Anda di halaman 1dari 23

A.

Tinjauan Hemiparese

1. Definisi

Weiss (2010) mendefinisikan bahwa hemiparese adalah suatu

Kondisi yang umumnya disebabkan oleh stroke atau cerebral palsy,

meski bisa juga disebabkan oleh multiple sclerosis, otak, penyakit

lain pada sistem saraf atau otak. Kata “hemi” berarti, “satu sisi,

sementara”, sedangkan“paresis” berarti “kelemahan”.

Sejalan dengan definisi itu, Heidy (2017) juga mendefinisikan

bahwa Hemiparese adalah istilah medis untuk menggambarkan suatu

kondisi adanya kelemahan pada salah satu sisi tubuh atau

ketidakmampuan untuk menggerakkan anggota tubuh pada satu sisi.

Istilah ini berasal dari kata hemi yang berarti separuh, setengah, atau

satu sisi dan paresis yang berarti kelemahan. Hemiparese juga

sering disebut hemiparese.

Menurut Black (2009), hemiparese (kelemahan) adalah

kelemahan dari satu bagian tubuh bisa terjadi setelah stroke.

Penurunan kemampuan ini biasanya terjadi karena stroke pada arteri

serebralanterior atau media, sehingga mengakibatkan infark pada

bagian otak yang mengontrol gerakan (saraf motorik) dari korteks

bagian depan.

Dalam sebuah penelitian “Muscle Strengthening for

Hemiparese after Stroke : A Meta-Analysis” yang dilakukan Wist, et

all (2016), dijelaskan bahwa setelah mengalami stroke, hemiparese


merupakan gangguan motorik yang serius dan mempengaruhi 65%

korban stroke. Paresis didefinisikan sebagai perubahan kemampuan

untuk menghasilkan tingkat kekuatan otot normal. Hal ini

menyebabkan postur tubuh yang tidak normal dan peregangan refleks,

dan hilangnya gerakan yang normal.

2. Etiologi

Penyebab utama terjadinya hemiparese adalah adanya

kerusakan otak pada salah satu sisi. Kerusakan otak pada sisi tertentu

akan menyebabkan terjadinya kerusakan anggota tubuh pada sisi

yang berlawanan. Kerusakan otak yang paling utama disebabkan oleh

stroke.Stroke adalah gangguan peredaran darah di otak, bisa berupa

perdarahan atau penyumbatan. Selain disebabkan oleh penyakit

stroke, hemiparese dapat juga disebabkan oleh :

a. Trauma hebat pada kepala yang menyebabkan kerusakan otak.

b. Infeksi pada otak dan juga selaput otak.

c. Cacat sejak lahir.

d. Cerebral palsy.

e. Multiple sclerosis.

f. Tumor otak

g. Kerusakan korda spinalis (serabut saraf yang berada di dalam

tulang belakang).

h. Atau berbagai penyakit lain yang dapat berpengaruh pada

sistem saraf (Heidy, 2017).


3. Patofisiologi Hemiparese

Black (2009) menjelaskan bahwa hemiparese (kelemahan)

maupun hemiplegia (kelumpuhan) dari satu bagian tubuh bisa terjadi

setelah stroke. Penurunan kemampuan ini basanya disebabkan oleh

stroke arteri serebral anterior atau media sehingga mengakibatkan

infark pada bagian otak yang mengontrol pergerakan, dalam konteks

ini yaitu saraf motoric dari korteks bagian depan. Hemiparese maupun

hemiplegia bisa terjadi pada setengah bagian dari wajah dan lidah,

juga pada lengan dan tungkai pada sisi bagian tubuh yang sama.

Infark yang terjadi pada bagian otak sebelah kanan akan

menyebabkan kelemahan maupun kelumpuhan pada sisi tubuh

sebelah kiri, dan sebaliknya jika infark pada bagian otak sebelah kiri

maka akan menyebabkan kelemahan maupun kelumpuhan pada sisi

tubuh sebelah kanan. Sebagai akibatnya, hemiparese maupun

hemiplegia biasanya sering disertai oleh manifestasi stroke yang

lainnya, seperti kehilangan sensori sebagian, kebutaaan sebagian,

tidak bisa melakukan gerakan tertentu (apraksia), tidak bisa

merasakan atau mengenali sesuatu (agnosia), dan gangguan

komunikasi (afasi). Otot-otot pada dada dan perut biasanya tidak

terpengaruh karena otot pada bagian ini diatur oleh kedua bagian dari

serebral. Dengan berjalannya waktu, ketika control otot sadar hilang,

otot fleksor yang kuat akan melampaui otot ekstensor.

Ketidakseimbangan ini dapat menyebabkan kontraktur yang serius.


4. Tanda dan Gejala

Gejala yang paling dapat dilihat dari pasien yang mengalami

hemiparese adalah tidak dapat menggerakan secara normal otot-otot

wajah, lengan, tangan, dan tungkai bawah pada salah satu

sisi.Pergerakan yang ada sangat kecil dan mungkin tidak terlihat

jelas.Derajat kelemahan otot-otot tersebut tergantung dari seberapa

parah gangguan yang terjadi di otak ataupun jalur saraf lainnya.

Akibat adanya kelemahan otot-otot pada salah satu sisi tubuh, maka

gejala lain dapat menyertai hemiparese seperti :

a. Hilang keseimbangan.

b. Tidak dapat berjalan.

c. Sulit untuk memegang benda

d. Kelemahan otot

e. Koordinasi gerak yang terganggu.

f. Gangguan berbicara.

g. Sulit melakukan aktivitas sehari-hari (Heidy, 2017).

5. Penatalaksanaan Hemiparese

a. Pemeriksaan Kekuatan Otot dengan alat Handgrip Dynamometer

Kekuatan otot mengacu pada kekuatan maksimal yang bisa

dihasilkan oleh otot atau kelompok otot tertentu. Salah satu

metode yang paling umum untuk mengukur kekuatan otot

adalah uji kekuatan pegangan isometrik. Alat untuk mengukur

kekuatan
pegangan isometrik khususnya pada ekstremitas atas yaitu dengan

menggunakan Handgrip Dynamometer (National Health and

Nutrition Examination Survey, 2011). Kekuatan genggaman/Grip

Strength tangan terhadap suatu benda menurut Eki (2012)

merupakan salah satu metode umum yang digunakan untuk

mengukur kekuatan pada ekstremitas atas.Alat yang digunakan

yaitu Grip Strength Dynamometer/Hand Dynamometer/Handgrip

Dynamometer, yang memiliki satuan pengukuran yaitu dalam

Kilogram/Kg.

Penilaian dan klasifikasi kekuatan otot ekstremitas atas

dengan menggunakan Handgrip Dynamometer menurut Febrianti

(2016) dan Arie (2006) berdasarkan Departemen Kesehatan RI

(2005) yaitu dibedakan atas jenis kelamin laki-laki dan perempuan

serta dibedakan pula berdasarkan kekuatan otot tangan kanan dan

tangan kiri, yaitu : Prosedur pelaksanaan pengukuran kekuatan otot

ektremitas atas dengan penggunaan alat Handgrip Dynamometer

berdasarkan National Health and Nutrition Examination Survey

(2011), Hogrel (2015) dan Febrianti (2016) yaitu :

1) Atur posisi pasien. Untuk pasien yang tidak bisa berdiri tegak

diberikan posisi duduk yang stabil, lutut ditekuk dengan

nyaman, kedua telapak kaki diletakkan di atas lantai, punggung


tidak bersandar pada sandaran kursi atau tembok, bahu dan dada

dalam posisi nyaman, kepala terangkat dan pandangan mata

lurus kedepan, dan lengan disisi telapak tangan dalam posisi

menggantung bebas dan menghadap kedalam dan tidak menempel

pada badan pasien.Jika pasien berada di kursi roda, tidak masalah jika

lengan menyentuh sandaran lengan, namun pasien tidak boleh

menggunakan sandaran lengan untuk memanfaatkan

2) Atur jarak pegangan handgrip dynamometer hingga sesuai

dengan besarnya jangkauan genggaman telapan tangan,

handgrip dynamometer dipegang antara jari dan telapak tangan

di pangkal jempol.

3) Periksa dan pastikan jarum penunjuk angka harus berada pada

angka nol (0).

4) Pasien memegang handgrip dynamometer dengan posisi lengan

lurus disamping badan, tanpa menyentuh badan.

5) Telapan tangan menghadap ke bagian dalam dan skala handgrip

dynamometer menghadap bagian luar untuk memudahkan

melihat hasilnya pada petunjuk angka alat.

6) Ingatkan pasien agar tangan atau alat handgrip dynamometer

tidak menyentuh badan selama tes berlangsung.

7) Instruksikan pasien untuk menarik napas dalam, kemudian

menghembuskan napas sambil meremas pegangan handgrip

dynamometerdengan kekuatan penuh, tanpa dihentakkan,

kontraksi maksimal 2-4 detik.


8) Lakukan pengulangan prosedur dalam meremas pegangan

handgrip dynamometer sebanyak 3 kali, dengan periode

istirahat 30 detik antara masing-masing percobaan

9) Nilai tertinggi dari 3 kali percobaan diambil sebagai hasil dari

pemeriksaan handgrip dynamometer

b. Fisioterapi

1) Latihan dengan mekanisme reflek postur

Gangguan tonus otot (spastisitas) secara postural pada

pasien stroke dan mengalami hemiparese, dapat mengakibatkan

gangguan gerak. Melalui latihan dengan mekanisme reflek

postur dengan cara mengontrol spastisitas secara postural

mendekati status normal, maka seseorang akan lebih mudah

untuk melakukan gerakan volunter dan mengontrol spastisitas

otot secara postural (Aulia, 2015).

Konsep dalam melakukan latihan ini adalah

mengembangkan kemampuan gerak normal untuk mencegah

spastisitas dengan menghambat gerakan yang abnormal dan

mengembangkan kontrol gerakan. Dalam upaya melakukan

penghambatan maka perlu adanya penguasaan teknik

pemegangan (Key Point of Control) (Rosiani, 2012). Bentuk

latihannya antara lain :


a) Mobilisasi trunk

Menurut Davies (1990) salah satu latihan melalui mekanisme

reflek postural adalah mobilisasi trunk seperti gerakan fleksi,

ektensi, dan rotasi trunk. Latihan mobilisasi trunk merupakan

komponen keseimbangan serta akan menghambat pola

spastisitas melalui gerakan rileksasi dari trunk. Salah satunya

adalah latihan rotasi trunk, gerak rotasi merupakan

komponen gerak yang sangat penting untuk menunjang

fungsi tubuh.

b) Latihan menghambat pola spastisitas anggota gerak atas dan

bawah Latihan menghambat pola spastisitas seperti latihan

menghambat spastisitas pada lengan dan tungkai serta latihan

mengontrol tungkai. Latihan ini bertujuan untuk menurunkan

spastisitas serta dapat melakukan gerakan yang selektif

hingga menuju ke aktivitas fungsional seperti latihan

menghambat ektensor tungkai khususnya pada kaki untuk

mempersiapkan tungkai saat berjalan agar tidak terjadi droop

foot.

2) Latihan weight bearing

Latihan weight bearing untuk mengontrol spastisitas pada

ekstremitas dalam keadaan spastis. Melalui latihan ini

diharapkan mampu merangsang kembali fungsi pada persendian

untuk menyangga. Latihan ini berupa mengenalkan kembali


bentuk permukaan benda yang bervariasi kepada sisi yang

lumpuh agar kembali terbentuk mekanisme feed back gerakan

yang utuh (Aulia, 2015).


Latihan weight bearing dapat dilakukan saat duduk dan

berdiri. Latihan weight bearing saat duduk bisa melakukan

gerak menumpu berat badan ke belakang, depan dan samping

kanan serta kiri. Sedangkan latihan weight bearing saat berdiri

bisa melakukan gerakan menumpu berat badan kedepan dan

belakang. Latihan weight bearing saat berdiri bertujuan untuk

mempersiapkan latihan berjalan agar tidak ada keraguan dalam

melangkah karena adanya spastisitas.

3) Latihan keseimbangan dan koordinasi

Latihan keseimbangan dan koordinasi pada pasien stroke

stadium recovery sebaiknya dilakukan dengan gerakan aktif

dari pasien dan dilakukan pada posisi terlentang, duduk dan

berdiri. Latihan aktif dapat melatih keseimbangan dan

koordinasi untuk membantu pengembalian fungsi normal serta

melalui latihan perbaikan koordinasi dapat meningkatkan

stabilitas postur atau kemampuan mempertahankan

tonus ke arah normal. Latihan

keseimbangan dan koordinasi pada pasien stroke non

haemoragik stadium recovery dapat dilakukan secara bertahap

dengan peningkatan tingkat kesulitan dan penambahan

banyaknya repetisi (Rosiani, 2012). Latihan keseimbangan

dapat dilakukan pada posisi duduk dan berdiri. Latihan ini

merupakan latihan untuk meningkatkan reaksi keseimbangan


equilibrium berbagai keadaan serta merupakan komponen dasar

dalam kemampuan gerak untuk menjaga diri, bekerja dan

melakukan berbagai kegiatan dalam kehidupan sehari-hari.

Latihan keseimbangan dan koordinasi merupakan latihan yang

saling berkaitan yang dapat menimbulkan gerak volunteer.

4) Latihan fungsional

Pada pasien stroke non haemoragik stadium recovery

terjadi gerak anggota tubuh yang lesi dengan total gerak sinergis

sehingga dapat membatasi dalam gerak untuk aktivitas

fungsional dan membentuk pola abnormal (Rosiani, 2012).

Latihan fungsional dimaksudkan untuk melatih pasien agar

dapat kembali melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri

tanpa menggantungkan penuh kepada orang lain. Latihan

fungsional berupa latihan yang berhubungan dengan kehidupan

sehari-hari. Jika latihan fungsional dilakukan berulang – ulang

akan menjadikan pengalaman yang relatif permanen atau

menetap dan akhirnya akan menjadi sebuah pengalaman gerak

yang otomatis.

Latihan fungsional seperti latihan briging, latihan duduk

ke berdiri dan latihan jalan. Latihan briging untuk mobilisasi

pelvis agar dapat stabil dan menimbulkan gerakan ritmis saat

berjalan. Latihan duduk ke berdiri merupakan latihan untuk

memperkuat otot-otot tungkai dan mempersiapkan latihan


berdiri. Latihan jalan merupakan komponen yang sangat penting

agar pasien dapat melakukan aktivitas berjalan dengan pola

yang benar (Aulia, 2015).

A. Pathway

Sumber : Doengoes, (2001)


B. Tinjuan Konsep Asuhan Keperawatan Pemenuhan Kebutuhan

Aktifitas

1. Pengkajian Keperawatan

Pengkajian keperawatan adalah tahap awal dari proses

keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam

pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan

mngidentifikasi status kesehatan klien. Pengkajian keperawatan

merupakan dasar pemikiran dalam memberikan asuhan keperawatan

sesuai dengan kebutuhan klien. Pengkajian yang lengkap, dan

sistematis sesuai dengan fakta atau kondisi yang ada pada klien sangat

penting untuk merumuskan suatu diagnosis keperawatan dan dalam

memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan respons individu

(Budiono & Pertami, 2016).

Menurut Hidayat dan U 2014) pengkajian keperawatan pada

pasien pemenuhan kebutuhan aktivitas meliputi :

a. Riwayat Keperawatan Sekarang

Pengkajian riwayat pasien saat ini meliputi alasan pasien

yang menyebabkan terjadi keluhan/gangguan dalam mobilitas dam

imobilitasnya, seperti adanya nyeri, kelemahan otot, kelelahan,

tingkat mobilitas dan imobilitas, daerah terganggunya mobilitas

dan imobilitas, dan lama terjadinya gangguan mobilitas.


b. Riwayat Keperawatan Penyakit Dahulu

Pengkajian riwayat penyakit yang berhubungan dengan

pemenuhan kebutuhan aktivitas, misalnya adanya riwayat penyakit

sistem neuorologis (kecelakaan serebrovaskuler, trauma kepala,

peingkatan tekanan intrakanial, miastenia gravis, gullain barre,

cedera medula spinalis, dan lain-lain), riwayat penyakit sistem

kardiovaskuler (infark miokard, gagal jantung kongestif), riwayat

penyakit system musculoskeletal (osteoporosis, fraktur, artritis),

riwayat penyakit sistem pernapasan (penyakit paru obstruksi

menahun, pneumonia, dan lain-lain), riwayat pemakaian obat,

seperti sedativa, hipnotik, depresan sistem saraf pusat, laksansia,

dan lain-lain.

c. Kemampuan Fungsi Motorik

Pengkajian dilakukan dengan tujuan untuk menilai

kemampuan gerak ke posisi miring, duduk, bangun, dan berpindah

tanpa bantuan. Kategori tingkat kemampuan aktivitas adalah

sebagai berikut :

Tabel 2.1 Tabel kategori tingkat kemamapuan

Tingkat
Kategori
Aktivitas/
Mobilitas
Tingkat 0 Mampu merawat diri sendiri secara penuh.
Tingkat 1 Memerlukan penggunaan alat.
Memerlukan bantuan atau pengawasan orang
Tingkat 2
lain.
Memerlukan bantuan, pengawasan orang lain,
Tingkat 3
dan peralatan.
Sangat tergantung dan tudak dapat melakukan
Tingkat 4
atau berpartisipasi dalam perawatan
Sumber : Hidayat dan Uliyah (2014)

d. Kemampuan Rentang Gerak

Pengkajian rentang gerak (range of motion ROM) dilakukan

pada daerah seperti bahu, siku, lengan, panggul, dan kaki.

Tabel 2.2 Tabel kemampuan rentang gerak

Derajat Rentang
Gerak Sendi
Normal
Bahu.
Adduksi: gerakan lengan ke lateral dari posisi samping
180
ke atas kepala, telapak tangan menghadap ke posisi
jauh.
Siku .
Fleksi: angkat lengan bawah ke arah depan dan ke arah 150
atas menuju bahu.
Pergelangan Tangan.
Fleksi : tekuk jari-jari tangan ke arah bagian dalam 80-90
lengan bawah.
Ekstensi : luruskan pergelangan tangan dari posisi 80-90
fleksi.
Hiperekstensi: tekuk jari-jari tangan ke arah belakang 70-90
sejauh mungkin.
Abduksi : tekuk pegelangan tangan ke sisi ibu jari 0-20
ketika telapak tangan menghadap ke atas.
Adduksi : tekuk perglangan tangan ke arah kelingking, 30-50
telapak tangan menghada ke atas.
Tangan dan Jari
Fleksi: buat kepalan tangan. 90
Ekstensi: luruskan jari. 90
Hiperekstensi: tekuk jari-jari tangan ke belakang 30
sejauh mungkin.
Abduksi: kembangkan jari tangan. 20
Adduksi: rapatkan jari-jari dari posisi abduksi 20
Sumber : Hidayat dan Uliyah (2014)
e. Perubahan Intoleransi aktivitas
Pengkajian intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan

perubahan pada sistem pernapasan, antara lain suara napas,

analisis gas darah, gerakan dinding toraks, adanya mukus, batuk

yang produktif diikuti panas, dan nyeri saat respirasi. Pengkajian

intoleransi aktivitas terhadap perubahan sistem kardiovaskuler,

seperti nadi dan tekanan darah, gangguan sirkulasi perifer, adanya

trombus, serta perubahan tanda vital setelah melakukan aktivita

atau perubahan posisi.

f. Kekuatan Otot dan Gangguan Koordinasi

Tabel 2.3 Tabel kekuatan otot dan

Presentase
Skala Kekuatan Karakteristik
Normal
0 0 Paralisis sempurna
1 10 Tidak ada gerakan, kontraksi otot dapat
dipalpasi
atau dilihat.
2 25 Gerakan otot penuh melawan gravitasi
dengan
topangan.
3 50 Gerakan yang normal melawan gravitasi
4 75 Gerakan penuh yang normal melawan
gravitasi dan
melawan tahanan normal
5 100 Kekuatan normal, gerakan penuh yang
normal
melawan gravitasi dan tahanan penuh.
Sumber : Hidayat dan Uliyah (2014)
g. Perubahan Psikologis

Pengkajian perubahan psikologis yang disebabkan oleh

adanya gangguan aktivitas/mobilitas, antara lain perubahan

perilaku, peningkatan emosi, perubahan dalam mekanisme koping,

dan lain-lain. Menurut Umi Istianah (2017) pengkajian pada pasien

fraktur antara lain :

1) Identitas Klien

Meliputi : Nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, suku,

bangsa, pendidikan, pekerjaan, tanggal masuk rumah sakit,

diagnosa medis, no. registrasi.

2) Keluhan utama

Pasien tidak dapat melakukan pergerakan, merasakan nyeri

pada area fraktur, rasa lemah dan tidak dapat melakukan

aktivitas.

3) Riwayat Kesehatan Sekarang

Kapan pasien mengalami fraktur, bagaimana terjadinya dan

bagian tubuh mana yang terkena.

4) Riwayat Kesehatan Sebelumnya

Apakah pasien pernah mengalami penyakit tertentu yang dapat

mempengruhi kesehatan sekarang.

5) Riwayat Kesehatan Keluarga

Apakah ada anggota keluarga pasien memiliki penyakit

keturunan yang mungkin akan mempengaruhi kondisi sekarang.


6) Riwayat Psikososial

Konsep diri pasien imobilisasi mungkin terganggu, oleh

karena itu kaji gambaran ideal diri, harga diri, dan identitas diri

serta interaksi pasien dengan anggota keluarga maupun dengan

lingkungan tempat tinggalnya.

7) Aktivitas sehari-hari

Pengkajian ini bertujuan melihat perubahan pola yang berkaitan

dengan terganggunya sistem tubuh serta dampaknya terhadap

pemenuhan kebutuhan dasar pasien.

8) Pemeriksaan Fisik

a) Kondisi umum

Pasien imobilisasi biasanya mengalami kelemahan,

kurangnya kebersihan diri dan penurunan berat badan.

b) Sistem pernapasan

Pengkajian untuk mendeteksi sekret, gerak dada saat

bernapas, auskultasi bunyi napas, dan nyeri pada daerah dada

serta frekuensi napas.

Menurut Mutaqqin dan Sari (2009) pemeriksaan fisik

pada fraktur femur yaitu :

a) Look, pada fraktur femur terbuka terlihat adanya luka terbuka

pada paha dengan deformitas yang jelas. Kaji berapa luas


kerusakan jaringan lunak yang terlibat. Kaji apakah pada

luka terbuka ada fragmen tulang yang keluar dan apakah

terdapat adanya kerusakan pada arteri yang berisiko

meningkatkan respons syok hipovolemik. Pada fase awal

trauma sering didapatkan adanya serpihan didalam luka,

terutama pada trauma kecelakaan lalu lintas darat yang

mengantarkan pada risiko tinggi infeksi. Pada pemeriksaan

look akan didapatkan adanya pemendekan ekstremitas.

Pemendekan akan tampak jelas derajatnya dengan cara

mengukur kedua sisi tungkai dari spina iliaka ke maleolus.

b) Feel, adanya keluhan nyeri tekan (tenderness) dan adanya


krepitasi.

c) Move, daerah tungkai yang patah tidak boleh digerakkan,

karena akan memberikan respons trauma pada jaringan lunak

disekitar ujung fragmen tulang yang patah. Pasien terlihat

tidak mampu melakukan pergerakan pada sisi paha yang

patah

9) Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada kasus fraktur

menurut Umi Istianah (2017) adalah :

a) Foto rontgen (X-ray) untuk menentukan likasi dan luasnya


fraktur

b) Scan tulang, tomogram, atau scan CT/MRI untuk

memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi


kerusakan jaringan lunak

c) Arteriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya

kerusakan veskuler

d) Hitung darah lengkap. Hemokonsentrasi mungkin meningkat

atau menurun pada perdarahan, selain itu peningkatan

leukosit mungkin terjadi sebagai respons terhadap

peradangan.

e) Kretinin. Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk

klirens ginjal

f) Profil koagulasi. Perubahan dapat terjadi pada kehilangan

darah, tranfusi atau cedera organ hati.

2. Diagnosa Keperawatan

a. Nyeri akut b.d injuri biologi

b. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan umum, tirah baring

c. Resiko jatuh b.d kelemahan otot menurun


3. Rencana Keperawatan

No Dx Keperawatan Tindakan keperawatan Rasional


1 Nyeri akut berhubungan NOC NIC 1. Memantau kondisi
dengan injuri biologi Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi skala nyeri klien dalam batas
keperawatan selama 2x24 2. Berikan posisi yang normal
jam klien dapat teratasi nyaman 2. Mengurangi rasa
dengan kriteria hasil 3. Berikan bantalan di nyeri
Skala nyeri berkurang bawah kepala 3. Mengetahui
4. Kaji tingkat nyeri tingkat nyeri
5. Monitor lokasi dan sehingga dapat
penyebaran nyeri memberikan
6. Penkes nafas dalam intervensi lebih
lanjut
2 Intoleransi aktvitas b.d NOC NIC 1. Untuk mengetahui
kelemahan umum, tirah
baring Setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi lemas penyebab
keperawatan 2x24 jam 2. Monitor lokasi dan kelemasan
diharapkan klien dapat ketidaknyamanan 2. Meminimalisir
teratasi dengan kriteria selama melakukan hambatan aktivitas
hasil: aktivitas 3. Aktivitas sehari-
1. Vital sign dalam 3. Anjurkan melakukan hari meningkat
batas normal aktivitas secara
2. Mampu bertahap
melakukan 4. Bantu klien dalam
aktivitas sehari- melakukan aktivitas
hari (ADLs) 5. Penkes ROM
secara mandiri
3 Resiko jatuh b.d NOC NIC 1. Menghindari resiko
kelemahan otot menurun Setelah dilakukan 1. Monitor TTV jatuh
tindakan keperawatan 2. Anjurkan klien 2. Sebagai tanda klien
2x24 jam di harapkan menggunakan alas kaki resiko jatuh
tidak ada infeksi, yang tidak licin
dengan kriteria hasil: 3. Anjurkan keluarga
1. Gerakan untuk tetap
terorganisasi mendampingi klien
2. Klien tidak 4. Bantu klien dalam
terjatuh saat memenuhi aktivitas
berjalan sehari-harinya
3. Lingkungan yang 5. Berikan label segitiga
aman kuning untuk resiko
jatuh
DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, Arif.2011.Asuhan Keperawatan Klien Dengan

Gangguan Sistem Persarafan.Salemba Medika; jakarta.

Andri & Wahid. 2016. Buku Ajar Ilmu Keperawatan Dasar. Surabaya : Mitra.

Wacana Media

Agusrianto dan Rantesigi, N. 2020. Penerapan Latihan Range of Motion (ROM)

Pasif terhadap Peningkatan Kekuatan Otot Ekstremitas pada

Pasien dengan Kasus Stroke. Jurnal Ilmiah Kesehatan. Vol. 2, No. 2,

Agustus 2020, pp 61-66 https://doi.org/10.36590/jika.v2i2.48

Asikin, M,. Nasir, M,. Podding, I Takko. 2016. Keperawatan Medikal Bedah:

Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai