Anda di halaman 1dari 20

TAFSIR AL-MIZAN

Makalah disusun dan diajukan untuk memenuhi tugas Mata


Kuliah Pemikiran Tafsir Modern dan Kontemporer
DosenPembimbing: Dr. H. Muhammad Sa’i,
MA

OLEH:
Kelompok 7

YuliaArsania (200601100)
Muh Arsyl Aziem
(200601115)

PROGRAM STUDI AL-QUR’AN DAN


TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN
DAN STUDI AGAMA UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI MATARAM 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur khadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Kuasa atas
segala rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelsaikan penysunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang
sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai
salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam
administrasi pendidikan.Harapan kami semoga makalah ini membantu
menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga
kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga
kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena
pengalaman yang kami miliki sangat minim.Oleh kerena itu kami
harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan
yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ii

Daftar Isi iii

BAB I . PENDAHULUAN 4

A. Latar Belakang 4

B. Rumusan Masalah 5

C. Tujuan Pembahasan

5 BAB II . PEMBAHASAN 3

A. Biografi Hidup 6

B. Latar Belakang Penulisan Tafsir Al-Mizan 8

C. Metode Tafsir Al-Mizan 10

D. Sumber dan Corak Tafsir Al-Mizan 11

BAB III . PENUTUP 13

A. Kesimpulan 13

DAFTAR PUSTAKA 14

i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang

Generasi pertama Islam telah melakukan proses pemahaman terhadap


makna-makna lafadz dalam al-Qur'an, seperti Ibnu 'Abbas, Abdullah bin 'Umar,
Ubay bin Ka'ab, Ali bin Abi Thalib dan lainlain. Para Sahabat melakukan
kelompok studi untuk membahas halhal yang tidak mereka fahami dan
mempertanyakan kepada Rasulullah kalau mereka terbentur dalam memahami
teks al-Qur'an selanjutnya para sahabat tersebut berupaya mewujudkan nilai-
nilai yang dikandung oleh teks tersebut dalam beretika dan bersikap. Dalam
perkembangan selanjutnya, 'ahd al-Shahabah, ketika Islam terus meluas dan
berkembang meliputi wilayah-wilayah yang tidak memiliki kemampuan
kebahasaan bangsa Arab, penduduk baru itu berkeinginan memahami sumber
aturan keagamaan, alQur'an.Pemahaman terhadap teks al
-Qur'an itupun semakin terasa penting dijelaskan.Para sahabat Rasulullah
melakukan pengurasan pikir dan kemampuan berijtihad untuk menuntaskan
persoalan itu. Persoalan-persoalan seputar pentingnya mengkaji kitab suci dan
apa yang disampaikan oleh Rasulullah terus dijalani dan persoalan pun terasa
semakin berkembang dari generasi ke generasi. Dari perkembangan tersebut
terbukti bahwa apa yang disampaikan oleh para ilmuwan Islam dapat
dinyatakan sebagai tafsiran-tafsiran yang lahir dari problem kemasyarakatan.

Demikian halnya pada babak penafsir Thabathaba'i, tafsir ini kalau dikaji
lebih lanjut maka akan terasa jabarannya yang mengisyaratkan akan berbagai
persoalan-persoalan kekinian. Hal-hal yang ditonjolkan pun berkisar
persengketaan perbedaan pikiran dari masing-masing golongan dalam Islam
sendiri.Sebagai tafsir abad ke20, sepertinya penulis sadar bahwa masa
sekarang bukanlah masanya untuk menggunjing berbagai pandangan yang
berseberangan.Thabathaba'i menawarkan satu bentuk tafsir yang berorientasi
pada bagaimana memposisikan Islam sebagai agama Tuhan yang lepas dari
ketidak jelasan penafsiran mazhab fiqh dan teologi. Benarkah demikian,

4
ternyata dari redaksi tafsir Thabathaba'i, hal yang bernada perbedaan pun
masih cenderung teruraikan, misalnya persoalan imamah, keadilanTuhan, dan
lain-lain.

5
Dari berbagai bentuk penafsiran yang berkembang, Thabathaba'i tampil
pula dengan gayanya yang khas. Indikasi ini sangatlah wajar karena melihat
kenyataan yang berkembang ia sangat maju karena didukung oleh lingkungan
dan lembaga formalnya. Dari kondisi lain dapat difahami bahwa dalam diri
Thabathaba'i juga tersimpan rasa toleransi terhadap nasib sesamanya muslim
ketika menghadapi imprealis Barat. Hal tersebut nampak senada apa menjadi
titik landasan yang diajukan oleh penafsir kontemporer sebelumnya yakni
Syekh Muhammad Abduh tafsir al-Manar.1

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana riwayat hidup Imam Thaba’thabai?

2. Apa sumber, metode dan corak dari Tafsir Al-Mizan?

3. Apa latar belakang penulisan kitab Tafsir Al-Mizan?

C. Tujuan pembahasan

Untuk menambah wawasan terkait Tafsir al-Mizan tentunya mengetahui


dengan pasti apa sumber, metode, corak serta latar belakang kepenulisan pada
tafsir Al-Mizan karya Imam Thabathaba’i

6
1
Tamrin, “Tafsir Al-Mizan Karakteristik dan Corak Tafsir”, Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir,
Vol.1, No.1, 2019, Hlm. 3-5

7
BAB II

PEMBAHAS

AN
A. Biografi
Hidup

‘Allamah Sayyid Muhammad Husain ibn Muhammad ibn Sayyid


Muhammad Husain ibn Mirza ‘Ali Asghar, Syaikh Islam Tabataba‘i al-Tibrizi
alQadi. lahir di Tabriz pada tahun 1271 H/ 1892 M. Ibunya telah meninggal
dunia ketika masih berusia 5 tahun, disusul ayahnya yang wafat ketika dia
berumur 9 tahun. Setelah menjadi yatim piatu, ia dan adiknya kemudian diasuh
oleh walinya, seorang yang diberi amanah untuk mengurusi harta peninggalan
kedua orang tuanya. Allamah al-Tabataba‘I menghembuskan nafas terakhirnya
pada bulan November 1981 M di kota Qum. Di hari wafatnya diumumkan
sebagai hari berkabung nasional atas wafatnya. Ia dimakamkan di samping
makam Sayyidah Fatimah al-ma‘sumah binti Imam Musa bin Ja‘far ‘Alaihi al-
salam.

Pasca kewafatan kedua orang tuanya, ‘Allamah al-Tabataba‘i kemudian


memulai pendidikannya. Ia bersama adiknya dimasukkan ke sekolah dasar,
selanjutnya ke sekolah tingkat menengah. Pendidikannya juga diserahkan ke
seorang guru privat yang datang ke rumah-rumah. Selama pendidikan tersebut,
ia mempelajari gulistan dan bustan karya Sa‘di, nesab dan akhlaq, anvar-e
mo‘jam, tulisan-tuisan karangan Amir-e Nezam dan Irsyad al-Hisab. Pendidikan
ini dimulai pada tahun 1290 H/ 1911 M-1296 H/ 1917 M. Memasuki tahu 1297
H/ 1918 M hingga 1304 H/ 1925 M, ia memulai kajian agama, bahasa Arab dan
buku-buku teks. Di masa yang sama ia juga belajar gramatika dengan
mempelajari ketab amsela, sarf-e mir dan tasrif. Di bidang sintaksis; kitab-e
‘avamel, enmuzaj, samadiya, soyuti, jami‘ dan moghanni. Retorika; ketab-e
motavvel, untuk fiqhi; syarh-e lama‘a dan makaseb, tentang ushul fiqhi; kitab-e
ma‘alem, qavanin, rasa’il dan kafaya. Di bidang mantiq (logika); kobra, hasyiya
dan syarh-e syamsia. Bidang filsafat; syarh-e esyarat, dan untuk teologi; kasyf
al-murad.
8
Memasuki tahun 1304 H/ 1925 M, ‘Allamah al-Tabataba‘i berangkat ke
Najaf untuk menghadiri kuliah kuliah Ayatullah Syaikh Muhammad Husain
Isfahani. Di bawah bimbingan gurunya, ia mendalami ushul fiqhi selama 7

9
tahun dan fiqhi selama 4 tahun. Al-Tabataba‘i juga berguru pada Ayatullah
Na‘imi selama 7 tahun khusus untuk mendalami fiqhi, dan belajar ushul fiqhi
pada Ayatula al-Hasan Isfahani. Di bidang sejarah Islami berlajar di bawah
bimbingan Ayatullah Hujjat Kuhkamari. Di bidang filsafat, al-Tabataba‘i
mengaku sangat beruntung sebab ia bisa berguru pada filosof paling
termasyhur di masa itu, Sayyid Hussain Badkubi. Selama 6 tahun ia dibimbing
dengan mempelajari manzumah karya Sabzavari, asfar dan masya'ir karya
Mulla Sadra, syifa‘ karya Ibnu Sina, tamhid karangan Ibnu Tarka dan akhlaq
karya Ibnu Maskawaih. Karena melihat potensi dan ketertarikan yang besar
‘Allamah alTabataba‘i dalam bidang filsafat, sang guru Sayyid Hussain
Badku>bi kemudian menyarankannya untuk belajar matematika agar dapat
berfikir dengan logis. Atas saran tersebut, ia kemudian mengikuti pelajaran
tersebut pada Sayyid Abu alQasim Khansari, seorang guru matematika
ternama.

Memasuki tahun 1314 H/ 1935 M, al-Tabataba‘i didera kesulitan


ekonomi yang memaksanya pulang ke kampung halaman di Tabriz. Selama 10
tahun ia mencari biaya kehidupan dengan bertani. Keterhalangannya dari
kehidupan keilmuan dan perenungan menjadikan ia sempat merasakan
kekeringan ruhani. Setelah masa-masa sulit tersebut terlewati, ia kemudian
meninggalkan Tabriz. Tahun 1325 H/ 1946 M ‘Allamah al-Tabataba‘i berangkat
ke Qum untuk kembali bergelut dengan ilmu. Sikap antusias dan
ketidaksabarannya untuk segera mempelajari apa saja yang bisa dipelajarinya
begitu tinggi. Ia menyatakan, “Saya tidak pernah merasa lemah semangat atau
berkecil hati dalam studi atau renunganrenungan filosofis saya sejak saat itu
sampai selesainya sekolah saya, kira-kira 17 tahun 2. kemudian Pada masa
tersebut, ‘Allamah al-Tabataba‘i menghindari kontak sosial dengan siapapun
selain kepada para ulama, mengurangi makan, tidur dan kebutuhan- kebutuhan
hidup lainnya hingga batas minimum. Sisa waktu dan sumber dayanya hanya
diabdikan untuk keilmuan dan penelitian. Al-Tabataba‘i biasa menghabiskan
malam-malamnya dengan belajar hingga waktu fajar, selalu memeriksa mata

1
pelajaran hari esok dan melakukan latihan apa saja yang
2
Fiddian Khairuddin, “Makna Imam Menurut Al-Thabathaba’I dalam Kitab Al-Mizan Fi Tafsir Al
-Qur’an”, Jurnal Syahadah, Vol.5, No.1, 2016, Hlm.6

1
diperlukan untuk menyelesaikan setiap masalah yang timbul. Sehingga ketika
pelajaran telah dimulai, ia telah memahami dengan baik masalah-masalah yang
akan dibahas oleh gurunya. Ia tidak pernah mengajukan persoalan atau
kesalahan apa pun ke hadapan gurunya.

Sebagian dari sekian banyak karya al-Tabataba’i (sekitar 50 buah) antara


lain: Risalah fi al-Burhan (penalaran); Risalah fi alMugalatah (sofistri); Risalah fi
al-Tahlil (analisis); Risalah fi alTarkib (gramatika); Ushul al-Falsafah (dasar
filsafat); dan AlMizan fi Tafsir al-Qur’an. Karya terakhir tersebut di atas
merupakan kitab tafsir yang terdiri dari 20 jilid, karya paling besar dan
monumental bagi al-Tabataba’i.

B. Latar Belakang Penulisan Tafsir Al-Mizan

Tafsir al-Qur’an yang disusun oleh Tabataba’i dikenal dengan alMizan


yang berarti timbangan, keseimbangan atau moderasi. Sejak awal, tafsir ini
didedikasikan untuk memberi pemahaman al-Qur’an kepada sejumlah muridnya
yang hadir di majlis kajiannya. Setelah menetap di Qum, tepatnya pada 1375 H
atau 1956 M, juz pertama tafsir al-mizan selesai disusun. Kajian al-Qur’an
berlangsung bersama dengan kajian filsafat, sehingga tafsir al- mizan sangat
kental nuansa filsafatnya. Hal ini bukan suatu kebetulan, karena sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, di dunia Syiah terdapat tradisi menggabungkan filsafat
dengan tafsir al-Qur’an. Tafsir alMizan selesai ditulis pada 23 Ramadhan 1392
H atau bertepatan dengan 1973 M hingga mencapai 20 juz atau sekitar 8041
halaman, dengan ratarata massing-masing juz 465 halaman.

Penamaan kitab tafsirnya ini dengan nama tafsir al-Mizan, sebagaimana


diungkapkan dalam muqadimah, bahwa di dalam kitab tafsir ini selain
mejelaskan ayat secara rinci beliau Tabataba’i juga memperlihatkan dari
berbagai pendapat serta pemaparannya para mufassir dan selainnya terkait
penjelasan-penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga uraian yang beliau
paparkan di dalam kitabnya terkadang terlihat seperti suatu perdebatan, baik
dari sisi pendapat para mufassir maupun lainnya, untuk diambil hasil yang
sesuai sebagaimana yang di maksud oleh ayatayat al- Qur’an dan

1
meninggalkan sebagian pendapat yang lain. Seperti saat beliau

1
menjelaskan pendapat dari para mufassir terkait penafsiran ayat Q.S. Ali-
Imran Ayat 19: 33

ۗ ‫ﺳﻻﻡ‬
َْ ‫ﺍْﻟ ِﺎ‬ ‫ِﻋ ْﻨ ﺍﻟ‬ ‫ِﺍﻥَّ ﺍﻟ‬
‫ّٰﻠ‬
Terkait penjelasan pendapat tentang ayat ini, Tabataba’i menukil dari
tafsir al-‘Iyasyi dari riwayat Muhammad bin Muslim, bahwa yang di maksud dari
lafat ayat ini adalah setiap agama yang di dalamnya ada keimanan kepada
Allah. Sedangkan menurut pendapat Ibnu Syahr dari al-Baqir a.s bahwa yang
dimaksud dari lafat ayat ini adalah memasrahkan hak wilayah (kekholifahan)
terhadap Ali bin Abi Thalib. Kemudian dari pendapat Ali bin Abi Thalib bahwa
Islam adalah taslim (memasrahkan), taslim adalah yakin, yakin adalah
membenarkan, membenarkan adalah mengakui, mengakui adalah menjalankan,
menjalankan adalah mengamalkan, yakni seorang mukmin memilih agama dari
Allah, dan ia mengetahui bahwa keimanannya itu ada disetiap amaliyahnya, dan
setiap orang kafir tau bahwa kekufurannya ada di dalam pengingkarannya.
Kemudian setelah pemaparan dari pendapat ini, Tabataba’i mengutarakan
pendapat bahwa, pendapat yang diutarakan oleh Ali bin Abi Thalib terkait
penisbatan Islam sebagai agama yang benar dari sisi lafdiyah maupun
ma’nawiyahnya, sekaligus penamaan Islam ini sebagai nama agama yang haq
adalah karna pengakuannya manusia atas kekuasaan Allah, serta mengakui
bahwa seluruh jiwa dan segala amal perbuatan manusia ini di bawah perintah
dan kehendak Allah.

Dengan demikian, tafsir ini diberi nama dengan al-Mizan seolah-olah


Tabataba’i ingin menjadikan tafsirnya sebagai timbangan keseimbangan yang
cemerlang guna memberikan pendapat yang kuat dan berimbang dalam
menyelesaikan persoalan yang dialami dan dihadapi oleh umat Islam dengan
mengutamakan penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an dibanding harus terikat dan
fanatik dengan teori tertentu. Pada saat membicarakan suatu masalah, beliau
lebih banyak merujuk kepada sumber penafsiran kepada ayatayat al- Qur’an
dan menyimpulkan maksudnya dari merujuk pendapat yang dikemukakan

1
mufasir dan pengkaji alQur’an.3

3
Ahmad Fauzan, “Manhaj Tafsir Al-Mizan Fi Tafsir Al-Qur’an Karya Muhammad Husain
Tabataba’I, Al-Tadabbur, Vol.3, No.2, 2018, Hlm. 124-126.

1
Al-Mizan adalah kata yang dipakai sebagai judul dari tafsir ini.
Dipergunakannya term ini karena dalam tafsir ini banyak memuat pendapat
para ulama tafsir, baik klasik maupun modern, dari Syi’ah atau Sunni. Semua
pendapat ini yang dijadikan sebagai bahan "pertimbangan" Thabathaba'i, untuk
memperkuat satu pendapat dengan lainnya, atau dengan pendapatnya sendiri,
setelah merujuk kepada Alquran. Bahkan, tidak jarang, dari beberapa pendapat
tersebut, ada yang menjadi bahan kritiknya.4

C. Metode Tafsir Al-Mizan

Dalam menyusun kitab tafsir al-Mizan, metode tafsir yang digunakan


oleh Allamah al-Tabataba‘i adalah dengan menggunakan metode tahlili, yaitu
dengan menafsirkan Alquran berdasarkan susunan mushaf, dimulai dari surah
al-ftihah hingga surah al-nas. ‘Allamah al-Tabataba‘i menegaskan bahwa
metode menafsirkan Alquran dengan Alquran adalah metode yang ideal.
Menurutnya, di dalam Alquran tidak terdapat sedikitpun pertentangan. Andai
kata ditemukan, maka pertentangan tersebut akan menjadi sirna dengan
merenungkan Alquran itu sendiri. Seandainya dalam menjelaskan maksud
Alquran dibutuhkan sesuatu yang lain, maka kedudukannya sebagai hujjah
tidak akan sempurna.

Dalam penyajiannya, Allamah al-Tabataba‘i memperhatikan konteks


pembicaraan suatu ayat. Apabila ayat tersebut mempunyai keterkaitan dengan
sejarah misalnya, maka ia pun akan mengulas ayat tersebut dalam perspektif
sejarah, begitupun apabila ayat tersebut mempunyai keterkaitan dengan fiqhi,
bahasa, riwayat, filsafat, kalam, riwayat, irfan (tasawwuf) dan lain-lain. Allamah
al-Tabataba‘i dalam menjelaskan suatu ayat tidak mencampuradukan corak-
corak tafsir di atas. Ketika pembahasan suatu ayat berkenaan dengan
beberapa corak tafsir tersebut, maka dalam penyajian pembahasan tersebut
dibedakan dalam beberapa corak penafsiran. Sehingga terkadang dalam satu
ayat, ia membedakan masing-masing uraian tafsirnya dengan memberi sub
judul corak tafsir pada satu atau beberapa kelompok ayat, seperti bahsu
Qur’ani, bahsu rawa’i, bahsu tarikhi dll.

1
4
Yusno Abdullah Otta, “Dimensi-dimensi Mistik Tafsir Al-Mizan”, Potret Pemikiran, Vol.19,
No.2, 2015, Hlm. 89.

1
D. Sumber dan Corak Tafsir Al-Mizan

Menurut pentahqiq Muhammad Hadi menyatakan bahwa kitab tafsir


alMizan tafsir yang mengumpulkan semua himpunan pembahasan fans ilmu
yang secara umum bercorak pembahasan filsafat. Penafsiran alQur’an sangat
dinamis dan para mufassir al-Qur’an selalu berdialektika dengan diri, perubahan
dan tantangan yang dihadapinya. Secara singkat, dalam pembahasan tafsir di
dalam tafsir al-Mizan, Tabataba’i merekam corak dan warna perkembangan
tafsir baik dari kalangan Sunni maupun Syiah sendiri. dapat ditemukan
bahwasannya aliran tafsir tersebut sangat kental dengan nuansa filsafatnya,
atau dengan kata lain corak penafsiran Al-Mizan ini adalah corak falsafi.

Adapun sumber tafsir yang digunakan adalah bil Ma’tsur dan ra’yu. Di antara
metode yang dipergunakan oleh penulis, tafsir, adalah mengembalikan semua inti
permasalahan yang sedang dikaji dan dibahas kepada Alquran. Dengan ungkapan lain,
penulisnya dalam menguraikan suatu ayat, yang berkaitan dengan suatu masalah,
selalu merujuk terlebih dahulu kepada Alquran dan menggali makna ayat yang sedang
dikaji dari ayat lain. Dengan begitu, pra- konsepsi dan teori yang ada hanya menjadi
data sekunder.Bahkan, tidak jarang, data sekunder tersebut mendapat kritikan dari
penulis tafsir ini.5 erdapat dua sumber yang beliau jadikan bahan rujukan dalam
menulis Tafsir Al-Mizan yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer
atau sumber utama yang beliau gunakan adalah kitab Al-Qur’an, sedangkan sumber
sekundernya yakni sumber yang menjadi alat pembantu untuk menafsirkan Al-Qur’an
adalah berupa beberapa buku atau kitab tafsir klasik, kamus, hadits-hadits Nabi Saw.,
koran, dan majalah. Buku-buku yang beliau gunakan berupa buku pengetahuan umum,
sumber sejarah, pengetahuan rasional, dan kitab-kitab suci dari agama lain.6

5
Yusno Abdullah Otta, “Dimensi-dimensi Mistik Tafsir Al-Mizan”, Potret Pemikiran, Vol.19,
No.2, 2015, Hlm. 95
6
Rangga Oshi Kurniawan dkk, “Karakteristik dan Metodologi TAfsir Al-Mizan Al-Thabataba’I”,
Jurnal Iman dan Spiritualitas, Vol.1, No.2, 2021, Hlm. 148-149
1
BAB III

PENUTUP

A.
Kesimpulan

‘Allamah Sayyid Muhammad Husain ibn Muhammad ibn Sayyid


Muhammad Husain ibn Mirza ‘Ali Asghar, Syaikh Islam Tabataba‘i al-Tibrizi
alQadi. lahir di Tabriz pada tahun 1271 H/ 1892 M. Ibunya telah meninggal
dunia ketika masih berusia 5 tahun, disusul ayahnya yang wafat ketika dia
berumur 9 tahun. Setelah menjadi yatim piatu, ia dan adiknya kemudian diasuh
oleh walinya, seorang yang diberi amanah untuk mengurusi harta peninggalan
kedua orang tuanya. Allamah al-Tabataba‘I menghembuskan nafas terakhirnya
pada bulan November 1981 M di kota Qum. Di hari wafatnya diumumkan
sebagai hari berkabung nasional atas wafatnya. Ia dimakamkan di samping
makam Sayyidah Fatimah al-ma‘sumah binti Imam Musa bin Ja‘far ‘Alaihi al-
salam

Al-Mizan adalah kata yang dipakai sebagai judul dari tafsir ini.
Dipergunakannya term ini karena dalam tafsir ini banyak memuat pendapat
para ulama tafsir, baik klasik maupun modern, dari Syi’ah atau Sunni. Semua
pendapat ini yang dijadikan sebagai bahan "pertimbangan" Thabathaba'i, untuk
memperkuat satu pendapat dengan lainnya, atau dengan pendapatnya sendiri,
setelah merujuk kepada Alquran. Bahkan, tidak jarang, dari beberapa pendapat
tersebut, ada yang menjadi bahan kritiknya. Adapun sumber tafsir ini adalah bil
ma’tsur dan ra’yi, corak yang digunakan adalah falsafi dan metode
penafsirannya menggunakan tahlili.

1
DAFTAR
PUSTAKA

Ahmad Fauzan, “Manhaj Tafsir Al-Mizan Fi Tafsir Al-Qur’an Karya Muhammad Husain
Tabataba’I, Al-Tadabbur, Vol.3, No.2, 2018

Fiddian Khairuddin, “Makna Imam Menurut Al-Thabathaba’I dalam Kitab Al-Mizan Fi Tafsir Al
-Qur’an”, Jurnal Syahadah, Vol.5, No.1, 2016

Rangga Oshi Kurniawan dkk, “Karakteristik dan Metodologi TAfsir Al-Mizan Al-Thabataba’I”,
Jurnal Iman dan Spiritualitas, Vol.1, No.2, 2021.

Tamrin, “Tafsir Al-Mizan Karakteristik dan Corak Tafsir”, Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir,
Vol.1, No.1, 2019

Yusno Abdullah Otta, “Dimensi-dimensi Mistik Tafsir Al-Mizan”, Potret Pemikiran, Vol.19, No.2,
2015.

Anda mungkin juga menyukai