Anda di halaman 1dari 5

PERTEMUAN KE -3

TEORI PERDAGANGAN INTERNASIONAL ( LANJUTAN)

Tujuan Instruksional Khusus

Setelah membaca dan mempelajari bab ini diharapkan para mahasiswa/i mampu
memahami dengan baik tentang :

1. Teori Neoklasik dalam Perdagangan Internasional


2. Penyempurnaan teori Klasik oleh Teori Neoklasik
3. Teori Modern dalam perdagangan Internasional
4. Kritik terhadap Teori Heckcher-Ohlin

Teori klasik dan neoklasik mempunyai arti penting dalam perdagangan internasional
karena perdagangan sudah menjadi isu penting sejak zaman para filsuf yang
mempermasalahkan apakah perdagangan itu secara moral diterima atau tidak. Perdagangan
atau pertukaran memiliki arti khusus dalam ilmu ekonomi. Perdagangan diartikan sebagai
proses tukar menukar yang didasarkan atas kehendak sukarela dari masing-masing pihak.

1. Teori Neoklasik dalam Perdagangan Internasional


Teori perdagangan telah mengubah dunia menuju globalisasi dengan lebih cepat.
Pemikiran kaum klasik telah mendorong diadakannya perjanjian perdagangan bebas antara
beberapa negara. Teori comparative advantage telah berkembang menjadi dynamic
comparative advantage yang menyatakan keunggulan komparatif dapat diciptakan.
Globalisasi merupakan hal yang tidak terhindarkan lagi. Mau tidak mau seluruh negara
termasuk Indonesia harus siap menghadapinya.
Teori mazhab neoklasik membawa pada perubahan pandangan tentang ekonomi
dalam teori maupun dalam metodologinya. Teori nilai tidak lagi didasarkan pada nilai tenaga
kerja atau biaya produksi tetapi beralih pada kepuasan marginal (marginal utility).
Pendekatan ini merupakan pendekatan yang baru dalam teori ekonomi. Salah satu pendiri
mazhab neoklasik yaitu Gossen, dia memberikan sumbangan dalam pemikiran ekonomi yang
kemudian disebut “hukum Gossen I dan II”. Hukum Gossen I menjelaskan hubungan
kuantitas barang yang dikonsumsi dan tingkat kepuasan yang diperoleh, sedangkan hukum
Gossen II menyatakan bahwa, bagaimana konsumen mengalokasikan pendapatannya untuk
berbagai jenis barang yang diperlukannya. Selain Gossen, Jevons, Menger juga
mengembangkan teori nilai dari kepuasasan marginal. Jevons berpendapat bahwa perilaku
individulah yang sangat berperan dalam menentukan nilai barang. Selain itu perbedaan
preferences juga menimbulkan perbedaan harga, sedangkan Menger menjelaskan teori nilai
dari orde berbagai jenis barang, menurut dia nilai suatu barang ditentukan oleh tingkat
kepuasan terendah yang dapat dipenuhinya. Dengan teori orde barang ini maka tercakup
sekaligus teori distribusi.
Kelebihan ekonomi neoklasik dalam perdagangan internasional adalah : (1)
terwujudnya efisiensi yang seluas-luasnya, (2) menghasilkan berbeda-beda barang yang dapat

1
dijual di pasar, dan (3) kaum neoklasik mengatakan bahwa, baik perdagangan internasional
maupun aliran modal internasional cenderung untuk meratakan distribusi pendapatan di
dalam suatu negara maupun antar negara. Sebaliknya kelemahan makroekonomi neoklasik,
yaitu; (1) perilaku aparat atau penguasa yang menginginkan imbalan yang tinggi atas
kebijakan yang dikeluarkannya dan (2) ketimpangan social dan pengangguran, karena
pencapaiannya hanya mengandalkan efisiensi tanpa mempertimbangkan etika dan moral
Ada tiga asumsi dasar dalam ekonomi neoklasik : (1) orang-orang senantiasa
bertindak rasional, (2) individu dan perusahaan memaksimalkan utilitas atau laba, dan (3)
individu berperilaku secara independen dan dengan formasi lengkap. Salah satu manfaat
utama dari ekonomi neoklasik adalah membantu untuk menjelaskan bagaimana menetapkan
harga dan kuantitas yang dihasilkan dalam perekonomian. Dengan memperkenalkan individu
sebagai utilitas memaksimalkan agen dalam perekonomian, teori ini dapat menjelaskan
mengapa harga naik akibat terjadi kekurangan atau bagaimana monopoli membatasi supplai
untuk memaksimalkan keuntungan.

2. Penyempurnaan Teori Klasik oleh Neoklasik


Menurut Nassau William Senior, bahwa ia tidak setuju dengan pendapat bahwa tingkat
upah berupa uang yang tinggi akan menjadi penghambat perdagangan antarnegara.
Alasannya adalah apabila tenaga kerja pada industry-industri barang ekspor itu lebih
efisien/produktif dibandingkan dengan tenaga keraj serupa di luar negeri, maka tingkat upah
di negara itu akan menjadi leboh tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain dan
sebaliknya (vice versa).
John Elliot Cairnes juga sependapat dengan Senior bahwa tingkat upah dalam uang
yang tinggi tidak menghambat perdagangan antar negara, bahkan kerap mendorong lajunya
ekspor karena biasanya upah yang tinggi adalah petunjuk adanya industry-industri barang
ekspor yang efisien. Tokoh neoklasik lain yang juga beursaha memperbaiki teori klasik
adalah F.W Tussig, ia menjelaskan tentang teori biaya komparatif (biaya relative) yaitu suatu
negara akan mengekspor barang-barang yang harganya atau ongkosnya di dalam negeri
rendah (relative terhadap barang-barang yang serupa di luar negeri) dan mengimpor barang-
barang yang harganya atau ongkosnya relative tinggi seandainya barang-barang itu harus
dihasilkan sendiri. Baginya ongkos produksi hanya terdiri dari upah dan bunga. Ongkos
untuk bahan mentah sebenarnya juga terdiri dari ongkos tenaga kerja (upah) dan bunga, oleh
karena itu tidak boleh dimasukkan sebagai ongkos tersendiri. Demikian pula ongkos-ongkos
lain seperti alat-alat, sewa dan sebagainya. Kemudian ia menyatakan bahwa penambahan
bunga ke dalam ongkos produksi- yang menurut kaum klasik hanya terdiri atas ongkos tenaga
kerja saja-tidak mempengaruhi situasi biaya komparatif masing-masing negara atau jalannya
perdagangan internasional.
Upah riil merupakan pencerminan dari produktivitas tenaga kerja. Upah nominal yang
tinggi tidak mesti berarti bahwa harga barang-barang juga tinggi. Bisa tinggi atau bisa rendah
tergantung dengan produktivitas tenaga kerja. Selanjutnya Taussig memberi contoh mengenai
kemungkinan terjadinya perdagangan antarnegara dalam keadaan masing-masing memiliki:
1. Perbedaan mutlak dalam ongkos produksi barang-barang yang akan
diperdagangkan (absolute difference in cost)
2. Perbedaan komparatif dalam ongkos produksi (comparative difference in costs)

2
3. Perbedaan-perbedaan yang sama dalam ongkos produksi (equal difference in costs).
Ini sifatnya hanya sementara saja karena bila berlangsung lebih lama akan
merugikan kedua negara yang berdagang.

3. Teori Modern dalam perdagangan Internasional


Teori modern dalam perdagangan internasional dicetuskan pertama kali oleh Berthil
Ohlin pada 1933 yang sebagiannya berdasarkan tulisan gurunya, yaitu Eli Heckscher pda
1919. Dengan demikian, pelopor teori modern dalam perdagangan internasional dikenal
sebagi teori H-O (Heckscher-Ohlin). Perdagangan internasional perkembangannya maju
pesat sejak pertengahan abad ke -19 sampai permulaan abad ke 20 terutama di negara-negara
Eropa. Aktivitas perdagangan dunia pada gilirannya berimbas kepada sebagian benua lainnya
seperti di Amerika, Asia, Afrika, Australia, bahkan sampai Selandia Baru.
Landasan teori klasik jelas memberi jalan bagi kelangsungan perdagangan
antarnegara berdasarkan spesialisasi dalam produksi komoditas yang menguntungkan untuk
diekspor. Negara-negara dan/atau daerah-daerah tropis yang berlimpah tenaga kerja akan
berspesialisasi untuk memproduksi dan mengekspor komoditas-komoditas primer, sedangkan
negara-negara subtropics yang kaya akan modal berusaha berspesialisasi memproduksi dan
mengekspor komoditas-komoditas industry. Berdasarkan alasan inilah H-O mengemukakan
konsepsinya yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Perdagangan internasional atau perdagangan antarnegara adalah identic dengan
perdagangan antardaerah. Bedanya terletak pada masalah jarak. Atas dasar
inilah, maka H-O menolak asumsi tentang ongkos transportasi diabaikan seperti
yang diajukan dalam teori klasik
2. Barang-barang yang diperdagangkan antarnegara tidak didasarkan pada
keunggulan alamiah atau keunggulan teknologi atau keuntungan yang
diperkembangkan (natural and acquired advantages) dari teori Adam Smith,
tetapi dasar proposi dan intensitas faktor-faktor produksi yang digunakan untuk
menghasilkan sesuatu barang.
Namun ada dua gejala keadaan yang bertentangan dengan teori H-O, dua gejala ini
adalah:
a. Kenyataan bahwa volume perdagangan antara kelompok negara sedang
berkembang dengen kelompok negara industry adalah lebih kecil daripada
volume perdagangan antara negara-negara industry sendiri. Ini mengherankan.
Atas dasar teori H-O kita seharusnya mengharapkan sebaliknya, sebab pola
factor-endowment negara-negara industry (lebih banyak capital) tentulah sangat
berbeda dengan pola factor endowment negara-negara yang sedang berkembang
(lebih banyak tenaga kerja) sehingga kemungkinan pertukaran seharusnya lebih
besar.
b. Hasil penelitian dari ekonom Wassily Leontief dari Universitas Harvard
mengenai pola perdagangan Amerika Serikat. Ia mengemukakan sesuatu yang
juga mengherankan yaitu bahwa secara umum barang-barang yang diekspor
Amerika Serikat adalah lebih padat karya daripada barang-barang yang
diimpornya. Ini adalah kesimpulan yang tidak diharapkan mengingat bahwa

3
Amerika Serikat terkenal sebagai negeri yang kaya akan faktor produksi capital,
penemuan ini kemudian dijuluki sebagai paradox Leontief.
Menurut ahli ekonom, bahwa kedua paradox tesebut sebenarnya tidak bertentangan
dengan teori H-O. Kuncinya adalah bahwa kita harus merinci lebih lanjut faktor produksi
tenaga kerja dan capital. Dalam kenyataannya ada berbagai macam tenaga kerja dan ada
berbagai macam capital. Di samping itu harus dipisahkan pula unsur kekayaan alam dan
teknologi (unsur teknologi seringkali tercampur). Di samping itu faktor penting yang tidak
boleh dilupakan adalah tingkat pendapatan di negara-negara industry yang tinggi. Pendapatan
yang tinggi di dalam kelompok ini cenderung disertai oleh tingkat pertukaran yang tinggi
antara negara-negara ini.

4. Kritik terhadap Teori Heckcher-Ohlin


Banyak bukti empiris yang menolak pandangan bahwa perbedaan dalam
kepemilikan sumber daya menjadi faktor penentu munculnya pola-pola tertentu perdagangan
internasional, baik berupa barang maupun faktor produksi. Dalam realitanya, perbedaan
teknologilah yang memiliki peran vital dalam membentuk pola perdagangan dunia.
Namun berdasarkan bukti-bukti yang ada seiring perkembangan teori, maka
muncullah kritik-kritik terhadap teori H-O, sebagai berikut:
1. Berdasarkan teori H-O perbedaan harga barang sejenis dapat terjadi karena
adanya perbedaan proporsi atau jumlah faktor produksi yang dimiliki masing-
masing negara dalam memproduksi barang tersebut, sehingga jika jumlah atau
proporsi faktor produksi yang dimiliki masing-masing negara relative sama
maka harga barang sejenis akan sama pula sehingga perdagangan internasional
sulit terjadi
2. Fakta yang ada dalam dunia nyata menunjukan bahwa walaupun jumlah atau
proporsi faktor-faktor produksi yang dimiliki masing-masing negara relative
sama sehingga harga barang sejenis relative sama ternyata perdagangan
internasional tetap dapat terjadi
3. Teori H-O masih merupakan teori perdagangan internasional comparative static.
Dengan demikian asumsi klasik dan neoklasik yang menganggap hampir semua
besaran variable dalam perekonomian adalah static, tidak berubah atau
diasumsikan exogeneous (perubahan ditentukan di luar model). Fakta yang
terjadi adalah terjadi perubahan secara terus menerus dan perubahannya terjadi
dalam model (endogeneous). Akibatnya aplikasi teori H-O menjadi terbatas atau
tidak dapat diterapkan secara umum.
4. Adanya asumsi dalam teori H-O yang menyatakan bahwa perdagangan
internasional terjadi kerena kedua negara memiliki selera yang sama dibantah
oleh SB Linder. Ekonom pencetus teori Linder dari Swedia. Asumsi ini sudah
tidak relevan lagi untuk saat ini. Dalam teorinya, Linder mengatakan bahwa
selera konsumen dikendalikan tingkat pendapatan, sehingga faktor selera inilah
yang akan menciptakan permintaan. Berebeda dengan teori H-O yeng berbicara
dari sisi penawaran karena fokusnya terletak pada tersedianya sumber daya yang
mendorong suatu negara untuk menghasilkan produk yang diminati. Produk

4
yang diminati itu kemudian diklaim sebagai cerminan dari selera, sehinga dari
sini muncullah ekspor
5. Raymond Vernon mengatakan bahwa teori H-O hanya menjelaskan 40% dari
volume perdagangan internasional, sedangkan fenomena perdagangan negara
maju sebesar 60% belum dijelaskan. Kritik ini akhrinya menimbulkan teori
siklus hidup produksi (product life cycle). Teori ini menitikberatkan adanya
perubahan pada produk yang menghasilkan produk baru serta pengaruhnya
terhadap perdagangan internasional. Dalam teori ini ada tiga tahap siklus
produksi, sebagai berikut : (a). tahap produksi yang baru sebagai produk
perkenalan dan biasanya hanya dinikmatin oleh penduduk dalam negri saja, (b).
tahap pengembangan ditujukan pada produk yang dibuat selain untuk
dikonsumsi sendiri juga dibuat untuk kepentingan ekspor, dan (c) dengan alasan
skala ekonomi, untuk tahap ketiga justru negara yang menjadi pioner penjualan
produk itu yang kemudian mengubah fungsinya dari eksportir ke importer. Dari
sini terihat bahwa teori ini menempatkan comparative advantage yang dinamis
karena suatu negara yang menjadi pengekspor melewati tahapan siklus suatu
produk.

Anda mungkin juga menyukai