Proposal Skripsi
Oleh :
AHMAD RIYADI
1041511002
Penulis
ii
DAFTAR PUSTAKA
HALAMAN DEPAN
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
iii
2.2.9 Sodium Silikat ................................................................................. 17
3.2.1 Bahan............................................................................................... 22
3.3.2.5 Pengujian berat jenis dan penyerapan air agregat kasar buatan .. 34
3.3.2.7 Pengujian keausan agregat kasar dengan mesin Los Angeles ..... 38
DAFTAR PUSTAKA
iv
DAFTAR GAMBAR
v
DAFTAR TABEL
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1
Salah satu usaha yang bisa dilakukan untuk memanfaatkan FABA yaitu
sebagai bahan konstruksi untuk bangunan infrastruktur. Beberapa negara maju
seperti Amerika, Inggris dan Polandia, FABA dimanfaatkan sebagai bahan
material semen, mortar, bahan timbunan dasar jalan, reklamasi bekas tambang,
bendungan, bahan pembuatan batako bahkan agregat kasar buatan (Litbang
ESDM, 2020). Perkembangan infrastruktur di Indonesia bisa menjadi salah satu
upaya dalam memanfaatkan material FABA dalam jumlah yang besar.
Memanfaatkan material FABA sebagai bahan campuran pada pembuatan paving
block merupakan opsi yang tepat dalam menekan angka pencemaran yang akan
ditimbulkan oleh material FABA itu sendiri
Salah satu jenis paving block yang terus dikembangkan saat ini adalah
paving block porous. Salah satu keunggulan jenis paving block adalah
kemampuannya menyerap air dengan sangat baik untuk kemudian di infiltrasi
oleh permukaan tanah dibawahnya. Hal ini dapat mengurangi limpasan
permukaan secara signifikan yang merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya
banjir ataupun genangan. Pada paving block porous ini, FABA berfungsi sebagai
bahan material agregat kasar, bukan sebagai bahan substitusi semen. Agregat dari
FABA yang dimaksud adalah agregat buatan berupa agregat geopolimer.
Geopolimer merupakan jenis material baru yang tersusun dari sintesa bahan –
bahan alam yang banyak mengandug unsur silikon dan alumunium, seperti
FABA. FABA mempunyai kadungan silika dan kapur, dengan kandungan air dan
bentuk partkelnya yang halus, reaksi kimia terjadi antara oksida silika dengan
kalsium hidroksida yang terbentuk dari proses hidrasi semen yang kemudian
menghasilkan zat yang mempunyai kemampuan mengikat (Huda, 2020).
Agregat buatan atau geopolimer untuk campuran beton memerlukan bahan
tambah aditif berupa larutan alkali aktivator dalam pembuatannya sebagai
pengikat unsur partikel bahan agar menjadi suatu gumpalan keras yang berbentuk
agregat kasar. Sampai saat ini belum ada standar komposisi campuran yang pasti,
metode pencampuran dalam menghasilkan agregat geopolimer dari FABA sesuai
standar agregat untuk campuran beton porous. Selain itu, seberapa besar proporsi
campuran optimal agregat geopolimer pada campuran porous paving block juga
belum pernah diteliti secara mendalam. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji
2
komposisi agregat geopolimer FABA dan porporsi campurannya dalam porous
paving block, mengkaji pengaruh komposisi NaOH terhadap kualitas agregat
kasar buatan, yang meliputi jenis gradasi, berat jenis agregat, serta tingkat
keausan paving block porous buatan geopolimer.
3
paving block porous.
2. Efektivitas penggunaan material FABA (Fly Ash dan Bottom Ash) sebagai
agregat kasar buatan dikaji berdasarkan gradasi, berat jenis dan penyerapan
air, kadar air, serta keausan agregat kasar buatan.
3. Bahan Kimia yang digunakan untuk memadatkan material FABA (Fly Ash
dan Bottom Ash) adalah Hidroksida (NaOH) dan Sodium Silikat.
4. Material FABA (Fly Ash dan Bottom Ash) yang digunakan pada penelitian ini
bersumber dari Unit Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Air Anyir.
5. Perbandingan komposisi campuran Fly Ash dan Bottom Ash yang dijadikan
sebagai sampel agregat kasar buatan terdiri atas 50% Fly Ash dan 50%
Bottom Ash untuk semua sampel.
6. Variasi komposisi campuran larutan hanya diterapkan pada larutan Natrium
Hidroksida (NaOH), sementara komposisi campuran larutan Sodium Silikat
di aplikasikan sama untuk semua sampel.
7. Variasi komposisi campuran Natrium Hidroksida (NaOH) terdiri atas 0 Mol
(M), 10 Mol (M), 14 Mol (M), 18 Mol (M).
4
1.7 Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penulisan skripsi, penulis uraikan dalam sistematika
penulisan yang di bagi dalam 5 (lima) pokok bahasan. Sistematika penulisan
dalam skripsi Pemanfaatan FABA (Fly Ash dan Bottom Ash) sebagai Agregat
untuk Pembuatan Paving Block Porous ini sebagai berikut.
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini menguraikan tentang gambaran umum latar belakang, rumusan
masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian
penelitian dan sistematika penulisan.
5
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
Merupakan penutup dari penelitian yang berisi tentang kesimpulan hasil analisis
dan memberikan saran-saran yang berhubungan dengan analisis yang telah
dilakukan.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
7
penelitiaan ini dapat disimpulkan bahwa paving dengan komposisi penggantian
yang telah dilakukan dapat digunakan untuk fungsi pejalan kaki.
Firda dkk (2021) dalam penelitian yang berjudul “Pemanfaatan Limbah
Batubara (Fly Ash) sebagai Material Pengganti Agregat Kasar pada Pembuatan
Beton Ringan”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat sifat material
agregat kasar buatan dari limbah Fly Ash serta pengaruhnya terhadap kuat tekan
beton yang dihasilkan. Fly Ash yang merupakan limbah batubara akan dicampur
dengan bahan kimia resin yang berfungsi sebagai pengikat dan perekat dengan
perbandingan komposisi agregat 60% Fly Ash dan resin 40%. Hasil pengujian
analisa saringan yang dilakukan terhadap agregat kasar buatan tersebut didapat
gradasi agregat kasar adalah jenis kerikil atau koral untuk ukuran maksimum 20
mm dan berat jenisnya adalah 1891 kg/m3 dengan kuat tekan betonnya pada umur
28 hari sebesar 6,85 MPa. atau mengalami penurunan dari beton normal sebesar
10,92 MPa (38,55%). Sehingga disimpulkan bahwa beton dengan campuran
agregat Fly Ash 60% dan resin 40% ini belum dapat digunakan sebagai beton
ringan struktural karena hasil kuat tekannya yang rendah dibanding dengan beton
normal, sehingga hanya dapat digunakan untuk beton ringan non struktural.
Zakaria dan Juniarti (2020) dalam penelitian yang berjudul “Studi Kelayakan
Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash menjadi paving block di PLTU Banten 3
Lontar”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji kelayakan penggunaan
Fly Ash dan Bottom Ash sebagai material utama dalam pembuatan paving block.
Pembentukan Fly Ash dan Bottom Ash menjadi paving block dilakukan dengan
menggunakan bantuan cairan kimia. Berdasarkan uji kuat tekan pada sampel
paving block dengan curing time (waktu tunggu kering) 28 hari, menghasilkan
kekuatan 262.4 kg/cm2, dinyatakan layak sesuai dengan sertifikat No.
02968/ALBAAM.
Adi (2020) dalam penelitian yang berjudul “Analisa Persentase Penambahan
Fly Ash dan Bottom Ash pada Campuran Beton pada Pembuatan Paving Block”.
Tujuan dari penelitian ini adalah bertujuan untuk meningkatkan mutu dalam
campuran beton pada pembuatan paving block dengan menggunakan bahan
tambah Fly Ash dan Bottom Ash. Variasi penggunaan Fly Ash yang digunakan
terdiri atas 2%, 3%, 4%, 5%, 6% dan 7%. Hasil uji dengan menggunakan bahan
8
tambah Fly Ash dapat meningkatkan mutu beton sesuai persyaratan dalam
pembuatan paving block, penggunaan Fly Ash dengan persentase 2% kuat tekan
rata-rata 53,95 - MPa, persentase 3% kuat tekan rata-rata 79,559 MPa, persentase
4% kuat tekan rata-rata 81,396 MPa, persentase 5% kuat tekan rata-rata 85,720
MPa, persentase 6% kuat tekan rata-rata 50,406 MPa. dan persentase tambah Fly
Ash7 % kuat tekan rata-rata 42,277 MPa. Bahan tambah dengan menggunakan
Bottom Ash hanya pada penambahan 2% memenuhi Mutu D hanya dapat
digunakan untuk Taman dengan kategori tidak memikul beban.
9
2.2.2 Abu batubara
Saat ini penggunaan batubara di kalangan industri semakin meningkat,
karena selain harga yang relatif murah juga harga bahan bakar minyak untuk
industri cenderung naik. Penggunaan batubara sebagai sumber energi pengganti
BBM, disatu sisi sangat menguntungkan namun disisi lain menimbulkan masalah,
yaitu abu batubara yang merupakan hasil samping pembakaran batubara. Dari
sejumlah pemakaian batubara akan dihasilkan abu batubara sekitar 2 – 10 %
(tergantung jenis batubaranya, low calory atau hight calory). Sampai saat ini
pengelolaan limbah abu batubara oleh kalangan industri hanya ditimbun dalam
areal pabrik saja (ash disposal) (Faisal, 2011).
Abu batubara adalah bagian dari sisa pembakaran batubara yang berbentuk
partikel halus amorf dan abu tersebut merupakan bahan anorganik yang terbentuk
dari perubahan bahan mineral (mineral matter) karena proses pembakaran. Dari
proses pembakaran batubara pada unit penmbangkit uap (boiler) akan terbentuk
dua jenis abu yaitu abu terbang (Fly Ash) dan abu dasar (Bottom Ash). Komposisi
abu batubara yang dihasilkan terdiri dari 10 – 20 % abu dasar, sedang sisanya
sekitar 80 - 90 % berupa abu terbang. Abu terbang ditangkap dengan electric
precipitator sebelum dibuang ke udara melalui cerobong (Faisal, 2011).
Menurut ACI Committee 226 dalam Faisal (2011), dijelaskan bahwa abu
terbang (Fly Ash) mempunyai butiran yang cukup halus, yaitu lolos ayakan No.
325 (45 mili mikron) 5 – 27% dengan spesific gravity antara 2,15 – 2,6 dan
berwarna abu-abu kehitaman. Abu batubara mengandung silika dan alumina
sekitar 80 % dengan sebagian silika berbentuk amorf. Sifat-sifat fisik abu batubara
antara lain densitasnya 2,23 gr/cm3, kadar air sekitar 4% dan komposisi mineral
yang dominan adalah α-kuarsa dan mullite. Selain itu abu batubara mengandung
SiO2 = 58,75%, Al2O3 = 25,82%, Fe2O3 = 5,30%, CaO = 4,66%, alkali = 1,36%,
MgO = 3,30% dan bahan lainnya = 0,81% (Munir, 2008). Beberapa logam berat
yang terkandung dalam abu batubara seperti tembaga (Cu), timbal (Pb), seng (Zn),
kadmium (Cd), chrom (Cr).
10
2.2.3 Fly Ash
Fly Ash merupakan material yang memiliki ukuran butiran yang halus,
berwarna keabu-abuan dan diperoleh dari hasil pembakaran batubara. Pada intinya
Fly Ash mengandung unsur kimia antara lain Silika (SiO2), alumina (Al2O3), fero
oksida (Fe2O3) dan kalsium oksida (CaO), juga mengandung unsur tambahan lain
yaitu magnesium oksida (MgO), titanium oksida (TiO2), alkalin (Na2O dan K2O),
sulfur trioksida (SO3), posfor oksida (P2O5) dan karbon (Desianti dkk, 2018).
Menurut ASTM C618 dalam Faisal (2011) Fly Ash dibagi menjadi dua kelas
yaitu Fly Ash kelas F dan kelas C. Perbedaan utama dari kedua ash tersebut
adalah banyaknya calsium, silika, aluminium dan kadar besi di ash tersebut.
Walaupun kelas F dan kelas C sangat ketat ditandai untuk digunakan Fly Ash
yang memenuhi spesifikasi ASTM C618, namun istilah ini lebih umum digunakan
berdasarkan asal produksi batubara atau kadar CaO. Yang penting diketahui,
bahwa tidak semua Fly Ash dapat memenuhi persyaratan ASTM C618, kecuali
pada aplikasi untuk beton, persyaratan tersebut harus dipenuhi.
Fly Ash kelas F: merupakan Fly Ash yang diproduksi dari pembakaran batubara
anthracite atau bituminous, mempunyai sifat pozzolanic dan untuk mendapatkan
sifat cementitious harus diberi penambahan quick lime, hydrated lime, atau semen.
Fly Ash kelas F ini memiliki kadar kapur yang rendah (CaO < 10%).
Fly Ash kelas C: diproduksi dari pembakaran batubara lignite atau sub-
bituminous selain mempunyai sifat pozzolanic juga mempunyai sifat self-
cementing (kemampuan untuk mengeras dan menambah kekuatan/strength
apabila bereaksi dengan air) dan sifat ini timbul tanpa penambahan kapur.
Biasanya mengandung kapur (CaO) > 20% (Wardani, 2008 dalam Faisal, 2011).
Beberapa karakteristik Fly Ash antara lain sebagai berikut (Setiawan dkk,
2009).
a. Dari segi gradasinya, jumlah persentase yang lolos dari saringan No. 200 (0,074
mm) berkisar antara 60% sampai 90%.
b. Warna dari Fly Ash dapat bervariasi dari abu- abu sampai hitam tergantung dari
jumlah kandungan karbonnya, semakin terang semakin rendah kandungan
karbonnya.
c. Fly Ash bersifat tahan air (hydrophobic)
11
2.2.4 Bottom Ash
Bottom Ash merupakan bahan buangan dari proses pembakaran batu bara
pada pembangkit tenaga yang mempunyai ukuran partikel lebih besar dan lebih
berat dari pada fly ash, sehingga Bottom Ash akan jatuh pada dasar tungku
pembakaran (boiler) dan terkumpul pada penampung debu (ash hopper) lalu
dikeluarkan dari tungku dengan cara disemprot dengan air untuk kemudian
dibuang atau dipakai sebagai bahan tambahan pada perkerasan jalan. Sifat dari
Bottom Ash sangat bervariasi karena dipengaruhi oleh jenis batubara dan sistem
pembakarannya (Arinata dkk, 2013).
Komposisi kimia dari Bottom Ash sebagian besar tersusun dari unsur unsur
Si, Al, Fe, Ca, serta Mg, S, Na dan unsur kimia yang lain. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Moulton (1973) dalam Arinata (2018), didapat bahwa
kandungan garam dan pH yang rendah dari Bottom Ash dapat menimbulkan sifat
korosi pada struktur baja yang bersentuhan dengan campuran yang mengandung
Bottom Ash. Selain itu rendahnya nilai pH yang ditunjukkan oleh tingginya
kandungan sulfat yang terlarut menunjukkan adanya kandungan pyrite (iron
sulfide) yang besar (Arinata dkk, 2013).
12
mencemari lingkungan karena bersifat asam dan merusak kesuburan tanah
(Pratiwi, 2016 dalam Arinata dkk, 2018)
Secara umum ukuran fly ash dan bottom ash dapat langsung dimanfaatkan
di pabrik semen sebagai substitusi batuan trass dengan memasukkannya pada
cement mill menggunakan udara tekan (pneumatic system). Selain dimanfaatkan
di industri semen, fly/bottom ash dapat juga dimanfaatkan menjadi campuran
aspal (ready mix), campuran beton (concerete) dan dicetak menjadi paving
block/batako (Arinata dkk, 2018).
2.2.5 Agregat
Secara umum agregat/ batuan didefinisikan sebagai formasi kulit bumi yang
keras dan penyal/ solid. ASTM (1974) mendifinisikan batuan sebagai suatu bahan
yang terdiri dari mineral padat yang berupa massa berukuran besar ataupun berupa
fragmen-fragmen (Sudrajat, 2018).
Berdasarkan proses pengolahannya, agregat dibedakan atas :
1. Agregat Alam (Natural Aggregate)
Agregat alam merupakan agregat yang digunakan dalam bentuk alamiahnya
dengan sedikit atau tanpa pemrosesan sama sekali dan agregat ini terbentuk dari
proses erosi dan degradasi. Batuan yang berasal dari sungai biasanya berbentuk
bulat-bulat dengan permukaan yang licin, sedangkan batuan yang berasal dari
perbukitan biasanya mempunyai permukaan yang lebih kasar dan bersudut. Dua
jenis agregat alam yang digunakan sebagai bahan konstruksi jalan adalah pasir
dan kerikil. Kerikil biasanya didefinisikan sebagai agregat yang berukuran lebih
besar dari 4,75 mm. Pasir didefinisikan sebagai partikel yang lebih kecil dari 4,75
mm, tapi lebih besar dari 0,075 mm, Sedangkan partikel yang lebih kecil dari
0,075 mm disebut sebagai mineral pengisi (filler) (Sudrajat, 2018).
2. Agregat yang diproses
Agregat yang diproses merupakan batuan yang telah dipecah dan disaring
sebelum digunakan. Pemecahan batuan/ agregat dilakukan untuk merubah tekstur
permukaan partikel dari licin ke kasar, merubah bentuk partikel dari bulat ke
angular, dan untuk meningkatkan distribusi serta rentang ukuran partikel.
Penyaringan terhadap agregat yang telah dipecahkan akan menghasilkan partikel
13
agregat dengan rentang gradasi tertentu.
3. Agregat Buatan
Agregat buatan merupakan agregat yang didapat dari proses kimia atau fisika dari
beberapa material sehingga menghasilkan suatu material yang sifatnya
menyerupai agregat. Jenis agregat ini merupakan hasil sampingan dari proses
industri dan dari proses material yang sengaja diproses agar dapat digunakan
sebagai agregat atau material pengisi (filler). Pembuatan agregat secara langsung
adalah sesuatu yang relatif baru. Agregat ini dibuat dengan membakar tanah liat
atau dengan cara lainnya. Produk akhir yang dihasilkan biasanya agak ringan dan
tidak memiliki daya tahan terhadap keausan yang lebih tinggi.
Berdasarkan ukuran butir agregat,agregat dapat dibedakan atas:
a. Agregat kasar, merupakan agregat dengan ukuran butir > 4,75 mm menurut
ASTM atau ukuran butiran > 2 mm menurut AASHTO.
b. Agregat halus, merupakan agregat yang ukuran butir < 4,75 mm menurut
ASTM atau ukuran butir < 2 mm dan > 0,075 mm menurut AASHTO.
c. Abu batu/ mineral filler, agregat halus yang umumnya lolos saringan No. 200.
14
Tabel 2. 1 Batas-batas gradasi agregat kasar
Persentase lolos saringan
Ukuran saringan (mm)
40 mm 20 mm
40 95-100 100
20 30-70 95-100
10 10-35 22-55
4,8 0-5 0-10
Sumber: Tjokrodimuljo, 2007
2. Agregat kasar harus terdiri dari butiran-butiran yang keras dan tidak berpori
atau tidak akan pecah atau hancur oleh pengaruk cuaca sepertiterik matahari
atau hujan.
3. Kekerasan butiran agregat kasar jika diperiksa dengan mesin Los Angeles
dimana tingkat kehilangan berat lebih kecil dari 50%.
15
Penelitian lebih lanjut agregat buatan juga dilakukan oleh Colangelo,
Messina, dan Cioffi (2015). Agregat buatan dibuat dari Fly Ash hasil pembakaran
sampah/limbah perkotaan. Menggunakan metode double step cold bondin
pelletization, agregat buatan ini mempunyai berat jenis sekitar 1,0 – 1,6 gr/ cm3
dengan tingkat absorbsi air antara 7 – 16%.
16
2.2.9 Sodium Silikat
Sodium silikat ditemukan pertama kali oleh Jahamn Nepomuk Von Fuch
pada tahun 1825 di Munich, Jerman. Secara umum sodium silikat yang digunakan
di industri dapat dispesifikasikan menjadi 2, yaitu (Nahri, 2018):
1. Larutan air silikat yang mengandung mengandung 1,5 – 4 mol SiO2 1 mol
Na2CO3, sering disebut water glass. Spesifikasi ini diproduksi dengan cara
melarutkan sodium silikat ke dalam air.
2. Solid, kristal sodium silikat. Perbandingan berat bervariasi dari 0,5sampai 2.
Sodium silikat telah digunakan di berbagai bidang industri. Adapun beberapa
kegunaan sodium silikat antara lain.
a. Sebagai bahan baku dalam pembuatan silika gel yang digunakan sebagai
pengering makanan
b. Sebagai bahan perekat untuk penyagelan dan laminating lapisan logam
c. Sebagai bahan tambahan dalam pembuatan keramik
d. Digunakan sebagai bahan pembuatan drum filter
e. Digunakan untuk sintesis zeolite
f. Digunakan pada produksi deterjen
g. Digunakan pada water threatment yaitu sebagai flocculating agent, dan
h. Digunakan sebagai bahan baku pabrik asam silika.
Sodium silikat memiliki beberapa sifat kimia yang berpengaruh terhadap
perilaku senyawa sodium silikat itu sendiri. Adapun beberapasifat kimia sodium
silikat antara lain (Nahri, 2018).
a. Berbentuk kristal monoklinik
b. Sangat larut dalam air panas dan dingin
c. Tidak larut dalam alkohol
Selain sifat kimia diatas, sodium silikat juga memiliki beberapa sifat fisika.
Adapun beberapa sifat fisika sodium silikat ditampilkan pada tabel 2.3 dibawah
ini.
Tabel 2. 3 Sifat Fisika Sodium Silikat
Sifat Fisika Nilai
Berat Molekul 122,063
Titik Beku 149,89oC
17
Sifat Fisika Nilai
Titik Lebur 1088oC
Temperatur Kritis 290,85oC
Tekanan Kritis 36,28 atm
Densitas 931,757 kg/m3
Sumber : Trisnian, 2018
Dengan:
f’c = kuat tekan beton (kg/cm2)
P = beban maksimum (kg)
A = luas penampang (cm2)
Adapun pola pembebanan pada pengujian kuat tekan beton dapat dilihat
pada gambar 2.1
18
Dengan:
P = Beban
p = Panjang kubus
l = Lebar kubus
t = Tinggi kubus
Adapun contoh Formulir pengujian kuat tekan beton dengan benda uji
silinder dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2. 4 Formulir pengujian kuat tekan beton dengan benda uji silinder
Nomor Massa Dimensi Luas Gaya Kuat
Tanggal Tanggal Umur
benda benda bidang tekan tekan Ket.
pembuatan pengujian (hari) p l
uji uji (mm2) (kN) (N/mm2)
(mm) (mm)
19
f
Modulus kehalusan butir = ..................... 2.5
2. Pengujian berat jenis dan penyerapan air agregat kasar (SNI 03-1969-2008)
Pengujian ini dimaksudkan untuk menentukan berat jenis curah (Bulk), berat jenis
kering permukaan jenuh (Saturated Surface Dry = SSD), berat jenis semu
(apparent), serta penyerapan agregat kasar. Hasil dari pengujian ini nantinya akan
digunakan untuk menentukan berat jenis campuran.
a. Berat jenis (Bulk) adalah perbandingan antara berat agregat kering dan berat
air suling yang isinya sama dengan isi agregat dalam keadaan jenuh pada
suhu tertentu.
b. Berat jenis kering permukaan jenuh (SSD) adalah perbandingan antara berat
agregat kering permukaan jenuh dan berat air suling yang isinya sama
denganisi agregat dalam keaadan jenuh pada suhu tertentu.
c. Berat jenis semu (Apparent) adalah perbandingan antara berat agregat
kering dan berat air suling yang isinya sama dengan isi agregat dalam
keadaan kering pada suhu tertentu.
d. Penyerapan (Absorption) adalah perbandingan berat air yang dapat diserap
quarry terhadap berat agregat kering, dinyatakan dalam persen.
Rumus yang digunakan sebagai berikut:
-
4) Penyerapan (Absorption) = ........................................... 2.9
Dengan:
Bj = Berat benda uji kering permukaan jenuh (SSD) (gram).
Bk = Berat benda uji kering oven (gram)
Ba = Berat benda uji kering permukaan (gram)
Bt = Berat piknometer + benda uji + air (gram)
3. Pengujian kadar air agregat (SNI 03-1971-2011)
20
Pengujian ini diksudkan untuk menetukan kadar air agregat dengan cara
pengeringan. Kadar air agregat adalah besarnya perbandingan antara berat air
yang dikandung agregat dengan agregat dalam keadaan kering, dinyatakan dalam
persen. Rumus yang digunakan yaitu:
-
Kadar air agregat = ..............................................................2.10
Dengan:
W3 = Berat benda uji awal (gram)
W5 = Berat benda uji kering (gram)
4. Pengujian keausan agregat kasar dengan mesin Los Angeles (SNI 03-2417-
2008)
Pengujian ini dimaksudkan untuk menetukan ketahanan agregat kasar terhadap
keausan dengan menggunkan mesin Los Angeles. Keausan tersebut dinyatakan
dengan perbandingan antara berat tahan aus lewat saringan no.12 terhadap berat
semula dalam persen. Rumus yang digunakan yaitu:
-
Keausan agregat = .....................................................................2.11
Dengan:
a = Berat benda uji semula (gram)
b = Berat benda uji tertahan saringan No.12 (gram)
21
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
22
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2022
Gambar 3. 2 Bottom Ash
3. Natrium Hidroksida (NaOH)
Natrium hidroksida (NaOH) yang digunakan pada penelitian ini merupakan
senyawa padat yang dilarutkan di dalam air.
23
5. Air
Air yang digunakan pada penelitian ini adalah air yang bersumber dari
Laboratorium Teknik Sipil Universitas Bangka Belitung.
3.2.2 Alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas saringan,
timbangan, oven,cawan, sendok, gelas ukur, mesin penguncang saringan,
timbangan berat jenis, bak perendam, mesin Los Angeles, Serta alat uji tekan.
1. Saringan
Saringan merupakan alat yang digunakan untuk mengetahui distribusi ukuran
agregat kasar buatan dengan menggunakan ukuran saringan yang telah di
tentukan. Yaitu ukuran saringan 3/4”, 1/2”, 3/8”, no. 4, no.8, no.16, no.30,
no.50, no.100 dan no. 200.
24
2. Timbangan
Timbangan merupakan alat yang digunakan untuk melakukan pengkuran berat
benda uji maupun bahan-bahan yang digunakan pada penelitian.
25
4. Cawan
Cawan merupakan alat yang digunakan sebagai tempat atau wadah bahan-
bahan yang akan dipakai dalam penelitian.
26
6. Cetakan Benda Uji atau Mal
Cetakan yang dipakai menggunakan bahan multiplek yang dibentuk
menyerupai kubus dengan ukuran 5 x 5 x 5 cm3.
7. Gelas Ukur
Gelas ukur digunakan untuk untuk mengatur jumlah kebutuhan air yang yang
digunakan dalam penelitian.
27
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2022
Gambar 3. 13 Mesin penguncang saringan
9. Timbangan Berat Jenis
Timbangan berat jenis merupakan timbangan yang digunakan untuk
mengetahui berat jenis dan penyerapan air agregat kasar yang dilengkapi
dengan keranjang kawat dan bak untuk menampung air.
28
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2022
Gambar 3. 15 Mesin Los Angeles
11. Alat Uji Tekan Beton
Mesin uji tekan merupakan salah satu alat uji mekanik untuk mengetahui
kekuatan bahan/benda uji terhadap gaya tekan. Caranya adalah dengan
memberikan gaya tekan kepada benda uji dalam posisibenda uji tegak lurus.
29
3.3 Langkah Penelitian
3.3.1 Bagan alir penelitian
Mulai
Studi Literatur
Persiapan Bahan
30
A
Selesai
Keterangan :
1. FABA: Fly Ash dan Bottom Ash
2. M : Mol
3. SS : Sodium Silikat
4. NaOH : Natrium hidroksida
Rekapitulasi jumlah benda uji dapat dilihat pada Tabel 3.1. Umur benda uji
yang digunakan pada penelitian ini adalah 7 hari dengan variasi 300 gr Fly Ash +
300 gr Bottom Ash +0 Mol NaOH + 250 gr sodium silikat, 300 gr Fly Ash + 300
gr Bottom Ash + 10 Mol NaOH + 250 gr sodium silikat,300 gr Fly Ash + 300 gr
Bottom Ash + 14 Mol NaOH + 250 gr sodium silikat, 300 gr Fly Ash + 300 gr
Bottom Ash +1 8 Mol NaOH + 250 gr sodium silikat. Dari masing-masing
31
campuran beton dibuat tiga benda uji, jadi benda uji yang direncanakan sebanyak
12 buah benda uji.
32
c. Pembebanan dilakukan sampai uji menjadi hancur dan beban maksimum
yang terjadi selama pemeriksaan benda uji dicatat
d. Bentuk pecah digambar dan keadaan benda uji dicatat
33
h. Ukuran maksimum ½” ; berat minimum 2,5 kg.
i. Ukuran maksimum 3/8”; berat minimum 1,0 kg.
3. Pelaksanaan
Urutan proses dalam pengujian ini adalah sebagai berikut:
a. Benda uji dikeringkan dalam oven dengan suhu (110+5)°C, sampai berat
tetap.
b. Saring benda uji lewat susunan saringan dengan ukuran saringan paling
besar ditempatkan paling atas.
c. Saringan diguncang dengan tangan atau mesin penguncang selama 15
menit.
d. Agregat yang tertahan ditimbang pada masing-masing saringan.
3.3.2.5 Pengujian berat jenis dan penyerapan air agregat kasar buatan
Adapun pelaksanaan pengujian berat jenis dan penyerapan air agregat kasar
buatan dalam penelitian ini berdasarkan SNI 1969-2008:
1. Peralatan
Peralatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Timbangan dengan kapasitas 5 kg dengan ketelitian 0,1% dari berat contoh
yang ditimbang dan dilengkapi dengan alat penggantung keranjang.
b. Keranjang kawat ukuran 3,35 mm (No.6) atau yang lebih halus, atau ember
dengan tinggi dan lebar yang sama dengan kapasitas 4 sampai 7 liter untuk
agregat dengan ukuran nominal 37,5 mm (saringan No. 1½ inci) atau lebih
kecil, dan wadah lebih besar jika dibutuhkan untuk menguji ukuran
maksimum agregat yang lebih besar.
c. Sebuah tangki air yang kedap dimana contoh uji dan wadahnya akan
ditempatkan dengan benar-benar terendam ketika digantung di bawah
timbangan, dilengkapi dengan suatu saluran pengeluaran untuk agar
ketinggian air tetap.
d. Alat penggantung (kawat), kawat untuk menggantung wadah haruslah kawat
dengan ukuran praktis terkecil untuk memperkecil seluruh kemungkinan
pengaruh akibat perbedaan panjang kawat yangterendam.
e. Saringan No.4 (4,75mm).
34
2. Benda Uji
Benda uji adalah agregat yang tertahan saringan No. 4 (4,75 mm) diperoleh
dari alat pemisah contoh atau cara perempat sebanyak kira-kira 5 kg.
3. Pelaksanaan
Urutan pelaksanaan pengujian adalah sebagai berikut:
a. Keringkan contoh uji tersebut sampai berat tetap dengan temperatur
(110±5)0C, dinginkan pada temperatur kamar selama satu sampai tiga jam
untuk contoh uji dengan ukuran maksimum nominal 37,5 mm (Saringan No.
1 ½ in.) atau lebih untuk ukuran yang lebih besar sampai agregat cukup
dingin pada temperatur yang dapat dikerjakan pada temperatur (kira-kira
500C). Sesudah itu rendam agregat tersebut di dalam air pada temperatur
kamar selama (24+4) jam.
b. Apabila nilai-nilai penyerapan dan berat jenis akan dipergunakan dalam
menentukan proporsi campuran beton yang agregatnya akan berada pada
kondisi alaminya, maka persyaratan untuk pengeringan awal sampai berat
tetap dapat dihilangkan, dan jika permukaan partikel butir contoh terjaga
secara terus-menerus dalam kondisi basah, perendaman sampai (24+4) jam
juga dapat dihilangkan.Hal ini jelas, khususnya untuk partikel butiran yang
lebih besar dari 75 mm (3 inci) karena air tidak mungkin mampu masuk
sampai pusat butiran dalam waktu perendaman seperti yang disyaratkan.
c. Pindahkan contoh uji dari dalam air dan guling-gulingkan pada suatu
lembaran penyerap air sampai semua lapisan air yang terlihat hilang.
Keringkan air dari butiran yang besar secara tersendiri. Aliran udara yang
bergerak dapat digunakan untuk membantu pekerjaan pengeringan.
Kerjakan secara hati-hati untuk menghindari penguapan air dari pori-pori
agregat dalam mencapai kondisi jenuh kering permukaan. Tentukan berat
benda uji pada kondisi jenuh kering permukaan. Catat beratnya dan semua
berat yang sampai nilai 1,0 gram terdekat atau 0,1 persen yang terdekat dari
berat contoh, pilihlah nilai yang lebih besar.
d. Pindahkan contoh uji dari dalam air dan guling-gulingkan pada suatu
lembaran penyerap air sampai semua lapisan air yang terlihat hilang.
Keringkan air dari butiran yang besar secara tersendiri. Aliran udara yang
35
bergerak dapat digunakan untuk membantu pekerjaan pengeringan.
Kerjakan secara hati-hati untuk menghindari penguapan air dari pori-pori
agregat dalam mencapai kondisi jenuh kering permukaan. Tentukan berat
benda uji pada kondisi jenuh kering permukaan. Catat beratnya dan semua
berat yang sampai nilai 1,0 gram terdekat atau 0,1 persen yang terdekat dari
berat contoh, pilihlah nilai yang lebih besar.
e. Keringkan contoh uji tersebut sampai berat tetap pada temperatur
(110±5)0C, dinginkan pada temperatur-kamar selama satu sampai tiga jam,
atau sampai agregat telah dingin pada suatu temperatur yang dapat
dikerjakan pada temperatur (kira-kira 50°C), kemudian tentukan beratnya.
36
Pengaduk yang terbuat dari logam atau spatula dengan ukuran yang
memadai sesuai ukuran benda uji.
2. Benda uji
Benda uji untuk pemeriksaan agregat minimum tergantung pada ukuran butir
minimum sesuai daftar Tabel 3.2.
3. Pelaksanaan
Pelaksanaan pengujian adalah sebagai berikut :
a. Timbang benda uji sampai 0,1% massa terdekat (W1); (Massa benda uji
adalah massa wadah dan benda uji dikurangi massawadah).
b. Keringkan benda uji langsung dalam wadah dengan menggunakan pemanas
yang diinginkan dan jaga jangan sampai ada partikel yang hilang.
Pemanasan yang terlalu cepat dapat menyebabkan partikel pecah dan keluar
dari wadah sehingga mengurangi massa benda uji. Apabila pemanasan
dapat merubah sifat benda uji agregat atau apabila disyaratkan pengujian
yang lebih teliti maka gunakan oven yang memiliki pengatur temperatur.
Apabila pemanas tidak menggunakan oven yang memiliki pengatur
temperatur, aduk benda uji selama proses pengeringan untuk mempercepat
proses dan menghindari pemanasan setempat.
c. Setelah dingin, sehingga tidak akan merusak atau mempengaruhi
timbangan, timbang benda uji kering sampai 0,1% massa terdekat (W2).
Benda uji dianggap kering apabila pemanasan berikutnya hanya
menyebabkan penurunan massa kurang dari0,1% atau dapat dilihat pada
Tabel 3.2 sebagai berikut.
Tabel 3. 2 Massa minimum benda uji
Ukuran nominal maksimum
Massa minimum benda
agregat
uji agregat normal (kg)
mm Inchi
4,75 0,187(No.4) 0,5
9,5 3/8 1,5
12,5 ½ 2
19,0 ¾ 3
25,0 1 4
37
Ukuran nominal maksimum
Massa minimum benda
agregat
uji agregat normal (kg)
mm Inchi
37,5 1½ 6
50 2 8
63 2½ 10
75 3 13
90 3½ 16
100 4 25
150 6 50
Sumber: SNI-03-1971-2011
38
masing antara 400-440gram.
e. Oven yang dilengkapi pengatur suhu untuk memanasi sampai (110+5)°C.
2. Benda Uji
Benda uji dipersiapkan dengan cara sebagai berikut:
a. Berat dan gradasi benda uji sesuai daftar.
b. Bersihkan benda uji dan keringkan dalam oven pada suhu (110+5)°C.
3. Pelaksanaan
Pengujian dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:
a. Pengujian ketahanan agregat kasar terhadap keausan dapat dilakukan
dengan salah satu dari 7 (tujuh) caraberikut:
1) Cara A :Gradasi A, bahan lolos 37,5 mm sampai tertahan 9,5 mm.
Jumlah bola 12 buah dengan 500 putaran.
2) Cara B : Gradasi B, bahan lolos 19 mm sampai tertahan 9,5 mm. Jumlah
bola 11 buah dengan 500 putaran.
3) Cara C : Gradasi C, bahan lolos 9,5 mm sampai tertahan 4,75 mm.
Jumlah bola 8 buah dengan 500 putaran.
4) Cara D : Gradasi D, bahan lolos 4,75 mm sampai tertahan 2,36 mm.
Jumlah bola 6 buah dengan 500 putaran.
5) Cara E : Gradasi E, bahan lolos 75 mm sampai tertahan 37,5 mm.
Jumlah bola 12 buah dengan 1000 putaran.
6) Cara F : Gradasi F, bahan lolos 50 mm sampai tertahan 25 mm. Jumlah
bola 12 buah dengan 1000 putaran.
7) Cara G : Gradasi G, bahan lolos 37,5 mm sampai tertahan 19 mm.
Jumlah bola 12 buah dengan 1000 putaran.
Bila tidak ditentukan cara yang harus dilakukan, maka pemilihan gradasi
disesuaikan dengan contoh material yang merupakan wakil dari material
yang akan digunakan.
b. Benda uji dan bola baja dimasukkan ke dalamm mesin Los Angeles.
c. Putar mesin dengan kecepatan 30 sampai dengan 33 rpm. Jumlah putaran
gradasi A, B, C, dan D 500 putaran dan untuk gradasi E, F,dan G 1000
putaran.
d. Setelah selesai pemutaran, keluarkan benda uji dari mesin kemudian saring
39
dengan saringan No. 12 (1,7 mm), butiran yang tertahan di atasnya dicuci
bersih, selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu(110+5)°C.
40
DAFTAR PUSTAKA
Adi, A.S., 2020. Analisa Persentase Penambahan Fly Ash dan Bottom Ash pada
Campuran Beton dalam Pembuatan Paving Block. Jurnal Keilmuan dan
Aplikasi Teknik Sipil, Samarinda. 5 (2).
Badan Standarisasi Nasional. 2008. SNI 03-1969-2008 Cara Uji Berat Jenis dan
Penyerapan Air Agregat Kasar, Bandung.
Badan Standarisasi Nasional. 2008. SNI 03-2417-2008 Cara Uji Keausan Agregat
Kasar dengan Mesin Los Angeles, Bandung.
Badan Standarisasi Nasional. 2011. SNI 03-1971-2011 Cara Uji Kadar Air Total
Agregat dengan Pengeringan, Bandung.
Badan Standarisasi Nasional. 2011. SNI 1974:2011 Cara Uji Kuat Tekan Beton
dengan Benda Uji Silinder, Bandung.
Desianti, I. dkk., 2018. Karakterisasi Nanosilika dari Abu Terbang (Fly Ash) PT.
Bosowa Energi Jeneponto dengan Menggunakan Metode Ultrasonic. Jurnal
Fisika dan Terapannya, Makassar. 5 (2).
Faisal, R., 2011. Pemanfaatan Limbah Abu Terbang (Fly Ash), Abu Dasar
(Bottom Ash) Batubara dan Limbah Padat (Sludge) Industri Karet Sebagai
Bahan Campuran pada Pembuatan Batako, Thesis Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara.
Firda, A., Permatasari, R., Fuad, I.S. 2021. Pemanfaatan Limbah Batubara (Fly
Ash) sebagai Material Pengganti Agregat Kasar pada Pembuatan Beton
Ringan. Jurnal Deformasi, Palembang. 6 (1).
Gunawan, M.D., 2016. Pengaruh Penggunaan Zeolit Sebagai Bahan Pengganti
Semen Terhadap Sifat Mekanis Beton Ringan dengan Agregat Kasar
Pecahan Bata Citicon. Skripsi Fakultas Teknik, Universitas Atma Jaya
Yogyakarta.
Huda, C., 2020. Analisa Sifat Mekanik Pasta Geopolimer Ringan Berbahan Dasar
Fly Ash, Lumpur Sidoarjo dan Foam. Jurnal Teknik Pomits, Surabaya. 1
(1): 1-5.
Litbang ESDM. 2020. Abu Batu Bara (FABA) Sebagai Bahan Bangunan,
Pencegahan Air Asam Tambang dan Pupuk. Artikel diakses pada
https://litbang.esdm.go.id/news-center/arsip-berita/abu-batubara-faba
sebagai-bahan-bangunan-pencegahan-air-asam-tambang-dan-pupuk
Lubis, E., Antoni, Hardjito D. 2015. Komposisi Campuran Optimum Bottom Ash
dan Fly Ash Sebagai Agregat Buatan. Jurnal Dimensi Utama Teknik Sipil,
Surabaya. 2 (1).
Meilanova, D.R. 2021. Dikecualikan Dari Limbah B3, FABA Dari PLTU Bisa
Menjadi Berkah. Artikel Ekonomi. Artikel diakses pada
https://ekonomi.bisnis.com/read/20210315/44/1367856/dikecualikan-dari-
limbah-b3-faba-dari-pltu-bisa-menjadi-berkah
Messina, F., Ferone, C., Colangelo, F., Cioffi, R. 2015. Low temperature alkaline
activation of weathered fly ash: influence of mineral admixtures on early
age performance. Construction and Building Materials. Journal of
hazardous materials. 299 : 181-191.
Nahri, B.L., 2018. Perancangan Pabrik Natrium Hidroksida dari Limbah Brine
dengan Kapasitas 10000/Tahun.. Skripsi Fakultas Teknologi Industri,
Universitas Islam Indonesia.
Riama, G., Veranika, A., Prasetyowati 2012. Pengaruh H2O2 Konsentrasi Naoh
dan Waktu Terhadap Derajat Putih Pulp dari Mahkota Nanas. Palembang:
Universitas Sriwijaya Press.
Trisnian, N., 2018. Prarancangan Pabrik Sodium Silikat dari Natrium Hidroksida
dan Pasir Silika Kapasitas 60.000 Ton/Tahun.. Skripsi FakultasTeknik,
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Zakaria, T., dan Juniarti, A.D., 2020. Studi Kelayakan Pemanfaatan Fly Ash dan
Bottom Ash Menjadi Paving Blok di PLTU Banten 3 Lontar. Jurnal
Industrial Servicess, Serang. 5 (2).