Anda di halaman 1dari 12

EKMA4316-2

NASKAH TUGAS MATA KULIAH


UNIVERSITAS TERBUKA
SEMESTER: 2022/23.1 (2022.2)

Fakultas : FE/Fakultas Ekonomi


Kode/Nama MK : EKMA4316/Hukum Bisnis
Tugas 2

No. Soal
1 a. Coba saudara cari kasus hukum perseoran terbatas satu saja dan analisislah kasus yang saudara tulis tersebut
dengan menarik sebuah kesimpulan menurut pendapat saudara dan bagaimanaka cara penyelesaiannnya dari
kasus hukum perusahaan yang saudara ambil tersebut!
b. PT. Bank Central Asia Tbk. termasuk perseroan terbatas terbuka, menur ut saudara mengapa demikian?

2 Banyak kasus kejahatan dan penipuan yang melibatkan pegawai bank dan menjadikan dana nasabah bank hilang
hal ini tentu saja melanggar hukum perbankan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 yang mana nasabah
telah dirugikan. Salah satu contoh adalah kejadian uang di sejumlah nasabahbank di Cianjur raib.
a. Analisislah kasus diatas sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 !
b. Menurut kasus diatas azas-azas hukum perbankan apa saja yang dilanggar oleh pegawai bank tersebut!

Jawaban nomor 02
A.Kasus sejumlah nasabah bank cianjur raib

PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk terus berupaya memerangi kejahatan skimming dengan
mengembangkan sistem dan berbagai fitur keamanan, selain itu juga BRI terus berkoordinasi dan
bekerjasama dengan pihak berwajib untuk menangkap sindikat kejahatan perbankan yang
merugikan perbankan nasional, dimana tindak kejahatan skimming ini tidak hanya nasabah yang
menjadi korban, namun juga pihak bank.
Selain itu, BRI juga melakukan respon dan investigasi cepat terhadap pengaduan nasabah yang
menjadi korban kejahatan perbankan, salah satunya adalah skimming. Tanggapan cepat BRI atas
kejadian skimming yang menimpa sejumlah nasabah sesuai dengan komitmen perusahaan untuk
terus memberi pelayanan prima dan mengutamakan kepuasan masyarakat. Corporate Secretary BRI
Aestika Oryza Gunarto mengatakan BRI menjamin keamanan simpanan seluruh nasabah.
Perusahaan juga akan bertanggung jawab atas seluruh kerugian nasabah yang terbukti menjadi
korban kejahatan skimming.
“Terhadap seluruh aduan yang masuk, BRI melakukan proses investigasi terlebih dahulu sesuai
dengan SOP (Standar Operasional Prosedur). Namun demikian, sebagian nasabah yang sudah
selesai proses investigasi langsung diganti dananya. BRI menjamin simpanan nasabah tetap aman,
dan masyarakat tak perlu panik serta khawatir uangnya hilang. Apabila terbukti merupakan korban
tindak kejahatan skimming, BRI bertanggungjawab untuk segera menyelesaikan hal tersebut,” ujar
Aestika.
Setelah melalui proses investigasi dan terbukti bahwa memang kehilangan dana nasabah
disebabkan karena tindak kejahatan skimming, BRI segera mengganti kerugian yang dialami
nasabah. Seperti yang telah dilakukan kepada sejumlah nasabah yang menjadi korban tindak
kejahatan perbankan berupa skimming di Kabupaten Cianjur. Penggantian kerugian ini dilakukan
BRI lebih cepat dari tenggat waktu maksimal sesuai ketentuan, yakni 20 hari kerja pasca laporan
nasabah diterima.
Respon cepat BRI atas peristiwa yang menimpa nasabahnya mendapat apresiasi dari para korban
skimming. Pujian disampaikan salah satunya oleh Budaemi, nasabah BRI Kantor Cabang Cianjur.
Budaemi memuji respon BRI karena cekatan mengganti kerugiannya hanya berselang sehari pasca
laporan dugaan skimming dibuat.
“Kemarin Senin (5/4) saya mengajukan pengaduan ke BRI karena kehilangan uang pada Jumat (2/4)
sebanyak Rp 10 juta. Sore ini uang yang hilang sudah kembali sebanyak Rp 10 juta. Saya selaku
nasabah mengucapkan terima kasih kepada pihak BRI yang menunjukkan tanggung jawab yang luar
biasa kepada nasabahnya,” ujar Budaemi.
Pada kesempatan terpisah, Dadang selaku nasabah BRI juga menyampaikan ucapan terima kasihnya
kepada perusahaan. Dia bersyukur karena simpanannya sebanyak Rp 10 juta yang sempat raib
karena skimming kini telah kembali.
“Terima kasih kepada Bank BRI yang sudah menanggapi dan merespon dengan ramah laporan kami,
kehilangan uang Rp 10 juta, dan alhamdulillah hari ini saya sudah cek di ATM uang itu sudah
kembali sepenuhnya. Kepada nasabah BRI jangan kapok,” tutur Dadang.
Agar tidak menjadi korban kejahatan perbankan, BRI mengimbau agar nasabah lebih berhati-hati
dalam melakukan transaksi perbankan, tipsnya amannya yakni dengan rutin melakukan
penggantian PIN kartu ATM, dan juga menjaga kerahasiaan data nasabah seperti nomor kartu,
nomor CVV kartu debit/kredit, hingga nomor OTP (One Time Password) transaksi, serta data
perbankan lainnya kepada pihak manapun, termasuk yang mengatasnamakan BRI. BRI juga
mengajak nasabah untuk mengaktifkan fitur SMS notifikasi guna mengetahui perubahan saldo
nasabah atau mutasi rekening.

2B. azas-azas hukum perbankan apa saja yang dilanggar oleh pegawai bank

Asas Kehati-Hatian

Dalam Pasal 29 Undang-Undang Perbankan dinyatakan bahwa bank wajib melakukan kegiatan
usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Hal ini bertujuan agar bank selalu dalam keadaan likuid
dan solvent. Dengan diberlakukannya prinsip kehati-hatian diharapkan kadar kepercayaan
masyarakat terhadap bank tetap tinggi, sehingga masyarakat bersedia dan tidak ragu-ragu
menyimpan dana di bank serta kepentingan nasabah terlindungi. Akan tetapi, dapat dilihat melalui
pelaksanaan kegiatan perbankan anatara bank dan para pihak yang terlibat di dalamnya, terutama
dalam membuat kebijaksanaan dan menjalankan kegiatan usahanya wajib menjalankan tugas dan
wewenangnya masing-masing secara cermat, teliti, dan profesional sehingga memperoleh
kepercayaan masyarakat (Dasrol, 2019: 16-17).

Hubungan antara bank dan nasabah penyimpan dana merupakan hubungan kontraktual antara
debitur dan kreditor yang dilandasi oleh prinsip kehati-hatian dengan tujuan agar bank yang
menggunakan uang nasabah tersebut akan mampu membayar kembali dana masyarakat yang
disimpan kepadanya apabila ditagih oleh para penyimpannya.

Dengan adanya prinsip kehati-hatian ini, maka bank dalam melakukan kegiatan usaha menghimpun
dana dari masyarakat dan menyalurkannya kepada masyarakat diwajibkan untuk bertindak secara
hati-hati, cermat, teliti dan bijaksana atau tidak ceroboh dengan meminimalisir kemungkinan resiko
yang akan terjadi sebagai akibat dari kegiatan usaha menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkannya kepada masyarakat, yang kesemuannya itu pada gilirannya dalam rangka
memberikan perlindungan terhadap dana masyarakat yang dipercayakan kepada lembaga
perbankan (Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, 2010: 27).

1A
PT Terbuka sendiri setidaknya harus memiliki 300 pemegang saham dan memiliki modal disetor
sekurang-kurangnya tiga miliar rupiah atau suatu jumlah pemegang saham dan modal disetor yang
ditetapkan dalam peraturan pelaksananya.
emanggilan RUPS untuk PT Terbuka yang sahamnya tercatat pada Bursa Efek dilakukan minimal
melalui :

a. Satu surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional.

b. Situs web Bursa Efek

c. Situs web Perusahaan Terbuka dalam Bahasa Indonesia dan bahasa asing, dengan ketentuan
bahasa asing yang digunakan paling kurang Bahasa Inggris. Situs web Bursa Efek

Namun dalam PT Terbuka, RUPS harus dipimpin oleh anggota Dewan Komisaris yang ditunjuk oleh
Dewan Komisaris. Jika seluruh anggota Dewan Komisaris berhalangan hadir maka RUPS dipimpin
oleh salah satu anggota Direksi yang ditunjuk oleh Direksi. Apabila seluruh anggota Dewan
Komisaris dan Direksi tidak hadir atau berhalangan hadir, RUPS dapat dipimpin pemegang saham
yang hadir dalam RUPS yang ditunjuk oleh peserta RUPS. PT Terbuka juga memiliki kewajiban untuk
menyampaikan risalah RUPS kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) paling lambat 30 hari setelah
RUPS diselenggarakan.

Perseroan Terbuka
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT)
mendefinisikan Perseroan Terbuka sebagai Perseroan Publik atau Perseroan yang melakukan
penawaran umum saham, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar
modal.

Sementara itu, Perseroan Publik adalah Perseroan yang memenuhi kriteria jumlah pemegang saham
dan modal disetor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar
modal.[1]

Sebagaimana dijelaskan oleh M. Yahya Harahap dalam bukunya Perseroan Terbatas (hal. 41), jadi
yang dimaksud dengan Perseroan Terbuka (Tbk) menurut Pasal 1 angka 7 UUPT adalah:
1. Perseroan Publik yang telah memenuhi ketentuan Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (“UU Pasar Modal”) yakni memiliki pemegang saham
sekurangnya 300 orang dan modal disetor sekurang-kurangnya Rp 3 miliar; atau
2. Perseroan yang melakukan penawaran umum (public offering) saham di Bursa Efek.
Maksudnya perseroan tersebut menawarkan atau menjual saham atau efeknya kepada masyarakat
luas.[2]
Hanya emiten yang boleh melakukan penawaran umum. Emiten menurut Pasal 1 angka 6 UU Pasar
Modal adalah pihak yang melakukan penawaran umum. Emiten tersebut harus telah
menyampaikan pernyataan pendaftaran kepada Bapepam (saat ini Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”))
untuk menawarkan atau menjual efek kepada masyarakat dan pernyataan pendaftaran tersebut
telah efektif.[3]
Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.04/2017 tentang
Laporan Kepemilikan atau Setiap Perubahan Kepemilikan Saham Perusahaan Terbuka (“POJK
11/2017”), Perusahaan Terbuka adalah Emiten yang telah melakukan penawaran umum efek
bersifat ekuitas atau Perusahaan Publik.

Jadi berdasarkan uraian di atas, dapat kita simpulkan untuk disebut sebagai Perseroan Terbuka,
yaitu Perseroan Publik yang telah memenuhi kriteria sebagai Perseroan Publik yaitu memiliki
pemegang saham sekurangnya 300 orang dan modal disetor sekurang-kurangnya Rp 3 miliar atau
melakukan penawaran umum saham.

Bisakah Perseroan Terbuka Hanya Memiliki 3 Pemegang Saham?


Jika dikaitkan dengan pertanyaan Anda memang benar bahwa syarat Perseroan Terbuka adalah
memiliki pemegang saham sekurangnya 300 orang dan modal disetor sekurang-kurangnya Rp 3
miliar (Perusahaan Publik). Tetapi suatu perseroan yang dapat dikatakan sebagai Perseroan Terbuka
tidak hanya perseroan yang memiliki pemegang saham sekurangnya 300 orang dan modal disetor
sekurang-kurangnya Rp 3 miliar, tetapi juga dapat dikatakan sebagai Perseroan Terbuka apabila
telah melakukan penawaran umum. Lantas bagaimana dengan perusahaan terbuka yang hanya
memiliki 3 pemegang saham?

Menurut hemat kami berdasarkan penjelasan di atas bisa saja Perseroan Terbuka yang Anda
sebutkan di atas adalah Perseroan Terbuka yang telah melakukan penawaran umum (public
offering) saham di Bursa Efek. Maksudnya perseroan tersebut menawarkan atau menjual saham
atau efeknya kepada masyarakat luas, bukan Perseroan Publik yang memiliki pemegang saham
sekurangnya 300 orang dan modal disetor sekurang-kurangnya Rp 3 miliar yang juga dapat
dikatakan sebagai sebuah Perseroan Terbuka .

Atau kemungkinan lain (salah satunya) adalah perseroan itu sendiri dan/atau pemegang saham (-
pemegang saham) telah melakukan pembelian kembali saham-saham yang beredar di Bursa Efek.
Saham-saham yang dibeli kembali oleh perseroan disebut juga treasury stocks. Saham-saham
tersebut tidak mempunyai hak suara dan karenanya tidak diperhitungkan dalam penentuan jumlah
korum Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”).

Menurut Pasal 37 ayat (1) UUPT syarat materiil pembelian kembali (buy back) saham-saham yang
telah disetor oleh perseroan terbatas adalah sebagai berikut:
a. Pembelian kembali saham tersebut tidak menyebabkan kekayaan bersih Perseroan menjadi
lebih kecil dari jumlah modal yang ditempatkan ditambah cadangan wajib yang telah disisihkan; dan
b. Jumlah nilai nominal seluruh saham yang dibeli kembali oleh Perseroan dan gadai saham
atau jaminan fidusia atas saham yang dipegang oleh Perseroan sendiri dan/atau Perseroan lain yang
sahamnya secara langsung atau tidak langsung dimiliki oleh Perseroan, tidak melebihi 10% (sepuluh
persen) dari jumlah modal yang ditempatkan dalam Perseroan, kecuali diatur lain dalam peraturan
perundangundangan di bidang pasar modal.

Syarat formil (prosedural) pembelian kembali saham-saham di atas pada dasarnya hanya boleh
dilakukan berdasarkan persetujuan RUPS, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-
undangan di bidang pasar modal. Keputusan RUPS yang memuat persetujuan sah apabila dilakukan
sesuai dengan ketentuan mengenai panggilan rapat, kuorum, dan persetujuan jumlah suara untuk
perubahan anggaran dasar sebagaimana diatur dalam UUPT dan/atau anggaran dasar.[4]
PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk (SULI) merupakan perusahaan terbuka yang besar dan terbilang
cukup sukses, namun ternyata gagal memberikan rasa keamanan dan kepercayaan para pemegang
sahamnya. Berbagai alasan digunakannya untuk dapat melancarkan sejumlah pelanggaran yang
dilakukannya, termasuk pemberian utang tanpa jaminan pengembalian ketika perusahaan sedang
merugi, pembelian Zero Coupon Bond (ZCB) dari anak perusahaannya, penjualan kembali ZCB
tersebut, divestasi seluruh sahamnya sebesar 60% di anak perusahaannya, serta inbreng aset ke
anak perusahaannya, yang seluruhnya dilakukan tanpa persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS). Setelah berbagai forum RUPS sudah diusahakan oleh pemegang saham minoritas, namun
selalu digagalkan, akhirnya permohonan pemeriksaan terhadap perseroan dilancarkan. Namun,
SULI menolak membuka data dan dokumen perusahaan. Gugatan untuk meminta ganti rugi kembali
dilancarkan sekali lagi oleh pemegang saham minoritasnya pada tahun 2013, namun
mengejutkannya, gugatan ini ditolak dengan dalih subjektivitas hakim serta penggunaan Pasal 138
sampai 141 UU PT. Pasal-pasal tersebut yang menjadikan dasar permohonan pemeriksaan SULI
justru berbelit-belit, gagal menjamin kepastian hukum, dan pada akhirnya menyulitkan pemegang
saham minoritas dalam memperjuangkan hak-haknya. Semuanya menjadi tanda tanya besar oleh
karenanya.
Di zaman modern ini, Perseroan Terbatas (PT) sebagai badan usaha yang berbadan hukum
merupakan bentuk usaha yang paling banyak dipilih untuk melakukan kegiatan ekonomi dan bisnis.
Hal ini bukan tanpa alasan. Sebagai badan usaha yang berbadan hukum, PT diakui sebagai subjek
hukum yang dapat melakukan perbuatan sendiri, dan memiliki hartanya sendiri. Ada kredibilitas dan
jaminan peraturan yang dapat mempermudah penyelesaian masalah dan panduan menjalankan PT.
Ini juga dapat menarik investor dan mitra eksternal lainnya untuk bekerja sama. Tak hanya itu, PT
juga merupakan badan usaha yang modern dengan pembagian tugas dan wewenang antar organ-
organnya yang jelas. Terakhir, keunggulan PT yang paling menguntungkan adalah karena tanggung
jawab pemegang saham sebagai pemiliknya terbatas, yakni hanya sebesar saham yang mereka
miliki, berbeda dengan jenis badan usaha lain yang tanggung jawab pemiliknya tidak terbatas dan
dapat mengancam harta pribadi ketika terjadi masalah keuangan.[1] Namun, berkembangnya bisnis
dan semakin diminatinya bentuk PT juga membuat masalah dan kasus-kasus yang timbul di
dalamnya semakin rumit dan baru. Ada saja celah-celah yang dimanfaatkan untuk memperoleh
keuntungan finansial sebesar-besarnya meski dengan cara ‘mencurangi’ orang lain. Sebagai sebuah
subjek hukum tentu PT dapat melakukan perbuatan atas namanya sendiri. Namun harus disadari
pula bahwa PT hanya dapat melakukan tindakan melalui direksinya, meski tanggung jawabnya ada
pada institusi PT tersebut.[2] Sehingga tak jarang, kecurangan-kecurangan justru dilakukan oleh
jajaran direksi yang seharusnya memberikan pertanggunjawaban atas setiap perbuatannya dalam
PT kepada para pemilik PT, yakni para pemegang saham. Alhasil, direksi menjadi pihak yang
merugikan dan mengecewakan para pemegang saham.
Pasal 1 angka 5 UU No. 40 tahun 2007 tentang PT menyatakan bahwa direksi adalah organ
perseroan yang memiliki wewenang dan tanggung jawab penuh untuk mengurus perseroan bagi
kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan itu, serta mewakili perseroan
di dalam dan di luar pengadilan sesuai ketentuan anggaran dasar. Dalam menjalankan posisinya itu,
direksi diawasi oleh dewan komisaris (Pasal 1 angka 6 UU No. 40 tahun 2007). Sebagai organ yang
bertanggung jawab mengurus perseroan untuk kepentingan perseroan, sudah sepantasnyalah
setiap tindakan yang dilakukan direksi dalam perseroan adalah untuk menguntungkan perseroan itu
dan bukan sebaliknya. Salah satu perseroan terbuka yang besar di Indonesia adalah SULI, atau yang
sekarang mengganti namanya menjadi PT SLJ Global Tbk. SULI adalah perusahaan yang bergerak di
bidang kehutanan, perindustrian, dan pertambangan.[3] Namun, besarnya nama perusahaan ini
tidak membuatnya menjadi semakin dapat melindungi para pemiliknya. Perusahaan justru patutlah
di duga telah ‘mencederai’ kepercayaan pemegang sahamnya dengan melakukan sejumlah
pelanggaran yang tak sepantasnya dilakukannya. Terhadap berbagai pelanggaran tersebut
pemegang saham minoritas pun tak tinggal diam. Mereka memutuskan mengajukan permohonan
pemeriksaan dan gugatan yang kemudian juga ditahan oleh SULI dengan sejumlah upaya hukum
lain. Melalui paper ini, akan dibahas sejumlah pelanggaran yang dilakukan PT Sumalindo Lestari Jaya
Tbk, serta upaya hukum yang dilakukan para pihak. Untuk itu akan menganalisis kronologi kasus
yang ditandai dengan penetapan pengadilan No. 38/Pdt.P/2011/PN.Jak.Sel, putusan pengadilan No.
3017 K/Pdt/2011, diikuti dengan putusan pengadilan No. 217/PK /Pdt /2014, dan putusan
pengadilan No. 02/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Sel, sekaligus kelanjutan dari berbagai upaya hukum yang
dilakukan. Terakhir, akan menganalisis kritik terhadap dasar hukum dari upaya hukum awalnya:
permohonan pemeriksaan perseroan, yaitu Pasal 138 sampai Pasal 141 UU No. 40 tahun 2007
tentang PT. Adapun yang akan menjadi pembahasan pertama, pelanggaran-pelanggaran transaksi
apa saja yang dilakukan oleh SULI ? dan kedua, bagaimanakah tindak lanjut dari dikabulkannya
permohonan pemeriksaan oleh Pengadilan dan pendapat mengenai dasar hukum Pasal 138 sampai
141 UU No. 40 tahun 2007 tentang PT yang digunakan?
Kecurigaan terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh SULI berakar dari kerugian
yang terjadi selama tahun buku 2008, sehingga para pemegang saham tidak mendapatkan
pembagian keuntungan atau yang dikenal “dividen”. Hal ini sesungguhnya adalah hal yang sah dan
wajar. Namun tindakan SULI setelah ini lah yang menjadikannya tidak wajar. Pada tanggal 1 Juli
2009, jajaran direksi dan dewan komisaris SULI memutuskan membeli ZCB (Zero Coupon Bond)
dengan nominal Rp 140.254.908.652,- atau setara dengan 140 miliar dari anak perusahaannya,
yakni PT Sumalindo Hutani Jaya Tbk. ZCB adalah obligasi tanpa bunga atau dengan kata lain,
pemberian utang tanpa jaminan pengembalian. Secara kasat mata pun hal ini menimbulkan
pertanyaan besar. Hanya dengan jeda waktu sekitar 2 minggu, ZCB ini kemudian justru dijual
kembali kepada Marshall Enterprise Ltd. (melalui perjanjian pengikatan diri untuk melakukan jual
beli saham No. 61 tanggal 15 Juli 2009)[4], yang juga anak perusahaan PT Tjiwi Kimia dengan harga
yang nyaris sama, yakni US$14.000.000,- yang diselesaikan melalui jalan pembayaran
bertahap.[5] Pertama, pembelian dan pengalihan ZCB ini tidak diberitahukan dan disetujui dalam
RUPS, melainkan langsung dilakukan tanpa sepengetahuan RUPS terelebih dahulu. Kedua,
pemberian utang oleh SULI kepada perusahaan lain ketika dirinya juga sedang mengalami kerugian
hanyalah tidak logis. Ketiga, bahkan utang yang diberikan ini adalah utang tanpa jaminan
pengembalian. Jika tidak ada jaminan sang debitur membayar utang kreditur, selain alasan adalah
amal, untuk apakah sang kreditur memberikan pinjaman? SULI adalah sebuah perusahaan yang
mencari keuntungan ekonomis. Tidak terdapat keuntungan yang diperoleh perusahaan dengan
melakukan hal ini, bahkan justru perusahaan mengalami kerugian. Sehingga jikapun transaksi ini
dilakukan dengan ‘niat baik’ bagi anak perusahaan, menjadi keharusan bagi direksi untuk
menanyakan pendapat para pemilik (pemegang saham) perusahaan. Tidak dilakukannya hal inilah
yang telah memancing tanda tanya besar bagi para pemegang sahamnya.
Transaksi ini baru diketahui para pemegang saham publik dari surat edaran yang diberikan tanggal
13 Oktober 2009 tentang keterbukaan informasi (sebagai perbaikan surat edaran tanggal 15
September 2009)[6], lebih dari 3 bulan setelah transaksi itu sendiri dilakukan, dan dari
prospektus[7] SULI 9 Maret 2010. RUPSLB pun baru dilakukan pada 15 Oktober 2009.[8] Tindakan
itu merupakan pelanggaran atas Pasal 11 ayat (1) huruf d POJK No. 42/POJK.04/2020 tentang
Transaksi Afiliasi dan Transaksi Benturan Kepentingan, yang mewajibkan perusahaan terbuka yang
melakukan transaksi benturan kepentingan untuk terlebih dahulu mendapat persetujuan pemegang
saham independen dalam RUPS. Peraturan ini mendefinisikan transaksi benturan kepentingan
dalam Pasal 1 angka 5 sebagai transaksi yang dilakukan oleh perusahaan terbuka atau perusahaan
terkendali dengan semua pihak, baik itu afiliasi atau pihak lain yang bukan afiliasi yang merupakan
benturan kepentingan. Sedang benturan kepentingan sendiri didefinisikan dalam angka 4-nya
sebagai perbedaan kepentingan ekonomis antara perusahaan dan kepentingan ekonomis pribadi
anggota direksi, anggota dewan komisaris, pemegang saham utama, atau pengendali yang dapat
merugikan perusahaan itu. Pemegang saham independen sendiri didefinisikan melalui Pasal 1 angka
9 sebagai pemegang saham yang tidak memiliki kepentingan ekonomis bagi diri pribadinya
berkaitan dengan suatu transaksi tertentu, dan bukan merupakan anggota atau afiliasi dari direksi,
dewan komisaris, pemegang saham utama, dan pengendali. Sederhananya, pemegang saham
independen yang boleh menyatakan pendapat dalam RUPS terkait transaksi benturan kepentingan
adalah yang tidak memiliki benturan kepentingan terkait transaksi itu atau yang berpihak hanya
pada perusahaan tersebut dalam konteks benturan kepentingannya. Hal ini adalah logis mengingat
transaksi benturan kepentingan seringkali tidak begitu menguntungkan perusahaan, melainkan
hanya segelintir pihak dalam perusahaan saja.[9]
Tak hanya itu, transaksi ini juga dapat dikategorikan sebagai transaksi material, yang menurut
Keputusan Ketua Bapepam No.Kep-2/PM/2001, Peraturan No. IX.E.2 angka 2 haruslah dilakukan
dengan mendapat persetujuan RUPS terlebih dahulu. Angka 1 peraturan ini mendefinisikan
transaksi material sebagai setiap pembelian, penjualan atau penyertaan saham, dan/atau
pembelian, penjualan, pengalihan, tukar menukar aktiva atau segmen usaha, yang besarnya sama
atau lebih dari 10% pendapatan perusahaan atau 20% dari ekuitas. Neraca konsolidasi SULI tanggal
30 September 2009 menyatakan adanya ekuitas bersih senilai Rp 179.311.000.000,- dan
pendapatan usaha sampai periode itu adalah sebesar Rp 428.779.000.000,-. Maka dilakukannya
pembelian dan pengalihan ini melanggar Keputusan Ketua Bapepam No.Kep-2/PM/2001, Peraturan
No. IX.E.2 juga. Kembali sedikit, sebagai transaksi material, transaksi pembelian ZCB ini sekaligus
melanggar Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 41/POJK.04/2020
yang mengharuskan transaksi afiliasi yang dilakukan perusahaan terbuka untuk memperoleh
persetujuan RUPS terlebih dahulu jika nilainya memenuhi batas transaksi material, dapat
mengganggu berjalannya kehidupan perusahaan, dan/atau transaksi yang dinilai OJK membutuhkan
persetujuan RUPS. Selain memenuhi batas transaksi material, karena dilakukan ketika perusahaan
sedang merugi, tindakan SULI praktis dapat mengganggu kelangsungan usaha perusahaan.

Pelanggaran kedua SULI dilakukan pada 15 Juli 2009 melalui para direksinya, yang juga disetujui
oleh dewan komisaris. Mereka menjual 60% saham perusahaan, yakni sebanyak 7.201.500 lembar
saham di PT Sumalindo Hutani Jaya Tbk, kepada PT Tjiwi Kimia. Saham ini dijual dengan harga Rp
7.201.500.000,- atau setara dengan 7 miliar. Hal ini dilakukan lagi-lagi tanpa persetujuan RUPS
meskipun merupakan transaksi yang sangat penting. Saham sebesar 60% praktis menjadikan SULI
menjadi pemegang saham mayoritas pada PT Sumalindo Hutani Jaya Tbk, anak perusahaannya itu.
Namun tindakan pelepasan saham ini sekali lagi memancing pertanyaan karena PT Sumalindo
Hutani Jaya Tbk merupakan ladang investasi potensial. PT Sumalindo Hutani Jaya Tbk berkaitan erat
dengan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang sangat bernilai material. Melepaskan kepemilikan pada
PT Sumalindo Hutani Jaya Tbk, karenanya menjadi tindakan yang tidak beralasan. Lagi-lagi, para
pemegang saham baru mengetahui hal ini pada RUPSLB tanggal 15 Oktober 2009, yang meski
dipertanyakan keterbukaannya, tidak didapat hasil yang baik. Masih sama dengan transaksi ZCB
sebelumnya, karena dilakukan saat perusahaan sedang merugi, tindakan ini melanggar Pasal 4 ayat
(1) huruf d, dan merupakan transaksi benturan kepentingan yang berpotensi merugikan
perusahaan, tindakan ini juga melanggar Pasal 11 ayat (1) huruf d POJK No. 42/POJK.04/2020.

Pelanggaran selanjutnya SULI adalah dilakukannya inbreng asetnya berupa Hutan Tanaman Industri
dengan PT Sumalindo Alam Lestari.[10] Transaksi ini mencapai nilai Rp 229.765.000.000,- atau
hampir mencapai 230 miliar dengan luas hutan mencapai 36.576 Ha. Dapat ditebak, PT Sumalindo
Alam Lestari merupakan anak perusahaan dari PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk, dengan PT Sumalindo
Lestari Jaya Tbk sebagai pemegang saham mayoritas yang menguasai 99,98%
sahamnya.[11] Menilik lebih jauh ke dalam struktur kepengurusan masing-masing perusahaan
dapat dilihat pula bahwa ternyata David yang merupakan wakil presiden direktur di SULI adalah juga
komisaris pada PT Sumalindo Alam Lestari. Maka transaksi ini patut dicurigai merupakan transaksi
afiliasi sekaligus transaksi benturan kepentingan.[12] Inbreng aset adalah istilah ketika pemegang
saham menyetorkan modal dalam bentuk aset pribadi ke dalam harta kekayaan PT, yang lalu
dihitung menjadi saham.[13] Sederhananya, hal ini berarti SULI yang telah memegang 99,98%
saham PT Sumalindo Alam Lestari, memasukkan asetnya berupa Hutan Tanaman Industri seluas
36.576 Ha menjadi modal bagi PT Sumalindo Alam Lestari, atau sama artinya, diberikan secara
‘cuma-cuma’ dan berakibat kepada menurunkan nilainya perusahaan.[14] Tindakan ini pun tidak
dilakukan dengan mendapat persetujuan pemegang saham dalam RUPS tahunan atau RUPSLB
tahun 2008-2009, namun bahkan sekadar diberitahukan secara tertulis. Para pemegang saham baru
mengetahui tindakan ini setelah ada informasi dari Bapepam sendiri, pada 18 Agustus 2010,
berdasarkan surat No. 148/SLI/DIR/YLC/JKT/2010.[15]Sebagai transaksi benturan kepentingan,
inbreng aset ini melanggar Pasal 11 ayat (1) huruf d POJK No. 42/POJK.04/2020. Sebagai transaksi
material, dilanggar pula Keputusan Ketua Bapepam No.Kep-2/PM/2001, Peraturan No. IX.E.2 angka
2. Terakhir, sebagai transaksi afiliasi yang merupakan transaksi material secara bersamaan dilanggar
pula Pasal 4 ayat (1) huruf d POJK No. 42/POJK.04/2020.

Selain peraturan yang dilanggar dalam masing-masing tindakan tersebut, seluruh pelanggaran itu
secara bersama juga membuat SULI melanggar Pasal 97 ayat (1) dan (2) dan Pasal 102 ayat (1) UU
No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 97 ayat (1) dan (2) mengatur bahwa direksi
bertanggung jawab mengurus perseroan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.
Ketidakhati-hatian dan pelanggaran ketentuan yang dilakukan direksi dalam menjalankan
perusahaan praktis membuat PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk (para pemegang sahamnya) harus
mengalami kerugian. Adapun pasal 102 ayat (1) menuntut perseroan untuk meminta persetujuan
RUPS untuk mengalihkan kekayaan perseroan atau menjadikan kekayaan perseroan sebagai
jaminan utang jika nilainya lebih dari 50% seluruh kekayaan bersih perseroan, dalam 1 atau lebih
transaksi, baik yang berkaitan maupun tidak. Dalam penjelasannya diuraikan bahwa hal ini berarti
direksi memiliki kewajiban meminta persetujuan RUPS terlebih dahulu jika ingin mengalihkan atau
menjaminkan aset perseroan sebagai jaminan utang dalam satu atau lebih transaksi (tidak harus
saling berkaitan) yang jika dihitung secara kumulatif adalah lebih dari 50% kekayaan perseroan.

Para pemegang saham dibiarkan berlarut-larut dalam kecurigaan akan aktivitas-aktivitas PT


Sumalindo Lestari Jaya Tbk. Alhasil, pemegang saham publiknya: Deddy Hartawan Jamin dan Imani
United Pte.Ltd kemudian bersama-sama mengajukan permohonan pemeriksaan atas PT Sumalindo
Lestari Jaya Tbk berupa audit terhadap pembukuan perusahaan dan audit terkait industri
kehutanannya.[1] Para pemegang saham, terutama pemegang saham minoritas telah berulang kali
mempertanyakan alasan logis dan jelas dibalik tindakan-tindakan direksi dan komisaris yang
merugikan SULI, namun mereka tidak pernah mendapat kejelasan. Upaya membuka RUPS pun
selalu digagalkan oleh para pemegang saham mayoritas yang mendukung direksi dan dewan
komisaris perusahaan.[2] Sejumlah RUPSLB yang berusaha dilakukan untuk meminta kejelasan
adalah pada 9 Maret 2009, 15 Oktober 2009, dan 21 September 2010. Adapula RUPS tahunan untuk
tahun 2008 pada 22 Mei 2009, serta surat para pemegang saham minoritas tanggal 21 Juli 2010 dan
surat tanggal 1 September 2010.[3]
Dengan dugaan-dugaan yang ada yang memang sulit ditutupi lagi, para pemegang saham berniat
menggugat SULI dan para pihak manajemen yang terlibat. Namun pertama-tama, mereka harus
mengumpulkan bukti yang pasti untuk membuktikan dalil-dalilnya, dibandingkan sekadar
kecurigaan saja. Pasal 138 ayat (1) UU No. 40 tahun 2007 tentang PT menyatakan bahwa
pemeriksaan terhadap perseroan mungkin dilakukan dengan tujuan memperoleh data atau
keterangan ketika terdapat dugaan bahwa perseroan, anggota direksi, atau dewan komisaris
melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan pemegang sahamnya atau perseroan atau
pihak ketiga. Pasal 138 ayat (3) mengatur permohonan pemeriksaan terhadap perseroan yang dapat
dilakukan oleh 1 atau lebih pemegang saham yang memiliki setidaknya 1/10 (sepersepuluh) atau
10% dari total saham dengan hak suara di perusahaan. Dalam hal ini, Deddy Hartawan Jamin
memiliki saham sebanyak 210.500.000 (dua ratus sepuluh juta lima ratus ribu) lembar saham, atau
sebanyak 8,52% saham dengan hak suara[4] dan Imani United Pte.Ltd memiliki 130.000.000
(seratus tiga puluh juta) lembar saham atau setara dengan 5,26% saham dengan hak suara[5], yang
jika digabungkan, keduanya memiliki 13,78% saham yang memenuhi Pasal 138 ayat (3) tersebut.
Sebagai syarat, Pasal 138 ayat (4) menetapkan bahwa untuk mengajukan permohonan ini pemohon
terlebih dahulu harus meminta data atau keterangan ini kepada Perseroan dalam sebuah RUPS dan
yang terjadi adalah perseroan menolak memberikannya. Ini pun telah dipenuhi oleh para pemegang
saham.
Permohonan itu diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 10 Januari 2011[6] yang
kemudian berbuah baik. Pada 28 April 2011[7], majelis hakim mengabulkan permohonan
tersebut[8] melalui penetapan pengadilan No. 38/Pdt.P/2011/PN.Jak.Sel.[9] Pengadilan
memerintahkan audit terhadap pembukuan perusahaan dan audit industri kehutanannya oleh para
ahli yang diminta. Anggota direksi, anggota dewan komisaris, dan semua karyawan perseroan
diwajibkan untuk memberikan semua data dan keterangan yang diperlukan untuk pemeriksaan oleh
Pasal 139 ayat (6), dan Pasal 139 ayat (5) memberi hak pada ahli yang ditunjuk untuk memeriksa
semua dokumen dan kekayaan perseroan yang dianggapnya perlu diketahui.
Secara kronologis, setelah penetapan pengadilan No. 38/Pdt.P/2011/PN.Jak.Sel itu dikeluarkan,
SULI tidak mengikuti dan tidak menunjukkan itikad baik[10], dan justru mengajukan kasasi atas
penetapan itu pada 9 Mei 2011[11]. Berbeda dengan gugatan umumnya yang menghasilkan
putusan dan membuka upaya hukum banding, upaya hukum terhadap penetapan pengadilan yang
berawal dari permohonan adalah kasasi berdasarkan Pasal 43 ayat (1) UU No. 14 tahun 1985
tentang Mahkamah Agung.[12] Sehingga memang tidak ada langkah hukum yang terlewat. Upaya
kasasi ini ditolak oleh MA pada 12 September 2012 dengan putusan pengadilan No. 3017
K/Pdt/2011.[13] Dengan kasasi yang ditolak, upaya pertahanan SULI tidak berhenti sampai disana.
Mereka menolak menyerah dan ‘disalahkan’ dengan mengajukan peninjauan kembali (PK) pada 6
Desember 2013 dan singkatnya, upaya ini lagi-lagi ditolak pada 6 Oktober 2015 dengan putusan
pengadilan No. 217/PK/Pdt/2014.[14] Dengan kemajuan sampai sini, meski butuh sekitar 5 tahun
dari tahun 2009 sampai 2014, praktis kita dapat melihat bahwa pengadilan setuju bahwa SULI
secara terang melakukan hal-hal mencurigakan yang berpotensi merugikan perusahaan dan
pemegang sahamnya, karena perlawanannya akan penetapan pemeriksaan selalu ditolak oleh
pengadilan.
Namun keadaan ternyata berbalik saat gugatan Deddy Hartawan Jamin terhadap SULI dan anggota
direksi serta pemegang saham mayoritasnya tidak dikabulkan oleh Pengadilan. Deddy Hartawan
Jamin menuntut ganti rugi senilai 18,7 triliun rupiah yang akan dikembalikan kepada PT Sumalindo
Lestari Jaya Tbk karena memang dinilai merupakan hak perusahaan yang disalahgunakan. Gugatan
diajukan pada tanggal 2 Januari 2013, dan putusannya dikeluarkan pada tanggal 28 November
2013,[15] dengan majelis hakim yang berpendapat bahwa gugatan tersebut dinilai tidak jelas dan
kabur, sehingga tidak dapat diterima.[16] Hal ini sungguh sangat disayangkan dan dapat dikatakan
menjadi sejarah dan presden buruk bagi para pemegang saham publik minoritas dalam
memperjuangkan haknya yang kerap kali tertindas. Pemegang saham minoritas harus berjuang
dengan gugatannya dengan merogoh dananya sendiri ketika ia nyata-nyata membela hak
perusahaan yang terabaikan. Belum lagi waktu yang lama dan usaha yang tidak mudah untuk
mengajukan gugatan dan mengikuti prosedurnya membuat banyak pemegang saham seringkali
hanya bisa menutup mata ketika direksi dan pemegang saham mayoritas melakukan sejumlah
kecurangan dan pelanggaran. Kasus SULI ini memotret dan membuktikan betapa lemahnya
kekuatan pemegang saham minoritas, baik di dalam perusahaan maupun di hadapan hukum.
Hal ini apabila dianalisis dari segi hukumnya, maka tergambar beberapa kejanggalan yang
menerangkan bahwa sesungguhnya hukum yang ada saat ini belumlah memadai. Pasal 139 ayat (6)
memang telah mewajibkan anggota direksi, anggota dewan komisaris, dan semua karyawan
perseroan untuk memberikan semua data dan keterangan yang diperlukan untuk pemeriksaan.
Namun jika keseluruhan UU No. 40 tahun 2007 dilihat, maka tak ada satupun pasal yang
memberikan sanksi atas pelanggaran kewajiban yang tercantum dalam Pasal 139 ayat (6) tersebut.
Ini adalah suatu kesalahan yang cukup fatal bagi hukum untuk memberikan kewajiban tanpa sanksi
atas pengingkaran kewajibannya. Pasal 139 ayat (5) pun juga hanya secara idealis memberi hak
pada ahli yang ditunjuk untuk memeriksa semua dokumen dan kekayaan perseroan yang
dianggapnya perlu diketahui. Secara realistis, tak diberikan prosedur atau hak lain yang melekat
pada ahli yang ditunjuk ketika ia harus memeriksa perseroan yang menjadi tugasnya itu. Ketika
perseroan yang harus diperiksa kemudian menolak memberikan dokumen dan data-data terkait
kekayaannya kepadanya, tak ada upaya hukum dan/atau bantuan dari pihak polisi, jaksa, atau
hakim yang dapat dimintakan oleh sang ahli. Maka, pemeriksaan terhadap perusahaan, jikapun
dikabulkan oleh pengadilan, eksekusinya sangat bergantung kepada itikad baik dan kooperasi setiap
unsur dalam perusahaan.[17] Padahal jika dipikir dengan akal sehat, jika perusahaan benar
melakukan kecurangan, dan pemegang saham yang mencurigainya membutuhkan bukti untuk
dapat menggugat perusahaan, sedang bukti tersebut hanya dapat diperoleh melalui pemeriksaan,
apakah ada perusahaan yang akan bekerja sama dengan pemeriksaan tersebut untuk membongkar
kecurangannya sendiri?
Lebih lanjut, masih ada intervensi dari ketua pengadilan negeri untuk menerima laporan hasil
pemeriksaan dari ahli dan memberikannya kepada pemohon dan perseroan (Pasal 140 UU No. 40
tahun 2007). Hal ini tentu cukup berbelit-belit. Lagi-lagi, ketentuan ini tidak mengatur lebih dalam
upaya lanjutan yang dapat dilakukan oleh para pihak (umumnya pemohon) ketika pemeriksaan
ternyata tidak terwujud atau ketika laporan hasil pemeriksaan tidak disampaikan kepadanya. Ada
kekosongan yang membawa pemohon kepada jalan buntu dalam memperjuangkan
haknya.[18] Sebenarnya jika dilihat lagi pun, prosedur yang diberikan tidak lengkap dan
menimbulkan keheranan. Jika memang Pasal 138 sampai Pasal 141 UU No. 40 tahun 2007 tentang
PT yang mengatur mengenai pemeriksaan perseroan adalah untuk memberikan bukti bilamana ada
kecurigaan bahwa perseroan, anggota direksi, atau dewan komisaris melakukan perbuatan hukum
yang merugikan para pemegang saham atau perseroan sendiri atau pihak ketiga, mengapa tidak
diatur sekaligus bahwa bukti berupa laporan pemeriksaan tersebut dapat langsung diproses untuk
gugatan? Atau lebih baik, mengapa Bab IX UU PT ini tidak langsung mengatur mengenai gugatan
terhadap perseroan dalam hal muncul kecurigaan, dengan cara memperoleh buktinya adalah
melalui pemeriksaan?
Tidak diakomodasikannya hal-hal tersebut dalam hukum nasional yang ada saat inilah yang
membuat gugatan Deddy Hartawan Jamin di tahun 2013 tersebut gagal. Padahal izin pemeriksaan
terhadap SULI yang diperkuat dengan penolakan gugatan kasasi dan permohonan peninjauan
kembali oleh SULI mengindikasikan bahwa memang tiga tingkat pengadilan yang memeriksa perkara
ini setuju bahwa ada sesuatu yang salah dan mencurigakan dari tindakan SULI, tetapi tidak mudah
dibuktikan. Namun digagalkannya gugatan di tahun 2013 ini seakan mencemooh ketiga keputusan
sebelumnya sebagai kemenangan semu di atas kertas belaka yang tidak berarti apapun. Ada
subjektivitas di antara para hakim dalam persoalan hukum menyangkut perusahaan, terlebih terkait
dasar hukum yang digunakan ini. Diperburuk dengan substansi hukum yang juga tidak menyeluruh,
tidak menawarkan kepastian hukum, dan berbelit-belit prosedurnya, menjadikan persoalan hukum
menyangkut perseroan cukup sulit memenuhi rasa keadilan. Para pemegang saham, khususnya
pemegang saham minoritas yang mengalami penindasan atau kecurangan kerap kali harus memilih
menelan pahit tanpa dapat melakukan apapun. Proses hukum yang memakan waktu bertahun-
tahun, tanpa kejelasan peraturan dan hanya bergantung pada subjektivitas hakim, tanpa jaminan
kemenangan, dan biaya yang tidak sedikit adalah contoh hambatan yang mempersulit para
pemegang saham dalam memperjuangkan haknya di perseroan. SULI pada akhirnya dapat lolos dari
tuntutan ganti rugi yang diajukan pemegang saham minoritas untuk mempertanggungjawabkan
berbagai pelanggarannya, bahkan setelah terdapat tiga keputusan yang mengindikasikan bahwa
SULI memang patut diurai dipertanyakan dan ini menimbulkan anomali yang tidak mudah diterima
secara nalar.
Sejarah kasus pelanggaran-pelanggaran oleh SULI yang merugikan para pemegang sahamnya
menjadi pelajaran bagi perusahaan untuk lebih berhati-hati dan menjunjung tinggi integritas
identitasnya serta kepercayaan para pemegang sahamnya. Melalui transaksi pemberian utang tanpa
jaminan dan pembelian ZCB dari PT Sumalindo Hutani Jaya Tbk ketika dirinya masih melaporkan
keadaan merugi kepada pemegang sahamnya dan tanpa persetujuan RUPS; transaksi pengalihan
ZCB tersebut kepada Marshall Enterprise Ltd tanpa persetujuan RUPS dan dengan nilai yang
mencurigakan; transaksi divestasi 100% sahamnya di PT Sumalindo Hutani Jaya Tbk yang
merupakan lahan investasi potensial kepada PT Tjiwi Kimia sebesar 60% tanpa persetujuan RUPS;
sampai tindakan inbreng asetnya berupa Hutan Tanaman Industri kepada PT Sumalindo Alam
Lestari yang merupakan anak perusahaannya, lagi-lagi tanpa persetujuan RUPS; direksi dan
komisaris SULI yang didukung kuat oleh pemegang saham mayoritas membuktikan penyalahgunaan
wewenangnya dalam mengelola kekayaan perseroan. Berbagai cara berusaha ditempuh para
pemegang saham untuk memperoleh kejelasan alasan dibalik tindakan mencurigakan tersebut
selalu digagalkan. Dalam hal ini sudah seharusnya para pemegang saham juga diajak lebih peka dan
aktif (shareholders activism) dalam melihat dan memperhatikan tindakan-tindakan perusahaannya.
Penggunaan Pasal 138 sampai 141 UU No. 40 tahun 2007 tentang PT dalam memohon pemeriksaan
bagi perseroan dalam hal timbul kecurigaan adanya perbuatan melanggar hukum yang merugikan
sekilas tampak menjanjikan dalam melindungi hak pemegang saham. Namun nyatanya, Pasal ini
justru sangat berantakan dan cenderung tidak berguna dalam memberikan keadilan bagi para
pemegang saham yang dirugikan, dengan contoh nyatanya terlihat melalui kasus PT Sumalindo
Lestari Jaya Tbk ini. Pasal tersebut tidak memberi sanksi jikapun perusahaan menolak memberi data
dan keterangan untuk pemeriksaan, dan tidak menyediakan upaya lanjutan dan prosedur untuk
melakukan pemeriksaan, dan sesungguhnya malah memperpanjang proses pengajuan gugatan
ketika pasal ini seharusnya dapat langsung mengakomodasi gugatan.

Di Indonesia penanganan perbuatan melawan hukum oleh korporasi (dengan belajar kasus SULI),
terlebih yang berkaitan dengan ketidakadilan yang dirasakan pemegang saham publik minoritas
cukup mengecewakan. Pengaturan hukum yang ada belum dapat memberi kepastian, masih adanya
unsur subjektivitas operator hukum, dan substansi hukum yang tampaknya masih sangat kurang
memadai menjadi rintangan yang perlu sesegera mungkin dibenahi untuk dapat memperkuat iklim
usaha yang sehat. Memang, cukup sulit melakukan ini karena masih banyak pertentangan mengenai
konsep dan indikator kapankah suatu perusahaan melakukan pelanggaran yang merugikan
pemegang saham minoritasnya. Akan tetapi, hukum dituntut untuk dapat selalu dinamis dan
mampu mengakomodasi pergerakan zaman yang cepat. Tidak berhenti pada prosedural dan
kakunya hukum itu dijalankan tanpa melihat betapa menderitanya pemegang saham minoritas
untuk dapat memperoleh hak-haknya. Sungguh pedih kesemuanya ini

1B. PT. Bank Central Asia Tbk. termasuk perseroan terbatas terbuka karena, menurut Pasal 1
angka 7 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT) mendefinisikan
Perseroan Terbuka sebagai Perseroan Publik atau Perseroan yang melakukan penawaran umum saham,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

Sementara itu, Perseroan Publik adalah Perseroan yang memenuhi kriteria jumlah pemegang saham dan
modal disetor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.[1]

Sebagaimana dijelaskan oleh M. Yahya Harahap dalam bukunya Perseroan Terbatas (hal. 41), jadi yang
dimaksud dengan Perseroan Terbuka (Tbk) menurut Pasal 1 angka 7 UUPT adalah:
1.Perseroan Publik yang telah memenuhi ketentuan Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995
tentang Pasar Modal (“UU Pasar Modal”) yakni memiliki pemegang saham sekurangnya 300 orang dan modal
disetor sekurang-kurangnya Rp 3 miliar; atau
2.Perseroan yang melakukan penawaran umum (public offering) saham di Bursa Efek. Maksudnya perseroan
tersebut menawarkan atau menjual saham atau efeknya kepada masyarakat luas.[2]
3.hanya emiten yang boleh melakukan penawaran umum. Emiten menurut Pasal 1 angka 6 UU Pasar Modal
adalah pihak yang melakukan penawaran umum. Emiten tersebut harus telah menyampaikan pernyataan
pendaftaran kepada Bapepam (saat ini Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”)) untuk menawarkan atau menjual
efek kepada masyarakat dan pernyataan pendaftaran tersebut telah efektif.[3]
4.Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.04/2017 tentang Laporan
Kepemilikan atau Setiap Perubahan Kepemilikan Saham Perusahaan Terbuka (“POJK 11/2017”), Perusahaan
Terbuka adalah Emiten yang telah melakukan penawaran umum efek bersifat ekuitas atau Perusahaan Publik
5.Jadi berdasarkan uraian di atas, dapat kita simpulkan untuk disebut sebagai Perseroan Terbuka, yaitu
Perseroan Publik yang telah memenuhi kriteria sebagai Perseroan Publik yaitu memiliki pemegang saham
sekurangnya 300 orang dan modal disetor sekurang-kurangnya Rp 3 miliar atau melakukan penawaran
umum saham.

Anda mungkin juga menyukai