MAKALAH Cholecsystectomy Revisi
MAKALAH Cholecsystectomy Revisi
CHOLECSYSTECTOMY
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Askan Pembedahan Umum Semester Ganjil
Tahun Ajaran 2022/2023 yang Diampu oleh Bpk. Rizky Rachmattulloh, S.Kep. Ns.
Kelas : 3B
Jl. Raden Patah No. 100, Ledug, Kembaran, Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia.
Telp. 0281-6843493 – Fax 0281- 6843494 – email : info@uhb.ac.id – website : www.uhb.ac.id
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Askan Pembedahan Umum dengan
judul:
" Cholecsystectomy".
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan
banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik sehingga makalah ini
dapat terselesaikan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang
membangun dari berbagai pihak. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi perkembangan dunia Pendidikan.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit batu empedu (kolelitiasis) adalah penyakit hepatobilier kronik yang
disebabkan terganggunya metabolisme dari kolesterol, bilirubin dan asam empedu yang
ditandai dengan pembentukan batu empedu dalam saluran empedu hepatik atau di dalam
empedu. Penanganan kolelitiasis utamanya bertujuan untuk mengeluarkan batu dari
kandung empedu atau saluran empedu (Reshetnyak, 2012). Penatalaksanaan kolelitiasis
dapat berupa tindakan bedah atau non bedah (Gustawan et al., 2007). Salah satu tindakan
bedah yang dapat dilakukan adalah melakukan kolesistektomi. Kolesistektomi adalah
operasi pengangkatan batu empedu yang dilakukan dengan cara membuka rongga perut
bagian atas sebelah kanan di atas tulang rusuk (open cholecystectomy) atau
menggunakan alat dengan luka sayatan yang lebih kecil yang disebut dengan
laparoscopic cholecystectomy (American College of Surgeon, 2015). Kedua tindakan
pembedahan tersebut dapat menimbulkan nyeri paska operasi. Penelitian yang
dilakukan dalam kurun waktu 20 tahun terakhir menunjukkan bahwa hanya 1 dari 4
pasien yang mendapat penanganan nyeri paska operasi yang adekuat (Wels, 2012).
Studi menyebutkan bahwa sebagian besar pasien paska operasi mengalami nyeri
yang sedang hingga berat (Suza et al., 2007). Nyeri paska operasi adalah konsekuensi
dari tindak pembedahan yang sangat tidak diinginkan karena dapat menimbulkan
tertundanya penyembuhan dan memperlama waktu tinggal di rumah sakit (Wels, 2012).
Nyeri paska operasi yang tidak mendapatkan terapi analgesik yang tepat dapat
mengakibatkan beberapa gangguan pada pasien. Gangguan tersebut diantaranya berupa
gangguan fisik dan emosional pada pasien, gangguan tidur yang dapat berdampak buruk
pada mobilitas dan suasana hati pasien, gangguan pada sistem respiratori berupa
atelectasis, penundaan pengeluaran lendir hingga terjadinya pneumonia. Lebih lanjut,
nyeri paska operasi dapat mengakibatkan hipertensi, aritmia, gangguan motilitas
gastrointestinal bahkan lebih jauh dapat menyebabkan terjadinya tromboemboli
(Sivrikaya, 2012). Penilaian nyeri yang adekuat menggunakan alat penilaian nyeri yang
telah divalidasi adalah bagian penting dalam keberhasilan terhadap penanganan nyeri.
Di banyak negara yang memberikan penilaian nyeri yang tidak adekuat menunjukkan
terjadinya kegagalan dalam penanganan nyeri (Breivik et al., 2008).
I
2
Untuk menilai keberhasilan penanganan nyeri terhadap pasien diperlukan penilaian
nyeri secara kuantitatif. Beberapa macam alat penilaian nyeri yang biasa digunakan
adalah Numerical Rating Scale (NRS), Visual Analogue Scale (VAS), dan McGill Pain
Questionairre (M.R. Rajagopal, 2012). VAS dan NRS adalah alat penilaian nyeri yang
sensitif untuk mengukur intensitas nyeri akut pasien paska operasi. Kepraktisan dan
kemudahan pemahaman sebagian besar orang terhadap NRS membuat NRS lebih
disukai daripada VAS meskipun keduanya memberikan penilaian yang hampir identik
terhadap intensitas nyeri yang dialami pasien (Breivik et al., 2008). Penatalaksanaan
nyeri secara farmakologis meliputi penggunaan opioid, nonsteroid anti inflamasi drugs
(NSAID), dan adjuvan analgesik (Leung, 2012). Pada dasarnya sebagian besar praktik
tatalaksana nyeri mengikuti WHO Three Steps Analgesic Ladder. Pada tahap satu atau
pada nyeri ringan dengan skala 1-4, pasien akan mendapat analgesik non opioid seperti
NSAID atau COX 2 inhibitor. Pada tahap kedua atau pada nyeri sedang dengan skala 5-
6, pasien akan menerima analgesik pada tahap pertama ditambah opioid lemah yang
diberikan secara intermiten. Pada tahap ketiga atau pada nyeri berat dengan skala 7-10,
pasien akan menerima analgesik pada tahap dua ditambah opioid yang lebih kuat. ASA
Practice Guideline for Acute Pain Management in Perioperative Setting tahun 2012
merekomendasikan penggunaan asetaminofen, COX-2 yang digunakan oral, NSAID dan
non selektif NSAID serta penghambat saluran kalsium seperti gabapentin dan
pregabalin. Pasien harus menerima sejumlah dosis around the clock (ATC) dari coxibs,
NSAID dan asetaminofen kecuali kontraindikasi (Viscusi et al., 2013). NSAID seperti
aspirin, asetaminofen dan ibuprofen dapat digunakan untuk mengatasi nyeri akut yang
ringan. Studi membuktikan bahwa penggunaan NSAID yang dikombinasi dengan opioid
dapat meringankan nyeri sedang hingga berat namun efek analgesik dari penggunaan
NSAID tunggal untuk nyeri kronis ataupun nyeri kanker masih belum dapat
disimpulkan. Penggunaan NSAID yang berkepanjangan tidak disarankan karena dapat
menimbulkan efek samping antara lain berupa komplikasi pada ginjal dan saluran cerna
(Leung, 2012).
Opioid digunakan sebagai terapi lanjutan bila nyeri tidak dapat diatasi dengan
pemberian NSAID. Opioid seperti tramadol, oksikodon, hidromorfon dan buprenorfin
dapat digunakan untuk menggantikan penggunaan morfin paska operasi (Lindgrens,
2005). Tramadol adalah turunan kodein sintesis dan memiliki efek analgesik opioid
maupun non opioid. Tramadol biasa digunakan sebagai analgesik paska operasi karena
kemampuannya menurunkan rasa nyeri dengan mekanisme berupa hambatan ambilan
3
kembali noradrenalin dan serotonin. Efek samping penggunaan tramadol lebih ringan
bila dibandingkan dengan penggunaan opioid kuat (Koputan, et al.,2012). Meskipun
opioid menjadi dasar manajemen terapi farmakologis untuk nyeri sedang hingga berat
paska operasi, penggunaan ATC non opioid menjadi pertimbangan yang lebih tepat
(Viscusi, et al., 2013). Atas dasar pemikiran tersebut maka perlu dilakukan penelitian
untuk mengetahui tingkat nyeri untuk mengetahui ketepatan terapi obat analgesik yang
diberikan pada pasien paska operasi batu empedu di Instalasi Rawat Inap Bedah RSUD
Dr. Soetomo Surabaya. Kompleksitas masalah obat meliputi jenis analgesik yang perlu
diberikan, dosis, rute pemberian, kontraindikasi dan efek samping obat kiranya juga
perlu mendapat perhatian. Penilaian nyeri dilakukan pada hari kedua paska operasi 15
menit setelah pemberian analgesik secara intravena. Penelitian ini dilakukan secara
prospektif time limited sampling yang difokuskan pada penggunaan analgesik pada
pasien paska operasi batu empedu sehingga diharapkan dapat memberikan informasi
pada farmasis untuk meningkatkan kualitas hidup pasien melalui penurunan derajat nyeri
pasien berdasarkan pemilihan analgesik yang tepat sesuai dengan skor nyeri.
1. Definisi
Kolesistektomi adalah suatu tindakan pembedahan dengan cara mengangkat kandungan
empedu dan salurannya dengan cara membuka dinding perut.
2. Tujuan
Tujuan dari pengangkatan (pembuangan) kandung empedu adalah mencegah
terbentuknya kembali batu dikandung empedu, sehingga akan mencegah kekambuhan
dan infeksi, mencegah perjalanan penyakit menjadi suatu penyakit menahun.
3. Indikasi
1) Penderita dengan sistomatik batu empedu yang telah dibuktikan secara imaging
diagnostic terutama melalui USG abdomen
2) Penderita kolesterolosis simtomatik yang telah dibuktikan melalui USG abdomen
3) Adenomyomatosis kantung empedu simtomatik
4. Kontra indikasi
Kontra indikasi absolut
1) Koagulopati yang tiak terkontrol
2) Penyakit liver stadium akhir
3) Penyakit paru obstruktif berat dan penyakit jantung kongestif berat
1) Cirrhosis hepatis
2) Obesitas
3) Kolesistitis akut
4) Gangrene dan empyema gall bladder
5) Biliary entric fistula
6) Kehamilan
7) Ventriculo-peritoneal shunt (VP-shunt)
5. Teknik operasi
1) Insisi dinding interior abdomen subcostal kanan, dapat juga insisi paramedian kanan
5
6
Kantonng empedu adalah organ berbentuk buah pir yang terletak di fossa di permukaan
bawah hati. Terletak di dalam rongga perut sebelah kanan, tepat diantara bagian bawah lobus
kanan dan lobus quadratus liver. Biasa ada dipersimpangan segmen 4 dan 5 (pada batas
bawah bidang utama atau garis cantline) posisinya berkaitan dengan hati dapat bervariasi.
Misalnya, mungkin sebagian atau seluruhnya tertanam di dalam parenkim hati, yang disebut
kantong empedu 'intrahepatik'. Hal ini dapat menimbulkan kesulitan dalam pembedahan dan
dapat meningkatkan kemungkinan cedera intraoperatif pada hati. Meskipun pedikel kanan
utama cukup dalam di parenkim hati, portal besar, dan cabang vena hepatik melintasi hati
pada kedalaman sekitar satu cm dari kantong empedu. Jadi, robekan hati yang dalam selama
pembedahan kantong empedu dari fossa kadang-kadang dapat mengeluarkan banyak darah.
1. Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifocal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70% kolesterol
2. Batu pigmen
Batu pigmen kalsium bilirubinat ( pigmen coklat ) disebut juga batu lumpur atau
batu pigmen, komponen utama,kalsium bilirubinat berwarna coklat atau coklat
8
Beberapa penyintas tidak memiliki masalah atau gangguan pencernaan sesudah prosedur
cholecsystectomy selesai dilakukan. Namun, sejumlah orang juga dapat mengalami
gangguan seperti diare atau buang air besar dengan konsistensi cair, yang akan hilang dengan
sendirinya. Bila pasien merasakan perubahan yang signifikan terkait saluran pencernaan atau
ada gejala yang baru disarankan segera hubungi dokter untuk berkonsultasi.
Pasien yang menjalani cholesystectomy laparoskopi dapat pulang dan beraktivitas pada
hari yang sama atau membutuhkan waktu rawat inap semalam setelah cholesystectomy
selesai dilakukan. Namun, pasien yang menjalani cholesystectomy terbuka, membutuhkan
waktu rawat inap lebih lama yaitu sekitar dua hingga tujuh hari untuk dapat beraktivitas
seperti sedia kala dan jika tidak mengalami komplikasi.
Kebocoran empedu
Perdarahan
Infeksi
Kerusakan di organ sekitar kandung empedu seperti saluran empedu, hati, dan usus
halus
Efek dari anestesi umum berupa pembentukan bekuan darah dan pneumonia
2.6 Patofisiologi Cholecsystectomy
Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: (1) pembentukan empedu yang
supersaturasi, (2) nukleasi atau pembentukan inti batu, dan (3) berkembang karena
bertambahnya pengendapan. Kelarutan kolesterol merupakan masalah yang terpenting
dalam pembentukan semua batu, kecuali batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan
kolesterol terjadi bila perbandingan asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan
kolesterol turun di bawah harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut dalam media
yang mengandung air. Empedu 22 dipertahankan dalam bentuk cair oleh pembentukan
koloid yang mempunyai inti sentral kolesterol, dikelilingi oleh mantel yang hidrofilik dari
garam empedu dan lesitin. Jadi sekresi kolesterol yang berlebihan, atau kadar asam empedu
rendah, atau terjadi sekresi lesitin, merupakan keadaan yang litogenik (Garden, 2007).
10
Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti pengendapan
kolesterol. Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal kolesterol keluar dari larutan
membentuk suatu nidus, dan membentuk suatu pengendapan. Pada tingkat saturasi yang
lebih rendah, mungkin bakteri, fragmen parasit, epitel sel yang lepas, atau partikel debris
yang lain diperlukan untuk dipakai sebagai benih pengkristalan (Hunter, 2014).
CHOLESYSTECTOMY
PATOFISIOLOGI CHOLESYSTECTOMY
4.
TERBENTUK BATU
EMPEDU
(PENGELUARAN BATU
EMPEDU MELEWATI
TINDAKAN OPERASI)
11
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang hilang-
timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi makanan
berlemak (Sjamsuhidayat, 2010). Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri
berulang meskipun telah dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk
menjalani pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi). Pengangkatan kandung empedu
tidak menyebabkan kekurangan zat gizi dan setelah pembedahan tidak perlu dilakukan
pembatasan makanan (Alina, 2008; Sjamsuhidayat, 2010).
a. Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan penderita
dengan kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang
dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% penderita.
Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%.
Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris
rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
b. Kolesistektomi laparaskopi
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990
dan sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi.
80-90% batu empedu di Inggris dibuang dengan cara ini karena memperkecil
risiko kematian dibanding operasi normal (0,1-0,5% untuk operasi normal)
dengan mengurangi komplikasi pada jantung dan paru-paru Kandung
empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil di
12
c. Disolusi medis
Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan
adalah angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat
disolusi hanya memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu jenis
kolesterol. Penelitian prospektif acak dari asam xenodeoksikolat telah
mengindikasikan bahwa disolusi dan hilangnya batu secara lengkap terjadi
sekitar 15%. Jika obat ini dihentikan, kekambuhan batu tejadi pada 50%
penderita. Kurang dari 10% batu empedu yang dilakukan dengan cara ini
sukses. Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi kriteria terapi non
operatif diantaranya batu kolesterol diameternya < 20 mm, batu kurang dari
4 batu, fungsi kandung empedu baik dan duktus sistik paten (Hunter, 2014).
d. Disolusi kontak
Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang
poten yaitu Metil-Ter-Butil-Eter (MTBE) ke dalam kandung empedu melalui
kateter yang diletakkan per kutan telah terlihat efektif dalam melarutkan batu
empedu pada penderita-penderita tertentu. Prosedur ini invasif dan kerugian
utamanya adalah angka kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5 tahun)
(Garden, 2007)
13
Tes laboratorium :
1. Leukosit : 12.000 - 15.000 /iu (N : 5000 - 10.000 iu).
2. Bilirubin : meningkat ringan, (N : < 0,4 mg/dl).
3. Amilase serum meningkat.( N: 17 - 115 unit/100ml).
4. Protrombin menurun, bila aliran dari empedu intestin menurun karena
obstruksi sehingga menyebabkan penurunan absorbsi vitamin K.(cara Kapilar
: 2 - 6 mnt).
14
Komplikasi dapat meliputi perdarahan, infeksi dan cedera pada saluran yang
membawa cairan empedu dari kantung empedu ke lambung. Selama proses
kolesistektomi, usus atau pembuluh darah utama dapat terluka pada saat peralatan
dimasukkan ke dalam perut. Komplikasi tersebut jarang terjadi. Komplikasi spesifik
lainnya dapat meliputi:
Sebelum menjalani operasi, pasien perlu mengganti pakaiannya dengan pakaian khusus
yang telah disediakan oleh rumah sakit. Dokter kemudian akan memberikan obat anestesi
umum (bius total), sehingga pasien tertidur dan tidak merasakan nyeri selama operasi.
Setelah obat bius bekerja, dokter akan memulai proses kolesistektomi laparoskopi.
Berikut ini adalah tahapan-tahapan prosedur kolesistektomi laparoskopi:
Operasi angkat kandung empedu dengan laparoskopi biasanya berlangsung sekitar 1–2
jam. Pasien yang sudah selesai menjalani operasi akan dibawa ke ruang perawatan untuk
pemulihan.
Pencegahan cholecystectomy
3.1 Kesimpulan
Kolesistektomi adalah tindakan bedah yang bertujuan untuk mengambil kandung
empedu. Kandung atau kantung empedu adalah organ berbentuk seperti buah pir
yang berada di bawah organ hati, di perut bagian kanan atas. Fungsi dari kandung
empedu adalah mengambil dan menyimpan cairan empedu (asam empedu) yang
diproduksi oleh organ hati. Kolesistektomi merupakan tindakan atau prosedur yang
umum dan minim risiko komplikasi.
Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti pengendapan
kolesterol. Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal kolesterol keluar dari larutan
membentuk suatu nidus, dan membentuk suatu pengendapan. Pada tingkat saturasi
yang lebih rendah, mungkin bakteri, fragmen parasit, epitel sel yang lepas, atau
partikel debris yang lain diperlukan untuk dipakai sebagai benih pengkristalan.
Metode kolesistektomi ada 2 jenis, yaitu kolesistektomi laparoskopi dan
kolesistektomi terbuka.
Kolesistektomi umumnya dilakukan atas indikasi adanya batu kandung empedu
(batu empedu atau kolelitiasis), serta komplikasi yang ditimbulkannya seperti:
Koledokolitiasis atau batu empedu di saluran empedu, kolesistitis atau peradangan
pada kandung empedu, polip berukuran besar pada kandung empedu, peradangan
pankeras atau pankreatitis akibat batu empedu.
komplikasi yang dapat terjadi selama prosedur kolesistektomi, antara lain:
Kebocoran empedu, perdarahan, infeksi, kerusakan di organ sekitar kandung
empedu seperti saluran empedu, hati, dan usus halus, efek dari anestesi umum berupa
pembentukan bekuan darah dan pneumonia.
Indikasi kolesistektomi yaitu penderita dengan simtomatik batu empedu yang telah
dibuktikan secara imaging diagnostic terutama melalui USG abdomen, penderita
kolesterolosis simtomatik yang telah dibuktikan melalui USG abdomen, dan
adenomyomatosis kantung empedu simtomatik.
Pemeriksaan penunjang kolesistektomi yaitu tes darah, ultrasonografi, kantung
empedu scintigraphy radiologi, dan EKG dada x-ray.
16
3.2 Saran
Bagi peneliti, harus melakukan pengkajian dengan tepat agar asuhan keperawatan
dapat tercapai sesuai dengan masalah yang di temukan pada pasien. Salah satunya
yaitu dengan komunikasi yang efektif dalam melakukan pengkajian pada pasien.
Bagi rumah sakit, diharapkan perawat melakukan kerjasama yang baik antar
perawat dalam metode tim, memperhatikan keselamatan Pasien dengan
melaksanakan tindakan keperawatan sesuai standar prosedur operasional (SPO) dan
memberikan asuhan secara professional dan komprehensif.
Bagi perkembangan ilmu keperawatan, diharapkan agar selalu menambah keluasan
ilmu pengetahuan dalam bidang keperawatan khususnya dalam pelaksanaan asuhan
keperawatan pada pasien dengan cholelitiasis.
DAFTAR PUSTAKA
17