Anda di halaman 1dari 3

Judul : Pengalaman Komunikasi Pekerja Startup Pada Praktik Hustle Culture

Penulis : Galuh Aulia Ramadhanti , Jasmin Jannatania , Deffri Ihza Adiyanto , Shinta Qayla
Vashty
PENDAHULUAN
Proses digitalisasi merubah lanskap seperti model bisnis dan perusahaan sehingga
muncullah beberapa perusahaan start up. Perusahaan ini adalah perusahaan yang masih
berkemabang dalam pertumbuhan bisnis suatu organisasi. Perusahaan start up sangat
membantu pertumbuhan ekonomi karena melayani status perkerjaan lebih tinggi dengan
kegiatan yang lebih inovatif. Ciri khas perusahaan ini adalah masih berjuang untuk
eksistensinya dan sangat banyak diminati oleh anak muda karena memiliki lingkungan kerja
yang tidak kaku dan mengikat aturan berpakaian serta kelonggaran regulasi dan fleksibilitas
waktu kerja. Akan tetapi fleksibilitas perusahaan start up menjadi boomerang bagi pekerjanya
karena pekerja dinilai mampu mengerjakan banyak hal dan mau belajar hal baru serta disalah
artikan perusahaan sebagai sikap bersedia mengerjakan banyak tugas. Hal ini menyebabkan
peerja start up ditutuntuk menguasai lebih dari satu bidang (multitasking). Whittaker et al
(2019) berpendapat bahwa jam kerja yang melampau batas dan menimbulka keluhan fisik
secara langsung menjadi kekerasan pada lingkungan kerja.
Sistem kerja perusahaan start up menjadi budaya organisasi yang ditutuntut harus
selalu di update dan adaptif dengan hal baru dan menyesuaikan permintaan pasar dan
memaksa pekerjanya untuk memenuhi tuntutan perusahaan, terlebih jika menggunakan
teknologi terbaru (Chao, 2021). Kondisi inilah yang kemudian memunculkan budaya hustle
(hustle culture) pada pekerja start-up. Budaya hustle adalah budaya kerja terus menerus
yaitu fenomena dimana individu/ kelompok bekerja dalam jam kerja tinggi hingga lupa
waktu. Budaya organisasi dapat membuat karyawan merasa diikutsertakan, diberdayakan,
dan didukung, atau sebaliknya karena budaya bisa menjadi kuat, dan penting bagi manajer
untuk memperhatikannya. Robbin dan Coulter (2016) menyatakan bahwa budaya organisasi
yang baik adalah (1) memberi keadilan satu sama lain, (2) memberi kebebasan mendorong,
membantu rekan lain untuk saling tumbuh Bersama dalam pengetahuan, keterampilan dan
lingkup bertanggung jawab, (3) memberi komitmen antar rekan, (4) memberi kesempatan
untuk berkonsultasi dengan rekan lain sebelum mengambil tindakan yang berdampak pada
reputasi perusahaan.
Pelaku hustle culture biasanya adalah generasi milenial yang menganggap
kesuksesan berasal dari melakukan perkerjaan terus menerus. Budaya ini bersifat
manipulative dimana pekerja dituntut dengan berbagai target yang harus dicapai sesuai waktu
yang ditentukan, sehingga pekerja startup yang mengalaminya memiliki waktu istirahat yang
minim hingga hampir tidak dimilikinya waktu untuk melakukan kegiatan diluar pekerjaan
(Balkeran, 2020). Budaya ini dikategorikan sebagai strong culture karena memiliki pengaruh
yang besar pada karyawan dan lebih mendominasi dari budaya yang lebih lemah. Pekerja di
perusahaan start up cenderung menerima budaya organisasi ini (hustle culture) sehingga
semakin besar komitmen mereka dalam nilai nilai dan budaya kerjanya.
Hustle culture pada lingkungan perusahaan startup memiliki sisi negatif bagi
pekerjanya tetapi minat pekerja untuk tetap bergabung dengan perusahaan startup pun tinggi.
Karena karyawan perusahaan sudah mengetahui mereka akan masuk kedalam praktik hustle
culture. Budaya hustle inipun dikaitkan dengan toxic productivity yaitu kondisi ketika
seseorang mendapat tekkanan dari pimpinan untuk selalu produktif, pimpinan senantiasa
menglorifikasi kerja di luar jam kerja atau timbul perasaan untuk selalu produktif seperti
pimpinan yang melihat rekan kerja yang sangat produktif. Toxic productivity dapat
disebabkan karena lingkungan (toxic workplace) atau tempat kerja yang tidak sehat sepertia
angka ketidakhadiran tinggi, depresi pekerja, kelelahan dan kesehatan psikologis sehingga
berimbas pada efisiensi dan reputasi organisasi.
TUJUAN
Penelitian ini memiliki tujuan untuk memahami fenomena yang terjadi pada karyawan
perusahaan startup terkait dengan perilaku hustle culture.
METODE
Metode yang digunakan yaitu pendekatan studi fenomenologi untuk mengeksplorasi
fenomena hustle culture di lingkungan kerja menggunakan sudut pandang konsep atau ide
tunggal dari individu yang mengalaminya. Penelitian ini mengadopsi cara pandang
konstruktivis, dimana realitas dibangun dan dibentuk oleh pengalaman hidup dan interaksi
individu dengan sekitarnya. Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari studi
literatur dan wawancara
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil wawancara yang diperoleh dari 4 informan mendapatkan temuan perihal
pemaknaan hustle culture, pengalaman komunikasi dialami selama bekerja, serta upaya yang
dilakukan untuk mengatasi perilaku hustle culture yang dialami. Beberapa informan
mengatakan bahwa hustle culture di lingkungan kerja adalah hal wajib dan membangkitkan
semangat untuk meraih kesuksesan. informan membentuk persepsi bahwa tekanan dari
lingkungan kerja tempatnya berada akan membuahkan hasil. Informan juga sudah
menyiapkan diri (fisik dan mental) pada resiko yang mungkin diterima akibat perilaku hustle
yang dilakukan. Makna hustle culture dari informan yaitu merasa senang dan puas karena
hasil kerjanya akibat hustle culture dan merasa bahwa pekerjaan yang dilakukannya
merupakan passionnya.
Pengalaman komunikasi yang dialami selama bekerja oleh informan yaitu cenderung
merasa kekurangan waktu dimana ia berpendapat bahwa 12 jam adalah hal yang normal.
Tetapi terkadang merasa bersalah jika sedang beristirahat dan lingkungan kerjanya menuntut
untuk berkerja diluar waktu yang seharusnya. Hustle culture yang berkembang dalam diri
juga ikut dipengaruhi oleh lingkungan kerja yang toxic. Perasaan senang yang didapatkan
informan juga menunjukan bahwa hustle culture yang diterapkan suatu perusahaan berhasil
mendorong pekerja untuk bekerja lebih keras dan tidak mementingkan waktu. Ditambah
dengan munculnya kewajiban dalam diri untuk menyamakan target dengan rekan kerjanya.
Beberapa informan merasa terganggu karena tidak nyaman dan berimbas pada kesehatan dan
kondisi fisiknya dan merasa mengalami toxic productivity, ditandai dengan munculnya
perasaan-perasaan negatif dan menyebabkan efek samping seperti gangguan emosi dan fisik.
Informan cenderung merasa terganggu dengan perilaku orang lain yang membagikan
pencapaiaannya ke media sosial sehingga mereka akan membandingkan perkerjaannya
dengan individu lain yang lagi-lagi berdampak pada fisik dan mental informan. Hal ini
bertentangan dengan budaya dan lingkungan organisasi yaitu sebuah organisasi harusnya
memberi budaya inovatif, kebebasan, kepercayaan dan keterbukaan antar karyawan dan
atasan dalam melakukan perkerjaannya, seorang karyawan seharusnya diberi motivasi dan
komitmen untuk tujuan jangka panjang dan menunjang keberhasilan organisasi (Robbins dan
Coulter, 2016 ). Lingkungan organisasi yang tidak mendukung dibangun atas landasan relasi
sosial yang bersifat dominative bahkan eksploitatif walaupun dibungkus dalam jargon
kerjasama yang kemudian berdampak pada kecemasan dan masalah kesehatan (Bakti et al.,
2022).
Upaya mengatasi ketidakseimbangan yang dialami informan akibat hustle culture
dapat dilakukan dengan upaya penurunan disonansi yang dialami. Dari keempat informan,
tiga diantaranya melakukan perubahan perilaku yang ditunjukkan dengan sikap membatasi
diri untuk menerima pekerjaan tambahan. Artinya, informan tersebut mengubah perilakunya
yang semula selalu menerima pekerjaan diluar jam kerja. Selain itu juga mulai melakukan
pembatasan penggunaan media sosial. Cara lain yang dilakukan informan untuk keluar dari
lingkungan hustle culture adalah dengan mengubah lingkungannya lewat perilaku ‘keluar’
dari pekerjaannya tersebut. Hal itu dilakukan sebab informan menilai hustle culture sangat
tidak seimbang dengan dirinya. Informan juga menambahkan elemen kognitif dimana
informan kemudian meyakinkan dirinya bahwa hustle culture merupakan hal yang baik
untuk dirinya di masa depan. Dengan menambah elemen kognitif, individu memiliki
pemikiran positif tentang keadaan hustle culture yang ia alami. Informan juga kerap
melakukan self healing melalui mood jurnal dengan mengisi keadaan emosi dirinya sendiri
sehingga bermanfaat sebagai penyalur emosi atau perasaan disonan yang dialami pelaku
hustle culture. Penyembuhan diri sendiri ini menjadi metode yang dilakukan oleh informan
untuk kesehatan mental menggunakan mood jurnal dan menggambar serta mewarnai
menggunakan warna yang mewakili perasaannya.
KESIMPULAN
Individu perlu memahami diri sendiri untuk memilih perusahaan dan bisan pekerjaan
yang cocok dengannya sehingga langkah selanjutnya adalah menemukan iklim dan budaya
organisasi pada perusahaan yang ingin dituju. Pengetahuan akan iklim dan budaya organisasi
yang dimiliki perusahaan tersebut dapat membantu individu menyesuaikan diri dengan
konsep diri yang sebelumnya telah ditentukan, juga untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan pekerjaannya nanti. Langkah ini dilakukan guna mencegah hal-hal seperti
perilaku hustle culture terjadi pada individu. Selanjutnya individu juga dapat melakukan
perilaku pembatasan diri dalam lingkungan kerja, entah itu dengan cara menolak secara halus
pekerjaan yang diberikan oleh atasan, atau tidak perlu merasa tertinggal oleh kolega lain.
DAFTAR PUSTAKA
Bakti, I. S., Muklir, M., & Sufi, S. (2022). Sikopansi: Seni Membudak Dalam Ritus
Penindasan. Jurnal Sosiologi Usk (Media Pemikiran & Aplikasi), 16(1).
Ramadhanti, G. A., Jannatania, J., Adiyanto, D. I., & Vashty, S. Q. (2022). Pengalaman
Komunikasi Pekerja Startup Pada Praktik Hustle Culture. Linimasa: Jurnal Ilmu
Komunikasi, 5(2), 192-204.
Robbins, Stephen P. And Mary Coulter. 2016. Manajemen, Newyork : Pearson Education

Anda mungkin juga menyukai