Anda di halaman 1dari 2

Likuifaksi

Gelombang yang ditimbulkan dari gempa bumi membuat guncangan tanah pada suatu kondisi
tertentu sehingga dapat menyebabkan likuifaksi. Fenomena likuifaksi secara sederhana dapat
diartikan sebagai perubahan material yang padat (solid), yaitu endapan sedimen atau tanah
sedimen, yang terjadi akibat gempa bumi, dimana material tersebut seakan berubah
karakternya seperti cairan (liquid) atau air berat. Karena tanah berubah menjadi cairan maka
paling beresiko adalah tempat yang memiliki tipe tanah berpasir, karena pasir cenderung
memiliki pori atau rongga dan mudah untuk terkena tarikan. Hilangnya struktur tanah akibat
kehilangan kekuatan atau kemampuan untuk memindahkan tegangan geser inilah yang disebut
sebagai pencairan.
Seed et al (1975) dalam Balamba et al (2013 menjelaskan likuifaksi merupakan proses
perubahan kondisi tanah pasir yang jenuh air menjadi cair akibat meningkatnya tekanan air pori
yang harganya menjadi sama dengan tekanan total oleh sebab terjadinya beban dinamik,
sehingga tegangan efektif tanah menjadi nol. Likuifaksi merupakan fenomena yang terjadi saat
tanah kehilangan banyak kekuatan (strength) dan kekakuannya (stiffness) dalam waktu yang
singkat namun meskipun demikian likuifaksi dapat menimbulkan banyak kerusakan, kematian,
dan kerugian ekonomi yang besar.
Bencana gempa yang mengguncang Palu dan Donggala di Sulawesi Tengah, juga menimbulkan
fenomena likuifaksi atau banyak yang menyebut ‘tanah bergerak’ sendiri. Tercatat ada ribuan
rumah yang terkena dampak likuifaksi dengan luas ratusan hektar. Gempa Palu-Donggala pada
tanggal 28 September 2018 memicu empat (4) longsor-likuifaksi yang sangat besar ( flowslides )
yang terletak di atau dekat dengan kota Palu. Semua longsor terletak di sepanjang tepi lembah
Palu, di mana endapan aluvial fan bertemu dengan lembah aluvial Sungai Palu. Longsor-
likuifaksi paling utara terjadi di sisi barat lembah di lingkungan Balaroa yang padat penduduk.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana Indonesia (BNPB) memperkirakan 2.895 bangunan
rusak atau hancur di Balaroa. Tiga longsor-likuifaksi lainnya di bagian utara cekungan terletak di
sisi timur lembah dan disebut dengan nama daerah tempat longsor-likuifaksi terjadi (dari utara
ke selatan, yaitu Petobo, Desa Lolu dan Jono Oge).

Kesiapsiagaan psikologis
Bencana gempa bumi tidak hanya mengakibatkan kerusakan fisik atau bangunan, harta benda,
dan jiwa manusia, tetapi juga mempengaruhi kondisi kejiwaan bagi para korban. Akibat
bencana tersebut, sebagian besar korban dapat mengalami penderitaan gangguan psikologis
berupa trauma trauma psikis atau mental (Anies, 2018).
Trauma psikologis tersebut dapat diminimalisir dengan penjelasan menggunakan teori Aflakseir
dan Coleman untuk koping religius, dan teori milik Zulch untuk kesiapsiagaan psikologis dalam
menghadapi bencana. Kesiapan psikologis terhadap bencana alam meliputi tingkat kesadaran,
antisipasi, dan kesiapan yang tinggi terhadap ketidakpastian dan dampak emosi dari
kemungkinan ancaman, respon psikologis seseorang ketika terjadi ancaman, dan kemampuan
untuk mengatur tuntutan situasi.
Menurut Zulch (2019) kesiapan psikologis dalam menghadapi bencana terdiri dari :
(1) kesadaran dan antisipasi individu terhadap kemungkinan respon psikologis terhadap situasi
bencana, yang penuh tekanan dan ketidakpastian, termasuk persepsi, penilaian, dan
pemahaman seseorang terhadap komunikasi risiko dan peristiwa berbahaya
(2) kemampuan, kepercayaan diri, dan kompetensi seseorang mengelola respon psikologis pada
situasi bencana, termasuk kemampuan manajemen emosi
(3) memiliki pengetahuan, tanggung jawab, dan kepercayaan diri, serta kompetensi untuk
mengelola situasi dan keadaan fisik eksternal seseorang pada saat situasi bencana.
Selain itu, koping religius juga bisa menjadi cara bagi korban bencana untuk mengelola dan
mengatasi respon emosional selama bencana, seperti mengatasi kecemasan ataupun rasa
putus asa, sehingga seseorang tersebut mampu mengurangi resiko terdampak bencana.
Faktor lain yang juga mempengaruhi kesiapsiagaan psikologis seseorang yaitu berupa efikasi
diri, dimana berdasarkan penelitian sebelumnya berjudul Country Fire Service dan Clode
(Boylan, 2016) tentang hubungan antara efikasi diri dan kesiapsiagaan dalam menghadapi
bencana didapatkan hasil bahwa seseorang dengan kepercayaan diri yang tinggi pada
kemampuan fisiknya untuk dapat menghadapi kebakaran akan meningkatkan kemampuan
dalam mengatasi emosi ketika kebakaran terjadi. Peneliti lainnya oleh Flin (2001) menyebutkan
bahwa efikasi diri berhubungan dengan motivasi untuk melindungi diri sendiri (kesiapsiagaan
psikologis) yang kemudian juga mempengaruhi perilaku melindungi (yang disebut juga dengan
kesiapsiagaan secara fisik). Hal tersebut menjelaskan adanya hubungan efikasi diri yang
berpengaruh terhadap kesiapsiagaan psikologis.
Oleh karna itu, dapat disimpulkan bahwa hubungan antara efikasi diri dan koping religius
memiliki pengaruh positif terhadap kesiapsiagaan psikologis dalam menghadapi bencana. Baik
efikasi diri maupun koping religius, keduanya mampu mempengaruhi tingkat kesiapsiagaan
psikologis dalam menghadapi bencana. Ketika kedua variabel tersebut kemudian dihubungkan
secara bersamaan dengan kesiapsiagaan psikologis, maka pengaruh yang diberikan juga akan
semakin besar. Keduanya memiliki pengaruh yang saling melengkapi terhadap tingkat
kesiapsiagaan psikologis dalam menghadapi bencana. Efikasi diri memberikan dorongan kepada
individu untuk mengambil tindakan pada saat terjadinya bencana agar individu tersebut
mampu menyelamatkan diri, sedangkan koping religius mampu memberikan harapan,
ketenangan, dan juga optimisme yang bisa membantu seseorang mengurangi dampak
psikologis akibat bencana.

Anda mungkin juga menyukai