Anda di halaman 1dari 14

PERDEBATAN ABAD KE 20 : POSITIVISTIS DAN

SEJARAWAN

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

Ilmu Filsafat

Disusun oleh :
Hartati Batubara (021011616)
Khairani Pertiwi (021011603)
Muhammad Taufiq Qurrahman (021011618)

Dosen Pengampu:

Eko Prayogi M.Pd.I

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARULARAFAH

LAU BEKERI-DELI SERDANG

2022
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-
Nya sehingga saya dan teman-teman dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat
serta salam tak lupa diucapkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta para
keluarganya, sahabat, dan umatnya.

Makalah ini disusun guna melengkapi tugas Mata kuliah Ilmu Filsafat
Dalam penyusunan makalah ini yang berjudul “Perdebatan Abad ke 20” dengan
kerja keras dan dukungan dari berbagai pihak, kami telah berusaha untuk dapat
memberikan serta mencapai hasil yang semakin mungkin dan sesuai dengan
harapan, walaupun di dalam pembuatannya kami menghadapi kesulitan karena
keterbatasan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki.

Oleh sebab itu pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya khususnya kepada Ustad Dr. Eko Prayogi M.Pd.I selaku dosen
pengampu Mata Kuliah Ilmu Filsafat menyadari bahwa dalam penulisan dan
pembuatan makalah ini banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu saran dan
kritik yang membangun sangat dibutuhkan untuk dapat menyempurnakannya
dimasa yang akan datang.

Lau Bekeri, 02 oktober 2022

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

A. Latar Belakang.......................................................................................................1

B. Rumusan Masalah..................................................................................................1

C. Tujuan Penulisan....................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2

A. Pengertian Filsafat ilmu pada abad ke 20...............................................................2

B. Pengertian Positivistis dan sejarawan.....................................................................3

1. Pengertian Positivistis........................................................................................3

2. Sejarah Positivistis.............................................................................................4

3. Sejarawan yang Menganut Paham Positivisme ..................................................6

BAB III PENUTUP..............................................................................................10

A. Kesimpulan..........................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Filsafat abad ke-20 meliputi perkembangan sejumlah aliran filsafat baru
yang meliputi positivisme logis, filsafat analitik, fenomenologi,
eksistentialisme, dan postrukturalisme. Dalam hal era filsafat, filsafat tersebut
biasanya dilabeli sebagai filsafat kontemporer (menggantikan filsafat modern,
yang berjalan dari zaman Descartes sampai abad kedua puluh).
Seperti halnya disiplin akademik lainnya, filsafat tersebut meningkat
menjadi terprofesionalisasi pada abad kedua puluh, dan terpecah antara para
filsuf yang menganggap diri mereka sendiri bagian dari tradisi "analistik"
atan "kontinental". Namun, terdapat persengketaan terkait pengistilahan dan
alasan-alasan di balik pembagian tersebut, karena para filsuf memenang diri
mereka sendiri dapat menjembatani pemisahan tersebut. Selain itu, filsafat
pada abad kedua puluh menjadi semakin terjangkau untuk dibaca kaum
awam.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diambil rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Filsafat Ilmu pada Abad ke 20?
2. Bagaimana Positivistis dan sejarawan?

C. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah di atas, dapat dijelaskan tujuan penulisan makalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui tentang pengertian Filsafat ilmu pada abad ke 20
2. Untuk mengetahui tentang Pengertian Positivistis dan sejarawan

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Filsafat ilmu pada abad ke 20


Filsafat abad ke-20 membawa kita pada corak filsafat yang lebih
berwarna dibandingkan era sebelumnya. Secara periodis, filsafat abad ke-20
dimulai pasca filsafat modern. Pada masa inilah, pergeseran gaya filsafat
dapat ditangkap secara jelas. Salah satu faktor utama adalah gejolak realitas
di kala itu yang terekspos besar-besaran dalam Perang Dunia. Industrialisasi
manusia di Barat terjadi secara revolusioner dan turut memegang andil dalam
filsafat abad ke-20. Kasus ini membangunkan para filsuf akan fenomena riil
yang dialami, sarat partikularitas yang sifatnya tidak bisa dipukul rata dalam
sebuah konsep saja. Apakah manusia sebagai kajian filosofis, dapat diukur
dengan rasionalitas tunggal? Apakah manusia dapat dipatok sebatas objek
yang sama (objektifikasi)? Apakah prinsip universal dapat diterapkan dalam
realitas yang sebenarnya berupa gejala sosial-kultural? Pertanyaan seperti ini
bermunculan, sehingga tema perenial pun perlahan mulai ditinggalkan.
(Achmadi, 1997)
Namun demikian bukan berarti rasio tidak digunakan oleh para filsuf
abad ke-20. Rasio diasumsikan sebagai entitas yang tetap bergantung pada
kondisi sosial-kultural manusia. Implikasinya, terdapat banyak corak filsafat
yang terspesifikasi dan tidak berpayung pada satu tema rasionalitas otonom.
Ada fakta lain yang dapat dianalisis dalam kebangkitan filsafat abad ke-20.
Yakni proyek filsafat modern yang belum selesai. Karl Marx merupakan
filsuf era modern yang menyisakan problem filsafat hingga kini. Utopia
Marxisme yang menggadang-gadang masyarakat tanpa kelas, menjadi poin
yang digarisbawahi pada filsafat abad ke-20 bahkan hingga hari ini. Hal ini
menarik tentunya, karena walau dianggap sebagai unfinished project. Namun
kehadiran Marx menjadi influence tersendiri bagi filsafat abad ke-20.
(Sudarsono, 1993)

2
Yang harus dipahami dalam kajian filsafat abad ke-20 adalah warisan
semangat Friedrich Nietzsche. Ialah tokoh besar modern yang sekaligus
membangkitkan gairah filsafat abad ke-20. Topik-topik filsafatnya menjadi
karakter umum sepanjang era ini. Filsafat tidak lagi bergumul pada perkara
rasio/inderawi semata, tetapi melekat pada realitas manusia yang sarat akan
psikologisme, emosi, dan desire. Dapat dilihat bahwa tema-tema filsafat abad
ke-20 banyak membahas keseharian. Pada eksistensialisme misalnya,
bagaimana manusia menjadi Subjek yang sungguh-sungguh berkesadaran dan
terlibat dalam hidupnya. Bagaimana manusia berelasi dengan the Others. Ada
pula fenomenologi, yakni gejala kenampakan keseharian yang dikritisi secara
refleksif. Ambillah contoh lain, misalnya dalam pragmatisme yang digagas
oleh William James. Yakni filsafat ini haruslah berpatokan pada prinsip
manfaat praktis kehidupan, dimana absolutisme tidak dipandang secara
rigoris. Pada filosofi moral pun demikian, filsafat abad ke-20 sudah masuk
pada wilayah etika praktis langsung. Walaupun pada era modern Immanuel
Kant sudah menyinggung problem moral; tetapi ia masih mengandaikan
kebenaran yang tunggal, dan masih erat dengan universalitas. Tentu ini sangat
berbeda dengan corak filsafat abad ke-20. Semuanya menjadi terspesialisasi
sesuai konteks riil yang dijalani dalam kehidupan. (Tafsir, 1990)
Tidak dapat dipungkiri bahwa kebangkitan filsafat abad ke-20 menjadi
ironi bagi filsafat itu sendiri. Kontradiksi sederhana dapat dipahami, di satu
sisi bahwa era abad ke-20 membuka garis batas filsafat menjadi bebas dan
menarik. Filsafat menjadi topik yang membumi, tidak mengawang di menara
gading. Filsafat terkemas sedemikian rupa, sesuai konteks kekinian dan terasa
nikmat untuk dikaji. Di sisi lain, anomali filsafat sebagai Yang Maha Agung
sangat jelas terlihat. Pernyataan ‘philosophy is mother of science’ menjadi
kisah lama semata. Pada abad ke-20 inilah, para filsuf benar-benar
disentakkan oleh fakta yang tidak terhindarkan. Semakin berkembangnya
disiplin ilmu lain (yang sebenarnya merupakan derivasi filsafat), filsafat
semakin jelas kehilangan objek kajian. Konsekuensinya adalah, filsafat
menjadi studi lanjutan atas disiplin ilmu. Filsafat melekat pada banyak bidang

3
positivis lainnya. Arogansi filsafat pun harus ditinggalkan karena fakta
berkata demikian. (Syadzali, 1997)

B. Pengertian Positivistis dan sejarawan


1. Pengertian Positivistis
Positivisme merupakan Aliran pemikiran yang membatasi pikiran
pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada
analisis definisidan relasi antara istilah-istilah. Positivisme (disebut juga
sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neo-positivisme)
adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Winapada tahun 1920-
an. Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti
rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan
kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah
benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali. Positivisme adalah
suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya
sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan
dengan metafisika. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan
pada data empiris. Positivis memerupakan empirisme, yang dalam segi-
segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena
pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau
lain bentuk, maka tidak adaspekulasi dapat menjadi pengetahuan. Tokoh-
tokoh yang menganut paham positivisme logis ini antaralain Moritz
Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer. Karl Popper, meski
awalnya tergabung dalam kelompok Lingkaran Wina, adalah salah
satukritikus utama terhadap pendekatan neo-positivis ini. Secara umum,
para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan
mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau
metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah
berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga,
penganutpaham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme,
naturalisme, filsafat dan empirisme. (Sudarsono, 1993)
2. Sejarah Positivistis

4
Pada dasarnya positivisme adalah sebuah filsafat yang menyakini
bahwa satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan
pada pengalaman actual fisikal. Pengetahuan demikian hanya bisa
dihasilkan melalui penetapan teori-teori melalui metode saintifik yang
ketat, yang karenanya spekulasi metafisis dihindari. Positivisme, dalam
pengertian di atas dan sebagaipendekatan telah dikenal sejak Yunani
Kuno. Terminologi positivism dicetuskan pada pertengahan abad ke-19
oleh salah satu pendiri ilmu sosiologi yaitu Auguste Comte. Comte
percaya bahwa dalam alam pikiran manusia melewati tiga tahapan
historis yaitu teologi, metadisik, dan ilmiah. Dalam tahapteologi,
fenomena alam dan sosial dapat dijelaskan berdasarkan kekuatan
spiritual. Pada tahap metafisik manusia akan mencari penyebab akhir
(ultimatecauses) dari setiap fenomena yang terjadi. Dalam tahapan ilmiah
usaha untuk menjelasakn fenomena akan ditinggalkan dan ilmuan hanya
akan mencarikorelasi antarfenomena. Pengembangan penting dalam
paham positivismeklasik dilakukan oleh ahli ilmu alam Ernst Mach yang
mengusulkan pendekatan teori secara fiksi. Teori ilmiah bermanfaat
sebagai alat untuk menghafal, tetapi perkembangan ilmu hanya terjadi
bila fiksi yang bermanfaat digantikan dengan pernyataan yang
mengandung hal yang dapat diobservasi. Meskipun Comte danMach
mempunyai pengaruh yang besar dalam penulisan ilmu ekonomi
(Comtemempengaruhi pemikiran J.S. Mill dan Pareto sedangkan
pandangan Machditeruskan oleh Samuelson dan Machlup). Pengaruh
yang paling utama adalahide dalam pembentukan filosofi ilmiah pada
abad 20 yang disebt logikapositivisme (logical positivism). (Wibisono,
1983)
Pernyataan-pernyataan metafisik tidak bermakna. Pernyataan itu
tidak dapat diverifikasi secara empiris dan bukan tautologi yang berguna.
Tidak ada cara yang mungkin untuk mentukan kebenarannya ( atau
kesalahannya ) dengan mengacu pada pengalaman. Tidakada pengalaman
yang mungkin yang pernah dapat mendukung pertanyaan-pertanyaan
metafisik seperti “Yang tiada itu sendiri tiada” (The nothing itself

5
nothing- Das Nichts selbst nichest, Martin Heidegger), “yang
mutlakmengatasi Waktu”, “Allah adalah Sempurna” ada murni tidak
mempunyai ciri”, pernyataan-pernyataan metafisik adalah semu.
Metafisik berisi ucapan-ucapan yang tak bermakna. Auguste Comte
(1798-1857) ia memiliki peranan yang sangat penting dalam aliran ini.
Istilah “positivisme” ia populerkan. Ia menjelaskan perkembangan
pemikiran manusia dalam kerangka tiga tahap. Pertama, tahap teologis.
Disini, peristiwa-peristiwa dalam alam dijelaskan dengan istilah-istilah
kehendak atau tingkah dewa-dewi. Kedua, tahap metafisik. Disini,
peristiwa-peristiwa tersebut dijelaskan melalui hukum-hukum umum
tentangalam. Dan ketiga, tahap positif. Disini, peristiwa-peristiwa
tersebut dijelaskansecara ilmiah. Upaya-upaya kaum positivis untuk
mentransformasikan positivism menjadi semacam “agama baru”,
cendrung mendiskreditkan pandangan-pandangannya. Tetapi tekanan
pada fakta-fakta, indentifikasi atas fakta-fakta dengan pengamatan-
pengamatan indera, dan upya untuk menjelaskan hukum-hukum umum
dengan induksi berdasarkan fakta, diterima dan dengan caraberbeda-beda
diperluas oleh J.S Mill (1806-1873). E. Mach (1838-1916), K. Pierson
(1857-1936) dan P. Brdgeman (1882-1961). (Wibisono, 1983)
3. Sejarawan yang Menganut Paham Positivisme.
a. Auguste Comte (1798–1857)
Bernama lengkap Isidore Marrie Auguste Francois Xavier
Comte, lahir di Montepellier, Perancis (1798). Keluarganya
beragama khatolik yanga berdarah bangsawan. Dia mendapat
pendidikan di Ecole Polytechnique di Paris dan lama hidup disana.
Dikalangan teman-temannya Auguste Comte adalah mahasiswa yang
keras kepala dan suka memberontak, yang meninggalkan Ecole
sesudah seorang mahasiswa yang memberontak dalam mendukung
Napoleon dipecat. Auguste Comte memulai karier professionalnya
dengan memberi les dalam bidang Matematika. Walaupun demikian,
perhatian yang sebenarnya adalah pada masalah-masalah
kemanusiaan dan sosial. Tahun 1844, dua tahun setelah dia

6
menyelesaikan enam jilid karya besarnya yang berjudul “Clothilde
Course of Positive Philosophy”. Comte bertemu dengan Clothilde de
Vaux, seorang ibu yang mengubah kehidupan Comte. Dia berumur
beberapa tahun lebih muda dari pada Comte. Wanita tersebut sedang
ditinggalkan suaminya ketika bertemu dengan Comte pertama
kalinya, Comte langsung mengetahui bahwa perempuan itu bukan
sekedar perempuan. Sayangnya Clothilde de Vaux tidal terlalu
meluap-luap seperti Comte. Walaupun saling berkirim surat cinta
beberapa kali, Clothilde de Vaux menganggap hubungan itu adalah
persaudaraan saja. Akhirnya, dalam suratnya Chlothilde de Vaux
menerima menjalin keprihatinan akan kesehatan mentalComte.
Hubungan intim suami isteri rupanya tidak jadi terlaksana, tetapi
perasaan mesra sering diteruskan lewat surat menyurat. Namun,
romantikaini tidak berlangsung lama, Chlothilde de Vaux mengidap
penyakit TBC dan hanya beberapa bulan sesudah bertemu dengan
Comte, dia meninggal. Kehidupan Comte lalu bergoncang, dia
bersumpah membaktikan hidupnya untuk mengenang “bidadarinya”
itu. Auguste Comte juga memiliki pemikiran Altruisme. Altruisme
merupakan ajaran Comte sebagaikelanjutan dari ajarannya tentang
tiga zaman. Altruisme diartikan sebagai “menyerahkan diri kepada
keseluruhan masyarakat”. Bahkan, bukan “salah satu masyarakat”,
melainkan “humanite” suku bangsa manusia” pada umumnya. Jadi,
Altruisme bukan sekedar lawan “egoisme” (Juhaya S. Pradja, 2000 :
91). Keteraturan masyarakat yang dicari dalam positivismehanya
dapat dicapai kalau semua orang dapat menerima altruisme sebagai
prinsip dalam tindakan mereka. Sehubungan dengan altruisme ini,
Comte menganggap bangsa manusia menjadi semacam pengganti
Tuhan. Kailahan baru dan positivisme ini disebut Le Grand Eire
“Maha Makhluk” dalam hal ini Comte mengusulkan untuk
mengorganisasikan semacam kebaktian untuk If Grand Eire itu
lengkap dengan imam-imam, santo-santo, pesta-pesta liturgi, dan
lain-lain. Ini sebenarnya dapat dikatakan sebagai “Suatuagama

7
Katholik tanpa agma Masehi”. Dogma satu-satunya agama ini adalah
cinta kasih sebagai prinsip, tata tertib sebagai dasar, kemajuan
sebagai tujuan. Perlu diketahui bahwa ketiga tahap atau zaman
tersebut diatas menurut Comte tidak hanya berlaku bagi
perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi
perkembangan perorangan. Misalnya sebagai kanak-kanak seorang
teolog adalah seorang positivis. (Wibisono, 1983)

b. John Stuart Mill (1806 – 1873)


Ia adalah seorang filosof Inggris yang menggunakan system
positivisme pada ilmu jiwa, logika, dan kesusilaan. John Stuart Mill
memberikan landasan psikologis terhadap filsafat positivisme.
Karena psikologi merupakan pengetahuan dasar bagi filsafat. Seperti
halnya dengan kaum positif, Mill mengakui bahwa satu-satunya
yang menjadi sumber pengetahuan ialah pengalaman. Karena itu
induksi merupakan metode yang paling dipercaya dalam ilmu
pengetahuan. (Sudarsono, 1993)
c. Herbert Spencer (1820-1903)
adalah seorang filsuf Inggris dan seorang pemikir teori liberal
klasik terkemuka. Meskipun kebanyakan karyayang ditulisnya berisi
tentang teori politik dan menekankan pada "keuntungan akan
kemurahan hati", dia lebih dikenal sebagai bapak Darwinisme sosial.
Spencer seringkali menganalisis masyarakat sebagai sistemevolusi,
ia juga menjelaskan definisi tentang "hukum rimba" dalam ilmu
sosial. Dia berkontribusi terhadap berbagai macam subyek, termasuk
etnis, metafisika, agama, politik, retorik, biologi dan psikologi.
Spencer saat ini dikritik sebagai contoh sempurna untuk scientism
atau paham ilmiah, sementara banyakorang yang kagum padanya di
saat ia masih hidup. (Tafsir, 1990)
d. Hippolyte Taine (1828–1893)

8
Seorang filsufdan sejarawan terkemuka di akhir abad 29 di
Prancis, guru besar filsafat di Nevers, di Sekolah École des Beaux-
Arts. Bahan-bahan kuliahnya dikumpulkannya dan dibukukan
dengan judul Philosophie de l'art. Filsafat dari Taine memang
banyak membahas tentang seni, yang menurut nya sangat ditentukan
oleh ras atau bangsa, lingkungan (lillie) dan momen. Pemikiran
cemerlangnya dituangkan dalam karya Historie de la
littératureanglaise yang dilengkapi dengan pendahuluan yang
menunjukkan kecakapannya. Sebagai ahli dalam berpikir, ia
bercorak positivis dan terpengaruh oleh August Comtedan Stuart
Mill. Ia mendasarkan diri pada positivisme dan ilmu jiwa, sejarah,
politik, dan kesastraan. (Tafsir, 1990)
e. Emile Durkheim (1852 – 1917)
Durkheim adalah mahasiswa yang cepat matang. Ia masuk ke
École Normale Supérieure pada 1879. Angkatannya adalah salah
satu yang paling cemerlang pada abad ke-19dan banyak teman
sekelasnya, seperti Jean Jaurèsdan Henri Bergson kemudian menjadi
tokoh besar dalam kehidupan intelektual Prancis. Di ENS Durkheim
belajar di bawah Fustel de Coulanges, seorang pakar ilmu klasik,
yang berpandangan ilmiah sosial. Pada saat yang sama, ia membaca
karya-karyaAuguste Comte dan Herbert Spencer. Jadi, Durkheim
tertarik dengan pendekatan ilmiah terhadap masyarakat sejakawal
kariernya. Ini adalah konflik pertama dari banyak konflik lainnya
dengan sistem akademik Prancis, yang tidak mempunyai kurikulum
ilmu sosial pada saat itu. Durkheim merasa ilmu-ilmu kemanusiaan
tidak menarik. Ia lulus dengan peringkat kedua terakhir dalam
angkatannya ketika ia menempuh ujian aggregation. Syarat untuk
posisi mengajar dalam pengajaran umum dalam ilmu filsafat pada
1882. Ia menganggap positivisme sebagai asas sosiologi. (Wibisono,
1983)

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Filsafat abad ke-20 meliputi perkembangan sejumlah aliran filsafat baru
yang meliputi positivisme logis, filsafat analitik, fenomenologi,
eksistentialisme, dan postrukturalisme. Dalam hal era filsafat, filsafat tersebut
biasanya dilabeli sebagai filsafat kontemporer (menggantikan filsafat modern,
yang berjalan dari zaman Descartes sampai abad kedua puluh). Filsafat abad
ke-20 membawa kita pada corak filsafat yang lebih berwarna dibandingkan
era sebelumnya. Secara periodis, filsafat abad ke-20 dimulai pasca filsafat
modern. Pada masa inilah, pergeseran gaya filsafat dapat ditangkap secara
jelas. Salah satu faktor utama adalah gejolak realitas di kala itu yang
terekspos besar-besaran dalam Perang Dunia. Industrialisasi manusia di Barat
terjadi secara revolusioner dan turut memegang andil dalam filsafat abad ke-
20.
Namun demikian bukan berarti rasio tidak digunakan oleh para filsuf
abad ke-20. Rasio diasumsikan sebagai entitas yang tetap bergantung pada
kondisi sosial-kultural manusia. Implikasinya, terdapat banyak corak filsafat
yang terspesifikasi dan tidak berpayung pada satu tema rasionalitas otonom.
Ada fakta lain yang dapat dianalisis dalam kebangkitan filsafat abad ke-20.

10
Yakni proyek filsafat modern yang belum selesai. Karl Marx merupakan
filsuf era modern yang menyisakan problem filsafat hingga kini.

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, A. (1997). Filsafat Umum. Jakarta: PT. Raja Grafindo.


Sudarsono. (1993). Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Syadzali, A. (1997). Filsafat Umum. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Tafsir, A. (1990). Filsafat Umum. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Wibisono, K. (1983). Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auquste
Comte. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

11

Anda mungkin juga menyukai