Oleh,
Nurmalasari
NIM : 2102277023
Jl. K.H. Ahmad Dahlan No. 20 Tlp. 0265-773052 Fax. 0265-771931 Ciamis 46216
a. Pengertian
Amniotomi adalah tindakan untuk membuka selaput amnion dengan jalan membuat robekan
kecil yang kemudian akan melebar secara spontan akibat gaya berat cairan dan adanya tekanan di
dalam rongga amnion (Sarwono, 2006).
b. Indikasi amniotomi
1) Pembukaan lengkap
3) Akselerasi persalinan
1) Dapat menimbulkan trauma pada kepala janin yang mengakibatkan kecacatan pada tulang
kepala akibat dari tekanan deferensial meningkat
2) Dapat menambah kompresi tali pusat akibat jumlah cairan amniotik berkurang.
1) Persiapan alat:
a) Bengkok.
b) Setengah kocker.
c) Sarung tangan satu pasang.
2) Persiapan pasien:
3) Persiapan pelaksanaan:
a) Memberitahu tindakan.
b) Mendekatkan Alat.
f) Melakukan periksa dalam dengan hati-hati diantara kontraksi. Meraba dengan hati-hati selaput
ketuban untuk memastikan apakah kepala sudah masuk kedalam panggul dan memeriksa tali
pusat atau bagian-bagian tubuh kecil janin tidak dipalpasi. Bila selaput ketuban tidak teraba
diantara kontraksi, tunggu sampai ada kontraksi berikutnya sehingga selaput ketuban terdorong
kedepan sehingga mudah dipalpasi.
g) Tangan kiri mengambil klem ½ kocker yang telah dipersiapkan sedemikian rupa sehingga
dalam mengambilnya mudah.
h) Dengan menggunakan tangan kiri tempatkan klem ½ kocker desinfeksi tingkat tinggi atau steril
dimasukkan kedalam vagina menelusuri jari tangan kanan yang yang berada didalam vagina
sampai mencapai selaput ketuban.
i) Pegang ujung klem ½ kocker diantara ujung jari tangan kanan pemeriksa kemudian
menggerakkan jari dengan menggerakkan jari dengan lembut dan memecahkan selaput ketuban
dengan cara menggosokkan klem ½ kocker secara lembut pada selaput ketuban.
j) Kadang-kadang hal ini lebih mudah dikerjakan diantara kontraksi pada saat selaput ketuban
tidak tegang. Tujuannya adalah ketika selaput ketuban dipecah air ketuban tidak nyemprot.
l) Ambil klem ½ kocker dengan menggunakan tangan kiri dan masukkan ke dalam larutan klorin
½% untuk dekontaminasi.
m) Jari tangan kanan pemeriksa tetap berada di dalam vagina melakukan pemeriksaan adakah tali
pusat atau bagian kecil janin yang teraba dan memeriksa penurunan kepala janin.
n) Bila hasil pemeriksaan tidak didapatkan adanya tali pusat atau bagian-bagian tubuh janin yang
kecil dan hasil pemeriksaan penurunan kepala sudah didapatkan, maka keluarkan tangan
pemeriksa secara lembut dari dalam vagina.
o) Lakukan pemeriksaan warna cairan ketuban adakah mekonium, darah, apakah jernih.
q) Celupkan tangan yang masih menggunakan sarung tangan kedalam larutan klorin ½ %
kemudian lepaskan sarung tangan kedalam larutan klorin ½ % kemudian lepaskan sarung tangan
dalam keadaan terbaik dan biarkan terendam selama 10 menit.
r) Cuci tangan.
s) Periksa DJJ.
t) Lakukan dokumentasi pada partograf tentang warna ketuban, kapan pecahnya ketuban, dan DJJ.
JURNAL ILMU KESEHATAN BHAKTI HUSADA: Ciptaan disebarluaskan di bawah
HEALTH SCIENCES JOURNAL, VOL. 12 NO. 01, JUNI 2021 Lisensi Creative Commons Atribusi-
DOI: 10.34305/jikbh.v12i1.263 NonKomersial-BerbagiSerupa 4.0
Internasional.
STIKes Kuningan
derasukmanawati@gmail.com
Abstrak
Tindakan Amniotomi
Dilakukan 32 22,9
Tidak dilakukan 108 77,1
Total 140 100
F % F % N %
penelitian Yohanna (2013), diketahui bahwa dengan waktu terpajang 60 menit dan waktu
pada KPD kelompok kasus (persalinan terpendek 10 menit, adapun pada multipara
lama) terdapat 82 (55.4%) responden dan dari 95 responden diperoleh rata-rata lama
lebih besar dibandingkan dengan kelompok persalinan kala II 44,74 menit dengan waktu
kontrol (persalinan normal) yaitu 26 (17.6%) terpajang 60 menit dan waktu terpendek 10
responden. Alasan peneliti, adanya kejadian menit.
KPD dapat mempengaruhi terjadinya Kala II lama adalah persalinan yang
persaalinan lama dan menyebabkan infeksi sudah dipimpin mengejan pada primigravida
(Pakpahan, 2017). dibatasi 2 jam dan diperpanjang sampai 3
Sebagian besar responden berdasarkan hasil jam apabila digunakan analgesia regional,
analisis tidak dilakukan amniotomi, akan sedangkan pada multigravida dibatasi 1 jam
tetapi didapatkan responden mengalami dan diperpanjang sampai 2 jam apabila
ketuban pecah dini. Peneliti berasumsi hal digunakan analgesia regional (Saifuddin,
ini dikahwatirkan akan mengalami terjadi 2010). Faktor yang mempengaruhi kala II
infeksi pada bayi baru lahir. Ketuban pecah yaitu power (tenaga ibu yang dikeluarkan
dini dapat menyebabkan infeksi. Infeksi untuk melahirkan janin, yaitu kontraksi
adalah bahaya yang serius yang mengancam uterus atau his dari tenaga mengejan ibu),
ibu dan janinnya, bakteri di dalam cairan passenger (janin, plasenta dan air ketuban),
amnion menembus amnion dan menginvasi jalan lahir, faktor lain (penolong, psikologis,
desidua serta pembuluh korion sehingga posisi, ketuban pecah dini ketika serviks
terjadi bakteremia dan sepsis pada ibu dan masih tertutup, keras dan belum mendatar,
janin (Saifuddin, 2010). usia dan paritas) (Jenny, 2013). Bahaya dari
partus lama bagi ibu dan janin adalah pada
Lama Persalinan Kala II di RSUD 45 ibu dan janin (Saifuddin, 2010).
Kuningan Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Berdasarkan hasil penelitian (Surtiningsih, 2017), dari 58 responden lama
diperoleh dari 140 responden, seluruhnya waktu persalinan kala II didapatkan rata –
lama persalinan kala II normal sebanyak 140 rata 15 menit. Tahap ini berawal saat
responden (100%). Menurut paritas pada pembukaan serviks telah lengkap dan
primipara dari 45 responden diperoleh rata- berakhir dengan keluarnya janin. Median
rata lama persalinan kala II 37,11 menit lama waktunya adalah 50 menit untuk
primipara dan 20 menit untuk multipara. Hal Kesimpulan riset berdasarkan hasil
ini disebabkan oleh karena primipara yang analisis didapatkan bahwa lama kala II di
memiliki tingkat kecemasan tinggi RSUD ’45 normal, peneliti bersumsi hal ini
dibandingkan multipara. disebabkan oleh umur ibu yang normal yaitu
Adanya persalinan kala II yang 20-35 tahun, berat badan bayi yang rata-rata
normal, peneliti berasumsi hal ini antara 2700-2800 gram, dan his yang kuat,
disebabkan oleh adanya sebagian besar umur meskipun demikian ditemukan proses
ibu yang normal yaitu 20-35 tahun, berat persalinan mencapai 60 menit disebabkan
badan bayi yang rata-rata antara 2700-2800 oleh adanya faktor lain yaitu adanya panggul
gram, dan his yang kuat. Hal ini sesuai sempit, lilitan tali pusat dan adanya faktor
dengan pendapat (Manuaba, 2010) psikis yang dialami ibu (Gould, 2000).
menyatakan bahwa usia reproduksi sehat
adalah 20 sampai 35 tahun. (Saifuddin, Lama Persalinan Kala II Berdasarkan
2010) menambahkan bahwa kontraksi uterus Tindakan Amniotomi di RSUD 45 Kuningan
pada multigravida lebih kuat daripada Berdasarkan hasil penelitian
primigravida. diperoleh dari 32 responden yang dilakukan
Adapun pada responden dengan tindakan amniotomi seluruhnya
persalinan lama hingga mencapai 60 menit, persalinannya normal sebanyak 32
Kemungkinan adanya faktor lain yaitu responden (100%) dan dari 108 responden
adanya panggul sempit, lilitan tali pusat dan yang tidak dilakukan amniotomi seluruhnya
adanya faktor psikis yang dialami ibu. Hal normal sebanyak 108 responden (100%).
ini sesuai dengan pendapat (Surtiningsih, Adapun dari 32 responden yang dilakukan
2017), yang menyatakan bahwa ibu dengan tindakan amniotomi diperoleh rata-rata lama
panggul sempit, janin besar, atau terdapat persalinan kala II 12,19 menit dengan waktu
gangguan daya dorong akibat anestesia terpajang 15 menit dan waktu terpendek 10
regional atau sedasi kuat, akan mengalami menit, sedangkan dari 108 responden yang
proses kala II yang sangat lama, paritas tidak dilakukan amniotomi diperoleh rata-
primipara seringkali proses ini berlangsung rata lama persalinan kala II 51,20 menit
cukup lama karena faktor kesiapan dan dengan waktu terpajang 60 menit dan waktu
belum adanya pengalaman bersalin terpendek 10 menit (Fraser et al., 2000).
sebelumnya.
Baharuddin, M., Amelia, D., Suhowatsky, S., Manuaba, I. B. G. (2010). Ilmu kebidanan,
Kusuma, A., Suhargono, M. H., & Eng, B. penyakit kandungan dan keluarga
(2019). Maternal death reviews: A berencana. Jakarta: EGC, 15, 157.
retrospective case series of 90 hospital‐based
maternal deaths in 11 hospitals in Indonesia. Pakpahan, T. L. (2017). Hubungan Ketuban
International Journal of Gynecology & Pecah Dini dengan Kejadian Kala II
Obstetrics, 144, 59–64. Lama pada Ibu Bersalin Di RSUD DR.
H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.
Fraser, W. D., Turcot, L., Krauss, I., Brisson‐
Carrol, G., & Smyth, R. (2000). Amniotomy Saifuddin, A. B. (2010). Buku Panduan
for shortening spontaneous labour. Praktis Pelayanan Kesehatan
Cochrane Database of Systematic Reviews, Maternal dan Neonatal. Yayasan Bina
1. Pustaka Sarwono Prawiroharjo.
Gould, D. (2000). Normal labour: a concept Smyth, R. M. D., Markham, C., &
analysis. Journal of Advanced Nursing, Dowswell, T. (2013). Amniotomy for
31(2), 418–427. shortening spontaneous labour.
Cochrane Database of Systematic
Jenny, S. (2013). Buku Asuhan Kebidanan Reviews, 6.
Persalinan dan Bayi Baru Lahir. Malang:
Erlangga. Sulistiawati. (2010). Asuhan Kebidanan
Pada Ibu Bersalin. Salemba Medika.
Kurniawati, D. (2017). Manajemen
intervensi fase laten ke fase aktif pada Surtiningsih. (2017). Faktor-Faktor yang
kemajuan persalinan. Nurscope: Mempengaruhi Lama Waktu
Jurnal Keperawatan Dan Pemikiran Persalinan di Puskesmas Klampok 1
Ilmiah, 3(4), 27–34. Kabupaten Banjarnegar. Jurnal Ilmiah
Kebidanan, 8(Edisi Desember 2017),
Lee, L., Dy, J., & Azzam, H. (2016). 101–115.
Management of spontaneous labour at
term in healthy women. Journal of Varney, H., Kriebs, J. M., & Gegor, C. L.
Obstetrics and Gynaecology Canada, (2008). Buku ajar asuhan kebidanan.
38(9), 843–865. Jakarta: Egc, 672–788.
Levy, R., & Perlman, S. (2021). The Second Vazani, Y., Feyzabadi, Z., Ghorbani, F., &
DOI: http://dx.doi.org/10.33846/2trik11105
Studi Kasus Asuhan Kebidanan pada Ibu Bersalin dengan Preeklampsia Berat di RSUD Ciamis
Heni Heryani
Prodi D3 Kebidanan, STIKes Muhammadiyah Ciamis, heryaniheni05@gmail.com (koresponden)
ABSTRACT
One of the main causes of maternal mortality is severe preeclampsia. Severe absorption is an increase in blood
pressure and proteinuria that occurs after 20 weeks of gestation. If severe preeclampsia is not treated quickly and
precisely, it can turn into eclampsia. The purpose of this study was to provide an overview of the midwifery care
of maternity women with severe preeclampsia at Ciamis Regional Hospital. The research method used was
descriptive qualitative with a case study approach. The subjects in this study were Mrs. E, 32 years old with severe
preeclampsia. This research was conducted from 5 to 6 March 2020 at Ciamis Hospital. The results of research
on Mrs. E age 32 years G2 P1A0 37 weeks of active phase 1 labor with severe preeclampsia of live single fetus.
Handling carried out on Mrs. E has been carried out in accordance with the care plan that has been made.
Midwives carry out midwifery care in accordance with midwifery care standards starting from assessment,
formulation of midwifery diagnoses or problems, planning, implementation and evaluation.
Keywords: maternity; severe preeclampsia
ABSTRAK
Salah satu penyebab utama dari angka kematian ibu adalah preeklamsia berat. Preeklampsia berat adalah
peningkatan tekanan darah dan proteinuria yang terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu. Jika preeklampsi berat
tidak segera ditangani dengan cepat dan tepat maka hal ini dapat berubah menjadi eklampsia. Tujuan Penelitian
ini adalah untuk memberikan gambaran tentang Asuhan Kebidanan pada Ibu Bersalin dengan Preeklampsia Berat
di RSUD Ciamis. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus.
Subjek dalam penelitian ini adalah Ny. E umur 32 tahun dengan Preeklampsia Berat (PEB). Penelitian ini
dilakukan mulai tanggal 5 sampai dengan 6 maret 2020 yang bertempat di RSUD Ciamis. Hasil penelitian pada
Ny. E umur 32 tahun G2P1A0 37 minggu persalinan kala 1 fase aktif dengan Preeklampsia Berat (PEB) janin
tunggal hidup, Penanganan yang dilakukan pada Ny. E telah dilakukan sesuai dengan rencana asuhan yang telah
dibuat. Bidan melakukan asuhan kebidanan sesuai dengan standar asuhan kebidanan mulai dari pengkajian,
perumusan diagnosa atau masalah kebidanan, perencanaan, implementasi dan evaluasi.
Kata kunci: ibu bersalin; preeklamsia berat
PENDAHULUAN
Pembangunan kesehatan pada saat ini di Indonesia masih memprioritaskan pada upaya peningkatan derajat
kesehatan ibu dan anak terutama pada kelompok yang rentan terhadap kesehatan, yaitu ibu hamil, ibu bersalin,
dan bayi pada masa perinatal. Hal Ini ditandai dengan masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI). Menurut
World Health Organization (WHO), setiap hari 830 ibu di dunia (di Indonesia 38 Ibu, berdasarkan AKI 305 per
100.000 KH) meninggal akibat penyakit/komplikasi terkait kehamilan dan Persalinan. Sedangkan menurut
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2015, AKI mencapai 102 per 100.000 Kelahiran Hidup
(KH). Penyebab utama dari kematian ibu tersebut adalah kira-kira 75% disebabkan karena perdarahan, infeksi,
preeklampsi, partus lama dan aborsi tidak aman. (1-3)
Preeklampsi adalah gangguan yang terjadi pada kehamilan, didefinisikan sebagai peningkatan tekanan
darah dan proteinuria yang terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu. Preeklampsia digolongkan ke dalam
preeklampsia ringan dan preeklampsia berat, dengan gejala untuk preeklampsia ringan tekanan darah ≥140 mmHg
pada usia kehamilan di atas 20 minggu dan protein urin +1. Sedangkan untuk preeklampsia berat ditandai dengan
tekanan darah ≥160/110 mmHg pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu dan proteinuria ≥2+. (4)
Penyebab terjadinya preeklampsia sampai saat ini belum diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa faktor
yang berpengaruhi yaitu primigravida dan multigravida, usia ibu yang ekstrim yaitu di bawah 20 tahun dan lebih
dari 35 tahun, Riwayat keluarga pernah preeklampsia/eklampsia, penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang
sudah ada sebelum hamil, obesitas, diabetes melitus, dan penyakit trofoblas. (5)
Pada umumnya timbul preeklampsia dapat dicegah dengan usaha-usahanya yaitu, meningkatkan jumlah
balai pemeriksaan ibu hamil dan mengusahakan agar semua wanita hamil memeriksakan dini sejak hamil muda,
mencari pada tiap pemeriksaan tanda-tanda preeklampsia dan mengobatinya segera ditemukan tanda-tanda
preeklampsia dan eklampsia, dan mengakhiri kehamilan sedapat-dapatnya pada kehamilan minggu ke atas apabila
dirawat tanda-tanda preeklampsia tidak juga dapat hilang.(6)
Penanganan preeklampsia perlu dilaksanakan secara tepat guna menurunkan angka kematian ibu dan bayi.
Setiap tahunnya terdapat 76.000 wanita meninggal dan 500.000 kematian bayi akibat preeklamsia. Di Amerika
21 http://2trik.jurnalelektronik.com/index.php/2trik
2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan, Volume 11 Nomor 1, Februari 2021
p-ISSN 2089-4686 e-ISSN 2548-5970
Serikat, Kanada dan eropa Barat 2-5%. Angka kejadian preeklampsia dan eklampsia di Kawasan Afrika mencapai
4-18%. Menurut WHO tahun 2015, penyebab kematian ibu yang paling umum di Indonesia karena
preeklampsia/eklampsia adalah 24%.(7)
Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran tentang Asuhan Kebidanan pada Ibu Bersalin
dengan Preeklampsia Berat di RSUD Ciamis.
METODE
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus.
Studi kasus adalah penelitian deskriptif yang melakukan penyelidikan secara intensif tentang individu, dan atau
unit sosial yang dilakukan secara mendalam dengan menemukan semua variabel tentang individu atau unit sosial
diteliti. Pada penelitian studi kasus yang menjadi subjek penelitiannya dapat berupa individu, kelompok, lembaga
ataupun masyarakat.(8)
Studi kasus yang dilakukan pada penelitian ini adalah dengan penyelidikan intensif pada individu yang
berkaitan dengan asuhan kebidanan secara komprehensif pada individu, dengan menggunakan pemecahan
masalah dalam asuhan kebidanan. Pada penelitian ini menggunakan enam standar asuhan kebidanan yang sesuai
dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 938/Menkes/SK/VIII/2007 yaitu pengkajian,
perumusan diagnosa dan atau masalah kebidanan, perencanaan, implementasi, evaluasi dan pencatatan asuhan
kebidanan. Subjek dalam penelitian ini adalah Ny. E umur 32 tahun dengan Preeklampsia Berat (PEB). Penelitian
ini dilakukan mulai tanggal 5 sampai dengan 6 Maret 2020 yang bertempat di RSUD Ciamis.
HASIL
Hasil penelitian ini adalah masalah asuhan kebidanan pada ibu bersalin Ny. E dengan preeklampsia berat
di RSUD Ciamis dan akan dibahas dalam pembahasan mulai dari pengkajian, perumusan diagnosa, perencanaan,
implementasi dan evaluasi. Hasil pengkajian didapatkan Ny. E umur 32 tahun, agama Islam, Pendidikan terakhir
SMU, sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT), telah menikah dengan Tn. R berumur 37 tahun, Pendidikan terakhir
SMU, dan pekerjaan berwiraswasta.
Pengkajian dilakukan pada tanggal 5 Maret 2020 pada pukul 14.15. Ny. E mengatakan mules-mules sejak
jam 06.00 dengan keluhan pusing, mata berkunang-kunang, pegal-pegal, dan bengkak di daerah tangan dan kaki,
sudah keluar lendir bercampur darah dan belum keluar air-air. Hari pertama haid terakhir pada tanggal 18 juni
2019, Ibu mengatakan ini kehamilan yang kedua, tidak pernah keguguran, riwayat sebelumnya anak pertama lahir
normal di bidan, jenis kelamin perempuan, berat badan tiga kg, jarak kehamilan ini dengan persalinan terakhir 11
tahun. Ibu mengatakan rutin melakukan pemeriksaan ANC ke bidan lima kali dan dikatakan gerakan janin
dirasakan aktif. Ibu mengatakan tidak mempunyai riwayat penyakit menular dan keturunan, tidak alergi obat
ataupun makanan. Ibu mengatakan menggunakan kontrasepsi suntik 1 bulan sebelum kehamilan ini.
Pemeriksaan fisik didapatkan bahwa keadaan umum ibu baik, kesadaran composmentis, tekanan darah
170/100 mmHg, nadi 90 x/menit, pernapasan 23 x/menit, suhu 36,2˚C, wajah tidak ada oedema, konjungtiva
merah muda, sklera putih, tidak ada benjolan pembuluh limfe, tidak ada nyeri saat ditekan, puting susu menonjol,
ASI (+/+), abdomen tidak ada bekas operasi, tinggi fundus uteri 28 cm, punggung kanan, presentasi kepala, sudah
masuk pintu atas panggul (divergen) 3/5, denyut jantung janin 150 x/menit, kontraksi uterus 4x10’x45”, portio
tidak teraba, pembukaan 9 cm, ketuban utuh, kepala hodge II, kepala teraba ubun-ubung kecil, terdapat blood
slym, ekstremitas atas oedema, kuku jari tidak pucat, infus terpasang di tangan kanan RL + MgSO4 labu 1 ± 250
dengan 15 tpm, ekstremitas bawah oedema, tidak ada varises, refleks patella ada. Hasil pemeriksaan penunjang
pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil kadar HB 12,8 gr% dan protein urine +2.
Berdasarkan hasil pengumpulan data dari anamnesa dan data objektif maka diagnosa kebidanan dari ibu
adalah G2P1A0 37 minggu persalinan kala 1 fase aktif dengan Preeklampsia Berat (PEB) janin tunggal hidup.
Diagnosa potensial yaitu Eklampsia, solusio plasenta, intra uterin fetal distress dan intra uterin fetal death.
Tindakan segera yang dilakukan adalah kolaborasi dengan dokter spesialis obstetri ginekologi (Sp.OG) dan advis
dokter adalah pemberian infus vit drip (0.5% + MgSO4 15 cc).
Perencanaan asuhan yang diberikan adalah lakukan informed consent, beritahu hasil pemeriksaan,
kolaborasi dengan dokter Sp.OG, observasi kemajuan persalinan dan janin, komunikasi informasi dan edukasi
(KIE) Teknik relaksasi dan nutrisi, persiapan alat-alat persalinan, lakukan amniotomi, melakukan pertolongan
persalinan, dan observasi pada kala IV. Adapun penatalaksanaan asuhan yang diberikan adalah melakukan
informed consent, memberitahu hasil pemeriksaan pada ibu dan keluarga serta asuhan yang akan diberikan,
berkolaborasi dengan dokter Sp.OG dengan advis pemberian infus vit drip (0,5% + MgSO4 15 cc) terpasang infus
ditangan kanan RL+ MgS4 labu 1 dengan 20 tpm, mengobservasi kemajuan persalinan dan janin, mengajarkan
pada ibu teknik relaksasi, dan menganjurkan ibu untuk minum dan makan jika tidak ada mules, mempersiapkan
alat-alat persalinan, melakukan amniotomi, melakukan pertolongan persalinan, dan mengobservasi kala empat.
22 http://2trik.jurnalelektronik.com/index.php/2trik
2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan, Volume 11 Nomor 1, Februari 2021
p-ISSN 2089-4686 e-ISSN 2548-5970
Kemudian dilakukan evaluasi, pada pukul 15.05 ibu melahirkan dengan cara spontan jenis kelamin laki-
laki menangis kuat, warna kulit kemerahan, tonus otot kuat dan keadaan umum ibu baik dengan tekanan darah
150/100 mmHg, dan kontraksi uterus baik
PEMBAHASAN
Hasil pengkajian didapatkan Ny. E 32 tahun mengatakan mules-mules sejak jam 06.00 dengan keluhan
pusing, mata berkunang-kunang, pegal-pegal, dan bengkak di daerah tangan dan kaki, sudah keluar lendir
bercampur darah dan belum keluar air-air. Hari pertama haid terakhir pada tanggal 18 juni 2019. Hal ini sesuai
dengan tanda-tanda permulaan persalinan yaitu nyeri di perut dan pinggang oleh karena adanya kontraksi.(9) Dan
juga ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa tanda preeklampsia berat adanya bengkak pada kaki, tangan,
dan wajah walau sudah istirahat, pusing yang berkunang-kunang muncul secara mendadak.(10)
Hasil pemeriksaan ditemukan bahwa tekanan darah 170/100 mmHg, tinggi fundus uteri dua puluh delapan
cm, punggung kanan, presentasi kepala, sudah masuk PAP (divergen) 3/5, DJJ 150x/menit, kontraksi uterus
4x10’x45”, portio tidak teraba, pembukaan sembilan cm, ketuban utuh, kepala hodge dua, kepala teraba ubun-
ubun kecil, terdapat blood slym, ekstremitas atas edema, kuku jari tidak pucat, refleks patella ada dan protein
urine +2. Hal ini menandakan ibu sudah masuk masa persalinan kala satu fase aktif dan terdapat tanda-tanda dari
preeklampsia berat. Preeklamsi berat adalah tekanan darah ≥160/110 mmHg yang disertai dengan proteinuria
setelah usia kehamilan 20 minggu.(11)
Berdasarkan hasil pengkajian Ny. E didapatkan diagnosa kebidanan pada Ny. E Persalinan Kala I fase aktif
dengan PEB yaitu mengeluh pusing, mata berkunang-kunang, tekanan darah 170/100 mmHg, terdapat edema pada
bagian kaki dan tangan serta protein urine +2. Hal ini sesuai dengan Didien dan Suprapti (2016) bahwa diagnosa
PEB ditegakkan bila didapatkan Tekanan darah sistolik ≥160 atau tekanan darah diastolik ≥110 mmHg, kadar
protein dalam urine ≥+2, dan tanda gejala tambahan berupa keluhan subjektif berupa nyeri kepala, nyeri ulu hati,
dan mata kabur. (11) dikatakan dalam persalinan kala I jika sudah terjadi pembukaan servik dan kontraksi uterus
minimal 2 kali dalam 10 menit selama 40 detik. Kala I adalah pembukaan yang berlangsung antara 0-10 cm
dimana pada kala 1 ada dua fase yaitu fase laten (pembukaan 0-3) dan fase aktif (pembukaan 4-10).(12)
Perencanaan asuhan yang diberikan adalah lakukan informed consent, beritahu hasil pemeriksaan,
kolaborasi dengan dokter Sp.OG, observasi kemajuan persalinan dan janin, KIE teknik relaksasi dan nutrisi,
persiapan alat-alat persalinan, lakukan amniotomi, melakukan pertolongan persalinan, dan observasi pada kala
empat. Menurut Varney (2015) bahwa rencana tindakan untuk preeklampsia berat adalah jelaskan tentang hasil
pemeriksaan, jelaskan tentang nyeri persalinan, kolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi obat, melakukan
pertolongan persalinan sesuai dengan asuhan persalinan normal dan lakukan observasi kala empat.(13)
Implementasi yang pertama kali diberikan pada Ny. E adalah melakukan informed consent pada ibu dan
memberitahukan hasil pemeriksaan kepada ibu. Hal ini sesuai dengan penatalaksanaan asuhan kebidanan yaitu
membina hubungan baik dengan ibu dan keluarga dan menjelaskan asuhan yang akan diberikan yang bertujuan
agar pasien mengetahui hasil pemeriksaan dan asuhan yang diberikan. (13)
Penatalaksanaan untuk tindakan segera yang dilakukan pada kasus ini adalah kolaborasi dengan dokter
Sp.OG dengan advis memberikan terapi yaitu MgSo4 10 cc dimasukan secara IV dan infus RL 100 cc + 15 cc
MgSO4 40% di lengan kanan. Hal ini sesuai dengan Rukiyah (2010) bahwa Tindakan segera untuk penanganan
PEB adalah pemberian terapi obat (MgSO4), dan segera merujuk. Tindakan segera yaitu dosis awal diberi 2 gram
(10 cc MgSO4 20%) dilarutkan ke dalam 100 cc RL, diberikan selama 10-15 menit dan dosis pemeliharaan 6 gram
dalam 500 cairan RL, diberikan dengan kecepatan 1-2 gram/jam (30 tetes permenit). Hal ini sesuai dengan Didien
& Suprapti (2016), bahwa penanganan umum dari PEB adalah pemberian MGSO4 untuk mencegah dan mengatasi
kejang pada PEB dan eklampsia.(11), (14)
Berdasarkan kewenangan bidan tidak memiliki kewenangan untuk penanganan preeklampsia berat karana
dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2019 tentang Kebidanan Pasal 49 E bidan hanya memiliki kewenangan dalam
melakukan pertolongan pertama dalam kegawatdaruratan ibu hamil, bersalin, nifas, dilanjutkan dengan rujukan.
Akan tetapi selain tugas dan fungsi mandiri, bidan juga memiliki tugas dan fungsi kolaborasi, sehingga bidan boleh
memberikan MgSO4 akan tetapi atas dasar kolaborasi dengan dokter Sp.OG dan dilakukan di rumah sakit.
Pada kasus ini juga dilakukan observasi kemajuan persalinan dan janin meliputi keadaan umum, tanda
vital, pembukaan persalinan, kontraksi uterus, dan denyut jantung janin setiap 30 menit sekali. Hal ini sesuai
dengan Kemenkes RI (2015) bahwa kondisi ibu dan bayi harus dinilai dan dicatat secara seksama yaitu setiap
setengah jam: denyut jantung janin, frekuensi dan lamanya kontraksi uterus, dan nadi. Setiap 4 jam yaitu
pembukaan serviks, penurunan, tekanan darah dan temperatur tubuh, serta produksi urin, aseton dan protein setiap
2 sampai 4 jam.(14) Menurut Chapman & Charles (2013), pada kasus preeklampsia berat harus dilakukan Tindakan
segera berupa pemantauan tekanan darah setiap 15 menit.(15)
Penulis mengajarkan pada ibu untuk melakukan teknik relaksasi, yaitu dengan mengajarkan cara menarik
nafas yang dalam bila ada kontraksi, hal ini bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri. Dengan Teknik relaksasi ibu
23 http://2trik.jurnalelektronik.com/index.php/2trik
2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan, Volume 11 Nomor 1, Februari 2021
p-ISSN 2089-4686 e-ISSN 2548-5970
keadaan ibu menjadi lebih tenang dan rasa nyeri mules yang dirasakan sedikit berkurang. Bidan dapat membantu
ibu dalam mengurangi rasa nyeri persalinan melalui pernafasan dan relaksasi yang bisa sendiri oleh ibu bersalin
maupun stimulasi oleh bidan. Stimulasi dapat dilakukan melalui pijatan, kompres hangat dan dingin, perubahan
posisi, ataupun dengan pemusatan perhatian.(16) Teknik relaksasi dapat mengendalikan nyeri dengan
meminimalkan aktifitas simpatik dalam sistem saraf otonom. Teknik tersebut dapat mengurangi sensasi rasa nyeri
dan mengontrol intensitas reaksi ibu terhadap nyeri. Asmah (2016) menyebutkan bahwa ada pengaruh teknik
relaksasi nafas terhadap tingkat nyeri persalinan pada ibu inpartu kala I fase aktif.(17)
Penatalaksanaan lain yang dilakukan adalah memfasilitasi pemberian nutrisi untuk memenuhi kebutuhan
nutrisinya. Ibu meminum segelas teh hangat dan makan ringan yang rendah garam. Ciri khas diet preeklampsia
adalah memperhatikan asupan garam dan protein. Tujuan dari pengaturan diet makanan pada preeklamsia adalah
salah satunya untuk mencapai dan mempertahankan tekanan darah normal, dengan bentuk makan yang sesuai
dengan kemampuan pasien.(18) Konsumsi Natrium yang berlebihan menyebabkan tubuh meretensi cairan yang
dapat meningkatkan volume darah. Asupan natrium yang berlebihan menyebabkan kerja jantung menjadi lebih
keras sehingga dpat meningkatkan tekanan darah. Beberapa penelitian menyatakan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara asupan natrium dengan tekanan darah, pada penelitian tanjung mendapatkan responden yang
sering mengkonsumsi makanan tinggi natrium memiliki jumlah kasus tekanan darah yang lebih tinggi.(19)
Karena klien sudah memasuki persalinan kala satu, maka penulis mempersiapkan alat-alat untuk
pertolongan persalinan dan memastikan kelengkapan alat. Hal ini sesuai dengan Rohani (2011), bahwa pada
langkah pelaksanaan pertolongan persalinan harus memastikan kelengkapan peralatan, partus set, dan hecting
set.(20) Alat-alat yang akan digunakan sudah disterilkan, hal ini dilakukan untuk pencegahan terhadap infeksi yang
bisa terjadi antara ibu dan tenaga kesehatan. Pencegahan infeksi ini merupakan asuhan sayang ibu. Berdasarkan
hasil penelitian Tambuwun (2014) ada hubungan asuhan sayang ibu dengan proses persalinan, proses
persalinannya sebagian besar berjalan dengan normal.(21)
Pada kasus ini dilakukan amniotomi untuk mempercepat proses persalinan ibu. Hal ini dilakukan karena
ibu sudah memasuki fase aktif dan sudah ada tanda dan gejala dari kala dua. Menurut Rukiyah (2010)
penatalaksanaan preeklampsia berat tergantung dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala preeklamsia
berat, yaitu melakukan terminasi kehamilan yang sudah inpartu. Jika sudah memasuki fase aktif maka lakukan
amniotomi. (22)
Pertolongan persalinan yang dilakukan pada kasus ini adalah dengan menggunakan pertolongan persalinan
normal. Menolong persalinan sesuai dengan kewenangan, yaitu memimpin ibu mengejan apabila pembukaan
sudah lengkap.(20) Bayi lahir dalam keadaan menangis kuat, tonus otot aktif dan keadaan ibu baik.
Setelah kelahiran bayi, dilakukan observasi kala IV. Hal ini sesuai dengan Rohani (2011) mengobservasi
tinggi fundus uteri, tanda-tanda vital, perdarahan dan kandung kemih setiap lima belas menit dalam satu jam
pertama dan tiga puluh menit dalam jangka kedua. Apabila kontraksi uterus tidak kuat, maka lakukan masase
uterus sampai menjadi keras. Hal ini dapat mengurangi kehilangan darah dan mencegah perdarahan pasca salin.(20)
Hasil evaluasi setelah proses persalinan selesai dan diobservasi pada jam pertama dan kedua, tekanan darah
ibu dari 170/100 mmHg menjadi turun 150/100 mmHg. Hal ini disebabkan karena ibu sudah diberikan
penanganan yang tepat yaitu diantaranya pemberian MgSo4. Penggunaan MgSO4 pada peeklampsi telah terbukti
bermakna. Pada penelitian Surjadi (2015) didapatkan pengaruh yang signifikan dari pemberian MgSO4 terhadap
penurunan tekanan darah sitolik pada pasien preeklampsi. Sifat resistensi perifer dari MgSO4 dikethui sebagai
salah satu mekanismenya. Sifat ini menangkal vasospasme yang diinduksi oleh zat vasokontriktor, dan dapat
bekerja sebagian besar jenis saluran kalsium di otot polos pembuluh darah sehingga diharapkan dapat menurunkan
kalsium intraseluler. Kalsium intraseluler yang rendah akan mengakibatkan aktivitas dari miosin menjadi inaktif
dan terjadi penurunan kontraksi, mengakibatkan relaksasi arteri dan selanjutkan dapat menurunkan resistensi
pembuluh darah otak dan perifer, menghilangkan vasospasme, dan menurunkan tekanan darah arteri.(23)
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian maka disimpulkan bahwa gambaran tentang Asuhan Kebidanan pada Ibu
Bersalin dengan Preeklampsia Berat di RSUD Ciamis sudah sesuai tidak ada yang bertentangan dengan teori-teori
yang ada. Disarankan bagi pasien perlu meningkatkan pemahaman tentang faktor risiko terhadap terjadinya
preeklampsia salah satunya tentang pemahaman diet tinggi protein dan rendah garam. Bagi Rumah Sakit agar
tetap mempertahankan standar pelayananan yang baik terutama untuk kasus dengan risiko tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Pelaksanaan Kelas Ibu Hamil. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2016.
2. WHO. Key Fact Maternal Mortality. Geneva: WHO; 2019.
3. Endang LA. Kematian Maternal dan Neonatal di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2019.
4. Kemenkes RI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Jakarta: Kemenkes
24 http://2trik.jurnalelektronik.com/index.php/2trik
2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan, Volume 11 Nomor 1, Februari 2021
p-ISSN 2089-4686 e-ISSN 2548-5970
RI; 2013.
5. Ramie A, Fahreza, Mahdalena. Riwayat Keluarga Preeklampsia Meningkatkan Kejadian Preeklampsia. J. Citra
Keperawatan Poltekkes Kemenkes Banjaramasin. 2018l;6(2):35–51.
6. Rukiyah. Asuhan Kebidanan. Jakarta: EGC; 2009.
7. Lisnawati, Widiyanti R. Faktor Risiko Kejadian Pre Eklampsi di Kota Cirebon Tahun 2019. J. Kebidanan dan
Keperawatan. 2020;11(1):147–158.
8. Budiman. Penelitian Kesehatan. Bandung: PT Refika Aditama; 2011.
9. Mochtar R. Sinopsis Obstetri. Jakarta: EGC; 2013.
10. Muhida IYV. Asuhan Kebidanan Ibu Hamil dengan Preeklamsia Berat Trimeester III pada Ny. N di Puskesmas
Kramatwatu Tahun 2019. Banten: Poltekkes `Aisyiyah Banten PENDAH; 2019.
11. Setyarini SDI. Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal Neonatal. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI;
2016.
12. Sulistyawati A. Asuhan Kebidanan pada Ibu Bersalin. Jakarta: Salemba Medika; 2010.
13. Varney HGC, Kriebs JM. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta: EGC; 2007.
14. Kementerian Kesehatan RI. Bahan Ajar Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2015.
15. Chapman, Charles. Persalinan dan Kelahiran Asuhan Kebidanan. Jakarta: EGC; 2013.
16. Yuliawati LESB, Insani AA, Andriani F. Buku Ajar Asuhan Kebidanan pada Persalinan. 2019.
17. Sukarta A. Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Terhadap Tingkat Nyeri Persalinan Ibu Inpartu Kala Fase Aktif. J.
Ilm. Kesehat. Iqra. 2016;4(2):39–45.
18. Anasiru MA. Pengaturan Gizi Pada Penanganan Preeklampsia. Heal. Nutr. J. 2019;1(1);62–72.
19. Tanjung. Hubungan antara gaya hidup ,asupan zat gizi, pola minum dan indeks masa tubuh dengan hipertensi
pada pralansia di Posbindu Kelurahan Rangkepan Jaya Depok Tahun 2009. Jakarta: FKM-UI; 2009.
20. Rohani, et al. Asuhan pada Masa Persalinan. Jakarta: Salemba Medika; 2011.
21. Tambuwun H, Tombokan S, Mandang J. Hubungan Pelaksanaan Asuhan Sayang Ibu dengan Lamanya
Persalinan. J. Ilm. Bidan. 2014;2(1):91687.
22. Rukiyah. Asuhan Kebidanan IV (Patologi Kebidanan). Jakarta: Info Media; 2010.
23. Amalia FF. Pengaruh Penggunaan MgSO4 sebagai Terapi Pencegahan Kejang pada Preeklampsi. J. Ilmu
Kedokteran dan Kesehatwan. 2020;7:393–400.
25 http://2trik.jurnalelektronik.com/index.php/2trik
MANAJEMEN INTERVENSI FASE NURSCOPE
Jurnal Keperawatan dan
LATEN KE FASE AKTIF PADA Pemikiran Ilmiah
KEMAJUAN PERSALINAN Kurniawati, D (2017). Manajemen Intervensi
Fase Laten ke Fase Aktif Pada Kemajuan
Persalinan. Nurscope. Jurnal Keperawatan dan
Pemikiran Ilmiah. 3 (4). 27-34
1
Dini Kurniawati
1
Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember
ABSTRAK
Tahap awal dari persalinan adalah pembukaan servik yang terdiri dari dua fase yaitu fase laten, pembukaan
servik mulai 1cm sampai dengan 3 cm dan fase aktif, pembukaan servik mulai 4 cm sampai 10 cm. Fase laten
mempunyai durasi lebih lama dari pada fase aktif, sehingga memungkinkan intervensi lebih banyak dilakukan
oleh penolong pada fase ini. Intervensi dan lamanya fase laten akan menimbulkan ketidaknyamanan dan
kecemasan pada ibu saat menunggu kemajuan fase ini. Peningkatan jumlah intervensi pada fase ini dapat
disebabkan oleh diagnosa atau pengkajian yang kurang tepat dan menyebabkan komplikasi. Komplikasi pada
fase ini menyebabkan perdarahan postpartum, chorioamnionitis, dan resiko pada neonatus. Intervensi yang
dilakukan pada fase lanten antara lain pemberian oksitosin, pemecahan membran ketuban (amniotomy). Klien
dengan fase laten yang memanjang dilakukan intervensi seperti seksio sesarea (SC). Pada fase ini perlu
majamen tindakan untuk mengurangi ketidaknyaman pada Ibu.
ABSTRACT
The first stage of labor to the complete dilatation of the cervix consists of two phases , latent (dilatation 1 cm to
3 cm) and active phases ( 4 cm to 10 cm). Latent phase has a longer duration of the active phase, so more
obstetric interventions than those admitted in the this phase. Intervention and duration of the latent phase will
cause discomfort and anxiety in the mother during this phase of waiting for progress. Increasing the number of
interventions at this phase can be caused by a diagnosis or assessment is less precise and cause
complications. Complications in this phase causes of postpartum hemorrhage, chorioamnionitis, and neonatal
risk. Interventions at latent phase include oxytocin, amniotic rupture membranes (amniotomy). Woman with
prolonged latent phase intervention such as caesarean section (SC). In this phase is need management
intervention to reduce the discomfort.
Corresponding Author :
1
Dini Kurniawati , Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Negeri Jember; e-mail
dini_psikunej@yahoo.com
PENDAHULUAN
Persalinan merupakan proses pengeluaran janin dan plasenta yang ditandai dengan
adanya kontraksi uterus. Kontraksi yang teratur akan membantu dilatasi servik secara
progresif. Proses dilatasi servik terdiri dari fase laten dan fase aktif.
Fase laten dan fase aktif mempunyai durasi yang berbeda. Fase laten adalah fase awal,
dimulai pada saat adanya kontraksi yang teratur , servik berdilatasi dari 0 sampai 3 cm
(Pillitteri, 2009). Fase ini berlangsung sekitar 8 – 10 jam pada primipara dan 6 sampai 8
jam pada nulipara (Pillitteri, 2009). Pengkajian terhadap lama fase ini sangat penting
untuk mengevaluasi adanya abnormalitas persalinan.
Fase aktif adalah fase setelah fase laten, dimana dilatasi servik membuka 4 sampai
dengan 10 cm (Chuma, Kihunrwa, Matovelo and Mahendeka, 2014). Rata-rata lama
pada fase aktif ini adalah 6 jam. Fase aktif merupakan saat yang melelahkan dan berat
bagi ibu. Nyeri juga dirasakan mulai punggung sampai dengan anus. Selain itu ibu juga
merasakan tidak nyaman pada daerah kaki. Hal inilah yang menunjukan karakteristik
pada fase aktif.
Karakteristik fase laten berbeda dengan fase aktif. Fase laten merupakan fase yang
sensitif, lama dan merupakan dasar evaluasi kemajuan fase selanjutnya. Perbedaan
durasi dan karakteristik ini memungkinkan adanya perbedaan managemen pada kedua
fase tersebut. Manajemen pada kala I merupakan manajamen yang akan berpengaruh
pada kesehatan ibu saat ini, janin maupun keadaan ibu setelah persalinan serta pada
persiapan kehamilan selanjutnya. Dampak dari manajemen kala I inilah maka perawat
perlu memperhatikan setiap intervensi yang diberikan. Intervensi ini penting untuk
diketahui perawat karena intervensi yang tidak diperlukan akan merugikan klien.
Analisis Pustaka
Intervensi pada fase laten merupakan tindakan untuk mencegah resiko akibat
memanjangnya fase laten. Intervensi yang tidak tepat pada fase laten dapat terjadi
karena kesalahan diagnosa. Fase laten merupakan fase yang durasinya lama, tindakan
yang dilakukan pada fase ini akan meningkatkan kecemasan pada ibu (Patersen, 2008
dalam Chuma et al ,2014). Durasi yang lama memberikan kesempatan tenaga medis
untuk melakukan intervensi yang sebenarnya tidak perlu. Manajemen dan intervensi
pada fase laten dan fase aktif perlu diperhatikan untuk menghindari intervensi rutin
yang tidak diperlukan oleh klien.
Intervensi yang sering dilakukan pada fase laten dapat berupa intervensi rutin maupun
intervensi untuk mencegah resiko memanjangnya fase laten.. Beberapa intervensi
tersebut adalah pemberian oksitosin untuk meningkatkan kontraksi uterus, amniotomy
dan melakukan tindakan seksio sesarea. Hal inilah yang memungkinkan adanya
perbedaan intervensi dan managemen pada fase laten dan fase aktif.
Perbedaan intervensi pada fase laten dan fase aktif telah diteliti oleh Chuma et al.
(2014). Hasil penelitan menunjukan secara signifikan ibu pada fase laten lebih banyak
mendapatkan tindakan induksi oksitosin, tindakan pemecahan membran (amniotomy)
dan keputusan untuk melakukan tindakan seksio sesarea dibandingkan pada fase aktif.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hogberg (2000), intervensi seksio sesarea
dilakukan pada fase laten karena berhubungan dengan berat bayi. Intervensi yang
dilakukan pada fase laten dan fase aktif dapat berdampak positif dan negatif pada ibu
maupun pada janinnya.
Keuntungan dari intervensi yang dilakukan pada kala I adalah mempercepat durasi pada
kala I. Hasil penelitian Ness (2005) dalam Chuma et al. (2014) menunjukan bahwa
dengan intervensi pada fase ini mempersingkat durasi yaitu dari 13,5 jam menjadi 8,3
jam. Tetapi keuntungan tidak adanya intervensi adalah dapat mencegah prematuritas.
Hal inilah yang memerlukan analisis kritis bagi tenaga kesehatan dalam memberikan
intervensi baik pada fase laten maupun fase aktif.
Pembahasan
Intervensi yang dilakukan pada awal persalinan untuk mencegah dan manangani adanya
persalinan yang lama. Intervensi ini dapat menguntungkan ibu maupun bayinya, tetapi
juga dapat merugikan keduanya Berdasarkan penelitian yang dilakukan Chuma et al.
(2014) bahwa pada fase laten ibu lebih banyak mendapatkan intervensi berupa
pemberian induksi oksitosin, amniotomy dan seksio sesarea.
Hal ini juga berdampak pada keselamatan janin. menurut penelitian yang dilakukan oleh
Seaward et.al (1997), Howarth(2007) dalam Dhawle (2012) menunjukan bahwa
amniotomy beresiko terhadap infeksi baik pada ibu maupun pada bayinya yaitu prolaps
tali pusat atau kompresi , infeksi maternal atau neonatus , deselerasi Fetal Hearth Rate ,
perdarahan dari plasenta previa atau plasenta letak rendah dan kemungkinan cedera
janin. Intervensi ini memerlukan pengawasan dan tindakan yang tepat, sehingga
pemeriksaan dalam setelah amniotomy perlu diperhatikan. Menurut Dhawle (2012)
bahwa intervensi ini dilakukan minimal 6 jam setelah klien mendapatkan intervensi
oksitosin. Intervensi lain yang sering dilakukan pada fase laten adalah keputusan dalam
melakukan secsio sesarea. Intervensi lain yang sering dilakukan pada fase laten adalah
keputusan dalam melakukan seksio sesarea.
Seksio sesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding
perut dan dinding uterus. Tindakan ini dilakukan apabila proses induksi gagal atau
adanya durasi kala I yang memanjang serta indikasi. Beberapa studi telah menunjukan
bahwa peningkatan kemungkinan kelahiran sesar disebabkan oleh adanya kegagalan
induksi persalinan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Chuma et al. (2014)
menunjukan bahwa seksio sesarea dikarenakan adanya prolonge latent phase. Hal ini
berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Caughey, Nicholson, Cheng, Lyell,
Washinton (2006) bahwa seksio sesarea dilakukan karena faktor lain seperti gawat janin,
bayi besar, bayi kembar maupun adanya panggul sempit.
Ketiga intervensi di atas mempunyai dampak negatif dan positif. Peran perawat
maternitas pada intervensi ini adalah melakukan pengkajian secara seksama. pengkajian
pada fase laten untuk mengurangi intervensi yang tidak menguntungkan adalah dengan
menggunakan partograph maupun pemeriksaan fisik dengan teliti. Penentuan intervensi
pada fase ini dapat dilakukan dengan menggunakan algoritme fase laten. Algoritme fase
laten adalah panduan untuk menentukan intervensi (Miller, 2014).
Algoritma merupakan salah satu cara dalam mengevaluasi kemajuan persalinan ibu,
khususnya pada fase aktif. Hal yang dievaluasi pada algoritma meliputi sifat dari
persalinan sebelumnya dan kemungkinan persalinan saat ini dan perubahan serviks
diukur melalui pemeriksaan dalam. Langkah algoritme ini dimulai saat klien berada di
rumah, pemberian informasi mengenai keadaan janin dan kemajuan persalinan, dan
kriteria kriteria persalinan normal dan bantuan sampai dengan langkah untuk
menentukan klien di bawa ke rumah sakit. Dengan algortime ini, maka setiap tindakan
yang diberikan kepada pasien seperti oksitosin, amniotomi dan tindakan seksio sesasera
berdasarkan alasan klinis dan keadaan klien, bukan karena tindakan ini adalah tindakan
rutin yang selalu dilakukan pada klien. Dengan algoritme ini, apabila ada keadaan yang
di asumsikan tidak normal, perawat dapat melakukan tindakan perawat secara mandiri
dahulu sebelum klien mendapatkan tindakan medis. Dengan demikian maka intervensi
yang tidak perlu pada fase laten dapat dikurangi.
Kesimpulan
Tahap awal dari persalinan yaitu fase aktif dan fase laten merupakan masa yang
menegangkan, melelahkan dan dapat menimbulkan kecemasan pada ibu. Pada fase ini
ibu akan mendapatkan intervensi untuk mengatasi persalinan yang abnormal dan
mencegah komplikasi dari persalinan. Intervensi yang sering dilakukan adalah intervensi
pada fase laten, karena fase ini adalah fase yang mempunyai durasi lebih lama dari pada
fase aktif. Intervensi yang sering dilakukan adalah pemberian induksi oksitosin,
amniotomy dan keputusan untuk melakukan seksio sesarea. Intervensi ini perlu
dilakukan analisis kritis sebelum dilakukan pada klien untuk mengurangi adanya
intervensi yang tidak diperlukan atau intervensi yang berlebihan. Tindakan untuk
mencegah tersebut adalah dengan pengkajian yang seksama dan teliti.
DAFTAR PUSTAKA
Angelini, D. J.(2011).More Time Before Calling It Quits In Latent of Labor?. Jornal Watch
Woman’s Health. doi:10.1056/WH201102240000002
Cheyne, H., Dowding, D., & Hundley, V.(2006). Making the diagnosis of Labour:midwives'
diagnostic judgement and management decisions. Journal of Advanced Nursing,
53, 625-635. doi:10.1111/j.1365-2648.2006.03769.x
Chuma, C., Kihunrwa, A., Matovelo, D., & Mahendeka, M.(2014). Labour management
and Obstetric outcomes among pregnant women admitted in latent phase
compared to active phase of labour at Bugando Medical Centre in Tanzania. BMC
Pregnancy and Childbirth, 14(1), 68. doi:10.1186/1471-2393-14-68
Hogberg, U., & Lekâs Berg, M.(2000). Prolonged labour attributed to large fetus.
Gynecologic and Obstetric Investigation, 49(3), 160–4. doi:10239
Nachum, Z., Garmi, G., Kadan, Y., Zafran, N., Shalev, E., & Salim, R.(2010). Comparison
between amniotomy, oxytocin or both for augmentation of labor in prolonged
latent phase: a randomized controlled trial. Reproductive Biology and
Endocrinology : RB&E, 8(1),136. doi:10.1186/1477-7827-8-136
Roberts, L., Gulliver, B., Fisher, J., & Cloyes, K.(2010). The coping with labor algorithm:
an alternate pain assessment tool for the laboring woman. Journal of
Midwifery & Women's Health, 55, 107-116. doi:10.1016/j.jmwh.2009.11.002