NILTU DINARI
P07120118029
TINGKAT 2A/SEMESTER IV
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
CEDERA KEPALA BERAT
3. Etiologi
a. Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor
bertabrakan dengan kenderaan yang lain atau benda lain sehingga
menyebabkan kerusakan atau kecederaan kepada pengguna jalan
raya .
b. Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau
meluncur ke bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik
ketika masih di gerakan turun maupun sesudah sampai ke tanah.
c. Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau
perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau
matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik pada barang
atau orang lain (secara paksaan).
Selain itu penyebab lain terjadinya trauma kepala (Smeltzer,
2001:2210; Long,1996:203), antara lain :
a. Trauma tajam
Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana merobek
otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam.
b. Trauma tumpul
Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih
berat sifatnya.
c. Cedera akselerasi
Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh
pukulan maupun bukan dari pukulan
d. Kontak benturan (Gonjatan langsung)
Terjadi benturan atau tertabrak sesuatu objek
e. Kecelakaan lalu lintas
f. Jatuh
g. Kecelakaan industry
Serangan yang disebabkan karena olah raga
h. Perkelahian
4. Mekanisme cedera
Mekanisme cedera / trauma kepala, meliputi :
a. Akselerasi
Jika benda bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada
orang yang diam kemudian dipukul atau dilempar.
b. Deselerasi
Jika kepala bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada
kepala yang terbentur.
c. Deformitas
Perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi akibat
trauma, misalnya adanya fraktur kepala, kompresi, ketegangan
atau pemotongan pada jaringan otak.
5. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap
yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan
cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa,
dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda
keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala
( Gennarelli, 1996 dalam Israr dkk, 2009 ). Pada trauma kapitis, dapat
timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada permukaan otak
yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada
duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Akselerasi-deselerasi terjadi
karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat
terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi
solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak
bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam
tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup)
(Hickey, 2003 dalam Israr dkk,2009).
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus
pembengkakan dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek
kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari
beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali
jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola
tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya
kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah
dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium,
produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang
berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan
jaringan otak. Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung
dari menit ke menit pada suplai nutrien yang konstan dalam bentuk
glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera metabolik bila
suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi
otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia,
menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak
( Lombardo, 2003).
6. Pathway
Trauma Kepala
Perubahan autoregulasi
Gangguan
Resiko Nyeri
suplai darah
infeksi
kejang
Perdarahan Iskemia
Perubahan
perfusi jaringan
Hipoksia
1. Bersihan
jalan nafas
Perubahan sirkulasi CSS Ggg fungsi otak
Ggg neurologis 2. Obstruksi
fokal jalan nafas
Mual-muntah
3. Dispnea
Peningkatan TIK
Papilodema Defisit neurologis
4. Henti nafas
Pandangan kabur
5. Perubhan
Girus medialis lobus Ggg persepsi
Penurunan fungsi pola nafas
temporalis bergeser pendengaran sensori
2) Reaksi berbicara
Mengikuti perintah 6
8. Gejala klinis
a. Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia, cara berjalan
tidak tegap, kehilangan tonus otot.
b. Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan
frekuensi jantung (bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan
bradikardia disritmia).
c. Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).
d. Inkontinensia kandung kemih atau usus atau mengalami ganggua
fungsi.
e. Muntah atau mungkin proyektil, gangguan menelan (batuk, air liur,
disfagia)
f. Perubahan kesadaran bisa sampai koma. Perubahan status mental
(orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan
masalah, pengaruh emosi atau tingkah laku dan memori).
Perubahan pupil (respon terhadap cahaya simetris) deviasi pada
mata, ketidakmampuan mengikuti. Kehilangan penginderaan
seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran, wajah tidak
simetris, refleks tendon tidak ada atau lemah, kejang, sangat
sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi
sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.
g. Wajah menyeringai, respon pada rangsangan nyeri yang hebat,
gelisah tidak bisa beristirahat, merintih.
h. Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi),
nafas berbunyi, stridor, terdesak, ronchi, mengi positif
(kemungkinan karena aspirasi).
i. Fraktur atau dislokasi, gangguan penglihatan, kulit : laserasi,
abrasi, perubahan warna, adanya aliran cairan (drainase) dari
telinga atau hidung (CSS), gangguan kognitif, gangguan rentang
gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami
paralisis, demam, gangguan dalam regulasi tubuh.
j. Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, berbicara berulang
– ulang.
k. Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
l. Cemas,delirium, agitasi, bingung, depresi, dan impulsif.
m. Mual, muntah, mengalami perubahan selera.
n. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian,
vertigo, sinkope, tinitus,kehilangan pendengaran. Perubahan dalam
penglihatan,seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian
lapang pandang, fotopobia, gangguan pengecapan dan penciuman.
o. Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya
lama.
p. Pada kontusio, segera terjadi kehilangan kesadaran, pada
hematoma, kesadaran mungkin hilang, atau bertahap sering dengan
membesarnya hematoma atau edema intestisium.
q. Respon pupil mungkin lenyap atau segera progresif memburuk.
r. Perubahan prilaku, kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan
gerakan motorik timbul dengan segera atau secara lambat.
s. Hematoma epidural dimanifestasikan dengan awitan yang cepat.
Hematoma ini mengancam hidup dan dikarakteristikkan dengan
detoriorasi yang cepat, sakit kepala, kejang, koma dan hernia otak
dengan kompresi pada batang otak.
t. Hematoma subdural terjadi dalam 48 jam cedera dan
dikarakteristikkan dengan sakit kepala, agitasi, konfusi, mengantuk
berat, penurunan tingkat kesadaran, dan peningkatan TIK.
Hematoma subdural kronis juga dapat terjadi.
u. Perubahan ukuran pupil (anisokoria)
v. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertenai, depresi
pernapasan)
w. Apabila meningkatnya tekanan intracranial, terdapat pergerakan
atau posisi abnormal ekstrimitas
9. Pemeriksaan fisik
Observasi dan pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum : Lemah, gelisah, cenderung untuk tidur
b. TTV : Suhu, nadi, tensi, RR, GCS
1) Pernafasan ( B1 : Breathing )
a) Hidung : Hidung simetris , atau terdapat fraktur
b) Dada : Bentuk simetris kanan kiri, retraksi otot bantu
pernafasan, ronchi
c) Di seluruh lapangan paru, batuk produktif, irama
pernafasan, nafas dangkal.
d) Inspeksi : Inspirasi dan ekspirasi pernafasan, frekuensi,
irama, gerakan cuping hidung, terdengar suara nafas
tambahan bentuk dada, batuk
e) Palpasi : Pergerakan asimetris kanan dan kiri, taktil
fremitus raba sama antara kanan dan kiri dinding dada
f) Perkusi : Adanya suara-suara sonor pada kedua paru, suara
redup pada batas paru dan hepar.
g) Auskultasi : Terdengar adanya suara vesikuler di kedua
lapisan paru, suara ronchi dan weezing.
2) Kardiovaskuler ( B2 : Bleeding )
a) Inspeksi : Bentuk dada simetris kanan kiri, denyut jantung
pada ictus cordis 1
b) Palpasi : Frekuensi nadi/HR, tekanan darah, suhu, perfusi
dingin, berkeringat
c) Perkusi : Suara pekak
d) Auskultasi : Irama reguler, sistole/murmur, bendungan
vena jugularis, oedema
3) Persyarafan ( B3 : Brain ) Kesadaran, GCS
a) Kepala : Bentuk ovale, wajah tampak miring ke sisi kanan
b) Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak icteric, pupil
isokor, gerakan bola mata mampu mengikuti perintah.
c) Mulut : Kesulitan menelan, kebersihan penumpukan ludah
dan lendir, bibir tampak kering, terdapat afasia.
d) Leher : Tampak pada daerah leher tidak terdapat
pembesaran pada leher, tidak tampak perbesaran vena
jugularis, tidak terdapat kaku kuduk.
4) Perkemihan-eliminasi urine ( B4 : Bledder )
a) Inspeksi : Jumlah urine, warna urine, gangguan perkemihan
tidak ada, pemeriksaan genitalia eksternal, jamur, ulkus,
lesi dan keganasan.
b) Palpasi : Pembesaran kelenjar inguinalis, nyeri tekan.
c) Perkusi : Nyeri pada perkusi pada daerah ginjal.
5) Pencernaan-eliminasi alvi ( B5 : Bowel )
a) Inspeksi : Mulut dan tenggorokan tampak kering, abdomen
normal tidak ada kelainan, keluhan nyeri, gangguan
pencernaan ada, kembung kadang-kadang, terdapat diare,
buang air besar perhari.
b) Palpasi : Hepar tidak teraba, ginjal tidak teraba, anoreksia,
tidak ada nyeri tekan.
c) Perkusi : Suara timpani pada abdomen, kembung ada suara
pekak pada daerah hepar.
d) Auskultasi : Peristaltik lebih cepat.
e) Abdomen : Tidak terdapat asites, turgor menurun,
peristaltik ususnormal.
f) Rektum : Rectal to see
6) Tulang-otot-integumen ( B6 : Bone )
a) Kemapuan pergerakan sendi : Kesakitan pada kaki saat
gerak pasif, droop foot, kelemahan otot pada ekstrimitas
atas dan bawah.
b) Kulit : Warna kulit, tidak terdapat luka dekubitus, turgor
baik, akral kulit.
10. Pemeriksaan diagnostik/penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
1) AGD : untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau
oksigenasi perdarahan sub arakhnoid.
2) Kimia elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang
berperan dalam peningkatan TIK atau perubahan mental.
b. Radiology
1) CT Scan (tanpa atau dengan kontras) mengidentifikasi adanya
hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran
jaringan otak.
2) MRI : sama dengan CT Scan
3) Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral,
seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, pendarahan,
trauma.
4) EEG : untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya
gelombang patologis.
5) Sinar X : untuk mendeteksi adanya perubahan struktur tulang
( fraktur ), pergeseran struktur dari garis tengah ( karena
perdarahan ) adanya fragmen tulang.
6) BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
7) PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8) Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh kanan
intrkrani obat sehingga menyebabkan penurunan kesadan.
9) Myelogram :Dilakukan untuk menunjukan vertebrae dan
adanya bendungan dari spinal aracknoid jika dicurigai.
10) Thorax X ray :Untuk mengidentifikasi keadaan pulmo.
c. Fungsi lumbal : CSS, dapat menduga kemungkinan adanya
perdarahan sub arakhnoid.
d. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial
e. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh kanan intrkrani
obat sehingga menyebabkan penurunan kesadan.
f. Pemeriksaan fungsi pernafasan: Mengukur volume maksimal dari
inspirasi dan ekspirasi yang penting diketahui bagi penderita
dengan cidera kepala dan pusat pernafasan (medulla oblongata).
11. Theraphy
a. Penatalaksanaan
1) Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain
dari factor mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing,
circulation) dan menilai status neurologis (disability,
exposure), maka factor yang harus diperhitungkan pula adalah
mengurangi iskemia serebri yang terjadi. Selain itu perlu pula
dikontrol kemungkinan tekanan intracranial yang meninggi
disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang
memerlukan tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan
tekanan intracranial ini dapat dilakukan dengan cara
menurunkan PaCO2 dengan hiperventilasi yang mengurangi
asidosis intraserebral dan menambah metabolisme
intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan PaCO2 ini
yakin dengan intubasi endotrakeal, hiperventilasi. Intubasi
dilakukan sedini mungkin kepala klien yang koma untuk
mencegah terjadinya PaCO2 yang meninggi. Prinsip ABC dan
ventilasi yang teratur dapat mencegah peningkatan tekanan
intracranial.
2) Penangan khususnya pada klien dengan CKB yang mengalami
perdarahan atau hematom di kepala baik pada bagian EDH
maupun SDH dilakukan tindakan trepanasi. Trepanasi/
kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang
bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif.
Epidural Hematoma (EDH) adalah suatu perdarahan yang
terjadi di antara tulang dan lapisan duramater.
3) Kontusio berat observasi dan tirah baring, dilakukan
pembersihan / debridement dan sel-sel yang mati (secara bedah
terutama pada cedera kepala terbuka)
4) Untuk cedera kepala terbuka diperlukan antibiotika untuk
mencegah terjadinya infeksi
5) Dilakukan metode-metode untuk menurukan tekanan
intracranial termasuk pemberian diuretic dan anti inflamasi
6) Lakukan pengkajian neurologic
a) Fungsi serebral ( kesadaran, orientasi, memori, bicara )
b) TTV ( TD, nadi)
c) Fungsi motorik dan sensorik
7) Kaji adanya cedera lain, terutama cedera servikal. Jangan
memindahkan pasien sampai kemungkinan cedera servikal
telah disingkirkan / ditangani. Tinggikan kepala tempat tidur
sampai 30 derajat jika tidak terdapat cedera servikal.
8) Pantau adanya komplikasi
a) Pantau TTV dan status neurologist dengan sering
b) Periksa adanya peningkatan TIK
c) Periksa adanya drainase dari hidung dan telinga.
12. Komplikasi
a. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut coma.
Pada situasi ini, secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau
minggu, setelah masa ini penderita akan terbangun, sedangkan
beberapa kasus lainya memasuki vegetative state atau mati
penderita pada masa vegetative statesering membuka matanya dan
mengerakkannya, menjerit atau menjukan respon reflek. Walaupun
demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari
lingkungan sekitarnya. Penderita pada masa vegetative state lebih
dari satu tahun jarang sembuh
b. Seizure
Pederita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-
kurangnya sekali seizure pada masa minggu pertama setelah
cedera. Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi
epilepsy
c. Infeksi
Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran
(meningen) sehingga kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini
biasanya berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk
menyebar ke sistem saraf yang lain
d. Kerusakan saraf
Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada
nervus facialis. Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis
atau kerusakan dari saraf untuk pergerakan bola mata yang
menyebabkan terjadinya penglihatan ganda
e. Hilangnya kemampuan kognitif
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan
memori merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan
cedera kepala berat mengalami masalah kesadaran
13. Prognosis
Pragnosa pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan
dilakukan secara tepat dan cepat. Pasien meninggal karena beberapa
factor yakni : Prolog hipoksia dan hipotensi, herniasi otak, komplikasi
- komplikasi sistemik.
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a) Data subjektif :
1) Identitas (pasien dan keluarga/penanggung jawab) meliputi:
Nama, umur,jenis kelamin, suku bangsa, agama, pendidikan,
pekerjaan, status perkawinan, alamat, dan hubungan pasien
dengan keluarga/pengirim).
2) Keluhan utama: Bagaimana pasien bisa datang ke ruang gawat
darurat, apakah pasien sadar atau tidak, datang sendiri atau
dikirim oleh orang lain?
3) Riwayat cedera, meliputi waktu mengalami cedera (hari,
tanggal, jam), lokasi/tempat mengalami cedera.
4) Mekanisme cedera: Bagaimana proses terjadinya sampai
pasien menjadi cedera.
5) Allergi (alergi): Apakah pasien mempunyai riwayat alergi
terhadap makanan (jenisnya), obat, dan lainnya.
6) Medication (pengobatan): Apakah pasien sudah mendapatkan
pengobatan pertama setelah cedera, apakah pasien sedang
menjalani proses pengobatan terhadap penyakit tertentu?
7) Past Medical History (riwayat penyakit sebelumnya): Apakah
pasien menderita penyakit tertentu sebelum menngalami
cedera, apakah penyakit tersebut menjadi penyebab terjadinya
cedera?
8) Last Oral Intake (makan terakhir): Kapan waktu makan
terakhir sebelum cedera? Hal ini untuk memonitor muntahan
dan untuk mempermudah mempersiapkan bila harus dilakukan
tindakan lebih lanjut/operasi.
9) Event Leading Injury (peristiwa sebelum/awal cedera): Apakah
pasien mengalami sesuatu hal sebelum cedera, bagaimana hal
itu bisa terjadi?
2. Pengkajian ABCD FGH
a. AIRWAY
1) Cek jalan napas paten atau tidak
2) Ada atau tidaknya obstruksi misalnya karena lidah jatuh
kebelakang, terdapat cairan, darah, benda asing, dan lain-lain.
3) Dengarkan suara napas, apakah terdapat suara napas tambahan
seperti snoring, gurgling, crowing.
b. BREATHING
1) Kaji pernapasan, napas spontan atau tidak
2) Gerakan dinding dada simetris atau tidak
3) Irama napas cepat, dangkal atau normal
4) Pola napas teratur atau tidak
5) Suara napas vesikuler, wheezing, ronchi
6) Ada sesak napas atau tidak (RR)
7) Adanya pernapasan cuping hidung, penggunaan otot bantu
pernapasan
c. CIRCULATION
1) Nadi teraba atau tidak (frekuensi nadi)
2) Tekanan darah
3) Sianosis, CRT
4) Akral hangat atau dingin, Suhu
5) Terdapa perdarahan, lokasi, jumlah (cc)
6) Turgor kulit
7) Diaphoresis
8) Riwayat kehilangan cairan berlebihan
d. DISABILITY
1) Kesadaran : composmentis, delirium, somnolen, koma
2) GCS : EVM
3) Pupil : isokor, unisokor, pinpoint, medriasis
4) Ada tidaknya refleks cahaya
5) Refleks fisiologis dan patologis
6) Kekuatan otot
e. EXPOSURE
1) Ada tidaknya deformitas, contusio, abrasi, penetrasi, laserasi,
edema Jika terdapat luka, kaji luas luka, warna dasar luka,
kedalaman
f. FIVE INTERVENTION
1) Monitoring jantung (sinus bradikardi, sinus takikardi)
2) Saturasi oksigen
3) Ada tidaknya indikasi pemasangan kateter urine, NGT
4) Pemeriksaan laboratorium
g. GIVE COMFORT
1) Ada tidaknya nyeri
2) Kaji nyeri dengan
a) P : Problem
b) Q : Qualitas/Quantitas
c) R : Regio
d) S : Skala
e) T : Time
h. H 1 SAMPLE
1) Keluhan utama
2) Mekanisme cedera/trauma
3) Tanda gejala
i. H 2 HEAD TO TOE
1) Fokus pemeriksaan pada daerah trauma
2) Kepala dan wajah
3. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi Keperawatan
Anjurkan klien mengenai tekhik batuk selama Batuk yang efektif dapat
pengisapan seperti waktu bernapas panjang, batuk mengeluarkan sekret dari
kuat, bersin jika ada indikasi. saluran napas.
Atur/ubah posisi klien secara teratur (tiap 2jam). Mengatur pengeluaran
sekret dan ventilasi
segmen paru-paru,
mengurangi risiko
atelektasis.
Berikan minum hangat jika keadaan Membantu pengenceran
memungkinkan. sekret, mempermudah
pengeluaran sekret.
Jelaskan kepada klien tentang kegunaan batuk Pengetahuan yang
efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret di diharapkan akan
saluran pernapasan. membantu
mengembangkan
kepatuhan klien terhadap
rencana terapeutik.
Ajarkan klien tentang metode yang tepat untuk Batuk yang tidak
pengontrolan batuk. terkontrol adalah
melelahkan dan tidak
efektif, dapat
menyebabkan frustasi.
Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak Memungkinkan ekspansi
mungkin. paru lebih luas.
Lakukan pernapasan diafragma. Pernapasan diafragma
menurunkan frekuensi
napas dan meningkatkan
ventilasi alveolar.
Tahap napas selama 3-5 detik kemudian secara Meningkatkan volume
perlahan-lahan, dikeluarkan sebanyak mungkin udara dalam paru,
melalui mulut. mempermudah
pengeluaran sekresi
sekret.
Lakukan napas kedua, tahan, dan batukkan dari Pengkajian ini membantu
dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan kuat. mengevaluasi keefektifan
upaya batuk klien.
Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk. Sekresi kental sulit untuk
di encerkan dan dapat
menyebabkan sumbatan
mucus, yang mengarah
pada atelektasis.
Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan Untuk menghindari
viskositas sekresi. : mempertahankan hidrasi yang pengentalan dari sekret
adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000-1500 atau mosa pada saluran
cc/hari bila tidak ada kontraindikasi. napas pada bagian atas.
Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik Higine mulut yang baik
setelah batuk. meningkatkan rasa
kesejahteraan dan
mencegah bau mulut.
Kolaborasi dengan dokter, radiologi, dan Ekspektoran untuk
fisioterapi. Pemberian ekspektoran. memudahkan
Pemberian antibiotic. mengeluarkan lendir dan
Fisioterapi dada mengevaluasi perbaikan
Konsul foto thoraks. kondisi klien atas
pengembangan parunya.
Lakukan fisioterapi dada sesuai indikasi seperti Mengatur ventilasi
postural drainage, perkusi/penepukan. segmen paru-paru dan
pengeluaran sekret.
Berikan obat-obat bronchodilator sesuai indikasi Mengatur ventilasi dan
seperti aminophilin, meta-proterenol sulfat melepaskan sekret karena
(alupent), adoetharine hydrochloride (bronkosol). relaksasi
muscle/bronchospasme.
DAFTAR PUSTAKA
Hudak & Gallo, 1996. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik, Volume 2, EGC,
Jakarta.
Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC,
Jakarta.
Smeltzer, S.C dan Bare, B.G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Jilid Satu. Edisi Kedelapan. Jakarta : EGC
Turner DA. 1996 Neurological evaluation of a patient with head trauma. Dalam :
Neurosurgery2nd edition. New York: McGraw Hill, 1996