Anda di halaman 1dari 13

Belajar Tentang Budaya Tuli

Disusun Oleh :

Kelompok 05 / PLB ATR2020

Yayinda Andin Kharisma (20010044023)

Aida Cahyaning Artanto (20010944043)

Yoanda Maulidya (20010044158)

Aprilia Putri Sugiyono (20010044162)

Ade Rima Suryani (20010044175)

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA

2021

Daftar Isi

Daftar Isi........................................................................................................................................... 2

BAB 1................................................................................................................................................. 3

PENDAHULUAN......................................................................................................................... 3

1.1 Latar Belakang............................................................................................................ 3

1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................... 4

1.3 Tujuan Penulisan....................................................................................................... 4

BAB II................................................................................................................................................. 6

PEMBAHASAN............................................................................................................................ 6

2.1 Apa pendekatan yang diperlukan dalam studi budaya tuli ini ?............6

2.2 Bagaimana pelayanan pendidikan yang tepat bagi penyandang tuli


saja ataupun penyandang tuli dengan disabilitas ganda ?...................................7

2.3 Kurikulum Keterampilan apa saja yang diperlukan dalam pelayanan


pendidikan bagi penyandang tuli baik tunggal ataupun ganda ?......................8

BAB III............................................................................................................................................. 10

PENUTUP................................................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................... 11
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Studi budaya tunarungu, tentang orang-orang Tuli, cara hidup mereka,
dan sejarah mereka, antara lain, dapat dilihat sebagai bagian dari bidang
studi tertentu, yang oleh Banks (2003) disebut sebagai studi etnis atau
budaya (termasuk studi perempuan). Studi Chicano yaitu, untuk
beberapa nama). Pelajar tunarungu dan tunarungu, terlepas dari
penempatan akademis mereka-perumahan/sekolah harian, kelas
mandiri, atau ruang sumber daya-memiliki hak dan kebutuhan untuk
mengetahui warisan Tunarungu mereka. Penyandang tunarungu tidak
memandang diri mereka sebagai penyandang disabilitas sebaliknya,
mereka mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari kelompok
minoritas bahasa dan budaya, komunitas Tuli. Selain identitas
Tunarungu mereka, orang Tunarungu sering juga merujuk pada budaya
rumah tempat mereka dilahirkan, misalnya, Xhosa atau budaya Yahudi,
yang akan tercermin dalam bahasa tambahan dan kelompok
masyarakat yang mungkin mereka kenali. Dengan demikian jelaslah
bahwa identitas budaya itu kompleks dan setiap individu memiliki lebih
dari satu titik acuan budaya. Ketika membahas kebutuhan pembelajar
tunarungu dan tunarungu, ada banyak perspektif dan perlu ditangani.

Budaya adalah pola makna yang diwujudkan dalam bentuk simbolik,


termasuk tindakan, ujaran dan objek bermakna dari berbagai jenis,
berdasarkan individu berkomunikasi satu sama lain dan berbagi
pengalaman, konsepsi dan keyakinan (Geertz dalam Storbeck &
Magongwa (2006 )

Dari pengertian dua istilah diatas kami dapat menemukan arti dari
budaya tuli yaitu cara orang Tunarungu memahami pengalaman mereka
dan sumber daya yang mereka gunakan untuk melakukan ini. Namun,
semakin banyak kita belajar tentang penyandang tunarungu, komunitas
tunarungu, dan implikasi ketulian dalam konteks individu, semakin kita
menyadari bahwa menjawab pertanyaan ini adalah tugas yang sangat
kompleks. ditransmisikan sebagian besar melalui “tradisi lisan” (melalui
bahasa isyarat) dari satu generasi penyandang tunarungu ke generasi
berikutnya. Orang tuli terlibat dalam mendongeng, pertunjukan, dan
banyak bentuk transmisi budaya lainnya melalui media bahasa isyarat.
Kisah-kisah yang mereka ceritakan adalah bagian dari sastra
Tunarungu, yang merupakan kunci identitas dan budaya orang
Tunarungu. Kisah-kisah ini adalah pengalaman hidup yang umum
(paling sering tentang penindasan dan marginalisasi) yang dibagikan
oleh orang-orang Tunarungu di seluruh dunia. Kita perlu mengenali dan
memahami bagaimana komunitas Tunarungu (dan setiap individu unik)
berinteraksi dengan komunitas lain, terutama ketika mereka memiliki
keanggotaan yang sama.

Memelajari budaya tuli kami pilih dengan motivasi ingin lebih mengenal
skill kehidupan dan bagaimana keterampilan sosial pada anak
tunarungu dengan ketunaan ganda. Kami juga ingin mengedukasi
beberapa masyarakat terutama bagi para pendidik ataupun pengajar
agar mampu memberikan pelayanan pendidikan yang baik dan
maksimal bagi anak tunarungu ataupun anak tunarungu dengan
disabilitas ganda.

Makalah ini seluruhnya dibuat dengan refrensi dari buku Deaf Learners
Developments in Curriculum and Instruction dengan Donald F. Moores
and David S. Martin sebagai editor. Buku ini diambil dari berbagai
penelitian dengan beberapa scientist ahli. Makalah ini diambil dari
halaman 113-144 dengan judul Teaching About Deaf Culture yang ditulis
oleh Claudine Storbeck & Lucas Magongwa.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah pada makalah kami adalah sebagai berikut.

1. Apa pendekatan yang diperlukan dalam studi budaya tuli ini ?


2. Bagaimana pelayanan pendidikan yang tepat bagi penyandang tuli
saja ataupun penyandang tuli dengan disabilitas ganda ?
3. Bagaimana keterampilan penyandang tuli baik tunggal ataupun
ganda dalam berbagai aspek ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Memberikan pemahaman kepada pembaca seputar budaya anak tuli
tunggal ataupun anak tuli dengan disabilitas ganda.
2. memberikan referensi kepada pendidik terutama guru pendampin
dalam meberikan pelayan pendidikan pada anak tuli.
3. Mengetahui beberapa aspek keterampilan dari anak tuli.
4. Menyajikan isi buku Deaf Learners Developments in Curriculum and
Instruction secara terurut dan dengan struktur yang lebih ringkas
dan mudah dipahami.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Apa pendekatan yang diperlukan dalam studi budaya tuli ini ?
Saat hendak memelajari budaya tuli hendaknya kita memiliki strategi
pendekatan. Seperti, pendekatan kontribusi, pendekatan aditif,
pendekatan transformasi, dan pendekatan aksi sosial. Dari keempat
pendekatan tersebut masing-masingnya memiliki definisinya masing-
masing yang kemudian dapat diterapkan pada pembelajaran budaya
tunarungu. Berikut penjelasannya.

Pendekatan Kontribusi

Pendekatan ini dapat menjadi langkah pertama yang penting dalam


penciptaan kesadaran tunarungu.

Pendekatan Aditif

Pendekatan kedua memungkinkan model peran, teks, dan tuntutan


Tunarungu yang sesuai secara budaya untuk dimasukkan dalam
kurikulum reguler. Dalam seni dan sastra, contoh seni tuli, puisi tuli, dan
sastra lainnya dapat dimasukkan, serta perbandingan puitis antara rima
lisan dan visual. Cara lain untuk memasukkan kurikulum umum dengan
budaya Tunarungu adalah dengan memasukkan contoh-contoh
Tunarungu dalam masalah matematika dan akuntansi. Drama dan
publikasi sekolah perlu menyertakan adaptasi yang sesuai seperti
lampu yang berkedip, alfabet bahasa isyarat, dan sebagainya.

Pendekatan Transformasi
Pendekatan ini pada dasarnya berbeda dari dua pendekatan
sebelumnya dalam hal “bukan penambahan daftar panjang kelompok
etnis, pahlawan dan kontribusi, tetapi masuknya berbagai perspektif,
kerangka acuan, dan konten dari berbagai kelompok yang akan
memperluas wawasan siswa. Pemahaman tentang sifat, perkembangan
dan kompleksitas masyarakat” (Baker, 1994, 208). Pendekatan ini
adalah yang pertama secara langsung menantang pendekatan dikotomis
dan hierarkis terhadap budaya-kita vs mereka budaya kita vs budaya
mereka, dan memperkenalkan peserta didik pada beragam perspektif
dan wawasan.

Pendekatan Aksi Sosial

Mereka diberikan masalah sosial, seperti prasangka terhadap


penyandang tunarungu di tempat kerja atau diskriminasi di sekolah,
dan didorong untuk terlibat secara kritis dengan masalah tersebut,
melakukan penelitian, “menganalisis nilai dan keyakinan mereka,
mensintesis pengetahuan dan nilai mereka, dan mengidentifikasi
alternatif rangkaian tindakan, dan akhirnya memutuskan tindakan apa,
jika ada, yang akan mereka ambil” untuk mengatasi masalah yang
bersangkutan (Banks, 1994, hlm. 209). Pendekatan aksi sosial akan
mengharuskan siswa untuk merefleksikan keyakinan mereka dan nilai-
nilai dari komunitas yang menekan, dan mengidentifikasi tindakan yang
harus diambil. Selain itu, salah satu tantangan terbesar dengan
mengubah kurikulum dengan cara ini adalah integrasi mata pelajaran
ke dalam budaya sekolah total melalui guru (dan kepala sekolah dan
administrator) yang mengakui dan mengakui efek sistem kepercayaan
mereka sendiri terhadap transformasi.
2.2 Bagaimana pelayanan pendidikan yang tepat bagi penyandang tuli saja
ataupun penyandang tuli dengan disabilitas ganda ?
Untuk yang pertama kami akan membahas secara umum maksudnya,
membahas pelayanan pendidikan yang diperlukan anak tunarungu
dengan disabilitas tunggal. Anak tunarungu dalam pelayanan
pendidikan membutuhkan beberapa alat bantu seperti, papan kalimat,
kartu angka dan lain-lain. Lalu bagaimana dengan kurikulumnya?.

Guru kurikulum membutuhkan pengetahuan dan memahami nilai-nilai


mereka miliki dan keyakinan dengan baik sebagai prasangka mereka
milik , stereotip (penilaian terhadap seseorang), dan kesalah pahaman,
karena "nilai-nilai dan perspektif ini menengahi dan" berinteraksi
dengan apa yang mereka ajarkan dan mempengaruhi cara pesan
dikomunikasikan dan dirasakan oleh siswa mereka” .

Untuk pelayanan pendidikan pada anak tunarungu disabilitas ganda


ditambah kebutuhan pendidikan yang terkait dengan satu atau lebih
disabilitas tambahan. Anak tunarungu dengan disabilitas ganda
membutuhkan jenis pengalaman dan interaksi yang sama yang
dibutuhkan semua anak untuk memperoleh sistem seperti itu (Ewing &
Jones, 2003). Dimana dalam memfasilitasi komunikasi dan penguasaan
keterampilan bahasa mereka, bagaimanapun membutuhkan
penyesuaian pengalaman untuk mengakomodasi kebutuhan setiap
siswa yang sangat unik. Ini berarti menggunakan modalitas selain
penglihatan, modalitas utama yang digunakan untuk mengajar anak-
anak tunarungu, karena kecacatan anak lainnya seperti autisme,
gangguan penglihatan, cerebral palsy, gangguan kognitif, atau cidera
otak dapat mengganggu pemrosesan informasi yang disajikan melalui
saluran penglihatan ( Jones & Jones, 2003). Dalam banyak kasus,
menggabungkan modalitas dapat memungkinkan anak-anak
penyandang cacat ganda untuk memperoleh keterampilan bahasa
reseptif dan ekspresif.

2.3 Kurikulum Keterampilan apa saja yang diperlukan dalam pelayanan


pendidikan bagi penyandang tuli baik tunggal ataupun ganda ?
Keterampilan Sosial dan Perilaku

Keterampilan sosial dan perilaku (misalnya, persahabatan, keanggotaan


komunitas, bergiliran, mencari dan mendapatkan perhatian, bermain,
kerjasama, transisi, dan keterampilan percakapan) sering diabaikan
untuk anak-anak penyandang cacat ganda. Rubin dan Rose-Krasnor
(1992) menemukan bahwa anak-anak penyandang disabilitas harus
memiliki: akses ke rekan-rekan mereka yang tidak non-disabilitas untuk
mengembangkan keterampilan sosial.

Keterampilan Motorik

Tujuan kurikulum keterampilan motorik anak tunarungu dengan


disabilitas ganda harus menyediakan kegiatan yang memfasilitasi
perolehan keterampilan motorik kasar dan halus yang berfungsi dalam
semua aspek kehidupan sehari-hari mereka. Keterampilan yang tepat
yang akan menjadi fokus kurikulum akan tergantung pada kebutuhan
setiap anak dan modifikasi yang diperlukan untuk cara anak dalam
melaksanakan keterampilan ini. Secara umum, melatih keterampilan
motorik dapat diintegrasikan ke dalam kegiatan lain (Campbell, 1995).
Semua aktivitas melibatkan keterampilan motorik, jadi memadukan
kerja motorik sepanjang hari adalah hal yang wajar. Seperti halnya
melakukan kegiatan menemukan dan kemudian memotong gambar dari
majalah untuk mengilustrasikan sebuah cerita mengintegrasikan
membaca fungsional dan bahasa bersama dengan kerja motorik halus,
kemudian melibatkan teman sekelas membuat kegiatan tersebut
menjadi pengalaman sosial yang sangat baik.

Life Skill (Kemampuan Hidup)

Siswa penyandang disabilitas ganda memerlukan persiapan untuk


kehidupan setelah sekolah, tetapi pendidikan akademis yang khas
mungkin tidak memenuhi kebutuhan mereka. Sebaliknya, mereka dapat
mengambil manfaat dari konten kurikulum yang membahas
keterampilan hidup. Kecakapan hidup mengandung beberapa bidang
utama pembelajaran, termasuk persiapan kejuruan, pendidikan
rekreasi, kehidupan masyarakat, dan pendidikan kesehatan. Kurikulum
kecakapan hidup menumbuhkan kemandirian serta mempersiapkan
siswa untuk kehidupan setelah kelas.

Siswa penyandang disabilitas ganda harus ditawari kesempatan dan


pengalaman rekreasi yang sama seperti rekan-rekan mereka yang tidak
disabilitas. Repertoar rekreasi dan rekreasi yang bervariasi
menawarkan banyak keuntungan bagi siswa, termasuk keterampilan
sosial dan persahabatan yang meningkat, kemandirian, kebugaran fisik,
dan harga diri.
BAB III
PENUTUP
Setiap kelompok masyarakat memiliki budaya sendiri, begitu pula
dengan orang Tuli sebagai kelompok minoritas juga memiliki budaya
yang berbeda dengan orang dengar (non Tuli). Namun, walaupun
sebagai minoritas, mereka (Tuli) juga memiliki unsur-unsur budaya
yang sama dengan mayoritas (non Tuli) seperti: bahasa, sejarah, nilai,
tata perilaku, sistem kepercayaan, tradisi, sistem kemasyarakatan,
perjuangan dan kesenian

Memelajari budaya tuli diperlukan baik secara langsug ataupun dengan


cara membaca buku-buku tentang budaya tuli. Hal ini disebabkan orang
tuli pun juga memiliki hak untuk berketerampilan sosial yang sama
dengan kelompok non tuli. Dan sebagai kelompok non tuli wajib untuk
menghargai hak mereka. Memelajari budaya tuli menjadi suatu
perwujudan dalam menghargai hak keterampilan sosial mereka.

Oleh karena itu, kami berharap makalah yang kami susun ini dapat
membantu masyarakat luas untuk memelajari budaya tuli dengan lebih
mudah karena makalah ini kami susun dengan lebih terurut dan singkat.
Semoga, makalah ini juga bisa membantu banyak lembaga pendidikan
dalam hal memberikan layanan pendidikan anak tunarugu sehingga
dapat mencapai tujuan secara maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
 Storbeck, Claudine dan Magongwa, Lucas. 2006. Teaching About
Deaf Culture. Washington, DC. Gallaudet University Press.
 Nick Palfreyman. 2015. Budaya Tuli Indonesia. Makalah

Anda mungkin juga menyukai