Anda di halaman 1dari 94

MAKALAH PENGKAJIAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II

SISTEM PERNAPASAN

Disusun Oleh Kelompok II :

1. Yusuf Dwiyanto ( 20200920100059 )


2. Amelia Andini ( 20200920100051 )
3. Lusiana Primasari ( 20200920100034 )
4. Ria Mariatul Isnaani ( 20200920100046 )
5. Satriani Hartalina Gultom ( 20200920100068 )
6. Desi Luanda Dewi ( 20200920100031 )

PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMADIYAH JAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah dengan judul
“Makalah Pengkajian Keperawatan Medikal Bedah II pada Sistem Pernapasan ”.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Pengkajian
Keperawatan Medikal Bedah 2 pada program Magister Keperawatan Universitas
Muhammadiyah Jakarta dengan tujuan untuk memahami gangguan pernapasan
khususnya pada pasien Kelelahan dan memberikan gambaran keperawatan dalam
melaksanakan asuhan keperawatan. Hal ini sangat bermanfaat agar asuhan yang
diberikan lebih efektif, efisien, dan dilandasi oleh dasar keilmuan yang kuat, sehingga
dapat dipertanggung jawabkan.
Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang mendukung
dalampembuatan makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih memiliki
kekurangan,segala kritik dan saran sangat kami harapkan.

Jakarta, Mei 2021

Penulis
BAB I

KONSEP DASAR

A. Landasan teori
1. Pengertian sistem pernapasan

Pernafasan secara umum berarti pergerakan oksigen (O2) dari atmosfer menuju ke
sel dan keluarnya karbondioksida (CO2) dari sel ke udara bebas. Pemakaian O2 dan
pengeluaran CO2 diperlukan untuk menjalankan fungsi normal sel dalam tubuh.
Proses pernafasan terdiri dari beberapa langkah dan terdapat peranan yang sangat
penting dari sistem pernafasan, sistem saraf pusat, serta sistem kardiovaskular. Pada
dasarnya, sistem pernafasan terdiri dari suatu rangkaian saluran udara yang
menghantarkan udara luar agar bersentuhan dengan 10 membran kapiler alveoli,
yaitu pemisah antara sistem pernafasan dengan sistem kardiovaskular (Price dan
Wilson, 2006).

2. Anatomi sistem pernapasan


2.1 Anatomi Sistem Pernafasan
Respirasi merupakan suatu proses pertukaran gas, dimana oksigen yang dbutuhkan
untuk metabolisme sel masuk ke dalam tubuh dan CO2 yang dihasilakan dari proses
metabolisme tersebut dikeluarkan daritubuh melalui paru-paru. Pada keadaan normal,
respirasi mengatur pemasuka O2 dan mengelurkan CO2 dalam berbagai tingkat
metabolisme (Altje Tulandi, 2013). Sehingga respirasi difungsikan sebagai usaha
tubuh dalam memperoleh O2 yang akan digunakan sel tubuh dan mengengeluarkan
CO2 yang diprodksi oleh sel (Sherwood,2014).
1. Struktur Sistem Pernafasan
Sistem respirasi terdiri dari beberapa organ yang saling berinteraksi antara lain;
a. Saluran nafas atas
Pada bagian ini berfungsi untuk udara masuk, menghangatkan, menyaring dan
melembabkannya. Bagian saluran nafas atas antara lain;
1) Rongga hidung
Udara yang dihirup maka akan mengalami proses penghangatan,
penyaringan dan pelembapan yang merupakan fungsi utama dari selaput
lendir respirasi.
Selaput lendir dari rongga hidung terdiri dari ;
- Psedostrafied ciliated columnar epithelium
- Sel Goblet
- Kelenjar Serous
- Pembuluh darah
Mukus yang dihasilkan oleh sel goblet dan kelenjar serous akan
melembabkan udara yang masuk. Partikel yang besar akan disaring oleh
bulu hidung, sedangkan partikel yang hasul akan melekat pada selaput
lendir respirasi. Dengan bantuan gerakan silia partikel yang tersebut akan
digerakan kearah faring. Penghangatan udara yang dilakukan oleh
pembuluh-pembuluh darah yang berada dibawah selaput lendir. Ketiga hal
tersebuut dibantu oleh “concha”. Udara rongga hidug akan diteruskan ke
nasofaring, orofaring dan laringofaring.
2) Nasofaring
Pada bagian ini ada dua bagian yang terpenting yaitu “ pharyngeal tonsil”
yang berfungsi untuk menyaring udara dan “tuba eustachius” untuk
mengatur keseimbangan.
3) Orofaring
Merupakan pertemuan rongga mulut dengan faring. Disini terdapat
panggal lidah.
4) Laringofaring
Merupakan bagian yang mencakup penting karena disini terjadi
persilangan antara jalur udara dengan jalur makan, yang berlangsung
secara bergantian.

b. Saluran nafas bagian bawah


Bagian ini menghantarkan udara yang masuk dari saluran bagian atas ke
alveoli. Saluran nafas bagian bawah antara lain;
1) Laring
Laring merupakan bagian dari saluran pernafasan antara bagian atas dan
bawah yang merupakan suatu rangkaian tulang rawan yang berbentuk
corong dan terletak setinggi vertebra cervicalis IV-VI, dimana pada anak-
anak dan wanita letaknya relative lebinh tinggi. Laring pada umumnya
selalu terbuka, hanya kadang-kadang saja tertutup bila sedang menelan
makanan, sehingga berfungsi untuk melindungi jalan nafas ( Sherwood,
2014). Laring memiliki bagian penting yaitu; tulang rawan krikotiroid,
selaput/ pita suara, epilotis dan glottis.

2) Thrakea
Trachea berbentuk seperti pipa silindris dengan panjang + 11 cm yang
berbentuk seperti ¾ cincin tulang rawan seperti huruf C. Pada bagian
belakang ke dua ujung huruf C dihubungkan oleh membrane “fibroelastic”
yang menempel pada dinding depan esophagus, sehingga dinding depan
trachea berbentuk oval, sedangkan bagian belakang berbentuk datar.

3) Bronkus
Bagian ini merupakan percabangan trachea, tempat ini dikenal sebagai
carina. Pada dasarnya bronkus kanan lebih pendek, lebih besar, dan lebih
dekat dengan trachea dari pada bronkus kiri. Adapun bagian-bagian
bronkus kanan dan kiri antara lain;
- Bronkus kanan memiliki 3 cabang, yaitu ; lobus superior, lobus medius,
dan lobus inferior.
- Bronkus kiri memiliki 2 cabang, yaitu; lobus superior dan inferior.

c. Alveoli
Pada bagian ini terjadi pertukaran gas antara O2 dan CO2 yang disebut proses
difusi. Alveoli memiliki bagian yang terdiri dari;
1) Small alveolar cell dengan ekstensi ektoplasmik kea rah rongga alveoli
2) Large alveolar cell mengandung inclusion bodies yang menghasilkan
surfactant
3) Anastoming capillary, terdiri dari system vena dan system arterial yang
saling berhubungan langsung, terdiri dari sel endotel dan aliran darah
dalam rongga endotel.
4) Interstitial space merupakan ruang yang dibentuk oleh endotel kapiler,
epitel alveoli, saluran limfe dan jaringan kolagen dengan sedikit serum.
Pada alveoli terjadi proses pertukaran gas yang berlangsung seperti berikut;

Epitel alveoli Membran dasar Endotel kapiler

Eritrosit Plama

Membran dasar Sitoplama Eritrosit Hemoglobin

Gambar 1. Proses Difusi


5) Surfactan
Surfactan pada alveoli bertugas untuk mengatur hubungan antara cairan
dan gas, selain itu surfactant bertugas untuk menurunkan tekanan
permukaan pada waktu eksprirasi, sehingga alveoli tidak mengalami
kolaps.
d. Sirkulasi paru
Sirkulasi paru terjadi saat darah mulai dipompakan jantung masuk kedalam
arteri pulmonalis kanan dan kiri dan masuk ke dalam paru-paru melalui ateriol
menuju ke kaplier dan disana terjadi proses difusi dalam alveoli, setelah proses
difusi selesai maka darah yang kaya akan O2, dari kapiler akan dihantarkan
melalui venul dan masuk ke dalam vena pulmonalis kanan dan kiri dan
kembali kedalam atrium kiri dan di lakukan siskulasi sistemik.

e. Paru-paru
Bagian paru-paru terdiri atas ; bagian salurasi pan nafas atas dan bawah,
alveoli dan sirkulasi paru. Paru-paru sebenarnya merupakan suatu susunan
bronkus, bronchioles terminalis, alveoli, sirkulasi paru, syaraf, system limfatik
dan lain-lain.

f. Rongga pleura
Rongga pleura terbentuk dari dua selaput serosa, yang meliputi dinding dalam
rongga dada yang disebut dnegan pleura parietalis, dan yang meliputi paru-
paru yang disebut dengan pleura viseralis.

g. Rongga dan dinding dada


Merupakan pompa muskuloskeletal, yang mengatur pertukaran gas dalam
proses respirasi. Rongga dan dinding dada terbentuk oleh;
1) Otot-otot interkostalis
2) Otot-otot pektoralis mayor dan minor
3) Otot-otot trapezius
4) Otot-otot seratus anterior/posterior
5) Kosta-kosta dan kolumna vertebralis
6) Kedua hemi diafragma
Rongga-rongga ini secara aktif mengatur terjadinya proses mekanisme
respirasi.

ANATOMI PARU-PARU

Gambar 2. Anatomi Paru


2. Fungsi Respirasi dan Non Respirasi Paru
Menurut Halim, (2010) peran paru dalam melakukan proses respirasi maupun non
respirasi adalah;
a. Respirasi dilakukan sebagai suatu proses untuk terjadinya pertukaran gas
antara O2 dan CO2.
b. Menjaga keseimbangan asam basa dan keseimbangan CO2 dalam tubuh
c. Keseimbangan cairan, yang dapat dilihat dari frekuensi nafas
d. Keseimbangan suhu tubuh
e. Membantu terjadinya venus return darah ke atrium kanan selama terjadinya
fase inspirasi
f. Menjaga keseimbangan vaso aktif histamine, serotin, angiotensin dan
ekstraseluler fluid pada system endokrin.
g. Perlindungan terhadap infeksi, proses infeksi yang terjadi akibat dari proses
respirasi akan dibunuh oleh makrofag yang ada dalam alveoli.

3. Mekanisme Pernafasan
Sherwhood, (2014) menggambarkan terjadinya proses mekanisme pernafasan
yang terjadi didalam tubuh yang tergantung pada;
1. Tekanan intra pleura
Tekanan intra pleura dipengaruhi oleh dinding dada. Dinding dada yang
merupakan kompartemen tertutup yang melingkupi paru-paru. Dalam keadaan
normal paru seakan melekat pada dinding dada. Hal ini disebabkan adanya
selisih tekanan atmosfir 760 mmHg dan tekanan intra pleura 755mmHg.
Selisih tekanan sebesar 5 mmHg inilah yang mengakibatkan paru seakan
melekat pad dinding dada. Saat terjadinya inspirasi diafragma berkontraksi,
volum rongga dada meningkat, sehingga mengakibatkan tekanan intra pleura
dan intra alveolar turun dibawah tekanan atmosfir, sehingga mengakibatkan
udara dari luar mengalir masuk kedalam paru-paru. Sedangkan dalam saat
terjadi proses ekspirasi maka volum rongga dada mengecil sehingga
mengakibatkan tekanan pleura dan intra alveolar meningkat diatas tekanan
atmosfir, sehingga mengakibatkan udara dalam paru-paru mengalir keluar.
2. Compliance
Compliance merupakan hubungan antara perubahan tekanan dengan
perubahan volum dan aliran. Compliance memilik 2 bentuk yaitu;
1) Static compliance, yaitu perubahan tekanan volum saluran nafas yang
disebut airway pressure, sewaktu paru tidak bergerak. Pada orang dewasa
muda normal besarnya 100ml/cm H2O.
2) Effective compliance, memiliki detail berupa tidal volume maupun peak
pressure selama fase pernafasan terjadi. Dalam kondisi Normal umumnya
memiliki kisaran ±50 ml/cm H2O.
Menurunnya complaince pada proses pernafasan dapat dipengaruhi oleh ;
 Pulmonal stiffess contohnya aktelektasis, pneumonia, eodema paru,
fibrosis paru
 Space occupying process contohnya efusi pleura dan pneumothorak
 Chestwall Undistenbsibility contohnya kifoskolis, obesitas, dan distensi
abdomen.
3. Airway Resistance
Tehanan saluran nafas yang mengakibatkan rasio dari perubahan tekanan
jalan nafas.

2.2 Pemeriksaan Fisik Sistem Pernafasan


Pemeriksaan fisik pernafasan merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan baik perawat maupun dokter, untuk dapat menilai kondisi yang terjadi pada
pasien yang dilihat dari system pernafasan (Tambunan, 2011). Menurut Halim, (2010)
pemeriksaan fisik pernafasan yang dilakukan merupakan sebuah pengkajian yang
meliputi pemeriksaan thoraks dan paru-paru itu sendiri yang diukur melalui inspeksi,
palpasi, perkursi dan auskultasi. Pada pemeriksaan fisik antara lain menilai;
1. Inspeksi
Dada dikaji tentang postur bentuk, kesimetrisan serta warna kulit, perbandingan
bentuk dada anterior, posterior, dan transversal pada bayi 1 : 1, dewasa 1 : 2
bentuk abnormal pada kondisi tertentu:
a. Pigeon chest: bentuk dada seperti burung diameter transversal sempit, anterior
posterior, membesar atau lebar, tulang sternum menonjol kedepan.
b. Funnel chest : bentuk dada diameter sternum menyempit, anterior posterior
menyempit, transversal melebar. c. Barrel chest : bentuk dada seperti tong,
diameter anterior posterior transversal memiliki perbandingan 1:1, juga amati
kelainan tulang belakang seperti kifosis, lordosis, dan scoliosis. Pada
pengkajian dada dengan inspeksi juga perhatikan: Frekuensi, irama,
kedalaman, dan upaya bernapas, Sifat bernapas : pernapasan perut atau dada
c. Adakah retraksi dada, jenis : retraksi ringan, sedang, dan berat d. Ekspansi
paru simetris ataukah tidak
d. Irama pernapasan : pernapasan cepat atau pernapasan dalam (pernapasan
kussmoul)
e. Pernapasan biot : pernapasan yang ritme maupun amplitudenya tidak teratur
diselingi periode apnea
f. Cheyne stokes : pernapasan dengan amplitude mula-mula kecil makin lama
makin besar kemudian mengecil lagi diselingi peripde apnea.
g. Voussure cardiaque :penonjolan bagian depan hemitoraks kiri. Keadaan ini
hampir selalu terdapat pada kelainan jantung bawaan atau karena demam
rematik, terutama berkaitan dengan aktifitas jantung yang berlebihan pada
masa pertumbuhan.

Inspeksi juga berguna untuk mencari iktus kordis (punctum maximum). Pada
sebagian orang normal (20-25%) dapat dilihat pulsus gerakan apeks menyentuh
dinding dada saat sistolik pada sela iga 5 di sebelah medial linea midklavikularis
sinistra.
Gambar 3. Inspeksi Thoraks

2. Palpasi
Pemeriksaan palpasi sistem respirasi dapat dilakukan pemeriksaan ; palpasi trakea,
palpasi KGB leher dan supra clavikula, palpasi keseluruhan dinding dada,
pemeriksaan pengembangan dinding thoraks dan pemeriksaan Tactil fremitus
dinding toraks: Selain itu dengan palpasi dapat juga menentukan kelainan di
perifer seperti kondisi kulit; (basah atau kering), adanya demam, arah aliran vena
dikulit pada vena yang terbendung (venaectasi), tumor dll.
Gambar 4. (A) Pemeriksaan trakea, (B) Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening
Clavikula

Pemeriksaan palpasi juga dapat menilai pengembangan dinding toraks.


Pemeriksaa pengembananagan dinding toraks dengan cara pemeriksa
menempelkan tangan pada dinding toraks bagian bawah dengan kedua ibu jari
bertemu pada garis tengah tubuh ( mid sternalis / vertebralis) dan jari yang lain
mengarah sisi kiri dan kanan dinding toraks, pasien disuruh inspirasi dalam sambil
memperhatikan pergerakan dari kedua ibu jari pemeriksa apakah pergerakan
simetris atau ada yang tertinggal).

Gambar 5. Penilaian pengembangan dinding thoraks depan dan belakang

Pemeriksaa fremitus
 Pemeriksa menempelkan telapak tangan dan jari jari tangan pada dinding
dada. kemudian pasien disuruh mengucapkan kata kata seperti 77, dengan
nada yang sedang. Bandingkan getaran yang timbul antara hemithorax kiri
dan kanan secara simetris dengan cara menyilangkan tangan pemeriksa secara
bergantian.
Gambar 6. Pemeriksaan palpasi toraks dan lokasi penempatan tangan pada
pemeriksaan fremitus.
3. Perkusi
Perkusi adalah jenis pemeriksaan fisik yang berdasarkan interpretasi dari suara
yang dihasilkan oleh ketokan pada dinding toraks. Metoda ini tetap penting
walaupun pemeriksaan radiologi toraks sudah makin berkembang, oleh karena
dengan pemeriksaan fisik yang baik bisa memprediksi kelainan yang ada dalam
rongga toraks sebelum pemeriksaan radiologi dilakukan. Dengan pemeriksaan
perkusi / ketot pada dinding toraks akan menggetarkan udara yang ada dalam
dalam paru. Bunyi yang dihasilkan tergantung dari banyak sedikitnya udara yang
ada dalam rongga dada. Penilaiananya dapat dikelompokan sebagai berikut;
 Sonor
 Hipersonor
 Redup
 Pekak
Pada pemeriksaan perkusi penderita bisa dalam posisi tidur dan bisa dalam posisi
duduk. Pemeriksa menggunakan jari tengah tangan kiri yang menempel pada
permukaan dinding toraks, tegak lurus dengan iga atau sejajar dengan iga disebut
sebagai flexi meter. Sementera jari tengah tangan kanan digunakan sebagai
pemukul (pengetok) disebut flexor. Perkusi pada diding toraks depan dapat
dilakukan pada posisi tidur telentang, jika pasien duduk kedua tangan pada paha
dengan flexi pada sendi siku. Perkusi dimulai dari lapangan atas paru menuju ke
lapangan bawah sambil membandingkan bunyi perkusi antara hemi toraks kanan
dan hemi toraks kiri. Pemeriksaan perkusi dinding toraks belakang dilakukan pada
posisi pasien duduk membelakangi pemeriksa, jika pasien tidur oleh karena, tidak
dapat duduk maka untuk perkusi daerah punggung, posisi pasien dimiringkan
kekiri dan kekanan bergantian.
Gambar 7. Teknik Perkusi

4. Auskultasi
Auskultasi paru dilaksanakan secara indirect yaitu dengan memakai stetoskop.
Sebelum ditemukan stetoskop auskultasi dilakukan secara direct dengan
menempelkan telinga pemeriksa pada permukaan tubuh orang sakit. Ada dua tipe
dari stetoskop yaitu Bell type untuk mendengar nada-nada yang lebih rendah dan
Bowel atau membran type untuk nada-nada yang lebih tinggi. Umumnya setiap
stetoskop dilengkapi dengan kedua tipe ini. Posisi penderita sebaiknya duduk
seperti melakukan perkusi. Kalau pasien tidak bisa duduk, auskultasi dapat
dilaksanakan dalam posisi tidur. Pasien sebaiknya disuruh bernapas dengan mulut
tidak melalui hidung. Pemeriksa memberikan contoh bernapas terlebih dulu
sebelum memeriksa pasien. Yang diperiksa pada auskultasi paru adalah :
a. Suara napas utama (breath sounds)
Pada orang sehat dapat didengar dengan auskultasi suara napas :
1) Vesikuler
2) Trakeal
3) Bronkial
4) Bronkovesikuler

Untuk mendengar suara napas perhatikan intensitas, durasi dan pitch (nada)
dari inspirasi dibandingkan dengan ekspirasi.
Gambar 9. Auskultasi dan lokasi pemeriksan auskultasi pada dinding toraks depan
dan belakang

Tabel 1. Pemeriksaan Suara Nafas

Suara nafas pada normalnya merupakan vesikuler, tetapi selain 4 suara nafas
yang ada terdapat suara nafas lainnya dikarenakan penyakit paru lainnya,
antara lain;

 Asmatis
Suara napas asmatik yaitu pernapasan dengan ekspirasi yang memanjang
kadang disertai bunyi yang menciut (mengi) atau wheezing didapat pada
penderita asma bronkial atau penderita PPOK.
 Amphoric Sound
Suara napas Amporik dapat berasal dari kavitas atau pneumotoraks
dengan fistel yang terbuka. Bunyinya seperti mendengar botol kosong
yang ditiup.
b. Suara napas tambahan
1) Rhonci
Adalah suara tambahan yang dihasilkan oleh aliran udara melalui saluran
napas yang berisi sekret / eksudat atau akibat saluran napas yang
menyempit atau oleh oedema saluran napas. Ada dua jenis ronchi yaitu ;
a) Rhonci Basah
Ronchi basah adalah suara tambahan disamping suara napas, yaitu
bunyi gelembunggelembung udara yang melewati cairan (gurgling
atau bubling) terutama pada fase inspirasi. Ronchi basah disebabakan
oleh adanya eksudat atau cairan dalam bronkiolus atau alveoli dan
bisa juga pada bronkus dan trakea.
 Ada ronki basah nyaring contohnya pada infiltrat paru dan ronchi
basah tak nyaring misalnya pada bendungan paru.
 Ada ronki basah kasar, ini biasanya berasal dari cairan yang
berada dibronkus besar atau trakea.
 Ada ronki basah sedang dan ada pula ronki basah halus yang
terutama terdengar pada akhir inspirasi, terdengar seperti bunyi
gesekan rambut antara jari telunjuk dengan empu jari.
b) Rhonci Kering
Ronki kering disebabkan lewatnya udara melalui penyempitan
saluran napas, inflamasi atau spasme saluran napas seperti pada
bronchitis atau asma bronchial. Ronchi kering lebih dominant pada
fase expirasi terdengar squeking dan grouning, pada saluran yang
lebih besar adalah deep tone grouning (sonorous) dan pada saluran
yang lebih kecil terdengar squeking dan whistling (sibilant). Ronchi
kering dengan berbagai kwalitas frekwensi pitchnya disebut musical
rales (seperti pada penderita asma bronchial).

2) Pleura Friction
Terjadinya bunyi pergeseran antara pleura parietal dengan pleura viseral
waktu inspirasi disebut Pleura friction. Dapat terjadi pada pleuritis
fribrinosa. Lokasi yang sering terjadi pleura friction adalah pada bagian
bawah dari axilla, namun dapat juga terjadi di bagian lain pada lapangan
paru. Terdengar seperti menggosok ibu jari dengan jari telunjuk dengan
tekanan yang cukup keras pada pangkal telinga kita, terdengar pada fase
inspirasi dan ekspirasi.
3) The Whispered Voice (Suara Berbisik)
Dalam keadaan tidak memungkinkan untuk melakukan pemeriksaan suara
napas secara memuaskan, misalnya nyeri dada bila bernapas atau keadaan
keletihan, maka dapat dilakukan pemeriksaan suara berbisik (the
whispered voice). Dimana pasien disuruh mengucapkan kata 77 (tujuh
puluh tujuh) secara berbisik sementara pemeriksa mendengarkan dengan
stetoskop pada seluruh lapangan paru. Pada kelainan infiltrat maka suara
berbisik tersebut akan terdengar jelas pada pangkal telinga kita dan disebut
bronchial whispered positif, dapat mendeteksi infiltrat yang kecil /
minimal.
4) Bronchophoni
Vocal sound (suara biasa) bila didengarkan pada dinding thorax (lapangan
paru) akan terdengar kurang keras dan kurang jelas dan terdengar jauh.
Bila terdengar lebih keras, lebih jelas dan pada pangkal telinga
pemeriksaan disebut bronchoponi positif terdapat pada pemadatan
parenkim paru, misal pada infiltrat dan aktelektasis kompresif
5) Eugohoni
Eugophoni yaitu bronchophoni yang terdengar nasal, biasanya disebabkan
oleh kompresif atelektasis akibat dorongan efusi pleura pada parenkim
paru terdengar pada perbatasan cairan dengan parenkim paru
BAB II
KONSEP SESAK NAPAS PADA SISTEM PERNAPASAN

A. Landasan Teori Sesak Nafas


1. Pengertian Sesak Nafas

Dispnea adalah istilah yang umumnya diterapkan pada sensasi yang dialami

oleh individu yang mengeluhkan sensasi pernapasan yang tidak menyenangkan

atau tidak nyaman. Banyak definisi dispnea telah ditawarkan, termasuk: "sulit,

susah payah, tidak nyaman bernafas" , "kesadaran gangguan pernapasan",

"sensasi merasa sesak atau mengalami airhunger", dan " sensasi tidak nyaman

saat bernapas .

Definisi ini terkadang mencampurkan gejala yang sebenarnya (apa yang pasien

katakan mereka rasakan) dengan tanda fisik (apa yang diamati dokter tentang

pasien, misalnya, "menunjukkan pernapasan yang rumit"). Pada analisis

terakhir, suatu gejala hanya dapat dideskripsikan oleh orang yang

mengalaminya. Dalam konteks ini, penyelidikan terbaru tentang persepsi sesak

napas menunjukkan bahwa ada beberapa jenis dispnea.

Sesak merupakan gejala kompleks yang muncul secara fisiologis gangguan dan

memberi peringatan pada kemungkinan homeostasis yang terancam.

Ketidaknyamanan terutama terjadi sebagai akibat dari keduanya gangguan

kardiovaskular atau sistem pernapasan, tetapi mungkin juga bisa dikaitkan

dengan gangguan metabolisme, gangguan neuromuskuler atau kondisi

psikogenik.

Kondisi tersebut dianggap meningkat usaha / usaha pernafasan, sesak, atau

kelaparan udara, yang disebabkan dengan ventilasi paru yang tidak sesuai

dengan dorongan untuk bernapas.


Disosiasi antara ventilasi paru dan pernapasan drive muncul dari

ketidaksesuaian antara reseptor aferen di saluran udara, paru-paru dan struktur

dinding dada, dan pusat pernapasan aktivitas motorik. Jalur fisiologis

menyebabkan sesak napas melalui saluran ion penginderaan asam tertentu,

mekanoreseptor, dan reseptor paru-paru terletak di berbagai zona pernapasan

aparat. Kemoreseptor di badan karotis dan medula memberikan informasi

berkenaan dengan tingkat gas darah O2, CO2 dan H +. Di paru-paru, reseptor

juxtacapillary sensitif untuk edema interstitial paru, sementara sinyal reseptor

regangan bronkokonstriksi. Otot spindle di dinding dada menandakan

peregangan dan ketegangan otot pernapasan. Sinyal eferen adalah sinyal saraf

motorik turun ke otot pernapasan, yang paling penting adalah diafragma

(O’Donnell DE, Banzett RB, 2007).

Tiga komponen utama berkontribusi pada dispnea: sinyal aferen, sinyal eferen,

dan pusat pemrosesan informasi. Pusat pemrosesan di otak membandingkan

sinyal aferen dan eferen dan dyspnoea terjadi ketika ketidakcocokan terjadi di

antara keduanya, seperti saat dibutuhkan ventilasi (pensinyalan aferen) tidak

dipenuhi oleh pernapasan fisik (pensinyalan eferen). Itu reseptor aferen

memungkinkan otak untuk menilai apakah eferen atau Perintah motorik ke otot

ventilasi efektif, memenuhi kebutuhan tekanan jalan napas, aliran udara, dan /

atau paru-paru gerakan. Ketika ini menanggapi perintah secara tidak tepat,

intensitas sesak meningkat.

Korteks sensorik adalah secara bersamaan diaktifkan ketika sinyal motor dikirim

ke dada dinding, menghasilkan sensasi sadar akan usaha otot dan sesak napas

(Nishino T, 2011).
2. Penyebab Sesak Nafas

Sesak terutama berasal dari pernafasan atau jantung, dengan hampir 90% dari

semua kasus disebabkan asma, gagal jantung, miokard iskemia, penyakit paru

obstruktif kronik (PPOK), pneumonia, dan gangguan psikogenik. Di Afrika

Selatan (SA) konteksnya, di mana ada beban infeksi HIV yang tinggi, yang

lebih luas diferensial perlu dimasukkan yang mencakup penyakit menular

seperti TBC, Pneumocystis pneumonia, aspergillosis dan eksaserbasi infektif

akut bronkiektasis.

Selanjutnya, jatuh tempo terhadap tingginya prevalensi kekerasan interpersonal

di SA, signifikan proporsi pasien yang datang ke pusat gawat darurat mengalami

sesak terkait dengan trauma, dengan penyebabnya bergantung pada mekanisme

cedera dan sistem organ yang terlibat.

Dispnea atau sesak napas bisa terjadi dari berbagai mekanisme seperti jika ruang

fisiologi meningkat maka akan dapat menyebab kan gangguan pada pertukaran

gas antara O2 dan CO2 sehingga menyebabkan kebutuhan ventilasi makin

meningkat sehingga terjadi sesak napas. Pada orang normal ruang mati ini hanya

berjumlah sedikit dan tidak terlalu penting,

Namun pada orang dalam keadaan patologis pada saluran pernapasan maka

ruang mati akan meningkat. Begitu juga jika terjadi peningkatan tahanan jalan

napas sehingga pertukaran gas juga akan terganggu dan dapat menyebabkan

dispnea. Dispnea juga dapat terjadi pada orang yang mengalami penurunan

terhadap compliance paru, semakin rendah kemampuan terhadap

compliance paru maka makin besar gradient tekanan transmural yang harus

dibentuk selama inspirasi untuk menghasilkan pengembangan paru yang normal.

Penyebab menurunnya compliance paru bisa bermacam salah satu nya adalah
digantinya jaringan paru dengan jaringan ikat fibrosa akibat inhalasi asbston

atau iritan yang sama.

Dalam penilaian / triase awal, penting untuk menetapkan derajat urgensi

dengan menentukan durasi dispnea, tingkat keparahan gejala dan apakah

kondisinya akut atau kronis. Sangat penting untuk mendeteksi tanda-tanda

peringatan yang diperlukan perhatian segera, karena pasien mungkin

mengalami gangguan jiwa penyebab sesak merupakan tanda khas ini termasuk

hipotensi, tinggi laju pernapasan, perubahan status mental, hipoksia, sianosis,

stridor, usaha bernafas tanpa gerakan udara, retraksi dinding dada, deviasi

trakea dan bunyi napas unilateral (mendasari pneumotoraks), dan aritmia yang

tidak stabil.

Penilaian darurat dari pasien tersebut termasuk suplementasi oksigen dan

pertimbangan intubasi endotrakeal. Berkenaan dengan evaluasi klinis, ada dua

yang utama dalam kategori pasien yaitu mereka yang baru mulai bernapas

ketidaknyamanan yang belum diketahui oleh penyebab dasar dispnea belum

ditentukan dan mereka yang mengidap penyakit kardiovaskular, pernafasan,

atau penyakit neuromuskuler yang dialaminya gejala yang memburuk.

Evaluasi difokuskan tentang menemukan kelainan atau diagnosis yang

mendasari; untuk pemeriksaan berikutnya melihat apakah ada kerusakan dari

gangguan yang diketahui atau munculnya masalah baru. Di sebuah pasien

dengan onset baru dispnea, riwayat dan fisik pemeriksaan tetap menjadi

andalan evaluasi diagnostik.


3. Patofisiologi Sesak Nafas
Sistem kendali pernafasan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.

Aktivitas motorik pernapasan berasal dari kelompok neuron di medula. Eferen pelepasan

pernafasan mengaktifkan otot ventilasi yang memperluas dinding dada, mengembangkan

paru-paru, dan menghasilkan ventilasi.

Pernapasan yang dihasilkan mengatur ketegangan oksigen dan karbon dioksida dan

konsentrasi ion hidrogen dalam darah dan jaringan tubuh. Kemoreseptor dalam darah dan

otak juga mekanoreseptor di saluran udara, paru-paru, dan dinding dada terlibat dalam

pengaturan otomatis tingkat dan pola pernafasan. Perubahan Pcoz dan Par dirasakan oleh

pusat kemoreseptor di medula dan kemoreseptor perifer di badan karotis dan aorta .

Kemoreseptor di badan karotis dan medula memberikan informasi berkenaan dengan tingkat

gas darah O2, CO2 dan H +. Di paru-paru, reseptor juxtacapillary sensitif untuk edema

interstitial paru, sementara sinyal reseptor regangan bronkokonstriksi. Otot spindle di dinding

dada menandakan peregangan dan ketegangan otot pernapasan. Sinyal eferen adalah sinyal

saraf motorik turun ke otot pernapasan, yang paling penting adalah diafragma.

Tiga komponen utama berkontribusi pada dispnea: sinyal aferen, sinyal eferen, dan pusat

pemrosesan informasi. Pusat pemrosesan di otak membandingkan sinyal aferen dan eferen

dan dyspnoea terjadi ketika ketidakcocokan terjadi di antara keduanya, seperti saat

dibutuhkan ventilasi (pensinyalan aferen) tidak dipenuhi oleh pernapasan fisik (pensinyalan

eferen). Itu reseptor aferen memungkinkan otak untuk menilai apakah eferen atau Perintah

motorik ke otot ventilasi efektif, memenuhi kebutuhan tekanan jalan napas, aliran udara, dan /

atau paru-paru gerakan. Ketika ini menanggapi perintah secara tidak tepat,intensitas sesak

meningkat. Korteks sensorik adalah secara bersamaan diaktifkan ketika sinyal motor dikirim

ke dada dinding, menghasilkan sensasi sadar akan usaha otot dan sesak napas. Ada juga
komponen psikologis yang kuat sesak, karena beberapa orang mungkin menyadari

pernapasan mereka dalam keadaan seperti itu tetapi tidak mengalami kesusahan yang khas

kondisi.

Impuls aferen dari reseptor vagal di saluran napas dan paru-paru juga memberikan pengaruh

penting pada tingkat dan pola bernapas. Reseptor regangan paru dirangsang sebagai paru-

paru mengembang; reseptor iritan di sekitar sel epitel dinding bronkial diaktifkan oleh

stimulasi taktil di mukosa bronkial, laju aliran udara yang tinggi, dan peningkatan tonus otot

polos bronkial; dan serabut C, ditemukan di interstisium paru di dekat alveoli dan kapiler

paru, merespons peningkatan interstisial paru dan tekanan kapiler .

Otot pernafasan juga dipersarafi oleh berbagai macam reseptor sensorik. Spindel otot

berlimpah di otot interkostal, dan aktivitas aferen darinya terlibat di dalamnya refleks tulang

belakang dan supraspinal.

Diafragma berisi organ tendon yang menandakan ketegangan otot dan mengerahkan tenaga

pengaruh penghambatan pada aktivitas pernapasan pusat. Umpan balik informasi aferen dari

paru-paru dan dinding dada mechanoreceptors menyediakan motor pernapasan dan pra-

motorik neuron dengan informasi penting mengenai status mekanis pompa ventilasi serta

perubahan panjangnya dan kekuatan kontraksi otot pernafasan. Sinyal ini memungkinkan

penyesuaian dilakukan pada level dan pola aktivitas motorik pernapasan batang otak untuk

mengimbangi perubahan fungsi otot pernapasan atau sistem ventilasi impedansi.

Kemoreseptor serta aferen mekanoreseptor paru dan dinding dada juga dapat menjulur ke

pusat otak yang lebih tinggi memberikan penilaian langsung tentang lingkungan kimiawi

tubuh dan status mekanis dari peralatan ventilasi. Selain itu, dan yang paling penting, sinyal

wajar atau eferen salinan keluaran motorik pusat pernapasan batang otak tampak
ditransmisikan ke pusat otak yang lebih tinggi dan menghasilkan kesadaran akan perintah

motorik yang keluar.

B. Asuhan Keperawatan

N Diagnosa Tujuan Dan Kriteria SIKI


o Hasil
SDKI
SLKI

1 Pola Nafas Tidak Setelah Dilakukan PEMANTAUAN RESPIRASI


Efektif Asuhan Keperawatan
Selama 3 x 24 Jam, Observasi
Diharapkan Pola Nafas
 Monitor Frekuensi, Irama,
Kembali Efektif Dengan
Kedalaman, Dan Upaya
Kriteria Hasil :
Napas
- Tidak  Monitor Pola Napas (Seperti
Menggunakan Otot Bradipnea, Takipnea,
Bantu Pernapasan Hiperventilasi, Kussmaul, C
- Kecepatan Dan heyne-Stokes, Biot, Ataksik
Irama Nafas Dalam  Monitor Kemampuan Batuk
Batas Normal Efektif
- Fungsi Paru Dalam  Monitor Adanya Produksi
Batas Normal Sputum
 Monitor Adanya Sumbatan
Jalan Napas
 Palpasi Kesimetrisan
Ekspansi Paru
 Auskultasi Bunyi Napas
 Monitor Saturasi Oksigen
 Monitor Nilai AGD
 Monitor Hasil X-
Ray Toraks

Terapeutik

 Atur Interval Waktu


Pemantauan Respirasi
Sesuai Kondisi Pasien
 Dokumentasikan Hasil
Pemantauan

Edukasi
 Jelaskan Tujuan Dan
Prosedur Pemantauan
 Informasikan Hasil
Pemantauan, Jika Perlu

MENEJEMEN JALAN NAPAS

Observasi

 Monitor Pola Napas


(Frekuensi, Kedalaman,
Usaha Napas)
 Monitor Bunyi Napas
Tambahan (Mis. Gurgling,
Mengi, Weezing, Ronkhi
Kering)
 Monitor Sputum (Jumlah,
Warna, Aroma)

Terapeutik

 Pertahankan Kepatenan
Jalan Napas Dengan Head-
Tilt Dan Chin-Lift (Jaw-
Thrust Jika Curiga Trauma
Cervical)
 Posisikan Semi-Fowler
Atau Fowler
 Berikan Minum Hangat
 Lakukan Fisioterapi Dada,
Jika Perlu
 Lakukan Penghisapan
Lendir Kurang Dari 15
Detik
 Lakukan Hiperoksigenasi
Sebelum
 Penghisapan Endotrakeal
 Keluarkan Sumbatan Benda
Padat Dengan Forsepmcgill
 Berikan Oksigen, Jika Perlu

Edukasi

 Anjurkan Asupan Cairan


2000 Ml/Hari, Jika Tidak
Kontraindikasi.
 Ajarkan Teknik Batuk
Efektif

Kolaborasi

 Kolaborasi Pemberian
Bronkodilator, Ekspektoran,
Mukolitik, Jika Perlu.

2 Bersihan Jalan Setelah Dilakukan Latihan Batuk Efektif


Napas Tidak Efektif. Asuhan Keperawatan
Selama 3 x 24 Jam, Observasi
Diharapkan Bersihan
Jalan Nafas Kembali  Identifikasi Kemampuan
Efektif Dengan Kriteria Batuk
 Monitor Adanya Retensi
Hasil :
Sputum
- Tidak Mengalami  Monitor Tanda Dan
Aspirasi Gejala Infeksi Saluran
- Mengeluarkan Napas
Secret Secara  Monitor Input Dan
Efektif Output Cairan ( Mis.
- Mempunyai Jalan Jumlah Dan
Napas Yang Paten Karakteristik)
- Irama Dan
Frekuensi Terapeutik
Pernapasan Dalam
Batas Normal  Atur Posisi Semi-Fowler
- Suara Napas Jernih Atau Fowler
 Pasang Perlak Dan
Bengkok Di Pangkuan
Pasien
 Buang Sekret Pada
Tempat Sputum

Edukasi

 Jelaskan Tujuan Dan


Prosedur Batuk Efektif
 Anjurkan Tarik Napas
Dalam Melalui Hidung
Selama 4 Detik, Ditahan
Selama 2 Detik,
Kemudian Keluarkan
Dari Mulut Dengan Bibir
Mencucu (Dibulatkan)
Selama 8 Detik
 Anjurkan Mengulangi
Tarik Napas Dalam
Hingga 3 Kali
 Anjurkan Batuk Dengan
Kuat Langsung Setelah
Tarik Napas Dalam
Yang Ke-3

Kolaborasi

 Kolaborasi Pemberian
Mukolitik Atau
Ekspektoran, Jika Perlu

MANAJEMEN JALAN NAFAS

Observasi

 Monitor Pola Napas


(Frekuensi, Kedalaman,
Usaha Napas)
 Monitor Bunyi Napas
Tambahan (Mis.
Gurgling, Mengi,
Weezing, Ronkhi
Kering)
 Monitor Sputum
(Jumlah, Warna, Aroma)

Terapeutik

 Pertahankan Kepatenan
Jalan Napas Dengan
Head-Tilt Dan Chin-Lift
(Jaw-Thrust Jika Curiga
Trauma Cervical)
 Posisikan Semi-Fowler
Atau Fowler
 Berikan Minum Hangat
 Lakukan Fisioterapi
Dada, Jika Perlu
 Lakukan Penghisapan
Lendir Kurang Dari 15
Detik
 Lakukan
Hiperoksigenasi
Sebelum
 Penghisapan Endotrakeal
 Keluarkan Sumbatan
Benda Padat Dengan
Forsepmcgill
 Berikan Oksigen, Jika
Perlu

Edukasi

 Anjurkan Asupan Cairan


2000 Ml/Hari, Jika Tidak
Kontraindikasi.
 Ajarkan Teknik Batuk
Efektif

Kolaborasi

 Kolaborasi Pemberian
Bronkodilator,
Ekspektoran,
Mukolitik, Jika Perlu.

PEMANTAUAN RESPIRASI

Observasi

 Monitor Frekuensi,
Irama, Kedalaman, Dan
Upaya Napas
 Monitor Pola Napas
(Seperti Bradipnea,
Takipnea, Hiperventilasi,
Kussmaul, Cheyne-
Stokes, Biot, Ataksik)
 Monitor Kemampuan
Batuk Efektif
 Monitor Adanya
Produksi Sputum
 Monitor Adanya
Sumbatan Jalan Napas
 Palpasi Kesimetrisan
Ekspansi Paru
 Auskultasi Bunyi Napas
 Monitor Saturasi
Oksigen
 Monitor Nilai AGD
 Monitor Hasil X-
Ray Toraks

Terapeutik

 Atur Interval Waktu


Pemantauan Respirasi
Sesuai Kondisi Pasien
 Dokumentasikan Hasil
Pemantauan

Edukasi

 Jelaskan Tujuan Dan


Prosedur Pemantauan
 Informasikan Hasil
Pemantauan, Jika Perlu

3 GANGGUAN Setelah Dilakukan PEMANTAUAN RESPIRASI


PERTUKARAN GAS Asuhan Keperawatan
Selama 3 x 24 Jam, Observasi
Diharapkan Gangguan
Pertukaran Gas Akan  Monitor Frekuensi,
Berkurang Dengan Irama, Kedalaman, Dan
Kriteria Hasil : Upaya Napas
 Monitor Pola Napas
- Melaporkan (Seperti Bradipnea,
Penurunan Dispnea Takipnea, Hiperventilasi,
- Fungsi Paru Dalam Kussmaul, Cheyne-
Batas Normal Stokes, Biot, Ataksik0
 Monitor Kemampuan
Batuk Efektif
 Monitor Adanya
Produksi Sputum
 Monitor Adanya
Sumbatan Jalan Napas
 Palpasi Kesimetrisan
Ekspansi Paru
 Auskultasi Bunyi Napas
 Monitor Saturasi
Oksigen
 Monitor Nilai AGD
 Monitor Hasil X-
Ray Toraks

Terapeutik

 Atur Interval Waktu


Pemantauan Respirasi
Sesuai Kondisi Pasien
 Dokumentasikan Hasil
Pemantauan

Edukasi

 Jelaskan Tujuan Dan


Prosedur Pemantauan
 Informasikan Hasil
Pemantauan, Jika Perlu

TERAPI OKSIGEN

Observasi

 Monitor Kecepatan
Aliran Oksigen
 Monitor Posisi Alat
Terapi Oksigen
 Monitor Aliran Oksigen
Secara Periodic Dan
Pastikan Fraksi Yang
Diberikan Cukup
 Monitor Efektifitas
Terapi Oksigen (Mis.
Oksimetri, Analisa Gas
Darah ), Jika Perlu
 Monitor Kemampuan
Melepaskan Oksigen
Saat Makan
 Monitor Tanda-Tanda
Hipoventilasi
 Monitor Tanda Dan
Gejala Toksikasi
Oksigen Dan Atelektasis
 Monitor Tingkat
Kecemasan Akibat
Terapi Oksigen
 Monitor Integritas
Mukosa Hidung Akibat
Pemasangan Oksigen

Terapeutik

 Bersihkan Secret Pada


Mulut, Hidung Dan
Trachea, Jika Perlu
 Pertahankan Kepatenan
Jalan Nafas
 Berikan Oksigen
Tambahan, Jika Perlu
 Tetap Berikan Oksigen
Saat Pasien
Ditransportasi
 Gunakan Perangkat
Oksigen Yang Sesuai
Dengat Tingkat
Mobilisasi Pasien

Edukasi

 Ajarkan Pasien Dan


Keluarga Cara
Menggunakan Oksigen
Dirumah

Kolaborasi

 Kolaborasi Penentuan
Dosis Oksigen
 Kolaborasi Penggunaan
Oksigen Saat Aktivitas
Dan/Atau Tidur

4 GANGGUAN Setelah Dilakukan DUKUNGAN VENTILASI


VENTILASI Asuhan Keperawatan
SPONTAN Selama 3 x 24 Jam,
Observasi
Diharapkan Gangguan
Pertukaran Gas Akan
 Identifikasi Adanya
Berkurang Dengan
Kelelahan Otot Bantu Nafas
Kriteria Hasil :  Identifikasi Efek Perubahan

- Dispnea Menurun Posisi Terhadap Ststus


- Gelisah Menurun Pernafasan
- Penggunaan Otot  Monitor Status Respirasi Dan
Bantu Napas Oksigenasi
Menurun
Terapeutik
- PCO2 Membaik
- PO2 Membaik
 Pertahankan Kepatenan Jalan
- Takikardia
Nafas
Membaik
 Berikan Posisi Semi Fowler
Atau Fowler
 Fasilitasi Mengubah Posisi
Senyaman Mungkin
 Berikan Oksigenasi Sesuai
Kebutuhan
 Gunakan Bag- Valve Mask,
Jika Perlu

Edukasi

 Ajarkan Melakukan Tehnik


Relaksasi Nafas Dalam
 Ajarkan Mengubah Posisi
Secara Mandiri
 Ajarkan Tehnik Batuk Efektif

Kolaborasi

 Kolaborasi Pemberian
Bronchodilator, Jika Perlu

PEMANTAUAN RESPIRASI

Observasi

 Monitor Frekuensi, Irama,


Kedalaman, Dan Upaya
Napas
 Monitor Pola Napas (Seperti
Bradipnea, Takipnea,
Hiperventilasi, Kussmaul,
Cheyne-Stokes, Biot,
Ataksik0
 Monitor Kemampuan Batuk
Efektif
 Monitor Adanya Produksi
Sputum
 Monitor Adanya Sumbatan
Jalan Napas
 Palpasi Kesimetrisan
Ekspansi Paru
 Auskultasi Bunyi Napas
 Monitor Saturasi Oksigen
 Monitor Nilai AGD
 Monitor Hasil X-Ray Toraks

Terapeutik

 Atur Interval Waktu


Pemantauan Respirasi Sesuai
Kondisi Pasien
 Dokumentasikan Hasil
Pemantauan

Edukasi

 Jelaskan Tujuan Dan


Prosedur Pemantauan
 Informasikan Hasil
Pemantauan, Jika Perlu

5 RESIKO PERFUSI Setelah Dilakukan MENEJEMEN


SEREBRAL TIDAK Asuhan Keperawatan PENINGKATAN TEKANAN
EFEKTIF Selama 3 x 24 Jam, INTRAKRANIAL
Diharapkan Terbebas
Dari Ketidakefektifan Observasi
Perfusi Jaringan
Serebraldengan Kriteria  Identifikasi Penyebab
Hasil : Peningkatan TIK (Mis.
Lesi, Gangguan
- Pasien Metabolisme, Edema
Mendemonstrasikan Serebral)
Perfusi Jaringan  Monitor Tanda/Gejala
Yang Membaik Peningkatan TIK (Mis.
Tekanan Darah
Seperti Ditunjukkan Meningkat, Tekanan
Dengan : Tekanan Nadi Melebar,
Darah Dalam Batas Bradikardia, Pola Napas
Yang Dapat Ireguler, Kesadaran
Diterima, Tidak Ada Menurun)
Keluhan Sakit  Monitor MAP (Mean
Kepala, Pusing, Arterial Pressure)
Tegang Leheher  Monitor CVP (Central
Venous Pressure), Jika
Perlu
 Monitor PAWP, Jika
Perlu
 Monitor PAP, Jika Perlu
 Monitor ICP (Intra
Cranial Pressure), Jika
Tersedia
 Monitor CPP (Cerebral
Perfusion Pressure)
 Monitor Gelombang ICP
 Monitor Status
Pernapasan
 Monitor Intake Dan
Output Cairan
 Monitor Cairan Serebro-
Spinalis (Mis. Warna,
Konsistensi)

Terapeutik

 Minimalkan Stimulus
Dengan Menyediakan
Lingkungan Yang
Tenang
 Berikan Posisi Semi
Fowler
 Hindari Maneuver
Valsava
 Cegah Terjadinya
Kejang
 Hindari Penggunaan
PEEP
 Hindari Pemberian
Cairan IV Hipotonik
 Atur Ventilator Agar
Paco2 Optimal
 Pertahankan Suhu Tubuh
Normal

Kolaborasi

 Kolaborasi Pemberian
Sedasi Dan
Antikonvulsan, Jika
Perlu
 Kolaborasi Pemberian
Diuretic Osmosis, Jika
Perlu
 Kolaborasi Pemberian
Pelunak Tinja, Jika Perlu

PEMANTAUAN TEKANAN
INTRAKRANIAL

Observasi

 Observasi Penyebab
Peningkatan TIK (Mis.
Lesi Menempati Ruang,
Gangguan Metabolism,
Edema Sereblal,
Peningkatan Tekanan
Vena, Obstruksi Aliran
Cairan Serebrospinal,
Hipertensi Intracranial
Idiopatik)
 Monitor Peningkatan TD
 Monitor Pelebaran
Tekanan Nadi (Selish
TDS Dan TDD)
 Monitor Penurunan
Frekuensi Jantung
 Monitor Ireguleritas
Irama Jantung
 Monitor Penurunan
Tingkat Kesadaran
 Monitor Perlambatan
Atau Ketidaksimetrisan
Respon Pupil
 Monitor Kadar CO2 Dan
Pertahankan Dalm
Rentang Yang
Diindikasikan
 Monitor Tekanan Perfusi
Serebral
 Monitor Jumlah,
Kecepatan, Dan
Karakteristik Drainase
Cairan Serebrospinal
 Monitor Efek Stimulus
Lingkungan Terhadap
TIK

Terapeutik

 Ambil Sampel Drainase


Cairan Serebrospinal
 Kalibrasi Transduser
 Pertahankan Sterilitas
System Pemantauan
 Pertahankan Posisi
Kepala Dan Leher Netral
 Bilas Sitem Pemantauan,
Jika Perlu
 Atur Interval
Pemantauan Sesuai
Kondisi Pasien
 Dokumentasikan Hasil
Pemantauan

Edukasi

 Jelaskan Tujuan Dan


Prosedur Pemantauan
 Informasikan Hasil
Pemantauan, Jika
PERLU

6 DEFISIT NUTRISI Setelah Dilakukan MANAJEMEN NUTRISI


Asuhan Keperawatan
Selama 3 x 24 Jam, Observasi
Diharapkan Tidak Terjadi
Defisit Nurtisi Dengan  Identifikasi Status
Kriteria Hasil : Nutrisi
 Identifikasi Alergi Dan
- Asupan Gizi Tidak Intoleransi Makanan
Menyimpang Dari  Identifikasi Makanan
Rentang Normal Yang Disukai
(Skala 5).  Identifikasi Kebutuhan
- Asupan Makanan Kalori Dan Jenis
Tidak Menyimpang Nutrient
Dari Rentang  Identifikasi Perlunya
Normal (Skala 5). Penggunaan Selang
- Rasio Berat Badan Nasogastrik
Dan Tinggi Badan  Monitor Asupan
Tidak Menyimpang Makanan
Dari Rentang  Monitor Berat Badan
Normal (Skala 5).  Monitor Hasil
Pemeriksaan
Laboratorium

Terapeutik

 Lakukan Oral Hygiene


Sebelum Makan, Jika
Perlu
 Fasilitasi Menentukan
Pedoman Diet (Mis.
Piramida Makanan)
 Sajikan Makanan Secara
Menarik Dan Suhu Yang
Sesuai
 Berikan Makan Tinggi
Serat Untuk Mencegah
Konstipasi
 Berikan Makanan Tinggi
Kalori Dan Tinggi
Protein
 Berikan Suplemen
Makanan, Jika Perlu
 Hentikan Pemberian
Makan Melalui Selang
Nasigastrik Jika Asupan
Oral Dapat Ditoleransi

Edukasi

 Anjurkan Posisi Duduk,


Jika Mampu
 Ajarkan Diet Yang
Diprogramkan
Kolaborasi

 Kolaborasi Pemberian
Medikasi Sebelum
Makan (Mis. Pereda
Nyeri, Antiemetik), Jika
Perlu
 Kolaborasi Dengan Ahli
Gizi Untuk Menentukan
Jumlah Kalori Dan Jenis
Nutrient Yang
Dibutuhkan, Jika Perlu

PROMOSI BERAT BADAN

Observasi

 Identifikasi
Kemungkinan Penyebab
BB Kurang
 Monitor Adanya Mual
Dan Muntah
 Monitor Jumlah
Kalorimyang
Dikomsumsi Sehari-Hari
 Monitor Berat Badan
 Monitor Albumin,
Limfosit, Dan Elektrolit
Serum

Terapeutik

 Berikan Perawatan
Mulut Sebelum
Pemberian Makan, Jika
Perlu
 Sediakan Makan Yang
Tepat Sesuai Kondisi
Pasien( Mis. Makanan
Dengan Tekstur Halus,
Makanan Yang
Diblander, Makanan
Cair Yang Diberikan
Melalui NGT Atau
Gastrostomi, Total
Perenteral Nutritition
Sesui Indikasi)
 Hidangkan Makan
Secara Menarik
 Berikan Suplemen, Jika
Perlu
 Berikan Pujian Pada
Pasien Atau Keluarga
Untuk Peningkatan Yang
Dicapai

Edukasi

 Jelaskan Jenis Makanan


Yang Bergizi Tinggi,
Namun tetap Terjangkau
 Jelaskan Peningkatan
Asupan Kalori Yang
Dibutuhkan

7 KETIDAKSEIMBAN Setelah Dilakukan PEMANTAUAN ELEKTROLIT


GAN ELEKTROLIT Asuhan Keperawatan
Selama 3 x 24 Jam, Observasi
Diharapkan Kebutuhan
Cairan Dan Elektrolit  Identifkasi
Terpenuhi Dengan Kemungkinan Penyebab
Kriteria Hasil : Ketidakseimbangan
Elektrolit
- Turgor Kulit Elastis  Monitor Kadar Eletrolit
Mukosa Bibir Serum
Lembab, Feses  Monitor Mual, Muntah
Konsistensi Dan Diare
Lembek/Padat  Monitor Kehilangan
Cairan, Jika Perlu
 Monitor Tanda Dan
Gejala Hypokalemia
(Mis. Kelemahan Otot,
Interval QT Memanjang,
Gelombang T Datar
Atau Terbalik, Depresi
Segmen ST, Gelombang
U, Kelelahan, Parestesia,
Penurunan Refleks,
Anoreksia, Konstipasi,
Motilitas Usus Menurun,
Pusing, Depresi
Pernapasan)
 Monitor Tanda Dan
Gejala Hyperkalemia
(Mis. Peka Rangsang,
Gelisah, Mual, Munta,
Takikardia Mengarah Ke
Bradikardia,
Fibrilasi/Takikardia
Ventrikel, Gelombang T
Tinggi, Gelombang P
Datar, Kompleks QRS
Tumpul, Blok Jantung
Mengarah Asistol)
 Monitor Tanda Dan
Gejala Hipontremia
(Mis. Disorientasi, Otot
Berkedut, Sakit Kepala,
Membrane Mukosa
Kering, Hipotensi
Postural, Kejang,
Letargi, Penurunan
Kesadaran)
 Monitor Tanda Dan
Gejala Hypernatremia
(Mis. Haus, Demam,
Mual, Muntah, Gelisah,
Peka Rangsang,
Membrane Mukosa
Kering, Takikardia,
Hipotensi, Letargi,
Konfusi, Kejang)
 Monitor Tanda Dan
Gejala Hipokalsemia
(Mis. Peka Rangsang,
Tanda Ichvosteki
[Spasme Otot Wajah],
Tanda Trousseau
[Spasme Karpal], Kram
Otot, Interval QT
Memanjang)
 Monitor Tanda Dan
Gejala Hiperkalsemia
(Mis. Nyeri Tulang,
Haus, Anoreksia,
Letargi, Kelemahan
Otot, Segmen QT
Memendek, Gelombang
T Lebar, Kompleks QRS
Lebar, Interval PR
Memanjang)
 Monitor Tanda Dan
Gejala Hipomagnesemia
(Mis. Depresi
Pernapasan, Apatis,
Tanda Chvostek, Tanda
Trousseau, Konfusi,
Disritmia)
 Monitor Tanda Dan
Gejala Hipomagnesia
(Mis. Kelemahan Otot,
Hiporefleks,
Bradikardia, Depresi
SSP, Letargi, Koma,
Depresi)

Terapeutik

 Atur Interval Waktu


Pemantauan Sesuai
Dengan Kondisi Pasien
 Dokumentasikan Hasil
Pemantauan

Edukasi

 Jelaskan Tujuan Dan


Prosedur Pemantauan
 Informasikan Hasil
Pemantauan, Jika Perlu

MANAJEMEN CAIRAN

Observasi

 Monitor Status Hidrasi (


Mis, Frek Nadi,
Kekuatan Nadi, Akral,
Pengisian Kapiler,
Kelembapan Mukosa,
Turgor Kulit, Tekanan
Darah)
 Monitor Berat Badan
Harian
 Monitor Hasil
Pemeriksaan
Laboratorium (Mis.
Hematokrit, Na, K, Cl,
Berat Jenis Urin , BUN)
 Monitor Status
Hemodinamik ( Mis.
MAP, CVP, PCWP Jika
Tersedia)

Terapeutik

 Catat Intake Output Dan


Hitung Balans Cairan
Dalam 24 Jam
 Berikan Asupan Cairan
Sesuai Kebutuhan
 Berikan Cairan Intravena
Bila Perlu

Kolaborasi

o Kolaborasi Pemberian
Diuretik, Jika Perlu

8 Gangguan Rasa Setelah Dilakukan Terapi Relaksasi


Nyaman Asuhan Keperawatan
Selama 3 x 24 Jam, Observasi
Diharapkan Tidak Terjadi  Identifikasi Penurunan
Gangguan Rasa Nyaman Tingkat Energi,
Dengan Kriteria Hasil : Ketidakmampuan
Berkonsentrasi, Atau
- Kemampuan Gejala Lain Yang
Kognitif Mengganggu Kemampuan
Kembali Kognitif
Normal  Identifikasi Teknik
- Mampu Relaksasi Yang Pernah
Menerapkan Efektif Digunakan
Teknik  Identifikasi Kesediaan,
Relaksasi Kemampuan, Dan
Dengan Baik Penggunaan Teknik
Sebelumnya
 Identifikasi Ketegangan
Otot, Frekuensi Nadi,
Tekanan Darah, Dan Suhu
Sebelum Dan Sesudah
Latihan
 Monitor Respons Terhadap
Terapi Relaksasi
Terapeutik

 Ciptakan Lingkungan
Tenang Dan Tanpa
Gangguan Dengan
Pencahayaan Dan Suhu
Ruangan Nyaman, Jika
Memungkinkan
 Berikan Informasi Tertulis
Tentang Persiapan Dan
Prosedur Teknik Relaksasi
 Gunakan Pakaian Longgar
 Gunakan Nada Suara
Lembut Dengan Irama
Lambat Dan Berirama
 Gunakan Relaksasi
Sebagai Strategi
Penunjang Dengan
Analgetik Atau Tindakan
Medis Lain, Jika Sesuai
Edukasi

 Jelaskan Tujuan, Manfaat,


Batasan, Dan Jenis
Relaksasi Yang Tersedia
(Mis, Musik, Meditasi,
Napas Dalam, Relaksasi
Otot Progresif)
 Jelaskan Secara Rinci
Intervensi Relaksasi Yang
Dipilih
 Anjurkan Mengambil
Posisi Nyaman
 Anjurkan Rileks Dan
Merasakan Sensasi
Relaksasi
 Anjurkan Sering
Mengulangi Atau Melatih
Teknik Yang Dipilih
 Demonstrasikan Dan Latih
Teknik Relaksasi (Mis,
Napas Dalam,
Pereganggan, Atau
Imajinasi Terbimbing)
9 Hipertermia Setelah Dilakukan Manajemen Hipertermia
Asuhan Keperawatan
Selama 3 x 24 Jam, Observasi
Diharapkan Pasien
Mengalami  Identifkasi penyebab
Keseimbangan hipertermi (mis.
Termoregulasi Dengan dehidrasi terpapar
lingkungan panas
Kriteria Hasil :
penggunaan incubator)
- Suhu Tubuh  Monitor suhu tubuh
Dalam Rentang  Monitor kadar elektrolit
Normal 35,9 C –  Monitor haluaran urine
37,5 C
- Nadi Dan RR Terapeutik
Dalam Rentang
Normal  Sediakan lingkungan
- Tidak Ada yang dingin
Perubahan Warna  Longgarkan atau
Kulit D. Tidak lepaskan pakaian
Ada Pusing  Basahi dan kipasi
permukaan tubuh
 Berikan cairan oral
 Ganti linen setiap hari
atau lebih sering jika
mengalami hiperhidrosis
(keringat berlebih)
 Lakukan pendinginan
eksternal (mis. selimut
hipotermia atau kompres
dingin pada dahi, leher,
dada, abdomen,aksila)
 Hindari pemberian
antipiretik atau aspirin
 Batasi oksigen, jika
perlu

Edukasi

 Anjurkan tirah baring

Kolaborasi
 Kolaborasi cairan dan
elektrolit intravena, jika
perlu

REGULASI TEMPERATUR

Observasi

 Monitor suhu bayi


sampai stabil ( 36.5 C -
37.5 C)
 Monitor suhu tubuh anak
tiap 2 jam, jika perlu
 Monitor tekanan darah,
frekuensi pernapasan dan
nadi
 Monitor warna dan suhu
kulit
 Monitor dan catat tanda
dan gejala hipotermia
dan hipertermia

Terapeutik

 Pasang alat pemantau


suhu kontinu, jika perlu
 Tingkatkan asupan
cairan dan nutrisi yang
adekuat
 Bedong bayi segera
setelah lahir, untuk
mencegah kehilangan
panas
 Masukkan bayi BBLR
ke dalam plastic segera
setelah lahir ( mis. bahan
polyethylene, poly
urethane)
 Gunakan topi bayi untuk
memcegah kehilangan
panas pada bayi baru
lahir
 Tempatkan bayi baru
lahir di bawah radiant
warmer
 Pertahankan kelembaban
incubator 50 % atau
lebih untuk mengurangi
kehilangan panas Karena
proses evaporasi
 Atur suhu incubator
sesuai kebutuhan
 Hangatkan terlebih
dahulu bhan-bahan yang
akan kontak dengan bayi
(mis. seelimut,kain
bedongan,stetoskop)
 Hindari meletakkan bayi
di dekat jendela terbuka
atau di area aliran
pendingin ruangan atau
kipas angin
 Gunakan matras
penghangat, selimut
hangat dan penghangat
ruangan, untuk
menaikkan suhu tubuh,
jika perlu
 Gunakan kasur
pendingin, water
circulating blanket, ice
pack atau jellpad dan
intravascular cooling
catherization untuk
menurunkan suhu
 Sesuaikan suhu
lingkungan dengan
kebutuhan pasien

Edukasi

 Jelaskan cara
pencegahan heat
exhaustion,heat stroke
 Jelaskan cara
pencegahan hipotermi
karena terpapar udara
dingin
 Demonstrasikan teknik
perawatan metode
kangguru (PMK) untuk
bayi BBLR

Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian
antipiretik jika perlu

10 Risiko Infeksi Setelah Dilakukan - Pencegahan Infeksi


Asuhan Keperawatan
Selama 3 x 24 Jam,
Diharapkan Tidak Ada
Tanda-Tanda Infeksi Observasi
Dengan Kriteria Hasil :
 Identifikasi riwayat
- Tingkat Infeksi kesehatan dan
Menurun riwayat alergi
- Integritas Kulit  Identifikasi
Dan Jaringan kontraindikasi
Membaik pemberian
imunisasi
 Identifikasi status
imunisasi setiap
kunjungan ke
pelayanan kesehatan

Terapeutik

 Berikan suntikan
pada pada bayi
dibagian paha
anterolateral
 Dokumentasikan
informasi vaksinasi
 Jadwalkan
imunisasi pada
interval waktu yang
tepat

Edukasi

 Jelaskan tujuan,
manfaat, resiko
yang terjadi, jadwal
dan efek samping
 Informasikan
imunisasi yang
diwajibkan
pemerintah
 Informasikan
imunisasi yang
melindungiterhadap
penyakit namun saat
ini tidak diwajibkan
pemerintah
 Informasikan
vaksinasi untuk
kejadian khusus
 Informasikan
penundaan
pemberian
imunisasi tidak
berarti mengulang
jadwal imunisasi
kembali
 Informasikan
penyedia layanan
pekan imunisasi
nasional yang
menyediakan vaksin
gratis

11 Intoleransi Aktifitas Setelah Dilakukan


Asuhan Keperawatan
Selama 3 x 24 Jam, MANAJEMEN ENERGI
Diharapkan Dapat
Observasi
Melakukan Aktivitas
Mandir Dengan Kriteria
 Identifkasi
Hasil : gangguan fungsi
- Dapat Melakukan tubuh yang
Aktivitas Secara mengakibatkan
Mandiri kelelahan
- Ekspresi Wajah  Monitor kelelahan
Rileks fisik dan emosional
 Monitor pola dan
jam tidur
 Monitor lokasi dan
ketidaknyamanan
selama melakukan
aktivitas

Terapeutik

 Sediakan
lingkungan nyaman
dan rendah
stimulus (mis.
cahaya, suara,
kunjungan)
 Lakukan rentang
gerak pasif
dan/atau aktif
 Berikan aktivitas
distraksi yang
menyenangkan
 Fasilitas duduk di
sisi tempat tidur,
jika tidak dapat
berpindah atau
berjalan

Edukasi

 Anjurkan tirah
baring
 Anjurkan
melakukan
aktivitas secara
bertahap
 Anjurkan
menghubungi
perawat jika tanda
dan gejala
kelelahan tidak
berkurang
 Ajarkan strategi
koping untuk
mengurangi
kelelahan

Kolaborasi

 Kolaborasi dengan
ahli gizi tentang
cara meningkatkan
asupan makanan

TERAPI AKTIVITAS

Observasi

 Identifikasi deficit
tingkat aktivitas
 Identifikasi kemampuan
berpartisipasi dalam
aktivotas tertentu
 Identifikasi sumber daya
untuk aktivitas yang
diinginkan
 Identifikasi strategi
meningkatkan partisipasi
dalam aktivitas
 Identifikasi makna
aktivitas rutin (mis.
bekerja) dan waktu luang
 Monitor respon
emosional, fisik, social,
dan spiritual terhadap
aktivitas

Terapeutik

 Fasilitasi focus pada


kemampuan, bukan
deficit yang dialami
 Sepakati komitmen
untuk meningkatkan
frekuensi danrentang
aktivitas
 Fasilitasi memilih
aktivitas dan tetapkan
tujuan aktivitas yang
konsisten sesuai
kemampuan fisik,
psikologis, dan social
 Koordinasikan pemilihan
aktivitas sesuai usia
 Fasilitasi makna aktivitas
yang dipilih
 Fasilitasi transportasi
untuk menghadiri
aktivitas, jika sesuai
 Fasilitasi pasien dan
keluarga dalam
menyesuaikan
lingkungan untuk
mengakomodasikan
aktivitas yang dipilih
 Fasilitasi aktivitas fisik
rutin (mis. ambulansi,
mobilisasi, dan
perawatan diri), sesuai
kebutuhan
 Fasilitasi aktivitas
pengganti saat
mengalami keterbatasan
waktu, energy, atau
gerak
 Fasilitasi akvitas motorik
kasar untuk pasien
hiperaktif
 Tingkatkan aktivitas
fisik untuk memelihara
berat badan, jika sesuai
 Fasilitasi aktivitas
motorik untuk
merelaksasi otot
 Fasilitasi aktivitas
dengan komponen
memori implicit dan
emosional (mis. kegitan
keagamaan khusu) untuk
pasien dimensia, jika
sesaui
 Libatkan dalam
permaianan kelompok
yang tidak kompetitif,
terstruktur, dan aktif
 Tingkatkan keterlibatan
dalam aktivotasrekreasi
dan diversifikasi untuk
menurunkan kecemasan
( mis. vocal group, bola
voli, tenis meja, jogging,
berenang, tugas
sederhana, permaianan
sederhana, tugas rutin,
tugas rumah tangga,
perawatan diri, dan teka-
teki dan kart)
 Libatkan kelarga dalam
aktivitas, jika perlu
 Fasilitasi
mengembankan motivasi
dan penguatan diri
 Fasilitasi pasien dan
keluarga memantau
kemajuannya sendiri
untuk mencapai tujuan
 Jadwalkan aktivitas
dalam rutinitas sehari-
hari
 Berikan penguatan
positfi atas partisipasi
dalam aktivitas

Edukasi

 Jelaskan metode
aktivitas fisik sehari-
hari, jika perlu
 Ajarkan cara melakukan
aktivitas yang dipilih
 Anjurkan melakukan
aktivitas fisik, social,
spiritual, dan kognitif,
dalam menjaga fungsi
dan kesehatan
 Anjurka terlibat dalam
aktivitas kelompok atau
terapi, jika sesuai
 Anjurkan keluarga untuk
member penguatan
positif atas partisipasi
dalam aktivitas

Kolaborasi

 Kolaborasi dengan terapi


okupasi dalam
merencanakan dan
memonitor program
aktivitas, jika sesuai
 Rujuk pada pusat atau
program aktivitas
komunitas, jika perlu

12 Gangguan Mobilitas Setelah Dilakukan DUKUNGAN AMBULASI


Fisik Asuhan Keperawatan
Selama 3 x 24 Jam,
Diharapkan Gangguan
Observasi
Mobilitas Berkurang
(Dapat Diatasi) Dengan
 Identifikasi adanya nyeri
Kriteria Hasil : atau keluhan fisik
- Meningkat Dalam lainnya
 Identifikasi toleransi
Aktivitas Fisik
- Pasien Mengerti fisik melakukan
Tujuan Dari ambulasi
 Monitor frekuensi
Peningkatan
Mobilisasi jantung dan tekanan
- Pasien Mampu darah sebelum memulai
Memperagakan ambulasi
 Monitor kondisi umum
Penggunaan Alat
Bantu selama melakukan
ambulasi

Terapeutik

 Fasilitasi aktivitas
ambulasi dengan alat
bantu (mis. tongkat,
kruk)
 Fasilitasi melakukan
mobilisasi fisik, jika
perlu
 Libatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam
meningkatkan ambulasi
Edukasi

 Jelaskan tujuan dan


prosedur ambulasi
 Anjurkan melakukan
ambulasi dini
 Ajarkan ambulasi
sederhana yang harus
dilakukan (mis. berjalan
dari tempat tidur ke kursi
roda, berjalan dari
tempat tidur ke kamar
mandi, berjalan sesuai
toleransi)

13 Penurunan Curah Setelah dilakukan PERAWATAN JANTUNG


. Jantung tindakan keperawatan
selama 3x24 jam, Observasi
diharapkan penurunan  Identifikasi tanda
curah jantung dapat gejala primer
teratasi dengan kriteria penurunan curah
hasil : jantung (dispnea,
kelelahan, edema.
- Kekuatan nadi Ortopnea,
perifer meningkat hepatomegali,
- Palpitasi menurun PND, peningkatan
- Bradikardia CVP)
menurun  Identifikasi tanda
- Takikardia gejala sekunder
menurun penurunan curah
- Gambaran EKG jantung
aritmia menurun (peningkatan BB,
- Lelah menurun hepatomegali,
- Edema menurun distensi vena
- Dispnea menurun jugularis, palpitasi,
- Oliguria menurun ronkhi basah,
- Sianosis menurun oliguria, batuk,
- Batuk menurun kulit pucat)
- Tekanan darah  Monitor tekanan
cukup membaik darah
 Monitor intake
output cairan
 Monitor BB dalam
waktu yang sama
 Monitor saturasi
oksigen
 Monitor keluhan
nyeri dada
 Monitor EKG 12
sadapan
 Monitor aritmia
 Monitor nilai
laboratorium
jantung
 Periksa tekanan
darah dan frekuensi
nasi sebelum dan
sesudah aktifitas
 Periksa tekanan
darah dan frekuensi
nasi sebelum
pemberian obat

Terapeutik

 posisikan pasien semi


fowler atau fowler
 berikan diit jantung yang
sesuai
 fasilitasi pasien atau
keluarga untuk
memodifikasi gaya hidup
sehat
 berikan terapi relaksasi
untuk mengurangi stress,
jika perlu
 berikan dukungan
emosional dan spiritual
 berikan oksigen untuk
mempertahankan saturasi
oksigen >94 %

Edukaasi

 anjurkan aktifitas fisik


bertahap dan sesuai
toleransi
 anjurkan berhenti merokok
 ajarkan pasien dan
keluarga mengukur bb

Kolaborasi

 kolaborasi pemberian
antiaritmia, jika perlu

PERAWATAN JANTUNG
AKUT

Observasi

 identifikasi karakteristik
nyeri dada
 monitor EKG 12 sadapan
 monitor aritmia
 monitor elektrolit
 monitor enzim jantung
 monitor saturasi oksigen
 pertahankan tirah baring
minimal 12 jam
 pasang akses intravena
 berikan terapi relaksasi
untuk mengurangi ansietas
dan stres
 sediakan lingkungan yang
kondusif untuk beristirahat
dan pemulihan
 berikan dukungan
emosional dan spiritual

Edukasi

 anjurkan segera melapor


nyeri dada
 anjurkan menghindari
manuver valsava
 jelaskan tindkan yang
dijalani pasien
 ajarkan teknik menurunkan
kecemasan dan ketakutan
Kolaborasi

 kolaborsi pemberian terapi


sesuai program
 kolaborasi pemeriksan x
ray dada
BAB III
KONSEP PENURUNAN KESADARAN PADA SISTEM PERNAPASAN

1. Pengertian penurunan kesadaran


Kesadaran adalah kondisi ketika seseorang dapat memberikan respons yang sesuai
terhadap lingkungan dan orang di sekitarnya. Kesadaran juga ditandai dengan
pemahaman seseorang terhadap siapa dirinya, di mana ia tinggal, dan waktu pada
saat itu. Kesadaran adalah kondisi sadar terhadap diri sendiri dan lingkungan.
Kesadaran terdiri dari dua aspek yaitu bangun (wakefulness) dan ketanggapan
(awareness). (Avner,2006) Kesadaran diatur oleh kedua hemisfer otak dan
ascending reticular activating system (ARAS), yang meluas dari midpons
kehipotalamus anterior. RAS terdiri dari beberapa jaras saraf yang
menghubungkan batang otak dengan korteks serebri. Batang otak terdiri dari
medulla oblongata, pons dan mesensefalon. Proyeksi neuronal berlanjut dari
ARAS ke talamus, dimana mereka bersinaps dan diproyeksikan ke korteks.
(Ganong, 2016).

2. Penyebab terjadinya penurunan kesadaran


Penyebab kesadaran menurun bermacam - macam dengan karakteristik yang
berbeda. Banyak penyebab dari penurunan kesadaran merupakan ancaman jiwa
yang membutuhkan intervensi yang cepat, karena berpotensi terhadap morbiditas
dan mortalitas yang tinggi. Perubahan fisiologis yang terjadi pada pasien dengan
gangguan kesadaran antara lain pada pemenuhan kebutuhan dasar yaitu gangguan
pernafasan, kerusakan mobilitas fisik, gangguan hidrasi, gangguan aktifitas
menelan, kemampuan berkomunikasi, gangguan eliminasi (Hudak & Gallo, 2002).
Koma dapat disebabkan oleh penyebab traumatik dan non-traumatik. Penyebab
traumatik yang sering terjadi adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, dan
jatuh. Penyebab non-traumatik yang dapat membuat seseorang jatuh dalam
keadaan koma antara lain gangguan metabolik, intoksikasi obat, hipoksia global,
iskemia global, stroke iskemik, perdarahan intraserebral, perdarahan subaraknoid,
tumor otak, kondisi inflamasi, infeksi sistem saraf pusat seperti meningitis,
ensefalitis dan abses serta gangguan psikogenik. (Greer, 2012) Keadaan koma
dapat berlanjut menjadi kematian batang otak jika tidak ada perbaikan keadaan
klinis.

3. Pathway penurunan kesadaran pada sistem pernapasan

Center kemoreseptor yang berada pada medula oblongata berrada dibagian ventral
dan dorsal. Memonitor konsentrasi ion H+ pada cairan cerebrospinal ddan
interstesiel otak. Medula oblongata mengatur sistem ritmis pernapasan dalam
tubuh, terdiri dari sitem inspiratorik dan ekspiratorik. Mena=gatur napas secara
involunter dan berlangsung secara spondatn contohnya pada saat tidur dan
bernapas sehari – hari. Terdapat dua kelompok neuron pada center kemoreseptor
yaitu DRG (Dosral Respiratorik Group) dan VRG (Ventral Respiratorik Grup).
Penurunan kesadaran dapat terjadi pada sistem pernapasan.
a. Gangguan susunan saraf pusaf
Gangguan pada susunan saraf pusat ditandai dengan adanya perdarahan atau
peningkatan TIK dan penggunaan obat – obatan sedasi yang menyebabkan
kerusakan regulasi pernapasan. Ditandai dengan pasien yang mengalami
hipoventilasi, pola napas lambat dan dangkal. Gangguan regulasi pernapasan
perlambatan laju napas atau hipoventilasi. Proses ventilasi terhambat karena
co2 sulit dikeluarkan menyebabkan hiperkapnia dengan nilai co2 yang
meningkat (>50 mmHg), dalam proses pernapasan. Hal ini bila tidak ditangani
dengan cepat dapat menyebabkan vasodilatasi cerebral kemudian depresi pada
susunan saraf pusat secara. Gangguan susunan saraf pusat yang tidak
terkompensasi dengan baik tersebut pada akhirnya mengarah pada penurunan
kesadaran.

b. DRG dan VRG


Diafragma dan otot – otot bantu napas terjadi peningkatan, sehingga terjadilah
kelelahan otot. Kelelahan otot yang berkepanjangan menyebabkan gangguan
perfusi dengan kadar o2 dalam darah turun <50 mmHg yang menimbulkan
hipoksia jaringan pada jaringan cerebral yang menyebabkan penuruna
kesadaran karena berkurangnya susplai oksigen dalam otak dan otot – otot
jantung pun akan mengalami hal yang sama. Sehinga lama kelamaan akan
menyebabkan penurunan kesadaran.
c. Asidosis metabolik
Terjadinya hipoksia jaringan pada metabolisme anaerob dapat menyebabkan
produksi ATP menurun dan meningkatkan produksi asam laktat. Terjadilah
kondisi pada penumpukan ion H+, sehingga pH dalam darah menurun dan
suplai oksigen menurun. H2Co2 dalam tubuh terpisahkan menjadi ion H dan
HCo3 yang dapat melepaskan ion K+ sehingga pasien mengalami asidosis
metabolik. Bila kondisi ini tidak ditangani dengan cepat maka akan
mempengaruhi sistem kerja jaringan cerebral kemudian menyebabkan
penurunan kesdaran.

d. Iskemik pada otot jantung


Keadaan iskemik pada otot jantung yang menurunkan kontraktilitas otot
membawa pasein dalam kondisi penurunan nilai EF jantung. Produksi cardiac
output pun ikut menurun. Saat terjadi penurunan cardiac output tentu akann
berpengaruh pada sistem cerebral. Rangsangan saraf simpatis mengalami
peningkatan ditandai dengan pasien mengalami keringat dingin dan takikardia.
Selain itu, rangsangan saraf simpatis pun mempengaruhi cara kerja medula
oblongata, sehingga pasien tidak akan bernapas secara ritmis.
e. Oksigenasi yang tidak terpantau
Saat pasien mengalami kondisi hipoksia tindakan yang secara utama dilakukan
adalah oksigenasi, yaitu pemberian oksigen terhadap pasien. Hal ini
diharapkan suplai o2 dalam darah kembali normal. Namun ketidak oksigenasi
tidak terpantau, tidak adanya kontrol atau evaluasi setelah pemberian oksigen,
pasien tersebut akan secara terus menerus diberikan oksigen dengan nilai tetap
tanpa adanya penyesuaian dengan kondisi pasien saat ini. Terjadinya
oksigenasi yang berlebihan menyebabkan kelebihan kadar o2 dalam darah
dengan nilai >100 mmHg yang dinamakan o2 narkose, yang menimbulkan
efek Paulbert and Smith. Hal ini Kondisi tersebut meyebabkan terjadinyan
rangsangan di sistem saraf pusat yang membentuk displasia bronkopulmunalis
yang ditandai dengan pasien mengalami keluhan pusing, gelisah bahkan
kejang. Kondisi pasien dengan keracunan o2 tersebut dapat menyebabkan
terjadinya penurunan kesdaran.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Anatomi Fisiologi Nyeri

1. Mekanisme Nyeri

Menurut Suriani, (2018) dalam Black dan Hawks (2014), terdapat tiga hal

penting dalam mekanisme nyeri yakni: mekanisme nosisepsi, perilaku nyeri, dan

plastisitas nyeri.

a. Mekanisme nosisepsia.

1) Proses transduksi adalah rangsang noksius dapat berasal dari bahan kimia, seperti

yang terjadi pada proses inflamasi menimbulkan sensitisasi dan mengaktifasi

reseptor nyeri. Bisa juga diartikan sebagai pengubahan berbagai stimuli oleh

reseptor menjadi impuls listrik yang mampu menimbulkan potensial aksi akhiran

saraf.

2) Proses transmisi adalah penyaluran impuls saraf sensorik dilakukan oleh serabut

A delta bermyelin dan serabut C tak bermyelin sebagai neuron pertama,

kemudian dilanjutkan traktus spinothalamikus sebagai neuron kedua dan

selanjutnya di daerah thalamus disalurkan sebagai neuron ketiga sensorik pada

area somatik primer di korteks serebri.

3) Proses modulasi terjadi pada sistem saraf sentral ketika aktivasi nyeri dapat

dihambat oleh analgesikendogen seperti endorphine, sistem inhibisi sentral

serotonin dan noradrenalin, dan aktivitas serabut A beta.

4) Proses persepsi merupakan hasil akhir proses interaksi yang kompleks, dimulai

dari proses transduksi, transmisi, dan modulasi sepanjang aktivasisensorik yang

sampai pada area primer sensorik korteks serebri dan masukan lain bagian otak
yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan subyektif yang dikenal

sebagai persepsi nyeri atau disebut dengan kesadaran akan adanya nyeri.

Gambar 1 Mekanisme Nosisepsi

2. Perilaku Nyeri (Neuromatic Melzack)

Neuromatrik adalah sistem yang kompleks, meliputi jaras-jaras yang melibatkan

medulla spinalis, thalamus, jaringan abu-abu periaaqueductal, korteks somatosensorik,

dan sistem limbik. Faktor yang mempengaruhi neuromatrik termasuk faktor genetik,

keadaan fisiologik, faktor psikososial, termasuk masukan aferen primer yang dianggap

dari kerusakan jaringan, sistem imunoendokrin, sistem inhibisi nyeri, tekanan emosi,

dan status penyakit. Neuromatrik dianggap bertanggung jawab terhadap pembentukan

persepsi kita terhadap nyeri dan menentukan perilaku nyeri (Sherwood, 2010).

3. Mekanisme Adaptif Menjadi Mal Adaptif

Mekanisme adaptif mendasari konsep nyeri sebagai alat proteksi tubuh, merujuk

kerusakan jaringan pada proses inflamasi dan trauma pada nyeri akut. Pada nyeri

fisiologik, nyeri memiliki tendensi untuk sembuh dan berlangsung terbatas selama

nosisepsi masih ada, serta dianggap sebagai gejala penyakit. Pada nyeri kronik,

fenomena allodinia, hiperalgesia, nyeri spontan bukan saja menjadi gejala tetapi

merupakan penyakit tersendiri. Keadaan nyeri patologik terjadi ketika nosisepsi tetap
timbul setelah penyembuhan usai dan tidak proporsional dengan kelainan fisik yang ada

(Black, 2014).

Mekanisme maladaptif terjadi karena plastisitas saraf di tingkat perifer maupun

sentral. Tingkatperifer, mekanisme ditimbulkan oleh sensitisasi nosiseptor, aktivitas

ektopik termasuk timbulnya tunas-tunas baru di bagian distal lesi dan di ganglion radiks

dorsalissaraf lesi, interaksi antara serabut saraf dan timbulnya reseptor adrenergik alfa-

2. Pada tingkat sentral, mekanisme ditimbulkan oleh sensitasi sentralberhubungan

dengan reseptor glutamat paska sinaps, reorganisasi sentral dari serabut A beta, dan

hilangnya kontrol inhibisi nyeri (Black, 2014).

4. Jalur Nyeri

Menurut Sherwood (2010), sebagai penyederhanaan ilustrasi, nyeri dijalarkan

melalui tiga neuron yang mentransmisikan stimulus noxius dari perifer ke korteks

serebral. Neuron aferen pertama berlokasi di ganglion posteriorspinalis, yang terletak

dekat foramen vertebralis tiap segmen medulla spinalis. Tiap neuron punya satu akson

yang bercabang, satu cabang berakhir di jaringan perifer yang di inervasi dan lainnya di

kornu posterior medulla spinalis. Lalu dikornu posterior, neuron aferen pertama

bersinaps dengan neuron ordo kedua yang mempunyai akson melintasi midline dan

ascenden di kontra lateral traktus spinothalamikus menuju thalamus. Neuron kedua

bersinaps di nukleus thalamus dengan neuron ketiga, yang mana akan mengirimkan

proyeksi melewati kapsula interna dan korona radiata ke girus postcentral korteks

serebral.

a. Neuron Ordo Pertama

Mayoritas neuron ordo pertama akan mengirimkan akhiran akson proksimal

ke medulla spinalis melalui radiks posterior (sensorik) medulla spinalis pada

masing-masing segmen servikal, thorakal, lumbar dan sakral. Beberapa serabut


aferen yang tidak bermyelin (serabut C) ditemukan memasuki medulla spinalis

melalui kornu anterior (motorik), hal ini berdasarkan observasi pada beberapa pasien

yang masih merasakan nyeri setelah dilakukan transeksi radiks posterior (rhizotomi)

dan melaporkan adanya nyeri yang menyertai saat adanya stimulasi kornu ventralis.

Lalu di kornu posterior, selain bersinaps dengan neuron ordo kedua, akson neuron

pertama juga mungkin bersinaps dengan interneuron, neuron simpatis, dan neuron

kornu anterior (motorik).

b. Neuron Ordo Kedua

Saat serabut aferen memasuki medulla spinalis, serabut-serabut ini

menyesuaikan ukuran yang tadinya besar dan bermyelin menjadi sedang atau kecil

dan tidak bermyelin. Serabut nyeri mungkin naik atau turun satu hingga tiga segmen

medulla spinalis di traktus Lissauer sebelum bersinaps dengan neuron kedua di

substansia grisea di ipsilateral kornu dorsalis. Pada beberapa hal, mereka

berkomunikasi dengan neuron ordo kedua melewati interneuron.

Substansia grisea medulla spinalis dibagi oleh Rexed menjadi 10 lamina.

Enam lamina pertama yang berada di kornu dorsalis, menerima semua aktivitas saraf

aferen, dan menunjukkan sisi utama untuk modulasi nyeri melalui jalur ascenden

maupun descenden. Neuron kedua terdiri dari nosiseptif spesifik dan neuron wide

dynamic range (WDR). Neuron-neuron nosiseptif spesifik hanya melayani stimulus

noxius, tapi neuron WDR juga menerima input aferen non-noxius dari serabut Aβ,

Aδ, dan C. Neuron nosiseptif spesifik disusun secara somatotopikal pada lamina I.

Neuron neuron tersebut pada keadaan normal adalah tenang dan hanya berespon

pada stimulasi noxius yang berambang tinggi. Neuron WDR adalah tipe sel yang

paling banyak di kornu posterior. Meskipun WDR ditemukan seluruhnya pada kornu

posterior, WDR ini paling banyak berada di 13 lamina V. Pada stimulasi yang
berulang, neuron WDR secara khas akan meningkatkannya secara eksponensial dan

bertingkat.

Kebanyakan serabut nosiseptif C mengirim secara kolateral ke atau berhenti

pada neuron kedua di lamina I dan II, dan lebih sedikit di lamina V. Sebaliknya,

serabut nosiseptif Aδ bersinaps utamanya di lamina I dan V, dan lebih sedikit di

lamina X. Lamina I merespon secara primer dari stimulus noxius (nosiseptif) dari

jaringan kutaneus dan somatik dalam. Lamina II, yang juga dikenal dengan

substansia gelatinosa, mengandung banyak interneuron dan dipercaya sebagai

pemeran utama dalam proses dan modulasi input nosiseptif dari nosiseptor kutaneus.

Hal ini menjadi menarik karena diketahui sebagai pemeran utama pada aksi opioid.

Sedangkan lamina III dan IV menerima input sensorik non-nosiseptif.

c. Traktus Spinothalamikus

Akson-akson pada kebanyakan neuron kedua menyilang midline pada

segmen yang sama (di kommisura anterior) sebelum mereka membentuk traktus

spinothalamikus dan mengirim serabut-serabutnya ke thalamus, formatioreticularis,

nukleus raphe magnus, dan substansia grisea periaqueductal. Traktus

spinothalamikus sebagai jalur utama nyeri, berada pada antero lateral substansia alba

medulla spinalis. Traktus ascending ini bisa dipisah menjadi traktus lateral dan

medial. Traktus spinothalamikus lateral (neospinothalamikus) memproyeksikannya

pada nukleus posterolateral ventral thalamus dan membawa aspek diskriminatif

nyeri, seperti lokasi, intesitas, dan durasi. Sedangkan traktus spinothalamikus medial

(paleo spinothalamikus) memproyeksikan ke thalamus medial yang bertanggung

jawab untuk memediasi autonom dan persepsi emosional yang tidak menyenangkan

dari nyeri. Beberapa serabut spinothalamikus juga memroyeksikan ke substansia

grisea periaqueductal dan demikian mungkin menjadi hubungan yang penting antara
jalur ascenden dan descenden. Serabut kolateral juga memproyeksikan ke sistem

RAS dan hypothalamus.

d. Jalur Alternatif Nyeri

Seperti sensasi epikritik, serabut nyeri naik secara difus, ipsilateral, dan

kolateral. Sehingga jalur ascenden nyeri yang lainnya juga penting. Traktus

spinoretikular juga berperan dalam mediasi terjadinya nyeri dan respons

autonomnya. Traktus spinomesencephalikus juga penting dalam pengaktifan

antinosiseptif, jalur descenden, karena juga mempunyai beberapa proyeksi ke

substansia grisea periaqueductal. Traktus spinohipothalamikus dan spinoensefalikus

mengaktivasi hypothalamus dan mempengaruhi emosional. Traktus spinoservikal

naik tidak menyilang ke nukleus servikal lateral, yang mana memberhentikan

serabutnya di kontra lateral thalamus; traktus ini dikenal sebagai traktus alternatif

utama untuk nyeri. Terakhir, beberapa serabut di kolumna dorsalis (yang membawa

serabut untuk rangsang sentuhan ringan dan propioseptif) juga bertanggung jawab

pada nyeri, serabut-serabut ini naik secara medial dan ipsilateral.

e. Integrasi Dengan Sistem Simpatis Dan Motorik

Aferen visceral dan somatic berintegrasi penuh dengan sistem motor skeletal

dan simpatis di medulla spinalis, batang otak, dan pusat yang lebih tinggi. Neuron

aferen kornu dorsalis bersinaps secara langsung dan tidak langsung dengan neuron

motorik kornu anterior. Sinaps-sinaps tersebut bertanggung jawab pada aktivitas

refleks otot, yang diasosiasikan dengan nyeri. Sinaps-sinaps antara neuron aferen

nosiseptif dan neuron simpatis di kolumna intermedio lateral menghasilkan refleks

simpatis yang memediasi adanya vasokonstriksi, spasme otot polos, dan rilisnya

katekolamin secara lokal maupun dari medulla adrenal.

f. Neuron Ordo Ketiga


Neuron ordo ketiga berada di thalamus dan mengirim serabut ke area

somatosensorik I dan II di girus postcentral dari korteks parietal dan dinding

superior dari fisura sylvii. Persepsi dan lokalisir nyeri berada di area kortikal.

Meskipun kebanyakan neuron dari nukleus-nukleus thalamik lateral

memproyeksikan ke korteks somatosensori primer, beberapa dari nukleus-nukleus

intralaminal dan medial memproyeksikan ke girus singulat anterior dan memediasi

komponen emosional dari nyeri.

5. Nociceptor

Nosiseptor ditandai dengan ambang batas yang tinggi untuk aktivasi dan

pensinyalan intensitas rangsangan. Sensasi noksius sering dipecah menjadi dua

komponen: sensasi yang cepat, tajam, dan terlokalisir dengan baik (nyeri pertama),

yang dikonduksi dengan waktu yang pendek (0,1 detik) oleh serabut Aδ; dan sensasi

yang lambat, tumpul, dan tidak terlokalisir dengan baik (nyeri kedua), yang dikonduksi

oleh serabut C. Sebaliknya pada sensasi epikritik, yang mungkin ditransduksi oleh

akhiran tertentu pada neuron aferen (misalnya korpus pacini untuk sentuhan), sensasi

protopatik ditransduksi terutama oleh akhiran saraf bebas.

Kebanyakan nosiseptor adalah akhiran saraf bebas yang merasakan panas dan

mekanik serta kerusakan jaringan secara kimiawi. Tipenya terdiri dari (1)

Mechanonosiseptor, (2) Silent nociceptor, (3) Polymodal mechanoheat nociceptor.

Yang terakhir adalah yang paling sering berespons pada tekanan yang kuat, temperatur

yang ekstrim, dan algogen (substansi yang menghasilkan nyeri). Setidaknya dua

reseptor nosiseptor (kanal ion di akhiran saraf) telah di identifikasi, VR1 dan VRL-1.

Keduanya berespons pada temperatur tinggi. Algogen terdiri dari bradykinin, histamin,

serotonin, H+, K+, beberapa prostaglandin, dan mungkin ATP. Capsaicin merangsang
reseptor VR1. Polymodal nociceptor lambat beradaptasi pada sensitisasi panas dan

tekanan yang kuat.

Nosiseptor bisa terbagi menjadi tiga yaitu nosiseptor kutaneus, somatik dalam,

dan visceral. Nosiseptor kutaneus terdapat pada kulit. Somatik dalam ada pada otot,

tendon, fascia, dan tulang. Sedangkan yang dimaksud visceral adalah organ-organ

dalam tubuh selain yang telah disebutkan.


BAB II

KONSEP NYERI PADA SISTEM PERNAPAPAN

A. Nyeri

1. Pengertian

Nyeri adalah perasaan yang tidak nyaman yang sangat subjektif dan hanya

orang yang mengalaminya yang dapat menjelaskan dan mengevaluasi perasaan

tersebut. Secara umum nyeri dapat didefenisikan sebagai perasaan tidak nyaman, baik

ringan maupun berat. Faktor yang mempengaruhi reaksi nyeri antara lain: makna nyeri

bagi individu, tingkat persepsi nyeri, pengalaman masa lalu, nilai budaya, harapan

sosial, kesehatan fisik dan mental, sikap orang tua terhadap nyeri, lokasi nyeri, perasaan

takut atau cemas, upaya untuk mengurangi respon terhadap stressor, dan usia

(Mamanda, 2016).

2. Penyebab

Nyeri dada non kardiak pada system respirasi menjadi manifestasi klinis yang

terjadi. Nyeri dada non kardiak dapat berhubungan dengan masalah pulmoner, kardiak,

ataupun gastrointestinal dan penting sekali untuk dapat membedakan ketiganya.

Tentukan lokasi, durasi, dan intensitas nyeri dada untuk memberikan petunjuk awal

penyebabnya. Tanyakan klien mengenai hal yang menimbulkan nyeri (misalnya

aktivitas, batuk, gerakan) dan apa yang mengurangi nyeri (misalnya nitrogliserin,

membebat dinding dada, panas) (Black dan Hawks, 2014).

Stimulasi nosiseptif dari pusat batang otak menyebabkan peningkatan

respiratory drive, walaupun hipoventilasi segmental mungkin terjadi akibat hasil dari

peningkatan tonus otot atau spasme bronkus. Peningkatan konsumsi oksigen tubuh total

dan karbon dioksida menyebabkan peningkatan kebutuhan ventilasi per menit, yang
kemudian meningkatan kerja napas, khususnya pada pasien dengan penyakit paru yang

mendasari (Yuliantini, 2017).

Nyeri di daerah dada atau abdomen, menimbulkan peningkatan tonus otot yang

dapat menimbulkan risiko hipoventilasi, kesulitan bernapas dalam dan mengeluarkan

sputum. Penurunan gerakan dinding dada menurunkan volume tidal dan kapasitas sisa

fungsional yang dapat mengganggu ventilasi perfusi paru, intrapulmonary shunting,

hipoksemia, dan terkadang hipoventilasi. Penurunan kapasitas vital menyebabkan

penurunan reflek batuk dan pembersihan sekret. Pasien nyeri yang tirah baring lama

atau imobilisasi dapat mengalami perubahan yang sama pada fungsi paru (Yuliantini,

2017).

Fungsi respirasi, khususnya pada paru, akan terganggu secara signifikan akibat

adanya nyeri yang ditimbulkan. Perubahan fungsi respirasi yang disebabkan oleh

respon stress adalah penurunan functional residual capacity (FRC). FRC adalah jumlah

udara yang tersisa di paru pada akhir ekspirasi normal. Ketika FRC menurun, kondisi

udara di paru menjadi kurang dari closing capacity, yaitu volume udara di paru yang

diperlukan untuk mencegah alveoli kolaps. Ketika FRC kurang dari closing capacity,

terjadi penutupan saluran napas, dengan hasil ketidakseimbangan ventilasi perfusi,

shunting of blood, dan hipoksemia (Yuliantini, 2017).


3. Patway Dan Penjelasannya

Gambar 2 Pathway Nyeri Berhubungan Dengan Sistem Pernapasan

Nyeri merupakan pengalaman subjektif yang dirasakan oleh individu atau

seseorang, sehingga batas ambang nyeri setiap individu berbeda-beda. Nyeri dapat

dikarenakan kerusakan jaringan ataupun tanpa disertai dengan kerusakan jaringan yang

nyata.

Terjadinya nyeri pada system pernafasan tidak luput dari reaksi system saraf

dimana stimulasi nyeri (noxious stimulis) yang dikarenakan berbagai macam hal, baik

pada system pernafasan atau system yang lain akan berubah menjadi aktivitas elektrik

pada ujung-ujung saraf eferan yang dapat berupa rangsangan termal, kimia, dan

elektrik. Proses rangsangan itu akan menstimulasi sensory nervus fiber yang dimana

terdapat beta fiber, A delta Fiber, dan C fiber. Pada sensory nervuse fiber terdapat

nociceptor yang merupakan serabut saraf eferen yang tidak berespon terhadap stimulasi

eksternal dan infalami (maksudnya adalah pada nociseptor tanpa adanya factor dari luar

yang menyebabkan trauma atau bengkak individu dapat merasakan nyeri yang hebat)

nociceptor tersebut adalah A delta fiber dan C fiber. Setelah implus elektrik masuk

melalui nociceptor maka akan terjadilah 1st order neuron, dimana proses pertama inilah

yang akan menghantarkan elektrik stimulasi nyeri ke dalam system brain, melalui
spinal cord yang berada pada saraf posterior lalu dari saraf posterior berpindah ke saraf

anterior yang dibantu oleh substance P yang dalam spinotalamic tract (atau jalur

spinotalamic). Setelah masuk ke dalam jalur spinotalamic yang dibantu oleh substance

p maka terjadilah proses 2rd order neuron, dimana jalur dua ini mulai memasuki

medulla, pons dan miobrain dimana ketiga organ ini merupakan brain system. Setelah

implus elektrik stimulasi nyeri masuk ke dalam brain system maka akan dihantarkan ke

thalamus dan terjadilah 3rd order neuron yang akan masuk ke cerebral cortex dan akan

menghasilkan presepsi nyeri pada wajah seseorang. Implus inilah yang menjadi cikal

bakal sesorang merasakan nyeri pada tubuh.

Sedangkan pada system pernafasan yang di dalam proses stimulasi nyeri 2rd

order neuron dalam brain system terdapat medulla, pada medulla inilah terdapat system

control pernafasan yang terdapat apneustic dan pneumotaxic yang sudah kita bahas

kemarin, dimana mereka yang berperan sebagai untuk menjaga control pernafasan.

Saat tubuh mengalami pross transduksi seperti luka bakar, injuri atau trauma

pada bagian system pernafasan, yaitu area dada atau otot-otot interkostalis dan

diafragma. Akibat transdusi tersebut dapat mengakibatkan terjadinya proses patogensis

yang mengakibatkan inflamasi terjadi karena proses leukotriene, PGE2 (Prostaglandin

E2), histamin yang akan mengakibatkan terjadinya rangsangan atau sensitivtias yang

akan merangsang nociceptor dan terjadilah stimulasi nyeri pada 1st order neuron dan

selanjutnya. Lalu akibat dari terjadinya mekanisme homeostasis dan inflamasi yang

melibatkan PGE2, histamine dan bradykinin yang dimana pada proses terjadinya

vasodilatasi dan vaskuler permeabbilitas meningkat dan mengakibatkan oedema

formation (bengkak local), yang mengakibatkan tissue pressure meningkat (tekanan

dalam jaringan meningkat) yang akan mengakibatkan terjadinya nociceptor. Tidak


hanya itu proses hemostasis juga akan merangkan terjadinya peningkatan bradykinin

dan serotin yang akan merangsang nociceptor.

Lalu akibat terjadinya injuri atau trauma yang mengakibatkan perdarahan juga

dapat mengakibatkan terjadinya cloating dalam paru-paru yang akan mengganggu

system pernafasan. Darah yang membeku, akan mengakibatkan terjadinya iskemi yang

akan mengakibatkan terjadinya peningkatan ion kalium dan ion hydrogen dalam sel

sehingga akan mengakibatkan terjadinya kekakuan yang akan merangsang nociceptor.

Tidak hanya itu, injuri atau trauma yang mengakibatkan terjadinya nekrosis,

atau gangguan ventilasi dan difusi yang dapat menyebabkan terjadinya suplai O2 turun

> 50 mmhg, yang dimana jika suplai O2 turun akan mengakibatkan terjadinya hipoksia

jaringan yang akan mengganggung terjadinya siklus krab, sehingga produksi ATP

menurun dan asam laktat meningkat yang akan mengakibatkan terjadinya peningkatan

ion kalium dan hydrogen dalam sel yang akan merangsang terjadinya simulasi nyeri

pada neociceptor.

Proses yang merangsang A delta dan C fiber akan megakitifasi terjadinya 1st

order neuron menuju ke 2rd order neuron, yang sebelum mengaktifkan 3rd order neuron

dia akan melalui system brain, dimana brain system didalamnya terdapat medulla yang

dapat mengaktifkan terjadinya CCR (central kemoreseptor yang akan merangsang saraf

simpatis, sehingga akan mempengaruhi VRG (ventral) dan DRG (dorsal) yang

mengakibatkan terjadinya kontraksi otot-otot pernapasan dan diafragma, sehingga akan

menstimulasi terjadinya nyeri. Begitu juga dengan bradikinin. Tetapi bradikinin dapat

memiliki jalur sendiri yang disebabkan karena adanya proses kimia atau obat-obatan,

akibat dari ACE inhibitor yang menghambat terjadinya Angiotensi I menjadi

Angiotensin II, dimana saat proses itu terjadi maka akan melepaskan bradykinin, hal

inilah yang menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan vaskuler permeabilitas meningkat


dalam endotel pada saluran pernafasan, sehingga menginduksi saraf pernafasan yang

akan merangsang CCR dan medulla oblongata dan kembali lagi pada VRG dan DRG

yang akan meningkatkan kontraktilitas otot-otot diafragma dan interkostalis, pada

proses ini cerebral cortex akan menunjukkan presepsi pada pasiennya adalah batuk

kering, akibat terjadinya peningkatan pergerakan otot-otot pernafasan maka akan

menstimulasi terjadinya nyeri akibat system pernafasan.

System pernafasan merupakan sebuah system yang rentan terhadap factor

infeksi, salah satunya adalah tanda dari infeksi pernafasan adalah batuk, sama halnya

dengan bradikinin tadi maka batuk yang berlebih akan mengakibatkan nyeri karena

pergerakan otot pernafasan.

Infeksi pada paru yang dapat mengakibatkan stimulasi terjadinya pathogen yang

menyebaban inflamasi dapat disebabkan karena tekanan hirostatik rongga paru

meningkat, dan tekanan koloid osmotic paru menurun dan permeabilitas kapiler naik

yang menyebabkan eksudat atau transudate pada paru, yang akan mengakibatkan

terjadinya ketidakseimbangan tekanan pleura yang dimana jika cairan pleura > 20 ml

maka akan mengakibatkan terjadinya gangguan proses pernafasan yang merangsang

medulla dan mengaktifasi CCR dan VRG dan DRG yang mengakibatkan terjadinya

ketidakseimbangan kontra isi otot diafragma dan interkostas dalam inspirasi dan

ekspirasi sehingga menstimulasi terjadinya nyeri. Infeksi pada paru juga dapat

diakibatkan oleh adanya injuri atau trauma, hal ini saling berkaitan atau dapat

mempengaruhi satu sama lain berikut juga pada proses penatalaksanaannya yang

berupa tindakan WSD. Dimana tindakan WSD akan mengakibatkan terjadinya injuri

yang disengaja dan mengakibatkan proses inflamasi dan berlanjut seperti proses tadi.

4. Gejala Lain Yang Mendukung Berdasarkan Patofisiologi


Nyeri dada pleuritic sering dirasakan sebagai nyeri tajam, menusuk yang terjadi

pada satu dinding dada dan meningkat dengan gerakan dinding dada atau pernapasan

dalam (Black dan Hawks, 2014).

5. Tanda Mayor Dan Minor Yang Ada Dalam SDKI

Menurut buku “Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI)” 2018,

Intervensi pada pola napas tidak efektif yang ditandai dengan nyeri saat bernafas antara

lain:

a. Gejala dan tanda mayor

1) Subjektif

a) Dispnea

2) Objektif

a) Penggunaan otot bantu pernapasan

b) Fase ekspirasi memanjang

c) Pola napas abnormal

b. Gejala dan tanda minor

1) Subjektif

a) Ortopnea

2) Objektif

a) Pernapasan pursed-lip

b) Pernapasan cuping hidung

c) Diameter toraks anterior-posterior meningkat

d) Ventilasi semenit menurun

e) Tekanan ekspirasi menurun

f) Tekanan inspirasi menurun

g) Ekskursi dada berubah


6. Diagnosis Yang Dapat Ditegakkan Sesuai SDKI

Diagnosa keperawatan pada gangguan rasa aman nyaman; nyeri harus aktual

dan potensial berdasarkan pengumpulan data yang selama pengkajian dimana perawat

menyusun strategi keperawatan untuk mengurangi atau mencegah bahaya yang dapat

terjadi (Tim Pokja SIKI PPNI, 2018).

Diagnosa keperawatan terkait masalah gangguan system pernapasan yaitu pola

nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas (kelemahan otot

pernafasan, nyeri saat bernafas) yang ditandai dengan dispneu, penggunaan otot bantu

nafas, pernafasan cuping hidung (Tim Pokja SIKI PPNI, 2018).

Intervensi keperawatan merupakan tahap ketiga dalam proses keperawatan

dimana pada tahao ini perawat menentukan suatu rencana yang akan diberikan pada

pasien sesuai dengan masalah yang dialami pasien setelah pengkajian dan perumusan

diagnosis. Menurut SIKI (Tim Pokja SIKI PPNI, 2018) intervensi keperawatan yang

ditetapkan adalah: Pola Nafas Tidak Efektif, Manajemen Jalan Nafas (SIKI, I.01011)

dan Pemantauan Respirasi (SIKI, I.01014).

Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Pola nafas tidak efektif Tujuan: setelah dilakukan Intervensi: Manajemen

berhubungan dengan tindakan keperawatan selama jalan nafas, pemantauan

hambatan upaya nafas ...x24 jam pola nafas respirasi

(kelemahan otot membaik dengan kriteria Manajemen jalan nafas:

pernafasan, nyeri saat hasil: 1. Monitor pola nafas

bernafas) Pola Nafas (frekuensi,

1. Dispneu menurun kedalaman, usaha

2. Penggunaan otot bantu nafas)

nafas menurun pernafasan 2. Monitor bunyi nafas


cuping hidung menurun tambahan

3. Frekuensi nafas membaik (wheezing, ronkhi,

4. Kedalaman nafas membaik mengi)

3. Monitor sputum

Tingkat Keletihan (jumlah, warna, bau)

1. Mengi menurun 4. Posisikan semi

2. Gelisah menurun fowler/fowler

3. Frekuensi nafas menurun 5. Berikan minum

4. Pola nafas membaik hangat

6. Lakukan fisioterapi

dada, jika perlu

7. Berikan oksigen jika

perlu

8. Anjurkan asupan

cairan 2000 l/hari,

jika tidak ada

kontraindikasi

9. Ajarkan teknik batuk

efektif

10. Kolaborasi

pemberian

bronkodilator,

ekspectoran,

mukolitik jika perlu


Pemantauan respirasi:

1. 1.Monitor frekuensi,

irama, kedalaman

dan upaya nafas

2. Monitor pola nafas

(seperti bradipneu,

takipneu,

hiperventilasi,

kussmaul, cheyne-

stokes, biotataksik)

3. Monitor kemampuan

batuk efektif

4. Monitor adanya

produksi sputum

5. Auskultasi bunyi

nafas

6. Monitor saturasi
BAB II

KONSEP TEORI

A. Konsep Dasar Kelelahan

7. Pengertian Kelelahan

Kelelahan otot dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana terjadi penurunan

kapasitas pembangkitan gaya pada otot akibat aktivitas otot dibawah beban yang dapat

dibalik dengan istirahat. Kelemahan otot adalah suatu kondisi dimana kapasitas otot

yang diistirahatkan untuk menghasilkan gaya adalah terganggu. Tiga keletihan tipe

umum telah dijelaskan: keletihan sentral, keletihan transmisi, dan keletihan kontraktil.

Kelelahan sentral adalah penurunan dorongan pernapasan saraf incentral yang diinduksi

oleh tenaga. Kelelahan transmisi adalah gangguan reversibel yang diinduksi oleh tenaga

dalam transmisi impuls saraf melalui saraf atau persimpangan neuromuskuler.

Kelelahan kontraktil adalah gangguan yang reversibel dalam respon kontraktil impuls

toneural pada otot yang kelebihan beban. Kelelahan transmisi dan kelelahan kontraktil

dapat dikelompokkan bersama sebagai penyebab perifer untuk kelelahan (M J Mador,

2011).

Mayoritas kerja otot dibutuhkan untuk bernafas dilakukan selama inspirasi

bahkan pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik.6 Oleh karena itu, otot

inspirasi, termasuk diafragma, adalah otot-otot yang paling berisiko mengalami

kelelahan. Pada tahun 1977, Roussos dan Macklem mendemonstrasikan bahwa

diafragma bisa lelah pada pria normal saat mengalami beban yang cukup tinggi. Dalam

percobaan ini, beban resistif inspirasi digunakan untuk membutuhkan diafragma untuk

menghasilkan target tertentu tekanan dengan setiap napas sampai tugas gagal

(ditentukan sebagai ketidakmampuan untuk menghasilkan tekanan target).


Dulu menemukan bahwa tekanan transdiafragmatik target (Pa) kurang dari 40

persen dari transdiafragmatik maksimal tekanan (Pthmax) bisa dipertahankan tanpa

batas sedangkan target Pa lebih besar dari 40 persen Pımax menyebabkan kegagalan

tugas dalam periode waktu yang terbatas (kurang dari 45 mm).

Semakin besar tekanan target, maka mempersingkat waktu untuk kegagalan

tugas. Selanjutnya, ini penulis telah menunjukkan kelelahan baik diafragma dan otot

tulang rusuk dapat dicapai saat subjek menghasilkan tekanan mulut (PM) yang cukup

tinggi dengan masing-masing nafas selama pembebanan resistif inspirasi.8 Sebuah

target Saya kurang dari 60 persen dari tekanan mulut maksimal (diukur saat melakukan

inspirasi maksimal upaya melawan jalan napas yang tersumbat pada saat fungsional

kapasitas sisa) dapat dipertahankan tanpa batas sedangkan target lebih besar dari 60

persen Pmmi menyebabkan kegagalan tugas dalam jangka waktu yang terbatas waktu.

Eksperimen ini jelas menunjukkan intensitasnya kontraksi otot pernafasan dan

kekuatannya otot inspirasi merupakan penentu penting dari proses yang melelahkan.

Dengan demikian, peningkatan inspirasi beban (dengan meningkatkan Pm yang

dibutuhkan) dan menurun kekuatan otot inspirasi (dengan menurunkan Pmmax) akan

mempengaruhi perkembangan otot inspirasi kelelahan. Yang menarik untuk

diperhatikan adalah mulut target tekanan yang diperlukan untuk menginduksi

kegagalan tugas lebih besar daripada ketika tekanan target diafragma digunakan (60 vs

40 persen). Tidak ada alasan untuk perbedaan ini sepenuhnya jelas. Dalam percobaan

ini, bagaimanapun, PImax diukur selama manuver ekspulsif Mueller (inspirasi

maksimal melawan oklusi jalan napas dengan kontraksi simultan dari otot perut) (M J

Mador, 2011).

8. Penyebab Kelelahan
Terjadinya fatique dapat disebabkan oleh berbagai macam hal, baik secara

fisiologi maupun pathofisiologi. Fatique juga bisa karena kita tidak mencukupi gizi

untuk pemenuhan sehari-hari, kurang tidur, stress, hormone, dan aktivitas kita yang

telah kita lakukan. Selain itu, adanya agen pencetus yang menyebabkan munculnya

sekret yang mengakibatkan obstruksi pada tracheobroncheal, adanya penurunan dan

ekspansi paru serta proses inflamasi maka akan menyebabkan adanya kesulitan pada

saat bernafas yang ditandai dengan perubahan ke dalaman dan atau kecepatan

pernafasan, gangguan perkembangan pada rongga dada, bunyi nafas yang tidak normal.

Hal itu akan mengakibatkan kelelahan pada system pernapasan (Black dan Hawks,

2014).

9. Patway Dan Penjelasannya

Gambar Pathway Kelelahan Berhubungan Dengan Sistem Pernapasan

Fatique atau kelelahan adalah suatu fenomena fisiologis, suatu proses terjadinya

keadaan penurunan toleransi terhadap kerja fisik. Terjadinya fatique dapat disebabkan

oleh berbagai macam hal, baik secara fisiologi maupun pathofisiologi. Fatique juga bisa
karena kita tidak mencukupi gizi untuk pemenuhan sehari-hari, kurang tidur, stress,

hormone, dan aktivitas kita yang telah kita lakukan.

Dalam presentasi kali ini kami akan coba menjelaskan kelelahan secara system

respirasi baik secara fisiologis maupun pathologis. Tetapi pada kejadian fatique pada

system respirasi juga tidak dapat dihilangkan dari pengaruh system lain, seperti kardio,

neuro, renal dan lain-lain. Karena semua saling mempengaruhi.

Pada system respirasi, fatique sering terjadi akibat karena terjadinya penurunan

suplai oksigen dalam darah yang akan mengganggu terjadinya produski ATP. Tetapi

perlu kita ketahui ternyata banyak factor selain itu terjadi. Dalam presentasi

sebelumnya kita sudah mengenal dan mempelajari terjadinya dyspnea, nyeri dan

penurunan kesadaran, hal itu dapat memanisfestasikan terjadinya kelelahan terhadap

diri seseorang.

Berikut prosesnya;

Secara fisiologi system pernafasan diatur oleh medulla oblogata yang ada pada

otak atau cerebral dimana medulla oblongata akan mengatur system ritmis pernafasan

seseorang dan dibantu juga oleh pneumotaxic dan apneustic sebagai control pernafasan

saat kita melakukan aktivitas.

Sehingga saat kita melakukan aktivitas yang berlebih (type of activity), dan type

muckle fiber, seperti lari, atau olah raga, akan mengaktifkan area CCR, dimana CCR

akan mengaktivasi Pneumotaxic dan apneustix agar dapat melakukan inspirasi dan

ekspirasi lebih cepat agar dapat mencukupi kebutuhan oksigen dalam darah untuk

proses terjadinya metabolisme. Dan kita dapat melihat terjadinya peningkatan

pergerakan otot-otot pernafasan, apa bila otot-otot pernafasan tidak dapat mengimbangi

kebutuhan oksigen yang diperlukan oleh sel, maka akan mengakibatkan terjadinya

penurunan dari kontraktilitas otot-otot pernafasan, hal itu disebut dengan kelelahan
otot-otot pernafasan. Yang dapat mengakibatkan terjadinya syncope dan gagal nafas,

dan cardiac death pada pasien tersebut.

Tipe aktivitas ini perlu dikaji dari berbagai bidang baik secara fisiologi atau

patofisiologi, terutama pada atlet, karena orang itu tidak mengalami kelelahan tetapi

dapat tiba-tiba terjadi cardiac death saat dia beraktivitas akibat metabolisme anaerob

dan chonotopic incompetence pada system cardio.

Terjadinya kenaikan suhu, kenaikan suhu pada tubuh seseorang yang dapat

mengakibatkan terjadinya kelelahan tidak dapat di prediksi karena tergantung setiap

individu itu sendiri sama halnya seperti kejang pada anak. Pada proses terjadinya

kenaikan suhu akibat suhu ekstrim atau panas ekstrim dari luar akan memberikan

dampak pada tubh untuk melakukan proses metabolisme sehingga tubuh lebih banyak

membutuhkan oksigen sehingga akan merangsang CCR untuk dapat mengaktifasi VRG

dan DRG untuk dapat mencukupi kebutuhan oksigen dalam tubuh. Tidak hanya itu

pada suhu tinggi maka hypothalamus akan merangsang proses pengeluaran keringat

sehingga suhu tubuh akan terjaga, jika keringat yang dikelurkan akan terus-menerus

akan mengakibatkan terjadinya eksresi ionic tubuh dan mengakibatkan hipovolum

(dehidrasi) yang akan mengakibatkan terjadinya gangguan difusi, hal ini akan

mengakibatkan kelelahan. Dan suhu yang meningkat diluar juga akan dapat

mengakibatkan vasokontriksi pembuluh darah serebral yang akan mengakibatkan heat

stroke. Tidak hanya itu kenaikan suhu dari dalam akibat terjadinya infeksi juga dapat

mengakibatkan terjadinya kelelahan yang diakibatkan karena CCR dan proses

gangguan difusi, dan gangguan ventilasi.

Stimulasi nyeri, hal ini sudah kita pelajari dalam pertemuan minggu kemarin,

dan sekarang kenapa nyeri dapat menyebabkan terjadinya kelelahan, maka disini akan

kami coba jelaskan stimulasi nyeri baik akibat dilihat dari berbagai macam proses
antara inflamasi, blodd cloting, bradykinin, serotonin, dan iskemia akan merespon

medulla oblongata dan CCR sehingga akan mengaktifasi VRG dan DRG yang

mengakibatkan terjadinya kebutuhna oksigen meningkat sehingga tubuh akan

menunjukan peningkatan pergerakan otot-otot pernafasan, yang dimana reseptor nyeri

itu akan mengakibatkan seseorang akan malas bergerak karena gangguan

muskoloskeletal sehingga mengalami kelelahan atau mobilisasi fisik. Tetapi kelelahan

system pernafasan di spesifikasi karena injuri atau trauma yang mengakibatkan

stimulasi nyeri atau mengakibatkan kerusakan regulasi pernafasan, yang akan

mengakibatkan terjadinya hipoventilasi dan terlihat ke pasiennya mengalami

pernafasan lambat dan dangkal (dyspnea) sehingga karena terjadinya dyspnea maka

CO2 akan sulit dikeluarkan sehingga terjadi hiperkapniea dimana CO2 > 50 mmHg.

Saat CO2 dalam darah meningkat, maka sumsum tulang akan merespon melalui cairan

cerebro spinal dan merangsang CCR dan hal yang sama akan terjadi seperti tipe

aktivitas dan temperature.

Fatique dalam system pernafasan juga dapat diakibatkan karena gangguan difusi

dimana gangguan difusi ini bisa terjadi karena berbagai banyak hal antara lain karena

emboli. Emboli atau udara yang ada dalam system pernafasan bisa disebabkan karena

DIC, tindakan pembedahan, partus/SC, trauma atau siskulasi sitemik. Misalnya

sirkulasi sitemik, adanya emboli pada bagian pembuluh darah lain, contohnya vena

maka udara bebas tadi akan masuk ke dalam sirkulasi sistemik dan dari IVC/SVC akan

masuk ke dalam RA lalu udara akan masuk ke RV setelah ke RV akan masuk Ke AP

udara (emboli) menyumbat AP maka seseorang tidak akan mengakibatkan terjadinya

kelehan begitu saja, tetapi akan mincul terjadinya proses yang perlahan atau yang

disebut dengan hipertensi pulmonal, karena terjadinya emboli di arteri pulmonalis,

maka RV akan membutuhkan tekanan berlebih untuk memasukan darah ke AP,


sehingga tekanan paru disana akan meningkat > 25 mmhg, maka saat RV tidak mampu

memompakan darah ke AP atau darah tidak dapat dialirkan dari RV ke pulmonalis

melalui AP karena kontraktilitas RV menurun/ adanya emboli tadi mengakibatkan

volume darah sedikit masuk ke paru untuk di difusi maka disini akan terjadi gangguan

difusi. Begitu juga saat terjadinya blood cloting/ thrombus yang lepas dan masuk

kedalam sirkulasi sitemik dan masuk keparu. Proses gangguan difusi tidak hanya akibat

emboli tetapi juga dapat dikarenakan terjadinya anemia atau ARDS, dimana eritrosit

yang membawa HB dan mengikat oksigen karena magnesium. Jika HB/

magnesium/eritrositnya mengamali masalah maka akan mengalami gangguan difusi.

Dimana jika terjadi gangguan difusi maka O2 tidak dapat didifusikan secara

baik, dan mengakibatkan O2 gagal disirkulasi yang ditandai dengan O2 dalam darah

turun < 50 mmHg (hipoksemia). Dimana akan mengakibatkan terjadinya hipoksia

jaringan dan terjadi gangguan pada metabolisme dari sirklus krab, yang hasilnya ATP

(adenosine Triposopat) turun karena metabolisme anaerob, dimana ATP itu adalah hasil

metabolisme yang digunakan sebagai energy, saat energy turun maka seseorang akan

mengakibatkan kelelahan. Tidak hanya itu gangguan ventilasi juga dapat

mengakibatkan terjadinya metabolisme anaerob yang diakibatkan karena terjadinya

gangguan perfusi yang mengakibatkan terjadinya hipoksemia sehingga mengakibatkan

metabolisme anaerob yang menjadikan produksi ATP dalm sel Turun. Akibat dari

gangguan difusi dan gangguan ventilasi yang mengakibatkan terjadinya hipoksemia

dapat dilihat pada pasien dengan adanya tanda-tanda keringat dingin, SPO2 turun, dan

sesak nafas. terjadinya metabolisme anaerob tidak hanya mengakibatkan peroduksi

ATP menurun tetapi juga dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan asam laktat

dalam sel, yang mengakibatkan terjadinya ion hydrogen meningkat sehingga membuat

PH turun, dan mengakibatkan penurunan kemampuan pengikat ion Ca++. Terjadilah


sarcoplasmic reticulum melepaskan Ca++ shingga akan mengganggu terjadinya axis

potensial cell membrane menjadi menurun sehingga terjadi gagal kontraktilitas pada

membrane sel/ otot yang menjadikan seseorang terjadinya kelelahan.

Metabolisme anaerob juga dapat menyebabkan terjadinya iskemic karena

adanya hipoksia jaringan dimana terjadi pelepaan ion K+ meningkat, H+ menigkat,

Na+ turun dimana hal ini dapat mengakibatkan sebagai stimulus nyeri juga dapat

mengakibatkan penurunan axis potensia membrane cell yang dpat mengakibatkan

kelelahan karena terjadi gagal kontraktilitas sel otot.

Terjadinya proses metabolisme anaerob selain diparu juga dapat mengganggu

system organ lain seperti jantung yang akan mengakibatkan terjadinya aritmia, dan

kelaian sel otot jantung yang akan berdampak pada kontraktilitas (EF) jika EF turun

maka terjadinya penurunan Cardiac output, sehingga dapat mengakibatkan kelelahan.

Emboli/ clooting pada system pernafasan, juga dapat mengakibatkan terjadinya

masalah yang dapat mengakibatkan karena emboli/ kloting dlm sirkulasi pernafasan

lepas, dan terbawa dalam sirkulasi sitemik dan menyumbat dada bagian pembuluh

darah lain seperti arteri akan mengakibatkan terjadinya Periperal atrial disesase atau

acute limb iskemi yang akan mengakibatkan gangguan difusi dan terjadinya kelelahan

anggota gerak disana, jika terjadi pada vena akan mengakibatkan Deep vain thrombus

dan akan mengakibatkan ganguan difusi dan mengakibatkan kelelahan.

10. Gejala Lain Yang Mendukung Berdasarkan Patofisiologi

Kelelahan karena terjadi gagal kontraktilitas sel otot (Black dan Hawks, 2014).

11. Tanda Mayor Dan Minor Yang Ada Dalam SDKI

a. Gejala dan Tanda Mayor


Bagian dari gejal dan tanda mayor gangguan ventilasi spontan yaitu subjektif

dan objektif. Subjektif terdiri dari: dispnea (sesak), dan objektif terdiri dari:
penggunaan otot bantu napas meningkat, volume tidal menurun, PCO2 meningkat,

PO2 menurun, SaO2 menurun (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2018).

b. Gejala dan Tanda Minor


Bagian dari gejala dan tanda minor dari gangguan ventilasi spontan yaitu dari

subjektif dan objektif. Subjektif dari tanda minor gangguan ventilasi spontan tidak

tersedia sedangkan objektif dari tanda minor gangguan ventilasi spontan yaitu

gelisah dan takikardia. (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2018)

12. Diagnosis Yang Dapat Ditegakkan Sesuai SDKI

Diagnosa keperawatan pada gangguan rasa aman nyaman; nyeri harus aktual

dan potensial berdasarkan pengumpulan data yang selama pengkajian dimana perawat

menyusun strategi keperawatan untuk mengurangi atau mencegah bahaya yang dapat

terjadi (Tim Pokja SIKI PPNI, 2018).

Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Pola nafas tidak efektif Tujuan: setelah dilakukan Intervensi: Manajemen

berhubungan dengan tindakan keperawatan selama jalan nafas, pemantauan

hambatan upaya nafas ...x24 jam pola nafas respirasi

(kelemahan otot membaik dengan kriteria Manajemen jalan nafas:

pernafasan, nyeri saat hasil: 11. Monitor pola nafas

bernafas) Pola Nafas (frekuensi,

5. Dispneu menurun kedalaman, usaha

6. Penggunaan otot bantu nafas)

nafas menurun pernafasan 12. Monitor bunyi nafas

cuping hidung menurun tambahan

7. Frekuensi nafas membaik (wheezing, ronkhi,

8. Kedalaman nafas membaik mengi)


13. Monitor sputum

Tingkat Keletihan (jumlah, warna, bau)

5. Mengi menurun 14. Posisikan semi

6. Gelisah menurun fowler/fowler

7. Frekuensi nafas menurun 15. Berikan minum

8. Pola nafas membaik hangat

16. Lakukan fisioterapi

dada, jika perlu

17. Berikan oksigen jika

perlu

18. Anjurkan asupan

cairan 2000 l/hari,

jika tidak ada

kontraindikasi

19. Ajarkan teknik

batuk efektif

20. Kolaborasi

pemberian

bronkodilator,

ekspectoran,

mukolitik jika perlu

Pemantauan respirasi:

7. 1.Monitor frekuensi,

irama, kedalaman
dan upaya nafas

8. Monitor pola nafas

(seperti bradipneu,

takipneu,

hiperventilasi,

kussmaul, cheyne-

stokes, biotataksik)

9. Monitor kemampuan

batuk efektif

10. Monitor adanya

produksi sputum

11. Auskultasi bunyi

nafas

12. Monitor saturasi


DAFTAR PUSTAKA

Black, Joyce M. dan Jane Hokanson Hawks. 2014. Keperawatan Medikal Bedah Manajemen
Klinis Untuk Hasil Yang Diharapkan Edisi 8 Edisi Bahasa Indonesia. Indonesia: CV
Pentasada Media Edukasi.

Boyars MC, Karnath BM, Mercado AC. (2004). Acute dyspnea: A sign of underlying
disease;:23-27. .HospPhy.

CardiovascTher 2009;7(2):169-80. [http://dx.doi.org/10.1586/14779072.7.2.169]. Nishino T.


(2011). Dyspnoea: Underlying mechanisms and treatment. Br J Anaest.;463-474.
[http://dx.doi.org/10.1093/bja/aer040] 6. Zoorob RJ, Campbell JS. Acute dyspnea in the
office. Am Fam Phys 2003;68(9):1803-1810.

Gopal M, Karnath B. (2009). Clinical diagnosis of heart failure;9-15. HospPhy.

Lucassen WA, et al. Safe exclusion of pulmonary embolism using the Wells rule and
qualitative D dimer testing in primary care: Prospective cohort study. BMJ
2012;345:e6564. [http://dx.doi.org/10.1136/bmj.e6564]

Mercado AC.(2004). Acute dyspnea: A sign of underlying disease.;23-27. HospPhy.

Ntusi NAB, Mayosi BM. (2009). Epidemiology of heart failure in sub-Saharan Africa. Expert
Rev

O’Donnell DE, Banzett RB, Carrieri-Kohlman V, et al. (2007).Pathophysiology of dyspnea in


chronic obstructive pulmonary disease; 145-168. [http://dx.doi.org/10.1513/pats.200611-
159CC]

Parshall MB, Schwartzstein RM, Adams L, et al. (2011). An official American Thoracic
Society Statement: Update on the mechanisms, assessment, and management of dyspnea.
Am J Respir Crit Care Med . [http://dx.doi.org/10.1164/rccm.2011-11 2042ST] Proc Am
Thor Soc .(2007) Pulmonary disease 145-168.
[http://dx.doi.org/10.1513/pats.200611159CC]

Singh B, Mommer SK, Erwin PJ, Mascarenhas SS, Parsaik AK. (2012). Pulmonary
embolism rule-out Criteria (PERC) in pulmonary embolism – revisited: A systematic
review and meta-analysis. Emerg Med J 2013;30:701-706.
[http://dx.doi.org/10.1136/emermed-2012-201730]

Suriani, Yenilis. 2018. Asuhan Keperawatan Pada An. R Dengan Gangguan Ispa (Infeksi
Saluran Pernafasan Akut) Di Wilayah Kerja Puskesmas Air Haji Kecamatan Linggo Sari
Baganti Kabupaten Pesisir Selatan. Padang: Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Perintis
Padang.

Tim Pokja. 2018. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia, Definisi dan Indikator
Diagnostik Edisi 1, Cetakan 2. Jakarta: PPNI
Tim Pokja. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia, Definisi dan Kiteria Hasil
Keperawatan Edisi 1, Cetakan 2. Jakarta: PPNI

Tim Pokja. 2018 Standar Intervensi Keperawatan Indonesia, Definisi dan Tindakan
Keperawatan Edisi 1, Cetakan 2. Jakarta: PPNI

Yuliantini, Ni Nyoman. 2017. Efek Nyeri Terhadap Kardiovaskular dan Respirasi. Sanglah:
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

Anda mungkin juga menyukai