Anda di halaman 1dari 38

KEPERAWATAN KRITIS

LAPORAN PENDAHULUAN DAN KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


HEAD AND SPINAL INJURY

OLEH:
KELOMPOK 2

KELAS A12-B

1. Ni Kadek Ayu Dewi Cahyani (183212877)


2. Ni Komang Suryantini (183212890)
3. Ni Luh Erina (183212892)
4. Putu Suci Kristina Dewi (183212898)
5. Wisnu (183212900)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
WIRA MEDIKA BALI
DENPASAR
2021
A. KONSEP DASAR CEDERA KEPALA

1. Pengertian Cedera Kepala

Cedera kepala adalah (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara
langsung maupun tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di
kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak dan kerusakan
jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis (Sjahrir,
2012).

Cedera kepala merupakan suatu proses terjadinya cedera langsung


maupun deselerasi terhadap kepala yang dapat menyebabkan kerusakan
tengkorak dan otak (Pierce dan Nail, 2014). Cedera kepala merupakan cedera
yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak (Morton, 2012). Cedera
kepala meliputi luka pada kulit kepala, tengkorak, dan otak. Cedera kepala
merupakan adanya pukulan atau benturan mendadak pada kepala dengan atau
tanpa kehilangan kesadaran (Susan Martin, 2010).

Bagi penderita cedera kepala berat, potensi komplikasi jangka panjang


hingga kematian dapat terjadi jika tidak ditangani dengan tepat. Perubahan
perilaku dan kelumpuhan adalah beberapa efek yang dapat dialami penderita
dikarenakan otak mengalami kerusakan, baik fungsi fisiologisnya maupun
struktur anatomisnya. Selain itu, cedera kepala juga dapat dibedakan menjadi
cedera kepala terbuka dan tertutup. Cedera kepala terbuka adalah apabila cedera
menyebabkan kerusakan pada tulang tengkorak sehingga mengenai jaringan
otak.Sedangkan cedera kepala tertutup adalah bil cedera yang terjadi tidak
menyebabkan kerusakan pada tulang tengkorak, dan tidak mengenai otak secara
langsung.

2. Klasifikasi Cedera Kepala

Penilaian cedera kepala dapat dinilai menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS)
(Tim Pusbankes, 2018)

Berdasarkan keparahan cedera :

2
1) Cedera Kepala Ringan (CKR)

(1) Tidak ada fraktur tengkorak

(2) Tidak ada kontusio serebri, hematom

(3) GCS 13-15

(4) Dapat terjadi kehilangan kesadaran tapi <30

2) Cedera Kepala Sedang (CKS)

1. Kehilangan kesadaran

2. Muntah

3. GCS 9-12

4. Dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan (bingung)

3) Cedera Kepala Berat (CKB)

1. GCS 3-8

2. Hilang kesadaran >24 jam

3. Adanya kontusio serebri, laserasi/hematom intrakranial

3. Etiologi Cedera Kepala

Beberapa etiologi cedera kepala (Yessie dan Andra, 2013):

1) Trauma tajam Trauma oleh benda tajam: menyebabkan cedera setempat dan
menimbulkan cedera lokal. Kerusakan local meliputi contusion serebral,
hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa
lesi, pergeseran otak atau hernia.

2) Trauma tumpul Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera


menyeluruh (difusi): kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4

3
bentuk, yaitu cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak
menyebar pada hemisfer serebral, batang otak atau kedua-duanya.

Akibat cedera tergantung pada (Yessie dan Andra, 2013) :

1) Kekuatan benturan (parahnya kerusakan).

2) Akselerasi dan deselerasi.

3) Cup dan kontra cup

Cedera cup adalah kerusakan pada daerah dekat yang terbentur.

Cedera kontra cup adalah kerusakan cedera berlawanan pada sisi desakan
benturan.

4) Lokasi benturan

5) Rotasi: pengubahan posisi rotasi pada kepala menyebabkan trauma regangan


dan robekan substansia alba dan batang otak. Depresi fraktur: kekuatan yang
10 mendorong fragmen tulang turun menekan otak lebih dalam. Akibatnya
CSS mengalir keluar ke hidung, kuman masuk ke telinga kemudian
terkontaminasi CSS lalu terjadi infeksi dan mengakibatkan kejang.

4. Manifestasi Klinis

1) Cedera kepala ringan

(1) Kebingungan, sakit kepala, rasa mengantuk yang abnormal dan sebagian
besar pasien mengalami penyembuhan total dalam jam atau hari

(2) Pusing, kesulitan berkonsentrasi, pelupa, depresi, emosi, atau


perasaannya berkurang dan cemas,kesulitan belajar dan kesulitan
bekerja.

2) Cedera kepala sedang

4
(1) Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebingungan
bahkan koma

(2) Gangguan kesadaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit


neurologik, perubahan tanda-tanda vital, gangguan penglihatan dan
pendengaran, disfungdi sensorik, kejang oto, sakit kepala, vertigo dan
gangguan pergerakan. (Smeltzer & Bare, 2002)

3) Cedera kepala berat

(1) Amnesia dan tidak dapat lagi mengingat peristiwa sesaat sebelum dan
sesudah terjadinya penurunan kesehatan.

(2) Pupil tidak ekual, pemeriksaan motorik tidak ekual, adanya cedera
terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.

5. Patofisiologi

Trauma yang disebabkan oleh benda tumpul dan benda tajam atau
kecelakaan dapat menyebabkan cedera kepala. Cedera otak primer adalah cedera
otak yang terjadi segera setelah trauma. Cedera kepala primer dapat
menyebabkan kontusio dan laserasi. Cedera kepala ini dapat berlanjut menjadi
cedera sekunder. Akibat trauma terjadi peningkatan kerusakan sel otak sehingga
menimbulkan gangguan autoregulasi. Penurunan aliran darah ke otak
menyebabkan penurunan suplai oksigen ke otak dan terjadi gangguan
metabolisme dan perfusi otak. Peningkatan rangsangan simpatis menyebabkan
peningkatan tahanan vaskuler sistematik dan peningkatan tekanan darah.
Penurunan tekanan pembuluh darah di daerah pulmonal mengakibatkan
peningkatan tekanan hidrolistik sehingga terjadi kebocoran cairan kapiler.
Trauma kepala dapat menyebabkan odeme dan hematoma pada serebral
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial. Sehingga pasien akan
mengeluhkan pusing serta nyeri hebat pada daerah kepala (Padila, 2012).

5
Pathway

Cedera Kepala

Ekstra cranial Tulang cranial Intra cranial

Terputusnya Terputusnya Jaringan otak rusak,


kontunuitas jaringan kontunuitas jaringan kontatio, laserasi
otot, kulit tulang

Perubahan
protoregulasi

Perdarahan dan Gangguan Resiko Kejang


hematoma suplai darah Infeksi

Penurunan kesadaran
Peningkatan Iskemia
TIK

Hipoksia
Bedrest total Akumulasi cairan
Peregangan Kompresi
doramen dan batang otak Resiko Perfusi
pembuluh darah Serebral Tidak
Bersihan Jalan
Efektif
Nafas Tidak
Efektif
Nyeri Akut

Resiko Gangguan
Gangguan Mobilitas
Integritas Fisik
Kulit

6
6. Komplikasi

Beberapa komplikasi dari cedera kepala (Andra dan Yessie, 2013):

1) Epilepsi pasca cedera

Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang terjadi beberapa
waktu setelah otak mengalami cedera karena benturan di kepala. Kejang bisa
saja baru terjadi beberapa tahun kemudian setelah terjadinya cedera. Obat-
obat anti kejang misalnya: fenitoin, karbamazepin atau valproat) biasanya
dapat mengatasi kejang pasca trauma.

2) Afasia

Afasia adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa karena


terjadinya cedera pada area bahasa di otak. Penderita tidak mampu
memahami atau mengekspresikan kata-kata. Bagian kepala yang
mengendalikan fungsi bahasa adala lobus temporalis sebelah kiri dan bagian
lobus frontalis di sebelahnya. Kerusakan pada bagian manapun dari area
tersebut karena stroke, tumor, cedera kepala atau infeksi, akan
mempengaruhi beberapa aspek dari fungsi bahasa.

3) Apraksia

Apraksia adalah ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang memerlukan


ingatan atau serangkaian gerakan. Kelainan ini jarang terjadi dan biasanya
disebabkan oleh kerusakan pada lobus parietalis atau lobus frontalis.
Pengobatan ditujukan kepada penyakit yang mendasarinya, yang telah
menyebabkan kelainan fungsi otak.

4) Agnosis

Agnosis merupakan suatu kelainan dimana penderita dapat melihat dan


merasakan sebuah benda tetapi tidak dapat menghubungkannya dengan
peran atau fungsi normal dari benda tersebut. Penderita tidak dapat
mengenali wajah-wajah yang dulu dikenalinya dengan baik atau benda-

7
benda umum (misalnya sendok atau pensil), meskipun mereka dapat melihat
dan menggambarkan benda-benda tersebut. Penyebabnya adalah fungsi pada
lobus parietalis dan temporalis, dimana ingatan akan benda-benda penting
fungsinya disimpan. Agnosis seringkali terjadi segera setelah terjadinya
cedera kepala atau stroke. Tidak ada pengobatan khusus, beberapa penderita
mengalami perbaikan secara spontan.

5) Amnesia

Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk


mengingat peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa yang sudah lama
berlalu. Penyebabnya masih belum dapat sepenuhnya dimengerti. Cedera
pada otak bisa menyebabkan hilangnya ingatan akan peristiwa yang terjadi
sesaat sebelum terjadinya kecelakaan (amnesia retrograde) atau peristiwa
yang terjadi segera setelah terjadinya kecelakaan (amnesia pasca trauma).
Amnesia hanya berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam
(tergantung pada beratnya cedar) dan akan hilang dengan sendirinya. Pada
cedera otak yang hebat, amnesia bisa bersifat menetap. Mekanisme otak
untuk menerima informasi dang mengingatnya kembali dari memori
terutama terletak di dalam lobus oksipitalis, parietalis, dan temporalis.

6) Fistel karotis-kavernosus

Ditandai dengan trias gejala: eksoftalmus, kemosis, dan briit orbita, dapat
timbul segera atau beberapa hari setelah cedera.

7) Diabetes insipidus

Disebabkan karena kerusakan traumatic pada tangkai hipofisis,


menyebabkan penghentian sekresi hormone antidiuretik. Pasien
mengekskresikan sejumlah besar volume urin encer, menimbulkan
hipernatremia, dan deplesi volume.

8
8) Kejang pasca trauma

Dapat terjadi (dalam 24 jm pertama), dini (minggu pertama) atau lanjut


(setelah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan predisposisi untuk
kejang lanjut, kejang dini menunjukkan risiko yang meningkat untuk kejang
lanjut, dan pasien ini harus dipertahankan dengan antikonvulasan.

9) Edema serebral dan herniasi

Penyebab paling umum dari peningkatan TIK, puncak edema terjadi setelah
72 jam setelah cedera. Perubahan TD, frekuensi nadi, pernafasan tidak
teratur merupakan gejala klinis adanya peningkatan TIK. Tekanan terus
menerus akan meningkatkan aliran darah otak menurun dan perfusi tidak
adekuat, terjadi vasodilatasi dan edema otak. Lama-lama terjadi pergeseran
supratentorial dan menimbulkan herniasi. Herniasiakan mendorong hemusfer
otak ke bawah/lateral dan menekan di enchepalon dan batang otak, menekan
pusat vasomotor, arteri otak posterior, saraf oculomotor. Mekanisme
kesadaran, TD, nadi, respirasi dan pengatur akan gagal.

10) Defisit neurologis dan psikologis

Tanda awal penurunan neurologis: perubahan TIK kesadaran, nyeri kepala


hebat, mual dan muntah proyektil.

7. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostic dari cedera (Andra dan Yessi, 2013) :

1) Pemeriksaan diagnostik

(1) X ray/CT Scan : Hematom serebral, Edema serebral, Perdarahan


intracranial, Fraktur tulang tengkorak

(2) MRI: dengan atau tanpa menggunakan kontras

(3) Angiografi cerebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral

9
(4) EEG: mermperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang
patologis

2) Pemeriksaan laboratorium

(1) AGD: PO2, PH, HCO2, : untuk mengkaji keadekuatan ventilasi


(mempertahankan AGD dalam rentang normal untuk menjamin aliran
darah serebral adekuat) atau untuk melihat masalah oksigenasi yang
dapat meningkatkan TIK.

(2) Elektrolit serum: cedera kepala dapat dihubungkan dengan gangguan


regulasi natrium, retensi Na berakhir beberapa hari, diikuti dengan
dieresis Na, peningkatan letargi, konfusi dan kejang akibat
ketidakseimbangan elektrolit.

(3) Hematologi: leukosit, Hb, albumin, globulin, protein serum.

(4) CSS: menenetukan kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid


(warna, komposisi, tekanan).

(5) Pemeriksaan toksilogi: mendeteksi obat yang mengakibatkan penurunan


kesadaran.

(6) Kadar antikonvulsan darah: untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup
efektif mengatasi kejang.

8. Penatalaksanaan Cedera Kepala

Beberapa penatalaksaan pada pasien cedera kepala (Tim Pusbankes, 2018):

1) Penatalaksanaan cedera kepala ringan

(1) Obsevasi atau dirawat di Rumah Sakit

1. CT scan tidak ada

2. CT scan abnormal

10
3. Semua cedera tembus

4. Riwayat hilang kesadaran

5. Kesadaran menurun

6. Sakit kepala sedang-berat

7. Intoksikasi alcohol/obat-obatan 8) Fraktur tengkorak

8. Rhinorea/otorea

9. Tidak ada keluarga dirumah

(2) Amnesia Rawat jalan Tidak memenuhi criteria rawat.

Berikan pengertian kemungkinan kembali ke RS jika memburuk dan


berikan lembar observasi

Lembar observasi : berisi mengenai kewaspadaan baik keluarga maupun


penderita cedera kepala ringan. Apabila dijumpai gejala-gejala dibawah
ini maka penderita harus segera dibawa ke RS:

1 Mengantuk berat atau sulit dibangunkan

2 Mual dan muntah

3 Kejang

4 Perdarahan atau keluar cairan dari hidung dan telinga

5 Sakit kepala hebat

6 Kelemahan pada lengan atau tungkai

7 Bingung atau perubahan tingkah laku

8 Gangguan penglihatan

9 Denyut nadi sangat lambat atau sangat cepat


11
10 Pernafasan tidak teratur

2) Penatalaksanaan cedera kepala sedang (GCS 9-13)

Penderita biasanya tampak kebingungan atau mengantuk, namun masih


mampu menuruti perintah-perintah. Pemeriksaan awal:

(1) Sama dengan untuk cedera kepala ringan ditambah pemeriksaan darah
sederhana

(2) Pemeriksaan CT scan kepala

(3) Dirawat untuk observasi

Perawatan:

(1) Pemeriksaan neurologis periodic

(2) Pemeriksaan CT scan ulang bila kondisi penderita memburuk atau bila
penderita akan dipulangkan

Bila kondisi membaik (90%)

(1) Pulang

(2) Kontrol di poli Bila kondisi memburuk (10%)

Bila penderita tidak mampu melakukan perintah lagi segera lakukan


pemeriksaan CT scan ulang dan penatalaksanaan sesuai protocol cedera
kepala berat.

3) Penatalaksanaan cedera kepala berat (GCS 3-8)

Penderita tidak mampu melakukan perintah-perintah sederhana karena


kesadarannya menurun.

12
(1) Airway

1. Penderita dibaringkan dengan elevasi 20-30 untuk membantu


menurunkan tekanan intracranial

2. Pastikan jalan nafas korban aman, bersihkan jalan nafas dari lender,
darah atau kotoran, pasang pipa guedel dan siapkan untuk intubasi
endotrakeal, berikan oksigenasi 100% yang cukup untuk menurunkan
tekanan intrakranial

3. Jangan banyak memanipulasi gerakan leher sebelum cedera servikal


dapat disingkirkan

(2) Sirkulasi

1. Berikan cairan secukupnya (Ringer Laktat/Ringer Asetat), untuk


resusitasi korban. Jangan memberikan cairan berlebih atau yang
mengandung Glukosa karena dapat menyebabkan odema otak.

2. Atasi hipotensi yang terjadi, yang biasanya merupakan petunjuk


adanya cedera di tempat lain yang tidak tampak.

3. Berikan transfuse darah jika Hb kurang dari 10g/dl.

13
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN CEDERA KEPALA

1. Pengkajian Keperawatan

1) Identitas pasien

2) Pengkajian primer

(1) Airway dan cervical control

Hal pertama yang dinilai adalah kelancaran airway. Meliputi


pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan
benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila,
fraktur larinks atau trachea. Dalam hal ini dapat dilakukan “chin lift”
atau “jaw thrust”. Selama memeriksa dan memperbaiki jalan nafas,
harus diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau
rotasi dari leher.

(2) Breathing dan ventilation

Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran
gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen
dan mengeluarkan karbon dioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik
meliputi:fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma.

(3) Circulation dan hemorrhage control

 Volume darah dan Curah jantung Kaji perdarahan klien.

Suatu keadaan hipotensi harus dianggap disebabkan oleh


hipovelemia. 3 observasi yang dalam hitungan detik dapat
memberikan informasi mengenai keadaan hemodinamik yaitu
kesadaran, warna kulit dan nadi.

 Kontrol Perdarahan

14
(4) Disability

Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran, ukuran


dan reaksi pupil.

(5) Exposure dan Environment control

Dilakukan pemeriksaan fisik head toe toe untuk memeriksa jejas.

3) Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik mengacu pada pengkajian B1-B6 dengan


pengkajian fokus ditujukan pada gejala-gejala yang muncul akibat
cedera kepala berat. Keadaan umum (Arif muttaqin 2008) pada keadaan
cedera kepala berat umumnya mengalami penurunan kesadaran. Adanya
perubahan pada tanda-tanda vital, meliputi bradikardi dan hipotensi.

(1) B1 (Breathing)

Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradasi blok


saraf parasimpatis klien mengalami kelumpuhan otot otot pernapasan
dan perubahan karena adanya kerusakan jalur simpatetik desending
akibat trauma pada tulangbelakang sehingga mengalami terputus
jaringan saraf di medula spinalis, pemeriksaan fisik dari sistem ini
akan didapatkan hasil sebagai berikut inspeksi umum didapatkan
klien batuk peningkatan produksi sputum, sesak napas.

(2) B2 (Blood)

Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan syok


hipovolemik yang sering terjadi pada klien cedera kepala berat. Dari
hasil pemeriksaan didapatkan tekanan darah menurun nadi
bradikardi dan jantung berdebar-debar. Pada keadaan lainnya dapat
meningkatkan hormon antidiuretik yang berdampak pada
kompensasi tubuh.

15
(3) B3 (Brain)

Pengkajian ini meliputi tingkat kesadaran, pengkajian fungsi serebral


dan pengkajian saraf kranial. Pengkajian tingkat kesadaran : tingkat
keterjagaan klien dan respon terhadap lingkungan adalah indikator
paling sensitif untuk disfungsi sistem persyarafan. Pengkajian fungsi
serebral : status mental observasi penampilan, tingkah laku nilai
gaya bicara dan aktivitas motorik klien Pengkajian sistem motorik
inspeksi umum didapatkan kelumpuhan pada ekstermitas bawah,
baik bersifat paralis, dan paraplegia. Pengkajian sistem sensori
ganguan sensibilitas pada klien cedera kepala berat sesuai dengan
segmen yang mengalami gangguan.

(4) B4 (Bladder)

Kaji keadaan urine meliputi warna ,jumlah,dan karakteristik urine,


termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan peningkatan
retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi pada ginjal.

(5) B5 (Bowel)

Pada keadaan syok spinal, neuropraksia sering didapatkan adanya


ileus paralitik, dimana klinis didapatkan hilangnya bising usus,
kembung,dan defekasi, tidak ada. Hal ini merupakan gejala awal dari
tahap syok spinal yang akan berlangsung beberapa hari sampai
beberapa minggu.

(6) B6 (Bone)

Paralisis motorik dan paralisis organ internal bergantung pada


ketinggian lesi saraf yang terkena trauma. Gejala gangguan motorik
sesuai dengan distribusi segmental dari saraf yang terkena.disfungsi
motorik paling umum adalah kelemahan dan kelumpuhan.pada
saluran ekstermitas bawah. Kaji warna kulit, suhu, kelembapan, dan
turgor kulit

16
2. Diagnosa Keperawatan

1) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan spasme jalan


nafas, Disfungsi neoromuskuler ditandai dengan batuk tidak efektif,
tidak mampu batuk, sputum berlebih, mengi, wheezing dana tau ronkhi
kering, dyspnea.

2) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (trauma kepala)


ditandai dengan mengeluh nyeri, tampak meringis, gelisah, frekuensi
nadi meningkat, sulit tidur.

3) Resiko perfusi serebral tidak efektif ditandai dengan cedera kepala

3. Rencana Keperawatan

No Rencana Perawatan
Dx
Tujuan Dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional

1 Setelah dilakukan tindakan Manajemen Jalan nafas 1. Untuk mengetahui


keperawatan selama … x 24jam adakah suara
1. Monitor bunyi nafas tambahan
diharapkan bersihan jalan napas tambahan yang
(mis. gurgling. mengi,
pasien kembali normal dengan mungkin muncul
whezezing, ronkhi
kriteria hasil:
kering/basah) 2. Untuk memberikan
1. Pasien dapat batuk efektif. posisi yang
2. Posisikan semi-Fowler atau
nyaman agar
2. Produksi sputum kembali Fowler.
mudah melakukan
normal.
3. Berikan oksigen jika perlu batuk secara efektif

3. Frekuensi napas stabil.


4. Ajarkan teknik batuk efektif. 3. Agar kebutuhan

4. Pola nafas kembali efektif oksigen terpenuhi


5. Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran, 4. Agar secret dapat

17
mukolitik, jika perlu. keluar dan tidak
mengganggu jalannya
nafas.

5. Agar dahak mudah


hancur

2 Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri 1. Untuk mengetahui


asuhan keperawatan selama lokasi,
1. Identifikasi lokasi, karakteristik,
…x24 jam, diharapkan tingkat karakteristik,
durasi, frekuensi, kualitas dan
nyeri menurun dengan kriteria durasi, frekuensi,
intensitas nyeri
hasil: kualitas dan

2. Identifikasi skala nyeri intensitas nyeri


1. Keluhan nyeri menurun

3. Kontrol lingkungan yang 2. Untuk mengetahui


2. Meringis menurun
memperberat rasa nyeri skala nyeri

3. Gelisah menurun
4. Fasilitasi istirahat dan tidur 3. Untuk

4. Kesulitan tidur menurun meringankan rasa


5. Ajarkan teknik nonfarmakologi nyeri
untuk mengurangi rasa nyeri
4. Untuk memberikan
6. Kolaborasi pemberian analgetik rasa nyaman

5. Agar mampu
mengontrol nyeri
yang timbul

6. Untuk terapi medis

18
3 Setelah dilakukan asuhan Manajemen peningkatan
keperawatan selama …X24 jam tekanan intra kranial
1. Untuk mengetahui
diharapkan perfusi serebral
1. Monitor tanda/gejala peningkatan TIK
kembali normal dengan
peningkatan TIK (mis. Tekanan pada pasien
kriteria hasil:
darah menigkat, tekanan nadi
2. Diharapkan posisi
1. Tingkat kesadaran pasien melebar, bradikardia, pola napas
semi fowler dapat
meningkat ireguler, kesadaran menurun).
memperbaiki kondisi
2. Sakit kepala pasien menjadi 2. Berikan posisi semi fowler kelemahan tubuh
normal pasien

3. Gelisah pasien berkurang 3. Sebagai alternatif


3. Kolaborasi pemberian sedasi
lanjutan jika kondisi
dan anti konvulsan, jika perlu
pasien memburuk

4. Implementasi Keperawatan

Implementasi Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana intervensi


untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap implementasi dimulai setelah
rencana intervensi disusun dan ditujukan dimulai setelah rencana intervensi
disusun dan ditujukan pada nursing orders untuk membantu klien mencapai
tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu rencana intervensi yang spesifik
dilaksanakan untuk memodifikasi factor-faktor yang mempengaruhi masalah
kesehatan klien (Nursalam, 2014).

19
5. Evaluasi Keperawatan

No Evaluasi Hasil
Dx

1 Bersihan jalan nafas tidak efektif diharapkan evaluasi hasil yang


diharapkan memenuhi kriteria hasil:

1. Pasien dapat batuk efektif.

2. Produksi sputum kembali normal.

3. Frekuensi napas stabil.

4. Pola nafas kembali efektif

2 Nyeri akut diharapkan evaluasi hasil yang diharapkan memenuhi kriteria


hasil:

1. Keluhan nyeri menurun

2. Meringis menurun

3. Gelisah menurun

4. Kesulitan tidur menurun

3 Resiko perfusi serebral tidak efektif diharapkan evaluasi hasil yang


diharapkan memenuhi kriteria hasil:

1. Tingkat kesadaran pasien meningkat

2. Sakit kepala pasien menjadi normal

3. Gelisah pasien berkurang

20
C. KONSEP DASAR SPINAL INJURY

1. Pengertian Spinal Injury

Spinal Cord Injury (SCI) didefinisikan sebagai lesi traumatik akut


elemen saraf dari kanal tulang belakang, termasuk sumsum tulang belakang dan
cauda equina, yang menghasilkan defisit sensorik, motorik, atau disfungsi
kandung kemih sementara atau permanen (Oteir et al, 2014). SCI adalah
keadaan yang diakibatkan oleh trauma ataupun nontraumatik yang
menyebabkan adanya keterbatasan dalam perawatan diri, bergerak dan
beraktivitas sehari-hari (Sayılır, Erso¨z and Yalc¸ın, 2013)

Trauma spinal yaitu gangguan pada serabut spinal (spinal cord) yang
menyebabkan perubahan secara permanen atau sementara, akan tetapi fungsi
motorik, sensorik atau anatomi masih normal. Cedera medulla spinalis adalah
suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada medulla
spinalis (Brunner & Suddarth,2001)

Cedera medulla spinalis adalah kerusakan tulang sumsum yang


mengakibatkan gangguan sistem persyarafan didalam tubuh manusia yang
diklasifikasikan sebagai : komplit (kehilangan sensasi dan fungsi motorik), tidak
komplit (campuran kehilangan sensori dan fungsi motorik).

2. Etiologi Spinal Injury

Penyebab spinal cord injury meliputi kecelakaan sepeda motor (44 %),
tindak kekerasan (24 %), jatuh (22 %) (pada orang usia 65 tahun ke atas), luka
karena senjata api (9%), kecelakaan olahraga (rata-rata pada usia 29 tahun)
misal menyelam (8 %), dan penyebab lain misalnya infeksi atau penyakit,
seperti tumor, kista di tulang belakang, multiple sclerosis, atau cervical
spondylosis (degenerasi dari disk dan tulang belakang di leher) (2 %).

Kecelakaan jalan raya adalah penyebab terbesar, hal mana cukup kuat
untuk merusak kord spinal serta kauda ekuina. Di bidang olah-raga, tersering
karena menyelam pada air yang sangat dangkal (Pranida, Iwan Buchori, 2007).

21
Akibat suatu trauma mengenai tulang belakang, jatuh dari ketinggian,
kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga (Arifin, 1997).

Spinal cord injury paling banyak disebabkan karena kecelakaan


kendaraan bermotor, jatuh, kekerasan, dan kecelakaan olahraga (AACN,
Marianne Chulay, 2005 : 487).

Penyebab kerusakan pada saraf tulang belakang, adalah trauma (mobil /


sepeda motor kecelakaan, tembakan, jatuh, cedera olahraga, dll), atau penyakit
(seperti: Transverse Myelitis, Polio, spina bifida, Friedreich's ataxia, dll)

3. Klasifikasi Spinal Injury

Holdsworth membuat klasifikasi cedera spinal sebagai berikut:

1) Cedera fleksi

Cedera fleksi menyebabkan beban regangan pada ligamentum posterior,


kemudian dapat menimbulkan kompresi pada bagian anterior korpus
vertebra sehingga mengakibatkan wedge fracture (teardrop fracture). Cedera
seperti ini dapat dikategorikan sebagai cedera yang stabil; Cedera fleksi-
rotasi: beban fleksi-rotasi akan menimbulkan cedera pada ligamentum
posterior (terkadang juga dapat melukai prosesus artikularis) lalu, cedera ini
akan mengakibatkan terjadinya dislokasi fraktur rotasional yang
dihubungkan dengan slice fracture korpus vertebra. Cedera ini digolongkan
sebagai cedera yang paling tidak stabil.

2) Cedera ekstensi

Cedera ekstensi biasanya merusak ligamentum longitudinalis anterior dan


menimbulkan herniasi diskus. Biasanya terjadi pada daerah leher. Selama
kolumna vertebra dalam posisi fleksi, maka cedera ini masih tergolong
stabil.

22
3) Cedera kompresi vertikal (vertical compression)

Cedera kompresi vertical mengakibatkan pembebanan pada korpus vertebra


dan dapat menimbulkan burst fracture

4) Cedera robek langsung (direct shearing)

Cedera robek biasanya terjadi di daerah torakal dan disebabkan oleh pukulan
langsung pada punggung, sehingga salah satu vertebra bergeser, fraktur
prosesus artikularis serta ruptur ligamen.

4. Manifestasi Klinis Spinal Injury

Manifestasi klinis bergantung pada lokasi yang mengalami trauma dan apakah
trauma terjadi secara parsial atau total. Berikut ini adalah manifestasi
berdasarkan lokasi trauma :

1) Antara C1 sampai C5

Respiratori paralisis dan kuadriplegi, biasanya pasien meninggal.

2) Antara C5 dan C6

Paralisis kaki, tangan, pergelangan; abduksi bahu dan fleksi siku yang
lemah; kehilangan refleks brachioradialis.

3) Antara C6 dan C7

Paralisis kaki, pergelangan, dan tangan, tapi pergerakan bahu dan fleksi
sikumasih bisa dilakukan; kehilangan refleks bisep.

4) Antara C7 dan C8

Paralisis kaki dan tangan

5) C8 sampai T1

Horner's syndrome (ptosis, miotic pupils, facial anhidrosis), paralisis kaki.

23
6) Antara T11 dan T12

Paralisis otot-otot kaki di atas dan bawah lutut.

7) T12 sampai L1

Paralisis di bawah lutut.

8) Cauda equine

Hiporeflex atau paresis extremitas bawah, biasanya nyeri dan biasanya nyeri
dan sangat sensitive terhadap sensasi, kehilangan kontrol bowel dan
bladder.

9) S3 sampai S5 atau conus medullaris pada L1

Kehilangan kontrol bowel dan bladder secara total.

Bila terjadi trauma spinal total atau complete cord injury, manifestasi yang
mungkin muncul antara lain total paralysis, hilangnya semua sensasi dan
aktivitas refleks

Tanda dan gejala yang akan muncul:

1) Nyeri

Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan


adanya spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan
sekitarnya.

2) Bengkak/edama

Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir


pada daerah fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya.

3) Memar/ekimosis

Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di


jaringan sekitarnya
24
4) Spasme otot

Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur.

5) Penurunan sensasi

Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema

6) Gangguan fungsi

Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme


otot. paralysis dapat terjadi karena kerusakan syaraf.

7) Mobilitas abnormal

Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi


normalnya tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang
panjang

8) Krepitasi

Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang


digerakkan.

9) Deformitas

Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau


trauma dan pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi
abnormal, akan menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.

10) Shock hipovolemik

Shock terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat.

25
5. Patofisiologis Spinal Injury

Cedera spinal cord terjadi akibat patah tulang belakang, dan kasus
terbanyak cedera spinal cord mengenai daerah servikal dan lumbal. Cedera dapat
terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi, kompresi atau rotasi pada tulang
belakang.

Fraktur pada cedera spinal cord dapat berupa patah tulang sederhana,
kompresi, kominutif, dan dislokasi. Sedangkan kerusakan pada cedera spinal
cord dapat berupa memar, kontusio, kerusakan melintang laserasi dengan atau
tanpa gangguan peredaran darah, dan perdarahan. Kerusakan ini akan memblok
syaraf parasimpatis untuk melepaskan mediator kimia, kelumpuhan otot
pernapasan, sehingga mengakibatkan respon nyeri hebat dan akut anestesi.
Iskemia dan hipoksemia syok spinal, gangguan fungsi rektum serta kandung
kemih. Gangguan kebutuhan gangguan rasa nyaman nyeri, oksigen dan potensial
komplikasi, hipotensi, bradikardia dan gangguan eliminasi.

Temuan fisik pada spinal cord injury sangat bergantung pada lokasi yang
terkena: jika terjadi cedera pada C-1 sampai C-3 pasien akan mengalami
tetraplegia dengan kehilangan fungsi pernapasan atau sistem muskular total; jika
cedera mengenai saraf C-4 dan C-5 akan terjadi tetraplegia dengan kerusakan,
menurunnya kapasitas paru, ketergantungan total terhadap aktivitas sehari-hari;
jika terjadi cedera pada C-6 dan C-7 pasien akan mengalami tetraplegia dengan
beberapa gerakan lengan atau tangan yang memungkinkan untuk melakukan
sebagian aktivitas sehari-hari; jika terjadi kerusakan pada spinal C-7 sampai T-1
seseorang akan mengalami tetraplegia dengan keterbatasan menggunakan jari
tangan, meningkat kemandiriannya; pada T-2 sampai L-1 akan terjadi paraplegia
dengan fungsi tangan dan berbagai fungsi dari otot interkostal dan abdomen
masih baik; jika terjadi cedera pada L-1 dan L-2 atau dibawahnya, maka orang
tersebut akan kehilangan fungsi motorik dan sensorik, kehilangan fungsi
defekasi dan berkemih.

26
Pathway

Faktor kecelakaan, jatuh, cedera lain

Trauma tulang belakang Kontusio spinal Perdarahan Iskemik


cord

Fraktur vertebra Nyeri Akut Shock Perfusi Jaringan


hemoragic Tidak Efektif
Gangguan pada spinal cord
Kematian
Hilang fungsi motoric Mual muntah Risiko Aspirasi
sensorik

Kelemahan otot Gangguan control VU Kerusan syaraf Hambatan


pernafasan dan rektum ekstremitas Mobilitas Fisik

Suplai oksigen Inkontinensia Kelumpuhan Defisit


menurun urin dan alvi Perawatan
Diri

Mekanisme Perubahan Peningkatan


kompensasi Pola Eliminasi bedrest

Pola Nafas Resiko Kerusakan


Pol
Tidak Efektif Integritas Kulit

27
6. Komplikasi Spinal Injury

1) Syok neurogenik

Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatik yang


desending pada medulla spinalis. Kondisi ini mengakibatkan kehilangan
tonus vasomotor dan kehilangan persarafan simpatis pada jantung sehingga
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah visceral serta ekstremitas bawah
maka terjadi penumpukan darah dan konsekuensinya terjadi hipotensi.

2) Syok spinal

Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya refleks, terlihat setelah
terjadinya cedera medulla spinalis. Pada syok spinal mungkin akan tampak
seperti lesi komplit walaupun tidak seluruh bagian rusak.

3) Hipoventilasi

Hal ini disebabkan karena paralisis otot interkostal yang merupakan hasil
dari cedera yang mengenai medulla spinalis bagian di daerah servikal bawah
atau torakal atas

4) Hiperfleksia autonomik

Dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut , keringat banyak, kongesti


nasal, bradikardi dan hipertensi.

7. Pemeriksaan Penunjang Spinal Injury

1) CT SCAN

Pemeriksaan ini dapat memberikan visualisasi yang baik komponen tulang


servikal dan sangat membantu bila ada fraktur akut. Akurasi Pemeriksaan
CT berkisar antara 72 -91 % dalam mendeteksi adanya herniasi diskus.
Akurasi dapat mencapai 96 % bila mengkombinasikan CT dengan
myelografi

28
2) MRI

Pemeriksaan ini sudah menjadi metode imaging pilihan untuk daerah


servikal . MRI dapat mendeteksi kelainan ligamen maupun diskus. Seluruh
daerah medula spinalis , radiks saraf dan tulang vertebra dapat
divisualisasikan. Namun pada salah satu penelitian didapatkan adanya
abnormalitas berupa herniasi diskus pada sekitar 10 % subjek tanpa keluhan
, sehingga hasil pemeriksaan ini tetap harus dihubungkan dengan riwayat
perjalanan penyakit , keluhan maupun pemeriksaan klinis.

3) EMG

Pemeriksaan Elektromiografi ( EMG) mengetahui apakah suatu gangguan


bersifat neurogenik atau tidak, karena pasien dengan spasme otot, artritis
juga mempunyai gejala yang sama. Selain itu juga untuk menentukan level
dari iritasi/kompresi radiks , membedakan lesi radiks dan lesi saraf perifer,
membedakan adanya iritasi atau kompresi .

8. Penatalaksanaan Spinal Injury

1) Imobilisasi

Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat kejadian/kecelakaan


sampai ke unit gawat darurat.Yang pertama ialah immobilisasi dan stabilkan
leher dalam posisi normal; dengan menggunakan ’cervical collar’. Cegah
agar leher tidak terputar (rotation). Baringkan penderita dalam posisi
terlentang (supine) pada tempat/alas yang keras. Pasien diangkat/dibawa
dengan cara ”4 men lift” atau menggunakan ’Robinson’s orthopaedic
stretcher’.

2) Stabilisasi Medis

Terutama sekali pada penderita tetraparesis/ tetraplegia, lakukan :

(1) Periksa vital signs

29
Segera normalkan ’vital signs’. Pertahankan tekanan darah yang normal
dan perfusi jaringan yang baik. Berikan oksigen, monitor produksi urin,
bila perlu monitor AGD (analisa gas darah), dan periksa apa ada
neurogenic shock.

(2) Pasang ‘nasogastric tube’

(3) Pasang kateter urin

(4) Pemberian megadose Methyl Prednisolone Sodium Succinate dalam


kurun waktu 6 jam setaleh kecelakaan dapat memperbaiki kontusio
medula spinalis.

3) Mempertahankan posisi normal vertebra ”Spinal Alignment”

Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tong atau
Gardner-Wells tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi dislokasi
traksi diberikan dengan beban yang lebih ringan, beban ditambah setiap 15
menit sampai terjadi reduksi.

4) Dekompresi dan Stabilisasi Spinal

Bila terjadi ’realignment’ artinya terjadi dekompresi. Bila ’realignment’


dengan caran tertutup ini gagal maka dilakukan ’open reduction’ dan
stabilisasi dengan ’approach’ anterior atau posterior.

5) Rehabilitasi.

mungkin. Termasuk dalam program ini adalah ‘bladder training’, ’bowel


training’, latihan otot pernafasan, pencapaian optimal fungsi-fungsi
neurologik dan program kursi roda bagi penderita paraparesis/paraplegia.

30
D. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN SPINAL INJURY

1. Pengkajian Keperawatan
1) Identitas pasien

2) Primary survey :
A- Air way : Control servikal ( adanya desakan otot diafragma dan
interkosta sehingga mengganggu jalan nafas)
B – Breathing : Control ventilasi Pernafasan dangkal, dan penggunaan otot
pernafasan
C- Circulation : Hypotensi, bradikardi, poikilotermi
D- Disabiity : kaji sebagaian atau keseluruhan kemampuan bergerak,
kehilangan sensasi, kelemahan otot.
E- exposure : Buka pakaian pasien dan selimut, periksa secara teliti mulai
dari kepala sampai kaki.

3) Pemeriksaan Fisik B1-B6


Keadaan umum : Pada keadaan cidera tulang belakang umumnya tidak
mengalami penurunan kesadaran. Adanya perubahan pada tanda-tanda vital,
meliputi bradikardi dan hipotensi.
(1) B1 (Breathing)
Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradasi blok saraf
parasimpatis klien mengalami kelumpuhan otot otot pernapasan dan
perubahan karena adanya kerusakan jalur simpatetik desending akibat
trauma pada tulang belakang sehingga mengalami terputus jaringan saraf
di medula spinalis, pemeriksaan fisik dari sistem ini akan
didapatkan hasil sebagai berikut inspeksi umum didapatkan klien batuk
peningkatan produksi sputum,sesak napas.dst
(2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan rejatan syok
hipovolemik yang sering terjadi pada klien cedera tulang belakang. Dari
hasil pemeriksaan didapatkan tekanan darah menurun nadi bradikardi

31
dan jantung berdebar-debar. Pada keadaan lainnya dapat meningkatkan
hormon antidiuretik yang berdampak pada kompensasi tubuh.
(3) B3 (Brain)
 Pengkajian ini meliputi tingkat kesadaran, pengkajian fungsi serebral
dan pengkajian saraf kranial.
 Pengkajian tingkat kesadaran : tingkat keterjagaan klien dan respon
terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi
sistem persyarafan.
 Pengkajian fungsi serebral : status mental observasi
penampilan, tingkah laku nilai gaya bicara dan aktivitas motorik klien
 Pengkajian sistem motorik : inspeksi umum didapatkan kelumpuhan
pada ekstermitas bawah, baik bersifat paralis, paraplegia, maupun
quadriplegia
 Pengkajian sistem sensori : ganguan sensibilitas pada klien
cedera medula spinalis sesuai dengan segmen yang mengalami
gangguan.
(4) B4 (Bladder)
Kaji keadaan urine meliputi warna ,jumlah,dan karakteristik
urine, termasuk berat jenis urine.Penurunan jumlah urine
dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi
pada ginjal. Bila terjadi lesi pada kauida ekuina kandung kemih dikontrol
oleh pusat (S2-S4) atau dibawah pusat spinal kandung kemih akan
menyebabkan interupsi hubungan antara kandung kemih dan pusat
spinal.
(5) B5 (Bowel)
Pada keadaan syok spinal, neuropraksia sering didapatkan adanya ileus
paralitik, dimana klinis didapatkan hilangnya bising usus, kembung,dan
defekasi, tidak ada. Hal ini merupakan gejala awal dari tahap syok
spinal yang akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu.
(6) B6 (Bone)
Paralisis motorik dan paralisis organ internal bergantung pada ketinggian
lesi saraf yang terkena trauma. Gejala gangguan motorik sesuai

32
dengan distribusi segmental dari saraf yang terkena.disfungsi motorik
paling umum adalah kelemahan dan kelumpuhan.pada
saluran ekstermitas bawah. Kaji warna kulit, suhu, kelembapan, dan
turgor kulit dst.

3) Secondary Survey pada pasien Spinal Cord Injury :


(1) Kaji riwayat trauma
(2) Tingkat kesedaran
(3) Ukur tanda-tanda vital
(4) Kaji apa ada alergi obat
(5) Pemeriksaan fisik : kepala dan wajah, cervikal spine, thorax, abdomen
(termasuk pelvis), dan extremitas/ muskuloskletal.

2. Diagnosa Keperawatan

1) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan neurologis (cedera


kepala)ditandai dengan penggunaan otot bantu pernafasan, fase ekspirasi
memanjang, pola nafas abnormal, ortopnea, pernafasaan cuping hidung.

2) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (spinal injury) ditandai
dengan mengeluh nyeri, tampak meringis, gelisah, frekuensi nadi meningkat,
sulit tidur.

3) Resiko aspirasi berhubungan dengan penurunan refleks muntah

3. Rencana Keperawatan

No Rencana Perawatan
Dx
Tujuan Dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional

1 Setelah dilakukan tindakan Monitor Pernafasan 1. Untuk mengetahui


keperawatan selama ...x 24 jam frekuensi nafas
1. Monitor kecepatan, irama,
diharapkan pola nafas pasien
kedalaman dan kesulitan 2. Untuk mengurangi
normal
bernafas sesask nafas
33
Kriteria hasil: 2. Berikan bantuan terapi nafas 3. Untuk mengurangi
jika diperlukan (misalnya sesak
1. Suara auskultasi nafas pasien
nebulizer)
terdengar normal 4. Untuk mengurangi
3. Bantu klien untuk mengubah sesak
2. Sesak berkurang
posisi secara periodik

3. Tidak terdapat pernafasan


4. Bantu dengan teknik nafas
cuping hidung
dalam

4. Tidak menggunakan otot


bantu pernafasan

2 Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri 1. Untuk mengetahui


asuhan keperawatan selama lokasi,
1. Identifikasi lokasi, karakteristik,
…x24 jam, diharapkan tingkat karakteristik,
durasi, frekuensi, kualitas dan
nyeri menurun dengan kriteria durasi, frekuensi,
intensitas nyeri
hasil: kualitas dan

2. Identifikasi skala nyeri intensitas nyeri


1. Keluhan nyeri menurun

3. Kontrol lingkungan yang 2. Untuk mengetahui


2. Meringis menurun
memperberat rasa nyeri skala nyeri

3. Gelisah menurun
4. Fasilitasi istirahat dan tidur 3. Untuk

4. Kesulitan tidur menurun meringankan rasa


5. Ajarkan teknik nonfarmakologi nyeri
untuk mengurangi rasa nyeri
4. Untuk
6. Kolaborasi pemberian analgetik memberikan rasa
nyaman

5. Agar mampu
mengontrol nyeri

34
yang timbul

6. Untuk terapi
medis

3 Setelah dilakukan tindakan Pencegahan Aspirasi 1. Untuk mengetahui


keperawatan selama … x 24jam status pernafasan
1. Monitor status pernafasan
diharapkan tidak terjadi resiko pasien
aspirasi terhadap pasien dengan 2. Posisikan kepala pasien
2. Agar pasien tidak
kriteria hasil: tegak lurus, sama dengan
kesulitan untuk
atau lebih tinggi dari 30
1. Frekuensi nafas pasien makan
sampai 90 derajat
kembali normal
(pemberian makan 3. Agar Kesehatan
2. Kedalaman inspirasi pasien denagn NGT) atau sejauh mulut pasien tetap
normal mungkin sehat

3. Volume tidal pasien normal 3. Berikan perawatan mulut 4. Untuk mengetahui


tindakan lebih lanjut
6. Sarankan konsultasi pada
terapis bicara patologis 5. Untuk mengurangi
dengan tepat rasa nyeri pasien

7. Minta obat-obatan dalam


bentuk elixir

4. Implementasi Keperawatan

Implementasi Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana intervensi


untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap implementasi dimulai setelah
rencana intervensi disusun dan ditujukan dimulai setelah rencana intervensi
disusun dan ditujukan pada nursing orders untuk membantu klien mencapai
tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu rencana intervensi yang spesifik
dilaksanakan untuk memodifikasi factor-faktor yang mempengaruhi masalah
kesehatan klien (Nursalam, 2014).

35
5. Evaluasi Keperawatan

No Evaluasi Hasil
Dx

1 Pola nafas tidak efektif diharapkan evaluasi hasil yang diharapkan


memenuhi kriteria hasil:

1. Suara auskultasi nafas pasien terdengar normal

2. Sesak berkurang

3. Tidak terdapat pernafasan cuping hidung

4. Tidak menggunakan otot bantu pernafasan

2 Nyeri akut diharapkan evaluasi hasil yang diharapkan memenuhi kriteria


hasil:

1. Keluhan nyeri menurun

2. Meringis menurun

3. Gelisah menurun

4. Kesulitan tidur menurun

3 Resiko aspirasi diharapkan evaluasi hasil yang diharapkan memenuhi


kriteria hasil:

1. Frekuensi nafas pasien kembali normal

2. Kedalaman inspirasi pasien normal

3. Volume tidal pasien normal

36
DAFTAR PUSTAKA

Arif Mutaqqin (2008), Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem
Persarafan, Jakarta : Salemba Medika

Price da Wilson. 2005. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta:


EGC.
Brunner & Suddarth, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol. 3 .
Jakarta : EGC.
Lewis. 2000. Medical surgical nursing. St Louis: Mosby

Batticaca Fransisca B, 2008, Asuhan keperawatan dengan Gangguan Sistem


Persarafan, Jakarta : Salemba Medika

Samarinda.Berman, A. Snyder, S. Kozier, B. & Erb, G. 2009. Buku Ajar Praktik


Keperawatan Klinis, Edisi 5. Terjemahan Eny meiliya, Esty

Sjahrir, H. 2012. Nyeri Kepala dan Vertigo. Yogyakarta: Pustaka Cendekia Press

Grace, Pierce A. dan Neil R. Borley. At a Glance Ilmu Bedah . Alih Bahasa dr.
Vidia Umami. Editor Amalia S. Edisi 3. Jakarta: Erlangga, 2006.

Morton G.P. 2012, Keperawatan Kritis, Edisi 2, Jakarta: EGC


Susan, Martin Tucker. 2010. Standar Perawatan Pasien. Jakarta: EGC

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Edisi
1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia,
Definisi dan Tindakan Keperawatan. Edisi 1, Cetakan II. Jakarta: Dewan
Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia, Definisi
dan Kriteria Hasil Keperawatan. Edisi 1, Cetakan II. Jakarta: Dewan
Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia

37
38

Anda mungkin juga menyukai