Anda di halaman 1dari 11

TEORI PENDIDIKAN ISLAM PADA ABAD KEENAM DAN KETUJUH

HIJRIAH
Terjemah dari kitab
(Tathawwur Mafhum al-Nazhariyyah al-Tarbawiyyah al-
Islamiyyah)
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata kuliah Studi
Naskah Pendidikan Islam Program Doktor Pendidikan Islam
Konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. Badruzzaman M. Yunus, MA.
Dr. H. Ateng Rohendi, M.Ag.

Diterjemah Oleh:
Andi Mappaenre
NIM: ……………….
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2022

1
A. Reward and Punishment (Penghargaan dan hukuman)
Dalam memperbaiki orang yang salah dibutuhkan Tadarruj
(metode bertahap). Jika terjadi kesalahan atau penyimpangan dari
salah seorang murid, dipersilahkan bagi seorang pendidik untuk
melarang perbuatan tersebut (di depan umum) dengan kehadiran
pelaku tanpa harus mengekspos atau merendahkannya. Namun jika
ia tetap melakukannya, pendidik harus bertemu langsung kepada
pelaku secara diam-diam kemudian melarangnya. Namun jika ia
tetap melakukannya juga, maka pendidik boleh mengingatkannya
secara terang-terangan dan meninggikan suara dengan kondisi
yang disesuaikan, namun jika ia masih melakukannya maka
pendidik harus mengeluarkannya dari kelasnya.
Namun ada jenis murid yang malas dan hanya semangat jika
dikerasi saja, jika pendidik paham bahwa murid tersebut dari jenis
ini dan tidak ditakutkan bahwa murid akan melawan balik atau
kabur, maka silahkan menggunakan cara yang lebih keras.
Sebaliknya jika ada murid yang prestasinya bagus entah itu
dari sisi akhlak, nilai, atau agamanya maka dianjurkan untuk
memberikan penghargaan terang-terangan agar bisa menjadi
penyemangat bagi teman-temannya yang lain.

B. Metode-metode
Kebanyakan apa yang sudah ditulis oleh Ibnu Jama’ah
tentang metode-metode (pendidikan) tidaklah keluar dari pendapat
yang sudah diungkapkan oleh al-Mawardi dan Khathib al-Baghdadi.
Dan hal itu bukanlah sesuatu yang aneh karena Ibnu Jama’ah
bermadzhab Syafi’i yang mempelajari buku-buku ulama Syafi’iyah.
Para pendidik telah menganjurkan untuk memperhatikan adab

2
pengajaran, tidak bertele-tele dalam mengajar, juga
memperhatikan keadaan para murid. Jika seorang guru telah
selesai menjelaskan materi belajarnya, dianjurkan untuk
melemparkan pertanyaan kepada para murid untuk mengecek
tingkat pemahaman murid terhadap materi belajar, dengan syarat
pertanyaan yang akan dilemparkan merupakan pertanyaan yang
jelas dan spesifik.
Ibnu Jama’ah telah menunjukkan betapa pentingnya diskusi khusus,
juga mengajak para pendidik untuk melatih para murid bagaimana
berdiskusi dengan memperhatikah beberapa dasar di antaranya:
1. Menjaga diskusi agar tidak ribut, serta fokus terhadap
masalah yang akan dibahas juga tidak berpindah ke masalah
lain hingga masalah awal selesai dibahas.
2. Membiasakan para murid yang berdiskusi untuk menerima
kebenaran, dan berusaha menjauhkan mereka dari kebiasaan
debat kusir yang sangat tidak pantas bagi seorang yang
berilmu.
3. Menegur murid yang berlebihan dalam membahas masalah
atau murid yang adab diskusinya buruk, bahkan sampai level
menghina dan debat kusir.
4. Komitmen untuk objektif dan adil.
5. Mengurangi untuk berkata: aku tidak tahu / tidak paham,
karena itu bisa mengangkat derajat orang yang ditanya dan
menambah rasa percaya dirinya.

C. Latihan Meneliti
Ibnu Jama’ah telah menentukan beberapa kaidah dalam
penelitian yang sesuai dengan metode pembelajaran di zamannya.
Kaidah-kaidah ini mencakup panduan-panduan dalam
meminjamkan buku, serta peminjaman buku, juga transkrip buku

3
(menggandakannya), dan bagaimana menggunakan referensi dan
pembagian bab dalam buku. Dan inti dari semua panduan yang ia
ungkapkan adalah bagaimana menjaga keselamatan fisik buku,
serta tidak mencoret-coretnya, untuk membuka kesempatan bagi
orang lain agar bisa mengambil manfaat dari buku tersebut.
Ibnu Jama’ah juga telah menentukan prosedur dalam penulisan
materi, seperti penukilan ayat al-Quran, kaidah, juga pendapat para
ahli, beliau juga mengajak untuk memperindah tulisan dan
pemilihan alat tulis yang cocok.
Ia juga telah menentukan beberapa kaidah dalam melakukan
Tahqiq. Beliau menentukan beberapa simbol untuk
menginformasikan suatu prosedur, jika ia membenarkan bagian
yang meragukan atau ada kemungkinan salah, beliau menaruh
simbol (‫ )ح‬di atasnya, jika ada bagian yang sudah dipastikan
kebenarannya beliau menaruh simbol (‫)صح‬, kemudian jika ia belum
bisa memastikan kebenarannya beliau menaruh simbol (‫)صـ‬, dan
lain-lain.
Beliau juga menentukan kaidah penulisan Hawasyi (footnote)
dan landasan-landasannya, juga metode pembagian bab, sub-bab,
pasal, seperti menuliskannya dengan tinta merah, atau menebalkan
tulisan atau membesarkan font-nya, serta menentukan metode
dalam penomoran, penisbatan pendapat, atau penukilan dari orang
kedua, dan lainnya.
Karena lembaga pendidikan yang ada di zamannya
menggunakan aturan prosedural beliau menaruh semacam papan
tulis dari batu yang berisi aturan yang mengatur tempat tinggal
para pelajar, serta hubungan sesama mereka, juga metode belajar
dan muraja’ah, tempat dan waktu belajar bagi para pelajar.
D. Dasar-dasar akhlak dalam profesi pendidikan
Dasar-dasar yang ditentukan oleh Ibnu Jama’ah mengacu
kepada beberapa hal negatif yang terjadi di kalangan para pendidik

4
di zamannya. Dan kebanyakan mengacu kepada pemahaman
pendidikan yang seharusnya mempermudah orang untuk
mendapatkan pendidikan. Dan dasar-dasar ini terbagi menjadi:
a. Dasar-dasar atitude dan psikologis, dan itu terbagi menjadi:
a. Tidak mengajarkan mereka yang menyimpang dari
adab-adab agama, meski mereka dari kalangan
pembesar.
b. Tidak memperbolehkan seorang ilmuwan atau ulama
untuk mengerjakan pekerjaan yang dipandang rendah
oleh orang lain seperti bekam (karena zaman dulu
masih menggunakan cara tradisional yang
menggunakan kontak fisik langsung dengan darah yang
berupa najis), pencuci kulit (dhibag yang mencuci kulit
yang asalnya najis hingga menjadi thahir), dan lainnya.
c. Tidak memperbolehkan pendidik untuk pergi ke rumah
murid, kecuali jika ada keadaan yang terdesak, atau
keperluan maslahat agama yang lebih besar.
d. Perhatian pendidik kepada muridnya serta
membantunya dari segi finansial dan kebermanfaatan,
serta rasa kehilangan jika absen, juga menjenguk
murid yang sakit.
e. Memperhatikan adab-adab Islam seperti takwa,
tawadhu’, toleransi, juga niat menyebarkan ilmu,
menghidupkan syariat dan menjaga kebenaran serta
menolak kebathilan.
b. Dasar-dasar profesionalitas
a. Selalu menganjurkan untuk melakukan penelitian,
penulisan khususnya yang berisi informasi-informasi
yang manfaatnya bisa dirasakan secara umum juga hal-
hal yang banyak dibutuhkan oleh orang-orang, juga

5
memperhatikan novelity (kebaruan) tulisan, serta tidak
mempublikasinya hingga merevisinya kembali dan
memastikan penulisannya benar-benar sempurna.
b. Melanjutkan pengembangan diri, minat baca, interaksi
dengan orang lain. Seperti yang dikatakan Sa’id bin
Jubair: (seseorang tetap dikatakan sebagai terpelajar
selama dia belajar, namun jika ia berhenti belajar dan
merasa dirinya sudah cukup, maka orang tersebut
sudah menjadi bodoh)
c. Tidak mengajar hingga mahir dalam bidang tertentu
serta memperhatikan objektifitas dan toleransi.

Ibnu Taimiyah dan pembaharuan teori pendidikan (661H-728H)


Ahmad bin Abdil Halim bin Taimiyah lahir di kota Harran, kemudian
pindah dan tumbuh di Damaskus, lalu melanjutkan hidupnya di
Mesir dan Syam, beliau terkenal dengan kepintarannya dan luasnya
ilmunya, dan dengan manhaj-nya lah ia mengobati kerusakan
akidah, gagal nalar, serta fanatisme yang terjadi di zamannya. Dan
karena itu, orang-orang di zamannya terpecah menjadi blok ulama
dan pemerintah dan blok penguasa dan orang awam, entah itu
hubungan permusuhan atau hubungan dukungan fanatik.
Ibnu Taimiyah juga banyak mengoreksi tentang paham-paham
serta teori-teori pendidikan melalui penelitian serta karyanya yang
cukup banyak. Dalam hal ini beliau berfokus untuk meluruskan hal-
hal asas bahkan beliau menyumbangkan pemikiran baru dan teori-
teori dasar baru dalam dunia pendidikan. Berikut ini beberapa dari
pemikiran beliau:
1. Filosofi pendidikan
Ilmu yang bermanfaat adalah asas dari kehidupan yang rasional
dan baik, serta beramal dengan ilmu tersebut adalah hal yang

6
menentukan kehidupan ini serta memberikan kekekalan dan
keberlangsungan. Dan tanpa kebermanfaatan itu dalam beramal
hidup seorang manusia menjadi tersesat dan mengikuti hawa
nafsu. Maka dari hal ini bisa disimpulkan bahwa menuntut ilmu
merupakan suatu ibadah.
Dan untuk mendapatkan ilmu ini, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan: pertama adalah memperbaiki alat belajar yaitu hati.
Yang asalnya adalah fitrah, maksudnya adalah keabsahan persepsi
dan ilmu, serta menerima kebenaran. Namun hati bisa saja sakit
yang disebabkan oleh hal luar, sebagaimana badan manusia
mengalami sakit karena virus dan bakteri. Dan penyakit hati seperti
ini sudah disebutkan banyak dalam ayat-ayat al-Quran.
Dan agama adalah satu-satunya obat dari berbagai penyakit hati
itu, untuk mengembalikan hati ke fitrahnya agar siap menerima
pemikiran dan paham yang benar, maka dari itu semakin benar
agama seseorang, maka semakin benar pula pemahamannya, dan
semakin maju dalam bidang keilmuan dan pemahaman.
Dan alat kedua adalah metodologi yang benar dalam belajar.
Dan metode ini terbagi menjadi dua jalur: (jalur kemauan)
maksudnya adalah mendidik kemauan seorang pelajar hingga
kemauannya tidak bergerak kecuali jika itu merupakan perintah
Allah ‫ﷻ‬, dan ini yang dikenal dengan pembentukan cara pandang.
Dan jalur kedua (jalur ilmu) yang maksudnya adalah pembekalan
seorang murid dengan ilmu-ilmu dan metode-metode
pengaplikasiannya. Wajib bagi seorang pelajar untuk mengambil
dua jalur tersebut, karena ditakutkan kepada orang yang fokus
dengan jalur ilmu akan melemah amalannya, jalur ilmu berfokus
kepada pembelajaran al-Quran dan Hadis, sedangkan jalur
kemauan berfokus pada ibadah.
Ibnu Taimiyah mencontohkan bahaya dari pemisahan dua jalur
tersebut, seperti yang terjadi pada orang Yahudi, yang hanya
mementingkan jalur ilmu dan mengabaikan jalur kemauan yang

7
akhirnya melahirkan ilmuwan yang tidak mengamalkan ilmunya,
bahkan kemauan mereka mengikuti hawa nafsu. Sebaliknya Nasrani
yang mementingkan jalur kemauan dan mengabaikan jalur ilmu,
yang akhirnya melahirkan ahli ibadah yang tersesat dan berlebih-
lebihan.
Dan metode salaf tidak hanya mengambil isi dari buku-buku
warisan salaf, namun perlu juga untuk mengambil metode-metode
mereka dalam memahami dan berfikir, juga cara berinteraksi
dengan masalah-masalah sosial, serta dalam penelitian dan belajar.
Dari dasar yang sudah disebutkan, Ibnu Taimiyah mencoba
merevisi tingkatan ilmu menjadi 3 jenis: pertama adalah ilmu yang
landasannya dan falsafahnya adalah Quran dan Sunnah, kemudian
berkembang dengan cara yang benar, yang kemudian melahirkan
ilmu Fiqih, Hadis, Qiraat, Tafsir, dan lainnya.
Jenis kedua adalah ilmu yang landasannya bukan pada Quran
dan Sunnah, yang berkembang dan melahirkan ilmu Qadariyah,
Jabariyah, Zandaqah, dan lainnya. Dan jenis ini muncul di akhir-
akhir pemerintahan Khulafa Rasyidin.
Jenis ketiga adalah ilmu yang awal landasannya adalah landasan
Islami namun berkembang dengan cara yang salah seperti ilmu
Tashawuf dan ilmu Kalam. Dan sumber masalah dari jenis ini,
karena para pelakunya tidak menjaga kemurnian landasan mereka
yang mana mengikuti generasi yang mencampurkan antara Quran
Sunnah dan yang lainnya, kemudian disambung dengan generasi
yang mencoba mengeluarkan landasan mereka yang awalnya
berasal dari Quran dan Sunnah kemudian mencukupkan diri dengan
landasan baru tersebut.
Dari pembagian tersebut antara metode salaf dan metode
khalaf, Ibnu Taimiyah masuk ke dalam diskusi panjang dengan para
ulama Tafsir, Hadis, Fiqih, Kalam, Manthiq, Tashawuf, dan Falsafah.
Yang hasilnya adalah ilmu metode awal atau mutaqadimin dalam

8
Ijma’ atau Ikhtilaf (perbedaan) lebih baik dan bermanfaat dari
metode mutaakhirin atau khalaf. Serta ijtihad mutaqadimin lebih
tinggi dari pada ijtihad mutaakhirin karena mutaakhirin berpegang
kepada landasan yang dibuat-buat (mubtadi’ah) yang tidak
bersumber dari Quran dan Sunnah.
Ibnu Taimiyah juga mengkritik metode mutaakhirin yang
berpegang dengan hafalan dan Taqlid buta dari pada mengktifkan
akal untuk memikirkan ayat-ayat Allah ‫ ﷻ‬dan hadis-hadis
Rasulullah ‫ ﷺ‬.
Dari pernyataan di atas juga jangan difahami bahwa Ibnu Taimiyah
mengabaikan metode berfikir mutaakhirin.
2. Metodologi dan integrasi ilmu syar’iyah dan ‘aqliyah
Ilmu pada umumnya adalah bentuk tanda-tanda ilahiyah, dan
tanda-tanda ini terbagi menjadi dua, yaitu tanda diniyah dan tanda
kauniyah. Seperti halnya Hakikat, terbagi menjadi dua yaitu hakikat
diniyah seperti ibadah, ketaatan. Dan hakikat kauniyah seperti
kehidupan manusia, mati, perputaran bumi, turunnya hujan, sakit
dan sehat. Dan di hakikat ini (kauniyah) muslim dan non-muslim
tergabung, sedangkat hakikat diniyah hanya bisa dirasakan oleh
muslim.
Dari sinilah ilmu juga terbagi menjadi dua yaitu: ilmu ‘aqliyah
(akal) seperti perhitungan, kedokteran, industri, bisnis, dan lainnya
yang menggunakan indra dan akal. Dan ilmu diniyah yang
memerlukan dua hal akal sehat dan iman atau kepercayaan
terhadap yang telah disampaikan para nabi atau yang disaksikan
berupa mukjizat.
Dua ilmu yang dihasilkan oleh akal dan syariat adalah satu
kesatuan yang tidak dipisahkan, dan keduanya sama sekali tidak
bertentangan karena keduanya membantu dalam memahami
tanda-tanda kebesaran Allah ‫ ﷻ‬dalam wahyu dan ciptaan-Nya.

9
Dan dari kedua jenis ilmu di atas terbagi setiap ilmunya menjadi:
Ijbari (wajib) dan Ikhtiyari (pilihan). Contoh ilmu aqliyah yang ijbari
seperti pertanian, kedokteran, ilmu jahit atau tenun, dan ilmu-ilmu
yang hasil produksinya merupakan kebutuhan utama manusia.
Sedangkan ilmu aqliyah ikhtiyari adalah ilmu yang bukan
merupakan kebutuhan utama manusia. Begitu juga ilmu syar’iyah
ijbari seperti ibadah, sedangkan ilmu syar’iyah ikhtiyari adalah ilmu
yang jika sudah dipelajari oleh sebagian orang, maka sisanya gugur,
seperti ilmu waris, ilmu persidangan islami, dan lainnya. Juga
beberapa ilmu yang datang belakangan seperti nahwu, tashawuf,
dan lainnya.
3. Keterbukaan terhadap pengalaman orang lain
Ibnu Taimiyah sangat teliti dalam mengambil ilmu dari orang lain,
beliau juga mengecam perbuatan fanatisme dan intoleransi yang
terjadi di zamannya, meskipun beliau sempat mengkritik para
shufiyah, ahli kalam, dan ahli riwayat (dongeng) namun hal ini tidak
menghalangi beliau untuk mengambil manfaat dari ilmu mereka
seperti buku sejarah ahli shufah, akhbar zuhad salaf, thabaqat
shufiyah, dan semisalnya, beliau mengambil manfaat dari buku
seperti itu dan berusaha menjauhi riwayat-riwayat dusta, serta
berhenti jika mendapatkan riwayat yang lemah. Beliau juga
memperbolehkan membaca biografi pemikiran non muslim untuk
mengambil faedah dari apa yang mereka pahami.
Bahkan beliau memperingatkan untuk tidak berfikiran tertutup
dari ilmu-ilmu lain. Dan ia berdalil dengan perkataan Umar bin
Khattab: (sesungguhnya ikatan Islam akan terlepas sedikit-sedikit
jika seseorang tumbuh dalam Islam dan tidak mengetahui sama
sekali tentang Jahiliyah) yang maksudnya adalah seseorang yang
mengetahui keburukan dan sudah merasakannya kemudian
mengetahui kebaikan dan merasakannya, akan lebih besar rasa
cinta kebaikannya dari pada orang yang belum merasakan
keburukan sama sekali.

10
4. Integrasi pendidikan teoretis dan praktis
Dalam pembelajaran, pengambilan ilmu secara teoretis saja
tanpa memberikan peluang praktik adalah suatu kesalahan. Atau
sebaliknya, hanya berfokus pada praktik tanpa teori juga salah.
Menggabungkan kedua hal ini merupakan suatu kewajiban dalam
proses belajar. Maka dari itu dalam melakukan amalan dibutuhkan
dua hal yaitu ikhlas dan praktik yang benar. Keabsahan amalan
merupakan hasil dari pemahaman Sunnah yang benar. Maka dari
itu jika amalannya sudah ikhlas namun tidak benar maka tidak
diterima, begitu juga sebaliknya jika amalan itu sudah benar namun
tidak ikhlas pun tidak diterima, maka dari itu wajib menggabungkan
kedua hal ini.
5. Kewajiban menyebarkan ilmu dan kelangsungan
pembelajaran
Wajib hukumnya bagi para ulama untuk meneruskan
keberlangsungan pendidikan, menyampaikan semua ilmu, dan
jangan menyembunyikan ilmu sekecil apapun itu. Karena itu salah
satu bentuk kezaliman bagi peradaban umat manusia. Dan ini
kewajiban yang paling utama bagi para ulama, beban ilmu yang
terlanjur dia pelajari jika itu jangankan untuk tidak meneruskannya,
lupa ilmu pun termasuk bagian dari dosa bagi mereka, sebagaimana
yang disabdakan Rasulullah ‫ﷺ‬: (barang siapa yang menghafal al-
Quran kemudian lupa ia akan menghadap Allah dalam keadaan
sakit).
Dari hal di atas, Ibnu Taimiyah mengecam para spesialis yang tidak
mau bertukar ilmu bahkan menyebarkan hasad juga tidak mau
menyebarkan ilmu.

11

Anda mungkin juga menyukai