
teknologi dan informasi justru melemahkan daya saing negara-negara
berkembang. Ditambah lagi dengan ketergantungan industri dalam negeri
terhadap barang impor, baik sebagai bahan baku maupun bahan campuran yang
diperlukan dalam suatu proses produksi. Oleh karena itulah keuntungan yang
lebih besar dari sistem perdagangan bebas akan lebih banyak mengalir ke negara-
negara maju yang memenag sudah siap baik dari sisi modal, SDM, penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta manajemen.72
Masuknya kekuatan ekonomi negara-negara maju ke pasar negara-negara
berkembang di berbagai sektor ekonomi tanpa adanya pembatasan jelas akan
merubah struktur penguasaan asset ekonomi di negara-negara berkembang.
Apabila pihak asing bekerjasama dengan para konglomerat yang ada di dalam
71
Bonnie Setiawan, Menggugat Globalisasi, (Jakarta: INFID dan IGI, 2001), hlm. 25.
72
Ginandjar Kartasasmita, Saya Bukan Tidak Setuju GATT, Harian Merdeka, 28
September 1994.
33

negeri, maka kerjasama ini akan memperkokoh konsentrasi kekuasaan ekonomi


yang sekaligus mempertajam kesenjangan. Hal ini bisa menyebabkan beban
pembayaran yang lebih besar, karena meningkatnya arus keluar devisa melalui
pembayaran kepada pihak asing.73 Oleh karena itu, negara berkembang harus
mempersiapkan industri dalam negerinya dengan seoptimal mungkin, karena jika
industry dalam negeri kurang mendukung, maka keterganutngan terhadap impor
akan semakin tinggi. Keadaan negara berkembang yang seperti ini akan menjadi
lebih sulit jika negara-negara maju terus memaksakan agenda-agenda baru di
bidang perdagangan seperti masalah perdagangan jasa, kebijakan investasi yang
terkait perdagangan, hak atas kekayaan intelektual, dan pengadaan barang/jasa
yang negara-negara berkembang kurang memilki keunggulan dalam sektor-sektor
tersebut. Untuk menghadapi hal ini, negara berkembang harus mampu memainkan
kedudukan mereka terlebih negara berkembang merupakan negara mayoritas.
Masing-masing negara berkembang memiliki permasalahan yang bisa
melemahkan mereka dalam perundingan, seperti masalah kurangnya SDM, dana
dan masalah ketergantungan terhadap negara maju. Jika negara-negara
berkembang bergerak secara sendiri-sendiri maka kelemahan ini akan dengan
mudah digunakan untuk menekan negara berkembang. Hal ini sebenarnya dapat
diatasi apabila negara-negara berkembang bersatu memperjuangkan kepentingan
mereka dalam setiap perundingan penyusunan aturan perdagangan multilateral.
Bersatunya negara-negara berkembang dalam menghadapi pemaksaan
kepentingan negara maju terbukti sangat efektif untuk menghambat keinginan
negara-negara tersebut memasukkan agenda-agenda baru dalam setiap
perundingan. Agenda-agenda baru yang diminta oleh negara maju untuk
dinegosiasikan sejak Konferensi Tingkat Menteri di Singapura tahun 1996
meliputi masalah pengaturan kegiatan investasi, pengadaan barang/jasa dan
standar buruh sampai saat ini tidak memperoleh keputusan sebagai sebuah
perjanjian yang mengikat.74 Hal ini terjadi karena negara-negara berkembang
dengan suara bulat menolak agenda-agenda tersebut diikat dalam sebuah
73
Sritua Arif, Indonesia: Ketergantungan dan Keterbelakangan, (Jakarta: Lembaga Studi
Pembangunan, 1981), hlm. 57.
74
Sjamsul Arifin, Op. Cit., hlm. 122.
34

perjanjian internasional, dengan pertimbangan bahwa agenda-agenda tersebut


tidak mencerminkan kepentingan negara-negara berkembang.

3.1.2 Ketentuan-ketentuan Special and Differential Treatment dalam World


Trade Organization (WTO)
Perjanjian World Trade Organization (WTO) telah mengakomodasi
kepentingan negara-negara berkembang melalui berbagai ketentuan yang disebut
Special and Differential Treatment. Secara umum Special and Differential
Treatment merujuk pada hak-hak khusus dan keistimewaan yang hanya
diberikan oleh WTO kepada negara berkembang. Ketentuan-ketentuan Special
and Differential Treatment dimaksudkan untuk memfasilitasi proses integrasi
negara maju ke dalam sistem perdagangan multilateral, dan untuk membantu
negara berkembang mengatasi kesulitan-kesulitan dalam mengimplementasikan
seluruh perjanjian WTO.75 Dengan demikian kepentingan-kepentingan
pembangunan negara berkembang tidak terlambat dan, pada gilirannya negara
berkembang dapat mengimplementasikan seluruh perjanjian WTO secara penuh.
Terdapat 145 ketentuan Special and Differential Treatment, tersebar dalam
berbagai perjanjian WTO, baik yang bersifat substantif maupun prosedural,
dimana 107 diantaranya diadopsi pada Putaran Uruguay, dan 22 lainnya secara
khusus diperuntukkan bagi negara terbelakang (least-developed country
members).76 Mengingat banyaknya ketentuan Special and Differential Treatment
yang ada, sangat beralasan jika negara berkembang mempunyai harapan besar
bahwa dengan ketentuan Special and Differential Treatment tersebut akan
membantu mereka bertahan terhadap tekanan yang diberikan oleh negara-negara
maju. Secara keseluruhan, ketentuan Special and Differential Treatment yang
bersifat substantif dikelompokkan menjadi enam kategori, yakni:77
1) Peningkatan Kesempatan Dagang

75
Nandang Sutrisno, “Efektifitas Ketentuan-ketentuan World Trade Organization tentang
Perlakuan Khusus dan Berbeda Bagi Negara Berkembang: Implementasi dalam Praktek dan dalam
Penyelesaian Sengketa”, Jurnal Hukum No. Edisi Khusus Vol. 16 Oktober 2009, hlm. 2.
76
Sekretariat WTO, “Implementation of Special and Differential Treatment Provisions in
WTO Agreement and Decisions”, WT/COMTD/W/77 (25 Oktober 2000), hlm.3.
77
Ibid.
35

Kategori pertama ketentuan Special and Differential Treatment


adalah ketentuan yang dimaksudkan untuk peningkatan kesempatan
berdagang bagi negara-negara berkembang. Ketentuan ini pada
dasarnya diwujudkan dalam bentuk preferensi dagang, yang
dimaksudkan untuk meningkatkan kesempatan dagang negara-negara
berkembang dalam mengakses pasar negara-negara maju. Persetujuan
internasional yang memuat ketentuan Special and Differential
Treatment dengan tujuan meningkatkan kesempatan berdagang bagi
negara-negara berkembang antara lain GATT 1994 pasal XXXVI dan
Agreement on Agriculture.
Di bagian IV tentang Perdagangan dan Pembangunan artikel
XXXVI GATT 1994 terdapat ketentuan-ketentuan Special and
Differential Treatment yang banyak tertuju pada peningkatan
kesempatan berdagang negara-negara berkembang. Pasal 2
menekankan tentang pentingnya perluasan secara cepat dan
berkesinambungan bagi hasil ekspor, pasal 4 merujuk pada hadirnya
syarat-syarat yang lebih diterima dan menguntungkan untuk mengakses
pasar dunia bagi produk-produk primer, sedangkan pasal 5 merujuk
pada peningkatan akses seluas mungkin pada pasar bagi produk-produk
olahan dan pabrikan yang saat ini yang memuat kepentingan negara-
negara berkembang.
Ketentuan-ketentuan Special and Differential Treatment yang
ditujukkan untuk meningkatkan kesempatan berdagang juga terdapat
dalam preambule Agreement on Agriculture. Dalam prembule tersebut
dijelaskan mengenai ketentuan yang ditujukan untuk meningkatkan
kesempatan berdagang atas produk-produk pertanian yang sarat
kepentingan negara-negara berkembang, termasuk liberalisasi secara
penuh bagi perdagangan produk-produk pertanian tropis.
2) Menjaga Kepentingan Negara-negara Berkembang
Ketentuan-ketentuan Special and Differential Treatment yang
tertuju pada pengamanan kepentingan negara-negara berkembang
36

menuntut negara-negara anggota, khususnya negara-negara maju, untuk


mengambil langkah atau menahan diri dari tindakan tertentu demi
menjaga kepentingan negara berkembang. Ketentuan-ketentuan Special
and Differential Treatment yang ditujukan untuk menjaga kepentingan
negara-negara berkembang antara lain termuat dalam Sanitary and
Phyto-Sanitary Measures dan The Agreement on Technical Barriers to
Trade.
Pada pasal 10 ayat (1) Sanitary and Phyto-Sanitary Measures,
dijelaskan bahwasanya Sanitary and Phyto-Sanitary Measures menjaga
kepentingan negara berkembang dalam bentuk kewajiban bagi negara-
negara untuk memberikan perhatian atas kebutuhan-kebutuhan khusus
negara-negara berkembang, dalam persiapan dan penerapan perjanjian
Sanitary and Phyto-Sanitary Measures. Selain itu, pada pasal 10 ayat
(4) disarankan untuk negara-negara anggota mendorong dan
memfasilitasi keterlibatan aktif negara-negara berkembang di
organisasi-organisasi terkait.
Beberapa ketentuan dalam The Agreement on Technical Barriers
to Trade pun memberikan perlindungan serupa melalui beberapa cara.
Pada pasal 12 ayat (2) dijelaskan bahwa negara-negara anggota WTO
diwajibkan untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan khusus terkait
dengan isu pembangunan, keuangan, dan perdagangan negara-negara
berkembang. Lebih jauh, dijelaskan pada pasal 10 ayat (3) bahwa
negara-negara anggota WTO diwajibkan untuk memastikan bahwa
pengaturan teknis, standar-standar dan prosedur penilaian konformitas
tidak mengakibatkan hadirnya hambatan-hambatan yang tak perlu bagi
proses impor negara-negara berkembang. Selain itu, pasal 10 ayat (5)
menyatakan bahwa adalah sebuah kewajiban bagi negara-negara
anggota untuk mengambil langkah-langkah yang tepat, untuk
memastikan bahwa badan-badan standar internasional, dan sisitem
internasional bagi penilaian konformitas, berjalan sebagaimana
mestinya. Mereka harus beroperasi dengan cara yang memungkinkan
37

terjadinya keterlibatan dan partisipasi aktif para perwakilan dari badan-


badan yang relevan di semua anggota, dengan memperhatikan
persoalan-persoalan khusus yang diderita negara-negara berkembang.
3) Komitmen yang Fleksibel
TRIMs memiliki ketentuan-ketentuan Special and Differential
Treatment di dalamnya yang memungkinkan diberikannya komitmen
yang fleksibel bagi negara-negara berkembang dan negara terbelakang.
Komitmen yang fleksibel ini menurut pasal 4 diberikan dalam bentuk
hak khusus untuk menyimpang sementara dari tuntutan yang diberikan
untuk menghapus TRIMs yang tidak sesuai dengan pasal III mengenai
prinsip perlakuan nasional atau pasal XI mengenai penghapusan umum
atas pembatasan kuantitatif, sejauh sesuai dengan aturan GATT bagi
perlindungan industri hijau (pasal XVIII Section C) dan langkah-
langkah pengamanan neraca pembayaran (GATT pasal XVIII Section B
dan Deklarasi 1979 tentang Langkah-langkah Perdagangan untuk
Tujuan Neraca Pembayaran).
Ketentuan Special and Differential Treatment yang memberikan
fleksibilitas terkait dengan kebijakan-kebijakan perdagangan dalam
negeri negara-negara berkembang melalui beragam pengecualian hadir
di WTO. Sebagai contoh, dalam persetujuan Subsidies and
Countervailing Measures, fleksibilitas diberikan baik untuk
pelanggaran subsidi maupun subsidi yang dapat dilaksanakan
(actionable). Pasal 27.2 (a) menjelaskan, negara-negara berkembang
merujuk pada Annex VII dikecualikan dari pelanggaran subsidi ekspor.
Lebih lanjut, pada pasal 27.8 menjelaskan bahwa bahwa negara-negara
berkembang diberikan fleksibilitas terkait beban pembuktian, kewajiban
penyelidikan, dan subsidi tertentu. Dalam kasus yang diajukan oleh
negara-negara maju terhadap negara berkembang, beban pembuktian
atas telah terjadinya pelanggaran serius diakibatkan oleh subsidi
dilaksanakan oleh pihak tergugat (negara maju).
4) Masa Waktu Transisi
38

Pemberian masa transisi merupakan salah satu bentuk model yang


paling umum bagi ketentuan Special and Differential Treatment dalam
persetujuan WTO. Ketentuan-ketentuan ini bermaksud untuk
memberikan kesempatan kepada negara-negara berkembang untuk
melakukan persiapan dan penyesuaian dalam waktu tertentu, dengan
tujuan memampukan negara tersebut menerapkan ketentuan WTO
secara penuh. Ketentuan-ketentuan seperti itu muncul, antara lain,
dalam persetujuan TRIMs (Trade Related Investment Measures). Pada
pasal 5 ayat (2) dijelaskan bahwa bentuk ketentuan ini berupa
penerapan waktu transisi selama lima tahun bagi negara-negara
berkembang, tujuh tahun untuk yang paling miskin, sedangkan dua
tahun untuk negara maju. Namun, negara-negara berkembang dan
negara terbelakang yang mampu menunjukkan adanya kesulitan dalam
penerapan persetujuan, dapat memohon pada Dewan bagi Perdagangan
Barang untuk mendapatkan perpanjangan lebih lanjut.
Masa transisi juga diberikan oleh persetujuan Subsidies and
Countervailing Measures, dimana pada pasal 27.2 (b) dijelaskan bahwa
negara-negara yang tidak termuat dalam Annex VII dikecualikan dari
pelarangan subsidi ekspor selama delapan tahun, dan pada pasal 27.3
dijelaskan bahwa masa transisi dari menghapuskan subsidi bagi
“kandungan lokal” ialah selama lima tahun. Selanjutnya pada pasal 27.4
dijelaskan bahwa penambahan waktu lebih lanjut bagi subsidi ekspor
dimungkinkan bila disetujui oleh Komite secara tahunan, tapi bila tidak
disetujui maka subsidi ekspor harus dihapuskan dalam waktu dua tahun.
Negara-negara berkembang yang tak masuk dalam Annex VII yang
telah mencapai tingkat kompetitif untuk ekspor atas produk-produk
tertentu sebagaimana dijelaskan pada pasal 27 ayat (5) memiliki waktu
dua tahun untuk menghapus subsidi ekspor bagi produk tersebut,
sedangkan yang tidak masuk dalam Annex VII diberikan delapan tahun.
TRIPs juga memberikan ketentuan-ketentuan Special and
Differential Treatment terkait dengan pemberian masa transisi.
39

Pertama-tama, pada pasal 65 ayat (2) TRIPs dijelaskan bahwa TRIPs


memberikan waktu yang lebih lama bagi penerapan dimana negara-
negara berkembang berhak untuk penundaan selama empat tahun,
dibandingkan negara maju yang hanya diberi waktu selama satu tahun.
Lebih lanjut dijelaskan pada pasal 65 ayat (4) TRIPs penundaan
tambahan sepanjang lima tahun diberikan bagi negara-negara
berkembang yang tidak memperluas perlindungan paten ke wilayah
teknologi. Pengaturan seperti ini hanya diberikan bila ia tidak
mengakibatkan adanya ketidaksesuaian.
5) Bantuan Teknis
Bantuan teknis juga merupakan salah satu model umum dari
ketentuan-ketentuan Special and Differential Treatment. Ini dapat
dilihat pada TRIPs pasal 67 yang menyatakan bahwa negara-negara
maju diwajibkan untuk memberikan bantuan teknis dan keuangan untuk
keuntungan negara-negara berkembang dan yang paling miskin di
antara mereka. Tujuan dari bentuk kerjasama ini adalah untuk
memfasilitasi penerapan persetujuan itu sendiri. Bantuan semacam ini
meliputi bentuk penyiapan aturan hukum bagi perlindungan dan
penegakan hak atas kekayaan intelektual berikut dengan
penyalahgunaan dan pembentukan petugas khusus untuk
mendukungnya, terutama pelatihannya.
6) Ketentuan-ketentuan Khusus bagi Negara-negara terbelakang
Secara umum semua ketentuan Special and Differential
Treatment diberikan kepada negara-negara terbelakang . Namun,
terdapat banyak ketentuan yang secara khusus ditujukan untuk mereka,
misalnya pada pasal 5 ayat (2) TRIMs. Pasal tersebut menjelaskan
bahwa ketentuan Special and Differential Treatment bagi negara-negara
terbelakang dalam bentuk masa transisi ialah diberikannya jangka
waktu yang jauh lebih lama dibandingkan jangka waktu yang diberikan
kepada negara-negara berkembang pada umumnya. Masa transisi bagi
40

negara-negara terbelakang diberikan selama tujuh tahun, sedangkan


untuk negara berkembang selama lima tahun.
TRIPs juga memberikan perhatian khusus terhadap negara-negara
terbelakang dalam penerapannya dengan memungkinkannya
fleksibilitas maksimum yang memungkinkan terciptanya pendasaran
teknologi yang tepat dan layak sebagaimana tertuang pada
mukaddimahnya alenia kedua. Negara-negara terbelakang juga
diberikan perlakuan khusus dalam bentuk pemberian masa transisi yang
lebih lama dan bantuan teknis. Terkait masa transisi, pada pasal 66 ayat
(1) dijelaskan bahwa negara-negara terbelakang tidak dituntut untuk
menerapkan ketentuan-ketentuan yang ada selama 10 tahun, dan
perpanjangan lebih lanjut dapat diberikan oleh Dewan TRIPs, sesuai
dengan permintaan. Terkait bantuan teknis, pada pasal 66 ayat (2)
dijelaskan bahwa TRIPs mewajibkan negara-negara maju untuk
memberikan insentif-insentif bagi perusahaan-perusahaan dan lembaga-
lembaga di negaranya untuk mempromosikan transfer teknologi, dan
memberikan kerjasama teknis dan finansial pada negara-negara
terbelakang.

Selain keenam kategori ketentuan Special and Differential Treatment yang


bersifat substantif tersebut, terdapat juga ketentuan-ketentuan Special and
Differential Treatment yang bersifat prosedural. Ketentuan-ketentuan Special and
Differential Treatment yang bersifat prosedural tersebut termuat dalam Dispute
Settlement Understanding terkait dengan fleksibilitas, penjagaan atas
kepentingan-kepentingan negara berkembang, pemberian bantuan teknis dan
pemberian langkah-langkah khusus bagi negara – negara terbelakang.78
Fleksibilitas diberikan kepada negara-negara berkembang saat mereka
berada dalam prosedur Panel, dimana menurut pasal 12 ayat (10), para pihak
bersetuju untuk memperpanjangan batasan waktu bagi resolusi terkait langkah-
langkah yang telah diambil oleh negara-negara berkembang, dan Panel diwajibkan
78
Hesham Youssef, “Special and Differential Treatment for Developing Countries in The
WTO”, South Centre, (Juni 1999), hlm.21.
41

untuk memberikan waktu yang cukup bagi negara berkembang untuk bersiap dan
menyampaikan argumentasinya.
Ketentuan-ketentuan Special and Differential Treatment yang menjamin
kepentingan negara-negara berkembang dalam Dispute Settlement Understanding
dapat ditemukan terkait tahapan konsultasi, komposisi Panel, tata cara Panel, dan
pemantauan akan penerapan rekomendasi berikut keputusannya. Pada tahapan
konsultasi, negara-negara anggota yang maju, harus memberikan persetujuan
khusus terkait dengan masalah dan kepentingan negara berkembang. Dijelaskan
pada pasal 8 ayat (10), dalam komposisi Panel, negara anggota yang merupakan
negara berkembang memiliki hak untuk meminta meliputi setidaknya seorang
Panelis berasal dari negara berkembang ketika sengketa melibatkan pertentangan
antara keduanya. Sedang dalam tata cara Panel, sebagaimana yang dijelaskan pada
pasal 12 ayat (11), ketika satu pihak atau lebih adalah negara berkembang, laporan
Panel harus secara jelas mengindikasikan ketentuan Special and Differential
Treatment apa yang telah dirujuk oleh negara berkembang.
Lebih lanjut, penjagaan kepentingan negara-negara berkembang dalam
Dispute Settlement Understanding diberikan juga terkait dengan pengawasan
penerapan rekomendasi dan putusan. Dalam hal ini, melalui pasal 21 ayat (2)
perhatian khusus harus diberikan pada persoalan yang memengaruhi kepentingan-
kepentingan negara berkembang terkait dengan langkah-langkah yang merupakan
subjek dari penyelesaian sengketa. Lebih jauh, pada pasal 21 ayat (7) dikatakan
bila masalah yang diajukan telah dikemukakan oleh negara berkembang, Dispute
Settlement Body harus menilai lebih tindakan lebih lanjut terkait apa yang
diperlukan dalam konteks ini. Sebagai tambahan, pada pasal 21 ayat (8) dijelaskan
bahwa bila kasus tersebut diajukan oleh negara berkembang, dalam menimbang
tandakan apa yang perlu, Dispute Settlement Body harus mempertimbangkan tidak
hanya langkah-langkah perdagangan semata, tapi juga pengaruh apa yang akan
diakibatkannya terhadap negara berkembang tersebut.
Dispute Settlement Understanding juga memberikan ketentuan-ketentuan
Special and Differential Treatment terkait dengan bantuan teknis termasuk
pengenaan kewajiban terhadap Sekretariat WTO untuk memberikan ahli hukum
42

terkemuka sebagai layanan bantuan teknis WTO bagi tiap negara-negara


berkembang sebagaimana dijelaskan pada pasal 27 ayat (2). Dijelaskan pula pada
pasal 27 ayat (3) bahwa Sekretariat WTO juga harus memberikan program
bantuan teknis seperti kursus pelatihan.
Selanjutnya, pada pasal 24, Dispute Settlement Understanding
mengakomodasi ketentuan-ketentuan Special and Differential Treatment bagi
negara-negara terbelakang dalam dua acara. Pertama, di semua tahapan
penyelesaian sengketa pertimbangan khusus harus diberikan atas situasi khusus
yang dihadapi oleh negara-negara terbelakang, khususnya dalam penentuan
penyebab sengketa dan terkait dengan prosedur penyelesaian sengketa itu sendiri.
Terlepas dari itu, bila konsultasi melibatkan negara terbelakang tidak mampu
menghasilkan solusi yang memuaskan, negara miskin tersebut dimungkinkan
untuk meminta Direktur-Jenderal atau ketua Dispute Settlement Body
menawarkan good offices sebelum dibuatnya permintaan formal bagi
pembentukan Panel.

3.2 Penerapan Ketentuan Special and Differential Treatment bagi Indonesia


dalam Proses Penyelesaian Sengketa Mobil Nasional di World Trade
Organization (WTO)
Awal mula sengketa Mobil Nasional ialah karena inisiatif pemerintah
Indonesia dalam mendukung dan ingin meningkatkan industri mobil nasional.
Oleh karena itu, pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan program Mobil
Nasional, yang diatur dalam Intruksi Presiden No. 2 tahun 1996 mengenai
Program Mobil Nasional. Presiden memberikan intruksinya kepada Menteri
Industri dan Perdagangan, Menteri Keuangan, Menteri Negara bagi Mobilitas
Penanaman Modal/Ketua Dewan Koordinasi Penanaman Modal, baik secara
kolektif ataupun terpisah, untuk mengimplementasikan kewajiban-
kewajibannya.79 Menteri-menteri ini secara bersama diintruksikan untuk
merealisasi, secepat mungkin pengembangan industri Mobil Nasional. Hal ini

79
Diakses dari https://m.kumparan.com/potongan-nostalgia/timor-mobil-nasional-orde-
baru-bagian-i, pada tanggal 29 Maret 2018, pukul 15.30 WIB.
43

dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan berikut: kepemilikan merek


sendiri; memproduksi mobil secara lokal; dan penggunaan komponen-komponen
yang diproduksi secara lokal.
Perusahaan yang memenuhi persyaratan di atas akan diberikan status
sebagai “Perusahaan Perintis”. Untuk mendukung industri tersebut, Menteri
Keuangan mengeluarkan sebuah keputusan yang memberikan insentif pada
“Perusahaan Perintis”. Menurut keputusan ini, suku cadang dan komponen yang
diimpor oleh sebuah produsen atau perakitan mobil nasonal yang memenuhi
tingkat kandungan lokal yang dipersyaratkan dikecualikan dari pengenaan pajak
impor. “Perusahaan Perintis” juga dikecualikan dari dikenakannnya pajak barang
mewah, sepanjang Mobil Nasional memenuhi persyaratan yang diberikan,
termasuk tingkat kandungan lokal.80
Pada akhirnya, Menteri Perdagangan dan Industri, melalui keputusannya,
menunjuk PT Timor Putra Nusantara (TPN) sebagai “perusahaan perintis
kendaraan bermotor”.81 Sayangnya, Mobil Nasional masih belum dapat diproduksi
di dalam negeri, sehingga dikeluarkanlah Keppres No. 42 tahun 1996 tentang
Pembuatan Mobil Nasional yang mengijinkan PT TPN mengimpor mobil nasional
yang kemudian diberi merek “Timor”, baik dalam bentuk jadi atau completely
build-up (CBU) dari Korea Selatan.
Pada akhirnya, PT TPN, sebagai perusahaan yang ditunjuk diberikan hak-
hak istimewa, yaitu bebas pajak barang mewah dan bebas bea masuk barang
impor. Hak itu diberikan kepada PT TPN dengan syarat menggunakan kandungan
lokal hingga 60 persen dalam tiga tahun sejak Mobil Nasional dibuat. Namun bila
penggunaan kandungan lokal yang ditentukan secara bertahap yakni 20 persen
pada tahun pertama dan 60 persen pada tahun ketiga tidak terpenuhi, maka PT
TPN harus menanggung beban pajak barang mewah dan bea masuk barang impor.
Namun, soal kandungan lokal ini agaknya diabaikan selama ini, karena Timor

80
Peraturan pemerintah No.20/1996 (19 Pebruari 1996) tentang Perubahan Peraturan
Pemerintah No. 50 tahun 1994 tentang Pelaksanaan UU NO. 8 tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah sebagaimana dirubah oleh
UU No. 11 tahun 1994.
81
Keputusan Menteri Industri dan Perdagangan No. 002/SK/DJ-ILMK/II/1996 (Putusan
No 002/ 1996) (27 Pebruari 1996).
44

masuk ke Indonesia dalam bentuk jadi dari Korea dan tanpa bea masuk apapun,
termasuk biaya pelabuhan dan lainnya.
Program Mobil Nasional ini dilakukan dengan beberapa langkah. Pertama-
tama, mobil nasional yang dibuat oleh pegawai Indonesia yang berada di luar
negeri yang memenuhi persyaratan kandungan lokal, akan diperlakukan sama
dengan yang dibuat di dalam negeri.82 Artinya, mobil nasional yang sepenuhnya
produksi luar negeri bisa diimpor tanpa dikenakan pajak, sepanjang dibuat oleh
pegawai Indonesia dan memenuhi kandungan lokal yang dipersyaratkan untuk
menjadi mobil nasional. Untuk itu, Soeharto memberikan izin impor 45.000 unit
mobil pada tahun 1996 untuk memuluskan ide pengembangan program Mobil
Nasional tersebut.83 Kedua, Pengecualian terhadap pajak penjualan dan barang
mewah dikuatkan dengan amandemen ketentuan serupa pada waktu sebelumnya,
sehingga 45.000 unit mobil Timors dikecualikan dari pajak penjualan dan
kendaraan mewah.84
Para penggugat yakni Jepang, Komunitas Eropa dan AS, berpandangan
bahwa semua langkah yang disebutkan di atas bententangan dengan hukum
GATT/WTO, khususnya terkait dengan pasal III dan I GATT 1994, TRIMs,
Subsidies and Countervailing Measures, dan 3 TRIPs.85
Dalam pembelaannya, Indonesia meminta Panel untuk menolak gugatan
penggugat karena subsidi pada program Mobil Nasional merupakan subsidi yang
diizinkan di bawah perjanjian Subsidies and Countervailing Measures, sehingga
tidak melanggar ketentuan GATT 1994, TRIMs, maupun TRIPs.86
Di dalam putusan WTO, Panel menerima hampir seluruh gugatan yang
diajukan oleh penggugat. Adapun gugatan yang diterima antara lain terkait
dengan:
82
Keputusan Presiden No.42 Tahun 1996 tentang Pembuatan Mobil Nasional.
83
Diakses dari https://tirto.id/mobnas-rasa-korea-dan-persaingan-tommy-versus-
bambang-tri-coj6, pada tanggal 1 Mei 2018, pukul 10.00 WIB.
84
Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1996 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah No. 50 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Sebagaimana
Telah Diubah dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 1994, Sebagaimana Telah Diubah dengan
Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1996.
85
Indonesia-Automobile, Panel Report, 3.1-3.6.
86
Ibid, 3.7.
45

1) Pasal 2 ayat (1) TRIMs terkait dengan persyaratan kandungan lokal


Panel menilai program Mobil Nasional mensyaratkan kandungan lokal
agar bisa diberikan pengecualian atas pajak dan bea penjualan dimana
hal ini juga tidak sesuai dengan prinsip perlakuan nasional di bawah
pasal III ayat (4) GATT.
2) Pasal III ayat (2) GATT terkait dengan prinsip perlakuan nasional serta
ketentuan pajak dan biaya
Panel menilai progam Mobil Nasional memuat diskriminasi pengenaan
pajak penjualan yang hanya menguntungkan kendaraan produksi lokal.
3) Pasal I ayat (1) terkait dengan prinsip perlakuan yang sama
Panel menilai program Mobil Nasional hanya memberikan keringanan
bea masuk dan pajak penjualan bagi mobil nasional yang diimpor dari
Korea.
4) Pasal 5 (c) terkait dengan prasangka serius
Panel menilai pengecualian bea masuk dan pajak penjualan pada
program Mobil Nasional merupakan “subsidi khusus” yang telah
menyebabkan “prasangka serius” melalui perbedaan harga yang
signifikan sehingga mengakibatkan kerugian terhadap kepentingan
Komunitas Eropa.

Walau Panel menerima sebagian besar gugatan, Panel juga menolak gugatan
lainnya, yakni terkait dengan pasal 28.2 Subsidies and Countervailing Measures
dan pasal 3 TRIPs. Panel memandang program Mobil Nasional tidak melanggar
pasal 28.2 Subsidies and Countervailing Measures, atas dasar fakta yang
menunjukkan bila Indonesia tidak meluaskan jangkauan subsidinya. Panel juga
menilai bahwa program Mobil Nasional tidak melanggar pasal 3 TRIPs
sehubungan dengan akuisisi hak merek dagang.
Walau para penggugat gagal atas dua klaim tersebut, kesimpulan akhir
Panel tetap menguntungkan para penggugat. Maka, Panel merekomendasikan
supaya Dispute Settlement Body meminta Indonesia untuk menyesuaikan langkah-
langkahnya supaya sejalan dengan kewajibannya di bawah hukum WTO.
46

3.2.1 Penegakan Ketentuan Special and Differential Treatment Substantif


dalam Sengketa Mobil Nasional di World Trade Organization (WTO)
Kalahnya Indonesia dalam sengketa Mobil Nasional menunjukkan bahwa
pengimplementasian ketentuan Special and Differential Treatment baik substantif
maupun procedural tidak berjalan secara efektif. Hal ini menjadi ironi karena
Indonesia sebagai negara berkembang seharusnya bisa menggunakan ketentuan
Special and Differential Treatment saat melawan negara maju di WTO dan
mendapatkan keuntungan darinya. Namun ternyata, Indonesia tidak mendapatkan
keuntungan sama sekali.
Dalam jawaban atas gugatan yang ditujukan kepadanya, Indonesia lebih
merujuk pada ketentuan Special and Differential Treatment substantif. Adapun
perujukan atas ketentuan Special and Differential Treatment yang dilakukan oleh
Indonesia antara lain:
1) Ketentuan Special and Differential Treatment di bawah Subsidies and
Countervailing Measures
Subsidies and Countervailing Measures memberikan fleksibilitas
pada negara-negara berkembang sesuai dengan pasal 27.3, untuk
memberikan subsidi sejalan dengan penggunaan domestik atas barang-
barang impor yang tertuang pada pasal 3.1 (b). Fleksibilitas ini secara
umum diberikan pada negara berkembang untuk masa lima tahun, dan
pada negara terbelakang selama delapan tahun, terhitung semenjak
tanggal berlakunya Persetujuan WTO. Ini artinya program Mobil
Nasional seharusnya diijinkan untuk memberikan subsidi yang
dikaitkan dengan persyaratan kandungan lokal sampai tahun 2000.
Namun nyatanya Indonesia tidak dapat menerapkan fleksibilitas ini,
karena aturannya sendiri jauh dari fleksibel. Pemanfaatan ketentuan
pasal 27.3 merupakan subjek dari pemenuhan persyaratan yang dimuat
dalam pasal-pasal lainnya, seperti pasal 5, pasal 6.1, dan 6.3. Dalam
kaitannya pasal 5, fleksibilitas memberikan subsidi yang dikaitkan
dengan kandungan lokal, sebagaimana yang dimintakan oleh pasal 3.1
(b), hanya dapat dibenarkan bila subsidi tersebut tidak mengakibatkan
47

pengaruh yang merugikan kepentingan negara-negara anggota lainnya.


Pengaruh-pengaruh ini meliputi, inter alia, kerugian terhadap industri
dalam negeri negara anggota lainnya, dan prasangka serius (serious
prejudice) yang didefinisikan oleh pasal 6.1 dan 6.3.
Para penggugat tidak membantah bila Indonesia, sebagai negara
berkembang, memiliki hak atas ketentuan Special and Differential
Treatment. Namun, mereka juga berpandangan bahwa program Mobil
Nasional dapat menimbulkan prasangka serius sebagaimana yang
dijelaskan pada pasal 27.8. Sesuai dengan pasal 6.1, prasangka serius
ada ketika subsidi total ad volerum dari sebuah produk melampaui 5
persen, dan fakta membuktikan bahwa subsidi yang diberikan oleh
Indonesia kepada program Mobil Nasional melebihi dari batasan yang
ditentukan.
Dalam kasus ini, jelas bahwa ketentuan Special and Differential
Treatment di bawah Subsidies and Countervailing Measures gagal
dimanfaatkan oleh Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia tidak dapat
memenuhi persyaratan yang diminta oleh ketentuan Special and
Differential Treatment di bawah Subsidies and Countervailing
Measures, khususnya terkait dengan subsidi berlebihan yang diberikan
kepada program Mobil Nasional.87
2) Ketentuan Special and Differential Treatment di bawah TRIPs
Perujukan kedua atas ketentuan-ketentuan Special and
Differential Treatment oleh Indonesia dalam sengketa Mobil Nasional
ialah perjanjian TRIPs, terkait masa transisi. Dalam masa transisi,
negara berkembang diberi waktu lima tahun untuk melakukan
penyesuaian terhadap TRIPs, dengan syarat mereka tidak bertentangan
dengan prinsip perlakuan nasional, prinsip perlakuan yang sama, dan
persetujuan-persetujuan multilateral yang diadakan di bawah WIPO.
Dalam kasus ini, Indonesia membela diri bahwa sebagai negara
berkembang, Indonesia memiliki hak untuk mendapatkan masa transisi

87
Ibid., 14.157.
48

sampai 1 Januari 2000. Panel berpandangan bila perujukan terhadap


ketentuan-ketentuan Special and Differential Treatment oleh Indonesia
bisa dibenarkan. Panel memandang bila persyaratan untuk menggunakan
“merek lokal” bagi Mobil Nasional yang dikenakan oleh Indonesia tidak
melanggar prinsip non-diskriminasi.88 Namun kenyataannya, kesuksesan
Indonesia dalam perujukan Special and Differential Treatment tidaklah
bermanfaat diakibatkan oleh lemahnya gugatan AS yang tidak berkaitan
dengan TRIPs.
3) Ketentuan Special and Differential Treatment di bawah TRIMs
Sebagai negara berkembang, Indonesia dapat merujuk ketentuan-
ketentuan Special and Differential Treatment yang ada pada pasal 4
TRIMs yang berupa fleksibilitas implementasi. Artinya, negara-negara
berkembang diijinkan untuk melenceng sementara dari persyaratan
untuk menghapus TRIMs yang tak sesuai dengan pasal III GATT terkait
dengan perlakuan nasional atau pasal XI GATT terkait dengan
penghapusan umum atas hambatan-hambatan kuantitatif, sesuai dengan
GATT terkait dengan perlindungan industri hijau (pasal XVIII Section
C); dan langkah-langkah pengamanan Balance-of-Payments Purpose
(pasal XVIII Section B dan the 1979 Declaration on Trade Measures
Taken for Balance-of-Payments Purpose).
Indonesia memiliki alasan kuat untuk merujuk ketentuan-
ketentuan Special and Differential Treatment di atas. Tapi, perujukan
ketentuan Special and Differential Treatment dengan pendasaran seperti
itu, tidak akan efektif juga karena ia tidak memenuhi persyaratan yang
diminta terkait dengan industri hijau ataupun ketentuan terkait Balance-
of-Payments Purpose. Apa yang dilakukan oleh Indonesia sejauh ini
adalah pembentukan perdagangan otomotif, bukannya sebuah industri. 89
Terlebih, Indonesia juga tidak menghadapi persoalan Balance-of-

88
Ibid., 14.263.
89
Nandang Sutrisno, Op.Cit. hlm. 231.
49

Payments Purpose, sehingga Indonesia tidak merujuk pada ketentuan-


ketentuan Special and Differential Treatment di bawah TRIMs.90

3.2.2 Penegakan Ketentuan Special and Differential Treatment Prosedural


dalam Sengketa Mobil Nasional di World Trade Organization (WTO)
Dalam penyelesaian sengketa Mobil Nasional di WTO, Indonesia hanya
merujuk ketentuan-ketentuan Special and Differential Treatment yang terkait
dengan pengawasan dan penerapan rekomendasi dan putusan yang termuat di
pasal 21 Dispute Settlement Understanding. Pasal 21 ayat (2) Dispute Settlement
Understanding menyatakan bila perhatian khusus harus diberikan terhadap
kepentingan–kepentingan negara berkembang anggota, terkait dengan langkah-
langkah yang merujuk subjek dari penyelesaian sengketa. Meskipun formulasi
pasal 21 ayat (2) sangat umum, ini bisa dilihat sebagai arahan bagi para pihak
yang terkait seperti Panel, Dispute Settlement Body, Appellate Body, dan
arbitrator, sebagaimana para pihak bersengketa, untuk memperhatikan
kepentingan negara-negara berkembang. Lebih jauh, pasal 21 ayat (7)
menyatakan, bila sebuah negara berkembang mengemukakan persoalan terkait
dengan implikasi, Dispute Settlement Body wajib memperhatikan tindakan lebih
lanjut yang bisa ia ambil untuk menyesuaikan dengan keadaan.
Melalui pemanfaatan ketentuan-ketentuan ini dalam sidang Dispute
Settlement Body pada bulan Juli 1998, Indonesia mendeklarasikan bila ia akan
menyesuaikan langkah-langkahnya dan menaati secara serius persetujuan WTO
pada tanggal 23 Oktober 1999.91 Ini artinya Indonesia meminta tambahan
sembilan bulan bagi penerapan kebijakan baru pada Januari 1999, atau lima belas
bulan secara keseluruhan masa transisi yang diperlukan untuk memperbaiki segala
upaya untuk menyesuaikan diri dengan WTO, dan mengadakan penyesuaian
struktural atas industri mobil nasionalnya.92
Keberatan atas peruukan ini diajukan oleh Komunitas Eropa yang
mendasarkan pada permintaan lima belas bulan yang dianggap terlalu lama dan

90
Ibid., hlm. 225.
91
Indonesia-Automobile, Arbitrator Award, Alenia 2.
92
Ibid., Alenia 7.
50

tidak emmiliki basis yang jelas. Terkait dengan masalah ini, Indonesia dan
Komunitas Eropa, sebagaimana Jepang dan AS, berupaya mengadakan konsultasi
tapi gagal mencapai penyelesaian yang memuaskan yang pada akhirnya meminta
lembaga arbitrase memutuskannya.93

Pada 7 Desember 1998, Arbritator mengeluarkan putusan yang


menguntungkan para penggugat, walau pengalimatan Arbitrator seakan telah
memperhatikan kepentingan Indonesia selaku negara berkembang. Arbitrator
menyatakan:94
“…Indonesia bukan hanya sebuah negara berkembang; Ia adalah
negara berkembang yang sedang berada dalam kesulitan ekonomi dan
keuangan yang berat. Indonesia sendiri menyatakan bila ekonominya
hampir ambruk. Dalam keadaan yang sangat khusus ini, saya
memandang tepat untuk memperhatikan secara serius atas segala
kepentingan Indonesia selaku negara berkembang sesuai dengan
ketentuan pasal 21.2 Dispute Settlement Understanding. Saya,
tentunya, menyimpulkan bila masa tambahan selama enam bulan lebih
dan di atas enam bulan diperlukan untuk tercapainya proses
pembentukan hukum nasional Indonesia yang merupakan periode
waktu yang beralasan bagi pengimplementasian rekomendasi dan
putusan Dispute Settlement Body dalam kasus ini.”

Arbitrator memberikan sebuah “masa waktu yang beralasan” selama dua


belas bulan, sebagai penyesuaian standar “waktu sesingkat mungkin” bagi
keadaan khusus yang dihadapi oleh Indonesia. Ini berarti arbritator sangat
menekankan petunjuk pada pasal 21.2 Dispute Settlement Understanding dan
tentunya, memberikan “perhatian penuh” pada keadaan ekonomi Indonesia, dalam
pemberian enam bulan tambahan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perujukan
terhadap ketentuan-ketentuan Special and Differential Treatment oleh Indonesia
di bawah pasal 21 Dispute Settlement Understanding tidak sepenuhnya berhasil
tapi tidak juga gagal.

93
Ibid., Alenia 3.
94
Ibid., Alenia 24.

Anda mungkin juga menyukai