Anda di halaman 1dari 16

LECTURE NOTES

Business Ethics & Sustainability

Week ke - 8

Pemangku Kepentingan Konsumen


LEARNING OUTCOMES

1. Peserta diharapkan mampu menunjukkan kemampuan untuk menguji strategi bisnis


untuk pembangunan berkelanjutan.
2. Peserta diharapkan mampu menunjukkan kemampuan untuk menerapkan konsep
keberlanjutan ke dalam strategi bisnis organisasi.

OUTLINE MATERI :
A. Gerakan Konsumen
B. Self-Regulation dalam Periklanan
C. Model Moral dan Pemangku Kepentingan Konsumen
D. Dua Isu Utama: Kualitas dan Keamanan
E. Respons Bisnis terhadap Pemangku Kepentingan Konsumen
F. Program Layanan Pelanggan
G. Program Manajemen Mutu Total & Strategi Six Sigma
ISI MATERI
A. Gerakan Konsumen

Banyak kelompok membentuk konfederasi longgar yang sekarang dikenal sebagai gerakan
konsumen. Konsumerisme melibatkan organisasi akar rumput, aktivisme media sosial, dan
munculnya berbagai organisasi nirlaba dan situs Web yang semakin mengkhususkan diri dalam
satu aspek produk atau layanan konsumen. Pergerakan konsumen didorong oleh masalah
konsumen dan keluhan konsumen.
Contoh Masalah Konsumen dengan Bisnis:
• Tingginya harga produk
• Kualitas banyak produk yang buruk
• Iklan yang menyesatkan dan menipu, sering kali di media sosial
• Biaya tersembunyi
• Kualitas layanan purna jual yang buruk
• Terlalu banyak produk yang rusak atau rusak setelah Anda membawanya pulang
• Pengemasan atau pelabelan yang menyesatkan
• Isi yang kurang
• Perasaan bahwa mengeluh tentang masalah konsumen adalah buang-buang waktu karena
tidak ada hal substansial yang akan dicapai
• Jaminan yang tidak memadai
• Kegagalan perusahaan menangani keluhan dengan baik
• Terlalu banyak produk yang berbahaya atau tidak aman
• Tidak adanya informasi yang dapat dipercaya tentang berbagai produk dan layanan
• Tidak tahu apa yang harus dilakukan jika ada yang salah dengan produk yang Anda beli

Business Ethics & Sustainability – R0


A.1. Masalah Informasi Produk/Layanan
Consumer Reports melakukan pengujian produk secara independen dan melaporkan
temuannya dalam Consumer Reports (CR) edisi cetak dan online. Masalah etika utama dengan
informasi produk atau layanan berada di ranah periklanan. Area terkait informasi lainnya
termasuk jaminan atau garansi, pengemasan, pelabelan, petunjuk penggunaan, dan teknik
penjualan yang digunakan oleh penjual langsung. Informasi tentang layanan purna jual juga
merupakan isu penting.

A.2. Masalah Periklanan


Dengan tersedianya puluhan ribu produk dan kompleksitasnya yang semakin meningkat,
konsumen saat ini sangat membutuhkan informasi yang jelas, akurat, dan memadai. Informasi
yang jelas adalah informasi yang langsung dan tidak bergantung pada penipuan atau manipulasi.
Informasi yang akurat mengkomunikasikan kebenaran, bukan setengah kebenaran. Ini
menghindari pernyataan berlebihan dan sindiran. Informasi yang memadai memberikan
informasi yang cukup kepada calon pembeli untuk membuat pilihan terbaik di antara opsi yang
tersedia. Sementara memberikan informasi adalah salah satu tujuan sah beriklan di masyarakat
kita, tujuan sah lainnya adalah persuasi. Sebagian besar konsumen saat ini mengharapkan bisnis
beriklan dengan tujuan membujuk mereka untuk membeli produk atau layanan mereka, dan
mereka menerima ini sebagai bagian dari sistem komersial. Memang, banyak orang menikmati
upaya perusahaan untuk menemukan cara yang menarik untuk menjual produk mereka.
Contoh kasus
Trivago Didenda Rp450 Miliar di Australia karena Iklan Menyesatkan Soal Tarif Hotel
Termurah
https://www.republika.co.id/berita/raqgb6/trivago-didenda-rp450-miliar-di-australia-karena-iklan-menyesatkan-soal-tarif-hotel-termurah
diakses pada 23/07/2022
Perusahaan pemesanan hotel global online Trivago telah dikenai denda A$45 juta (sekitar
Rp450 miliar) karena membuat iklan yang mengatakan bisa mendapatkan kamar hotel dengan
harga terbaik.
Trivago dikenai denda di Australia setelah dua tahun lalu pengadilan federal di Canberra
memutuskan perusahaan tersebut melanggar UU Perlindungan Konsumen di Australia.
Selain denda, Trivago juga harus membayar semua ongkos perkara dari pihak Komisi
Perlindungan Konsumen dan Persaingan Australia (ACCC) yang mengajukan kasus tersebut atas
nama konsumen yang dirugikan.
Dalam keputusan yang dikeluarkan hari Jumat (22/04) Hakim Mark Moshinsky
mengatakan ada perbedaan besar antara mereka yang terlibat dalam kasus tersebut mengenai
jumlah denda yang pantas, setelah ACCC mengatakan paling tidak denda yang harus dibayar

Business Ethics & Sustainability – R0


adalah A$90 juta sementara Trivago mengatakan hanya sekitar A$15 juta.
Dalam menentukan keputusan akhir terkait besaran denda, Hakim Moshinsky mengatakan
pelanggaran yang dilakukan Trivago adalah hal yang "sangat serius."
"Iklan televisi yang dibuat Trivago di masa-masa awal sangat menyesatkan," kata Hakim
Moshinky."
"Dalam iklan, situs Trivago diperlihatkan dengan cepat dan mudah akan memberikan harga
kamar hotel terbaik ketika konsumen melakukan pencarian, tetapi pada kenyataannya situsnya
tidaklah demikian."
"Dari daftar yang muncul, 66,8 persen harga kamar hotel yang lebih mahal berada di
posisi tertinggi dibandingkan harga kamar yang lebih murah."
1. Bagaimana Trivago menyesatkan konsumen?
2. Apa kerugian konsumen?
3. Apakah adil untuk salah berkomunikasi dengan pelanggan dengan cara ini?

A.3. Pengemasan dan Pelabelan


Masalah pengemasan dan pelabelan menarik minat baru karena klaim kesehatan dan
lingkungan serta undang-undang periklanan dalam kategori produk tertentu seperti obat-obatan,
makanan, tembakau, alkohol, dan iklan yang ditujukan untuk anak-anak. Di bidang pengemasan
produk, masalah slack fill telah menjadi topik yang banyak dikritik akhir-akhir ini. Slack fill,
yang dikenal dalam istilah regulasi sebagai slack fill nonfungsional, adalah praktik perusahaan
yang memasukkan lebih sedikit produk ke dalam kemasan sambil sering kali menjaga ukuran
wadah tetap sama tetapi menaikkan harganya.
Contoh kasus
Pengadilan Jalan Terbaik Penyelesaian Kasus Ajinomoto
https://www.liputan6.com/news/read/6307/pengadilan-jalan-terbaik-penyelesaian-kasus-ajinomoto
Diakses pada 17/07/2022
PT Ajinomoto Indonesia berdiri tahun 1969 di Jakarta. Pada tahun 1970 mendirikan pabrik
pertamanya di Mojokerto-Jawa Timur dengan produk utama penyedap rasa dengan merek AJI-
NO-MOTO® yang dipasarkan ke seluruh wilayah Indonesia. Pabrik kedua di Karawang
didirikan pada tahun 2012 dengan tujuan memenuhi kebutuhan produk-produk bumbu masak
bagi masyarakat Indonesia. Di tahun 2015, PT. Ajinomoto Bakery Indonesia resmi didirikan.
Pabrik di Karawang timur dengan Japan Technology dan Japanese Staff yang berpengalaman
akan mulai beroperasi di Agustus 2016.
PT Ajinomoto Indonesia merupakan produsen bumbu masak merek Ajinomoto. Perusahaan
ini memiliki kantor pusat di Jepang dimana Ajinomoto pusat merupakan salah satu dari 36
perusahaan makanan dan minuman terbesar di dunia. Sehubungan dengan akan berakhirnya
sertifikat Halal dari MUI untuk AJI-NO-MOTO pada September 2000, maka PT Ajinomoto
Indonesia mengajukan perpanjangan sertifikat Halalnya pada akhir Juni 2000. Audit kemudian
dilakukan oleh LPPOMMUI Pusat (2 orang), LPPOMMUI Jatim, BPOM, Balai POM Surabaya
dan dari Departemen Agama pada tanggal 7 Agustus 2000. Pada 7 Oktober 2000, Komisi Fatwa
memutuskan bahwa Bactosoytone tidak dapat digunakan sebagai bahan dalam media pembiakan

Business Ethics & Sustainability – R0


mikroba untuk menghasilkan MSG. PT Ajinomoto Indonesia diminta untuk mencari alternatif
bahan pengganti Bactosoytone.Sesuai dengan instruksi Komisi Fatwa, PT Ajinomoto Indonesia
mengganti Bactosoytone dengan Mameno dalam tempo 2 bulan. LPPOMMUI melakukan audit
sehubungan dengan penggantian Bactosoytone dengan Mameno pada 4 Desember 2000. Mereka
memutuskan Mameno dapat digunakan dalam proses pembiakan mikroba untuk menghasilkan
MSG. Komisi Fatwa melakukan rapat kedua pada 16 November 2000.
LPPOMMUI menyampaikan hasil rapat tersebut kepada PT Ajinomoto Indonesia pada 18
Desember 2000, bahwa produk yang menggunakan Bactosoytone dinyatakan Haram. MUI
mengirim surat kepada PT Ajinomoto Indonesia pada 19 Desember 2000 untuk menarik semua
produk Ajinomoto yang diproduksi dan diedarkan sebelum tanggal 23 November 2000 (Produk
yang dihasilkan setelah 23 November 2000 sudah menggunakan Mameno). Namun, pada tanggal
tersebut perusahaan sudah memasuki libur bersama Natal dan Tahun Baru. Sekertaris Umum
MUI mengumumkan di media massa pada 24 Desember 2000, bahwa produk AJI-NO-MOTO
mengandung babi dan masyarakat diminta untuk tidak mengonsumsi bumbu masak AJI-NO-
MOTO yang diproduksi pada periode 13 Oktober hingga 16 November 2000.
Proses hukum adalah jalan terbaik untuk menyelesaikan kasus PT. Ajinomoto. Sebab, bila
polemik tentang haram-halalnya produk bumbu masak asal Jepang itu berhenti di tengah jalan,
justru akan menimbulkan berbagai kecurigaan di masyarakat. Akibatnya, masyarakat akan
bertambah bingung. Demikian intisari yang mengemuka dari Debat SCTV Minggu ini yang
dipandu Indiarto Priyadi, Sabtu (12/1).
Hadir sebagai pembicara Kuasa Hukum PT. Ajinomoto Amir Syamsuddin, Direktur
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia Profesor
Aisyah Girindra, Ketua Umum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Indah Suksmaningsih,
dan Direktur Jenderal Pengawasan Obat-obatan dan Makanan Departemen Kesehatan dan
Kesejahteraan Sosial Sampurno.
Menurut Amir Syamsuddin, posisi kliennya dilematis. Di satu sisi harus mengadapi fatwa
MUI, di sisi lain menghadapi laporan YLKI kepada polisi. Namun, lanjut Amir, antara fatwa
sebagai kewenangan MUI dan laporan YLKI sebagai proses hukum tak terintegrasi. "Ini akan
berdampak pada citra produk Ajinomoto secara keseluruhan, meskipun proses hukum berpihak
pada Ajinomoto," kata Amir.
Di mata Indah Suksmaningsih maupun Aisyah Girindra, itu adalah risiko yang harus
ditanggung Ajinomoto. Indah melihat kasus tersebut sebagai sikap ketidakhati-hatian perusahaan
tersebut. Sedangkan Aisyah Girindra yang juga Guru Besar Institut Pertanian Bogor mengatakan,
kesalahan fatal yang dilakukan Ajinomoto adalah pemakaian bakteri bacto-soytone yang
digunakan dalam proses fermentasi dalam proses pembuatan monosodium glutamat yang
mengandung porcine (enzim babi).
Bahkan, lebih jauh Indah menduga, ada upaya dari perusahaan yang mendapat sertifikat
halal MUI sejak 1998 itu untuk mengabaikan rasa ketidakadilan umat Islam. Indikasinya, yang
melihat perubahan enzim tersebut adalah MUI, bukan Ajinomoto. "Padahal ada perubahan
sedikit pun Ajinomoto wajib melapor kepada MUI," kata Indah.
Sementara itu, Dirjen POM Depkes dan Kessos Sampurno melihat biaya dan sanksi sosial
yang diderita Ajinomoto cukup besar. Itu sebabnya, kata dia, Ajinomoto memerlukan keadilan.
Singkat kata, Sampurno ingin mengatakan masyarakat jangan menghakimi produk tersebut
sebelum ada keputusan hukum dari pengadilan.
Pernyataan Sampurno tersebut diamini Amir Syamsuddin dengan usulan perlunya Undang-

Business Ethics & Sustainability – R0


undang Produsen atau mengubah Undang-undang Konsumen. Alasannya, dalam UU Konsumen
juga harus ada keberpihakan pada kepentingan produsen. Hal ini penting, lanjut Amir, bila uji
materil atau laboratorium membuktikan bahwa Ajinomoto tak bersalah. "Tetapi karena citra
sudah jelek, Ajinomoto sulit diterima masyarakat," kata Amir.
Mengenai perubahan UU, menurut Indah, itu sangat mungkin. Sebab, menurut dia, tidak ada
UU yang sempurna. Tetapi yang lebih penting, lanjut Indah, bukan hanya sekadar perubahan.
Paling penting sekarang biarkan proses hukum berjalan, sehingga kekhawatiran yang mendera
Ajinomoto dapat dibuktikan secara hukum. Indah memberi alasan bahwa laporan yang dilakukan
YLKI kepada Polisi tak akan terjadi bila tak ada Fatwa MUI, Undang-undang Konsumen, Surat
Dirjen POM, pengaduan masyarakat, dan Ajinomoto tetap mencantumkan label halal pada
produknya yang diproses menggunakan porcine. "Nanti masyarakat akan melihat sendiri siapa
yang benar," kata Indah, berapi-api.
Benar yang dikatakan Sampurno: untuk menyelesaikan kasus Ajinomoto harus ada
keinginan baik (good will) semua komponen. Amir Syamsuddin mengakui bahwa PT Ajinomoto
mempunyai komitmen untuk menarik semua produk yang dikeluarkan sejak 13 Oktober hingga
24 November 2000. Ajinomoto juga berkomitmen untuk memberikan rasa keadilan bagi
konsumen, khususnya bagi umat Muslim. Termasuk yang paling penting, sambung Amir, adalah
membantah pemberitaan bahwa Ajinomoto akan menarik investasinya dari Indonesia. "Ini akan
merugikan Ajinomoto. Seolah-olah keadilan konsumen dapat ditukar dengan materi," kata Amir
Syamsuddin.

B. Self-Regulation dalam Periklanan


Pengaturan diri, di sisi lain, mengacu pada kontrol perilaku dan kinerja bisnis oleh bisnis
itu sendiri, atau asosiasi bisnis, bukan oleh pemerintah atau oleh kekuatan pasar. Gagasan di
balik pengaturan diri adalah bahwa perusahaan akan dengan hati-hati memantau iklan mereka
sendiri untuk masalah hukum dan etika dan mengambil inisiatif dalam memperbaiki iklan yang
kurang baik tanpa harus melibatkan badan pengatur. Ini adalah strategi proaktif daripada strategi
reaktif.

C. Model Moral dan Pemangku Kepentingan Konsumen


Model manajemen moral paling mewakili standar etika tertinggi dari perlakuan konsumen
dan, oleh karena itu, menjadi model yang direkomendasikan untuk diikuti oleh bisnis.
Model Orientasi Moralitas Manajemen kepada Pemangku Kepentingan Konsumen:
• Manajemen Tidak Bermoral. Pelanggan dipandang sebagai peluang untuk dimanfaatkan
demi keuntungan pribadi atau organisasi. Standar etika dalam transaksi tidak berlaku;
memang, ada niat aktif untuk menipu, menipu, dan/atau menyesatkan. Dalam semua

Business Ethics & Sustainability – R0


keputusan pemasaran—iklan, penetapan harga, pengemasan, distribusi, garansi—pelanggan
dimanfaatkan sepenuhnya.
• Manajemen Amoral. Manajemen tidak memikirkan konsekuensi etis dari keputusan dan
tindakannya. Itu hanya membuat keputusan dengan profitabilitas dalam surat hukum sebagai
panduan. Manajemen tidak fokus pada apa yang adil dari perspektif pelanggan. Fokusnya
adalah pada hak manajemen. Tidak ada pertimbangan yang diberikan pada implikasi etis dari
interaksi dengan pelanggan.
• Manajemen Moral. Pelanggan dipandang sebagai mitra setara dalam transaksi. Pelanggan
membawa kebutuhan dan harapan untuk transaksi pertukaran dan diperlakukan secara adil.
Fokus manajerial adalah memberi pelanggan nilai wajar, informasi lengkap, jaminan adil,
dan kepuasan. Hak-hak konsumen secara bebas ditafsirkan dan dihormati.

D. Dua Isu Utama: Kualitas dan Keamanan


Konsep kualitas produk memiliki arti yang berbeda bagi orang yang berbeda. Beberapa
konsumen tertarik dengan komposisi dan desain suatu produk. Yang lain lebih peduli dengan
fitur, fungsionalitas, dan daya tahan produk. Semua adalah aspek penting dari kualitas. Secara
umum, kualitas dianggap sebagai totalitas karakteristik dan fitur produk dan dapat mencakup
realitas dan persepsi keunggulan, kesesuaian dengan spesifikasi, nilai, dan sejauh mana produk
memenuhi atau melampaui harapan konsumen.
Sehubungan dengan kualitas layanan, pelanggan biasanya khawatir bahwa layanan
dilakukan dengan cara yang diharapkan atau diiklankan, diselesaikan tepat waktu, bahwa semua
yang dijanjikan telah disampaikan, bahwa kesopanan diberikan oleh penyedia, dan bahwa
layanan mudah diperoleh dan konsisten dari penggunaan satu ke penggunaan berikutnya.
Beberapa dari masalah ini melibatkan penilaian dan persepsi pribadi, sehingga orang dapat
melihat betapa sulitnya menilai kualitas.
Contoh kasus
Soal Temuan Susu Formula Berbakteri, Peneliti: Negara Abai Terhadap Kesehatan Anak
https://www.tribunnews.com/nasional/2021/03/16/soal-temuan-susu-formula-berbakteri-peneliti-negara-abai-terhadap-kesehatan-anak
Diakses pada 23/07/2022
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Peneliti dari Universitas Islam Indonesia (UII)
menyebut negara abai atas kewajiban untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap hak
kesehatan anak.
Hal ini berkaitan dengan kasus temuan susu formula (Sufor) berbakteri berbahaya yang

Business Ethics & Sustainability – R0


berdampak buruk bagi kesehatan anak yang sempat ramai beberapa waktu lalu.
“Abai dimaknai karena pasca penelitian itu tidak ada tindakan serius yang diambil oleh
pemerintah untuk memastikan susu formula itu aman bagi masyarakat,” kata Eko Riyadi,
Direktur Pusat Studi HAM UII di webinar PusHAM UII, Selasa (16/3/2021).
Kasus ini bermula setelah abstrak dari Institut Pertanian Bogor (IPB) tentang Sufor yang
ditemukan bakteri bernama Enterobacter Sakazakii.
Dalam hal ini terdapat hasil penelitian dari IPB bahwa 22,73% dari 22 sampel Sufor dalam
negeri yang terkontaminasi Enterobacter Sakazakii yang berdampak buruk bagi anak.
Bakteri ini dapat menyebabkan masalah pencernaan, bisa menghambat tumbuh kembang
otak dan lainnya. Bahkan dampak dari Enterobacter Sakazakii yang paling buruk adalah bisa
menyebabkan kematian
Seorang advokat bernama David M L Tobing melayangkan gugatan Perbuatan Melawan
Hukum terhadap IPB, Kemenkes, dan BPOM.
Saat itu, tiga lembaga tersebut diminta untuk terbuka dan membuka mana saja merek yang
terindikasi ada Enterobacter Sakazakii
“Sayangnya disebutkan bahwa penelitian tersebut merupakan murni penelitian akademis
yang tidak dilanjuti oleh BPOM dan Kemenkes agar dilakukan penelitian lebih dalam,” kata Eko
Riyadi.
Ia menyebut pemerintah nampaknya belum memiliki peta jalan pemulihan bagi korban.
Bahkan beberapa pernyataan, ketiga lembaga mengelak dalam aspek formil.
“Kemenkes, BPOM dan IPB selalu berlindung di dalam aspek formil, terkait prosedur,
pertanggung jawaban dan sebagainya. Terkait debat hukum, HAM, kewajiban perusahaan
(pemerintah) sama sekali tidak mendiskusikan secara serius,” ujarnya.
Eko mengatakan situasi tersebut menunjukan bahwa argumentasi Sufor yang termasuk
bagian dari akses kesehatan anak belum terjadi.
Di undang-undang (UU) tentang kesehatan, kesehatan adalah hak semua orang, namun
takaran sehat itu sendiri berbeda-beda jika ditafsirkan ke masing-masing individu.
Karena itu, di UU hak kesehatan pada anak lebih ditekankan kepada kewajiban negara untuk
melakukan upaya strategis dalam rangka memastikan standar kesehatan tertinggi yang dapat
dicapai dan/atau dinikmati oleh setiap anak.
“Argumentasi yang dilakukan David L. Tobing dkk untuk meletakan kasus ini pada
spektrum yang lebih luas, terkait kewajiban negara terhadap publik itu tidak muncul. Karena
perdebatannya selalu dialihkan kepada aspek formil tersebut,” kata Eko.
Saat itu mahkamah agung (MA) memutuskan BPOM, Kemenkes dan IPB harus menunjukan
merek Sufor yang menjadi objek penelitian.
MA juga meminta ketiga lembaga tersebut mengambil langkah untuk membuktikan Sufor
yang dikonsumsi publik itu aman.
Namun saat tiga lembaga tergugat itu mengajukan peninjauan kembali (PK), putusan PK
dikatakannya aneh, karena MA menganggap keputusan sebelumnya batal.
“Proses yang panjang untuk memperjuangkan hak publik dengan debat yang panjang, tiba-
tiba selesai dalam satu paragraf, yang pada pokoknya MA pada putusan PK mengatakan secara
formil putusan eksepsi harusnya dibuat terpisah, tidak tergabung dengan putusan yang sama pada
kasus utamanya. Karena itu tidak dilakukan, maka proses keseluruhannya menjadi batal,”
ujarnya.
Eko mengatakan penelitian yang terkait hak publik harusnya diletakan dalam spektrum yang

Business Ethics & Sustainability – R0


lebih besar, tidak hanya sebatas formil prosedural agar menjadi catatan yang serius.
Pemerintah dan perguruan tinggi harusnya bisa mendorong agar korporasi menghormati hak
kesehatan bagi anak di Indonesia.
“Kasus ini menjadi pelajaran yang serius. Tiga instansi itu tidak meletakan dirinya sebagai
duty barrier yang memiliki kewajiban atas HAM, yang seakan-akan ini kasus biasa/kecil.
Sehingga mereka menggunakan berbagai macam cara untuk membela diri. Yang penting dirinya
tidak disalahkan dari proses pengadilan. Dan itu dilakukan secara serius dengan memutar-mutar
argumentasi,” ujar Eko.
1. Apa saja Prinsip Keamanan Produk yang dilanggar jika benar susu formula tersebut tercemar
bakteri berbahaya?
2. Apa yang kita lakukan sebagai konsumennya?

E. Respons Bisnis terhadap Pemangku Kepentingan Konsumen


Respons bisnis terhadap konsumerisme dan pemangku kepentingan konsumen telah
bervariasi selama bertahun-tahun. Ini telah berkisar dari taktik hubungan masyarakat yang
dipahami dengan buruk di satu bagian hingga program yang dirancang dan diimplementasikan
dengan baik yang berfokus pada hubungan pelanggan, kepuasan pelanggan, keterlibatan
pelanggan, dan manajemen hubungan pelanggan di ekstrem lainnya. Respons bisnis juga
mencakup program yang berfokus pada kualitas dan inisiatif peningkatan berkelanjutan seperti
program Total Quality Management (TQM), Kaizen, Sertifikasi ISO, dan Lean Six Sigma,
meskipun ada beberapa indikasi bahwa ini tidak disukai.
Ketika gerakan konsumen pertama kali dimulai, respons bisnis bersifat biasa, mungkin
simbolis, dan hampir tidak efektif. Saat ini, gerakan konsumen telah matang, dan interaksi
formal dengan pemangku kepentingan konsumen menjadi semakin terlembagakan. Bisnis telah
menyadari bahwa konsumen saat ini lebih gigih daripada di masa lalu, lebih tegas, dan lebih
cenderung menggunakan atau menghabiskan semua saluran daya tarik sebelum merasa puas.
Berbekal kekuatan yang cukup besar, aktivis konsumen telah menjadi pendorong utama untuk
upaya yang lebih tulus atas nama bisnis untuk menyediakan forum bagi konsumen. Upaya ini
mencakup pembuatan saluran telepon bebas pulsa, situs Web yang mudah digunakan, perwakilan
layanan konsumen, dan pelatihan layanan pelanggan yang lebih ekstensif.

F. Program Layanan Pelanggan


Perusahaan menangani layanan pelanggan dengan berbagai cara, dan seringkali bergantung
pada sifat produk atau layanan dan daya saing pasar yang mendorong komitmen dari pihak

Business Ethics & Sustainability – R0


perusahaan. Perusahaan menyediakan layanan pelanggan melalui jaminan uang kembali,
jaminan, dan kantor urusan konsumen di mana terdapat perwakilan layanan pelanggan yang
pekerjaan penuh waktu adalah untuk membuat pelanggan senang. Pelaksanaan layanan
pelanggan yang efektif tergantung pada sejumlah faktor, tetapi sangat penting bahwa manajemen
puncak berkomitmen untuk menyediakan layanan sebagai bagian dari hubungan yang
berkelanjutan dengan konsumen. Tugas manajemen adalah menarik, mempertahankan, dan
mempertahankan pelanggan, dan ini membutuhkan dedikasi dan komitmen tingkat tinggi.
Tujuh Prinsip Layanan Pelanggan
1) Mulai dengan menjaga kata-kata Anda. Menjaga kata-kata Anda membangun kepercayaan.
Kepercayaan adalah dasar dari semua hubungan yang sukses.
2) Selalu jujur dan katakan apa adanya. Dengan bersikap jujur dan mengatakan yang
sebenarnya kepada pelanggan Anda, kemungkinan besar Anda akan mendapatkan respons
positif terhadap situasi apa pun.
3) Selalu berpikir proaktif, melihat ke sekeliling. Berpikir secara proaktif dalam hal layanan
pelanggan bermuara pada mengatasi masalah sebelum Anda harus mendengar dari pelanggan
bahwa ada sesuatu yang perlu dilakukan.
4) Tangani masalah sebaik mungkin sendiri, jangan pernah menyia-nyiakannya. Semakin
banyak otoritas yang dimiliki karyawan untuk mengatasi masalah pelanggan, semakin baik
karena tidak ada yang lebih mengganggu pelanggan daripada berpindah dari departemen ke
departemen.
5) Jangan berdebat dengan pelanggan karena itu adalah situasi kalah/kalah. Pertanyaan terbaik
untuk ditanyakan pada diri sendiri adalah: Apa yang dapat dilakukan untuk membuat
pelanggan merasa senang dan diperhatikan?
6) Terima kesalahan Anda, belajarlah darinya, dan jangan ulangi. Terimalah bahwa Anda telah
melakukan kesalahan, evaluasi situasinya, pelajari pelajarannya, dan lanjutkan. Jangan
terjebak dalam keadaan penyangkalan yang tidak terbatas.
7) Konsistensi adalah nama permainan untuk kesuksesan yang langgeng. Ketika prinsip-prinsip
layanan pelanggan yang dibahas di atas dipraktekkan secara konsisten, pelanggan menyadari
dari waktu ke waktu bahwa integritas cara Anda memilih untuk menjalankan bisnis Anda
tidak boleh dikompromikan.
Menciptakan Perusahaan yang Berorientasi Pelanggan
1) Budaya dan komitmen dari atas ke bawah sangat penting.
2) Mengidentifikasi juara internal dan menjunjung tinggi mereka.
3) Komitmen sumber daya untuk tugas.
4) Pekerjakan orang yang tepat.
5) Berdayakan karyawan Anda.
6) Jadikan pelatihan layanan pelanggan sebagai prioritas.

Business Ethics & Sustainability – R0


G. Program Manajemen Mutu Total & Strategi Six Sigma
G.1. Program Manajemen Mutu Total (Total Quality Management – TQM Programs)
Total Quality Management (TQM) memiliki banyak karakteristik yang berbeda, tetapi
pada dasarnya berarti bahwa semua fungsi bisnis digabungkan ke dalam filosofi holistik dan
terintegrasi yang dibangun di sekitar konsep kualitas, kerja tim, produktivitas, pemahaman
pelanggan, dan kepuasan. Tujuan TQM adalah untuk memuaskan pelanggan dengan berfokus
pada kualitas produk dan masalah keamanan. Agar berhasil, program TQM yang kuat perlu
menerapkan prinsip, praktik, dan teknik yang berfokus pada pelanggan, menggunakan
peningkatan berkelanjutan, dan menggunakan kerja tim. Perlu dicatat bahwa pelanggan, atau
pemangku kepentingan konsumen, berada di pusat proses.
Dampak positif TQM terhadap keselamatan di tempat kerja telah ditetapkan. Menurut
American Society for Quality (ASQ), komunitas global orang-orang yang tertarik pada kualitas,
TQM memiliki sejumlah manfaat yang mapan. Beberapa di antaranya termasuk memperkuat
posisi kompetitif, penghapusan cacat dan pemborosan, pengurangan biaya, meningkatkan posisi
pasar, dan meningkatkan fokus dan kepuasan pelanggan. Agar berhasil, TQM harus menekankan
delapan elemen kunci—Etika, Integritas, Kepercayaan, Pelatihan, Kerja Sama Tim,
Kepemimpinan, Pengakuan, dan Komunikasi. Tiga yang pertama—Etika, Integritas, dan
Kepercayaan—merupakan fondasi di mana semua hal lainnya dibangun. Ketiga elemen ini
menumbuhkan keterbukaan, keadilan, dan ketulusan, dan mereka menciptakan landasan bagi
keterlibatan semua orang.
Asumsi dan premis penting TQM adalah bahwa pelanggan adalah hakim akhir kualitas.
Oleh karena itu, bagian pertama dari proses TQM adalah mendefinisikan kualitas dalam hal
harapan dan persyaratan pelanggan. Kualitas berarti hal yang berbeda bagi orang yang berbeda,
dan ini membuat pencapaiannya menantang, tetapi empat atribut kualitas yang paling sering
tampaknya digunakan termasuk keunggulan, nilai, kesesuaian dengan spesifikasi, dan memenuhi
dan/atau melebihi harapan.
Penting untuk diingat bahwa persepsi pelanggan tentang kualitas tidak selalu sama dengan
kualitas yang sebenarnya dan oleh karena itu perusahaan mungkin harus menunggu pelanggan
untuk menyadari bahwa peningkatan kualitas yang sebenarnya telah dilakukan. Peluang untuk
pengakuan telah membantu mendorong upaya kualitas. Di Amerika Serikat dan negara industri

Business Ethics & Sustainability – R0


lainnya, Malcolm Baldrige Award, ISO 9000, dan Deming Quality Award telah meningkatkan
reputasi perusahaan yang melakukan inisiatif kualitas dan menyelesaikannya dengan sukses.
Seperti yang sering terjadi dengan pendekatan manajemen baru, TQM menjadi kata kunci
manajemen, dan banyak dari slogannya, seperti "Melakukannya dengan benar pertama kali,"
menjadi dipandang sebagai klise. Dengan latar belakang inilah alat lain dikembangkan dan
menjadi populer, seperti strategi Just in Time (JIT) dan Business Process Reengineering (BPR).
Baru-baru ini, beberapa analis berpendapat bahwa keberlanjutan dan TQM terkait erat. Dan,
TQM sering dicirikan sebagai pendahulu Six Sigma dan pendekatan lainnya meskipun masih
dipraktikkan dalam prinsip dasarnya. Kebutuhan akan definisi kualitas yang lebih ketat
merupakan bagian dari daya tarik Six Sigma, dan pendekatan lainnya.

G.2. Strategi Six Sigma


Six Sigma merupakan pengembangan dalam TQM yang telah menjadi cara hidup bagi
banyak perusahaan. Sigma adalah ukuran statistik variasi dari mean; nilai sigma yang lebih
tinggi berarti lebih sedikit cacat. Tingkat operasi enam sigma adalah 3,4 cacat per juta. Sebagian
besar perusahaan beroperasi di sekitar tingkat empat sigma, yaitu 6.000 cacat per juta.
Six Sigma juga dipandang sebagai judul umum yang dikelompokkan sebagai kumpulan
strategi, metodologi, dan teknik. Six Sigma berlanjut sebagai cara populer untuk meningkatkan
kualitas dan mengurangi biaya. IBM, Motorola, Amazon, GE, Nokia, dan Sony hanyalah
beberapa dari perusahaan besar yang telah mengadopsi metodologi Six Sigma. Meskipun
beberapa pengamat mencemooh Six Sigma sebagai "TQM pada steroid," itu telah membawa
komitmen dan energi baru untuk pencarian kualitas di milenium baru. Bahkan dikatakan telah
membawa "lebih menonjol ke dunia kualitas daripada yang telah dinikmati sejak masa kejayaan
pertengahan 1980-an."
Motorola pertama kali mengembangkan Six Sigma, dan Allied Signal kemudian
bereksperimen dengannya, tetapi sebagian besar pengamat percaya bahwa GE
menyempurnakannya. Salah satu kekuatan Six Sigma adalah kejelasan proses dan langkah-
langkah yang harus diambil perusahaan untuk mengadopsinya. Namun, Six Sigma lebih dari
sekadar kotak peralatan dengan instruksi yang jelas. Program ini juga mewakili filosofi atau
strategi yang menekankan pentingnya pelanggan serta pengukuran yang cermat.

Business Ethics & Sustainability – R0


Praktisi Six Sigma mencari fakta daripada opini, dan mereka percaya pada perbaikan
proses daripada produk. Tentu saja, prinsip-prinsip dasar ini adalah fondasi TQM dan sebagian
besar upaya kualitas lainnya. Sedangkan Six Sigma adalah program kualitas yang komprehensif,
program yang lebih baru, Lean Six Sigma (LSS) mulai dipraktekkan bersamaan dengan itu.
Sementara Six Sigma berfokus pada peningkatan kualitas, Lean Six Sigma berfokus pada
menghilangkan pemborosan. Sebagai pendekatan manajemen kualitas gabungan, LSS
memperkuat kekuatan dan meminimalkan kelemahan dari kedua pendekatan. TQM dan Six
Sigma sering digunakan bersama dengan konsep Jepang Kaizen, yang berarti “perbaikan”, dan
mengacu pada aktivitas yang secara terus menerus melibatkan semua karyawan, manajemen, dan
pekerja menuju perbaikan proses. Kaizen juga dilihat sebagai pola pikir perbaikan di seluruh
perusahaan yang berfokus pada kepuasan pelanggan.
Mendampingi pendekatan peningkatan kualitas ini, ISO 9000 juga sering digunakan. ISO
9000 adalah seperangkat standar internasional tentang manajemen kualitas dan jaminan kualitas
yang berfokus pada pelanggan. Standar tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip manajemen
mutu yang dapat diterapkan oleh manajemen senior untuk perbaikan organisasi. Dasar dari
semua pendekatan kualitas atau keamanan ini adalah kepuasan konsumen. Gambar 14-6
menguraikan model kepuasan pemangku kepentingan konsumen yang menggambarkan
bagaimana kualitas dan keamanan produk dan layanan mengarah pada kepuasan konsumen dan
konsekuensi bagi profitabilitas, reputasi, dan pembelian berkelanjutan perusahaan oleh
konsumen.

Business Ethics & Sustainability – R0


KESIMPULAN

Pemangku kepentingan konsumen selalu berada di urutan teratas dalam daftar pemangku
kepentingan bisnis. Beberapa tantangan baru, seperti iklan media sosial, iklan dan pelabelan
untuk pilihan makanan yang lebih sehat, penggunaan rokok elektrik yang meluas, dan lembaga
pemerintah baru yang mulai berpengaruh, adalah fitur penting dari bab ini.
Isu pemangku kepentingan konsumen telah mengemuka selama pemulihan ekonomi baru-
baru ini. Semakin banyak, bisnis menyadari bahwa ekonomi dibangun di atas pengeluaran
konsumen dan bahwa mereka perlu melakukan semua yang dapat mereka lakukan untuk
membuat konsumen berbelanja lagi. Dalam masyarakat yang didorong oleh konsumsi, bisnis
harus secara khusus memperhatikan isu-isu yang muncul dalam hubungannya dengan konsumen.
Ini adalah paradoks bahwa konsumerisme muncul selama periode ketika komunitas bisnis
menemukan sentralitas konsep pemasaran untuk kesuksesan bisnis. Magna Carta konsumen
mencakup hak atas keselamatan, untuk diberi tahu, untuk memilih, dan untuk didengar.
Masalah informasi produk dan layanan terdiri dari area utama dalam hubungan pemangku
kepentingan bisnis-konsumen. Terutama di antara ini adalah iklan. Banyak masalah muncul
karena penyalahgunaan iklan yang dirasakan, seperti ambiguitas, fakta tersembunyi, berlebihan,
dan daya tarik psikologis. Lingkup kontroversial tertentu telah termasuk, tetapi tidak terbatas
pada, iklan komparatif, penggunaan daya tarik seks dalam iklan, iklan untuk anak-anak,
pemasaran untuk orang miskin, iklan minuman beralkohol, iklan rokok, klaim kesehatan dan
lingkungan, iklan merayap, dan iklan media sosial.
Pemangku kepentingan konsumen menjadi prihatin dengan kualitas dan keamanan produk,
terutama karena bisnis telah gagal memenuhi kebutuhan mereka dengan andal di dua bidang ini.
Situasinya sama dengan manufaktur dan jasa. Salah satu tantangan utama adalah untuk
mengidentifikasi dan memahami dimensi yang berbeda dari masalah kualitas. Saat ini, kualitas
dapat berarti kinerja, fitur, keandalan, kesesuaian, daya tahan, kemudahan servis, estetika,
kualitas yang dirasakan, atau beberapa kombinasi dari dimensi-dimensi ini. Kualitas produk dan
layanan adalah masalah bisnis dan etika.

Business Ethics & Sustainability – R0


DAFTAR PUSTAKA

Archie B. Carroll, J. A. B., & Buchholtz, A. K. (2018). Business & Society: Ethics,
Sustainability, and Stakeholder Management (10th ed.). Cengage Learning.

Business Ethics & Sustainability – R0

Anda mungkin juga menyukai