PEMBAHASAN
66
Irma H. Hanafi, “Perdagangan Internasional Pasca Putaran Uruguay dan Dampaknya di
Indonesia”, Jurnal Sasi Vol. 17 No. 4 Bulan Oktober-Desember 2011,hlm. 1.
67
Sunarti Hartono, Mencari Prinsip-prinsip Baru, (Jakarta: Bina Cipta, 1982), hlm. 101.
29
30
68
Taryana Sunandar, Perkembangan Hukum Perdagangan Internasional dari GATT 1947
Sampai Terbentuknya WTO (World Trade Organization), (Jakarta: Departemen Kehakiman RI,
1996) hlm. 86.
31
75
Nandang Sutrisno, “Efektifitas Ketentuan-ketentuan World Trade Organization tentang
Perlakuan Khusus dan Berbeda Bagi Negara Berkembang: Implementasi dalam Praktek dan dalam
Penyelesaian Sengketa”, Jurnal Hukum No. Edisi Khusus Vol. 16 Oktober 2009, hlm. 2.
76
Sekretariat WTO, “Implementation of Special and Differential Treatment Provisions in
WTO Agreement and Decisions”, WT/COMTD/W/77 (25 Oktober 2000), hlm.3.
77
Ibid.
35
untuk memberikan waktu yang cukup bagi negara berkembang untuk bersiap dan
menyampaikan argumentasinya.
Ketentuan-ketentuan Special and Differential Treatment yang menjamin
kepentingan negara-negara berkembang dalam Dispute Settlement Understanding
dapat ditemukan terkait tahapan konsultasi, komposisi Panel, tata cara Panel, dan
pemantauan akan penerapan rekomendasi berikut keputusannya. Pada tahapan
konsultasi, negara-negara anggota yang maju, harus memberikan persetujuan
khusus terkait dengan masalah dan kepentingan negara berkembang. Dijelaskan
pada pasal 8 ayat (10), dalam komposisi Panel, negara anggota yang merupakan
negara berkembang memiliki hak untuk meminta meliputi setidaknya seorang
Panelis berasal dari negara berkembang ketika sengketa melibatkan pertentangan
antara keduanya. Sedang dalam tata cara Panel, sebagaimana yang dijelaskan pada
pasal 12 ayat (11), ketika satu pihak atau lebih adalah negara berkembang, laporan
Panel harus secara jelas mengindikasikan ketentuan Special and Differential
Treatment apa yang telah dirujuk oleh negara berkembang.
Lebih lanjut, penjagaan kepentingan negara-negara berkembang dalam
Dispute Settlement Understanding diberikan juga terkait dengan pengawasan
penerapan rekomendasi dan putusan. Dalam hal ini, melalui pasal 21 ayat (2)
perhatian khusus harus diberikan pada persoalan yang memengaruhi kepentingan-
kepentingan negara berkembang terkait dengan langkah-langkah yang merupakan
subjek dari penyelesaian sengketa. Lebih jauh, pada pasal 21 ayat (7) dikatakan
bila masalah yang diajukan telah dikemukakan oleh negara berkembang, Dispute
Settlement Body harus menilai lebih tindakan lebih lanjut terkait apa yang
diperlukan dalam konteks ini. Sebagai tambahan, pada pasal 21 ayat (8) dijelaskan
bahwa bila kasus tersebut diajukan oleh negara berkembang, dalam menimbang
tandakan apa yang perlu, Dispute Settlement Body harus mempertimbangkan tidak
hanya langkah-langkah perdagangan semata, tapi juga pengaruh apa yang akan
diakibatkannya terhadap negara berkembang tersebut.
Dispute Settlement Understanding juga memberikan ketentuan-ketentuan
Special and Differential Treatment terkait dengan bantuan teknis termasuk
pengenaan kewajiban terhadap Sekretariat WTO untuk memberikan ahli hukum
42
79
Diakses dari https://m.kumparan.com/potongan-nostalgia/timor-mobil-nasional-orde-
baru-bagian-i, pada tanggal 29 Maret 2018, pukul 15.30 WIB.
43
80
Peraturan pemerintah No.20/1996 (19 Pebruari 1996) tentang Perubahan Peraturan
Pemerintah No. 50 tahun 1994 tentang Pelaksanaan UU NO. 8 tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah sebagaimana dirubah oleh
UU No. 11 tahun 1994.
81
Keputusan Menteri Industri dan Perdagangan No. 002/SK/DJ-ILMK/II/1996 (Putusan
No 002/ 1996) (27 Pebruari 1996).
44
masuk ke Indonesia dalam bentuk jadi dari Korea dan tanpa bea masuk apapun,
termasuk biaya pelabuhan dan lainnya.
Program Mobil Nasional ini dilakukan dengan beberapa langkah. Pertama-
tama, mobil nasional yang dibuat oleh pegawai Indonesia yang berada di luar
negeri yang memenuhi persyaratan kandungan lokal, akan diperlakukan sama
dengan yang dibuat di dalam negeri.82 Artinya, mobil nasional yang sepenuhnya
produksi luar negeri bisa diimpor tanpa dikenakan pajak, sepanjang dibuat oleh
pegawai Indonesia dan memenuhi kandungan lokal yang dipersyaratkan untuk
menjadi mobil nasional. Untuk itu, Soeharto memberikan izin impor 45.000 unit
mobil pada tahun 1996 untuk memuluskan ide pengembangan program Mobil
Nasional tersebut.83 Kedua, Pengecualian terhadap pajak penjualan dan barang
mewah dikuatkan dengan amandemen ketentuan serupa pada waktu sebelumnya,
sehingga 45.000 unit mobil Timors dikecualikan dari pajak penjualan dan
kendaraan mewah.84
Para penggugat yakni Jepang, Komunitas Eropa dan AS, berpandangan
bahwa semua langkah yang disebutkan di atas bententangan dengan hukum
GATT/WTO, khususnya terkait dengan pasal III dan I GATT 1994, TRIMs,
Subsidies and Countervailing Measures, dan 3 TRIPs.85
Dalam pembelaannya, Indonesia meminta Panel untuk menolak gugatan
penggugat karena subsidi pada program Mobil Nasional merupakan subsidi yang
diizinkan di bawah perjanjian Subsidies and Countervailing Measures, sehingga
tidak melanggar ketentuan GATT 1994, TRIMs, maupun TRIPs.86
Di dalam putusan WTO, Panel menerima hampir seluruh gugatan yang
diajukan oleh penggugat. Adapun gugatan yang diterima antara lain terkait
dengan:
82
Keputusan Presiden No.42 Tahun 1996 tentang Pembuatan Mobil Nasional.
83
Diakses dari https://tirto.id/mobnas-rasa-korea-dan-persaingan-tommy-versus-
bambang-tri-coj6, pada tanggal 1 Mei 2018, pukul 10.00 WIB.
84
Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1996 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah No. 50 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Sebagaimana
Telah Diubah dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 1994, Sebagaimana Telah Diubah dengan
Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1996.
85
Indonesia-Automobile, Panel Report, 3.1-3.6.
86
Ibid, 3.7.
45
Walau Panel menerima sebagian besar gugatan, Panel juga menolak gugatan
lainnya, yakni terkait dengan pasal 28.2 Subsidies and Countervailing Measures
dan pasal 3 TRIPs. Panel memandang program Mobil Nasional tidak melanggar
pasal 28.2 Subsidies and Countervailing Measures, atas dasar fakta yang
menunjukkan bila Indonesia tidak meluaskan jangkauan subsidinya. Panel juga
menilai bahwa program Mobil Nasional tidak melanggar pasal 3 TRIPs
sehubungan dengan akuisisi hak merek dagang.
Walau para penggugat gagal atas dua klaim tersebut, kesimpulan akhir
Panel tetap menguntungkan para penggugat. Maka, Panel merekomendasikan
supaya Dispute Settlement Body meminta Indonesia untuk menyesuaikan langkah-
langkahnya supaya sejalan dengan kewajibannya di bawah hukum WTO.
46
87
Ibid., 14.157.
48
88
Ibid., 14.263.
89
Nandang Sutrisno, Op.Cit. hlm. 231.
49
90
Ibid., hlm. 225.
91
Indonesia-Automobile, Arbitrator Award, Alenia 2.
92
Ibid., Alenia 7.
50
tidak emmiliki basis yang jelas. Terkait dengan masalah ini, Indonesia dan
Komunitas Eropa, sebagaimana Jepang dan AS, berupaya mengadakan konsultasi
tapi gagal mencapai penyelesaian yang memuaskan yang pada akhirnya meminta
lembaga arbitrase memutuskannya.93
93
Ibid., Alenia 3.
94
Ibid., Alenia 24.