Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN PENDAHULUAN TENTANG

CEDERA KEPALA BERAT (CKB)

NILTU DINARI

P07120118029

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN MATARAM

JURUSAN KEPERAWATAN MATARAM

ROGRAM STUDI. DIII KEPERAWATAN MATARAM

TINGKAT 2A/SEMESTER IV

2020
LAPORAN PENDAHULUAN
CEDERA KEPALA BERAT

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Definisi
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi
baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat
berakibat kepada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif,
psikososial, bersifat temporer atau permanent. (Irwana,2009).
Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak
yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi
otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.(Budi,hendri,2008)
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah
suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar,
yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
2. Epidemiologi
Secara global insiden cedera kepala meningkat dengan tajam
terutama karena peningkatan penggunaankendaraan bermotor. WHO
memperkirakan bahwa pada tahun 2020 kecelakaan lalu lintas akan
menjadi penyebab penyakit dan trauma ketiga terbanyak di dunia. Di
Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal
sebelum tiba di rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80%
dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk
cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala
berat (CKB). Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok
usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan
penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya
karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan,
kegiatan olahraga dan rekreasi (Irwana,2009).

3. Etiologi
a. Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor
bertabrakan dengan kenderaan yang lain atau benda lain sehingga
menyebabkan kerusakan atau kecederaan kepada pengguna jalan
raya .
b. Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau
meluncur ke bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik
ketika masih di gerakan turun maupun sesudah sampai ke tanah.
c. Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau
perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau
matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik pada barang
atau orang lain (secara paksaan).
Selain itu penyebab lain terjadinya trauma kepala (Smeltzer,
2001:2210; Long,1996:203), antara lain :
a. Trauma tajam
Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana merobek
otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam.
b. Trauma tumpul
Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih
berat sifatnya.
c. Cedera akselerasi
Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh
pukulan maupun bukan dari pukulan
d. Kontak benturan (Gonjatan langsung)
Terjadi benturan atau tertabrak sesuatu objek
e. Kecelakaan lalu lintas
f. Jatuh
g. Kecelakaan industry
Serangan yang disebabkan karena olah raga
h. Perkelahian

4. Mekanisme cedera
Mekanisme cedera / trauma kepala, meliputi :
a. Akselerasi
Jika benda bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada
orang yang diam kemudian dipukul atau dilempar.
b. Deselerasi
Jika kepala bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada
kepala yang terbentur.
c. Deformitas
Perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi akibat
trauma, misalnya adanya fraktur kepala, kompresi, ketegangan
atau pemotongan pada jaringan otak.
5. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap
yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan
cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa,
dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda
keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala
( Gennarelli, 1996 dalam Israr dkk, 2009 ). Pada trauma kapitis, dapat
timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada permukaan otak
yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada
duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Akselerasi-deselerasi terjadi
karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat
terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi
solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak
bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam
tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup)
(Hickey, 2003 dalam Israr dkk,2009).
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus
pembengkakan dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek
kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari
beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali
jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola
tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya
kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah
dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium,
produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang
berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan
jaringan otak. Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung
dari menit ke menit pada suplai nutrien yang konstan dalam bentuk
glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera metabolik bila
suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi
otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia,
menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak
( Lombardo, 2003).
6. Pathway
Trauma Kepala

Ekstra Kranial Tulang Kranial Intra Kranial

Terputusnya kontinuitas jaringan Terputusnya


kulit, otot dan vaskuler kontinuitas jaringan Jaringan otak rusak
tulang (kontusio, laserasi)

Perubahan autoregulasi
Gangguan
Resiko Nyeri
suplai darah
infeksi
kejang
Perdarahan Iskemia
Perubahan
perfusi jaringan
Hipoksia
1. Bersihan
jalan nafas
Perubahan sirkulasi CSS Ggg fungsi otak
Ggg neurologis 2. Obstruksi
fokal jalan nafas
Mual-muntah
3. Dispnea
Peningkatan TIK
Papilodema Defisit neurologis
4. Henti nafas
Pandangan kabur
5. Perubhan
Girus medialis lobus Ggg persepsi
Penurunan fungsi pola nafas
temporalis bergeser pendengaran sensori

Nyeri kepala Resiko tidak


efektifnya bersihan
Resiko kurangnya jalan nafas
volume cairan
Herniasi unkus

Tonsil cerebelum tergeser Kompresi medula oblongata

mesensefalon Resiko injuri resiko ggg integritas


kulit
Immobilisasi
Gangguan kesadaran
Kurangnya
Cemas
perawatan diri
7. Klasifikasi
Cedera kepala dibagi menjadi :
a. Cedera Kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pencahnya
tengkorak atau luka penetrasi. Besarnya cedera kepala pada tipe ini
ditentukan oleh velositas, masa dan bentuk dari benturan.
Kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak menusuk
dan masuk ke dalam jaringan otak dan melukai durameter saraf
otak, jaringan sel otak akibat benda tajam/ tembakan. Cedera
kepala terbuka memungkinkan kuman pathogen memiliki abses
langsung ke otak.
b. Cedera Kepala Tertutup
Benturan cranium pada jaringan otak didalam tengkorak ialah
goncangan yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu
yang bergerak cepat, kemudian serentak berhenti dan bila ada
cairan dalam otak cairan akan tumpah. Cedera kepala tertutup
meliputi: komusio (gegar otak), kontusio (memar), dan laserasi
(Brunner & Suddarth, 2001; Long,1990)
c. Berdasarkan Tingkat Keparahan
Biasanya Cedera Kepala berdasarkan tingkat keparahannya
didasari atas GCS. Dimana GCS ini terdiri dari tiga komponen
yaitu :
1) Reaksi membuka mata (E)

Reaksi membuka mata Nilai

Membuka mata spontan 4

Buka mata dengan rangsangan suara 3

Buka mata dengan rangsangan nyeri 2

Tidak membuka mata dengan rangsangan 1


nyeri

2) Reaksi berbicara

Reaksi Verbal Nilai

Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5

Bingung, disorientasi waktu, tempat dan ruang 4

Dengan rangsangan nyeri keluar kata-kata 3

Keluar suara tetapi tak berbentuk kata-kata 2

Tidak keluar suara dengan rangsangan apapun 1

3) Reaksi Gerakan lengan / tungkai

Reaksi Motorik Nilai

Mengikuti perintah 6

Melokalisir rangsangan nyeri 5

Menarik tubuhnya bila ada rangsangan nyeri 4

Reaksi fleksi abnormal dengan rangsangan nyeri 3

Reaksi ekstensi abnormal dengan rangsangan 2


nyeri

Tidak ada gerakan dengan rangsangan nyeri 1


Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala dapat
diklasifikasikan menjadi :
a. Cedera kepala ringan
Nilai GCS: 13-15, kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit.
Ditandai dengan nyeri kepala, muntah, vertigo dan tidak ada
penyerta seperti pada fraktur tengkorak, kontusio/hematoma
b. Cedera kepala sedang
Nilai GCS: 9-12, kehilangan kesadaran antara 30 menit – 24 jam,
dapat mengalami fraktur tengkorak dan disorientasi ringan (bingung)
c. Cedera kepala berat
Nilai GCS: 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, meliputi:
kontusio serebral, laserasi, hematoma dan edema serebral (Hudack
dan Gallo, 1996)

8. Gejala klinis
a. Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia, cara berjalan
tidak tegap, kehilangan tonus otot.
b. Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan
frekuensi jantung (bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan
bradikardia disritmia).
c. Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).
d. Inkontinensia kandung kemih atau usus atau mengalami ganggua
fungsi.
e. Muntah atau mungkin proyektil, gangguan menelan (batuk, air liur,
disfagia)
f. Perubahan kesadaran bisa sampai koma. Perubahan status mental
(orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan
masalah, pengaruh emosi atau tingkah laku dan memori).
Perubahan pupil (respon terhadap cahaya simetris) deviasi pada
mata, ketidakmampuan mengikuti. Kehilangan penginderaan
seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran, wajah tidak
simetris, refleks tendon tidak ada atau lemah, kejang, sangat
sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi
sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.
g. Wajah menyeringai, respon pada rangsangan nyeri yang hebat,
gelisah tidak bisa beristirahat, merintih.
h. Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi),
nafas berbunyi, stridor, terdesak, ronchi, mengi positif
(kemungkinan karena aspirasi).
i. Fraktur atau dislokasi, gangguan penglihatan, kulit : laserasi,
abrasi, perubahan warna, adanya aliran cairan (drainase) dari
telinga atau hidung (CSS), gangguan kognitif, gangguan rentang
gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami
paralisis, demam, gangguan dalam regulasi tubuh.
j. Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, berbicara berulang
– ulang.
k. Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
l. Cemas,delirium, agitasi, bingung, depresi, dan impulsif.
m. Mual, muntah, mengalami perubahan selera.
n. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian,
vertigo, sinkope, tinitus,kehilangan pendengaran. Perubahan dalam
penglihatan,seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian
lapang pandang, fotopobia, gangguan pengecapan dan penciuman.
o. Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya
lama.
p. Pada kontusio, segera terjadi kehilangan kesadaran, pada
hematoma, kesadaran mungkin hilang, atau bertahap sering dengan
membesarnya hematoma atau edema intestisium.
q. Respon pupil mungkin lenyap atau segera progresif memburuk.
r. Perubahan prilaku, kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan
gerakan motorik timbul dengan segera atau secara lambat.
s. Hematoma epidural dimanifestasikan dengan awitan yang cepat.
Hematoma ini mengancam hidup dan dikarakteristikkan dengan
detoriorasi yang cepat, sakit kepala, kejang, koma dan hernia otak
dengan kompresi pada batang otak.
t. Hematoma subdural terjadi dalam 48 jam cedera dan
dikarakteristikkan dengan sakit kepala, agitasi, konfusi, mengantuk
berat, penurunan tingkat kesadaran, dan peningkatan TIK.
Hematoma subdural kronis juga dapat terjadi.
u. Perubahan ukuran pupil (anisokoria)
v. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertenai, depresi
pernapasan)
w. Apabila meningkatnya tekanan intracranial, terdapat pergerakan
atau posisi abnormal ekstrimitas

Perdarahan Yang Sering Ditemukan :


a. Epidural Hematoma
Terdapat pengumpulan darah di antara tulang tengkorak dan
duramater akibat pecahnya pembuluh darah / cabang – cabang
arteri meningeal media yang terdapat di duramater, pembuluh
darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat
berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1-2 hari.
Lokasi yang paling sering yaitu di lobus temporalis dan
parietalis. Gejala-gejala yang terjadi: penurunan tingkat
kesadaran, nyeri kepala, muntah, hemiparesis, dilatasi pupil
ipsilateral, pernapasan dalam cepat kemudian dangkal
irreguler, penurunan nadi, peningkatan suhu.
b. Subdural Hematoma
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat
terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh
darah vena / jembatan vena yang biasanya terdapat diantara
duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi
dalam 48 jam – 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi
dalam 2 minggu atau beberapa bulan. Tanda-tanda dan
gejalanya adalah : nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik
diri, berfikir lambat, kejang dan udem pupil. Perdarahan
intracerebral berupa perdarahan di jaringan otak karena
pecahnya pembuluh darah arteri; kapiler; vena. Tanda dan
gejalanya: nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi
pernapasan, hemiplegia kontra lateral, dilatasi pupil, perubahan
tanda-tanda vital.
c. Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya
pembuluh darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pad
cedera kepala yang hebat. Tanda dan gejala : Nyeri kepala,
penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan
kaku kuduk

9. Pemeriksaan fisik
Observasi dan pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum : Lemah, gelisah, cenderung untuk tidur
b. TTV : Suhu, nadi, tensi, RR, GCS
1) Pernafasan ( B1 : Breathing )
a) Hidung : Hidung simetris , atau terdapat fraktur
b) Dada : Bentuk simetris kanan kiri, retraksi otot bantu
pernafasan, ronchi
c) Di seluruh lapangan paru, batuk produktif, irama
pernafasan, nafas dangkal.
d) Inspeksi : Inspirasi dan ekspirasi pernafasan, frekuensi,
irama, gerakan cuping hidung, terdengar suara nafas
tambahan bentuk dada, batuk
e) Palpasi : Pergerakan asimetris kanan dan kiri, taktil
fremitus raba sama antara kanan dan kiri dinding dada
f) Perkusi : Adanya suara-suara sonor pada kedua paru, suara
redup pada batas paru dan hepar.
g) Auskultasi : Terdengar adanya suara vesikuler di kedua
lapisan paru, suara ronchi dan weezing.
2) Kardiovaskuler ( B2 : Bleeding )
a) Inspeksi : Bentuk dada simetris kanan kiri, denyut jantung
pada ictus cordis 1
b) Palpasi : Frekuensi nadi/HR, tekanan darah, suhu, perfusi
dingin, berkeringat
c) Perkusi : Suara pekak
d) Auskultasi : Irama reguler, sistole/murmur, bendungan
vena jugularis, oedema
3) Persyarafan ( B3 : Brain ) Kesadaran, GCS
a) Kepala : Bentuk ovale, wajah tampak miring ke sisi kanan
b) Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak icteric, pupil
isokor, gerakan bola mata mampu mengikuti perintah.
c) Mulut : Kesulitan menelan, kebersihan penumpukan ludah
dan lendir, bibir tampak kering, terdapat afasia.
d) Leher : Tampak pada daerah leher tidak terdapat
pembesaran pada leher, tidak tampak perbesaran vena
jugularis, tidak terdapat kaku kuduk.
4) Perkemihan-eliminasi urine ( B4 : Bledder )
a) Inspeksi : Jumlah urine, warna urine, gangguan perkemihan
tidak ada, pemeriksaan genitalia eksternal, jamur, ulkus,
lesi dan keganasan.
b) Palpasi : Pembesaran kelenjar inguinalis, nyeri tekan.
c) Perkusi : Nyeri pada perkusi pada daerah ginjal.
5) Pencernaan-eliminasi alvi ( B5 : Bowel )
a) Inspeksi : Mulut dan tenggorokan tampak kering, abdomen
normal tidak ada kelainan, keluhan nyeri, gangguan
pencernaan ada, kembung kadang-kadang, terdapat diare,
buang air besar perhari.
b) Palpasi : Hepar tidak teraba, ginjal tidak teraba, anoreksia,
tidak ada nyeri tekan.
c) Perkusi : Suara timpani pada abdomen, kembung ada suara
pekak pada daerah hepar.
d) Auskultasi : Peristaltik lebih cepat.
e) Abdomen : Tidak terdapat asites, turgor menurun,
peristaltik ususnormal.
f) Rektum : Rectal to see
6) Tulang-otot-integumen ( B6 : Bone )
a) Kemapuan pergerakan sendi : Kesakitan pada kaki saat
gerak pasif, droop foot, kelemahan otot pada ekstrimitas
atas dan bawah.
b) Kulit : Warna kulit, tidak terdapat luka dekubitus, turgor
baik, akral kulit.
10. Pemeriksaan diagnostik/penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
1) AGD : untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau
oksigenasi perdarahan sub arakhnoid.
2) Kimia elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang
berperan dalam peningkatan TIK atau perubahan mental.
b. Radiology
1) CT Scan (tanpa atau dengan kontras) mengidentifikasi adanya
hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran
jaringan otak.
2) MRI : sama dengan CT Scan
3) Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral,
seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, pendarahan,
trauma.
4) EEG : untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya
gelombang patologis.
5) Sinar X : untuk mendeteksi adanya perubahan struktur tulang
( fraktur ), pergeseran struktur dari garis tengah ( karena
perdarahan ) adanya fragmen tulang.
6) BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
7) PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8) Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh kanan
intrkrani obat sehingga menyebabkan penurunan kesadan.
9) Myelogram :Dilakukan untuk menunjukan vertebrae dan
adanya bendungan dari spinal aracknoid jika dicurigai.
10) Thorax X ray :Untuk mengidentifikasi keadaan pulmo.
c. Fungsi lumbal : CSS, dapat menduga kemungkinan adanya
perdarahan sub arakhnoid.
d. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial
e. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh kanan intrkrani
obat sehingga menyebabkan penurunan kesadan.
f. Pemeriksaan fungsi pernafasan: Mengukur volume maksimal dari
inspirasi dan ekspirasi yang penting diketahui bagi penderita
dengan cidera kepala dan pusat pernafasan (medulla oblongata).

11. Theraphy
a. Penatalaksanaan
1) Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain
dari factor mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing,
circulation) dan menilai status neurologis (disability,
exposure), maka factor yang harus diperhitungkan pula adalah
mengurangi iskemia serebri yang terjadi. Selain itu perlu pula
dikontrol kemungkinan tekanan intracranial yang meninggi
disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang
memerlukan tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan
tekanan intracranial ini dapat dilakukan dengan cara
menurunkan PaCO2 dengan hiperventilasi yang mengurangi
asidosis intraserebral dan menambah metabolisme
intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan PaCO2 ini
yakin dengan intubasi endotrakeal, hiperventilasi. Intubasi
dilakukan sedini mungkin kepala klien yang koma untuk
mencegah terjadinya PaCO2 yang meninggi. Prinsip ABC dan
ventilasi yang teratur dapat mencegah peningkatan tekanan
intracranial.
2) Penangan khususnya pada klien dengan CKB yang mengalami
perdarahan atau hematom di kepala baik pada bagian EDH
maupun SDH dilakukan tindakan trepanasi. Trepanasi/
kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang
bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif.
Epidural Hematoma (EDH) adalah suatu perdarahan yang
terjadi di antara tulang dan lapisan duramater.
3) Kontusio berat observasi dan tirah baring, dilakukan
pembersihan / debridement dan sel-sel yang mati (secara bedah
terutama pada cedera kepala terbuka)
4) Untuk cedera kepala terbuka diperlukan antibiotika untuk
mencegah terjadinya infeksi
5) Dilakukan metode-metode untuk menurukan tekanan
intracranial termasuk pemberian diuretic dan anti inflamasi
6) Lakukan pengkajian neurologic
a) Fungsi serebral ( kesadaran, orientasi, memori, bicara )
b) TTV ( TD, nadi)
c) Fungsi motorik dan sensorik
7) Kaji adanya cedera lain, terutama cedera servikal. Jangan
memindahkan pasien sampai kemungkinan cedera servikal
telah disingkirkan / ditangani. Tinggikan kepala tempat tidur
sampai 30 derajat jika tidak terdapat cedera servikal.
8) Pantau adanya komplikasi
a) Pantau TTV dan status neurologist dengan sering
b) Periksa adanya peningkatan TIK
c) Periksa adanya drainase dari hidung dan telinga.

12. Komplikasi
a. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut coma.
Pada situasi ini, secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau
minggu, setelah masa ini penderita akan terbangun, sedangkan
beberapa kasus lainya memasuki vegetative state atau mati
penderita pada masa vegetative statesering membuka matanya dan
mengerakkannya, menjerit atau menjukan respon reflek. Walaupun
demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari
lingkungan sekitarnya. Penderita pada masa vegetative state lebih
dari satu tahun jarang sembuh
b. Seizure
Pederita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-
kurangnya sekali seizure pada masa minggu pertama setelah
cedera. Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi
epilepsy
c. Infeksi
Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran
(meningen) sehingga kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini
biasanya berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk
menyebar ke sistem saraf yang lain
d. Kerusakan saraf
Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada
nervus facialis. Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis
atau kerusakan dari saraf untuk pergerakan bola mata yang
menyebabkan terjadinya penglihatan ganda
e. Hilangnya kemampuan kognitif
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan
memori merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan
cedera kepala berat mengalami masalah kesadaran
13. Prognosis
Pragnosa pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan
dilakukan secara tepat dan cepat. Pasien meninggal karena beberapa
factor yakni : Prolog hipoksia dan hipotensi, herniasi otak, komplikasi
- komplikasi sistemik.
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a) Data subjektif :
1) Identitas (pasien dan keluarga/penanggung jawab) meliputi:
Nama, umur,jenis kelamin, suku bangsa, agama, pendidikan,
pekerjaan, status perkawinan, alamat, dan hubungan pasien
dengan keluarga/pengirim).
2) Keluhan utama: Bagaimana pasien bisa datang ke ruang gawat
darurat, apakah pasien sadar atau tidak, datang sendiri atau
dikirim oleh orang lain?
3) Riwayat cedera, meliputi waktu mengalami cedera (hari,
tanggal, jam), lokasi/tempat mengalami cedera.
4) Mekanisme cedera: Bagaimana proses terjadinya sampai
pasien menjadi cedera.
5) Allergi (alergi): Apakah pasien mempunyai riwayat alergi
terhadap makanan (jenisnya), obat, dan lainnya.
6) Medication (pengobatan): Apakah pasien sudah mendapatkan
pengobatan pertama setelah cedera, apakah pasien sedang
menjalani proses pengobatan terhadap penyakit tertentu?
7) Past Medical History (riwayat penyakit sebelumnya): Apakah
pasien menderita penyakit tertentu sebelum menngalami
cedera, apakah penyakit tersebut menjadi penyebab terjadinya
cedera?
8) Last Oral Intake (makan terakhir): Kapan waktu makan
terakhir sebelum cedera? Hal ini untuk memonitor muntahan
dan untuk mempermudah mempersiapkan bila harus dilakukan
tindakan lebih lanjut/operasi.
9) Event Leading Injury (peristiwa sebelum/awal cedera): Apakah
pasien mengalami sesuatu hal sebelum cedera, bagaimana hal
itu bisa terjadi?
2. Pengkajian ABCD FGH
a. AIRWAY
1) Cek jalan napas paten atau tidak
2) Ada atau tidaknya obstruksi misalnya karena lidah jatuh
kebelakang, terdapat cairan, darah, benda asing, dan lain-lain.
3) Dengarkan suara napas, apakah terdapat suara napas tambahan
seperti snoring, gurgling, crowing.
b. BREATHING
1) Kaji pernapasan, napas spontan atau tidak
2) Gerakan dinding dada simetris atau tidak
3) Irama napas cepat, dangkal atau normal
4) Pola napas teratur atau tidak
5) Suara napas vesikuler, wheezing, ronchi
6) Ada sesak napas atau tidak (RR)
7) Adanya pernapasan cuping hidung, penggunaan otot bantu
pernapasan
c. CIRCULATION
1) Nadi teraba atau tidak (frekuensi nadi)
2) Tekanan darah
3) Sianosis, CRT
4) Akral hangat atau dingin, Suhu
5) Terdapa perdarahan, lokasi, jumlah (cc)
6) Turgor kulit
7) Diaphoresis
8) Riwayat kehilangan cairan berlebihan
d. DISABILITY
1) Kesadaran : composmentis, delirium, somnolen, koma
2) GCS : EVM
3) Pupil : isokor, unisokor, pinpoint, medriasis
4) Ada tidaknya refleks cahaya
5) Refleks fisiologis dan patologis
6) Kekuatan otot
e. EXPOSURE
1) Ada tidaknya deformitas, contusio, abrasi, penetrasi, laserasi,
edema Jika terdapat luka, kaji luas luka, warna dasar luka,
kedalaman
f. FIVE INTERVENTION
1) Monitoring jantung (sinus bradikardi, sinus takikardi)
2) Saturasi oksigen
3) Ada tidaknya indikasi pemasangan kateter urine, NGT
4) Pemeriksaan laboratorium
g. GIVE COMFORT
1) Ada tidaknya nyeri
2) Kaji nyeri dengan
a) P : Problem
b) Q : Qualitas/Quantitas
c) R : Regio
d) S : Skala
e) T : Time
h. H 1 SAMPLE
1) Keluhan utama
2) Mekanisme cedera/trauma
3) Tanda gejala
i. H 2 HEAD TO TOE
1) Fokus pemeriksaan pada daerah trauma
2) Kepala dan wajah
3. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi Keperawatan

DX 1 : Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak ruang


sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat
intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural hematoma.
Tujuan : dalam waktu 2x24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada klien.
Kriteria hasil : klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual-mual
dan muntah, GCS 4, 5, 6, tidak terdapat papiledema. TTV dalam batas normal.
Intervensi Rasionalisasi
Mandiri Deteksi dini untuk memprioritaskan
Kaji faktor penyebab dari intervensi, mengkaji status
situasi/keadaan individu/penyebab neurologis/tanda-tanda kegagalan
koma/penurunan perfusi jaringan dan untuk menentukan perawatan
kemungkinan penyebab peningkatan kegawatan atau tindakan pembedahan.
TIK.
Memonitor tanda-tanda vital tiap 4 jam Suatu keadaan normal bila sirkulasi
serebral terpelihara dengan baik atau
fluktuasi ditandai dengan tekanan
darah sistemik, penurunan dari
autoregulator kebanyakan merupakan
tanda  penurunan difusi local
vaskularisasi darah serebral. Dengan
peningkatan tekanan darah (diastolic)
maka dibarengi dengan peningkatan
tekanan darah intrakrinial. Adanya
peningkatan tekanan darah, bradikardi,
disritmia, dispnea merupakan tanda
terjadinya peningkatan TIK.
Evaluasi pupil, amati ukuran, Reaksi pupil dan pergerakan kembali
ketajaman, dan reaksi terhadap cahaya. dari bola mata merupakan tanda dari
gangguan nervus/saraf jika batang otak
terkoyak. Reaksi pupil diatur oleh saraf
III cranial (okulomotorik) yang
menunjukkan keseimbangan antara
parasimpatis dan simpatis. Respon
terhadap cahaya merupakan kombinasi
fungsi dari saraf cranial II dan III.
Monitor temperatur dan pengaturan Panas merupakan refleks dari
suhu lingkungan. hipotalamus.
Peningkatan kebutuhan metabolism
dan O2 akan menunjang peningkatan
TIK/ICP (Intracranial Pressure).
Pertahankan kepala/leher pada posisi Perubahan kepala pada satu sisi dapat
yang netral, usahakan dengan sedikit menimbulkan penekanan pada vena
bantal. Hindari penggunaan bantal jugularis dan menghambat aliran darah
yang tinggi pada kepala. otak (menghambat drainase pada vena
serebral), untuk itu dapat meningkatkan
tekanan intracranial.
Berikan periode istirahat antara Tindakan yang terus-menerus dapat
tindakan perawatan dan batasi lamanya meningkatkan TIK oleh efek
prosedur. rangsangan kumulatif.
Kurangi rangsangan ekstra dan berikan Memberikan suasana yang tenang
rasa nyaman seperti masase punggung, (colming effect) dapat mengurangi
lingkungan yang tenang. Sentuhan respons psikologis dan memberikan
yang ramah, dan suasana / istirahat untuk mempertahankan TIK
pembicaraan yang tidak gaduh. yang rendah.
Cegah/hindarkan terjadinya valsava Mengurangi tekanan intratorakal dan
maneuver. intraabdominal sehingga menghindari
peningkatan TIK.
Bantu klien jika batuk, muntah. Aktivitas ini dapat meningkatkan
intrathorakal/tekanan dalam thoraks
dan tekanan dalam abdomen dimana
aktivitas ini dapat meningkatkan
tekanan TIK.
Kaji peningkatan istirahat dan tingkat Tingkah nonverbal ini dapat
laku. merupakan indikasi peningkatan TIK
atau memberikan refleks nyeri dimana
klien tidak mampu mengungkapkan
keluhan secara verbal, nyeri yang tidak
menurun dapat meningkatkan TIK.
Palpasi pada pembesaran/pelebaran Dapat meningkatkan repons otomatis
bladder, pertahankan drainase urine yang potensial menaikkan TIK.
secara paten jika di gunakan dan juga
monitor terdapatnya konstipasi.
Berikan penjelasan pada klien (jika Meningkatkan kerja sama dalam
sadar) dan keluarga tentang sebab- meningakatkan perawatan klien dan
sebab TIK meningkat. mengurangi kecemasan.
Observasi tingkat kesadaran dengan Perubahan kesadaran menunjukkan
GCS. peningkatan TIK dan berguna
menentukan lokasi dan perkembangan
penyakit.
Kolaborasi :
Pemberian O2 sesuai indikasi. Mengurangi hipoksemia, dimana dapat
meningkatkan vasodilatasi serebral,
volume darah, dan menaikkan TIK.
Kolaborasi untuk tindakan operatif Tindakan pembedahan untuk evakuasi
evakuasi darah dari dalam intracranial. darah dilakukan bila kemungkinan
terdapat tanda-tanda deficit neurologis
yang menandakan peningkatan
ntrakranial.
Berikan cairan intravena sesuai Pemberian cairan mungkin di inginkan
indikasi. untuk mengurangi edema serebral,
peningkatan minimum pada pembuluh
darah, tekanan darah dan TIK.
Berikan obat osmosis diuretic Diuretic mungkin digunakan pada fase
contohnya : manitol, furoscide. akut untuk mengalirkan air dari sel
otak dan mengurangi edema serebral
dan TIK.

Berikan steroid contohnya : Untuk menurunkan inflamasi (radang)


dexamethason, methyl prenidsolon. dan mengurangi edema jaringan.

Berikan analgesic narkotik contoh : Mungkin di indikasikan untuk


kodein. mengurangi nyeri dan obat ini berefek
negatif pada TIK tetapi dapat
digunakan dengan tujuan untuk
mencegah dan menurunkan sensasi
nyeri.

Berikan antipiretik contohnya : Mengurangi/mengontrol hari dan pada


asetaminofen. metabolisme serebral/oksigen yang
diinginkan.

Monitor hasil laboratorium sesuai Membantu memberikan informasi


dengan indikasi seperti prothrombin, tentang efektifitas pemberian obat.
LED.

DX 2 : Ketidakefektifnya pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi


pusat pernapasan, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak
maksimal karena trauma, dan perubahan perbandingan O2 dengan CO2,
kegagalan ventilator.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam setelah intervensi adanya peningkatan, pola
napas kembali efektif.
Kriteria hasil : Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif, mengalami
perbaikan pertukaran gas-gas pada paru, adaptif mengatasi faktor-faktor
penyebab.
Intervensi Rasionalisasi
Berikan posisi yang nyaman, biasanya dengan Meningkatkan inspirasi
peninggian kepala tempat tidur. Balik kesisi yang maksimal, meningkatkan
sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak ekspansi paru dan
mungkin. ventilasi pada sisi yang
tidak sakit.
Observasi fungsi pernapasan, dispnea, atau Distress pernapasan dan
perubahan tanda-tanda vital. perubahan pada tanda
vital dapat terjadi sebagai
akibat stress fisiologi dan
nyeri atau dapat
menunujukkan terjadinya
syok sehubungan dengan
hipoksia.
Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut Pengetahuan apa yang
dilakukan untuk menjamin keamanan. diharapkan dapat
mengembangkan
kepatuhan klien terhadap
rencana terapeutik.
Jelaskan pada klien tentang etiologi/factor pencetus Pengetahuan apa yang
adanya sesak atau kolaps paru-paru. diharapkan dapat
mengurangi ansietas dan
mengembangkan
kepatuhan klien terhadap
rencana terapeutik.
Pertahankan perilaku tenang, bantu klien untuk Membantu klien
control diri dengan menggunakan pernapasan lebih mengalami efek fisiologi
lambat dan dalam. hipoksia, yang dapat
Periksalah alarm pada ventilator sebelum dimanifestasikan sebagai
difungsikan. Jangan mematikan alarm. ketakutan/ansietas.
Ventilator yang memiliki
alarm yang bias dilihat
dan didengar misalnya
alarm kadar oksigen,
tinggi/rendahnya tekanan
oksigen.
Tarulah kantung resusitasi disamping tempat tidur Kantung
dan manual ventilasi untuk sewaktu-waktu dapat resusitasi/manual
digunakan. ventilasi sangat berguna
untuk mempertahankan
fungsi pernapasan jika
terjadi gangguan pada
alat ventilator secara
mendadak.
Bantulah klien untuk mengontrol pernapasan jika Melatih klien untuk
ventilator tiba-tiba berhenti. mengatur napas seperti
napas dalam, napas pelan,
napas perut, pengaturan
posisi, dan teknik
relaksasi dapat membantu
memaksimalkan fungsi
dan system pernapasan.
Perhatikan letak dan fungsi ventilator secara rutin. Memerhatikan letak dan
Pengecekan konsentrasi oksigen, memeriksa fungsi ventilator sebagai
tekanan oksigen dalam tabung, monitor manometer kesiapan perawat dalam
untuk menganalisis batas/kadar oksigen. memberikan tindakan
Mengkaji tidal volume (10-15 ml/kg). periksa pada penyakit primer
fungsi spirometer. setelah menilai hasil
diagnostik dan
menyediakan sebagai
cadangan.
Kolaborasi dengan tim kesehatan lain : Kolaborasi dengan tim
Dengan dokter, radiologi, dan fisioterapi. kesehatan lain untuk
§  Pemberian antibiotik. mengevaluasi perbaikan
§  Pemberian analgesic. kondisi klien atas
§  Fisioterapi dada. pengembangan parunya.
§  Konsul foto thoraks.

DX 3 : Tidak efektif bersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya


jalan napas buatan pada trakea, peningkatan sekresi sekret, dan
ketidakmampuan batuk/batuk efektif sekunder akibat nyeri dan keletihan.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam terdapat perilaku peningkatan keefektifan jalan
napas.
Kriteria hasil : Bunyi napas terdengar bersih, ronkhi tidak terdengar, tracheal
tube bebas sumbatan, menunjukkan batuk yang efektif, tidak ada lagi
penumpukan sekret di saluran pernapasan.
Intervensi Rasionalisasi
Kaji keadaan jalan napas Obstruksi mungkin dapat
disebabkan oleh
akumulasi sekret, sisa
cairan mucus,
perdarahan,
bronkhospasme, dan/atau
posisi dari
endotracheal/tracheostom
y tube yang berubah.
Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi suara Pergerakan dada yang
napas pada kedua paru (bilateral). simetris dengan suara
napas yang keluar dari
paru-paru menandakan
jalan napas tidak
terganggu. Saluran napas
bagian bawah tersumbat
dapat terjadi pada
pneumonia/atelektasis
akan menimbulkan
perubahan suara napas
seperti ronkhi atau
wheezing.
Monitor letak/posisi endotracheal tube. Beri tanda Endotracheal tube dapat
batas bibir. saja masuk ke dalam
Lekatkan tube secara hati-hati dengan memakai bronchus kanan,
perekat khusus. menyebabkan obstruksi
Mohon bantuan perawat lain ketika memasang dan jalan napas ke paru-paru
mengatur posisi tube. kanan dan mengakibatkan
klien mengalami
pneumothoraks.
Catat adanya batuk, bertambahnya sesak napas, Selama intubasiklien
suara alarm dari ventilator karena tekanan yang mengalami refleks batuk
tinggi, pengeluaran sekret melalui yang tidak efektif, atau
endotracheal/tracheostomy tube, bertambahnya klien akan mengalami
bunyi ronkhi. kelemahan otot-otot
pernapasan
(neuromuscular/neurosen
sorik), keterlambatan
untuk batuk. Semua klien
tergantung dari alternatif
yang dilakukan seperti
mengisap lender dari
jalan napas.
Lakukan penghisapan lender jika diperlukan, batasi Pengisapan lendir tidak
durasi pengisapan dengan 15 detik atau lebih. selamanya dilakukan
Gunakan kateter pengisap yang sesuai, cairan terus-menerus, dan
fisiologis steril. durasinya pun dapat
Berikan oksigen 100% sebelum dilakukan dikurangi untuk
pengisapan dengan ambu bag (hiperventilasi). mencegah bahaya
hipoksia.
Diameter kateter
pengisap tidak boleh
lebih dari 50% diameter
endotracheal/tracheostom
y tube untuk mencegah
hipoksia.
Dengan membuat
hiperventilasi melalui
pemberian oksigen 100%
dapat mencegah
terjadinya atelektasis dan
mengurangi terjadinya
hipoksia.

Anjurkan klien mengenai tekhik batuk selama Batuk yang efektif dapat
pengisapan seperti waktu bernapas panjang, batuk mengeluarkan sekret dari
kuat, bersin jika ada indikasi. saluran napas.
Atur/ubah posisi klien secara teratur (tiap 2jam). Mengatur pengeluaran
sekret dan ventilasi
segmen paru-paru,
mengurangi risiko
atelektasis.
Berikan minum hangat jika keadaan Membantu pengenceran
memungkinkan. sekret, mempermudah
pengeluaran sekret.
Jelaskan kepada klien tentang kegunaan batuk Pengetahuan yang
efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret di diharapkan akan
saluran pernapasan. membantu
mengembangkan
kepatuhan klien terhadap
rencana terapeutik.
Ajarkan klien tentang metode yang tepat untuk Batuk yang tidak
pengontrolan batuk. terkontrol adalah
melelahkan dan tidak
efektif, dapat
menyebabkan frustasi.
Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak Memungkinkan ekspansi
mungkin. paru lebih luas.
Lakukan pernapasan diafragma. Pernapasan diafragma
menurunkan frekuensi
napas dan meningkatkan
ventilasi alveolar.
Tahap napas selama 3-5 detik kemudian secara Meningkatkan volume
perlahan-lahan, dikeluarkan sebanyak mungkin udara dalam paru,
melalui mulut. mempermudah
pengeluaran sekresi
sekret.
Lakukan napas kedua, tahan, dan batukkan dari Pengkajian ini membantu
dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan kuat. mengevaluasi keefektifan
upaya batuk klien.
Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk. Sekresi kental sulit untuk
di encerkan dan dapat
menyebabkan sumbatan
mucus, yang mengarah
pada atelektasis.
Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan Untuk menghindari
viskositas sekresi. : mempertahankan hidrasi yang pengentalan dari sekret
adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000-1500 atau mosa pada saluran
cc/hari bila tidak ada kontraindikasi. napas pada bagian atas.
Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik Higine mulut yang baik
setelah batuk. meningkatkan rasa
kesejahteraan dan
mencegah bau mulut.
Kolaborasi dengan dokter, radiologi, dan Ekspektoran untuk
fisioterapi. Pemberian ekspektoran. memudahkan
Pemberian antibiotic. mengeluarkan lendir dan
Fisioterapi dada mengevaluasi perbaikan
Konsul foto thoraks. kondisi klien atas
pengembangan parunya.
Lakukan fisioterapi dada sesuai indikasi seperti Mengatur ventilasi
postural drainage, perkusi/penepukan. segmen paru-paru dan
pengeluaran sekret.
Berikan obat-obat bronchodilator sesuai indikasi Mengatur ventilasi dan
seperti aminophilin, meta-proterenol sulfat melepaskan sekret karena
(alupent), adoetharine hydrochloride (bronkosol). relaksasi
muscle/bronchospasme.

DX 4 : Nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks


spasme otot sekunder.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam nyeri berkurang/hilang.
Kriteria hasil : Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat
diadaptasi, dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau
menurunkan nyeri, klien tidak gelisah.
Intervensi Rasional
Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda Pendekatan dengan
nyeri nonfarmakologi dan non-invasif. menggunakan relaksasi
dan nonfarmakologi
lainnya telah
menunujukkan
keefektifan dalam
mengurangi nyeri.
Ajarkan relaksasi :
Teknik-teknik untuk menurunkan ketegangan otot Akan melansarkan
rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan peredaran darah sehingga
juga tingkatkan relaksasi masase. kebutuhan O2 oleh
jaringan akan terpenuhi
dan akan mengurangi
nyerinya.
Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut. Mengalihkan perhatian
nyerinya ke hal-hal yang
menyenangkan.
Berikan kesempatan waktu istirahat bala terasa Istirahat akan
nyeri dan berikan posisi yang nyaman misalnya merelaksasikan semua
ketika tidur, belakangnya dipasang bantal kecil. jaringan sehingga akan
meningkatkan
kenyamanan.
Tingkatkan pengetahuan tentang penyebab nyeri Pengkajian yang optimal
dan respons motorik klien, 30 menit setelah akan memberikan
pemberian obat analgesic untuk mengkaji perawat data yang
efektivitasnya serta setiap 1-2 jam setelah tindakan objektif untuk mencegah
perawatan selama 1-2 hari. kemungkinan komplikasi
dan melakukan intervensi
yang tepat.
Kolaborasi dengan dokter, pemberian analgetik. Analgetik memblok
lintasan nyeri, sehingga
nyeri akan berkurang.

DX 5 : Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran


darah (nemongi, nemotuma), edema serebral ; penurunan TD sistemik /
hipoksia.
Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam fungsi serebral membaik, penurunan fungsi
neurologis dapat d minimalkan /distabilkan.
Kriteria hasil : mempertahankan tingkat kesadaran biasanya/membaik, fungsi
kognitif dan motorik/sensorik, mendemonstrasikan vital sign yang stabil dan
tidak ada tanda-tanda peningktan TIK,
Intervensi Rasional
Kaji ulang tanda-tanda vital Mengkaji adanya
klien dan status relirologis klien kecenderungan pada
tingkat kesadaran dan
potensial peningkatan
TIK dan bermanfaat
dalam menentukan lokasi,
perluasan dan
perkembangan kerusakan
ssp.
Monitor tekanan darah, catat adanya hipertensi Peningkatan tekanan
sistolik secara teratur dan tekanan nadi yang makin darah sistemik yang
berat, obs, ht, pada klien yang mengalami trauma diikuti penurunan tekanan
multiple. darah distolik (nadi yang
membesar) merupakan
tanda terjadinya
peningkatan TIK, juga
diikuti ( yang
berhubungan
dengan trauma
kesadaran.Hipovolumia/
Ht (yang berhubungan
dengan trauma multiples)
dapat
mengakibatkan kerusakan
/ iskemik serebral.
Monitor Heart Rate, catat adanya bradikardi, Perubahan pada ritme
takikardi atau bentuk disritmia lainya. (paling sering
bradikardia) dan disritmia
dapat timbul yang
encerminkan
adanya depresi / trauma
pada batang otak pada
pasien yang tidak
mempunyai kelainan
jantung sebelumnya.
Monitor pernafasan meliputi pola dan ritme, seperti Nafas tidak teratur
periode apnea setelah hiperventilasi menunjukkan adanya
(pernafasan cheyne – stokes). gangguan
serebral/ peningkatan TIK
dan memerlukan
intervensi lebih lanjut
termasuk kemungkinan
dukungan nafas buatan.
Kaji perubahan pada penglihatan ( penglihatan Gangguan penglihatan
kabur, ganda, lap. Pandang menyempit dapat diakibatkan oleh
dan kedalaman persepsi. kerusakan mikroskopik
pada otak,
merupakan konsekuensi
terhadap keamanan dan
juga akan mempngaruhi
pilihan intervensi
Pertahankan kepala / leher pada posisi tengah/ pada Kepala yang miring pada
posisi netral. Sokong dengan handuk kecil / salah satu sisi menekan
bantal kecil. Hindari pemakaian bantal besar pada vena jugularis dan
kepala menghambat aliran darah
lain yang selanjutnya
akan
meningkat TIK.
Kolaborasi Tinggikan kepala pasien 15 – Meningkatkan aliran
45o sesuai indikasi / yang dapat ditoleransi. balik vena dari kepala,
sehingga mengurangi
kongesti dan edema
/ resiko terjadinya
peningkatan TIK.
Kolaborasi pemberian O2 tambahan sesuai Menurunkan hipoksemia
Indikasi yang mana dapat
menaikkan vasodilatasi
dan vol darah serebral
yang meningkatkan TIK.
Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi : ·   Untuk menurunkan air
- Diuretik dari sel otak, menurunkan
- Steroid edema otak
- Analgetik sedang TIK.
- Sedatif Menurunkan imflasi,
yang selanjutnya
menurunkan edema
jaringan. Menghilangkan
nyeri dan dapat berakibat
Θ pada TIK tetapi  harus
digunakan dengan hasil
untuk mencegah
gangguan pernafasan.
Untuk mengendalikan
kegelisahan agitas

DX 6 : gangguan nutrisi : kurang dari kbutuhan tubuh berhubungan dengan


perubahan kemampuan mencerna makanan, peningkatan kebutuhan
metabolisme.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.
Kriteria hasil : mengerti tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh, memperlihatkan
kenaikan berat badan sesuai dengan pemeriksaan laboratorium.
Intervensi Rasional
Mandiri Klien dengan
Evaluasi kemampuan makan klien tracheostomy tube
mungkin sulit untuk
makan, tetapi klien
dengan endotracheal tube
dapat menggunakan mag
slang atau memberi
makanan parenteral.
Observasi/timbang berat badan jika Tanda kehilangan berat
memungkinkan. badan (7-10%) dan
kekurangan intake nutrisi
menunjang terjadinya
masalah katabolisme,
kandungan glikogen
dalam otot, dan kepekaan
terhadap pemasangan
ventilator.
Catat pemasukan peroral jika diindikasikan. Nafsu makan biasanya
anjurkan klien untuk makan berkurang dan nutrisi
yang masuk pun
berkurang. menganjurkan
klien memilih makanan
yang di senangi dapat
dimakan ( bila sesuai
anjuran).
Berikan makanan kecil dan lunak Mencegah terjadinya
kelelahan, memudahkan
masuknya makanan, dan
mencegah gangguan pada
lambung.
Kolaborasi Diet tinggi kalori, protein,
Aturlah diet yang diberikan sesuaii keadaan klien karbohidrat sangat
diperlukan selama
pemasangan ventilator
untuk mempertahankan
fungsi otot-otot respirasi.
karbohidrat dapat
berperan dan penggunaan
lemak meningkat untuk
mencegah terjadinya
produksi co2 dan
pengaturan sisa respirasi.
Lakukan pemeriksaan laboratorium yang Memberikan informasi
diindikasikan seperti serum, transverin, yang tepat tentang
BUN/kreatinin dan glukosa. keadaan nutrisi yang
dibutuhkan klien.

DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeon Committee on Trauma. 2004. Cedera Kepala.


Dalam : Advanced Trauma Life Support fo Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia.
Komisi trauma IKABI.
Bickley, Lynn S. 2008. Buku Saku Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan
Bates. Edisi 5. EGC, Jakarta.

Brain Injury Association of America. Types of Brain Injury.


Http://www.biausa.org [diakses 14 desember 2013]
Carpenito, Lynda Juall. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 10. EGC,
Jakarta.

Doenges M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3 .
EGC. Jakarta.

Hudak & Gallo, 1996. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik, Volume 2, EGC,
Jakarta.

Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC,
Jakarta.

Smeltzer, S.C dan Bare, B.G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Jilid Satu. Edisi Kedelapan. Jakarta : EGC

Turner DA. 1996 Neurological evaluation of a patient with head trauma. Dalam :
Neurosurgery2nd edition. New York: McGraw Hill, 1996

Anda mungkin juga menyukai