Anda di halaman 1dari 7

Laki-Laki atau Perempuan, Sepenting Itu Kah?

Disusun Oleh:
Kelompok 2.5 GAB02
1. Muhammad Hanif Ananda Kezia (1105223038)
2. Kirenina Fariha Safitri (1105223083)
3. Cantik Zelda Herawan (1105223102)
4. Nugraha Arif Widyatna (1105223069)
5. Eriko Saputra (1105223085)

Dosen Pembimbing :
Dr. Runik Machfiroh, S.Pd., M.Pd

Mata Kuliah :
PENDIDIKAN PANCASILA

TELKOM UNIVERSITY
l. Telekomunikasi. 1, Terusan Buahbatu - Bojongsoang, Telkom University, Sukapura,
Kec. Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat 40257

2022
BAB 1

Pendahuluam

A. Latar Belakang

Kesetaraan yang sering kali terlihat dan terjadi adalah diskriminasi pada gender yang terjadi
di berbagai wilayah dan kejadiannya sangat beragam. Ada begitu banyak perbedaan yang
sering dikaitkan dengan gender dalam hal kepantasan dalam berperilaku. Faktor dari
penyebab terjadinya diskriminasi gender ini bisa karena dari faktor lingkungan, budaya, dan
agama.

Karenanya, kesetaraan gender ini diperlukan di masyarakat agar bisa membangun masyarakat
yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia untuk meningkatkan taraf hidup baik itu
perempuan ataupun laki-laki. Tetapi konsep kesetaraan gender ini tidak berarti harus
menyamaratakan semua hal sama antara laki-laki dengan perempuan, hanya saja dengan
adanya kesetaraan gender ini, seseorang bisa memutuskan sesuatu bagi dirinya tanpa dibebani
konsep gender.

Sehingga tujuan utama dari pengembangan kesetaraan gender ini adalah agar kita semua bisa
seimbang, setara, adil dalam mewujudkan impiannya masing-masing tanpa harus bergantung
dengan kata 'gender'.

B. Rimgkasan Analisa

Dari data yang kami dapat kami melihat narasumber sangat menolak adanya diskriminasi
gender dan narsumber juga sama-sama memberikan solusi berupa speak up dari para korban.

C. Tujuan

Kami disini mengambil SDGs no 5 yang berkaitan dengan 'kesetaraan gender'. Alasan kami
memilih masalah ini karena masih banyak orang yang meremehkan tentang kesetaraan
gender. Kesetaraan gender yang biasa terlihat dipublik adalah diskriminasi pada
perempuan,tetapi sebenarnya banyak juga diskriminasi pada laki-laki contohnya seperti, laki-
laki yang suka ballet sering dianggap buruk atau dipandang remeh karena awamnya ballet
diperuntukan untuk perempuan padahal banyak laki-laki yang berbakat dalam bidang ini.
Oleh karena itu diprojek kali ini kami membuat website yang bertujuan untuk menjadi wadah
tempat cerita bagi para korban yang menerima diskriminasi gender. Di dalam website ini
kami akan memberikan motivasi-motivasi bagi para korban dan juga kami akan merespon
cerita mereka dan memberikan semangat selayaknya teman. Karena yang mereka butuhkan
pada kondisi tersebut yaitu ada yang percaya dengan mereka dan tidak merasa dirinya
sendiri.

Topik ini sangat penting kita bahas karena diskriminasi gender ini dapat mempengaruhi bagi
psikologi penderita atau korban. Meskipun mungkin oknum yang melakukan diskriminasi
gender ini mengangap ini hal sepele atau hal yang bisa di jadikan bercandaan berbanding
terbalik dengan yang dirasakan oleh penderita atau korban. Efek dari diskriminasi gender ini
bisa berpengaruh kedepannya bagi penderita atau korban. Oleh karena itu kesetaraan gender
ini sangat penting dimengerti semua kalangan baik laki-laki maupun perempuan.

D. Alasan Pengambilan SDGs No.5 “Kesetaraan Gender”

Alasan mengambil SDGs kesetaraan gender adalah karena Diskriminasi berdasarkan gender
masih terjadi pada seluruh aspek kehidupan, di seluruh dunia.

Diskriminasi akan hal gender di berbagai wilayah memiliki sifat dan tingkat yang
beragam.Gender sendiri jika diartikan adalah pembedaan peran, atribut, sifat, sikap dan
perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.

Tidak hanya itu, peran gender terbagi menjadi peran produktif, peran reproduksi serta peran
sosial kemasyarakatan. Ada perbedaan mencolok yang sudah lama dikaitkan dengan
seperangkat tuntuan sosial tentang kepantasan dalam berperilaku, dan pada gilirannya hak-
hak, sumber daya, dan kuasa. Terdapat pengelompokan sosial yang menentukan jalan hidup
seseorang dan partisipasinya dalam kehidupan bermasyarakat maupun kegiatan ekonomi.
Misalkan saja, dalam sebuah keluarga, pihak ibu memainkan peran dalam mengasuh anak,
sedangkan pihak ayah memainkan peran untuk bekerja. Kondisi seperti ini terkadang bisa
berubah secara drastis apabila terjadi perubahan kebijakan dan masalah ekonomi.

Kesetaraan gender sendiri tidak selalu dipandang sebagai hak dan kewajiban yang sama tanpa
adanya pertimbangan. Mengingat bahwa isu yang muncul mengenai isu kesetaraan gender
diartikan menjadi segala sesuatu, baik itu hak maupun kewajiban, mutlak sama dengan laki-
laki.
BAB 2

Pengolahan Data

A. Cara Pengambilan Data

Kami melakukan pengambilan data dengan melakukan wawancara langsung kepada 3


narasumber yang tidak dapat kami sebutkan identitasnya. Kami melakukan wawancara secara
audio. Data yang kami dapatkan berdasarkan pertanyaan:
• Apakah narasumber pernah melihat atau merasakan diskiriminasi gender?
• Apakah diskriminasi gender berpengaruh kepada kehidupan sehari-hari?
• Apa pendapat narasumber terkait diskiriminasi gender?
• Menurut narasumber, mengapa bisa terjadi diskriminasi gender?
• Apa menurut narasumber diskriminasi gender bisa dihilangkan?
• Apa usaha yang narasumber lakukan agar tidak terkena diskriminasi gender?
B. Analisa
Kami melakukan wawancara kepada dua orang narasumber yaitu narasumber laki-laki dan
juga perempuan, berikut data yang kami dapatkan:
Narasumber pertama (Wanita):
• Pernah, jadi narasumber merasakan sendiri yaitu merasa dia sangat berbeda dengan
sang kaka lelakinya, merasa kenapa semua pekerjaan seperti pekerjaaan rumah tangga
hanya dia yang melakukan dan sang kaka tidak.
• Narasumber merasa diskriminasi ini sangat berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari.
Karena, berdasarkan pengalaman pribadi narasumber dia merasa ini menjadi habbit
dalam kehidupan bahwa perempuan harus melakukan pekerjaan rumah tangga
padahal laki-laki juga bisa.
• Narasumber pada dasarnya merasa netral-netral saja akan hal ini. Namun, narasumber
jika ditanya kecenderungannya lebih ke arah Pro menolak diskriminasi gender
• Narasumber merasa kebiasaan ini sudah ada sejak dulu, jadi narasumber merasa
bahwa hal ini bisa saja tidak ada namun, tidak mudah.
• Narasumber bependapat bahwa, diskriminasi gender bisa hilang karena mulai
banyaknya korban-korban yang speak up terkait ini
• Narasumber memberikan penjelasan kepada pelaku bahwa ini bukanlah hal benar, dan
memberikan pengarahan pada pelaku
Narasumber kedua (Pria):
• Narasumber tidak pernah merasakan secara langsung diskriminasi gender. Namun,
narasumber pernah melihat/mendengar secara langsung dari korban diskriminasi
gender yang berbau sexuality.
• Narasumber berpendapat bahwa diskriminasi gender sangat berpengaruh dalam
kehidupan sehari-hari. Narasumber berpendapat bahwa hidup ini adalah kebersamaan
tiap-tiap gender dan merasa bahwa diskriminasi gender ini adalah masalah yang
sangat mengganggu hidup tiap-tiap individu. Terutama korban dari diskriminasi
gender.
• Narasumber menolak keras adanya diskriminasi gender. Karena, narasumber
berpendapat bahwa setiap kehidupan adalah kebersamaan dan narasumber juga
mengatakan bahwa perlakuan diskriminasi gender dapat menyinggung korban walau
itu hanya candaan semata.
• Karena, narasumber berpendapat bahwa karena banyaknya statement bahwa laki-laki
adalah pemimpin dari segalanya, laki-laki tuh bisa semuanya, dan itu memberikan
pandangan bahwa perempuan tidak punya hak yang sama seperti laki-laki. Karena itu
juga banyak sekali statment yang mengatakan bahwa perempuan adalah mahluk
lemah, mahluk untuk dimanja, dan tidak dihargai.
• Narasumber berpendapat, karena kemajuan teknologi diskriminasi gender ini bisa
muali menjadi hilang di masyarakat. Karena, banyaknya korban-korban yang mulai
berani speak up terkait masalah ini dan narasumber juga berharap selama 5 tahun
kedepan stigma-stigma tentang diskriminasi gender akan hilang.
• Narasumber mengatakan bahwa narasumber akan berterus terang bahwa tidak
nyaman diperlakukan seperti itu.
Dari data yang kami dapat, kami melihat kedua narasumber sangat menolak adanya
diskriminasi gender, kedua narasumber juga mempunyai pengalaman pahit terkait
diskriminasi gender. Kedua narasumber juga sama-sama memberikan opini yang sama yaitu
masalah ini adalah permasalahan dari statement-statement masyarakat yang menganggap
bahwa laki-laki itu biasa segalanya dan perempuan tidak memiliki hak yang sama seperti
laki-laki.
BAB 3

Kesimpulan

A. Kesimpulan
Kami dapat simpulkan bahwa diskriminasi gender adalah suatu urgensi serius di Indonesia,
urgensi ini sangat-sangat memberikan masyarakat sebuah momok baru dikehidupannya.
Urgensi ini juga memberikan sebuah “kekuasaan” bagi laki-laki karena dianggap menguasai
segalanya dan berakhir pada penyimpangan hak dan kewajiban tiap-tiap gender.
Dari data pun bisa kita simpulkan bahwa, walaupun tidak pernah merasakan pasti seseorang
pernah mendengar tentang ini, dan pasti selalu berakhir pada offensive atau abbusive.
Diskriminasi ini bisa ditekan atau mungkin dihilangkan dengan membuka lebih banyak
wawasan tentang individu, memberikan kesempatan kepada tiap-tiap individu, membuat
tempat perlaporan terkait hal ini baik dalam lingkup kecil maupun besar, ataupun bisa dengan
memberikan efek jera pada pelaku.
DAFTAR PUTSAKA

1. Dewi, Sinta R, (2006), Gender Mainstreaming Feminisme, Gender dan Transformasi


Institusi, dalam Jurnal Perempuan, No. 50, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
2. Abdullah, Irwan (1998), Rekonstruksi Gender terhadap Realitas Wanita, dalam Bainar
(ed) :Wacana Perempuan dalam Keindonesiaan dan Kemodernan, Yogyakarta : PT.
Pustaka Cidesindo.
3. Soeparman, Surjadi, (2006),Mengapa Gender Mainstreaming Menjadi Aksi Nasional,
dalam Jurnal Perempuan, No. 50, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
4. Engle, Patrice L, (1998), Upaya Untuk Meraih Kesetaraan Gender dan Untuk
Mendukung Anak-anak, dalam Jurnal Perempuan, No. 05, Jakarta: Yayasan Jurnal
Perempuan.
5. Silawati, Hartian,(2006),Pengarusutamaan Gender: Mulai Dari Mana, dalam Jurnal
Perempuan, No. 50, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
6. Caraway, Tery. L, (1998), Perempuan dan Pembangunan, dalam Jurnal Perempuan,
No. 05, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
7. Cattleya, Leya, (2006), Pelembagaan Akuntabilitas Pengarus utamaan Gender: Bukan
Sesuatu yang Mustahil, dalam Jurnal Perempuan, No. 50, Jakarta: Yayasan Jurnal
Perempuan.
8. Dewayani, Tantri, (2021), Kartini dan Kesetaraan Gender, No One Left Behind,
Jakarta Pusat: dkjn.kemenkeu.go.id

Anda mungkin juga menyukai