Anda di halaman 1dari 12

DIVERSITAS SOSIO-KULTURAL

DALAM PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

Makalah
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas :
Mata Kuliah : Konsep Dasar Paud-II
Dosen Pengampun : Dr. Dra. Israwati, M.Si

Oleh Kelompok 4 :
Dhiva Nayza Afifah (2006104210039)
Megawati (2006104210038)
Risna Zahara (2006104210023)
Zety Suarizzah (2006104210070)

JURUSAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayahnya kepada kita semua. Sehingga penulis dapat menyusun makalah yang bertemakan
“Diversitas Sosio-Kultural dalam Pendidikan Anak Usia Dini” yang mana makalah ini
merupakan tugas mata kuliah Konsep Dasar Paud. Yang bertujuan agar kita lebih memahami
seputar Diversitas Sosio-Kultural dalam Pendidikan terlebih dalam Psikologi Pendidikan.
Penulis mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan makalah ini, terutama kepada dosen Konsep Dasar Paud-II yaitu Ibu. Dr. Dra.
Israwati, M.Si yang telah membimbing penulis dalam menyusun makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mengalami hambatan seperti, sulitnya
mencari buku-buku referensi untuk menunjang kesempurnaan pembuatan makalah. Penulis
menyadari makalah ini masih memiliki banyak kekurangan, namun penulis berharap semoga
makalah ini dapat bermanfat khususnya bagi penulis sendiri juga bagi para pembaca pada
umumnya. Aamiin.

Banda Aceh, 14 Maret 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................................i

DAFTAR ISI.........................................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................................1

1.1. Latar Belakang.......................................................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah..................................................................................................................1

1.3. Manfaat dan Tujuan....................................................................................................................2

BAB II KAJIAN TEORI......................................................................................................................3

2.1. Pengertian Diversitas Sosio-kultural dalam Pendidikan.............................................................3

2.2. Pendidikan Karakter Berwawasan Sosiokultural........................................................................4

2.3. Konsep Sosiokultural Dalam Pendidikan Anak Usia Dini..........................................................5

BAB III..................................................................................................................................................8

PENUTUP.........................................................................................................................................8

3.1. Simpulan................................................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................9

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Kenyataan ini dapat
dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas.
Keragaman ini diakui atau tidak akan dapat menimbulkan berbagai persoalan, seperti korupsi,
kolusi, nepotisme, kemiskinan, kekerasan, perusakan lingkungan, separatisme, dan hilangnya
rasa kemanusiaan untuk menghormati hak-hak orang lain, multikultural ini pada akhirnya
memunculkan perbedaan-perbedaan secara sosial di kalangan manusia dan perbedaan
tersebut biasa dikenal dengan diversitas.

Secara etimologis, kata diversitas adalah perbedaan, kelainan, dan keberagaman (Pusat
Bahasa (2008 : 336)). Sedangkan secara terminologi, yang dimaksud dengan diversitas
dikemukakan oleh beberapa ahli berikut :

Chun (dalam Santrock : 2008 : 170) menyatakan bahwa Kultur adalah pola perilaku,
keyakinan, dan semua produk dari kelompok orang tertentu yang diturunkan dari satu
generasi ke generasi lainnya. Produk itu berasal dari interaksi antarkelompok orang dengan
lingkungannya selama bertahun-tahun.

Selanjutnya Endarmoko (2009 : 343) menyatakan bahwa Kultur adalah kebudayaan,


peradaban, adat, kebiasaan, nilai, dan tradisi. Lalu Baskoro (2012 : 402) menyatakan bahwa
Kultur adalah kebudayaan. Berdasarkan pendapat dari ahli di atas maka kultur adalah pola
perilaku, keyakinan, kebudayaan, peradaban, adat, kebiasaan, nilai, tradisi, dan semua produk
dari kelompok orang tertentu yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apakah yang dimaksud dengan Diversitas Sosio-kultural dalam Pendidikan
2. Apakah yang dimaksud dengan Pendidikan Karakter Berwawasan Sosiokultural?
3. Apakah yang dimaksud dengan Konsep Sosiokultural Dalam Pendidikan Anak Usia
Dini?

1
1.3. Manfaat dan Tujuan
1. Dapat mengetahui diversitas sosiokultural anak usia dini
2. Dapat mengetahui pentingnya pendidikan karakter sosioskuktural anak usia dini
3. Dapat mengetahui konsep sosiostruktural anak usia dini

2
BAB II
KAJIAN TEORI

2.1. Pengertian Diversitas Sosio-kultural dalam Pendidikan

Secara etimologis, kata diversitas adalah perbedaan, kelainan, dan keberagaman (Pusat
Bahasa (2008 : 336)). Sedangkan secara terminologi, yang dimaksud dengan diversitas
dikemukakan oleh beberapa ahli berikut :

Chun (dalam Santrock : 2008 : 170) menyatakan bahwa Kultur adalah pola perilaku,
keyakinan, dan semua produk dari kelompok orang tertentu yang diturunkan dari satu
generasi ke generasi lainnya. Produk itu berasal dari interaksi antarkelompok orang dengan
lingkungannya selama bertahun-tahun.

Selanjutnya Endarmoko (2009 : 343) menyatakan bahwa Kultur adalah kebudayaan,


peradaban, adat, kebiasaan, nilai, dan tradisi. Lalu Baskoro (2012 : 402) menyatakan bahwa
Kultur adalah kebudayaan. Berdasarkan pendapat dari ahli di atas maka kultur adalah pola
perilaku, keyakinan, kebudayaan, peradaban, adat, kebiasaan, nilai, tradisi, dan semua produk
dari kelompok orang tertentu yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya.

Jadi, diversitas sosio-kultural secara makna kata dapat diartikan dengan perbedaan-
perbedaan yang terdapat di dalam masyarakat khususnya, mengenai sosial dan budaya
masyarakat.
Dalam perspektif pendidikan, diversitas sosiokulutral sangat menarik untuk dikaji
karena, kebhinekaan yang terdapat dalam masyarakat merupakan potensi yang luar biasa
untuk pelaksanaan pembangunan, namun seiring dengan itu juga sebuah gunung es yang bisa
sewaktu-waktu akan meledak dan memicu konflik horizontal yang akan mencerai beraikan
tatanan kehidupan sosial masyarakat. Kekerasan pada etnis cina di Jakarta pada bulan mei
1998 dan perang antar agama di Maluku Utara pada tahun 1999-2003 dan Poso, perang etnis
antara suku Dayak dan Madura tahun 2000 telah menyebabkan kurang lebih 2000 nyawa
melayang sia-sia, beberapa contoh konkrit disamping yang dihadapi sekarang ini seperti
korupsi, kolusi, nepotisme, premanisme, perseteruan politik, kemiskinan, kekerasan,
separatism, pengrusakan lingkungan dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu
menghargai hak-hak orang lain adalah bentuk nyata akibat dari diversitas sosiokultural

3
tersebut. Dengan demikian, keragaman ini diakui atau tidak akan menimbulkan berbagai
macam persoalan.
Dengan demikian dapat dilihat peran berbagai pihak sepanjang kehidupan manusia
dalam perkembangan identitas gender. Keluarga merupakan pihak pertama dan terpenting di
dalamnya. Keluarga adalah tempat dimungkinkannya perubahan peran dan pemaknaan
gender. Selanjutnya guru atau pendidik, teman sebaya menjadi pihak kedua yang penting
dalam perkembangan identitas gender seseorang.

2.2. Pendidikan Karakter Berwawasan Sosiokultural


Sociocultural mengatur tingkah laku seseorang dalam kelompok, membuat seseorang
sensitif terhadap status, dan membantunya mengetahui apa yang diharapkan orang lain
terhadap dirinya dan apa yang akan terjadi jika tidak memenuhi harapan-harapan mereka.
Sociocultural membantu seseorang untuk mengetahui seberapa jauh dirinya dapat berperan
sebagai individu dan apa tanggung jawab dirinya terhadap kelompok. Sosiokultural
(sociocultural) juga didefinisikan sebagai gagasan-gagasan, kebiasaan, keterampilan, seni,
dan alat yang memberi ciri pada sekelompok orang tertentu pada waktu tertentu.
Sosiokultural adalah sebuah sistem dari pola-pola terpadu yang mengatur perilaku manusia
(Condon 1973: p.4). Kenyataan bahwa tak ada masyarakat yang ada tanpa sebuah sosial-
budaya menggambarkan perlunya sosiokultural untuk memenuhi kebutuhan psikologi dan
biologis tertentu pada manusia. Sosiokultural menentukan, bagi masing-masing orang,
sebuah konteks tingkah laku afektif dan kognitif, sebuah template untuk kehidupan sosial dan
perseorangan. Namun, seseorang cenderung merasakan kenyataan dalam konteks social-
budayanya sendiri. Dengan demikian jelas bahwa sosio-kultural, sebagai kondisi manifestasi
perilaku yang mendarah daging dan mode dari persepsi, menjadi sangat penting dalam
sebuah entitas atau kelompok tertentu. Karakter adalah bagaian dari sosial budaya, dan social
budaya adalah bagian dari sebuah karakter. Kedua hal ini berjalin dengan erat sehingga
seseorang tidak dapat memisahkan keduanya tanpa kehilangan arti dari keduanya tersebut.
Untuk itu, di dalam pendidikan karakter seseorang harus menyertakan pula kondisi social
budaya yang dimiliki. Robinson-Stuart dan Nocon (1996) mengumpulkan dan menyatukan
beberapa perspektif pada pembelajaran karakter berwawasan sosial budaya yang dilihat
dalam beberapa dekade terakhir ini. Mereka mengamati bahwa gagasan pembelajaran
karakter dengan sedikit atau tanpa pengertian yang mendalam mengenai norma-norma dan
pola-pola sosial-budaya dari beberapa komunitas. Perspektif yang lain adalah dugaan bahwa

4
suatu pendidikan karakter dapat menghadirkan kodisi social budaya tertentu sebagai sebuah
“facta”. Robinson-Stuart dan Nocon mengusulkan bahwa para pelajar bahasa menjalani
pembelajaran social budaya sebagai sebuah "proses, yaitu, sebagai cara merasakan,
menafsirkan, menafsirkan perasaan, berada di dunia, dan berhubungan dengan di mana
seseorang berada dan dengan siapa seseorang bertemu" (dalam Brown 2000). Pembelajaran
karakter berwawasan sosial budaya adalah suatu proses pembagian makna di antara
perwakilan-perwakilan kehidupan sosial budaya tertentu. Hal ini bersifat pengalaman, sebuah
proses pembelajaran karakter yang terus-menerus bertahun-tahun, dan menembus secara
mendalam pada pola-pola pikir, perasaan dan tindakan seseorang. Sosial budaya sebenarnya
adalah bagian integral suatu interaksi antara budaya dan pemikiran. Pola budaya kognitif dan
kebebasan terkadang diisyaratkan secara ekplisit dalam tindakan, contoh gaya prilaku akan
menjadi faktor penentu budaya tertentu. Wilhem Von Humdalk (1767-1835) yang mengklaim
bahwa social budaya membentuk karakter seseorang. Pendekatan yang sebenarnya
menggambarkan sebagian apa yang dipresentasikan pada buku, isu, penemuan, kesimpulan,
dan prinsip pembelajaran dan pengajaran karakter, prinsipnya adalah: a) Motivasi dari dalam
merupakan dorongan utama untuk belajar, b) percaya diri merupakan awal yang penting
untuk keberhasilan, c) karakter dan budaya merupakan suatu jalinan.

2.3. Konsep Sosiokultural Dalam Pendidikan Anak Usia Dini


a. Konsep Sosiokultural
Teori belajar sosio-kultural berangkat dari penyadaran tentang betapa pentingnya
sebuah pendidikan yang melihat proses kebudayaan dan pendidikan yang tidak bisa
dipisahkan. Pendidikan dan kebudayaan memiliki keterkaitan yang sangat erat, di mana
pendidikan dan kebudayaan berbicara pada tataran yang sama, yaitu nilai-nilai. Jalan pikiran
seseorang dapat dimengerti dengan cara menelusuri asal usul tindakan sadarnya dari interaksi
sosial (aktivitas dan bahasa yang digunakan) yang dilatari sejarah hidupnya.
Peningkatan fungsi-fungsi mental bukan berasal dari individu itu sendiri melainkan
berasal dari kehidupan sosial atau kelompoknya. Kondisi sosial sebagai tempat penyebaran
dan pertukaran pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai sosial budaya. Anak-anak
memperoleh berbagai pengetahuan dan keterampilan melalui interaksi sehari-hari baik
lingkungan sekolah maupun keluarganya secara aktif.
Melihat kondisi bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai budaya, Syamsul Ma`arif
(2005: 90) berpendapat bahwa masyarakat yang harus mengekspresikan pendidikan

5
kebudayaan adalah masyarakat yang secara obyektif memiliki anggota yang heterogenitas
dan pluralitas. Hal ini dikarenakan bangsa Indonesia yang masyarakatnya terdiri dari berbagai
macam ras, suku, budaya, bangsa, dan agama dirasa penting untuk menerapkan pendidikan
sosio-kultural. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa dengan masyarakat Indonesia yang
beragam inilah seringkali menjadi penyebab munculnya berbagai macam konflik.
Setidaknya ada beberapa alasan kenapa Pendidikan anak usia dini harus berdasarkan
nilai-nilai sosio-kultural:
1. Pentingnya menghargai budaya sejak dini dalam pendidikan ini karena dorongan yang
timbul dalam diri manusia sadar ataupun tidak sadar adalah hasil kebudayaan dimana
pribadi itu hidup. H.A.R Tilaar (2002: 51) mengutip pendapat yang disampaikan John
Gillin perkembangan kepribadian manusia dalam kebudayaan dilihat dari pandangan
behaviorisme dan psikoanalitis
2. Kebudayaan memberikan kondisi yang disadari dan yang tidak disadari untuk belajar
3. Kebudayaan mendorong secara sadar ataupun tidak sadar akan reaksi-reaksi kelakuan
tertentu.
4. Kebudayaan mempunyai sistem “reward and punishment”, terhadap kelakuan-
kelakuan tertentu. Setiap kebudayaan akan mendorong setiap kelakuan yang sesuai
dengan sistem nilai dalam kebudayaan tersebut dan sebaliknya memberikan hukuman
terhadap kelakuan-kelakuan yang bertentangan atau atau mengusik ketentraman hidup
suatu masyarakat budaya tertentu.
5. Kebudayaan cenderung mengulang bentuk-bentuk kelakuan tertentu melalui proses
belajar.

Penyadaran kepada peserta didik bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang
majemuk, multikultur, multietnik, multireligi merupakan sebuah keniscayaan dan sangat
esensial dalam pendidikan di Tanah Air. Hal ini akan memberikan pengalaman anak tentang
bagaiman hidup bersama dengan orang/individu/kelompok yang berbeda. Ketika anak tidak
terbiasa dengan heterogenitas budaya, ia cenderung tertutup dan lebih suka berinterkasi
dengan sesama kelompoknya saja. Anak-anak ini dalam perkembangannya akan lebih suka
paradigma ekslusif dan cenderung menolak perbedaan yang ada (Vygotsky, 2007: 237).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, pendidikan nilai-nilai sosio-
kultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap
keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Adanya pendidikan

6
sosio-kultural, pendidikan tidak sekedar merekatkan kembali nilai-nilai persatuan, kesatuan,
dan berbangsa di era global seperti saat ini, tetapi juga mencoba untuk mendefinisikan
kembali rasa kebangsaan itu sendiri dalam menghadapi benturan berbagai konflik sosial
budaya, ekonomi, dan politik dalam era global. Dengan kata lain, diterapkannya pendidikan
sosio-kultural ini, diharapkan segala bentuk diskriminasi, kekerasan, dan ketidakadilan yang
sebagian besar dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan kultural, seperti perbedaan agama,
ras, etnis, bahasa, gender, umur, dan kelas sosial-ekonomi dapat diminimalkan. Agar tujuan
pendidikan sosio-kultural ini dapat dicapai, maka diperlukan adanya peran dan dukungan dari
guru/tenaga pengajar, institusi pendidikan, dan para pengambil kebijakan pendidikan lainnya,
terutama dalam penerapan kurikulum dengan pendekatan multikultural.
Lebih lanjut, guru harus menjadi asimilator dan akamodator. Guru sebagai asimilator
dikarenakan di dalam suatu kelas bisa saja terdiri dari siswa yang berasal dari etnik dan
budaya yang beragam. Untuk itu, guru berperan mengakomodir perbedaan yang berpotensi
menimbulkan perpecahan (Domnwachukwu, 2010: 5-8). Selanjutnya, fungsi guru sebagai
akamodator adalah memfasilitasi semua peserta didik yang berbeda-beda. Karena peserta
didik memiliki kemampuan dan keinginan yang beragam. Bahkan, guru harus dapat
memenuhi kebutuhan peserta didik yang berkebutuhan khusus (Rohman, 2016: 144-145).
Dengan demikian, asimilasi budaya dapat terjadi dalam lingkungan kelas

7
BAB III
PENUTUP

3.1. Simpulan
Pendidikan karakter berwawasan sosiokultural (Sociocultural Based Character
Education) menjadi salah satu solusi alternative bagi pelaksanaan pendidikan karakter
sesuai dengan keunggulan sosial budaya daerah setempat dalam mengantisipasi,
menanggulangi, dan mencegah dekadensi moral dan karakter anak bangsa, dan hal ini
juga sejalan dengan fungsi pendidikan nasional yaitu mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan untuk mengembangken potensi peserta didik
agar menjadi manusia manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Selain itu juga diarahkan untuk
membentuk watak atau karakter bangsa Indonesia, sehingga mampu menjadi bangsa
yang beradab dan bermartabat luhur serta mampu menjadi bangsa yang memiliki
keunggulan tertentu dibanding bangsa-bangsa lain. Sesuai uraian tersebut, maka
keluaran institusi pendidikan atau lembaga sekolah seharusnya mampu menghasilkan
orang-orang yang pandai dan baik dalam arti yang luas, dimana pendidikan untuk
membuat anak pandai dan juga mampu menciptakan nilai-nilai luhur sesuai dengan
karakter bangsa. Sehingga penting kiranya menanamkan nilai-nilai luhur atau karakter
dimulai sejak usia sekolah dasar/dini. Manfaat yang diharapkan dalam kajian ini
meliputi; manfaat teoretis dan manfaat praktis.

DAFTAR PUSTAKA

8
Jahidi, I. (2004). Gender Mainstreaming di Bidang Pendidikan: Antara Peluang dan
Tantangan. Jurnal Mimbar , 327-341.
Jhon W, S. (2012). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Salemba Humanika.
Syam, N. W. (2012). Psikologi Sosial Sebagai Akar Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa
Rekatama Media.

Anda mungkin juga menyukai