Anda di halaman 1dari 32

TUGAS MAKALAH

MATA KULIAH PERKEMBANGAN ILMU KEPERAWATAN


REFLECTIVE PRACTICE
PATTTERN OF KNOWING PADA PRAKTEK PELAYANAN

NAMA DOSEN PENGAMPU : Dr. F. Sri Susilaningsih. MN


OLEH KELOMPOK
NAMA KELOMPOK NPM
Rahmi Muthia 220120160029
Ridha Wahdini 220120160011
Rosaliana Dewi 220120160002
Siti Khadijah 220120160031
Yuniko Febby Husnul Fauzi 220120160057

PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
TAHUN AJARAN 2016/2017
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN......................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang.............................................................................................................1
1.2. Tujuan..........................................................................................................................3
BAB II KAJIAN TEORI OREM...............................................................................................4
2.1. Pendidikan Keperawatan.................................................................................................4
2.1.1. Definisi Umum Keperawatan...................................................................................4
2.1.2. Perkembangan Profesionalisme Keperawatan..........................................................6
2.2. Reflective Practice dalam Pendidikan Keperawatan.......................................................7
2.2.1. Definisi Reflective Practice......................................................................................7
2.2.2. Bentuk Reflective Practice........................................................................................8
2.3. Teori Keperawatan Self-Care Orem..............................................................................10
2.3.1. Latar Belakang Dorothea E. Orem..........................................................................11
2.3.2. Konsep Keperawatan Orem....................................................................................11
2.3.3. Implikasi Teori Orem dalam Tindakan Keperawatan.............................................17
BAB III REFLECTIVE PRACTICE.......................................................................................18
3.1. Kasus.........................................................................................................................18
3.2. Analisis......................................................................................................................19
3.2.1. Empirical Knowing............................................................................................19
3.2.2. Personal Knowing..............................................................................................23
3.2.3. Esthetics Knowing.............................................................................................25
3.2.4. Ethical Knowing.................................................................................................26
BAB IV PENUTUP.................................................................................................................28
4.1. Simpulan........................................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................30
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tuntutan kebutuhan masyarakat dan pembangunan di masa yang akan datang, yaitu
pembangunan kesehatan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang
kesehatan, khususnya bidang keperawatan. Penekanan pendidikan bukan lagi hanya
penguasaan keterampilan dalam melaksanakan asuhan keperawatan sebagai bagian dari
pelayanan kesehatan, akan tetapi pada pertumbuhan dan pembinaan sikap dan
keterampilan profesional keperawatan disertai dengan landasan ilmu pengetahuan, yaitu
ilmu keperawatan. Kebutuhan akan dasar keilmuan sebagai acuan praktik profesional
keperawatan telah ditunjukkan melalui banyaknya hasil karya pakar keperawatan,
termasuk diantaranya dengan menjadikan keperawatan sebagai profesi yang dikenal dan
menghasilkan keberhasilan implementasi tindakan keperawatan yang profesional bagi
pasien.
Menurut Carper (1978), ada empat pola dasar mengetahui di keperawatan yang
penting untuk mengajar dan belajar keperawatan yang melibatkan analisis kritis (pattern
of knowing). Empat pola mengetahui tersebut adalah empiris (empirical knowing), etika
(ethical knowing), pengetahuan pribadi (personal knowing), dan estetika (aesthetic
knowing). Carper (1978) mendefinisikan empirical knowing adalah proses pembentukan
pengetahuan ilmiah terkait dengan mekanisme yang memproses pengetahuan tersebut.
Mekanisme ini lebih dikenal dengan isilah metode ilmiah yang memproses pengetahuan
dalam tiga aspek, yaitu keabsahan, kebenaran, dan penyusunan. Keabsahan pengetahuan
ilmiah di tentukan berdasarkan syarat yang harus di penuhi oleh suatu pengetahuan, yaitu
logis, analitis, dan sistematis. Pengetahuan empiris dalam teori keperawatan memurnikan
dan meningkatkan landasan struktural dalam kurikulum keperawatan sehingga
meningkatkan sudut padang ilmu keperawatan dalam perspektif global (Kalofissudis,
2007). Ethical knowing adalah penyusunan pengetahuan ilmiah yang memerlukan
pikiran dasar secara teoritis. Pikiran dasar itu terdiri atas postulat, asumsi, dan prinsip.
Pengetahuan etika menjadi panduan bagaimana perawat menghadapi dan menyelesaikan
masalah yang saling bertentangan dan membutuhkan penerapan penalaran etis. Aesthetic
knowing adalah ilmu yang membahas keindahan, bagaiamana ia bisa terbentuk, dan
bagaimana seseorang bisa merasakannya. Aesthetic knowing melibatkan penerapan
empati, persepsi dan pengakuan dari nilai pengalaman hidup individu sehari-hari.

1
Aesthetic knowing melibatkan seni dalam keperawatan, dapat diperoleh melalui
pengalaman dan mencakup penggunaan intuisi. Personal knowing adalah pola
mengetahui yang berhubungan dengan penemuan dan aktualisasi diri individu. Personal
knowing berkaitan dengan menjadi sadar diri dan memiliki refleksi pribadi ketika
merawat pasien.
Asuhan keperawatan sebagai pelayanan profesional akan berkembang bila
didukung oleh teori dan model keperawatan, pengembangan riset keperawatan, dan
aplikasi hasil-hasil riset keperawatan di dalam praktek keperawatan. Sebenarnya model
konseptual keperawatan sudah berkembang banyak, namun banyak pula kalangan
perawat yang belum mengenalnya karena keterbatasan informasi, waktu, kesempatan,
bahasa dan teknologi. Salah satu konsep model keperawatan yang menunjang
pengembangan keperawatan baik dalam pengembangan ilmu maupun dalam praktek
adalah model self care yang dikembangkan oleh Dorothea E. Orem. Teori self care Orem
ini dapat digunakan dalam memberikan asuhan keperawatan dan membantu hubungan
antara perawat-klien dengan lingkungannya yang berdampak pada status kesehatan serta
kebutuhan akan keperawatan. Sejalan dengan teori self care yang bentuk stimulusnya
berasal dari ketidakmampuan individu dalam melakukan perawatan diri, maka aplikasi
teori self care tersebut adalah bagaimana melakukan tahap-tahap asuhan keperawatan
yang didasarkan pada bentuk kerangka pikir model konseptual Orem dalam memberikan
bantuan ketidakmampuan kepada individu atau keluarga dalam memenuhi kebutuhan
dasarnya dengan tujuan utamanya adalah bagaimana memandirikan individu atau
keluarga dalam melakukan aktivitas hidup sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan dasar
sesuai tingkat ketidakmampuan klien.
Teori self care dalam ilmu keperawatan digunakan banyak digunakan untuk
memberikan kerangka kerja konseptual sebagai panduan praktik dan membangun
pengetahuan perawatan diri melalui riset (Hartweg, 1991). Orem mendeskripsikan
perawatan diri sebagai tindakan yang berkesinambungan yang diperlukan dan dilakukan
oleh orang dewasa untuk mempertahankan hidup, kesehatan dan kesejahteraan.
Aplikasi empat pola pengetahuan pada menerapkan teori self care penting untuk
perawat profesional dalam memberikan layanan berkualitas. Menggunakan berbagai
komponen dalam pattern of knowing secara terpadu dapat membantu perawat dalam
memberikan pelayana holistik kepada klien.

2
1.2. Tujuan
1. Menelusuri empirical knowinga pada teori keperawatan Orem di pelayanan
2. Menelusuri Ethical knowing pada teori keperawatan Orem di pelayanan
3. Menelusuri Aesthetic knowing pada teori keperawatan Orem di pelayanan
4. Menelusuri Personal knowing pada teori keperawatan Orem di pelayanan

BAB II
KAJIAN TEORI OREM

3
2.1. Pendidikan Keperawatan

2.1.1. Definisi Umum Keperawatan

Keperawatan merupakan suatu bentuk pelayanan profesional sebagai

bagian integral pelayan kesehatan yang berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan

yang bersifat kompherensif, ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat

yang sehat maupun yang sakit untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal.

Menurut Wilensky (1964), profesi adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan

badan ilmu sebagai dasar untuk pengembangan teori yang sistematis guna

menghadapi banyak tantangan baru, memerlukan pendidikan dan pelatihan yang

cukup lama, serta memiliki kode etik dengan fokus utama pada pelayanan.

Menurut Lindberg, Hunter dan Kruszewski (1993), Leddy dan Pepper

(1993) serta Berger dan Williams (1992), keperawatan sebagai suatu profesi

memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Kelompok pengetahuan yang melandasi keterampilan untuk menyelesaikan

masalah dalam tatanan praktik keperawatan. Keperawatan sebagai suatu

ilmu, selain mempelajari pengetahuan inti keperawatan, juga telah

menerapkan ilmu-ilmu dasar seperti ilmu perilaku, sosial, fisika, biomedik

dan lain-lain
b. Kemampuan memberikan pelayanan yang unik kepada masyarakat. Fungsi

unik perawat adalah memberikan bantuan kepada sesorang dalam

melakukan kegiatan untuk menunjang kesehatan dan penyembuhan serta

membantu kemandirian klien.


c. Pendidikan yang memenuhi standart dan diselenggarakan di perguruan

tinggi atau universitas. Beralihnya pendidikan keperawatan kepada institusi

pendidikan tinggi memberikan kesempatan kepada perawat untuk

mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan intelektual, interpersonal dan

4
tehnikal yang memungkinkan mereka menjalankan peran dengan lebih

terpadu dalam pelayanan kesehatan yang menyeluruh dan

berkesinambungan
d. Pengendalian terhadap standar praktik. Standart praktik keperawatan

menekankan kepada tangung jawab dan tanggung gugat perawat untuk

memenuhi standar yang telah ditetapkan yang bertujuan menlindungi

masyarakat maupun perawat. Perawat bekerja tidak dibawah pengawasan

dan pengendalian profesi lain.


e. Bertanggung jawab dan bertanggung gugat terhadap tindakan yang

dilakukan. Tangung gugat accountable berarti perawat bertanggung jawab

pelayanan yang diberikan kepada klien. Tanggung gugat mengandung aspek

legal terhadap kelompok sejawat, atasan dan konsumen.


f. Karir seumur hidup. Dibedakan dengan tugas/job yang merupakan bagian

dari pekerjaan rutin, perawat bekerja sebagai tenaga penuh yang dibekali

dengan pendidikan dan ketrampilan yang menjadi pilihannya sendiri

sepanjang hayat.
g. Fungsi mandiri. Perawat memiliki kewenangan penuh melakukan asuhan

keperawatan walaupun kegiatan kolaborasi dengan profesi lain kadang kala

dilakukan dimana itu semua didasarkan kepada kebutuhan klien bukan

sebagai ekstensi intervensi profesi lain.

2.1.2. Perkembangan Profesionalisme Keperawatan

Awal mula keberadaan perawat di Indonesia, yang diperkirakan baru

bermula pada awal abad ke-19, adalah sebagai tenaga pembantu dikarenakan

adanya upaya tenaga medis untuk memberikan pelayanan kesehatan yang

lebih baik sehingga diperlukan tenaga yang dapat membantu. Tenaga tersebut

dididik menjadi seorang perawat melalui pendidikan magang yang berorientasi

5
pada penyakit dan cara pengobatannya. Sampai dengan perkembangan

keperawatan di Indonesia pada tahun 1983 PPNI melakukan Lokakarya

Nasional Keperawatan di Jakarta, melalui lokakarya tersebut perawat bertekad

dan bersepakat menyatakan diri bahwa keperawatan adalah suatu bidang

keprofesian (Nursalam, 2008).


Perkembangan profesionalisme keperawatan di Indonesia berjalan

seiring dengan perkembangan pendidikan keperawatan yang ada di Indonesia.

Perkembangan pendidikan keperawatan diawali dengan pengakuan bagi

tenaga perawat yang berlatar belakang pendidikan Diploma III keperawatan.

Seiring dengan kebutuhan dalam rangka peningkatan keprofesionalitasan,

keperawatan tidak cukup sampai di tingkat diploma saja, sehingga berdirilah

program sarjana keperawatan pertama di Indonesia, PSIK FK-UI (1985) dan

kemudian disusul dengan pendirian program paska sarjana FIK UI pada tahun

1999 (Nursalam, 2008).

2.1.2.1. Definisi Pendidikan Keperawatan

Menurut Nursalam (2008), pendidikan keperawatan merupakan

pendidikan yang mencakup keterampilan intelektual, interpersonal,

teknikal, Dan mampu mempertanggungjawabkan secara legal

keputusan dan tindakan yang di lakukan sesuai dengan standar dan

kode etik profesi. Pendidikan keperawatan merupakan pendidikan

profesi yang mengarahkan hasil pendidikan menjadi tenaga profesional

yang dapat menjalankan peran dan fungsinya sesuai dengan tuntutan

profesi untuk memberikan pelayanan profesional kepada seluruh

lapisan masyarakat (Simamora, 2009).

6
2.1.2.2. Tujuan Pendidikan Keperawatan

Tujuan pendidikan keperawatan pada institusi pendidikan tinggi

keperawatan diharapkan mampu melakukan hal-hal antara lain:


a. Menumbuhkan/membina sikap dan tingkah laku professional yang

sesuai dengan tuntunan profesi keperawatan


b. Membangun landasan ilmu pengetahuan yang kokoh
c. Menumbuhkan/membina keterampilan professional
d. Menumbuhkan/membina landasan etik keperawatan yang kokoh dan

mantap sebagai tuntutan utama dalam melaksanakan pelayanan/asuhan

keperawatan dan dalam kehidupan keprofesian (Nursalam, 2008).

2.2. Reflective Practice dalam Pendidikan Keperawatan

2.2.1. Definisi Reflective Practice

Reflective Practice atau refleksi adalah pemeriksaan (peninjauan) dari cara

pikir dan tindakan seseorang. Bagi seorang praktisi, hal ini berarti memusatkan

pada bagaimana mereka berinteraksi dengan teman sejawat mereka dan dengan

lingkungan untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas terhadap tingkah laku

mereka sendiri (Somerville & Keeling, 2004).


Kegiatan refleksi merupakan kegiatan yang sangat penting untuk

dilaksanakan sebab akan mengontrol tindakan seorang praktisi. Menurut

Arikunto (2009), melalui refleksi seseorang dapat melihat apa yang masih perlu

diperbaiki, ditingkatkan atau dipertahankan, sebagai suatu bentuk dari evaluasi

terhadap diri sendiri. Refleksi juga didefiniskan sebagai suatu tindakan atau

kegiatan untuk mengetahui serta memahami apa yang terjadi sebelumnya,

mengetahui hal yang telah dihasilkan dan yang belum dihasilkan, atau apa yang

belum tuntas dari suatu upaya atau tindakan yang telah dilakukan (Tahir, 2011).

2.2.2. Bentuk Reflective Practice


Memahami perbedaan bentuk reflective practice akan membantu

praktisi dalam menemukan penyusunan teknik yang bisa mereka pergunakan

7
untuk mengembangkan kompetensi personal dan professional. Menurut

Somerville & Keeling (2004), ada dua bentuk dasar dari refleksi

yaitu reflection-on-action dan reflection-in-action.

2.2.2.1. Reflection-on-action
Reflection-on-action mungkin merupakan bentuk yang paling

sering dari refleksi. Reflection-on-action melibatkan pengulangan

dalam pikiran secara hati-hati tentang kejadian yang pernah terjadi di

masa lalu. Tujuannya adalah untuk menilai kekuatan-kekuatan dan

mengembangkan tindakan yang berbeda, dan lebih efektif di masa

yang akan datang. Dalam beberapa literatur tentang refleksi (Revans

1998; Grant & Greene 200), terdapat suatu fokus yang

mengidentifikasi aspek negatif dari tingkah laku personal dengan

pandangan untuk meningkatkan kompetensi profesional. Hal ini

merupakan cara yang sangat berguna untuk melakukan pendekatan

perkembangan profesional. Kelemahan dari bentuk dasar ini adalah

mengabaikan beberapa segi-segi positif dari tindakan yang dilakukan

(Somerville & Keeling, 2004).

2.2.2.2. Reflection-in-action
Reflection-in-action adalah tanda dari pengalaman profesional. Hal

ini berarti menguji pengalaman sendiri dan orang lain ketika berada dalam

sebuah situasi. Ketrampilan-ketrampilan yang dimiliki meliputi:


1) Menjadi paserta pengamatan dalam situasi yang memberikan

kesempatan untuk belajar


2) Menjadi bagian terhadap apa yang dilihat dan dirasakan dalam situasi,

berfokus pada respon dan menghubungkan dengan pengalaman

sebelumnya

8
3) Menjadi pengalaman pribadi dan pada saat yang sama mengadopsi

pengalaman orang lain jika berada di luar hal tersebut (Somerville &

Keeling, 2004).

2.2.2.3. Manfaat Reflective Practice bagi Perawat

Reflective Practice penting bagi setiap orang dan juga bagi

perawat. Terdapat beberapa alasan yang mendasari hal tersebut, yaitu:


a. Perawat bertanggungjawab untuk menyediakan perawatan yang

terbaik sesuai kemampunya untuk pasien dan keluarganya. Mereka

perlu fokus terhadap pengetahuan, ketrampilan dan tingkah laku

untuk memastikan bahwa mereka dapat memenuhi permintaan

yang ada sesuai dengan komitmen mereka


b. Reflective Practice adalah bagian dari keperluan perawat secara

konstan untuk meng-update ketrampilan-ketrampilan profesional.

Menyimpan portofolio memberikan kesempatan untuk melakukan

refleksi dalam perekembangan secara terus-meneru


c. Perawat harus mempertimbangkan cara-cara ketika mereka

berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman sejawat. Suatu

profesi bergantung pada budaya dukungan yang saling

menguntungkan. Perawat harus mengarahkan diri mereka untuk

menjadi sadar diri, memimpin diri dan bersentuhan dengan

lingkungannya.
Perawat hanya dapat mencapai tujuan tersebut jika mereka

menggunakan kesempatan yang ada secara maksimal untuk

meningkatkan umpan balik terhadap pengaruh dari pasien, keluarga

pasien, teman sejawat, dan organisasi secara keseluruhan. Membangun

umpan balik tersebut melibatkan ketrampilan yang kompleks dalam

9
mendeteksi pola-pola, membuat hubungan dan membuat keputusan

yang yang tepat (Somerville & Keeling, 2004).

2.3. Teori Keperawatan Self-Care Orem

Teori keperawatan didefiniskan sebagai konseptualisasi beberapa aspek realitas

keperawatan yang bertujuan untuk menggambarkan fenomena, menjelaskan hubungan-

hubungan antar fenomena, memprediksi risiko-risiko dan menetapkan asuhan

keperawatan (Meleis, 1997). Tuntutan akan pelayanan keperawatan yang bermutu telah

memotivasi pakar-pakar keperawatan melakukan berbagai penelitian untuk menemukan

sebuah konsep keperawatan dalam rangka memberikan pelayanan keperawatan yang

profesional. Salah satu model konseptual keperawatan yang terus berkembang dan selalu

diujicobakan pada pemberian pelayanan keperawatan adalah teori self-care yang

dikenalkan pertama kali oleh Dorothea E.Orem (Nursalam, 2001).

2.3.1. Latar Belakang Dorothea E. Orem

Dorothea Elizabeth Orem adalah salah seorang teoritis keperawatan

terkemuka di Amerika. Dorothea E. Orem lahir di Baltimore, Maryland pada

tahun 1914. Ia memperoleh gelar sarjana keperawatan pada tahun 1939 dan

Master Keperawatan pada tahun 1945. Selama karir profesionalnya, dia

bekerja sebagai seorang staf keperawatan, perawat pribadi, perawat pendidik

dan administrasi, serta perawat konsultan. Ia menerima gelar Doktor pada

tahun 1976. Dorothea E. Orem adalah anggota subkomite kurikulum di

Universitas Katolik Amerika. Ia mengakui kebutuhan untuk melanjutkan

perkembangan konseptualisasi keperawatan. Orem pertama kali

mempubilkasikan ide-idenya dalam Nursing: Concept of Practice pada

tahun 1971, dilanjutkan dengan publikasi yang kedua pada tahun 1980 dan

yang terakhir di tahun 1995.

10
2.3.2. Konsep Keperawatan Orem
Orem mengembangkan Teori Keperawatan Umum Self-Care Deficit

yang terdiri dari 3 teori yang saling berhubungan, yaitu : theory of self-care,

theory of self-care deficit, dan theory of nursing systems. Dalam tiga teori

tersebut dimasukkan enam konsep sentral dan satu konsep tambahan. Konsep

sentral tersebut adalah: konsep self-care, unsur self-care, kebutuhan self-care

yang terapeutik, self-care deficit, unsur keperawatan dan sistem keperawatan,

sebagaimana konsep tambahan dari faktor-faktor kondisi dasar yang paling

penting untuk memahami teori umum Orem.

2.3.2.1. Teori Self-Care

Self-care adalah aktivitas praktek berdasarkan keinginan individu

dan dilaksanakan untuk mempertahankan hidup, sehat dan kesejahteraan.

Bila self-care dilaksanakan secara efektif, itu akan menolong untuk

memelihara integritas dirinya dan fungsi kemanusiaan serta

berkontribusi terhadap perkembangan kemanusian (Orem, 2001).


Unsur dari self-care adalah kemampuan yang dimiliki oleh

manusia atau kekuatan untuk terlibat di dalam self-care. Kemampuan

individu untuk terlibat dalam self-care dipengaruhi oleh factor-faktor

kondisi dasar. Yang termasuk faktor-faktor kondisi dasar adalah : umur,

jenis kelamin, status perkembangan, status kesehatan, orientasi sosio-

kultural, faktor sistem pelayanan kesehatan (diagnostik dan pengobatan),

faktor sistem keluarga, pola hidup (aktivitas secara teratur), faktor

lingkungan serta sumber-sumber yang adekuat dan terjangkau. Secara

normal, orang dewasa secara sukarela akan memelihara dirinya sendiri.

Bayi, anak-anak, orang tua, orang sakit dan orang cacat membutuhan

11
perawatan secara menyeluruh atau bantuan dalam aktivitas self-care

(Orem, 2001).
Menurut Orem, kebutuhan self-care yang terapeutik adalah totalitas

dari tindakan self-care yang diperlihatkan dalam jangka waktu tertentu

dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan self-care yang sudah

diketahui dengan menggunakan metode yang valid dan seperangkat

kegiatan dan tindakan yang berhubungan. Kebutuhan self-care yang

terapeutik dijadikan model pada tindakan yang disengaja, yaitu tindakan

yang sengaja dilakukan oleh sekelompok orang untuk menghasilkan

peristiwa dan hasil yang memberikan keuntungan kepada orang lain

secara spesifik. Persayaratan self-care yang universal dihubungkan

dengan proses kehidupan dan pemeliharaan integritas kemanusiaan

beserta fungsi-fungsinya. Hal tersebut umum pada setiap manusia selama

seluruh siklus kehidupan dan harus dipandang sebagai faktor yang saling

berhubungan, saling mempengaruhi satu sama lain. Istilah umum untuk

persyaratan tersebut adalah aktivitas kehidupan sehari-hari (activity of

daily living).
Orem mengidentifikasi persyaratan self-care sebagai berikut :
1) Pemeliharaan terhadap kecukupan udara
2) Pemelihraan teradap kecukupan air
3) Pemeliharaan terhadap kecukupan makanan
4) Perlengkapan yang berhubungan dengan proses eliminasi dan sisa

eliminasi
5) Pemeliharaan keseimbangan antara aktivitas dan istirahat
6) Pemeliharaan keseimbangan antara kesendirian dan interaksi sosial,
7) Pencegahan terhadap bahaya kehidupan, fungsi manusia dan

kesejahteraan manusia
8) Peningkatan fungsi-fungsi manusia dan perkembangan dalam

kelompok sosial yang sejalan dengan potensi manusia, tahu

keterbatasan manusia, dan keinginan manusia untuk menjadi normal.

12
Penyimpangan kesehatan self-care ditemukan dalam kondisi sakit,

injuri, penyakit atau yang disebabkan oleh tindakan medis yang

diperlukan untuk memperbaiki kondisi. Penyakit atau injuri tidak hanya

mempengaruhi struktur tubuh tertentu dan fisiologisnya atau mekanisme

psikologis tapi juga mempengaruhi fungsi sebagai manusia.

2.3.2.2. Teori Self-Care Deficit

Teori self-care deficit merupakan inti dari teori umum keperawatan

Orem. Keperawatan dibutuhkan untuk orang dewasa atau orang-orang

yang ada dibawah tanggungannya dalam keadaan tidak mampu atau

keterbatasan dalam memberikan self-care yang efektif secara terus

menerus. Keperawatan diberikan jika kemampuan merawat berkurang

dari yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan self-care yang

sebenarnya sudah diketahui atau kemampuan self-care atau kemandirian

berlebihan atau sama dengan kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan

self-care tetapi dimasa yang akan datang dapat diperkirakan kemampuan

merawat akan berkurang baik kualitatif maupun kuantitatif dalam

kebutuhan perawatan atau kedua-duanya.


Orem mengidentifikasi lima metode bantuan: (1) Tindakan untuk

berbuat untuk orang lain, (2) Membimbing dan mengarahkan, (3)

Memberikan dukungan fisik dan psikologis, (4) Memberikan dan

mempertahankan lingkungan yang mendukung perkembangan individu,

(5) Pendidikan. Perawat dapat membantu individu dengan menggunakan

semua metode ini untuk memberikan bantuan self-care.


Aktivitas yang melibatkan perawat saat mereka memberikan

asuhan keperawaran dapat digunakan untuk menggambarkan domain

keperawatan. Lima area aktivitas untuk praktek keperawatan, yaitu:

13
1) Masuk ke dalam dan mempertahankan hubungan perawat-klien

dengan individu, keluarga atau kelompok sampai klien secara sah

dikeluarkan dari keperawatan


2) Menentukan apakah dan bagaimana klien dapat ditolong melalui

keperawatan
3) Berespons terhadap permintaan, keinginan dan kebutuhan klien akan

kontak dan bantuann keperawatan


4) Merumuskan, memberikan dan mengatur bantuan langsung pada

klien dan orang-orang terdekat dalam bentuk bantuan keperawatan


5) Mengkoordinasi dan mengintegrasikan keperawatan dengan

kehidupan sehari-hari klien, pelayanan kesehatan lain yang

dibutuhkan atau diterima dan pelayanan sosial dan pendidikan yang

dibutuhkan dan diterima klien (George, 1995).

2.3.2.3. Teori tentang Sistem-Sistem Keperawatan

Orem dalam teori sistem keperawatannya menggarisbawahi tentang

bagaimana kebutuhan self-care klien dapat dipenuhi oleh perawat, klien

atau kedua-duanya. Sistem keperawatan dirancang oleh perawat

berdasarkan kebutuhan self-care dan kemampuan klien dalam

menampilkan aktivitas self-care. Apabila ada self-care deficit, yaitu

defisit antara apa yang bisa dilakukan (self-care agency) dan apa yang

perlu dilakukan untuk mempertahankan fungsi optimum (self-care

demand), disinilah keperawatan diperlukan.


Unsur keperawatan (nursing agency) adalah suatu atribut yang

kompleks dari orang yang dididik dan dilatih sebagai perawat yang

memampukan mereka untuk bertindak, mengetahui dan membantu orang

lain memenuhi kebutuhan self-care yang terapeutik dengan

melaksanakan dan mengembangkan self-care agency mereka sendiri

(Orem, 2001). Klasifikasi sistem keperawatan untuk memenuhi

14
persyaratan self-care klien ada 3, yaitu sistem kompensatori penuh

(wholly compensatory system), sistem kompensatori sebagian (partly

compensatory system) dan sistem yang mendukung dan mendidik

(supportive-educative system).
Sistem keperawatan kompensatori penuh (wholly compensatory

nursing system) digambarkan oleh sebuah situasi dimana individu tidak

mampu untuk terlibat dalam tindakan self-care yang memerlukan

kemandirian dan ambulasi yang terkontrol serta pergerakan manipulatif

atau penatalaksanaan medis untuk menahan diri dari aktivitas. Seseorang

dengan keterbatasan ini secara sosial tergantung dengan orang lain untuk

kelangsungan hidup dan kesejahteraannya. Contoh kelompok orang

dengan kondisi adalah klien koma, klien dengan fraktur C3 C4, atau

klien dengan gangguan mental (Orem, 2001).


Sistem keperawatan kompensatori sebagian (partly compensatory

nursing system) digambarkan oleh situasi dimana baik perawat dan klien

melakukan tidakan care atau tindakan lain yang bersifat manipulatif atau

ambulasi. Baik klien maupun perawat mempunyai peran yang besar

dalam pelaksanaan tindakan perawatan. Sebagai contoh adalah pada

klien yang pasca operasi abdomen, yang mampu mencuci wajah dan

menggosok gigi tapi memerlukan bantuan perawat dalam mobilisasi dan

merawat luka (Orem, 2001).


Sistem keperawatan yang mendukung dan mendidik (supportive-

educative nursing system) adalah suatu kondisi dimana seseorang

mampu melaksanakan atau bisa dan harus belajar untuk melakukan

tindakan self-care terapeutik yang diperlukan yang berorientasi secara

eksternal atau internal tapi tidak bisa melakukannya tanpa bantuan.

Dalam sistem ini klien melakukan semua self-care. Peran perawat adalah

15
sebagai pendidik atau konsultan dalam meningkatkan kemampuan klien

sebagai self-care agent (Orem, 2001).

2.3.3. Implikasi Teori Orem dalam Tindakan Keperawatan

Tindakan keperawatan diberikan jika kemampuan merawat diri pada klien

berkurang dari yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan self-care yang

sebenarnya sudah diketahui. Teori Orem mengidentifikasi beberapa metode

bantuan, yaitu:
a. Merumuskan,memberikan dan mengatur bantuan langsung pada klien dan

orang-orang terdekat dalam bantuan keperawatan


b. Membimbing dan mengarahkan
c. Memberi dukungan fisik dan psikologis
d. Memberikan dan mempertahankan lingkungan yang mendukung

perkembangan individu
e. Memberikan pendidikan terkait kesehatan
f. Berespon terhadap permintaan, keinginan dan kebutuhan klien akan kontak

bantuan keperawatan
g. Kolaburasi, pelimpahan wewenamg
h. Melibatkan anggota masyarakat (Munawaroh, 2015).

BAB III
REFLECTIVE PRACTICE

3.1. Kasus

Ny.S (55tahun) diketahui menderita hipertensi semenjak tahun 2012 dan


mendapat serangan stoke hemoragik yang menyebabkan kelumpuhan pada
ekstermitas kiri pada tahun 2014. Ny S mengaku memang sering pusing dan sakit
kepala sebelum serangan stroke namun dirinya hanya menanganinya dengan

16
beristirahat. Ny S tidak melakukan kontrol dan pengobatan terhadap penyakit
hipertensinya, kecuali saat dirawat di RS karena stoke. Ny.S dirawat di pelayanan
kesehatan saat pertama kali terserang stroke dan pulang dari RS dengan izin
dokter. Saat pulang Ny S disuruh kontrol ke poliklinik dan menjalani fisioterapi
namun Ny S tidak lagi datang fisioterapi dan kontrol dengan alasan sulit untuk ke
RS. Keluarga memutuskan tidak menjalani fisioterapi dan kontrol ke RS karena
sulit dan lamanya prosedur berobat jalan (menghabiskan waktu lama, sulitnya
mengatur jadwal bagi keluarga yang harus mengantar karena anggota keluarga
harus bekerja dan mempunyai kegiatan masing-masing, sulitnya akses ke RS
karena keluarga harus naik angkutan umum saat membawa Ny S yang berobat
sementara Ny S tidak mampu bergerah sendiri dan kondisi keuangan keluarga
yang menengah ke bawah). Sebagai perawatan alternatif Ny S dibelikan obat
tradisional China untuk hipertensinya serta latihan berdiri dan berjalan di dalam
rumah. Ny.S tinggal di rumah bersama suami dan 3 anaknya. Suami dan putra
pertama Ny S bekerja 6 hari seminggu sedang 2 putrinya masih berada di sekolah
menengah. NY S mengatakan sudah mampu melakukan aktifitas harian seperti
makan, BAB, BAK, mandi dan berpindah sendiri namun dia belum mampu
melakukan tugas rumag tangga lain. Ny S mengatakan dirinya memakan
makanan yang sama dengan keluarga lainnya walaupun dirinya mengetahui kalau
hipertensinya harus dikontrol dengan mengurangi jumlah garam, dan mengurangi
makanan berlemak dan tinggi kolesterol tapi dikarenakan tidak mungkin anaknya
Ny Smemasakkan makanan terpisah karena akan menambah dana dan waktu.

3.2. Analisis

3.2.1. Empirical Knowing


Pengalaman empiris dapat membuat kita mengetahui dan memahami
kebutuhan manusia dan memberikan perawatan bijaksana yang meningkatkan
kesejahteraan. Pola empirical knowing didasarkan pada asumsi bahwa apa yang
dikenal dapat diakses melalui indera, yaitu melihat, menyentuh, mendengar,
mencium, dan sebagainya. Pertanyaan penting untuk pola empirical knowing
adalah Apa itu dan bagaimana kerjanya? (Chinn, 1999). Dengan menerapkan
teori Orem pada Ny S, penulis menilai perawatan diri pada Ny S masih belum

17
optimal. Orem mendeskripsikan perawatan diri sebagai tindakan yang
berkesinambungan yang diperlukan dan dilakukan oleh orang dewasa untuk
mempertahankan hidup, kesehatan dan kesejahteraan. (Orem, 1985).
Mengacu pada teori perawatan diri Ny S sudah melakukan perawatan diri
sesuai kemampuannya dibuktikan dengan usahanya untuk melakukan tindakan
perawatan diri harian seperti makan, eliminasi dan mengoptimalkan mobilisasi
dan mandi sendiri meski dalam keterbatasan satu bagian ekstermitas, ini semua
dibandingkan dengan kondisi Ny S 2 tahun lalu saat terserang stroke jauh lebih
optimal. Namun dari teori defisit perawatan diri, bila dikaji secara komprehensif
Ny S yang semuala mandiri sekarang tidak mampu melakukan perawatan diri
secara kontinyu dan independen dikarenakan hal-hal yang terkait dengan
kesehatan atau keterbatasan (Orem, 1985).
Bila merujuk pada teori sistem keperawatan yang menggambarkan
kebutuhan perawatan diri terapeutik dan tindakan-tindakan serta sistem-sistem
yang terlibat dalam perawatan diri dalam konteks hubungan interpersonal dan
yang dibangun dalam diri manusia dengan defisit perawatan diri (Orem dan
Taylor, 1986). Ny S dan sistem yang dia miliki dalam konsep perawatan masih
belum optimal. Ini dapat dilihat dari beberapa pemaparan berikut:.
a. Ny S menderita stoke semenjak tahun 2014 dan sebelumnya telah
mengetahui bahwa dirinya mempunyai riwayat hipertensi. Ini tidak berbeda
dengan kebanyakan pasien stoke hemoragik, dimana mereka sudah
mempunyai riwayat hipertensi. Ny S mengaku sering pusing sebelum
seranga stroke namun beliau mengatasinya dengan beristirahat dan tidak
melakukan pengobatan. Ini mengindikasikan Ny S belum memahami resiko
dari hipertensi yang dapat membunuh walau terkadang gejalanyanya tidak
terasa yang disebut juga silent killer sehingga tidak melakukan pengobatan
dan mengotrol hipertensinya.
b. Setelah serangan stoke Ny S mengalami kelumpuhan pada ekstermitas kiri.
Stroke adalah suatu keadaan yang timbul karena terjadi gangguan peredaran
darah di otak yang menyebabkan terjadinya kematian jaringan otak sehingga
mengakibatkan seseorang menderita kelumpuhan/kematian (Batticaca,
2008). Selain itu stroke juga dapat menyebabkan perubahan mental,
gangguan pada daya pikir, kesadaran, konsentrasi, kemampuan belajar dan
fungsi intelektual lainnya, gangguan komunikasi, gangguan emosional dan
kehilangan indera rasa (Vitahealth, 2003).

18
Kelumpuhan yang di alami Ny S akan mempegaruhi kehidupannya.
Menurut Taylor (1991, dalam Handayani, 2009 ) stroke membawa pengaruh
terhadap semua aspek kehidupan seseorang yang mengalaminya baik dari
aspek personal sosial, vokasional dan fisik. Penderita stroke akan mengalami
ketergantungan pada orang lain khususnya keluarga dan menyebabkan
gangguan relasi sosial. Dalam kasus ini Ny S yang semula sehat dan mandiri
menjadi memili keterbatasan. Menurut pengalaman saat seorang ibu dalam
sebuah keluarga mengalami stoke maka akan terjadi perubahan peran dalam
keluarga.
c. Ny S tidak lagi datang kontrol dan melakukan fisioterapi setelah masa
opnamenya berakhir. Setelah kondisi pasien mulai stabil pasca serangan
stoke dan tekanan darahnya stabil, perawat selanjutnya akan berfokus pada
pengembalian fisik melalui rehabilitasi yaitu fisioterapi. Tingginya
kecacatan akibat stroke menyebabkan semakin pentingnya fungsi rehabilitasi
(Supraptiningsih, 2002). Namun berdasarkan pengamatan di lapangan
kecacatan akibat stoke masih tinggi, banyak penderita stroke yang
mengalami kecacatan dan tidak kembali pada keadaan semula.
Ny S tidak melakukan kontrol dan pengobatan terhadap penyakit
hipertensinya. Menurut pengalaman pasien yang sudah pernah terkena
serangan stroke akan lebih peduli,berhati-hati, dan takut akan terjadinya
serangan ulang namun bila dilihat di lapangan pasien dengan kejadian stroke
bukan yang pertama di RS itu masih tinggi dan biasanya kecacatan yang
diakibatkan oleh serangan berulang itu lebih parah dari pada kecacatan dalam
serang stroke pertama. Ini biasa terjadi karena hipertensi yang tidak
terkontrol.
d. Keluarga memutuskan tidak menjalani fisioterapi dan kontrol ke RS karena
sulit dan lamanya prosedur berobat jalan (menghabiskan waktu lama,
sulitnya mengatur jadwal bagi keluarga yang harus mengantar karena
anggota keluarga harus bekerja dan mempunyai kegiatan masing-masing,
sulitnya akses ke RS karena keluarga harus naik angkutan umum saat
membawa Ny S yang berobat sementara Ny S tidak mampu bergerah sendiri
dan kondisi keuangan keluarga yang menengah ke bawah). Sebagai
perawatan alternatif Ny S dibelikan obat tradisional China untuk
hipertensinya serta latihan berdiri dan berjalan di dalam rumah. Ny.S tinggal
di rumah bersama suami dan 3 anaknya. Suami dan putra pertama Ny S

19
bekerja 6 hari dalam seminggu sedang 2 putrinya masih berada di sekolah
menengah.
Berdasarkan pengamatan di lapangan dukungan keluarga adalah faktor
penting dalam perawatan pasien stroke. Dukungan keluarga dapat diberikan
dalam beberapa bentuk, yaitu: a). dukungan informasional; b). dukungan
penghargaan/penilaian; c). dukungan instrumental; dan d). dukungan
emosional. Dukungan informasional adalah dukungan yang diberikan dalam
bentuk memberikan saran, nasehat, dan informasi terkait dengan penyakit
yang dialami. Dukungan informasional yang dapat diberikan pada pasien
pasca stroke dapat berupa, mencari tahu tentang penyakit stroke, cara
merawat pasien pasca stroke di rumah, mencari tahu makanan yang
dibutuhkan oleh pasien pasca stroke, menasehati pasien pasca stroke untuk
rutin melakukan terapi yang sesuai dan dibutuhkan (Friedman, 1998).
Dukungan penghargaan/penilaian adalah dukungan yang diberikan
dalam bentuk saling memberikan umpan balik dan menghargai. Dukungan
penghargaan yang dapat diberikan pada pasien pasca stroke dapat berupa
memberikan reinforcement positif saat pasien pasca stroke berhasil
melakukan sesuatu, misalnya memberikan selamat karena pasien pasca
stroke berhasil mengangkat tangannya yang selama ini susah dilakukannya
(Friedman, 1998).
Dukungan instrumental dalam bentuk bantuan tenaga, uang, dan waktu.
Dukungan instrumental yang dapat diberikan pada pasien pasca stroke adalah
membantu pasien pasca stroke melatih rentang geraknya selama di rumah,
menemaninya menjalani terapi rehabilitasi. Dukungan emosional diberikan
dalam bentuk perhatian dan kasih sayang. Sedangkan dukungan emosional
yang dapat diberikan pada pasien pasca stroke adalah selalu memperhatikan
kebutuhan pasien pasca stroke seperti makan dan minumnya, menunjukkan
rasa sayang dengan selalu memotivasinya untuk sembuh (Friedman, 1998).
Berdasarkan pengalaman keluarga pasien yang kurang menjalankan
peran dan dukungan mereka terhadap pasien pasca stroke terkadang memiliki
pandangan yang keliru. Mereka menganggap pasien sudah sembuh sepulang
dari perawatan di rumah sakit. Sehingga tidak menyadari masalah potensi
resiko yang dapat terjadi. Terkadang pasien yang kembali sembuh pada
keadaan semula dari akibat stroke ringan menyebabkan keluarga
menyepelekan dampak stroke. Nyatanya salah satu faktor yang

20
mempengaruhi kualitas hidup pasien pasca stroke adalah dukungan keluarga
yang dapat mempengaruhi kepuasan terhadap status kesehatannya (Apriyeni,
2011).
e. Dalam kasus Ny S. kemungkinan besar diet dan kebiasaan hidup pasien yang
beresiko terhadap hipertensi dan stroke masih ada, karena putri pasien belum
melakukan pengaturan terhadap menu diet pasien. Ini biasa terjadi pada
keluarga yang kurang pengetahuan dan memiliki banyak keterbatasan dalam
merawat keluarga sakit. Padahal bantuan anggota juga keluarga penting
dalam membantu pasien mengubah gaya hidup beresikonya.
Berdasarkan teori Orem, peran perawat disini adalah mengkaji keadaan
pasien secara objektif dan faktual yang disebut dengan self-care agency. Self
care agency pada perawat perlu ditingkatkan oleh individu karena pelaksanaan
self care membutuhkan pembelajaran, pengetahuan, motivasi, dan skill (Taylor,
2011). Self care agency mengacu pada kemampuan kompleks dalam
melaksanakan self-care (Baker, 2008).
Pasien harus dapat melakukan self-care nya dengan tepat dan secara
bertahap dengan pengawasan dari perawat ataupun keluarga. Banyak penelitian
yang telah membuktikan bahwa self-care meningkatkan kualitas hidup pasien
dengan menurunkan nyeri, kecemasan, dan keletihan. Self-care pasien juga
berpengaruh terhadap penilaiannya terhadap tenaga kesehatan yaitu pasien
merasa puas dengan pelayanan tenaga kesehatan, jumlah kunjungan atau
relapse menurun, dan memperpendek lama rawat inap di rumah sakit
(Nursalam, 2015).

3.2.2. Personal Knowing

Personal knowing mengacu mengetahui diri dan pengembangan


hubungan interpersonal antara perawat dan pasien ataupun keluarga pasien.
Pertanyaan penting untuk mengetahui personal adalah Apakah saya tau apa
yang saya lakukan. Perawat harus bertanya kepada pasien tentang kebiasaan
sehari-hari di rumah, apakah minum obat secara teratur, apa kendala pasien
untuk datang ke rumah sakit, dan harus dapat mengkaji kebutuhan apa saja
yang pasien harus dapatkan.
Berdasarkan teori Orem, seseorang mempunyai hak dan tanggung jawab
dalam perawatan diri sendiri dan orang lain dalam memelihara kesejahteraan,

21
Self Care (perawatan diri) merupakan perubahan tingkah laku secara lambat
dan terus menerus didukung atas pengalaman sosial sebagai hubungan
interpersonal (hubungan antara satu individu dengan individu lain), hubungan
interpersonal dimana ketika kita berkomunikasi, kita bukan sekedar
menyampaikan isi pesan, tetapi juga menentukan sekedar hubungan
interpesonal. Jadi ketika berkomunikasi kita tidak hanya menuntukan conten
(isi pesan) melainkan juga menentukan relationship (hubungan). Oleh sebab
itu perawat harus dapat membangun personal knowingnya dengan membina
trust dengan pasien, kemudian pasien akan berkomunikasi tentang apa yang ia
rasakan sehingga perawat dapat mengetahui apa yang menjadi kebutuhan
pasiennya.
Teori self care memungkinkan kita untuk lebih memahami situasi
pasien. Dalam hal ini perawat harus mampu menjembatani status kesehatan
Ny S terkait kemampuannya melakukan perawatan diri serta keterbatansannya
dalam melakukan perawatan diri, serta status kesehatan Ny S dan konsisi
keluarga yang merawat Ny S terkait kemampuan menjadi agen yang
memberikan perawatan pada Ny S.
Perawatan diri tidak terbatas pada seseorang yang memberikan
perawatan untuk dirinya sendiri; hal ini termasuk perawatan yang ditawarkan
oleh orang lain untuk keperluan orang lain. Perawatan mungkin ditawarkan
oleh anggota keluarga atau orang lain hingga orang tersebut mampu untuk
melakukan perawatan diri (Orem, 1985). Pemberi perawatan diri, apakah diri
sendiri maupun orang lain, disebut agen perawatan diri. Hal ini merupakan
suatu kesatuan yang digambarkan dalam perkembangan dan dapat
dioperasionalkan, yang dipengaruhi oleh beberapa variabel dan latar belakang
genetik, kultural, dan pengalaman, dan dalam istilah keadekuatan. Hal yang
paling terakhir dapat dievaluasi dengan mempertimbangkan kemampuan dan
kebutuhan perawatan diri (Orem, 1987).
Pada Kasus Ny S agen perawatan diri adalah Ny S dan keluarganya.
Berdasarkan kasus sudah diketahui bahwa Ny s sudah memelakukan perawatan
diri meski dalam keterbatasannya. Selain itu agen perawatan diri Ny S adalah
keluarganya. Menurut Friedman (1998) keluarga adalah kumpulan dua orang
atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional, dan
individu mempunyai peran masing-masing yang merupakan bagian dari

22
keluarga. Tugas keluarga adalah memberikan perawatan pada anggota keluarga
yang sakit atau tidak dapat membantu dirinya sendiri karena cacat atau usianya
yang terlalu muda. Perawatan yang diberikan keluarga kepada pasien pasca
troke sangat penting untuk mencegah timbulnya stroke berulang, seperti
pengaturan diit, memotivasi dan mengawasi penderita melakukan latihan atau
aktivitas sesuai kemampuannya serta membantu kebutuhan (Jumaidar, 2011).
Beberapa hal yang menjadi peran keluarga NY S yang meiliki keluarga
dengan stroke adalah adalah memberikan dukungan dan juga perhatian untuk
pemulihan kesehatan pasien, seperti halnya dalam hal mengantar pasien untuk
kontrol dan juga mengingatkan pada saat waktu minum obat, selain itu
pasienpasien dengan stroke karena disabilitasnya sering jatuh dalam depresi,
pendampingan dan dukungan penuh dari keluarga serta semangat dari keluarga
akan sangat menolong pemulihan, mendampingi pasien dalam melakukan
aktifitas kegiatan sehari-hari, dan memberikan bantuan jika memang diperlukan,
melakukan pengontrolan tekanan darah secara rutin, paling tidak dalam
seminggu sekali karena faktor resiko stroke adalah Hipertensi ( Yaslina, 2011).
Dalam kasus Ny S seperti hanya Ny S yang sudah berusaha untuk
melakukan perawatan diri dan keluarga yang sudah berusaha untuk menjasi
agen self care bagi Ny S, meskipun pelaksanaannya tidak optimal namun
keluarga sudah berusaha, maka perawat harus menempatkan diri untuk tidak
terkesan menyalahkan keterbatasan pelaksanaan konsep self care dalam
keluarga Ny S. Mendukung-edukatif teori sistem Orem (Deynes, Orem, &
Gerd-bekel, 2001) adalah tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah
mempertimbangkan kebutuhan pasien. Kenyataan bahwa Ny S tinggal di rumah
dengan keluarga yang harus membantu perawatan sekaligus memenuhi
kebutuhan mereka dan melakukan tugas masing-masing harus dihormati.
Tanggung jawab perawat adalah untuk mengajar dan membimbing ke arah
meningkatkan perawatan mandiri sambil mendukung agen perawatan dirinya.
Meskipun tanggung jawab utama untuk kesehatan pribadi milik pasien, kami
tidak meninggalkan semua tanggung jawab untuk perawatan pada pasien. Kami
juga menyadari bahwa, selain bantuan, sistem dukungan keluarga kami dan
penggunaan sumber daya masyarakat merupakan faktor lingkungan yang dapat
memfasilitasi dirinya

23
3.2.3. Esthetics Knowing

Aplikasi yang efektif dari prinsip-prinsip edukatif tidak akan mungkin


terjadi, tanpa refleksi pada dimensi estetika dan etika situasi perawatan ini.
Pola aesthetic knowing didasarkan pada intuisi, interpretasi, dan pemahaman.
Pertanyaan penting untuk pola aesthetica knowing adalah Apa artinya ini?
(Chin&, 1999).
Berdasarkan kasus stroke di atas, aesthetica knowingnya adalah perawat
mengetahui bahwa pasien akan mengalami keterbatasan gerak karena klien
tidak ada kemapuan untuk mengkonsumsi obat, tidak melakukan fisioterapi,
dan tidak patuh akan dietnya. Perawat mengetahui pasien akan mengalami
penurunan kondisi dari kondisi sebelumnya dan kemungkinan dapat terjadi
stroke yang berulang berdasarkan pengalaman yang berdasar dari pengetahuan
yang dimiliki. Perawat harus bisa mengidentifikasi self-care therapeutic
demand dan perkembangan serta tingkat self care agency dari seseorang
individu karena self care therapeutic demand dan self care agency berubah
secara dinamis (Parker,2001).
Self-Care Orem memberi kami perspektif diri perawatan yang lebih luas
dari apa yang dinyatakan. Orem mendefinisikan manusia sebagai peserta aktif
dalam meningkatkan kehidupan dan kesehatan mereka sendiri. Peran perawat
tidak semata-mata untuk mempromosikan perilaku sehat tetapi juga untuk
bertindak asisten dalam perawatan diri bila diperlukan (Parissopoulos &
Kotzabassaki, 2004).

3.2.4. Ethical Knowing

Pola ethical knowing berfokus kepada komponen moral atau etika praktek
keperawatan. Etika dalam praktek keperawatan melibatkan membuat
keputusan yang tepat pada saat yang tepat, berfokus pada apa yang harus
dilakukan dalam situasi, menawarkan alternatif, dan bertanggungjawab atas
keamanan dan kepentingan terbaik dari pasien (Chin, 1999).
Pola yang harusnya diterapkan pada perawat dalam menangani pasien ini
adalah perawat memberikan pendidikan kesehatan yang terkait dengan stroke
yaitu penyebab, diet yang baik, cara latihan fisik yang benar, fungsi obat, dan
prognosis penyakit stroke tetapi tidak dengan nada atau intonasi yang memaksa.
Perawat fisioterapi juga memberikan terapi nya harus yakin sesuai dengan

24
standar dan tidak menimbulkan resiko buruk bagi pasien. Kontrol tekanan darah
dan kolesterol adalah kunci untuk pencegahan dari kejadian-kejadian stroke atau
stroke berulang dimasa depan (Muttaqin, 2008).
Upaya pencegahan stroke berulang yang dapat dilakukan antara lain,
menjalankan gaya hidup sehat dengan cara menghindari : rokok, stres mental,
alkohol, kegemukan, konsumsi garam berlebih, mengurangi : kolesterol dan
lemak dalam makanan, mengendalikan : hipertensi, diabetes melitus, penyakit
jantung, penyakit sumbatan pembuluh darah, menganjurkan : asupan gizi
seimbang dan olah raga teratur, secara rutin berkunjung ke dokter spesialis saraf
untuk kontrol, mengkonsumsi obat-obatan yang diberikan oleh dokter spesialis
saraf, dukungan dan peran serta keluarga yang optimal, berkonsultasi dengan
bagian rehabilitasi medis sebagai usaha suportif bagi pasien untuk membantu
aktivitas sehari-hari seperti bicara, bergerak, makan dan minum, dan sebagainya
(redaksi klinik dokter).
Ketika perawat mengkaji pasien menggunakan empirical knowing yang
didasarkan pada keilmuan dan pengetahuannya, lalu perawat tersebut menelaah
menggunakan aesthetic knowing sehingga dapat memahami apa yang pasien
rasakan dan butuhkan. Perawat sebagai nursing agency harus dapat membantu
dan memaksimalkan kemampuan pasien didasari dengan empirical dan ethical
knowing kemudian yakin intervensi kepada pasien itu benar dan tidak
membahayakan pasien (ethical knowing), kemudian perawat menyampaikan
intervensi (personal knowing) sehingga pasien memiliki trust kemudian dapat
memahami dan mampu melaksanakan intervensi dengan tepat.

25
BAB IV
PENUTUP

4.1. Simpulan

Berdasarkan analisa konsep teori keperawatan Self-Care atau teori Orem pada kasus
diatas pada aspek pattern of knowing yaitu:

1. Empirical Knowing
Tinjauan pada kasus Ny S secara empiris menunjukkan bahwa
perawatan pada Ny S belum dilakukan secara optimal, disebabkan perawatan
diri menurut Orem (1985) perawatan adalah suatu tindakan yang dilakukan
secara berkesenambungan, untuk mempertahankan kehidupan secara sehat dan
sejahtera. Sehingga membutuhkan perawatan dengan melibatkan beberapa
keluarga atau dukungan keluarga secara sepenuhnya agar kesehatan,
kesejahteraan dapat diterimanya, namun kejadian pada Ny S tidak bisa
terpenuhi secara utuhnya, walaupun ia mampu melakukan kegiatan kebutuhan
sehari-harinya dengan mandiri, melainkan pengkontrolan kesehatan,

26
keseimbangan dan mempertahankan kesehatan belum dapat terpenuhi
seutuhnya.
2. Personal Knowing
Pengembangan personal knowing pada kasus Ny. S menunjukkan
bahwa belum ada pengembangan secara baik, karena tujuan dari personal
knowing menurut Orem (1985) adalah kemampuan dalam membina hubungan
interpersonal antara perawat dengan pasien ataupun dengan keluarga pasien,
sehingga terbentuk hubungan komunikasi secara terapeutik serta keterbukaan
anatara perawat dan pasien/keluarga untuk berkonsultasi masalah kesehatan.
Komunikasi interpersonal yang baik akan mewujudkan hubungan baik dan
mempengaruhi pengalaman pasien, latak belakang budaya, kepercayaan yang
menjadi bagian dari support system perawatan pasien dan keluarga akan lebih
mengetahui kebutuhan pada keluarga yang sedang sakit, kemudian akan dapat
mengevaluasi diri dalam memberikan kebutuhan perawatan diri.
3. Esthetics Knowing
Pengaplikasian esthetics knowing pada kasus tersebut bagian dari
kemampuan dalam menterpretasikan, yang didasari dengan pemahaman secara
intuisi terhadap penyakit yang dialaminya. Menurut Orem (1985) seorang
perawat harus memiliki kemampuan untuk menilai keadaan pasien dengan
baik untuk menjaga kesehatannya. Kasus Ny S tersebut seorang perawat
mengetahuinya bahwasan pasien tersebut akan mengalami keterbatasan gerak,
ketidakmampuan untuk mengkomsumsi obat dengan tepat, serta tidak bisa
melakukan fisioterapi dan tidak patuh dalam diet, sehingga akan menyebabkan
stroke berulang, oleh sebab itu perawat harus mampu mengidentifikasi self-
care therapeutic demand dan perkembangan serta tingkat self care agency dari
seseorang individu karena self care therapeutic demand dan self care agency
berubah secara dinamis (Parker,2001).
4. Ethical Knowing
Permasalahan ethical knowing pada kasus tersebut adalah pengambilan
keputusan untuk menggunakan pengobatan alternatif yaitu pengobatan
tradisional China untuk menurunkan tekanan darahnya (Hipertensi), tindakan
tersebut harus dikaji terkait keamanan bagi kesehatan pasien. Menurut Orem
(1985) Kemampuan perawat dalam memberikan pendidikan kesehatan pada
pasien atau keluarga bagian dari tujuan dari peningkatan kesehatan dan
keamanan pasien. Kasus Ny S menunjukkan bahwa kemampuan dalam

27
memberikan pendidikan kesehatan pada pasein dan keluarga pasien belum
dilakukan dengan cara optimal, sehingga mengakibatkan keluarga
pasien/pasien mengambil tindakan pengobatan secara alternatif dan tidak
melakukan kontrol.

DAFTAR PUSTAKA

Baker, L. Denyes, M. (2008). Predictors of Selfcare in Adolescents with Cystic Fibrosis : A


Test of Orems Theories of Self-care and Self-care Deficit. Journal of Pediatric Nursing,
23(1),37-48

Barbara A. Carper (1978). Fundamental Pattern of Knowing in Nursing.


http://samples.jbpub.com/9780763765705/65705_CH03_V1xx.pdf.
Batticaca, F.B. ( 2008). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem
Pensarafan Jakarta: Salemba Medika
Carper, B. A. (1978). Fundamental patterns of knowing in nursing. Advances in Nursing
Science, 1 (1), 13-23.
Chinn, L. Peggy. 1999. Theory and Nursing. St. Louis : Mosby Company

Daniati , Yeni (2013). HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KEJADIAN


STROKE BERULANG DI POLIKLINIK SYARAF RSUP Dr.MDJAMIL PADANG
TAHUN 2013. Skripsi: Universitas Andalas.

28
Deynes, M.J., Orem, D.E., & Gerd-Bekel, S. (2001). Self-care: A foundational science.
Nursing Science Quarterly, 14(1), 48-54.
Friedman, (1998). Keperawatan Keluarga. Jakarta : EGC.
George, J.B. 1995. Nursing Theories: The Base for Profesional Nursing Practice. Fourth

edition,appleton & Lange,Connecticut

Helen Heath (1998). Reflection and Pattern of Knowing in Nursing. Journal of Advanced
Nursing. http://cmapspublic2.ihmc.us/rid=1P03KR1BL-22R7JC6-27KM/Heath%20-
%201998%20-%20Reflection%20and%20patterns%20of%20knowing%20in
%20nursing.pdf
Jakarta: ECG
Munawaroh, Siti. 2015. Penerapan teori dorothea e. Orem dalam pemberian asuhan

keperawatan. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Ponorogo.

Muttaqin, Arif. (2008).Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal:


Nursalam. (2015). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan : Pendekatan Praktis Edisi 4.
Jakarta : Salemba Medika

Nursalam. 2001. Proses dan Dokumentasi Keperawatan, Konsep dan Praktek. Jakarta:

Salemba Medika

________. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta:

Salemba Medika.

________ dan Ferry Effendi. 2008. Pendidikan dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba

Medika

Orem, D. E., (1985). Nursing : Concept of practice. (3rd Ed.). New York : McGraw-Hill
Orem, DE. 2001. Nursing Concept of Pratice. St. Louis: The CV Mosby Company.

Parissopoulos, S., & Kotzabassaki, S. (2004). Orems self-care theory, transactional analysis
and the management of elderly rehabilitation. [Electronic version]. ICUS Nursing
Web Journal, (17), 1-11. Retrieved May 2, 2006.
Parker, M.E. (2001). Nursing Theories and Nursing Practice. Philadelphia : Davis Company

29
Simamora, Raymond. 2009. Pendidikan Dalam Keperawatan.Jakarta:EGC.

Somerville, D., Keeling, J. 2004 A practical approach to promote reflective practice within

nursing. Nursing Times; 100: 12, 4245.

Supraptiningsih, (2002). Reliabilitas Modifikasi Indeks Barthel Pada Penderita Stroke:


Neurosains. vol.3. no.2
Taylor,S,. Renpenning, K. (2011). Self Care Science, Nursing Theory, and Evidence based
Practice. New York : Springer Publishing Company, LLC.

Vitahealth, (2003). Stroke. Tim Redaksi Vita Health

30

Anda mungkin juga menyukai