Anda di halaman 1dari 32

TUGAS KELOMPOK FILSAFAT

PENGEMBANGAN MODEL ASUHAN KEPERAWATAN “


PENERAPAN MOBILISASI MIRING KIRI MIRING KANAN
DALAM UPAYA PENCEGAHAN PRESSURE INJURY”

Disusun oleh:
ALI 2210246838
DESNEN SALTI 2210246834
DESI WAHYUNI 2210246837
DWI WAHYUNI 2210246854
RISA NURHAYATI 2210246839
SYAFNI 2210246846

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS RIAU

1
NOVEMBER 2022

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat
limpahan karunianya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul
Pengembangan Model Asuhan Keperawatan “ Penerapan Mobilisasi Miring Kiri Miring
Kanan Dalam Upaya Pencegahan Pressure Injury” yang merupakan tugas perkuliahan
dalam mata ajar Filsafat Ilmu pada Pascasarjana Magister Keperawatan Universitas Riau.
Dalam proses penyelesaian makalah ini, saya banyak dibantu dan dibimbing serta
di support oleh berbagai pihak baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu saya
ingin berterima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Usman M Tang., MS Selaku Dekan Fakultas Keperawatan
Universitas Riau.
2. Erika, SKp., M.Kep., Sp.Mat., PhD Selaku Lektor Universitas Riau
3. Ns. Sri Wahyuni, M.Kep., Sp.Jiwa., PhD selaku Wakil Dekan I Bidang
Akademik sekaligus Dosen Pembimbing Akademik (PA).
4. Dr. Ns.Misrawati, M.Kep., Sp.Mat selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah
Filsafat Ilmu.
5. Orang tua, keluarga serta teman-teman atas segala dukungan, bantuan dan doa,
yang menjadi motivasi bagi saya dalam menyelesaikan makalah ini dengan
sebaik mungkin serta teman-teman angkatan pertama Magister Keperawatan
Universitas Riau yang selalu mendukung dan memberikan support system
kepada saya semenjak awal perkuliahan sampai saat ini.
Akhir kata saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini. Untuk hal itu Penulis memohon maaf dan pengertian sebesar-besarnya atas
kekurangan maupun segala kekeliruan dalam makalah ini, baik yang disadari maupun
tidak disadari. Besar harapan saya agar makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
dan pihak-pihak lainnya.

Pekanbaru, 19 November 2022

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 2

DAFTAR ISI 3

BAB I. PENDAHULUAN 4

1.1 Latar belakang 4

1.2 Tujuan Penulisan Makalah 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 5

2.1 Selfcare Orem 5

2.3 Asuhan Keperawatan Pasien dengan Sectio Caesaria 5

BAB III. PEMBAHASAN 6

BAB IV. PENUTUP 7

4.1 Kesimpulan 7

4.2 Saran 7

3
BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Falsafah sebagai metode keperawatan membantu perawat dalam melakukan
analisis, kritik, menghadapi tantangan, dan mengatasi kejadian situasional terkait
dengan patient safety, dan etika keperawatan. Falsafah keperawatan dapat
membantu perawat dalam mengembangkan kapasitas dirinya sebagai perawat yang
menjunjung tinggi moral. Falsafah juga dapat membantu perawat untuk
mengeksplorasi pertanyaan yang berkaitan dengan bidang non keilmuan yang
mungkin penting bagi kemajuan keilmuan keperawatan itu sendiri.
Setiap manusia melakukan mobilisasi dalam memenuhi kebutuhan sehari–
harinya. Mobilisasi menjadi kebutuhan yang paling dasar dan penting bagi setiap
orang. Mobilisasi juga sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia yakni
dengan melakukan mobilisasi dapat mencegah terjadinya kerusakan integritas
kulit seperti luka tekan, atrofi ataupun kontraktur. sehingga penting bagi perawat
untuk melakukan tindakan keperawatan yang dapat mencegah terjadinya
komplikasi-komplikasi tersebut. Salah satu tindakan yang dimaksud yakni
pemberian perubahan posisi miring kanan dan miring kiri secara bergantian
setiap dua jam.
Pressure injury/luka tekan adalah cedera lokal pada kulit dan atau jaringan yang ada
dibawahnya, biasanya terjadi di atas penonjolan tulang sebagai akibat dari tekanan
atau karena suatu pergeseran. Luka tekan didefinisikan sebagai area kerusakan
yang terlokalisir pada kulit, otot dan/atau jaringan di bawahnya, yang disebabkan
oleh geseran, gesekan, atau tekanan yang tidak ditoleransi, biasanya di atas
penonjolan tulang Pressure injury/luka tekan dapat terjadi dalam waktu 24 jam
setelah terjadi penekanan pada area kulit atau setelah 5 hari penekanan pada area
kulit
Salah satu intervensi keperawatan yang sering dilakukan pada pasien dengan
bedrest total adalah pengaturan posisi dengan tujuan untuk mencegah terjadinya
pressure injury/ luka dekubitus pada pasien tirah baring. Tindakan ini harus
dilakukan secepat dan sedini mungkin dengan tujuan agar terjadinya pemeliharaan
integritas jaringan sehingga mengurangi penekanan yang akan menimbulkan
komplikasi berupa luka dekubitus dan pencegahan dari kompresif neuropati.
penerapan
Berdasarkan hal tersebut sehingga kami tertarik untuk membahas tentang
mobilisasi miring kiri/miring kanan dalam upaya pencegahan pressure injury
dipandandang dari filsafat ilmu.

4
1.2 Tujuan Penulisan Makalah
1. Untuk mengetahui tentang konsep filsafat ilmu yaitu Ontologi, Epistemologi,
Aksiologi.
2. Untuk mengetahui Konsep Teori Pressure Injury dengan tindakan mobilisasi
miring kiri dan miring kanan
3. Untuk menganalisis Intervensi Keperawatan Berdasarkan Filsafat Ilmu
4. Untuk mengetahui Inovasi Pengembangan Model Keperawatan

5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Aspek Ontologi, Epistemologi, Aksiologi.


Ilmu keperawatan dilihat dari sudut pandang filsafat yaitu ilmu yang
mempelajari ontologi ( apa ilmu keperawatan, Epistemologi (bagaimana lahirnya
ilmu keperawatan) dan Aksiologi ( untuk apa ilmu keperawatan digunakan)
a. Ontologi Keperawatan
Berasal dari kata ontos “berarti sesuatu yang berwujud” . Ontologi adalah ilmu
yang mempelajari tentang kajian filsafat bersifat konkrit. Ilmu yang mempelajari
tentang teori yang ada (theory of being) atau apa itu, apa yang ada .
Ontologi keperawatan adalah sifat praktik keperawatan dan proses kesehatan
manusia
Aplikasi ontologi dalam ilmu keperawatan:
- Diaplikasikan untuk menjelaskan dasar keperawatan, perkembangan teori
dan analisa.
- Diaplikasikan dalam memandu penelitian dan praktik yang berhubungan
dengan pencegahan penyakit dan mempertahankan serta mempromosikan
kesehatan manusia.
- Diaplikasikan untuk mendasari konsep bahwa pasien adalah pusat dari
asuhan keperawatan.
Aspek Ontologi dalam ilmu keperawatan
Prinsip penafsiran dalam tentang ilmu keperawatan spt gejala fisik yang
muncul sebagai fakta data.
Batasan-batasan telaah
suatu kegiatan keilmuan secara umum merupakan empiris yang ditangkap oleh
panca indera manusia.
Dua keilmuan:
- Pengetahuan ilmiah
- Sarana pengetahuan ilmiah: alat membantu kegiatan dalam memperoleh
dan menyusun pengetahuan, seperti logika, bahasa, statistis dan
metodologi penelitian.
b. Epistemologi keperawatan
berasal dari kata yunani episteme “ pengetahuan” dan Logos “ kata, pikiran,
percakapan, ilmu”.Epistemologi adalah bagian filsafat yang membicarakan
tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan,
batas-batas, sifat, metode, dan kesahihan pengetahuan.

6
Epistemologi dalam ilmu keperawatan: aspek sifat, proses, dan fungsi
pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun secara ilmiah, disusun secara
rasional, logis dan sistematis, yang bersifat saling berkaitan. Epistemologi dalam
keperawatan digunakan untuk mengembangkan, mengidentifikasi serta
menvalidasi pengetahuan tentang dan untuk keperawatan.
- Mencari penjelasan yang lebih baik mengenai ilmu keperawatan
- Menentukan ilmu yang paling efektif dan efisien yang diberikan kepada
pasien.
Epistemologi dalam karakteristik ilmu keperawatan
- Pengetahuan umum
ilmu pengetahuan dapat dipelajari oleh semua orang dan dapat
dipublikasikan dengan bahasa yang sarat unsur informatif dan emotif
- Objektif
Interpretasi pada objek yang sama dengan menggunakan cara yang sama
sehingga diperoleh hasil yang sama.
- Abstraksi
Ilmu keperawatan diperuntukan bagi manusia yg tdk akan pernah lepas
dari kebutuhan, hal ini tertuang dalam konsep apa itu manusia, manusia
sebagai manusia holistik (bio, spiko, sosial, spiritual) manusia sebagai
makhluk yg unik.
- Konseptual
Ilmu keperawatan membagun konsepsi yang membangun teori2
keperawatan.
c. Aksiologi Keperawatan
Aksiologi atau etik merupakan cabang ilmu filsafat mempelajari nilai-nilai salah
atau benar. Di Dalam etika keperawatan seringkali memunculkan moralitas dalam
pelaksanaan praktek keperawatan sebagai elemen dasar serta nilai dan tindakan
yang benar dalam praktik keperawatan
Bentuk nyata pelaksanaan aksiologi dalam praktek keperawatan:
- Prinsip
- Kode Etik
- Etika Keperawatan
Aksiologi keperawatan dipakai oleh perawat untuk menjaga nilai-nilai profesi,
metodologi praktik dalam profesi, dan panduan dalam praktek dan menjaga sikap
dan tindakan yg berhubungan dg praktek keperawatan dan pasien safety.

7
2.2 Konsep Teori Dorothea E.Orem
Selama tahun 1958-1959 Dorothea Orem sebagai seorang konsultan pada bagian
pendidikan Departemen Kesehatan, Pendidikan dan Kesejahteraan dan
berpartisipasi dalam suatu proyek pelatihan peningkatan praktek perawat
(vokasional). Orem kemudian menekankan ide bahwa seorang perawat itu adalah “Diri
sendiri, Ide inilah yang kemudian dikembangkan dalam konsep keperawatannya “Self
Care”. Pada tahun 1959 konsep keperawatan Orem ini pertama kali dipublikasikan.Pada
edisi pertama fokusnya terhadap individu, sedangkan edisi kedua (1980), menjadi lebih
luas lagi meliputi multi person unit (keluarga, kelompok dan masyarakat). Edisi ketiga
(1985) Orem menghadirkan General Theory Keperawatan dan pada edisi keempat (1991)
Orem memberikan penekanan yang lebih besar terhadap anak-anak, kelompok dan
masyarakat

Orem mengembangkan teori Self Care Deficit meliputi 3 teori yang berkaitan
yaitu :
1). Self Care.
Self care adalah performance atau praktek kegiatan individu untuk berinisiatif
dan membentuk perilaku mereka dalam memelihara kehidupan, kesehatan dan
kesejahteraan.
Self care agency adalah kemampuan manusia atau kekuatan untuk melakukan
self care. Kemampuan individu untuk melakukan self care dipengaruhi oleh
basic conditioning factors seperti; umur, jenis kelamin, status perkembangan,
status kesehatan, orientasi sosial budaya, sistem perawatan kesehatan
(diagnostik, penatalaksanaan modalitas), sistem keluarga, pola kehidupan,
lingkungan serta ketersediaan sumber.
Kebutuhan self care therapeutik (Therapeutic self care demand) adalah
merupakan totalitas dari tindakan self care yang inisiatif dan dibentuk untuk
memenuhi kebutuhan self care dengan menggunakan metode yang valid yang
berhubungan dengan tindakan yang akan dilakukan.
Orem mengidentifikasikan tiga kategori self care requisite :
a. Universal meliputi; udara, air makanan dan eliminasi, aktifitas dan istirahat,
solitude dan interaksi sosial, pencegahan kerusakan hidup, kesejahteraan
dan peningkatan fungsi manusia.
b. Developmental, lebih khusus dari universal dihubungkan dengan kondisi
yang meningkatkan proses pengembangan siklus kehidupan seperti;
pekerjaan baru, perubahan struktur tubuh dan kehilangan rambut. c.
Perubahan kesehatan (Health Deviation) berhubungan dengan akibat
terjadinya perubahan struktur normal dan kerusakan integritas individu
untuk melakukan self care akibat suatu penyakit atau injury.
2). Self care deficit

8
Dalam teori ini keperawatan diberikan jika seorang dewasa (atau pada kasus
ketergantungan) tidak mampu atau terbatas dalam melakukan self care secara
efektif. Keperawatan diberikan jika kemampuan merawat berkurang atau tidak
dapat terpenuhi atau adanya ketergantungan
Orem mengidentifikasi lima metode yang dapat digunakan dalam membantu
self care:
a. Tindakan untuk atau lakukan untuk orang lain.
b. Memberikan petunjuk dan pengarahan.
c. Memberikan dukungan fisik dan psychologis.
d. Memberikan dan memelihara lingkungan yang mendukung pengembangan
personal.
e. Pendidikan. Perawat dapat membantu individu dengan menggunakan
beberapa atau semua metode tersebut dalam memenuhi self care. Orem
menggambarkan hubungan diantara konsep yang telah dikemukakannya.
3) nursing system.
Nursing system didesain oleh perawat didasarkan pada kebutuhan self care dan
kemampuan pasien melakukan self care. Nursing agency adalah suatu properti
atau atribut yang lengkap diberikan untuk orang-orang yang telah didik dan
dilatih sebagai perawat yang dapat melakukan, mengetahui dan membantu
orang lain untuk menemukan kebutuhan self care terapeutik mereka, melalui
pelatihan dan pengembangan self care agency.
2.3 Konsep Teori Pressure Injury dengan tindakan mobilisasi miring kiri dan
miring kanan
2.1 Konsep Luka Tekan (Pressure Ulcer)
2.1.1 Definisi
Luka tekan dahulu lebih dikenal dengan istilah luka dekubitus yang berasal dari
kata decumbere artinya membaringkan diri, namun istilah tersebut kini telah
ditinggalkan karena luka tekan sebenarnya tidak hanya terjadi pada pasien
berbaring saja tetapi juga bisa terjadi pada pasien dengan posisi menetap terus
menerus seperti penggunaan kursi roda atau pasien yang memakai protesis.
Luka tekan adalah injury kulit akibat penekanan yang terjadi secara terus menerus
(konstan) karena imobilitas. Akibat tekanan terus menerus tersebut aliran darah
menjadi menurun, dan akhirnya terjadi kematian sel jaringan (Nekrosis), kulit
menjadi rusak dan terbentuk luka terbuka (JAMA, 2006). Sedangkan MOH (2001)
mendefinisikan luka tekan sebagai suatu area kerusakan kulit, otot dan jaringan
dibawahnya yang terlokalisir akibat dari peregangan, gesekan dan penekanan yang
terus menerus. Black dan Hokarison (2005) mendefinisikan luka tekan adalah lesi
pada kulit yang disebabkan karena adanya tekanan yang berlebih dan
mengakibatkan kerusakan pada bagian dasar jaringan. Tekanan tersebut akan
mengganggu mikro sirkulasi jaringan lokal dan mengakibatkan hipoksia jaringan

9
kulit, serta memperbesar pembuangan metabolik yang dapat menyebabkan
nekrosis. Definisi luka tekan pada beberapa literatur keseluruhannya berhubungan
dengan kerusakan suplai darah
Menurut Potter dan Perry (2005), luka tekan adalah kerusakan struktur anatomis
dan fungsi kulit normal akibat dari tekanan eksternal yang berhubungan dengan
penonjolan tulang dan tidak sembuh dengan urutan dan waktu yang biasa.
Selanjutnya gangguan ini terjadi pada individu yang berada di atas kursi atau di
atas tempat tidur, seringkali pada inkontinensia, dan nutrisi ataupun individu yang
mengalami kesulitan makan sendiri, serta mengalami gangguan tingkat kesadaran.
2.1.2 Klasifikasi Luka Tekan
Salah satu cara yang paling untuk mengklasifikasikan dekubitus adalah dengan
menggunakan sistem nilai atau tahapan. Sistem ini pertama kali dikemukakan oleh
Shea (1975 dalam Potter & Perry, 2005) sebagai salah satu cara untuk memperoleh
metode jelas dan konsisten untuk menggambarkan dan mengklasifikasikan luka
dekubitus. Sistem tahapan luka dekubitus berdasarkan gambaran kedalaman
jaringan yang rusak (Maklebust, 1995 dalam Potter & Perry, 2005). Luka yang
tertutup dengan jaringan nekrotik seperti eschar tidak dapat dimasukkan dalam
tahapan hingga jaringan tersebut dibuang dan kedalaman luka dapat di observasi.
Peralatan ortopedi dan braces dapat mempersulit pengkajian dilakukan (AHPCR,
1994 dalam Potter & Perry, 2005).
Tahapan dibawah ini berasal dari NPUAP (1992), dan tahapan ini juga digunakan
dalam pedoman pengobatan AHCPR (1994). Pada konferensi konsensus NPUAP
(1995) mengubah defenisi untuk tahap I yang memperlihatkan karakteristik
pengkajian pasien berkulit gelap. Berbagai indikator selain warna kulit, seperti
suhu, adanya pori-pori ”kulit jeruk”, kekacauan atau ketegangan, kekerasan, dan
data laboratorium, dapat membantu mengkaji pasien berkulit gelap (Maklebust &
Seggreen, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Bennet (1995 dalam Potter & Perry,
2005). menyatakan saat mengkaji kulit pasien berwarna gelap, memerlukan
pencahayaan sesuai untuk mengkaji kulit secara akurat. Dianjurkan berupa cahaya
alam atau halogen. Hal ini mencegah munculnya warna biru yang dihasilkan dari
sumber lampu pijar pada kulit berpigmen gelap, yang dapat mengganggu
pengkajian yang akurat. Menurut National Pressure Ulcer Advisory Panel
(NPUAP) 2014 membagi derajat dekubitus menjadi enam dengan karakteristik
sebagai berikut:
1) Derajat I (Nonblanchable Erythema)
Derajat I ditunjukkan dengan adanya kulit yang masih utuh dengan tanda-tanda
akan terjadi luka. Apabila dibandingkan dengan kulit yang normal, maka akan
tampak salah satu tanda sebagai berikut : perubahan temperatur kulit (lebih dingin
atau lebih hangat), perubahan konsistensi jaringan (lebih keras atau lunak), dan
perubahan sensasi (gatal atau nyeri). Pada orang yang berkulit putih luka akan
kelihatan sebagai kemerahan yang menetap, sedangkan pada orang kulit gelap, luka

10
akan kelihatan sebagai warna merah yang menetap, biru atau ungu. Cara untuk
menentukan derajat I adalah dengan menekan daerah kulit yang merah (erythema)
dengan jari selama tiga detik, apabila kulitnya tetap berwarna merah dan apabila
jari diangkat juga kulitnya tetap berwarna merah.
Tanda gejala : Eritema tidak pucat pada kulit utuh, lesi luka kulit yang diperbesar.
Kulit tidak berwarna, hangat, atau keras juga dapat menjadi indicator
2) Derajat II (Partial Thickness Skin Loss)
Hilangnya sebagian lapisan kulit yaitu epidermis atau dermis, atau keduanya.
Cirinya adalah lukanya superfisial dengan warna dasar luka merah-pink, abrasi,
melepuh, atau membentuk lubang yang dangkal. Derajat I dan II masih bersifat
reversibel
3) Derajat III (Full Thickness Skin Loss)
Hilangnya lapisan kulit secara lengkap, meliputi kerusakan atau nekrosis dari
jaringan subkutan atau lebih dalam, tapi tidak sampai pada fasia. Luka terlihat
seperti lubang yang dalam. Disebut sebagai “typical decubitus” yang ditunjukkan
dengan adanya kehilangan bagian dalam kulit hingga subkutan, namun tidak
termasuk tendon dan tulang. Slough mungkin tampak dan mungkin meliputi
undermining dan tunneling.
4) Derajat IV (Full Thickness Tissue Loss)
Kehilangan jaringan secara penuh sampai dengan terkena tulang, tendon atau otot.
Slough atau jaringan mati (eschar) mungkin ditemukan pada beberapa bagian dasar
luka (wound bed) dan sering juga ada undermining dan tunneling. Kedalaman
derajat IV dekubitus bervariasi berdasarkan lokasi anatomi, rongga hidung, telinga,
oksiput dan malleolar tidak memiliki jaringan subkutan dan lukanya dangkal.
Derajat IV dapat meluas ke dalam otot dan atau struktur yang mendukung
(misalnya pada fasia, tendon atau sendi) dan memungkinkan terjadinya
osteomyelitis. Tulang dan tendon yang terkena bisa terlihat atau teraba langsung.
5) Unstageable (Depth Unknown)
Kehilangan jaringan secara penuh dimana dasar luka (wound bed) ditutupi oleh
slough dengan warna kuning, cokelat, abu-abu, hijau, dan atau jaringan mati
(eschar) yang berwarna coklat atau hitam di dasar luka. slough dan atau eschar
dihilangkan sampai cukup untuk melihat (mengexpose) dasar luka, kedalaman luka
yang benar, dan oleh karena itu derajat ini tidak dapat ditentukan.
6) Suspected Deep Tissue Injury : Depth Unknown
Berubah warna menjadi ungu atau merah pada bagian yang terkena luka secara
terlokalisir atau kulit tetap utuh atau adanya blister (melepuh) yang berisi darah
karena kerusakan yang mendasari jaringan lunak dari tekanan dan atau adanya gaya
geser. Lokasi atau tempat luka mungkin didahului oleh jaringan yang terasa sakit,
tegas, lembek, berisi cairan, hangat atau lebih dingin dibandingkan dengan jaringan

11
yang ada di dekatnya. Cedera pada jaringan dalam mungkin sulit untuk dideteksi
pada individu dengan warna kulit gelap. Perkembangan dapat mencakup blister
tipis diatas dasar luka (wound bed) yang berkulit gelap. Luka mungkin terus
berkembang tertutup oleh eschar yang tipis. Dari derajat dekubitus diatas,
dekubitus berkembang dari permukaan luar kulit ke lapisan dalam (top-down),
namun menurut hasil penelitian saat ini, dekubitus juga dapat berkembang dari
jaringan bagian dalam seperti fascia dan otot walaupun tanpa adanya adanya
kerusakan pada permukaan kulit. Ini dikenal dengan istilah injury jaringan bagian
dalam (Deep Tissue Injury). Hal ini disebabkan karena jaringan otot dan jaringan
subkutan lebih sensitif terhadap iskemia daripada permukaan kulit (Rijswijk &
Braden, 1999).
2.1.3 Patofisiologi Luka Tekan
National pressure Ulcer Advisory panel (NPUAP), (1989) dalam Potter & perry
(2005) mengatakan dekubitus merupakan nekrosis jaringan lokal yang cenderung
terjadi ketika jaringan lunak tertekan di antara tonjolan tulang dengan permukaan
eksternal dalam jangka waktu lama. Terjadi gangguan mikrosirkulasi jaringan lokal
dan mengakibatkan hipoksia jaringan. Jaringan memperoleh oksigen dan nutrisi
serta membuang sisa metabolisme melalui darah. Beberapa faktor yang
mengganggu proses ini akan mempengaruhi metabolisme sel dengan cara
mengurangi atau menghilangkan sirkulasi jaringan yang menyebabkan iskemia
jaringan.
Iskemia jaringan adalah tidak adanya darah secara lokal atau penurunan aliran
darah akibat obstruksi mekanika (Pires & Muller, 1991 dalam Potter & Perry,
2005). Penurunan aliran darah menyebabkan daerah tubuh menjadi pucat. Pucat
terlihat ketika adanya warna kemerahan pada pasien berkulit terang. Pucat tidak
terjadi pada pasien yang berkulit pigmen gelap.
Kerusakan jaringan terjadi ketika tekanan mengenai kapiler yang cukup besar dan
menutup kapiler tersebut. Tekanan pada kapiler merupakan tekanan yang
dibutuhkan untuk menutup kapiler misalnya jika tekanan melebihi tekanan kapiler
normal yang berada pada rentang 16 sampai 32 mmHg (Maklebust, 1987 dalam
Potter & Perry, 2005).
Setelah periode iskemik, kulit yang terang mengalami satu atau dua perubahan
hiperemi. Hiperemia reaktif normal (kemerahan) merupakan efek vasodilatasi lokal
yang terlihat, respon tubuh normal terhadap kekurangan aliran darah pada jaringan
dibawahnya, area pucat setelah dilakukan tekanan dengan ujung jari dan hiperemia
reaktif akan menghilang dalam waktu kurang dari satu jam. Kelainan hiperemia
reaktif adalah vasodilatasi dan indurasi yang berlebihan sebagai respon dari
tekanan. Kulit terlihat berwarna merah muda terang hingga merah. Indurasi adalah
area edema lokal dibawah kulit. Kelainan hiperemia reaktif dapat hilang dalam
waktu antara lebih dari 1 jam hingga 2 minggu setelah tekanan dihilangkan (Pirres
& Muller, 1991 dalam Potter & Perry, 2005).

12
Ketika pasien berbaring atau duduk maka berat badan berpindah pada penonjolan
tulang. Semakin lama tekanan diberikan, semakin besar resiko kerusakan kulit.
Tekanan menyebabkan penurunan suplai darah pada jaringan sehingga terjadi
iskemia. Apabila tekanan dilepaskan akan terdapat hiperemia reaktif, atau
peningkatan aliran darah yang tiba-tiba ke daerah tersebut. Hiperemia reaktif
merupakan suatu respons kompensasi dan hanya efektif jika tekan di kulit
dihilangkan sebelum terjadi nekrosis atau kerusakan. (Potter & Perry, 2005).
2.1.4 Etiologi Luka Tekan
Braden dan Bergstrom (1987) dalam Bryant (2007) menyatakan ada dua hal utama
yang berhubungan dengan risiko terjadinya luka tekan yaitu faktor tekanan dan
faktor toleransi jaringan. Faktor tekanan dipengaruhi oleh intensitas dan durasi
tekanan, sedangkan faktor toleransi jaringan dipengaruhi oleh shear, gesekan,
kelembaban, gangguan nutrisi, usia lanjut, tekanan darah rendah (hypotension),
status psikososial, merokok dan peningkatan suhu tubuh. Potter dan Perry (2005)
menyatakan faktor-faktor yang berkontribusi
terhadap kejadian luka tekan terdiri dari faktor internal yaitu nutrisi, infeksi dan
usia serta faktor eksternal yaitu shear, gesekan dan kelembaban. Penjelasan faktor-
faktor yang berhubungan dengan risiko terjadinya luka tekan dari Braden dan
Bergstrom (1987) dalam Bryant (2007) dan Potter & Perry (2005) diuraikan
sebagai berikut:
1) Faktor tekanan
Efek patologis tekanan yang berlebihan dihubungkan dengan intensitas tekanan dan
durasi tekanan.
a) Intensitas Tekanan
Intensitas tekanan menggambarkan besarnya tekanan antar muka kulit bagian luar
dengan permukaan matras. Jika tekanan antar muka melebihi tekanan kapiler maka
pembuluh kapiler akan kolaps dan selanjutnya jaringan akan hipoksia dan iskemia.
Tekanan kapiler rata-rata diperkirakan 32 mmHg di arteriol, 30-40 mmHg di akhir
arteri, 25 mmHg di pertengahan arteri, 12 mmHg di vena, dan 10 – 14 mmHg di
bagian akhir vena. Lindan (1961) dalam Bryant (2007) mengukur tekanan antar
muka laki-laki dewasa sehat dalam posisi supine, prone, sidelying dan duduk di
atas bed percobaan mendapatkan data tekanan antar muka antara 10 – 100 mmHg.
Tekanan antar muka 300 mmHg ditemukan pada posisi duduk tanpa alas kursi
(Kosiak dalam Bryant, 2000). Pada individu sehat, tekanan antar muka tidak selalu
akan mengakibatkan hipoksia karena individu sehat mempunyai kemampuan
mengenali sensasi dengan baik sehingga mampu berpindah posisi ketika merasa
tidak nyaman, tapi pada individu yang tidak mampu mengenali sensasi ataupun
tidak mampu pindah posisi dengan sendirinya tekanan antar muka akan berisiko
mengakibatkan hipoksia.
b) Faktor durasi tekanan

13
Durasi tekanan digambarkan sebagai lama periode waktu tekanan yang diterima
oleh jaringan (Bryant, 2007). Brooks & Duncan (2000), Kosiak (1961), Trumble
(1930) dalam Bryant (2007) menyatakan ada hubungan antara intensitas dan durasi
tekanan dengan terbentuknya iskemia jaringan. Secara lebih spesifik dinyatakan
intensitas tekanan yang rendah dalam waktu yang lama dapat membuat kerusakan
jaringan dan sebaliknya intensitas tekanan tinggi dalam waktu singkat juga akan
mengakibatkan kerusakan jaringan.
2) Faktor Toleransi Jaringan
Faktor toleransi jaringan dideskripsikan sebagai kemampuan kulit dan struktur
pendukungnya untuk menahan tekanan tanpa akibat yang merugikan. Kemampuan
tersebut dilakukan dengan cara mendistribusikan tekanan yang diterima ke seluruh
permukaan jaringan sehingga tidak bertumpu pada satu lokasi. Integritas kulit yang
baik, jaringan kolagen, kelembaban, pembuluh limfe, pembuluh darah, jaringan
lemak dan jaringan penyambung berperan dalam baik atau tidaknya toleransi
jaringan seorang individu. Konsep toleransi jaringan ini pertama kali didiskusikan
oleh Trumble (1930) dan selanjutnya Husain (1953) membuktikan dengan
sensitisasi otot tikus dengan 100 mmHg tekanan selama 2 jam, 72 jam selanjutnya
disensitisasi dengan 50 mmHg ternyata dalam waktu 1 jam terjadi degenerasi
jaringan (Bryant, 2007). Implikasinya, pada jaringan yang toleransinya kurang baik
akan lebih mudah mengalami luka tekan dibanding jaringan yang toleransinya baik
jika diberi intensitas tekanan yang sama. Faktor toleransi jaringan dipengaruhi oleh
faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik yaitu :
1. Faktor Ekstrinsik
a. Shear
Shear pertama kali digambarkan sebagai elemen yang berkontribusi terhadap
terbentuknya luka tekan pada tahun 1958 (Reichel, 1958 dalam Bryant, 2007).
Shear disebabkan oleh saling mempengaruhi antara gravitasi dengan gesekan dan
merupakan kekuatan mekanis yang meregangkan dan merobek jaringan, pembuluh
darah serta struktur jaringan yang lebih dalam yang berdekatan dengan tulang yang
menonjol. Gravitasi membuat tubuh senantiasa tertarik ke bawah sehingga
menimbulkan gerakan merosot sementara gesekan adalah resistensi antara
permukaan jaringan dengan permukaan matras. Sehingga ketika tubuh diposisikan
setengah duduk melebihi 30º maka gravitasi akan menarik tubuh kebawah
sementara permukaan jaringan tubuh dan permukaan matras berupaya
mempertahankan tubuh pada posisinya akibatnya karena kulit tidak bisa bergerak
bebas maka akan terjadi penurunan toleransi jaringan dan ketika hal tersebut
dikombinasikan dengan tekanan yang terus menerus akan timbul luka tekan. Shear
akan diperparah oleh kondisi permukaan matras yang keras dan kasar, linen yang
kusut dan lembab atau pakaian yang dikenakan pasien.
Potter & Perry (2005) menyatakan shear adalah kekuatan yang mempertahankan
kulit ketika kulit tetap pada tempatnya sementara tulang bergerak. Contohnya

14
ketika pada posisi elevasi kepala tempat tidur maka tulang akan tertarik oleh
gravitasi ke arah kaki tempat tidur sementara kulit tetap pada tempatnya. Akibat
dari peristiwa ini adalah pembuluh darah dibawah jaringan meregang dan angulasi
sehingga aliran darah terhambat.
b. Gesekan
Gesekan adalah kemampuan untuk menyebabkan kerusakan kulit terutama lapisan
epidermis dan dermis bagian atas (Bryant, 2007).
Hasil dari gesekan adalah abrasi epidermis dan atau dermis. Kerusakan seperti ini
lebih sering terjadi pada pasien yang istirahat baring. Pasien dengan kondisi seperti
ini sebaiknya menggunakan bantuan tangan atau lengan ketika berpindah posisi
utamanya ke arah atas atau dibantu oleh 2 orang ketika menaikkan posisi tidurnya.
Gesekan mengakibatkan cedera kulit dengan penampilan seperti abrasi. Kulit yang
mengalami gesekan akan mengalami luka abrasi atau laserasi superfisial (Potter $
Perry, 2005).
c. Kelembaban
Kelembaban kulit yang berlebihan umumnya disebabkan oleh keringat, urine, feces
atau drainase luka. Penyebab menurunnya toleransi jaringan paling sering adalah
kelembaban oleh urine dan feses pada pasien inkontinensia. Urine dan feses
bersifat iritatif sehingga mudah menyebabkan kerusakan jaringan, jika dikombinasi
dengan tekanan dan faktor lain maka kondisi kelembaban yang berlebihan
mempercepat terbentuknya luka tekan. Kelembaban akan menurunkan resistensi
kulit terhadap faktor fisik lain semisal tekanan. Kelembaban yang berasal dari
drainase luka, keringat, dan atau inkontinensia feses atau urine dapat menyebabkan
kerusakan kulit (fadder, Bain, Cottendam, 2004 dalam Bryant, 2007).
Secara histologis tanda-tanda kerusakan awal terbentuknya luka tekan terjadi di
dermis antara lain berupa dilatasi kapiler dan vena serta edema dan kerusakan sel-
sel endotel. Selanjutnya akan terbentuk perivascular infiltrat, agregat platelet yang
kemudian berkembang menjadi hemoragik perivaskuler. Pada tahap awal ini, di
epidermis tidak didapatkan tanda-tanda nekrosis oleh karena sel-sel epidermis
memiliki kemampuan untuk bertahan hidup pada keadaan tanpa oksigen dalam
jangka waktu yang cukup lama, namun gambaran kerusakan lebih berat justru
tampak pada lapisan otot daripada pada lapisan kulit dan subkutan. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Daniel dkk (1981) dalam Sabandar (2008) yang mengemukakan
bahwa iskemia primer pada otot dan kerusakan jaringan kulit terjadi kemudian
sesuai dengan kenaikan besar dan lamanya tekanan
2. Faktor Intrinsik
a. Gangguan Nutrisi
Peranan nutrisi amat penting dalam penyembuhan luka dan perkembangan
pembentukan luka tekan. Nutrien yang dianggap berperan dalam menjaga toleransi
jaringan adalah protein, vitamin A, C , E dan zinc. Bahkan Allman et al (1995),

15
Bergstorm & Bradden (1992), Brandeis et al (1990), Berlowitz & Wilking (1989),
Chernoff (1996) dalam Bryant (2000) menyatakan pada fasilitas perawatan jangka
panjang gangguan intake nutrisi, intake rendah protein, ketidakmampuan makan
sendiri, dan penurunan berat badan berperan sebagai prediktor independen untuk
terjadinya luka tekan.
Protein berperan untuk regenerasi jaringan, sistem imunitas dan reaksi inflamasi.
Kurang protein meningkatkan kecenderungan edema yang mengganggu
transportasi oksigen dan nutrien lain ke jaringan. Vitamin A diketahui berperan
dalam menjaga keutuhan jaringan epitel, sintesis kolagen, dan mekanisme
perlindungan infeksi. Vitamin C juga berperan dalam sintesis kolagen dan fungsi
sistem imun, sehingga jika kekurangan vitamin C dapat mengakibatkan pembuluh
darah mudah rusak (fragil). Vitamin E berperan dalam memperkuat imunitas sel
dan menghambat radikal bebas. Melihat pentingnya peran nutrisi maka
suplementasi nutrisi dianggap penting diberikan untuk pasien yang berisiko
mengalami luka tekan.
Nutrisi yang buruk khususnya kekurangan protein mengakibatkan jaringan lunak
mudah sekali rusak. Nutrisi yang buruk juga berhubungan dengan keseimbangan
cairan dan elektrolit. Mechanick (2004) dalam Potter & Perry (2005) menyatakan
kekurangan protein akan mengakibatkan edema atau sembab sehingga mengganggu
distribusi oksigen dan transportasi nutrien. Mathus-Vliegen (2004) dalam Potter
dan Perry (2005) menyatakan kehilangan protein yang parah hingga
Hypoalbuminemia (kadar albumin serum < 3 g/100 ml) menyebabkan perpindahan
cairan dari ekstraseluler ke jaringan sehingga mengakibatkan edema. Edema ini
akan menurunkan sirkulasi darah ke jaringan, meningkatkan akumulasi sampah
metabolik sehingga meningkatkan risiko luka tekan.
Untuk mengkaji status nutrisi pada pasien digunakan ukuran antropometri yaitu
berat badan dan Body Mass Index (BMI), dan nilai biokimia seperti serum
albumin, serum transferrin, total limfosit, keseimbangan nitrogen, serum
prealbumin serum dan serum retinol binding-protein, data klinis dan riwayat nutrisi
(Flannigan, 1997, Strauss dan Margoliss, 1996 dalam Bryant, 2007).
b. Usia
Usia lanjut (lebih dari 60 tahun) dihubungkan dengan perubahan-perubahan seperti
menipisnya kulit, kehilangan jaringan lemak, menurunnya fungsi persepsi sensori,
meningkatnya fragilitas pembuluh darah, dan lain sebagainya. Perubahan-
perubahan ini menurut Bergstorm & Bradden (1987), Krouskop (1983) dalam
Bryant (2000) mengakibatkan kerusakan kemampuan jaringan lunak untuk
mendistribusikan beban mekanis. Kombinasi perubahan karena proses menua dan
faktor lain menyebabkan kulit mudah rusak jika mengalami tekanan, shear, dan
gesekan (Joness & Millman, 1990 dalam Bryant, 2000).
Usia mempengaruhi perubahan-perubahan pada kulit. Proses menua
mengakibatkan perubahan struktur kulit menjadi lebih tipis dan mudah rusak.

16
Boynton and others (1999) dalam Potter & Perry (2005) melaporkan 60% - 90%
luka tekan dialami oleh usia 65 tahun ke atas. Quicgley & Curley (21996), WOCN
(2003) dalam Bryant (2005) melaporkan neonatus dan anak-anak usia < 5 tahun
juga berisiko tinggi mengalami luka tekan
c. Tekanan Darah Rendah
Bergstorm (1997), Gossnel (1973), Moolten (1972) dalam Bryant (2000) tekanan
darah sistolik dibawah 100 mmHg dan diastolik dibawah 60 mmHg dihubungkan
dengan perkembangan luka tekan. Kondisi hypotensi mengakibatkan aliran darah
diutamakan ke organ vital tubuh sehingga toleransi kulit untuk menerima tekanan
semakin menurun. Tekanan antar muka yang rendah mampu melampaui tekanan
kapiler sehingga meningkatkan risiko hipoksia jaringan.
d. Status Psikososial
Status psikososial yang dianggap mempengaruhi adalah kondisi motivasi, stress
emosional dan energi emosional (Rintala, 1995 dalam Bryant, 2000). Stress
dihubungkan dengan kondisi perubahan hormonal. Peningkatan hormon kortisol
karena stress dihubungkan dengan ketidakseimbangan degradasi kolagen dengan
pembentukan kolagen dan selanjutnya kehilangan kolagen dihubungkan dengan
perkembangan luka tekan pada pasien cidera tulang belakang (Cohen, Diegelman,
dan Johnson, 1977, Rodriguez, 1989 dalam Bryant, 2000). Efek lain dari
meningkatnya sekresi glukokortikoid pada kondisi stress dihubungkan dengan
peranan hormon tersebut dalam metabolisme beberapa zat seperti karbohidrat,
protein dan lemak yang menjadi penyokong integritas kulit dan jaringan
pendukungnya.
e. Merokok
Saltzberg et al (1989) dalam Bryant (2000) menyatakan merokok mungkin sebuah
prediktor terbentuknya luka tekan. Insiden luka tekan lebih tinggi pada perokok
dibandingkan dengan yang bukan perokok. Afinitas Haemoglobin dengan nikotin
dan meningkatnya radikal bebas diduga sebagai penyebab risiko terbentuknya luka
tekan pada perokok
f. Peningkatan Suhu Tubuh
Allman et al (1986), Braden and Bergstorm (1987), Gossnel (1973) dalam Bryant
(2000) menyatakan peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan terbentuknya
luka tekan. Namun, mekanisme bagaimana hubungan tersebut dapat terjadi belum
dapat dibuktikan, kemungkinan karena peningkatan suhu tubuh meningkatkan
kebutuhan oksigen pada jaringan yang sedang anoksia. Selain faktor-faktor
tersebut, pada beberapa kondisi seperti anemia, meningkatnya volume cairan tubuh,
dyscarias darah, atau perfusi oksigen yang buruk mungkin juga berpengaruh
sebagai faktor intrinsik. Namun pada lansia kadar albumin, kemandirian untuk
berubah posisi, inkontinensia feses, riwayat perbaikan atau penyembuhan luka
tekan, ada tidaknya alzheimer adalah faktor yang berpengaruh paling kuat

17
g. Infeksi
Infeksi ditandai dengan adanya patogen dalam tubuh. Infeksi biasanya diikuti oleh
demam dan peningkatan laju metabolisme sehingga jaringan-jaringan yang
mengalami hipoksia akan berisiko menuju iskemik. Selain itu demam juga
meningkatkan perspirasi sehingga kondisi kulit lebih lembab oleh keringat dan ini
akan menjadi predisposisi kerusakan kulit.
2.1.5 Lokasi Luka Tekan
Lokasi luka tekan sebenarnya bias terjadi di seluruh permukaan tubuh kita bila
mendapat penekanan keras secara terus menerus. Namun paling sering terjadi pada
tulang yang menonjol. Lokasi tersebut diantaranya adalah : tulang oksipital,
skapula, prosesus spinosus, siku, puncak ilika, sakrum, ischium, tendon achilles,
tumit, telapak kaki, telinga, bahu, spinal ilika anterior, trochanter, paha, lutut
medial, lutut lateral, tungkai bawah atas (Potter & Perry, 2005). Lokasi tersebut
diantaranya adalah:
a. Tuberositas Ischii (Frekuensinya mencapai 30%) dari lokasi tersering
b. Trochanter Mayor (Frekuensinya mencapai 20% dari lokasi tersering
c. Sacrum (Frekuensinya mencapai 15%) dari lokasi tersering.
d. Tumit (Frekuensinya mencapai 10%) dari lokasi tersering.
e. Malleolus
f. Genu
g. Lainnya meliputi cubiti, scapula dan processus spinosus vertebrae
2.1.6 Patogenesis Luka Dekubitus
Tiga elemen yang menjadi dasar terjadinya dekubitus yaitu:
1) Intensitas tekanan dan tekanan yang menutup kapiler (Landis, 1930).
2) Durasi dan besarnya tekanan (Koziak, 1953)
3) Toleransi jaringan (Husain, 1953)
Dekubitus terjadi sebagai hasil hubungan antar waktu dengan tekanan (Stortts,
1988 dalam Potter & Perry, 2005). Semakin besar tekanan dan durasinya, maka
semakin besar pula insidensinya terbentuknya luka ( Potter & Perry, 2005).
Kulit dan jaringan subkutan dapat mentoleransi beberapa tekanan. Tapi pada
tekanan eksternal terbesar dari pada tekanan dasar kapiler akan menurunkan atau
menghilangkan aliran darah ke dalam jaringan sekitarnya. Jaringan ini menjadi
hipoksia sehingga terjadi cedera iskemik. Jika tekanan ini lebih besar dari 32
mmHg dan tidak dihilangkan dari tempat yang mengalami hipoksia, maka
pembuluh darah kolaps dan trombosis (Maklebust, 1987 dalam Potter & Perry,
2005). Jika tekanan dihilangkan sebelum titik kritis maka sirkulasi pada jaringan

18
akan pulih kembali melalui mekanisme fisiologis hiperemia reaktif, karena kulit
mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mentoleransi iskemik dari otot,
maka dekubitus dimulai di tulang dengan iskemia otot yang berhubungan dengan
tekanan yang akhirnya melebar ke epidermis (Maklebust, 1995 dalam Potter &
Perry, 2005).
Pembentukan luka dekubitus juga berhubungan dengan adanya gaya gesek yang
terjadi saat menaikkan posisi klien di atas tempat tidur. Area sakral dan tumit
merupakan area yang paling rentan (Maklebust, 1987 dalam Potter & Perry, 2005).
Efek tekanan juga dapat ditingkatkan oleh distribusi berat badan yang tidak merata.
Seseorang mendapatkan tekanan konstan pada tubuh dari permukaan tempatnya
berada karena adanya gravitasi (Berecek, 1975 dalam Potter & Perry, 2005). Jika
tekanan tidak terdistribusi secara merata pada tubuh maka gradien tekanan jaringan
yang mendapatkan tekanan akan meningkat dan metabolisme sel kulit di titik
tekanan mengalami gangguan.
2.1.7 Penatalaksanaan Pencegahan Luka Tekan
Banyak tinjauan literatur mengindikasikan bahwa luka tekan dapat dicegah.
Meskipun kewaspadaan perawat dalam memberikan perawatan tidak dapat
sepenuhnya mencegah terjadinya luka tekan dan perbaikannya pada beberapa
individu yang sangat berisiko tinggi. Dalam kasus seperti ini, tindakan intensif
yang dilakukan harus ditujukan untuk mengurangi faktor risiko, melaksanakan
langkah-langkah pencegahan dan mengatasi luka tekan (Bergstorm et al, 1992
dalam MOH 2001). Upaya pencegahan luka tekan dinyatakan dalam beberapa
literatur (MOH 2001, EPUAP & NPUAP 2009, NGC 2008, Mukti 1998) yang
merujuk kepada beberapa hasil penelitian dan evidence secara garis besar terdiri
dari upaya-upaya :
1) Pengkajian risiko dengan menggunakan tool
Beberapa tool pengkajian telah dikembangkan seperti Braden’s Scale , Norton’s,
Waterlow’s, clinical judgment.dan lain-lain. Namun menurut AHCPR (2008) hanya
Braden’s Scale dan Norton’s (asli maupun telah dimodifikasi) yang telah dan
sedang di uji secara ekstensif. Braden’s Scale telah diuji penggunaannya pada
setting keperawatan medikal bedah, perawatan intensif dan nursing home.
Sedangkan Norton’s telah diuji pemakaiannya pada unit perawatan usia lanjut di
rumah sakit.
2) Perawatan Diri
Perawatan kulit bertujuan untuk mencegah kejadian luka tekan melalui upaya
merawat, mempertahankan, dan memperbaiki toleransi kulit terhadap tekanan.
Perawatan kulit menurut Dealey (2009) terdiri dari tindakan-tindakan seperti :
a. Pengkajian kulit dan risiko luka tekan
Pengkajian resiko luka tekan dapat dilakukan dengan menggunakan Skala Braden.
Inspeksi kulit dilakukan secara teratur dengan frekuensi sesuai kebutuhan masing-

19
masing pasien. Inspeksi dilakukan untuk melihat apakah ada kondisi-kondisi
seperti kulit kering, sangat basah, kemerahan, pucat dan indurasi. Pemeriksaan
lain seperti apakah ada tanda hangat yang terlokalisir, perubahan warna dan
edema.
b. Massage
Massage yang kuat pada area tonjolan tulang atau kulit yang kemerahan
dihindarkan. Penggunaan massage untuk mencegah luka tekan masih
kontroversial, mengingat tidak semua jenis massage bisa digunakan. Namun
massage di area tulang menonjol atau bagian kulit yang telah menunjukkan tanda
kemerahan atau discoloration patut dihindari karena hasil biopsi post mortem
pada jaringan yang di lakukan massage menunjukkan adanya degenerasi jaringan,
dan maserasi (Dyson, 1978 dalam AHCPR 2008 dan Pieters et al, 2005). Teknik
Massage yang diperbolehkan hanya Effleurage namun tidak untuk jaringan diatas
tulang yang menonjol maupun yang telah menunjukkan kemerahan ataupun pucat.
Lama waktu massage yang digunakan masih bervariasi antara 15 menit (Ceichle,
1958 dalam Pieters, 2005), dan 4 – 5 menit (Ellis & Bentz, 2007). Massage
umumnya dilakukan 2 kali sehari setelah mandi (Ellis & Bentz, 2007).

c. Manajemen kulit kering


Kulit yang kering diberi emolients dan krem. Reddy et al (2006) dalam Dealey
(2009) merekomendasikan penanganan kulit kering pada sakrum secara khusus
dengan menggunakan pelembab sederhana. Penting untuk memberikan pelembab
secara teratur untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal. Mengurangi
lingkungan yang menyebabkan kulit kering dan berkurangnya kelembaban kulit
seperti suhu dingin, dan hidrasi tidak adekuat. Kulit kering meningkatkan risiko
terbentuknya fissura dan rekahan stratum korneum.

3) Mobilisasi miring kiri miring kanan


Penatalaksanaan posisi miring kiri dan miring kanan dilakukan untuk mengurangi
tekanan yang terlalu lama dan gaya gesekan pada kulit. disamping itu, perubahan
posisis untuk mencegah terbentuknya dekubitus dengan pemberian posisi setiap 2
jam sekali. pemberian posisi miring kiri miring kanan berpeluang untuk
mengurangi tekanan dan gaya gesekan pada kulit sehingga mencegah terjadinya
dekubitus.

20
Dari literature review yang dilakukan oleh septilia (2020) menunjukkan hasil bahwa
penerapan imobilisasi (miring kanan miring kiri) mempunyai pengaruh dalam
pencegahan luka tekan khususnya pada pasien stroke. sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Simanjuntak dan Purnama (2020) bahwa mobilisasi miring kiri miring
kanan ada pengaruh dalam pencegahan pressure injury/luka tekan pada pasien sepsis
baik itu dengan metode 30 derajat dan 90 derajat.

Selain untuk mencegah terjadinya luka tekan dan dekubitus, latihan Mobilisasi dini
merupakan kegiatan yang penting pada periode post operasi guna mengembalikan
kemampuan ADL pasien. Kurangnya latihan mobilisasi dini pasca operasi dapat
menimbulkan lamanya hari perawatan dan menimbulkan infeksi. Latihan mobilisasi
setelah 6-10 jam, pasien diharuskan untuk dapat miring ke kiri dan ke kanan untuk
mencegah trombosis dan tromboemboli. Latihan miring kiri dan kanan dilakukan
selama berkala setiap 2 jam selama 3 hari

2.2 Posisi Miring kiri miring kanan

2.2.1 Definisi

Definisi Posisi miring kanan dan miring kiri merupakan posisi yang diberikan pada
pasien koma untuk mengurangi tekanan yang terlalu lama dan gaya gesekan pada
kulit, di samping itu juga mencegah terbentuknya dekubitus, kemudian mengubah
posisi setiap 2 jam sekali (Effendi, 2011). Tujuan dari teknik merubah posisi adalah
untuk mengurangi penonjolan pada tulang sakrum dan trochanter mayor otot
pinggang, meningkatkan drainase dari mulut pasien dan mencegah aspirasi,
memasukkan obat supositoria dan mencegah dekubitus (Eni Kusyati, 2006)

2.2.2 Langkah Prosedur

1) Fase Orientasi

a) Mengucapkan salam

b) Memperkenalkan diri

c) Menjelaskan tujuan

d) Menjelaskan langkah prosedur

21
e) Menempatkan alat di dekat pasien

f) Membuat kontrak waktu

g) Mencuci tangan

2) Fase Kerja

a) Menjaga privasi

b) Perawat berdiri di samping klien pada posisi yang dituju

c) Menggeser klien ke sisi tempat tidur berlawanan dengan arah yang dituju
(pasang pengaman tempat tidur)

d) Tangan kiri pegang bahu klien, tangan kanan pegang pinggang, satu kaki
berada di depan, dalam hitungan ketiga kaki ke belakang di tekuk dan jatuhkan
badan ke bawah.

e) Memastikan klien tidur setengah telungkup

f) Merapikan pasien

3) Fase Terminasi

a) Melakukan evaluasi tindakan

b) Mencuci tangan

c) Berpamitan

22
BAB III.
PEMBAHASAN

1. Analisis Intervensi Keperawatan Berdasarkan konsep Filsafat Ilmu


(ontologi,epistemologi dan axiologi).

Pengembangan ilmu pengetahuan tidak terlepas dari pemahaman tentang


filsafat ilmu. Filsafat ilmu merupakan telaat kefilsafatan yang ingin menjawab
pertanyaan mengenai hakekat ilmu yang ditinjau dari tiga aspek yaitu aspek ontologi
(apa yang ingin diketahui), epistemologi (bagaimana memperoloh pengetahuan), dan
aksiologi (untuk apa pengetahuan itu). Filsafat ilmu dijadikan sebagai landasan
dalam perkembangan ilmu pengetahuan sehingga tidak menyimpang dari kaidah
discipline ilmu pengetahuan.

Pemahaman tentang sudut pandang filsafat ilmu harus diaplikasikan dalam


keperawatan sebagai landasan untuk pengembangan ilmu keperawatan dan praktik
keperawatan. Berikut aplikasi tiga sudut pandang filsafat ilmu dalam ilmu
keperawatan.

1. Ontologi dalam Ilmu Keperawatan

Ontologi dapat diartikan sebagai suatu studi yang membahas sesuatu yang
ada. Ontologi menjawab pertanyaan tentang apa yang ingin diketahui atau objek
yang menjadi pusat studi dari suatu discipline ilmu. Ontologi dalam ilmu
keperawatan merupakan objek yang menjadi pusat telaah ilmu keperawatan.

Untuk memahami aspek ontologi ilmu keperawatan perlu dipahami tentang


postulat, asumsi, dan prinsip yang diyakini dalam keperawatan. Postulat yang
diajukan dalam keperawatan adalah bahwa manusia yang tidak dapat berfungsi
secara sempurna dalam kaitan dengan kondisi kesehatan dan proses penyembuhan
mempunyai seperangkat kebutuhan. Asumsi yang diajukan bahwa manusia tidak
dapat berfungsi secara sempurna dalam kaitan dengan kondisi kesehatan dan proses
penyembuhan adalah makhluk biopsikososial dan spiritual. Berdasarkan postulat dan
asumsi ini dikembangkan prinsip yaitu bantuan yang efektif bagi individu yang tidak

23
dapat berfungsi secara sempurna dalam kaitan dengan kondisi kesehatan dan proses
penyembuhan adalah bantuan dengan pendekatan biopsikososial dan spiritual secara
holistik dan optimal.

Berdasarkan pemahaman tentang postulat, asumsi dan prinsif tersebut, maka


bidang garapan dan fenomena yang menjadi objek studi keperawatan adalah
penyimpangan dan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia (biopsikososial dan
spiritual). Keperawatan juga mempelajari manusia sebagai makhluk biopsikososial
dan spiritual, respon yang dapat ditimbulkan ketika tidak dapat berfungsi secara
sempurna serta bantuan dengan pendekatan biopsikososial dan spiritual yang holistik
untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Pengembangan ilmu dalam struktur ilmu keperawatan harus berlandaskan


aspek ontologi di atas. Hal inilah yang membedakan discipline ilmu keperawatan
dengan discipline ilmu lainnya. Meskipun objek material yang menjadi sasaran
penyelidikan sama, namun dalam perkembangan struktur ilmu pengetahuan
selanjutnya akan berbeda, karena sudut pandang ontologi yang berbeda. Misalnya
ilmu kedokteran memfokuskan pada gangguan fungsi organ tubuh dan upaya
penyembuhan penyakit, sedangkan ilmu keperawatan secara ontologi memfokuskan
pada pemahaman manusia sebagai makhluk biopsikososial dan spiritual yang
memerlukan bantuan ketika tidak dapat berfungsi secara sempurna. Bantuan
diberikan dengan pendekatan yang holistik (pelayanan keperawatan) untuk
pemenuhan kebutuhan dasar.

Dengan demikian manfaat ontologi bagi ilmu keperawatan adalah :

1) Memberikan arah dalam pengembangan struktur ilmu keperawatan sehingga


dapat membedakan discipline ilmu keperawatan dengan discipline ilmu
lainnya. Teori-teori keperawatan dikembangkan berdasarkan sudut pandang
ontologi keperawatan.
2) Memberikan panduan dalam menyusun ilmu keperawatan yang integral,
komprehensif dan koheren. Ilmu keperawatan dalam hal ini mengkaji
masalah-masalah spesifik dalam keperawatan yang akhirnya dapat diperoleh
gambaran komprehensif dan koheren tentang objek telaahnya.

24
2. Epistemologi dalam Ilmu Keperawatan

Epistemologi merupakan sudut pandang tentang bagaimana metode atau


prosedur yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan. Epistemologi menjadi
dasar pijakan dalam memberikan legetimasi suatu ilmu pengetahuan untuk diakui
sebagai discipline ilmu dan menentukan keabsahan discipline ilmu tertentu.
Berdasarkan hal ini maka epistemologi berperan penting dalam memberikan
kerangka acuan dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Landasan epistemologi
ilmu menyangkut cara berpikir keilmuan berkenaan dengan kriteria tertentu agar
sampai pada kebenaran ilmiah. Dalam hal ini epistemologi ilmu membahas tentang
suatu proses berpikir ilmiah. Aspek metodologi yang penting dalam pengembangan
pengetahuan adalah metodologi keilmuan.

Aplikasi epistemologi dalam ilmu keperawatan tergambar dari


pengembangan struktur ilmu keperawatan mulai dari falsafah keperawatan,
paradigma, model konseptual keperawatan, teori keperawatan dan teori middle range
keperawatan. Saat ini pengembangan ilmu keperawatan dilaksanakan dengan metode
ilmiah melalui berbagai penelitian keperawatan.

3. Aksiologi dalam Ilmu Keperawatan

Landasan aksiologi dalam pengembangan ilmu pengetahuan merupakan sudut


pandang tentang tujuan dan nilai suatu pengetahuan. Landasan ini dijadikan strategi
untuk mengantisipasi perkembangan kehidupan manusia yang negatif sehingga ilmu
pengetahuan dan teknologi tetap berjalan pada jalur kemanusiaan.

Aksiologi dalam ilmu keperawatan memberikan batasan pengembangan ilmu


keperawatan sehingga tetap berjalan dalam kodrat manusia dan meningkatkan
kemaslahatan umat manusia. Pemahaman tentang aksiologi dalam keperawatan
bertujuan :

1) Memberikan arah dalam proses keilmuan dan perkembangan teori keperawatan


sehingga berbagai penelitian keperawatan dapat dilakukan secara etis, tidak
mengubah kodrat dan tidak merendahkan martabat manusia.

25
2) Memberikan arah dalam praktik keperawatan sehingga dapat memberikan
pelayanan dengan nilai yang luhur dan dapat meningkatkan derajat kesehatan
manusia.

2. Inovasi Pengembangan Model Keperawatan.


mobilisasi miring kanan dan miring kiri merupakan salah satu intervensi keperawatan
yang sering dilakukan pada pasien dengan bedrest total adalah pengaturan posisi dengan
tujuan untuk mencegah terjadinya pressure injury terkhusus pada pasien dengan diagnosa
sepsis. Tindakan ini harus dilakukan secepat dan sedini mungkin dengan tujuan agar
terjadinya pemeliharaan integritas jaringan sehingga mengurangi penekanan yang akan
menimbulkan komplikasi berupa luka dekubitus dan pencegahan dari kompresif
neuropathy (Simanjuntak & Purnama, 2020). Selain melakukan miring kanan dan miring
kiri pada pasien yang mengalami pressure injury, dapat dilakukan beberapa inovasi
intervensi keperawatan, antara lain:

1. Modern dressing dengan terapi ozon

Ozon (O3) adalah gas yang secara alami terdapat di atmosfer bumi memiliki bau yang
spesifik dan kuat serta merupakan bentuk alotropi dari oksigen. Ozon merupakan oksidan
yang jauh lebih kuat dibandingkan dengan oksigen, sehingga dapat mengoksidasi banyak
bahan yang inert terhadap oksigen pada kondisi normal (HTA Indonesia, 2004). Fungsi
dasarnya adalah untuk melindungi manusia dari efek berbahaya dari radiasi UV. Ozon
terjadi pada kurang dari 20 g/m3 dari permukaan bumi pada konsentrasi yang sangat
kompatibel dengan kehidupan. Meskipun O3 memiliki efek berbahaya, namun para
peneliti percaya bahwa ozon memiliki banyak efek terapi (Megawati, Hakimi, &
Sumaryani, 2015).

Selain digunakan sebagai antiseptik, ozon juga dinyatakan memiliki efek antivirus, anti
jamur dan anti protozoa. Ozon mampu mengoksidasi berbagai jenis bakteri, spora, jamur,
ragi, dan bahan organik lainnya. Efek ozon terhadap bakteri adalah dengan mengganggu
integritas kapsul sel bakteri melalui oksidasi fosfolipid dan lipoprotein, kemudian
berpenetrasi ke dalam membran sel, bereaksi dengan substansi sitoplasma dan merubah

26
circular plasmid DNA tertutup menjadi circular DNA terbuka, yang dapat mengurangi
efisiensi proliferasi bakteri, mempengaruhi secara langsung integritas cytoplasmic, dan
mengganggu beberapa tingkat kompleksitas metabolik. Disamping itu ozon juga dapat
memperbaiki distribusi oksigen dan pelepasan growth factor yang bermanfaat dalam
mempercepat penyembuhan luka. Ozon diklaim sebagai alternatif yang potensial untuk
dijadikan agen yang membantu penyembuhan luka selain terapi konvensional yang sudah
ada. Hingga saat ini, penggunaan ozon baik secara sistemik berupa autohemoterapi
maupun topikal telah diaplikasikan untuk membantu penyembuhan luka seperti luka
bakar, luka tembak, luka terinfeksi, ulkus gangren diabetikum, ulkus dekubitus, luka post
operasi dll. Terapi ozon untuk luka umumnya diberikan secara topikal sebagai
antimikroba (HTA Indonesia, 2004).

Sebelum diaplikasikan pada luka, luka dibersihkan (dicuci) dengan menggunakan normal
salin, kemudian dikeringkan. Setelah itu luka ditutup dengan menggunakan kantong
plastik, rapatkan hingga kedap udara. Mesin ozon dihidupkan, atur waktu selama 15–20
menit. Pada pasien dengan kelainan vaskuler, konsentrasi ozon yang diberikan adalah 6 –
8 ml (Novgorod, 2008).

Ozon memiliki rentang aksi terapeutik, yang dalam terminology farmakokinetik disebut
therapeutic window. Pemakaian ozon dalam konsentrasi yang terlalu rendah hanya
menghasilkan efek terapeutik yang kecil, dan bila digunakan dalam konsentrasi yang
terlalu tinggi menimbulkan efek toksik. Kisaran therapeutic window adalah 20 –80 ug/mg
ozon per gram darah. Dalam kisaran ini, toksisitas minimal atau tidak ada. Saat ini, belum
bisa ditentukan dosis spesifik untuk masing –masing kelainan patologis karena belum
adanya controlled clinical studies untuk masalah ini. Namun berdasarkan biokimia dan
hasil empiris saja. Terapi ozon diberikan sebanyak 1 –3 kali seminggu. Pasien dievaluasi
baik klinis maupun biologis setelah menjalani 6 -8 sesi terapi (Megawati, Hakimi, &
Sumaryani, 2015).

2. Menggunakan VCO

Virgin Coconut Oil (VCO) atau minyak kelapa murni dimana minyak ini memiliki
kandungan yang baik untuk menjaga kesehatan kulit. Berdasarkan penelitian Sulidah &
Susilowati menyatakan bahwa dengan Virgin Coconut Oil (VCO) atau terapi minyak

27
kelapa murni dapat berfungsi sebagai pelembab untuk mencegah kulit kering,
memberikan nutrisi melalui proses penyerapan oleh kulit dan sebagai pelumas untuk
mengurangi efek gesekan sehingga baik digunakan untuk perawatan kulit (Sulidah &
Susilowati, 2017). Selain itu, VCO juga mengandung unsur antioksidan, vitamin E dan
asam lemak jenuh yang diyakini baik untuk kulit, membantu kulit tetap muda, sehat dan
bebas dari penyakit (Setiani, 2015). Berdasarkan hal tersebut, tujuan dari penelitian ini
yaitu untuk melihat pengaruh VCO terhadap luka dekubitus pasien. Praktek miring
kanan-miring kiri dapat dikombinasikan dengan pemberian VCO pada pasien dengan
pressure injury.

Seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Linggi et al. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol yang hanya diberikan pemberian posisi
mika-miki tanpa VCO selama 2-3 jam menghasilkan kondisi kulit responden tampak
kering, timbul kemerahan dan terjadi penguapan akibat keringat berlebihan yang dapat
memicu timbulnya bakteri sehingga tidak efektif dalam mencegah luka dekubitus.
Berbeda dengan kelompok intervensi yang diberikan Virgin Coconut Oil (VCO) atau
minyak kelapa murni disertai dengan pemberian posisi mika-miki. Berdasarkan observasi
peneliti, pada kelompok intervensi didapatkan tampak kulit responden jauh lebih baik
dibandingkan sebelum diberikan VCO dan posisi mika-miki. Kulit responden yang
awalnya terdapat tanda dan gejala timbulnya dekubitus seperti kemerahan pada kulit yang
menetap, tetapi setelah diberikan intervensi, kulit responden tidak tampak kemerahan,
kulit menjadi lembab, lembut, tidak kering, VCO tahan lama di kulit, dan terdapat
perbaikan sel-sel kulit yang rusak. Hal tersebut disebabkan karena kandungan VCO baik
untuk melembabkan dan melumaskan kulit, menurunkan inflamasi, mendukung dalam
perbaikan dan penyembuhan jaringan, membunuh bakteri sehingga dapat mengurangi
efek tekanan yang disebabkan oleh tempat tidur (Linggi, Wirmando, Kurnia, & Tandi,
2021).

28
BAB IV. PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Pengembangan ilmu pengetahuan tidak terlepas dari pemahaman tentang


filsafat ilmu. Filsafat ilmu merupakan telaat kefilsafatan yang ingin menjawab
pertanyaan mengenai hakekat ilmu yang ditinjau dari tiga aspek yaitu aspek ontologi
(apa yang ingin diketahui), epistemologi (bagaimana memperoloh pengetahuan), dan
aksiologi (untuk apa pengetahuan itu). Filsafat ilmu dijadikan sebagai landasan

29
dalam perkembangan ilmu pengetahuan sehingga tidak menyimpang dari kaidah
discipline ilmu pengetahuan.

Pemahaman tentang sudut pandang filsafat ilmu harus diaplikasikan dalam


keperawatan sebagai landasan untuk pengembangan ilmu keperawatan dan praktik
keperawatan.

Mobilisasi miring kanan dan miring kiri merupakan salah satu intervensi
keperawatan yang sering dilakukan pada pasien dengan bedrest total adalah
pengaturan posisi dengan tujuan untuk mencegah terjadinya pressure injury
terkhusus pada pasien dengan diagnosa sepsis. Tindakan ini harus dilakukan secepat
dan sedini mungkin dengan tujuan agar terjadinya pemeliharaan integritas jaringan
sehingga mengurangi penekanan yang akan menimbulkan komplikasi berupa luka
dekubitus dan pencegahan dari kompresif neuropathy. Selain melakukan miring
kanan dan miring kiri pada pasien yang mengalami pressure injury, dapat dilakukan
beberapa inovasi intervensi keperawatan, antara lain menggunakan Modern dressing
dengan terapi ozon dan minyak kelapa.

4.2 Saran
Bagi perawat diharapkan agar selalu mengaplikasikan tindakan mobilisasi miring
kiri dan kanan kepada pasien yang immobilisasi dan penurunan kesadaran sebagai
salah satu cara untuk pencegahan pressure ulcer/luka tekan minimal setiap 2-4 jam.

30
Daftar Pustaka

Linggi, E. B., Wirmando, Kurnia, M., & Tandi, N. (2021). Pengaruh Pemberian Virgin
Coconut Oil (VCO) Terhadap Luka Dekubitus Pada Pasien Tirah Baring. Jurnal
Penelitian Kesehatan Suara Forikes, 12, 120-123.

Megawati, V. N., Hakimi, H. M., & Sumaryani, S. (2015). Efektifitas Modifikasi Modern
Dressing dan Terapi Ozon Terhadap Penyembuhan Luka pada Pasien dengan
Pressure Ulcer di Wocare Clinic Bogor. Hospital Majapahit, 7(2), 11-20.

Setiani, D. (2015). Efektivitas massage dengan virgin coconut oil terhadap pencegahan
luka tekan di intensive care. Jurnal Husada Mahakam, 4(1), 32–42.

Simanjuntak, T. R., & Purnama, A. (2020). Efektivitas Mobilisasi Miring Kiri Miring
Kanan dalam Upaya Pencegahan Pressure Injury pada Pasien Sepsis di Ruang
Instalasi Pelayanan Intensif. Jurnal Keperawatan Komprehensif, 6(1), 35-44.

Sulidah, & Susilowati. (2017). Pengaruh tindakan pencegahan terhadap kejadian


dekubitus pada lansia imobilisasi. Medisains, 15(3), 161–172.

31
32

Anda mungkin juga menyukai