Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PRAKTIKUM

FARMASI FISIKA II & STABILITAS OBAT


“SISTEM DISPERSI”

Disusun oleh :
SAIFATUL HUSNA RODIAH
01021244

YAYASAN PENDIDIKAN IMAM BONJOL


SEKOLAH TINGGI FARMASI YPIB CIREBON
TAHUN 2021
SISTEM DISPERSI
I. TUJUAN

- Mengetahui cara pembuatan sediaan suspensi

- Mengetahui waktu sedimentasi sediaan uji dalam interval waktu yang ditentukan

- Mengetahui waktu redispersibilitas.

II. DASAR TEORI.


Sistem dispersi adalah suatu system yang salah satu zatnya (fase terdispersi,
fase dalam) tersebar (terdispersi) dalam zat (fase) lainnya (medium dispersi, fase
kontinu, fase luar). Berdasarkan ukuran partikelnya, system dispersi dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
a) Dispersi molekuler (< 1,0 nm), contoh: larutan, elixir

b) Dispersi koloid (0,5 πm-1,0 nm), contoh: Aerosol

c) Dispersi kasar (> 0,5 πm), contoh: Suspensi, emulsi(Martin, 2008).

Faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas suspensi ialah (Taufik, 2013):

a. Ukuran partikel

Hubungan antara ukuran partikel berbanding terbalik dengan luas

penampangnya. Semakin besar ukuran partikel semakin kecil luas

penampangnya, sedangkan semakin besar luas penampang partikel daya tekan

ke atas cairan akan semakin memperlambat gerakan partikel untukmengendap,

sehingga untuk memperlambat gerakan tersebut dapat dilakukan dengan

memperkecil ukuran partikel,

b. Kekentalan (Viskositas)

Kekentalan suatu cairan mempengaruhi pula kecepatan aliran dari cairan

tersebut, makin kental suatu cairan kecepatan alirannya makin turun (kecil).

Tapi perlu diingat bahwa kekentalan suspensi tidak boleh terlalu tinggi agar

mudah dikocok dan dituang,

c. Jenis dan jumlah zat pensuspensi


d. Sifat/muatan partikel

Dalam sistem flokulasi, partikel obat terflokulasi merupakan agregat yang

bebas dalam ikatan lemah. Pada sistem ini peristiwa sedimentasi terjadi dengan

cepat dan partikel mengendap sebagai flok (kumpulan partikel). Sedimen tersebut

dalam keadaan bebas, tidak membentuk cake yang keras serta mudah terdispersi

kembali ke bentuk semula. Sistem ini kurang disukai karena sedimentasi terjadi

dengan cepat dan terbentuk lapisan yang jernih diatasnya (Chasanah, 2010).

Dalam sistem deflokulasi, partikel deflokulasi mengendap perlahan-

lahan dan akhirnya membentuk cake yang keras dan sukar terdispersi kembali.

Pada metode ini partikel suspensi dalam keadaan terpisah satu dengan yang

lain, dan masing-masing partikel mengendap secara terpisah. Metode ini lebih

banyak disukai karena tidak terjadi lapisan yang bening (berkabut) dan terbentuk

endapan secara perlahan (Chasanah, 2010).

Terdapat beberapa point yang dapat menjadi penilai kestabilan sediaan

suspensi, Yaitu:

1. Volume sedimentasi

Adalah Suatu rasio dari volume sedimentasi akhir (Vu) terhadap

volume mula-mula dari suspensi (Vo) sebelum mengendap (Hoirul, 2010).

𝑣𝑖
F = 𝑣𝑜

2. Derajat flokulasi

Adalah Suatu rasio volume sedimentasi akhir dari suspensi flokulasi

(Vu) terhadap volume sedimentasi akhir suspensi deflokulasi (Voc) (Hoirul,

2010).

𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑠𝑢𝑠𝑝𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑓𝑙𝑜𝑘𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖


β=
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑠𝑢𝑠𝑝𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑑𝑒𝑓𝑙𝑜𝑘𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖

3. Metode reologi
Berhubungan dengan faktor sedimentasi dan redispersibilitas,

membantu menemukan perilaku pengendapan, mengatur vehicle dan susunan

partikel untuktujuan perbandingan(Hoirul, 2010).

4. Perubahan ukuran partikel

Digunakan cara Freeze-thaw cycling yaitu temperatur diturunkan sampai

titikbeku, lalu dinaikkan sampai mencair kembali. Dengan cara ini dapat

dilihatpertumbuhan kristal, yang pokok menjaga tidak terjadi perubahan

ukuran partikeldan sifat kristal (Hoirul, 2010).

Emulsi adalah suatu sediaan yang mengandung dua zat cair yang tidak

tercampur, biasanya air dan minyak cairan yang satu terdispersi menjadi butir-

butir kecil dalam cairan yang lain. Dispersi ini tidak stabil, butir-butir ini

akan bergabung dan membentuk dua lapisan air dan minyak yang terpisah. Dalam

fase air dapat mengandung zat-zat terlarut seperti pengawet, zat pewarna, dan

perasa. Zat perasa dan pengawet yang berada dalam fase air yang mungkin larut

dalam minyak harus dalam konsentrasi cukup untuk memenuhi yang diinginkan

(Anief,1999).

Berdasarkan macam zat cair yang berfungsi sebagai fase internal atau

pun eksternal, maka emulsi digolongkan menjadi dua macam yaitu :

1. Emulsi tipe O/W (oil in water) atauM/A (minyak dalam air).

Adalah emulsi yang terdiri dari butiran minyak yang tersebar kedalam air.

Minyak sebagai fase internal dan air fase eksternal.

2. Emulsi tipe W/O (water in oil) atau A/M (air dalam minyak).
Emulsi yang terdiri dari butiran air yang tersebar kedalam minyak. Air

sebagai fase internal sedangkan fase minyak sebagai fase eksternal (Ansel,

2005).

III. ALAT DAN BAHAN

a. Alat-alat :

- Tmbangan analitik
- Kertas perkamen
- Cawan
- Gelas ukur
- Beaker glass
- Batang pengaduk
- Lumpang dan stamfer
- Botol 60 mL

b. Bahan :

- Na-CMC

- PGA

- Tween 80

- Theofilin

- Aquades

IV. CARA KERJA

1) Kalibrasi botol ad 50 mL, tandai dan beri label.

2) Timbang Na-CMC atau PGA, theofilin, dan tween 80 sesuai perhitungan (lihat tabel
1).
3) Ukur air panas sebanyak 10x untuk Na-CMC atau air dingin 1,5x untuk PGA
masukkan kedalam gelas beker.

4) Dispersikan Na-CMC/PGA ke dalam gelas beker, diamkan hingga mengembang.

5) Masukkan Na-CMC/PGA yang sudah mengembang kedalam lumpang, kemudian


gerus hingga homogen.

6) Tambahkan theofilin kedalam lumpang, gerus ad homogen.

7) Tambahakan tween 80, gerus ad homogen.

8) Masukkan sediaan suspensi yang telah homogen kedalam botol, kemudian ad


aquadest sampai batas kalibrasi.

9) Lakukan uji pengamatan terhadap sediaan suspensi.

Table 1. konsentrasi bahan

Botol Bahan uji Konsentrasi Bobot Volume sediaan


(%) (g) (mL)
1 - PGA - 1,5 - 0,75
- Theofilin - 5 - 2,5 50
- Aquadest - Ad 50
2 - PGA - 2 - 1
- Theofilin - 5 - 2,5 50
- Aquadest - Ad 50
3 - Na-CMC - 1,5 - 0,75
- Theofilin - 5 - 2,5
50
- Tween 80 - 1 - 0,5
- Aquadest - Ad 50
4 - PGA - 2 - 1
- Theofilin - 5 - 2,5
50
- Tween 80 - 1 - 0,5
- Aquadest - Ad 50

Perhitungan dan penimbangan bahan :


A. Botol 1
PGA = 1,5% x 50 mL
1,5
= 100 x 50 mL

= 0,75 g
Air untuk PGA = 0,75 X 1,5
= 1,125 mL
Theofilin = 5% x 50 mL
5
= 100 x 50 mL

= 2,5 g
Air ad 50 mL
B. Botol 2
PGA = 2% x 50 mL
2
= 100 x 50 mL

=1g
Air untuk PGA = 1 X 1,5
= 1,5 mL
Theofilin = 5% x 50 mL
5
= 100 x 50 mL

= 2,5 g
Air ad 50 mL
C. Botol 3
Na-CMC = 1,5% x 50 mL
1,5
= 100 x 50 mL

= 0,75 g
Air untuk Na-CMC = 0,75 X 10
= 7,5 mL
Theofilin = 5% x 50 mL
5
= 100 x 50 mL

= 2,5 g
Tween 80 = 1% x 50 mL
1
= 100 x 50 mL
= 0,5 g
Air ad 50 mL
D. Botol 4
PGA = 2% x 50 mL
2
= x 50 mL
100

=1g
Air untuk PGA = 1 X 1,5
= 1,125 mL
Theofilin = 5% x 50 mL
5
= x 50 mL
100

= 2,5 g
Tween 80 = 1% x 50 mL
1
= x 50 mL
100

= 0,5 g
Air ad 50 mL

V. DATA HASIL PENGAMATAN

Tinggi Volume Volume Sedimentasi


Hari Botol Organoleptik
Endapan akhir (Vu) (F= Vu/Vo)

W: Putih kuning berbusa


49,8
1 0,2 cm 49,8 ml = 0,996 𝑚𝑙 B1: Tidak berbau
50
B2: Terdapat endapan

W: Putih kuning
49,7
1 2 0,3 cm 49,7 ml = 0,994 𝑚𝑙 B1: Tidak berbau
50
B2: Terdapat endapan

W: Putih keabuan berbusa


49,9
3 0,1 cm 49,9 ml = 0,998 𝑚𝑙 B1: Sedikit berbau
50
B2: Terdapat endapan
W: Putih bening
49,7
4 0,3 cm 49,7 ml = 0,994 𝑚𝑙 B1: Sedikit berbau
50
B2: Terdapat endapan

W: Bening kekuningan
49,7
1 0,3 cm 49,7 ml = 0,994 𝑚𝑙 B1: Bau air beras
50
B2: Terdapat endapan

W: Bening kekuningan
49,7
2 0,3 cm 49,7 ml = 0,994 𝑚𝑙 B1: Tidak berbau
50
B2: Terdapat endapan
2
W: Bening
49,8
3 0,2 cm 49,8 ml = 0,996 𝑚𝑙 B1: Bau minyak
50
B2: Terdapat endapan

W: Bening kekuningan
49,7
4 0,3 cm 49,7 ml = 0,994 𝑚𝑙 B1: Bau antasida
50
B2: Terdapat endapan

W: Bening kekuningan
49,7
1 0,3 cm 49,7 ml = 0,994 𝑚𝑙 B1: Bau air beras
50
B2: Terdapat endapan

W: Bening kekuningan
49,8
3 2 0,2 cm 49,8 ml = 0,996 𝑚𝑙 B1: Tidak berbau
50
B2: Terdapat endapan

W: Bening
49,9
3 0,1 cm 49,9 ml = 0,998 𝑚𝑙 B1: Bau minyak
50
B2: Terdapat endapan
W: Bening kekuningan
49,7
4 0,3 cm 49,7 ml = 0,994 𝑚𝑙 B1: Bau antasida
50
B2: Terdapat endapan

W: Bening kekuningan
49,7
1 0,3 cm 49,7 ml = 0,994 𝑚𝑙 B1: Bau air beras
50
B2: Terdapat endapan

W: Bening kekuningan
49,8
2 0,2 cm 49,8 ml = 0,996 𝑚𝑙 B1: Tidak berbau
50
B2: Terdapat endapan
4
W: Bening
49,8
3 0,2 cm 49,8 ml = 0,996 𝑚𝑙 B1: Bau mylanta
50
B2: Terdapat endapan

W: Bening kekuningan
49,8
4 0,2 cm 49,8 ml = 0,996 𝑚𝑙 B1: Bau antasida
50
B2: Terdapat endapan

Vo = 50 ml

W = Warna

B1 = Bau

B2 = Bentuk

VI. PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini tentang sistem dispersi yang bertujuan untuk membuat

sediaan suspensi yang baik serta mengetahui parameter evaluasi, dan prinsip yang

mendasari praktikum kali ini yaitu berdasarkan hukum stokes sedimentasi yang terjadi

berkaitan erat dengan ukuran partikel dan zat terdispersi dan bergantung pada viskositas

fase terdispersi, dilakukan pengujian volume sedimentasi pada sediaan emulsi yang

menggunakan zat aktif theofillin karena theofillin menurut litelatur memiliki kelarutan
yaitu Sukar larut dalam air, tetapi lebih mudah larut dalam air panas, mudah larut dalam

larutan alkali hidroksida dan dalam ammonium hidroksida, agak sukar larut dalam

etanol, dalam kloroform dan daiameter. (Depkes RI,1995).

Theofillin dan air tidak akan bercampur hal ini disebabkan karena tegangan

permukaan yang ada di antara theofillin dan air terlalu tinggi sehingga membuat kedua

senyawa tersebut tidak bisa bercampur. Zat yang tidak bercampur ini bersifat tidak

stabil. Untuk itu untuk mencampurkan theofillin dengan air atau senyawa lain yang

tidak larut dengan theofillin dibutuhkan suspending agent atau surfaktan yang bisa

menurunkan tegangan permukaan antara kedua zat sehingga dapat bercampur. Untuk

mengamati proses sedimentasi ini, dibuat terlebih dahulu keempat sediaan yang akan

digunakan. Buat suspending agent dengan cara memasukkan sejumlah zat suspending

agent kedalam mortir lalu tambahkan aquam secukupnya, gerus sampai suspending

agent terlarut. Sisihkan terlebih dahulu suspending agent dengan memindahkan ke kaca

arloji (untuk suspending agent berupa PGA dilarutkan dengan menggunakan air dingin

dan Na CMC dengan menggunakan air panas). Masukan zat aktif ke dalam mortir dan

tambahkan stabilizer secukupnya, gerus ad homogen. Lalu masukkan suspending agent

yang sudah dibuat tadi, gerus ad homogen. Campuran bahan ini sudah siap untuk dibuat

suspensi. Pindahkan campuran bahan tersebut kedalam gelas ukur 100 ml dengan

menggunakan corong, lalu tambahkan aquadest sampai tanda batas 100 ml pada gelas

ukur.

Setelah itu, sampel didiamkan dalam interval waktu tertentu sehingga dapat

diamati sedimentasinya. Fenomena sedimentasi ini terjadi karena partikel-partikel di

dalam suspensi ini memiliki kecenderungan untuk bergabung (bersatu).

Kecenderungan ini disebabkan karena gaya van der Waals yang lemah sehingga

membentuk suatu endapan. Pada tabel pengamatan dapat dilihat bahwa ada beberapa
suspensi yang dalam interval waktu tertentu tidak mengalami peningkatan sedimentasi.

Hal ini menandakan proses sedimentasi yang terjadi sudah maksimal. Dari hasil

pengamatan, didapatkan suspensi dengan zat aktif berupa theofillin dan suspending

agent berupa PGA endapan yang lebih banyak. Sedangkan untuk suspending agent Na

CMC endapannya sangat sedikit sehingga tidak terlalu terlihat.

Disamping itu, setelah suspensi tersebut didiamkan selama beberapa hari, pada

sediaan suspensi yang menggunakan suspending agent berupa PGA terdapat bagian

berwarna kuning diatas suspensi. Hal itu disebabkan karena terjadinya proses

pembusukan secara alami, sehingga sebaiknya dalam pembuatan suspensi perlu

digunakan pengawet untuk memperlambat proses pembusukan tersebut.

Selain mengamati sedimentasi, pada percobaan kali ini juga diamati proses

redispersibilitas yaitu kemampuan suatu suspensi yang pada awalnya membentuk

endapan atau cake dapat kembali lagi terdispersi hingga membentuk sediaan yang

homogen. Untuk menguji kemampuan suspensi dalam redispersibilitas, gelas ukur yang

berisi suspensi dan terdapat endapan dikocok kembali hingga endapan yang terbentuk

kembali terdispersi dan larut kembali.

Keuntungan bentuk sediaan suspensi yaitu baik digunakan untuk orang yang

sulit mengkonsumsi tablet, pil, kapsul, terutama untuk anak anak, lalu memiliki

homogenitas yang cukup tinggi, lebih mudah diabsorpsi dari pada tablet, karena luas

permukaan kontak dengan luas permukaan saluran cerna tinggi, dapat menutupi rasa

tidak enak/pahit dari obat, dapat mengurangi penguraian zat aktif yang tidk stabil dalam

air. Kemudian kerugian bentuk sediaan suspensi yaitu memiliki kestabilan yang rendah,

jika terbentuk caking maka akan sulit terdispersi kembali, sehingga homogenitas nya

menjadi buruk, aliran yang terlalu kental menyebabkan sediaan sulit untuk dituang,

ketepatan dosisi lebih rendah dibandingkan sediaan larutan, suspensi harus dilakukan
pengocokan sebelum digunakan, pada saat penyimpanan kemungkinan perubahan

sistem dispersi akan meningkat apabila terjadi perubahan temperatur pada tempat

penyimpanan.

VII. KESIMPULAN

Dilakukan percobaan pembuatan sediaan suspensi dengan menggunakan sistem

dispersi dan penambahan supending agent yang berupa CMC Na yaitu untuk menguji

sediaan yang harus menghasilkan suatu suspensi yang stabil dan dapat didispersikan

kembali setelah ditambahkan CMC Na, agar sedian layak untuk digunakan. Dari hasil

praktikum yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa hasil sedimentasi (endapan) yang

paling tinggi didapatkan dari botol 3, kemudian botol 2, dan setelahnya botol 1 dan 4.

Hasil dari sediaan suspensi pada hari Ke 1,2,3,4,5,6,7 hasil volume

sedimentasinya Formula I secara berturut-turut 0,996 ml, 0,996 ml, 0,996 ml, 0,996 ml,

0,996 ml, 0,994 ml, dan pada hari ke 7 yaitu 0,994 ml . pada Formula II secara berturut-

turut yaitu 0,996 ml, 0,996 ml, 0,996 ml, 0,996 ml, 0,996 ml, 0,994 ml, 0,994 ml. pada

Formula III secara berturut-turut menghasilkan sedimentasi 0,998 ml, 0,998 ml, 0,998

ml, 0,996 ml, 0,996 ml, 0,996 ml, 0,996 ml. sedangkan pada Formula IV menghasilkan

sedimantasi secara berturut-turut dari 0,998 ml, 0,998 ml, 0,996 ml, 0,996 ml, 0,996

ml, 0,996 ml, 0,996 ml maka hasilnya dapat dikatakan sediaan suspensi yang telah

dibuat semuanya termasuk pada kategori flokulasi karena hasil volume sedimentasinya

<1.

VIII. DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. 1993. Farmasetika. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Anief, M. 1999. Sistem Dispersi, Formulasi Suspensi dan Emulsi.Yogyakarta:Gadjah Mada

University Press.
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia, edisi III. Jakarta.Departemen Kesehatan Republik

Indonesia.

Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia, edisi IV. Jakarta.Departemen Kesehatan Republik

Indonesia.

Martin, Alfred dkk. 2008. Dasar- dasar Farmasi Fisika Dalam Ilmu Farmasetika. Jakarta :UI

Press

Sutresna, N. 2007. Cerdas Belajar Kimia. Bandung : Grafindo Media Pratama

IX. LAMPIRAN

Botol 1 Botol 2

Botol 3 Botol 4

Anda mungkin juga menyukai