OLEH:
KELOMPOK 2
KELAS A12-B
Cedera kepala adalah (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara
langsung maupun tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di
kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak dan kerusakan
jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis (Sjahrir,
2012).
Penilaian cedera kepala dapat dinilai menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS)
(Tim Pusbankes, 2018)
2
1) Cedera Kepala Ringan (CKR)
1. Kehilangan kesadaran
2. Muntah
3. GCS 9-12
1. GCS 3-8
1) Trauma tajam Trauma oleh benda tajam: menyebabkan cedera setempat dan
menimbulkan cedera lokal. Kerusakan local meliputi contusion serebral,
hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa
lesi, pergeseran otak atau hernia.
3
bentuk, yaitu cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak
menyebar pada hemisfer serebral, batang otak atau kedua-duanya.
Cedera kontra cup adalah kerusakan cedera berlawanan pada sisi desakan
benturan.
4) Lokasi benturan
4. Manifestasi Klinis
(1) Kebingungan, sakit kepala, rasa mengantuk yang abnormal dan sebagian
besar pasien mengalami penyembuhan total dalam jam atau hari
4
(1) Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebingungan
bahkan koma
(1) Amnesia dan tidak dapat lagi mengingat peristiwa sesaat sebelum dan
sesudah terjadinya penurunan kesehatan.
(2) Pupil tidak ekual, pemeriksaan motorik tidak ekual, adanya cedera
terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
5. Patofisiologi
Trauma yang disebabkan oleh benda tumpul dan benda tajam atau
kecelakaan dapat menyebabkan cedera kepala. Cedera otak primer adalah cedera
otak yang terjadi segera setelah trauma. Cedera kepala primer dapat
menyebabkan kontusio dan laserasi. Cedera kepala ini dapat berlanjut menjadi
cedera sekunder. Akibat trauma terjadi peningkatan kerusakan sel otak sehingga
menimbulkan gangguan autoregulasi. Penurunan aliran darah ke otak
menyebabkan penurunan suplai oksigen ke otak dan terjadi gangguan
metabolisme dan perfusi otak. Peningkatan rangsangan simpatis menyebabkan
peningkatan tahanan vaskuler sistematik dan peningkatan tekanan darah.
Penurunan tekanan pembuluh darah di daerah pulmonal mengakibatkan
peningkatan tekanan hidrolistik sehingga terjadi kebocoran cairan kapiler.
Trauma kepala dapat menyebabkan odeme dan hematoma pada serebral
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial. Sehingga pasien akan
mengeluhkan pusing serta nyeri hebat pada daerah kepala (Padila, 2012).
5
Pathway
Cedera Kepala
Perubahan
protoregulasi
Penurunan kesadaran
Peningkatan Iskemia
TIK
Hipoksia
Bedrest total Akumulasi cairan
Peregangan Kompresi
doramen dan batang otak Resiko Perfusi
pembuluh darah Serebral Tidak
Bersihan Jalan
Efektif
Nafas Tidak
Efektif
Nyeri Akut
Resiko Gangguan
Gangguan Mobilitas
Integritas Fisik
Kulit
6
6. Komplikasi
Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang terjadi beberapa
waktu setelah otak mengalami cedera karena benturan di kepala. Kejang bisa
saja baru terjadi beberapa tahun kemudian setelah terjadinya cedera. Obat-
obat anti kejang misalnya: fenitoin, karbamazepin atau valproat) biasanya
dapat mengatasi kejang pasca trauma.
2) Afasia
3) Apraksia
4) Agnosis
7
benda umum (misalnya sendok atau pensil), meskipun mereka dapat melihat
dan menggambarkan benda-benda tersebut. Penyebabnya adalah fungsi pada
lobus parietalis dan temporalis, dimana ingatan akan benda-benda penting
fungsinya disimpan. Agnosis seringkali terjadi segera setelah terjadinya
cedera kepala atau stroke. Tidak ada pengobatan khusus, beberapa penderita
mengalami perbaikan secara spontan.
5) Amnesia
6) Fistel karotis-kavernosus
Ditandai dengan trias gejala: eksoftalmus, kemosis, dan briit orbita, dapat
timbul segera atau beberapa hari setelah cedera.
7) Diabetes insipidus
8
8) Kejang pasca trauma
Penyebab paling umum dari peningkatan TIK, puncak edema terjadi setelah
72 jam setelah cedera. Perubahan TD, frekuensi nadi, pernafasan tidak
teratur merupakan gejala klinis adanya peningkatan TIK. Tekanan terus
menerus akan meningkatkan aliran darah otak menurun dan perfusi tidak
adekuat, terjadi vasodilatasi dan edema otak. Lama-lama terjadi pergeseran
supratentorial dan menimbulkan herniasi. Herniasiakan mendorong hemusfer
otak ke bawah/lateral dan menekan di enchepalon dan batang otak, menekan
pusat vasomotor, arteri otak posterior, saraf oculomotor. Mekanisme
kesadaran, TD, nadi, respirasi dan pengatur akan gagal.
7. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan diagnostik
9
(4) EEG: mermperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang
patologis
2) Pemeriksaan laboratorium
(6) Kadar antikonvulsan darah: untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup
efektif mengatasi kejang.
2. CT scan abnormal
10
3. Semua cedera tembus
5. Kesadaran menurun
8. Rhinorea/otorea
3 Kejang
8 Gangguan penglihatan
(1) Sama dengan untuk cedera kepala ringan ditambah pemeriksaan darah
sederhana
Perawatan:
(2) Pemeriksaan CT scan ulang bila kondisi penderita memburuk atau bila
penderita akan dipulangkan
(1) Pulang
12
(1) Airway
2. Pastikan jalan nafas korban aman, bersihkan jalan nafas dari lender,
darah atau kotoran, pasang pipa guedel dan siapkan untuk intubasi
endotrakeal, berikan oksigenasi 100% yang cukup untuk menurunkan
tekanan intrakranial
(2) Sirkulasi
13
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN CEDERA KEPALA
1. Pengkajian Keperawatan
1) Identitas pasien
2) Pengkajian primer
Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran
gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen
dan mengeluarkan karbon dioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik
meliputi:fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma.
Kontrol Perdarahan
14
(4) Disability
3) Pemeriksaan Fisik
(1) B1 (Breathing)
(2) B2 (Blood)
15
(3) B3 (Brain)
(4) B4 (Bladder)
(5) B5 (Bowel)
(6) B6 (Bone)
16
2. Diagnosa Keperawatan
3. Rencana Keperawatan
No Rencana Perawatan
Dx
Tujuan Dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
17
mukolitik, jika perlu. keluar dan tidak
mengganggu jalannya
nafas.
3. Gelisah menurun
4. Fasilitasi istirahat dan tidur 3. Untuk
5. Agar mampu
mengontrol nyeri
yang timbul
18
3 Setelah dilakukan asuhan Manajemen peningkatan
keperawatan selama …X24 jam tekanan intra kranial
1. Untuk mengetahui
diharapkan perfusi serebral
1. Monitor tanda/gejala peningkatan TIK
kembali normal dengan
peningkatan TIK (mis. Tekanan pada pasien
kriteria hasil:
darah menigkat, tekanan nadi
2. Diharapkan posisi
1. Tingkat kesadaran pasien melebar, bradikardia, pola napas
semi fowler dapat
meningkat ireguler, kesadaran menurun).
memperbaiki kondisi
2. Sakit kepala pasien menjadi 2. Berikan posisi semi fowler kelemahan tubuh
normal pasien
4. Implementasi Keperawatan
19
5. Evaluasi Keperawatan
No Evaluasi Hasil
Dx
2. Meringis menurun
3. Gelisah menurun
20
C. KONSEP DASAR SPINAL INJURY
Trauma spinal yaitu gangguan pada serabut spinal (spinal cord) yang
menyebabkan perubahan secara permanen atau sementara, akan tetapi fungsi
motorik, sensorik atau anatomi masih normal. Cedera medulla spinalis adalah
suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada medulla
spinalis (Brunner & Suddarth,2001)
Penyebab spinal cord injury meliputi kecelakaan sepeda motor (44 %),
tindak kekerasan (24 %), jatuh (22 %) (pada orang usia 65 tahun ke atas), luka
karena senjata api (9%), kecelakaan olahraga (rata-rata pada usia 29 tahun)
misal menyelam (8 %), dan penyebab lain misalnya infeksi atau penyakit,
seperti tumor, kista di tulang belakang, multiple sclerosis, atau cervical
spondylosis (degenerasi dari disk dan tulang belakang di leher) (2 %).
Kecelakaan jalan raya adalah penyebab terbesar, hal mana cukup kuat
untuk merusak kord spinal serta kauda ekuina. Di bidang olah-raga, tersering
karena menyelam pada air yang sangat dangkal (Pranida, Iwan Buchori, 2007).
21
Akibat suatu trauma mengenai tulang belakang, jatuh dari ketinggian,
kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga (Arifin, 1997).
1) Cedera fleksi
2) Cedera ekstensi
22
3) Cedera kompresi vertikal (vertical compression)
Cedera robek biasanya terjadi di daerah torakal dan disebabkan oleh pukulan
langsung pada punggung, sehingga salah satu vertebra bergeser, fraktur
prosesus artikularis serta ruptur ligamen.
Manifestasi klinis bergantung pada lokasi yang mengalami trauma dan apakah
trauma terjadi secara parsial atau total. Berikut ini adalah manifestasi
berdasarkan lokasi trauma :
1) Antara C1 sampai C5
2) Antara C5 dan C6
Paralisis kaki, tangan, pergelangan; abduksi bahu dan fleksi siku yang
lemah; kehilangan refleks brachioradialis.
3) Antara C6 dan C7
Paralisis kaki, pergelangan, dan tangan, tapi pergerakan bahu dan fleksi
sikumasih bisa dilakukan; kehilangan refleks bisep.
4) Antara C7 dan C8
5) C8 sampai T1
23
6) Antara T11 dan T12
7) T12 sampai L1
8) Cauda equine
Hiporeflex atau paresis extremitas bawah, biasanya nyeri dan biasanya nyeri
dan sangat sensitive terhadap sensasi, kehilangan kontrol bowel dan
bladder.
Bila terjadi trauma spinal total atau complete cord injury, manifestasi yang
mungkin muncul antara lain total paralysis, hilangnya semua sensasi dan
aktivitas refleks
1) Nyeri
2) Bengkak/edama
3) Memar/ekimosis
5) Penurunan sensasi
6) Gangguan fungsi
7) Mobilitas abnormal
8) Krepitasi
9) Deformitas
25
5. Patofisiologis Spinal Injury
Cedera spinal cord terjadi akibat patah tulang belakang, dan kasus
terbanyak cedera spinal cord mengenai daerah servikal dan lumbal. Cedera dapat
terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi, kompresi atau rotasi pada tulang
belakang.
Fraktur pada cedera spinal cord dapat berupa patah tulang sederhana,
kompresi, kominutif, dan dislokasi. Sedangkan kerusakan pada cedera spinal
cord dapat berupa memar, kontusio, kerusakan melintang laserasi dengan atau
tanpa gangguan peredaran darah, dan perdarahan. Kerusakan ini akan memblok
syaraf parasimpatis untuk melepaskan mediator kimia, kelumpuhan otot
pernapasan, sehingga mengakibatkan respon nyeri hebat dan akut anestesi.
Iskemia dan hipoksemia syok spinal, gangguan fungsi rektum serta kandung
kemih. Gangguan kebutuhan gangguan rasa nyaman nyeri, oksigen dan potensial
komplikasi, hipotensi, bradikardia dan gangguan eliminasi.
Temuan fisik pada spinal cord injury sangat bergantung pada lokasi yang
terkena: jika terjadi cedera pada C-1 sampai C-3 pasien akan mengalami
tetraplegia dengan kehilangan fungsi pernapasan atau sistem muskular total; jika
cedera mengenai saraf C-4 dan C-5 akan terjadi tetraplegia dengan kerusakan,
menurunnya kapasitas paru, ketergantungan total terhadap aktivitas sehari-hari;
jika terjadi cedera pada C-6 dan C-7 pasien akan mengalami tetraplegia dengan
beberapa gerakan lengan atau tangan yang memungkinkan untuk melakukan
sebagian aktivitas sehari-hari; jika terjadi kerusakan pada spinal C-7 sampai T-1
seseorang akan mengalami tetraplegia dengan keterbatasan menggunakan jari
tangan, meningkat kemandiriannya; pada T-2 sampai L-1 akan terjadi paraplegia
dengan fungsi tangan dan berbagai fungsi dari otot interkostal dan abdomen
masih baik; jika terjadi cedera pada L-1 dan L-2 atau dibawahnya, maka orang
tersebut akan kehilangan fungsi motorik dan sensorik, kehilangan fungsi
defekasi dan berkemih.
26
Pathway
27
6. Komplikasi Spinal Injury
1) Syok neurogenik
2) Syok spinal
Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya refleks, terlihat setelah
terjadinya cedera medulla spinalis. Pada syok spinal mungkin akan tampak
seperti lesi komplit walaupun tidak seluruh bagian rusak.
3) Hipoventilasi
Hal ini disebabkan karena paralisis otot interkostal yang merupakan hasil
dari cedera yang mengenai medulla spinalis bagian di daerah servikal bawah
atau torakal atas
4) Hiperfleksia autonomik
1) CT SCAN
28
2) MRI
3) EMG
1) Imobilisasi
2) Stabilisasi Medis
29
Segera normalkan ’vital signs’. Pertahankan tekanan darah yang normal
dan perfusi jaringan yang baik. Berikan oksigen, monitor produksi urin,
bila perlu monitor AGD (analisa gas darah), dan periksa apa ada
neurogenic shock.
Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tong atau
Gardner-Wells tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi dislokasi
traksi diberikan dengan beban yang lebih ringan, beban ditambah setiap 15
menit sampai terjadi reduksi.
5) Rehabilitasi.
30
D. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN SPINAL INJURY
1. Pengkajian Keperawatan
1) Identitas pasien
2) Primary survey :
A- Air way : Control servikal ( adanya desakan otot diafragma dan
interkosta sehingga mengganggu jalan nafas)
B – Breathing : Control ventilasi Pernafasan dangkal, dan penggunaan otot
pernafasan
C- Circulation : Hypotensi, bradikardi, poikilotermi
D- Disabiity : kaji sebagaian atau keseluruhan kemampuan bergerak,
kehilangan sensasi, kelemahan otot.
E- exposure : Buka pakaian pasien dan selimut, periksa secara teliti mulai
dari kepala sampai kaki.
31
dan jantung berdebar-debar. Pada keadaan lainnya dapat meningkatkan
hormon antidiuretik yang berdampak pada kompensasi tubuh.
(3) B3 (Brain)
Pengkajian ini meliputi tingkat kesadaran, pengkajian fungsi serebral
dan pengkajian saraf kranial.
Pengkajian tingkat kesadaran : tingkat keterjagaan klien dan respon
terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi
sistem persyarafan.
Pengkajian fungsi serebral : status mental observasi
penampilan, tingkah laku nilai gaya bicara dan aktivitas motorik klien
Pengkajian sistem motorik : inspeksi umum didapatkan kelumpuhan
pada ekstermitas bawah, baik bersifat paralis, paraplegia, maupun
quadriplegia
Pengkajian sistem sensori : ganguan sensibilitas pada klien
cedera medula spinalis sesuai dengan segmen yang mengalami
gangguan.
(4) B4 (Bladder)
Kaji keadaan urine meliputi warna ,jumlah,dan karakteristik
urine, termasuk berat jenis urine.Penurunan jumlah urine
dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi
pada ginjal. Bila terjadi lesi pada kauida ekuina kandung kemih dikontrol
oleh pusat (S2-S4) atau dibawah pusat spinal kandung kemih akan
menyebabkan interupsi hubungan antara kandung kemih dan pusat
spinal.
(5) B5 (Bowel)
Pada keadaan syok spinal, neuropraksia sering didapatkan adanya ileus
paralitik, dimana klinis didapatkan hilangnya bising usus, kembung,dan
defekasi, tidak ada. Hal ini merupakan gejala awal dari tahap syok
spinal yang akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu.
(6) B6 (Bone)
Paralisis motorik dan paralisis organ internal bergantung pada ketinggian
lesi saraf yang terkena trauma. Gejala gangguan motorik sesuai
32
dengan distribusi segmental dari saraf yang terkena.disfungsi motorik
paling umum adalah kelemahan dan kelumpuhan.pada
saluran ekstermitas bawah. Kaji warna kulit, suhu, kelembapan, dan
turgor kulit dst.
2. Diagnosa Keperawatan
2) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (spinal injury) ditandai
dengan mengeluh nyeri, tampak meringis, gelisah, frekuensi nadi meningkat,
sulit tidur.
3. Rencana Keperawatan
No Rencana Perawatan
Dx
Tujuan Dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
3. Gelisah menurun
4. Fasilitasi istirahat dan tidur 3. Untuk
5. Agar mampu
mengontrol nyeri
34
yang timbul
6. Untuk terapi
medis
4. Implementasi Keperawatan
35
5. Evaluasi Keperawatan
No Evaluasi Hasil
Dx
2. Sesak berkurang
2. Meringis menurun
3. Gelisah menurun
36
DAFTAR PUSTAKA
Arif Mutaqqin (2008), Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem
Persarafan, Jakarta : Salemba Medika
Sjahrir, H. 2012. Nyeri Kepala dan Vertigo. Yogyakarta: Pustaka Cendekia Press
Grace, Pierce A. dan Neil R. Borley. At a Glance Ilmu Bedah . Alih Bahasa dr.
Vidia Umami. Editor Amalia S. Edisi 3. Jakarta: Erlangga, 2006.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Edisi
1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia,
Definisi dan Tindakan Keperawatan. Edisi 1, Cetakan II. Jakarta: Dewan
Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia, Definisi
dan Kriteria Hasil Keperawatan. Edisi 1, Cetakan II. Jakarta: Dewan
Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia
37
38