Anda di halaman 1dari 89

1

Hak Cipta © Pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/


Badan Pertanahan Nasional
Edisi Tahun 2020

Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Agraria


dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Jl. Akses Tol Cimanggis, Cikeas, Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat.
Telp. (021) 8674586

PELATIHAN LANJUTAN PENILAI PERTANAHAN


Modul Perkembangan Peraturan tentang Pengadaan Tanah
Tim Pengarah Substansi:
1. Adriani Sukmoro
2. Deni Ahmad Hidayat, S.H., M.H.
3. Ir. Perdananto Aribowo, M.Cs.
4. Deni Santo, S.T., M.Sc.

Tim Penulis Modul:


1. Drs. Darajat Muhammad Jaelani, M.Si.
2. Ir. Hadi Arnowo, M.App.Sc
3. Johan Fauzi, S.Si.
4. Marwah Noer, S.Si.

Editor:
Rinny Purnamasari, S.I.P

JAKARTA - KEMENTERIAN ATR/BPN – 2020

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas tersusunnya


Modul yang menjadi pegangan bagi peserta Pelatihan Lanjutan Penilai
Pertanahan. Modul ini dapat terselesaikan karena kerja sama Tim
Penyusun Modul yang sudah dirangkum melalui beberapa kali rapat
koordinasi dan dukungan dari berbagai pihak di lingkungan Kementerian
Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional dan Masyarakat
Profesi Penilai Indonesia.
Untuk itu dalam kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih
dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional;
2. Direktorat Jenderal Pengadaan Tanah dan Pengembangan
Pertanahan Kementerian ATR/BPN;
3. Tim Penyusun Modul;
4. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian Modul ini.
Akhir kata, semoga Modul ini dapat memberikan manfaat bagi
peserta Pelatihan Lanjutan Penilai Pertanahan. Kritik dan saran dengan
senang hati akan diterima untuk perbaikan modul ini.

Bogor, Oktober 2020


Kepala Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/
Badan Pertanahan Nasional

Deni Santo, S.T., M.Sc.


NIP. 19700129 199703 1004

3
DAFTAR ISI

A. LATAR BELAKANG 7
B. DISKRIPSI SINGKAT 9
C. MANFAAT MODUL 9
D. HASIL BELAJAR 10
E. INDIKATOR HASIL BELAJAR 10
F. MATERI POKOK DAN SUB MATERI POKOK 10
G. WAKTU PEMBELAJARAN 11
A. PERBUATAN MELAWAN HUKUM (PEMOTONGAN HARGA/ PEMBESARAN
HARGA GANTI KERUGIAN, PENAMBAHAN UKURAN LUAS TANAH,
PEMALSUAN DOKUMEN DAN PEMBERIAN KETERANGAN PALSU) 15
B. PENYALAHGUNAAN DALAM JABATAN (ONRECHTMATIGEHEIDDAAD) 17
C. PERBUATAN MEMPERKAYA DIRI/ORANG LAIN DALAM PEMBERIAN
GANTI KERUGIAN 18
D. LATIHAN 20
E. RANGKUMAN 20
F. EVALUASI 20
G. UMPAN BALIK DAN TINDAK LANJUT 26
A. HUKUM PERTANAHAN 27
B. PENGADAAN TANAH 28
C. PENGUKURAN DAN PEMETAAN 61
D. TATA RUANG 66
E. LATIHAN 79
F. RANGKUMAN 79
G. EVALUASI 79
H. UMPAN BALIK DAN TINDAK LANJUT 83

4
PETUNJUK PENGGUNAAN MODUL

Anda dapat mempelajari keseluruhan modul ini dengan cara


yang berurutan. Jangan memaksakan diri sebelum benar-benar
menguasai bagian demi bagian dalam modul ini, karena masing-
masing saling berkaitan.

Di setiap akhir bagian kegiatan belajar terdapat evaluasi yang


disediakan guna menguji tingkat pemahaman Anda setelah
memperoleh pengajaran. Jawablah setiap pertanyaan dalam tes
tersebut, dan nilai yang anda peroleh agar dijadikan sebagai umpan
balik untuk menilai lagi apakah materi dalam kegiatan belajar sudah
Anda kuasai dengan baik atau belum. Jika anda belum menguasai
80% dari setiap kegiatan, maka anda dapat mengulangi untuk
mempelajari materi yang tersedia dalam modul ini.

Guna memudahkan Anda dalam memahami materi dalam


modul ini, Pengajar nantinya akan banyak melakukan latihan selama
proses pembelajaran berlangsung.

5
6
BAB I
PENDAHULUAN

“Mawar merah mekar di taman, semerbak mewangi aromanya seluruh taman,


Selamat membaca kami persilakan, kepada Saudara sekalian yang budiman”.

Para pembaca yang budiman, terima kasih karena masih tetap


bersemangat dan antusias untuk membuka dan mempelajari modul
Pelatihan Lanjutan Penilai Pertanahan ini. Dalam modul ini anda akan
diajak untuk mempelajari mengenai perkembangan peraturan tentang
pengadaan tanah.
Modul ini terdiri dari kapita selekta hukum acara tentang
pengadaan tanah berindikasi korupsi dan perkembangan regulasi
hukum pertanahan khususnya mengenai pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum.
Selamat membaca modul ini, dan belajarlah dengan penuh
semangat. Karena hidup adalah selalu tentang belajar. Mau tidak
mau, suka atau tidak suka, kita akan selalu belajar, baik dengan
kerelaan hati ataupun paksaan dari lingkungan. Proses ini akan
menuju pada satu tujuan, yaitu membuat diri kita menjadi lebih baik.

A. LATAR BELAKANG
Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum merupakan kegiatan yang sangat strategis dalam
menunjang pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Melalui
kegiatan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk

7
kepetingan umum diharapkan dapat memberi kontribusi dalam
pembangunan infrastruktur baik dalam rangka Proyek Strategis
Nasional (PSN) maupun Non Proyek Strategis Nasional (Non
PSN).
Dengan meningkatnya pembangunan untuk kepentingan
umum tersebut, meningkat pula kebutuhan akan dukungan
berupa kepastian hukum di bidang pertanahan. Pemberian
jaminan hukum di bidang pertanahan memerlukan perangkat
hukum yang tertulis, lengkap dan jelas, yang dilaksanakan
secara konsisten dengan jiwa dan isi ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
Salah satu contoh perkembangan regulasi saat ini yaitu
dengan adanya Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang
di dalamnya juga mengatur tentang pengadaan lahan dalam bab
tersendiri. Contoh lainnya yaitu adanya Peraturan Menteri
Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 20 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penyusunan
Dokumen Perencanaan, yang di dalamnya ada dibahas
mengenai peran penilai pertanahan dalam penyusunan
dokumen perencanaan tersebut.
Berdasarkan penjelasan uraian di atas, maka dalam
rangka memberikan panduan bagi pemangku kepentingan
dalam penyelenggaraan kegiatan pengadaan tanah tersebut,
diperlukan modul ini yang menjelaskan mengenai
perkembangan peraturan tentang pengadaan tanah.

8
B. DISKRIPSI SINGKAT
Modul diklat ini membahas tentang perkembangan
peraturan tentang pengadaan tanah, yang terdiri dari materi
Kapita Selekta tentang Pengadaan Tanah Berindikasi Korupsi
dan Perkembangan Regulasi Hukum Pertanahan khususnya
mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum. Materi Kapita Selekta tentang Pengadaan
Tanah Berindikasi Korupsi berisi tentang pembahasan
mengenai perbuatan melawan hukum (pemotongan
harga/pembesaran harga ganti kerugian), penyalahgunaan
dalam jabatan (onrechmatigeheiddaad), dan perbuatan
memperkaya diri/orang lain dalam pemberian ganti kerugian,
sedangkan materi Perkembangan Regulasi Pengadaan Tanah
berisi tentang pembahasan mengenai Hukum Pertanahan,
Pengadaan Tanah, Pengukuran dan Pemetaan, serta Tata
Ruang.

C. MANFAAT MODUL
1. Manfaat untuk Peserta.
Dengan mempelajari modul ini di harapkan peserta diklat
dapat memahami mengenai perkembangan peraturan
tentang pengadaan tanah
2. Manfaat untuk Pengajar.
Modul yang disusun memudahkan pengajar dalam
memberikan pengarahan dan memberikan motivasi kepada
peserta;

9
3. Manfaat untuk Pengelola.
Modul yang disusun sebagai bahan evaluasi bagi Pusat
Pengembangan SDM untuk penyempurnaan modul diklat
berikutnya agar lebih baik.

D. HASIL BELAJAR
Setelah mempelajari mata pelatihan ini peserta dapat
memahami perkembangan peraturan tentang pegadaan tanah
di lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan
Pertanahan Nasional.

E. INDIKATOR HASIL BELAJAR


Setelah mempelajari mata pelatihan ini peserta mampu
menjelaskan mengenai perkembangan peraturan tentang
pengadaan tanah.
Indikator keberhasilan dari pembelajaran ini :
1. Dapat menjelaskan mengenai Kapita Selekta tentang
Pengadaan Tanah berindikasi Korupsi;
2. Dapat menjelaskan perkembangan regulasi hukum
pertanahan khususnya mengenai pengadaan tanah.

F. MATERI POKOK DAN SUB MATERI POKOK


Secara garis besar materi pokok modul ini adalah :
1. Kapita Selekta tentang Pengadaan Tanah berindikasi
Korupsi
a. perbuatan melawan hukum (pemotongan harga/
pembesaran harga ganti kerugian);

10
b. penyalahgunaan dalam jabatan
(onrechmatigeheiddaad);
c. perbuatan memperkaya diri/ orang lain dalam
pemberian ganti kerugian.
2. Perkembangan Regulasi Mengenai Pengadaan Tanah
a. Hukum Pertanahan,
b. Pengadaan Tanah,
c. Pengukuran dan Pemetaan,
d. Tata Ruang

G. WAKTU PEMBELAJARAN
Waktu penyampaian materi pelatihan adalah 8 jam
pelajaran @ 45 menit (e learning 3 jp, distance learning 5 jp).

11
BAB II
KAPITA SELEKTA TENTANG PENGADAAN
TANAH BERINDIKASI KORUPSI

Indikator Hasil Belajar:


setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diharapkan dapat menjelaskan
mengenai perkembangan peraturan tentang pengadaan tanah.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan


tentang pengertian istilah korup (kata sifat) dan korupsi (kata benda).
Korup adalah buruk, rusak, busuk. Arti lain korup adalah suka
memakai barang (uang) yang dipercayakan kepadanya; dapat
disogok (memakai kekuasannya untuk kepentingan pribadi).
Mengkorup adalah merusak, menyelewengkan (menggelapkan)
barang (uang) milik perusahaan (negara) tempat kerjanya. Korupsi
adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara
(perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang
lain.
Pengaturan mengenai perilaku korupsi dalam pelaksaanaan
pengadaan tanah tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum dan peraturan pelaksanaannya, namun ketika
stakeholder (pihak berkepentingan) yang melakukan perbuatan
melawan hukum ataupun melakukan penyalahgunaan jabatan dalam

12
penyelenggaraan pengadaan tanah yang berindikasi korupsi, dapat
mengacu pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Yang dimaksud dengan ”tindak pidana korupsi” adalah tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.1
Definisi korupsi, bentuk-bentuk dan unsur-unsurnya, serta
ancaman hukumannya secara gamblang telah dijelaskan dalam 13
buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal-
pasal tersebut korupsi dirumuskan ke dalam tiga puluh bentuk/jenis
tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara
terperinci mengenai perbuatan-perbuatan yang bisa dikenakan
pidana penjara karena korupsi.
Tiga puluh bentuk tindak pidana korupsi, tersebar dalam tiga
belas pasal. Ketigapuluh bentuk tindak pidana korupsi tersebut diatur
dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf
b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf b,
Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (1) huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf b,
Pasal 7 ayat (1) huruf c, Pasal 7 ayat (1) huruf d, Pasal 7 ayat (2),

1
Penjelasan Pasal 6 huruf a Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

13
Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, Pasal 10 huruf b, Pasal 10 huruf
c, Pasal 11, Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 12 huruf c, Pasal
12 huruf d, Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf f, Pasal 12 huruf g, Pasal
12 huruf h, Pasal 12 huruf i, Pasal 12 B jo. Pasal 12 C, dan Pasal 13.
Ketigapuluh bentuk tindak pidana korupsi tersebut pada
dasarnya dapat diklasifikasikan menjadi tujuh jenis yaitu korupsi yaitu:
1. Terkait keuangan negara/perekonomian Negara,
2. Suap-menyuap,
3. Penggelapan dalam jabatan,
4. Pemerasan,
5. Perbuatan curang,
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan dan
7. Korupsi terkait gratifikasi.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi diatur dalam Undang-
Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ini merupakan pengadilan
khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum dan pengadilan
satu-satunya yang memiliki kewenangan mengadili perkara tindak
pidana korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh penuntut umum.

Dalam penyelenggaraan pengadaan tanah, bukanlah hal yang


tidak mungkin terjadi tindakan-tindakan yang berindikasi korupsi.
Dalam kewenangan yang dimilikinya, seorang pejabat bisa saja
melakukan tindakan memperkaya diri sendiri, yang dilakukan secara
melawan hukum dalam pengukuran bidang tanah. Contoh lainnya
seorang penilai pertanahan bisa saja menaikkan harga objek
pengadaan tanah dengan maksud memperkaya diri sendiri. Untuk itu,
perlu dibahas lebih lanjut materi mengenai perbuatan melawan

14
hukum, penyalahgunaan dalam jabatan onrechtmatigeheiddaad), dan
perbuatan memperkaya diri/ orang lain dalam pemberian ganti
kerugian.

A. PERBUATAN MELAWAN HUKUM (PEMOTONGAN


HARGA/ PEMBESARAN HARGA GANTI
KERUGIAN, PENAMBAHAN UKURAN LUAS
TANAH, PEMALSUAN DOKUMEN DAN
PEMBERIAN KETERANGAN PALSU)
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999, disebutkan bahwa setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara
dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).
Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam
pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil
maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut
tidak diatur dalam peraturan perudang-undangan, namun
apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai
dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial
dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan
keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa
tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya

15
tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur
perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya
akibat.
Ketika proses penilaian ganti kerugian dalam tahapan
pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, dapat
saja terjadi perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
stakeholder yang terkait. Perbuatan melawan hukum itu
diantaranya adalah pemotongan harga/pembesaran harga ganti
kerugian, penambahan ukuran luas, pemalsuan dokumen dan
pemberian keterangan palsu, rekayasa hasil inventarisasi dan
indentifikasi.
Pemotongan harga/pembesaran harga ganti kerugian
dilakukan dengan merekayasa hasil penilaian sehingga di dapat
nilai yang tidak sesuai dengan nilai sebenarnya yang
menyebabkan terjadinya pengelembungan harga.
Perbuatan melawan hukum dalam hal penambahan
ukuran luas misalnya yaitu suap menyuap yang dilakuan oleh
Pihak yang Berhak kepada petugas Satgas untuk melakukan
penambahan ukuran luas ketika melakukan pengukuran bidang
tanah yang merupakan objek pengadaan tanah.
Hal serupa dapat saja terjadi ketika warga terdampak
yang bukan pemilik tanah yang terkena pengadaan tanah,
melakukan suap menyuap kepada perangkat desa untuk
membuat dokumen palsu dan keterangan palsu, yaitu dalam
penerbitan surat keterangan pemilikan tanah, sehingga ketika
dilakukan inventarisasi dan identifikasi pemilikan tanah, nama

16
yang bersangkutan termasuk sebagai pemilik tanah yang akan
menerima ganti kerugian.
Penggelapan yang dilakukan oleh Pihak yang Berhak,
petugas Satgas, Instansi yang memerlukan tanah, dan Penilai
Pertanahan, misalnya yaitu dalam hal rekayasa hasil
inventarisasi dan indentifikasi yang tidak sesuai dengan
keadaan sesungguhnya yang berakibat pada ketidaksesuaian
hasil penilaian.

B. PENYALAHGUNAAN DALAM JABATAN


(ONRECHTMATIGEHEIDDAAD)
Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999, disebutkan bahwa setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah). Kata “dapat” dalam ketentuan ini diartikan
sama dengan Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999.2
Dalam hal ini, kaitannya dalam penyalahgunaan jabatan
yaitu bahkan sebelum dilakukan tahap perencanaan pengadaan

2
Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

17
tanah. Misalnya melakukan pembelian tanah atas nama orang
lain, yang mana tanah tersebut diketahui akan dilakukan
pengadaan tanah.
Contoh lainnya, yaitu ketika Pihak yang Berhak hendak
mengambil uang ganti kerugian yang dititipkan di Pengadilan
Negeri, ketika mengurus Surat Pengantar untuk pengambilan
uang ganti kerugian, pejabat yang berwenang dalam hal ini
Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah meminta kompensasi untuk
pengurusan Surat Pengantar tersebut.
Kasus lainnya, yaitu ketika hakim dalam memutuskan perkara
dalam nilai ganti kerugian yang tidak mencapai kata sepakat,
oknum hakim dengan kewenangannya meminta kompensasi
untuk memenangkan perkara untuk salah satu pihak.

C. PERBUATAN MEMPERKAYA DIRI/ORANG LAIN


DALAM PEMBERIAN GANTI KERUGIAN
Menurut undang-undang tindak pidana korupsi,
pengertian memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi haruslah dikaitkan dengan Pasal 37 ayat (3) dan (4)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Pasal 37A ayat (1)
dan (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001:
1. Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh
harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan
harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga
mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan.
2. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang
kekayaan, yang tidak seimbang dengan penghasilannya
atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan

18
tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang
sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana
korupsi.
3. Pasal ini merupakan alat bukti “petunjuk” dalam perkara
korupsi, setiap orang yang didakwa melakukan tindak
pidana korupsi wajib membuktikan sebaliknya terhadap
harta benda miliknya yang belum didakwakan, tapi juga
diduga berasal dari tindak pidana korupsi : (Pasal 38B ayat
(1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
Sehingga apabila terdakwa tidak bisa membuktikan
bahwa harta benda tersebut diperoleh bukan karena tindak
pidana korupsi, maka harta benda tersebut dianggap diperoleh
dari tindak pidana korupsi. Ketentuan Undang-Undang ini
merupakan beban pembuktian terbalik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 B ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001.
Misalnya, dalam hal penilaian tanah, di mana penilai
pertanahan membeda-bedakan nilai harga tanah dalam 1 trase
yang bersebelahan. Kasus lainnya, dalam suatu pelaksanaan
pengadaan tanah terdapat gugatan ganti kerugian dari 1 Pihak
yang Berhak, di mana Pihak yang Berhak lainnya menyetujui
atas hasil penilaian ganti kerugian. Ketika putusan gugatan dari
satu Pihak yang Berhak tersebut dikabulkan oleh hakim dengan
hasil menaikkan nilai tanah, maka Pihak yang Berhak lainnya
yang awalnya menyetujui, ikut menggugat nilai harga tanah.
Dalam kasus ini, dengan adanya putusan pengadilan tersebut
Pelaksana Pengadaan Tanah harus melaksanakan putusan
pengadilan.

19
D. LATIHAN
Jelaskan pengertian memperkaya diri sendiri menurut
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan kaitannya dalam
pemberian uang ganti kerugian dalam pengadaan tanah!

E. RANGKUMAN
Menurut undang-undang tindak pidana korupsi, pengertian
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
haruslah dibuktikan dengan wajib memberikan keterangan
tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau
suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang
diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang
bersangkutan. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan
tentang kekayaan, yang tidak seimbang dengan penghasilannya
atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan
tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang
sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana
korupsi.

F. EVALUASI
Pilihlah salah satu jawaban yang benar!

1. Kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau


perekonomian negara” dalam Pasal 2 ayat 1 UU No. 31
Tahun 1999, menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi
merupakan delik formil. Apa maksud dari delik formil
tersebut?
a. Delik telah selesai cukup dipenuhinya unsur-unsur yang
sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.

20
b. Delik telah selesai dengan ditimbulkannya akibat yang
dilarang dan diancam dengan hukum oleh undang-
undang.
c. Delik telah selesai jika terjadi kerugian negara.
d. Delik telah selesai jika terjadi perbuatan melawan
hukum.
e. Delik telah selesai jika merugikan kepentingan umum.
2. Di bawah ini yang merupakan klasifikasi korupsi, yaitu:
a. Korupsi terkait gratifikasi, penipuan, pengancaman.
b. Suap menyuap, benturan kepentingan dalam
pengadaan, pemaksaan.
c. Penipuan, pemaksaan, suap menyuap, pencucian
uang.
d. Suap menyuap, pemerasan, perbuatan curang.
e. Pemerasan, penggelapan dalam jabatan, penipuan.
3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, mengatur tentang:
a. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
b. Pengadilan Tindak Pidana Khusus.
c. Pemberantasan Tindak Pidana Khusus.
d. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
e. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4. Di bawah ini yang termasuk perbuatan melawan hukum
dalam tindak pidana korupsi, dalam pelaksanaan
pengadaan tanah yaitu:
a. Pemotongan harga/pembesaran harga ganti kerugian,
penambahan ukuran luas tanah.
b. Penambahan ukuran luas tanah, musyawarah ganti
rugi.

21
c. Musyawarah ganti kerugian, penetapan lokasi
pengadaan tanah.
d. Musyawarah ganti kerugian, penambahan ukuran luas
tanah.
e. Penetapan lokasi pengadaan tanah, konsultasi publik.
5. Di manakah di bawah ini yang merupakan pernyataan yang
benar:
a. kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau
perekonomian negara” dalam Pasal 2 ayat (1) UU No.
31 Tahun 1999, menunjukkan bahwa tindak pidana
korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak
pidana korupsi setelah memenuhi unsur perbuatan
melawan hukum dan menyebabkan kerugian negara.
b. kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau
perekonomian negara” dalam Pasal 2 ayat (1) UU No.
31 Tahun 1999, menunjukkan bahwa tindak pidana
korupsi merupakan delik materil, yaitu adanya tindak
pidana korupsi setelah dapat dibuktikan menyebabkan
kerugian keuangan negara.
c. kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau
perekonomian negara” dalam Pasal 2 ayat (1) UU No.
31 Tahun 1999, menunjukkan bahwa tindak pidana
korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak
pidana korupsi setelah dapat dibuktikan menyebabkan
kerugian keuangan negara.
d. kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau
perekonomian negara” dalam Pasal 2 ayat (1) UU No.

22
31 Tahun 1999, menunjukkan bahwa tindak pidana
korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak
pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur
perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan
timbulnya akibat.
e. kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau
perekonomian negara” dalam Pasal 2 ayat (1) UU No.
31 Tahun 1999, menunjukkan bahwa tindak pidana
korupsi merupakan delik materil, yaitu adanya tindak
pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur
perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan
timbulnya akibat.
6. Manakah di bawah ini yang merupakan pernyataan yang
paling benar?
a. Tindak Pidana Korupsi merupakan tindak pidana
khusus sehingga kewenangan mengadili perkara
berada di Pengadilan Tindak Pidana Khusus
b. Tindak Pidana Korupsi tidak mempunyai pengadilan
khusus sehingga kewenangan mengadili perkara
berada di Peradilan Umum
c. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan
Peradilan Umum yang tidak hanya memiliki
kewenangan mengadili perkara tindak pidana korupsi,
tetapi juga kewenangan mengadili perkara tindak
pidana khusus lainnya
d. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan
pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan
Umum dan bukan pengadilan satu-satunya yang

23
memiliki kewenangan mengadili perkara tindak pidana
korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh penuntut
umum
e. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan
pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan
Umum dan pengadilan satu-satunya yang memiliki
kewenangan mengadili perkara tindak pidana korupsi
yang penuntutannya dilakukan oleh penuntut umum
7. Di bawah ini yang termasuk perbuatan memperkaya diri
sendiri/orang lain dalam pemberian ganti kerugian, dalam
pelaksanaan pengadaan tanah yaitu:
a. Penetapan lokasi pengadaan tanah, konsolidasi tanah.
b. Penambahan ukuran luas tanah, musyawarah ganti
rugi.
c. Musyawarah ganti kerugian, penetapan lokasi
pengadaan tanah.
d. Musyawarah ganti kerugian, penambahan ukuran luas
tanah.
e. Penilai Pertanahan yang membeda-bedakan nilai harga
tanah dalam 1 trase yang bersebelahan.
8. Siapa sajakah yang merupakan subjek tindak pidana
korupsi:
a. Subjek hukum orang dan subjek hukum korporasi
b. Subjek hukum negara dan subjek hukum korporasi
c. Subjek hukum orang, negara, dan subjek hukum
pemerintah
d. Subjek hukum orang dan subjek hukum pemerintah

24
e. Subjek hukum orang, subjek hukum korporasi, negara,
pemerintah, dan organisasi luar negeri
9. Di bawah ini yang merupakan contoh penyalahgunaan
dalam jabatan, dalam tindak pidana korupsi, yaitu:
a. Pemotongan harga/pembesaran harga ganti kerugian
dilakukan yang dilakukan oleh Penilai Pertanahan
dengan merekayasa hasil penilaian sehingga di dapat
nilai yang tidak sesuai dengan nilai sebenarnya yang
menyebabkan terjadinya pengelembungan harga.
b. Pengajuan gugatan ke Pengadilan Negeri yang
dilakukan oleh Pihak yang Berhak atas ganti rugi tanah
yang diterimanya, untuk mendapatkan uang ganti rugi
yang lebih tinggi.
c. Pemalsuan dokumen oleh warga terdampak sehingga
menerima ganti rugi atas objek pengadaan tanah yang
bukan miliknya.
d. Ancaman yang dilakukan oleh oknum pejabat di
Pemerintah Daerah kepada Pihak yang Berhak untuk
tidak melakukan keberatan atas hasil Penetapan
Lokasi.
e. Menerbitkan Penetapan Lokasi oleh Gubernur tanpa
didahului dengan pemberitahuan rencana
pembangunan kepada masyarakat, pendataan awal
lokasi rencana pembangunan, dan konsultasi publik.
10. Di bawah ini, manakah yang termasuk unsur dari tindak
pidana korupsi menurut UU Tindak Pidana Korupsi:
a. Perbuatan melawan hukum, konsultasi publik
b. Perbuatan menyembunyikan informasi penting

25
c. Melakukan penipuan dalam musyawarah ganti kerugian,
penipuan
d. Konsultasi publik, menggerakkan masyarkat untuk
meminta ganti kerugian yang lebih besar dalam
konsultasi publik
e. Perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan
kewenangan dalam jabatan, memperkaya diri
sendiri/orang lain, merugikan keuangan negara

G. UMPAN BALIK DAN TINDAK LANJUT


Selamat anda telah mempelajari kapita selekta tentang
pengadaan tanah yang berindikasi korupsi yang meliputi
perbuatan melawan hukum (pemotongan harga/pembesaran
harga ganti kerugian), penyalahgunaan dalam jabatan
(onrechmatigeheiddaad), dan perbuatan memperkaya diri
sendiri/orang lain dalam pemberian ganti kerugian, maka
silahkan kerjakan latihan-latihan sebagai proses internalisasi
substansi materi yang telah dibahas. Pengerjaan evaluasi
pembelajaran merupakan hal yang wajib anda lakukan.

Apabila anda telah mampu mengerjakan soal mencapai


80% (delapan puluh persen) benar, maka silahkan anda
lanjutkan ke materi pokok yang ke 2 (dua) adalah
penyelenggaraan pengadaantanah bagi pembangunan untuk
kepoentingan umum. Namun apabila anda belum mencapai
tingkat keberhasilan 80% (delapan puluh persen) maka silahkan
anda membaca kembali materi pokok regulasi peraturan
perundangan tentang Pengadaan Tanah.

26
BAB III
PERKEMBANGAN REGULASI

Indikator Hasil Belajar:


Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta diharapkan dapat menjelaskan
Perkembangan Regulasi Hukum Pertanahan, Pengadaan Tanah, Pengukuran
dan Pemetaan dan Tata Ruang.

A. HUKUM PERTANAHAN
Hukum Agraria
Hukum Agraria merupakan hukum yang mengatur unsur-
unsur sumber daya alam yang merupakan satu kesatuan atas
suatu bidang tanah. Sumber daya alam tersebut meliputi bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalammya termasuk
ruang angkasa.
Hukum Tanah Lama (sebelum UUPA):
a. Hukum Tanah Adat
b. Hukum Tanah Barat
c. Hukum Tanah Antargolongan
d. Hukum Tanah Administrasi
e. Hukum Tanah Swapraja
Hukum Tanah Baru (Hukum Tanah Nasional):
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 mengenai Undang-
Undang Pokok Agraria (UUPA)
Sebagaimana disebutkan Pasal 16 UUPA, hak-hak atas tanah
adalah sebagai berikut:
a. Hak Milik;

27
b. Hak Guna-Usaha (HGU);
c. Hak Guna-Bangunan (HGB);
d. Hak Pakai;
e. Hak Sewa;
f. Hak Membuka Tanah;
g. Hak Memungut-Hasil Hutan.

B. PENGADAAN TANAH
1. Pengadaan Tanah Sebelum Lahirnya Undang-Undang
No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Periode Pengadaan Tanah sebelum tahun 2000
dimulai dari Pengadaan Tanah berdasar Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-
Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, (yang
dapat disimpulkan dari peraturan ini Panitia Pembebasan
Tanah bekerja atas permintaan Instansi yang memerlukan
tanah. Jika terdapat perbedaan taksiran ganti rugi di antara
para anggota Panitia itu, maka yang dipergunakan adalah
harga rata-rata dari taksiran masing-masing anggota.
Gubernur Kepala Daerah dapat mengambil keputusan yang
bersifat mengukuhkan putusan Panitia Pembebasan Tanah
atau mencari jalan tengah yang dapat diterima oleh kedua
belah pihak. Kewajiban untuk menyediakan tempat
penampungan dalam rangka pembebasan tanah tersebut
merupakan keharusan di samping kewajiban pembayaran
ganti rugi).

28
Pengadaan Tanah berdasarkan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomo 2 Tahun 1985 tentang Tata Cara
Pengadaan Tanah Untuk Keperluan Proyek Pembangunan
di Wilayah Kecamatan, (yang dapat disimpulan dari
peraturan ini, luasan tidak lebih 5 (lima) Ha. Pengadaan
Tanah untuk keperluan proyek-proyek pembangunan yang
dilakukan oleh Instansi Pemerintah cukup dilaksanakan oleh
Pemimpin Proyek dari Instansi yang bersangkutan).
Pengadaan tanah berdasarkan Keputusan Presiden Nomor
55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Dalam peraturan tersebut, dijelaskan Pengadaan Tanah
untuk keperluan proyek-proyek pembangunan yang
dilakukan oleh Instansi Pemerintah cukup dilaksanakan oleh
Pemimpin Proyek dari Instansi yang bersangkutan.
Pengadaan Tanah yang dimaksud luasnya tidak lebih dari 5
(lima) Ha. Dalam melaksanakan Pengadaan Tanah,
Pemimpin Proyek memberitahukan kepada Camat
mengenai letak dan luas tanah yang diperlukan. Apabila
dipandang perlu, Camat dapat meminta bantuan dari
Instansi/Dinas teknis yang bersangkutan sesuai dengan
jenjang hirarki.
Pengadaan tanah berdasarkan perundang-undangan
setelah tahun 2000, di awali dari periode Pengadaan Tanah
menurut Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum, dijelaskan bahwa ganti rugi atas dasar
musyawarah, dimungkinkan pencabutan hak atas tanah.

29
Kemudian berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 65
Tahun 2006 tentang Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun
2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, dijelaskan
bahwa penyerahan hak atas tanah berdasarkan prinsip
penghormatan, tidak disebutkan istilah pencabutan hak dan
tidak di jelaskan Pengadaan Tanah skala kecil.
2. Pengadaan Tanah Setelah Lahirnya Undang-Undang
No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
(1) Undang-Undang tentang Pengadaan Tanah
1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2012
Undang-Undang Pengadaan Tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum yang kita
kenal dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2012
merupakan langkah pertama kalinya dimana
kegiatan Pengadaan Tanah di atur dengan Undang-
Undang, pelaksanaan Pengadaan Tanah di bagi
dalam 4 (empat) tahapan yaitu:
a) Perencanaan;
b) Persiapan;
c) Pelaksanaan; dan
d) Penyerahan hasil.
Dalam setiap tahapan Pengadaan Tanah
dilaksanakan oleh Instansi yang berbeda-beda,
misalkan tahapan perencanaan adalah tahapan
yang di kerjakan oleh Instansi yang memerlukan

30
tanah, selanjutnya tahapan persiapan di kerjakan
oleh Gubernur. Tahapan selanjutnya adalah
pelaksanaan dan penyerahan hasil yang di kerjakan
oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional Provinsi. Selanjutnya anda juga harus
memahami beberapa pengertian dalam Undang-
Undang No. 2 Tahun 2012 meliputi:
a) Instansi adalah lembaga Negara, Kementrian
dan lembaga Pemerintah non-Kementrian,
pemerintah Provinsi, Pemerintah
Kabupaten/Kota dan badan hukum milik
Negara/badan hukum usaha milik Negara yang
mendapat penugasan khusus Pemerintah;
b) Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan
menyediakan tanah dengan cara memberi ganti
kerugiaan yang layak dan adil kepada pihak
yang berhak;
c) Pihak yang berhak adalah pihak yang
menguasai atau memiliki obyek Pengadaan
Tanah;
d) Obyek hak atas tanah adalah tanah, ruang
diatas tanah dan bawah tanah, bangunan,
tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah,
atau lainnya yang dapat dinilai;
e) Hak atas tanah adalah hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Pokok Agraria Tahun 1960 tentang Peraturan

31
Dasar Pokok Pokok Agraria dan hak lain yang
akan ditetapkan dengan Undang-Undang;
f) Kepentingan umum adalah kepentingan
Bangsa, Negara dan masyarakat yang harus
diwujudkan oleh Pemerintah dan digunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat;
g) Hak pengelolaan adalah hak menguasai dari
Negara yang kewenangan pelaksanaannya
sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya;
h) Konsultasi publik adalah proses komunikasi
dialogis atau musyawarah antar pihak yang
berkepentingan guna mencapai kesepahaman
dan kesepakatan dalam perencanaan
Pengadaan Tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum;
i) Pelepasan hak adalah kegiatan pemutusan
hubungan hukum dari pihak yang berhak
kepada Negara melalui lembaga pertanahan;
j) Ganti kerugian adalah penggantian yang dan
adil kepada pihak yang berhak dalam proses
Pengadaan Tanah;
k) Penilai pertanahan yang selanjutnya disebut
penilai adalah orang perorangan yang
melakukan penilaian secara independen dan
professional yang telah mendapat ijin praktik
penilaian dari Menteri Keuangan dan telah
mendapat lisensi dari Lembaga Pertanahan

32
untuk menghitung nilai/harga obyek Pengadaan
Tanah;
l) Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut
Pemerintah, adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan
Pemerintahan Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
m) Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati,
atau Walikota dan perangkat Daerah sebagai
unsur penyelenggara Pemerintah Daerah;
n) Lembaga Pertanahan adalah Badan
Pertanahan Republik Indonesia, Lembaga
Pemerintah yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pertanahan.
Kriteria kepentingan umum sesuai Undang-Undang
No. 2 Tahun 2012, meliputi:
a) Pertahanan dan keamanan Nasional;
b) Jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta
api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi
kereta api;
c) Waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran
air minum, saluran pembuangan air dansanitasi,
dan bangunan pengairan lainnya; (yang
dimaksud dengan bendungan adalah bangunan
yang berupa urukan tanah, urukan batu, beton,
dan atau/ pemasangan batu yang dibangun
selain untuk menahan dan menampung air juga

33
untuk menahan dan menampung limbah
tambang (tailing) atau lumpur sehingga
berbentuk waduk, sedangkan yang dimaksud
dengan bendung adalah tanggul untuk
menahan air di sungai, tepi laut dan
sebagainya)
d) Pelabuhan, bandara udara, dan terminal;
e) Infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
f) Pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan
distribusi tenaga listrik;
g) Jaringan telekomunikasi dan informatika
Pemerintah;
h) Tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
(yang dimaksud dengan sampah adalah
sampah sesuai dengan undang-undang yang
mengatur sampah)
i) Rumah Sakit Pemerintah/Pemda;
j) Fasiltas keselamatan umum (yang dimaksud
dengan fasilitas keselamatan umum adalah
semua fasilitas yang diperlukan untuk
menanggulangi akibat suatu bencana), antara
lain rumah sakit darurat, rumah penampungan
darurat, serta tanggul penanggulangan bahaya
banjir, lahar dan longsor;
k) Tempat pemakaman umum
Pemerintah/Pemda;

34
l) Fasilitas sosial, fasilitas umum dan ruang
terbuka hijau publik; (yang dimaksud ruang
terbuka hijau publik adalah ruang terbuka hijau
sesuai dengan Undang-Undang yang mengatur
penataan ruang)
m) Cagar alam dan cagar budaya;
n) Kantor Pemerintah/Pemda/Desa; (yang
dimaksud kantor Pemerintah/Pemerintah
Daerah/Desa adalah sarana dan prasarana
untuk menyelenggarakan fungsi Pemerintahan,
termasuk lembaga pemasyarakatan, rumah
tahanan Negara, dan unit pelaksana teknis
lembaga pemasyarakatan lain)
o) Pendataan pemukiman kumuh perkotaan dan
atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk
masyarakat berpenghasilan rendah dengan
status sewa;
p) Prasarana pendidikan atau sekolah
Pemerintah/ Pemda;
q) Prasarana olah raga Pemerintah/Pemda dan;
r) Pasar umum dan lapangan parkir umum.

(2) Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja


Sehubungan pengesahan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, terkait pengadaan
tanah dibahas dalam bab tersendiri yaitu Bab VIII, dari
Pasal 122 sampai dengan Pasal 139.
Pasal 122

35
Dalam rangka memberikan kemudahan dan kelancaran
dalam pengadaan tanah untuk kepentingan penciptaan
kerja, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau
menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang
diatur dalam:
1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 22, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5280);
2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5068).
Pasal 123
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012
Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5280) diubah:
1. Ketentuan Pasal 8 diubah, sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 8:

36
(1) Pihakyang Berhak dan pihak yang
menguasai Objek Pengadaan Tanah untuk
Kepentingan Umum wajib mematuhi
ketentuan dalam Undang-Undang ini.
(2) Dalam hal rencana Pengadaan Tanah,
terdapat Objek Pengadaan Tanah yang
masuk dalam kawasan hutan, tanah kas
desa, tanah wakaf, tanahulayat/tanah adat,
dan/atau tanah aset Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik
Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah,
proses penyelesaian statustanahnyaharus
dilakukan sampai dengan penetapan lokasi.
(3) Penyelesaian perubahan kawasan hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan melalui mekanisme pelepasan
kawasan hutanatau pinjam pakai kawasan
hutan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang kehutanan.
(4) Perubahan obyek Pengadaan Tanah yang
masuk dalam kawasan hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) khususnya untuk
proyek prioritas Pemerintah Pusat,
dilakukan melalui mekanisme:
a. pelepasan kawasan hutan, dalam hal
Pengadaan Tanah dilakukan oleh
instansi; atau

37
b. pelepasan kawasan hutan atau pinjam
pakai kawasan hutan, dalam hal
Pengadaan Tanah dilakukan oleh
swasta.
2. Ketentuan Pasal 10 diubah,sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 10
Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) digunakan
untuk pembangunan:
a. pertahanandan keamanan nasional;
b. jalan umum, jalan tol terowongan, jalur kereta
api, stasiun kereta api dan fasilitas operasi
kereta api;
c. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran
air dan sanitasi dan bangunan pengairan
lainnya;
d. pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
e. infrastruktur minyak,gas, dan panas bumi;
f. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan,
dan/ataudistribusi tenaga listrik;
g. jaringan telekomunikasi dan informatika
pemerintah;
h. tempat pembuangan dan pengolahan
sampah;
i. rumah sakit Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah;

38
j. fasilitas keselamatan umum;
k. tempat pemakaman umum Pemerintah Pusat
atau Pemerintah Daerah;
l. fasilitas sosial, fasilitas umum dan ruang
terbuka hijau publik;
m. cagar alam dan cagar budaya;
n. Kantor Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
atau Desa;
o. penataan pemukiman kumuh perkotaan
dan/atau konsolidasi tanah serta perumahan
untuk masyarakat berpenghasilan rendah
dengan status sewa termasuk untuk
pembangunan rumah umum dan rumah
khusus;
p. prasarana pendidikan atau sekolah
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
q. prasarana olahraga Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah;
r. pasar umum dan lapangan parkir umum;
s. Kawasan Industri Hulu dan Hilir Minyak dan
Gas yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, badan
usaha milik Negara, atau badan usaha milik
daerah;
t. Kawasan Ekonomi Khusus yang diprakarsai
dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik
Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah;

39
u. Kawasan Industri yang diprakarsai dan/atau
dikuasai oleh Pemerintah Pusat, pemerintah
daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau
Badan Usaha Milik Daerah;
v. Kawasan Pariwisata yang diprakarsai dan
dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau
Badan Usaha Milik Daerah;
w. Kawasan Ketahanan Pangan yang diprakarsai
dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik
Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah; dan
x. Kawasan pengembangan teknologi yang
diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik
Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah.
3. Ketentuan Pasal 14 diubah,sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 14:
(1) Instansi yang memerlukan tanah membuat
perencanaan Pengadaan Tanah untuk
Kepentingan Umum dengan melibatkan
kementerian/ lembaga yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pertanahan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

40
(2) Perencanaan Pengadaan Tanah untuk
Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) didasarkan atas Rencana Tata
Ruang Wilayah dan prioritas pembangunan
yang tercantum dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah, Rencana
Strategis, dan/atau Rencana Kerja
Pemerintah/instansi yang bersangkutan.
4. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 19
(1) Konsultasi Publik rencana pembangunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(3) dilaksanakan untuk mendapatkan
kesepakatan lokasi rencana pembangunan
dari:
a. Pihakyang Berhak;
b. Pengelola; dan
c. Pengguna Barang Milik Negara/Barang
Milik Daerah.
(2) Konsultasi Publik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan
Pihak yang Berhak, Pengelola, pengguna
Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah
dan masyarakat yang terkena dampak serta
dilaksanakan di tempat rencana
pembangunan untuk Kepentingan Umum
atau di tempat yang disepakati.

41
(3) Pelibatan Pihak yang Berhak, Pengelola, dan
pengguna Barang Milik Negara/Barang Milik
Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dapat dilakukan melalui perwakilan
dengan surat kuasa dari dan oleh Pihak yang
Berhak, Pengelola, dan pengguna Barang
Milik Negara/Barang Milik Daerah atas lokasi
rencana pembangunan.
(4) Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dituangkan dalam bentuk berita
acara kesepakatan.
(5) Atas dasar kesepakatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), Instansi yang
memerlukan tanah mengajukan permohonan
penetapan lokasi kepada gubernur.
(6) Gubernur menetapkan lokasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) dalam waktu paling
lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak
diterimanya pengajuan permohonan
penetapan oleh Instansi yang memerlukan
tanah.
(7) Dalam hal Pihak yang Berhak, pengelola,
dan pengguna Barang Milik Negara/Barang
Milik Daerah tidak menghadiri konsultasi
publik setelah diundang 3 (tiga) kali secara
patut, dianggap menyetujui rencana

42
pembangunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai Konsultasi
Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
5. Di antara Pasal 19 dan Pasal 20 disisipkan 3
(tiga) pasal yakni Pasal 19A, Pasal 19B, dan
Pasal 19C sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 19A
a. Dalam rangka efisiensi dan efektifitas,
pengadaan tanah untuk kepentingan umum
yang luasnya tidak lebih dari 5 (lima) hektar,
dapat dilakukan langsung oleh instansi yang
memerlukan tanah dengan Pihak yang
Berhak.
b. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
sesuai dengan kesesuaian tata ruang
wilayah.
Pasal 19B
Dalam hal pengadaan tanah untuk kepentingan
umum yang luasnya kurang dari 5 (lima) hektar
yang dilakukan langsung antara Pihak yang
Berhak dengan instansi yang memerlukan tanah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19A ayat
(1), penetapan lokasi dilakukan oleh Bupati/Wali
kota.
Pasal 19C

43
Setelah penetapan lokasi pengadaan tanah tidak
diperlukan lagi persyaratan:
a. kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang;
b. pertimbangan teknis;
c. di luar kawasan hutan dan di luar kawasan
pertambangan;
d. di luar kawasan gambut/sempadan pantai; dan
e. analisis mengenai dampak lingkungan hidup.
6. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga, berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 24
(1) Penetapan lokasi pembangunan untuk
Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 ayat (6) atau Pasal 22 ayat (1)
diberikan untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun
dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk
jangka waktu 1 (satu) tahun.
(2) Permohonan perpanjangan waktu penetapan
lokasi disampaikan paling singkat 6 (enam)
bulan sebelum masa berlaku penetapan lokasi
berakhir.
7. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 28
(1) Inventarisasi dan identifikasi penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan

44
tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 ayat (2) huruf a meliputi kegiatan:
a. pengukuran dan pemetaan bidang per
bidang tanah; dan
b. pengumpulan data Pihak yang Berhak dan
Objek Pengadaan Tanah.
(2) Inventarisasi dan identifikasi penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan
tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) Hari.
(3) Pengumpulan data Pihak yang Berhak dan
Objek Pengadaan Tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat
dilakukan oleh surveyor berlisensi.
8. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 34
(1) Nilai Ganti Kerugian yang dinilai oleh Penilai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
merupakan nilai pada saat pengumuman
penetapan lokasi pembangunan untuk
Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26.
(2) Besarnya nilai Ganti Kerugian berdasarkan
hasil penilaian Penilai sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan kepada Lembaga
Pertanahan disertai dengan berita acara.

45
(3) Besarnya nilai Ganti Kerugian berdasarkan
hasil penilaian Penilai sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bersifat final dan mengikat.
(4) Besarnya nilai Ganti Kerugian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), dijadikan dasar untuk
menetapkan bentuk Ganti Kerugian.
(5) Musyawarah penetapan Ganti Kerugian
sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dilaksanakan oleh Ketua Pelaksana
Pengadaan Tanah bersama dengan Penilai
dengan para Pihak yang Berhak.
9. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 36
(1) Pemberian Ganti Kerugian dapat diberikan
dalam bentuk:
a. uang;
b. tanah pengganti;
c. pemukiman kembali;
d. kepemilikan saham; ataue.bentuk lain
yang disetujui oleh kedua belah pihak.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemberian
Ganti Kerugian dalam bentuk tanah
pengganti, pemukiman kembali, kepemilikan
saham, atau bentuk lainnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur
dalamPeraturan Pemerintah.

46
10. Penjelasan Pasal 40 diubah sebagaimana
tercantum dalam Penjelasan.
11. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 42
(1) Dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk
dan/atau besarnya Ganti Kerugian berdasarkan
hasil musyawarah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37, atau putusan pengadilan
negeri/Mahkamah Agung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38, Ganti Kerugian
dititipkan di pengadilan negeri setempat.
(2) Penitipan Ganti Kerugian selain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilakukan juga terhadap:
a. Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian
tidak diketahui keberadaannya; atau
b. obyek pengadaan tanah yang akan diberikan
Ganti Kerugian:
1. sedang menjadi obyek perkara di
pengadilan;
2. masih dipersengketakan kepemilikannya;
3. diletakkan sita oleh pejabat yang
berwenang; atau
4. menjadi jaminan di Bank.
(3) Pengadilan negeri paling lama dalam jangka
waktu 14 (empat belas) Hari wajib menerima
penitipan Ganti Kerugian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

47
12. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 46
(1) Pelepasan Objek Pengadaan Tanah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat
(1) dan ayat (2) tidak diberikan Ganti Kerugian,
kecuali:
a. Objek Pengadaan Tanah yang dipergunakan
sesuai dengan tugas dan fungsi pemerintahan;
b. Objek Pengadaan Tanah yang
dimiliki/dikuasai oleh Badan Usaha Milik
Negara/Badan Usaha Milik Daerah; dan/atau
c. Objek Pengadaan Tanah kas desa;
(2) Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
diberikan dalam bentuk tanah dan/atau
bangunan atau relokasi.
(3) Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan
Tanahsebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dapat diberikan dalam bentuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36.
(4) Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah
Kas Desa sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c dapat diberikan dalam bentuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36.
(5) Nilai Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) didasarkan

48
atas hasil penilaian Ganti Kerugian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat
(2).
(6) Nilai Ganti Kerugian atas objek pengadanan
tanah berupa harta benda wakaf ditentukan
sama dengan nilai hasil penilaian Penilai atas
harta benda wakaf yang diganti.
c. Peraturan turunan dari perubahan UU Nomor 2 Tahun
2012, adalah sebagai berikut:
1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19
Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum. Peraturan Pemerintah ini merupakan turunan
langsung dari perubahan UU Pengadaan Tanah oleh
UU Cipta Kerja. Disahkannya peraturan ini
memberikan dasar penyelenggaraan pengadaan
tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Pokok-pokok pengaturan dalam peraturan ini adalah:
a) Ketentuan umum. Pasal 1
b) Pengadaan tanah untuk kepentingan umum, yang
berisi:
- Umum: Pasal 2-3
- Perencanaan pengadaan tanah: Pasal 4-8
- Persiapan pengadaan tanah: Pasal 9-52
- Pelaksanaan pengadaan tanah: Pasal 53-
114
- Penyerahan hasil pengadaan tanah: Pasal
115-118

49
- Pemantauan dan evaluasi: Pasal 119
- Sumber dana pengadaan tanah: Pasal 120-
125
- Pengadaan tanah skala kecil: Pasal 126-127
- Insentif perpajakan: Pasal 128
c) Pengadaan tanah untuk kemudahan proyek
strategis nasional: Pasal 129-131
d) Sistem pengadaan tanah secara elektronik: Pasal
132
e) Ketentuan lain-lain: Pasal 133-139
f) Ketentuan peralihan: Pasal 140
g) Ketentuan penutup: Pasal 141-143
2. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala
BPN No. 19 Tahun 2021 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 19 Tahun 2021 Tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Peraturan
ini merupakan landasan operasional pelaksanaan
pengadaan tanah.
Prinsip-prinsip kegiatan operasional yang diatur di
dalam peraturan ini meliputi:
a) Ketentuan umum: Pasal 1
b) Perencanaan pengadaan tanah:
- Umum: Pasal 2
- Studi kelayakan: Pasal 3-4

50
- Muatan dokumen perencanaan pengadaan
tanah: Pasal 5-18
- Tata laksana penyusunan dokumen
perencanaan pengadaan tanah: Pasal 19-30
c) Persiapan pengadaan tanah: - Verifikasi dokumen
perencanaan pengadaan tanah: Pasal 31-35 Tata
laksana persiapan pengadaan tanah: Pasal 36-80
d) Pelaksanaan pengadaan tanah:
- Umum: Pasal 81
- Penyiapan pelaksanaan pengadaan tanah:
Pasal 82-95
- Inventarisasi dan Identifikasi: Pasal 96-106
- Penetapan penilai: Pasal 107-111
- Musyawarah penetapan bentuk ganti
kerugian: Pasal 112-114
- Pemberian ganti kerugian: Pasal 115-122
- Pemberian ganti kerugian dalam keadaan
khusus: Pasal 123-127
- Penitipan ganti kerugian: Pasal 128-129
- Pelepasan objek pengadaan tanah: Pasal
130-133
- Pemutusan hubungan hukum antara pihak
yang berhak dengan objek pengadaan tanah:
Pasal 134-137
- Pendokumentasian data pelaksanaan
pengadaan tanah: Pasal 138
- Pengambilan ganti kerugian: Pasal 139

51
e) Penyerahan hasil pengadaan tanah: Pasal 140-
141
f) Pemantauan dan evaluasi: Pasal 142
g) Pembiayaan pengadaan tanah: Pembiayaan
perencanaan: Pasal 143 Pembiayaan persiapan:
Pasal 144 Pembiayaan pelaksanaan dan
penyerahan hasil: Pasal 145
h) Pengadaan tanah skala kecil: Pasal 146-151
i) Ketentuan peralihan: Pasal 152-153
j) Ketentuan penutup: Pasal 154-155
d. Peraturan terkait dengan pelaksanaan pengadaan
tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum
1. Permenkeu No. 13/02.PMK/2013 tentang Biaya
Operasional dan Biaya Pendukung Untuk Pengadaan
Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum yang Bersumber pada Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara Jo. No. 10/02.PMK/2015.
Permenkeu ini mengatur tentang pembiayaan
kegiatan Pengadaan Tanah mulai dari tahapan
perencanaan, persiapan, pelaksanaan dan
penyerahan hasil dengan rinci.
2. Permendagri No. 72 Tahun 2012 tentang Biaya
Operasional dan Biaya Pendukung Pengadaan
Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
yang Bersumber Pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah.

52
3. Surat Edaran MATR / Ka BPN No. 3061/2.1/VII/2016
tanggal 1 Juli 2016 perihal ketentuan pengelolaan
biaya satgas A dan B dalam rangka Pengadaan
Tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
4. Peraturan Mahkamah Agung RI No 2 Tahun 2016
tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa
Penetapan Lokasi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum Pada Peradilan Tata Usaha Negara
5. Peraturan Mahkamah Agung RI No 3 Tahun 2016
tentang tata cara pengajuan keberatan dan penitipan
ganti kerugian ke Pengadilan Negeri dalam
Pengadaan Tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum. Di dalam peraturan ini di
jabarkan bagaimana pelaksanaan konsinyasi bagi
pihak yang tidak menyetujui besaran uang ganti
kerugian, permasalahan bagi bidang tanah yang
masih dalam proses sengketa dan bidang tanah yang
tidak di ketahui pemiliknya.
6. Peraturan Presiden No. 109 Tahun 2020 tentang
Perubahan Ketiga Peraturan Presiden No. 3 Tahun
2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek
Strategis Nasional jo Peraturan Presiden No. 56
Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Peraturan
Presiden No. 3 Tahun 2016 tentang Percepatan
Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional jo Peraturan
Presiden Nomor 58 Tahun 2017 jo. Peraturan
Presiden No. 3 Tahun 2016. Ketentuan terkait
dengan pertanahan terdapat dalam Peraturan

53
Presiden Nomor 58 Tahun 2017 yaitu tentang jangka
waktu perpanjangan penetapan lokasi dari 1 (satu)
tahun menjadi 2 (dua) tahun (pasal 21 ayat 6), dan di
lakukan monitoring dalam waktu paling sedikit 6
(enam) bulan atau sewaktu-waktu di perlukan dan di
laporkan kepada Presiden.
7. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2020
tentang Penilai Pertanahan
Pasal 5
a. Penilai Pertanahan yang telah memperoleh Lisensi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus
mengikuti kegiatan peningkatan kompetensi di
bidang pertanahan yang diselenggarakan oleh
Kementerian.
b. Peningkatan kompetensi di bidang pertanahan
yang diselenggarakan oleh Kementerian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
dasar pemegang lisensi untuk melaksanakan
penilaian pertanahan di lingkungan Kementerian.
Pasal 6
a. Apabila Lisensi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 berakhir jangka waktunya, Penilai
Pertanahan dapat memperpanjang Lisensi dengan
mengajukan permohonan kepada Menteri.

54
b. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diajukan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum
masa Lisensi berakhir.
c. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan dengan melampirkan:
1) Surat Keputusan Menteri tentang Pemberian
Lisensi Penilai Pertanahan;
2) surat izin Penilai Publik dari Menteri Keuangan
dengan klasifikasi izin penilaian properti;
3) sertifikat kegiatan peningkatan kompetensi di
bidang pertanahan yang telah dimiliki; dan
d.dokumen lainnya, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) yang mengalami
perubahan.
4) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diunggah secara daring melalui sistem
elektronik yang disediakan oleh Kementerian.
5) Penerima perpanjangan Lisensi harusmengikuti
kegiatan peningkatan kompetensi di bidang
pertanahan yang dilaksanakan oleh
Kementerian.
Pasal 7
a. Lisensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
hapus dalam hal:
1) PenilaiPertanahan meninggal dunia;
2) izin Penilai Publik dari Menteri Keuangan
hapusatau dicabut.

55
b. Lisensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
dicabut dalam hal:
1) PenilaiPertanahan berhenti atas permintaan
sendiri; atau
2) terbukti melakukan pelanggaran terhadap
kewajiban dan larangan Penilai Pertanahan,
yang dikenai sanksi pencabutan lisensi.
Pasal 8
a. Objek Penilaian Pertanahan meliputi tanah,
bangunan, tanaman, benda yang berkaitan
dengan tanah, dan yang berada pada ruang atas
tanah dan bawah tanah, serta hal lain yang dapat
dinilai.
b. Penilaian terhadap objek sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan untuk kegiatan:
1) pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum;
2) penyelesaian penguasaan tanah milik
perseorangan warga belanda atau badan
hukum milik belanda (P3MB) dan penyelesaian
tanah-tanah obyek Peraturan Presidium
Kabinet Dwikora Nomor 5/Prk/Tahun 1965
(Prk.5);
3) penanganan dampak sosial kemasyarakatan
dalam rangka penyediaan tanah untuk
pembangunan nasional;
a) penataan ruang; dan

56
b) lainnya yang ditetapkan oleh Menteri
dan/atau ketentuan peraturan perundang-
undangan.
4) Penilaian objek sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a, dalam hal dibutuhkan untuk
mendapatkan nilai perbandingan, Instansi yang
memerlukan tanah dapat menggunakan jasa
Penilai Pertanahan pada saat perencanaan.
Pasal 9
a. Penilai Pertanahan mempunyai kewajiban:
1) menaati dan melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan Kode Etik
Penilai Indonesia (KEPI);
2) mematuhi SPI;
3) melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaan
sesuai jadwal yang ditetapkan;
4) mencari data dan informasi serta dokumen yang
diperlukan dalam pelaksanaan tugas penilaian;
5) mengadministrasikan semua pekerjaansecara
tertib dan mengelola Laporan Penilaian;
6) mempresentasikan hasil penilaian;
7) mengikuti proses pengadaan barang/jasa
pemerintah di seluruh wilayah Indonesia sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan
8) melaksanakan penilaian langsung ke lapangan
dan bertanggung jawab terhadap hasil
penilaian.

57
b. Dalam hal penilaian dilakukan pada kegiatan
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum, penilai pertanahan juga wajib:
1) mencaridata pembanding, baik di lokasi
pengadaan tanah maupun dilokasi sekitarnya;
2) melakukan ekspos hasil penilaian di hadapan
Pelaksana Pengadaan Tanah; dan
3) mendampingi Pelaksana Pengadaan Tanah
pada saat musyawarah bentuk ganti kerugian.
4) Dalam melaksanakan pekerjaan penilai
pertanahan wajib melaporkan hasil melalui
sistem aplikasi yang ditetapkan oleh
Kementerian.
Pasal 10
Penilai Pertanahan berhak:
a. mengikuti proses pengadaan pekerjaan penilaian
pertanahan melalui mekanisme pengadaan
barang dan jasa sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
b. memperoleh penghasilan atas jasa yang diberikan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
c. memperoleh informasiterkait dengan pelaksanaan
penilaian.
Pasal 11
Penilai Pertanahan dalam melaksanakan
pekerjaannya, dilarang:

58
a. melakukan perbuatan melawan hukum dan/atau
melanggar etika profesi;
b. menggunakan data dan informasi serta hasil
pekerjaan yang diperoleh untuk keperluan di luar
penugasan;
c. merangkap jabatan sebagai:
1) advokat atau penasihat hukum;
2) pegawai negeri, pegawai badanusaha milik
negara, dan pegawai badan usaha milik daerah;
3) pejabat negara, pegawai pemerintah dengan
perjanjian kerja (PPPK) atau perjanjian kerja
waktu tertentu (PKWT);
4) pimpinan pada sekolah dan perguruan tinggi
negeri;
5) notaris dan/atau PPAT;
6) surveyor kadaster berlisensi dan asisten
surveyor kadaster berlisensi; dan/atau
7) mediator pertanahan.
d. mengatasnamakan Kementerian, KJPP atau
lainnya untuk kepentingan pribadi.
Pasal 12
Penilai Pertanahan dalam menjalankan tugas
dan kegiatannya terikat kepada etika profesi yang
diatur dalam Kode Etik Profesi dan SPI.
Pasal 13
a. Penilai Pertanahan yang melakukan pelanggaran
terhadap kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 dan larangan sebagaimana

59
dimaksud dalam Pasal 11 dapat dikenai sanksi
administrasi.
b. Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), berupa:
a. teguran tertulis;
b. pemberhentian sementara; dan/atau
c. pencabutan lisensi.
(3) Pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh Menteri atau pejabat yang
ditunjuk.
Pasal 14
(1) Kementerian melaksanakan pemantauan,
evaluasi dan pembinaan terhadap pelaksanaan
tugas Penilai Pertanahan.
(2) Pemantauan dilaksanakan berdasarkan:
a. laporan berkala tiap 6 (enam) bulan;
b. informasi dari sistem informasi pengadaan
tanah Kementerian;
c. informasi dari portal organisasi profesi penilai;
dan/atau
d. informasi dari portal Kementerian/Lembaga
terkait.
(3) Evaluasi kegiatan penilaian dilakukan oleh
Kementerian setiap akhir tahun anggaran.
(4) Pembinaan dilakukan dengan tatap muka antara
Kementerian dengan Penilai Pertanahan setiap 6
(enam) bulan.

60
C. PENGUKURAN DAN PEMETAAN
1. Pengukuran dan Pemetaan Dasar
Salah satu tahapan dalam kegiatan permohonan dan
pendaftaran hak atas tanah adalah pengukuran dan
pemetaan. Secara umum kegiatan pengukuran dapat
diartikan sebagai kegiatan untuk memperoleh data letak
lokasi yang dinyatakan dalam koordinat dan bentuk
geometris dari objek yang diukur.
Hasil dari pengukuran dapat diketahui posisi relatif,
luas, keliling dan jarak, juga arah posisi tanah. Adapun yang
dimaksud dengan kegiatan pemetaan adalah kegiatan
memplot suatu lokasi atau bentuk geometri ke dalam peta,
baik secara digital maupun analog (konvensional).
Pengukuran dan pemetaan adalah dua kegiatan yang tak
terpisahkan, karena hasil dari pengukuran harus ditampilkan
dalam bentuk peta.
Terkait dengan proses pendaftaran tanah, maka
kegiatan pengukuran dan pemetaan meliputi :
1. Pembuatan peta dasar;
2. Penetapan batas bidang-bidang tanah;
3. Pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan
pembuatan peta pendaftaran;
4. Pembuatan daftar tanah;
5. Pembuatan surat ukur.
Kegiatan pengukuran dan pemetaan bukan hanya
sebatas pengambilan data bidang tanah. Data bidang tanah
saja tidak cukup karena harus tersedia titik ikat yang pasti.
Tujuannya adalah agar posisi bidang tanah akurat dan jelas.

61
Tanpa ada titik ikat, maka posisi bidang tanah akan
melayang tanpa memiliki titik koordinat bumi (georeferensi).
Ini akan sangat berbahaya karena akan berakibat terjadinya
tumpang tindih bidang tanah pada peta. Oleh sebab itu,
pengukuran dan pemetaan titik ikat atau titik dasar teknis
yang lebih dikenal dengan pengukuran dan pemetaan
dasar.
Secara teknis kegiatan pengukuran dan pemetaan
telah menggunakan peralatan yang canggih dan dengan
metode pengambilan data dan pengolahan data. Idealnya,
data titik dasar teknis telah tersedia dan menjadi acuan
dalam pengukuran bidang tanah. Saat ini, dengan teknologi
penyediaan data dasar teknis lebih akurat dan menjangkau
wilayah yang lebih luas.
Tahapan pekerjaan yang dilalui secara garis besar
adalah :
1. Persiapan pengukuran;
2. Pengambilan data lapang atau pengukuran;
3. Pengolahan data;
4. Pemetaan.
Hasil kegiatan pengukuran dan pemetaan dasar yang
selanjutnya digunakan dalam pemetaan bidang tanah
adalah peta dasar pendaftaran tanah atau peta dasar
pertanahan.
Unsur-unsur yang terdapat dalam peta dasar
pertanahan berupa :

62
1. Unsur-unsur fisik seperti sungai, jalan, rawa, garis
pantai;
2. Batas administrasi;
3. Bidang tanah.
Bidang tanah yang terdapat dalam peta dasar
pendaftaran tanah merupakan batas secara fisik yang
secara visual tampak pada peta foto udara atau peta citra
satelit yang kemudian didigitasi. Gambar bidang tanah
hanya dapat digunakan sebagai orientasi bukan sebagai
batas pemilikan tanah. Penggunaan peta dasar pendaftaran
tanah hanya untuk plotting bidang tanah hasil pengukuran.
Data citra satelit dan foto udara digunakan sebagai
bahan untuk pembuatan peta dasar pendaftaran tanah.
Meskipun belum menjangkau seluruh wilayah, tetapi
ketersediaan citra satelit dan foto udara mempermudah
kegiatan plotting bidang tanah hasil pengukuran.
Sekarang ini di seluruh Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota se-Indonesia telah tersedia Geo-KKP, yaitu
sistem aplikasi komputer yang mengintegrasikan data
spasial (peta) dan data tekstual. Dengan bantuan sistem
komputer, pembuatan peta dasar pendaftaran tanah, peta
pendaftaran tanah, surat ukur, gambar ukur dan peta bidang
tanah dapat dilakukan dengan cepat dan akurat.
Peta dasar pendaftaran tanah tidak secara langsung
digunakan untuk pembuatan sertifikat tanah. Peta dasar
pendaftaran tanah yang diplotting data hasil pengukuran
disebut dengan peta pendaftaran tanah. Gambar bidang

63
tanah yang terdapat dalam peta pendaftaran tanah
kemudian dicuplik untuk menjadi surat ukur.
Kebijakan satu peta (one map policy) yang
selanjutnya disebut KSP (Kebijakan Satu Peta) merupakan
arahan strategis dalam terpenuhinya satu peta yang
mengacu pada satu referensi geospasial, satu standar, satu
basis data, dan satu geoportal. KSP diatur dalam Peraturan
Presiden No. 9 Tahun 2016 tentang Percepatan
Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta Pada Tingkat Ketelitian
Peta Skala 1:50.000. Kebijakan ini penting apabila dikaitkan
dengan pertanahan yaitu data yang berasal dari referensi
yang sama akan memudahkan kontrol status kawasan
hutan sehingga masalah di lapangan dapat dihindari.

2. Pengukuran dalam rangka kegiatan


inventarisasi/pengadaan tanah, pengukuran atas
permintaan instansi dan/atau masyarakat untuk
mengetahui luas tanah dan pengukuran bidang tanah
dalam rangka pembuatan peta situasi lengkap
(topografi)
1. Permintaan Instansi
Persyaratan :
a. Formulir permohonan yang sudah diisi dan
ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas
meterai cukup. Keterangan yang harus ada di dalam
formulir ini adalah :
1) Identitas diri;

64
2) Luas, letak dan penggunaan tanah yang
dimohon;
3) Pernyataan telah memasang tanda batas.
2. Surat Kuasa apabila dikuasakan;
3. Fotokopi identitas (KTP, KK) pemohon dan kuasa
apabila dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan
aslinya oleh petugas loket;
4. Fotokopi Akta Pendirian dan Pengesahan Badan
Hukum yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh
petugas loket bagi Badan Hukum :
a. Waktu : 18 hari;
b. Biaya : Sesuai ketentuan PNBP.
2. Permintaan Masyarakat
Masyarakat dapat memperoleh data tekstual dan
spasial yang telah tersedia di Badan Pertanahan
Nasional melalui pola PNBP. Jenis layanan informasi
terdapat dalam PP No. 128 Tahun 2015. Sedangkan
tata cara permohonan untuk memperoleh informasi
tekstual adalah sebagai berikut :
a. Persyaratan :
1) Formulir permohonan dengan mengisikan data
yang diminta dan ditandatangani pemohon atau
kuasanya;
2) Surat Kuasa apabila dikuasakan;
3) Fotokopi identitas pemohon dan kuasa apabila
dikuasakan yang telah dicocokkan dengan
aslinya oleh petugas loket.
b. Waktu : 3 hari;

65
c. Biaya : Sesuai ketentuan PNBP di dalam PP No.
128 Tahun 2015.

D. TATA RUANG
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan
Ruang
Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan
Ruang mencabut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992
tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3501) dan dinyatakan tidak berlaku.
Latar Belakang:
Pertimbangan dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun
2007 tentang Penataan Ruang adalah:
1. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang merupakan negara kepulauan berciri Nusantara, baik
sebagai kesatuan wadah yang meliputi ruang darat, ruang
laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi,
maupun sebagai sumber daya, perlu ditingkatkan upaya
pengelolaannya secara bijaksana, berdaya guna, dan
berhasil guna dengan berpedoman pada kaidah penataan
ruang sehingga kualitas ruang wilayah nasional dapat
terjaga keberlanjutannya demi terwujudnya kesejahteraan
umum dan keadilan sosial sesuai dengan landasan
konstitusional Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. bahwa perkembangan situasi dan kondisi nasional dan
internasional menuntut penegakan prinsip keterpaduan,

66
keberlanjutan, demokrasi, kepastian hukum, dan keadilan
dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang yang baik
sesuai dengan landasan idiil Pancasila;
3. bahwa untuk memperkukuh Ketahanan Nasional
berdasarkan Wawasan Nusantara dan sejalan dengan
kebijakan otonomi daerah yang memberikan kewenangan
semakin besar kepada pemerintah daerah dalam
penyelenggaraan penataan ruang, maka kewenangan
tersebut perlu diatur demi menjaga keserasian dan
keterpaduan antardaerah dan antara pusat dan daerah agar
tidak menimbulkan kesenjangan antardaerah;
4. bahwa keberadaan ruang yang terbatas dan pemahaman
masyarakat yang berkembang terhadap pentingnya
penataan ruang sehingga diperlukan penyelenggaraan
penataan ruang yang transparan, efektif, dan partisipatif
agar terwujud ruang yang aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan;
5. bahwa secara geografis Negara Kesatuan Republik
Indonesia berada pada kawasan rawan bencana sehingga
diperlukan penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana
sebagai upaya meningkatkan keselamatan dan
kenyamanan kehidupan dan penghidupan;
6. bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang
Penataan Ruang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan
pengaturan penataan ruang sehingga perlu diganti dengan
undang-undang penataan ruang yang baru;
7. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f,

67
perlu membentuk Undang-Undang tentang Penataan
Ruang;

Dasar Hukum
Dasar hukum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang adalah Pasal 5 ayat (1), Pasal 20,
Pasal 25A, dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007
tentang Penataan Ruang
1. Ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik
sebagai kesatuan wadah yang meliputi ruang darat, ruang
laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi,
maupun sebagai sumber daya, merupakan karunia Tuhan
Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia yang perlu
disyukuri, dilindungi, dan dikelola secara berkelanjutan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai dengan
amanat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
serta makna yang terkandung dalam falsafah dan dasar
negara Pancasila. Untuk mewujudkan amanat Pasal 33 ayat
(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 tersebut, Undang-Undang tentang Penataan
Ruang ini menyatakan bahwa negara menyelenggarakan
penataan ruang, yang pelaksanaan wewenangnya
dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dengan
tetap menghormati hak yang dimiliki oleh setiap orang.

68
2. Secara geografis, letak Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berada di antara dua benua dan dua
samudera sangat strategis, baik bagi kepentingan nasional
maupun internasional. Secara ekosistem, kondisi alamiah
Indonesia sangat khas karena posisinya yang berada di
dekat khatulistiwa dengan cuaca, musim, dan iklim tropis,
yang merupakan aset atau sumber daya yang sangat besar
bagi bangsa Indonesia. Di samping keberadaan yang
bernilai sangat strategis tersebut, Indonesia berada pula
pada kawasan rawan bencana, yang secara alamiah dapat
mengancam keselamatan bangsa. Dengan keberadaan
tersebut, penyelenggaraan penataan ruang wilayah
nasional harus dilakukan secara komprehensif, holistik,
terkoordinasi, terpadu, efektif, dan efisien dengan
memperhatikan faktor politik, ekonomi, sosial, budaya,
pertahanan, keamanan, dan kelestarian lingkungan hidup.
3. Ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang
udara, termasuk ruang di dalam bumi, sebagai tempat
manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan
memelihara kelangsungan hidupnya, pada dasarnya
ketersediaannya tidak tak terbatas. Berkaitan dengan hal
tersebut, dan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional
yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan
berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan
Nasional, Undang-Undang ini mengamanatkan perlunya
dilakukan penataan ruang yang dapat mengharmoniskan
lingkungan alam dan lingkungan buatan, yang mampu
mewujudkan keterpaduan penggunaan sumber daya alam

69
dan sumber daya buatan, serta yang dapat memberikan
pelindungan terhadap fungsi ruang dan pencegahan
dampak negatif terhadap lingkungan hidup akibat
pemanfaatan ruang. Kaidah penataan ruang ini harus dapat
diterapkan dan diwujudkan dalam setiap proses
perencanaan tata ruang wilayah.
4. Ruang sebagai sumber daya pada dasarnya tidak mengenal
batas wilayah. Namun, untuk mewujudkan ruang wilayah
nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan
berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan
Nasional, serta sejalan dengan kebijakan otonomi daerah
yang nyata, luas, dan bertanggung jawab, penataan ruang
menuntut kejelasan pendekatan dalam proses
perencanaannya demi menjaga keselarasan, keserasian,
keseimbangan, dan keterpaduan antardaerah, antara pusat
dan daerah, antarsektor, dan antarpemangku kepentingan.
Dalam Undang-Undang ini, penataan ruang didasarkan
pada pendekatan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah
administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis
kawasan.
Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah tersebut,
wewenang penyelenggaraan penataan ruang oleh
Pemerintah dan pemerintah daerah, yang mencakup
kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan
pengawasan penataan ruang, didasarkan pada pendekatan
wilayah dengan batasan wilayah administratif. Dengan
pendekatan wilayah administratif tersebut, penataan ruang

70
seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri
atas wilayah nasional, wilayah provinsi, wilayah kabupaten,
dan wilayah kota, yang setiap wilayah tersebut merupakan
subsistem ruang menurut batasan administratif. Di dalam
subsistem tersebut terdapat sumber daya manusia dengan
berbagai macam kegiatan pemanfaatan sumber daya alam
dan sumber daya buatan, dan dengan tingkat pemanfaatan
ruang yang berbeda-beda, yang apabila tidak ditata dengan
baik dapat mendorong ke arah adanya ketidakseimbangan
pembangunan antarwilayah serta ketidaksinambungan
pemanfaatan ruang. Berkaitan dengan penataan ruang
wilayah kota, Undang-Undang ini secara khusus
mengamanatkan perlunya penyediaan dan pemanfaatan
ruang terbuka hijau, yang proporsi luasannya ditetapkan
paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota,
yang diisi oleh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah
maupun yang sengaja ditanam.
Penataan ruang dengan pendekatan kegiatan utama
kawasan terdiri atas penataan ruang kawasan perkotaan
dan penataan ruang kawasan perdesaan. Kawasan
perkotaan, menurut besarannya, dapat berbentuk kawasan
perkotaan kecil, kawasan perkotaan sedang, kawasan
perkotaan besar, kawasan metropolitan, dan kawasan
megapolitan. Penataan ruang kawasan metropolitan dan
kawasan megapolitan, khususnya kawasan metropolitan
yang berupa kawasan perkotaan inti dengan kawasan
perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan
fungsional dan dihubungkan dengan jaringan prasarana

71
wilayah yang terintegrasi, merupakan pedoman untuk
keterpaduan perencanaan tata ruang wilayah administrasi di
dalam kawasan, dan merupakan alat untuk
mengoordinasikan pelaksanaan pembangunan lintas
wilayah administratif yang bersangkutan. Penataan ruang
kawasan perdesaan diselenggarakan pada kawasan
perdesaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten atau
pada kawasan yang secara fungsional berciri perdesaan
yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten pada
1 (satu) atau lebih wilayah provinsi. Kawasan perdesaan
yang merupakan bagian wilayah kabupaten dapat berupa
kawasan agropolitan.
Penataan ruang dengan pendekatan nilai strategis kawasan
dimaksudkan untuk mengembangkan, melestarikan,
melindungi dan/atau mengoordinasikan keterpaduan
pembangunan nilai strategis kawasan yang bersangkutan
demi terwujudnya pemanfaatan yang berhasil guna,
berdaya guna, dan berkelanjutan. Penetapan kawasan
strategis pada setiap jenjang wilayah administratif
didasarkan pada pengaruh yang sangat penting terhadap
kedaulatan negara, pertahanan, keamanan, ekonomi,
sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk kawasan
yang ditetapkan sebagai warisan dunia. Pengaruh aspek
kedaulatan negara, pertahanan, dan keamanan lebih
ditujukan bagi penetapan kawasan strategis nasional,
sedangkan yang berkaitan dengan aspek ekonomi, sosial,
budaya, dan lingkungan, yang dapat berlaku untuk

72
penetapan kawasan strategis nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota, diukur berdasarkan pendekatan
ekternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi penanganan
kawasan yang bersangkutan.
5. Penataan ruang sebagai suatu sistem perencanaan tata
ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan
ruang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan
antara yang satu dan yang lain dan harus dilakukan sesuai
dengan kaidah penataan ruang sehingga diharapkan (i)
dapat mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil guna
dan berdaya guna serta mampu mendukung pengelolaan
lingkungan hidup yang berkelanjutan; (ii) tidak terjadi
pemborosan pemanfaatan ruang; dan (iii) tidak
menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang.
Penataan ruang yang didasarkan pada karakteristik, daya
dukung dan daya tampung lingkungan, serta didukung oleh
teknologi yang sesuai akan meningkatkan keserasian,
keselarasan, dan keseimbangan subsistem. Hal itu berarti
akan dapat meningkatkan kualitas ruang yang ada. Karena
pengelolaan subsistem yang satu berpengaruh pada
subsistem yang lain dan pada akhirnya dapat
mempengaruhi sistem wilayah ruang nasional secara
keseluruhan, pengaturan penataan ruang menuntut
dikembangkannya suatu sistem keterpaduan sebagai ciri
utama. Hal itu berarti perlu adanya suatu kebijakan nasional
tentang penataan ruang yang dapat memadukan berbagai
kebijakan pemanfaatan ruang. Seiring dengan maksud
tersebut, pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan,

73
baik oleh Pemerintah, pemerintah daerah, maupun
masyarakat, baik pada tingkat pusat maupun pada tingkat
daerah, harus dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang
yang telah ditetapkan. Dengan demikian, pemanfaatan
ruang oleh siapa pun tidak boleh bertentangan dengan
rencana tata ruang.
6. Perencanaan tata ruang dilakukan untuk menghasilkan
rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang.
Rencana umum tata ruang disusun berdasarkan
pendekatan wilayah administratif dengan muatan substansi
mencakup rencana struktur ruang dan rencana pola ruang.
Rencana rinci tata ruang disusun berdasarkan pendekatan
nilai strategis kawasan dan/atau kegiatan kawasan dengan
muatan substansi yang dapat mencakup hingga penetapan
blok dan subblok peruntukan. Penyusunan rencana rinci
tersebut dimaksudkan sebagai operasionalisasi rencana
umum tata ruang dan sebagai dasar penetapan peraturan
zonasi. Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang
mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan
ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap
blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam
rencana rinci tata ruang. Rencana rinci tata ruang wilayah
kabupaten/kota dan peraturan zonasi yang melengkapi
rencana rinci tersebut menjadi salah satu dasar dalam
pengendalian pemanfaatan ruang sehingga pemanfaatan
ruang dapat dilakukan sesuai dengan rencana umum tata
ruang dan rencana rinci tata ruang.

74
7. Pengendalian pemanfaatan ruang tersebut dilakukan pula
melalui perizinan pemanfaatan ruang, pemberian insentif
dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. Perizinan
pemanfaatan ruang dimaksudkan sebagai upaya penertiban
pemanfaatan ruang sehingga setiap pemanfaatan ruang
harus dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang. Izin
pemanfaatan ruang diatur dan diterbitkan oleh Pemerintah
dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya
masing-masing. Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang, baik yang dilengkapi dengan
izin maupun yang tidak memiliki izin, dikenai sanksi
adminstratif, sanksi pidana penjara, dan/atau sanksi pidana
denda.
Pemberian insentif dimaksudkan sebagai upaya untuk
memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang
sejalan dengan rencana tata ruang, baik yang dilakukan
oleh masyarakat maupun oleh pemerintah daerah. Bentuk
insentif tersebut, antara lain, dapat berupa keringanan
pajak, pembangunan prasarana dan sarana (infrastruktur),
pemberian kompensasi, kemudahan prosedur perizinan,
dan pemberian penghargaan.
Disinsentif dimaksudkan sebagai perangkat untuk
mencegah, membatasi pertumbuhan, dan/atau mengurangi
kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang,
yang antara lain dapat berupa pengenaan pajak yang tinggi,
pembatasan penyediaan prasarana dan sarana, serta
pengenaan kompensasi dan penalti.

75
Pengenaan sanksi, yang merupakan salah satu upaya
pengendalian pemanfaatan ruang, dimaksudkan sebagai
perangkat tindakan penertiban atas pemanfaatan ruang
yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan
peraturan zonasi. Dalam Undang-Undang ini pengenaan
sanksi tidak hanya diberikan kepada pemanfaat ruang
yang tidak sesuai dengan ketentuan perizinan
pemanfaatan ruang, tetapi dikenakan pula kepada pejabat
pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin
pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata
ruang.
8. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan
Ruang, sebagai dasar pengaturan penataan ruang selama
ini, pada dasarnya telah memberikan andil yang cukup
besar dalam mewujudkan tertib tata ruang sehingga
hampir semua pemerintah daerah telah memiliki rencana
tata ruang wilayah. Sejalan dengan perkembangan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, beberapa
pertimbangan yang telah diuraikan sebelumnya, dan
dirasakan adanya penurunan kualitas ruang pada
sebagian besar wilayah menuntut perubahan pengaturan
dalam Undang-Undang tersebut.
Beberapa perkembangan tersebut antara lain (i) situasi
nasional dan internasional yang menuntut penegakan
prinsip keterpaduan, keberlanjutan, demokrasi, dan
keadilan dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang
yang baik; (ii) pelaksanaan kebijakan otonomi daerah yang

76
memberikan wewenang yang semakin besar kepada
pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penataan
ruang sehingga pelaksanaan kewenangan tersebut perlu
diatur demi menjaga keserasian dan keterpaduan
antardaerah, serta tidak menimbulkan kesenjangan
antardaerah; dan (iii) kesadaran dan pemahaman
masyarakat yang semakin tinggi terhadap penataan ruang
yang memerlukan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan,
dan pengawasan penataan ruang agar sesuai dengan
perkembangan yang terjadi di masyarakat.
Untuk menyesuaikan perkembangan tersebut dan untuk
mengantisipasi kompleksitas perkembangan
permasalahan dalam penataan ruang, perlu dibentuk
Undang-Undang tentang Penataan Ruang yang baru
sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992
tentang Penataan Ruang.
9. Dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan
penataan ruang tersebut, Undang-Undang ini, antara lain,
memuat ketentuan pokok sebagai berikut:
a. pembagian wewenang antara Pemerintah, pemerintah
daerah provinsi, dan pemerintah daerah
kabupaten/kota dalam penyelenggaraan penataan
ruang untuk memberikan kejelasan tugas dan tanggung
jawab masing-masing tingkat pemerintahan dalam
mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman,
nyaman, produktif, dan berkelanjutan;
b. pengaturan penataan ruang yang dilakukan melalui
penetapan peraturan perundang-undangan termasuk

77
pedoman bidang penataan ruang sebagai acuan
penyelenggaraan penataan ruang;
c. pembinaan penataan ruang melalui berbagai kegiatan
untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan penataan
ruang;
d. pelaksanaan penataan ruang yang mencakup
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang pada semua tingkat
pemerintahan;
e. pengawasan penataan ruang yang mencakup
pengawasan terhadap kinerja pengaturan, pembinaan,
dan pelaksanaan penataan ruang, termasuk
pengawasan terhadap kinerja pemenuhan standar
pelayanan minimal bidang penataan ruang melalui
kegiatan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan;
f. hak, kewajiban, dan peran masyarakat dalam
penyelenggaraan penataan ruang untuk menjamin
keterlibatan masyarakat, termasuk masyarakat adat
dalam setiap proses penyelenggaraan penataan ruang;
g. penyelesaian sengketa, baik sengketa antardaerah
maupun antarpemangku kepentingan lain secara
bermartabat;
h. penyidikan, yang mengatur tentang penyidik pegawai
negeri sipil beserta wewenang dan mekanisme tindakan
yang dilakukan;

78
i. ketentuan sanksi administratif dan sanksi pidana
sebagai dasar untuk penegakan hukum dalam
penyelenggaraan penataan ruang; dan
j. ketentuan peralihan yang mengatur keharusan
penyesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata
ruang yang baru, dengan masa transisi selama 3 (tiga)
tahun untuk penyesuaian.

E. LATIHAN
1. Jelaskan pengukuran pemetaan dalam pelaksanaan
pengadaan tanah!

F. RANGKUMAN
Beberapa peraturan telah dikeluarkan untuk
mengakomodir berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan
pengadaan tanah. Satu diantaranya yaitu yang mengatur
mengenai Penilai Pertanahan, di mana adanya keterlibatan
Penilai Pertanahan pada tahap perencanaan dalam
Penyusunan Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah.

G. EVALUASI
Pilihlah salah satu jawaban yang benar!

1. Di bawah ini yang merupakan hukum tanah lama (sebelum


UUPA), yaitu:
a. Hukum tanah adat, Hukum tanah barat, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan
b. Hukum tanah adat, hukum tanah barat, hukum tanah
antargolongan
c. Hukum antargolongan, hukum perdata agraria, Hak Milik

79
d. Hak Milik, Hak Pakai, Hak Pengelolaan
e. Hukum antargolongan, Hukum Perdata Barat

2. Hukum tanah adat, hukum tanah barat, hukum tanah


antargolongan, hukum tanah swapraja termasuk dalam:
a. Hukum tanah modern
b. Hukum tanah kolonial
c. Hukum tanah lama (sebelum UUPA)
d. Hukum tanah setelah UUPA
e. Hukum tanah setelah kolonial

3. Di bawah ini yang merupakan hukum pengadaan tanah


sebelum lahirnya UU No.2 Tahun 2012, yaitu sebegai berikut:
a. PMDN No. 15/75, PMDN No.2/1985, Keppres No.55/93,
Peppres No. 36/2005
b. PMDN No. 14/75, PMDN No.3/1985, Keppres No.51/93,
Peppres No. 36/2005
c. PMDN No. 55/75, PMDN No.2/1985, Keppres No.52/93,
Peppres No. 36/2005
d. PMDN No. 15/75, PMDN No.3/1985, Keppres No.55/93,
Peppres No. 37/2005
e. PMDN No. 55/75, PMDN No.2/1985, Keppres No.51/93,
Peppres No. 36/2005

4. Berdasarkan Pasal 27 ayat (2) UU No.2 Tahun 2012,


pelaksanaan pengadaan tanah meliputi hal-hal sebagai
berikut:
a. inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah; penilaian ganti

80
kerugian, musyawarah penetapan ganti kerugian,
pemberian ganti kerugian, pelepasan tanah instansi
b. inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah; konsultasi publik,
penetapan lokasi, pelepasan tanah instansi
c. inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah; musyawarah
penetapan ganti kerugian, konsultasi publik, penetapan
lokasi
d. inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah; penilaian ganti
kerugian, penetapan lokasi
e. inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah; musyawarah
penetapan ganti kerugian, penyusunan dokumen
perencanaan.

5. Di bawah ini yang merupakan kepentingan umum menurut


Pasal 10 UU No.2 Tahun 2012 jo Pasal 123 UU No. 11 Tahun
2020, yaitu sebagai berikut:
a. Infrastruktur minyak, Kawasan Ekonomi Khusus, cagar
alam dan cagar budaya
b. Fasilitas keselamatan umum, bandara, jaringan
telekomunikasi, kawasan industri
c. Kawasan industri, cagar alam dan cagar budaya,
infrastruktur minyak
d. Cagar alam dan budaya, jaringan telekomunikasi,
infrastruktur minyak

81
e. Kawasan industri, kawasan ekonomi Khusus, cagar alam
dan budaya

6. Salah satu tahapan dalam kegiatan permohonan dan


pendaftaran hak atas tanah, yaitu:
a. Pengukuran dan pemetaan
b. Pengukuran dan musyawarah
c. Pengukuran dan konsultasi publik
d. Pengukuran dan penilaian ganti rugi
e. Pengukuran dan penetapan lokasi

7. Di bawah ini yang merupakan unsur-unsur yang terdapat


dalam peta dasar pertanahan, yaitu:
a. Titik-titik koordinat, skala peta, proyeksi peta
b. Unsur-unsur fisik seperti sungai, jalan, rawa, garis
pantai; batas administrasi, bidang tanah
c. Unsur-unsur fisik seperti sungai, jalan, rawa, garis
pantai; skala peta, titik-titik koordinat
d. Unsur-unsur fisik seperti sungai, jalan, rawa, garis
pantai; skala peta, proyeksi peta
e. Unsur-unsur fisik seperti sungai, jalan, rawa, garis
pantai; titik-titik koordinat, batas tanah

8. Peraturan mengenai percepatan pelaksanaan kebijakan satu


peta, diatur dalam:
a. UU No. 2 Tahun 2012
b. UU No. 26 Tahun 2007
c. Perpres No. 71 Tahun 2012
d. Perpres No. 9 Thun 2016

82
e. Perpres No. 40 Tahun 2019

9. Dalam UU No 26/Tahun 2007, Pasal 1 dinyatakan bahwa tata


ruang adalah:
a. Wujud struktur ruang dan kesesuaian tata ruang
b. Wujud struktur ruang dan pemanfaatan ruang
c. Wujud struktur ruang dan pengendalian pemanfaatan
ruang
d. Kesesuaian tata ruang dan pola ruang
e. Wujud struktur ruang dan pola ruang

10. Pemanfaatan ruang menurut UU No 26/Tahun 2007, adalah:


a. Suatu sistem proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan penataan ruang
b. Suatu sistem proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan detail tata ruang
c. Suatu sistem proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan fungsi kawasan
d. Suatu sistem proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, fungsi kawasan, dan pengendalian
pemanfaatan ruang
e. Suatu sistem proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan
ruang

H. UMPAN BALIK DAN TINDAK LANJUT


Selamat anda telah mempelajari perkembangan regulasi
mengenai pengadaan tanah yang meliputi hukum pertanahan,
pengadaan tanah, pengukuran dan pemetaan, serta tata ruang,

83
maka silahkan kerjakan latihan-latihan sebagai proses
internalisasi substansi materi yang telah dibahas. Pengerjaan
evaluasi pembelajaran merupakan hal yang wajib anda lakukan.

Apabila anda telah mampu mengerjakan soal mencapai


80% (delapan puluh persen) benar, maka silahkan anda
lanjutkan ke materi pokok yang ke 2 (dua) adalah
penyelenggaraan pengadaantanah bagi pembangunan untuk
kepoentingan umum. Namun apabila anda belum mencapai
tingkat keberhasilan 80% (delapan puluh persen) maka silahkan
anda membaca kembali materi pokok regulasi peraturan
perundangan tentang Pengadaan Tanah.

84
BAB VI
PENUTUP

Modul ini disusun untuk keperluan Diklat Pengadaan Tanah


bagi Pemangku Kepentingan Umum, dengan tujuan agar setiap
peserta diklat mampu memahami proses pengukuran dan pemetaan
serta permohonan hak atas tanah hasil kegiatan pengadaan tanah
bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Setelah selesai
mempelajari materi dalam modul ini, jangan lupa untuk mengecek
pemahaman anda dengan menjawab pertanyaan-pertanyan yang
ada dalam latihan serta melakukan evaluasi dalam setiap materi.
Tanyakan pada diri anda: apakah saya sudah menguasai materi ini?
Apakah saya bisa melakukan transformasi koordinat secara mandiri?
Jika jawaban anda adalah YA, maka anda siap untuk memasuki
modul berikutnya!

Selamat Belajar!

85
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan


Tindak Pidana Korupsi;
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi;
Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi;
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2021
Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 4 Tahun 2020 tentang Penilai Pertanahan;
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala BPN No. 19
Tahun 2021 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2021 Tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum

86
KUNCI JAWABAN

Evaluasi BAB II
1. a 6. e

2. d 7. e

3. d 8. a

4. a 9. a

5. d 10. e

Evaluasi BAB III


1. b 6. a

2. c 7. b

3. a 8. d

4. a 9. e

5. d 10. e

87
88
89

Anda mungkin juga menyukai