Al-Qur’an
Secara terminologis, kata ‘sejarah’ diambil dari bahasa Arab, ‘syajaratun[1]’ yang berarti
pohon. Secara istilah, kata ini memberikan gambaran sebuah pertumbuhan peradaban
manusia dengan perlambang ‘pohon’. Yang tumbuh bermula dari biji yang kecil menjadi
pohon yang lebat rindang dan berkesinambungan.
Oleh karena itu, untuk dapat menangkap pelajaran dari pesan-pesan sejarah di
dalamnya, memerlukan kemampuan menangkap yang tersirat sebagai ibarat
atau ibrah di dalamnya. Seperti yang tersurat dalam Q.S. 12: 111, “laqad kana fi
qashasihim ‘ibratun li ulil albab”. Sesungguhnya dalam sejarah itu terdapat pesan-pesan
sejarah yang penuh perlambang, bagi orang-orang yang memahaminya.
Dua pertiga Al-Qur’an disajikan dalam bentuk kisah. Al-Qur’an dan Al-Hadits ini
merupakan pedoman hidup bagi manusia. Dengan demikian, betapa berkepentingannya
kita terhadap kajian-kajian kesejarahan dalam kedua sumber tersebut. Menangkap
pesan-pesan sejarah untuk menciptakan sejarah, untuk mengetahui “pohon sejarah”
apa yang sedang dibuat. “Kasyajaratin thayyibah” pohon sejarah yang sukses dengan
fondasi akar yang kuat, batang yang menjulang dan ranting yang merindang serta buah
sejarah yang bisa dinikmati sepanjang musim. “Kasyajaratin khabisyah” pohon sejarah
yang rapuh, akar yang tercabut dari bumi, tidak ajeg dalam hidup yang akhirnya mudah
runtuh dan rubuh.
Ketika petunjuk Allah digunakan sebagai pedoman, ia diibaratkan sebagai “pelita kaca”
yang bercahaya seperti mutiara dan dinyalakan dengan bahan bakar min syajaratin
mubarakah (Q.S. 24: 35). Lihatlah sejarah Nabi Musa yang diibaratkan sebagai pohon
yang tinggi dan tumbuh di tempat yang tinggi (Q.S. 28: 30). Sebaliknya, Al-Qur’an juga
memberikan gambaran kegagalan Nabi Yunus yang dilukiskan sebagai “pohon labu”
yang rendah dan lemah (Q.S. 37: 146). Sementara bagi yang mencoba menciptakan
sejarah dengan menjauhkan dirinya dari petunjuk Allah, hasilnya hanyalah akan
menumbuhkan sebatang “pohon pahit” (Q.S. 37: 62, 64 dan Q.S. 44: 43).
Mengapa Allah memberikan rumusan, untuk memperoleh masa depan, harus menoleh
kemasa lalu? Ada apa kisah dalam sejarah dalam Al-Quran dapat digunakan sebagai
pedoman “Mengubah Sejarah” ditempat berbeda, dan waktu yang tidak sama? Sejarah
memberikan Mau’idzah (pelajaran) yang membuat umat Islam dzikra (sadar) sebagai
actor sejarah, untuk menciptakan sejarah yang benar.
Dan semua kisah dari Rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang
dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu
kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman. (Q.S 11:
120)
Pohon kehidupan di muka bumi ini telah Allah tanam sejak Allah menciptakan Adam a.s
dan Ibnu Adam (keturunannya) untuk mengemban amanah penegakan kekuasaan Allah
di bumi sebagai Khalifah Allah, wakil atau mandataris Allah. Inilah pohon kehidupan
yang dikehendaki oleh Sang Maha Pencipta Raja seluruh Alam semesta. Pohon
“Kasyajaratin thayyibah”.
Menurut Al-Qur’an paling tidak ada empat fungsi sejarah yang terangkum dalam q.s.
11/120 :
Dalam bahasa Al-Qur’an Allah menegaskan bahwa Allah telah berjanji kepada orang-
orang yang beriman dan beramal sholeh bahwa Allah akan menjadikan mereka sebagai
penguasa di muka bumi, Allah akan meneguhkan dien yang diridhoinya, dan mengganti
rasa takut dengan rasa aman. Semuanya tercantum dalam QS an-Nû r ayat 55 sebagai
berikut :
Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan kebajikan bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa
dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa,
dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk
mereka. Dan Dia benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam
ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada
mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir
sesudah (janji) itu, maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.
Dalam surat al-A’râ f ayat 176, Allah swt berfirman yang artinya sebagai berikut :
Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-
ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah,
maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya
dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). demikian Itulah
perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka Ceritakanlah
(kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.
Dengan sejarah umat Islam dituntut untuk berfikir (QS al-A’râ f : 176) dalam arti
menjadikan sejarah sebagai pelajaran dan peringatan untuk menentukan langkah
berikutnya dari suatu kesinambungan risalah dalam menggapai tujuan li ‘ila
kalimatillâh.
Selain menjelaskan fungsi sejarah, Al-Qur’an juga menegaskan tentang akhir dari
perjalanan sejarah. Menurut Al-Qur’an nasib akhir sejarah adalah kemenangan
keimanan atas kekafiran, kebajikan atas kemunkaran, kenyataan ini merupakan satu
janji dari Allah swt yang mesti terjadi.
Sejarah juga mempunyai fungsi sebagai Nakala, yaitu peringatan terhadap generasi
berikutnya melalui peristiwa yang yang menimpa generasi sebelumhya. Misal Allah
menyiksa ummat dan para pelanggar ketentuan Allah (Qs. 2:66 ; 4 : 84)
Sejarah tidak akan berfungsi kalau tidak dihayati serta dipahami akan makna dan nilai
dari setiap peristiwa sejarah. Banyak ayat al-Qur’an yang memerintahkan untuk
melakukan penelitian (tandzirun) terhadap peristiwa sejarah. (Qs. 47 : 10 ; 12 : 109;
12 :46). Melalui pengkajian sejarah maka tidak akan ada setiap peristiwa besar atau
kecil menjadi sia-sia tanpa tujuan. Aktifitas tandzirun tidak akan melahirkan zikra
(peringatan), jika tidak dilandasi tadabbur (membaca ayat Kalamiyah Al-Qur’an).
Perjalanan suatu peristiwa sejarah ini tiada lain adalah sebagai ibadah kepada Allah
dengan melaksanakan misi Ilahi yang diembankan kepada kita; sebagai jalan untuk
menghantarkan kita pada tujuan tertinggi dalam kehidupan ini yakni tercapainya
Rahmat dan Mardhatillah fi ad-dunya wa al-akhirah (Qs. 9 : 72)
4. Sejarah sebagai sumber kebenaran
Manusia selalu bertanya tentang siapa sebenarnya dirinya sendiri itu, berasal dari
mana, harus menjalankan apa, dan akan kemana arah kehidupan ini. Pertanyaan-
pertanyaan semacam itu telah terjawab secara jelas melalui kitab suci Al-Qur’an.
Sebagai hudan, artinya sejarah memberi petunjuk arah bagi manusia. Orang yang
memahami sejarah akan mengerti bahwa kehidupan ini dimulai dari mana, bagaimana
menjalani hidup yang sebenarnya dan akan kemana perjalanan hidup ini berakhir. Jadi
sejarah akan menerangi setiap langkah yang telah, sedang dan akan dijalani (Qs. 4 : 137-
138 ; 12 : 111)
Sejarah merupakan wujud dari curahan kasih sayang dan kecintaan Allah yang
dikaruniakan kepada hamba-Nya, yang melibatkan diri dalam proses sejarah (harakah
Islamiyah). Disitulah akan dapat merasakan bagaimana rahmaniyyah dan rahimiyyah-
Nya. (Qs. 4 : 95-96; 3 : 159). Rahmat ini hanya diberikan kepada hamba-hamba pilihan-
Nya yakni mereka yang beriman, berhijrah dan berjihad fisabilillah (Qs. 2 : 218 dan
157). Mereka disebut sebagai golongan yang mendapat nikmat Allah (Qs. 1 : 7 ; 4 : 69).
Dan Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-
sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, Yaitu: Nabi-nabi,
Para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan
mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya. (Qs. 4 : 69)
[1] Dalam Al-Qur’an peristiwa sejarah ini lebih dikaitkan dengan masalah pemaknaan
“syajarah”.
An-Nur: 35, “min syajaratin mubarakah.”