Anda di halaman 1dari 25

Case Report Session

IMPETIGO KRUSTOSA

Oleh:

Sari Mulyani 1010313092

Preseptor:

dr. Roni Eka Saputra, Sp. OT(K)

KEPANITERAAN KLINIK ROTASI II

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

ANDALAS

PUSKESMAS NANGGALO

PADANG 2017

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan naskah Case

Report Session (CRS) ini dengan judul “Impetigo Krustosa” sebagai salah satu

syarat untuk dapat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Rotasi II Puskesmas

Nanggalo Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Semoga shalawat dan salam

senantiasa dilimpahkan atas junjungan kita Nabi Muhammad SAW.

Penulis menyadari naskah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,

penulis mengharapkan kritik dan saran dari seluruh pihak yang membaca demi

kesempurnaan naskah ini.

Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas kebaikan

seluruh pihak yang turut membantu. Semoga naskah ini dapat memberikan

sumbangan dan manfaat kepada ilmu pengetahuan, masyarakat, dan pembaca

lainnya.

Padang, Maret 2017

Penulis

2
BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi

Impetigo krustosa merupakan penyakit infeksi piogenik kulit superfisial

yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus, Streptococcus group A beta-

hemolitikus (GABHS), atau kombinasi keduanya dan digambarkan dengan

perubahan vesikel berdinding tipis, diskret, menjadi pustul dan ruptur serta

mengering membentuk krusta Honey-colored. dengan tepi yang mudah

dilepaskan.

Pada negara maju, impetigo krustosa banyak disebabkan oleh

Staphylococcus aureus dan sedikit oleh Streptococcus group A beta-hemolitikus

(Streptococcus pyogenes). Banyak penelitian yang menemukan 50-60% kasus

impetigo krustosa penyebabnya adalah Staphylococcus aureus dan 20-45% kasus

merupakan kombinasi Staphylococcus aureus dengan Streptococcus pyogenes.

Namun di negara berkembang, yang menjadi penyebab utama impetigo krustosa

adalah Streptococcus pyogenes. Staphylococcus aureus banyak terdapat pada

faring, hidung, aksila dan perineal merupakan tempat berkembangnya penyakit

impetigo krustosa.

1.2 Epidemiologi

Terjadinya penyakit impetigo krustosa di seluruh dunia tergolong relatif

sering. Penyakit ini banyak terjadi pada anak - anak kisaran usia 2-5 tahun dengan

rasio yang sama antara laki-laki dan perempuan. Di Amerika, impetigo

merupakan 10% dari penyakit kulit anak yang menjadi penyakit infeksi kulit

bakteri utama
3
dan penyakit kulit peringkat tiga terbesar pada anak. Di Inggris kejadian impetigo

pada anak sampai usia 4 tahun sebanyak 2,8% pertahun dan 1,6% pada anak usia

5-15 tahun .

Impetigo krustosa banyak terjadi pada musim panas dan daerah lembab,

seperti Amerika Selatan yang merupakan daerah endemik dan predominan,

dengan puncak insiden di akhir musim panas. Anak-anak prasekolah dan sekolah

paling sering terinfeksi. Pada usia dewasa, laki-laki lebih banyak dibanding

perempuan. Disamping itu, ada beberapa faktor yang dapat mendukung terjadinya

impetigo krustosa seperti:

- hunian padat

- higiene buruk

- hewan peliharaan

- keadaan yang mengganggu integritas epidermis kulit seperti gigitan

serangga, herpes simpleks, varisela, abrasi, atau luka bakar.

1.3 Patogenesis

Impetigo krustosa dimulai ketika trauma kecil terjadi pada kulit normal

sebagai port of entry yang terpapar oleh kuman melalui kontak langsung dengan

pasien atau dengan seseorang yang menjadi carrier. Kuman tersebut berkembang

biak dikulit dan akan menyebabkan terbentuknya lesi dalam satu sampai dua

minggu.

4
Gambar 1. Struktur Streptoccocus Piogenes dan Substansinya

Gambar 2. Patogenesis Impetigo Krustosa

5
Cara infeksi pada impetigo krustosa ada 2, yaitu infeksi primer dan infeksi

sekunder.

Infeksi Primer

Infeksi primer, biasanya terjadi pada anak-anak. Awalnya, kuman

menyebar dari hidung ke kulit normal (kira-kira 11 hari), kemudian

berkembang menjadi lesi pada kulit. Lesi biasanya timbul di atas kulit

wajah (terutama sekitar lubang hidung) atau ekstremitas setelah trauma.

Infeksi sekunder

Infeksi sekunder terjadi bila telah ada penyakit kulit lain sebelumnya

(impetiginisasi) seperti dermatitis atopik, dermatitis statis, psoariasis

vulgaris, SLE kronik, pioderma gangrenosum, herpes simpleks, varisela,

herpes zoster, pedikulosis, skabies, infeksi jamur dermatofita, gigitan

serangga, luka lecet, luka goresan, dan luka bakar, dapat terjadi pada

semua umur.

Impetigo krustosa biasanya terjadi akibat trauma superfisialis dan robekan

pada epidermis, akibatnya kulit yang mengalami trauma tersebut menghasilkan

suatu protein yang mengakibatkan bakteri dapat melekat dan membentuk suatu

infeksi impetigo krustosa. Keluhan biasanya gatal dan nyeri.

Impetigo krustosa sangat menular, berkembang dengan cepat melalui

kontak langsung dari orang ke orang. Impetigo banyak terjadi pada musim panas

dan cuaca yang lembab. Pada anak-anak sumber infeksinya yaitu binatang

6
peliharaan, kuku tangan yang kotor, anak-anak lainnya di sekolah, daerah rumah

kumuh, sedangkan pada dewasa sumbernya yaitu tukang cukur, salon kecantikan,

kolam renang, dan dari anak-anak yang telah terinfeksi.

1.4 Histopatologi

Terjadinya inflamasi superfisialis pada folikel pilosebaseus bagian atas.

Terdapat vesikopustul di subkorneum yang berisi coccus serta debris berupa

leukosit dan sel epidermis. Pada dermis terjadi inflamasi ringan yang ditandai

dengan dilatasi pembuluh darah, edema, dan infiltrasi leukosit polimorfonuklear.

Seringkali terjadi spongiosis yang mendasari pustula. Pada lesi terdapat kokus

Gram positif.

1.5 Gejala Klinis

Impetigo krustosa dapat terjadi di mana saja pada tubuh, tetapi biasanya

pada bagian tubuh yang sering terpapar dari luar misalnya wajah, leher, dan

ekstremitas. Impetigo Krustosa diawali dengan munculnya eritema berukuran

kurang lebih 2 mm yang dengan cepat membentuk vesikel, bula atau pustul

berdinding tipis. Kemudian vesikel, bula atau pustul tersebut ruptur menjadi erosi

kemudian eksudat seropurulen mengering dan menjadi krusta yang berwarna

kuning keemasan (honey-colored) dan dapat meluas lebih dari 2 cm. Lesi biasanya

berkelompok dan sering konfluen meluas secara irreguler. Pada kulit dengan

banyak pigmen, lesi dapat disertai hipopigmentasi atau hiperpigmentasi. Krusta

pada akhirnya mengering dan lepas dari dasar yang eritema tanpa pembentukan

jaringan scar.

7
Lesi dapat membesar dan meluas mengenai lokasi baru dalam waktu

beberapa minggu apabila tidak diobati. Pada beberapa orang lesi dapat remisi

spontan dalam 2-3 minggu atau lebih lama terutama bila terdapat penyakit akibat

parasit atau pada iklim panas dan lembab, namun lesi juga dapat meluas ke dermis

membentuk ulkus (ektima).

Kelenjar limfe regional dapat mengalami pembesaran pada 90% pasien

tanpa pengobatan (terutama pada infeksi Streptococcus) dan dapat disertai

demam. Membran mukosa jarang terlibat.

Gambar 3. Impetigo Krustosa di Ekstremitas Superior pada Anak

Gambar 4. Impetigo Krustosa di Sekitar Lubang

Hidung dan Mulut pada Anak

8
1.6 Diagnosis

Diagnosis impetigo krustosa ditegakkan melalui anamnesis dan

pemeriksaan fisik dengan mengidentifikasi tanda dan gejala yang ada dan dapat

dibantu dengan pemeriksaan penunjang seperti pewarnaan Gram, biakan kuman,

dan tes serologi .

Pada pulasan gram, ditemukan coccus Gram positif yang lebih terlihat bila

pemeriksaan dilakukan saat lesi masih berupa vesikel. Biasanya diperlukan

pemeriksaan biakan kuman dan sensitivitas bila terapi tidak menghasilkan respon

baik yang menunjukkan sudah terjadi resistensi kuman. Pada pemeriksaan

serologi didapatkan ASO titer positif lemah pada pioderma streptococcus.

Leukositosis ditemukan pada sebagian penderita impetigo krustosa.

1.7 Diagnosis Banding

Diagnosis banding Impetigo krustosa terdiri dari:

a. Dermatitis Atopik

Terdapat riwayat atopik seperti asma, rhinitis alergika. Lesi pruritus kronik

dan kulit kering abnormal dapat disertai likenifikasi.

b. Dermatitis Kontak

Gatal pada daerah sensitif yang kontak dengan bahan iritan.

c. Herpes Simpleks

Vesikel dengan dasar eritema yang ruptur menjadi erosi ditutupi krusta.

Umumnya terdapat demam, malaise, disertai limfadenopati.

d. Varisela

9
Terdapat gejala prodomal seperti demam, malaise, anoreksia. Vesikel

dinding tipis dengan dasar eritema (bermula di trunkus dan menyebar ke

wajah dan ekstremitas) yang kemudian ruptur membentuk krusta (lesi

berbagai stadium).

e. Kandidiasis

Kandidiasis (infeksi jamur candida): papul eritem, basah, umumnya di

daerah selaput lendir atau daerah lipatan.

1.8 Komplikasi

1. Ektima

Impetigo yang tidak diobati dapat meluas lebih dalam dan penetrasi ke

epidermis menjadi ektima. Ektima merupakan pioderma pada jaringan

kutan yang ditandai dengan adanya ulkus dan krusta tebal.

2. Selulitis dan Erisepelas

Impetigo krustosa dapat menjadi infeksi invasif menyebabkan terjadinya

selulitis dan erisepelas, meskipun jarang terjadi. Selulitis merupakan

peradangan akut kulit yang mengenai jaringan subkutan (jaringan ikat

longgar) yang ditandai dengan eritema setempat, ketegangan kulit disertai

malaise, menggigil dan demam. Sedangkan erisepelas merupakan

peradangan kulit yang melibatkan pembuluh limfe superfisial ditandai

dengan eritema dan tepi meninggi, panas, bengkak, dan biasanya disertai

gejala prodromal.

3. Glomerulonefritis Post Streptococcal

10
Komplikasi utama dan serius dari impetigo krustosa yang umumnya

disebabkan oleh Streptococcus group A beta-hemolitikus ini yaitu

glomerulonefritis akut (2%-5%). Penyakit ini lebih sering terjadi pada

anak-anak usia kurang dari 6 tahun. Tidak ada bukti yang menyatakan

glomerulonefritis terjadi pada impetigo yang disebabkan oleh

Staphylococcus. Insiden glomerulonefritis (GNA) berbeda pada setiap

individu, tergantung dari strain potensial yang menginfeksi nefritogenik.

Faktor yang berperan penting atas terjadinya GNAPS yaitu serotipe

Streptococcus strain 49, 55, 57,dan 60 serta strain M-tipe 2. Periode laten

berkembangnya nefritis setelah pioderma streptococcal sekitar 18-21 hari.

Kriteria diagnosis GNAPS ini terdiri dari hematuria makroskopik atau

mikroskopik, edema yang diawali dari regio wajah, dan hipertensi.

4. Rheumatic Fever.

Sebuah kelainan inflamasi yang dapat terjadi karena komplikasi infeksi

streptokokus yang tidak diobati strep throat atau scarlet fever. Kondisi

tersebut dapat mempengaruhi otak, kulit, jantung,dan sendi tulang.

5. Pneumonia.

Pneumonia merupakan penyakit ynag banyak ditemui setiap tahun.

Penyakit ini biasa terjadi pada perokok dan seseorang yang menggunakan

obat yang menekan sistem imunitas.

6. Osteomielitis

Sebuah inflamasi pada tulang disebabkan bakteri. Inflamasi biasanya

berasal dari bagian tubuh yang lain yang berpindah ke tulang melalui

darah.

11
7. Meningitis

Sebuah inflamasi pada membran dan cairan serebrospinal yang melingkupi

otak dan medula spinalis. Meningitis merupakan sebuah penyakit serius

yang dapat mempengaruhi kehidupan dan menghasilkan komplikasi

permanen seperti koma, syok, dan kematian.

1.9 Tatalaksana

A. Umum

 Menjaga kebersihan agar tetap sehat dan terhindar dari infeksi kulit.

 Menindaklanjuti luka akibat gigitan serangga dengan mencuci area kulit

yang terkena untuk mencegah infeksi.

 Mengurangi kontak dekat dengan penderita

 Bila diantara anggota keluarga ada yang mengalami impetigo diharapkan

dapat melakukan beberapa tindakan pencegahan berupa:

- Mencuci bersih area lesi (membersihkan krusta) dengan sabun dan

air mengalir serta membalut lesi.

- Mencuci pakaian, kain, atau handuk penderita setiap hari dan tidak

menggunakan peralatan harian bersama-sama.

- Menggunakan sarung tangan ketika mengolesi obat topikal dan

setelah itu mencuci tangan sampai bersih.

- Memotong kuku untuk menghindari penggarukan yang

memperberat lesi.

- Memotivasi penderita untuk sering mencuci tangan.

B. Khusus

12
Pada prinsipnya, pengobatan impetigo krustosa bertujuan untuk

memberikan kenyamanan dan perbaikan pada lesi serta mencegah

penularan infeksi dan kekambuhan.

1. Terapi Sistemik

Pemberian antibiotik sistemik pada impetigo diindikasikan bila

terdapat lesi yang luas atau berat, limfadenopati, atau gejala sistemik.

a. Pilihan Pertama (Golongan ß Lactam)

Golongan Penicilin (bakterisid)

o Amoksisilin

Dosis 2x 250-500 mg/hari (25 mg/kgBB) selama 10 hari.

Golongan Sefalosporin generasi-ke1 (bakterisid)

o Sefaleksin

Dosis 4x 250-500 mg/hari (40-50 mg/kgBB/hari) selama 10

hari.

o Kloksasilin

Dosis 4x 250-500 mg/hari selama 10 hari.

b. Pilihan Kedua

Golongan Makrolida (bakteriostatik)

o Eritromisin

Dosis 30-50mg/kgBB/hari.

o Azitromisin

Dosis 500 mg/hari untuk hari ke-1 dan dosis 250 mg/hari

untuk hari ke-2 sampai hari ke-4.

13
2. Terapi Topikal

Penderita diberikan antibiotik topikal bila lesi terbatas, terutama pada

wajah dan penderita sehat secara fisik. Pemberian obat topikal ini

dapat sebagai profilaksis terhadap penularan infeksi pada saat anak

melakukan aktivitas disekolah atau tempat lainnya. Antibiotik topikal

diberikan 2-3 kali sehari selama 7-10 hari.

o Mupirocin

Mupirocin (pseudomonic acid) merupakan antibiotik yang berasal

dari Pseudomonas fluorescent .Mekanisme kerja mupirocin yaitu

menghambat sintesis protein (asam amino) dengan mengikat

isoleusil-tRNA sintetase sehingga menghambat aktivitas coccus

Gram positif seperti Staphylococcus dan sebagian besar

Streptococcus. Salap mupirocin 2% diindikasikan untuk

pengobatan impetigo yang disebabkan Staphylococcus dan

Streptococcus pyogenes.

o Asam Fusidat

Asam Fusidat merupakan antibiotik yang berasal dari Fusidium

coccineum. Mekanisme kerja asam fusidat yaitu menghambat

sintesis protein. Salap atau krim asam fusidat 2% aktif melawan

kuman gram positif dan telah teruji sama efektif dengan mupirocin

topikal.

o Bacitracin

Baciracin merupakan antibiotik polipeptida siklik yang berasal dari

Strain Bacillus Subtilis. Mekanisme kerja bacitracin yaitu

14
menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan menghambat

defosforilasi ikatan membran lipid pirofosfat sehingga aktif

melawan coccus Gram positif seperti Staphylococcus dan

Streptococcus. Bacitracin topikal efektif untuk pengobatan infeksi

bakteri superfisial kulit seperti impetigo.

o Retapamulin

Retapamulin bekerja menghambat sintesis protein dengan

berikatan dengan subunit 50S ribosom pada protein L3 dekat

dengan peptidil transferase. Salap Retapamulin 1% telah diterima

oleh Food and Drug Administraion (FDA) pada tahun 2007 sebagai

terapi impetigo pada remaja dan anak-anak diatas 9 bulan dan telah

menunjukkan aktivitasnya melawan kuman yang resisten terhadap

beberapa obat seperti metisilin, eritromisin, asam fusidat,

mupirosin, azitromisin.

1.10 Prognosis

Pada beberapa individu, bila tidak ada penyakit lain sebelumnya impetigo

krustosa dapat membaik spontan dalam 2-3 minggu. Namun, bila tidak diobati

impetigo krustosa dapat bertahan dan menyebabkan lesi pada tempat baru serta

menyebabkan komplikasi berupa ektima, dan dapat menjadi erisepelas, selulitis,

atau bakteriemi. Dapat pula terjadi Staphylococcal Scalded Skin Syndrome

(SSSS) pada bayi dan dewasa yang mengalami immunocompromised atau

gangguan fungsi ginjal. Bila terjadi komplikasi glomerulonefritis akut, prognosis

anak- anak lebih baik daripada dewasa.

15
16
BAB 2

LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien

Nama/Kelamin/Umur : An. K / Perempuan /3

tahun Pekerjaan : Belum bekerja

Alamat : Jalan Raya Kurao No. 2

RT01/RW05 Kurao Pagang Nanggalo

II. Latar Belakang sosial-ekonomi-demografi-lingkungan keluarga

Status Perkawinan : Belum menikah

Jumlah Saudara : Anak ke - 2 dari 2 orang bersaudara

Status Ekonomi Keluarga : Cukup mampu

KB : Tidak ada

Kondisi Rumah : Rumah permanen, perkarangan cukup luas.

Listrik ada

Sumber air : air sumur

Air minum: air galon

Jamban ada 1 buah, di dalam rumah

Sampah dibakar di belakang rumah.

Kesan : hygine dan sanitasi kurang

Kondisi Lingkungan Keluarga :

 Tinggal di daerah perkotaan yang cukup padat penduduk.

17
III. Aspek Psikologis di keluarga

 Hubungan dengan anggota keluarga lainnya baik

IV. Riwayat Penyakit dahulu / Penyakit Keluarga

 Pasien belum pernah menderita penyakit yang sama sebelumnya.

 Pasien tidak pernah menderita penyakit kulit lain sebelumnya.

V. Keluhan Utama

Timbul keropeng dan kulit kemerahan di sudut kiri bibir dan hidung sejak

1 minggu yang lalu.

VI. Riwayat Penyakit Sekarang

 Timbul keropeng dan kulit kemerahan di sudut kiri bibir dan hidung sejak

1 minggu yang lalu. Keluhan diawali timbul gelembung kemerahan berair

di sudut kiri bibir dan sekitar hidung kemudian pecah, mengelupas,

sebagian besar kering dan gatal.

 Kebiasaan menggaruk-garuk wajah ada.

 Demam tidak ada.

 Nyeri tidak ada.

 Riwayat alergi tidak ada.

 Riwayat tergigit serangga tidak ada.

18
VII. Pemeriksaan Fisik

Status Generalis

Keadaan Umum : Baik

Kesadaran : CMC

Nadi : 95x/ menit

Nafas : 20x/menit

Suhu : 36,7 oC

BB : 12 kg

TB : 93 cm

Status Gizi : Normal

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Kulit : Turgor kulit baik

THT : Tidak ada kelainan

Dada

Paru

Inspeksi : simetris kiri = kanan

Palpasi : fremitus kiri = kanan

Perkusi : sonor

Auskultasi : suara nafas vesikuler, wheezing (-/-), ronkhi (-/-)

Jantung

Inspeksi : iktus tidak terlihat

Palpasi : iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V

Perkusi : Kiri: 1 jari medial LMCS RIC V, kanan: LSD, atas: RIC

II Auskultasi : bunyi jantung murni, irama teratur, bising (-)

19
Abdomen

Inspeksi : Perut tidak tampak membuncit

Palpasi : Hati dan lien tidak teraba, Nyeri Tekan ( - )

Perkusi : Timpani

Auskultasi : BU (+) N

Anggota gerak : reflex fisiologis +/+, reflex patologis -/-, Oedem tungkai -/-

STATUS DERMATOLOGIKUS

Lokasi : sudut kiri bibir dan sekitar hidung

Distribusi : terlokalisir

Bentuk : tidak khas

Susunan : tidak khas

Batas : tegas

Ukuran : lentikular

Effloresensi : plak eritema disertai krusta kekuningan

Status Venereologikus
 Kelainan Selaput :
Tidak Ditemukan Kelainan
 Kelainan Kuku :
Jaringan sekitar kuku tidak ditemukan kelainan
 Kelainan Rambut :
Tidak ditemukan kelainan

20
VIII. Laboratorium Anjuran :

 Pewarnaan Gram : diharapkan ditemukan coccus gram positif (+)


 Pememeriksaan Kultur : diharapkan ditemukan koloni Staphylococcus

aureus atau Streptococcus grup A beta – hemolitikus (Streptococcus

pyogenes)

IX. Diagnosis Kerja

Impetigo Krustosa

X. Diagnosis Banding : -

XI.Manajemen

Preventif :

 Menjaga kebersihan diri dan lingkungan.

 Jangan sering menggaruk bagian tubuh dalam keadaan tangan kotor


 Memotong kuku dan menjaga kebersihan kuku
 Mengkonsumsi makanan bergizi serta buah-buahan dan sayur

Promotif :

2
 Edukasi mengenai perjalanan penyakit pasien

 Edukasi cara pengobatan penyakit.

 Edukasi tentang cara menjaga hygine dan sanitasi

Kuratif :

Sistemik :

 Amoksisilin tab 500 mg 3 x ⅓ tab selama 5 hari.


 Chlorpeniramin maleat tab 4 mg 3 x ⅓ tab selama 5 hari.
Topikal :
 Oksitetrasiklin salep 3% (3 x sehari dioleskan pada lesi).

Dinas Kesehatan Kodya Padang Puskesmas Nanggalo

Dokter : Sari Mulyani


Tanggal : 28 Februari 2017

R/ Amoksisilin tab 500 mg No V


∫ 3 dd tab ⅓

£ R/ Chlorpeniramin maleat tab 4 mgNo. V


∫ 3 dd tab ⅓
£ R/ Oksitetrasiklin salf 3% tubeNo. I
∫ 3 dd applic loc dol
£

2
Pro :
Khaiza Umur
: 3 tahun
Alamat : Jalan Kurao Pagang, Nanggalo

Rehabilitatif :

 Datang ke puskesmas apabila tidak sembuh dalam 5-7 hari.

XII. Prognosis

Quo ad Vitam : Bonam


Quo ad Functionam : Bonam
Quo ad sanationam : Bonam
Quo ad cosmetikum : Bonam

BAB 3

DISKUSI

Seorang pasien perempuan berusia 3 tahun datang ke Poli KIA Anak

Puskesmas Nanggalo Padang pada tanggal 28 Februari 2017 pukul 9.30.00 WIB

dengan keluhan utama timbul keropeng dan kulit kemerahan di sekitar mulut dan

hidung sejak 1 minggu yang lalu. Keluhan diawali timbul gelembung kemerahan

berair di sudut kiri bibir dan sekitar hidung yang kemudian pecah, mengelupas,

2
sebagian besar kering, agak gatal dan sedikit nyeri. Kebiasaan menggaruk-garuk

ada. Demam dan nyeri pada bercak merah tidak ada. Riwayat alergi tidak ada.

Riwayat tergigit serangga tidak ada. Pasien belum pernah menderita penyakit

yang sama sebelumnya. Pasien tidak pernah menderita penyakit kulit lainnya

sebelumnya. Pada pemeriksaan fisik, status generalisatanya baik dan dalam batas

normal. Pada status dermatologikus pada sudut kiri bibir dan sekitar hidung

tampak plak eritema disertai krusta kekuningan.


Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik disimpulkan diagnosis kerja

impetigo krustosa. Kepada pasien diberikan manajemen preventif, promotif,

kuratif, dan rehabilitatif. Pasien diberi obat amoksisilin tablet 3 x 250 mg,

Chlorpeniramin maleat tab 4 mg 3 x ⅓ tab selama 5 hari, dan oksitetrasiklin 3 x

sehari dioleskan pada lesi dan kompres Nacl 0,9% 3 x sehari selama 5 - 10 menit.
Prognosis pada pasien Quo ad Vitam Bonam, Quo ad Functionam Bonam,

Quo ad sanationam Bonam, dan Quo ad cosmetikum Bonam.

DAFTAR PUSTAKA

1. Siregar., 2014. Saripati Penyakit Kulit, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran

EGC: 156-162

2. 2, Hay R.J, B.M Adriaans. Bacterial Infection. In: Burns T, Brethnach S, Cox

N, Griffiths C (eds). Rook’s Text Book of Dermatology. 7th ed. Turin:

Blackwell. 2004. p.27.13-15.

3. Heyman W.R, Halpern V. Bacterial Infection. Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini

RP (eds). Dermatology. 2nd ed. Spain: Mosby Elsevier. 2008. p.1075-77.

2
4. Cole C, Gazewood J. Diagnosis and Treatment of Impetigo. American

Academy of Family Physician. Vol.75. No.6. 2007. p.859-864. Diunduh dari:

http://www.sepeap.org/archivos/pdf/10524.pdf

5. Craft N, Peter K.L, Matthew Z.W, Morton N.S, Richard S.J. Superficial

Cutaneous Infection and Pyodermas. In: Wolff K et all (eds). Fitzpatrick’s

Dermatology in General Medicine. Vol 2. 7th Ed. New York: McGraw Hill.

2008. p.1695-1705.

6. Arnold, Odom, James. Bacterial Infection. In: James W.D, Berger T.G, Elston

D.M (eds). Andrew’s Disease of the Skin Clinical Dermatology. 10th Ed.

Canada: Saunders Elsevier. 2006. p.255-6.

Anda mungkin juga menyukai