Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN PEMENUHAN

KEBUTUHAN DASAR MANUSIA NYERI


DI RUANG NUSA INDAH RSUD
dr. DORIS SYLVANUS
PALANGKA RAYA

Oleh :
Nama : Kiki Saputra
NIM : 2022–04–14901–036

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PRODI SARJANA KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN
2022/20
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Konsep Cedera Otak Berat (COS)


1.1.1 Definisi COS
Cedera otak sedang didefenisikan dengan adanya GCS 9-12 dimana pasien
mengeluh nyeri, serta terdapat abrasi dan hematoma (Rosani P, 2018). Nyeri akut
yang muncul pada pasien cedera otak sedang pada bagian kepala akibat adanya
tekanan intra kranial yang disebabkan oleh hematoma pada bagian otak dan
fraktur pada tulang tengkorak (Rosani P, 2018).
Cedera kepala sedang dimulai dengan adanya kelainan struktural atau
fisiologis pada fungsi otak oleh faktor eksternal yang diindikasikan sebagai onset
baru atau perburukan dari satu atau lebih gejala klinis meliputi kehilangan
kesadaran, kehilangan memori tepat setelah terjadinya trauma. Pasien cidera
kepala sedang masih mampu menuruti perintah sederhana, namun tampak
bingung dan mengantuk, biasanya ditandai dengan 30 menit awal pasien
mengalami penurunan kesadaran dan amnesia. Setelah kembali ke kesadaran yang
composmestis pada tahap inilah pasien dengan cidera otak sedang akan merasakan
nyeri akut yang timbul mendadak pada bagian kepala akibat tekanan intra kranial
yang disebabkan oleh hematoma pada bagian otak dan fraktur pada tulang
tengkorak (Rosani P, 2018). Setelah terjadinya trauma dapat juga mengakibatkan
kelainan status mental (kebingungan, disorientasi, dan pemikiran lambat), defisit
neurologis (kelemahan, kehilangan keseimbangan, perubahan penglihatan, praxis,
paresis atau plegia, kelainan sensoris dan afasia (Clarinta, 2016).
Cedera kepala sedang didefenisikan dengan adanya GCS 13-15 dimana
pasien tidak kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri akut, serta terdapat
abrasi dan hematoma (Rosani P, 2018). Nyeri merupakan sensasi
ketidaknyamanan yang bersifat individual. Nyeri tidak lagi dipandang sebagai
kondisi alami dari cidera atau trauma yang akan berkurang secara bertahap seiring
waktu, karena nyeri yang tak mereda dapat menyebabkan komplikasi, peningkatan
lama rawat inap di rumah sakit dan distress (Rosani P, 2018).
1.1.2 Anatomi Fisiologi

Otak adalah suatu organ terpenting pada tubuh manusia yang merupakan
pusat dari sistem syaraf. Volume otak berkisar 1.350 cc dan mempunyai
100.000.000 sel syaraf atau neuron untuk menunjang fungsinya. Macam-macam
otak ada 4 diantaranya:
1. Cerebrum (Otak Besar) Otak ini otak yang paling besar. Otak ini berfungsi
untuk berfikir, mengendalikan pikiran, bicara, mengingat, bahkan berbicara.
2. Cerebellum (Otak Kecil) Otak ini berada dibawah lobis occipital otak besar
berada di belakang kepala, dan berhubunga dengan leher. Fungsinya otak
kecil (Cerebellum) ini adalah gerakan manusia, seperti mengontrol gerak
koordinasi antar otot, mengatur keseimbangan tubuh, dan mengatur sikap
dan posisi tubuh.
3. Brainteam (Batang Otak) Batang otak (Brainsteam) ini funginya sebagai
mengatur proses pernafasan, proses denyut jantung, proses kerja ginjal, dan
hal lain yang vital bagi manusia.
4. Sistem limbik (Limbik Sistem)
Fungsi dari sistem limbik ini untuk mengatur emosi manusia, pusat data,
pusat lapar, pusat dorongan seks

1.1.3 Etiologi
Etiologi cedera otak menurut Amin & Hardhi, (2013) yaitu:
1. Cedera akselerasi terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak
bergerak
2. Cedera deselerasi terjadi jika kepala yang bergerak membentur obyek diam,
seperti pada kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala membentur kaca
depan mobil
3. Cedera akselerasi-deselerasi sering terjadi dalam kasus kecelakaan
kendaraan bermotor dan episode kekerasan fisik
4. Cedera coup-countre coup terjadi jika kepala terbentur yang menyebabkan
otak bergerak dalam ruang kranial dan dengan kuat mengenai area tulang
tengkorak yang berlawanan serta area kepala yang pertama kali terbentur
5. Cedera rotasional terjadi jika pukulan menyebabkan otak berputar dalam
rongga tengkorak, yang mengakibatkan peregangan atau robeknya neuron
dalam substansia alba serta robeknya pembuluh darah yang memfiksasi otak
dengan bagian dalam rongga tengkorak.

1.1.4 Klasifikasi
Cedera otak dapat dibagi menjadi 3 menurut Prasetyo, (2016) yaitu :
1. Cedera Otak Ringan Glaslow Coma Scale > 12, tidak ada kelainan dalam
CT-Scan, tiada lesi operatif dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit.
Trauma otak ringan atau cedera otak ringan adalah hilangnya fungsi
neurologi atau menurunnya kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan
lainnya. Cedera otak ringan adalah trauma kepala dengan GCS : 15 (sadar
penuh) tidak kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala,
hematoma, laserasi dan abrasi. Cedera otak ringan adalah cedera otak karena
tekanan atau terkena benda tumpul. Cedera otak ringan adalah cedera otak
tertutup yang ditandai dengan hilangnya kesadaran sementara. Pada suatu
penelitian kadar laktat rata-rata pada penderita cedera otaka ringan 1,59
mmol/L.
2. Cedera Otak Sedang Glaslow Coma Scale 9-12, lesi operatif dan
abnormalitas dalam CT-Scan dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit.
Pasien mungkin bingung atau somnolen namun tetap mampu untuk
mengikuti perintah sederhana (GCS 9-13). Pada suatu penelitian cedera otak
sedang mencatat bahwa kadar asam laktat rata-rata 3,15 mmol/L.
3. Cedera Otak Berat Glaslow Coma Scale < 9 dalam 48 jam rawat inap di
Rumah Sakit. Hampir 100% cedera otak berat dan 66% cedera otak sedang
menyebabkan cacat yang permanen. Pada cedera kepala berat terjadinya
cedera otak primer sering kali disertai cedera otak sekunder apabila proses
patofisiologi sekunder yang menyertai tidak segera dicegah dan dihentikan.
Penelitian pada penderita cedera otak secara klinis dan eksperimental
menunjukan bahwa pada cedera otak berat dapat disertai dengan
peningkatan titer asam laktat dalam jaringan otak dan cairan serebrospinalis
(CSS) ini mencerminkan kondisi asidosis otak. Pada suatu penelitian
penderita cedera otak berat menunjukan kadar rata-rata asam laktat 3,25
mmol/L.

1.1.5 Patofisiologi (Pathway)


Patofisiologi cedera otak menurut Pretyana D A, (2017) yaitu :
1. Pukulan langsung: dapat menyebabkan kerusakan otak pada sisi pukulan
(coup injury) atau pada sisi yang berlawanan dari pukulan ketika otak
bergerak dalam tengkorak dan mengenai dinding yang berlawanan.
2. Rotasi/deselerasi: fleksi, ektensi, atau rotasi leher menghasilkan serangan
pada otak yang menyerang titik-titik tulang dalam tengkorak (misalnya pada
sayap dari tulang sfenoid). Rotasi yang hebat juga menyebabkan trauma
robekan di dalam substansi putih otak dan batang otak, menyebabkan cedera
aksonal dan bintik-bintik perdarahan intraserebral.
3. Tabrakan: otak seringkali terhindar dari trauma langsung kecuali jika berat
(terutama pada anak-anak dengan tengkorak yang elastis)
4. Peluru: Cenderung menyebabkan hilangnya jaringan seiring dengan trauma.
Pembengkakan otak merupakan masalah akibat disrupsi tengkorak yang
secara otomatis menekan otak :
a. Derajat cedera otak primer secara langsung berhubungan dengan jumlah
kekuatan yang mengenai kepala.
b. Kerusakan sekunder terjadi akibat : komplikasi sistem pernapasan
(hipoksia, hiperkarbia, obstruksi jalan napas), syok hipovolemik (cedera
kepala tidak menyebabkan syok hipovolemik – lihat penyebab lain),
perdarahan intrakranial, edema serebral, epilepsi, infeksi, dan
hidrosefalus.
WOC CEDERA OTAK SEDANG

Cedera Otak Sedang

Etiologi inveksi virus,infeksi bakteri


infeksi parasite, toksinasi makanan,
obat, obatan, makan dan minum terlalu
berlemak

B1 B2 B3 B4 B5 B6
Kompresi pada Peningkatan
batang otak Cedera kepala Pada cedera Terjadi penurunan Pasien cedera kepala
tekanan intrakranial
kepala fungsi penceernaan
Gangguang irama Berbagai defisit Dalam keadaan
jatung Tekanan pada pusat neurologis Terjadi gangguan Bising usus lemah parese, paraplegi
vasokomotormeningkat berupa retensi

Pengaruh Mual muntah Kontraktur karena imobilisasi


Perubahan pada pola napas, Meningkatkan Inkontinensia
kedalaman, frekuensi transmisi rangsangan peningkatan TIK
urin
maupun iramanya parasimpatik ke Kembung dan Dapat pula terjadi spastisitas
jantung Disebabkan mengalami peruaban atau ketidakseimbangan
Ketidak mampuan
Napas berbunyi stridor, adanya selera antara otot-otot antagonis
menahan miksi
ronki, whezing Denyut nadi perdarahan
menjadi melambat Resiko defisit Terjadi karena rusak atau
Nyeri akut Gangguan nutrisi putusnyahubungan antara
Peningkatan eliminasi pusat syarap diotak dengan
produksi sputum Kerusakan
Terjadi reflek pada spinal
perfusi jaringan
Intoleransi penurunan
Pola napas tidak serebral
aktivitas tonus otot
efektif
1.1.6 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan cedera otak menurut
Pretyana D A (2017), antara lain:
1. Deficit neurologis
2. Infeksi sistemik (pneumonia, septikemia)
3. Infeksi bedah neuro (infeksi luka, osteomielitis, meningitis, ventrikulitis,
abses otak)
4. Osifikasi heterotrofik (nyeri tulang pada sendi-sendi yang menunjang berat
badan)
5. Epidural hematoma (EDH)
adalah berkumpulnya darah di dalam ruang epidural di antara tengkorak dan
dura meter. Keadaan ini sering di akibatkan karena terjadi fraktur tulang
tengkorak yang menyebabkan arteri meningeal tengah terputus atau rusak
(la serasi) dimana arteri ini berada diantara dura meter dan tengkorak
daerah inferior menuju bagian tipis tulang temporal dan terjadi hemoragik
sehingga menyebabkan penekanan pada otak.

1.1.7 Manifestasi Klinis


Tanda gejala pada pasien dengan cedera otak menurut Wijaya dan
Putri (2013), adalah :
1. Cedera otak ringan – sedang
a. Disorientasi ringan
b. Amnesia post traumatik
c. Hilang memori sesaat
d. Sakit kepala
e. Mual muntah
f. Vertigo dalam perubahan posisi
g. Gangguan pendengaran
2. Cedera otak sedang – berat
a. Oedema pulmonal
b. Kejang
c. Infeksi
d. Tanda herniasi otak
e. Hemiparase
f. Gangguan syaraf kranial

1.1.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan di rumah sakit menurut Pretyana D A, (2017),
adalah :
1. Berikan infuse dengan cairan non osmotik (kecuali dextrose oleh karena
dexstrose cepat dimetabolisme menjadi H2O+CO2 sehingga dapat
menimbulkan edema serebri)
2. Diberikan analgesia atau anti muntah secara intravena
3. Berikan posisi kepala dengan sudut 15-45 derajat tanpa bantal kepala, dan
posisi netral, karena dengan posisi tersebut dari kaki dapat meningkatkan
dan memperlancar aliran balik vena kepala sehingga mengurangi kongesti
cerebrum dan mencegah penekanan pada syaraf medula spinalis yang
menambah TIK.

1.2 Konsep Kebutuhan Dasar Manusia Pada Pemenuhan Manajemen


Nyeri
1.2.1 Definisi Nyeri
Nyeri adalah suatu mekanisme pertahanan bagi tubuh yang timbul
bila mana jaringan sedang dirusak yang menyebabkan individu tersebut
bereaksi dengan cara memindahkan stimulus nyeri (Guyton & Hall,
2008 dalam Saifullah, 2015). Nyeri menurut Rospond (2008)
merupakan sensasi yang penting bagi tubuh. Sensasi penglihatan,
pendengaran, bau, rasa, sentuhan, dan nyeri merupakan hasil stimulasi
reseptor sensorik, provokasi saraf-saraf sensorik nyeri menghasilkan
reaksi ketidaknyamanan, distress, atau menderita.
Menurut Handayani (2015) nyeri adalah kejadian yang tidak
menyenangkan, mengubah gaya hidup dan kesejahteraan individu.
Menurut Andarmoyo (2013) nyeri adalah ketidaknyamanan yang dapat
disebabkan oleh efek dari penyakit-penyakit tertentu atau akibat cedera.
Sedangkan menurut Kozier & Erb dalam Nurrahman (2009)
mengatakan bahwa nyeri adalah sensasi yang tidak menyenangkan dan
sangat individual yang tidak dapat dibagi dengan orang lain.

1.2.2 Etiologi Nyeri


Nyeri dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu trauma, mekanik, thermos,
elektrik, neoplasma (jinak dan ganas), peradangan (inflamasi), gangguan
sirkulasi darah dan kelainan pembuluh darah serta yang terakhir adalah
trauma psikologis (Handayani, 2015).

1.2.3 Klasifikasi Nyeri


Klasifikasi nyeri berdasarkan beberapa hal adalah sebagai berikut :
1. Nyeri berdasarkan tempatnya
Menurut Irman (2007) dalam Handayani (2015) dibagi menjadi :
a. Pheriperal pain
Merupakan nyeri yang terasa pada permukaan tubuh. Nyeri ini termasuk
nyeri pada kulit dan permukaan kulit. Stimulus yang efektif untuk
menimbulkan nyeri dikulit dapat berupa rangsangan mekanis, suhu,
kimiawi, atau listrik. Apabila hanya kulit yang terlibat, nyeri sering
dirasakan sebagai menyengat, tajam, meringis, atau seperti terbakar.
b. Deep pain
Merupakan nyeri yang terasa pada permukaan tubuh yang lebih dalam
(nyeri somatik) atau pada organ tubuh visceral. Nyeri somatis mengacu
pada nyeri yang berasal dari otot, tendon, ligament, tulang, sendi dan
arteri. Struktur-struktur ini memiliki lebih sedikit reseptor nyeri sehingga
lokalisasi sering tidal jelas.
c. Reffered pain
Merupakan nyeri dalam yang disebabkan karena penyakit organ/ struktur
dalam tubuh yang ditransmisikan ke bagian tubuh di daerah yang berbeda
bukan dari daerah asalnya misalnya, nyeri pada lengan kiri atau rahang
berkaitan dengan iskemia jantung atau serangan jantung.
d. Central pain
Merupakan nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi
primer pada sistem saraf pusat seperti spinal cord, batang otak, thalamus,
dan lain-lain.

2. Nyeri berd asarkan sifatnya


Meliala (2007) dalam Handayani (2015) menyebutkan bahwa nyeri ini
digolongkan menjadi tiga, yaitu :
a. Incidental pain
Merupakan nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu menghilang. Nyeri ini
biasanya sering terjadi pada pasien yang mengalami kanker tulang.
b. Steady pain
Merupakan nyeri yang timbul dan menetap serta dirasakan dalam jangka
waktu yang lama. Pada distensi renal kapsul dan iskemik ginjal akut
merupakan salah satu jenis.
c. Proximal pain
Merupakan nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan kuat sekali.
Nyeri tersebut biasanya menetap selama kurang lebih 10-15 menit, lalu
menghilang kemudian timbul lagi.
3. Nyeri berdasarkan ringan beratnya
Nyeri ini dibagi ke dalam tiga bagian (Wartonah, 2005 dalam Handayani
2015) sebagai berikut :
a. Nyeri ringan
Merupakan nyeri yang timbul dengan intensitas ringan. Nyeri ringan
biasanya pasien secara obyektif dapat berkomunikasi dengan baik.
b. Nyeri sedang
Merupakan nyeri yang timbul dengan intensitas yang sedang. Nyeri
sedang secara obyektif pasien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri dan mendiskripsikannya, dapat mengikuti
perintah dengan baik.
c. Nyeri berat
Merupakan nyeri yang timbul dengan intensitas berat. Nyeri berat secara
obyektif pasien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih
respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat
mendiskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang.

4. Nyeri berdasarkan waktu serangan


a. Nyeri akut
Merupakan nyeri yang mereda setelah dilakukan intervensi dan
penyembuhan. Awitan nyeri akut biasanya mendadak dan berkaitan
dengan masalah spesifik yang memicu individu untuk segera bertindak
menghilangkan nyeri. Nyeri berlangsung singkat (kurang dari 6 bulan)
dan menghilang apabila faktor internal dan eksternal yang merangsang
reseptor nyeri dihilangkan. Durasi nyeri akut berkaitan dengan faktor
penyebabnya dan umumnya dapat diperkirakan (Asmadi, 2008).
b. Nyeri kronis
Merupakan nyeri yang berlangsung terus menerus selama 6 bulan atau
lebih. Nyeri ini berlangsung diluar waktu penyembuhan yang
diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitkan dengan penyebab atau
cedera spesifik. Nyeri kronis ini berbeda dengan nyeri akut dan
menunjukkan masalah baru, nyeri ini sering mempengaruhi semua aspek
kehidupan penderitanya dan menimbulkan distress, kegalauan emosi dan
mengganggu fungsi fisik dan sosial (Potter & Perry, 2005 dalam
Handayani, 2015).

1.2.4 Patofisiologi
Munculnya nyeri berkaitan dengan reseptor dan adanya rangsangan.
Reseptor nyeri yangdimaksud adalah nociceptor, merupakan ujung-ujung saraf
sangat bebas yang memiliki sedikitatau bahkan tidak memiliki myelin yang
tersebar pada kulit dan mukosa, khususnya padavisera, persendian dinding arteri,
hati dan kandung empedu. Reseptor nyeri dapat memberikanrespons akibat
adanya stimulasi atau rangsangan. Stimulasi tersebut dapat berupa zat
kimiawiseperti histamine, bradikinin, prostaglandin, dan macam asam yang
dilepas apabila terdapatkerusakan pada jaringan akibat kekurangan oksigenasi.
Stimulasi yang lain dapat berupatermal, listrik atau mekanis.Selanjutnya stimulasi
yang diterima oleh reseptor tersebut ditransmisikan ke serabut C.serabut-serabut
aferen masuk ke spinal melalui akar dorsal (dorsal root) serta sinaps padadorsal
horn. Dorsal horn, terdiri atas beberapa lapisan atau laminae yang saling
bertautan.Diantara lapisan dua dan tiga berbentuk substansia gelatinosa yang
merupakan saluran utamaimpuls. Kemudian, impuls nyeri menyeberangi sumsum
tulang belakang pada interneuron dan bersambung ke jalur spinal asendens yang
paling utama, yaitu jalur spinothalamic tract (STT) atau jalur spinothalamus tract
(SRT) yang membawa informasi tentang sifat dan lokasi nyeri. Dari proses
transmisi terdapat dua jalur mekanisme terjadinya nyeri, yaitu jalur opiate dan
jalur non-opiate. Jalur opiate ditandai oleh pertemuan reseptor pada otak yang
terdiri atas jalurspinal desendens dari thalamus yang melalui otak tengah dan
medulla ke tanduk dorsal darisumsum tulang belakang yang berkonduksi dengan
nociceptor impuls supresif. Serotoninmerupakan neurotransmitter dalam impuls
supresif. System supresif lebih mengaktifkanstimulasi nociceptor yagn
ditransmisikan oleh serabut A. Jalur non-opiate merupakan jalur desendens yang
tidak memberikan respons terhadap naloxone yang kurang banyak
diketahuimekanismenya. (Barbara 1989 dalam Ilmiyatus 2015).

1.2.5 Manifestasi Klinis Nyeri


Tanda dan gejala nyeri menurut Sadiyah Ilmiyatus 2015:
1. Gangguam tidur
2. Posisi menghindari nyeri
3. Gerakan meng hindari nyeri
4. Raut wajah kesakitan (menangis,merintih)
5. Perubahan nafsu makan
6. Tekanan darah meningkat
7. Nadi meningkat
8. Pernafasan meningkat
9. Depresi frustasi

1.2.6 Komplikasi Nyeri


1. Kecemasan dan kegelisahan
2. Depresi
3. Kurang istirahat karena kesulitan tidur sehingga dapat menyebabkan
penderita sulit berkonsentrasi
4. Merasa hilang arah dan tujuan hidup
5. Kehilangan minat untuk melakukan aktivitas atau pekerjaan
6. Menghindari pasangan atau keluarga karena sakit atau memicu rasa sakit
7. Sulit mencari atau kehilangan pekerjaan
8. Muncul pikiran untuk mengakhiri hidup atau bunuh diri

1.2.7 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang menurut Sadiyah Ilmiyatus 2015:
1. Pemeriksaan USG untuk penunjang data apabila ada nyeri tekan diperut
2. Rontgen untuk mengetahui tulang atau organ tulang dalam yang abnormal
3. Pemeriksaan LAB sebagai data penunjang pemeriksaan lainnya
4. CT pindai (cedera kepala) untuk mengetahui adanya pembuluh darah yang
pecah di otak.

1.2.8 Penatalaksanaan Medis


1. Mengurangi faktor yang dapat menambah nyeri, misalnya ketidak
percayaan, kesalah pahaman, ketakutan, dan kelelahan
2. Memodifikasi stimulus nyeri dengan menggunakan tekhnik tekhnik berikut
ini Teknik latihan pengalihan :
a. Menonton televisi 
b. Berbincang bincang dengan orang lain.
c. Mendegarkan music
 Teknik relaksasi
Menganjurkan pasien untuk menarik napas dalam dan mengisi paru-
paru dengan udara dan hembuskan secara perlahan, melemaskan otot-
otot tangan, kaki, perut, dan punggung serta mengulangi hal yang
serta sambil berkonsentrasi hingga mendapat rasa nyaman, tenang dan
rileks.
d. Stimulasi kulit
 Menggosok dengan halus pada daerah nyeri
 Menggosok punggung
 Menggompres dengan air hangat atau dingin
 Memijat dengan air mengali tenang dan rileks.
 Stimulasi kulit
 Menggosok dengan halus pada daerah nyeri-
 Menggosok punggung
 Menggompres dengan air hangat atau dingin
 Memijat dengan air mengalir
1.1.9.3 Pemberian obat analgesic
Merupakan metode yang paling umum untuk mengatasi nyeri
karena obat ini membloktransmisi stimulus agar terjadi perubahan
persepsi dengan cara mengurangi kortikalterhadap nyeri. Walaupun
analgesic dapat menghilangkan nyeri dengan efektif, perawatdan dokter
masih cenderung tidak melakukan upaya analgesic dalam penanganan
nyerikarena informasi obat yang tidak benar, karena adanya
kekhawatiran klien akan mengalamiketagihan obat, cemas akan
melakukan kesalahan dalam menggunakan analgetik narkotik,dan
pemberian obat yang kurang dari yang diresepkan. Ada 3 jenis
analgetik, yakni :
1) Non Narkotik dan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID)
2) Analgesik narkotik atau opiatec.
3) Obat tambahan (adjuvant) atau koanalgesik.

1.1 Manajemen Asuhan Keperawatan


1.3.1 Pengkajian Keperawatan
1. Pernafasan (B1: Breathing).
2. Inspeksi.
Terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernafasan serta
penggunaan otot bantu nafas. Bentuk dada barrel chest (akibat udara yang
tertangkap) atau bisa juga normo chest, penipisan massa otot, dan
pernapasan dengan bibir dirapatkan. Pernapasan abnormal tidak fektif dan
penggunaan otot- otot bantu nafas (sternocleidomastoideus). Pada tahap
lanjut, dispnea terjadi saat aktivitas bahkan pada aktivitas kehidupan sehari-
hari seperti makan dan mandi. Pengkajian batuk produktif dengan sputum
purulen disertai demam mengindikasikan adanya tanda pertama infeksi
pernafasan.
3. Palpasi.
Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya menurun.
4. Perkusi.
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hiper sonor sedangkan
diafrgama menurun.
5. Auskultasi.
Sering didapatkan adanya bunyi nafas ronchi dan wheezing sesuai tingkat
beratnya obstruktif pada bronkiolus. Pada pengkajian lain, didapatkan kadar
oksigen yang rendah (hipoksemia) dan kadar karbondioksida yang tinggi
(hiperkapnea) terjadi pada tahap lanjut penyakit. Pada waktunya, bahkan
gerakan ringan sekalipun seperti membungkuk untuk mengikat tali sepatu,
mengakibatkan dispnea dan keletihan (dispnea eksersorial). Paru yang
mengalami emfisematosa tidak berkontraksi saat ekspirasi dan bronkiolus
tidak dikosongkan secara efektif dari sekresi yang dihasilkannya. Pasien
rentan terhadap reaksi inflamasi dan infeksi akibat pengumpulan sekresi ini.
Setelah infeksi terjadi, pasien mengalami mengi yang berkepanjangan saat
ekspirasi.
6. Kardiovaskuler (B2:Blood).
Sering didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum. Denyut nadi
takikardi. Tekanan darah biasanya normal. Batas jantung tidak mengalami
pergeseran. Vena jugularis mungkin mengalami distensi selama ekspirasi.
Kepala dan wajah jarang dilihat adanya sianosis.
7. Persyarafan (B3: Brain).
Kesadaran biasanya compos mentis apabila tidak ada komplikasi penyakit
yang serius.
8. Perkemihan (B4: Bladder).
Produksi urin biasanya dalam batas normal dan tidak ada keluhan pada
sistem perkemihan. Namun perawat perlu memonitor adanya oliguria yang
merupakan salah satu tanda awal dari syok.
9. Pencernaan (B5: Bowel).
Pasien biasanya mual, nyeri lambung dan menyebabkan pasien tidak
nafsu makan. Kadang disertai penurunan berat badan.
10. Tulang, otot dan integument (B6: Bone).
Kerena penggunaan otot bantu nafas yang lama pasien terlihat keletihan,
sering didapatkan intoleransi aktivitas dan gangguan pemenuhan ADL
1.3.2 Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut b.d cedera kepala, pengaruh peningkatan TIK disebabkan


adanya perdarahan

2. Gangguan perfusi jaringan serebral b.d peningkatan TIK denyut nadi


menjadi lambat
3. Pola napas tidak efektif b.d perubahan pada pola napas, kedalaman
frekuensi maupun iramanya.
1.3.3 Intervensi Keperawatan
Diagnosa Keperawatan Kriteria Hasil Intervensi

1. Pola nafas tidak efektif Setelah Tindakan Keerawatan Dilakukan Terapi aktifitas :SIKI (I. 010011) Hal. 186
berhubungan dengan Selama 3 X 24 Jam Diharapkan Pola Nafas
asidaosis metabolic :SDKI Kembali Efektif Dengan Kriteria Hasil SLKI Observasi :
(D.0005) Hal.26
( L.01004) Hal 95 1. Monitor Pola Nafas (Frekuensi,Kedalaman,
Usahanapas)
1. Frekuensi Nafas Cukup Membaik
2. Monitor Bunyi Nafas Tambahan
Dengan Nilai 4,
3. Monitor Sputum
2. Penggunaan Otot Bantu Napas Cukup
Terapeutik :
Menurun Dengan Nilai 4,
3. Dyspnea Menurun Dengan Nilai 5 1. Pertahankan Kepatenan Jalan Nafas Dengan Head
Tilt Ddan Chin-Lift
2. Posisikan Semi Fowler Atau Fowler
3. Berikan Minum Hangant
4. Lakukan Fisioterapi Dada, Jika Perlu
5. Penghisapan Lendir Kurang Dari 15 Detik
6. Berikan Oksigen
Edukasi :
1. Anjurkan Asupan Cairan 2000 Ml/Hari Jika Tidak
Kontraindikasi
2. Ajarkan Teknik Batuk Efektif
Kolaborasi :
1. Kolaborasi Pemberian Bronkodilator Ekspektoran,
Mukolitik, Jika Perlu
Diagnosa Keperawatan Kriteria Hasil Intervensi

2. Nyeri akut
berhubungan Setelah Tindakan Keerawatan Dilakukan Terapi Aktifitas : SIKI (I. 08238)
dengan tekanan osmotic Selama 3 X 24 Jam Diharapkan Nyeri Observasi :
Menurun Dengan Kriteria Hasil SLKI
meningkat SDKI (D.0077)
(L.08066) Hal .145 1. Identifikasi Lokasi, Karakteristik, Durasi, Frekuensi,
Hal. 172 Kualitas, Intensitas Nyeri
1. Keluhan Nyeri Cukup Menurun Dengan 2. Identifikasi Skala Nyeri
Nilai 4, 3. Identifikasi Respon Non Verbal
4. Identifikasi Factor Yang Memperberat Dan
2. Meringis Cukup Menurun Dengan Nilai Memperingan Nyeri
4 Terapeutik :
1. Berikan Teknin Nonfarmakologi Untuk Mengurangi
Rasa Nyeri
2. Fasilitasi Istirahat Dan Tidur
Edukasi :
1. Jelaskan Penyebab, Periode, Dan Pemicu Nyeri
2. Ajarkan Teknik Nonfarmakologi Untuk Mengurangi
Rasa Nyrei
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
Diagnosa Keperawatan Kriteria Hasil Intervensi

3. Gangguan perfusi (SLKI L.02014. Hal 86) (SIKI I. 06194. Hal 512)
jaringan serebral Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Manajemen peningkatan tekanan intracranial
berhubungan peningkatan selama 3x24 jam diharapakan gangguan 1. Observasi
tekanan intracranial
perfusi jaringan serebral dapat - Identifikasi penyebab peningkatan TIK
(SDKI D.0017. Hal 51)
teratasi dengan kriteria hasil : - Monitor tanda dan gejala peningkatan TIK
1. Tingkat kesadaran meningkat dengan (misalnya tekanan darah
skor (5) meningkat, tekanan nadi melebar,
2. Tekanan intracranial meningkat bradikardia, pola nafas ireguler,
dengan skor (5) kesadaran menurun)
3. Sakit kepala menurun dengan 2) Terapeutik
skor (5) - Meminimalkan stimulus dengan
4. Kecemasan menurun dengan skor menyediakan lingkungan yang
(5) tenang
5. Demam menurun dengan skor (5) - Hindari penggunaan cairan IV hipotonik
6. Tekanan darah Kolaborasi
sistolik dan diastolik membaik - Kolaborasi pemberian sedasi dan anti
dengan skor (5) konvulsan, jika perlu
Reflek saraf membaik dengan - Kolaborasi pemberian diuretik osmosis
skor (5)
2.3.1 Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi
kestatus kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang
diharapkan (Gordon, 1994, dalam Potter & Perry, 1997).

2.3.2 Evaluasi Keperawatan


Evaluasi merupakan tahap akhir yang bertujuan untuk menilai apakah
tindakan keperawatan yang telah dilakukan tercapai atau tidak untuk mengatasi
suatu masalah. (Meirisa, 2013). 

Anda mungkin juga menyukai