Anda di halaman 1dari 198

MODUL PEMBELAJARAN

MATA KULIAH SOSIOANTROPOLOGI


SEMESTER III PRODI KEBIDANAN (S-1)

Di susun oleh:
Dr. Tri Sunarsih, SST., M.Kes
Tyasning Yuni Astuti A, S.ST., M.Kes

PROGRAM STUDI KEBIDANAN (S-1)


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI YOGYAKARTA
TA. 2021/2022

1
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas karunia-Nya sehingga modul pembelajaran dan tutorial
ini bisa kami terbitkan sebagai panduan untuk mendampingi dan memfasilitasi mahasiswa
melakukan aktivitas pembelajaran di semester III (Tiga) Mata Kuliah Sosioantropologi yang
akan diselesaikan dalam waktu 4 minggu dengan beban sks 2T. Metode pembelajaran yang
diterapkan adalah TCL (Teacher centre learning) dan tutorial (SGD/Small group discussion).
Evaluasi pemahaman teori dilakukan dengan bentuk evaluasi ujian dengan Computer-Based
Test (CBT) sebanyak 2 kali (UTS dan UAS).
Kami ucapkan terima kasih, kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan buku ini. Semoga modul ini dapat bermanfaat dalam mengembangkan sistem
pendidikan kebidanan. Kritik dan saran yang membangun guna perbaikan modul ini sangat
kami harapkan.

Yogyakarta, November 2022


Koordinator

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
Kegiatan Belajar 1 ··············································································· 4
Kegiatan Belajar 2 ....................................................................................................... 28
Kegiatan Belajar 3 ....................................................................................................... 58
Kegiatan Belajar 4 ....................................................................................................... 76
Kegiatan Belajar 5 ...................................................................................................... 81
Kegiatan Belajar 6 ·············································································· 89
Kegiatan Belajar 7 ..................................................................................................... 105
Kegiatan Belajar 8 ..................................................................................................... 112
Kegiatan Belajar 9 ..................................................................................................... 120
Kegiatan Belajar 10 ................................................................................................... 135
Kegiatan Belajar 11 ··········································································· 140
Kegiatan Belajar 12 ................................................................................................... 184

3
KEGIATAN BELAJAR 1
KONSEP ILMU SOSIAL ANTROPOLOGI, MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK
BUDAYA, MANUSIA SEBAGAI INDIVIDU DAN MAKHLUK SOIAL

ALOKASI WAKTU
100 Menit

CAPAIAN PEMBELAJARAN
Mahasiswa mampu memahami tentang :
1. Konsep ilmu sosial antropologi
2. Manusia sebagai makhluk budaya
3. Manusia sebagai individu dan makhluk soial

UARIAN MATERI
Konsep Ilmu Sosiologi Antropologi

A. Pengertian Sosiologi
Istilah Sosiologi menurut Auguste Comte berasal dari bahasa Yunani (latin). Sosiologi
berasal dari kata socius yang artinya teman atau sesama dan logos berarti cerita. Jadi
menurut arti katanya sosiologi berarti cerita tentang teman atau kawan (masyarakat).
Sebagai ilmu, sosiologi merupakan sebuah pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun
dari hasil pemikiran ilmiah dan dapat dikontrol secara kritis oleh orang lain.
Sosiologi lahir sebagai ilmu yang mempelajari tentang masyarakat, muncul pada abad
ke-19, yang dipopulerkan oleh seorang filosof Prancis yang bernamaAuguste Comte
(1798–1857). Di dalam bukunya Course De Philosophie Positive, ia menjelaskan bahwa
untuk mempelajari masyarakat harus melalui urutan-urutan tertentu, yang kemudian akan
sampai pada tahap akhir yaitu tahap ilmiah. Dengan demikian, Comte merintis upaya
penelitian terhadap masyarakat, yang selama berabad-abad sebelumnya dianggap mustahil.
Atas jasanya memperkenalkan istilah sosiologi maka Comte disebut sebagai Bapak
Sosiologi dengan mengkaji sosiologi secara sistematis, sehingga sosiologi terlepas dari
ilmu filsafat dan berdiri sendiri sejak pertengahan abad ke-19. Gagasan Comte mendapat
sambutan luas, terbukti dengan munculnya sejumlah ilmuwan di bidang sosiologi. Mereka
antara lain, Pitirim A. Sorokin, Herbert Spencer, Karl Marx, Emile Durkheim, George

4
Simmel, dan Max Weber.
B. Definisi Sosiologi dan Antropologi Menurut Ahli
Tidak ada definisi sederhana dari antropologi kesehatan karena para antropolog
kesehatan terlibat dalam begitu banyak masalah dan jenis pekerjaan yang berbeda. Berasal
dari kisaran ini, setiap definisi yang dibuat dengan mudah terputus-putus karena
mengabaikan sebanyak yang ada di dalamnya. Akibatnya, seluruh buku ini dirancang untuk
mendefinisikan antropologi kesehatan. Umumnya, bagaimanapun, antropolog kesehatan
terlibat dalam menggunakan dan memperluas banyak konsep inti antropologi dalam upaya
untuk memahami apa penyakit itu; bagaimana hal itu dipahami dan dialami secara langsung
dan ditindaklanjuti oleh penderita, jejaring sosialnya, dan penyembuhnya; dan bagaimana
keyakinan dan praktik yang berhubungan dengan kesehatan cocok di dalam dan dibentuk
dengan mencakup sistem sosial dan budaya serta konteks sosial dan lingkungan. Dalam
tugas multifaset ini, antropolog kesehatan mengambil satu halaman dari komedi
Shakespeare The Merry Wives of Windsor dalam mendefinisikan domain penelitian
mereka: "Mengapa, maka tiram tambang dunia, / saya dengan pedang yang akan terbuka."
Dengan kata lain, antropologi kesehatan tidak peduli dengan satu masyarakat atau dengan
sistem perawatan kesehatan tertentu, melainkan dengan masalah kesehatan di seluruh dunia
dan bahkan melalui waktu. Pedang kami, bisa dikatakan, adalah strategi penelitian yang
didasarkan pada kerja lapangan dan metode terkait yang dekat dengan pengalaman mereka
yang sedang dipelajari. Selanjutnya, gudang senjata kami mencakup penerapan
pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian dalam mengatasi masalah kesehatan yang
mendesak, terutama di antara populasi yang terpinggirkan oleh struktur kekuasaan yang
ada.
Sementara mengakui pentingnya biologi dalam kesehatan dan penyakit, antropolog
kesehatan umumnya melampaui melihat kesehatan terutama sebagai kondisi biologis
dengan berusaha memahami asal-usul sosial penyakit, konstruksi budaya gejala dan
pengobatan, dan sifat interaksi antara biologi, masyarakat dan budaya. Antropologi
kesehatan “berusaha mempertimbangkan parameter budaya dan biologis penyakit” sebagai
proses biokultural yang saling berinteraksi (Joralemon, 2017).
Juga, antropolog kesehatan cenderung tidak menerima sistem perawatan kesehatan
tertentu, termasuk biomedis Barat, sebagai monopoli atas pengetahuan kesehatan yang
berguna atau pengobatan yang efektif; melainkan, kita melihat semua sistem perawatan
kesehatan—dari kedokteran nuklir tingkat lanjut atau operasi laser hingga penyembuhan
perdukunan atau akupunktur berbasis trance—sebagai produk budaya, apa pun tingkat

5
kemanjuran penyembuhannya dan bagaimanapun kemanjurannya didefinisikan dalam
tradisi penyembuhan tertentu.
Antropolog kesehatan berusaha untuk memahami dan membantu orang lain melihat
bahwa kesehatan berakar pada (1) konsepsi budaya, seperti cara-cara yang dibentuk secara
budaya untuk mengalami rasa sakit atau menunjukkan gejala penyakit; (2) hubungan sosial,
seperti jenis hubungan yang ada dalam keluarga atau dalam masyarakat dan sistem politik
dan ekonomi dunia secara umum; dan (3) biologi manusia, seperti ancaman patogen
mikroskopis terhadap sistem tubuh dan respons imun tubuh terhadap ancaman tersebut.
Dalam mengejar garis penyelidikan ini, antropolog kesehatan secara khusus
memperhatikan pola hubungan penyakit, konfigurasi.
Berikut ini beberapa definisi tentang sosiologi:
1 Roucek dan Warren mendefinisikan sosiologi adalah ilmu yang mempelajari
hubungan antar manusia dalam kelompok-kelompok.
2 Pitirim A. Sorokin menjelaskan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari
hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial (misalnya
gejala ekonomi, gejala agama, gejala keluarga, dan gejala moral); hubungan dan
pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala nonsosial (gejala geografis,
biologis).
3 William F. Ogburn dan Mayer F. Nimkoff
Sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya, yaitu
organisasi sosial.
4 J. A. A. Von Dorn dan C. J. Lammers
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses
kemasyarakatan yang bersifat stabil.
5 Max Weber mendefinisikan sosiologi adalah ilmu yang berupaya memahami
tindakantindakan sosial.
6 Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi
Sosiologi adalah ilmu kemasyarakatan yang mempelajari struktur sosial dan proses-
proses sosial termasuk perubahan sosial.
7 Hassan Shadily
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat,
menyelidiki ikatan- ikatan antara manusia yang menguasai kehidupan dengan
mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuknya hidup bersama
serta perubahannya, perserikatan, kepercayaan, dan keyakinan.

6
8 Paul B. Horton mendefinisikan sosiologi adalah ilmu yang memusatkan kajian pada
kehidupan kelompok dan produk kehidupan kelompok tersebut.
9 Soerjono Soekanto mendefinisikan sosiologi adalah ilmu yang memusatkan perhatian
pada segi-segi kemasyarakatan yang bersifat umum dan berusaha untuk mendapatkan
pola-pola umum kehidupan masyarakat.
Dari beberapa uraian para ahli tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi adalah
ilmu pengetahuan yang mempelajari tata hubungan dalam masyarakat, serta berusaha
mencari pengertian-pengertian umum, rasional empiris, bersifat umum dan dapat dikontrol
secara kritis oleh orang lain yang ingin mengetahuinya.
C. Ciri-ciri Sosiologi dan Antropologi
Sosiologi merupakan salah satu bidang ilmu sosial yang mempelajari masyarakat.
Sosiologi sebagai ilmu telah memenuhi semua unsur ilmu pengetahuan. Menurut Harry M.
Johnson, yang dikutip oleh Soerjono Soekanto, sosiologi sebagai ilmu mempunyai ciri-ciri,
sebagai berikut:
1 Empiris, yaitu didasarkan pada observasi dan akal sehat yang hasilnya tidak bersifat
spekulasi (menduga-duga).
2 Teoritis, yaitu selalu berusaha menyusun abstraksi dari hasil observasi yang konkret
di lapangan, dan abstraksi tersebut merupakan kerangka dari unsur-unsur yang
tersusun secara logis dan bertujuan menjalankan hubungan sebab akibat sehingga
menjadi teori.
3 Komulatif, yaitu disusun atas dasar teori-teori yang sudah ada, kemudian diperbaiki,
diperluas sehingga memperkuat teori-teori yang lama.
4 Nonetis, yaitu pembahasan suatu masalah tidak mempersoalkan baik atau buruk
masalah tersebut, tetapi lebih bertujuan untuk menjelaskan masalah tersebut secara
mendalam.
D. Perbedaan Sosiologi dan Antropologi
Objek kajian sosiologi adalah masyarakat. Masyarakat selalu berkebudayaan.
Masyarakat dan kebudayaan tidak sama, tetapi berhubungan sangat erat. Masyarakat
menjadi kajian pokok sosiologi dan kebudayaan menjadi kajian pokok antropologi. Jika
diibaratkan sosiologi merupakan tanah untuk tumbuhnya kebudayaan. Kebudayaan selalu
bercorak sesuai dengan masyarakat. Masyarakat berhubungan dengan susunan serta proses
hubungan antara manusia dan golongan. Adapun kebudayaan berhubungan dengan
isi/corak dari hubungan antara manusia dan golongan. Oleh karena itu baik masyarakat
atau kebudayaan sangat penting bagi sosiologi dan antropologi hanya saja, penekanan

7
keduanya berbeda.
E. Keterkaitan Sosiologi dengan Antropologi
Antropologi berasal dari kata Yunani άνθρωπος (baca: anthropos) yang berarti
"manusia" atau "orang", dan logos yang berarti "wacana" (dalam pengertian "bernalar",
"berakal"). Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk
sosial.
Secara Etimologi, Antropologi adalah salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari
tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lebih memusatkan pada
penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat
yang tinggal daerah yang sama, antropologi mirip seperti sosiologi tetapi pada sosiologi
lebih menitik beratkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya. Kehidupan manusia di
masyarakat atau manusia dalam konteks sosialnya, meliputi berbagai aspek.
Salah satu aspek yang bermakna dalam kehidupan manusia yang juga mencirikan
kemajuannya yaitu kebudayaan. Kebudayaan, akar katanya dari kata buddayah, bentuk
jamak dan buddhi yang berarti budi atau akal (Koentjaraningrat, 1990:9; Soejono
Soekanto, 1990:188). Kata buddhayah dan atau buddhi itu berasal dan Bahasa Sanskerta.
Dengan demikian, kebudayaan itu dapat diartikan sebagai “hal-hal yang berhubungan
dengan budi dan atau akal”. Kebudayaan tidak hanya meliputi bahasa, peralatan, industri,
seni, ilmu, hukum, pemerintahan, moral, dan keyakinan kepercayaan saja, melainkan
meliputi juga peralatan material atau artefak yang merupakan penjelmaan kemampuan
budaya yang menghasilkan pemikiran yang berefek praktis dalam bentuk bangunan,
senjata, mesin, media komunikasi, perlengkapan seni, dan sebagainya.
F. Konsep-Konsep Dalam Sosiologi dan Antropologi
1 Kebudayaan → Keseluruhan hasil belajar berupa perilaku yang dapat diwariskan
secara sosial, yang meliputi gagasan-gagasan, nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, dan
benda-benda kebudayaan milik kelompok atau masyarakat.
2 Nilai sosial → Gagasan kolektif (bersama-sama) tentang apa yang dianggap baik,
penting, diinginkan, dan dianggap layak, sekaligus tentang yang tidak baik, tidak
penting, tak diinginkan, dan tidak layak dalam sebuah kebudayaan.
3 Norma sosial → Ukuran ideal perilaku manusia yang memberikan batas-batas bagi
anggota masyarakat dalam mencapai tujuan hidupnya.
G. Macam-macam Disiplin Ilmu Antropologi
Secara tradisional, antropologi di Amerika Serikat, setidaknya, terdiri dari empat
subbidang: antropologi sosial dan budaya, antropologi biologi, arkeologi, dan linguistik.

8
Di negara-negara lain, seperti Inggris dan Australia, disiplin ini lebih terfokus pada
antropologi sosial dan budaya. Sementara beberapa orang telah mengusulkan bahwa
antropologi kesehatan merupakan subdisiplin kelima dari antropologi, yang lain
melihatnya sebagai duduk di puncak antara antropologi budaya dan biologis dan
memasukkan elemen masing-masing dalam pemahamannya tentang kesehatan, penyakit,
dan penyembuhan. Perspektif alternatif menempatkan antropologi kesehatan pada titik
puncak antara antropologi umum atau teoretis dan antropologi terapan. Dalam buku ini,
seperti yang telah kami tekankan, fokus utama adalah pada sisi terapan antropologi
kesehatan sebagai pendekatan biokultural untuk mengatasi masalah kesehatan.
Antropologi kesehatan telah menjadi salah satu bidang minat topikal terbesar di luar
empat subbidang utama disiplin tersebut. Salah satu perdebatan saat ini dalam antropologi
kesehatan adalah sejauh mana pengaruhnya dalam membentuk gagasan dan orientasi
bidang antropologi yang lebih luas, termasuk sejauh mana antropologi kesehatan telah
mengembangkan teorinya sendiri dan sejauh mana ia hanya meminjam. dan menerapkan
yang ditemukan di tempat lain dalam disiplin.
1 Paleontropologi → Merupakan ilmu tentang asal usul terjadinya evolusi makhluk
manusia dengan mempergunakan bahan penelitian melalui sisa-sisa tubuh yang telah
membatu, atau fosil-fosil manusia zaman ke zaman yang tersimpan dalam lapisan
bumi dan didapat dengan berbagai penggalian.
2 Antropologi Fisik → Merupakan bagian ilmu antropologi yang mempelajari suatu
pengertian tentang sejarah terjadinya aneka warna makhluk manusia jika dipandang
dari sudut ciri-ciri tubuhnya, baik lahir (fenotipik), seperti warna kulit, warna dan
bentukrambut, indeks tengkorak, bentuk muka, warna mata, bentuk hidung, tinggi
badan, dan bentuk tubuh maupun sifat bagian dalam (genotipik), seperti golongan
darah dan sebagainya. Manusia di muka bumi ini terdapat beberapa golongon
berdasarkan persamaan mengenai beberapa ciri tubuh. Pengelompokan seperti itu
dalam ilmu antropologi disebut ras.
3 Ethnolinguistik atau Antropologi Linguistik → Suatu ilmu yang berkaitan erat dengan
ilmu antropologi, dengan berbagai metode analisis kebudayaan yang berupa daftar
kata-kata, pelukisan tentang ciri dan tata bahasa dari beratus- ratus bahasa suku bangsa
yang tersebar di berbagai tempat di muka bumi. Dari bahan ini telah berkembang ke
berbagai macam metode analisis kebudayaan, serta berbagai metode untuk
menganalisis dan mencatat bahasa-bahasa yang tidak mengenal tulisan. Semua bahan
dan metode tersebut sekarang telah terolah, juga ilmu linguistik umum. Walaupun

9
demikian. Ilmu etnolinguistik di berbagai pusat ilmiah di dunia masih tetap berkaitan
erat dengan ilmu antropologi, bahkan merupakan bagian dari antropologi.
4 Prehistori → Merupakan ilmu tentang perkembangan dan penyebaran semua
kebudayaan manusia sejak sebelum manusia mengenal tulisan dan huruf. Dalam ilmu
sejarah. Seluruh waktu dari perkembangan kebudayaan umat manusia, yaitu kira-kira
800.000 tahun yang lalu hingga sekarang, dibagi menjadi dua bagian, yaitu masa
sebelum mengenal tulisa atau huruf, dan masa setelah mengenal tulisan atau huruf.
Subilmu prehistori ini sering disebut ilmu arkeologi. Di sini ilmu arkeologi sebenarnya
adalah sejarah kebudayaan zaman prehistori.
5 Ethnologi → Merupakan bagian ilmu antropologi tentang asas-asa manusia,
mempelajari kebudayaan-kebudayaan dalam kehidupan masyarakat dari bangsa-
bangsa tertentu yang tersebar di muka bumi ini pada masa sekarang. Belakangan ini,
subilmu etnologi telah berkembang menjadi dua aliran. Aliran pertama menekankan
pada penelitian diakronik yang disebut descriptive integration. Sedangkan aliran kedua
yang menekankan penelitian sinkronik dinamakan penelititan generalizing approach
(Koentjaraningrat, 1987: 31).
H. Antropologi Kesehatan dan Kesehatan Masyarakat
Terkait erat dengan epidemiologi adalah disiplin kesehatan masyarakat, bidang yang
berkaitan dengan penilaian dan peningkatan kualitas kesehatan populasi umum serta
subkelompok rentan dan berisiko di dalamnya. Antropolog kesehatan berkontribusi pada
kesehatan masyarakat dengan memeriksa etnografi perilaku yang mempromosikan
penyakit dalam konteks sosial. Sebagai ilmuwan sosial yang berusaha untuk "menjelaskan
bagaimana dan mengapa orang melakukan apa yang mereka lakukan," antropolog
kesehatan telah mampu berkontribusi untuk pencegahan dan pengendalian penyakit
(Brown et al. 1996:198).
Kegagalan untuk memahami faktor-faktor yang membentuk keputusan perilaku yang
dibuat orang, kerangka pemahaman yang mereka bawa ke dalam permainan, dan pengaruh
hubungan sosial pada tindakan mereka merupakan kontributor kekecewaan intervensi
kesehatan masyarakat. Peran lain untuk antropolog kesehatan melibatkan masalah
kepercayaan publik dalam pesan kesehatan masyarakat. Sementara petugas kesehatan
masyarakat dimotivasi oleh komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
populasi yang mereka bantu mungkin tidak memiliki antusiasme yang sama atau tidak
memercayai niat mereka. Resistensi terhadap tindakan kesehatan masyarakat, misalnya,
telah dijelaskan untuk populasi berisiko untuk vaksinasi polio dan infeksi Ebola. Dalam

10
kasus Ebola, orang-orang di beberapa daerah bahkan mempertanyakan apakah petugas
kesehatan masyarakat membawa penyakit yang berpotensi fatal daripada mencoba untuk
menguranginya (Cohn dan Kutalek 2016).
Pola ini menggarisbawahi pentingnya penelitian etnografi tentang pemicu ketakutan
dan ketidakpercayaan kesehatan masyarakat dalam pengembangan pemahaman dasar
tentang tanggapan publik terhadap dan setelah wabah epidemi. Penelitian antropologi
kesehatan tentang pendorong ketidakpercayaan publik menginformasikan upaya untuk
meningkatkan komunikasi kesehatan masyarakat, sifat pesan kesehatan masyarakat,
presentasi publik intervensi kesehatan masyarakat, dan peran keterlibatan masyarakat
dalam konteks epidemi penyakit menular (Abramowitz 2014).
Sejumlah perkembangan metodologis dan konseptual dalam kesehatan masyarakat
dalam beberapa tahun terakhir telah menciptakan peluang baru bagi antropologi kesehatan
untuk berperan dalam diskusi dan intervensi kesehatan masyarakat. Di antara
perkembangan baru ini adalah (1) meningkatnya perhatian kesehatan masyarakat dan
medis dengan ketidakadilan kesehatan, (2) semakin diakuinya kebutuhan untuk
meningkatkan kompetensi budaya penyedia layanan kesehatan, (3) munculnya dan
berkembangnya pengaruh penelitian partisipatif berbasis masyarakat. model, (4)
penyebaran penekanan penyandang dana yang meningkat pada intervensi berbasis bukti
dalam kesehatan masyarakat, (5) meningkatnya permintaan untuk penelitian translasi yang
memungkinkan temuan dan pengetahuan yang dihasilkan oleh studi terkait kesehatan untuk
membentuk upaya intervensi kesehatan, dan (6) minat yang meningkat pada apa yang
kemudian disebut pengobatan komplementer dan alternatif. Pada saat yang sama, metode
penelitian yang dikembangkan dalam kajian etnografi cepat antropologi-telah menyebar ke
kesehatan masyarakat, menciptakan peluang tambahan bagi antropologi kesehatan untuk
berdampak pada masalah kesehatan. Masing-masing arena perhatian publik yang semakin
penting ini di mana antropologi kesehatan secara langsung atau tidak langsung telah
memainkan peran dijelaskan selanjutnya.
Ketimpangan atau Disparitas Kesehatan
Ketimpangan atau disparitas kesehatan mengacu pada perbedaan yang signifikan
dalam profil kesehatan (yaitu, distribusi penyakit dan kesejahteraan) di seluruh populasi
manusia, strata sosial seperti kelas sosial, atau segmen lain dari populasi, seperti daerah
pedesaan dibandingkan dengan pengaturan perkotaan. Selain itu, peneliti disparitas
kesehatan prihatin dengan mengapa disparitas kesehatan ada. Di Amerika Serikat,
misalnya, seperti yang diamati oleh Grace Budrys (2003:39), dalam Unequal Health: How

11
Inequality Contributes to Health and Illness, dari sudut pandang kesehatan “berada di
puncak tumpukan [kelas sosial] jauh lebih baik daripada berada di bawah.
Ada ledakan penelitian yang menunjukkan bahwa kelas sosial adalah prediktor
kesehatan yang kuat, dan bisa dibilang paling kuat.” Antropolog kesehatan kritis, misalnya,
telah memeriksa peran yang dimainkan oleh struktur ekonomi (misalnya, kendala upah)
dan perusahaan asuransi kesehatan (misalnya, kemampuan membayar pertanggungan vs.
kebutuhan medis aktual) dalam membatasi kemampuan orang untuk membuat pilihan yang
sehat dalam hidup mereka. (Fletcher 2017).
Penelitian Partisipatif Berbasis Komunitas
Ada berbagai pendekatan untuk meneliti masalah kesehatan pada populasi dan
komunitas tertentu. Dalam “model penelitian sepihak”, peneliti yang berbasis di universitas
atau pusat penelitian merancang proyek penelitian berdasarkan pemahaman mereka
tentang masalah dan pertanyaan kunci. Agenda penelitian dalam pendekatan ini hampir
sepenuhnya jika tidak sepenuhnya ditentukan oleh para peneliti dalam hal konsepsi dan
minat mereka. Setelah proyek sebagian besar dirancang, para peneliti dapat menghubungi
dan mensubkontrakkan dengan organisasi masyarakat untuk merekrut peserta dari
masyarakat yang akan diwawancarai dalam studi yang direncanakan. Seringkali
kekurangan dana, organisasi masyarakat menerima subkontrak tersebut meskipun mereka
mungkin pada saat yang sama tidak memiliki banyak suara dalam merencanakan
penelitian, termasuk pendapat tentang apa yang dari perspektif masyarakat merupakan
masalah kesehatan utama yang membutuhkan penelitian.
Pendekatan lain untuk penelitian disebut "model kolaboratif." Dalam pendekatan ini,
sementara peneliti awalnya membuat konsep penelitian, mereka kemudian menghubungi
satu atau lebih organisasi yang berbasis di komunitas yang menjadi perhatian dan
mengundang mereka untuk berpartisipasi dalam menyempurnakan rincian penelitian.
Sementara organisasi masyarakat berpartisipasi pada tingkat tertentu dalam studi, sebagian
besar arahan proyek, pengambilan keputusan, dan pendanaan masih berpusat di universitas
atau lembaga penelitian. Proyek penelitian sepihak dan kolaboratif sangat umum dan dapat
ditemukan di sebagian besar kampus universitas, sering kali didanai oleh hibah penelitian
federal atau yayasan kesehatan swasta.
Berbeda dengan kedua pendekatan penelitian ini, penelitian partisipatif berbasis
masyarakat (CBPR) didasarkan pada kemitraan penuh antara peneliti dan perwakilan
masyarakat dan organisasi, dari konsepsi proyek hingga penyelesaian, termasuk publikasi
temuan. Penelitian partisipatif berbasis masyarakat tumbuh dari pengakuan bahwa metode

12
penelitian biomedis berbasis populasi tradisional tidak memiliki keterlibatan masyarakat
yang otentik dan sering mengakibatkan keterasingan masyarakat dari penelitian dan
peneliti. Dalam beberapa kasus, peneliti telah didefinisikan sebagai pengeksploitasi
masyarakat daripada sebagai sekutu alami mereka. Akibatnya, dalam proyek-proyek yang
dipandu CBPR, masyarakat memainkan peran kunci dalam menetapkan agenda penelitian.
Dalam hal ini, masyarakat dipandu oleh kebutuhan mendesak mereka akan pengetahuan
khusus yang berhubungan dengan kesehatan, yang dapat digunakan dalam mengatasi
masalah kesehatan masyarakat dan dalam membuat keputusan berkelanjutan tentang arah
penelitian. Ketika konsep CBPR telah berkembang dan nilainya diakui, berbagai upaya
telah dilakukan untuk menetapkan pedoman untuk proyek penelitian partisipatif yang
sukses dan memuaskan.
Antropolog kesehatan telah berkontribusi pada pengembangan orientasi alternatif ini
untuk penelitian. Misalnya, Institute for Community Research di Hartford, Connecticut,
sebuah organisasi berbasis komunitas yang telah dipimpin oleh para antropolog sejak
didirikan, mendirikan Youth Action Research Institute untuk mempromosikan penggunaan
model penelitian tindakan partisipatif di kalangan pemuda. Inti dari pekerjaan institut ini
memiliki proyek yang melibatkan pemuda minoritas dalam penelitian etnografi tentang isu-
isu yang menjadi perhatian kaum muda (misalnya, AIDS dan penyalahgunaan zat),
termasuk masalah kesehatan dan sosial utama yang dihadapi oleh komunitas mereka.
Antropolog melatih kaum muda dalam metode etnografi dan membantu mereka
mengidentifikasi masalah untuk penelitian tindakan. Tujuan dari proyek ini adalah
pertumbuhan pribadi di antara para peserta remaja, pengembangan norma-norma teman
sebaya yang positif, dan penilaian kebutuhan kesehatan masyarakat.
Intervensi Berbasis Bukti Difusi
Ada upaya kuat dalam beberapa tahun terakhir untuk mempercepat pergerakan model
intervensi yang terbukti secara ilmiah (yaitu, berbasis bukti), seperti program pelatihan
untuk membantu orang menghindari penyakit menular. Alih-alih mendanai organisasi
untuk menerapkan model intervensi yang belum dievaluasi, lembaga penyandang dana,
seperti CDC, mulai menekankan penggunaan model yang terbukti efektif. Proyek
Intervensi Perilaku Efektif Difusi CDC, misalnya, telah membantu menerapkan delapan
belas model pencegahan penyakit menular berbasis penelitian yang berbeda melalui
organisasi berbasis komunitas, departemen kesehatan, dan penyedia pencegahan lainnya di
seluruh Amerika Serikat. Ini dirancang untuk populasi tertentu, seperti pengguna narkoba
suntikan, pasangan seksual dan romantis pengguna narkoba suntikan, pria yang

13
berhubungan seks dengan pria, heteroseksual berisiko tinggi, orang yang hidup dengan
infeksi, dan remaja tunawisma dan pelarian. Untuk mempersiapkan organisasi masyarakat
agar berhasil menerapkan model intervensi ini di komunitas mereka masing-masing, para
peneliti atau mereka yang telah dilatih dipanggil untuk memberikan bimbingan dan
bantuan teknis kepada orang-orang garis depan yang akan menggunakan model tersebut
dalam pekerjaan pencegahan sehari-hari.
Penelitian Translasional
Penelitian translasi adalah jenis penelitian khusus yang dilakukan dengan tujuan
meningkatkan aliran pengetahuan dari penelitian menjadi tindakan di bidang kesehatan
masyarakat atau arena intervensi sosial lainnya. Praktisi kesehatan dan pendukung
kebijakan, misalnya, mengeluh bahwa temuan penelitian perilaku lambat dalam
menemukan jalan mereka ke upaya pencegahan publik. Misalnya, antropolog dan orang
lain yang melakukan penelitian etnografi dengan pengguna narkoba suntikan telah
mengamati bahwa mereka terlibat dalam sejumlah perilaku selama konsumsi narkoba yang
dapat menyebabkan infeksi.
Salah satu perilaku ini melibatkan beberapa pengguna narkoba yang mengumpulkan
uang mereka untuk membeli paket obat-obatan terlarang, seperti heroin atau kokain, dan
kemudian mencampurnya dengan air, menggunakan salah satu jarum suntik peserta dan
pengukur unit pada larasnya untuk mengukur hak. jumlah air untuk memungkinkan
distribusi yang sama dari obat terlarut. Jika jarum suntik yang digunakan untuk tujuan ini
mengandung agen infeksi, maka virus dapat dimasukkan ke dalam wadah (seperti tutup
botol) yang digunakan untuk mencampur obat dan dibuat oleh semua orang yang berbagi
obat dari wadah itu. Dengan cara ini, semua individu ini dapat terkena infeksi. Namun,
pemeriksaan terhadap pesan-pesan yang diberikan oleh program-program pencegahan
kepada para pengguna narkoba suntik untuk melindungi diri mereka sendiri, seringkali
hanya mendesak mereka untuk tidak “berbagi jarum suntik”. Karena individu yang berbagi
obat mungkin tidak pernah berbagi jarum suntik, mereka mungkin salah percaya bahwa
mereka terlindungi dari infeksi padahal sebenarnya perilaku lain dalam proses persiapan
dan penggunaan obat menyebabkan penularan penyakit.
Sebagai akibat dari contoh-contoh seperti ini, mereka yang terlibat dalam penelitian
penerjemahan telah mendesak para ilmuwan sosial untuk tidak hanya mempublikasikan
temuan mereka dalam jurnal profesional, yang sebagian besar tidak dibaca secara luas di
luar lingkungan akademik dan penelitian, tetapi juga untuk mengambil langkah-langkah
khusus untuk memastikan bahwa penelitian mereka mudah diakses, relevan untuk, dan

14
dipahami oleh mereka yang bekerja dalam program pencegahan atau yang membuat
keputusan kebijakan kesehatan. Masalah mendasar yang dihadapi intervensi kesehatan
adalah “bagaimana menerjemahkan temuan penelitian untuk praktik yang lebih luas”
(Sloboda, 1998).
Kebutuhan akan pengetahuan yang mudah diakses dan dapat digunakan sangat besar
dalam upaya intervensi yang ditargetkan untuk populasi yang lebih sulit dijangkau dan
lebih sulit dipertahankan dalam program kesehatan masyarakat, tugas yang telah diambil
oleh sejumlah antropolog kesehatan. Pada saat yang sama, model intervensi yang terbukti
efektif di tingkat lokal, jika ingin memiliki dampak yang signifikan terhadap penyakit,
harus ditingkatkan di luar tingkat percontohan. Misalnya, berkaitan dengan program
pencegahan AIDS di Afrika, Binswanger (2000) berpendapat, “Di sebagian besar Afrika,
ada contoh proyek pencegahan, mitigasi, dan perawatan HIV/AIDS yang sangat baik.
Namun, proyek-proyek ini hanya menjangkau sebagian kecil dari populasi. Seperti butik
mahal, mereka hanya tersedia untuk beberapa orang yang beruntung.” Ini juga merupakan
jenis pekerjaan yang sangat sesuai dengan keterampilan dan minat para antropolog
kesehatan karena menerjemahkan kemajuan penelitian terbaru ke dalam komunitas yang
berisiko membutuhkan adaptasi yang bijaksana untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
secara efektif dengan penekanan pada heterogenitas sosial, ekonomi, dan budaya”
(McGarvey, 2009).
Pengobatan Komplementer dan Alternatif
Ada perubahan yang cukup dramatis dalam beberapa tahun terakhir dalam cara
pembuat kebijakan, penyedia layanan kesehatan, dan masyarakat umum memandang
sistem penyembuhan di luar pendekatan biomedis yang dominan. Salah satu indikasi
perubahan ini adalah pembuatan kembali apotek Amerika. Saat ini rak-rak apotek rantai
besar rata-rata di Amerika Serikat dan Australia (walaupun tidak di semua tempat di dunia;
lihat gambar 1.4) dipenuhi dengan obat-obatan alternatif yang dijual bebas, seperti St.
John's wort, echinacea, dan black cohosh, yang di masa lalu hanya dapat ditemukan di toko
makanan kesehatan khusus atau pasar alternatif. Selain itu, pada tahun 1992 Kongres AS
mendirikan Kantor Pengobatan Alternatif, yang pada tahun 1999 menjadi Pusat Nasional
untuk Pengobatan Pelengkap dan Alternatif, salah satu dari dua puluh tujuh lembaga dan
pusat penelitian yang membentuk Institut Kesehatan Nasional.
Misi dari pusat ini adalah untuk mempromosikan eksplorasi ilmiah tentang praktik
penyembuhan nonbiomedis yang menjanjikan dan untuk menyebarkan informasi berbasis
penelitian tentang praktik ini kepada masyarakat dan profesional kesehatan. Sementara

15
beberapa orang berpendapat bahwa minat baru dalam sistem penyembuhan komplementer
dan alternatif didorong, setidaknya sebagian, oleh keinginan untuk menempatkan mereka
di bawah sistem biomedis yang dominan (Baer 2004), jelas telah terjadi perubahan
signifikan dalam cara mereka berada. dilihat dan tempat mereka dalam masyarakat Barat
jika tidak secara global. Kami akan kembali ke masalah pengobatan komplementer dan
alternatif nanti dalam buku ini saat kami mengeksplorasi pendekatan kesehatan alternatif.
Di sini, cukup untuk mengatakan bahwa peningkatan minat pada pengobatan
komplementer dan alternatif bertumpu dan tumbuh dari sejarah panjang studi antropologis
penyembuh nonbiomedis dan pendekatan mereka terhadap pengobatan penyakit.
Penilaian Etnografi Cepat
Pendekatan penilaian etnografi cepat untuk penelitian, yang sekarang telah diadopsi
oleh lembaga promosi kesehatan di seluruh dunia, pertama kali dijelaskan sepenuhnya pada
akhir 1980-an dan awal 1990-an oleh antropolog Susan Scrimshaw dan Elena Hurtado.
Penilaian etnografi cepat dirancang untuk menjembatani kesenjangan antara ilmu
pengetahuan dan praktik dan kebijakan kesehatan masyarakat dengan memungkinkan
pergerakan cepat dari penelitian berbasis masyarakat tentang kesehatan atau masalah sosial
mendesak lainnya ke intervensi berdasarkan temuan penelitian.
Sementara penelitian etnografi secara tradisional merupakan pendekatan padat karya
dan waktu, Scrimshaw mencari metodologi yang akan memanfaatkan wawasan etnografi
jarak dekat dalam komunitas yang menjadi perhatian tanpa memerlukan tahun adat atau
lebih dari perendaman sosial dan dokumentasi ekstensif tentang perilaku dan peristiwa
karakteristik kerja lapangan antropologi tradisional. Pendekatan cepat melakukan ini
dengan mempersiapkan peneliti untuk membangun pengetahuan yang ada dari komunitas
target dan menerapkan beberapa strategi untuk pengembangan hubungan yang cepat,
seperti penggunaan staf lokal untuk mengumpulkan informasi di komunitas mereka sendiri
dan kolaborasi dengan organisasi komunitas lokal, dalam kumpulan data yang sangat
terfokus pada isu dan masalah yang sangat spesifik.
Misalnya, dalam Proyek RARE (Penilaian Cepat, Respons, dan Evaluasi), para
antropolog dan peneliti lain menggunakan kelompok fokus, wawancara penyadapan cepat,
observasi lapangan terkonsentrasi, dan pemetaan sosial untuk mengidentifikasi dan
menggambarkan kesenjangan dalam rangkaian program pencegahan AIDS yang ada dan
layanan di beberapa lusin kota di seluruh Amerika Serikat. Dalam proyek RARE Hartford,
misalnya, tim peneliti, yang terdiri dari orang-orang dari masyarakat setempat yang
dipimpin oleh beberapa antropolog kesehatan berbasis masyarakat, menemukan bahwa

16
perilaku seksual dan penggunaan narkoba pada larut malam (tengah malam hingga 4:00
pagi) tidak ditangani oleh upaya pencegahan AIDS yang ada, yang mengakibatkan
penyebaran HIV yang berkelanjutan di penduduk setempat. Sebagai hasil dari proyek
tersebut, departemen kesehatan kota mulai membutuhkan upaya pencegahan larut malam
oleh beberapa organisasi yang didanainya untuk mencegah penyebaran AIDS di kota. Nilai
metode penelitian cepat telah diakui di bidang lain juga, yang mengarah pada
pengembangan jenis penilaian dan model evaluasi yang dipercepat lainnya, seperti
penilaian cepat pedesaan, epidemiologi cepat, penilaian bencana cepat, dan penilaian cepat
kondisi biomedis. Semua ini menghadirkan arena kerja yang muncul bagi para antropolog
kesehatan.
Manusia - Human

A. Manusia sebagai makhluk budaya


1 Hakikat Manusia sebagai Makhluk Budaya
Manusia adalah salah satu makhluk Tuhan di dunia. Makhluk Tuhan di alam fana
ini terdiri dari empat macam, yaitu alam, tumbuhan, binatang dan manusia. Sifat-sifat
yang memiliki keempat makhluk Tuhan tersebut sebagai berikut:
a. Alam memiliki sifat wujud
b. Tumbuhan memiliki sifat wujud dan hidup
c. Binatang memiliki sifat wujud, hidup dan dibekali nafsu
d. Manusia memiliki sifat wujud, hidup, dibekali nafsu serta akal budi
Akal budi merupakan pemberian sekaligus potensi dalam diri manusia yang tidak
dimiliki makhluk lain. Kelebihan manusia disbanding makhluk lain terletak pada akal
budi. Anugrah Tuhan akan akal budilah yang membedakan manusia dari makhluk lain.
Akal adalah kemampuan berfikir manusia sebagai kodrat alami yang dimiliki. Berfikir
merupakan perbuatan operasional dari akal yang mendorong untuk aktif berbuat demi
kepentingan dan peningkatan hidup manusia. Jadi, fungsi dari akal adalah berfikir.
Karena manusia dianugrahi akal maka manusia dapat berfikir. Kemampuan berfikir
manusia juga digunakan untuk memecahkan masalah-masalah hidup yang
dihadapinya.
Budi berarti akal. Budi berasal dari bahasa Sanskerta budh yang artinya akal. Budi
menurut KBBI merupakan bagian dari kata hati yang berupa paduan akal dan perasaan
sehingga dapat membedakan baik-buruk sesuatu. Budi dapat pula berarti tabiat,
perangai, dan akhlak.

17
Dengan akal budinya manusia mampu menciptakan, mengkreasi, memperlakukan,
memperbarui, memperbaiki, mengembangkan, dan meningkatkan sesuatu yang ada
untuk kepentingan hidup manusia. Contohnya seperti manusia dapat membangun
rumah, membuat alat transportasi, sarana komunikasi, dan lain-lain. Binatang pun bisa
membuat rumah dan mencari makan. Namun, rumah dan makanan suatu jenis binatang
tidak pernah berubah dan berkembang. Rumah burung (sarang) dari dulu sampai
sekarang tetap saja wujudnya, tidak ada pembaharuan dan peningkatan. Manusia
dengan kemampuan akal budinya bisa memperbaharui dan mengembangkan sesuatu
untuk kepentingan hidup.
Kepentingan hidup manusia adalah dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan
hidup. Secara umum, kebutuhan manusia dalam kehidupan dapat dibedakan menjadi
dua. Pertama, kebutuhan yang bersifat kebendaan (sarana-prasarana) atau
jasmani/biologis. Contohnya yaitu makan, minum, bernafas, istirahat, dan seterusnya.
Kedua, kebutuhan yang bersifat rohani atau mental atau psikologi. Seperti kasih
sayang, pujian, perasaan aman, kebebasan dan lain sebagainya.
Abraham Maslow seorang ahli psikologi, berpendapat bahwa kebutuhan manusia
dalam hidup dibagi menjadi 5 tingkatan. Kelima tingkatan tersebut adalah sebagai
berikut:
1) Kebutuhan fisiologis (physiological needs) merupakan kebutuhan dasar, primer,
dan vital. Kebutuhan ini menyangkut fungsi-fungsi biologis dasar dari organisme
manusia, seperti kebutuhan akan makanan, pakaian, tempat tinggal, sembuh dari
sakit, kebutuhan seks, dan sebagainya.
2) Kebutuhan akan rasa aman dan perlindungan (safety and security needs)
merupakan kebutuhan yang menyangkut perasaan, seperti bebas dari rasa takut,
terlindungi dari bahaya dan ancaman penyakit, perang, kemiskinan, kelaparan,
perlakuan tidak adil, dan sebagainya.
3) Kebutuhan social (social needs) merupakan kebutuhan akan dicintai,
diperhitungkan sebagai pribadi, diakui sebagai anggota kelompok, rasa setia
kawan, kerja sama, persahabatan, interaksi dan sebagainya.
4) Kebutuhan akan penghargaan (esteem needs) merupakan kebutuhan dihargainya
kemampuan, kedudukan, jabatan, status, pangkat dan sebagainya.
5) Kebutuhan akan aktualisasi diri (self actualization) merupakan kebutuhan untuk
memaksimalkan penggunaan potensi-potensi, kemampuan, bakat, kreativitas,

18
ekspresi diri, prestasi dan sebagainya.
Menurut Maslow, kebutuhan manusia pertama-tama diawali dari kebutuhan
fisiologis atau paling mendesak, kemudian secara bertahap beralih ke kebutuhan
tingkat di atasnya sampai tingkatan tertinggi, yaitu kebutuhan aktualisasi diri. Beliau
menjelaskan bahwa kita tidak dapat memenuhi kebutuhan kita yang lebih tinggi kalua
kebutuhan yang lebih rendah belum terpenuhi. Dapat diartikan kebutuhan nomor lima
akan diupayakan pemenuhannya kalua kita sudah memenuhi kebutuhan-kebutuhan
sebelumnya. Sehingga, kebutuhan manusia bertingkat dan membentuk hierarki.
Secara hierarkis, tingkatan kebutuhan manusia menurut Maslow dapat
digambarkan dalam bentuk piramida sebagai berikut:

Gambar 1. Piramida Kebutuhan Maslow


Dengan akal budi, manusia tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi
mampu mempertahankan serta meningkatkan derajatnya sebagai makhluk yang tinggi
bila dibandingkan dengan makhluk lain. Manusia tidak sekedar homo tetapi human
(manusia yang manusiawi). Dengan demikian, manusia memiliki dan mampu
mengembangkan sisi kemanusiannya.
Dengan akan budi, manusia mampu menciptakan kebudayaan. Kebudayaan pada
dasarnya yaitu hasil akal budi manusia dalam interaksinya, baik dengan alam maupun
manusia lainnya. Manusia merupakan makhluk yang berbudaya. Manusia adalah
pencipta kebudayaan.
2 Etika dan Estetika Berbudaya
Kata etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos. Secara etimologis, etika adalah
ajaran tentang baik-buruk, yang diterima umum tentang sikap, perbuatan, kewajiban,
dan sebagainya. Etika bisa disamakan artinya dengan moral (mores dalam bahasa
Latin), akhlak, atau kesusila, atau tidak Susila, baik dan buruk. Dalam hal ini, etika

19
termasuk dalam Kawasan nilai, sedangkan nilai etika itu sendiri berkaitan dengan baik
buruk perbuatan manusia.

Namun, etika memiliki makna yang bervariasi dalam Bertens menyebutkan ada
tiga jenis makna etika sebagai berikut:
a. Etika dalam arti nilai-nilai atau norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau
kelompok orang dalam mengatur tingkah laku.
b. Etika dalam arti kumpulan asas atau nilai moral (seperti kode etik).
c. Etika dalam arti ilmu atau ajaran tentang yang baik dan yang buruk (filsafat
moral).
Etika sebagai nilai dan norma etik atau moral berhubungan dengan makna etika
yang pertama. Nilai-nilai etik adalah nilai tentang baik buruk kelakuan manusia. Nilai
etik diwujudkan ke dalam norma etik, norma moral, atau norma kesusilaan.
Norma etik berhubungan dnegan manusia sebagai individu karena menyangkut
kehidupan pribadi. Pendukung norma etik adalah Nurani individu dan bukan manusia
sebagai makhluk social atau sebagai anggota masyarakat yang terorganisir. Norma ini
dapat melengkapi ketidakseimbangan hidup pribadi dan mencegah kegelisahan diri
sendiri.
Norma etik ditujukan kepada umat manusia agar terbentuk kebaikan akhlak
pribadi guna penyempurnaan manusia dan melarang manusia melakukan perbuatan
jahat. Seperti membunuh, berzina, mencuri, dan sebagainya tidak hanya dilarang oleh
norma kepercayaan atau keagamaan saja, tetapi dirasakan juga sebagai bertentangan
dengan (norma) kesusilaan dalam setiap hati nurani manusia. Norma etik hanya
membebani manusia dengan kewajiban-kewajiban saja.
Asal atau sumber norma etik adalah dari manusia sendiri yang bersifat otonom
dan tidak ditujukan kepada sikap lahir, tetapi ditujukan kepada sikap batin manusia.
Batinnya sendirilah yang mengancam perbuatan yang melanggar norma kesusilaan
dengan sanksi. Tidak ada kekuasaan di luar dirinya yang memaksakan sanksi itu.
Kalua terjadi pelanggaran norma etik, misalnya pencurian atau penipuan, maka akan
timbulah dalam hati nurani seorang pelanggar rasa penyesalan, rasa malu, takut dan
merasa bersalah.
Daerah berlakunya norma etik relative universal, meskipun tetap dipengaruhi oleh
ideologi masyarakat pendukungnya. Perilaku membunuh adalah perilaku yang amoral,

20
asusila, atau tidak etis. Pandangan ini bisa diterima oleh orang di mana saja atau
universal. Namun, dalam hal tertentu, perilaku seks bebas bagi masyarakat penganut
kebebasan kemungkinan bukan termasuk perilaku yang amoral. Etika masyarakat
Timur mungkin berbeda dengan etika masyarakat Barat.
Norma etik atau norma moral menjadi acuan manusia dalam berperilaku. Dengan
norma etik, manusia bisa membedakan mana perilaku yang baik dan mana perilaku
yang buruk. Norma etik menjadi semacam das sollen untuk berperilaku baik. Manusia
yang beretika berarti perilaku manusia itu baik sesuai dengan norma-norma etik.
Budaya atau kebudayaan adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Manusia
yang beretika akan menghasilkan budaya yang memiliki nilai-nilai etik pula. Etika
berbudaya mengandung tuntutan/keharusan bahwa budaya yang diciptakan manusia
mengandung nilai-nilai etik yang kurang lebih bersifat universal atau diterima
Sebagian besar orang. Budaya yang memiliki nilai-nilai etik adalah budaya yang
mampu menjaga, mempertahankan, bahkan mampu meningkatkan harkat dan
martabat manusia itu sendiri. Sebaliknya, budaya yang tidak beretika adalah
kebudayaan yang akan merendahkan atau bahkan menghancurkan martabat
kemanusiaan.
Namun demikian, menentukan apakah suatu budaya yang dihasilkan manusia itu
memenuhi nilai-nilai etik ataukah menyimpang dari nilai etika tergantung dari paham
atau ideologi yang diyakini masyarakat pendukung kebudayaa. Hal ini dikarenakan
berlakunya nilai-nilai etik bersifat universal, namun amat dipengaruhi oleh ideologi
masyarakatnya.
Contohnya, budaya perilaku berduaan di jalan antara sepasang pemuda dan
pemudi bahkan bermesraan di hadapan umum. Masyarakat individual menyatakan hal
demikian bukanlah perilaku tidak etis, tetapi akan ada Sebagian orang atau masyarakat
yang berpandangan hal tersebut merupakan penyimpangan etik.
3 Memanusiakan Manusia
Manusia tidak hanya sebatas menjadi homo, tetapi harus meningkatkan diri
menjadi human. Manusia harus memiliki prinsip, nilai, dan rasa kemanusiaan yang
melekat dalam dirinya. Manusia memiliki perikemanusiaan, tetapi binatang tidak bisa
dikatakan memiliki perikebinatangan. Hal ini karena binatang tidak memiliki akal
budi, sedangkan manusia memiliki akal budi yang bisa memunculkan rasa atau
perikemanusiaan. Perikemanusiaan inilah yang mendorong perilaku baik sebagai

21
manusia.
Memanusiakan manusia berarti perilaku manusia untuk senantiasa menghargai
dan menghormati harkat dan derajat manusia lainnya. Selain itu, tidak menindas
sesame, tidak menghardik, tidak bersifat kasar, tidak menyakiti, dan perilaku-perilaku
buruk lainnya. Bagi diri sendiri akan menunjukan harga diri dan nilai luhur pribadinya
sebagai manusia. Sedangkan bagi orang lain akan memberikan rasa percaya, rasa
hormat, kedamaian, dan kesejahteraan hidup.
Sebaliknya, sikap tidak manusiawi terhadap manusia lain hanya akan
merendahkan harga diri dan martabatnya sebagai manusia yang sesungguhnya
makhluk mulia. Sedangkan bagi orang lain sebagai korban Tindakan yang tidak
manusiawi akan menciptakan penderitaan, kesusahan, kekuatan, perasaan dendam,
dan sebagainya. Sejarah membuktikan bahwa perseteruan, pertentangan, dan
peperangan yang terjadi di berbagai belahan dunia disebabkan oleh manusia yang
belum mampu memanusiakan manusia lain, dan sekelompok bangsa menindas bangsa
lain. Penjajahan atau kolonialisme adalah salah satu contoh perilaku suatu bangsa
menindas bangsa lain.
Dewasa ini, perilaku tidak manusiawi dicontohkan dnegan adanya kasus
kekerasan terhadap para pembantu rumah tangga. Misalkan seorang pembantu disiksa,
tidak diberi upahm dikurung dalam rumah. Para majikan telah melakukan Tindakan
yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan.
Sikap dan perilaku memanusiakan manusia didasarkan atas prinsip kemanusiaan
yang disebut the mankind is one. Prinsip kemanusiaan tidak membeda-bedakan kita
dalam memperlakukan orang lain atas dasar warna kulit, suku, agama, ras, asal dan
status social ekonomi. Kita tetap harus manusiawi terhadap orang lain, apa pun latar
belakangnya, karena semua manusia adalah makhluk Tuhan yang sama harkat dan
martabatnya. Perilaku yang manusiawi atau memanusiakan manusia adalah sesuai
dengan kodrat manusia. Sebaliknya, perilaku yang tidak manusiawi bertentangan
dengan hakikat kodrat manusia. Perilaku yang tidak manusiawi pasti akan
mendatangkan kerusakan hidup manusia.
4 Problematika Kebudayaan
Kebudayaan yang diciptakan manusia dalam kelompok dan wilayah yang
berbeda-beda menghasilkan keberagaman kebudayaan. Tiap persekutuan hidup
manusia (masyarakat, suku, dan bangsa) memiliki kebudayaannya sendiri yang

22
berbeda dengan kebudayaan kelompok lain. Kebudayaan yang dimiliki sekolompok
manusia membentuk ciri dan menjadi beda dengan kelompok lain. Dengan demikian,
kebudayaan merupakan identitas dari persekutuan hidup manusia.
Dalam rangka pemenuhan hidupnya manusia akan berinteraksi dengan manusia
lain, masyarakat berhubungan dengan masyarakat lain, demikian pula terjadi
hubungan antarpersekutuan hidup manusia dari waktu ke waktu dan terus berlangsung
sepanjang kehidupan manusia. Kebudayaan yang ada ikut pula mengalami dinamika
seiring dengan dinamika pergaulan hidup manusia sebagai pemilik kebudayaan.
Berkaitan dengan hal tersebut kita mengenal adanya pewarisan kebudayaan,
perubahan kebudayaan, dan penyebaran kebudayaan.

23
B. Manusia sebagai individu dan makhluk sosial
Adapun unsur-unsur hakikat manusia terdiri dari hal-hal berikut:
1. Susunan kodrat manusia terdiri atas raga dan jiwa.
2. Sifat kodrat terdiri atas makhluk individu dan social
3. Kedudukan kodrat terdiri atas makhluk berdiri sendiri dan makhluk Tuhan.
Berdasarkan pembedaan demikian maka manusia sebagai makhluk individu dan makhluk
social adalah hakikat manusia berdasar sifat-sifat kodrat yang melekat pada dirinya.
Berdasarkan unsur hakikat manusia di atas, Notonagoro (1975) mengatakan bahwa sebagai
makhluk individu dan makhluk sosial merupakan sifat kodrat dari manusia. Frans Magnis
Suseno (2001) menyatakan bahwa manusia adalah individu yang secara hakiki bersifat
sosial.
1 Manusia sebagai Makhluk Individu
Individu berasa dari bahasa Latin individuum yang artinya tak terbagi. Kata
individu merupakan sebutan yang dipakai untuk menyatakan satu kesatuan yang paling
kecil dan terbatas. Kata individu bukan berarti manusia secara keseluruhan yang tak
dapat dibagi, melainkan sebagai kesatuan terbatas, yaitu perseorangan manusia,
demikian pendapat Dr. A. Lysen.
Manusia sebagai makhluk individual yang bermakna tidak terbagi atau tidak
terpisahkan antara jiwa dan raga. Secara biologis, manusia lahir dengan kelengkapan
fisik, tidak berbeda dengan makhluk hewanio. Namun, secara rohani ia sangat berbeda
dengan makhluk hewani apapun. Jiwa manusia merupakan satu kesatuan dengan
raganya untuk selanjutnya melakukan aktivitas atau kegiatan. Kegiatan manusia tidak
semata-mata digerakan oleh jasmani, tetapi juga aspek rohani. Manusia mengerahkan
seluruh jiwa raganya untuk berkegiatan dalam hidupnya.
Dalam perkembangannya, manusia sebagai makhluk individu tidak hanya
bermakna kesatuan jiwa dan raga, tetapi akan menjadi pribadi yang khas dengan corak
kepribadiannya, termasuk kemampuan kecakapannya. Dengan demikian, manusia
sebagai individu merupakan pribadi yang terpisah, berbeda dari pribadi lain. Manusia
sebagai makhluk individu adalah manusia sebagai perseorangan yang memiliki sifat
sendiri-sendiri. Manusia sebagai individu adalah bersifat nyata, berbeda dengan
manusia lain dan sebagai pribadi dengan ciri khas tertentu yang berupaya
merealisasikan potensi dirinya.

24
Setiap manusia memiliki perbedaan, hal itu dikarenakan manusia memiliki
karakteristik sendiri. Ia memiliki sifat, watak, keinginan, kebutuhan dan cita-cita yang
berbeda satu sama lainnya. Setiap manusia diciptakan oleh Tuhan dengan ciri dan
karakteristik yang unik satu sama lain berbeda. Oleh karena itu, manusia sebagai
makhluk individu adalah unik. Setiap orang berbeda, bahkan orang yang dikatakan
kembar pun pasti memiliki perbedaan. Jadi, meskipun banyak persamaan hakiki antar
individu tetap tidak ada dua individu yang sama.
2 Manusia sebagai Makhluk Sosial
Manusia sebagai individu nyatanya tidak mampu hidup sendiri. Ia dalam
menjalani kehidupannya akan senantiasa bersama dan bergantung pada manusia
lainnya. Manusia saling membutuhkan dan harus bersosialisasi dengan manusia lain.
Hal ini disebabkan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tidak dapat
memenuhi sendiri. Ia akan bergantung dengan manusia lain membentuk kelompok-
kelompok dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan tujuan hidup. Dalam hal ini,
manusia sebagai individu memasuki kehidupan bersama dengan individu lainnya.
Sejak manusia dilahirkan ia membutuhkan pergaulan dengan orang lain terutama dalam hal
kebutuhan makan dan minum. Pasa usia bayi, manusia sudah menjalin hubungan tertutama
dengan ayah dan ibu, dalam bentuk Gerakan, senyuman dan kata-kata. Pada usia 4 tahun mulai
berhubungan dengan teman-teman sebaya dan melakukan kontak sosial. Pada usia-usia
selanjutnya, dengan norma-norma pergaulan dengan lingkungan yang semakin luas.

TUGAS TERSTRUKTUR
Mahasiswa membuat resume terkait materi yang telah disampaikan

TEST FORMATIF
1. Pengertian anthropologi secara etnologi berasal dari kata anthropos yang berarti...
A. Manusia
B. Budaya
C. Sejarah
D. Ilmu
E. Jiwa
2. Fase-fase perkembangan ilmu anthropologi ada...fase
A. 2
B. 3

25
C. 4
D. 5
E. 1
3. Objek antropologi adalah ….
A. Masyarakat dan sosialnya
B. Masyarakat dan kebudayaannya
C. Perekonomian
D. Komunikasi personal
E. Masyarakat urban
4. Orang yang mendalami ilmu antropologi dan kemudian menjadi ahli dalam ilmu tersebut
disebut sebagai....
A. Peneliti
B. Observer
C. Interviewer
D. Antropolog
E. Guru
5. Pengertian antropologi menurut koentjaraningrat adalah ….
A. Studi mengenal umat manusia yang berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat
tentan manusia dan perilakunya, serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap
tentang keragaman manusia
B. Ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari berbagai
warna, bentuk fisik masyarakat, serta kebudayaan yang dihasilkan
C. Mengkaji dua sisi kehidupan manusia, yaitu sikap manusia sebagai bagian dari hewan
dan manusia sebagai anggota masyarakat
D. Meneliti manusia pada setiap waktu dan setiap dimensi kemanusiaannya dan seluruh
dimensi kemanusiaannya dilihat dari suatu yang itegrasi
E. Ilmu yang lahir dari rasa ingin tahu yang tak terbatas dari umat manusia.
6. Ritual malam satu suro yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa dilakukan setelah magrib.
Salah satu ritual malam satu suro adalah siraman, mandi dengan menggunakan air yang
dicampur dengan kembang setaman. Hal tersebut dilakukan untuk menyucikan diri, hati,
pikiran dan menjaga panca indera dari hal negatif. pernyataan tersebut dapat disimpulkan
adanya peran antropologi adalah….
A. Membantu untuk melestarikan budaya nasional
B. Untuk menahan masuknya budaya asing

26
C. Dapat mengkaji budaya masyarakat setempat
D. Membandingkan budaya lokal dan budaya universal
E. Mendorong berkembangnya budaya lokal
7. Pada saat kita bertemu dengan orang-orang dalam bertutur kata meskipun artinya sama tetapi
pengucapannya berbeda,padahal sama-sama menggunakan bahasa sunda misalnya Orang
Bandung dengan orang Cirebon atau orang Jogjakarta,Solo dengan orang Purwokerto. Hal
ini dapat disimpulkan bahwa….
A. Adanya hubungan antara bahasa daerah dengan bahasa lokal
B. Adanya hubungan karakteristik bahasa daerah dengan bahasa lokal
C. Antara bahasa daerah dengan dialek tidak ada hubungannya
D. Situasi dan kondisi daerah berpengaruh terhadap bahasa
E. Hubungan antara individu dengan dialek yang mereka gemari
8. Anthropologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang....
A. Fosil
B. Artefak
C. Bumi
D. Kajian tentang makluk hidup
E. Manusia serta kebudayaannya
9. Didalam ilmu anthropologi juga mengenal ilmu paleo-anthropologi yaitu ilmu yang...
A. Ilmu yang mempelajari tentang perkembangan dan kebudayaan manusia.
B. Ilmu yang mempelajari tentang kreativitas manusia.
C. Ilmu yang meneliti tentang asal-usul dan evolusi manusia dengan penelitian terhadap
fosil-fosil manusia zaman dulu.
D. Ilmu yang meneliti tentang terjadinya aneka warna manusia dari ciri-ciri tubuh.
E. Ilmu yang mempelajari peran dan status manusia.
10. Ilmu ini mempelajari dan memahami tentang masyarakat dengan melakukan penelitian
yang berhubungan dengan modal, sistem produksi, dll disebut...
A. Antropologi kesehatan
B. Antropologi pembangunan
C. Antropologi ekonomi
D. Antropologi politik
E. Antropologi perkotaan

27
KEGIATAN BELAJAR 2
MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESETARAAN
MANUSIA, NILAI, MORAL DAN HUKUM

ALOKASI WAKTU
100 Menit

CAPAIAN PEMBELAJARAN
Mahasiswa mampu memahami tentang:
1. Manusia, keragaman dan kesetaraan
2. Manusia, nilai, moral dan hukum

UARIAN MATERI
A. Manusia, Keragaman dan Kesetaraan
Manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Diciptakan memiliki
berbagai organ tubuh yang mempunyai fungsi tersendiri, untuk menghadapi segala bentuk
permasalahan yang akan dihadapi oleh manusia. Karena pada hakikatnya manusia tidak
terlepas dari masalah. Jika ada orang yang mengaku tidak mempunyai masalah, maka itulah
masalahnya. Bahkan manusia itu sendiri menjadi masalah bagi manusia.
Manusia merupakan makhluk individu sekaligus makhluk sosial, makhluk yang
diciptakan oleh Tuhan dengan memiliki akal dan perasaan yang saling mengisi, menopang
dan berjalan beriringan. Tersebab akal sehat pulalah, ketika manusia menjalani kehidupan,
pasti memiliki tujuan. Inilah yang menjadi salah satu pembeda, di mana manusia memiliki
akal yang dapat memikirkan sesuatu yang ada dan atau yang terjadi di sekelilingnya.
Isu keragaman dan kesetaraan manusia memang selalu menjadi topik yang menarik
untuk diperbincangkan. Karena secara empiris memang banyak terjadi diskriminasi dan
kesenjangan satu sama lain.
Menurut KBBI, keragaman berasal dari kata 'ragam' yang artinya macam atau jenis.
Keragaman manusia berarti bermacam-macam manusia, baik itu ditinjau dari aspek ras,
gender, suku, bangsa, agama maupun budaya. Keragaman tersebut dipengaruhi oleh faktor
lingkungan yang berbeda di setiap tempat, dan memang kita diciptakan dengan berbagai
perbedaan guna saling mengenal.
Keragaman di dalam masyarakat akan membuat setiap individu belajar menghargai
perbedaan. Dalam suatu lingkup RT saja, mungkin bisa berbeda-beda ras bahkan sampai
Modul Pembelajaran Sosioantropologi
28
sifat dan watak. Di sinilah manusia bisa terdidik secara alami, bagaimana caranya
memahami dan menghargai perbedaan.
Keragaman dan perbedaan bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Sebagai contoh,
perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang memang secara genetik hampir tidak ada
perbedaan antara keduanya, tetapi hakikatnya ada beberapa perbedaan dalam segi fisik
maupun psikologis. Perbedaan itulah yang membuat laki-laki dan perempuan saling
melengkapi bukan malah dipertentangkan.
Berbicara perihal keragaman, tidak akan jauh dengan pembahasan kesetaraan.
Karena di mana ada keragaman di dalam ruang lingkup masyarakat, pasti ingin adanya
kesetaraan yang dijalankan di dalamnya.
Sedangkan kesetaraan menurut KBBI, mempunyai asal kata 'setara' yang berarti
sejajar atau sama tingkatannya. Kesetaraan manusia yang banyak sekali digaungkan,
kesetaraan yang tidak memandang suku, agama, ras, hingga gender. Karena yang
membedakannya adalah tingkat ketakwaan kita kepada Sang Pencipta.
Mayoritas orang yang menyuarakan kesetaraan tetapi alergi terhadap perbedaan.
Mereka ingin kesetaraan, tetapi lupa bahwa setiap orang itu berbeda. Mungkin memang
benar kita harus setara dalam beberapa hal, tetapi tidak semua hal bisa disetarakan.
Pemahaman terhadap kesetaraan harus berjalan beriringan dengan pemahaman
terhadap keragaman. Jika kita memisahkannya, maka tidak akan ada titik temu dalam
kesetaraan sebagaimana yang diinginkan, dengan individu yang beragam latar belakang.
Di samping kesetaraan, juga ada keadilan yang tidak bisa ditinggalkan. Sebab
kesetaraan tanpa keadilan hanya akan menimbulkan banyak permasalahan. Maka dari itu
kita perlu mengetahui sesuatu itu ditempatkan sudah pada tempatnya atau belum.
Kesetaraan itu sudah pada tempat dan waktu yang pas atau tidak.
Keragaman adalah salah satu tanda kekuasaan Sang Pencipta yang Maha Adil.
Karena jika tidak ada perbedaan dan keragaman dunia ini tidak akan berwarna. Tidak akan
mungkin jika semua orang bercorak sama atau mempunyai pikiran yang sama, jika itu
terjadi maka tidaklah adil.
Perbedaan adalah suatu kesempurnaan, jika manusia itu sadar bahwa mereka saling
membutuhkan. Seperti laki-laki dan perempuan yang berasal dari satu, jika salah satu nya
ingin menyamai yang lain dan melawan fitrahnya, maka tidak akan bisa karena masing-
masing mempunyai porsinya sendiri. Maka dari itu tidak semua keragaman bisa
disetarakan. Yang bisa dilakukan disetiap keragaman hanyalah saling melengkapi bukan
berkompetisi untuk menciptakan kesempurnaan.
Modul Pembelajaran Sosioantropologi
29
Permasalahan Dalam Keragaman dan Kesetaraan
Keragaman membutuhkan komunikasi antar budaya Dalam konteks NKRI akibat
dari keragaman tadi ternyata komunikasi antar budaya sangat penting. Komunikasi antar
budaya yang efektif harus memperhatikan 4 syarat yaitu: Pertama, menghormati budaya
lain sebagai manusia, kedua, menghormati budaya lain apa adanya, ketiga, menghormati
hak budaya lain unruk bertindak yang berbeda, keempat, komunikator, harus menyenangi
hidup bersama dengan orang dari budaya lain. (Schram dalam Rahmat 1998).
Hal penting dalam kesetaraan Kesetaraan dalam praktiknya masih terdapat kendala
keikhlasan kelompok mayoritas dalam mengkomodir kesetaraan yang dituntut kelompok
minoritas, termasuk kesetaraan gender dalam kehidupan birokrasi dan politisi yang
memberi porsi 30 % bagi kaum perempuan, tapi dalam kenyataan untuk Indonesia kuota
ini tidak pernah tercapai.
NKRI yang merupakan bagian dari dunia ini merupakan Archipelago State yang
terdiri dari ribuan pulau terdiri atas gugusan pulau besar dan kecil dihuni oleh 336 etnik
dan bahasa, dengan multi Budaya dan multi Agama menuntut dikembangkannya multi
kulturalisme yang dapat mengakomodir warga masyarakat yang minoritas. Keragaman
Etnik, Budaya, Bahasa merupakan potensi Bhineka Tunggal Ila yang telah memiliki Visi
NKRI dalam mewujudkan amanat konstitusi tampak pada Alinea Pembukaan UUD 1945.
Kesetaraan sebagai manusia yang secara kodrati memiliki kesamaan derajat dengan
manusia lain yang sama-sama memiliki peradaban. Multi etnik dan multi kultur merupakan
potensi kuat dalam kerukunan bermasyarakat, sekaligus rentan terhadap « Disintegrasi
Bangsa » jika ada satu kelompok yang mendominasi kelompok lain.
Kesadaran Individu sebagai manusia dapat dengan terbuka menerima manusia lain
yang berbeda dengan mengedepankan Alturisme, toleransi akan mengokohkan integrasi
etnis dalam wadah NKRI. Pengingkaran atas hal tersebut diatas mengarah pada tanda-tanda
runtuhnya suatu negara. Pembinaan nilai keragaman dan kesetaraan sangat tepat dilakukan
melalui proses pendidikan sepanjang hayat.
B. Manusia, Nilai, Moral dan Hukum
Kehidupan manusia tak dapat dipisahkan dengan nilai, moral dan hukum. Bahkan
persoalan kehidupan manusia terjadi ketika tidak ada lagi peran niali, moral dan hukum
dalam kehidupan. Nilai-nilai menjadi landasan sangat penting yang mengatur semua
perilaku manusia. Nilai menjadi sumber kekuatan dalam menegakkan suatu ketertiban dan
keteraturan sosial. Demikian hal, moral sebagai landasan perilaku manusia yang
menjadikan kehidupan berjalan dalam norma-norma kehidupan yang humanis-religius.
Modul Pembelajaran Sosioantropologi
30
Kekuatan hukum menjadi kontrol dalam mengatur keadilan akan hak dan kewajiban setiap
manusia dalam menjalankan peran-peran penting bagi kehidupan manusia. Peran nilai,
moral maupun hukum menjadi bagian penting bagi proses pembentukan karakter suatu
bangsa.
1 Kedudukan Nilai dalam Masyarakat
a. Konsep dan Hakekat Nilai
Perilaku manusia terkait dengan nilai. Bahkan nilai menjadi aspek penting yang
dibutuhkan oleh manusia. Menurut Robert M.Z. Lawang, nilai adalah gambaran
mengenai apa yang diinginkan, yang pantas, yang berharga, yang mempengaruhi
perilaku sosial dari orang yang memiliki nilai itu perilaku sosial dari orang yang
memiliki nilai itu. Sedangkan menurut Pepper, sebagaimana dikutip oleh
Munandar, menyatakan bahwa batasan nilai dapat mengacu pada berbagai hal
seperti minat, kesukaan, pilihan, tugas, kewajiban agama, kebutuhan, keamanan,
keengganan dan hal-hal yang berhubungan dengan perasaan dan orientasi
seleksinya (Irene, 1993:21).
Nilai mempunyai berbagai makna, sehingga sulit untuk menyimpulkan secara
komprehensif makna nilai yang mewakili dari berbagai kepentingan dan berbagai
sudut pandang, tetapi ada kesepakatan yang sama dari berbagai pengertian tentang
nilai yakni berhubungan dengan manusia, dan selanjutnya nilai itu penting. Untuk
melihat sejauhmana variasi pengertian nilai tersebut, terutama yang terkait dengan
pendidikan, di bawah ini ada beberapa definisi yang diharapkan berbagai sudut
pandang (dalam Elly,2007:120).
a) Menurut Cheng (1955): Nilai merupakan sesuatu yang potensial, dalam arti
terdapatnya hubungan yang harmonis dan kreatif, sehingga berfungsi untuk
menyempurnakan manusia, sedangkan kualitas merupakan atribut atau sifat
yang seharusnya dimiliki .
b) Menurut Frakena, nilai dalam filsafat dipakai untuk menunjuk kata benada
abstrak yang artinya “keberhargaan” (worth) atau “kebaikan” (goodness) dan
kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau
melakukan penilaian.
c) Menurut Lasyo, nilai bagi manusia merupakan landasan atau motivasi dalam
segala tingkah laku atau perbuatannya.
d) Menurut Arthur w.Comb, nilai adalah kepercayaan-kepercayaan yang
digeneralisir yang berfungsi sebagai garis pembimbing untuk menyeleksi
Modul Pembelajaran Sosioantropologi
31
tujuan serta perilaku yang akan dipilih untuk dicapai.
e) Menurut John Dewey , value is object of social interest
Sosiologi tidak berbicara tentang nilai itu sendiri, tetapi lebih menekankan
sejauh mana suatu nilai akan mempengaruhi perilaku seseorang dan
hubungannya dengan orang lain (Irene, 1993:21). Menurut Prof. Dr.
Notonegoro, membagi nilai menjadi 3 yakni: Nilai material, yaitu segala
sesuatu yang berguna bagi unsur manusia; Nilai vital, yaitu segala sesuatu
yang berguna bagi manusia untuk mengadakan kegiatan dan aktivitas; Nilai
kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia.
Nilai kerohanian ini dapat dibedakan atas 4 macam yakni: Nilai kebenaran
yang bersumer pada unsur akal; Nilai keindahan yang bersumber pada unsur
rasa indah; Nilai kebaikan atau nilai moral, yang bersumber pada unsur kodrat
manusia; Nilai religius, yang merupakan nilai ketuhanan, kerohanian yang
tertinggi dan mutlak.

Dengan demikian, nilai itu tidak hanya sesuatu yang berwujud benda material
saja, akan tetapi juga sesuatu yang tidak berwujud benda material. Bahkan sesuatu
yang bukan benda material itu dapat menjadi nilai yang sangat tinggi nilainya
(Irene, 1993:21). Nilai rohani tidak dapat diukur dengan menggunakan alat-alat
pengukur (misalnya: meteran, timbangan); tetapi diukur dengan “budi nurani
manusia”. Oleh karena itu, sangatlah sulit dilakukan apalagi kalau perwujudan
budi nurani yang universal (Irene, 1993:22). Bagi manusia nilai dijadikan
landasan, alasan atau motivasi dalam segala perbuatannya. Dalam
pelaksanaannya, nilai-nilai dijabarkan dalam bentuk norma atau ukuran normatif,
sehingga merupakan suatu perintah/keharusan, anjuran atau merupakan larangan,
tidak diinginkan atau celaan. Segala sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran,
keindahan, kebaikan dan sebagainya,diperintahkan/dianjurkan. Sedangkan segala
sesuatu yang sebaliknya (tidak benar, tidak indah, tidak baik dan sebagainya),
dilarang/tidak diinginkan atau dicela. Dari uraian di atas, jelas bahwa nilai
berperan sebagai dasar pedoman yang menentukan kehidupan setiap manusia
(Irene, 1993:22).
Robert M. William (1982) memberikan perumusan yang jelas tentang adanya
empat buah kualitas tentang nilai-nilai, yaitu:
a) Nilai mempunyai sebuah elemen konsepsi yang lebih mendalam
Modul Pembelajaran Sosioantropologi
32
dibandingkan dengan hanya sekedar sensasi, emosi, atau kebutuhan. Dalam
hal ini nilai dianggap sebagai abstraksi yang ditarik dari pengalaman-
pengalaman seseorang.
b) Nilai-nilai menyangkut atau penuh semacam pengertian yang memiliki suatu
aspek emosi.
c) Nilai-nilai bukan merupakan tujuan konkrit dari suatu tindakan, tetapi
mempunyai hubungan dengan tujuan, sebab nilai-nilai sebagai kriteria dalam
memiliki tujuan- tujuan. Seseorang akan berusaha mencapai segala sesuatu
yang menurut pandangannya mempunyai nilai-nilai.
d) Nilai-nilai mempunyai unsur penting, dan tidak dapat disepelekan bagi orang
yang bersangkutan. Dalam kenyataan nilai-nilai berhubungan dengan pilihan,
dan pilihan merupakan prasyarat untuk mengambil suatu tindakan.
Dalam kajian sosiologi, yang dimaksud dengan sistem nilai adalah nilai inti (score
value) dari masyarakat. Nilai inti ini diikuti oleh setiap individu atau kelompok
yang berjumlah besar. Warga masyarakat betul-betul menjunjung tinggi nilai itu
sehingga menjadi salah satu faktor penentu untuk berperilaku. Bahkan menurut
William (1980), sistem nilai itu tidak tersebar secara sembarangan, tetapi
menunjukkan serangkaian hubungan yang bersifat timbal balik, yang menjelaskan
adanya tata tertib di dalam suatu masyarakat.
Adanya sistem nilai budaya yang meresap dan berakar kuat di dalam jiwa
masyarakat, maka akan sulit diganti atau diubah dalam waktu singkat. Mungkin
anda pernah mendengar pepatah “banyak anak banyak rejeki”. Sistem nilai ini
begitu diyakini oleh sebagian besar masyarakat kita dulu, sehingga pelaksanaan
program KB yang menginginkan keluarga kecil bahagia barulah tampak berhasil
sekitar 20 tahun kemudian. Menurut Koentjoroningrat suatu sistem nilai budaya
juga berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia (Irene, 1993:23).
Hakikat adalah unsur yang harus/wajib ada untuk adanya Sesuatu. Sulit dipahami
jika tidak diberi contoh. Misalnya, apa yang membuat kita tahu bahwa benda itu
adalah buku tulis? Yang paling utama adalah adanya kertas, yang kedua yaitu
kertas yang terjilid dengan rapi. Nah kertas itu yang merupakan unsur utama dari
sebuah buku.
Nilai cenderung bersifat tetap, tetapi yang berubah adalah penilaian oleh manusia.
Oleh karena itu tidak tepat dikatakan bahwa ada pergeseran nilai karena nilai tidak
pernah bergeser. Yang bergeser adalah persepsi atau penilaian manusia. Sebagai
Modul Pembelajaran Sosioantropologi
33
contohnya, Vincent Van Gogh adalah seorang pelukis yang dilahirkan di Zundert,
sebuah kota di Belanda selatan pada tanggal 30 Maret 1853. Ia mati bunuh diri
pada tanggal 28 Juli 1890. Kemiskinan dan karya seninya yang tidak diapresiasi
merupakan penyebab kematiannya. Pada saat itu lukisan Van Gogh tidak memiliki
arti apa pun di masyarakat, tetapi seratus tahun kemudian karyanya diagungkan,
contoh lainya untuk lukisan Affandi peluksi dari Indoneia dihargai nilai
lukisannya dengan harga relatif mahal dibandingkan saat ia nasih beliau masih
hidup. Hal tersebut sebagai contoh bahwa nilai tidak berubah tetapi cara manusia
dalam menilai bisa berubah. Coba Anda renungkan dengan mengamati nilai-nilai
yang ada dalam kehidupan masyarakat kita.
b. Hierakhi Kualitas Nilai
Nilai tidak mudah dipahami jika lepas dari konteksnya. Oleh karena itu,
pemahaman tentang nilai bersifat silmultan saja, tetapi harus dipahami secara
holistik dan kontinue , sehingga problem yan akan diatasi atau dikaji
memapaparkan persoalan nilai dalam berbagai dimensinya, sebagaimana
dijelaskan oleh Frondizi memberikan yang melakukan pemilahan terhadap
kualitas sesuatu, yaitu: 1. Kualitas primer: Suatu hal utama yang membuat
kenyataan sesuatu dan sifatnya harus (misalnya: bentuk, wujud, panjang, berat,
tinggi [bisa diindera/material], akal [tidak bisa diindera/immaterial]); 2. Kualitas
sekunder: Sesuatu yang menyertai kenyataan sesuatu (misalnya: warna, rasa, dan
bau); 3. Kualitas tersier: Sesuatu yang tidak dapat ditangkap oleh indera
(misalnya: kharisma, rasa takut, bingung, keanggunan) Ketiga kualitas ini bersatu
menjadi sesuatu yang disebut sebagai Kualitas Gestalt.
Dengan penyatuan tiga kualitas tadi, sesuatu bisa dibedakan, misalnya: mana
orang yang baik hati, mana gitar yang suaranya merdu, mana kasur yang enak
ditiduri, dan sebagainya. Kualitas Gestalt inilah yang menjadi ciri khas setiap
objek. Contoh yang lebih konkrit lagi. Apa yang merupakan Kualitas Gestalt dari
manusia? Pertama-tama harus dipilah dulu kualitasnya: Kualitas primer: manusia
memiliki akal, karsa, dan rasa; Kualitas sekunder: manusia memiliki bentuk, dan
warna sehingga bisa diindera; Kualitas tersier: manusia memiliki kejujuran,
loyalitas, dedikasi, keberanian, dan sebagainya.
c. Norma Sosial
Menurut Robert M.Z. Lawang, norma diartikan patokan perilaku dalam suatu
kelompok tertentu. Norma memungkinkan seseorang untuk menentukan terlebih
Modul Pembelajaran Sosioantropologi
34
dahulu bagaimana tindakannya itu akan dinilai oleh orang lain; dan norma ini
merupakan kriteria bagi orang lain untuk mendukung atau menolak perilaku
seseorang (Irene, 1993:23).
Ada berbagai macam jenis norma sosial, yang tak selamanya mudah diperbedakan
satu sama lain. Oleh karena itu usaha-usaha untuk mengadakan klasifikasi yang
sistematis amatlah sukar. Seperti yang dijelaskan oleh Soetandyo Wignyosoebroto
(1989), bahwa satu di antara usaha-usaha untuk memperbedakan norma-norma
sosial atas dasar jenis sanksi yang mendasari kekuatan berlakunya. Walaupun para
sosiolog mengakui adanya batas yang kurang jelas dari pengklasifikasian norma-
norma sosial ini, akhirnya digolongkannya menjadi antara lain apa yang disebut
“folkways”, “mores” dan “hukum”.
1) Folkways → diartikan dari arti kata-katanya berarti tatacara (=ways) yang
lazim dikerjakan atau diikuti oleh literatur-literatur sosiologi, folkways
dimaksudkan untuk menyebutkan seluruh norma-norma sosial yang terlahir
dari adanya pola-pola tingkah pekerti yang selalu diikuti oleh orang-orang
kebanyakan – di dalam hidup mereka sehari- hari yang dipandang sebagai
hal yang telah terlazim. Walaupun folkways semula hanya merupakan
kebiasaan dan kelaziman belaka (yaitu sesuatu yang terjadi secara berulang-
ulang dan ajeg di dalam realita), maka berangsur-angsur dirasakan adanya
kekuatan yang bersifat standard, yang akhirnya secara normatif wajib
dijalani. Misalnya praktek-praktek penggunaan tata bahasa dan
perbendaharaan bahasa; berapa kali kita makan sehari; cara kita berpakaian;
cara merawat dan membersihkan tubuh; cara mengucapkan salam dan lain
sebagainya.
Dengan adanya folkways sebenarnya mempermudah tugas kita sebagai
warga masyarakat, karena folkways sudah mempersiapkan petunjuk-
petunjuk atau pedoman- pedoman (normatif) yang dibutuhkan oleh
seseorang untuk menentukan cara apakah yang sebaiknya dipilih atau
dikerjakannya. Sebagai contohnya, pada saat anda pergi kuliah akan
berpakaian sopan dan rapi, tapi saat pergi ke pantai anda pun dengan bebas
memakai celana pendek dan kaos. Folkways yang diikuti secara terus –
menerus tidak hanya mempengaruhi kebiasaan-kebiasaan yang bersifat
lahir, akan tetapi dapat juga berpengaruh pada kebiasaan-kebiasaan berpikir.
Setiap warga masyarakat pada akhirnya akan berpikir untuk dapat
Modul Pembelajaran Sosioantropologi
35
mengetahui apa yang harus dilakukan masing-masing warga di dalam
situasi- situasi tertentu. Perasaan aman dan pasti tentu akan dirasakan oleh
masing-masing warga masyarakat, apabila folkways dipakai sebagai norma
yang diterima dan dimengerti oleh warga-warga masyarakat.
Penyimpangan terhadap folkways tentu dapat terjadi pada masyarakat,
misalnya: untuk pergi kuliah tidak lagi berpakaian sopan dan rapi, tapi
memakai kaos singlet dan bersarung. Makan dengan tangan kiri dan
sebagainya. Sebagai sarana pengontrol dan penentu keadaan tertib sosial,
folkways pun memiliki sanksi-sanksi kepada pelanggarnya. Sanksi-sanksi
folkways relatif tidak berat, dan sifatnya tidak formil, seperti misalnya:
berupa ejekan, sindiran, pergunjingan dan olok-olok. Namun demikian,
sanksi-sanksi ini dapatlah bersifat kumulatif jika pelanggaran terhadap
folkways dilakukan secara terus- menerus. Pada akhirnya si pelanggar akan
tersisihkan dari kontak-kontak sosial (Irene, 1993:24).
Folkways biasanya berlaku pada orang di dalam batas-batas tertentu.
Ancaman- ancaman terhadap sanksi pelanggaran-pelanggaran folkways pun
hanya akan datang dari kelompok-kelompok tertentu itu saja. Oleh karena
itu, sanksi-sanksi informil yang mempertahankan folkways seringkali tidak
terbukti tidak efektif kalau ditujukan kepada orang-orang yang tidak
menjadi warga penuh dari kelompok pendukung folkways itu. Seperti
contoh di bawah:
Seorang anak kota yang berdandan “menor” di tengah-tengah desa,
walaupun dipergunjingkan dengan hebat oleh orang-orang sedesa, pastilah
tidak akan merasa sakit hati atau terseinggung. Mengapa hal itu bisa terjadi?
Tidak lain karena si anak kota itu secara fisik memang betul berada di desa,
namun secara mental dan sosial masih menjadi orang kota.
2) Mores → Dibandingkan dengan norma-norma folkways yang biasanya
dipandang kurang penting, maka mores dipandang lebih esensiil bagi
terjaminnya kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, mores selalu
dipertahankan dengan ancaman-ancaman sanksi yang jauh lebih keras.
Pelanggaran terhadap mores selalu disesali dengan sangat, dan orang selalu
berusaha dengan amat kerasnya agar tidak melanggar mores.
Seperti halnya dijelaskan oleh Soetandyo Wignyosoebroto, kesamaan
folkways dan mores terletak pada kenyataan bahwa kedua-duanya tidak
Modul Pembelajaran Sosioantropologi
36
jelas asal-usulnya, terjadinya tidak terencana, dasar eksistensinya tidak
pernah dibantah, dan kelangsungannya, karena didukung oleh tradisi –
relatif amatlah besar. Dijelaskan lebih lanjut, bahwa kesamaan antara
folkways dan mores adalah sanksi-sanksinya bersifat informil dan komunal,
berupa reaksi spontan dari kelompok-kelompok sosial di mana kaedah-
kaedah tersebut hidup. Namun demikian, mores lebih dipandang sebagai
bagian dari hakekat kebenaran, di mana sebagai norma secara moral
dipandang benar.
Mores sering dirumuskan di dalam bentuk yang negatif berupa larangan
keras atau sebagai hal yang dianggap tabu misalnya: larangan perkawinan
antara saudara yang masih berdarah dekat. Larangan melakukan hubungan
suami isteri yang tidak terikat tali perkawinan (berzina). Mores tidak hanya
berupa larangan keras, tetapi juga mengatur perhubungan khusus antara dua
orang tertentu; pada situasi tertentu; misalnya: seorang dokter dan pasien.
Mores juga mengkaidahi secara umum sejumlah perhubungan-
perhubungan sosial di dalam situasi-situasi umum. Sebagai contohnya, kita
diharuskan bersikap jujur, rajin, bertanggung jawab dan sebagainya.
Berkembangnya masyarakat yang semakin heterogen dan kompleks
menjadikan folkways dan mores tidaklah cukup untuk menciptakan keadaan
tertib suatu masyarakat. Pada masyarakat yang agraris dan primitif untuk
menciptakan keadaan tertib cukup dengan folkways dan mores saja. Karena
pada situasi tersebut hubungan antara warga masih saling kenal; jumlah
warga relatif sedikit; dan jarang mengadakan kontak dengan warga dari desa
lain, akibatnya pelanggaran yang dilakukan oleh seorang warga dapat
langsung diketahui dan mendpat perhatian. Namun demikian, adalah suatu
kenyataan bbahwa tidak semua masyarakat dapat menegakkan ketertiban
seperti cara yang dilakukan pada masyarakat yang masih terpencil dan
terisolasi.
Mores memerlukan kekuatan organisasi peradilan agar pentaatannya bisa
dijamin, maka segera itu bisa dipandang sebagai hukum. Sebagai hukum
yang tidak tertulis dapatlah dikatakan sebagai hukum adat. Hukum tertulis
merupakan perkembangan akhir dari bentuk norma-norma sosial yang
bersifat formil. Badan peradilan yang bekerja dengan hukum dari waktu ke
waktu mengalami perkembangan. Suatu organisasi politik yang hanya
Modul Pembelajaran Sosioantropologi
37
mengerjakan fungsi peradilan yakni menegakkan berlakunya kaedah-
kaedah tertulis mulai kewalahan bila harus mengurusi berbagai ragam
pelanggaran yang dilakukan banyak orang. Oleh karena itu, seiring dengan
berlakunya norma hukum ini, bertambah pula fungsi organisasi politik yang
membantu menegakkan hukum dalam menciptakan ketertiban masyarakat,
seperti munculnya fungsi kepolisian.
Walaupun hukum senantiasa berkembang sesuai dengan kebutuhan hidup
bermasyarakat; seperti hukum dagang, hukum pidana, hukum perdata,
hukum perkawinan dan sebagainya; anda perlu ketahui juga bahwa mores
dan folkways masih tetap efektif juga. Karena hukum biasanya dijiwai oleh
semangat dan jiwa mores yang lama, yang mungkin sudah terangkat sebagai
hukum tak tertulis atau pun hukum tertulis. Hukum tertulis merupakan hasil
suatu perencanaan dan pikiran-pikiran yang sadar. Fungsi hukum tertulis
memberikan pelafalan-pelafalan yang lebih tepat dan tegas yang
pelaksanaannya mempunyai kekuatan-kekuatan formal.

TUGAS INDIVIDU
“BERFIKIR KRITIS DAN KREATIF”

1 Coba amati kehidupan di sekitar Anda, jelaskan 3 bentuk perubahan


kebiasaan /perilaku!
2 Jelaskan faktor-faktor penyebab perubahan perilaku tersebut!
3 Pikirkan ide kreatif Anda, agar perubahan perilaku tersebut tidak
merugikan kehidupan masyarakat !

2 Peran Hukum Dalam Masyarakat


Pengertian Hukum → Hukum merupakan aspek penting dalam kehidupan
masyarakat Hukum memiliki pengertian yang bermacam-macam tergantung dari
tempat dan waktu dimana hukum tersebut berlaku. Oleh karena itu pengertian hukum
sangat beragam. Beberapa ahli mengemukakan pendapatnya tentang hukum, sebagai
berikut (Sunarso, 2006: 93-94)
• Prof. Dr. Muchtar Kusumaatmadja, dan Dr. B. Arief Sidharta, SH.menyatakan
bahwa hukum adalah perangkat kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur
kehidupan manusia dalam masyarakat.
• Dr. E. Utrecht, SH,menyatakan bahwa hukum adalah kumpulan peraturan-
peraturan (perintah dan larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan
karena itu harus ditaati oleh masyarakat.
Modul Pembelajaran Sosioantropologi
38
• Menurut Simorangkir, SH, Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat
memaksa, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran
terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan.
• Menurut Mudjiono, SH, Hukum adalah keseluruhan aturan tingkah laku manusia
dalam pergaulan hidup berbangsa dan bernegara, baik tertulis dan tidak tertulis yang
berfungsi memberikan rasa tentram dan akan berakibat diberikannya sanksi bagi
yang melanggarnya.
Pengertian hukum dapat pula dikaji dari berbagai pendapat. Sebagaimana yang
dikemukakan Soerjono Soekanto sebagai berikut:
• Hukum sebagai ilmu, ilmu hukum adalah cabang dari ilmu sosial dan humaniora.
• Hukum sebagai disiplin, pelanggaran terhadap disiplin akan diberi sanksi.
• Hukum sebagai kaedah, yaitu pedoman untuk bertindak.
• Hukum sebagai tata hukum, yaitu kaedah-kaedah yang berlaku pada suatu waktu
dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis.
• Hukum sebagai petugas, menunjuk kepada orang yang diberi tugas menegakkan
hukum.
• Hukum sebagai jalinan nilai-nilai, yaitu tenteng apa yang dianggap baik dan buruk.
Hukum ialah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan
tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan
resmi yang berwajib, pelanggaran-pelanggaran yang dikenai tindakan-tindakan
hukum tertentu. Plato mengartikan bahwa hukum merupakan peraturan-peraturan
yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat. Aristoteles menyatakan
bahwa hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat
masyarakat tetapi juga hakim.
Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dalam hukum
meliputi: a) peraturan dibuat oleh yang berwenang; b) tujuannya mengatur tata; c)
tertib kehidupan masyarakat; d) mempunyai ciri memerintah dan melarang; e) bersifat
memaksa dan ditaati
Dalam kehidupan sosial orang akan mentaati hukum karena dinilai memberikan
kententraman dan ketertiban , serta tidak ingin mendapatkan sanksi ketika orang tidak
lagi mematuhi aturan yang berlaku. Di samping itu, masyarakat menghendakinya
adanya hukum. Dalam hal ini, banyak orang yang tidak menanyakan apakah sesuatu
menjadi hukum/belum. Mereka tidak menghiraukan dan baru merasakan dan

Modul Pembelajaran Sosioantropologi


39
memikirkan apabila telah melanggar hingga merasakan akibat pelanggaran tersebut.
Mereka baru merasakan adanya hukum apabila luas kepentingannya dibatasi oleh
peraturan hukum yang ada. Faktor lainnya, adanya paksaan Karena adanya paksaan
(sanksi) sosial. Orang merasakan malu atau khawatir dituduh sebagai orang yang
asosial apabila orang melanggar suatu kaidah sosial/hukum. Dalam konteks inilah ,
hukum menjadi aspek yang sangat penting dalam mengatur kehidupan manusia.
Fungsi dan Tujuan Hukum
Hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat pada dasarnya memiliki fungsi
dan tujuan. Adapun fungsi hukum adalah : Dua fungsi hukum yang pokok adalah
sebagai kontrol sosial dan sebagai sarana untuk melakukan perubahan masyarakat.
Sebagai sarana kontrol sosial, maka hukum bertugas menjaga agar masyarakat tetap
berada didalam pola-pola tingkah laku yang diterapkan olehnya. Hukum hanya
mempertahankan apa yang telah diterapkan dan diterima di dalam masyarakat.
Sedangkan fungsi hukum sebagi sarana untuk melakukan perubahan masyarakat, maka
hukum bertugas untuk mengerakkan tingkah laku masyarakat kearah timbulnya suatu
keadaan tertentu yang dikehendaki atau di rencanakan. Sedangkan tujuan hukum
adalah untuk menciptakan ketertiban. Ketertiban merupakan suatu syarat utama dari
adanya masyarakat yang teratur. Untuk tercapainya ketereiban tersebut harus ada
kepastian. Karena itu hukum harus mengatur hal yang jelas, baik subyek, obyek,
wilayah berlakunya. Bentuk hukum harus jelas , apakah bentuknya tertulis ataukah
tidak tertulis.
3 Peran Moral Dalam Masyarakat
Pengertian Moral → Moral berasal dari bahasa latin yakni mores kata jamak dari mos
yang berarti adat kebiasaan. Sedangkan dalam bahasa Indonesia moral diartikan
dengan susila. Istilah moral senantiasa mengaku kepada baik buruknya perbuatan
manusia sebagai manusia. Inti pembicaraan tentang moral adalah menyangkut bidang
kehidupan manusia dinilai dari baik buruknya perbutaannya selaku manusia. Norma
moral dijadikan sebagai tolak ukur untuk menetapkan betul salahnya sikap dan
tindakan manusia, baik buruknya sebagai manusia. Untuk memulai membahas hal ini
kita terlebih dahulu harus mengetahui tentang istilah “moral”. Moral memiliki makna
ganda. Makna yang pertama adalah seluruh kaidah dan makna yang kedua adalah nilai
yang berkenaan dengan ikhwal baik atau perbuatan baik manusia.
Banyak perbuatan manusia yang berkaitan dengan baik atau buruk, tetapi tidak semua.
Ada juga perbuatan yan netral dari segi etis. Bila pagi hari saya mengenakan lebih dulu
Modul Pembelajaran Sosioantropologi
40
sepatu kanan dan baru kemudian sepatu kiri, perbuatan itu tidak mempunyai hubungan
dengan baik atau buruk. Boleh saja sebaliknya: sepatu kiri dulu dan kemudian sepatu
kanan.Mungkin cara yang pertama sudah menjadi kebiasaan saya. Mungkin cara itu
lebih baik dari sudut pandang efisiensi atau lebih baik karena cocok dengan motorik
saya, tetapi cara pertama atau cara kedua tidak lebih baik atau buruk dari sudut
pandang moral. Perbuatan itu boleh disebut “amoral”, dalam arti seperti sudah
dijelaskan: tidak mempunyai relevansi etis. Baik dan buruk dalam arti etis seperti
dimaksudkan dalam contoh terakhir ini memainkan peran dalam hidup setiap manusia.
Moralitas merupakan suatu dimensi nyata dalam hidup setiap manusia, baik pada tahap
perorangan maupun pada tahap sosial.
Metode Kholberg adalah sebagai berikut. Mengemukakan sejumlah dilemma khayalan
kepada subyek-subyek penelitian. “Khayalan” dalam arti: kasus-kasus itu tidak terjadi
secara konkret, tapi pada prinsipnya bias terjadi. Dengan cara ini kholberg ingin
mendapat jawaban atas dua pertanyaan: bagaimana anak-anak memecahkan
dilemamoral itu dan alas an-alasan apa dikemukakan untuk membenerkan pemecehan
itu. Pertanyaan pertama menyangkut srtuktur atau brentuknya. Kholberg
mengemukakan bahwa perkembanagan moral seorang anak berlangsung menurut 6
tahap atau fase.(Bertens,1993:80). Tingkat dan tahap pertumbuhan secara garis besar
dapat digambarkan sebagai berikut :
TINGKAT TAHAP PERTUMBUHAN PERASAAN
PERTUMBUHAN
Tingkat Praamoral (0-6 TAHAP 0 →Perbedaaan antara bailk atau
Tahun) buruk belum didasarkan atas
kewibawaaan atau norma-norma
Tingkat Prakonvensional TAHAP 1 → Anak berpegang pada Takut untuk akibat-
(Perhatian khusus akibat kepatuhan dan hukuman. Takut untuk akibat negative dari
perbuatan: hukuman, kekuasaan dan berusaha meghindarkan perbuatan
ganjaran, motif-motif hukuman
lahiriyah dan particular)
TAHAP 2 → Anak mendasarkan diri atas
egoisme naïf yang kadang- kadang
ditandai reaksi timbale balik: do ot des
Tingkat Konvensional TAHAP 3 → orang berpegang pada Rasa bersalah orang
(Perhatian juga untuk keinginan dan persetujuan dari orang lain lain bila tidak
perbuatan: memenuhi mengikuti tuntutan-
Harapan, TAHAP 4 → orang berpegang pada tuntutan lahiriah
Mempertahankan ketertiban moral dengan aturannya sendiri
Ketertiban)
Tingkat TAHAP 5 → orang berpegang pada Penyesalan atau
Pascakonvensional / persetujuan demokratis, kontrak- sosial, penghukuman diri
Tingkat Berprinsip consensus bebas karena tidak
mengikuti
pengertian moral
sendiri

Modul Pembelajaran Sosioantropologi


41
TAHAP 6 → Orang berpegang pada hati
nurani ruhani pribadi, yang ditandai oleh
keniscayaan dan universalitas
Sumber : buku Etika, K, Bertens , Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, h:75-85, 1993
4 Dinamika Penerapan Nilai Moral
1. Obyektivisme Vs Subyektivine
Penerapan maupun penanaman nilai moral tidak mudah dilakukan karena
pemahaman tentang nilai cenderung tidak bisa sama antar indivudu, bahkan
intepretasi terhadap nilai juga dipengaruhi oleh berbagai faktor. Aspek penting
yang terkait dengan nilai adalah adanya objektivisme dan subyektivisme yang
melekat dalam nilai. Objektivisme: merupakan suatu paham yang beranggapan
bahwa keberadaan nilai mendahului penilaian oleh karenanya validitas nilai tidak
tergantung pada subjek yang menilai. Dengan pengertian inilah, maka spesifikasi
nilai menurut objektivisme : Nilai bersifat tetap, mutlak, dan tak terubahkan; Nilai
bukanlah penilaian, melainkan punya posisi sendiri secara objektif.
Ada pun masalah yang dihadapi oleh objektivisme. Pertama, mengalami kesulitan
ketika orang harus memilih satu dari dua atau lebih dari dua hal yang objektif
contohnya: Anda punya satu penawar racun. Anda dan teman anda keracunan,
anda akan bingung karena anda memiliki prinsip harus menolong dan bertahan
hidup. Anda harus mengorbankan salah satunya, objektivisme tidak mengijinkan
hal ini. Oleh sebab itu dalam hal yang darurat objektivisme mengalami kelemahan.
Kedua, dengan nilai memiliki posisinya sendiri maka nilai dilepaskan dari
pengembannya, padahal identifikasi membutuhkan pengembangan. Ketiga,
menghilangkan relasi subjek-objek jadi seolah-olah subjek tidak berguna di sini,
pertanyaan “bagaimana saya bisa membedakan budi dan ani apabila tidak ada
relasi antara subjek-objek?” dapat mewakili dari kelemahan yang ketiga ini.
Subjektivisme: merupakan suatu paham yang beranggapan bahwa keberadaan nilai
tergantung pada kesadaran yang menilai oleh karenanya nilai sama dengan
penilaian. Sesuatu itu bernilai karena ada subjek yang menilai. Dengan pengertian
inilah, atas, maka spesifikasi nilai menurut subjektivisme : Nilai bersifat relatif
Bersifat relatif dikarenakan nilai adalah penilaian, penilaian itu dilakukan oleh
setiap orang dan setiap orang memiliki penilaian yang berbeda. Masalah yang
dihadapi subjektivisme juga tidak kalah menariknya dengan masalah objektivisme.
Pertama, dikarenakan nilai bersifat relatif maka tidak ada pedoman universal yang
harus dijunjung, tidak ada peraturan toh semuanya relatif, oleh karena hal ini maka
Modul Pembelajaran Sosioantropologi
42
subjektivisme bisa mengacaukan segala sesuatu. Kedua, subjektivisme bersikap
netral terhadap pertanyaan seperti ini “apakah saya harus menolong orang lain?”
dan “apakah saya harus menghormati orang tua?” Menurut subjektivisme, bisa
dijawab “iya” mau pun “tidak” karena berdasar atas penilaian subjek saja.
Misalnya subjek adalah seorang yang sudah mapan, dia bisa saja berkata “mengapa
saya harus menghormati orang tua? Padahal saya yang membiayai mereka saat
ini!”.
Dengan adanya perbedaan pemahaman tersebut, pembinaan tentang nilai dapat
menimbulkan perbedaan pada dinamika norma dan perilaku masyarakat. Sebagai
konsekuensinya, dalam kehidupan masyarakatpun konflik nilai terus terjadi dalam
dinamika kehidupan masyarakat.
2. Perbedaan antara Kesopanan dan Moral
Kedua kaidah tersebut memiliki kesamaan yaitu sama – sama diarahkan pada
perbuatan manusia, besifat intersubjektif, dan berkenaan tentang hubungan sesama
manusia. Perbedaannya adalah Kaidah Moral adalah kaidah yang pada akhirnya
mengarah pada jenis kehidupan yang akan dijalani oleh manusia, tidak hanya itu.
Kaidah moral juga memberikan struktur dalam masyarakat. Bagaimana manusia
berbuat baik atau buruk dan setiap orang akan mengenal kaidah dasar tersebut yaitu
kaidah moral. Dan kaidah moral adalah kaidah yang terpenting dari kaidah –
kaidah yang lain. Sementara itu, kaidah kesopanan tumbuh dari kebiasaan yang
berkaitan dengan kemudahan, kepantasan dan bentuk – bentuk dalam pergaulan.
Misalnya kaidah busana. Kaidah ini akan mengalami pergeseran sesuai dengan
perkembangan jaman.

DISKUSI KELOMPOK
“Problem Solving”
1 Berikan contoh minmal 2 contoh tentang pelanggaran hukum di
Indonesia !
2 Jelaaskan dengan diagram “mengapa-mengapa” tentang sebab pokok
terjadinya masalah tersebut !
3 Dengan diagram “bagaimana-bagaimana”, jelaskan solusi Anda
untuk mengatasi masalah tersebut !

5 Peran Nilai Dalam Pemebentukan Karakter


Pengertian Karakter → Karakter adalah „distinctive trait, distinctive quality, moral
strength, the pattern of behavior found in an individual or group‟ (2). Kamus Besar
Bahasa Indonesia belum memasukkan kata karakter, yang ada adalah kata „watak‟
Modul Pembelajaran Sosioantropologi
43
yang diartikan sebagai sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan
tingkah laku, budi pekerti, tabiat. Dalam risalah ini, dipakai pengertian yang pertama,
dalam arti bahwa karakter itu berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi „positif‟,
bukan netral. Jadi, „orang berkarakter‟ adalah orang punya kualitas moral (tertentu)
yang positif. Dengan demikian, pendidikan membangun karakter, secara implisit
mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan
dengan dimensi moral yang positif atau yang baik, bukan negatif atau yang buruk (
Raka, 2007:5).
Karakter merupakan “keseluruhan disposisi kodrati dan disposisi yang telah dikuasai
secara stabil yang mendefinisikan seorang individu dalam keseluruhan tata perilaku
psikisnya yang menjadikannya tipikal dalam cara berpikir dan bertindak. Lebih lanjut
dijelaskan Diana memetakan dua aspek penting dalam diri individu, yaitu kesatuan
(cara bertindak yang koheren) dan stabilitas (kesatuan berkesinambungan dalam kurun
waktu), karena itu ada proses strukturisasi psikologis dalam diri individu yang secara
kodrati sifatnya reaktif terhadap lingkungan. Beberapa kriteria seperti halnya:
stabilitas pola perilaku; kesinambungan dalam waktu; koherensi cara berpikir dalam
bertindak. Hal tersebut telah menarik perhatian serius para pendidik dan pedagogis
untuk memikirkan dalam kerangka proses pendidikan karakter. Dengan demikian,
pendidikan karakter merupakan dinamika pengembangan kemampuan yang
berkesinambungan dalam diri manusia untuk mengadakan internalisasi nilai-nilai
sehingga menghasilkan disposisi aktif, stabil dalam diri individu. Dinamika ini
membuat pertumbuhan individu menjadi semakin utuh. Unsur-unsur ini menjadi
dimensi yang menjiwai proses formasi setiap inividu. Jadi, karakter merupakan sebuah
kondisi dinamis struktur antropologis individu yang tidak hanya sekedar berhenti atas
determininasi kodratinya, melainkan sebuah usaha hidup untuk menjadi semakin
integral mengatasi determinasi alam dalam dirinya semakin proses penyempurnaan
dirinya (Koesoema, 2004:104).
Pendidikan untuk pembangunan karakter pada dasarnya mencakup pengembangan
substansi, proses dan suasana atau lingkungan yang menggugah, mendorong, dan
memudahkan seseorang untuk mengembangkan kebiasaan baik dalam kehidupan
sehari-hari. Kebiasaan ini timbul dan berkembang dengan didasari oleh kesadaran,
keyakinan, kepekaan, dan sikap orang yang bersangkutan. Dengan demikian, karakter
bersifat inside-out, dalam arti bahwa perilaku yang berkembang menjadi kebiasaan
baik ini terjadi karena adanya dorongan dari dalam, bukan karena adanya paksaan dari
Modul Pembelajaran Sosioantropologi
44
luar (Raka,2007:6).
Proses pembangunan karakter pada seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor khas
yang ada pada orang yang bersangkutan yang sering juga disebut faktor bawaan
(nature) dan lingkungan (nurture) di mana orang yang bersangkutan tumbuh dan
berkembang. Namun demikian, perlu diingat bahwa faktor bawaan boleh dikatakan
berada di luar jangkauan masyarakat untuk mempengaruhinya. Hal yang berada dalam
pengaruh kita, sebagai individu maupun bagian dari masyarakat, adalah faktor
lingkungan. Jadi, dalam usaha pengembangan atau pembangunan karakter pada tataran
individu dan masyarakat, fokus perhatian kita adalah pada faktor yang bisa kita
pengaruhi atau lingkungan, yaitu pada pembentukan lingkungan. Dalam pembentukan
lingkungan inilah peran lingkungan pendidikan menjadi sangat penting, bahkan sangat
sentral, karena pada dasarnya karakter adalah kualitas pribadi seseorang yang
terbentuk melalui proses belajar, baik belajar secara formal maupun informal
(Raka,2007:7).
Masalah yang dihadapi dalam mengembangkan karakter adalah kemampuan untuk
tetap menjaga identitas permanen dalam diri manusia yaitu semakin menjadi sempurna
dalam proses penyempurnaan dirinya sebagai manusia. Oleh karena itu, karakter
bukanlah kekuasaan hidup. Karakter dengan demikian tidak dapat dimaknai sekedar
sebagai keinginan untuk mencapai kebahagiaan, ketentraman, kesenangan dll. Yang
lebih merupakan perpanjangan kebutuhan psikologis manusia. Karakter merupakan
ciri dasar melalui mana pribadi itu terarah ke depan dalam membentuk dirinya secara
penuh sebagai manusia apapun pengalaman psikologi yang dimilikinya. Dalam hal ini,
pengembangan karakter merupakan proses yang terjadi secara terus-menerus, karakter
bukan kenyataan melainkan keutuhan perilaku. Karakter bukanlah hasil atau produk
melainkan usaha hidup. Usaha ini akan semakin efektif, ketika manusia melakukan
apa yang menjadi kemampuan yang dimiliki oleh individu (Koesoema,2004:103).
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam proses pendidikan
karakter tidak mudah untuk dibangun pada setiap individu maupun kelompok, karena
dalam prosesnya banyak faktor yang menentukan keberhasilan dalam membentuk
manusia karakter. Kekuatan dalam proses pembentukan karakter sangat ditentukan
oleh realitas sosial yang bersifat subyektif yang dimiliki oleh individu dan realitas
obyektif di luar individu yang mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam
membentuk pribadi yang berkarakter.

Modul Pembelajaran Sosioantropologi


45
Prinsip Untuk Membangun Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter harus dikembangkan secara holistik sehingga hasilnya akan lebih
optimal. Karena dalam membangun manusia yang berkarakter bukan hanya dari
dimensi kognitif saja, tetapi dalam prosesnya harus mampu mengembangkan potensi
manusia. Oleh karena itu, pendidikan karakter harus dirancang secara sistemik dan
holistik agar hasilnya lebih optimal. Sebagaimana dijelaskan oleh Tom Linkona,
bahwa untuk mengembangkan pendidikan karakter perlu memperhatikan sebelas
prinsip agar efektif yakni (2004:53-54):
a) Character education in holds, as astarting philosophical principle, that there are
widely shared pivotelly important, core, ethical values, suach as caring, honesty,
fairnesss, responsibility, and respect for self and other.
b) Character must be comprehensivelly defined to include thinking felling, and
behaviour.
c) Effective character education requires an intentional, proactive, and
comprehensive approach that promotes the core values in all phases of life.
d) The program enviroment must be a carrying communty.
e) To delevelop character children need opportunity for moral action,.
f) Effwctive character education include a meaningfull and challenging curiculum
that respects all learners and helps them succed.
g) Character education sholud strive to develop instrinsic motivation.
h) Staff must become a learning and moral commukity in which all shared
responsibility for character education and attempt to adhere to same core values
that guide chlidren.
i) Character education require moral leadership.
j) Program must be recruit parent and community member as full patners.
k) Evaluation of chararter education sholud asses the program, the staff‟s
functioning as character education and the extent to which are program is effective
children.
Di samping prinsip-prinsip di atas bahwa proses pendidikan karakter tidak hanya untuk
sebuah idealisme saja, tetapi pendidikan karakter memiliki makna dalam membangun
kesejahteraan hidup masyarakat. Sebab itu, pembangunan karakter pada tataran individu
dan tataran masyarakat luas perlu bersifat kontekstual. Artinya, untuk Indonesia, perlu
dirumuskan karakter apa saja yang perlu dikuatkan agar bangsa Indonesia lebih mampu
secepat mungkin meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Modul Pembelajaran Sosioantropologi
46
Paterson dan Seligman, mengidentifikasikan 24 jenis karakter yang baik atau kuat
(character strength). Sementara peringkat karakter CEO IDEAL mengembangkan
beberapa karakter yang menjadi pilihan untuk dibudayakan antara lain adalah: honest,
foward looking, competent, inspiring, intelligent, fair-minded, broad minded, supportive,
straightfoward, dependable, cooperative, determined, imaginative, ambitious, courageous,
caring, mature, loyal, self-controlled, independent (Zuchdi,2009:44).
Namun demikian, sebagaimana dijelaskan oleh Gede Raka dari berbagai jenis karakter,
untuk Indonesia ada lima jenis karakter yang sangat penting dan sangat mendesak
dibangun dan dikuatkan sekarang ini, yaitu: kejujuran, kepercayaan diri, apresiasi terhadap
kebhinnekaan, semangat belajar, dan semangat kerja. Karakter ini sangat diperlukan
sebagai modal dasar untuk memecahkan masalah besar yang menjadi akar dari
kemunduran bangsa Indonesia selama ini, yaitu korupsi, konflik horizontal yang
berkepanjangan, perasaan sebagai bangsa kelas dua, semangat kerja dan semangat belajar
yang rendah (Raka,2007). Diantara kelima jenis karakter tersebut kejujuran sebagai salah
satu karakter yang sangat penting, tetapi justru mulai melemah dalam kehidupan individu
dan masyarakat kita. Padahal, dalam manajemen kejujuran sangat berharga sekali, Nilai
ini dianggap sangat penting dalam berbagai hal dan segala segmen dalam kehidupan. Nilai
ini juga dijadikan salah satu hal kunci sukses seseorang, bahkan selevel CEO sekalipun
nilai ini dianggap yang paling penting. Jika kita melihat formulasi Stephen Covey dalam
buku Speed of Trust tentang Hasil kerja, dia merumuskan bahwa Result (R1) adalah
Initiave (I) dikalikan Execution (E) (R1 = I x E), jika komponen ini kemudian ditambahkan
nilai kejujuran maka proses eksekusi atau pelaksanaan semakin cepat dalam hal ini
formula menjadi R1 = I x E x T (Trust)). Nilai kejujuran merupakan nilai fundamental
yang diakui oleh semua orang sebagai tolak ukur kebaikan seseorang dalam kehidupan
sehari–harinya, bagaimanapun pintarnya, bagaimanapun berwibawa dan bijaksanannya
seseorang jika dia tidak jujur pada akhirnya tidak akan diakui orang sebagai pemimpin
yang baik atau bahkan di cap menjadi manusia yang tidak baik. Untuk itu marilah kita
menjadikan nilai kejujuran menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan. Lebih
lanjut, dalam Learn – Action and Success (TY) (Yasa,2009).
Menghargai kebhinekaan adalah sikap positip yang harus dibangun dalam diri semua
warga Indonesia. Perbedaan bukan sumber konflik tetapi sebagai bagian kekayaan modal
budaya yang seharusnya dapat dikelola sebagai potensi bagi pengembangan karakter
bangsa yang berbudaya. Sikap saling menghargai dan menghormati harus dibangun sejak
usia dini. Pendidikan berbasis budaya harus mulai digalakan kembali dari keluarga,
Modul Pembelajaran Sosioantropologi
47
sekolah dan masyarakat. Negara harus memperhatikan potensi budaya sebagai sumber
kekuatan untuk membangun identitas sosial di tengah percaturan dan kekuatan budaya
global.
Kepercayaan diri adalah sikap positif seorang individu yang memampukan dirinya untuk
mengembangkan penilaian positif baik terhadap diri sendiri maupun terhadap
lingkungan/situasi yang dihadapinya. Hal ini bukan berarti bahwa individu tersebut
mampu dan kompeten melakukan segala sesuatu seorang diri, alias “sakti”. Rasa percaya
diri yang tinggi sebenarnya hanya merujuk pada adanya beberapa aspek dari kehidupan
individu tersebut dimana ia merasa memiliki kompetensi, yakin, mampu dan percaya
bahwa dia bisa – karena didukung oleh pengalaman, potensi aktual, prestasi serta harapan
yang realistik terhadap diri sendiri. Beberapa ciri atau karakteristik individu yang
mempunyai rasa percaya diri yang proporsional, diantaranya adalah (Widoyoko,2009:1-
2): a) Percaya akan kompetensi/kemampuan diri, hingga tidak membutuhkan pujian,
pengakuan, penerimaan, atau pun rasa hormat orang lain; b) Tidak terdorong untuk
menunjukkan sikap konformis demi diterima oleh orang lain atau kelompok; c) Berani
menerima dan menghadapi penolakan orang lain – berani menjadi diri sendiri; d) Punya
pengendalian diri yang baik (tidak moody dan emosinya stabil); e) Memiliki internal locus
of control (memandang keberhasilan atau kegagalan, tergantung dari usaha diri sendiri dan
tidak mudah menyerah pada nasib atau keadaan serta tidak tergantung/mengharapkan
bantuan orang lain; f) Mempunyai cara pandang yang positif terhadap diri sendiri, ornag
lain dan situasi di luar dirinya; g) Memiliki harapan yang realistik terhadap diri sendiri,
sehingga ketika harapan itu tidak terwujud, ia tetap mampu melihat sisi positif dirinya dan
situasi yang terjadi.
Membangun semangat belajar tidak mudah karena banyak faktor yang menurunkan
motivasi belajar. Oleh karena itu, pendidikan perlu untuk memotivasi semangat belajar
dengan cara (Sukmana,2008:2) misalnya: memberi motivasi; menjelaskan tujuan belajar;
menjelaskan manfaat belajar dan memberi kesempatan belajar; menciptakan suasana
bersaing; mencukupi sarana belajar; memberi contoh dan memberikan hadiah dan
memberi hadiah . Dalam kehidupan keluarga, sekolah dan masyarakat perlu dibangun
sebuah konunitas manusia pembelajar yang selalu termotivasi untuk menjadikan belajar
sebagai bagian dari dinamika kehidupannya yang tak pernah berhenti. “Long life
education” perlu dibangun dalam pikiran semua orang Indonesia yang sudah tentu harus
didukung oleh negara dengan memberikan kesempatan bagi semua orang untuk benar-
benar dapat belajar sampai ke jenjang pendidikan yang tertinggi. Semangat belajar tidak
Modul Pembelajaran Sosioantropologi
48
cukup sebagai “slogan”, tetapi yang terpenting adalah dibangun “conditioning” bagi
semua orang untuk senang dan bersemangat untuk belajar.
Semangat bekerja menjadi modal penting bagi pembangunan perekonomian bangsa ini.
Melalui etos kerja dapat dibangun sebuah “spirit” untuk mengembangkan dinamika
ekonomi melalui berbagai cara-cara yang kreatif dan inovatif dalam persaingan industri
dunia. Bangsa Indonesia sudah waktunya menanamkan etos kerja melalui “spirit
kewirausahaan” sehingga setiap orang mempunyai peran untuk berkreasi dan berusaha
kreatif dalam memperbaiki perekonomian yang semakin melemah dalam persaingan
global.
Sosialisasi ke lima jenis karakter ini hendaknya menjadi tema pembangunan pada tataran
nasional dan tidak hanya pada tataran individual saja. Oleh karena itu penerapan
pendidikan karakter bersifat holistik dan kontesktual pada masing-masing tataran
kehidupan harus disosialisaskan. Hal ini sependapat dengan pemikiran Gede Raka bahwa
dalam seluruh substansi, proses, dan iklim pendidikan di Indonesia, secara langsung atau
tidak langsung hendaknya menyampaikan peran yang jelas kepada setiap warga Indonesia,
apapun latar belakang suku, agama, ras dan golongan mereka, bahwa tidak ada bangsa
Indonesia yang sejahtera, berkeadilan dan bermartabat di masa depan tanpa kemampuan
untuk bersatu dan maju bersama dalam kebhinekaan, tanpa kejujuran, tanpa kepercayaan
diri, tanpa belajar dan tanpa kerja keras. Lebih khusus, lagi lima karakter yang paling dasar
yang dibutuhkan untuk menghela kemajuan dan kemakmuran bangsa Indonesia yakni
(Raka,2007): Membangun dan menguatkan kesadaran mengenai akan habisnya dan
rusaknya sumber daya alam di Indoneia.
a) Membangun dan menguatkan kesadaran serta keyakinan bahwa tidak ada keberhasilan
sejati di luar kebijakan.
b) Membangun kesadaran dan keyakinan bahwa kebhinekaan sebagai hal yang kodrati
dan sumber kemajuan.
c) Membangun kesadaran dan menguatkan kayakinan bahwa tidak ada martabat yang
dapat dibangun dengan menadahkan tangan.
d) Menumbuhkan kebanggaan berkontribusi
Kelima modal diatas sudah saatnya menjadi “spirit” bagi bangsa Indonesia dalam
menghadapi tantangan globalisasi yang telah membawa pada kelemahan dan kehancuran
tatanan nilai, sehingga terbangun kembali semangat juang dan nasionalisme baru yang
sangat dibutuhkan untuk bangun dari keterpurukan. Saat ini, tidak cukup dengan modal
ekonomi yang selalu diperjuangkan oleh negara untuk tetap dapat bertahan dalam
Modul Pembelajaran Sosioantropologi
49
mempertahankan keberlangsungan kehidupan masyarakatnya, tetapi yang lebih utama
adalah mengkuatkan modal sosial, modal budaya dan modal intelektual, bahkan modal
maya yang akan mengkuatkan kekuatan modal ekonomi bangsa ini. Saat ini kehidupan
kesejahteraan rakyat masih jauh dari standar kehidupan masyarakat modern, oleh
karenanya sudah saatnya bangsa ini mencermati kembali kekuatan nilai-nilai kehidupan
yang cenderung materialistik, ke arah pengembangan nilai-nilai kehiduapan yang lebih
bermakna.

TUGAS INDIVIDU
“BERFIKIR KRITIS DAN KREATIF”

1 Jelaskan nilai-nilai karakter yang sudah Anda miliki?


2 Jelaskan sikap dan kebiasaan baik yang ingin Anda kembangkan
secara kreatif?
3 Jelaskan sikap dan kebiasaan yang ingin Anda tinggalkan!?
4 Jelaskan problem personal, sosial, akademik yang masih Anda hadapi
sampai saat ini?

6 Pendidikan Karakter Secara Holistik dan Kontesktual


Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa masalah krisis karakter sudah
bersifat struktural, maka pendidikan karakter harus dilakukan secara holistik dan
kontekstual. Secara holistik artinya membangun karakter bangsa Indonesia dimulai
dari keluarga, masyarakat dan negara. Model ini adalah sebuah usaha untuk melakukan
pendidikan karakter secara holistik yang melibatkan aspek “knowledge, felling,
loving, dan acting” (Ratna,2005:2). Sedangkan aspek kontekstual terkait dengan nilai-
nilai pokok yang diperlukan untuk membentuk kekuatan karakter bangsa mulai
diinternalisasikan pada semua tataran nasyarakat. Dengan pendekatan yang
komprehenaif diharapkan dapat menghasilkan perilaku orang yang berkarakter.
Sebagainaba dijelaskan oleh Thomas Lickona (1991) mendefinisikan orang yang
berkarakter sebagai sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral,
yang dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang bak, jujur,
bertanggung jawab, menghormati orang lain serta karakter mulia lainnya. Seperti yang
diungkapkan Aristoteles bahwa karakteristik itu erat kaitannya dengan habit atau
kebiasaan yang dilakukan secara terus - menerus. Jadi konsep yang dibangun dari
model ini adalah habit of the mind, habit of the heart dan habit of the hands
(Ratna,2005:1)

Modul Pembelajaran Sosioantropologi


50
Peran Keluarga Dalam Pendidikan Karakter
Keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi seorang anak untuk tumbuh dan
berkembang. Keluarga merupakan dasar pembantu utama struktur sosial yang lebih
luas, dengan pengertian bahwa lembaga lainnya tergantung pada eksistensinya. Setiap
keluarga mensosialisasi anak-anaknya sesuai dengan kebudayaan masyarakatnya di
mana mereka hidup, akan tetapi keluarga itu sendiri mencerminkan subcultures
tersendiri dalam masyarakat yang lebih luas. Hal ini berhubungan dengan keadaan
geografis, kedudukan sosial, etnis, agama dari masing-masing keluarga yang tidak
selalu sama. Ciri utama dari sebuah keluarga ialah bahwa fungsi utamanya yang dapat
dipisah-pisahkan (Goode, 1983). Fungsi keluarga antara lain (Munandar, 1989):
Pengaturan seksual, Reproduksi, Sosialisasi, Pemeliharaan, Penempatan anak di dalam
masyarakat, Pemuas kebutuhan perseorangan, Kontrol sosial.
Dengan fungsi sosial, keluarga mempunyai peran penting dalam membentuk individu
yang bermoral. Namun demikian, dengan pergeseran fungsi keluarga menyebabkan
merosotnya fungsi keluarga dalam pembinaan nilai moral anak.
Keluarga tidak lagi menjadi tempat anak untuk bercerita dan berbagai pengalaman.
Bahkan ada kecenderungan anak kurang dalam memegang nilai-nilai penting bagi
pembentukan moral anak.
Keluarga sebagai basis pendidikan karakter, maka tidak salah kalau krisis karakter
yang terjadi di Indonesia sekarang ini bisa dilihat sebagai salah satu cerminan gagalnya
pendidikan di keluarga. Korupsi misalnya, bisa dilihat sebagai kegagalan pendidikan
untuk menanamkan dan menguatkan nilai kejujuran dalam keluarga. Orangtua
membangun kehidupannya di atas tindakan yang korup, akan sangat sulit menanamkan
nilai kejujuran pada anak-anaknya. Mereka mungkin tidak menyuruh anaknya agar
menjadi orang yang tidak jujur, namun mereka cenderung tidak akan melihat sikap dan
perilaku jujur dalam kehidupan sebagai salah satu nilai yang sangat penting yang harus
dipertahankan mati- matian. Ini mungkin bisa dijadikan satu penjelasan mengapa
korupsi di Indonesia mengalami alih generasi. Ada pewarisan sikap permisif terhadap
korupsi dari satu generasi ke generasi berikutnya (Raka,2006:5).
Peran Sekolah Dalam Pendidikan Karakter
Sekolah mempunyai peran yang sangat strategis dalam membentuk manusia yang
berkarakter. Di sekolah, guru dan dosen adalah figur yang diharapkan mampu
mendidik anak yang berkarakter, berbudaya, dan bermoral. Guru merupakan teladan
bagi siswa dan memiliki peran yang sangat besar dalam pembentukan karakter siswa.
Modul Pembelajaran Sosioantropologi
51
Peran pendidik sebagai pembentuk generasi muda yang berkarakter sesuai UU Guru
dan Dosen, UU no 14 tahun 2005, guru didefinisikan sebagai pendidik profesional
dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Lebih jauh Slavin
(1994) menjelaskan secara umum bahwa performa mengajar guru meliputi aspek
kemampuan kognitif, keterampilan profesional dan keterampilan sosial. Di samping
itu, Borich (1990) menyebutkan bahwa perilaku mengajar guru yang baik dalam proses
belajar-mengajar di kelas dapat ditandai dengan adanya kemampuan penguasaan
materi pelajaran, kemampuan penyampaian materi pelajaran, keterampilan
pengelolaan kelas, kedisiplinan, antusiasme, kepedulian, dan keramahan, guru
terhadap siswa.
Dalam menghadapi tantangan global, guru atau pendidik menjadi agen transformasi.
Dalam proses transformasi melalui pendidikan formal di sekolah, guru atau dosen
memegang peran yang sangat penting. Menurut Gede Raka, prestasi guru atau dosen
dilihat dari keberhasilannya dalam membantu para peserta didik mentrasformasikan
diri ke tingkat kualitas pribadi yang lebih tinggi atau lebih baik. Hal ini dimaknai
bahwa guru dan dosen tidak hanya sebagai agen transformasi pada tatanan individu
atau peserta didik, namun juga secara bersama-sama dapat berperan sangat besar
dalam sebuah transformasi sebuah masyarakat atau bangsa. Artinya, titik awal dalam
transformasi pembentukan karakter bangsa, maka titik awalnya adalah trasformasi
guru atau transformasi pendidikan.
Sebagai agen tranformasi, guru dan dosen diharapkan memahami dan menerapkan
sebelas prinsip yang minimal diperlukan dalam pendidikan karakter, yang kemudian
disosialisasikan dengan integrated learning dalam proses pembelajaran. Nilai-nilai
yang dibutuhkan dalam pendidikan karakter sebaiknya sudah menyatu dalam diri
seorang pendidik, hal ini dimaksudkan agar sebagai seorang pendidik memiliki
keyakinan baru, bahwa dalam dirinya sangat dituntut untuk benar-benar menjadi orang
yang memiliki karakter yang kuat, sehingga dalam proses transformasi kepada anak
didik dapat menjadi “model” atau “tauladan” sebagai orang yang memiliki karakter.
Ibaratnya pendidik adalah sebuah “lilin”, maka pendidik akan gagal menyalakan “lilin
orang lain /anak didik”, artinya: pendidik akan mengalami kesulitan membentuk
generasi yang berkarakter, jika pendidik belum menjadi manusia berkarakter juga.
Aspek lain yang perlu dimiliki oleh seorang pendidik adalah tetap mengajarkan nilai-
Modul Pembelajaran Sosioantropologi
52
nilai penting yang dibutuhkan dalam proses pendidikan yakni care (kasih sayang),
respect (saling menghormati), responsible (bertanggung jawab), integrity (integritas),
harmony (keseimbangan), resilience (daya tahan atau tangguh), creativity (kreativitas).
Profil guru dan dosen transformasional, yakni pendidik yang memiliki ciri- ciri sebagai
berikut (Raka, 2006:2) : Dapat melihat pekerjaan sebagai guru atau dosen sebagai
panggilan; Tidak memandang siswa atau mahasiswa sebagai deretan gelas kosong ,
tetapi bibit-bibit dengan potensi keunggulan yang beragam; Melihat inti dan fungsi
pendidikan adalah mengembangkan potensi insani untuk kehidupan yang lebih
bermakna; Memandang sekolah sebagai komunitas belajar, bukan mesin; Penuh
kepedulian; Apresiatif; Pembelajar prima; Berintegritas.
Gambaran tentang kualitas guru atau dosen transformasional bukan pekerjaan yang
sulit untuk dilakukan oleh seorang pendidik. Jika dalam diri pendidik muncul suatu
kesadaran yang kuat untuk berkembang menjadi pribadi yang berkarakter kuat yang
sangat dibutuhkan oleh bangsa ini dalam menghasilkan generasi yang bermartabat dan
berkarakter.
Peran Masyarakat dan Media Massa Dalam Pendidikan Karakter
Kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi, salah yang berpengaruh dalam
pembangunan atau sebaliknya juga perusak karakter masyarakat atau bangsa adalah
media massa, khususnya media eletronik, dengan pelaku utamanya adalah televisi.
Peran media, media cetak dan radio dalam pembangunan karakter bangsa telah
dibuktikan secara nyata oleh para pejuang kemerdekaan. Bung Karno, Bung Hatta, Ki
Hajar Dewantoro, melakukan pendidikan bangsa untuk menguatkan karakter bangsa
melalui tulisan-tulisan di surat kabar waktu itu. Bung Karno dan Bung Tomo
mengobarkan semangat perjuangan, keberanian dan persatuan melalui radio. Mereka
dalam keterbatasannya, memanfaatkan secara cerdas dan arif teknologi yang ada pada
saat itu untuk membangun karakter bangsa, terutama sekali: kepercayaan diri bangsa,
keberanian, kesediaan berkorban, dan rasa persatuan. Sayangnya kecerdasan dan
kearifan yang telah ditunjukkan generasi pejuang kemerdekaan dalam memanfaatkan
media massa untuk kepentingan bangsa makin sulit kita temukan sekarang.
Media massa berperan ganda. Di satu sisi memutarkan iklan-iklan layanan masyarakat
atau iklan yang menyentuh hati, di sisi lain menyiarkan acara/sinetron yang justru
malah menampilkan hal-hal negatif, yang akhirnya bukannya dijauhi, malah ditiru oleh
para penontonnya. Media media harus dikontrol oleh negara. Negara memiliki
kewajiban untuk mengontrol segala aktivitas media, agar sesuai dengan tujuan negara
Modul Pembelajaran Sosioantropologi
53
itu sendiri. Perangkat hukumnya harus jelas dan adil. Indonesia sendiri mempunyai
Depkominfo, tapi hanya sekedar mengatur kebijakan frekuensi, hak siar, dsb. Lebih
khusus lagi, ada KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), yang dibentuk lebih independen,
namun diakui pemerintah. KPI diharapkan dapat memfilter aktivitas media (terutama
televisi) agar sesuai dengan tujuan negara, norma, kebudayaan, adat, dan tentunya
agama. Namun sampai saat ini, KPI dirasa masih cukup lemah dalam bertindak
(memfilter), dan maka daripada itu, sangat dibutuhkan (kekuatan) peran serta
masyarakat dalam mengontrol media-media tersebut (Raka,2007)
Dari pengaruh media massa tersebut, maka ke depan perlu dipikirkan kembali fungsi
media massa sebagai media edukasi yang memiliki “cultural of power” dalam
membangun masyarakat yang berkarakter, karena efek media massa sangat kuat dalam
membentuk pola pikir dan pola perilaku masyarakat. Prinsip- prinsip dalam
pendidikan karakter perlu diinternalisasikan dalam program-program yang ditanyakan
oleh media massa, sebagai bentuk tanggung jawab bersama dalam mengatasi krisis
karakter bangsa. Pengelola media massa perlu untuk mengembangkan dirinya sebagai
“agen perubahan” yang mimiliki jiwa yang berkarakter, sehingga seni dan karya yang
dihasilkan dan ditayangkan akan sarat dengan nilai-nilai kebajikan, nilai-nilai
kemanusiaan, nilai-nilai humanis-religius dan dijauhkan dari tayangan yang merusak
moral bangsa, dan “virus-virus” yang melemahkan etos dan budaya kerja.
Peran Negara dalam Pendidikan Karakter
Pembangunan karakter tidak hanya idealism, namun memiliki makna dalam
membangun kesejahteraan hidup bangsa Indonesia. Pembangunan karakter pada
tataran individu dan tataran masyarakat luas perlu dikuatkan agar bangsa Indonesia
lebih mampu cepat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia (Raka,2007:1).
Negara memiliki tanggung jawab moral untuk melakukan pendidikan karakter,
budaya, dan moral bangsa Indonesia. Hal ini seuai dengan prinsip sudah ditetapkan
baik dalam UUD 1945 maupun dalam Undang-Undang Sisdiknas no 20 tahun 2003.
Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan; peningkatan iman dan takwa;
peningkatan akhlak mulia; peningkatan potensi daerah dan lingkungan; tuntutan
pembangunan daerah dan nasional; tuntutan dunia kerja; perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni; agama; dinamika perkembangan global; dan
persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. .
Kekuatan untuk menjalankan amanah UU sangat ditentukan oleh kekuatan hukum. Hal
Modul Pembelajaran Sosioantropologi
54
ini membawa konsekuensi bahwa pembangunan karakter bangsa ini ditentukan oleh
perilaku penegak hukum sebagai penjaga ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara untuk tujuan kesejahteraan, keadilan masyarakat,
ketentraman masyarakat. Oleh karena, para penegak hukum haruslah dipegang oleh
orang-orang yang berkarakter kuat, demikian juga para elite politik, birokrat, teknokrat
yang menjadi menjalankan semua amanah UUD 45 pun haruslah orang-orang terplih
karena memiliki karakter yang kuat dan tangguh sebagai pemimpin rakyat. Sehingga
kedudukan mereka benar-benar kuat sebagai “pejuang bangsa” yang selalu ingin
membawa bangsa ini pada kemajuan dan kesejahteraan.

DISKUSI KELOMPOK
“Problem Solving”

1 Dengan diagram “mengapa-mengapa”, jelaskan 2 sebab pokok


terjadinya krisis di Indonesia?
2 Dengan diagram “bagaimana-bagaimana”, jelaskan solusi terhadap
masalah krisis tersebut?

Nilai mempunyai peran peting dalam kehidupan manusia. Nilai adalah sumber
kekuatasn dalam menegakkan ketertiban dan keteraturan sosial. Norma sebagai
patokan perilaku manusia mengalami perubahan makna , namun demkian secara moral
tetap menjadi landasan bagi perilaku manusia.
Demikian hal, moral sebagai landasan perilaku manusia yang menjadikan kehidupan
berjalan dalam norma-norma kehidupan yang humanis-religius. Kekuatan hukum
menjadi kontrol dalam mengatur keadilan akan hak dan kewajiban setiap manusia
dalam menjalankan peran-peran penting bagi kehidupan manusia. Nilai, norma dan
hukum serta moral adalah landasan pokok yang diperlukan bagi pembentukkan
karakter manusia. Oleh karena itu, proses pembentukan karakter tidak boleh
mengabaikan tekanan nilai dan moral,
Pendidikan karakter dengan pendekatan yang holistik dan kontekstual tidak mudah
diterapkan jika tidak didukung oleh semua warga masyarakat yang pada setiap tataran
kehidupan masyarakat. Keluarga, sekolah dan masyarakat serta negara perlu
menyadari bahwa membangun pendidikan karakter harus menjadi kebutuhan bersama
sehingga bangsa Indonesia memiliki kekuatan untuk mengatasi krisis karakter yang
sudah bersifat dimensional dan struktural.

Modul Pembelajaran Sosioantropologi


55
TUGAS TERSTRUKTUR
Mahasiswa membuat resume terkait materi yang telah disampaikan

TEST FORMATIF
1. Indonesia merupakan Negara majemuk. Kemajemukan yang dimiliki masyarakat
Indonesia hendaknya tetap dijaga. Manfaat dari adanya kemajemukan masyarakat adalah
A. Menjadikan Indonesia sebagai Negara yang terkenal
B. Memperkukuh rasa persatuan dan kesatuan
C. Memberikan dorongan untuk menguasai dunia
D. Membuka peluang untuk menjadi Negara maju
2. Konsep Bhinneka Tunggal Ika memberikan nilai yang besar terhadap kehidupan bangsa
Indonesia. Nilai yang ingin disampaikan melalui semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah
A. Memberikan pemahaman agar bangsa Indonesia bersatu dalam keberagaman
B. Semua orang harus mempunyai konsep yang kuat mengenai bangsa Indonesia
C. Bangsa Indonesia hendaknya dibentuk atas satu kesamaan budaya
D. Bangsa Indonesia harus bisa bersaing dengan bangsa-bangsa lain
3. Manfaat penyelesaian konflik melalui jalur kekeluargaan adalah…..
A. Dilindungi oleh hukum negara
B. Lebih memberikan kepastian hukum
C. Menjaga hubungan baik antar sesama
D. Dapat memberikan efek jera kepada pelaku
4. Sikapyang harus kita hindari agar tercipta toleransi antarumat beragama adalah… .
A. Menghormati hari besar agama lain
B. Mengikuti cara beribadah agama lain
C. Tidak mencampuradukkan ajaran agama
D. Tidak memaksakan agama pada orang lain
5. Usaha untuk dapat mewujudkan kerukunan bisa dilakukan dengan menggunakan dialog
dan kerjasama dengan prinsip kesetaraan, kebersamaan, toleransi dan juga…
A. Saling menghormati satu sama lain.
B. Saling membantu satu suku lain.
C. Saling menolong satu negara lain.
D. Saling mengamati suku sendiri

Modul Pembelajaran Sosioantropologi


56
6. Kondisi lingkungan geografis Indonesia. Lingkungan geografis semacam itu menjadi
sumber adanya keanekaragaman suku, budaya, ras dan golongan Indonesia. Kondisi
geografis yang demikian…
A. Menimbulkan perbedaan dalam kehidupan masyarakat
B. Menimbulkan peradaban dalam kehidupan masyarakat
C. Menimbulkan peradaban kehidupan masyarakat
D. Menimbulkan peradaban bermasyarakat
7. Membiasakan bersahabat dan saling membantu dengan sesama warga yang ada di
lingkungan kita, seperti gotong royong akan dapat memudahkan tercapainya…
A. Persatuan dan kesatuan bangsa.
B. Persatuan Indonesia jaya
C. Perseteruan Indonesia
D. Persatuan antar bangsa
8. Dengan adanya kegiatan pertukaran kesenian daerah tersebut dan memberikan manfaat
bagi bangsa Indonesia, antara lain:
A. Dapat mengurangi prasangka antar suku
B. Dapat saling pengertiaan antar suku bangsa
C. Dapat lebih mudah mencapai persatuan dan kesatuan
D. Dapat menimbulkan rasa kecintaan terhadap tanah air dan bangsa
9. Suku bangsa adalah golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan
kesatuan kebudayaan. Orang-orang yang tergolong dalam satu suku bangsa tertentu,
pastilah mempunyai kesadaran dan identitas diri terhadap kebudayaan suku bangsanya,
misalnya dalam penggunaan bahasa daerah serta…
A. Mencintai kesenian dan adat istiadat
B. Mencintai sesama
C. Mencintai makhluk hidup
D. Mencintai kekasih
10. Keanekaragaman suku, agama, ras, dan antar golongan jangan dijadikan sebagai
perbedaan, tetapi hendaknya dijadikan sebagai…
A. Kekayaan suku
B. Kekayaan pribadi
C. Kekayaan bangsa Indonesia
D. Kekayaan pemerintahan

Modul Pembelajaran Sosioantropologi


57
KEGIATAN BELAJAR 3
MANUSIA, SAINS, TEKNOLOGI DAN SENI
MANUSIA DAN LINGKUNGAN, STATUS SOSIAL DAN DAMPAKNYA

ALOKASI WAKTU
100 Menit

CAPAIAN PEMBELAJARAN
Mahasiswa mampu memahami tentang:
1. Manusia, sains, teknologi dan seni
2. Manusia dan lingkungan, Status sosial dan dampaknya

URAIAN MATERI
A. Makna Manusia, Sains, Teknologi dan Seni
1. Manusia
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna dibandingkan
makhluk ciptaan Allah yang lain. Dikatakan paling sempurna karena manusia dibekali
akal sekaligus nafsu. Meskipun manusia mempunyai nafsu tetapi yang paling berperan
adalah akal. Akal ini bertujuan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk, akal juga sebagai alat untuk berfikir, berhitung, dan berkreasi sehingga kerja
sama antara keduanya sangat diperlukan dalam kehidupan manusia.
2. Sains
Menurut P. Medawar sains dalam istilah Inggris berarti science, berasal dari bahasa
Latin yaitu scientia yang berarti ilmu pengetahuan. Pengertian pengetahuan adalah
sebagai istilah filsafat yang tidak sederhana dan mudah dipahami secara umum karena
memiliki bermacam-macam pandangan serta teori yang melingkupi makna
pengetahuan tersebut. Diantaranya pandangan Aristoteles yang berpandangan bahwa
pengetahuan merupakan sesuatu yang dapat ditangkap melalui indera. Sedangkan
menurut Bacon dan David Home, pengetahuan diartikan sebagai pengalaman indera
dan batin. Tetapi tidak semua ilmu boleh dikatakan sains. Ilmu pengetahuan (sains)
yang sesungguhnya adalah ilmu yang dapat diuji kebenarannya dan dikembangkan
secara bersistem dengan kaidah-kaidah tertentu berdasarkan kebenaran atau kenyataan
yang ada, sehingga pengetahuan yang dipedomani tersebut bisa dipercayai melalui
percobaan secara teori.

58
Permasalahan yang timbul dalam bidang ilmu pengetahuan meliputi arti sumber,
kebenaran pengetahuan, serta sikap ilmuwan sebagai dasar langkah berkelanjutan.
Ilmu pengetahuan mencakup ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial dan
kemanusiaan. Sains memberikan penekanan kepada sumbangan pemikiran manusia
dalam menguasai ilmu pengetahuan itu. Proses mencari kebenaran serta mencari
jawaban atas persoalan-persoalan secara sistematik dinamakan pendekatan saintifik
dan itu menjadi landasan perkembangan teknologi yang menjadi salah satu unsur
terpenting dalam peradaban manusia.
3. Teknologi
Teknologi berasal dari kata techne dan logia, kata Yunani Kuno techne berarti seni
kerajinan. Dari kata techne, kemudian lahirlah perkataan technikos yang berarti orang
yang memiliki keahlian tertentu. Dengan perkembangan keterampilan tersebut
menjadi semakin tetap karena menunjukkan suatu pola, langkah, dan metode yang
pasti. Sehingga keterampilan tersebut menjadi teknik. Diungkapkan Jacques Ellul
dalam tulisannya berjudul The Technological Society tidak mengatakan teknologi
tetapi teknik, meski arti dan maksudnya sama. Teknologi memperlihatkan fenomena
dalam masyarakat sebagai hal inpersonal dan memiliki otonomi mengubah setiap
bidang kehidupan manusia menjadi lingkup teknis. Batasan ini bukan dalam bentuk
teoritis, melainkan perolehan aktivitas masing-masing dan observasi fakta dari apa
yang disebut manusia modern dengan perlengkapan tekniknya. Jadi teknik menurut
Ellul adalah berbagai usaha, metode, dan cara untuk memperoleh hasil yang sudah
distandarisasi dan diperhitungkan sebelumnya.
Dalam kepustakaan, teknologi memiliki berbagai ragam pendapat yang menyatakan
teknologi adalah transformasi kebutuhan (perubaan bentuk dari alam). Teknologi
adalah kenyataan yang diperoleh dari dunia ide. Secara konvensional mencakup
penguasaan dunia fisik dan biologis, tetapi secara luas juga mencakup teknologi sosial
terutama teknologi sosial pembangunan sehingga teknologi itu menjadi metode
sistematis untuk mencapai tujuan insani. Sedangkan teknologi dalam makna subyektif
adalah keseluruhan peralatan dan prosedur yang disempurnakan. Jadi secara umum,
teknologi adalah keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yang
diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia.
4. Seni
Menurut Janet Woll seni adalah produk sosial. Sedangkan menurut Kamus
B.Indonesia, seni adalah keahlian yang membuat karya yang bermutu (dilihat dari segi

59
kehalusannya, keindahannya, dll), seni dapat berupa seni rupa, seni musik dll. Menurut
bahasa ”seni” berarti indah, tetapi menurut istilah ”seni” merupakan suatu manisfestasi
dan pancaran rasa keindahan, pemikiran, kesenangan yang lahir dari dalam diri
seseorang untuk menghasilkan suatu aktiviti.
Wujud dari lahirnya suatu karya seni adalah hasil dari ide-ide para seniman yang
berlandaskan daya imajinasi, pengetahuan, pendidikan dan inspirasi serta tenaga
seniman itu sendiri. Karya seni dapat dituangkan dalam bentuk garis, warna, gerak,
bunyi, kata-kata, bahasa dan rupa bentuk yang bersifat kreatif dan imajinatif dari suatu
kemahiran.
Seni juga merupakan segi batin masyarakat yang juga berfungsi sebagai jembatan
penghubung antar kebudayaan yang beraneka ragam. Karya seni selalu bersifat sosial
karena kehadirannya menggambarkan masyarakat yang berjiwa kreatif, dinamis dan
agung. Memahami seni suatu masyarakat berarti memahami aktivitas penting
masyarakat yang bersangkutan dalam momen yang paling dalam dan kreatif.
B. Peranan Sains, Teknologi, dan Seni bagi Kehidupan Manusia
1. Peran Terhadap Kebutuhan Pokok
❖ Sandang : Salah satu contoh adalah manusia menemukan cara untuk memintal
benang sehingga dihasilkan sehelai kain dan pada saat ini telah ditemukan mesin
pintal modern yang dapat memproduksi kain dalam jumlah besar dalam waktu yang
relativ singkat dengan berbagai variasi warna dan corak.
❖ Pangan : Dibidang pangan saat ini, manusia mampu mendapatkan pangan yang
lebih cepat dengan mempersingkat waktu panen. Ditemukan pula pestisida sebagai
pembasmi hama penyerang tanaman. Sedangkan pada bidang kelautan terdapat alat
bernama up welling untuk mendeteksi ikan yang akan ditangkap.
❖ Papan : Untuk memenuhi kebutuhan pemukiman, saat ini dijumpai gedung-gedung
bertingkat yang membutuhkan pondasi kuat dari beton untuk dapat menopang dan
menahan berat.
2. Peran Terhadap Peningkatan Kesehatan
Saat ini ketika ada orang yang organ tubuhnya sudah tidak dapat berfungsi lagi, maka
upaya cangkok mata, cangkok hati, cangkok ginjal bukan lagi menjadi hal yang aneh.
Bahkan tak jarang pula dilakukan pembuatan organ buatan yaitu alat buatan manusia
yang ditanam di dalam tubuh untuk menggantian bagian-bagian yang sudah tidak
dapat berfungsi lagi.

60
3. Peran Terhadap Penyediaan Energi
Energi adalah kemampuan untuk melakukan kerja. Dengan kemajuan teknologi,
proses pengilangan minyak dan pengolahannya dapat dilakukan lebih efisien.
Disamping itu, ditemukannya alat-alat untuk mengolah potensi alam untuk diubah
menjadi energi juga semakin banyak. Seperti pemanfaatan air, gelombang laut, angin
untuk menggerakkan generator yang dibutuhkan untuk menghasilkan energi.
Disamping itu telah dimanfaatkan pula tenaga matahari sebagai sel surya yang juga
menghasilkan energi. Jadi berbagai upaya manusia untuk penyediaan energi meliputi
pemanfaatan energi matahari, energi panas bumi, energi angin, energi pasang surut,
energi biologis (pemanfaatan sampah) dan energi biomassa.
4. Peran Terhadap Komunikasi dan Transportasi
Sains dan teknologi telah membawa perubahan yaitu kemdahan, kemakmuran, dan
kenyamanan dalam kehidupan. Hal ini meliputi terpenuhinya kebutuhan manusia yang
semakin baik yaitu penemuan teknik modern bidang penerbangan, teknik kimia, teknik
sipil, teknik listrik, dan teknik mekanik yang menghasilkan bahan-bahan dasar untuk
industri, mesin-mesin yang sangat komplek, pesawat terbang yang canggih dan lain
sebagainya.
Demikian pula pendayagunaan sumber daya alam menjadi semakin optimal dengan
ditemukannya formula pupuk yang tepat yang digunakan tanaman untuk pencegahan
dari hama. Serta pengembangan industri pengolahannya.
Transportasi dan kominikasi juga semakin mudah, serta berpengaruh bagi sumber daya
manusia adalah semain menaikkan kualitas sumber daya manusia dimana ketrampilan
dan kecerdasannya meningkat.
C. Manusia sebagai Subyek dan Obyek bagi Sains, Teknologi dan Seni.
Berkat kemajuan ilmu dan teknologi manusia dapat menciptakan alat-alat serta
perlengkapan yang canggih untuk berbagai kegiatan, sehingga dalam kegiatan
kehidupannya tersedia bebagai kemudahan. Hal ini memungkinkan manusia dapat
melakukan kegiatan lebih efektif dan efisien. Dengan ilmu dan teknologi tumbuhlah
berbagai industri yang hasilnya dapat memanfaatkan dalam berbagai bidang, antara lain:
1. Dalam bidang pertanian, peternakan, dan perikanan.
Mampu menciptakan alat pertanian yang maju seperti, traktor, alat pemotong, dan
penanam, alat pengolah hasil pertanian, dan alat penyemprot hama. Dengan alat-alat
tersebut diharapkan manusia dapat menggunakan waktu dan tenaga lebih efektif dan
efisien.

61
❖ Produksi pupuk buatan dapat membantu menyuburkan tanah, demikian juga dengan
produksi pestisida dapat memungkinkan pemberantasan hama lebih berhasil,
sehingga produksi pangan dapat ditingkatkan.
❖ Tenik-teknik pemuliaan dapat meningkatkan produksi pangan. Dengan teknik
pemuliaan yang semakin canggih dapat ditemukan bibit unggul jenis padi VUTW
(Variates Unggul Tahan Wereng), kelapa hibrida, ayam ras, ayam broiler, sapi perah
dan bermacam-macam jenis unggul lainnya.
❖ Teknik mutasi buatan dapt menghasilkan buah-buahan dan besar tidak berbiji.
❖ Teknologi pengolahan pascapanen, seperti pengalengan ikan, buah-buahan, daging,
dan teknik pengolahan lainnya.
❖ Budi daya hewan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan manusia.
2. Dalam bidang telekomunikasi
Manusia telah menbuat televise, radio, telepon yang dapat digunakan untuk
berkomunikasi dengan cepat dalam waktu yang singkat manusia dapat memperoleh
informasi dari dari daerah yang sangat jauh, sehingga pengguanaan waktu sangat
efisien.
3. Dalam bidang kedokteran dan kesehatan
Dengan hasilnya manusia menciptakan alat-alat operasi mutakhir, bermacam-macam
obat, penggunaan benda radio aktif untuk pengobatan dan mendiagnosis berbagai
penyakit, sehingga berbagai penyakit dapat dengan segera disembuhkan. Dan dapat
menurunkan angka kematian dan moralitas. Contoh obat yang mengandung unsur
radioaktif adalah isoniazid yang mengandung c radioaktif, sangat efektif dan
menyembuhkan penyakit TBC.
4. Dalam bidang pertahanan dan keamanan
Manusia telah mampu menciptakan alat atau persenjataan yang sangat canggih,
sehingga dapat mempertahankan keamanan wilayahnya dengan baik.
D. Perkembangan Sains, Teknologi dan Seni.
Perkembangan dunia IPTEK yang demikian pesatnya telah membawa manfaat luar biasa
bagi kemajuan peradaban umat manusia. Jenis-jenis pekerjaan yang sebelumnya menuntut
kemampuan fisik cukup besar, kini relatif sudah bisa digantikan oleh perangkat mesin-
mesin otomatis. Sistem kerja robotis telah mengalihfungsikan tenaga otot manusia dengan
pembesaran dan percepatan yang menakjubkan.
Begitupun dengan telah ditemukannya formulasi-formulasi baru aneka kapasitas komputer,
seolah sudah mampu menggeser posisi kemampuan otak manusia dalam berbagai bidang

62
ilmu dan aktivitas manusia. Ringkas kata, kemajuan iptek yang telah kita capai sekarang
benar-benar telah diakui dan dirasakan memberikan banyak kemudahan dan kenyamanan
bagi kehidupan umat manusia. Bagi masyarakat sekarang, iptek sudah merupakan suatu
religion. Pengembangan iptek dianggap sebagai solusi dari permasalahan yang ada.
Sementara orang bahkan memuja iptek sebagai liberator yang akan membebaskan mereka
dari kungkungan kefanaan dunia. Iptek diyakini akan memberi umat manusia kesehatan,
kebahagiaan dan imortalitas. Sumbangan iptek terhadap peradaban dan kesejahteraan
manusia tidaklah dapat dipungkiri. Namun manusia tidak bisa pula menipu diri akan
kenyataan bahwa iptek mendatangkan malapetaka dan kesengsaraan bagi manusia. Dalam
peradaban modern yang muda, terlalu sering manusia terhenyak oleh disilusi dari dampak
negatif iptek terhadap kehidupan umat manusia. Kalaupun iptek mampu mengungkap
semua tabir rahasia alam dan kehidupan, tidak berarti iptek sinonim dengan kebenaran.
Sebab iptek hanya mampu menampilkan kenyataan. Kebenaran yang manusiawi haruslah
lebih dari sekedar kenyataan obyektif. Kebenaran harus mencakup pula unsur keadilan.
Kemajuan teknologi adalah sesuatu yang tidak bisa kita hindari dalam kehidupan ini,
karena kemajuan teknologi akan berjalan sesuai dengan kemajuanm ilmu pengetahuan.
Setiap inovasi diciptakan untuk memberikan manfaat positif bagi kehidupan manusia.
Memberikan banyak kemudahan, serta sebagai cara baru dalam melakukan aktifitas
manusia. Khusus dalam bidang teknologi masyarakat sudah menikmati banyak manfaat
yang dibawa oleh inovasi-inovasi yang telah dihasilkan dalam dekade terakhir ini. Namun
demikian, walaupun pada awalnya diciptakan untuk menghasilkan manfaat positif, di sisi
lain juga juga memungkinkan digunakan untuk hal negatif.
E. Problematika Pengembangan Sains, Teknologi, dan Seni
Kemajuan teknologi adalah sesuatu yang tidak dapat kita hindari dalam kehidupan ini,
karena kemajuan teknologi akan berjalan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan.
Setiap inovasi diciptakan untuk memberikan manfaat positif bagi kehidupan manusia.
Memberikan banyak kemudahan, serta sebagai cara baru dalam melakukan aktifitas
manusia. Khusus dalam bidang teknologi masyarakat sudah menikmati banyak manfaat
yang dibawa oleh inovasi-inovasi yang telah dihasilkan dalam dekade terakhir ini. Namun
demikian, walaupun pada awalnya diciptakan untuk menghasilkan manfaat positif, di sisi
lain juga memungkinkan digunakan untuk hal negatif.
Arus informasi yang berkembang cepat menumbuhkan cakrawala pandangan man usia
makin terbuka luas. Teknologi yang sebenarnya merupakan alat bantu/ekstensi
kemampuan diri manusia, dewasa ini telah menjadi sebuah kekuatan otonom yang justru

63
'membelenggu' perilaku dan gaya hidup kita sendiri. Akibatnya rasa tanggung jawab sudah
pudar terhadap budaya. Masyarakat tidak lagi peduli dengan budayanya. Dengan daya
pengaruhnya yang sangat besar, karena ditopang pula oleh sistem-sistem sosial yang kuat,
dan dalam kecepatan yang makin tinggi, teknologi telah menjadi pengarah hidup manusia.
Perubahan cepat dalam teknologi informasi telah merubah budaya sebagian besar
masyarakat dunia, terutama yang tinggal di perkotaan, perubahan budaya lokal dan sosial
akibat revolusi informasi merupakan kelompok masyarakat yang langsung terkena
pengaruh budaya global.
Media elektronik, khususnya TV yang selalu menayangkan kebudayaan luar, hal ini
dengan mudah mengubah pola pikir masyarakat khususnya para generasi muda. Mereka
cenderung melupakan kebudayaan sendiri dan beralih ke budaya luar.
F. Dampak Positif dan Negative Teknologi
1. Bidang Informasi dan komunikasi.
Dalam bidang informasi dan komunikasi telah terjadi kemajuan yang sangat pesat.
Dari kemajuan dapat kita rasakan dampak positipnya antara lain:
a. Kita akan lebih cepat mendapatkan informasi-informasi yang akurat dan terbaru
di bumi bagian manapun melalui internet
b. Kita dapat berkomunikasi dengan teman, maupun keluarga yang sangat jauh
hanya dengan melalui handphone
c. Kita mendapatkan layanan bank yang dengan sangat mudah, dll.
Disamping keuntungan-keuntungan yang kita peroleh ternyata kemajuan kemajuan
teknologi tersebut dimanfaatkan juga untuk hal-hal yang negatif, antara lain:
a. Pemanfaatan jasa komunikasi oleh jaringan teroris (Kompas)
Penggunaan informasi tertentu dan situs tertentu yang terdapat di internet yang
bisa disalah gunakan fihak tertentu untuk tujuan tertentu
b. Kerahasiaan alat tes semakin terancam Melalui internet kita dapat memperoleh
informasi tentang tes psikologi, dan bahkan dapat memperoleh layanan tes
psikologi secara langsung dari internet.
c. Kecemasan teknologi Selain itu ada kecemasan skala kecil akibat teknologi
komputer. Kerusakan komputer karena terserang virus, kehilangan berbagai file
penting dalam komputer inilah beberapa contoh stres yang terjadi karena
teknologi. Rusaknya modem internet karena disambar petir.

64
2. Bidang Ekonomi dan Industri
Dalam bidang ekonomi teknologi berkembang sangat pesat. Dari kemajuan teknologi
dapat kita rasakan manfaat positifnya antara lain:
a. Pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi
b. Terjadinya industrialisasi
c. Produktifitas dunia industri semakin meningkat Kemajuan teknologi akan
meningkatkan kemampuan produktivitas dunia industri baik dari aspek
teknologi industri maupun pada aspek jenis produksi. Investasi dan reinvestasi
yang berlangsung secara besar-besaran yang akan semakin meningkatkan
produktivitas dunia ekonomi. Di masa depan, dampak perkembangan teknologi
di dunia industri akan semakin penting. Tanda-tanda telah menunjukkan bahwa
akan segera muncul teknologi bisnis yang memungkinkan konsumen secara
individual melakukan kontak langsung dengan pabrik sehingga pelayanan dapat
dilaksanakan secara langsung dan selera individu dapat dipenuhi, dan yang lebih
penting konsumen tidak perlu pergi ke toko.
a. Persaingan dalam dunia kerja sehingga menuntut pekerja untuk selalu
menambah skill dan pengetahuan yang dimiliki. Kecenderungan perkembangan
teknologi dan ekonomi, akan berdampak pada penyerapan tenaga kerja dan
kualifikasi tenaga kerja yang diperlukan. Kualifikasi tenaga kerja dan jumlah
tenaga kerja yang dibutuhkan akan mengalami perubahan yang cepat.
Akibatnya, pendidikan yang diperlukan adalah pendidikan yang menghasilkan
tenaga kerja yang mampu mentransformasikan pengetahuan dan skill sesuai
dengan tuntutan kebutuhan tenaga kerja yang berubah tersebut.
b. Di bidang kedokteran dan kemajauan ekonomi mampu menjadikan produk
kedokteran menjadi komoditi.
Meskipun demikian ada pula dampak negatifnya antara lain :
a. Terjadinya pengangguran bagi tenaga kerja yang tidak mempunyai kualifikasi
yang sesuai dengan yang dibutuhkan.
b. Sifat konsumtif sebagai akibat kompetisi yang ketat pada era globalisasi akan
juga melahirkan generasi yang secara moral mengalami kemerosotan:
konsumtif, boros dan memiliki jalan pintas yang bermental “instant”.
3. Bidang Pendidikan
Teknologi mempunyai peran yang sangat penting dalam bidang pendidikan antara lain:

65
a. Munculnya media massa, khususnya media elektronik sebagai sumber ilmu dan
pusat pendidikan. Dampak dari hal ini adalah guru bukannya satu-satunya sumber
ilmu pengetahuan.
b. Munculnya metode-metode pembelajaran yang baru, yang memudahkan siswa
dan guru dalam proses pembelajaran. Dengan kemajuan teknologi terciptalah
metode-metode baru yang membuat siswa mampu memahami materi-materi yang
abstrak, karena materi tersebut dengan bantuan teknologi bisa dibuat abstrak.
c. Sistem pembelajaran tidak harus melalui tatap muka. Dengan kemajuan teknologi
proses pembelajaran tidak harus mempertemukan siswa dengan guru, tetapi bisa
juga menggunakan jasa pos internet dan lain-lain.
Disamping itu juga muncul dampak negatif dalam proses pendidikan antara lain:
a. Kerahasiaan alat tes semakin terancam Program tes inteligensi seperti tes Raven,
Differential Aptitudes Test dapat diakses melalui compact disk.. Implikasi dari
permasalahan ini adalah, tes psikologi yang ada akan mudah sekali bocor, dan
pengembangan tes psikologi harus berpacu dengan kecepatan pembocoran
melalui internet tersebut.
b. Penyalahgunaan pengetahuan bagi orang-orang tertentu untuk melakukan tindak
kriminal. Kita tahu bahwa kemajuan di badang pendidikan juga mencetak generasi
yang berepngetahuan tinggi tetapi mempunyai moral yang rendah. Contonya
dengan ilmu komputer yang tingi maka orang akan berusaha menerobos sistem
perbangkan dan lain-lain.
4. Bidang politik
a. Timbulnya kelas menengah baru Pertumbuhan teknologi dan ekonomi di kawasan
ini akan mendorong munculnya kelas menengah baru. Kemampuan, keterampilan
serta gaya hidup mereka sudah tidak banyak berbeda dengan kelas menengah di
negara-negera Barat. Dapat diramalkan, kelas menengah baru ini akan menjadi
pelopor untuk menuntut kebebasan politik dan kebebasan berpendapat yang lebih
besar.
b. Proses regenerasi kepemimpinan. Sudah barang tentu peralihan generasi
kepemimpinan ini akan berdampak dalam gaya dan substansi politik yang
diterapkan. Nafas kebebasan dan persamaan semakin kental.
c. Di bidang politik internasional, juga terdapat kecenderungan tumbuh
berkembangnya regionalisme. Kemajuan di bidang teknologi komunikasi telah
menghasilkan kesadaran regionalisme. Ditambah dengan kemajuan di bidang

66
teknologi transportasi telah menyebabkan meningkatnya kesadaran tersebut.
Kesadaran itu akan terwujud dalam bidang kerjasama ekonomi, sehingga
regionalisme akan melahirkan kekuatan ekonomi baru.
G. Dampak Penyalahgunaan Sains, Teknologi dan Seni pada Kehidupan Sosial Budaya.
Akibat kemajuan teknologi bisa kita lihat.
1. Perbedaan kepribadian pria dan wanita. Banyak pakar yang berpendapat bahwa kini
semakin besar porsi wanita yang memegang posisi sebagai pemimpin, baik dalam
dunia pemerintahan maupun dalam dunia bisnis. Bahkan perubahan perilaku ke arah
perilaku yang sebelumnya merupakan pekerjaan pria semakin menonjol. Data yang
tertulis dalam buku Megatrend for Women:From Liberation to Leadership yang ditulis
oleh Patricia Aburdene & John Naisbitt (1993) menunjukkan bahwa peran wanita
dalam kepemimpinan semakin membesar. Semakin banyak wanita yang memasuki
bidang politik, sebagai anggota parlemen, senator, gubernur, menteri, dan berbagai
jabatan penting lainnya.
2. Meningkatnya rasa percaya diri. Kemajuan ekonomi di negara-negara Asia melahirkan
fenomena yang menarik. Perkembangan dan kemajuan ekonomi telah meningkatkan
rasa percaya diri dan ketahanan diri sebagai suatu bangsa akan semakin kokoh. Bangsa-
bangsa Barat tidak lagi dapat melecehkan bangsa-bangsa Asia.
3. Tekanan kompetisi yang tajam di berbagai aspek kehidupan. Sebagai konsekuensi
globalisasi, akan melahirkan generasi yang disiplin, tekun dan pekerja keras. Meskipun
demikian kemajuan teknologi akan berpengaruh negative pada aspek budaya :
a. Kemerosotan moral di kalangan warga masyarakat, khususnya di kalangan remaja
dan pelajar.
b. Kemajuan kehidupan ekonomi yang terlalu menekankan pada upaya pemenuhan
berbagai keinginan material, telah menyebabkan sebagian warga masyarakat
menjadi “kaya dalam materi tetapi miskin dalam rohani”.
c. Kenakalan dan tindak menyimpang di kalangan remaja semakin meningkat,
semakin lemahnya kewibawaan tradisi-tradisi yang ada di masyarakat, seperti
gotong royong dan tolong-menolong telah melemahkan kekuatan-kekuatan
sentripetal yang berperan penting dalam menciptakan kesatuan sosial. Akibat
lanjut bisa dilihat bersama, kenakalan dan tindak menyimpang di kalangan remaja
dan pelajar semakin meningkat dalam berbagai bentuknya, seperti perkelahian,
corat-coret, pelanggaran lalu lintas sampai tindak kejahatan.

67
d. Pola interaksi antar manusia yang berubah. Kehadiran komputer pada kebanyakan
rumah tangga golongan menengah ke atas telah merubah pola interaksi keluarga.
Komputer yang disambungkan dengan telpon telah membuka peluang bagi siapa
saja untuk berhubungan dengan dunia luar. Program internet relay chatting (IRC),
internet, dan e-mail telah membuat orang asyik dengan kehidupannya sendiri.
Selain itu tersedianya berbagai warung internet (warnet) telah memberi peluang
kepada banyak orang yang tidak memiliki komputer dan saluran internet sendiri
untuk berkomunikasi dengan orang lain melalui internet. Kini semakin banyak
orang yang menghabiskan waktunya sendirian dengan komputer.

MANUSIA DAN LINGKUNGAN


A. Manusia sebagai makhluk sosial
Manusia tidak dapat hidup sendiri. Dalam kehidupannya dia membutuhkan orang lain
untuk berkomunikasi dan berinteraksi. Bayangkanlah jika kita hidup sendiri atau
dijauhi oleh teman-teman kita, tentu akan tersiksa, bukan? Itu berarti manusia
membutuhkan kehadiran manusia lainnya.
Mengapa demikian? Manusia secara alamiah merupakan makhluk sosial. Artinya,
manusia memiliki kebutuhan, kemampuan dan kebiasaan untuk berkomunikasi dan
berinteraksi dengan manusia lainnya. Dalam dirinya selalu ada dorongan kebutuhan
untuk berinteraksi dengan manusia lainnya. Dari interaksi tersebut kemudian manusia
membentuk kelompok-kelompok berdasarkan pada kesamaan lokasi, kepentingan, jenis
kelamin dan lain-lain.Perhatikanlah teman-teman kita ketika bermain, mereka biasanya
mengelompok sesuai dengan kepentingannya masing-masing.
Berdasarkan hal tersebut, berkelompok dalam kehidupan manusia merupakan suatu
kebutuhan yang harus dipenuhi. Melalui kehidupan berkelompok manusia dapat
memenuhi kebutuhan berupa komunikasi, keamanan, ketertiban, keadilan, kerjasama,
dan untuk mendapatkan kesejahteraan.
Melalui komunikasi manusia dapat menyampaikan ide atau gagasannya kepada orang
lain. Mereka juga dapat menumpahkan perasaannya melalui komunikasi. Untuk
berkomunikasi manusia mengembangkan bahasa.
Selain komunikasi, manusia juga membutuhkan keamanan dengan berkelompok. Andai
mereka hidup sendiri-sendiri, tentu akan rentan dari gangguan keamanan atau tindak
kejahatan. Karena itu, di lingkungan permukiman, manusia membentuk sistem
keamanan dengan melakukan giliran siskamling (sistem keamanan lingkungan) atau

68
dikenal ronda.
Ketertiban juga akan terjaga karena manusia berkelompok dan tiap anggota kelompok
harus taat terhadap aturan yang dibuat kelompok. Dalam kelompok juga dimungkinkan
terjadinya kerjasama antar anggotanya, sehingga juga memungkinkan manusia bisa
hidup sejahtera.
Selain karena kebutuhan, sifat berkelompok pada manusia didasari oleh adanya
kemampuan untuk berkomunikasi, mengungkapkan rasa dan kemampuan untuk saling
bekerjasama. Berbagai kemampuan tersebut ditunjang oleh media berupa bahasa.
Dengan bahasa manusia juga dapat saling bertukar informasi dan budaya dengan
kelompok manusia lainnya.
Sebenarnya hidup berkelompok juga dimiliki oleh binatang. Perhatikanlah kehidupan
semut, rusa, singa, lebah dan lain-lain yang hidup berkelompok. Namun, perilaku hidup
berkelompok yang dilakukan oleh binatang lebih didasarkan pada naluri. Artinya,
perilaku tersebut sudah dibawa sejak lahir, sehingga bersifat tetap. Sebagai contoh,
sarang lebah dari dulu hingga sekarang bentuknya tidak berubah. Lain halnya dengan
manusia yang dinamis atau berubah dan terbentuk melalui proses belajar.
Dalam hidup berkelompok dan bermasyarakat manusia mengembangkan nilai-nilai
tertentu. Tujuannya adalah agar kehidupanberkelompok tersebut dapat berjalan dengan
baik atau harmonis. Nilai itu sendiri adalah prinsip-prinsip dasar yang dianggap paling
baik, paling bermakna, paling berguna, paling menguntungkan, dan paling
mendatangkan kebiasaan bagi manusia. Jabaran lebih rinci atau operasional dari nilai itu
sendiri adalah norma yang berbentuk aturan-aturan yang dijadikan pegangan bersama.
Dengan aturan itulah manusia hidup bersama dan tidak saling merugikan antara satu
dengan lainnya.
B. Lingkungan sosial
Perhatikanlah lingkungan sekitar kita. Di rumah, kita akan melihat adik,kakak, dan orang
tua. Di sekolah kita dapat melihat teman, guru, pedagang, dan lain-lain. Di sekitar
lingkungan rumah, kita dapat melihat tetangga, pedagang yang lewat, dan lain-lain.
Semua itu adalah lingkungan sosial di sekitar kita. Jadi, lingkungan sosial adalah
manusia, baik secara individu atauperorangan, maupun kelompok yang ada di luar diri
kita seperti keluarga, teman, para tetangga, penduduk sekampung sampai manusia
antarbangsa yang berpengaruh terhadap perubahan dan perkembangan kehidupan kita.
Lingkungan sosial bukan merupakan suatu gejala yang terjadi secara kebetulan,
melainkan karena adanya hubungan timbal balik antar anggotanya,baik dalam bentuk

69
antarindividu, antarkelompok, maupun antara individu dengan kelompok. Bentuk
kehidupan bersama yang di dalamnya terdapat hubungan antarkomponen manusia itulah
yang kita kenal dengan istilah masyarakat.
Dalam lingkungan sosial terjadi interaksi sosial. Interaksi sosial adalah suatu hubungan
antara dua orang atau lebih yang dalam hubungan tersebut perilaku atau tindakan
seseorang akan mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki perilaku atau tindakan
individu yang lain atau sebaliknya.
Interaksi sosial merupakan proses sosial yang dapat bersifat mendekatkan maupun
merenggangkan. Tahapan yang mendekatkan diawali dari memulai (initiating),
menjajaki (experimenting), meningkatkan (intensifying), menyatupadukan (integrating),
dan mempertalikan (bonding). Contoh: saat kita mulai masuk sekolah, kemudian
menjajaki hubungan dengan orang lain, saling berkenalan dan bercerita. Hasil
penjajakan dapat menjadi dasar untuk memutuskan apakah hubungan akan ditingkatkan
atau tidak dilanjutkan. Karena hubungan sudah semakin meningkat, biasanya muncul
adanya perasaan yang sama atau menyatu untuk kemudian menjalin tali persahabatan.
Pada tahap merenggangkan, dimulai dari tahap membeda-bedakan (differentiating),
membatasi (circumscribing), menahan (stagnating), menghindari (avoiding), dan
memutuskan (terminating). Contoh: di antara dua orang yang dulunya selalu bersama,
mulai melakukan kegiatan sendiri- sendiri. Karena sering tidak bersama lagi,
pembicaraan di antara mereka pun mulai dibatasi, ego sangat dimunculkan daripada
kebersamaan, antar individu mulai saling menahan, sehingga tidak terjadi lagi
komunikasi. Hubungan lebih mengarah pada terjadinya konflik, sehingga walau ada
komunikasi hanya dilakukan secara terpaksa. Akhirnya, mereka saling menghindar agar
tidak menyulut konflik lebih jauh atau mungkin berada pada tahapan pemutusan
hubungan.
Dalam interaksi sosial terdapat sejumlah faktor yangmempengaruhinya. Adapun faktor-
faktor yang mempengaruhi terjadinya interaksi sosial, yaitu:
1. Imitasi, yaitu meniru perilaku dan tindakan orang lain. Proses imitasi dapat berarti
positif, yaitu untuk mempertahankan norma dan nilai yangberlaku di masyarakat.
Dapat pula berarti negatif, yaitu meniru perbuatan-perbuatan yang tidak baik dan
menyimpang dari nilai dan norma.
2. Sugesti, yaitu suatu proses di mana seorang individu menerima suatu cara
penglihatan atau pedoman tingkah laku dari orang lain tanpa kritik terlebih dahulu,
misalnya: seorang siswa tidak sekolah, karena diajak temannya bermain. Peniruan

70
dalam sugesti dilakukan dengan memberikan pandangan atau sikap dari dirinya,
kemudian diterimaorang lain atau sebaliknya.
3. Identifikasi, yaitu mempersamakan dirinya dengan orang lain. Bagi seorang anak
laki-laki akan mengidentifikasikan dirinya dengan ayah, begitu juga anak
perempuan dengan ibunya. Anak remajamengidentifikasikan dirinya dengan tokoh
tertentu sebagai idolanya. Dengan demikian, identifikasi lebih mendalam
dibanding dengan sugesti atau imitasi.
4. Simpati, yaitu perasaan tertariknya seseorang terhadap orang lain.Simpati timbul
tidak atas dasar logis rasional, melainkan berdasarkan penilaian perasaan semata-
mata. Misalnya: seorang anak membantu orangtua menyebrang jalan, padahal ia
sendiri sudah terlambat datang ke sekolah.
Dalam interaksi sosial terjadi interaksi antarkomponen masyarakat. Dalam peristiwa
tersebut tidak selamanya berjalan lancar dan harmonis. Karena itu, perlu aturan-aturan
yang dapat menjaga hubungan tersebut, agar terhindar dari segala bentuk penyimpangan
dan masalah sosial. Dalam lingkungan sosial terdapat nilai dan norma yang mengatur
hubungan antarkomponen tersebut agar lingkungan sosial dapat terjaga dan terpelihara
dari berbagai masalah dan perilaku menyimpang yang dilakukan oleh anggota
masyarakatnya.
Nilai merupakan sesuatu yang sangat dihargai dan dijunjung tinggi oleh masyarakat.
Dengan nilai, masyarakat memiliki pedoman tentang apa yang dianggap baik atau benar
dan buruk atau salah bagi kehidupan. Misalnya, menolong adalah perbuatan yang baik
dan dianjurkan, sedangkan mencuri adalah perbuatan buruk dan dilarang.
Nilai yang tumbuh dan berkembang di masyarakat terbagi ke dalamtiga jenis, yakni:
a) nilai material, adalah segala sesuatu yang berguna bagi unsur jasmani manusia; b)
nilai vital, adalah segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan
kegiatan atau aktivitasnya: dan c) nilaikerohanian, adalah segala sesuatu yang berguna
bagi rohani manusia.
Nilai masih bersifat umum dan perlu dijabarkan secara operasional agar bisa dipahami.
Jabaran operasional atau wujud konkrit dari nilai disebut norma. Norma yang ada dalam
masyarakat merupakan p e r w u j u d a n dari nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat
tersebut. Bila nilai adalah sesuatu yang baik, diinginkan dan dicita-citakan oleh
masyarakat, maka norma merupakan aturan bertindak atau berbuat yang dibenarkan
untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Sebagai contoh, nilai kedisplinan di sekolah adalah
nilai yang dicita- citakan, untuk mewujudkannya maka dibuat norma berupa datang

71
tepat waktu, tidak menyontek ketika ujian, membuang sampah pada tempatnya danlain-
lain.
Ada beberapa norma yang umumnya berlaku dalam kehidupan masyarakat, sebagai
berikut:
1. Norma kesopanan/etika, yaitu norma yang berpangkal pada aturan tingkah laku
yang diakui di masyarakat, seperti cara berpakaian, cara bersikap dan berbicara
dalam bergaul. Norma ini bersifat relatif, berarti terdapat perbedaan yang
disesuaikan dengan tempat, lingkungan, dan waktu. Dengan kata lain, norma ini
merupakan suatu aturan yang mengatur agar masyarakat berperilaku dengan sopan.
Contoh: seorang anak harus bersikap santun kepada orang tua, tidak meminum
minuman keras dan narkotika karena dapat mengganggu ketertiban umum. Jika
terjadi pelanggaran pada norma etika, maka tentu saja akan mendapat sanksi berupa
teguran, hukuman, dan atau lain sejenisnya.
2. Norma kesusilaan, yaitu norma yang mengatur seseorang berperilaku secara baik
dengan pertimbangan moral atau didasarkan pada hati nurani atau ahlak manusia.
Norma ini bersifat universal. Setiap orang didunia mengakui dan menganut norma
ini. Akan tetapi, bentuk dan perwujudannya mungkin berbeda. Misalnya, tindakan
pembunuhan banyak ditolak oleh masyarakat dimanapun; bagi masyarakat kita,
berciuman di depan umum dianggap melanggar norma susila, walaupun mereka
adalah pasangan suami-isteri. Karena hal tersebut dapat dianggap mengganggu
masyarakat di sekitarnya.
3. Norma agama, didasarkan pada ajaran atau akidah suatu agama. Norma ini
menuntut ketaatan mutlak setiap penganutnya. Dalam agama terdapat perintah dan
larangan yang harus dijalankan parapemeluknya. Apabila seseorang melanggar
perintah Tuhannya, makaia akan mendapat dosa. Demikian sebaliknya, apabila ia
melaksanakan perintah-Nya, maka ia akan mendapatkan pahala sebagai
ganjarannya.
4. Norma hukum, merupakan jenis norma yang paling jelas dan kuatikatannya karena
merupakan norma yang baku. Norma tersebut didasarkan pada perintah dan
larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dengan ketentuan yang
sah dan terdapat penegak hukum sebagai pihak yang berwenang menjatuhkan
sanksi. Contoh: seorang terdakwa yang melakukan pembunuhan terencana divonis
oleh hakim dengan dikenakan hukuman minimal 15 tahun.

72
5. Norma kebiasaan, didasarkan pada hasil perbuatan berulang-ulangdalam bentuk
yang sama, sehingga menjadi kebiasaan. Contoh: mudik lebaran.
Ada dua jenis proses sosial yang muncul akibat adanya interaksi sosial,yaitu proses yang
mengarah pada terwujudnya persatuan dan integrasi sosial (asosiatif) dan proses oposisi
yang berarti cara berjuang untuk melawan seseorang atau kelompok untuk mencapai
tujuan tertentu (disosiatif). Diantarakedua proses sosial tersebut, asosiatif merupakan
bentuk interaksi yang akan mendorong terciptanya pola keteraturan sosial. Bentuk-
bentuk asosiatif merupakan bentuk-bentuk sikap positif anggota masyarakat terhadap
lingkungansosialnya. Bentuk-bentuk asosiatif adalah sebagai berikut:
1. Kerja sama
Kerja sama atau kooperasi (cooperation) adalah jaringan interaksi antara orang
perorangan atau kelompok yang berusaha bersama untuk mencapai tujuan
bersama. Kerja sama berawal dari kesamaan orientasi dankesadaran dari setiap
anggota masyarakat. Contoh, warga melakukan kerja bakti membersihkan
lingkungan karena sama-sama menyadari manfaatlingkungan yang bersih.
2. Akomodasi
Akomodasi (accomodation) dalam sosiologi memiliki dua pengertian, yaitu
menggambarkan suatu keadaan dan proses. Akomodasi yang menggambarkan
suatu keadaan berarti adanya keseimbangan interaksi sosial yang berkaitan
dengan norma dan nilai sosial yang berlaku .Akomodasi sebagai suatu proses
menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan pertentangan tanpa
menghancurkan pihak lawan, sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya.
3. Asimilasi
Asimilasi (assimilation) berarti proses penyesuaian sifat-sifat asli yang dimiliki
dengan sifat-sifat lingkungan sekitar.
4. Akulturasi
Akulturasi (acculturation) adalah berpadunya unsur-unsur kebudayaan yang
berbeda dan membentuk suatu kebudayaan baru, tanpa menghilangkan
kepribadian kebudayaan aslinya. Lamanya proses akulturasi sangat tergantung
pada persepsi masyarakat setempat terhadap budaya luar yang masuk. Akulturasi
bisa terjadi dalam waktu yang relatif lama apabila masuknya melalui proses
pemaksaaan. Sebaliknya, apabila masuknya melalui proses damai,akulturasi tersebut
akan relatif lebih cepat. Contoh: Candi Borobudur merupakan perpaduan
kebudayaan India dengan kebudayaan Indonesia; musik Melayu bertemu dengan

73
musik Spanyol menghasilkan musik keroncong.
C. Pengertian Kelas Sosial atau Golongan Sosial
Berdasarkan karakteristik Stratifikasi sosial, dapat kita temukan beberapa pembagian
kelas atau golongan dalam masyarakat. Istilah
kelas memang tidak selalu memiliki arti yang sama, walaupun pada hakekatnya
mewujudkan sistem kedudukan yang pokok dalam masyarakat. Pengertian kelas sejalan
dengan pengertian lapisan tanpa harus membedakan dasar pelapisan masyarakat
tersebut.
Kelas Sosial atau Golongan sosial mempunyai arti yang relatif lebih banyak dipakai
untuk menunjukkan lapisan sosial yang didasarkan atas kriteria ekonomi.
Jadi, definisi Kelas Sosial atau Golongan Sosial ialah: sekelompok manusia yang
menempati lapisan sosial berdasarkan kriteriaekonomi.

TUGAS TERSTRUKTUR
Mahasiswa membuat resume terkait materi yang telah disampaikan

TEST FORMATIF
1. Ilmu pengetahuan, teknologi, serta seni bukan merupakan bagian-bagian dari kebudayaan
universal.
A. Benar
B. Salah
2. Tanpa memandang era, manusia tetap memandang mulai dari zaman yang masih rendah
tingkat peradabannya hingga sampai pada era modern seperti sekarang ini.
A. Benar
B. Salah
3. Salah satu fungsi utama dari adanya ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk
menunjang kehidupan manusia
A. Benar
B. Salah
4. IPTEKS tidak banyak membantu manusia dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.
A. Benar
B. Salah
5. kehidupan manusia akan menjadi lebih mudah, efektif dan tidak efisien berkat adanya
sains dan teknologi

74
A. Benar
B. Salah
6. teknologi sejatinya merupakan penerapan dari pengetahuan manusia yang ditujukan guna
mengerjakan tugas yang dikehendakinya
A. Benar
B. Salah
7. Teknologi bukan merupakan bentuk pengaplikasian dari pengetahuan yang dimiliki oleh
manusia
A. Benar
B. Salah
8. Penguasan masyarakat terhadap ilmu pengetahuan, teknologi dan seni merupakan salah
satu indikator adanya peradaban.
A. Benar
B. Salah
9. Semakin maju dan kecil penguasaan manusia akan sains maka akan semakin canggih dan
maju pula teknologi yang dihasilkan
A. Benar
B. Salah
10. Mustahil kita membayangkan sebuah teknologi lahir tanpa adanya sebuah sains atau ilmu
pengetahuan
A. Benar
B. Salah

75
KEGIATAN BELAJAR 4
PERKEMBANGAN NILAI BUDAYA TERHADAP INDIVIDU, KELUARGA DAN
MASYARAKAT

ALOKASI WAKTU
100 Menit

CAPAIAN PEMBELAJARAN
Mahasiswa mampu memahami perkembangan nilai budaya terhadap individu, keluarga
dan masyarakat.

URAIAN MATERI
A. Perkembangan nilai budaya terhadap individu, keluarga dan masyarakat
Jika kita menerima bahwa budaya adalah fenomena total dan dengan demikian salah
satu yang memberikan pandangan dunia bagi mereka yang berbagi, membimbing
pengetahuan, praktik, dan sikap mereka, perlu untuk mengakui bahwa proses kesehatan
dan penyakit terkandung dalam pandangan dunia dan sosial praktek.
Kekhawatiran dengan penyakit dan kesehatan bersifat universal dalam kehidupan
manusia dan hadir di semua masyarakat. Setiap kelompok mengorganisir dirinya secara
kolektif - melalui sarana material, pemikiran dan elemen budaya - untuk memahami dan
mengembangkan teknik dalam menanggapi pengalaman atau episode penyakit dan
kemalangan, baik individu maupun kolektif. Akibatnya, setiap dan semua masyarakat
mengembangkan pengetahuan, praktik, dan institusi khusus yang dapat disebut sistem
perawatan kesehatan (Kleinman, 1980).
Sistem perawatan kesehatan terdiri dari semua komponen yang ada dalam
masyarakat yang terkait dengan kesehatan, termasuk pengetahuan tentang asal usul,
penyebab, dan pengobatan penyakit, teknik terapi, praktisi, dan peran, standar, dan agen
dalam interaksi dalam 'skenario' ini. Ditambah dengan ini adalah hubungan kekuasaan dan
institusi yang didedikasikan untuk pemeliharaan atau pemulihan 'keadaan kesehatan'.
Sistem ini didukung oleh skema simbol yang diekspresikan melalui praktik, interaksi, dan
institusi; semua konsisten dengan budaya umum kelompok, yang pada gilirannya,
berfungsi untuk mendefinisikan, mengklasifikasikan dan menjelaskan fenomena yang
dirasakan dan diklasifikasikan sebagai 'kesakitan'.

76
Dengan demikian sistem perawatan kesehatan tidak terputus dari aspek budaya
umum lainnya, seperti halnya sistem sosial tidak dipisahkan dari organisasi sosial suatu
kelompok. Akibatnya, cara kelompok sosial tertentu berpikir dan mengatur dirinya sendiri
untuk menjaga kesehatan dan menghadapi episode penyakit tidak dipisahkan dari
pandangan dunia dan pengalaman umum yang dimilikinya sehubungan dengan aspek lain
dan dimensi pengalaman yang diinformasikan secara sosial budaya. Pemahaman tentang
totalitas ini memungkinkan untuk memahami pengetahuan dan praktik yang terkait dengan
kesehatan individu yang membentuk sistem budaya masyarakat dan warisan intelektual
dan moral. Jadi, jika kita tidak mengetahui bahwa kategori witsioga Barasana terkait
dengan kosmologi mereka, dengan klasifikasi makanan, dan dengan keadaan/status orang,
kita tidak memahami pentingnya yang diberikan oleh mereka terhadap cara-cara yang
diambil sebagai cara yang benar. dan 'murni' untuk persiapan dan konsumsi makanan. Juga
akan sulit untuk memahami pentingnya konsep ini dalam kepedulian mereka terhadap
kesehatan atau untuk meyakinkan mereka bahwa di lingkungan dengan sedikit sumber
protein, pelarangan daging untuk anak kecil dan wanita menyusui dapat mempengaruhi
pertumbuhan mereka jika mereka tidak memiliki makanan lain yang memadai. sumber
protein.
Sistem perawatan kesehatan adalah model konseptual dan analitis, bukan realitas itu
sendiri, untuk memahami kelompok sosial dengan siapa kita hidup atau belajar. Konsep
tersebut membantu untuk mensistematisasikan dan memahami rangkaian elemen dan
faktor kompleks yang dialami dalam kehidupan sehari-hari dalam cara yang terfragmentasi
dan subjektif, baik dalam masyarakat dan budaya kita sendiri atau dalam masyarakat yang
tidak dikenal.Penting untuk dipahami bahwa dalam masyarakat yang kompleks seperti
masyarakat Brasil, ada beberapa sistem perawatan kesehatan yang beroperasi secara
bersamaan, sistem yang mewakili keragaman kelompok dan budaya yang membentuk
masyarakat. Meskipun sistem medis negara, yang menyediakan layanan kesehatan melalui
Sistem Kesehatan Nasional (SUS), didasarkan pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai
biomedis, penduduk, ketika sakit, menggunakan banyak sistem lain.
Banyak kelompok tidak mencari dokter medis, tetapi menggunakan obat tradisional;
yang lain menggunakan sistem medis-religius, dan yang lain mencari berbagai sistem
kesehatan alternatif selama proses terapeutik. Memikirkan sistem perawatan kesehatan
sebagai sistem budaya membantu kita memahami keragaman rencana perjalanan terapeutik
ini.

77
Sistem perawatan kesehatan adalah sistem budaya dan sistem sosial kesehatan.
Sistem sosial kesehatan terdiri dari institusinya, organisasi peran spesialis kesehatan, aturan
interaksi, serta hubungan kekuasaan yang melekat padanya. Umumnya, dimensi sistem
perawatan kesehatan ini juga mencakup spesialis yang tidak diakui oleh biomedis, seperti
penyembuh tradisional (terapis pijat, benzedeiras, curandeiros) atau penyembuh agama dan
kepercayaan (pendeta, pendeta, benzedeiras, dukun, spiritis, dan lain-lain), dukun, pajés,
pais-de-santo).
Dalam dunia setiap kelompok sosial, para ahli memiliki peran khusus untuk
dilakukan terkait pengobatan penyakit, dan pasien memiliki harapan tertentu tentang
bagaimana peran ini akan dikembangkan, penyakit apa yang dapat disembuhkan oleh
spesialis, serta gambaran umum tentang terapi. metode yang akan dia gunakan.
Dalam masyarakat yang kompleks, selain spesialis tradisional yang disebutkan di
atas, kami juga menemukan praktisi pengobatan Cina dan Oriental. Dalam sepuluh tahun
terakhir, kami juga melihat meningkatnya permintaan akan praktisi dan terapis yang
termasuk dalam apa yang disebut 'zaman baru' (Groisman, 2005). Di kota yang sama, ada
spesialis yang mempraktikkan beberapa metode terapi alternatif (mencerminkan sistem
budaya perawatan kesehatan yang berbeda), yang dipilih atau ditolak berdasarkan faktor-
faktor seperti agama, kondisi ekonomi, pengalaman keluarga, dan jaringan sosial, serta
politik lainnya. dan/atau faktor hukum (seperti penganiayaan oleh Negara atas praktik
terapi tidak resmi yang diberikan) (Loyola, 1984).

TUGAS TERSTRUKTUR
Mahasiswa membuat resume terkait materi yang telah disampaikan

TEST FORMATIF
1. Sebuah konsepsi, eksplisit, atau implisityang khas milik seorang individu ataupun
kelompok tentang yang seharusnya diinginkan yang memengaruhi bentuk, cara dan tujuan
tindakan dinamakan ....
A. nilai
B. nilai budaya
C. sistem nilai
D. sistem nilai budaya
E. budaya universal

78
2. Nilai-nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi,
lingkungan masyarakat yang mengakar pada kebiasaan, kepercayaan, simbol-simbol yang
dapat dibedakan satu dengan yang lainnya dinamakan ....
A. nilai
B. nilai-nilai budaya
C. sistem nilai budaya
D. pewarisan nilai budaya
E. perkembangan nilai budaya
3. Himpunan atau sejumlah pandangan mengenai hal-hal yang paling berharga dan bernilai
dalam hidup dinamakan ....
A. nilai
B. nilai budaya
C. sistem nilai budaya
D. perkembangan budaya
E. pewarisan nilai budaya
4. Amin (samaran) seorang tukang kayu. Hasil pahatannya pada kayu sangat bagus. Banyak
peminat yang datang untuk membeli. Amin sangat bersyukur karena memberikan arti bagi
kelangsungan hidup keluarganya. berdasarkan ilustrasi tersebut hakekat karya manusia
adalah
A. untuk kehormatan
B. untuk mengisi waktu luang
C. upaya menafkahi hidup
D. sebagai kebanggaan keluarga
E. memenuhi kepuasan batin
5. Meskipun ada himbauan pemerintah agar masyarakat tidak mudik saat lebaran untuk
memutus penyebaran virus corona, namun ada masyarakat yang tetap pulang kampung.
Hal ini sesuai dengan penting suatu nilai dalam masyarakat yaitu karena ....
A. lamanya suatu nilai dianut
B. banyaknya orang menganut nilai
C. tingginya usaha mencapai suatu nilai
D. kebanggaan memiliki suatu nilai
E. kepedulian terhadap suatu nilai
6. Kehidupan sosial suatu keluarga biasanya tinggal dalam satu rumah pada masyarakat suku
Iban, Kalimantan Barat dinamakan ...

79
A. manikasa
B. mapoalati
C. umabilek
D. bilek
E. karawang
7. kehidupan diibaratkan sebagai pisang dimana, pisang memberikan manfaat pada manusia
di Gorontalo, dinamakan dengan istilah ....
A. delo tutumulo lambi
B. rangkai tutumulo lambi
C. arat sabulungan
D. panguraikan
E. londek jembu
8. Dalam perkembangan nilai budaya terdapat pola hidup tradisional dan bertaraf lokal yang
berbau mistis, berubah menjadi pola hidup modern bertaraf nasional-internasional berbasis
ilmu pengetahuan. Berdasarkan ilustrasi tersebut perilaku yang sesuai adalah ....
A. mengobati pasien corona dengan ramuan terkenal
B. berpandangan corona adalah kutukan dari dewa
C. menggunakan alat pelindung diri yang standar melawan corona
D. tidak perlu cemas terhadap virus corona karena bisa sembuh
E. menumpuk sembako sebagai antisipasi kasus corona berkelanjutan
9. Suatu keyakinan dalam bentuk idiologi untuk bisa menerima berbagai perbedaan dalam
kelompok dinamakan dengan ....
A. majemuk
B. multikultural
C. marginal
D. tradisional
E. primitif
10. Ciri-ciri masyarakat majemuk adalah ...
A. sulit terbetuk konsensus, saling tolng menolong, sering konflik
B. sering konflik, hidup terpisah-pisah, non komplementer
C. menjunjung HAM, tolong menolong, toleransi
D. toleransi, tersegmentasi, terpisah-pisah
E. menghargai perbedaan, cinta damai, dominasi

80
KEGIATAN BELAJAR 5
KERAGAMAN BUDAYA TRANSKULTURAL DAN MULTIKULTURAL,
BUDAYA/TRADISI DALAM KEBIDANAN, BUDAYA KEBIDANAN

ALOKASI WAKTU
100 Menit

CAPAIAN PEMBELAJARAN
Mahasiswa mampu memahami keragaman budaya transkultural dan multikultural,
budaya/tradisi dalam kebidanan, budaya kebidanan.

URAIAN MATERI
A. Keragaman budaya transkultural dan multikultural, Budaya/tradisi dalam
kebidanan, Budaya kebidanan
Pendidikan dan praktik kebidanan diatur dan diatur melalui undang-undang dan
keputusan khusus di Indonesia. Negara memiliki kader bidan yang berbeda dengan perawat
yang bekerja di pedesaan dan perkotaan. Negara ini juga memiliki asosiasi dan kelompok
profesional yang bersemangat yang tertarik untuk berkontribusi pada kesehatan ibu dan
anak (KIA).
UU Kebidanan diajukan ke DPR pada tahun 2005 dan direvisi pada tahun 2014.
Selama empat tahun terakhir UU tersebut telah dikonsultasikan antara pemerintah dan
DPR. UU Kebidanan disahkan oleh DPR pada 4 Februari 2019.
Beberapa undang-undang lain memfasilitasi pengaturan praktik kebidanan di
Indonesia. Berdasarkan Peraturan No. 32 Tahun 1996, bidan dan perawat dikelompokkan
bersama di bawah satu kepala yang sama – keperawatan. UU Profesi Kesehatan No.
36/2014 menyebutkan bidan sebagai kader tersendiri di antara 12 kelompok pemberi
layanan kesehatan lainnya. Jalur karir dirancang untuk berbagai tingkat tenaga kerja
kebidanan.
Tata kelola dan peraturan untuk praktik kebidanan didefinisikan dengan jelas di negara
ini. Surat pendaftaran yang dikeluarkan oleh dewan adalah wajib untuk praktik kebidanan.
Pendaftaran untuk lima tahun dan pembaruan diperlukan untuk praktik lebih lanjut. Selain
itu, bidan praktik memerlukan izin dari pemerintah kabupaten untuk praktik di kabupaten
tersebut. Seorang bidan diperbolehkan untuk berpraktik di lingkungan apa pun – publik
atau swasta, di dalam fasilitas atau sebagai praktisi swasta.

81
Ruang lingkup praktik kebidanan diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan
(Kemenkes) No. 2/2017, yang menyebutkan tentang pelayanan kesehatan antenatal,
perawatan bayi baru lahir, perawatan bayi dan anak (<5 tahun), kesehatan reproduksi dan
keluarga berencana. Serangkaian keputusan Depkes selanjutnya memfasilitasi dan
mengatur praktik bidan. Misalnya, Permenkes No. 71/2013 menyatakan bahwa biaya
layanan kebidanan akan ditanggung oleh Jaminan Kesehatan Nasional.
Tantangan tenaga kebidanan di Indonesia saat ini antara lain kesulitan dalam menjaga
kualitas pelatihan, tenaga pengajar yang terlatih, dan standarisasi praktik kebidanan di
semua fasilitas dan praktik swasta. Distribusi tenaga kebidanan yang tidak merata juga
menjadi tantangan.
Peningkatan jumlah penduduk dunia, terutama di kota besar terjadi akibat cepatnya
perpindahan penduduk setiap tahunnya. Hal ini menyebabkan pula munculnya variasi
kultur (budaya) atau multikultural pada suatu daerah atau wilayah tertentu. Misalnya di
Indonesia, mobilitas penduduk tergolong tinggi, sehingga cukup banyak perpindahan
penduduk antar wilayah, provinsi, bahkan ke luar negeri dengan alasan pendidikan ataupun
pekerjaan.
Sebagai pendatang di tempat yang baru, penduduk yang berpindah tersebut tentu bisa
mengalami masalah kesehatan di tempat tinggal barunya. Karenanya, menjadi penting bagi
setiap tenaga kesehatan, termasuk perawat untuk mengetahui bagaimana merawat pasien
dengan berbagai latar belakang budaya. Penanganan pasien dengan perbedaan latar
belakang budaya dalam keperawatan itu dikenal dengan sebutan transcultural nursing atau
keperawatan transkultural.
Keperawatan transkultural merupakan istilah bagi disiplin ilmu formal dan praktik
yang berpusat pada nilai, kepercayaan, dan praktik asuhan kutural untuk individu atau
kelompok tertentu. Pengembangan keperawatan transkultural perlu dilakukan karena
berbagai alasan, seperti munculnya era globalisasi. Menghadapi era globalisasi, persaingan
bebas terjadi di berbagai bidang, termasuk kesehatan. Ini pun dialami oleh Indonesia
sebagai negara yang mulai ikut membuka perdagangan bebas, baik berupa barang maupun
jasa profesional. Tenaga kesehatan seperti perawat pun dituntut berpandangan global
karena kesempatan merawat pasien dari berbagai belahan dunia semakin besar.
Bidang keperawatan dan kebidanan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
dari pelayanan kesehatan. Teori transkultural dalam praktik keperawatan, awalnya
diperkenalkan oleh Madeleine Leininger pada 1974. Teori Leininger tersebut
berkeyakinan, bahwa memahami budaya yang dianut pasien merupakan salah satu kunci

82
keberhasilan dalam memberikan asuhan keperawatan.
Asuhan keperawatan merupakan bentuk pelayanan profesional dan bagian integral dari
pelayanan kesehatan. Hal ini didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, mencakup bio-
psiko-sosio-kultural dan spiritual secara komprehensif, ditujukan bagi seluruh proses
kehidupan individu, keluarga, masyarakat, baik sehat maupun sakit. Menurut Leininger,
tujuan dasar keperawatan kultural adalah memberikan asuhan bersifat kultur spesifik dan
kultur universal, sehingga menghasilkan kesehatan dan kenyamanan individu, keluarga,
kelompok, komunitas institusi.
Kultur spesifik adalah budaya dengan nilai-nilai dan norma spesifik yang dimiliki oleh
kelompok lain. Kultur universal merupakan nilai-nilai dan norma-norma yang diyakini dan
dilakukan hampir semua kultur, seperti budaya minum teh dapat membuat tubuh sehat.
Aplikasi teori transkultural dalam keperawatan ialah diharapkannya kesadaran dan
apresiasi terhadap perbedaan kultur. Ini berarti perawat profesional wajib memiliki
pengetahuan dan praktik berdasarkan kultur secara konsep perencanaan untuk praktik
keperawatan (Pratiwi,2011).
Konsep keperawatan transkultural Leininger juga menjabarkan, masyarakat dengan
perbedaan kultur dapat menjadi sumber informasi dan menjadi dasar penentuan jenis
perawatan yang diinginkan dari pemberi pelayanan profesional. Ini karena kultur adalah
pola kehidupan masyarakat yang berpengaruh terhadap keputusan dan tindakan. Culture
care adalah teori holistik yang didalamnya teraplikasi ukuran dari totalitas kehidupan
manusia dan berlaku selamanya. Culture care juga mencakup struktur sosial, pandangan
dunia, nilai kultural, konteks lingkungan, ekspresi bahasa dan etnik, serta sistem
profesional. Pemahaman tentang budaya sangat penting sebelum mempelajari keperawatan
transkultural. Konsep tentang budaya dan gambaran perilaku cerminan kebudayaan bisa
dipelajari melalui ilmu antropologi dan antropologi kesehatan.
Asuhan keperawatan transkultural mencakup rangkaian proses kegiatan pada praktik
keperawatan kepada klien sesuai latar belakang budayanya. Asuhan keperawatan ini
ditujukan guna memandirikan klien sesuai dengan budayanya. Asuhan keperawatan
diberikan sesuai dengan karakteristik ruang lingkup keperawatan dan dikelola secara
profesional dalam konteks budaya klien serta kebutuhan asuhan keperawatan. Strategi yang
digunakan dalam asuhan keperawatan menurut Leininger adalah:
1 Perlindungan atau mempertahankan budaya
Strategi ini bisa dilakukan bila budaya pasien tidak bertentangan dengan kesehatan.
Perencanaan dan implementasi keperawatan diberikan sesuai dengan nilai-nilai

83
relevan klien, sehingga klien dapat meningkatkan atau mempertahankan status
kesehatannya. Contohnya, budaya berolahraga setiap pagi, atau anjuran orang tua
terhadap perempuan hamil untuk mengkonsumsi makanan tertentu. Misalnya anjuran
mengkonsumsi kepala ikan lele agar kepala bayi ideal, minum air kelapa agar kulit
bayi putih, dan air rebusan kacang hijau agar rambut bayi tebal. Hal tersebut menurut
kesehatan bisa terus dilakukan, tetapi dengan maksud-maksud lain. Ikan lele baik
dikonsumsi karena mengandung protein guna memperbaiki pertumbuhan janin. Air
kelapa baik bagi ibu hamil karena mengandung elektrolit sehingga memperkuat
kontraksi otot. Dalam hal ini, prinsip keperawatannya ialah maintanance care, perilaku
budaya yang tidak membahayakan tentu harus dihargai.
2 Mengakomodasi atau menegosiasi budaya
Ini merupakan strategi dengan mengintervensi dengan implementasi keperawatan
untuk membantu pasien beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih
menguntungkan kesehatannya. Perawat membantu pasien agar dapat memilih dan
menentukan budaya lain yang lebih mendukung peningkatan kesehatan. Misalnya,
pasien hamil mempunyai pantangan makan yang berbau amis, maka ikan dapat diganti
dengan sumber protein hewani yang lainnya seperti daging merah.
3 Merestrukturisasi atau mengganti budaya
Strategi ini dapat dilakukan bila budaya klien merugikan status kesehatannya.
Misalnya, perawat berupaya merestrukturisasi gaya hidup pasien dengan kebiasaan
merokok menjadi tidak merokok. Namun, seluruh perencanaan dan implementasi
keperawatan harus dirancang sesuai latar belakang budaya, sehingga budaya selalu
bisa dipandang sebagai rencana hidup lebih baik. Pola rencana hidup yang dipilih
biasanya yang lebih menguntungkan dan sesuai dengan keyakinan klien. Contoh
lainnya, perawat membuat daftar makanan pantangan bagi perempuan hamil karena
bisa membahayakan kondisi janin. Perawat perlu memberikan pengertian jika ada
makanan yang tidak boleh dikonsumsi tetapi ternyata sering dikonsumsi karena alasan
sudah menjadi budaya si ibu hamil.
Keperawatan Transkultural → Keperawatan transkultural berasal dari disiplin ilmu
antropologi yang sangat relevan untuk keperawatan. Tak hanya berfokus pada komparatif
studi dan analisis perbedaan kultur dan subkultur, keperawatan transkultural juga
merupakan area luas dalam ilmu keperawatan. Tujuannya lebih pada kesadaran dan
apresiasi terhadap perbedaan budaya di tengah masyarakat. Keperawatan transkultural
meliputi pengumpulan informasi tentang budaya spesifik; perolehan pendukung agar dapat

84
diterima secara kultural oleh klien dankonsultan kultural bagi perawat. Selain itu,
keperawatan transkultural juga mencakup bekerja dengan penerjemah, mempelajari
perilaku, sikap, serta aturan kognitif klien; dan meyakinkan bahwa hanya tes psikometri
kultural terbuka yang digunakan. Pada model keperawatan transkuktural Leininger, secara
spesifik dikenal kerangka kerja keperawatan model Leininger Sunrice.
Konsep utama model ini dijabarkan Arum Pratiwi (2011) sebagai berikut:
a. Culture Care → Nilai-nilai, keyakinan, norma, pandangan hidup yang dipelajari dan
diturunkan serta diasumsikan guna membantu mempertahankan kesejahteraan dan
kesehatan serta meningkatkan kondisi dan cara hidupnya.
b. World View → Cara pandang individu atau kelompok dalam memandang
kehidupannya sehingga menimbulkan keyakinan dan nilai.
c. Culture and Social Structure Dimention → Pengaruh dari faktor-faktor budaya tertentu
(subbudaya) yang mencakup religi, kekeluargaan, politik dan legal, ekonomi,
pendidikan, teknologi dan nilai budaya. Semuanya saling berhubungan dan berfungsi
untuk mempengaruhi perilaku dalam konteks lingkungan yang berbeda.
d. Generic Care System → Budaya tradisional yang diwariskan untuk membantu,
mendukung, memperoleh kondisi kesehatan, memperbaiki atau meningkatkan kualitas
hidup, menghadapi kecacatan dan kematian.
e. Profesional System → Pelayanan kesehatan oleh pemberi pelayanan kesehatan yang
memiliki pengetahuan dari pembelajaran di institusi pendidikan formal serta
melakukan pelayanan
Pengkajian keperawatan transkultural sangat penting dilakukan. Pada tahap ini,
perawat transkultural menggunakan banyak cara dalam memahami pasien guna mencoba
menyesuaikan pengalaman, interpretasi, dan harapan yang berbeda dalam budaya. Dalam
proses pengkajian, hubungan antara perawat dan pasien juga perlu diperhatikan dan
didasarkan pada beberapa faktor penting yang mempengaruhi hubungan tersebut.
Pengkajian keperawatan transkultural sebaiknya didasarkan pada tujuh komponen.
Menurut teori keperawatan transcultural.
Tahap kedua dari proses keperawatan transkultural adalah membuat diagnosis.
Menurut The North American Nursing Diagnosis Association (NANDA), diagnosis
keperawatan merupakan bagian dari pengobatan terhadap respon masalah kesehatan, baik
aktual maupun potensial. Sementara diagnosis keperawatan transkultural adalah respon
klien sesuai latar belakang budayanya yang dapat dicegah, diubah, atau dikurangi melalui
intervensi keperawatan. Diagnosis keperawatan pada dasarnya sudah ditentukan dan

85
diklasifikasikan, tetapidapat berubah dan berkembang melalui hasil riset keperawatan.
Diagnosis keperawatan merupakan respon terhadap disfungsi misalnya cemas,
inkontinen, pola nafas tidak efektif yang merupakan bidang wewenang keperawatan.
Demikian juga diagnosis keperawatan transkultural, bisa dimodifikasi dan dikembangkan
sesuai dengan kondisi dengan alasan normatif atau empiris. Terdapat tiga diagnosis
keperawatan transkultural yang sering ditegakkan menurut NANDA. Ketiganya ialah
gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan perbedaan kultur; gangguan sosial
berhubungan dengan disorientasi interaksi sosiokultural; serta ketidakpatuhan dalam
pengobatan berhubungan dengan sistem nilai yang diyakini.
Tahap proses keperawatan transkultural selanjutnya ialah rencana tindakan
keperawatan transkultural. Rencana tindakan keperawatan terdiri dari rencana tindakan
keperawatan independen (mandiri) dan kolaboratif (kerjasama dengan profesi lain, seperti
dokter, ahli akupuntur, dan sebagainya). Rencana tindakan keperawatan meliputi
penentuan prioritas sesuai diagnosis keperawatan, penentuan tujuan atau hasil dari asuhan
keperawatan untuk tiap diagnosis, dan memilih langkah tindakan keperawatan spesifik.
Penentuan prioritas diagnosis keperawatan bukan berarti mengurutkan diagnosis menurut
keutamaannya.
Selanjutnya, dilakukan penentuan tujuan hasil keperawatan yang diharapkan. Tujuan diagnosis
keperawatan merupakan perilaku pasien yang dapat diamati. Kriterianya, hasil tertulis yang
diharapkan dari pasien, yaitu isi dan waktu harus spesifik, bisa dijangkau, serta harus memenuhi
syarat SMART. SMART merupakan singkatan dari Spesifik, Measurable atau dapat diukur,
Acceptable atau dapat diterapkan, Realistis dan Time atau ada batasan waktu yang akan dicapai.
Sementara untuk memilih langkah tindakan keperawatan spesifik, rencana tindakan
keperawatan transkultural dapat berpedoman pada beberapa standar. Misalnya, Nursing
Intervention Classification (NIC), American Nurse Assosiation (ANA), atau dari standar
tersebut yang dalam implementasi keperawatan transkultural, faktor-faktor dalam komunikasi
lintas budaya juga perlu menjadi perhatian. Ketika seorang perawat berinteraksi dengan klien
berbeda latar belakang budaya, dapat dikatakan terjadi proses komunikasi lintas budaya atau
cross-cultural communication.

TUGAS TERSTRUKTUR
Mahasiswa membuat resume terkait materi yang telah disampaikan

86
TEST FORMATIF
1. Berikut ini salah satu unsur pembentuk kebudayaan secara universal adalah...
A. Manusia
B. Karya hidup
C. Bahasa
D. Adat istiadat
E. Mitos
2. Manusia membutuhkan manusia lain dalam hidupnya, pernyataan tersebut merupakan
unsur budaya yang disebut...
A. Bahasa
B. Sistem pengetahuan
C. Organisasi sosial
D. Peralatan hidup dan teknologi
E. Mata pencaharian
3. Budaya yang dimiliki oleh daerah atau suku bangsa yang bersifat khas dan diwariskan
secara turun temurun dalam ruang lingkup wilayah tersebut. Hal tersebut nerupakan
pernyataan dari...
A. Budaya nasional
B. Budaya lokal
C. Budaya Indonesia
D. Budaya sosial
E. Budaya rohani
4. Berikut ini yang bukan termasuk dari unsur budi atau akal adalah ....
A. Cipta
B. Cita
C. Rasa
D. Kehendak
E. Karsa
5. Budaya berasal dari bahasa Sanskerta “Buddhayah” yang artinya ....
A. Pemikiran
B. Kesenian
C. Adat istiadat
D. Mata pencaharian
E. Pertunjukan

87
6. Hasil pemikiran manusia yang bersifat abstrak, bentuknya berupa norma adalah ....
A. Tindakan
B. Hasil karya
C. Wujud kebudayaan
D. Gagasan
E. Kebudayaan perilaku
7. Faktor yang mempengaruhi Indonesia memiliki budaya yang beragam, kecuali ....
A. Posisi negara Indonesia yang terletak diantara dua benua dan dua semudera
B. Bentang alam Indonesia yang beragam, mulai dari pantai sampai gunung
C. Lempeng Eurasia yang dulunya menyatu kemudian terisolasi oleh lautan
D. Datangnya orang asing ke Indonesia untuk berdagang dan menetap
E. Orang Indonesia yang tidak bisa beradaptasi di suhu dingin
8. Berikut ini yang tidak termasuk unsur-unsur kebudayaan adalah ....
A. Pengetahuan
B. Kebiasaan
C. Kesenian
D. Organisasi kemasyarakatan
E. Mata pencaharian
9. Berikut ini yang tidak termasuk unsur-unsur kebudayaan adalah ....
A. Pengetahuan
B. Kebiasaan
C. Kesenian
D. Organisasi kemasyarakatan
E. Mata pencaharian
10. Proses sosial yang timbul akibat suatu kebudayaan tertentu (asli) dihadapkan dengan
kebudayaan lainnya sehingga menghasilkan budaya baru. Hal ini disebut...
A. Akulturasi
B. Asimilasi
C. Amalgamasi
D. Hedonisme
E. Caufisme

88
KEGIATAN BELAJAR 6
ASPEK KEHIDUPAN, PERKEMBANGAN DAN MASALAH MASYARAKAT
PEDESAAN DAN PERKOTAAN

ALOKASI WAKTU
100 Menit

CAPAIAN PEMBELAJARAN
Mahasiswa mampu memahami aspek kehidupan, perkembangan dan masalah
masyarakat pedesaan dan perkotaan.

URAIAN MATERI
MASYARAKAT DESA
A. Karakteristik Wilayah Perdesaan
Secara umum, dalam kehidupan masyarakat di perdesaan dapat dilihat dari
beberapa karakteristik yang mereka miliki, sebagaimana dikemukakan oleh Roucek
dan Warren (1963: 78) sebagai berikut:
1. Mereka memiliki sifat yang homogen dalam hal (mata pencaharian, nilai- nilai
dalam kebudayaan, serta dalam sikap dan tingkah laku)
2. Kehidupan di desa lebih menekankan anggota keluarga sebagai unit ekonomi.
Artinya semua anggota keluarga turut bekerja sama terlibat dalam kegiatan
pertanian ataupun mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan ekonomi rumah
tangga.
3. Faktor geografis sangat berpengaruh pada kehidupan yang ada (misalnya
keterikatan anggota masyarakat dengan tanah atau desa kelahirannya)
4. Hubungan sesama anggota masyarakat lebih intim dan awet dari pada di kota, serta
jumlah anak yang ada dalam keluarga inti lebih banyak.
B. Unsur-Unsur Desa
Menurut Bintarto (1986:47), desa terbentuk oleh adanya tiga unsur yang tidak
dapat dipisahkan satu sama lain dan merupakan satu kesatuan. Ke tiga unsur tersebut
adalah wilayah, penduduk dan tata kehidupan.
1. Daerah atau wilayah.
Daerah atau wilayah merupakan tempat bagi manusia untuk dapat melakukan
aktivitas, baik sosial ekonomi, maupun budaya. Pemilihan wilayah sebagai tempat

89
aktivitas dipengeruhi banyak faktor sperti iklim, keadaan tanah, topografi, air dan
sebagainya.
Adanya perbedaan kondisi fisik antar wilayah menyebabkan terjadinya perbedaan
perkembangan wilayah.Wilayah atau daerah mencakup produktif tidaknya tanah
serta penggunaannnya, luas wilayah, unsur lokasi, batas wilayah yang semua itu
merupakan lingkungan geografis setempat.
2. Penduduk, merupakan salah satu unsur desa yang penting, mencakup jumlah,
pertambahan, kepadatan, persebaran dan mata pencaharian penduduk setempat.
3. Tata kehidupan
Tata kehidupan masyarakat perdesaan meliputi tata pergaulan, adat istiadat,
organisasi pemerintah dan ikatan-ikatan yang melatar belakangi kehidupan
masyarakat desa. Jadi tata kehidupan dalam hal ini meliputi pola tata pergaulan
dan ikatan-ikatan pergaulan warga desa yangmenyangkut seluk beluk kehidupan
masyarakat desa.
C. Potensi Desa
Bintarto (1983:17-18), membedakan potensi desa atas potensi fisis dan potensi
non fisis.
Potensi fisis, meliputi:
1. Tanah, dalam arti sebagai sumber bahan tambang dan meineral, sumber tanaman,
yang merupakan sumber mata pencaharian adn penghidupan
2. Air,dalam arti sumber air, kualitas air dan tata airnya untuk kepentingan irigasi,
dan keperluan sehari-hari.
3. Iklim yang berperan penting dalam kegiatan pertanian.
4. Ternak, dalam arti terank sebagai sumber tenaga kerja, sumber bahan pangan dan
sumber pendapatan.
5. Manusia dalam arti sebagai pengolah tanah dan juga sebagai produsen.
Potensi non fisis, meliputi antara lain:
1. Masyarakat desa yang hidup berdasarkan gotong royong yang dapat merupakan
kekuatan berproduksi dan kekuatan membangun atas dasar kerja sama dan saling
pengertian diantara sesama warga desa.
2. Lembaga-lembaga sosial, pendidikan, yang dapat membantu dan membimbing
waraga desa.
3. Aparatur dan pamong desa, yang merupakan sumber kelancaran dan ketertiban
pemerintahan desa.

90
Tabel 1. Perbedaan Kualitatif Masyarakat Desa dan Kota
No Unsur-unsur Desa Kota
pembeda
1 Basis Ekonomi Pertanian Industri,perdagangan,jasa
2 Mata pencaharian Agraris-homogen Non agraris,heterogen
3 Ruang kerja Lapangan terbuka Ruang tertutup
4 Musim/cuaca Penting,menentukan Tidak penting
5 Keahlian/keterampi Umum,tersebar Ada spesialisasi
lan
6 Rumah dan tempat Dekat Berjauhan
kerja
7 Kepadatan Tidak padat Padat
penduduk
8 Stratifikasi sosial Sederhana,sedikit Kompleks dan banyak
9 Interaksi sosial Frekuensi kecil,personal Frekuensi
besar,impersonal
10 Diferensiasi sosial Kecil,homogen Kompleks,heterogen
11 Lemba-lembaga Terbatas, sederhana Banyak dan kompleks
12 Kontrol sosial Adat,tradisi Hukum,peraturan tertulis
13 Sifat kelompok Gotong Gesellschaft
masyarakat royong,akrab,gemeinscha
ft
14 Mobilitas sosial Rendah Tinggi
15 Karakter komunitas Kecil, homogen Besar dan heterogen
16 Status sosial Rendah Tinggi
17 Tradisi Kuat, sering irasional Lemah, rasional
,kepercayaan lokal

MASYARAKAT KOTA
Seperti halnya desa, kota juga mempunyai batasan pengertian yang bermacam-
macam, sesuai dengan sudut pandang para ahli yang mendefinisikannya. Berikut ini
disampaikan beberapa pengertian tentang kota:
1. Bintarto (1983,36), dengan sudut pandang geografi, kota dapat diartikan sebagai suatu
sistem jaringan kehidupan yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi, dan
diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen dan bercorak materialistis, atau
dapat pula diartikan sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami
dan non alami dengan gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dengan corak
kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistis dibandingkan dengan daerah
belakangnya.
2. Sjoberg (P.J.M.Nas,1979; Khairuddin,1992:4-5), titik awal dari gejala kota adalah
timbulnya berbagai kelompok khusus, seperti golongan litersi (golongan intelegensia
kuno seperti sastrawan, pujangga, ahli-ahli keagamaan). Wirth memberi batasan

91
pengertian kota adalah suatupermukiman yang cukup besar, padat, permanen, dihuni
oleh orang-orang yang heterogen kedudukan sosialnya. Max Weber, kota adalah suatu
tempat apabila penghuni tempatnya dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan
ekonominya di pasar lokal.
3. Wirth, kota adalah suatu permukiman yang cukup besar, padat, permanen, dan dihunni
oleh orang-orang yang heterogen kedudukan sossialnya.
4. Max weber, suatu tempat disebut kota apabila penghuni setempat dapat memenuhi
sebagian besar kebutuhan ekonominya di pasar lokal.
5. P.J.Mnas, kota dapat ditinjau dari beberapa segi:
a. Morfologi: adanya cara membangun dan bentuk fisik bangunan yang berjejal-jejal
b. Jumlah penduduk, sesuai dengan kondisi negara yang bersangkutan,antara satu
negara dengan negara lainnya tidak sama, misalnya: Jepang, 30.000 orang atau
lebih, Belanda 20.000 orang atau lebih,
c. Hukum, orang sering merujuk kota pada abad 19, biasanya mengenal sistem
hukum sendiri. Pengertian kota dikaitkan dengan adanya hak- hak hukum
tersendiri bagi penghuni kota.saat ini kriterium ini sudah tidak ditinggalkan.,
d. Ekonomi, suatu nkota adal;ah cara hidup yang bukan agraris.Fungsi kota yang
khas adalah kegiaytan-kegiatan budaya,industri,perdagangan dan niagasera
kegiatan pemerintahan.
e. Sosial, bersifat kosmopolitan, hubungan-hubungan sosial impersonal, sepintas
lalu, terkotak-kotak, dan lain-lainnya.
6. Menurut Hadi Sabari Yunus (1994) dalam (Suparmini,2006:44) kota dapat ditinjau
secara fisikal, fungsional, administrasi pemerintahan, undang- undang, sosial ekonomi,
morfologi dan yuridis administratif sebagai berikut:
a. Dalam arti fisikal kota adalah suatu “nodal point” dalam suatu wilayah yang
luas,merupakan konsntrasi penduduk yang padat, bangunan yang didominasi oleh
struktur permanen, dan kegiatan-kegaiatan fungsionalnya.
b. Dalam arti fungsional kota adalah titik fokus yang merupakan pemusatan berbagai
kegiatan, dan masing-masing mempunyai sifat kekhususan yang tinggi, dengan
kegiatan fungsional melayani kebutuhan kota itu sendiri dan juga daerah-daerah
lainnya.
c. Dalam artian undang-undang dan administrasi pemerintahan, kota merupakan
suatu wilayah Negara yang dibatasi oleh batas-batas administrasi tertentu, baik
berupa garis yang bersifat abstrak, maupun batas-batas fisikal yang berada dalam

92
wewenang suatu tingkat pemerintahan tertentu yang berhak dan berkewajiban
mengatur dan mengurus rumah tangga di wilayah tersebut.
d. Dalam arti sosial ekonomi, kota merupakan kesatuan masyarakat yang
heterogen,mempunyai tingkat kebutuhan yang lebih banyak apabila dibandingkan
dengan penduduk wilayah perdesaan.
e. Dalam arti morfologi, kota adalah suatu daerah tertentu dengan karakteristik
penggunaan lahan non agraris, sebagian besar wilayah tertutup oleh bangunan,
mempunyai jaringan jalan yang kompleks dalam sistem permukiman kelompok
dan relatif besar dari unit-unit permukiman lainnnya.
f. Dalam arti yuridis administrasi, kota adalah suatu wilayah tertentu yang
mempunyai batas-batas administratif tertentu, diatur dengan peraturan tertentu,
ditetapkan dengan status kota, pemerintahan tertentu dengan segala hak dan
kewajibannya mengatur wilayah.
Dalam pengertian hukum, di Indonesia ada empat macam kota, (1) kota sebagai
ibukota nasional/negara, misal kota Jakarta;(2) kota sebagai ibukota propinsi; (3) kota
sebagai ibikota kabupaten dan atau kota madya; (4) kota ibukota admisnistratif (kotatif).
Dalam pengertian teknis, kota mempunyaijumlah penduduk tertentu, misalnya di Indonesia
yang disebut kota adalah suatu tempat dengan jumlah penduduk 20.000 jiwa atau lebih,
sedang diJepang dengan jumlah penduduk 30.000 jiwa, Malaysia dengan jumlah penduduk
5.000 jiwa, sedang di Amerika Serikat dengan penduduk 2.500 jiwa.
Umumnya yang dimaksud dengan kota adalah suatu tempat yang kepadatan
penduduknya tinggi, rumah-rumahnya berkelompok kompak, mata pencaharian penduduk
bukan pertanian, sarana prasarana tersedia lengkapseperti banyaknya bangunan-bangunan
besar dan tinggi, perkantoran, jalan yang lebar dan baik, ada pusat pertokoan, tempat
hiburan, jaringan listrik, jaringan air minum dan sebagainya.
A. Karakteristik Perkembangan Kota Tahap Pra Modernisasi, Modernisasi dan
Globalisasi.
Karakteristik kota pada setiap tahap perkembangan, dapat diklasifikasikan dari
aspek fisik dan non fisik dijelaskankan dalam tabel berikut ini:

93
Tabel 2. Karakteristik kota Tahap Pra Moderrnisasi, Modernisasi dan Globalisasi
No Aspek Pra Modernisasi Globalisasi
Modernisasi
1 Wilayah Lahan kosong Lahan sudah mulai Lahan semakin
masih sangat menyempit karena sempit,fasilitas
luas adanya bangunan- umum dan
bangunannbaru yang khusus semakin
berupa banyak dan
permukiman,fasilitas nmodern, banyak
umum dan khusus didirikan bangunan
seperti
mall,hotel dll
2 Tata Letak Wilayah kota Perumahan atau Sudah ada
terdapat di permukiman sudah pembagian kerja
jalur tepi mulai teratur dan secara spesifi di
sungai atau sudah mulai ada dalam wilayah kota
memanjang kompleks-kompleks untuk menunjang
sepanjang industri produktivitas dalam
aliran sungai sektor ekonomi.
3 Mata Pertanian Sektor industri dan Berkembang
pencaharian modern perdagangan pekerjaan di sektor
jasa danbidang lain
yang
mengutamakan
skill, misalnya
kemampuan bahasa
yang tinggi dan
pengetahuan yang
luas
4 Budaya Masih terikat Kebudayaan Budaya Barat
pada adat dijadikan aktivitas masuk dan
istiadat ekonomi berkembang
bercocok
tanam
5 Pola pikir Tradisional Modern menuju Sudah berpikir
menuju perubahan dan secara terbukas
modern kemajuan sehingga dapat
berpikir secara
kritis
6 Pemanfaatan Sudah Mulai Masyarakat
memanfaatkan mengembangkan tergantung
teknologi teknologi dan melaskukan pada teknologi pada
inovasi teknologi segalaaspek
kehidupan

94
Dari uraian mengenai karakteristik kota dan desa, maka Lowry Nelson
menyusun tabel tentang perbedaan antara masyarakat desa dan kota sebagai berikut:
Tabel 3. Perbedaan Masyarakat desa dan Kota
No Unsur pembeda Desa Kota
1 Mata pencaharian/basis Homogen –agraris, Heterogen - non
ekonomi pertanian agraris, industri,
perdagangan,
jasa
2 Ruang kerja Lapangan terbuka Ruang tertutup
3 Musim, cuaca Penting,menentukan Tidak penting
4 Keahlian,keterampilan Umum,tersebar Ada spesialisasi
5 Rumah,tempat kerja Dekat Berjauhan
6 Kepadatan penduduk Tidak padat Padat
7 Kontak sosial Frekuensi kecil, Frekuensi besar,
personal impersonal
8 Stratifikasi sosial Sederhana, sedikit Kompleks dan
banyak
9 Lembaga-lembaga Terbatas, sederhana Banyak, kompleks
10 Kontrol sosial Adat, tradisi Hukum,
peraturan tertulis
11 Sifat kelompok Gotong royong Gesellschaft
masyarakat akrab(gemeinschaft)
12 Mobilitas Rendah Tinggi
13 Status sosial Stabil Tidak stabil
14 Diferensiasi sosial Kecil-homogen Kompleks-
heterogen.
Tradisi dan Percaya kuat, Rasional
15 kepercayaan lokal terkadang irasional

INTERAKSI MASYARAKAT DESA DAN KOTA


A. Proses Interaksi Masyarakat Desa dan Kota
Proses interaksi sosial antara masyarakat desa dan kota berbeda, perbedaan itu
disebabkan oleh adanya faktor-faktor yang mempengaruhi sikap dan interaksi sosial
dari ke dua kelompok masyarakat tersebut. Sorokin dan Zimmerman (Smith,
T,Lynn,1951:56) mengemukakan perbedaan sistem interaksi sosial masyarakat desa
dan kota sebagai berikut:
a. Area kontak masyarakat perdesaan lebih sempit dan lebih terbatas daripada
masyarakat perkortaan.
b. Totalitas kontak yang dilakukan masyarakat perdesaan bersifat langsung (face to
face), sedang masyarakat kota mempunyai hubungan yang tidak langsung. Hal ini
terlihat pada kebiasaan pada penduduk perdesaan yang umumnya mengenal orang

95
lain secara baik, sedang di perkotaan sebaliknya.
c. Kontak di perdesaan bersifat personal, sedang di kota bersifat impersonal.
d. Kontak sosial yang dilakukan masyarakat perdesaan bersifat permanen, erat,
bertahan lama. Sedang kontak sosial di perkotaan ledbih bersifat sambil lalu
(casual), dangkal atau tidak mendalam (superficial dan tidak bertahan lama.
Dengan perbedaan-perbedaan tersebut maka interaksi sosial masyarakat
perdesaan tidak trerdiferensiasi kurang lentur, kurang terstandardisasi, kurang
termekanisasi dibanding dengan masyarakat kota.
Faktor-Faktor yang mempengaruhi Interaksi Desa dan Kota, Edward Ullman
mengemukakan bahwa ada tiga faktor utama yang mempengaruhi timbulnya interaksi
antar wilayah, yaitu :
a. Adanya wilayah yang saling melengkapi (regional complementary)
Adanya hubungan yang saling melengkapi dimungkinkan karena adanya
perbedaan wilayah dalam hal ketersediaan dan kemampuan sumberdaya. Di satu
pihak ada wilayah yang surplus, dan ada wilayah lainnya yang kekurangan
sumberdaya. Keadaan ini akan mendorong terjadinya interaksi, karena didorong
rasa saling membutuhkan.

Wilayah B
Wilayah A Surplus sumber daya Y
Surplus sumber daya X Minus sumber daya X
Minus sumber daya Y Minus sumber daya Z
Minus sumber daya Z

Wilayah C
Surplus sumber daya Z
Minus sumber daya X
Minus sumber daya Y

Gambar. Adanya Wilayah yang saling melengkapi (regional complementary)

96
b. Adanya kesempatan untuk saling intervensi (intervening opportunity) Artinya ke dua
wilayah mempunyai kesempatan melakukan hubungantimbal balik, serta tidak ada
pihak ke tiga yang membatasi kesempatan itu.Adanya intervensi pihak ke tiga dapat
menjadi penghambat ataumelemahkan interaksi antara dua wilayah.

Wilayah A Wilayah B
Surplus sumber daya X Surplus sumber daya X
Minus sumber daya Y Minus sumber daya Y

Wilayah C
Surplus sumber daya X
Surplus sumber daya Y

Gambar. Adanya Kesempatan untuk Saling Intervensi


(interveningopportunity
c. Adanya kemudahan transfer atau pemindahan dalam ruang (spatial tranferability)
Spatial transfer abilityyaitu kemudahan transfer atau pemindahan dalam ruang,
baik manusia, informasi atau barang, sangat tergantung pada faktor jarak, biaya
angkut atau transportasi, dan kelancaran transportasi. Jadisemakin mudah transfer,
semakin besar pemindahan arus komoditas.
Interaksi antara desa dan kota menimbulkan pengaruh tertentu. Pengaruhnya
akan tergantung pada jarak ke pusat kota. makin jauh dari pusat kota, interaksi semakin
lemah. Wilayah interaksi ini akan membentuk lingkaran-lingkaran, dimulai dari pusat
kota sampai kewilayah desa. Zone interaksi desa dan kota oleh Bintarto (1983:66)
dijelaskan sebagai berikut:
a. City dimaksudkan sebagai pusat kota;
b. Suburban (sub daerah perkotaan), suatu wilayah yang lokasinya dekat pusat atau
inti kota, dihuni oleh para penglaju;
c. Suburban fringe (jalur tepi sub wilayah perkotaan), suatu wilayah yang melingkari
suburban dan merupakan wilayah peralihan antara kota dan desa;
d. Urban fringe (jalur tepi wilayah perkotaan paling luar) yaitu semua wilayah batas
luar kota yang mempunyai sifat-sifat mirip kota, kecuali inti kota;

97
e. Rural urban fringe (jalur batas desa dan kota), merupakan wilayah yang terletak
antara kota dan desa, yang ditandai dengan pola penggunaan lahan campuran
antara sektor pertanian dan non pertanian;
f. Rural (wilayah desa), wilayah yang masih menitik beratkan pada kegiatan
pertanian.
Zone suburban, suburban fringe, urban fringe dan rural urban fringemerupakan
wilayah yang memiliki suasana kehidupan modern, sehingga dapat disebut perkotaan
jalur-jalur yang digambarkan tersebut merupakan gambaran yang ideal. Dalam
kenyataannya jalur-jalur zone interaksi desa dan kota tidak selalu konsentris.
B. Perubahan Sosial Budaya Masyarakat Desa dan Kota
Akibat dari meningkatnya proses urbanisasi menimbulkan dampak- dampak
terhadap lingkungan kota, baik dari segi tata kota, masyarakat, maupun keadaan
sekitarnya. Berikut dampak negatif dan postif akibat adanya arus urbanisasi :
1. Dampak Negatif :
Permasalahan akibat urbanisasi dapat dikatakan bahwa jumlahnya tidak
sedikit, antara lain sebagai berikut :
a. Kepadatan penduduk kota yang menimbulkan masalah kesehatan lingkungan,
masalah perumahan, masalah persampahan. Prasarana pemukiman seperti
air, listrik dan lainnya sudah tidak mencukupi dan sarana lingkungan seperti
tempat MCK makin tidak memenuhi syarat karena kurang kebersihannya ,
dan masalah pembuangan sampah yang sembarangan menimpulkan dampak
negatif bagi kesehatan (Herlianto, 1986 : 23).
b. Pertambahan penduduk kota yang menimbulakan masalah kesempatan dan
mendapatkan pekerjaan yang layak dan memadai, masalah pengangguran dan
gelandangan.
c. Penyempitan ruang dengan segala akibat negatifnya di kota karena banyaknya
orang, bertambahnya bangunan untuk perumahan, perkantoran, kegiatan
industri, dan bertambahnya kendaraan bermotor yang terus menerus
membanjiri kota-kota di negara berkembang.
d. Masalah lalu lintas, kemacetan jalan, dan masalah parkir yang menghambat
kelancaran kota.
e. Industrialisasi di kota yang menimbulkan polusi udara, polusi air, dan polusi
kebisingan (Bintarto,1986: 35).

98
Pengaruh urbanisasi tidak hanya membawa hal negatif bagi masyarakat
tempat mereka bermukim, akan tetapi hal yang sama berlaku juga bagi tempatyang
mereka tinggalkan (desanya).
2. Dampak positif
Pandangan yang positif terhadap urbanisasi, melihat urbanisasi sebagai
usaha pembangunan yang menyeluruh, tidak terbatas dalam pagar administrasi
kota. Selain itu kota dianggap sebagai “agen modernisasi dan perubahan”. Mereka
melihat kota sebagai suatu tempat pemusatan modal, keahlian, daya kreasi dan
segala macam fasilitas yang mutlak diperlukan bagi pembangunan. Beberapa
dampak positif akibat adanya urabanisasi adalah :
a. Bagi Kota
1) Kota mendapatkan tanaga kerja yang melimpah karena banyak penduduk
desa yang ke kota. Tenaga kerja tersebut biasanya gajinya murah dan bisa
bekarja secara fisik.
2) Penduduk kota yang banyak menyebabkan terjadinya perdagangan yang
besar. Hal ini disebabkan karena penduduk itu merupakan potensi
konsumen yang baik untuk memasarkan produk-produk hasil produksi,
makanya di kota banyak kita temui mal atau supermarket.
3) Pembangunan kota menjadi lebih cepat karena dukungan sumber daya
manusia yang melimpah pada semua sektor kehidupan.
4) Munculnya banyak sekolah dan perguruan tinggi yang berkualitas.Karena
persaingan yang begitu ketat untuk mendapatkan pekerjaan yang layak
maka banyak penduduk yang memilih lembaga pendidikan yang
berkualitas.
5) Industri berkembang dengan baik. Hal ini dikarenakan banyak tenaga
kerja dan banyaknya konsumen yang ada di kota.
b. Bagi Desa
1) Kesejahteraan penduduk desa meningkat, karena penduduk yang berhasil
di kota akan mengirimkan uang ke desa.
2) Munculnya penduduk desa yang punya pendidikan tinggi, karena ada
sebagian penduduk yang sekolah pada perguruan tinggi di kota.
3) Adanya alih teknologi. Penduduk desa yang di kota akan memberikan
pengetahuannya kepada penduduk desa tentang teknologi yang suda
berkembang di kota.
99
4) Adanya perhatian dari pemerintah untuk membangun desa supaya
pemerintah bisa sukses untuk menghambat laju urbanisasi.
5) Adanya industri kecil dan keluarga yang berkembang di desa, karena
penduduk kota yang kembali ke desa akan membuat industri skalakecil
di desa, dimana pengetahuan kerajinan itu dia dapatkan sebelumnya di
kota.
Memperhatikan berbagai penelitian dan informasi ternyata urbanisasi ini
memiliki implikasi terhadap berbagai sektor kehidupan seperti :
a. Dalam sektor ekonomi, struktur ekonomi menjadi lebih bervariasi.
Bermacam-macam usaha atau kegiatan di bidang transportasi, perdagangan,
dan jasa timbul dari mereka yang bermodal gurem sampai yang bermodal
besar, terutama timbulnya di sektor informal seperti kaki lima dan di bidang
jasa yang juga dilaksanakan oleh kaum wanita, sebagai tenaga angkut di pasar
dan tenaga anak-anak sebagai penyemir sepatu dan penjual surat kabar.
b. Perkembangan di bidang wiraswasta juga nampak meluas di berbagaibidang
seperti peternakan, kerajinan, pariwisata dsb.
c. Dalam bidang pendidikan makin banyak diusahakan adanya pendidikan
kejuruan.
d. Implikasi lain yang juga dapat diamati jumlh perluasan fisik kota ke arah
daerah tepian atau pinggiran kota yang menimbulkan permasalahan baru
mengenai persoalan administratif pertanahan dan administratifpemerintahan.
e. Demikian pula dapat dipahami bahwa harga atau nilai tanah baik di kota
maupun di daerah tepian kota cenderung menaik. Dan keadaan ini juga mulai
dirasakan oleh penduduk desa.
f. Perubahan tata guna lahan . Banyak daerah hijau telah menjadi daerah industri
atau daerah pemukiman, keadaan ini berpengaruh terhadap kehidupan dan
lingkungan pedesaan.
Untuk mengatasi dan mengelola berbagai masalah yang ditimbulkan oleh
urbanisasi diperlukan adanya suatu kebijaksanaan atau policy terhadap permasalahan
urbanisasi.
1. Aspek Geografi
a. Menertibkan dan mengoptimalkan program transmigrasi sehingga nantinya
tercapai suatu pemerataan SDM di berbagai wilayah Indonesia
b. Mengembangkan daerah perdesaan agar menjadi salah satu tempat wisata
100
daerah, sehingga nantinya dapat membuka lapangan pekerjaan yang baru bagi
masyarakat sekitar.
c. Mengatur arus penduduk dari daerah perdesaan ke perkotaan melalui
kegiatan administratif dan kebijaksanaan lainnya.
d. Menghidupkan daerah perdesaan dengan berbagai kegiatan pembangunan
antara lain pengembangan dan peningkatan jalur transportasi dan
komunikasi.
2. Aspek Ekonomi
a. Mengembangkan industri kecil atau industri rumah tangga di berbagai
daerah perdesaan di Indonesia.
b. Meningkatkan Pemberdayaan Masyarakat Perdesaan sehingga dapat
membuat masyarakat perdesaan memiliki modal untuk mendirikan usaha
yang mampu diterapkan oleh masyarakat perdesaan.
3. Aspek Sosial
a. Pembangunan perumahan rakyat yang murah dan memenuhi syarat kesehatan
di daerah tepi.
b. Melancarkan kegiatan keluarga berencana dengan lebih ketat baik di desa
maupun di kota.
Berbagai solusi dan alternatif di atas akan dapat dilaksanakan apabila ada jalinan
kerja sama yang baik antara masyarakat dan pihak pemerintah. Dalam hal ini
partisipasi aktif masyarakat sangat diperlukan, sehingga program-program
pembangunan akan berjalan lebih tertib dan lancar yang nantinya akan mempercepat
terselesaikannya pembangunan.
Selain itu, beberapa usaha yang sudah atau sedang dilaksanakan oleh pemerintah
Indonesia untuk mengatasi masalah urbanisasi (Bintarto, 1986:50-51) adalah antara
lain :
1. Mempelajari, meneliti dan melaksanakan pengembangan wilayah di pelbagai
tempat, terutama di kota-kota besar di Jawa dan di luar Jawa.
2. Mengembangkan industri kecil atau industri rumah tangga di pelbagai daerah
pedesaan di Indonesia.
3. Mengatur arus penduduk dari daerah pedesaan ke kota melalui kegiatan
administratif dan kebijaksanaan lainnya.
4. Melancarkan kegiatan keluarga berencana dengan lebih ketat baik di desa maupun
di kota.
101
5. Menghidupkan daerah pedesaan dengan pelbagai kegiatan pembangunan antara
lain pengembangan dan peningkatan jalur transportasi dan komunikasi.
6. Pembangunan perumahan rakyat yang murah dan memenuhi syarat kesehatan di
daerah tepi.

TUGAS TERSTRUKTUR
Mahasiswa membuat resume terkait materi yang telah disampaikan

TEST FORMATIF
1 Salah satu dampak positif interaksi desa dan kota bagi desa adalah
A. Teknologi pertanian meningkat.
B. Terjadi peningkatan urbanisasi
C. Corak kehidupan agraris memudar
D. Banyak lahan desa dimiliki penduduk kota
E. Penduduk desa permisif terhadap tindak asusila
2 Bantuan dana desa oleh pemerintah di desa Karang Rejo digunakan untuk membangun
jalan yang menuju keperkebunan,supaya akses masuk keperkebunan lanacar sehingga
memudahkan untuk mengambil hasil perkebunan yang berupa ,kakao, kopi dan pisang. Hal
tersebut berdampak pada bidang ekonomi yaitu
A. Memudahkan akses jalan masuk
B. Melancarkan arus perdagangan
C. Memajukan wilayah sekitarnya
D. Meningkatkan produktifitas hasil bumi
E. Memudahkan pengangkutan hasil bumi
3 Dampak interaksi desa kota: (1) Timbul konsumerisme; (2) Perubahan tata guna lahan; (3)
Timbulnya materialism; (4) Didesa kekurangan tenaga kerja muda; (5) Modernisasi
menjadi westernisasi. Dampak negatif interaksi desa kota bagi desa pada bidang perubahan
sikap hidup ditunjukan pada angka
A. ( 1 ), ( 2 ) dan ( 3 )
B. ( 1 ), ( 2 ) dan ( 4 )
C. ( 1 ), ( 3 ) dan ( 5 )
D. ( 2 ), ( 4 ) dan ( 5 )
E. ( 3 ), ( 4 ) dan ( 5 )

102
4 Interaksi desa dan kota berdampak pada memudarnya karakteristik utama desa, Dampak
ini tampak pada
A. Perkembangan teknologi di desa
B. Penduduk desa merantau ke kota
C. Gaya hidup kota yang menyebar di desa
D. Tingkat pendidikan di desa semakin maju
E. Konversi lahan pertanian menjadi permukiman
5 Interaksi desa dan kota berdampak bagi kedua wilayah. Salah satu dampak negatif interaksi
desa dan kota bagi desa adalah
A. Menurunnya urbanisasi
B. Meningkatnya peserta KB
C. Muncul banyak wirausahawan
D. Meningkatnya gaya hidup konsumtif
E. Semakin berkembangnya koperasi desa
6 Dampak positif interaksi desa dan kota yang dapat diamati di kota adalah …..
A. Kemudahan memperoleh bahan pangan
B. Permukiman penduduk semakin padat
C. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
D. Budaya desa mempengaruhi kehidupan kota
E. Peningkatan jenis pekerjaan di sektor jasa dan industri
7 Dampak positif interaksi kota dengan desa bagi kota adalah
A. Budaya kota didominasi budaya desa
B. Produk yang dihasilkan kota dipasarkan sampai ke pelosok desa sehingga menghasilkan
keuntungan
C. Masyarakat kota tergantung pada masyarakat desa
D. Pekerjaan rumah tangga dipenuhi warga desa
E. Kondisi kota tidak dapat dipengaruhi warga desa
8 desa yang sudah mampu mengembangkan potensi sumber dayanya secara optimal dan daya
interaksi wilayahnya dengan wilayah lain sudah tinggi disebut desa...
A. swadaya
B. swasembada
C. swakarya
D. tradisional
E. transisi
103
9 faktor faktor yang memengaruhi interaksi antardua wilayah atau lebih menurut Edward
Ullman diantaranya...
A. adanya wilayah yang saling bergantungan
B. adanya wilayah yang saling melengkapi
C. adanya kesulitan antar wilayah
D. adanya wilayah yang saling mengurangi
E. adanya kesempatan untuk berakomodasi
10 ciri desa swadaya adalah...
A. tidak terisolasi
B. terdapat home industri
C. mata pencaharian penduduk heterogen
D. tingkat perekonomian penduduk sudah maju
E. adat istiadat masih kuat

104
KEGIATAN BELAJAR 7
ASPEK-ASPEK SOSIAL YANG MEMPENGARUHI PERILAKU SEHAT DAN
KAITAN STATUS KESEHATAN IBU, BAYI, BALITA DAN KELUARGA

ALOKASI WAKTU
100 Menit

CAPAIAN PEMBELAJARAN
Mahasiswa mampu memahami aspek-aspek sosial yang mempengaruhi perilaku sehat
dan kaitan status kesehatan ibu, bayi, balita dan keluarga.

URAIAN MATERI
Aspek Sosial Yang Mempengaruhi Kesehatan
Aspek sosial yang akan mempengaruhi perilaku masyarakat dalam bidang kesehatan
diantaranya adalah :
A. Pengaruh self Concept terhadap perilaku
Self Concept ditentukan oleh tingkatan kepuasan yang dirasakan oleh diri sendiri
terutama bagaimana cara individu itu dapat merefleksikan kepuasannya kepada orang lain.
Apabila orang lain merasakan kepuasan yang kita berikan direspon sebagai hal yang positif
maka orang lain akan merasakan kepuasan yang yang sama. Tetapi sebaliknya apabila
kepuasan yang kita berikan direspon negatif oleh masyarakat maka dalam jangka waktu
lama masyarakat akan merasa tidak puas. Kondisi semacam ini kita harus melakukan
promosi bagai mana tingkat kepuasan yang kita terima akan direspon positip bagi orang
lain . Misal : apabila kita merasa puas dengan sistem kartu gosok pendaftaran, sedangkan
orang lain merasa lebih repot, maka Rumah Sakit harus melakukan upaya penjelasan sistem
tersebut justru akan lebih memudahkan. Self Contact adalah hal yang penting dalam upaya
kesehatan, karena akan mempengaruhi perilaku masyarakat
B. Pengaruh Image kelompok terhadap perilaku kesehatan
Image perorangan akan sangat dipengaruhi oleh image kelompok. Sebagai Contoh:
“ seorang guru apabila sakit akan berobat ke dokter, sedangkan bapak petani apabila sakit
pergi ke dukun, maka akan berpengaruh pada keluarga petani juga akan berobat ke dukun,
walaupun sekolah menganjurkan ke Puskesmas,

105
Image masyarakat bahwa patah tulang harus disembuhkan pada dukun sangkal putung
maka apabila ada keluarga kita patah tulang akan dibawa ke sangkal putung bukan ke
dokter orthopedi ”
C. Pengaruh Indentifikasi Individu dalam kelompok terhadap perilaku kesehatan
Beberapa indentitas sosial yang mempengaruhi status kesehatan diantaranya :
1. Umur,
2. Jenis kelamin,
3. Pekerjaan,
4. Sosial ekonomi→ dalam segi epidemiologi faktor individu sangat berpengaruh dalam
status kesehatan disamping, lingkungan dan agent.
Indentifikasi tersebut akan mempengaruhi dalam pembentukan kelompok sosial dan cara
aktifitasnya, dimana kelompok sosial kemudian membentuk budaya/ perilaku kelompok.
Contoh : Perilaku anak muda yang merokok dimulai dari individu dalam kelompok,
Kelompok kerja dengan debu akan merangsang orang lain pakai masker dll. Perilaku
kelompok suatu desa lebih senang BAB disungai ternyata ketika mereka BAB di sungai
terbiasa terjadi transaksi pekerjaan, perjodohan dll, sehingga walaupun dibuatkan tempat
BAB yang baik mereka tetap akan kembali disungai jika dilihat dari aspek umur,maka ada
perbedaan golongan penyakit berdasarkan golongan umur.misalnya dikalangan balita
banyak yang menderita penyakit infeksi, sedangkanpada golongan dewasa atau usia lanjut
lebih banyak menderita penyakit kronis.demikian juga dengan aspek golongan menurut
jenis kelamin,dikalangan wanita lebih banyak menderit kanker payudara,sedangkan pada
pria,lebih banyak menderita kanker prosat. begitu juga dengan jenis pekerjaan,dikalangan
petani lebih banyak menderita penyakit cacingan,karena aktifiasnya banyak dilakukan
disawah,sedangkan pada buruh tekstil lebih banyak menderita penyakit salura pernafasan
karena banyak terpapar debu. keadaan sosial ekonomi juga mempengaruhi pada pola
penyakit,bahkan juga berpengaruh pada kematian, misalnya angka kematian lebih tinggi
pada golonga yang status ekonominya rendah dibandingkan dengan status ekonominya
tinggi. demikian juga obesitas lenih ditemukan pada kalangan masyarakat dengan status
ekonoinya tinggi.
Aspek social yang mempengaruhi Perilaku/ status kesehatan
G.M. Foster (1973) mengatakan ada beberapa aspek budaya yang mempengaruhi kesehatan
seseorang diantaranya:
A. Tradisi terhadap Perilaku kesehatan

106
Banyak tradisi yang mempengaruhi perilaku kesehatan dan status kesehatan
misalnya tradisi merokok bagi orang laki2 maka kebanyakan laki2 lebih banyak yang
menderita penyakit paru dibanding wanita.
Tradisi wanita habis melahirkan tidak boleh makan ikan karena ASI akan berbahu
amis, sehingga ibu nifas akan pantang makan ikan.
B. Pengaruh sikap fatalistis terhadap perilaku/status kesehatan
Sikap fatalistis arti sikap tentang kejadian kematian dari masyarakat Hal ini adalah
sikap fatalism yang juga mempengaruhi perilaku kesehatan,beberapa anggota masyarakat
di kalangan kelompok yang beragama Islam percaya bahwa anak adalah titipan Tuhan,dan
sakit atau mati itu adalah takdir,sehingga masyarakat kurang berusaha untuk mencari
pertolongan pengobatan bagi anaknya yang sakit,atau menyelamatkan seseorang dari
kematian. Dan juga sangat sulit menyadarkan masyarakat untuk melakukan pengobatan
disaat sakit.
C. Pengaruh sikap ethnocentris terhadap perilaku kesehatan
Sikap ethnocentris yaitu sikap yang memandang bahwa budaya kelompok adalah
yang paling baik, jika dibandingkan dengan kebudayaan pihak lain. Misalnya orang-orang
barat merasa bangga terhadap kemajuan ilmu dan teknologi yang dimilikinya,dan selalu
beranggapan bahwa kebudayaannya paling maju,sehingga merasa superior terhadap
budaya dari masyarakat yang sedang berkembang. tetapi dari sisi lain,semua anggota dari
budaya lainnya menganggap bahwa yang dilakukan secar alamiah adalah yang terbaik.
Oleh karena itu,sebagai petugas kesehatan kita harus menghindari sikap yang menganggap
bahwa petugas adalah orang yang paling pandai,paling mengetahui tentang masalah
kesehatan karena pendidikan petugas lebih tinggi dari pendidikan masyarakat setempat
sehingga tidak perlu mengikut sertakan masyarakat tersebut dalam masalah kesehatan
masyarakat.dalam hal ini memang petugas lebih menguasai tentang masalah
kesehatan,tetapi masyarakat dimana mereka bekerja lebih mengetahui keadaan di
masyarakatnya sendiri.
Contoh lain : Seorang perawat/ dokter menganggap dirinya yang paling tahu tentang
kesehatan, sehingga merasa dirinya berperilaku bersih dan sehat sedangkan masyarakat
tidak.
D. Perasaan bangga pada statusnya
Sikap perasaan bangga atas perilakunya walaupun perilakunya tidak sesuai dengan
konsep kesehatan. hal tersebut berkaitan dengan sikap ethnosentrisme.

107
Misal : orang bangga kalau dapat makan dengan beras yang putih, makan lauk penuh
dengan lemak seakan-akan sebagai lambang kemakmuran. Orang akan bangga apabila
makan Burger dibanding makan ikan kutuk/ lele.
E. Pengaruh Norma terhadap perilaku kesehatan
Norma dalam masyarakat sangat mempengaruhi perilaku masyarakat dibidang
kesehatan, karena norma yang mereka miliki diyakininya sebagai bentuk perilaku yang
baik. Misal ; adanya norma bahwa laki2 tidak boleh bersalaman dengan Perempuan yang
bukan mukrimnya, sehingga seorang wanita apabila periksa bagian tubuhnya harus
dilakukan oleh dokter wanita, sampai pada pemberian alat KB IUD, suntik harus dilakukan
oleh dokter wanita, bahkan untuk periksa wanita hamil harus oleh dokter wanita.
Norma dimasyarakat sangat mempengaruhi perilaku kesehatan dari anggota
masyarakatnya yang mendukung norma tersebut.
F. Pengaruh nilai terhadap perilaku kesehatan
Nilai yang berlaku dalam masyarakat akan berpengaruh terhadap perilaku individu
masyarakat, kerena apa tidak melakukan nilai maka diangga tidak berperilaku “ pamali”
atau “ Saru “. Nilai yang ada dimasyarakat tidak semua mendukung perilaku sehat. Nilai-
nilai tersebut ada yang menunjang dan ada yang merugikan kesehata.
1. Nilai yang merugikan kesehatan → arti anak yang banyak akan membawa rejeki
sendiri sehingga tidak perlu lagi takut dengan anak banyak.
2. Nilai yang mendukung kesehatan → tokoh masyarakat setiap tutur katanya harus wajib
ditaati oleh kelompok masyarakat, hal ini tokoh masyarakat dapat di pakai untuk
membantu sebagai key person dalam program kesehatan. RRT kalau punya anak lebih
satu didenda
G. pengaruh unsur budaya yang diajarkan pada tingkat awal dari proses sosialisasi
dalam menciptakan perilaku kesehatan
Pada tingkat awal proses sosialisasi,sebaiknya seorang anak mulai diajarkan karena
nantinya akan menjadi nilai/ norma masyarakat. Misalnya: anak harus mulai diajari sikat
gigi , buang air besar di kakus, membuang sampah ditempat sampah, cara makan/
berpakaian yang baik sejak awal, dan kebiasaan tersebut terus dilakukan sampai anak
tersebut dewasa dan bahkan menjadi tua.kebiasaan tersebut sangat mempngaruhi perilaku
kesehatan yang sangat sulit untuk diubah.
H. pengaruh konsekuensi dari inovasi kesahatan terhadap perilaku kesehatan
Tidak ada kehidupan sosial masyarakat tanpa perubahan, dan sesuatu perubahan
selalu dinamis artinya setiap perubahan akan diikuti perubahan kedua, ketiga dan
108
seterusnya. apabila seorang pendidik kesehatan ingin melakukan perubahan perilaku
kesehatan masyarakat,maka yang harus dipikirkan adalah konsekuensi apa yang akan
terjadi jika melakukan perubahan,menganalisis faktor-faktor yang terlibat/berpengaruh
terhadap perubahan,dan berusaha untuk memprediksi tentang apa yang akan terjadi dengan
perubahan tersebutapabila ia tahu budaya masyarakat setempat dan apabila ia tahu tentang
proses perubahan kebudayaan,maka ia harus dapat mengantisipasi reaksi yang muncul
yang mempengaruhi outcome dari perubahan yang telah direncanakan.
Artinya seorang petugas kesehatan kalau mau melakukan perubahan perilaku
kesehatan harus mampu menjadi contoh dalam perilakukanya sehari-hari. Ada anggapan
bahwa petugas kesehatan merupakan contoh rujukan perilaku hidup bersih sehat, bahkan
diyakini bahwa perilaku kesehatan yang baik adalah kepunyaan/ hanya petugas kesehatan
yang benar.

TUGAS TERSTRUKTUR
Mahasiswa membuat resume terkait materi yang telah disampaikan

TEST FORMATIF
1. Antropologi Kesehatan merupakan ilmu yang mengkaji fenomena-fenomena sosial budaya yang
berpengaruh pada aspek kesehatan yang ada di masyarakat karena sifat adalah;
A. Kumulatif
B. Objektif
C. Non etis
D. Ilmu Murni
E. Empiris
2. Studi tentang pengaruh unsur-unsur budaya terhadap aspek-aspek pencegahan, perawatan,
pemulihan penyakit dan kesehatan di suatu masyarakat
A. Antropologi budaya
B. Antropologi paleontologi
C. Antropologi masyarakat
D. Antropologi kesehatan
E. Antropologi biologi
3. Salah satu ciri utama Antropologi Kesehatan sebagai suatu ilmu pengetahuan adalah, “
mengunakan cara-cara tertentu dalam mengamati/meneliti suatu fenomena kesehatan yang
ada di masyarakat”, hal ini disebut juga dengan istilah;

109
A. Bersifat Teoritis
B. Bersifat Metodis
C. Bersifat Empiris
D. Bersifat komulatif
E. Bersifat Sistematis
4. Salah satu kajian dalam antropologi (fisik) adalah menggambarkan persamaan dan
perbedaan ciri-ciri berdasarkan cirri-ciri yang nampak atau kelihatan seperti warna kulit,
warna rambut, bentuk hidung, bentuk muka dsb, ciri-ciri tersebut termasuk ke dalam
kategori .
A. Fenotif
B. Rasial
C. Genotif
D. Etnif
E. Fosil
5. Dengan memahami ilmu antropologi kesehatan seorang petugas kesehatan akan melakukan
layanan kesehatan di wilayahnya dengan pendekatan
A. Pada keyakinan dari Petugas kesehatan itu sendiri
B. Kearipan budaya wilayah tersebut
C. Berdasarkan persepsi kebenaran pembuatn kebijakan
D. Pelibatan Toma dan Toga di wilayahnya
E. B dan D benar
6. Pemahaman terhadap konsep-konsep dasar antropologi kesehatan beserta pendekatannya
bagi mahasiswa/petugas kesehatan DAPAT
A. Melakukan peawatan kesehatan berdasarkan prinsip kesehatan ilmiah barat
B. Selalu melakukan layanan kesehatan bersifat profesional
C. Meningkatkan sensitifitas pada fenomena sosial kesehatan di wilayahnya
D. Melakukan perubahan sistem keperawatan yang berlaku di suatu masyarakat
E. Melibatkan dan mengikuti semua kebiasaan kesehatan masyarakat sekitarnya tanpa
mempertimbangkan baik buruknya
7. Antropologi kesehatan yang mengkaji hubungan antara kondisi lingkungan dengan pola
penyakit yang sering muncul di suatu masyarakat termasuk dalam kategori
A. Ekologi dan Epidemiologi
B. Etnomedicine
C. Aspek medis dari perubahan kebudayaan
110
D. Aspek medis dari sistem sosial
E. Antropologi Kesehatan
8. Hasil penelitian pada masyarakat Baduy ditemukan suatu kebiasaan pada ibu-ibu yang
habis melahirkan, sering mengkonsumsi jamu-jamuan untuk mempercepat proses
penyembuhan dan memperlancar ASI dengan istilah
A. Etnomedicine
B. ekologi dan epidemiologi
C. aspek Medis dari sistem sosial
D. aspek medis dari perubahan budaya
E. Antropologi Kesehatan

9. Hasil penelitian di Kampung Naga Tasik Malaya menggambarkan suatu kepercayaan pada
masyarakat dimana anak kecil yang belum empat puluh hari tidak boleh dibawa keluar luar
dikarenakan dapat terkena gangguan roh halus
A. Etnomedicine
B. Aspek medis dari sistem sosial
C. Aspek medis dari perubahan kebudayaan
D. Ekologi dan Epidemiologi
E. Antroplogi Budaya
10. Ada sebagian masyarakat yang masih percaya ketika sakit atau merasakan
ketidaknyamanan di dalam dirinya disebabkan adanya gangguan roh jahat disekitarnya,
termasuk ke dalam pendekatan
A. Sistem naturalistik
B. Sistemn Personalistik
C. Popular sektor sistem
D. Tradisional Sektor
E. Sistemj Ayurveda

111
KEGIATAN BELAJAR 8
PENDEKATAN SOSIAL, BUDAYA, HUMANIORA, DAN SPIRITUAL KONTEKS
DALAM KEBIDANAN

ALOKASI WAKTU
100 Menit

CAPAIAN PEMBELAJARAN
Mahasiswa mampu memahami pendekatan sosial, budaya, humaniora, dan spiritual
konteks dalam kebidanan.

URAIAN MATERI
A. Pendekatan Sosial, Budaya, Humaniora, dan Spiritual Konteks Dalam Kebidanan
Konsep budaya erat kaitannya dengan konsep masyarakat. Jika masyarakat berarti
pembentukan orang-orang dalam kelompok, maka budaya adalah seperangkat aturan, nilai,
ide, dan praktik yang menciptakan, membimbing, atau mengatur pembentukan. Hal ini
meliputi kepercayaan agama, bahasa, ritual, dan simbol yang digunakan dalam interaksi
dalam masyarakat dan sekitarnya, jenis kelamin, nilai, dan standar moral, hukum, adat
istiadat, pendidikan anggotanya, pola makan, pakaian, perumahan, dan lainnya. gaya
hidup, ekspresi artistik, akumulasi pengetahuan tentang dunia sekitar dalam ruang dan
waktu, dan sebagainya.
Budaya kemudian benar-benar menjadi cara hidup dengan implikasi bagi kesehatan.
Adalah berguna untuk melihat budaya manusia dalam bentuk tunggal di mana kita melihat
'budaya' sebagai humanistik bahwa semua orang mampu dan melihat 'budaya' dalam
bentuk jamak, di mana cara hidup yang berbeda hanya dapat menambah kekayaan
kemanusiaan.
Dengan implikasi bagi kesehatan ibu dan anak, karakteristik budaya tertentu patut
mendapat perhatian kita:
1 Budaya tidak homogen. Meskipun budaya sering dilihat sebagai seperangkat aturan,
nilai, dan gagasan bersama dalam suatu masyarakat, tidak semua anggota masyarakat
akan memiliki gagasan dan berperilaku dengan cara yang sama sesuai dengan aturan
dan nilai tersebut. Suatu budaya akan memiliki variasinya sendiri dari apa yang
kadang-kadang disebut 'sub-budaya'.

112
2 Ada tingkat visibilitas dan kesadaran tentang budaya. Fitur tertentu mungkin secara
eksplisit menandai budaya dari yang lain dan terlihat jelas oleh orang luar, seperti
pakaian, bahasa, dan ritual tertentu, sementara banyak fitur atau aturan lain tidak
dinyatakan secara terbuka tetapi diasumsikan oleh anggotanya (seperti perbedaan
gender, pakaian untuk orang yang berbeda kesempatan). Ada juga tingkat di mana
anggota suatu budaya bahkan tidak sadar akan suatu aturan (seperti cara berbicara
tertentu, aturan dalam bahasa, dan ritual tertentu).
3 Budaya tidak memiliki batas yang sama dengan masyarakat. Selain itu, budaya dan
masyarakat tidak selalu bersifat teritorial. Apalagi di era globalisasi saat ini. Suatu
masyarakat (lebih besar sebagai negara-bangsa, lebih kecil dari sebuah kota atau kota
kecil) dapat memiliki budaya yang berbeda, sementara masyarakat yang berbeda
mungkin memiliki budaya yang sama atau serupa.
4 Budaya tidak statis tetapi berubah atau berkembang. Suatu budaya secara historis
kontingen, penuh dengan unsur-unsur dari waktu dan ruang yang berbeda, oleh karena
itu tidak dapat dipahami secara terpisah dan bersifat interaktif.
5 Kebudayaan mempunyai hubungan dialektis dengan individu dan kepribadiannya.
Sama seperti budaya memiliki dampak besar pada individu anggota masyarakat dan
kepribadian mereka, kepribadian individu juga akan berdampak pada budaya.
6 Masyarakat dan budaya mungkin tampak sebagai alat untuk mencapai tujuan
(misalnya, 'pendekatan budaya kebidanan'), namun keduanya lebih merupakan tujuan.
Jika kemanusiaan berada di jantung masyarakat dan budaya, maka masyarakat dan
budaya menjadi tujuan utama hidup kita.
Sebagai gaya hidup, budaya yang mempengaruhi kesehatan dan bio-fisik kita cukup
jelas, mulai dari pola makan hingga lingkungan yang diciptakan oleh diri kita sendiri. Juga,
penelitian menunjukkan bahwa kepercayaan dan praktik yang berkaitan dengan kesehatan
yang buruk adalah pusat budaya di semua masyarakat manusia. Ini juga mempengaruhi
kesehatan. Semua tradisi medis utama dunia kuno bersifat holistik sejak awal. Baik
pengobatan tradisional India maupun Cina benar-benar holistik, mengenali 'kekuatan
eksternal' terhadap kesehatan, termasuk gaya hidup dan kebiasaan sehari-hari. Tradisi
Hipokrates Yunani, yang telah menjadi dasar pengobatan modern, juga menekankan pada
keseimbangan antara kesehatan dan lingkungan, pada hubungan antara tubuh dan pikiran.
Sampai abad ke-19, dokter di Eropa masih cukup holistik dalam praktik klinis mereka,
mengunjungi pasien di rumah pasien, menyelidiki gaya hidup, latar belakang sosial, dan
hubungan mereka untuk mendiagnosis penyakit.
113
Selama abad ke-19, kedokteran di Eropa mengalami perubahan besar karena
penemuan penting dibuat di tingkat mikro tubuh manusia dan penyakit. Obat yang lebih
efektif ditemukan. Studi dan praktik medis mulai lebih terbatas di laboratorium dan rumah
sakit, lebih fokus pada lingkungan internal tubuh, pada organ individu dan patogen tertentu.
Perubahan-perubahan ini telah mengubah cara pandang dan penanganan kesehatan,
termasuk melahirkan. Dokter akan melihat bagian tubuh yang sakit daripada pasien sebagai
pribadi. Melahirkan secara keliru dilihat sebagai penyakit dan harus dikontrol dengan cara
medis.
Perubahan dalam praktik klinis ini tidak tertandingi hingga paruh kedua abad ke-20,
ketika, di bawah pengawasan ilmuwan sosial, beberapa bentuk praktik medis ditemukan
telah kehilangan sentuhan humanistik yang diperlukan dalam perawatan, melewatkan
pendekatan penting dalam praktik klinis, dan gagal. untuk melihat efek negatif obat
terhadap kesehatan. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa selama abad ke-19,
kemajuan teknologi kedokteran hanya memberikan kontribusi 1% terhadap penurunan
angka kematian. Tidak diragukan lagi dalam hal ini kontribusi perkembangan sosial dan
budaya telah membuat penurunan itu. Contoh kasus khusus adalah penanggulangan
tuberkulosis, yang sudah mengalami penurunan besar pada akhir abad ke-19 karena
perbaikan sanitasi di negara-negara industri sebelum BCG (vaksin Bacillus Calmette-
Guerin) ditemukan. Artinya, kedokteran tidak dapat didefinisikan sebagai ilmu yang sama
dengan ilmu alam, terlebih lagi dalam ilmu perawatan kesehatan lainnya seperti perawatan
bersalin. Memang, Organisasi Kesehatan Dunia dan UNESCO telah mengisyaratkan
pentingnya ini dan cara berpikir baru dalam kesehatan dengan menandai tahun 1996
sebagai tahun 'Budaya dan Kesehatan'.
Persalinan merupakan siklus hidup yang normal baik secara sosial maupun budaya,
maupun biologis. Ada lebih banyak alasan untuk mengadopsi pendekatan budaya untuk
perawatannya. Pentingnya ini telah sangat ditunjukkan oleh banyak makalah yang
dipresentasikan di Kongres ini. Lebih jauh, budaya sebagai tema tentang kepedulian
tertanam di sebagian besar makalah.
Sensitivitas budaya dalam asuhan kebidanan mengandung setidaknya tiga aspek
praktik seperti yang mungkin tersirat dalam konsep kunci ICM untuk mendefinisikan peran
bidan: satu adalah untuk memenuhi kebutuhan budaya perempuan dan keluarga mereka
saat melahirkan; yang kedua adalah mengatasi praktik budaya yang merugikan kesehatan
perempuan dan bayi; ketiga adalah bahwa kebidanan harus memiliki budaya sehatnya
sendiri untuk menghadapi tantangan ini.
114
Pendekatan budaya terhadap asuhan kebidanan berarti bahwa bidan harus terlibat
dalam studi budaya. Hal ini lebih jelas terjadi ketika bidan memberikan perawatan lintas
budaya, atau dalam rangkaian multietnis. Ini kedengarannya tugas yang cukup berat,
mengingat fakta bahwa budaya masyarakat sangat besar. Tapi jelas bidan pertama-tama
perlu belajar tentang aspek-aspek budaya yang kemungkinan akan menjadi kebutuhan
budaya perempuan dan keluarga saat melahirkan, atau akan mempengaruhi kesehatan
mereka saat melahirkan baik secara positif maupun negatif (efek plasebo dan nocebo
budaya pada kesehatan atau kesehatan ibu).
Dengan meninjau beberapa studi tentang budaya dan kesehatan, berikut daftar
beberapa aspek yang paling mungkin mempengaruhi kesehatan ibu:
1 Aspek-aspek agama, kepercayaan rakyat atau awam yang berhubungan dengan
persalinan. Keyakinan ini mendasari pandangan dunia atau persepsi perempuan dan
keluarga tentang tubuh saat melahirkan, konsepsi, kehamilan, persalinan, pemulihan
pascapersalinan dan sebagainya. Wanita dan keluarganya mungkin memiliki 'budaya
kelahiran' berdasarkan persepsi ini. Persepsi ini mempengaruhi nilai perempuan dan
keluarga tentang kelahiran, keadaan emosional, perilaku dan sikap (seperti respons
terhadap rasa sakit) terhadap kelahiran dan kesehatan yang perlu dipertimbangkan oleh
bidan untuk memberikan perawatan yang tepat.
2 Ritual dan simbolisme budaya perempuan dan keluarga. Ritual dan simbol membawa
makna budaya. Mereka adalah beberapa aspek yang paling penting dari budaya. Ritual
dan simbolisme adalah ekspresi untuk hubungan sosial sehari-hari. Terlebih lagi pada
saat terjadi perubahan sosial dan budaya seperti persalinan. Ritual dan ekspresi
simbolik, yang mungkin termasuk tindakan sederhana seperti bahasa yang digunakan,
warna dan pengaturan, berfungsi untuk memperbaiki ketidakstabilan mental dalam
menghadapi ketidakamanan, ketidakpastian, kemalangan, atau kesusahan. Ini
mungkin beberapa alasan mengapa banyak wanita lebih memilih melahirkan di rumah.
Dalam banyak budaya dalam sejarah, pertunjukan ritual khusus dilakukan untuk tujuan
penyembuhan. Meskipun pertunjukan ini tidak benar-benar menyembuhkan penyakit,
efek psikoanalitiknya pada pikiran yang berhubungan dengan penyakit dalam tubuh
tidak dapat disangkal. Pengaturan ilmiah bio-medis saat ini untuk menyembuhkan
penyakit masih dapat dilihat sebagai transformasi ritual dalam metode dalam aktivitas
psiko penyembuhan. Kebidanan dapat belajar tentang fungsi ritual dan simbolisme
untuk meredakan stres, kesusahan, ketakutan, rasa sakit, kecemasan, dan emosi wanita
lainnya dalam melahirkan.
115
3 Budaya gender, yaitu perbedaan peran yang dimainkan antara laki-laki dan perempuan
dalam suatu masyarakat. Peran perempuan dan laki-laki dalam melahirkan, dan dalam
semua aspek kehidupan, dikonstruksi secara berbeda dalam budaya yang berbeda.
Dengan memahami peran-peran ini, bidan dapat memahami dan membantu
kemungkinan dukungan keluarga bagi ibu dan anak.
4 Pangan dan gizi. Ini dirasakan secara berbeda di seluruh budaya. Ini berarti makanan
dikonstruksi secara sosial dan budaya. Untuk budaya apa pun, selalu ada batasan antara
makanan dan non-makanan, terlepas dari nutrisinya. Karena makanan dikonstruksi
secara sosial dan budaya, itu adalah salah satu item budaya yang paling sulit untuk
diubah. Dengan belajar tentang budaya makanan, bidan dapat memahami asupan
makanan ibu selama persalinan untuk menjaga kenyamanan budaya ini tetapi juga, jika
diperlukan, untuk membantu ibu dan bayi dengan cara yang lebih sensitif dan dapat
dipahami terhadap kekurangan.
Seorang bidan mungkin harus bekerja dalam budaya yang sama sekali berbeda dari
budayanya sendiri, di mana bahkan bahasa pun harus dipelajari. Ini adalah kasus ekstrim
kebidanan transkultural. Dalam kebanyakan kasus, bidan harus memberikan perawatan
lintas budaya di lingkungan budaya rumah mereka, di mana ada orang atau imigran dari
asal etnis yang berbeda. Orang-orang dari asal etnis yang berbeda memiliki budaya yang
berbeda umumnya di tingkat mikro, seperti di rumah, tetapi mereka akan berbagi beberapa
budaya umum dalam budaya tuan rumah di tingkat makro, seperti hukum, bahasa,
persyaratan pendidikan umum, perawatan kesehatan dan segera. Dalam kontak dengan
budaya tuan rumah, budaya tingkat mikro mereka juga berubah, seperti dalam bahasa, adat
istiadat atau kebiasaan lainnya. Bidan perlu memahami transformasi di antara kelompok
etnis ini, untuk memberikan perawatan yang peka budaya.
Sangat menggoda untuk mengatakan bahwa jika bidan memiliki latar belakang budaya yang
sama dengan wanita dan keluarganya, bidan tidak perlu belajar tentang budaya untuk
memberikan perawatan yang peka budaya. Meskipun ini mungkin benar sampai batas tertentu
(misalnya tidak ada masalah sama sekali dalam bahasa, dan sebagainya), hal itu dapat diabaikan
pada tingkat lain. Sebelumnya, kita telah melihat daftar karakteristik budaya. Kita tahu bahwa
budaya tidak homogen dan terus berubah. Orang-orang dari latar belakang budaya yang sama
belum tentu berperilaku dengan cara yang sama. Apa yang disebut 'latar belakang budaya yang
sama' sangat sering merupakan tingkat budaya makroskopik, biasanya dari entitas administratif
atau legislatif. Di bawahnya, ada budaya dari setiap nuansa, ditambah kekhasan budaya
individu, kepribadian. Dengan mempelajari mata pelajaran budaya, bidan akan diberkahi
116
kemampuan untuk merasakan perbedaan tersebut. Lebih jauh lagi, budaya sangat sering
memiliki tingkat ketidaksadaran. Dengan mempelajari budaya, bidan akan mampu mengangkat
alam bawah sadar ke tingkat sadar untuk memberikan asuhan yang peka budaya.

TUGAS TERSTRUKTUR
Mahasiswa membuat resume terkait materi yang telah disampaikan

TEST FORMATIF
1. Antropologi kesehatan menurut Landy adalah mengkombinasikan dalam satu disiplin ilmu
beberapa pendekatan dalam menstudi manusia, yaitu pendekatan ..
A. Ilmu biologi, ilmu sosial, ilmu budaya
B. Antropologi, etnomedisin, ilmu perilaku
C. Ilmu biologi, ilmu sosial, humaniora
D. Kesehatan masyarakat, kedokteran, farmasi
E. Paleopatologi, sosiologi, antropologi
2. 1. Environment 2. Health 3. Behaviour 4. Heredity 5. Healthy food 6. Health care service.
Derajat kesehatan masyarakat yang disebut sebagai psycho socio somatic health well being,
merupakan resultante dari 4 faktor, yaitu ......
A. 1,2,3,4
B. 2,3,4,5,
C. 3,4,5,6
D. 4,5,6,1
E. 1,3,4,6
3. Faktor yang paling besar pengaruhnya (dominan) terhadap tinggi rendahnya derajat
kesehatan masyarakat adalah ......
A. Environment dan Behaviour
B. Health dan Heredity
C. Behaviour dan Healthy food
D. Heredity dan Health care service
E. Health dan Healthy food
4. Ada beberapa ilmu yang memberikan sumbangan terhadap antropologi kesehatan, antara
lain
A. Ilmu Sosial Budaya Dasar
B. Etnomedisin

117
C. Ilmu Kedokteran
D. Farmasi
E. Paleopatologi

5. Menurut Foster/Anderson, antropologi kesehatan mengkaji masalah-masalah kesehatan


dan penyakit dari dua kutub yang berbeda yaitu kutub biologi dan kutub sosial budaya.
Pokok perhatian kutub biologi di antaranya adalah ......
A. Sistem medis tradisional (etnomedisin)
B. Masalah petugas kesehatan dan keprofesionalannya
C. Pertumbuhan dan perkembangan manusia
D. Tingkah laku sakit
E. Hubungan antara dokter pasien
6. Pokok perhatian kutub sosial-budaya di antaranya adalah ......
A. Pertumbuhan dan perkembangan manusia
B. Tingkah laku sehat
C. Peranan penyakit dalam evolusi manusia
D. Paleopatologi
E. Dinamika layanan kesehatan barat ke tradisional
7. Manusia sebagai makhluk yang tak dapat dibagi-bagi adalah pengertian manusia sebagai
makhluk
A. Bio
B. Psiko
C. Sosio
D. Individu
E. Holistik
8. Manusia sebagai makhluk bio, psiko, sosio dan spiritual yang saling berhubungan dan
saling mempengaruhi, maka manusia disebut sebagai kesatuan yang ......
A. Sempurna
B. Kompleks
C. Lengkap
D. Holistik (utuh)
E. Universal

118
9. Manusia selalu berinteraksi dengan manusia lainnya, dipengaruhi oleh lingkungan
sehingga menimbulkan stres dan berpengaruh pada perubahan keseimbangan yang dapat
bersifat temporer/permanen adalah pengertian manusia sebagai makhluk ......
A. Bio
B. Psiko
C. Sosio
D. Terbuka
E. Human
10. Indikator ciri masyarakat sehat menurut WHO yang terkait dengan indikator keadaan yang
berhubungan dengan status kesehatan masyarakat di antaranya adalah ......
A. Angka kelahiran kasar menurun
B. Umur harapan hidup meningkat
C. Angka kematian ibu dan anak meningkat
D. Angka kematian karena penyakit tidak menular menurun
E. Angka kematian karena penyakit menular meningkat

119
KEGIATAN BELAJAR 9
KONSEP MOTIVASI, PERILAKU SOSIAL DAN CULTURAL AWARNESS

ALOKASI WAKTU
100 Menit

CAPAIAN PEMBELAJARAN
Mahasiswa mampu memahami aspek kehidupan, perkembangan dan masalah
masyarakat pedesaan dan perkotaan.

URAIAN MATERI
A. Konsep Motivasi, Perilaku Sosial dan Cultural Awareness
Menurut Heidjrachman Ranupandojo dan Suad Husnan ada tiga kelompok teori
motivasi yaitu:
1. Conten Teory → Teori ini menekankan arti pentingnya pemahaman faktor-faktor yang
ada di dalam individu yang menyebabkan mereka bertingkah laku tertentu. Teori ini
mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: kebutuhan apa yang dipuaskan
oleh seseorang? Apa yang menyebabkan mereka melakukan sesuatu? Dalam
pandangan ini setiap individu mempunyai kebutuhan yang ada didalam (inner needs)
yang menyebabkan mereka didorong, ditekan, atau dimotivasikan untuk
memenuhinya.
2. Process Theory → Process Theory bukanya menekankan pada isi kebutuhan yang
bersifat dorongan dari kebutuhan tersebut, tetapi pendekatan ini menekankan pada
bagaimana dan dengan tujuan apa setiap individu dimotivisir. Dalam pandangan ini,
kebutuhan hanyalah salah satu elemen dalam suatu proses tentang bagaimana para
individu bertingkah laku.
3. Reinforcement Theory → Theory ini tidak menggunakan konsep suatu motivasi atau
proses motivasi. Sebaliknya teori ini menjelaskan bagaimana konsekuensi perilaku di
masa yang lalu mempengaruhi tindakan di masa yang akan datang dalam suatu siklus
proses belajar. Dalam pandangan ini individu bertingkah laku tertentu karena di masa
lalu mereka belajar bahwa perilaku tertentu akan berhubungan dengan hasil yang
menyenangkan, dan perilaku tertentu akan menghasilkan akibat yang tidak
menyenangkan.
Motivasi secara umum sering diartikan sebagai sesuatu yang ada pada diri seseorang
120
yang dapat mendorong, mengaktifkan, menggerakkan dan mengarahkan perilaku
seseorang. Dengan kata lain motivasi itu ada dalam diri seseorang dalam wujud niat,
harapan, keinginan dan tujuan yang ingin dicapai. Motivasi di dalam diri manusia
terdorong oleh karena adanya aspek-aspek berikut:
1. Keinginan untuk hidup
2. Keinginan untuk memiliki sesuatu
3. Keinginan akan kekuasaan
4. Keinginan akan adanya pengakuan.
Dalam setiap diri manusia terkandung berbagai macam dorongan-dorongan yang
bersifat naluriah. Dorongan untuk makan akan muncul apabila sesorang merasa lapar,
dorongan biologis berupa libido atau seksualitas, dorongan untuk tidur ketika individu
lelah, dan seterusnya. Kemudian seluruh dorongan tersebut akan membentuk serangkaian
kebutuhan (needs) yang membutuhkan pemuasan agar individu terlepas dari pluralistis
konflik—kebanyakan para ahli beranggapan bahwa salah satu sumber utama problem
psikologis disebabkan oleh kebutuhan yang tidak dapat dipuaskan.
Abraham Maslow yang dikutip oleh Purwa Atmaja membagi kebutuhan-kebutuhan
manusia dalam lima tingkatan atau Five Hierarchy of Needs. Maslow mengatakan bahwa
individu harus melewati tahap-tahap tersebut secara berurutan dalam hal pemuasannya
hingga mencapai tahap yang paling tinggi. Klasifikasi Hierarki Kebutuhan Maslow adalah
sebagai berikut:
1. Physiological Needs, yaitu kebutuhan yang bersifat biologis. Kebutuhan ini
merupakan kebutuhan yang amat primer, karena telah ada sejak individu lahir.
Misalnya, sandang, pangan, tempat berlindung, seks, dan kesejahteraan.
2. Safety Needs, yaitu kebutuhan rasa aman., terlindungi perasaan takut atau sesuatu yang
mengancam.
3. Social Needs, yaitu kebutuhan-kebutuhan sosial. Seperti perasaan diterima oleh orang
lain, berprestasi, kebutuhan untuk dihormati dan kebutuhan untuk berpartisipasi.
4. Esteem Needs, yaitu kebutuhan akan harga diri individu.
5. Self Actualization, merupakan kebutuhan aktualisasi diri. Bermakna bahwa setiap
individu ingin mengembangkan seluruh kapasitas kemampuan diri dengan melakukan
yang terbaik.
Teori-teori motivasi yang dikemukakan oleh para ahli sebagaimana dipaparkan di atas,
sebagian besar masih bersifat jangka pendek. Artinya, hanya sekadar pemenuhan
kebutuhan atau perilaku manusia dalam kehidupannya di dunia. Motivasi tersebut
121
berorientasi kepada reward yang biasanya dapat diukur dengan materi.
Pentingnya Cultural Awareness
Pentingnya kesadaran budaya tumbuh seiring waktu. Kesadaran budaya berarti
memahami nilai-nilai dan keyakinan dinamis dari budaya yang berbeda. Untuk peluang
yang lebih baik, pemahaman dan penghormatan terhadap berbagai budaya diperlukan.
Dengan demikian, orang-orang dari latar belakang yang berbeda dapat bekerja sama
dengan cepat. Kurangnya kesadaran budaya dapat menyesatkan keputusan penting.
Globalisasi telah membawa dampak yang luas pada perluasan bisnis di seluruh dunia.
Oleh karena itu, organisasi perlu menjadi bijaksana untuk menjadi sadar budaya berurusan
dengan klien internasional. Akibatnya, organisasi akan bekerja lebih efektif dan nyaman.
Kesadaran budaya mendorong orang untuk membangun hubungan yang sukses dan
profesional dari berbagai latar belakang.
Kata 'budaya' mengacu pada etika, kepercayaan, dan gaya hidup masyarakat masing-
masing. Jadi, kesadaran budaya berarti menyadari budaya yang berbeda. Kesadaran budaya
dapat dipahami dan dikenali oleh nilai, kepercayaan, dan kebiasaan yang berbeda dari
kelompok dan masyarakat lain.
Tujuan utamanya adalah untuk memahami perbedaan antara diri Anda dan orang-
orang dari negara dan latar belakang yang berbeda, terutama dengan atribut dan nilai yang
unik. Singkatnya, motif utamanya adalah untuk memahami dampak dan mengetahui
perbedaan antara budaya yang beragam. Kesadaran budaya mengajarkan kita untuk
memahami bagaimana budaya yang berbeda dapat membantu kita dalam hal komunikasi
atau kolaborasi.
Kesadaran budaya dapat didefinisikan sebagai menyadari dan menghormati dampak
dan pengaruh budaya yang berbeda. Kesadaran budaya meninggalkan dampak positif pada
peran dan tanggung jawab setiap orang. Ini membantu kita untuk menghindari salah
menilai orang dari berbagai latar belakang budaya. Ini memungkinkan jalan untuk
hubungan yang lebih baik daripada memiliki konflik.
Kesadaran budaya penting karena berbagai alasan yang mempengaruhi seluruh
masyarakat. Oleh karena itu, meningkatkan kesadaran budaya Anda sangat penting. Poin-
poin berikut ini mencakup mengapa kesadaran budaya itu penting.
Komunikasi yang efektif → Keuntungan besar dari kesadaran budaya adalah
memungkinkan kita untuk berkomunikasi secara efektif dengan orang-orang dari budaya
yang berbeda. Kurangnya kesadaran budaya dapat menyebabkan kita salah menilai orang
dari budaya lain. Namun, kurangnya kesadaran budaya dapat menyebabkan masalah yang
122
tak terhitung banyaknya dalam berkomunikasi dan memahami niat orang lain. Akibatnya,
kesadaran budaya membantu kita berkomunikasi dan membangun hubungan yang kuat
dengan orang lain.
1) Menghargai budaya → Mampu berkomunikasi dengan orang-orang dari budaya yang
berbeda tidak cukup. Kesadaran budaya memungkinkan kita untuk menghormati
berbagai budaya. Akibatnya, orang-orang mulai mendukung perbedaan budaya dan
merangkul cara-cara baru untuk bergaul dalam masyarakat. Ini membantu orang
meruntuhkan semua hambatan budaya dan berintegrasi secara hormat dengan
komunitas yang beragam. Singkatnya, kesadaran budaya mengajarkan kita bagaimana
menghargai dan menghargai orang lain.
2) Mempromosikan kepemimpinan → Kesadaran budaya bermanfaat bagi orang-orang
dalam peran kepemimpinan dan peran manajemen. Untuk peran seperti itu,
mengembangkan kesadaran budaya menghasilkan hasil yang lebih baik. Ini membantu
mereka dalam membuat keputusan yang tepat dan memotivasi karyawan. Sedemikian
rupa, para pemimpin dan manajer dapat mengambil keputusan dengan pola pikir
global. Karyawan merasa diakui dan dihargai dalam organisasi.
3) Tempat kerja yang lebih baik → Ketika kesadaran budaya mempromosikan peran
kepemimpinan, para pemimpin mempromosikan budaya kerja yang beragam.
Mempromosikan keragaman berarti memungkinkan karyawan dengan budaya yang
berbeda untuk bekerja sama sebagai sebuah tim secara setara. Ini menghasilkan
perubahan organisasi menjadi tempat kerja yang lebih baik. Oleh karena itu, karyawan
merasa lebih termotivasi. Jadi, pekerjaan dilakukan lebih efektif.
4) Kesadaran diri → Menjadi sadar budaya memungkinkan kita untuk mengakui
pandangan dunia dan warisan kita. Kami mendapatkan pemahaman yang lebih baik
tentang perbedaan adat dan kepercayaan orang lain. Mengeksplorasi dan mendidik diri
kita sendiri tentang budaya yang berbeda membantu kita untuk memperkuat diri kita
sendiri. Akhirnya, kami menemukan bahwa kesadaran diri dan kesadaran budaya
terikat satu sama lain.
5) Globalisasi yang sukses → Saat kita mulai menjelajahi dunia, kita mulai berhubungan
dengan orang-orang dengan perbedaan budaya. Akibatnya, hubungan budaya menjadi
lebih kuat dan mengurangi risiko konflik budaya. Ketika kita sadar budaya, kita dapat
mempertimbangkan apa yang mungkin tidak pantas untuk orang-orang dengan latar
belakang yang beragam. Secara tidak langsung, ini membantu kita mengglobal dengan
lebih mudah dan efektif serta mengurangi hambatan.
123
Persatuan adalah kekuatan. Oleh karena itu, orang-orang dengan budaya yang beragam
membentuk tim terbaik. Ini memberikan bisnis dengan kumpulan bakat dan ide yang tidak
terbatas. Menurut Society of Human Resource Management (SHRM), perbedaan budaya
berdampak pada produktivitas bisnis.
Mengakui dan memahami budaya yang beragam meningkatkan komunikasi dan
interaksi di antara karyawan. Akibatnya, kesadaran budaya mengarah pada tenaga kerja
yang sangat termotivasi. Kesadaran budaya dapat dipromosikan dalam bisnis dengan
menerapkan hal-hal berikut:
1) Pelatihan → Tugas pertama dan terpenting untuk mempromosikan kesadaran budaya
di tempat kerja adalah mendidik karyawan. Perusahaan harus merancang program
pelatihan bagi karyawan. Ini harus mencakup semua cara yang berbeda untuk
berurusan dengan orang yang beragam. Program pelatihan harus mengajarkan
karyawan bagaimana bekerja secara efektif dalam ekonomi yang semakin beragam.
Ini harus mencakup semua topik, termasuk komunikasi, pemasaran, dan keterampilan
negosiasi. Kami memberikan pelatihan keragaman dan inklusi seperti itu kepada
bisnis.
2) Kebijakan → Etika dan kebijakan selalu menjadi bagian penting dari setiap organisasi.
Untuk memastikan karyawan sadar budaya, langkah selanjutnya adalah membuat
beberapa kebijakan dan norma kesadaran budaya. Kebijakan tersebut memberikan
pandangan yang jelas tentang bagaimana karyawan dari latar belakang yang berbeda
dapat berinteraksi satu sama lain. Semua kebijakan anti-diskriminasi ini memberikan
kesempatan yang sama bagi semua karyawan untuk bekerja secara efektif. Cara terbaik
untuk mempromosikan kesadaran budaya adalah dengan merayakan keragaman dan
budaya. Selama semua festival agama dan budaya, bisnis harus menyambut liburan.
Agar karyawan dari latar belakang budaya yang berbeda tidak salah paham dengan
otoritas yang lebih tinggi dan menghindari perselisihan yang tidak diinginkan. Bisnis
harus menghormati semua agama dan budaya dan memperlakukan mereka sesuai
dengan itu tanpa diskriminasi.
3) Komunikasi → Komunikasi yang jelas dan tepat selalu penting. Orang-orang dari latar
belakang budaya yang berbeda memiliki penampilan fisik dan gaya komunikasi yang
berbeda. Misalnya, cara menyapa senior di satu budaya mungkin terasa sangat hormat,
sementara cara yang sama di budaya lain mungkin terasa sangat kasar. Jadi, saat
bekerja dengan orang-orang dari berbagai belahan dunia, penting untuk menyadari
norma komunikasi dari berbagai budaya. Bisnis dapat menghindari kesalahpahaman
124
dan kebingungan antara kedua pihak dengan melakukannya.
Mengembangkan kesadaran budaya di antara karyawan meningkatkan produktivitas
bisnis. Kesadaran budaya di antara karyawan mempromosikan komunikasi yang efektif
dan persatuan di tempat kerja. Oleh karena itu, menjadi lebih mudah bagi bisnis untuk
berurusan dengan klien global secara efektif. Dengan memahami budaya dan kepercayaan
yang berbeda, bisnis menciptakan budaya yang beragam dan inklusif. Dengan membuat
kebijakan anti-diskriminatif, bisnis dapat menghilangkan perbedaan di antara karyawan.
Berikut merupakan cara-cara yang dapat dijadikan sebagai alternatif dalam
menumbuhkan kesadaran budaya bagi masyarakat:
1) Penanaman sikap multikulturalisme secara dini → Penanaman sikap toleransi terhadap
beragam budaya hendaknya dilakukan sejak dini ini dimaksudkan untuk menciptakan
kesiapan mental seseorang dalam menyikapi perbedaan yang ada. Dengan bekal
kesiapan mental ini, seseorang tidak akan menganggap remeh budaya orang lain. Ia
akan lebih memahami pentingnya mengharai dan menghormati kebudayaan yang
dimiliki orang lain, sehingga integrasi sosial dapat tercapai dengan baik.
2) Sosialisasi budaya melalui lembaga Pendidikan → Kebijakan budaya lokal untuk
dimasukan ke dalam kurikulum pendidikan merupakan salah satu cara yang kritis
untuk mengatasi degradasi budaya pada generasi muda. Sebagai contoh seni bahasa,
tari dan seni musik telah dijadikan sebagai muatan local yang harus ditempuh oleh
para peserta didik di sekolah. Tindakan ini secara langsung memberikan bimbingan
kepada para siswa bahwa kebudayaan yang kita miliki sudah selayaknya kita
lindungi.Kebudayaan tersebutlah yang menjadi aset kekayaan kita.
3) Penyelenggaraan beragam budaya sebagai upaya pelestarian budaya →
Penyelenggaraan seni tari atau seni musik dalam pertunjukan-pertunjukan merupakan
salah satu cara yang bijak dalam usaha mengingatkan kembali kepada kita semua
bahwa kitalah yang seharusnya senantiasa melestarikan kebudayaan yang kita miliki.
Usaha ini sedikit banyak kembali mengingatkan kita semua akan pentingnya
pelestarian budaya. Pertunjukan ini dapat ditemui dalam agenda hajatan masyarakat
yang sering menggunakan pertunjukan ini sebagai upacara perayaan hajatnya. Seni
budaya yang digunakan meliputi kebudayaan yang tradisional maupun modern. Bahan
tidak menutup kemunginan pula perpaduan diantara keduanya.
4) Mencintai dan menjaga budaya yang dimiliki → Mencintai dan menjaga kelestarian
budaya sangat penting dalam hal ini. Tanpa rasa cinta dan peduli terhadap kebudayaan
mustahil kita dapat menjaga eksistensi budaya yang kita miliki
125
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia
dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar.
Sedangkan kesadaran adalah kondisi terjaga atau mampu mengerti apa yang sedang terjadi.
Lalu kesadaran budaya ialah sikap dimana seseorang menghargai, memahami, dan
mengerti akan adanya perbedaan-perbedaan yang ada dalam budaya tersebut.
Cara menumbuhkan kesadaran budaya yaitu dengan penanaman sikap
multikulturalisme sejak dini, sosialisasi budaya melalui lembaga pendidikan,
penyelenggaraan berbagai pentas budaya, mencintai dan menjaga budaya sendiri.
Kesadaran budaya (Cultural awareness) adalah kemampuan seseorang untuk melihat
ke luar dirinya sendiri dan menyadari akan nilai-nilai budaya, kebiasaan budaya yang
masuk. Ada 5 tingkat kesadaran budaya, yaitu data and information, culture consideration,
cultural knowledge, cultural understanding, cultural competence.
Korupsi dan tawuran merupakan budaya yang ada pada masyarakat Indonesia
sekarang ini. Oleh karena itu kesadaran budaya sangat mutlak diperlukan. Cara-cara yang
dapat dijadikan sebagai alternatif dalam menumbuhkan kesadaran budaya bagi masyarakat
antara lain Penanaman sikap multikulturalisme secara dini, sosialisasi budaya melalui
lembaga pendidikan, penyelenggaraan beragam budaya sebagai upaya pelestarian budaya,
mencintai dan menjaga budaya yang dimiliki.
B. Sensitivitias Sosial, Praktik Kebidanan yang Sensitif Budaya
Kehamilan dan persalinan merupakan fase krisis dalam kehidupan seorang wanita.
Peristiwa ini memiliki dampak pada bagaimana seorang wanita melewati fase transisi
untuk menjadi ibu termasuk kesehatan fisik dan mentalnya dan juga kesejahteraan keluarga
secara keseluruhan (Beech and Phipps, 2004: 61). Van Gennep (1960) dalam Winson
(2006) menggambarkan status sosial seorang wanita pada saat hamil berada pada status
marginality di mana dia mulai berperilaku berbeda dari biasanya misalnya dengan
memperhatikan pola makan, aktifitas, dan lain-lain.
Masyarakat di berbagai budaya memberi perhatian pada fase krisis ini. Pada masa
kehamilan ada banyak ritual yang harus dilakukan yang menandakan bahwa masyarakat di
budaya mana pun menganggap kehamilan sebagai peristiwa yang luar biasa, bukan hanya
dalam kehidupan wanita hamil itu sendiri tetapi juga suami dan keluarganya. Perhatian
masyarakat terhadap ibu yang sedang hamil merupakan bentuk dukungan sosial. Menurut
McCourt (2006) ada tiga komponen kunci dukungan sosial yaitu dukungan emosional,
dukungan informasi dan dukungan praktis. Dukungan emosional ditunjukkan dengan
hubungan yang hangat, persaudaraan, persahabatan dan keinginan untuk mendengar. Saran
126
dan informasi yang baik merupakan contoh dari dukungan informasi. Sedangkan dukungan
finansial pada ibu hamil, pijat untuk mengurangi ketidaknyamanan merupakan bentuk
nyata dukungan praktis.
Dukungan sosial selama kehamilan sangat penting untuk mengurangi stress. Selama
kehamilan dukungan dapat menimbulkan rasa percaya diri pada wanita bahwa dia memiliki
persiapan yang cukup untuk melahirkan. Menurut Oakley (1990) dalam Mander (2001)
dukungan sosial berperan positif pada kesehatan, secara tidak langsung mengurangi bahaya
yang disebabkan stress, mengurangi resiko terpapar stress dan memudahkan penyembuhan
dari kondisi stress seperti sakit.
Bukan hanya calon ibu, calon ayah pun berada pada periode transisi atau marginalitas
(Van Gennep, 1960) dalam Blackshaw (2003). Hal ini karena meskipun kehamilan dan
persalinan merupakan peristiwa yang dialami perempuan, secara fisik dan sosial, laki-laki
terlibat secara mendalam pada kelahiran anak-anak- nya. Pada berbagai budaya calon ayah
memiliki peranan untuk melakukan ritual tertentu selama periode kehamilan. Tugas-tugas
itu dilakukan untuk melindungi ibu dan anaknya serta untuk mempermudah proses
persalinan. Heggenhougan (1980) dalam Helman (2002) menyebutnya sebagai ritual
couvade (couvade berasal dari bahasa Perancis, Basque yang artinya mengerami) yang
mana ayah diminta untuk mengikuti tabu atau pantangan tertentu. Menurut Heggenhougan
ritual couvade merupakan suatu keterlibatan yang disadari atau mungkin tidak disadari.
Seorang calon ayah akan melakukan berbagai ritual selama kehamilan seperti perilaku,
diet, spiritual dan sexual, fenomena psikosomatik, pendidikan menjadi orangtua serta
menghindari hal-hal yang bersifat polutan.
Budaya pada masa kehamilan dan persalinan di sebagian daerah telah terjadi
pergeseran namun di sebagian lain masih dipertahankan. Hal ini seperti yang dijelaskan
oleh O’Neil (2006) bahwa semua budaya yang diwariskan cenderung untuk berubah tetapi
ada kalanya juga dipertahankan. Ada proses dinamis yang mendukung diterimanya hal-hal
dan ide-ide baru dan ada juga yang mendukung untuk mempertahankan kestabilan budaya
yang ada. Hiller (2003) menyatakan bahwa ketika perubahan terjadi, maka terjadi destruksi
nilai- nilai tradisional, kepercayaan, peran dan tanggungjawab, pendidikan, keluarga dan
lain-lain yang hampir simultan dengan proses konstruksi cara baru sebagai pengaruh dari
perubahan sosial. Nilai dan ritual yang baru ini menggantikan nilai dan ritual yang lama.
Namun di sebagian masyarakat adakalanya terjadi kompromi yang mana nilai dan ritual
baru dijalankan dengan tanpa menghilangkan nilai dan ritual lama.
Desa Karangsari termasuk wilayah Kecamatan Pakenjeng Kabupaten Garut berada di
127
pesisir Jawa Barat Selatan. Desa ini telah mengalami perubahan secara fisik karena
berdekatan dengan beberapa pantai yang sekarang menjadi tempat wisata yaitu pantai
Sayang Heulang, Santolo dan Rancabuaya. Masyarakat di Desa ini, memiliki adat istiadat
yang kuat mengenai kesehatan ibu dan anak termasuk budaya pada masa kehamilan.
Sampai saat ini belum banyak diungkap mengenai praktik-praktik budaya pada masa
kehamilan di daerah tersebut termasuk apakah masyarakat masih mempertahankan budaya
yang dianut selama ini ataukah sudah terjadi pergeseran nilai budaya sebagai pengaruh dari
perubahan fisik yang terjadi.
Kepercayaan dan Praktik Budaya Pada Masa Kehamilan
Kebiasaan yang Dilakukan Ibu Pada Saat Hamil
No Kebiasaan Pengaruh yang diyakini
1 Membawa benda-benda tajam seperti Menjaga ibu dan bayinya dari
gunting, peniti yang diikatkan pada baju gangguan roh jahat dan makhluk
atau pakaian dalam ibu hamil halus

2 Banyak bergerak dan jalan- jalan terutama Supaya persalinannya lancar


pada pagi hari saat udara masih segar

3 Ibu yang hamil tua, dianjurkan untuk sering Supaya janin yang di dalam
melakukan gerakan menungging termasuk kandungan cepat turun dan membuka
mengepel lantai dengan menggunakan jalan lahir serta membuat persalinan
tangan lancar tanpa kesulitan.
4 Ibu hamil yang berambut panjang Supaya kelihatan rapi dan bersih
dianjurkan untuk mengikat rambutnya
5 Dianjurkan untuk makan lebih banyak dan Supaya ibu dan bayi yang
lebih sering, banyak mengkonsumsi dikandungnya sehat
sayuran, buah- buahan, susu dan makanan
bergizi
6 Dianjurkan untuk makan daun galing yaitu Memperlancar proses persalinan
tumbuhan sejenis pakis
7 Dipijat (bahasa sunda: ‘disangsurkeun’) Supaya bayi tidak turun ke bawah dan
posisi bayi tidak berubah
Budaya di masyarakat memiliki resep tentang makanan atau minuman yang tepat
untuk memperlancar proses fisiologis kehamilan (Helman:2002) yang diper- caya akan
berdampak terhadap kelancaran persalinan dan pasca salin. Anjuran makanan pada ibu
hamil di Desa Karangsari sejalan dengan hasil penelitian M’soka et al (2010) di Zambia
yang mana ibu hamil meyakini perlunya diet seimbang.
Hasil studi Higginbottom (2014) di Canada juga menemukan wanita hamil harus
makan lebih sering dan atau dengan porsi yang lebih besar, banyak minum susu (dan juga
jus apel) supaya kulit bayinya bagus dan juga untuk kesehatan dan kesejahteraan janin.
128
Selain itu, penelitian yang dilakukan Otoo (2015) di Ghana menemukan buah-buahan,
kepiting dan pisang mentah baik untuk ibu hamil karena buah-buahan dan kepiting
membuat ibu dan janin sehat dan pisang mentah keras sehingga membuat janin kuat dan
juga memberi kekuatan pada ibu saat persalinan.
Studi Graft (2014) yang melakukan studi ke wanita dari 35 etnik yang ada di Ghana
tentang keyakinan dan praktik makanan dalam kehamilan menyimpulkan bahwa makanan
tradisional dan suplemen memiliki lima fungsi yaitu mencegah anemia, menguatkan tubuh
ibu hamil, meningkatkan kesehatan, meminimalkan gangguan fisio- logis dan
memaksimalkan kesehatan bayi.
Perilaku atau kebiasaan saat hamil juga harus dijaga sebagai bentuk perlindungan
terhadap ibu dan janin. Keharusan menjaga perilaku dan menghindari pertengkaran
ditekankan pada ibu hamil (Naidu:2013; M’soka et al: 2010). Wanita hamil juga hanya
makan yang dimasak sendiri atau keluarganya, menggunakan artefak religi dan membawa
kitab suci (Aziato et al:2016).
Pantangan/Larangan yang Harus Diikuti Ibu Pada Saat Hamil
Pantangan makanan selama kehamilan di masyarakat Karangsari berdasarkan
wawancara sejalan dengan hasil penelitian Otoo (2015) di Ghana tentang larangan makan
siput, pisang matang, okra, kacang tanah, milo, gandum, kentang, jahe dan mangga. Selain
itu juga pembatasan makanan tertentu seperti gula tebu, alkohol, garam (M’soka et al:
2010). Masyarakat Ankara, Turki ada larangan makan ikan, kepala dan kaki domba serta
daging kelinci (Ayaz & Efe: 2008).
Keharusan untuk memperhatikan perilaku atau akti- fitas pada ibu hamil di Desa
Karangsari juga ditemukan di berbagai daerah, seperti di Ghana ibu hamil tidak boleh
menyiapkan atau mendekati api, dilarang melilitkan handuk atau kain di leher,
memperlihatkan dada, membawa atau memikul barang-barang berat (Otoo: 2015). Selain
itu, Ibu hamil di Desa Karangsari juga dilarang keluar dan jalan-jalan di malam hari karena
khawatir diganggu oleh roh jahat. Secara fisik, penerangan di Desa Karangsari pada malam
hari memang masih kurang sehingga khawatir ibu terjatuh, terlebih pada musim hujan,
jalanan banyak yang licin. Selain itu karena lokasinya yang dekat dengan pantai wisata, di
Desa Karangsari juga masih ada preman yang berkeliaran di malam hari sehingga akan
sangat berbahaya bagi ibu hamil.
Syukuran atau Upacara Pada Masa Kehamilan
Hasil wawancara dengan informan mengenai upacara yang biasa dilakukan pada masa
kehamilan didapatkan bahwa di Desa Karangsari masyarakat masih mempertahankan
129
kebiasaan upacara opat bulanan dan nujuh bulanan. Upacara opat bulanan dilaksanakan
pada saat usia kehamilan ibu menginjak empat bulan karena diyakini pada usia ini
ditiupkan ruh ke dalam janin. Syukuran ini mengundang keluarga dan tetangga terdekat.
Tabel Pantangan/Larangan yang harus diikuti ibu pada saat hamil
No Larangan/Pantangan Akibat yang diyakini
1 Memakai pakaian yang sobek Bayinya akan cacat
2 Keluar dan jalan-jalan di malam Akan diikuti dan diganggu oleh roh-roh alus
hari
3 Duduk di depan pintu Susah pada saat melahirkan
4 Duduk di teras rumah dengan Menghambat kelahiran sang bayi
kaki berselonjor ke tanah
5 Duduk di atas batu Menghambat kelahiran sang bayi
6 Dududk di sembarangan tempat Menghambat kelahiran sang bayi
7 Melilitkan handuk di leher Tali pusat / ari-arinya melilit
8 Melihat orang yang sedang Ada bekas bolongan di telinga anak
membolongi sesuatu
9 Makan es Menyebabkan bayi besar
10 Makan bakso Bayi yang lahir akan bau
11 Makan jengkol Menyebabkan keguguran
12 Makan nanas Mengakibatkan gatal pada ibu
13 Makan ikan asin Mengakibatkan perdarahan
14 Makan ikan tongkol dan sarden Mengakibatkan rahimnya keluar
15 Makan pisang Mengakibatkan rahimnya keluar
16 Makan mie Mengakibatkan rahimnya keluar
17 Makan Nangka Mengakibatkan bayi yang akan dilahirkan
kembali siam
18 Memakan buah-buahan yang Mengakibatkan bayi yang akan dilahirkan
menyatu/berdempet kembali siam
Besar kecilnya acara syukuran ini disesuaikan dengan kemampuan ibu hamil dan
keluarganya. Tetapi ada beberapa persyaratan yang harus ada yaitu empat macam buah-
buahan yang dibuat rujak dan empat macam ‘beubeutian’ (umbi-umbian) yang ‘diseupan’
(dikukus). Kemudian Ibu hamil harus menjual rujak itu kepada keluarga dan tetangga yang
hadir, dan mereka membelinya dengan potongan genting yang berbentuk bulat seperti koin
(uang recehan). Semakin banyak yang membeli maka diyakini proses kehamilan dan
persalinan ibu akan semakin dimudahkan.
Pada upacara ini ibu hamil juga dimandikan oleh orang tua dan keluarganya dengan
air yang dicampur dengan empat jenis bunga-bungaan yang sudah dijampi- jampi oleh
maraji. Selain itu juga diadakan pengajian dan pada proses pengajian ini dibacakan Surah
Yaasin, Surah Yusuf dan Surah An-Nisaa. Pengajian ini bertujuan untuk mendo’akan
supaya persalinan lancar dan anak yang dilahirkan sehat, sholeh dan ganteng jika laki-laki
serta sholehah dan cantik jika perempuan. Upacara ini sebagai ungkapan rasa syukur

130
karena sudah diberi kepercayaan untuk hamil, mengakrabkan anggota keluarga dan
tetangga dan sama-sama mem- berikan dukungan kepada ibu hamil dan suaminya.
Di usia kehamilan tujuh bulan, diadakan upacara yang serupa. Bedanya pada usia
kehamilan ini buah- buahan yang disediakan untuk dibuat rujak, ‘beubeutian’ (umbi-
umbian) yang ‘diseupan’ (dikukus), dan bunga- bungaan yang dicampur dengan air pada
saat mandi, masing-masing jumlahnya ada tujuh macam.
Prosesi upacara ini sama dengan upacara opat bulanan yaitu ibu hamil menjual rujak
kepada keluarga dan tetangga yang datang, dan mereka membeli dengan menggunakan
genting yang dibentuk seperti koin. Ibu dimandikan dengan air yang dicampur tujuh
macam bunga oleh orangtua dan keluarganya dengan dipimpin oleh maraji. Selain itu juga
dilaksanakan kegiatan pengajian yang dipimpin oleh Ustadz dan diikuti oleh keluarga dan
tetangga yang tujuannya untuk mendo’akan agar ibu sehat dan selamat serta bayi yang
dikandungnya sehat, selamat, cantik/cakep dan pintar sesuai harapan orangtuanya.
Upacara opat bulanan dan nujuh bulanan ini meskipun bagian dari budaya masyarakat
Karangsari secara turun-temurun, namun dalam pelaksanaannya tidak memaksa, jadi
sesuai dengan kemampuan ibu hamil dan keluarganya. Besar kecilnya penyelenggaraan
upacara tidak dinilai oleh masyarakat, yang penting upacara ini dilaksanakan. Kepatuhan
terhadap tradisi ini juga terjadi pada masyarakat Buton yang masih mempertahankan
upacara posipo (upacara untuk ibu hamil anak pertama) (Hindaryatiningsih: 2016).
Upacara opat bulanan dan nujuh bulanan yang masih menjadi ritual yang dipatuhi oleh
masyarakat Desa Karangsari memiliki makna yang sangat dalam. Ritual inisiasi
menyampaikan pesan simbolis yang menyuarakan nilai dan keyakinan budaya yang sangat
dalam (Davis- Floyd: 1992) dan bertujuan untuk melindungi ibu dan janin (dan kadang
juga ayah, kerabat dan seluruh keluarga) dari kekuatan jahat (Van Gennep: 2004). Upacara
seperti ini juga merupakan bentuk perhatian keluarga dan tetangga serta masyarakat sekitar
(Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI: 2012) dan
juga bertujuan untuk mengenalkan nilai-nilai kebaikan seperti nilai kebersamaan, nilai
respect, nilai sosial yang diwujudkan dalam kerelaan membagikan rizki kepada sanak
keluarga dan handai taulan yang hadir, sejak anak di dalam kandungan (Hindaryatiningsih:
2016).
Rowan (2006) menjelaskan bahwa hubungan antara ibu dan bayinya dimulai saat
kehamilan dan perhatian calon ibu meningkat saat bayi mulai bergerak. Perasaan ibu
tentang bayinya akan sangat tergantung pada dukungan yang dia dapatkan dari suami,
kerabat dan orang sekitar. Dukungan sosial memiliki manfaat untuk mengurangi stress
131
(Glazier et al: 2004, Thomas et al : 2015, Mirabzadeh et al dalam Maharlouei: 2016),
mendukung pola makan yang baik dan perilaku yang sehat (Higginbottom: 2014) juga
memberi kepuasan pada ibu hamil (Gebuza et al: 2016).
Ritual Suami Dalam Kehamilan
Hasil wawancara dengan informan, memper- lihatkan bahwa kebiasaan-kebiasaan
yang harus dilaku- kan suami pada saat istrinya sedang hamil di Desa Karangsari antara
lain suami harus sering mengucapkan ‘amit-amit’ terutama jika melihat atau mendengar
hal- hal yang tidak disukai atau tidak menyenangkan. Hal ini agar bayi terhindar dari yang
tidak diinginkan. Selain itu, setiap matahari meredup atau datang waktu magrib, seorang
suami harus mengunyah ‘panglay’ (bumbu dapur sejenis lengkuas) lalu dimuntahkan di
setiap sudut rumah dan di depan pintu agar tidak ada yang mengganggu.
Masyarakat Karangsari meyakini bahwa jika ritual itu tidak dilakukan maka nyawa ibu
dan bayinya akan terancam dan banyak sekali gangguan yang dapat terjadi pada ibu
maupun bayinya. Masyarakat Karangsari juga meyakini bahwa ada pantangan-pantangan
yang harus diikuti suami selama istrinya hamil.
Hasil wawancara mengungkap beberapa pantang- an tersebut antara lain para calon
ayah dilarang untuk menyembelih hewan seperti ayam, domba, ular dan sebagainya karena
diyakini bayi yang dilahirkan nanti lehernya akan merah-merah. Calon ayah juga dilarang
berbicara kasar/seenaknya, tujuannya untuk keselamatan ibu dan bayinya. Selain itu juga
calon ayah dilarang melilitkan handuk ke leher karena dipercaya leher bayi akan terlilit tali
pusat sehingga bayi akan sulit lahir pada saat persalinan. Selama istrinya hamil, suami juga
dilarang memancing karena dipercaya bayi yang dikandung istrinya dapat mengalami cacat
bibir sumbing.
Meskipun ada pantangan-pantangan tersebut, namun masyarakat Karangsari meyakini
bahwa pantangan itu boleh dilakukan asal calon ayah mengajak bayi yang ada di dalam
kandungan istrinya meskipun berjauhan misalnya calon ayah ada di Bandung sementara
istrinya yang sedang hamil di Karangsari, pada saat dia akan melakukan satu kegiatan yang
dilarang seperti memancing, dengan berkata “dede utun ayo mancing” (adik bayi ayo
memancing). Dengan mengajak ini maka dipercaya bahwa akibat yang ditakutkan yaitu
tali pusat melilit pada leher tidak akan terjadi pada bayinya.
Serangkaian ritual yang harus dilakukan oleh suami selama periode kehamilan,
persalinan dan postpartum istrinya yang dikenal dengan Ritual couvade merupakan bentuk
keterlibatan suami (Helman:2002, Cooper: 2005). Rasa empati suami pada istrinya
seringkali muncul dalam bentuk couvade syndrome baik dalam bentuk gejala fisik maupun
132
psikologis (Kazmierczak: 2013, Ganapathy: 2014).
Pada masyarakat tradisional, kehamilan dan persalinan merupakan proses yang normal
dan sebagai identitas bagi seorang perempuan (Hillier: 2003). Untuk meyakinkan
kesehatan dan keselamatan ibu dan bayinya, masyarakat Desa Karangsari memeriksakan
kehamilannya ke bidan dan juga tetap memanfaatkan paraji untuk memeriksa kehamilan,
memimpin ritual upacara opat bulanan dan nujuh bulanan dan juga memberikan saran-
saran untuk keselamatan diri dan bayinya.
Hal yang dikemukakan di atas sejalan dengan hasil penelitian Agus et al (2012),
Almutahar (2014) dan Choguya (2014) yang mana dukun bersalin memiliki otoritas dalam
kehamilan dan persalinan. Dengan demi- kian, masyarakat Desa Karangsari memanfaatkan
akses terhadap pelayanan kesehatan dengan tetap memper- tahankan praktik-praktik
tradisional yang didapatkan secara turun-temurun, sesuai dengan hasil kajian Otoo (2015)
dan Choudhury et al (2012).

TUGAS TERSTRUKTUR
Mahasiswa membuat resume terkait materi yang telah disampaikan

TEST FORMATIF
1 Motivasi merupakan sebuah alasan yang melatarbelakangi adanya perbuatan yang
dilakukan oleh individu. Pernyataan tersebut
A. Benar
B. Salah
2 Lima tingkat kebutuhan Maslow salah satunya self actualization. Berikut ini yang termasuk
self actualization yakni
A. Rasa lapar, haus, berteduh, dan kebutuhan jasmani lainnya
B. Kasih sayang, rasa memiliki, penerimaan, dan persahabatan
C. Pertumbuhan, pencapaian potensi kita, dan pemenuhan diri
D. Harga diri, otonomi, dan prestasi, serta faktor eksternal seperti status, pengakuan, dan
perhatian
3 Ketika perawat Melissa datang untuk bekerja di sebuah rumah sakit, dia benar-benar
tenggelam dalam apa yang dia lakukan. Emosi, pikiran, dan perilakunya semuanya
diarahkan pada perawatan pasien. Bahkan, dia bisa begitu sibuk dengan pekerjaannya
sehingga dia tidak sadar sudah berapa lama dia bekerja di sana. Contoh diatas merupakan
penerapan dari
133
A. self-determination theory
B. job engagement
C. self-concordance
D. cognitive evaluation theory
4 Berikut ini yang bukan merupakan cara untuk memotivasi karyawan, yaitu
A. Menciptakan program reward
B. Mengarahkan karier karyawan
C. Menciptakan suasa kerja yang kaku dan menegangkan
5 Menekankan pada bagaimana dan dengan tujuan apa Kebutuhan hanya satu bagian dari
suatu proses individu bertindak dan Agar ada penghargaan kerja keras merupakan.....
A. Process theories
B. Content theories
C. Reinforcement theories
D. behavior modification

a.

134
KEGIATAN BELAJAR 10
SENSITIVITIS SOSIAL, PRAKTIK KEBIDANAN YANG SENSITIF BUDAYA

ALOKASI WAKTU
100 Menit

CAPAIAN PEMBELAJARAN
Mahasiswa mampu memahami sensitivitis sosial, Praktik kebidanan yang sensitif
budaya.

URAIAN MATERI
A. Aspek perilaku ibu, keluarga dan masyarakat mempengaruhi kesehatan ibu
hamil
Aspek perilaku ibu di pengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu :
1. Usia.
Usia ibu yang terlalu kecil ( <20 tahun) secara fisik dan psikologi kondisi ibu masih
belum matang, sedangkan usia > 35 tahun ibu sudah memiliki banyak kekurangan
baik dari fisik yang mudah lelah dan psikologi karena beban yang semakin banyak.
2. Pendidikan.
Pendidikan mempengaruhi seseorang untuk bertindak dan mencari penyebab serta
solusi dalam hidupnya. Pendidikan tinggi ibu biasanya akan bertindak lebih rasional
daripada ibu yang pendidikan rendah.
3. Psikologis.
Selama kehamilan terjadi perubahan psikologi ibu dan emosional. Jika psikologis
ibu menerima kehamilannya maka ibu akan menjaga dan memenuhi kebutuhan
kehamilannya.
4. Pengetahuan.
Pengetahuan ibu tentang kehamilan sangat mempengaruhi sikap ibu dalam
memenuhi kebutuhan kehamilannya misalnya tentang asupan gizi ibu hamil
Aspek perilaku keluarga dan masyarakat
1. Dukungan keluarga
Kehamilan melibatkan seluruh anggota keluarga karena nantinya akan hadir
seorang anggota keluarga baru terjadi perubahan hubungan dalam keluarga

135
2. Dukungan suami
Respon suami tehadap kehamilan istri memberikan ketenangan batin dan perasaan
senang dalam diri istri. Bentuk dukungan suami :
a. Dukungan psikologi. Contoh : ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian
seperti menemani istri saat periksa hamil
b. Dukungan sosial. Dukungan yang bersifat nyata dan dalam bentuk materi,
contoh : persiapan finansial khusus untuk persalinan
c. Dukungan informasi. Contoh : mencari informasi mengenai kehamilan, dengan
ini akan menjaga kesehatan, kejiwaan istri agar tetap stabil, tenang dan bahagia
d. Dukungan lingkungan. Contoh : membantu pekerjaan istri
B. Aspek sosial yang mempengaruhi perilaku dan depresi
Sosial Budaya merupakan aspek turun temurun, sering kali dijadikan petunjuk dan tata cara
berperilaku.
Menurut GM Foster, aspek budaya yang mempengaruhi perilaku :
1. Pengaruh tradisi
2. Sikap fatalistis
3. Sikap etnosentris
4. Pengaruh perasaan bangga pada statusnya
5. Pengaruh norma
6. Pengaruh nilai
7. Pengaruh unsur budaya yang dipelajari pada tingkat awal dari proses sosialisasi
terhadap perilaku kesehatan
8. Pengaruh konsekuensi dari inovasi terhadap perilaku kesehatan.
C. Pendekatan sosial budaya dalam mengatur strategi pelayanan kesehatan dan
kebidanan
Cara pendekatan sosial budaya dalam kebidanan, dimana seorang bidan harus :
1. Mampu menggerakkan peran serta masyarakat, khususnya kesehatan ibu hamil,
bersalin, nifas, BBL, remaja dan usia lanjut.
2. Memiliki kompetensi yang cukup terkait tugasnya, peran dan tanggung jawabnya.
Pendekatan yang dapat dilakukan :
1. Agama
Agama dapat memberi petunjuk atau pedoman pada umat manusia dalam menjalani
hidup, meliputi seluruh aspek kehidupan, serta dapat membantu memecahkan
masalah hidup yang dialami. Aspek pendekatan agama dalam memberikan
136
pelayanan kebidanan dan kesehatan adalah:
a. Agama memberikan petunjuk kepada manusia untuk selalu menjaga
kesehatannya.
b. Agama memberikan dorongan batin dan moral yang mendasar dan melandasi
cita-cita dan perilaku manusia dalam menjalani kehidupannya yang
bermanfaat bagi dirinya, keluarga, massyarakat dan bangsa.
c. Agama mengharuskan umat manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan dalam segala aktivitasnya.
d. Agama dapat menghindarkan umat manusia dari hal yang bertentangan
dengan ajaran.
Upaya yang dapat dilakukan ditinjau dari segi agama, yaitu :
a. Upaya pemeliharaan
Upaya dini yang dilakukan dalam pemeliharaan kesehatan, dimulai sejak ibu
hamil, agar bayi yang dilahirkan sehat dengan ibu yang sehat pula. Karena
kesehatan merupakan faktor utama manusia untuk dapat melakukan hidup
dengan baik sehingga terhindar dari penyakit dan kecacatan. Misalnya dengan
makan-makanan yang bergizi, berolahraga dan lain-lain.
b. Upaya pencegahan penyakit
Dalam agama pencegahan lebih baik dari pengobatan waktu sakit. Upaya
yang dapat dilakukan, yaitu :
▪ Imunisasi, pada bayi, balita, ibu hamil, wanita usia subur, murid SD
kelas 1-3
▪ Pemberian ASI pada anak sampai usia 2 tahun.
▪ Memberikan penyuluhan kesehatan.
2. Paguyuban dan sistem banjar
a. Pendekatan dalam sistem banjar
Banjar merupakan bentuk kesatuan sosial yang berdasarkan kesatuan wilayah,
kesatuan sosial diperkuat oleh kesatuan adat dan upacara keagamaan yang rumit.
Cara bidan untuk pendekatan : Menggerakkan dan membina peran serta
masyarakat dalam bidang kesehatan dengan penyuluhan sesuai kebutuhan dan
masalah.
b. Pendekatan dalam sistem paguyuban
Paguyuban merupakan suatu kelompok masyarakat yang diantara para warganya
diwarnai dengan hubungan sosial yang penuh rasa kekeluargaan.
137
c. Pendekatan kesenian
Kesenian sebagai media penyuluhan kesehatan untuk melakukan pendekatan
pada masyarakat dengan menyelipkan pesan-pesan kesehatan. Misalnya dengan
kesenian wayang kulit dapat dengan menyelipkan pesan kesehatan, dengan
menciptakan lagu berisi tentang permasalahan kesehatan dengan menggunakan
bahasa setempat, pada suatu acara di desa bisa juga dengan memberikan
pertanyaan tentang kesehatan diawal atau di akhir acara.
D. strategi dalam merubah perilaku masyarakat
Beberapa strategi untuk memperoleh perubahan perilaku tersebut oleh WHO
dikelompokkan menjadi 3, yakni:
1 Menggunakan kekuatan/kekuasaan atau dorongan
Dalam hal ini perubahan perilaku dipaksakan kepada sasaran atau masyarakat
sehingga ia mau melakukan (berperilaku) seperti yang diharapkan. Cara ini dapat
ditempuh misalnya dengan adanya peraturan-peraturan/perundangan- perundangan
yang harus dipatuhi oleh anggota masyarakat. Cara ini akan menghasilkan perilaku
yang cepat, akan tetapi perubahan tersebut belum tentu akan berlangsung lama
karena perubahan perilaku yang terjadi tidak atau belum didasari oleh kesadaran
sendiri.
2 Pemberian informasi
Dengan memberikan informasi-informasi tentang cara- cara mencapai hidup sehat,
cara pemeliharaan kesehatan, cara menghindari penyakit dan sebagainya akan
meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang hal tersebut. Selanjutnya dengan
pengetahuan-pengetahuan itu akan menimbulkan kesadaran mereka, dan akhirnya
akan menyebabkan orang berperilaku sesuai dengan pengetahuanyang
dimilikinya itu. Hasil atau perubahan perilaku dengan cara ini memakan waktu
lama, tetapi perubahan yang dicapai akan bersifat langgeng karena didasari pada
kesadaran mereka sendiri (bukan karena paksaan).
3 Diskusi dan partisipasi
Cara ini adalah sebagai peningkatan cara yang kedua tersebut di atas di mana di
dalam memberikan informasi- informasi tentang kesehatan tidak bersifat searah
saja, tetapi dua arah. Hal ini berarti bahwa masyarakat tidak hanya pasif menerima
informasi, tetapi juga harus aktif berpartisipasi melalui diskusi-diskusi tentang
informasi yang diterimannya.

138
Dengan demikian maka pengetahuan-pengetahuan kesehatan sebagai dasar perilaku
mereka diperoleh secara mantap dan lebih mendalam, dan akhirnya perilaku yang
mereka peroleh akan lebih mantap juga, bahkan merupakan referensi perilaku orang lain.
Sudah barang tentu cara ini akan memakan waktu yang lebih lama dari cara yang kedua
tersebut, dan jauh lebih baik dengan cara yang pertama. Diskusi partisipasi adalah salah
satu cara yang baik dalam rangka memberikan informasi-informasi dan pesan-pesan
kesehatan.
Strategi untuk merubah perilaku masyarakat ini dapat dilakukan melalui beberapa
tahapan:
1 Memperkenalkan kepada masyarakat tentang gagasan dan teknik mempromosikan
perilaku masyarakat.
2 Mengidentifikasi perilaku masyarakat yang perlu dirubah dan teknik-teknik
mengembangkan strategi untuk perubahan perilaku bagi individu, keluarga dan
masyarakat.
3 Memotivasi perubahan perilaku masyarakat.
4 Merancang program komunikasi untuk berbagai kelompok sasaran.
Langkah memotivasi seseorang untuk mengadopsi perilaku kesehatan yaitu :
1 Memilih beberapa perubahan perilaku yang diharapkan yang dapat diterapkan
2 Mencari tau apa yang dirasakan oleh kelompok sasaran mengenai perilaku tersebut
melalui diskusi terfokus, wawancara dan melalui uji coba perilaku.
3 Membuat pesan yang tepat sehingga sasaran mau melakukan perubahan perilaku
4 Menciptakan sebuah pesan sederhana, positif, menarik berdasarkan apa yang
disukai kelompok sasaran
5 Merancang komunikasi

TUGAS TERSTRUKTUR
Mahasiswa membuat resume terkait materi yang telah disampaikan
TEST FORMATIF
1 Sebutkan aspek perilaku dan sosial budaya yang mempengaruhi pelayanan kebidanan
2 Sebutkan perilaku soasial budaya yang Anda ketshui terkait kehamilan, persalinan, nifas dan BBL
3 Jelaskan mengapa seorang bidan harus memahami aspek humaniora dalam melakukan pelayanan
kebidanan ?
4 Mengapa dalam memberikan pelayanan kebidanan seorang bidan harus memperhatikan aspek
spiritual ?
5 Jelaskan contoh penerapan spiritual dalam pelayanan kebidanan ?

139
KEGIATAN BELAJAR 11
INTERAKSI SOSIAL, NORMA DAN NILAI SOSIAL

ALOKASI WAKTU
100 Menit

CAPAIAN PEMBELAJARAN
Mahasiswa mampu memahami:
1. Interaksi sosial
2. Norma dan Nilai

URAIAN MATERI
A. Interaksi Sosial
1 Pengertian Interaksi Sosial
Interaksi sosial dapat diartikan sebagai hubungan-hubungan sosial yang dinamis.
Hubungan sosial yang dimaksud dapat berupa hubungan antara individu yang satu
dengan individu lainnya, antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya,
maupun antara kelompok dengan individu. Dalam interaksi juga terdapat simbol, di
mana simbol diartikan sebagai sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan kepadanya
oleh mereka yang menggunakannya
Proses Interaksi sosial menurut Herbert Blumer adalah pada saat manusia
bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna yang dimiliki sesuatu tersebut bagi
manusia. Kemudian makna yang dimiliki sesuatu itu berasal dari interaksi antara
seseorang dengan sesamanya. Dan terakhir adalah Makna tidak bersifat tetap namun
dapat dirubah, perubahan terhadap makna dapat terjadi melalui proses penafsiran yang
dilakukan orang ketika menjumpai sesuatu. Proses tersebut disebut juga dengan
interpretative process
Interaksi sosial dapat terjadi bila antara dua individu atau kelompok terdapat
kontak sosial dan komunikasi. Kontak sosial merupakan tahap pertama dari terjadinya
hubungan sosial Komunikasi merupakan penyampaian suatu informasi dan pemberian
tafsiran dan reaksi terhadap informasi yang disampaikan. Karp dan Yoels
menunjukkan beberapa hal yang dapat menjadi sumber informasi bagi dimulainya
komunikasi atau interaksi sosial. Sumber Informasi tersebut dapat terbagi dua, yaitu
Ciri Fisik dan Penampilan. Ciri Fisik, adalah segala sesuatu yang dimiliki seorang

140
individu sejak lahir yang meliputi jenis kelamin, usia, dan ras. Penampilan di sini dapat
meliputi daya tarik fisik, bentuk tubuh, penampilan berbusana, dan wacana.
Interaksi sosial memiliki aturan, dan aturan itu dapat dilihat melalui dimensi ruang
dan dimensi waktu dari Robert T Hall dan Definisi Situasi dari W.I. Thomas. Hall
membagi ruangan dalam interaksi sosial menjadi 4 batasan jarak, yaitu jarak intim,
jarak pribadi, jarak sosial, dan jarak publik. Selain aturan mengenai ruang Hall juga
menjelaskan aturan mengenai Waktu. Pada dimensi waktu ini terlihat adanya batasan
toleransi waktu yang dapat mempengaruhi bentuk interaksi. Aturan yang terakhir
adalah dimensi situasi yang dikemukakan oleh W.I. Thomas. Definisi situasi
merupakan penafsiran seseorang sebelum memberikan reaksi. Definisi situasi ini
dibuat oleh individu dan masyarakat.
2 Syarat-Syarat Terjadinya Interaksi Sosial
Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua
syarat (Soerjono Sukanto) yaitu: adanya kontak sosial, dan adanya komunikasi.
Kontak Sosial → Kontak sosial berasal dari bahasa latin con atau cum yang berarti
bersama-sama dan tango yang berarti menyentuh. Jadi secara harfiah kontak adalah
bersama-sama menyentuh. Secara fisik, kontak baru terjadi apabila terjadi hubungan
badaniah. Sebagai gejala sosial itu tidak perlu berarti suatu hubungan badaniah, karena
orang dapat mengadakan hubungan tanpa harus menyentuhnya, seperti misalnya
dengan cara berbicara dengan orang yang bersangkutan. Dengan berkembangnya
teknologi dewasa ini, orang-orang dapat berhubungan satu sama lain dengan melalui
telepon, telegraf, radio, dan yang lainnya yang tidak perlu memerlukan sentuhan
badaniah.
Kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk (Soerjono Soekanto : 59) yaitu
sebagai berikut :
a. Antara orang perorangan → Kontak sosial ini adalah apabila anak kecil
mempelajari kebiasaan-kebiasaan dalam keluarganya. Proses demikian terjadi
melalui komunikasi, yaitu suatu proses dimana anggota masyarakat yang baru
mempelajari norma-norma dan nilai-nilai masyarakat di mana dia menjadi
anggota.
b. Antara orang perorangan dengan suatu kelompok manusia atau sebaliknya →
Kontak sosial ini misalnya adalah apabila seseorang merasakna bahwa tindakan-
tindakannya berlawanan dengan norma-norma masyarakat.
c. Antara suatu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya →
141
Umpamanya adalah dua partai politik yang bekerja sama untuk mengalahkan
partai politik lainnya.
Kontak sosial memiliki beberapa sifat, yaitu kontal sosial positif dan kontak sosial
negative. Kontak sosial positif adalah kontak sosial yang mengarah pada suatu kerja
sama, sedangkan kontak sosial negative mengarah kepada suatu pertentangan atau
bahkan sama sekali tidak menghasilkan kontak sosial. Selain itu kontak sosial juga
memiliki sifat primer atau sekunder. Kontak primer terjadi apabila yang mengadakan
hubungan langsung bertemu dan berhadapan muka, sebaliknya kontak yang sekunder
memerlukan suatu perantara.
Komunikasi → Komunikasi adalah bahwa seseorang yang memberi tafsiran
kepada orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah atau sikap),
perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. Orang yang
bersangkutan kemudian memberi reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan.
Dengan adanya komunikasi sikap dan perasaan kelompok dapat diketahui olek
kelompok lain aatau orang lain. Hal ini kemudain merupakan bahan untuk menentukan
reaksi apa yang akan dilakukannya.
Dalam komunikasi kemungkinan sekali terjadi berbagai macam penafsiran
terhadap tingkah laku orang lain. Seulas senyum misalnya, dapat ditafsirkan sebagai
keramah tamahan, sikap bersahabat atau bahkan sebagai sikap sinis dan sikap ingin
menunjukan kemenangan. Dengan demikian komunikasi memungkinkan kerja sama
antar perorangan dan atau antar kelompok. Tetapi disamping itu juga komunikasi bisa
menghasilkan pertikaian yangterjadi karena salah paham yang masing-masing tidak
mau mengalah.

142
3 Bentuk-Bentuk Interaksi Soaial
a. Proses Asosiatif (Processes of Association)
1) Kerja Sama (Cooperation)
Beberapa sosiolog menganggap bahwa kerja sama merupakan bentuk
interaksi sosial yang pokok. Sosiolog lain menganggap bahwa kerja sama
merupakan proses utama. Golongan terakhir tersebut memahamkan kerja
sama untuk menggambarkan sebagian besar bentuk-bentuk interaksi sosial
atas dasar bahwa segala macam bentuk inetarksi tersebut dapat dikembalikan
kepada kerja sama. Kerja sama di sini dimaksudkan sebagai suatu usaha
bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai
satu atau beberapa tujuan bersama.
Bentuk dan pola-pola kerja sama dapat dijumpai pada semua kelompok
manusia. Kebiasaan-kebiasaan dan sikap-sikap demikian dimulai sejak masa
kanak-kanak di dalam kehidupan keluarga atau kelompok-kelompok
kekerabatan. Bentuk kerja sama tersebut berkembang apabila orang dapat
digerakkan untuk mencapai suatu tujuan bersama dan harus ada kesadaran
bahwa tujuan tersebut di kemudian hari mempunyai manfaat bagi semua.
Juga harus ada iklim yang menyenangkan dalam pembagian kerja srta balas
jasa yang akan diterima. Dalam perkembangan selanjutnya, keahlian-
keahlian tertentu diperlukan bagi mereka yang bekerja sama, agar rencana
kerja samanya dapat terleksana dengan baik.
Kerja sama timbul karena orientasi orang perorangan terhadap kelompoknya
(in-group-nya) dan kelompok lainnya (out-group-nya). Kerja sama mungkin
akan bertambah kuat apabila ada bahaya luar yang mengancam atau ada
tindakan-tindakan luar yang menyinggung kesetiaan yang secara tradisional
atau institusional telah tertanam di dalam kelompok, dalam diri seseorang
atau segolongan orang. Kerja sama dapat bersifat agresif apabila kelompok
dalam jangka waktu yang lama mengalami kekecewaan sebagai akibat
perasaan tidak puas, karena keinginan-keinginan pokoknya tak dapat
terpenuhi oleh karena adanya rintangan-rintangan yang bersumber dari luar
kelompok itu.

143
2) Akomodasi (Accomodation)
Istilah akomodasi dipergunakan dalam dua arti yaitu untuk menunjuk pada
suatu keadaan dan untuk menunjuk pada suatu proses. Akomodasi yang
menunjuk pada suatu keadaan, berarti adanya suatu keseimbangan
(equilibrium) dalam interaksi antara orang-peorangan atau kelompok-
kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma- norma sosial dan nilai-
nilai sosial yang berlaku di dalam masyarakat. Sebagai suatu proses,
akomodasi menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu
pertentangan yaitu usaha-usaha untuk mencapai kestabilan.
Menurut Gillin dan Gillin, akomodasi adalah suatu pengertian yang
digunakan oleh para sosiolog untuk menggambarkan suatu proses dalam
hubungan-hubungan sosial yang sama artinya dengan pengertian adaptasi
(adaptation) yang dipergunakan oleh ahli-ahli biologi untuk menunjuk pada
suatu proses dimana makhluk-makhluk hidup menyesuaikan dirinya dengan
alam sekitarnya. Dengan pengertian tersebut dimaksudkan sebagai suatu
proses dimana orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia yang
mula-mula saling bertentangan, saling mengadakan penyesuaian diri untuk
mengatasi ketegangan-ketegangan.
3) Asimilasi (Assimilation)
Asimilasi merupakan proses sosial dalam taraf lanjut. Ia ditandai dengan
adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara
orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi
usaha- usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan proses-proses
mental dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan
bersama.
Secara singkat, proses asimilasi ditandai dengan pengembangan sikap-sikap
yang sama, walau kadangkala bersifat emosional, dengan tujuan untuk
mencapai kesatuan, atau paling sedikit mencapai integrasi dalam organisasi,
pikiran, dan tindakan. Proses asimilasi timbul bila ada: 1) Kelompok-
kelompok manusia yang berbeda kebudayaannya. 2) Orang perorangan
sebagai warga kelompok tadi saling bergaul secara langsung dan intensif
untuk waktu yang lama. 3) Kebudayaan-kebudayaan dari kelompok-
kelompok manusia tersebut masing-masing berubah dan saling menyesuaikan
diri.
144
b. Proses Disosiatif
Proses disosiatif sering disebut sebagai oppositional processes, persis halnya
dengan kerja sama, dapat ditemukan pada setiap masyarakat, walaupun bentuk
dan arahnya ditentukan oleh kebudayaan dan system social masyarakat
bersangkutan. Apakah suatu masyarakat lebih menekankan pada salah satu bentuk
oposisi, atau lebih menghargai kerja sama, hal itu tergantung pada unsure-unsur
kebudayaan terutama yang menyangkut system nilai, struktur masayarakat dan
system sosialnya. Factor yang paling menentukan adalah system nilai masyarakat
tersebut. Oposisi dapat diartikan sebagai cara berjuang melawanseseoran atau
sekelompok manusia, untuk mencapai tujuan tertentu. Terbatasnya makanan,
tempat tinggal serta lain-lain factor telah melahirkan beberapa bentuk kerja sama
dan oposisi. Pola-pola oposisi tersebut dinamakan juga sebagai perjuangan untuk
tetap hidup (struggle for existence).
Perlu dijelaskan bahwa pengertian struggle for existence juga dipakai untuk
menunjuk kepada suatu keadaan di mana manusia yang satu tergantung pada
kehidupan manusia yang lainnya, keadaan mana menimbulkan kerja sama untuk
dapat tetap hidup. Perjuangan ini mengarah pada paling sedikit tiga hal yaitu
perjuangan manusia melawan sesame, perjuangan manusia melawan makhluk-
makhluk jenis lain serta perjuangan manusia melawan alam. Untuk kepentingan
analisis ilmu pengetahuan, oposisi atau proses-proses yang disosiatif dibedakan
dalam tiga bentuk, yaitu :
• Persaingan (competition)
• Kontravensi (contravention)
• Pertentangan atau pertikaian (conflict)
4 Jenis-Jenis Interaksi Sosial
Ada tiga jenis interaksi sosial, yaitu:
a. Interaksi antara Individu dan Individu. Pada saat dua individu bertemu, interaksi
sosial sudah mulai terjadi. Walaupun kedua individu itu tidak melakukan kegiatan
apa-apa, namun sebenarnya interaksi sosial telah terjadi apabila masing-masing
pihak sadar akan adanya pihak lain yang menyebabkan perubahan dalam diri
masing-masing. Hal ini sangat dimungkinkan oleh faktor-faktor tertentu, seperti
bau minyak wangi atau bau keringat yang menyengat, bunyi sepatu ketika sedang
berjalan dan hal lain yang bisa mengundang reaksi orang lain.

145
b. Interaksi antara Kelompok dan Kelompok. Interaksi jenis ini terjadi pada
kelompok sebagai satu kesatuan bukan sebagai pribadi-pribadi anggota kelompok
yang bersangkutan. Contohnya, permusuhan antara Indonesia dengan Belanda
pada zaman perang fisik.
c. Interaksi antara Individu dan Kelompok. Bentuk interaksi di sini berbeda- beda
sesuai dengan keadaan. Interaksi tersebut lebih mencolok manakala terjadi
perbenturan antara kepentingan perorangan dan kepentingan kelompok.
5 Ciri-Ciri Interaksi Sosial
Interaksi sosial mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Ada pelaku dengan jumlah lebih dari satu orang
b. Ada komunikasi antarpelaku dengan menggunakan simbol-simbol
c. Ada dimensi waktu (masa lampau, masa kini, dan masa mendatang) yang
menentukan sifat aksi yang sedan berlangsung
d. Ada tujuan-tujuan tertentu, terlepas dari sama tidaknya tujuan tersebut dengan
yang diperkirakan oleh pengamat
e. Tidak semua tindakan merupakan interaksi. Hakikat interaksi terletak pada
kesadaran mengarahkan tindakan pada orang lain. Harus ada orientasi timbal-
balik antara pihak-pihak yang bersangkutan, tanpa menghiraukan isi
perbuatannya: cinta atau benci, kesetiaan atau pengkhianatan, maksud melukai
atau menolong.

146
6 Faktor-Faktor Interaksi Sosial Pengertian
Kelangsungan interaksi sosial, sekalipun dalam bentuknya yang sederhana, ternyata
merupakan proses yang kompleks, tetapi padanya dapat kita beda-bedakan beberapa
faktor yang mendasarinys, baik secara tunggal maupun bergabung, yaitu (vide Bonner,
Social Psychology, no. 3):
a. Faktor Imitasi
Gabriel Tarde beranggapan bahwa seluruh kehidupan sosial sebenarnya
berdasarkan faktor imitasi. Walaupun pendapat ini ternyata berat sebelah, peranan
imitasi dalam interaksi sosial itu tidak kecil. Misalnya bagaimana seorang anak
belajar berbicara. Mula-mula ia mengimitasi dirinya sendiri kemudian ia
mengimitasi kata-kata orang lain. Ia mengartikan kata-kata juga karena
mendengarnya dan mengimitasi penggunaannya dari orang lain. Lebih jauh, tidak
hanya berbicara yang merupakan alat komunikasi yang terpenting, tetapi juga
cara-cara lainnya untuk menyatakan dirinya dipelajarinya melalui proses imitasi.
Misalnya, tingkah laku tertentu, cara memberikan hormat, cara menyatakan terima
kasih, cara-cara memberikan isyarat tanpa bicara, dan lain-lain. Selain itu, pada
lapangan pendidikan dan perkembangan kepribadian individu, imitasi mempunyai
peranannya, sebab mengikuti suatu contoh yang baik itu dapat merangsang
perkembangan watak seseorang. Imitasi dapat mendorong individu atau kelompok
untuk melaksanakan perbuatan- perbuatan yang baik.
Peranan imitasi dalam interaksi sosialjuga mempunyai segi-segi yang negatif.
Yaitu, apabila hal-hal yang diimitasi itu mungkinlah salah atau secara moral dan
yuridis harus ditolak. Apabila contoh demikian diimitasi orang banyak, proses
imitasi itu dapat menimbulkan terjadinya kesalahan kolektif yang meliputi jumlah
serba besar.
Selain itu, adanya proses imitasi dalam interaksi sosial dapat menimbulkan
kebiasaan di mana orang mengimitasi sesuatu tanpa kritik, seperti yang
berlangsung juga pada faktor sugesti. Dengan kata lain, adanya peranan imitasi
dalam interaksi sosial dapat memajukan gejala-gejala kebiasaan malas berpikir
kritis pada individu manusia yang mendangkalkan kehidupannya.
Imitasi bukan merupakan dasar pokok dari semua interaksi sosial seperti yang
diuraikan oleh Gabriel tarde, melainkan merupakan suatu segi dari proses
interaksi sosial, yang menerangkan mengapa dan bagaimana dapat terjadi
keseragaman dalam pandangan dan tingkah laku di antara orang banyak.
147
b. Faktor Sugesti
Arti sugesti dan imitasi dalam hubungannya dengan interaksi sosial hampir sama.
Bedanya adalah bahwa dalam imitasi itu orang yang satu mengikuti sesuatu di luar
dirinya; sedangkan pada sugesti, seseorang memberikan pandangan atau sikap
dari dirinya yang lalu diterima oleh orang lain di luarnya. Sugesti dalam ilmu jiwa
sosial dapat dirumuskan sebagai suatu proses di mana seorang individu menerima
suatu cara penglihatan atau pedoman-pedoman tingkah laku dari orang lain tanpa
kritik terlebih dahulu. Secara garis besar, terdapat beberapa keadaan tertentu serta
syarat-syarat yang memudahkan sugesti terjadi, yaitu:
1) Sugesti karena hambatan berpikir
Dalam proses sugesti terjadi gejala bahwa orang yang dikenainya mengambil
alih pandangan-pandangan dari orang lain tanpa memberinya pertimbangn-
pertimbangan kritik terlebih dahulu. Orang yang terkena sugesti itu menelan
apa saja yang dianjurkan orang lain. Hal ini tentu lebih mudah terjadi apabila
ketika terkena sugesti berada dalam keadaan ketika cara-cara berpikir kritis
itu sudah agak terkendala. Hal ini juga dapat terjadi misalnya apabila orang
itu sudah lelah berpikir, tetapi juga apabila proses berpikir secara itu
dikurangi dayanya karena sedang mangalami rangsangan-rangsangan
emosional. Misalnya: Rapat-rapat Partai Nazi atau rapat-rapat raksasa
seringkali diadakan pada malam hari ketika orang sudah cape dari
pekerjaannya. Selanjutnya mereka pun senantiasa memasukkan dalam acara
rapat-rapat itu hal-hal yang menarik perhatian, merangsang emosi dan
kekaguman sehingga mudah terjadi sugesti kepada orang banyak itu.
2) Sugesti karena keadaan pikiran terpecah-pecah (disosiasi)
Selain dari keadaan ketika pikiran kita dihambat karean kelelahan atau karena
rangsangan emosional, sugesti itu pun mudah terjadi pada diri seseorang
apabila ia mengalami disosiasi dalam pikirannya, yaitu apabila pemikiran
orang itu mengalami keadaan terpecah-belah. Hal ini dapat terjadi misalnya
apabila orang yangbersangkutan menjadi bingung karena ia dihadapkan pada
kesulitan-kesulitan hidup yang terlalu kompleks bagi daya penampungannya.
Apabila orang menjadi bingung, maka ia lebih mudah terkena sugesti orang
lain yang mengetahui jalan keluar dari kesulitan-kesulitan yang dihadapinya
itu. Keadaan semacam ini dapat pula menerangkan mengapa dalam zaman
modern ini orang-orang yang biasanya berobat kepada dokter juga
148
mendatangi dukun untuk memperoleh sugestinya yang dapat membantu
orang yang bersangkutan mengatasi kesulitan-kesulitan jiwanya.
3) Sugesti karena otoritas atau prestise
Dalam hal ini, orang cenderung menerima pandangan-pandangan atau sikap-
sikap tertentu apabila pandangan atau sikap tersebut dimiliki oleh para ahli
dalam bidangnya sehingga dianggap otoritas pada bidang tersebut atau
memiliki prestise sosial yang tinggi.
4) Sugesti karena mayoritas → Dalam hal ini, orang lebih cenderung akan
menerima suatu pandangan atau ucapan apabila ucapan itu didukung oleh
mayoritas, oleh sebagian besar dari golongannya, kelompknya atau
masyarakatnya.
5) Sugesti karena ”will to believe” dimana terdapat pendapat bahwa sugesti
justru membuat sadar akan adanya sikap-sikap dan pandangn-pandangan
tertentu pada orang-orang. Dengan demikian yang terjadi dalam sugesti itu
adalah diterimanya suatu sikap-pandangan tertentu karena sikap-pandangan
itu sebenarnya sudah tersapat padanya tetapi dalam kedaan terpendam. Dalam
hal ini, isi sugesti akan diterima tanpa pertimbangan lebih lanjut karena pada
diri pribadi orang yang bersangkutan sudah terdapat suatu kesediaan untuk
lebih sadar dan yakin akan hal-hal disugesti itu yang sebenarnya sudah
terdapat padanya.
c. Fakor Identifikasi
Identifikasi adalah sebuah istilah dari psikologi Sigmund Freud. Istilah
identifikasi timbul dalam uraian Freud mengenai cara-cara seorang anak belajar
norma-norma sosial dari orang tuanya. Dalam garis besarnya, anak itu belajar
menyadari bahwa dalam kehidupan terdapat norma-norma dan peraturan-
peraturan yang sebaiknya dipenuhi dan ia pun mempelajarinya yaitu dengan dua
cara utama.
Pertama ia mempelajarinya karena didikan orangtuanya yang menghargai tingkah
laku wajar yang memenuhi cita-cita tertentu dan menghukum tingkah laku yang
melanggar norma-normanya. Lambat laun anak itu memperoleh pengetahuan
mengenai apa yang disebut perbuatan yang baik dan apa yang disebut
perbuatanyang tidak baik melalui didikan dari orangtuanya.
Identifikasi dalam psikologi berarti dorongan untuk menjadi identik (sama)
dengan seorang lain. Kecenderungan ini bersifat tidak sadar bagi anak dan tidak
149
hanya merupakan kecenderungan untuk menjadi seperti seseorang secara lahiriah
saja, tetapi justru secara batin. Artinya, anak itu secara tidak sadar mengambil alih
sikap-sikap orangtua yang diidentifikasinya yang dapat ia pahami norma-norma
dan pedoman-pedoman tingkah lakunya sejauh kemampuan yang ada pada anak
itu.
Sebenarnya, manusia ketika ia masih kekurangan akan norma-norma, sikap-
sikap, cita-cita, atau pedoman-pedoman tingkah laku dalam bermacam- macam
situasi dalam kehidupannya, akan melakukan identifikasi kepada orang-orang
yang dianggapnya tokoh pada lapangan kehidupan tempat ia masih kekurangan
pegangan. Demikianlah, manusia itu terus-menerus melengkapi sistem norma dan
cita-citanya itu, terutama dalam suatu masyarakat yang berubah-ubah dan yang
situasi-situasi kehidupannya serba ragam.
Ikatan yang terjadi antara orang yang mengidentifikasi dan orang tempat
identifikasi merupakan ikatan batin yang lebih mendalam daripada ikatan antara
orang yang saling mengimitasi tingkah lakunya. Di samping itu, imitasi dapat
berlangsung antara orang-orang yang tidak saling kenal, sedangkan orang tempat
kita mengidentifikasi itu dinilai terlebih dahulu dengan cukup teliti (dengan
perasaan) sebelum kita mengidentifikasi diri dengan dia, yang bukan merupakan
proses rasional dan sadar, melainkan irasional dan berlangsung di bawah taraf
kesadaran kita.

150
d. Faktor Simpati
Simpati dapat dirumuskan sebagai perasaan tertariknya seseorang terhadap orang
lain. Simpati timbul tidak atas dasar logis rasional, tetapi berdasarkan penilaian
perasaan sebagaimana proses identifikasi. Akan tetapi, berbeda dengan
identifikasi, timbulnua simpati itu merupakan proses yang sadar bagi manusia
yang merasa simpati terhadap orang lain. Peranan simpati cukup nyata dalam
hubungan persahabatan antara dua orang atau lebih. Patut ditambahkan bahwa
simpati dapat pula berkembang perlahan-lahan di samping simpati yang timbul
dengan tiba-tiba.
Gejala identifikasi dan simpati itu sebenarnya sudah berdekatan. Akan tetapi,
dalam hal simpati yang timbal-balik itu, akan dihasilkan suatu hubungan kerja
sama di mana seseorang ingin lebih mengerti orang lain sedemikian jauhnya
sehingga ia dapat merasa berpikir dan bertingkah laku seakan-akan ia adalah
orang lain itu. Sedangkan dalam hal identifikasi terdapat suatu hubungan di mana
yang satu menghormati dan menjunjung tinggi yang lain, dan ingin belajar
daripadanya karena yang lain itu dianggapnya sebagai ideal. Jadi, pada simpati,
dorongan utama adalah ingin mengerti dan ingin bekerja sama dengan orang lain,
sedangkan pada identifikasi dorongan utamanya adalah ingin mengikuti jejaknya,
ingin mencontoh ingin belajar dari orang lain yang dianggapnya sebagai ideal.
Hubungan simpati menghendaki hubungan kerja sama antara dua atau lebih orang
yang setaraf. Hubungan identifikasi hanya menghendaki bahwa yang satu ingin
menjadi seperti yang lain dalam sifat-sifat yang dikaguminya. Simpati bermaksud
kerja sama, identifikasi bermaksud belajar.
B. Norma dan Nilai Sosial
Norma sosial, merupakan aturan informal yang mengatur perilaku dalam kelompok
dan masyarakat, telah dipelajari secara ekstensif dalam ilmu sosial. Antropolog telah
menggambarkan bagaimana norma sosial berfungsi dalam budaya yang berbeda (Geertz
1973), sosiolog telah berfokus pada fungsi sosial mereka dan bagaimana mereka
memotivasi orang untuk bertindak (Durkheim 1895 [1982], 1950 [1957]; Parsons 1937;
Parsons & Shils 1951; James Coleman 1990; Hechter & Opp 2001), dan para ekonom telah
mengeksplorasi bagaimana kepatuhan terhadap norma mempengaruhi perilaku pasar
(Akerlof 1976; Muda 1998a). Baru-baru ini, juga para sarjana hukum telah menggembar-
gemborkan norma-norma sosial sebagai alternatif yang efisien untuk aturan hukum, karena
mereka dapat menginternalisasi eksternalitas negatif dan menyediakan mekanisme
151
pensinyalan dengan sedikit atau tanpa biaya (Ellickson 1991; Posner 2000).
Dengan beberapa pengecualian, literatur ilmu sosial menganggap norma sebagai
variabel eksogen. Karena norma terutama dipandang sebagai perilaku yang membatasi,
beberapa perbedaan utama antara norma moral, sosial, dan hukum — serta perbedaan
antara norma dan konvensi — telah kabur. Banyak perhatian malah diberikan pada kondisi
di mana norma-norma akan dipatuhi. Karena itu, masalah sanksi menjadi yang terpenting
dalam literatur ilmu sosial. Selain itu, karena norma sosial dipandang sebagai pusat
produksi tatanan sosial atau koordinasi sosial, penelitian tentang norma telah difokuskan
pada fungsi yang mereka lakukan. Namun bahkan jika suatu norma dapat memenuhi fungsi
sosial yang penting (seperti maksimalisasi kesejahteraan atau penghapusan eksternalitas),
itu tidak dapat dijelaskan hanya berdasarkan fungsi yang dilakukannya.
Perspektif fungsionalis yang sederhana telah ditolak pada beberapa akun; pada
kenyataannya, meskipun norma yang diberikan dapat dipahami sebagai sarana untuk
mencapai beberapa tujuan, ini biasanya bukan alasan mengapa itu muncul di tempat
pertama (Elster 1989a, 1989b). Selain itu, meskipun norma tertentu mungkin bertahan
(sebagai lawan untuk muncul) karena beberapa fungsi sosial positif yang dipenuhinya, ada
banyak norma lain yang tidak efisien dan bahkan secara luas tidak populer.
Para filsuf telah mengambil pendekatan yang berbeda terhadap norma. Dalam literatur
tentang norma dan konvensi, kedua konstruksi sosial dipandang sebagai produk endogen
dari interaksi individu (Lewis 1969; Ullmann-Margalit 1977; Vandershraaf 1995; Bicchieri
2006). Norma direpresentasikan sebagai keseimbangan permainan strategi, dan dengan
demikian mereka didukung oleh sekelompok harapan yang terpenuhi sendiri. Keyakinan,
harapan, pengetahuan kelompok dan pengetahuan umum dengan demikian telah menjadi
konsep sentral dalam pengembangan pandangan filosofis norma-norma sosial.
Memperhatikan peran yang dimainkan oleh harapan dalam mendukung norma-norma
sosial telah membantu membedakan antara norma-norma sosial, konvensi, dan norma-
norma deskriptif: perbedaan penting yang sering diabaikan dalam catatan ilmu sosial, tetapi
penting ketika kita perlu mendiagnosis sifat pola perilaku untuk campur tangan di atasnya.
1. Masalah Umum
Norma sosial, seperti banyak fenomena sosial lainnya, adalah hasil yang tidak
direncanakan dari interaksi individu. Telah diperdebatkan bahwa norma-norma sosial
harus dipahami sebagai semacam tata bahasa interaksi sosial. Seperti tata bahasa,
sistem norma menentukan apa yang dapat diterima dan apa yang tidak dalam
masyarakat atau kelompok. Dan, dianalogikan dengan tata bahasa, itu bukan produk
152
dari desain manusia. Pandangan ini menunjukkan bahwa studi tentang kondisi di mana
norma muncul — sebagai lawan dari yang menekankan fungsi yang dipenuhi oleh
norma sosial — penting untuk memahami perbedaan antara norma sosial dan jenis
perintah lainnya (seperti imperatif hipotetis, kode moral, atau aturan hukum).
Masalah penting lainnya yang sering kabur dalam literatur tentang norma adalah
hubungan antara keyakinan normatif dan perilaku. Beberapa penulis mengidentifikasi
norma dengan pola perilaku yang dapat diamati dan berulang. Yang lain hanya fokus
pada keyakinan dan harapan normatif. Kisah-kisah semacam itu merasa sulit untuk
menjelaskan kompleksitas dan heterogenitas perilaku yang didorong oleh norma,
karena mereka menawarkan penjelasan tentang kesesuaian yang paling parsial.
Beberapa catatan populer tentang mengapa norma sosial ada adalah sebagai
berikut. Norma adalah sarana yang efisien untuk mencapai kesejahteraan sosial
(Arrow 1971; Akerlof 1976), mencegah kegagalan pasar (Jules Coleman 1989), atau
memotong biaya sosial (Thibaut & Kelley 1959; Homans 1961); norma adalah
keseimbangan Nash dari permainan koordinasi atau keseimbangan kooperatif dari
permainan tipe dilema tahanan (Lewis 1969; Ullmann-Margalit 1977), dan dengan
demikian mereka memecahkan masalah aksi kolektif.
Analisis Akerlof (1976) tentang norma-norma yang mengatur sistem pertanahan
adalah contoh yang baik dari prinsip bahwa "norma adalah sarana yang efisien untuk
mencapai kesejahteraan sosial". Karena pekerja jauh lebih miskin dan kurang likuid
daripada tuan tanah, akan lebih alami bagi pemilik daripada penyewa untuk
menanggung risiko gagal panen. Ini akan menjadi kasus jika pemilik menyimpan
semua hasil panen, dan membayar upah kepada pekerja (yaitu, kasus "sistem upah").
Karena upah tidak akan secara langsung bergantung pada upaya pekerja, sistem ini
tidak memberikan insentif kepada pekerja untuk upaya apa pun di luar minimum yang
diperlukan. Dalam sharecropping, sebaliknya, pekerja dibayar baik untuk usaha dan
waktu yang ia lakukan: pengaturan yang lebih efisien karena meningkatkan produksi.
Pandangan Thibaut dan Kelley (1959) tentang norma sebagai pengganti pengaruh
informal memiliki rasa fungsionalis yang serupa. Sebagai contoh, mereka menganggap
pertempuran berulang dari permainan seks. Dalam permainan ini, beberapa tawar-
menawar diperlukan bagi masing-masing pihak untuk mendapatkan, setidaknya
sesekali, hasil yang disukai. Para pihak dapat terlibat dalam urutan ancaman dan janji
yang mahal, tetapi tampaknya lebih baik untuk menyetujui terlebih dahulu tentang
aturan perilaku, seperti bergantian antara hasil yang disukai masing-masing. Aturan
153
muncul karena mengurangi biaya yang terlibat dalam pengaruh pribadi tatap muka.
Demikian juga, Ullman-Margalit (1977) menggunakan teori permainan untuk
menunjukkan bahwa norma-norma memecahkan masalah tindakan kolektif, seperti
situasi tipe dilema tahanan; dengan kata-katanya sendiri, "... norma yang memecahkan
masalah yang melekat dalam situasi jenis ini dihasilkan olehnya" (1977: 22). Dalam
masalah tindakan kolektif, pilihan rasional yang berpusat pada diri sendiri
menghasilkan hasil yang tidak efisien Pareto. Pareto-efisiensi dipulihkan melalui
norma-norma yang didukung oleh sanksi. James Coleman (1990), juga, percaya bahwa
norma-norma muncul dalam situasi di mana ada eksternalitas, yaitu, dalam semua
kasus di mana suatu kegiatan menghasilkan efek negatif (positif) pada pihak lain, tanpa
ini tercermin dalam kompensasi langsung; dengan demikian produsen eksternalitas
tidak membayar biaya untuk (tidak menuai manfaat dari) efek yang tidak diinginkan
dari aktivitas mereka. Sebuah norma memecahkan masalah dengan mengatur aktivitas
yang menghasilkan eksternalitas, memperkenalkan sistem sanksi (hadiah).
Juga Brennan, Eriksson, Goodin, dan Southwood (2013) berpendapat bahwa
norma memiliki fungsi. Norma berfungsi untuk meminta pertanggungjawaban kita
satu sama lain atas kepatuhan terhadap prinsip-prinsip yang mereka cakup. Ini
mungkin atau mungkin tidak menciptakan koordinasi yang efektif atas prinsip yang
diberikan, tetapi mereka menempatkan kita pada posisi di mana kita dapat memuji dan
menyalahkan orang atas perilaku dan sikap mereka. Fungsi akuntabilitas ini, menurut
mereka, dapat membantu menciptakan peran lain untuk norma, yaitu mengilhami
praktik dengan makna sosial. Makna sosial ini muncul dari harapan bahwa kita dapat
menempatkan satu sama lain untuk kepatuhan, dan fakta bahwa perilaku tersebut dapat
mewakili nilai-nilai bersama, dan bahkan rasa identitas bersama. Peran fungsional
norma ini memisahkannya dari praktik sosial yang telanjang atau bahkan serangkaian
keinginan umum, karena perilaku non-normatif tersebut tidak membawa serta
akuntabilitas sosial yang melekat dalam norma. Ciri khas dari akun Brennan et al.
tentang norma adalah sentralitas akuntabilitas: fitur inilah yang membedakan norma
dari praktik sosial lainnya.
Semua hal di atas adalah contoh penjelasan fungsionalis tentang norma. Akun
fungsionalis kadang-kadang dikritik karena menawarkan pembenaran post hoc untuk
keberadaan norma (yaitu, kehadiran norma saja tidak membenarkan menyimpulkan
bahwa norma itu ada untuk mencapai beberapa fungsi sosial). Memang, pandangan
fungsionalis murni mungkin tidak menjelaskan fakta bahwa banyak norma sosial
154
berbahaya atau tidak efisien (misalnya, norma diskriminatif terhadap perempuan dan
minoritas), atau begitu kaku untuk mencegah penyesuaian yang diperlukan untuk
mengakomodasi kasus-kasus baru. Di sana, orang akan mengharapkan tekanan sosial
yang meningkat untuk meninggalkan norma-norma seperti itu.
Menurut beberapa penulis, kita dapat menjelaskan munculnya norma tanpa
mengacu pada fungsi yang akhirnya mereka lakukan. Karena norma-norma yang
paling menarik untuk dipelajari adalah norma-norma yang muncul secara alami dari
interaksi individu (Schelling 1978), tugas teoretis yang penting adalah menganalisis
kondisi di mana norma-norma tersebut muncul. Karena norma sering memberikan
solusi untuk masalah menjaga tatanan sosial—dan tatanan sosial membutuhkan kerja
sama—banyak penelitian tentang kemunculan dan dinamika norma berfokus pada
kerja sama. Norma kejujuran, kesetiaan, timbal balik, dan menepati janji memang
penting untuk kelancaran fungsi kelompok sosial. Satu hipotesis adalah bahwa norma-
norma kooperatif semacam itu muncul dalam kelompok-kelompok yang erat di mana
orang-orang memiliki interaksi yang berkelanjutan satu sama lain (Hardin 1982).
Teori permainan evolusioner menyediakan kerangka kerja yang berguna untuk
menyelidiki hipotesis ini, karena permainan berulang berfungsi sebagai perkiraan
sederhana kehidupan dalam kelompok yang erat (Axelrod 1984, 1986; Skyrms 1996;
Gintis 2000). Dalam pertemuan berulang orang memiliki kesempatan untuk belajar
dari perilaku satu sama lain, dan untuk mengamankan pola timbal balik yang
meminimalkan kemungkinan kesalahan persepsi. Dalam hal ini, telah diperdebatkan
bahwa norma-norma koperasi yang cenderung berkembang dalam kelompok-
kelompok yang erat adalah yang sederhana (Alexander 2000, 2005, 2007); pada
kenyataannya, hukuman yang tertunda dan tidak proporsional, serta imbalan yang
terlambat, seringkali sulit dipahami dan karenanya tidak efektif. Meskipun norma
berasal dari kelompok kecil yang erat, mereka sering menyebar jauh melampaui batas-
batas sempit kelompok aslinya. Tantangan dengan demikian menjadi salah satu
menjelaskan dinamika perbanyakan norma dari kelompok kecil ke populasi besar.
Jika norma dapat berkembang dan menyebar, mereka juga bisa mati. Fenomena
yang kurang dipahami adalah perubahan pola perilaku yang tiba-tiba dan tidak terduga.
Misalnya, merokok di depan umum tanpa meminta izin menjadi tidak dapat diterima,
dan hanya beberapa tahun yang lalu tidak ada yang khawatir menggunakan bahasa
yang sarat gender. Orang akan mengharapkan norma-norma yang tidak efisien (seperti
norma-norma diskriminatif terhadap perempuan dan minoritas) menghilang lebih
155
cepat dan dengan frekuensi yang lebih besar daripada norma-norma yang lebih efisien.
Namun, Bicchieri (2016) menunjukkan bahwa inefisiensi bukanlah kondisi yang
cukup untuk kematian norma. Ini dapat dilihat dengan studi tentang kejahatan dan
korupsi: korupsi menghasilkan biaya sosial yang sangat besar, tetapi biaya seperti itu
— bahkan ketika mereka membawa masyarakat ke ambang kehancuran — tidak cukup
untuk menghasilkan perombakan sistem.
Pandangan norma yang berpengaruh menganggapnya sebagai kelompok harapan
yang terpenuhi sendiri (Schelling 1960), di mana beberapa harapan sering
menghasilkan perilaku yang memperkuatnya. Pandangan terkait menekankan
pentingnya preferensi bersyarat dalam mendukung norma-norma sosial (Sugden
2000). Secara khusus, menurut catatan Bicchieri (2006), preferensi untuk kesesuaian
dengan norma-norma sosial tergantung pada "harapan empiris" (yaitu, keyakinan
tingkat pertama bahwa perilaku tertentu akan diikuti) serta "harapan normatif" (yaitu,
keyakinan tingkat kedua bahwa perilaku tertentu harus diikuti). Dengan demikian,
kepatuhan norma dihasilkan dari kehadiran bersama preferensi bersyarat untuk
kesesuaian dan keyakinan bahwa orang lain akan menyesuaikan diri serta menyetujui
kesesuaian. Perhatikan bahwa mengkarakterisasi norma hanya sebagai kelompok
harapan mungkin menyesatkan; Demikian pula, norma juga tidak dapat diidentifikasi
dengan pola perilaku berulang. Jika kita mengadopsi akun perilaku murni tentang
norma-norma, tidak akan ada cara untuk membedakan aturan keadilan bersama dari,
katakanlah, kebiasaan pagi kolektif menyikat gigi. Bagaimanapun, praktik semacam
itu tidak bergantung pada apakah seseorang mengharapkan orang lain melakukan hal
yang sama; namun, seseorang bahkan tidak akan mencoba meminta gaji yang
sebanding dengan pendidikannya, jika seseorang mengharapkan kompensasi hanya
untuk mengikuti aturan senioritas. Bahkan, ada pola perilaku yang hanya dapat
dijelaskan oleh keberadaan norma, bahkan jika perilaku yang ditentukan oleh norma
yang bersangkutan saat ini tidak diamati. Sebagai contoh, dalam sebuah studi tentang
orang-orang Ik, Turnbull (1972) melaporkan bahwa pemburu-pengumpul yang
kelaparan berusaha keras untuk menghindari situasi di mana kepatuhan mereka
terhadap norma-norma timbal balik diharapkan. Dengan demikian mereka akan
berusaha keras untuk tidak berada dalam posisi pengambil hadiah, dan berburu
sendirian sehingga mereka tidak akan dipaksa untuk berbagi mangsa mereka dengan
orang lain. Sebagian besar perilaku Ik dapat dijelaskan sebagai cara untuk menghindari
norma timbal balik yang ada.
156
Ada banyak contoh perbedaan lain antara harapan dan perilaku. Sebagai contoh,
adalah luar biasa untuk mengamati seberapa sering orang mengharapkan orang lain
untuk bertindak egois, bahkan ketika mereka siap untuk bertindak secara altruistik
sendiri (Miller & Ratner 1996). Penelitian telah menunjukkan bahwa kesediaan orang
untuk memberikan darah tidak diubah oleh insentif moneter, tetapi biasanya orang-
orang yang bersedia menyumbangkan darah secara gratis mengharapkan orang lain
untuk menyumbangkan darah hanya dengan adanya imbalan uang.
Demikian pula, semua tuan tanah yang diwawancarai menjawab secara positif
pertanyaan tentang apakah mereka akan menyewakan apartemen kepada pasangan
yang belum menikah; namun, mereka memperkirakan bahwa hanya 50% dari tuan
tanah lain yang akan menerima pasangan yang belum menikah sebagai penyewa
(Dawes 1972). Kasus-kasus ketidaktahuan pluralistik semacam itu agak umum; apa
yang membingungkan adalah bahwa orang mungkin mengharapkan norma tertentu
untuk ditegakkan di hadapan bukti pribadi yang bertentangan (Bicchieri & Fukui
1999). Selain itu, ada bukti yang menunjukkan bahwa orang-orang yang mendonorkan
darah, melakukan perjalanan ke luar negeri, memberikan uang kepada pengemis atau
mengembalikan dompet yang hilang sering mencoba untuk meremehkan perilaku
altruistik mereka (dengan menyediakan motif egois yang tampaknya menyelaraskan
tindakan mereka dengan norma kepentingan pribadi; Wuthnow 1991).
Singkatnya, norma mengacu pada tindakan di mana orang memiliki kendali, dan
didukung oleh harapan bersama tentang apa yang harus atau tidak boleh dilakukan
dalam berbagai jenis situasi sosial. Namun, norma tidak dapat diidentifikasi hanya
dengan perilaku yang dapat diamati, juga tidak dapat hanya disamakan dengan
keyakinan normatif.
Berbagai tingkat korelasi antara keyakinan normatif dan tindakan merupakan
faktor penting yang dapat digunakan peneliti untuk membedakan di antara berbagai
jenis norma. Korelasi semacam itu juga merupakan elemen kunci untuk
dipertimbangkan ketika secara kritis menilai teori norma yang bersaing: kita mulai
dengan mensurvei teori aktor yang disosialisasikan, teori identitas sosial, dan beberapa
model kesesuaian pilihan rasional awal (biaya-manfaat).
2. Teori Awal: Sosialisasi
Dalam teori aktor yang disosialisasikan (Parsons 1951), tindakan individu
dimaksudkan sebagai pilihan di antara alternatif. Tindakan manusia dipahami dalam
kerangka utilitarian sebagai berorientasi instrumental dan memaksimalkan utilitas.
157
Meskipun pengaturan utilitarian tidak selalu menyiratkan pandangan tentang motif
manusia sebagai pada dasarnya egois, ini adalah interpretasi yang lebih disukai dari
utilitarianisme yang diadopsi oleh Talcott Parsons dan banyak sosiologi kontemporer.
Dalam konteks ini, menjadi penting untuk menjelaskan melalui mekanisme mana
tatanan dan stabilitas sosial dicapai dalam masyarakat yang seharusnya berada dalam
keadaan alam Hobbesian yang permanen. Singkatnya, ketertiban dan stabilitas pada
dasarnya adalah fenomena yang diturunkan secara sosial, yang disebabkan oleh sistem
nilai bersama — "semen" masyarakat.
Nilai-nilai umum suatu masyarakat diwujudkan dalam norma-norma yang, ketika
dipatuhi, menjamin berfungsinya dan reproduksi sistem sosial secara tertib. Dalam
kerangka Parsonian norma-norma bersifat eksogen: bagaimana sistem nilai umum
seperti itu dibuat dan bagaimana hal itu dapat berubah adalah masalah yang belum
dijelajahi. Pertanyaan yang paling penting adalah bagaimana norma-norma dapat
diikuti, dan apa yang mendorong egois rasional untuk mematuhinya. Jawaban yang
diberikan oleh teori aktor yang disosialisasikan adalah bahwa orang secara sukarela
mematuhi sistem nilai bersama, karena itu diintrojeksi untuk membentuk elemen
konstitutif dari kepribadian itu sendiri (Parsons 1951).
Dalam kata-kata Parsons sendiri, sebuah norma adalah deskripsi verbal tentang
tindakan konkret, ... , dianggap diinginkan, dikombinasikan dengan perintah untuk
membuat tindakan tertentu di masa depan sesuai dengan kursus ini. (1937: 75)
Norma memainkan peran penting dalam pilihan individu karena — dengan
membentuk kebutuhan dan preferensi individu — mereka berfungsi sebagai kriteria
untuk memilih di antara alternatif. Kriteria tersebut dibagi oleh komunitas tertentu dan
mewujudkan sistem nilai bersama. Orang mungkin memilih apa yang mereka sukai,
tetapi apa yang mereka sukai pada gilirannya sesuai dengan harapan sosial: norma
mempengaruhi perilaku karena, melalui proses sosialisasi yang dimulai pada masa
bayi, mereka menjadi bagian dari motif seseorang untuk bertindak. Kesesuaian dengan
norma-norma yang berdiri adalah disposisi yang stabil dan diperoleh yang independen
dari konsekuensi dari kesesuaian. Disposisi abadi seperti itu dibentuk oleh interaksi
jangka panjang dengan orang lain yang signifikan (misalnya, orang tua seseorang):
melalui sosialisasi berulang, individu datang untuk belajar dan menginternalisasi nilai-
nilai umum yang terkandung dalam norma-norma. Internalisasi dipahami sebagai
proses di mana orang mengembangkan kebutuhan psikologis atau motif untuk
menyesuaikan diri dengan seperangkat norma bersama.
158
Ketika norma diinternalisasi, perilaku taat norma akan dianggap baik atau pantas,
dan orang biasanya akan merasa bersalah atau malu pada prospek berperilaku dengan
cara yang menyimpang. Jika internalisasi berhasil, sanksi eksternal tidak akan
berperan dalam menimbulkan kesesuaian dan, karena individu termotivasi untuk
menyesuaikan diri, maka keyakinan dan tindakan normatif akan konsisten.
Meskipun analisis Parsons tentang sistem sosial dimulai dengan teori tindakan
individu, ia memandang aktor sosial berperilaku sesuai dengan peran yang
mendefinisikan identitas dan tindakan mereka (melalui sosialisasi dan internalisasi).
Tujuan dari tindakan individu adalah untuk memaksimalkan kepuasan. Potensi konflik
antara keinginan individu dan tujuan kolektif diselesaikan dengan mengkarakterisasi
sistem nilai bersama sebagai salah satu yang mendahului dan membatasi aktor sosial.
Harga dari solusi ini adalah hilangnya aktor individu sebagai unit dasar analisis.
Sejauh individu adalah pembawa peran, dalam teori Parsons itu adalah entitas sosial
yang bertindak: entitas yang benar-benar terlepas dari tindakan individu yang
menciptakannya. Pertimbangan ini membentuk dasar untuk sebagian besar kritik yang
diajukan terhadap teori aktor yang disosialisasikan (Salah 1961); Kritik semacam itu
biasanya agak abstrak karena dilemparkan dalam kerangka kontroversi
holisme/individualisme.
Di sisi lain, seseorang dapat dengan mudah memverifikasi apakah prediksi
empiris yang diambil dari teori aktor yang disosialisasikan didukung oleh bukti
eksperimental. Misalnya, prediksi berikut dapat diturunkan dari teori dan dengan
mudah diuji. (a) Norma akan berubah sangat lambat dan hanya melalui interaksi sosial
yang intensif. (b) Keyakinan normatif berkorelasi positif dengan tindakan; Setiap kali
keyakinan seperti itu berubah, perilaku akan mengikuti. (c) Jika suatu norma berhasil
diinternalisasi, harapan akan kesesuaian orang lain tidak akan berpengaruh pada
pilihan individu untuk menyesuaikan diri.
Beberapa pernyataan di atas tidak didukung oleh bukti empiris dari psikologi
sosial. Sebagai contoh, telah ditunjukkan bahwa mungkin tidak ada hubungan antara
keyakinan normatif (atau sikap) orang dan apa yang sebenarnya dilakukan orang.
Dalam hal ini, perlu dicatat bahwa psikolog eksperimental umumnya berfokus pada
"sikap", yaitu, "perasaan evaluatif pro atau kontra, menguntungkan atau tidak
menguntungkan, sehubungan dengan objek tertentu" (di mana objek mungkin
"representasi konkret dari hal-hal atau tindakan, atau konsep abstrak"; Insko &
Schopler 1967: 361–362).
159
Dengan demikian, konsep sikap cukup luas: itu termasuk keyakinan normatif,
serta pendapat dan preferensi pribadi. Konon, serangkaian eksperimen lapangan telah
memberikan bukti yang bertentangan dengan asumsi bahwa sikap dan perilaku terkait
erat. LaPiere (1934) terkenal melaporkan perbedaan tajam antara sikap anti-Cina yang
meluas di Amerika Serikat dan perilaku toleran yang dia saksikan. Studi lain telah
menunjukkan inkonsistensi antara keyakinan normatif yang dinyatakan individu dan
tindakannya (Wicker 1969): beberapa alasan dapat menjelaskan perbedaan tersebut.
Sebagai contoh, studi prasangka rasial menunjukkan bahwa keyakinan normatif lebih
cenderung menentukan perilaku dalam hubungan jangka panjang, dan paling tidak
mungkin untuk menentukan perilaku dalam situasi sementara yang khas dari studi
eksperimental (Harding et al. 1954 [1969]; Gaertner & Dovidio 1986). Warner dan
DeFleur (1969) melaporkan bahwa variabel utama yang mempengaruhi perilaku
diskriminatif adalah keyakinan seseorang tentang apa yang dikatakan masyarakat
(misalnya, kebanyakan orang lain) yang harus dilakukan, sebagai lawan dari apa yang
menurut pribadi harus dilakukan.
Secara singkat, literatur psikologi sosial memberikan bukti campuran untuk
mendukung klaim bahwa keyakinan dan sikap normatif individu mempengaruhi
tindakannya. Studi semacam itu, bagaimanapun, tidak dengan hati-hati membeda-
bedakan di antara berbagai jenis keyakinan normatif. Secara khusus, seseorang harus
membedakan antara "keyakinan normatif pribadi" (yaitu, keyakinan bahwa perilaku
tertentu harus diikuti) dan "harapan normatif" (yaitu, apa yang orang percaya orang
lain percaya harus dilakukan, yaitu, keyakinan tingkat kedua): kemudian menjadi jelas
bahwa seringkali hanya keyakinan tingkat kedua seperti itu yang mempengaruhi
perilaku.
Hal di atas merupakan kritik penting terhadap teori aktor yang disosialisasikan.
Menurut Parsons, begitu suatu norma diinternalisasi, anggota masyarakat termotivasi
untuk menyesuaikan diri dengan sistem sanksi internal; Oleh karena itu, seseorang
harus mengamati korelasi yang tinggi di antara semua urutan keyakinan dan perilaku
normatif. Namun, bukti eksperimental tidak mendukung pandangan seperti itu (lihat
juga: Fishbein 1967; Cialdini dkk. 1991). Indikasi lain bahwa teori aktor yang
disosialisasikan tidak memiliki generalitas adalah pengamatan bahwa norma dapat
berubah agak cepat, dan bahwa norma baru sering muncul dalam waktu singkat di
antara orang asing (Mackie 1996). Interaksi jangka panjang atau dekat tampaknya
tidak diperlukan bagi seseorang untuk memperoleh disposisi normatif tertentu, seperti
160
yang disaksikan oleh kemudahan relatif di mana individu mempelajari norma-norma
baru ketika mereka mengubah status atau kelompok (misalnya, dari lajang menjadi
menikah, dari mahasiswa ke fakultas, dll.). Selain itu, studi tentang kelompok sosial
dan politik yang muncul telah menunjukkan bahwa norma-norma baru dapat terbentuk
agak cepat, dan bahwa matinya pola perilaku lama seringkali tiba-tiba (Robinson 1932;
Klassen dkk. 1989; Prentice & Miller 1993; Matza 1964). Mengingat keterbatasan
yang disebutkan di atas, teori Parsons mungkin dapat diambil sebagai penjelasan
tentang konsepsi tertentu tentang norma-norma moral (dalam arti imperatif yang
terinternalisasi dan tanpa syarat), tetapi tidak dapat dilihat sebagai teori umum norma
sosial.
3. Teori Awal: Identitas Sosial
Telah diperdebatkan bahwa perilaku sering tertanam erat dalam jaringan
hubungan pribadi, dan bahwa teori norma tidak boleh meninggalkan konteks sosial
tertentu di luar pertimbangan (Granovetter 1985). Para kritikus teori aktor yang
disosialisasikan telah menyerukan konsepsi alternatif norma yang mungkin
menjelaskan hubungan yang seringkali lemah antara keyakinan dan perilaku
(Deutscher 1973). Pendekatan alternatif ini menjadikan hubungan sosial sangat
penting dalam menjelaskan tindakan sosial, dan menganggap identitas sosial sebagai
faktor pendorong utama. (Dukungan kuat untuk pandangan ini di kalangan antropolog
dapat ditemukan dalam karya Cancian 1975.)
Karena gagasan identitas sosial terkait erat dengan perilaku kelompok, penting
untuk mengklarifikasi hubungan antara konsep-konsep ini. Dengan "identitas sosial"
kita merujuk, dalam kata-kata Tajfel sendiri, untuk bagian dari konsep diri individu
yang berasal dari pengetahuannya tentang keanggotaannya dalam kelompok sosial
(atau kelompok) bersama dengan nilai dan signifikansi emosional yang melekat pada
keanggotaan itu. (Tajfel 1981: 255)
Perhatikan bahwa fitur penting dari identitas sosial adalah bahwa identifikasi
seseorang dengan kelompok dalam beberapa hal merupakan pilihan sadar: seseorang
mungkin secara tidak sengaja termasuk dalam kelompok, tetapi kita dapat secara
bermakna berbicara tentang identifikasi sosial hanya ketika menjadi anggota
kelompok menjadi (setidaknya sebagian) konstitutif dari siapa seseorang. Menurut
teori Tajfel, ketika kita mengkategorikan diri kita sebagai bagian dari kelompok
tertentu, persepsi dan definisi diri — serta motif kita — berubah. Artinya, kita mulai
memahami diri kita sendiri dan sesama anggota kelompok kita di sepanjang dimensi
161
impersonal, "khas" yang menjadi ciri kelompok tempat kita berada. Dimensi tersebut
mencakup peran khusus dan keyakinan (atau tindakan) yang menyertainya. Turner et
al.'s (1987) "teori kategorisasi diri" memberikan karakterisasi yang lebih spesifik dari
persepsi diri, atau definisi diri, sebagai sistem skemata diri kognitif yang menyaring
dan memproses informasi. Skemata semacam itu menghasilkan representasi situasi
sosial yang memandu pilihan tindakan yang tepat. Sistem ini setidaknya memiliki dua
komponen utama, yaitu identitas sosial dan pribadi. Identitas sosial mengacu pada
deskripsi diri yang terkait dengan keanggotaan kelompok. Identitas pribadi mengacu
pada deskripsi diri seperti karakter, kemampuan, dan selera individu. Meskipun
identitas pribadi dan sosial adalah tingkat definisi diri yang saling eksklusif, perbedaan
ini harus diambil sebagai perkiraan (karena ada banyak interkoneksi antara identitas
sosial dan pribadi). Namun, penting untuk menyadari bahwa kita sering melihat diri
kita terutama dalam hal keanggotaan kelompok kita yang relevan daripada sebagai
individu yang berbeda dan unik. Jadi—tergantung pada situasinya—identitas pribadi
atau kelompok akan menjadi menonjol (Brewer 1991).
Misalnya, ketika seseorang membuat perbandingan interpersonal antara dirinya
dan anggota kelompok lainnya, identitas pribadi akan menjadi menonjol; sebaliknya,
identitas kelompok akan menjadi menonjol dalam situasi di mana kelompok seseorang
dibandingkan dengan kelompok lain. Dalam suatu kelompok, semua faktor yang
menyebabkan anggota mengkategorikan diri mereka sebagai berbeda (atau diberkahi
dengan karakteristik dan sifat khusus) akan meningkatkan identitas pribadi. Jika suatu
kelompok harus menyelesaikan tugas bersama, tetapi setiap anggota harus diberi
penghargaan sesuai dengan kontribusinya, kemampuan pribadi disorot dan individu
akan menganggap diri mereka unik dan berbeda dari anggota kelompok lainnya.
Sebaliknya, jika semua anggota kelompok berbagi hadiah secara merata untuk tugas
yang dilakukan bersama, identifikasi kelompok akan ditingkatkan.
Ketika perbedaan antara diri sendiri dan sesama anggota kelompok ditekankan,
kita cenderung mengamati motif egois dan pilih kasih terhadap anggota kelompok
lainnya. Ketika identifikasi kelompok ditingkatkan, favoritisme dalam kelompok
terhadap anggota kelompok luar akan diaktifkan, serta perilaku yang bertentangan
dengan kepentingan pribadi.
Menurut Turner, identitas sosial pada dasarnya adalah mekanisme kognitif yang
fungsi adaptifnya adalah untuk memungkinkan "perilaku kelompok". Setiap kali
identifikasi sosial menjadi menonjol, mekanisme kognitif kategorisasi diaktifkan
162
sedemikian rupa untuk menghasilkan perubahan persepsi dan perilaku. Kategorisasi
semacam itu disebut stereotip, deskripsi prototipikal tentang apa anggota kategori
tertentu (atau diyakini). Ini adalah sekelompok karakteristik fisik, mental dan
psikologis yang dikaitkan dengan anggota "khas" dari kelompok tertentu. Stereotip,
seperti proses kategorisasi lainnya, mengaktifkan skrip atau skemata, dan apa yang
kita sebut perilaku grup tidak lain adalah perilaku skrip. Misalnya, kategori "siswa
Asia" dikaitkan dengan sekelompok perilaku, ciri-ciri kepribadian, dan nilai-nilai: kita
sering menganggap siswa Asia sebagai orang yang hormat, rajin, disiplin, dan terutama
baik dengan mata pelajaran teknis. Ketika memikirkan seorang siswa Asia semata-
mata dalam hal keanggotaan kelompok, kami menghubungkannya dengan
karakteristik stereotip yang terkait dengan kelompoknya, sehingga dia menjadi dapat
dipertukarkan dengan anggota kelompok lainnya. Ketika kita melihat orang dalam hal
stereotip, kita mendepersonalisasi mereka dan melihat mereka sebagai anggota "khas"
dari kelompok mereka. Proses yang sama sedang bekerja ketika kita menganggap diri
kita sebagai anggota kelompok: stereotip diri adalah pergeseran kognitif dari
"menganggap diri sendiri sebagai unik" menjadi "memahami diri sendiri dalam hal
atribut yang menjadi ciri kelompok". Pergeseran kognitif inilah yang memediasi
perilaku kelompok.
Perilaku kelompok (sebagai lawan dari perilaku individu) dicirikan oleh fitur-fitur
seperti kesamaan yang dirasakan antara anggota kelompok, kekompakan,
kecenderungan untuk bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama, sikap atau
keyakinan bersama, dan kesesuaian dengan norma-norma kelompok. Begitu seseorang
mengkategorikan diri sebagai anggota kelompok, dia akan menganggap dirinya
sebagai "depersonalisasi" dan mirip dengan anggota kelompok lain dalam dimensi
stereotip yang relevan. Sejauh anggota kelompok menganggap minat dan tujuan
mereka identik—karena minat dan tujuan tersebut adalah atribut stereotip kelompok—
stereotip diri akan mendorong anggota kelompok untuk merangkul minat dan tujuan
seperti miliknya. Dengan demikian diprediksi bahwa perilaku pro-sosial akan
ditingkatkan dengan keanggotaan kelompok, dan diencerkan ketika orang bertindak
dalam mode individualistik (Brewer 1979).
Kelompok-kelompok yang dengannya kita mengidentifikasi diri kita mungkin
sangat besar (seperti dalam kasus di mana seseorang mendefinisikan diri sebagai
Muslim atau Prancis), atau sekecil kelompok teman. Beberapa identitas kelompok
umum mungkin tidak melibatkan norma-norma tertentu, tetapi ada banyak kasus di
163
mana identifikasi kelompok dan norma-norma sosial terkait erat. Dalam hal ini
anggota kelompok percaya bahwa pola perilaku tertentu unik bagi mereka, dan
menggunakan norma khas mereka untuk mendefinisikan keanggotaan kelompok.
Banyak kelompok yang erat (seperti Amish atau Yahudi Hasidic) menegakkan norma-
norma pemisahan yang menyatakan pernikahan dengan orang luar, serta aturan
berpakaian khusus dan sejumlah norma preskriptif dan proskriptif lainnya. Di sana,
begitu seseorang menganggap dirinya sebagai anggota kelompok, dia akan mematuhi
prototipe kelompok dan berperilaku sesuai dengan itu. Hogg dan Turner (1987)
menyebut proses di mana individu datang untuk menyesuaikan diri dengan norma-
norma kelompok "pengaruh informasi referensi".
Norma khusus kelompok memiliki (antara lain) fungsi ganda untuk
meminimalkan perbedaan yang dirasakan di antara anggota kelompok dan
memaksimalkan perbedaan antara kelompok dan orang luar. Setelah terbentuk, norma-
norma tersebut menjadi representasi kognitif yang stabil dari perilaku yang sesuai
sebagai anggota kelompok. Identitas sosial dibangun di sekitar karakteristik kelompok
dan standar perilaku, dan karenanya setiap persepsi kurangnya kesesuaian dengan
norma-norma kelompok dipandang sebagai ancaman terhadap legitimasi kelompok.
Kategorisasi diri menekankan kesamaan antara perilaku seseorang dan yang
ditentukan oleh norma kelompok, sehingga menyebabkan kesesuaian serta disposisi
untuk mengendalikan dan menghukum pelanggar. Dalam kerangka identitas sosial,
norma-norma kelompok dipatuhi karena seseorang mengidentifikasi dengan
kelompok, dan kesesuaian dimediasi oleh kategorisasi diri sebagai anggota dalam
kelompok. Contoh historis yang menceritakan hubungan antara norma dan
keanggotaan kelompok adalah pembagian Inggris menjadi dua pihak Roundheads dan
Cavaliers. Charles Mackay melaporkan bahwa pada masa itu setiap spesies kejahatan
dan kedurhakaan dianggap oleh kaum Puritan untuk bersembunyi di rambut keriting
panjang para monarkis, sementara yang terakhir membayangkan bahwa lawan-lawan
mereka sama melaratnya dengan kecerdasan, kebijaksanaan, dan kebajikan, seperti
halnya rambut. Kunci seorang pria adalah simbol keyakinannya, baik dalam politik
maupun agama. Semakin berkelimpahan rambut, semakin sedikit imannya; dan
semakin botak kepalanya, semakin tulus kesalehannya. (Mackay 1841: 351)
Perlu dicatat bahwa dalam kerangka ini norma-norma sosial didefinisikan oleh
keyakinan kolektif — sebagai lawan dari pribadi — tentang perilaku yang sesuai
(Homans 1950, 1961). Sampai batas tertentu, karakterisasi norma sosial ini lebih dekat
164
dengan akun baru-baru ini daripada teori aktor yang disosialisasikan Parsons. Di sisi
lain, ciri khas dari kerangka identitas sosial adalah bahwa motivasi orang untuk
menyesuaikan diri berasal dari keinginan mereka untuk memvalidasi identitas mereka
sebagai anggota kelompok. Singkatnya, ada beberapa prediksi empiris yang dapat
diambil dari kerangka kerja semacam itu. Mengingat penekanan teori pada identitas
sebagai faktor pendorong, kesesuaian dengan norma tidak diasumsikan bergantung
pada internalisasi individu terhadap norma tersebut; Bahkan, perubahan status sosial
atau keanggotaan kelompok akan membawa perubahan norma yang relevan dengan
status/kelompok baru..
Dengan demikian norma baru dapat dengan cepat diadopsi tanpa banyak interaksi,
dan keyakinan tentang validasi identitas dapat berubah sangat cepat di bawah tekanan
keadaan eksternal. Dalam hal ini, bukan hanya kepatuhan norma, tetapi norma itu
sendiri berpotensi tidak stabil.
Literatur eksperimental tentang dilema sosial telah memanfaatkan "priming
identitas kelompok" sebagai mekanisme untuk mempromosikan perilaku kooperatif
(Dawes 1980; Pembuat Bir & Schneider 1990). Hipotesis tipikal adalah bahwa tahap
komunikasi pra-bermain, tatap muka dapat menginduksi identifikasi dengan
kelompok, dan dengan demikian mempromosikan perilaku kooperatif di antara
anggota kelompok. Akibatnya, tingkat kerja sama telah terbukti umumnya lebih tinggi
dalam eksperimen dilema sosial yang didahului oleh tahap komunikasi pra-permainan
(Dawes 1991). Namun, telah diperdebatkan bahwa komunikasi tatap muka sebenarnya
dapat membantu anggota kelompok mengumpulkan informasi yang relevan tentang
satu sama lain: oleh karena itu informasi tersebut dapat mendorong subjek untuk saling
mempercayai janji satu sama lain dan bertindak kooperatif, terlepas dari identifikasi
kelompok mana pun. Dalam hal ini, telah ditunjukkan bahwa komunikasi per se tidak
mendorong kerja sama, kecuali subjek diizinkan untuk berbicara tentang topik yang
relevan (Bicchieri & Lev-On 2007). Ini memberikan dukungan untuk pandangan
bahwa komunikasi tidak meningkatkan kohesi melainkan memfokuskan subjek pada
aturan perilaku yang relevan, yang tidak selalu bergantung pada identifikasi kelompok.
Hasil kerja sama dengan demikian dapat dijelaskan tanpa menggunakan konsep
identitas sosial. Penjelasan identitas sosial tampaknya lebih tepat dalam konteks
lingkungan yang relatif stabil, di mana individu memiliki waktu untuk melakukan
investasi emosional (atau setidaknya dapat mengharapkan interaksi berulang di masa
depan dalam kelompok yang sama). Dalam pengaturan laboratorium buatan, di mana
165
tidak ada harapan interaksi di masa depan, konsep identitas sosial tampaknya kurang
persuasif sebagai penjelasan tentang tingkat kerja sama yang diamati. Di sisi lain, kami
mencatat bahwa identitas sosial tampaknya memainkan peran dalam pengaturan
eksperimental di mana peserta dibagi menjadi kelompok-kelompok yang terpisah.
(Dalam hal ini, telah ditunjukkan bahwa peserta mengkategorikan situasi sebagai "kita
versus mereka", mengaktifkan loyalitas dan kepercayaan dalam kelompok, dan tingkat
ketidakpercayaan yang sama terhadap kelompok luar; Kramer & Pembuat Bir 1984;
Bornstein & Ben-Yossef 1994.)
Bahkan dengan lingkungan yang stabil dan interaksi yang berulang,
bagaimanapun, teori kepatuhan norma dalam hal identitas sosial tidak dapat
menghindari kesulitan membuat prediksi ketika seseorang secara bersamaan
berkomitmen pada identitas yang berbeda. Kita mungkin secara bersamaan menjadi
pekerja, orang tua, pasangan, teman, anggota klub, dan afiliasi partai, untuk
menyebutkan beberapa kemungkinan identitas yang kita rangkul. Untuk masing-
masing dari mereka ada aturan yang menentukan apa yang pantas, dapat diterima, atau
perilaku yang baik. Namun, dalam kerangka identitas sosial, tidak jelas apa yang
terjadi ketika seseorang berkomitmen pada identitas yang berbeda yang mungkin
melibatkan perilaku yang saling bertentangan.
Akhirnya, ada banyak bukti bahwa persepsi orang dapat berubah sangat cepat.
Karena dalam kerangka kerja ini norma didefinisikan sebagai persepsi bersama tentang
keyakinan kelompok, orang akan berharap bahwa — setiap kali semua anggota
kelompok kebetulan percaya bahwa orang lain telah mengubah keyakinan mereka
tentang aturan keanggotaan inti — norma-norma yang mendefinisikan keanggotaan
akan berubah. Studi tentang mode, mode, dan gelembung spekulatif dengan jelas
menunjukkan bahwa ada beberapa domain di mana perubahan ekspektasi kolektif yang
cepat (dan mungkin mengganggu) dapat terjadi; Namun, jauh lebih tidak jelas norma
seperti apa yang lebih mungkin mengalami perubahan cepat (pikirkan kode berpakaian
daripada kode kehormatan). Pandangan identitas sosial tidak menawarkan kerangka
teoritis untuk membedakan kasus-kasus ini: meskipun beberapa norma memang terkait
dengan keanggotaan kelompok, dan dengan demikian kepatuhan dapat dijelaskan
melalui mekanisme validasi identitas, tampaknya ada batasan untuk penjelasan
identitas sosial.
4. Teori Awal: Model Biaya-Manfaat
Model kesesuaian pilihan rasional awal menyatakan bahwa, karena norma-norma
166
ditegakkan oleh sanksi, kepatuhan hanyalah strategi memaksimalkan hasil
(Rommetveit 1955; Thibaut & Kelley 1959): ketika persetujuan dan ketidaksetujuan
orang lain bertindak sebagai sanksi eksternal, kami memiliki "model biaya-manfaat"
kepatuhan (Axelrod 1986; James Coleman 1990). Strategi kepatuhan aturan dipilih
secara rasional untuk menghindari sanksi negatif atau untuk menarik sanksi positif.
Kelas model pilihan rasional ini mendefinisikan norma secara perilaku,
menyamakannya dengan pola perilaku (sambil mengabaikan harapan atau nilai).
Pendekatan semacam itu sangat bergantung pada sanksi sebagai faktor pendorong.
Menurut Axelrod (1986), misalnya, jika kita mengamati individu untuk mengikuti pola
perilaku yang teratur dan dihukum jika mereka bertindak sebaliknya, maka kita
memiliki norma. Demikian pula, Coleman (1990) berpendapat bahwa suatu norma
bertepatan dengan serangkaian sanksi yang bertindak untuk mengarahkan perilaku
tertentu.
Namun, telah ditunjukkan bahwa tidak semua norma sosial melibatkan sanksi
(Diamond 1935; Hoebel 1954). Selain itu, pemberian sanksi umumnya bekerja dengan
baik dalam kelompok kecil dan dalam konteks interaksi berulang, di mana identitas
peserta diketahui dan pemantauan relatif mudah. Namun, bahkan dalam kasus seperti
itu mungkin ada yang disebut masalah barang publik orde dua. Artinya, menjatuhkan
sanksi negatif pada pelanggar adalah untuk kepentingan semua orang, tetapi individu
yang mengamati pelanggaran menghadapi dilema: dia harus memutuskan apakah akan
menghukum pelanggar atau tidak, di mana hukuman biasanya melibatkan biaya;
Selain itu, tidak ada jaminan bahwa individu lain juga akan menjatuhkan hukuman
kepada pelanggar ketika dihadapkan pada dilema yang sama. Jawaban untuk masalah
ini adalah dengan mengasumsikan bahwa ada "meta-norma" yang menyuruh orang
untuk menghukum pelanggar norma tingkat rendah (Axelrod 1986). Solusi ini,
bagaimanapun, hanya menggeser masalah satu tingkat ke atas: menegakkan meta-
norma itu sendiri membutuhkan keberadaan sistem sanksi tingkat yang lebih tinggi.
Masalah lain dengan sanksi adalah sebagai berikut: sanksi, agar efektif, harus
diakui seperti itu. Coleman dan Axelrod biasanya mengambil permainan dilema
tahanan yang berulang sebagai contoh kerja sanksi. Namun, dalam dilema tahanan
yang berulang, tindakan yang sama ("C" atau "D") harus berfungsi sebagai tindakan
sanksi dan tindakan target. Dengan hanya melihat perilaku, tidak jelas apakah tindakan
itu merupakan fungsi dari sanksi atau sanksi itu sendiri. Dengan demikian menjadi
sulit untuk menentukan keberadaan norma, atau untuk menilai pengaruhnya terhadap
167
pilihan yang berbeda dari strategi individu pemain.
Pertimbangan lebih lanjut melemahkan kredibilitas pandangan bahwa norma
ditegakkan hanya karena sanksi eksternal. Seringkali kita tetap menyesuaikan diri
dengan norma bahkan dalam situasi anonimitas penuh, di mana kemungkinan
ketahuan melanggar hampir nol. Dalam hal ini ketakutan akan sanksi tidak bisa
menjadi kekuatan yang memotivasi. Sebagai akibatnya, sering diperdebatkan bahwa
kasus-kasus kepatuhan "spontan" adalah hasil dari internalisasi (Scott 1971): orang-
orang yang telah mengembangkan sistem sanksi internal merasa bersalah dan malu
karena berperilaku dengan cara yang menyimpang. Namun, kita telah melihat bahwa
pandangan Parsonian tentang internalisasi dan sosialisasi tidak memadai, karena
mengarah pada prediksi tentang kepatuhan yang sering bertentangan dengan bukti
empiris.
Secara khusus, James Coleman (1990) telah berargumen mendukung
pengurangan internalisasi menjadi pilihan rasional, sejauh itu adalah kepentingan
suatu kelompok untuk mendapatkan kelompok lain untuk menginternalisasi norma-
norma tertentu. Dalam hal ini internalisasi masih akan menjadi hasil dari beberapa
bentuk sosialisasi. Teori ini menghadapi beberapa keberatan yang sama yang diajukan
terhadap teori Parsons: norma-norma yang diturunkan dari orang tua kepada anak-
anak, misalnya, harus sangat tahan terhadap perubahan; Oleh karena itu, seseorang
harus mengharapkan tingkat korelasi yang tinggi antara norma dan perilaku tersebut,
terutama dalam kasus-kasus di mana norma menentukan jenis tindakan tertentu.
Namun, studi tentang keyakinan normatif tentang kejujuran — yang biasanya
diperoleh seseorang selama masa kanak-kanak — menunjukkan bahwa keyakinan
seperti itu seringkali tidak terkait dengan perilaku (Freeman & Ataöv 1960).
Bicchieri (1990, 1997) telah menyajikan pandangan alternatif ketiga tentang
internalisasi. Pandangan internalisasi ini bersifat kognitif, dan didasarkan pada asumsi
bahwa norma-norma sosial berkembang dalam kelompok-kelompok kecil yang erat di
mana interaksi yang berkelanjutan adalah aturannya. Setelah seseorang belajar
berperilaku dengan cara yang konsisten dengan kepentingan kelompok, dia akan
cenderung bertahan dalam perilaku yang dipelajari kecuali menjadi jelas bahwa—rata-
rata—biaya untuk menegakkan norma secara signifikan lebih besar daripada
manfaatnya. Kelompok kecil biasanya dapat memantau perilaku anggota mereka dan
berhasil menggunakan pembalasan setiap kali berkendara bebas diamati. Dalam
kelompok-kelompok seperti itu seorang individu akan belajar, mungkin dengan biaya
168
pribadi, untuk bekerja sama; Dia kemudian akan menjunjung tinggi norma koperasi
sebagai "aturan default" dalam setiap pertemuan baru, kecuali jika menjadi jelas bahwa
biaya kesesuaian telah menjadi berlebihan. Gagasan bahwa norma mungkin "lamban"
sejalan dengan hasil terkenal dari psikologi kognitif yang menunjukkan bahwa, begitu
norma muncul dalam suatu kelompok, ia akan cenderung membimbing perilaku
anggotanya bahkan ketika mereka menghadapi situasi baru (atau terisolasi dari
kelompok asli; Sherif 1936).
Bukti empiris menunjukkan bahwa perilaku taat norma tidak, seperti model
pilihan rasional awal akan memilikinya, masalah perhitungan biaya / manfaat.
Menjunjung tinggi norma yang telah membuat seseorang bernasib cukup baik di masa
lalu adalah cara untuk menghemat upaya yang harus dilakukan seseorang untuk
menyusun strategi ketika menghadapi situasi baru. Pendekatan "rasionalitas terbatas"
semacam ini menjelaskan mengapa orang cenderung mematuhi norma-norma yang
terkadang merugikan mereka, seperti halnya dengan norma-norma kejujuran. Namun,
ini tidak berarti bahwa sanksi eksternal tidak pernah memainkan peran dalam
kepatuhan: misalnya, dalam pengembangan awal sanksi norma mungkin memang
memainkan peran penting. Namun, begitu norma ditetapkan, ada beberapa mekanisme
yang dapat menjelaskan kesesuaian.
Akhirnya, pandangan bahwa seseorang menyesuaikan diri hanya karena ancaman
sanksi negatif tidak membedakan perilaku yang taat norma dari obsesi atau kebiasaan
yang mengakar; pandangan itu juga tidak membedakan norma-norma sosial dari
imperatif hipotetis yang ditegakkan oleh sanksi (seperti aturan yang melarang
berjemur telanjang di pantai umum). Dalam kasus ini, penghindaran sanksi yang
terkait dengan pelanggaran merupakan alasan yang menentukan untuk menyesuaikan
diri, terlepas dari apa yang dilakukan orang lain. Faktanya, dalam perspektif pilihan
rasional tradisional, satu-satunya harapan yang penting adalah tentang sanksi yang
mengikuti kepatuhan atau ketidakpatuhan. Dalam kerangka kerja tersebut, keyakinan
tentang bagaimana orang lain akan bertindak — sebagai lawan dari apa yang mereka
harapkan kita lakukan — bukanlah variabel penjelasan yang relevan: namun, ini
mengarah pada prediksi tentang kepatuhan norma yang sering bertentangan dengan
bukti empiris.
5. Akun Game-Theoretic
Model kepatuhan pilihan rasional tradisional menggambarkan individu
menghadapi masalah keputusan secara terpisah: jika ada sanksi untuk ketidakpatuhan,
169
individu akan menghitung manfaat pelanggaran terhadap biaya kepatuhan norma, dan
akhirnya memilih untuk memaksimalkan utilitas yang diharapkannya. Individu,
bagaimanapun, jarang memilih secara terpisah: mereka tahu hasil dari pilihan mereka
akan tergantung pada tindakan dan keyakinan individu lain. Teori permainan
menyediakan kerangka kerja formal untuk memodelkan interaksi strategis.
Thomas Schelling (1960), David Lewis (1969), Edna Ullmann-Margalit (1977),
Robert Sugden (1986) dan, baru-baru ini, Peyton Young (1993), Cristina Bicchieri
(1993), dan Peter Vanderschraaf (1995) telah mengusulkan akun teoretis permainan
yang menurutnya norma secara luas didefinisikan sebagai keseimbangan interaksi
strategis. Secara khusus, keseimbangan Nash adalah kombinasi strategi (satu untuk
setiap individu), sehingga strategi setiap individu adalah jawaban terbaik untuk strategi
orang lain. Karena ini adalah keseimbangan, norma didukung oleh harapan yang
terpenuhi sendiri dalam arti bahwa keyakinan pemain konsisten, dan dengan demikian
tindakan yang mengikuti dari keyakinan pemain akan memvalidasi keyakinan tersebut.
Mengkarakterisasi norma sosial sebagai keseimbangan memiliki keuntungan
menekankan peran yang dimainkan harapan dalam menegakkan norma. Di sisi lain,
penafsiran norma sosial ini tidak prima facie menjelaskan mengapa orang lebih
memilih untuk menyesuaikan diri jika mereka mengharapkan orang lain untuk
menyesuaikan diri. Ambil contoh konvensi seperti meletakkan garpu di sebelah kiri
piring, mengadopsi kode berpakaian, atau menggunakan bahasa isyarat tertentu.
Dalam semua kasus ini, pilihan saya untuk mengikuti aturan tertentu tergantung pada
mengharapkan kebanyakan orang lain untuk mengikutinya. Setelah harapan saya
terpenuhi, saya punya banyak alasan untuk mengadopsi aturan yang dimaksud.
Bahkan, jika saya tidak menggunakan bahasa isyarat yang digunakan orang lain, saya
tidak akan bisa berkomunikasi. Adalah kepentingan langsung saya untuk mengikuti
konvensi, karena tujuan utama saya adalah untuk berkoordinasi dengan orang lain.
Dalam hal konvensi, ada kesinambungan antara kepentingan pribadi individu dan
kepentingan komunitas yang mendukung konvensi. Inilah alasan mengapa David
Lewis memodelkan konvensi sebagai keseimbangan permainan koordinasi. Permainan
semacam itu memiliki banyak keseimbangan, tetapi begitu salah satunya telah
ditetapkan, pemain akan memiliki setiap insentif untuk terus memainkannya (karena
penyimpangan apa pun akan mahal).
Alih-alih mengambil norma kerja sama. Dalam hal ini, harapan bahwa hampir
semua orang mematuhinya mungkin tidak cukup untuk mendorong kepatuhan. Jika
170
semua orang diharapkan untuk bekerja sama, seseorang mungkin tergoda, jika tidak
dipantau, untuk berperilaku sebaliknya. Intinya adalah bahwa menyesuaikan diri
dengan norma-norma sosial, sebagai lawan dari konvensi, hampir tidak pernah
menjadi kepentingan langsung individu. Seringkali ada diskontinuitas antara
kepentingan pribadi individu dan kepentingan komunitas yang mendukung norma
sosial.
Permainan khas di mana mengikuti norma akan memberikan solusi yang lebih
baik (daripada yang dicapai oleh agen yang berpusat pada diri sendiri) adalah
permainan motif campuran seperti dilema tahanan atau permainan kepercayaan.
Dalam permainan seperti itu, keseimbangan Nash yang unik mewakili hasil yang
kurang optimal. Perlu ditekankan bahwa—sedangkan konvensi adalah satu di antara
beberapa keseimbangan permainan koordinasi—norma sosial tidak akan pernah bisa
menjadi keseimbangan dari permainan motif campuran. Namun, Bicchieri (2006)
berpendapat bahwa ketika ada norma, ia mengubah permainan motif campuran asli
menjadi permainan koordinasi. Sebagai contoh, pertimbangkan permainan dilema
tahanan berikut (Gambar 1), di mana hasilnya adalah B=Terbaik, S=Kedua, T=Ketiga,
dan W=Terburuk. Jelas satu-satunya keseimbangan Nash adalah membelot (D), dalam
hal ini kedua pemain mendapatkan (T, T), hasil yang kurang optimal. Misalkan,
bagaimanapun, bahwa masyarakat telah mengembangkan norma kerja sama; yaitu,
setiap kali dilema sosial terjadi, umumnya dipahami bahwa para pihak harus
mengistimewakan sikap kooperatif. Namun, seharusnya tidak menyiratkan
"kehendak", oleh karena itu permainan baru yang dihasilkan oleh keberadaan norma
koperasi memiliki dua keseimbangan: baik kedua pemain membelot atau keduanya
bekerja sama.

171
Perhatikan bahwa, dalam permainan koordinasi baru (yang diciptakan oleh
keberadaan norma koperasi), imbalannya sangat berbeda dari dilema tahanan asli.
Dengan demikian ada dua keseimbangan: jika kedua pemain mengikuti norma
kooperatif mereka akan memainkan keseimbangan optimal dan mendapatkan (B, B),
sedangkan jika mereka berdua memilih untuk membelot mereka akan mendapatkan
hasil yang kurang optimal (S,S). Imbalan pemain dalam permainan koordinasi baru
berbeda dari hasil asli karena preferensi dan keyakinan mereka akan mencerminkan
keberadaan norma. Lebih khusus lagi, jika seorang pemain tahu bahwa norma
kooperatif ada dan memiliki jenis harapan yang tepat, maka ia akan memiliki
preferensi untuk menyesuaikan diri dengan norma dalam situasi di mana ia dapat
memilih untuk bekerja sama atau membelot. Dalam permainan baru yang dihasilkan
oleh keberadaan norma, memilih untuk membelot ketika orang lain bekerja sama
bukanlah pilihan yang baik lagi (T, W). Untuk memahami alasannya, mari kita lihat
lebih dekat dengan preferensi dan harapan yang mendasari pilihan bersyarat untuk
menyesuaikan diri dengan norma sosial.
Bicchieri (2006) mendefinisikan harapan yang mendasari kepatuhan norma,
sebagai berikut: (a) Harapan empiris: individu percaya bahwa subset yang cukup besar
dari kelompok / populasi yang relevan sesuai dengan norma dalam situasi tipe S dan
baik ; (b) Harapan normatif: individu percaya bahwa subset yang cukup besar dari
kelompok / populasi yang relevan mengharapkan mereka untuk menyesuaikan diri
dengan norma dalam situasi tipe S; atau (b′) Harapan normatif dengan sanksi: individu
percaya bahwa sebagian besar dari kelompok / populasi yang relevan mengharapkan
mereka untuk menyesuaikan diri dengan norma dalam situasi tipe S, lebih memilih
mereka untuk menyesuaikan diri dan dapat memberikan sanksi perilaku.
Perhatikan bahwa kepatuhan universal biasanya tidak diperlukan agar norma ada.
Namun, seberapa banyak penyimpangan yang dapat ditoleransi secara sosial akan
tergantung pada norma yang dimaksud. Norma kelompok dan norma sosial yang
mengakar dengan baik biasanya akan diikuti oleh hampir semua anggota kelompok
atau populasi, sedangkan penyimpangan yang lebih besar biasanya diterima ketika
norma baru atau mereka tidak dianggap penting secara sosial. Selain itu, karena
biasanya tidak jelas berapa banyak orang yang mengikuti norma, individu yang
berbeda mungkin memiliki keyakinan yang berbeda tentang ukuran kelompok
pengikut, dan mungkin juga memiliki ambang batas yang berbeda untuk apa arti
"cukup besar". Yang penting untuk kesesuaian adalah bahwa seseorang percaya bahwa
172
ambang batasnya telah tercapai atau dilampaui. Untuk penilaian kritis terhadap definisi
preferensi yang didorong oleh norma di atas, lihat Hausman (2008).
Brennan et al. (2013) juga berpendapat bahwa norma dari semua jenis berbagi
dalam struktur esensial. Norma adalah kelompok sikap normatif dalam suatu
kelompok, dikombinasikan dengan pengetahuan bahwa kelompok sikap seperti itu
ada. Pada akun mereka, "Prinsip normatif P adalah norma dalam kelompok G jika dan
hanya jika: Sebagian besar anggota G memiliki sikap normatif yang sesuai dengan P;
dan Proporsi yang signifikan dari anggota G tahu bahwa sebagian besar anggota G
memiliki sikap yang sesuai dengan P" (Brennan et al. 2013: 29)
Pada akun ini, "sikap normatif yang sesuai dengan P" dipahami sebagai penilaian,
keadaan emosional, harapan, atau keyakinan normatif pribadi pertama lainnya yang
mendukung prinsip P (misalnya, Alice berpikir kebanyakan orang harus P akan
dihitung sebagai sikap normatif). Kondisi (i) dimaksudkan untuk mencerminkan
komitmen, sikap, atau keyakinan normatif pribadi pertama yang tulus. Kondisi (ii)
dimaksudkan untuk menangkap kasus-kasus di mana individu tahu bahwa sebagian
besar kelompok mereka juga berbagi dalam sikap tersebut. Menempatkan kondisi (i)
dan (ii) bersama-sama menawarkan gambaran yang menurut penulis memungkinkan
pekerjaan penjelasan dilakukan pada konsep normatif tingkat sosial sambil tetap
didasarkan pada sikap tingkat individu.
Pertimbangkan lagi permainan koordinasi baru Gambar 1: agar pemain mematuhi
norma, dan dengan demikian memilih C, itu harus menjadi kasus bahwa masing-
masing mengharapkan yang lain untuk mengikutinya. Dalam dilema tahanan asli,
keyakinan empiris tidak akan cukup untuk mendorong perilaku kooperatif. Namun,
ketika ada norma, pemain juga percaya bahwa orang lain percaya bahwa mereka harus
mematuhi norma tersebut, dan bahkan dapat menghukum mereka jika tidak. Kekuatan
gabungan dari harapan empiris dan normatif membuat kesesuaian norma menjadi
pilihan yang menarik, baik itu karena hukuman dapat mengikuti atau hanya karena
seseorang mengakui legitimasi harapan orang lain (Sugden 2000).
Penting untuk dipahami bahwa kesesuaian dengan norma sosial selalu tergantung
pada harapan tentang apa yang akan dilakukan orang lain yang relevan. Kami lebih
suka mematuhi norma karena kami memiliki harapan tertentu. Untuk memperjelas
poin ini, pikirkan pemain yang menghadapi dilema tahanan satu tembakan yang khas
dengan lawan yang tidak dikenal. Misalkan pemain tahu norma kerja sama ada dan
umumnya diikuti, tetapi dia tidak yakin apakah lawannya adalah pengikut norma.
173
Dalam hal ini pemain menghadapi situasi berikut (Gambar 2).

Dengan probabilitas p, lawan adalah tipe yang mengikuti norma, dan dengan
probabilitas 1−p dia tidak. Menurut Bicchieri, preferensi bersyarat menyiratkan bahwa
memiliki alasan untuk bersikap adil, membalas atau bekerja sama dalam situasi
tertentu tidak memerlukan memiliki motif atau disposisi umum untuk bersikap adil,
membalas atau bekerja sama seperti itu. Memiliki preferensi bersyarat berarti bahwa
seseorang dapat mengikuti norma di hadapan harapan yang relevan, tetapi
mengabaikannya tanpa kehadirannya. Apakah suatu norma diikuti pada waktu tertentu
tergantung pada proporsi pengikut yang sebenarnya, pada harapan pengikut bersyarat
tentang proporsi tersebut, dan pada kombinasi ambang batas individu.
Sebagai contoh, pertimbangkan komunitas yang mematuhi norma-norma
kejujuran yang ketat. Seseorang yang, saat memasuki komunitas, secara sistematis
melanggar norma-norma ini tentu akan disambut dengan permusuhan, jika tidak
sepenuhnya dikeluarkan dari kelompok. Tetapi misalkan sekelompok besar pencuri
masuk ke komunitas ini. Pada waktunya, orang akan berhenti mengharapkan kejujuran
di pihak orang lain, dan tidak akan menemukan alasan untuk jujur pada diri mereka
sendiri di dunia yang disusul oleh kejahatan. Dalam hal ini, mungkin norma kejujuran
tidak akan ada lagi, karena kekuatan norma terletak pada diikutinya oleh banyak
anggota kelompok yang relevan (yang pada gilirannya memperkuat harapan orang

174
akan kesesuaian).
Apa yang telah kita bahas adalah "rekonstruksi rasional" tentang apa itu norma
sosial. Rekonstruksi semacam itu dimaksudkan untuk menangkap beberapa fitur
penting dari perilaku yang didorong oleh norma; Juga, analisis ini membantu kita
membedakan norma sosial dari konstruksi lain seperti konvensi atau norma pribadi.
Batas dari akun ini, bagaimanapun, adalah bahwa itu tidak menunjukkan bagaimana
keseimbangan tersebut dicapai atau, dalam istilah lain, bagaimana harapan menjadi
memuaskan diri sendiri.
Sementara ekonomi neoklasik dan teori permainan secara tradisional dipahami
dari institusi sebagai kendala eksogen, penelitian dalam ekonomi politik telah
menghasilkan wawasan baru tentang studi institusi endogen. Secara khusus, norma
endogen telah terbukti membatasi set tindakan individu dan mendorong preferensi atas
profil tindakan (Bowles 1998; Ostrom 2000). Akibatnya, kerangka ekonomi "standar"
yang mengemukakan preferensi eksogen (dan khususnya egoisme) telah berada di
bawah pengawasan. Penyimpangan yang didokumentasikan secara luas dari prediksi
model dengan agen yang berpusat pada diri sendiri telah menginformasikan akun
alternatif pilihan individu (untuk salah satu model pertama "preferensi yang saling
bergantung", lihat Stigler & Becker 1977).
Beberapa catatan alternatif telah membantu mendamaikan wawasan tentang
perilaku yang didorong oleh norma dengan rasionalitas instrumental (Elster 1989b).
Selain itu, mereka telah berkontribusi untuk menginformasikan desain eksperimen
laboratorium pada preferensi non-standar (untuk survei eksperimen awal, lihat
Ledyard 1995; eksperimen yang lebih baru ditinjau oleh Fehr & Schmidt 2006 dan
Kagel & Roth 2016). Pada gilirannya, temuan eksperimental telah mengilhami
perumusan berbagai model yang bertujuan untuk merasionalisasi perilaku yang
diamati di laboratorium (Camerer 2003; Dhami 2016).
Telah diperdebatkan bahwa penegakan norma-norma sosial dapat dengan mudah
dimodelkan sebagai optimalisasi fungsi utilitas yang mencakup kesejahteraan orang
lain sebagai argumen. Misalnya, pertimbangkan beberapa teori "preferensi sosial"
awal, seperti model ketidaksetaraan Bolton dan Ockenfels (2000) atau Fehr dan
Schmidt (1999). Kerangka kerja ini dapat menjelaskan banyak bukti tentang preferensi
untuk distribusi pendapatan yang adil; namun mereka tidak dapat menjelaskan
preferensi bersyarat seperti yang mencerminkan prinsip-prinsip timbal balik
(misalnya, saya akan menjaga kebersihan kamar mandi umum, jika saya yakin teman
175
sekamar saya melakukan hal yang sama). Seperti disebutkan di atas, pendekatan
terhadap norma-norma sosial yang diambil oleh para sarjana yang cenderung filosofis
telah menekankan pentingnya preferensi bersyarat dalam mendukung norma-norma
sosial. Dalam hubungan ini, kami mencatat bahwa beberapa teori preferensi sosial
memang menjelaskan motivasi yang bergantung pada keyakinan empiris, di mana
seorang pemain menjunjung tinggi prinsip perilaku "adil" jika dia yakin rekan
pemainnya akan menegakkannya juga (Rabin 1993; Dufwenberg & Kirchsteiger 2004;
Falk & Fischbacher 2006; Charness & Rabin 2002). Teori-teori ini mengandaikan
bahwa pemain tertanam kuat dengan gagasan perilaku yang adil atau baik, seperti yang
didefinisikan secara eksogen oleh ahli teori. Karena mereka secara implisit berasumsi
bahwa semua pemain telah menginternalisasi sudut pandang normatif yang unik —
eksogen — (sebagaimana tercermin dalam beberapa gagasan tentang keadilan atau
kebaikan), teori-teori ini tidak secara eksplisit memodelkan harapan normatif. Oleh
karena itu, preferensi pemain diasumsikan hanya bergantung pada keyakinan empiris
mereka; yaitu, preferensi tergantung pada apakah orang lain akan berperilaku adil
(sesuai dengan prinsip eksogen) atau tidak.
Yang mengatakan, kami menekankan bahwa preferensi sosial tidak boleh dibatasi
dengan norma-norma sosial. Preferensi sosial menangkap disposisi yang stabil
terhadap prinsip perilaku yang didefinisikan secara eksogen (Binmore 2010).
Sebaliknya, norma sosial lebih baik dipelajari sebagai solusi khusus kelompok untuk
masalah strategis (Sugden 1986; Bicchieri 1993; Muda 1998b). Solusi semacam itu
dibawa oleh kelas preferensi tertentu ("preferensi yang didorong oleh norma"),
tergantung pada seperangkat keyakinan empiris dan harapan normatif yang relevan.
Bahkan, kami menekankan bahwa "apa yang merupakan perilaku yang adil atau tepat"
sering bervariasi dengan faktor budaya atau situasional (Henrich et al. 2001; Cappelen
dkk. 2007; Ellingsen dkk. 2012). Oleh karena itu, memperhitungkan harapan endogen
adalah kunci untuk pemahaman penuh tentang norma-norma sosial.
Terkait dengan itu, Guala (2016) menawarkan catatan teoretis permainan tentang
institusi, dengan alasan bahwa institusi adalah seperangkat aturan dalam
keseimbangan. Pandangan Guala menggabungkan wawasan dari dua catatan institusi
yang bersaing: institusi-sebagai-aturan (mungkin paling baik diberikan oleh North
1990), dan institusi-sebagai-keseimbangan. Dari akun pertama, ia menangkap gagasan
bahwa institusi menciptakan aturan yang membantu memandu perilaku kita dan
mengurangi ketidakpastian. Dengan aturan yang ada, kita kurang lebih tahu apa yang
176
harus dilakukan, bahkan dalam situasi baru. Dari yang kedua, ia menangkap gagasan
bahwa institusi adalah solusi untuk masalah koordinasi yang muncul dari interaksi
normal kita. Lembaga-lembaga memberi kita alasan untuk mengikuti mereka. Fungsi
aturan, kemudian, adalah untuk menunjuk pada tindakan yang mempromosikan
koordinasi dan kerja sama. Karena sifat keseimbangan aturan, setiap individu memiliki
insentif untuk memilih tindakan tersebut, asalkan orang lain juga melakukannya.
Guala mengandalkan konsep keseimbangan yang berkorelasi untuk menyatukan
aturan dan akun keseimbangan. Pada gambar ini, sebuah institusi hanyalah
keseimbangan yang berkorelasi dalam permainan, di mana keseimbangan berkorelasi
lainnya akan dimungkinkan.
6. Bukti Eksperimental
Berikut ini kami fokus pada eksperimen laboratorium yang mengidentifikasi
norma sosial dengan secara eksplisit mengukur harapan empiris dan normatif.
Xiao dan Bicchieri (2010) merancang eksperimen untuk menyelidiki dampak
pada permainan kepercayaan dari dua prinsip perilaku yang berpotensi berlaku—tetapi
bertentangan—yaitu, kesetaraan dan timbal balik. Perhatikan bahwa yang pertama
dapat didefinisikan secara luas sebagai aturan yang merekomendasikan meminimalkan
perbedaan hasil, sedangkan yang terakhir merekomendasikan untuk mengambil
tindakan yang sama seperti yang lain (terlepas dari pertimbangan pembayaran). Desain
eksperimental melibatkan dua varian permainan kepercayaan: yang pertama, pemain
mulai dengan dana abadi yang sama; yang kedua, investor diberkahi dengan dua kali
lipat uang yang diberikan wali amanat. Dalam kedua kasus, investor dapat memilih
untuk mentransfer sejumlah uang yang telah ditetapkan kepada wali amanat atau
menyimpan semuanya. Setelah menerima uang, wali amanat pada gilirannya dapat
menyimpannya atau mentransfer kembali sebagian darinya kepada investor: dalam
kondisi wakaf yang sama ("perlakuan dasar"), baik kesetaraan maupun timbal balik
menentukan bahwa wali amanat mentransfer sejumlah uang kembali kepada investor;
Sebaliknya, dalam kondisi wakaf yang tidak setara ("perlakuan asimetri"), kesetaraan
dan timbal balik menentukan tindakan yang berbeda karena wali amanat dapat
menjamin kesetaraan imbalan hanya dengan melakukan transfer balik nol. Xiao dan
Bicchieri memunculkan keyakinan empiris tingkat pertama dan kedua subjek
("menurut Anda berapa banyak peserta lain dalam peran Anda akan ditransfer ke rekan
mereka?"; "Menurut rekan Anda apa yang akan Anda lakukan?") dan harapan normatif
("menurut Anda seberapa besar rekan Anda percaya bahwa Anda harus mentransfer
177
kepadanya?"). Hasil eksperimen menunjukkan bahwa mayoritas wali mengembalikan
jumlah positif setiap kali timbal balik akan mengurangi ketidaksetaraan hasil (dalam
perlakuan dasar); Sebaliknya, mayoritas wali amanat tidak membalas transfer investor
ketika melakukannya akan meningkatkan ketidaksetaraan hasil (dalam perlakuan
asimetri). Selain itu, investor dengan benar percaya bahwa lebih sedikit uang yang
akan dikembalikan dalam perawatan asimetri daripada dalam perawatan dasar, dan
sebagian besar wali amanat memperkirakan keyakinan investor dengan benar pada
kedua perawatan tersebut. Namun, dalam pengobatan asimetri keyakinan empiris dan
harapan normatif bertentangan: ini menyoroti bahwa, ketika ada ambiguitas tentang
prinsip perilaku mana yang ada, setiap subjek akan mendukung aturan perilaku yang
paling menguntungkannya.
Ruben and Riedl (2013) meneliti penegakan norma kontribusi terhadap barang
publik pada kelompok homogen dan heterogen, seperti kelompok yang anggotanya
bervariasi dalam wakaf, kapasitas kontribusi, atau manfaat marjinal mereka. Secara
khusus, Ruben dan Riedl tertarik pada daya tarik normatif dari dua aturan yang
berpotensi berlaku: aturan efisiensi (meresepkan kontribusi maksimal oleh semua) dan
kelas aturan kontribusi relatif (meresepkan kontribusi yang "adil" relatif terhadap
kontribusi orang lain; misalnya, aturan kesetaraan dan kesetaraan). Hasil Ruben dan
Riedl menunjukkan bahwa, dengan tidak adanya hukuman, tidak ada norma kontribusi
positif yang muncul dan semua kelompok berkumpul menuju free-riding. Sebaliknya,
dengan hukuman, kontribusi konsisten dengan resep aturan efisiensi dalam subset
kelompok yang signifikan (terlepas dari jenis heterogenitas kelompok); di kelompok
lain, kontribusi konsisten dengan aturan kontribusi relatif. Hasil ini menunjukkan
bahwa bahkan dalam kelompok heterogen individu dapat berhasil menegakkan norma
kontribusi. Terutama, data survei yang melibatkan pihak ketiga mengkonfirmasi
pandangan normatif yang terdefinisi dengan baik namun bertentangan tentang aturan
kontribusi yang disebutkan di atas; Dengan kata lain, baik aturan efisiensi maupun
kontribusi relatif secara normatif menarik, dan memang merupakan kandidat potensial
untuk norma kontribusi yang muncul di kelompok yang berbeda.
Bicchieri dan Chavez (2010) merancang eksperimen untuk menyelidiki kepatuhan
norma dalam permainan ultimatum. Secara khusus, eksperimen mereka melibatkan
varian permainan ultimatum di mana pengusul dapat memilih salah satu dari tiga opsi
berikut: ($5, $5), ($8, $2), atau Coin (dalam hal ini salah satu dari dua alokasi lainnya
akan dipilih secara acak). Desain ini memungkinkan dua gagasan keadilan yang masuk
178
akal: sebagai hasil yang sama ($5, $5) atau sebagai prosedur yang adil (Koin). Para
peneliti memunculkan harapan normatif subjek tentang tindakan yang mereka pikir
akan dianggap adil oleh sebagian besar peserta: pengusul dan responden menunjukkan
tingkat kesepakatan yang luar biasa dalam gagasan mereka tentang keadilan, karena
sebagian besar subjek percaya bahwa mayoritas peserta menganggap keduanya ($5,
$5) dan Coin sesuai. Lebih lanjut, para peneliti meminta subjek memainkan tiga contoh
permainan ultimatum di atas dalam kondisi informasi yang berbeda. Dalam kondisi
"informasi lengkap", semua peserta tahu bahwa opsi Koin tersedia, dan bahwa
responden akan tahu jika pengusul masing-masing telah memilih Koin. Dalam kondisi
"informasi pribadi", responden tidak tahu bahwa Coin tersedia untuk pengusul, dan
pengusul menyadari ketidaktahuan responden. Dalam kondisi "informasi terbatas",
peserta tahu bahwa opsi Koin tersedia, tetapi responden tidak akan dapat membedakan
apakah pengusul masing-masing telah menerapkan salah satu dari dua alokasi secara
langsung atau telah memilih Koin sebagai gantinya. Hasil eksperimen menunjukkan
bahwa ketika harapan normatif yang mendukung opsi Koin tidak ada (dalam kondisi
pribadi) atau dapat ditentang tanpa konsekuensi (dalam kondisi terbatas), frekuensi
pilihan masing-masing ($5, $5) dan ($8, $2), jauh lebih tinggi daripada Koin. Selain
itu, frekuensi pilihan Koin tertinggi dalam kondisi informasi publik, di mana opsi
tersebut adalah pengetahuan umum dan hasilnya transparan: ini menunjukkan bahwa
ada pengusul yang mengikuti aturan perilaku yang paling menguntungkan mereka, dan
bahwa aturan semacam itu secara efektif merupakan norma sosial. Di sisi lain,
penghindaran norma substansial mencirikan perilaku pengusul dalam kondisi
informasi yang terbatas, di mana ($8, $2) adalah pilihan yang paling sering.
Dalam studi berikutnya, Chavez dan Bicchieri (2013) mengukur harapan empiris
dan normatif (serta perilaku) dari pihak ketiga yang diberi kesempatan untuk
menambah atau mengurangi dari hasil subjek yang telah berpartisipasi dalam
permainan ultimatum. Pihak ketiga cenderung memberi penghargaan kepada subjek
yang terlibat dalam alokasi yang sama dan untuk memberi kompensasi kepada korban
dari alokasi yang tidak adil (daripada menghukum perilaku tidak adil); Di sisi lain,
pihak ketiga bersedia menghukum ketika kompensasi bukanlah pilihan yang tersedia.
Hasil eksperimen lebih lanjut menunjukkan bahwa pihak ketiga berbagi gagasan
tentang keadilan (seperti yang ditunjukkan oleh harapan normatif mereka), dan bahwa
gagasan tersebut sensitif terhadap perbedaan kontekstual.

179
Krupka dan Weber (2013) memperkenalkan prosedur yang menarik untuk
mengidentifikasi norma-norma sosial melalui permainan koordinasi pra-permainan.
Singkatnya, dengan menggunakan varian alternatif (antar-subjek) dari permainan
diktator, Krupka dan Weber meminta peserta menilai sejauh mana tindakan yang
berbeda secara kolektif dianggap sesuai secara sosial: subjek yang memberikan
peringkat ini secara efektif menghadapi permainan koordinasi, karena mereka diberi
insentif untuk mencocokkan respons modal yang diberikan oleh orang lain dalam
situasi yang sama (permainan koordinasi pra-permainan seperti itu dimaksudkan untuk
memverifikasi keberadaan harapan normatif bersama). Krupka dan Weber kemudian
menggunakan penilaian yang diperoleh ini untuk memprediksi kepatuhan subjek lain
terhadap norma sosial yang relevan di setiap varian permainan diktator (untuk aplikasi
lain dari prosedur elicitation yang sama, lihat Gächter et al. 2013).
Demikian pula, Schram dan Charness' (2015) mengusulkan prosedur untuk
mendorong pemahaman bersama tentang aturan perilaku yang relevan, di
laboratorium. Singkatnya, Schram dan Charness meminta peserta dalam permainan
diktator menerima saran dari sekelompok pihak ketiga. Informasi yang diterima hanya
mengungkapkan apa yang menurut sekelompok subjek yang tidak terlibat harus
dilakukan oleh diktator: dengan demikian, informasi yang diterima menghasilkan
variasi eksogen dalam harapan normatif diktator. Hasil Schram dan Charness
menunjukkan bahwa pilihan memang dipengaruhi oleh informasi ini.
Bicchieri dan Xiao (2009) merancang eksperimen untuk menyelidiki apa yang
terjadi ketika ekspektasi empiris dan normatif bertentangan. Untuk itu, peserta dalam
permainan diktator dihadapkan pada berbagai informasi. Secara khusus, dua kelompok
diktator diberi beberapa "informasi deskriptif"; yaitu, mereka diberitahu apa yang telah
dilakukan mata pelajaran lain di sesi lain (yaitu, satu kelompok diberitahu bahwa
peserta sebelumnya sebagian besar telah membuat tawaran yang murah hati, sementara
kelompok lain diberitahu bahwa sebagian besar peserta telah membuat tawaran egois).
Selanjutnya, dua kelompok diktator lainnya diberi beberapa "informasi normatif";
yaitu, mereka diberitahu apa yang dikatakan subjek sebelumnya harus dilakukan
(yaitu, satu kelompok diberitahu bahwa sebagian besar peserta sebelumnya berpikir
bahwa seseorang harus membuat tawaran yang murah hati, sementara kelompok lain
diberitahu bahwa sebagian besar peserta berpikir bahwa seseorang harus membuat
tawaran egois). Kelompok lain diberi informasi deskriptif dan normatif. Hasil
eksperimen menunjukkan bahwa—setiap kali informasi tersebut tidak bertentangan—
180
baik pesan deskriptif maupun normatif memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
harapan diktator sendiri dan pilihan selanjutnya. Ketika pesan bertentangan dalam
yang satu menunjukkan kemurahan hati dan yang lainnya menunjukkan keegoisan,
hanya informasi deskriptif yang memengaruhi perilaku diktator. Ini menunjukkan
bahwa jika orang menyadari bahwa orang lain melanggar norma, maka mereka tidak
akan lagi merasa terdorong untuk mengikuti aturan perilaku yang relevan itu sendiri.
Sebagai kesimpulan, studi yang disurvei di sini memberikan bukti peran yang
dimainkan oleh harapan dalam mempengaruhi perilaku dalam berbagai dilema sosial.
Dalam hal ini, kami mencatat bahwa berbeda dengan literatur luas tentang keyakinan
empiris, jumlah studi laboratorium yang secara langsung mengukur harapan normatif
relatif terbatas: penelitian lebih lanjut jelas diperlukan untuk menyelidiki interaksi
informasi empiris dan normatif tentang aturan perilaku yang berlaku.

TUGAS TERSTRUKTUR
Mahasiswa membuat resume terkait materi yang telah disampaikan

TEST FORMATIF
1 Hubungan timbal balik antara satu individu dengan individu, individu dengan kelompok
atau kelompok dengan kelompok yang saling mempengaruhi disebut...
A. lembaga sosial
B. kontak sosial
C. mobilitas sosial
D. interaksi sosial
2 1 Kontak social; 2 Mobilitas social; 3 Komunikasi; 4 Dilakukan oleh satu orang; 5
Dilakukan lebih dari satu orang; 6 Hanya bisa dilakukan oleh orang dewasa. Berdasarkan
pernyataan di atas, syarat-syarat untuk dapat terjadinya interaksi sosial ditunjukkan oleh
nomor...
A. 1,2 dan 3
B. 2, 4 dan 6
C. 1, 3 dan 5
D. 2, 4 dan 6
3 Bentuk interaksi sosial disebut asosiatif apabila....
A. menimbulkan perpecahan
181
B. menuju pada perbedaan pandangan
C. mengarah kepada persatuan
D. tidak terjadi kesamaan
4 Ketika kamu sedang berjalan di pinggir jalan, kamu melihat seorang pengemis dan merasa
bahwa kamu seperti mampu memahami apa yang dirasakan dan dialami oleh pengemis
tersebut, situasi tersebut menunjukkan...
A. sugesti
B. simpati
C. empati
D. motivasi
5 pada saat ada tetangga kita yang tertimpa musibah, maka kita ikut merasakan kesedihannya
dan berusaha membantunya dengan memberikan bantuan moril maupun materil. Faktor
pendorong terjadinya interaksi sosial tersebut disebut...
A. imitasi
B. identifikasi
C. simpati
D. sugesti
6 Bandung - Aksi demonstrasi mahasiswa yang berlangsung di Gedung DPRD Jabar, Kota
Bandung, berakhir ricuh. Pantauan detikcom, Rabu (21/10/2020), sekitar pukul 16.45.
Demonstran dari Poros Revolusi Mahasiswa Bandung (PRMB) yang menolak Omnibus
Law Cipta Kerja ini berunjuk rasa saat hujan mengguyur deras.Sebagian mahasiswa sudah
balik kanan ke arah Jalan Trunojoyo. Namun masih ada sebagian mahasiswa yang
menggoyang-goyangkan pagar DPRD Jabar hingga terbuka.Polisi yang sebelumnya juga
bersiaga di dalam gedung DPRD langsung keluar dan demonstran berlari ke arah Jalan
Trunojoyo. Beberapa mahasiswa diamankan polisi. Polisi masih bersiaga di sekitar Gedung
DPRD Jabar. Dari artikel di atas menunjukkan adanya bentuk interaksi sosial disosiatif
yaitu...
A. persaingan
B. kontravensi
C. konflik
D. kompetisi
7 Guru BK mengundang orang tua dari Agil dan Badu yang terlibat perkelahian di sekolah
untuk mendamaikan dan membereskan permasalahan yang terjadi di antara keduanya,
bentuk interaksi sosial dari kasus tersebut yaitu...
182
A. akomodasi
B. kontravensi
C. kerjasama
D. asimilasi
8 Remaja yang meniru gaya berpakaian idolanya merupakan proses interaki sosial dalam
bentuk
A. imitasi
B. identifikasi
C. simpati
D. empati
9 Pasien yang akan berobat ke dokter, pasien akan cepat sembuh karena adanya sugesti
dokter tersebut. Faktor pendorong terjadinya interaksi social tersebut disebut...
A. imitasi
B. identifikasi
C. sugesti
D. simpati
10 pada saat ada tetangga kita yang tertimpa musibah, maka kita ikut merasakan kesedihannya
dan berusaha membantunya. Faktor pendorong terjadinya interaksi social tersebut
disebut...
A. imitasi
B. identifikasi
C. simpati
D. sugesti

183
KEGIATAN BELAJAR 12
STRUKTUR SOSIAL, KONFLIK SOSIAL DAN PERUBAHAN SOSIAL

ALOKASI WAKTU
100 Menit

CAPAIAN PEMBELAJARAN
Mahasiswa mampu memahami struktur sosial, konflik sosial dan perubahan sosial.

URAIAN MATERI
C. Struktur Sosial, Konflik Sosial dan Perubahan Sosial
Struktur sosial dipahami sebagai suatu bangunan sosial yang terdiri dari berbagai unsur
pembentuk masyarakat. Unsur-unsur tersebut saling berhubungan satu dengan yang lain
dan fungsional. Artinya kalau terjadi perubahan salah satu unsur, unsur yang lain akan
mengalami perubahan juga. Unsur pembentuk masyarakat dapat berupa manusia atau
individu yang ada sebagai anggota masyarakat, tempat tinggal atau suatu lingkungan
kawasan yang menjadi tempat dimana masyarakat itu berada dan juga kebudayaan serta
nilai dan norma yang mengatur kehidupan bersama tersebut.
Struktur sosial suatu masyarakat sesungguhnya merupakan proses sosial dan alamiah
yang berlangsung dalam waktu yang sangat panjang.jadi, struktur sosial dalam suatu
masyarakat sebenarnya akan memiliki beberapa fungsi. struktur sosial merupakan
instrumen masyarakat yang menyelenggarakan tata kehidupan secara menyeluruh dalam
segala aspek kehidupan. struktur sosial merupakan karakteristik yang khas dan dimiliki
suatu masyarakat sehingga dapat memberikan warna yang berbeda dari masyarakat lainnya
struktur sosial berfungsi sebagai rantai sistem dalam penyelenggaraan setiap aspek
kehidupan sehingga menjadi teratur dan harmonis.
Sistem sosial adalah suatu sistem yang terdiri atas elemen-elemen sosial. Elemen-
elemen sosial itu terdiri atas tindakan-tindakan sosial yang dilakukan individu-individu
yang berinteraksi satu dengan yang lainnya. Dalam sistem sosial terdapat individu-individu
yang berinteraksi dan bersosialisasi sehingga tercipta hubungan-hubungan sosial.
Keseluruhan hubungan sosial tersebut membentuk struktur sosial dalam kelompok maupun
masyarakat yang akhirnya akan menentukan corak masyarakat tersebut. Suatu sistem sosial
tidak hanya berupa kumpulan individu. Sistem sosial juga berupa hubungan-hubungan
sosial dan sosialisasi yang membentuk nilai-nilai dan adat-istiadat sehingga terjalin
184
kesatuan hidup bersama yang bersifat teratur dan berbentuk secara berkesinambungan.
Menurut Selo Soemardjan mengacu pendapat Loomis suatu sistem sosial harus terdiri
atas sembilan unsur sebagai berikut: (1). Kepercayaan dan Pengetahuan; Unsur
kepercayaan dan pengetahuan merupakan unsur yang paling penting dalam sistem sosial
karena perilaku anggota dalam masyarakat sangat dipengaruhi oleh apa yang mereka yakini
dan apa yang mereka ketahui tentang kebenaran, sistem religi, dan cara-cara penyembahan
kepada sang pencipta. (2). Perasaan; Perasaan adalah keadaan jiwa manusia yang
berkenaan dengan situasi alam sekitarnya termasuk di dalamnya sesama manusia.
Perbedaan latar belakang budaya suatu masyarakat akan membedakan keadaan kejiwaan
masyarakat yang membentuk suatu sistem sosial. Perasaan terbentuk melalui hubungan
yang menghasilkan situasi kejiwaan tertentu yang bila sampai pada tingkat tertentu harus
dikuasai agar tidak terjadi ketegangan jiwa yang berlebihan. (3). Tujuan Dalam setiap
tindakannya manusia mempunyai tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Tujuan tersebut,
yaitu suatu hasil akhir atas suatu tindakan dan perilaku seseorang yang harus dicapai
melalui perubahan maupun dengan cara mempertahankan suatu keadaan yang sudah bagus.
(4). Norma/Kaidah/Peraturan Sosial; Norma adalah pedoman-pedoman tentang perilaku
yang diharapkan atau pantas menurut kelompok atau masyarakat. Norma-norma sosial
merupakan patokan tingkah laku yang diwajibkan atau dibenarkan dalam situasi-situasi
tertentu dan merupakan unsur paling penting untuk meramalkan tindakan manusia dalam
sistem sosial. Norma-norma sosial dipelajari dan dikembangkan melalui sosialisasi
sehingga menjadi pranata- pranata sosial. (5). Kedudukan (Status) dan Peran (Role)
Kedudukan adalah posisi seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehubungan
dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulan, prestasi, hak-hak, serta kewajibannya.
Kedudukan menentukan apa yang harus seseorang perbuat bagi masyarakat.
Di dalam setiap sistem sosial dijumpai bermacam-macam kedudukan baik yang
diperoleh secara turun-temurun, dengan usaha sendiri maupun kedudukan yang diberikan
sebagai penghargaan dari lingkungan sendiri, sedangkan peran (role) adalah pelaksanaan
hak dan kewajiban seseorang sesuai dengan kedudukannya. (6). Tingkat/Pangkat: Pangkat
berkaitan dengan kedudukan dan peranan seseorang dalam masyarakat. Seseorang dengan
pangkat tertentu berarti mempunyai proporsi hak-hak dan kewajiban-kewajibannya.
Pangkat diperoleh setelah melalui penilaian terhadap perilaku seseorang yang menyangkut
pendidikan, pengalaman, keahliannya, pengabdiannya, kesungguhannya, dan ketulusan
perbuatan yang dilakukannya. (7) Kekuasaan: Kekuasaan adalah setiap kemampuan untuk
mempengaruhi pihak-pihak lain. Kalau seseorang diakui oleh masyarakat sekitarnya maka
185
itulah yang disebut wewenang. (8) Sanksi: Sanksi adalah suatu bentuk imbalan yang
diberikan terhadap seseorang atas perilakunya. Sanksi dapat berupa hadiah dan dapat pula
berupa hukuman. Sanksi diberikan oleh masyarakat untuk menjaga tingkah laku para
masyarakat supaya sesuai dengan aturan yang berlaku. Setiap masyarakat akan
menerapkan sanksi baik yang positif maupun sanksi yang negatif kepada anggotanya, tetapi
wujud dan tingkatan sanksi yang diberikan sangat tergantung pada peradaban masyarakat
tersebut. Dan (9) Fasilitas (Sarana): Fasilitas adalah semua bentuk cara, jalan, metode,
benda-benda yang digunakan manusia untuk menciptakan tujuan sistem sosial itu sendiri.
Fasilitas di sini sama dengan sumber daya material yang berupa gagasan atau ide.
MenurutSello Soemardjanmengacu pendapat Talcott Parson, unsur-unsur dalam suatu
sistem sosial itu paling sedikit terdiri atas empat subsistem, yaitu sebagai berikut. (a)
Subsistem Kebudayaan Subsistem ini menghasilkan kebudayaan kebendaan, sistem ilmu
pengetahuan, dan sistem nilai budaya atau adat istiadat. (b) Subsistem Sosial Subsistem
sosial ini menghasilkan nilai-nilai, norma-norma, dan kaidah-kaidah sosial yang melekat
dalam setiap perilaku manusia. (c) Subsistem Kepribadian Subsistem kepribadian
menghasilkan corak perilaku masyarakat sebagai akibat interaksi sosial dan sosialisasi
yang terus-menerus. (d) Subsistem Kelompok Biologis; Subsistem biologis ini berkenaan
dengan perlakuan manusia terhadap lingkungan hidup di sekitarnya. Struktur sosial
mencakup susunan status dan peran yang terdapat di dalam satuan sosial, ditambah nilai-
nilai dan norma-norma yang mengatur interaksi antarstatus dan peran sosial. Di dalam
struktur sosial terdapat unsur-unsur sosial seperti kaidah-kaidah sosial, lembaga-lembaga
sosial, kelompok- kelompok sosial, dan lapisan-lapisan sosial. Melalui proses sosial unsur-
unsur sosial itu terbentuk, berkembang, dan dipelajari oleh individu dalam masyarakat.
Proses sosial itu sendiri adalah hubungan timbal balik antara bidangbidang kehidupan
dalam masyarakat dan memahami norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Struktur selalu merujuk pada unsur-unsur yang bersifat kurang lebih tetap atau mantap.
Kalau kita umpamakan dengan sebuah bangunan rumah, maka dindingdinding rumah itu
merupakan strukturnya. Dalam pengertian ini, struktur sosial diartikan sebagai pola-pola
tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial. Istilah struktur juga dapat
diterapkan pada interaksi sosial. Jadi, struktur sosial dapat diartikan sebagai jalinan unsur-
unsur sosial yang pokok. Struktur sosial mencakup sifat-sifat hubungan antara individu
dalam kelompok dan hubungan antara individu dengan kelompoknya.
Struktur merujuk pada pola interaksi tertentu yang kurang lebih tetap dan mantap, yang
terdiri dari jaringan relasi-relasi sosial hierarkis dan pembagian kerja, serta dilandasi oleh
186
kaidahkaidah, peraturan-peraturan, dan nilai-nilai sosial budaya. Setiap manusia terkait
dengan struktur masyarakat di mana ia menjadi anggotanya. Artinya, setiap orang termasuk
ke dalam satu atau lebih kelompok, kebudayaan, lembaga sosial, pelapisan sosial,
kekuasaan, dan wewenang yang terdapat di dalam masyarakat.
Hal ini terjadi karena manusia mempunyai beragam kebutuhan yang terdiri dari
kebutuhan ekonomi, politik, hukum, sosial, dan lain-lain, serta pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan itu pun juga beragam. Untuk memenuhinya, manusia memerlukan interaksi
sosial dengan pihak lain atau lembaga yang menyediakannya. Interaksi sosial merupakan
salah satu wujud dari sifat manusia yang hidup bermasyarakat. Sebagai anggota
masyarakat, manusia tertata dalam struktur sosial atau jaringan unsur-unsur sosial yang ada
dalam masyarakat. Unsur-unsur itu mencakup kelompok sosial, kebudayaan, lembaga
sosial, pelapisan sosial, kekuasaan, dan wewenang. Kemudian, unsurunsur tadi
berhubungan dengan berbagai segi kehidupan, seperti ekonomi, politik, hukum, sosial dan
lain-lain, serta saling memengaruhi. Misalnya, segi ekonomi selalu berhubungan dengan
politik, segi politik selalu berhubungan dengan hukum, dan seterusnya. Untuk memahami
lebih jauh mengenai apa itu struktur sosial, mari kita pelajari bersama pengertian struktur
sosial menurut pendapat para ahli sosiologi berikut ini.
1) George C. Homan, Mengaitkan struktur sosial dengan perilaku elementer (mendasar)
dalam kehidupan sehari-hari.
2) Talcott Parsons, Berpendapat bahwa struktur sosial adalah keterkaitan antarmanusia.
3) Coleman, Melihat struktur sosial sebagai sebuah pola hubungan antarmanusia dan
antarkelompok manusia.
4) Kornblum, Menekankan konsep struktur sosial pada pola perilaku individu dan
kelompok, yaitu pola perilaku berulang-ulang yang menciptakan hubungan
antarindividu dan antarkelompok dalam masyarakat.
5) Soerdjono Soekanto, Melihat struktur sosial sebagai sebuah hubungan timbal balik
antara posisi-posisi sosial dan antara peranan-peranan.
6) Abdul Syani, Melihat struktur sosial sebagai sebuah tatanan sosial dalam kehidupan
masyarakat. Tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat merupakan jaringan dari
unsur-unsur sosial yang pokok, seperti kelompok sosial, kebudayaan, lembaga sosial,
stratifikasi sosial, kekuasaan, dan wewenang.
7) Gerhard Lenski, Mengatakan bahwa struktur sosial masyarakat diarahkan oleh
kecenderungan panjang yang menandai sejarah.

187
Unsur-Unsur Struktur Sosial
Manusia merupakan makhluk sosial yang hidup dalam suatu masyarakat yang tertata
dalam suatu struktur yang cenderung bersifat tetap. Tatanan sosial dalam kehidupan
masyarakat itu diharapkan dapat berfungsi dengan baik, sehingga akan tercipta suatu
keteraturan, ketertiban, dan kedamaian dalam hidup bermasyarakat. Untuk
mewujudkannya diperlukan adanya unsur-unsur tertentu. Apa saja unsur yang terdapat
dalam suatu struktur sosial dalam masyarakat? Menurut Charles P. Loomis, struktur sosial
tersusun atas sepuluh unsur penting berikut ini.
1) Adanya pengetahuan dan keyakinan yang dimiliki oleh para anggota masyarakat
yang berfungsi sebagai alat analisis dari anggota masyarakat.
2) Adanya perasaan solidaritas dari anggota-anggota masyarakat
3) Adanya tujuan dan cita-cita yang sama dari warga masyarakat.
4) Adanya nilai-nilai dan norma-norma sosial yang dijadikan sebagai patokan dan
5) pedoman bagi anggota masyarakat dalam bertingkah laku.
6) Adanya kedudukan dan peranan sosial yang mengarahkan pola-pola tindakan atau
perilaku warga masyarakat.
7) Adanya kekuasaan, berupa kemampuan memerintah dari anggota masyarakat yang
memegang kekuasaan, sehingga sistem sosial dapat berlanjut.
8) Adanya tingkatan dalam sistem sosial yang ditentukan oleh status dan peranan
anggota masyarakat.
9) Adanya sistem sanksi yang berisikan ganjaran dan hukuman dalam sistem sosial,
sehingga norma tetap terpelihara.
10) Adanya sarana atau alat-alat perlengkapan sistem sosial, seperti pranata sosial dan
lembaga.
11) Adanya sistem ketegangan, konflik, dan penyimpangan yang menyertai adanya
perbedaan kemampuan dan persepsi warga masyarakat.
Fungsi Struktur Sosial
Dalam sebuah struktur sosial, umumnya terdapat perilaku perilaku sosial yang
cenderung tetap dan teratur, sehingga dapat dilihat sebagai pembatas terhadap perilaku-
perilaku individu atau kelompok. Individu atau kelompok cenderung menyesuaikan
perilakunya dengan keteraturan kelompok atau masyarakatnya. Seperti dikatakan di atas,
bahwa struktur sosial merujuk pada suatu pola yang teratur dalam interaksi sosial, maka
fungsi pokok dari struktur sosial adalah menciptakan sebuah keteraturan sosial yang ingin
dicapai oleh suatu kelompok masyarakat.
188
Sementara itu, Mayor Polak menyatakan bahwa struktur sosial dapat berfungsi sebagai
berikut. (a). Pengawas sosial, yaitu sebagai penekan kemungkinan-kemungkinan
pelanggaran terhadap norma, nilai, dan peraturan kelompok atau masyarakat. Misalnya
pembentukan lembaga pengadilan, kepolisian, lembaga adat, lembaga pendidikan,
lembaga agama, dan lain-lain. (b) Dasar untuk menanamkan suatu disiplin sosial kelompok
atau masyarakat karena struktur sosial berasal dari kelompok atau masyarakat itu sendiri.
Dalam proses tersebut, individu atau kelompok akan mendapat pengetahuan dan kesadaran
tentang sikap, kebiasaan, dan kepercayaan kelompok ataumasyarakatnya. Individu
mengetahui dan memahami perbuatan apa yang dianjurkan oleh kelompoknya dan
perbuatan apa yang dilarang oleh kelompoknya.
Ciri-Ciri Struktur Sosial
Segala sesuatu pasti memiliki ciri-ciri tersendiri yang membedakan dengan sesuatu
yang lain. Misalnya masyarakat desa mempunyai ciri-ciri tersendiri, seperti bersifat gotong
royong, mengutamakan kebersamaan, tidak ada spesialisasi dalam pembagian kerja, dan
lain-lain yang membedakan dengan masyarakat perkotaan yang cenderung individualistis
dan adanya pembagian pekerjaan sesuai dengan keahlian. Begitupun juga dalam struktur
sosial. Abdul Syani menyebutkan bahwa ada beberapa cirri struktur sosial, di antaranya
adalah sebagai berikut:
1) Struktur sosial mengacu pada hubungan-hubungan social yang dapat memberikan
bentuk dasar pada masyarakat dan memberikan batas-batas pada aksi-aksi yang
kemungkinan besar dilakukan secara organisatoris.
2) Struktur sosial mencakup semua hubungan sosial di antara individu-individu pada saat
tertentu. Artinya segala Bentuk pola interaksi sosial dalam masyarakat telah tercakup
dalam suatu struktur sosial.
3) Struktur sosial merupakan seluruh kebudayaan masyarakat. Artinya semua karya,
cipta, dan rasa manusia sebagai anggota masyarakat merupakan aspek dari struktur
sosial. Misalnya komputer, alat-alat pertanian modern, mobil, pesawat, kesenian, ilmu
pengetahuan, dan lain-lain.
4) Struktur sosial merupakan realitas sosial yang bersifat statis, sehingga dapat dilihat
sebagai kerangka tatanan dari berbagai bagian tubuh yang membentuk struktur.
Misalnya dalam sebuah organisasi terdapat ketua, wakil ketua, sekretaris, bendahara,
dan seksi-seksi yang kesemuanya membentuk suatu struktur.
5) Struktur sosial merupakan tahapan perubahan dan perkembangan masyarakat yang
mengandung dua pengertian, yaitu sebagai berikut: Pertama, di dalam struktur sosial
189
terdapat peranan yang bersifat empiris dalam proses perubahan dan perkembangan.
Kedua, dalam setiap perubahan dan perkembangan tersebut terdapat tahap perhentian,
di mana terjadi stabilitas, keteraturan, dan integrasi sosial yang berkesinambungan
sebelum kemudian terancam oleh proses ketidakpuasan dalam tubuh masyarakat.
Elemen Dasar Struktur Sosial
Pada dasarnya, struktur sosial memiliki empat komponen atau elemen dasar, yaitu
status sosial, peranan, kelompok, dan institusi.

Bagan Elemen Dasar Struktur Sosial

Dalam proses interaksi sosial tersebut, muncul apa yang dinamakan sebuah
penghargaan terhadap sesuatu hal. Penghargaan yang lebih tinggi terhadap sesuatu hal
menyebabkan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi. Gejala tersebut menyebabkan
timbulnya lapisan sosial dalam masyarakat yang merupakan pembedaan posisi seseorang
atau suatu kelompok dalam kedudukan yang berbeda- beda secara vertikal. Hal ini pernah
disampaikan oleh Pitirim Sorokim yang menyebutkan bahwa sistem lapisan dalam
masyarakat merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup
teratur. Siapa yang memiliki sesuatu yang berharga dalam jumlah banyak dianggap oleh
masyarakat mempunyai kedudukan dalam lapisan atas. Selain pembedaan masyarakat
secara hierarkis kita juga mengenal pembedaan sosial yang sifatnya tidak hierarkis yaitu
pembedaan agama, ras, suku bangsa, dan jenis kelamin. Nah pembedaan-pembedaan dalam
masyarakat secara horisontal maupun vertikal merupakan bagian struktur sosial yang ada
dalam masyarakat.

190
Struktur sosial mempunyai beragam bentuk di dalam masyarakat. Bentuk-bentuk
struktur sosial tersebut adalah pelapisan sosial, stratifikasi sosial, dan diferensiasi sosial.
Yang membedakan ketiga bentuk tersebut merupakan status dan peran yang dimiliki setiap
individu di dalam masyarakat. Akan tetapi secara prinsipil bentuk- bentuk tersebut dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga macam kelas, yaitu kelas ekonomis, kelas politis, dan yang
didasarkan pada jabatan-jabatan tertentu dalam nasyarakat.
Perspektif Sosiologi Dalam Melihat Struktur Sosial Masyarakat Indonesia
Perspektif Fungsionalisme
Tokoh-tokoh perpektif ini yang dikenal luas antara lain: Talcott Parsons, Neil Smelser.
Ciri pokok perspektif ini adalah gagasan tentang kebutuhan masyarakat (societalneeds).
Masyarakat sangat serupa dengan organisme biologis, karena mempunyai kebutuhan-
kebutuhan dasar yang harus dipenuhi agar masyarakat dapat melangsungkan
keberadaannya atau setidaknya berfungsi dengan baik. Ciri dasar kehidupan sosial struktur
sosial muncul untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan merespon terhadap
permintaan masyarakat sebagai suatu sistem sosial. Asumsinya adalah ciri-ciri sosial yang
ada memberi kontribusi yang penting dalam mempertahankan hidup dan kesejahteraan
seluruh masyarakat atau subsistem utama dari masyarakat tersebut.
Pemahaman seperti ini dalam pandanganTalcott Parsons menghantarkan kita untuk
memahami masyarakat manusia dipelajari seperti mempelajari tubuh manusia. Struktur
tubuh manusia memiliki berbagai bagian yang saling berhubungan satu sama lain. Oleh
karena itu, masyarakat mempunyai kelembagaan yang saling terkait dan tergantung satu
sama lain. Oleh karena setiap bagian tubuh manusia memiliki fungsi yang jelas dan khas,
demikian pula setiap bentuk kelembagaan dalam masyarakat. Setiap lembaga dalam
masyarakat melaksanakan tugas tertentu untuk stabilitas dan pertumbuhan masyarakat
tersebut. Functional imperative menggambarkan empat tugas utama yang harus dilakukan
agar masyarakat tidak mati yaitu : Adaptation to the environment, Contoh lembaga
ekonomi ̈Goal attainment; Contoh pemerintah bertugas untuk mencapai tujuan umum ̈
Integration; Contoh: lembaga hukum, dan lembaga agama ̈ Latentcy; Contoh: keluarga dan
lembaga pendidikan bertugas untuk usaha pemiliharaan.
Analogi dengan tubuh manusia mengakibatkan Parsons merumuskan konsep
keseimbangan dinamis-stasioner, jika satu bagian tubuh manusia berubah maka bagian lain
akan mengikutinya. Demikian juga dengan masyarakat, masyarakat selalu mengalami
perubahan tetapi teratur. Perubahan sosial terjadi pada satu lembaga akan berakibat
perubahan di lembaga lain untuk mencapai keseimbangan baru.
191
Berikutnya Parsons merumuskan konsep faktor kebakuan dan pengukur (pattern
variables) untuk menjelaskan perbedaan masyarakat tradisional dengan masyarakat
modern. Faktor kebakuan dan pengukur ini menjadi alat utama untuk memahami hubungan
sosial yang berlangsung berulang dan terwujud dalam sistem kebudayaan. Faktor tersebut
adalah: (1) Affective vs Effective-Neutral; Masyarakat tradisional cenderung memiliki
hubungan yangpribadi dan emosional, se dangkan masyarakat modern memiliki hubungan
kenetralan yaitu hubungankerja yang tidak langsung dan menjaga jarak. (2) Particularistic
vs Universalistic; Masyarakat tradisional cenderung untuk berhubungan dengan anggota
masyarakat dari kelompok lain sehingga ada rasa untuk memikul tanggungjawab bersama.
Masyarakat modern berhubungan satu sama lain dengan batas norma-norma universal yang
pribadi, (3) Collective vs Self Orientation; Masyarakat tradisional biasanya memiliki
kewajiban-kewajiban kekeluargaan, komunitas dan kesukuan. Masyarakat modern lebih
bersifat individualistic, (4) Ascription vs Achievement; Masyarakat tradisional
memandang penting status bawaan dan warisan, masyarakat modern tumbuh dalam
persaingan yang ketat dan dinilai melalui prestasi (5) Functional Difused vs Functionally
Specific; Masyarakat tradisional belum merumuskan fungsi kelembagaan secara jelas.
Masyarakat modern sudah jelas merumuskan tugas kelembagaannya. Dari sejumlah asumsi
dasar tersebut maka secara esensial pendekatan ini mengkaji kehidupan sosial manusia
sebagai berikut:
1) Masyarakat merupakan sistem yaang kompleks yang terdiri dari bagian- bagian yang
saling berhubungan dan tergantung satu sama lain, serta setiap bagian tersebut
berpengaruh secara signifikan terhadap bagian-bagian lainnya.
2) Setiap bagian dari suatu masyarakat eksis karena bagian tersebut memiliki fungsi
dalam memelihara eksistensi dan stablitas masyarakat secara keseluruhan.
3) Semua masyarakat mempunyai mekanisme untuk mengintegrasikan dirinya yaitu
mekanisme yang dapat merekatkanya menjadi satu. Mekanisme ini adalah komitmen
para anggota masyarakat kepada serangkaian kepercayaann dan nilai yang sama.
4) Masyarakat cenderung mengarah pada suatu keseimbangan (equilibrium) dan
gangguan pada salah satu bagiannya cenderung menimbulkan penyesuaian pada
bagian lain agar tercipta harmoni atau stabilitas.
5) Perubahan sosial merupakan kejadian yang tidak biasa dalam masyarakat, tetapi bila
itu terjadi, maka perubahan itu pada umumnya akan membawa kepada konsekuensi-
konsekuensi yang menguntungkan masyarakat secara keseluruhan.

192
Perspektif Konflik
Manusia membuat sejarah; sejarah yang kita buat selalu terjadi dalam suasana interaksi
dengan orang lain. Manusia adalah mahluk sosial yang keberadaannya diciptakan dalam
acuan interaksi sosial. Karena itu beberapa pemikir melihat interaksi sosial sebagai
mekanisme yang mengerakan perubahan, terutama menggerakan konflik. Beberapa tokoh
seperti Ibnu Khaldun, Karl Marx, Vilfredo Pareto melihat jalannya sejarah didorong oleh
konflik antar manusia.
Perhatian manusia terhadap konflik telah tercermin dalam literatur kuno. Max Weber
menyatakan perang antar dewa di zaman kuno bukan hanya untuk melindungi kebenaran
nilai-nilai kehidupan sehari-hari, tetapi juga keharusan memerangi dewa- dewa lain,
sebagai komunitas mereka juga berperang dan dalam peperangan inipun mereka harus
membuktikan kemahakuasaan mereka. Sebagai contoh dalam mitologi Yunani
mengenalAresdewa perang yang dibenci oleh dewa-dewa lain karena sifatnnya yang
kejam, saudara perempuannya Eris adalah dewi percekcokan yang gemar bertengkar dan
berperang. Rekannya dari Romawi adalah Mars dan Discardia. Sejumlah pengamat politik
dan sosial lain menekankan pentingnya konflik dalam kehidupan manusia; antara
lainPolybius sejarawan Romawi, Khaldun, Machiavelli, Jean Bodin dan Thomas Hobbes.
Konflik antar kepentingan diri sendiri dan kepentingan sosial meliputi karya Adam
Smith, temuan Charles Darwin yang menyatakan bahwa “Yang kuatlah yang paling
beruntung dalam perjuangan mempertahankan hidup.”Ide Darwin diterapkan pada tatanan
sosial dalam ideologi sosial Darwinisme, yang mula- mula menerapkannya adalah Herbert
Spencer dan WG Summer. Mereka menyatakan apa yang kemudian diakui sebagai
landasan pembenaran ilmiah bagi taktik bisnis yang kejam dari kapten industri abad 19.
Para kapten industri adalah anggota masyarakat yang terkuat dan orang yang kurang
mampu yang tidak cakap harus menerima nasib mereka demi kesejahteraan masyarakat.
Jadi, evolusi sosial dibayangkan sejalan dengan evolusi biologis. Orang yang mampu
bertahan hidup terbukti adalah orang yang terkuat. Di Amerika abad 19, kapten industri
adalah mereka yanng terkuat, pemenang dari perjuangan keras untuk mempertahankan
hidup dalam dunia bisnis. Pandangan tersebut yang kemudian mendasari asumsi bahw
evolusi sosial dan kultural sepenuhnya adalah hasil dari konflik antar kelompok. Perang
antar kelompok dapat disamakan dengan perjuangan untuk mempertahankan hidup dan
yang terkuatlah yang menang dalam kehidupan sosial. Kebencian yang besar dan yang
melekat antar kelompok, antar ras dan antar orang yang berbeda menyebabkan konflik tak
terelakan. Penaklukan dan pemuasan kebutuhan melalui pemerasan tenaga kerja dan
193
ditaklukan merupakan tema besar sejarah manusia.
Vilfredo Pareto melukiskan sejarah sebagai perjuangan memperebutkan kekuasaan
yang tak berkesudahan, kelompok dominan berusaha memelihara dan mempertahankan
kedudukannya; kekuatan adalah faktor terpenting dalam mempertahankan stabilitas,
kekerasan mungkin diperlukan untuk memulihkan keseimbangan sosial jika keseimbangan
itu terganggu. Kekerasan tidak memerlukan pembenaran moral, karena kekerasan
mempunyai kualitas pembaharuan membebaskan manusia untuk mengikuti ketentuan tak
rasional dari sifat bawaannya sendiri.
Albion Small dan Lester Wardmenegaskan bahwa setiap jenis struktur apakah
inorganik, organik atau sosial diciptakan oleh interaksi kekuatan-kekuatan yang bersifat
antagonis. Interaksi demikian merupakan hukum universal dan hukum itu berarti bahwa
struktur terus menerus berubah, mulai dari tingkat primordial yang sangat sederhana hingga
ke tingkat kedua yang lebih rumpil. Berbeda dengan pandangan Pareto, Ward tidak
menghubungkan konflik antar kelompok dengan kebencian bawaan tetapi lebih disebabkan
pelanggaran tak terelakkan oleh satu kelompok atas hak dan wilayah kelompok lain. Dari
konflik antar kelompok ini munculah negara dan konflik antar negara memperbesar
efisiensi sosial dan meningkatkan peradaban.
Menurut Dahrendorf, konflik sosial mempunyai sumber struktural yakni hubungan
kekuasaan yang berlaku dalam struktur organisasi sosial, dengan kata lain konflik antar
kelompok dapat dilihat dari sudut konflik tentang keabsahan hubungan kekuasaan yang
ada. Dari uraian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa perspektif ini memiliki
proporsi sebagai berikut: Setiap masyarakat dalam segala hal tunduk pada proses
perubahan; perubahan sosial terjadi dimana saja. Setiap masyarakat dalam segala hal
memperlihatkan ketidaksesuaian dan konflik; konflik sosial terdapat dimana saja. Setiap
unsur dalam masyarakat memberikan kontribusi terhadap perpecahan dan perubahannya.
Setiap masyarakat berdasarkan atas penggunaan kekerasan oleh sebagian anggotanya
terhadap anggota yang lain.

194
TUGAS TERSTRUKTUR
Mahasiswa membuat resume terkait materi yang telah disampaikan

TEST FORMATIF
1 Perubahan sosial terjadi karena disebabkan oleh beberapa faktor. Yang bukan merupakan
penyebab terjadinya perubahan itu adalah…
A. Kontak dengan kebudayaan lain
B. Sistem pendidikan yang maju
C. Menghargai hasil karya orang lain
D. Kemampuan ekonomi masyarakat
2 Salah satu faktor pendorong perubahan masyarakat yang datang dari dalam masyarakat itu
sendiri adalah…..
A. Perubahan lingkungan alam
B. Pengaruh kebudayaan masyarakat lain
C. Adanya pertentangan dalam masyarakat
D. Adanya peperangan
3 Beberapa faktor perubahan sosial antara lain: Sistem terbuka lapisan masyarakat; Sistem
pendidikan yang maju; Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain; Orientasi ke masa
depan; Rasa takut akan kegoyahan pada integrasi social Akulturasi. Dari pernyataan diatas,
yang merupakan salah faktor pendorong perubahan sosial budaya adalah....
A. 1,4,5,6
B. 1,2,4,6
C. 1,2,5,6
D. 3,4,5,6
4 Adanya bencana alam dapat mendorong terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat
karena
A. Bencana alam terkadang memaksa seseorang untuk beradaptasi dengan tempat baru
B. Adanya bencana alam akan mengurangi jumlah penduduk
C. Bencana alam mendorong orang lain untuk bersimpati
D. Bencana alam berpotensi menimbulkan konflik dalam masyarakat
5 Perubahan mata pencaharian penduduk daerah pantai dari nelayan menjadi petani setelah
direlokasi sebagai akibat bencana tsunami merupakan perubahan sosial budaya yang
disebabkan ...
A. Perubahan lingkungan alam
B. Penemuan hal-hal baru
C. Perubahan kebudayaan masyarakat lain
D. Konflik atau pertentangan
6 Sekolah mempunyai peran besar dalam melancarkan proses modernisasi melalui Iptek.
Dampak positif modernisasi dalam bidang pendidikan adalah ….
A. Mengurangi pengangguran
B. Mempersiapkan tenaga terampil dan tenaga kerja terdidik
C. Meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat
D. Mempermudah arus informasi dan komunikasi
7 Faktor penyebab yang bersumber dalam mayarakat itu sendiri disebut faktor
A. Internal
B. Eksternal
C. Pendorong
D. Penghambat
8 Yang bukan merupakan faktor penghambat terjadinya perubahan sosial adalah …
A. Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain
B. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lamban
C. Sikap masyarakat yang masih sangat tradisional
D. keterbukaan sistem lapisan sosial
9 Proses bertemunya dua kebudayaan atau lebih yang saling bercampur menjadi satu disebut
A. asimilasi budaya
B. akulturasi budaya
C. difusi budaya
D. disintegrasi
10 Sikap kita terhadap datangnya kebudayaan asing adalah ...
A. Menolak semua unsur budaya Bara
B. Disesuaikan dgn kebutuhan bangsa
C. Menerima semua unsur pengaruh kebudayaan tersebut
D. Memilihnya sesuai dengan kebudayaan kita
DAFTAR PUSTAKA
1. Altan, M. Z. (2018). Intercultural sensitivity. Journal of Intercultural Communication,
46(1), 1-17.
2. Bicchieri, Cristina, Ryan Muldoon, and Alessandro Sontuoso, "Social Norms", The
Stanford Encyclopedia of Philosophy (Winter 2018 Edition), Edward N. Zalta (ed.), URL
= <https://plato.stanford.edu/archives/win2018/entries/social-norms/>.
3. Bynum W, Bynum H 2011 (eds.) Great Discoveries in Medicine.Thames & Hudson,
London.
4. Cheung, N.F., 2009. Chinese midwifery: the history and modernity. Midwifery 25(3):228-
241, www.elsevier.com/locate/midw
5. Davis-Floyd R 2004 (2nd ed.) Birth as an American Rite of Passage. University of
California Press, Berkeley, CA:
6. Donnison J 1988 Midwives and Medical Men: A History of the Struggle for the Control of
Childbirth. Historical Publications, London.
7. Gerungan, W. A. 2004. Psikologi Sosial. Bandung: PT Refika Aditama.
8. Groisman A. Saúde, religiăo e corpo - seçăo temática. Ilha Rev Antropol. 2005 janeiro-
dezembro; 7(1-2):111-62.
9. Helman D 2007 (5th ed.) Culture, Health and Illness. Oxford, Butterworth, Heineman.
10. International Confederation of Midwives (ICM) 2010 Essential Competencies for Basic
Midwifery Practice 2010. Available online:
www.internationalmidwives.org/.../ICM%20Essential%20Comp
11. Ilmu Sosial & Budaya Dasar. (2021). (n.p.): Bumi Aksara.
12. Joana Ansong, Emmanuel Asampong & Philip Baba Adongo | (2022) Socio- cultural
beliefs and practices during pregnancy, childbirth, and postnatal period: A qualitative study
in Southern Ghana, Cogent Public Health, 9:1, 2046908, DOI:
10.1080/27707571.2022.2046908
13. Jordan B 1993. Birth in Four Cultures. Waveland Press, Long Grove.
14. Kennedy I 1981 The Unmasking of Medicine- A Searching Look at Health Care Today.
Granada, London.
15. Kleinman A. Patients and healers in the context of culture. Berkeley (CA): University of
California Press; 1980.
16. Langdon, Esther Jean and Wiik, Flávio BrauneAnthropology, health and illness: an
introduction to the concept of culture applied to the health sciences. Revista Latino-
Americana de Enfermagem [online]. 2010, v. 18, n. 3 [Accessed 30 October 2022], pp.
459-466. Available from: <https://doi.org/10.1590/S0104-11692010000300023>. Epub 11
Aug 2010. ISSN 1518-8345. https://doi.org/10.1590/S0104-11692010000300023.
17. Latif AS. The Importance of Understanding Social and Cultural Norms in Delivering
Quality Health Care-A Personal Experience Commentary. Trop Med Infect Dis. 2020 Feb
5;5(1):22. doi: 10.3390/tropicalmed5010022. PMID: 32033381; PMCID: PMC7157616.
18. Leininger, MM 1988, ‘Leininger’s theory of nursing: cultural care diversity and
universality’, Nursing Science Quarterly, vol. 1, no. 2, pp. 152-159.
19. Leininger, M & McFarland, M 2006, Culture care diversity and universality: a worldwide
nursing theory, Jones and Bartlett Publishers, Boston.
20. Lindsay, P., & Peate, I. (Eds.). (2015). Introducing the Social Sciences for Midwifery
Practice: Birthing in a contemporary society (1st ed.). Routledge.
https://doi.org/10.4324/9781315794280
21. Loyola A. Médicos e Curandeiros. Săo Paulo (SP): DIFEL; 1984.
22. Lozoff B, Jordan B, Malone S 1988 Childbirth in Cross-cultural perspective. In: Palkovitz
R & Sussman M (eds) Marriage and Family Review 12:3/4 pp. 35-60. Available online:
www.lifescapes.org/.../Childbirth%20in%20Cross-Cultural%20Perspectiv...Accessed 09-
10-2013

Anda mungkin juga menyukai