Anda di halaman 1dari 109

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam

1
2
MUHAMMAD IBN ABD AL-
WAHHAB DAN GERAKAN
WAHABIYAH
Oleh: Zainun Kamal

A. PENDAHULUAN

D ari waktu ke waktu senantiasa ada usaha pem•


baruan, atau penyegaran, atau pemurnian pema•
haman umat kepada agamanya, adalah sesuatu
yang telah menyatu dalam sistem Islam dalam sejarah.
Nabi sendiri dalam sebuah hadis mengisyaratkan kepada
adanya hal itu. Sabda Rasulullah:

‫هلال ث ع يب هذ ل ه ةم ألا ى ل ع سأر لك ةائ م ةن س من ددي ج ال ه‬ ‫إن‬


)‫ىف ن ن سا ل‬ ‫اه ن يد ( ها ور و أب دوا د‬

Bab II — Pembaruan Islam Pra Zaman Modern


”Sesungguhnya Allah akan membangkitkan untuk
umat ini, setiap penghujung seratus tahun, orang
yang memperbarui agamanya”
Maka dari sudut tinjauan ini adalah suatu kejadian
yang wajar saja, bahwa pada abad ke-18, Jazirah Arab
menyaksikan usaha tajdid yang militan, yang dilancarkan
oleh Syekh Muhamad Ibn Abd al-Wahhab, yang
melahirkan apa yang dinamakan gerakan Wahabi.

SEJARAH HIDUP ABD AL-WAHHAB


Ia adalah Muhammad Ibn Abd a-Wahab al-Najd al-
Hanbali, dari bani Tamim. Ia lahir di al-Uyainah di Nejed
pada 1115/1703 M. Awal pendidikannya bermula dari
belajar kepada para ahli fikih kaum Hanbali, yang
terkenal dengan berpegang teguh kepada sunah dan
mencela bid’ah (Mut’al: 437).
Kemudian untuk melanjutkan pendidikannya ia
pergi ke Madinah. Setelah itu, ia melakukan perjalanan
ke beberapa negara Islam, dengan tujuan untuk
menambah ilmu pengetahuan. Ia menetap selama empat
tahun di Baghdad, satu tahun di Kurdistan, dua tahun di
Hamdan, kemudian ia pergi ke Ashfahan dan di sana ia
mempelajari falsafat isyraq (iluminasi) dan tasawuf,
kemudian ia mene• ruskan perjalanan ke Qum (Amin,
1979: 10). Disebutkan juga bahwa ia juga mengunjungi
negara-negara Turki, Aleppo di Damaskus, al-Quds
(Palestina) dan Mesir (Nashir, 1983: 31). Setelah
melakukan perjalanan panjang, ia kembali ke Nejed, lalu
ia tampil dengan menyerukan pemikiran-pemikiran baru.

SATUBabII ISLAM,—PembaruanBANYAK IslamJALAN:PraCorakZaman-corakModpernmikiran modern dalam Islam


SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam
3
Tetapi penulis-penulis Arab modern berpendapat
bahwa Abd al-Wahhab dalam perjalanannya tidak pernah
keluar dari kawasan dunia Arab (Nashir, 1983: 31).
Wahabiyah adalah suatu nama gerakan yang dipimpin oleh
Abd al- Wahhab pada abad ke-18. Nama ini diberikan oleh
musuh- musuh Abd al-Wahab dan orang-orang Eropa; dan
akhirnya menjadi umum dipakai. Sedangkan pendukung
pendukung Abd al-Wahhab menamakan gerakan mereka
dengan al- Muwahhidin atau al-Muslimin (Amin, 1979: 10)
Gerakan Wahabiyah adalah merupakan
perkembangan dari aliran Salafiyah, yang berpangkal
pada pemikiran-pemikiran Imam Ahmad ibn Hanbal,
yang kemudian dikonstruksikan dengan secara
sistematis oleh Ibn Taimiyah, dan terakhir dimapankan
oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah.
Tidak ada sesuatu yang baru pada gerakan
Wahabiyah, selain dari usaha penerapan ajarannya
dengan lebih ekstrem, dan memperdalam pengertian
syirik dan bid’ah. Hal ini adalah akibat wajar dari situasi
masyarakat dan Jazirah Arab yang penuh dengan aneka
ragam khurafat dan bid’ah pada masa itu.

C. IDE-IDE TAJDID ABD AL-WAHHAB


Ide-ide tajdid Abd al-Wahhab berdiri di atas beberapa
prinsip, diantaranya adalah:
Pertama, Kembali kepada ajaran Islam yang murni
seperti yang ada pada masa Rasulullah dan para sahabat.
Karena kemurnian ajaran dan akidah itu Islam menjadi
besar dan memperoleh kemenangan serta cepat meluas
keluar Jazirah Arab. Tetapi setelah akidah umat turun ke

SATUSATUISLAM,ISLAM,BANYAKBANYAKJALAN:JALAN:CorakCorak-corakpemikiran modern dalam Islam

35
tingkat syirik, mereka mengalami kemunduran dan ditimpa
kehancuran. Dari situ, Abd al-Wahhab mengembalikan
sebab kelemahan umat Islam dan kemunduran mereka
adalah karena kelemahan akidah, yang telah bercampur
dengan syirik. Karena itu, Abd al-Wahhab berusaha untuk
memurnikan akidah mereka dengan cara kembali secara
langsung kepada al-Qur’an al-Karim dan al-Sunnah al-
Nabawiyah. Setiap yang berbeda dari keduanya dianggap
sebagai bid’ah, suatu ajaran yang kemudian masuk ke
dalam Islam (Al-Muhafazhah, 1978: 40). Semboyan gerakan
wahabiyah adalah “Back to the Qur’an !” dan “Back to the
Sunnah !” dalam artian, “Back to the God of the Sunnah and
it’s exhilaration,” (Smith, 1977: 44).
Kedua, Tauhid yang diformulasikan dalam kalimat
syahadat “ ‫ا ال إل ه ال‬ ‫هلال‬ ”. Menurut Abd al-Wahhab, tauhid ada
dua macam. Tauhid Rububiyah dan Tauhid Ulluhiyah.
Tauhid Rububiyah adalah memercayai bahwa Allah
sendirian dalam menciptakan alam dan mengaturnya.
Tetapi kepercayaan kepada tauhid Rububiyah tidak men•
jadikan seseorang menjadi muslim. Yang menjadikan
seorang muslim adalah kepercayaan terhadap tauhid
uluhiyah, yaitu memercayai bahwa tidak ada yang
disembah kecuali Allah. Orang yang menyembah Allah
dan juga menyembah berhala, atau nabi Isa, atau
malaikat, tidaklah disebut mentauhidkan Allah;
walaupun ia percaya bahwa sang pencipta dan pemberi
Rezeki hanyalah Allah (Ghannam, 1961: 299).
Di dalam kitab Kasyf al-Syububat, Abd al-Wahhab
mempertegas pengertian tauhid bahwa “tauhid adalah
pembenaran di dalam hati, diucapkan dengan lidah, dan

Bab II — Pembaruan Islam Pra Zaman Modern


dilakukan dengan perbuatan. Jika kurang satu dari hal itu,
maka ia tidaklah termasuk orang Islam. Jika ia mengetahui
tauhid tetapi ia tidak mengerjakannya dalam perbuatan,
maka ia termasuk orang kafir dan pembangkang seperti
Fir’aun dan iblis”. (Ghannam, 1961: 299).
Bertolak dari pengertian prinsip tauhid itu, Abd al-Wahhab
menyerang dan memberantas semua adat kebiasaan yang
terdapat di dunia Arab. Minta berkah kepada para wali,
mendekatkan diri kepada Allah dengan cara menziarahi•
kuburan orang-orang saleh sebagai tawassul, adalah syirik.
Orang musyrik di zaman kita sekarang ini, kata Abd al-
Wahhab, lebih kafir daripada di zaman Nabi Muhammad”
(Ghannam, 1961: 303). Demikian juga Abd al-Wahhab
berpendapat bahwa menziarahi kuburan adalah bid’ah,
termasuk kuburan Nabi Muhammad di Madinah (Al-
Muhafazhah, 1978: 42). Ia tidak cukup dengan ber• pendapat
bid’ah saja, tetapi sekaligus menghancurkan dan meratakan
kuburan-kuburan, kubah-kubah para sahabat dan wali-wali
Allah (Zahrah, 1976: 507-508).
Tauhid adalah masalah dasar dalam pemikiran Abd al-
Wahhab, karena hal itu marupakan ajaran inti Islam yang
dikristalisasikan dalam kalimat Laa Ilaaha Illallah, dan
sekaligus sebagai pembeda antara Islam dengan non-Islam.
Nabi Muhammad diutus adalah untuk pembenaran tauhid,
melarang menyembah kepada berhala, patung, orang tua,
nenek moyang, para wali, para pimpinan, dan lain
sebagainya. Itulah sebabnya pengikut-pengikut Abd al-
Wahhab menamakan diri mereka al-Muwahhidun.
Seperti yang sudah disinggung di atas, Abd al-Wahhab
berpendapat, bahwa Islam berkembang dengan pesat

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


37
sekali pada masa Rasulullah dan para sahabat karena
mengamalkan ajaran Islam yang murni. Tetapi setelah
umat Islam meninggalkan ajaran Islam yang murni dan
mencampuradukkan akidah tauhid dengan bid’ah dan
syirik, akibatnya mereka mengalami kemunduran. Dalam
artian, penyakit yang menimpa umat Islam adalah ke•
rusakan akidah tauhid. Itulah sebabnya, Abd al-Wahhab
berpendapat bahwa untuk sembuh kembali, umat Islam
harus kembali secara konsekuen kepada ajaran Islam
yang murni seperti yang terdapat pada masa Rasulullah
dan para sahabat. Atau dikenal dengan masa kaum
Salafus Shalih.
Ketiga, mempelajari ilmu yang tidak didasarkan pada
al-Qur’an dan Sunah, atau yang hanya bersumberkan
kepada akal semata, dianggapnya kufur. Termasuk juga
kufur mengingkari “qadar” dan menafsirkan al-Qur’an
dengan jalan Ta’wil (Al-Muhafazhah, 1978: 42).
Keempat, dalam bidang hukum, Abd al-Wahhab
berpendapat• bahwa untuk menentukan halal dan haram•
nya sesuatu hanya bersumber pada al-Qur’an dan al-
Sunnah. Pendapat para teologi dalam bidang akidah, dan
para ahli fikih dalam bidang hukum tidaklah dapat
dijadikan dalil; sebab setiap orang berhak untuk berijtihad,
bila memenuhi persyaratannya (Amin, 1979: 14). Hal-hal
yang dianggap bid’ah dan haram hukumnya serta wajib
diberan•tas,• diantaranya adalah mengadakan upacara
maulid nabi, wanita mengiringi jenazah, mengadakan per•
kumpulan-perkumpulan dzikir, seperti praktik para sufi.
Dikategorikan juga ke dalam bid’ah dan haram hukumnya
adalah merokok, lelaki berpakaian sutara, berfoto; dan

Bab II — Pembaruan Islam Pra Zaman Modern


makruh hukumnya memotong jenggot. Kadang-kadang
soal kecil pun dianggap bid’ah (Mushtafa, 1976: 31).
Di samping itu, memerintah dengan paksa kepada
orang-orang Islam untuk mengerjakan shalat, menge•
luarkan zakat, dan melaksanakan rukun Islam lainnya.
Ini dimaksudkan untuk membangun masyarakat yang
islami (Al-Muhafazhah, 1978: 42).
Kelima, menyerukan dibukanya pintu ijtihad. Bagi
orang-orang yang memenuhi syarat berijtihad. Ia berhak
berijtihad secara langsung dalam memahami al-Qur’an
dan al-Sunnah. Ditutupnya pintu ijtihad, menurut Abd al-
Wahhab adalah sebuah kemunduran bagi orang-orang
Islam; karena kehilangan kepribadian dan daya nalar
mereka, dan menyebabkan terpecahnya umat Islam
kepada aliran-aliran yang saling mencaci maki.
Mereka menjadi orang yang statis dan taklid, yang
hanya mengkaji pendapat-pendapat dan fatwa-fatwa dari
ulama yang ditaklidinya. Maka untuk menyelamatkan
umat dari bahaya yang buruk ini, menurut Abd al-
Wahab, adalah dengan membuka pintu ijtihad, dan
kembali secara langsung memahami agama dari sumber
aslinya, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah (Amin, 1979: 14).

PENGARUH GERAKAN WAHABIYAH


Aliran Wahabiyah menjadi mazhab resmi di kerajaan
Saudi Arabia sampai saat ini. Sedangkan di luar Jazirah
Arab ajaran-ajaran Wahabiyah disebarkan dan
dikembang• kan oleh kaum muslimin yang pulang ke
negerinya masing-masing setelah bermukim dan
menunaikan ibadah haji di Mekah.

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


39
Di anak benua India, tepatnya di Punjab (India
Utara) ajaran-ajaran Wahabi disiarkan oleh Sayyid
Ahmad, yang melakukan ibadah haji pada 1822-1823 M.
Dia mendirikan Negara Wahabiyah, dan memaklumkan
jihad terhadap orang yang tidak memercayai dakwahnya,
dan tidak masuk barisannya.
Gerakan “Ishlah” Muhammad bin Ali al-Sanusi di
abad ke-19, di Afrika Utara yang bermarkas di Libya,
adalah mengambil model dari gerakan Salafiyah
Wahabiyah; demikian juga gerakan Muhammad Ahmad al-
Mahdi di Sudan, dan gerakan mujahid muslim Usman
Danfudyu di pedalaman Afrika. Mereka mengenal ide-ide
pembaruan gerakan Wahabiyah di saat menunaikan
ibadah haji di tanah suci (Fathiyah, 1983: 229-230).
Adapun di Indonesia gerakan Wahabiyah pertama
sekali terdapat di Minangkabau, Sumatra Barat, yaitu
dengan pulangnya tiga orang haji dari Saudi Arabia di awal
abad ke-19 (tahun 1802 M). Mereka adalah Haji Miskin, Haji
Sumanik dan Haji Piobang (Hamka, 1963: 26). Mereka
bermukim di Saudi Arabia di saat berkembangnya gerakan
wahabiyah, dan mempelajarinya dengan saksama. Mereka
berkesimpulan, sebab keberhasilan gerakan Wahabiyah
adalah karena adanya pemaduan kekuatan lisan dan
senjata dalam menjalankan dakwah.
Setelah kembali ke Sumatra Barat, mereka memulai
menjalankan dakwah dengan memberikan pengajian
halakah dan pelajaran-pelajaran agama Islam di Surau-
surau dan di Masjid-masjid. Mereka mengajak umat Islam
untuk menjalankan agama Islam sebagaimana yang
dilakukan oleh para salaf yang saleh (Rajab, 1954: 9).

Bab II — Pembaruan Islam Pra Zaman Modern


Mereka mencegah dari yang mungkar dan dari adat dan
tradisi masyarakat yang bertentangan dengan ajaran
Islam, seperti minum arak (khamr), berjudi dan mengadu
ayam (Sckriche, 1973: 3), dan melarang wanita keluar
rumah dengan kepala terbuka. Orang yang melanggar
larangan tersebut ini akan diperlakukan kepadanya
hukuman mati (Hamka, 1963: 28).
Gerakan ini kemudian mendapat dukungan dari
ulama-ulama Sumatra Barat. Maka terbentuklah sebuah
gerakan dibawah delapan orang ulama, yang kemudian
terkenal dengan nama “Harimau nan Salapan”, yang
dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh (Hamka, 1963: 28).
Tujuan terakhir dari gerakan mereka adalah untuk men•
dirikan sebuah Negara Islam Salafiyah (Pane, 1970: 84).
Gerakan ini kemudian menjelma menjadi gerakan
Perang Paderi yang melawan penjajahan Belanda yang pro
kepada kaum adat. Gerakan Paderi merupakan permulaan•
gerakan kebangkitan umat Islam Indonesia dan merupakan
gerakan Islam yang terpenting dalam meng•hadapi musuh-
musuh Islam, baik dari dalam maupun• dari luar Indonesia
(Ricklef, 1981: 155). Ia kemudian• memberikan pengaruh
dan inspirasi yang besar atau gerakan dan kebangkitan
umat Islam Indonesia (Stoddard, 1966: 298).
Adapun gerakan Muhammadiyah awal berdirinya juga
terpengaruh oleh gerakan Wahabiyah, karena tokoh
utamanya, KH. Ahmad Dahlan (w. 1923/1340 H) mendiri•
kan organisasi ini setelah ia kembali dari tanah suci.

KESIMPULAN
Dari beberapa ide pembaruan Muhammad Ibn Abd

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


41
al-Wahab yang sudah dikemukakan di atas dapat dilihat
bahwa pembaruan yang dilancarkan tanpa sedikit pun
ada persinggungan dengan kemodernan dari Barat.
Namun demikian, seperti dikatakan Nurcholish Madjid,
gerakan ini merupakan satu-satunya gerakan pembaruan
keagamaan yang paling sukses secara politik, yaitu
setelah bergabung dengan dinasti Sa’ud.



Bab II — Pembaruan Islam Pra Zaman Modern


3
EKSPEDISI NAPOLEON
DI MESIR: IDE-IDE
BARU DAN
PENGARUHNYA
Oleh: Noorwahidah Haisy

A. PENDAHULUAN

P eriode modern dalam sejarah Islam yang dimulai sejak


1800 M ditandai dengan lahirnya ide-ide dan gerakan-
gerakan pembaruan. Zaman ini disebut juga zaman
kebangkitan Islam, karena umat Islam
yang sebelumnya beku, statis dan jumud kini sadar dan
bangun kembali untuk mengejar ketinggalan dan
keterbelakangannya. Pada periode modern ini, Negara-
negara Islam yang sebelumnya berada di bawah telapak
kaki penjajah, mulai berusaha membebaskan diri dan
membangun dirinya sendiri menuju masa depan yang
cerah dan lebih baik. Usaha-usaha pembebasan diri
SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam
43
tersebut menunjukkan hasil yang gemilang pada abad ke-20
dengan merdekanya negara-negara Islam satu persatu,
sehingga di penghujung abad ke-20 ini dapat dikatakan
bahwa tidak ada satu negara Islam atau mayoritas
penduduknya beragama Islam pun yang terjajah.
Salah satu aspek penting yang membawa kepada
kebangkitan umat Islam dan lahirnya gerakan-gerakan
pembaruan adalah ekspedisi Napoleon ke Mesir pada
1798-1801 M. Ekspedisi ini menyadarkan umat Islam
akan kelemahan dan kemunduran mereka dan membuka
mata umat Islam akan kemajuan yang dicapai oleh dunia
Barat (Nasution, 1985: 88). Di samping itu, Napoleon
datang ke Mesir tidak hanya sekadar menjajah, tetapi
juga membawa ide-ide baru yang bermanfaat besar bagi
perkembangan Islam khususnya di Mesir.
Ide-ide baru tersebut menjadi cambuk bagi umat
Islam Mesir, terutama kaum intelektualnya, untuk
bangkit melakukan pembaruan dan memperbaiki
keadaan. Dalam perkembangan selanjutnya, gerakan
pembaruan ini ber• gema ke seluruh dunia Islam.

RIWAYAT HIDUP NAPOLEON


Napoleon adalah seseorang jenderal dan kaisar Prancis
yang besar. Kehadirannya di pentas dunia tidak hanya
berpengaruh terhadap Perkembangan Prancis dan Eropa,
tetapi juga berpengaruh besar terhadap perjalanan sejarah
umat manusia. Karena itu, Michael H. Hart
menempatkannya pada urutan ke-34 dari seratus tokoh
yang paling berpengaruh dalam sejarah, di dalam karya
besarnya yang terkenal The 100, a Ranking Of The Most

Bab II — Pembaruan Islam Pra Zaman Modern


Influential Persons In History (Hart, 1984: 193-199). Nama
lengkap Napoleon Bonaparte. Ia adalah anak
ke empat dari pasangan Carlo Buonaparte dan Letizia
Ramolino. Ia dilahirkan di Ajaccio, salah satu desa di
wilayah Corsica, Prancis, pada 15 Agustus 1769, dan
meninggal dunia di St. Helena pada 5 Mei 1821 (Preece,
1970: 1).
Karier militer Napoleon sangat menonjol. Ia masuk
akademi militer Prancis di usia muda. Dalam usia lima
belas tahun ia tamat dari akademi ini dan memperoleh
pangkat letnan artileri. Dalam usia 24 tahun, ia
membuktikan kepiawaiannya di bidang militer dengan
menghancurkan dan mengusir tentara Inggris di Toulun
sehingga daerah ini dapat dikuasai Prancis kembali.
Ia juga berhasil mematahkan pemberontakan Royalis di
Paris pada 1796. Pada 1976 ia diangkat sebagai komandan
pasukan Prancis di Italia. Perkawinannya dengan Josephine
de Beauharnais tidaklah menghalanginya untuk
menghancurkan pasukan Austria-Sardinia di Italia antara
1796-1797 (Shadily, 1983: 2334). Keberhasilannya dalam
berbagai pertempuran membuat namanya makin terkenal.
Pada 1797, ketika ia kembali ke Prancis, ia disambut
sebagai seorang pahlawan.
Pada 1798 ia bersama pasukannya melakukan eks•
pansi ke Mesir. Dalam waktu singkat, Mesir dapat di•
kuasainya. Namun, setahun kemudian (1799) ia kembali
ke Prancis, sementara pasukannya tetap tinggal di Mesir
(Hart, 1984: 194).
Ambisinya untuk menjadi penguasa tertinggi di Prancis
sangat besar. Karena itu, sebulan setelah ia berada

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


47
di Prancis sekembalinya dari Mesir, ia melakukan kudeta
bersama Abbe Sieyes pada 9 November 1799. Kudeta ini
berhasil sukses dan menghantarkan Napoleon ke puncak
kekuasaan. Pemerintahan yang baru dibentuk ini disebut
Consulate, dan Napoleon diangkat sebagai konsul
pertama. Selama berada dalam tampuk kekuasaan, ia
melakukan perombakan besar-besaran dalam sistem
administrasi pemerintahan dan hukum. Ia merombak
struktur• keuangan dan kehakiman. Ia mendirikan bank
dan Universitas Prancis. Karya besarnya yang
ber•pengaruh sampai sekarang ialah Code Napoleon yang
merupakan dasar hukum Prancis.
Code ini dalam banyak hal, mencerminkan ide-ide
revolusi Prancis. Revolusi itu sendiri terjadi pada 1789,
dan ketika revolusi ini pecah, Napoleon bergabung
dengan kaum Jacobins (Shadily, 1983: 2334).
Pada 1804 Napoleon memproklamasikan dirinya
seba• gai kaisar. Meskipun angkatan laut Napoleon kalah
dengan armada Inggris dalam pertempuran Trafalgar
(1805), namun di medan tempur darat yang lain,
pasukannya tetap unggul. Napoleon berhasil
mengalahkan pasukan sekutu Eropa dalam perang
Austerliz (1805), Jena (1806), dan Friedland (1807). Ia
juga dapat mengakhiri kerajaan Romawi Suci (1806), dan
berkuasa hampir di seluruh Eropa (Shadily, 1983: 2334).
Ketika Napoleon menyerang Rusia pada 1812,
pasukannya mendapat pukulan yang hebat. Tidak sampai
10 persen tentaranya yang dapat keluar dari Rusia dalam
keadaan hidup. Kelemahan Prancis ini membangkitkan
kesadaran Negara-negara Eropa lainnya seperti Austria

Bab II — Pembaruan Islam Pra Zaman Modern


dan Rusia. Mereka pun bangkit menggalang persatuan
untuk menyerang Prancis. Dalam pertempuran dahsyat di
Leipzig (1813), pasukan Napoleon dipukul mundur. Tahun
1814 Prancis diserbu dan Napoleon dimakzulkan. Ia
diasingkan ke pulau Elba, sebuah pulau kecil di lepas
pantai Italia. Namun, pada 1815 ia dapat melarikan diri dan
berkuasa kembali di Prancis selama 100 hari. Kekuatan
Eropa pun bergabung untuk memukul Napoleon, sehingga
dalam pertempuran di Waterloo, Napoleon mengalami
kekalahan paling besar. Ia ditangkap oleh pasukan Inggris
dan dibuang ke Saint Helena, sebuah pulau kecil di Selatan
Samudra Atlantik. Dalam penjara St. Helena inilah ia
menghembuskan napasnya yang terakhir• pada 1821
karena kanker (Hart, 1984: 199).

PENDUDUKAN MESIR DAN IDE-IDE BARU


YANG DIBAWA
Ambisi Napoleon untuk memiliki wilayah dan ke•
kuasaan yang besar sangat mencolok. Ia tidak saja ber•
usaha menguasai seluruh daratan Eropa, tetapi juga
berusaha merambah ke daerah Timur. Pada 1798 ia
berhasil menguasai Mesir yang ketika itu berada di
bawah kekuasaan dinasti Mamalik.
Keadaan Mesir sebelum diserbu Napoleon memang
sangat parah, terutama pada akhir abad ke-18. Seorang
pengembara Prancis, Founier, setelah melakukan kun•
jungan ke Mesir pada akhir abad ke-18, mengatakan,
“Kebodohan di Mesir adalah suatu gejala yang umum,
sama dengan keadaan di seluruh Turki, meliputi semua
lapisan. Hal itu tampak jelas di bidang literatur, ilmu

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


47
alam, dan teknik, bahkan juga di bidang kerajinan
tangan yang paling sederhana. Anda jarang menemukan
reparasi arloji di Kairo. Kalaupun ada tentu ia orang
Eropa (Amin t.t.,: 129).
Penaklukan Napoleon atas Mesir berjalan sangat
cepat. Pasukan dinasti Mamalik tidak mampu
mempertahankan kedaulatannya dengan baik, sehingga
hanya dalam beberapa hari seluruh wilayah Mesir berada
di bawah pasukan Napoleon. Pada 2 Juli 1798, pasukan
Prancis ini mendarat di Alexandria. Kota pelabuhan yang
penting ini dapat dikuasai hanya dalam waktu satu hari.
Kota berikutnya yang jatuh ialah Rasyid terletak di
sebelah timur Alexandria. Kejatuhannya berjarak waktu
hanya sembilan hari dari kejatuhan Alexandria. Daerah
piramid dekat Kairo dapat dicapai oleh pasukan Napoleon
pada 21 Juli. Pasukan Mamalik yang tidak mampu
menghadang pasukan Prancis ini mundur ke Kairo,
namun masyarakat Kairo tidak memedulikannya.
Terpaksa mereka mundur lagi ke Selatan.
Dengan kekalahan pasukan Mamalik ini, tepat pada
22 Juli 1798, praktis seluruh wilayah Mesir dikuasai
Napoleon (Nasution, 1988: 29).
Operasi militer Napoleon yang demikian cepat terhadap
Mesir disebabkan beberapa faktor, antara lain:
Persenjataan pasukan Napoleon lebih canggih dan
lebih mutakhir dibanding dengan persenjataan•
kaum Mamalik.
Pasukan Napoleon memiliki kemampuan dan ke•
mahiran berperang yang lebih baik daripada pasukan
Mamalik. Pasukan ini didukung oleh pengalaman

Bab II — Pembaruan Islam Pra Zaman Modern


perang yang banyak di berbagai medan tempur,
dalam berbagai cuaca, dengan berbagai bangsa dan
Negara. Sejak meletusnya revolusi Prancis pada
1789, Prancis tidak pernah sepi dari peperangan.
Rakyat Mesir tidak membantu kaum Mamalik.
Hubungan mereka dengan dinasti Mamluk ini sangat
rapuh akibat perlakuan kasar penguasa Mamalik
yang menyakitkan masyarakat. Di samping itu, pada
umumnya kaum Mamalik tidak pandai berbahasa
Arab sehingga komunikasi di antara mereka tidak
terjalin baik.
Di samping faktor-faktor di atas, kondisi umat Islam
pada saat itu memang berada pada puncak kemunduran•
nya, sementara Eropa, khususnya Prancis dan Inggris
sedang menanjak maju. Ditemukannya benua Amerika
oleh Colombus pada 1492 dan Tanjung Harapan di Afrika
Selatan oleh Vasco de Gama sekitar tahun 1498, telah
mengangkat Eropa ke percaturan perdagangan
internasional. Monopoli perdagangan dunia Islam antara
Barat dan Timur yang sebelumnya dimiliki Islam telah
berubah. Dengan penemuan benua Amerika dan Tanjung
Harapan itu, hubungan dagang Barat dan Timur dapat
dilakukan tanpa melewati dunia Islam. Keadaan ini
melemahkan perekonomian Islam, sekaligus melemahkan
kekuatan politik umat Islam.
Ditambah lagi dengan kondisi dalam negeri Islam
sendiri yang sudah sangat rapuh akibat perebutan ke•
kuasaan dan kekurangan perhatian terhadap ilmu penge•
tahuan dan teknologi.
Gambaran umum terhadap keadaan dunia Islam

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


47
abad ke-18 diungkapkan oleh Lothrop Stoddard, antara
lain sebagai berikut:
Pada abad XVIII dunia Islam dijatuhkan ke reruntuhan jang
terdalam. Di mana pun tidak ada tanda adanya tenaga sehat
dan di mana-mana terdapat kematjetan dan pembekuan.
Kerusakan budi dan moral amatlah parahnja. Apa jang masih
tinggal dari kebudajaan Arab lenjap ditelan kemewahan jang
diluar batas dari segolongan ketjil, jang sama dengan
degradasi jang di luar batas pula dari golongan besar.
Pengadjaran terhenti. Sedjumlah ketjil Universitas jang masih
ada terdampar kepada pembekuan, hidup miskin dan tak
diatjuhkan. Pemerintahan menjadi despotis, kadang-kadang
terdjadi anarchi dan berbagai tjara pembunuhan. Di sana-sini
penguasa despotis luarbiasa seperti Sultan Turki atau
“Maharadja Mongol” India, sekaligus pembesar-pembesar
provinsi selalu berusaha mendirikan pemerintahan sendiri,
seperti radjanja di atas asas kesewenang-wenangan dan
tangan besi. Kebalikannja, pembesar itu selalu pula harus
bertindak terhadap kepala-kepala daerah jang tidak patuh
dan terhadap bandit jang banyak jumlahnya, bertjokol di desa-
desa. Di samping itu, pegawai-pegawai pemerintahan jang
tjurang memeras pula dan merampas rakjat habis- habisan.
Petani dan orang kota patah semangatnja untuk bekerdja dan
berusaha. Baik pertanian maupun perdagangan djatuh
merosot sekali (Stoddard, 1966: 29).

Keadaan dunia Islam sebagaimana digambarkan di atas


sangat berbeda dengan keadaan di Eropa. Eropa, dengan
semangat renaissance, berkembang maju. Amerika, sebagai
benua yang baru ditemukan, menghasilkan devisa yang
sangat banyak. Kekayaan alamnya berupa emas, ditambah
dengan terbukanya jalur perdagangan langsung

Bab II — Pembaruan Islam Pra Zaman Modern


Timur-Barat, telah memberikan sumbangsih yang besar
terhadap peningkatan Ekonomi Eropa. Kemajuan yang
dicapai Eropa, tidak terbatas hanya di bidang ekonomi
dan politik saja, tetapi juga di bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi (Nasution, 1987: 9).
Meskipun, kondisi umat Islam sudah sangat parah
pada abad ke-18, namun kesadaran mereka akan kele•
mahan dan kemundurannya baru muncul secara jelas
ketika Napoleon menguasai Mesir dalam waktu singkat,
padahal Mesir adalah salah satu pusat dunia Islam, yang
sebelumnya dikenal sangat kuat dan kokoh. Bagi Napoleon
sendiri, ekspedisi ke Mesir dimaksudkan untuk menjadikan
Mesir sebagai batu loncatan guna menguasai Timur,
khususnya India yang pada waktu itu sudah mulai berada
di bawah pengaruh kekuasaan Inggris (Nasution, 1979: 94).
Namun cita-cita Napoleon untuk menguasai wilayah Timur
ini kandas di tengah jalan. Dalam pertempuran di Palestina,
pasukannya kalah, sehingga pada 18 Agustuns 1799 M, ia
kembali ke Prancis (Nasution 1979: hlm. 94). Di samping
itu, berkembangnya politik di Prancis menghendaki
kehadirannya. Ia kembali ke Paris. Ekspedisi yang
dibawanya ditinggalkannya, dan pimpinan diserahkan
kepada Jenderal Kleber. Ekspedisi ini akhirnya
meninggalkan Mesir pada 31 Agustus 1801 setelah pasukan
Prancis mengalami kekalahan dalam pertempuran laut
dengan armada Inggris (Nasution, 1987: 30).

Bagi masyarakat Mesir, sekalipun kedatangan Napoleon


untuk menjajah, namun ekspedisi ini memberi• kan
semangat baru bagi kehidupan mereka. Napoleon telah

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


47
membawa ide-ide baru yang sangat bermanfaat bagi
Mesir, bahkan dunia Islam pada umumnya. Ide-ide baru
yang dibawa Napoleon itu, sebagaimana disebutkan oleh
Harun Nasution, ialah sistem pemerintahan republik,
persamaan hak (egalite) dalam pemerintahan, dan
kebangsaan -Nasionalisme (Nasution, 1987: 31-32).
Bagi masyarakat Mesir yang selama ini hanya me•
ngenal sistem kekhalifahan, kerajaan, atau kesultanan,
maka sistem pemerintahan republik yang dibawa
Napoleon merupakan hal yang baru. Di dalam sistem
kerajaan, ke• kuasaan dipegang secara turun-munurun,
kekuasaan raja bersifat absolut, tidak ada konstitusi
yang membatasi ke• kuasaannya, tidak ada batas waktu
berkuasa, dan tidak ada perlemen yang mengontrol
segala kebijaksanaan dan tindakan raja. Sedangkan
dalam pemerintahan republik kepala negara ditentukan
melalui pemilihan, kekuasaan kepala negara terbatas,
kepala negara harus tunduk kepada undang-undang
dasar dan bisa dijatuhkan oleh parlemen, dan kekuasaan
tertinggi berada di tangan rakyat.
Ide sistem pemerintahan seperti ini merupakan per•
wujudan dari cita-cita revolusi Prancis yang menen•tang
absolutisme penguasa. Bentuk pemerintahan republik yang
dibawa oleh Napoleon pun tampaknya tidak ter• lepas dari
bentuk pemerintahan yang dicanangkan oleh Montesquieu
(18 Januari 1689-10 Februari1755). Montesquieu, yang
nama lengkapnya adalah Charles Louis De Secondat
Montesquieu, adalah seorang ahli filsafat politik Prancis
yang sangat terkenal. Teorinya tentang pemisahan
kekuasaan badan-badan legislatif, eksekutif,

Bab II — Pembaruan Islam Pra Zaman Modern


dan yudikatif, atau dikenal dengan teori trias politica,
diuraikan dalam karyanya yang terkenal De L’espirit des
Lois (Jiwa perundang-undangan) di tahun 1748
(Shadily, 1983: 2266). Bentuk pemerintahan seperti ini
sama sekali tidak dikenal di Mesir. Karena itu, pada
mulanya ide sistem pemerintahan republik tersebut agak
sulit diterima, namun akhirnya justru menjadi pemicu
untuk lahirnya gerakan pembaruan.
Ide persamaan (egalite) yang dikembangkan oleh
Napoleon di Mesir ialah persamaan kedudukan dan turut
sertanya rakyat dalam soal pemerintahan (Nasution, 1987:
32). Ide ini tampaknya merupakan perwujudan dari sistem
pemerintahan republik yang dibawanya. Dengan sistem ini
rakyat banyak ikut serta terlibat langsung di dalam
pemerintahan melalui wakil-wakil mereka.
Wujud dari ide persamaan ini diperlihatkan Napoleon
dengan dibentuknya sebuah badan kenegaraan dan Diwan
al-Ummah. Badan kenegaraan bertugas (1) membuat
undang-undang, (2) memelihara ketertiban umum, (3)
menjadi perantara antara penguasa-penguasa Prancis
dengan rakyat Mesir. Anggota-anggota terdiri dari para
ulama al-Azhar, tokoh-tokoh pedagang dari Kairo dan
daerah-daerah. Sedangkan Diwan al-Ummah bertugas untuk
membahas dan menyelesaikan masalah-masalah yang
berkaitan dengan kepentingan nasional. Anggotanya
berjumlah 180 orang. Tiap-tiap daerah mengirimkan
sembilan orang wakilnya yang terdiri dari golongan ulama 3
orang, golongan pedagang 3 orang, petani 1 orang kepala
desa dan kepala suku bangsa Arab masing-masing 1 orang.
Diwan ini melaksanakan sidang pertamanya

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


47
pada 5 sampai 20 Oktober 1798 dengan putusan yang
diambil “menganjurkan perubahan peraturan pajak yang
ditetapkan kerajaan Ustmani” (Nasution, 1987: 9). Memang,
meskipun secara de facto yang menguasai Mesir sebelum
Napoleon adalah dinasti Mamalik, namun secara de jure
daerah ini berada di bawah kekuasaan Turki Ustmani.
Di samping pembentukan dua institusi di atas,
Napoleon juga memperkenalkan sistem pemilihan ter•
hadap orang yang dilakukan secara langsung, bebas, dan
rahasia. Caranya, setiap anggota pemilih diberikan kertas
kosong, dan tiap mereka bebas menuliskan nama
seorang yang dipilih, tanpa diketahui dan dipengaruhi
oleh orang lain. Praktik pemilihan seperti ini
diperlihatkan ketika Diwan al-Ummah dalam menetapkan
ketua. Anggota diwan, sebagaimana biasanya, menunjuk
dan menyebut nama seseorang. Ketika itu yang ditunjuk
ialah Syekh al-Syarqawi, seorang ulama terkemuka yang
sangat di• hormati mereka. Namun cara penunjukan
semacam itu ditolak oleh penguasa Prancis sambil
menjelaskan tata cara pemilihan yang baik dan
demokratis, sebagaimana cara yang dikemukakan di
atas. Bagi rakyat Mesir, cara pemilihan seperti ini tidak
lazim, namun mereka dapat menerimanya.
Ide baru yang juga sangat penting yang dibawa oleh
Napoleon ialah ide kebangsaan. Di sini Napoleon mene•
gaskan kepada orang-orang Mesir bahwa Prancis adalah
satu bangsa (nation), orang-orang Mesir juga satu bangsa,
sementara kaum Mamluk adalah orang asing yang datang
dari Kaukakus ke Mesir (Nasution, 1987: 9). Antara orang
Mesir dengan kaum Mamluk memang sama-sama Islam,

Bab II — Pembaruan Islam Pra Zaman Modern


tetapi mereka berbeda bangsa, sebelumnya umat Islam
Mesir tidak mempersoalkan perbedaan bangsa ini terlalu
mendalam, karena mereka mempunyai konsep al-Ummah
al-Islamiyah (Umat Islam) yang hanya dihadapkan kepada
non-muslim. Jadi, mereka hanya menyadari perbedaan
agama dan tidak begitu sadar akan perbedaan bangsa
dan suku bangsa (Nasution, 1987: 33).
Di samping ide-ide sebagaimana tersebut di atas,
Napoleon juga membangkitkan semangat rasionalisasi
(Robinson, 1987: 130) dengan mengembangkan ilmu
penge• tahuan dan teknologi. Ia datang ke Mesir bukan
hanya membawa pasukan militer, tetapi juga disertai
orang-orang sipil sebanyak 1000 orang, 160 orang
diantaranya adalah para ilmuwan dari berbagai bidang,
dua set percetakan dengan huruf latin, Arab, dan Yunani,
dan alat-alat ilmu pengetahuan yang dipakai dalam
eksperimen-eksperimen ilmiah (Nasution, 1987: 96).
Para ilmuwan yang dibawa Napoleon ialah ilmuwan-
ilmuwan spesialis yang terbagi dalam empat kelompok (1)
kelompok khusus di bidang matematika yang bertugas
membuat rencana tentang kota Kairo dan menyiapkan peta
bagi proyek Suez Kanal dan menetapkan jumlah pajak yang
harus dipungut oleh sultan Mamalik dari penduduk,
kelompok ahli fisika, mencurahkan perhatiannya kepada
pembuatan statistik kedokteran mengenai jenis penyakit di
Mesir dan cara penanggulangannya serta membuat statistik
tentang jumlah kelahiran dan kematian. Kelompok ini
mengharuskan pemerintah setempat segera melaporkan
penyakit apa saja yang ada di setiap daerah dan kota, (3)
kelompok ahli kesusasteraan yang kegiatannya

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


47
dicurahkan kepada pengadaan perpustakaan untuk
melayani para ahli ilmu pengetahuan dan siapa saja yang
berminat membaca pada waktu-waktu tertentu, dan (4)
kelompok ahli ekonomi yang mencurahkan perhatiannya
terhadap bidang ekonomi, antara lain masalah paspor,
penetapan kewajiban pembagian harta warisan kepada
para ahli waris yang berhak, dan lain-lain. Di samping
itu, ada pula ahli-ahli kimia yang bekerja membuat
rencana penyaringan air sungai Nil dan menghilangkan
kadar garamnya yang larut dari rerumputan dan
pepohonan (Amin, t.t: 130).
Untuk kepentingan ilmiah, ekspedisi Napoleon
dileng• kapi dengan sebuah lembaga ilmiah Institut d’
Egypte. Lembaga ini terdiri dari empat bagian (1) bagian
ilmu pasti, (2) bagian ilmu alam, (3) bagian ekonomi-
politik, dan (4) bagian sastra-seni. Dalam praktiknya,
lembaga ini tidak hanya digunakan untuk keperluan
ilmiah, tetapi juga untuk membantu Nepoleon dalam
memerintah Mesir dengan hasil-hasil penyelidikan para
ahlinya (Nasution, 1987: 96).
Institut ini terbuka untuk orang-orang Mesir sehingga
banyak ulama terkemuka yang mengunjunginya, antara lain
Abd al-Rahman al-Jabarti, seorang ulama dari al-Azhar dan
penulis sejarah. Ketika ia mengunjungi lembaga ini di
tahun 1799, ia sangat tertarik dengan perpustakaan
besarnya. Buku-buku yang tersedia di sini terdiri dari
berbagai macam bahasa: Eropa, Arab, Persia, dan Turki.
Alat-alat ilmiahnya pun dipandang oleh Al-Jabarti sangat
mengagumkan, seperti teleskop, mikroskop, alat-alat
untuk percobaan kimiawi, dan lain-lain. Demikian juga

Bab II — Pembaruan Islam Pra Zaman Modern


cara kerja orang-orang Prancis dan percobaan-percobaan
yang dilakukan di lembaga ini membuat al-Jabarti ter•
kagum-kagum, sehingga ia mengatakan “saya lihat di
sana benda-benda dan percobaan-percobaan ganjil yang
meng• hasilkan hal-hal yang besar untuk dapat
ditangkap oleh akal seperti yang ada pada diri kita”
(Nasution, 1987: 30-31).
Ide-ide baru yang dibawa Napoleon dan aktivitas-
aktivitasnya selama ia menguasai Mesir telah mem•
bangunkan kesadaran umat Islam sehingga lahir ide-ide
dan gerakan pembaruan. Meskipun gerakan itu tidak
begitu kentara muncul pada saat Napoleon berkuasa di
Mesir, tetapi pengaruhnya jelas terlihat pada abad ke-19
dan 20. Gerakan pembaruan yang dilakukan Jamaluddin
al-Afghani, Muhammad Abduh, Tahtawi, dan lain-lain di
Mesir tidak bisa dipisahkan dari pengaruh ekspedisi
Napoleon.

D. KESIMPULAN
Penjajahan, bagaimanapun bentuknya, sering digam•
barkan sebagai sesuatu yang menakutkan. Dalam istilah
penjajahanterkandungbayanganpenindasan,perbudakan,
pemaksaan, penganiayaan, dan hal-hal yang negatif bagi
bangsa terjajah. Tetapi ekspansi yang dilakukan Napoleon
Bonaparte ke Mesir, sekalipun tentu tidak luput dari hal-hal
negatif tersebut, ternyata memberi makna yang besar bagi
perkembangan Islam dan masyarakat Mesir sendiri. Dengan
ekspedisinya, kesadaran umat Islam untuk bangun
membenahi dirinya telah muncul, sehingga lahir gerakan-
gerakan pembaruan, tidak hanya di Mesir, tetapi

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


47
juga di berbagai negara Islam yang lain.
Dengan ekspedisi ini, kontak antara dunia Islam
dengan Barat telah terjadi secara langsung. Napoleon juga
membawa ide-ide baru yang menggugah semangat
masyarakat Islam di Mesir untuk melakukan perubahan
pada dirinya. Meskipun di awal abad ke-19, ide-ide itu pada
mulanya ditentang oleh sebagian ulama tradisional, namun
akhirnya, secara perlahan dapat di terima dan dipraktikan.
Ide sistem pemerintahan republik yang tidak membenarkan
absolutisme kekuasaan kepala negara dan menjadikan
kepala negara mempunyai kekuasaan tidak tak terbatas,
merupakan ide baru yang menarik untuk dipelajari dan
dikembangkan oleh para kaum intelektual. Demikian pula
ide persamaan kedudukan dan keikutsertakan rakyat dalam
pemerintahan, serta ide nasionalisme, yang sebelumnya
tidak begitu disadari oleh rakyat Mesir, merupakan ide-ide
yang menggugah mereka untuk melakukan pembaruan di
Mesir. Ide-ide baru ini• lah yang antara lain memberikan
inspirasi sejumlah tokoh pembaru Mesir dan dunia Islam,
sehingga gema pembaruan dan kebangkitan Islam
berdengung di mana-mana.



Bab II — Pembaruan Islam Pra Zaman Modern


BAB III

PEMBARUAN ISLAM PASCA


ZAMAN MODERN

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


47
Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern
1
MUHAMMAD ALI:
USAHA-USAHA
PEMBARUAN
Oleh: Mukhyar Sani

A. PENDAHULUAN

S ejak Napoleon Bonaparte mendarat di Alexandria


(Mesir) pada 2 Juli 1798 M. dengan maksud menjadikan
Mesir sebagai batu loncatan untuk menguasai Timur
terutama India (Nasution, 1979: 96) umat Islam di negeri itu
semakin berada di bawah pengaruh Eropa. Kendatipun
ekspedisinya ke Mesir berlangsung• tidak lama (1798-1801
M) namun dampak positif yang ditinggalkannya bagi
perkembangan Mesir selanjutnya• di luar dugaan sama
sekali, sehingga P.M. Holt dan kawan-kawan
menggambarkannya sebagai an episode of decisive
importance (Holt, dkk., 1970: 381).
Ekspedisi Napoleon itu secara tidak langsung mem•
bangunkan rakyat Mesir dari tidur panjang untuk menge•

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


61
jar ketertinggalan mereka dari Eropa melalui gerakan
pembaruan yang dipelopori Muhammad Ali, seorang
perwira Turki yang turut berperang melawan tentara
Prancis. Setelah Prancis keluar dari Mesir, ia dapat me•
rebut tampuk kekuasaan, dan menjadi penguasa tunggal
di negeri itu dari 1805 sampai 1849 M. (Nasution 1987:
hlm.10)
Muhammad Ali adalah keturunan Turki. Ia lahir di
Kawala Macedonia, Yunani tahun 1769 M. dan meninggal
2 Agustus 1849 di Iskandaria Mesir dalam usia 80
tahun. Dia adalah The Founder Of Modern Egypte
(Houtsma, dkk., 1919: 681, 683).
Pada waktu kecil karena kesibukannya bekerja se•
bagai pedagang tembakau, ia tidak sempat menikmati
pendidikan di bangku sekolah, akibatnya ia tidak pandai
menulis dan membaca, tetapi sebuah sumber menyebutkan
ia baru mulai belajar di usia empat puluhan (William, 1973:
610). Setelah dewasa ia bekerja sebagai pemungut pajak,
dan karena kecakapannya dalam pekerjaan ini, ia menjadi
kesayangan Gubernur Ustmani setempat. Akhirnya ia
diangkat sebagai menantu oleh Gubernur tersebut dan sejak
itu bintangnya terus menaik (Nasution, 1975: 34).
Muhammad Ali memasuki dinas militer pada 1799 ketika itu
pasukan Albania mendarat di Mesir, dan selanjutnya tahun
1800 ia ditunjuk sebagai salah seorang komandan pasukan
tersebut dan kariernya terus menanjak sehingga
memperoleh pangkat kolonel (Houtsma, dkk., 1919: 681,
683).
Peluang terbuka bagi Muhammad Ali ketika tentara
Prancis meninggalkan Mesir 1801 dan Mesir mengalami

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


kekosongan kekuasaan, lalu mengatur strategi dalam
rangka mencapai puncak kekuasaan. Kaum Mamluk
kembali ke Kairo dan Pasya dengan Sultan Ustmani datang
dari Istanbul yang masing-masing bermaksud untuk meraih
kembali kekuasaan lama (Edward, 1958: 74-75).
Muhammad Ali mengadu domba antara kedua saingannya
itu. Ia mulai dengan memukul saingan yang terlemah.
Pasukan yang dikirim sultan ia kepung. Pasya menyerah
dan dipaksa kembali ke Istanbul. Muhammad Ali
mengangkat dirinya sebagai Pasya yang baru, dan akhirnya
terpaksa diakui oleh Sultan Ustmani pada 1805 (Nasution,
1979: 35). Mulai saat itu ia berkuasa di Mesir dengan cara
memonopoli sumber daya alam untuk kepentingan
pemerintahannya sendiri (Savory, 1976: 150).
Selama 45 tahun memerintah, Muhammad Ali telah
melakukan upaya pembaruan di Mesir, baik dalam bidang
militer, ekonomi, pendidikan maupun di bidang lainnya,
sekalipun tidak semua usahanya itu berhasil baik. Karena
itu, pengaruhnya di mata rakyat Mesir sangat besar,
akibatnya ia dapat mewariskan kekuasaannya kepada
keturunannya dengan penguasa terakhir Raja Faruq yang
bertakhta selama 16 tahun - 1936-1952 (Hitti, 1974: 432).
Dengan demikian dinasti Muhammad Ali di tanah
Mesir dapat berkuasa selama setengah abad.

IDE-IDE PEMBARUANNYA
Mesir pada saat kehadiran ekspedisi Napoleon benar-
benar kurang dari satu bulan, tentara Napoleon berhasil
menjarah seluruh Mesir, yang ketika itu masih berada di
bawah kekuasaan Turki Ustmani. Kebudayaan, ilmu

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


101
pengetahuan dan teknologi, di samping alat-alat peperangan
yang dibawa Napoleon dalam ekspedisinya, jauh lebih tinggi
dari yang ada di Mesir pada waktu itu (Nasution, 1979: 9).
Keadaan seperti ini membuat Muhammad Ali tidak tinggal
diam, ia berupaya mengadakan pembaruan untuk mengejar
ketertinggalan itu.
Dalam rangka memperbarui bidang kemiliteran,
Muhammad Ali menunjuk seorang kolonel berkebangsaan
Prancis, Seves, yang kemudian setelah menganut agama
Islam berganti nama dengan Sulaiman Pasha untuk ikut
ambil bagian dalam menaklukkan Suriah dan mengatur
secara modern Angkatan Bersenjata Mesir dan seorang
insinyur yang dipercayakan membangun angkatan laut
(Hitti, 1974: 724). Angkatan Bersenjata yang diatur Seves
untuk pertama kali tahun 1811 beroperasi dalam rangka
memenuhi seruan Konstantinopel menyerang kekuatan
Wahabi di mana keberangkatannya oleh Muhammad Ali
serta rakyatnya dirayakan di sebuah gedung yang di•
bangun Saladin di pinggiran kota Kairo (Hitti, 1974: 724).
Muhammad Ali melihat perlunya bala tentara yang
loyal, berdedikasi dan berdisiplin tinggi sebagaimana
tentara-tentara Eropa, guna menangkal serangan dari
dalam dan luar. Karena itu dibangunlah kementerian
angkatan laut. Di Iskandaria dibangun sebuah industri
bahari dan sekolah perwira angkatan laut. At First He Ad
Ships Built In France And Italy And Bombay, But Soon
Alexandria Itself Get Its Yard. After The Destruction Of The
Egyptian Fleet At Navarine Ship-Building Began Again And
Quite A Number Of French And Italian Officers Employed In
The Egyptian Navy After 1831 (Hitti, 1974: 724).

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


Laju pertumbuhan bidang kemiliteran selalu menga•
lami peningkatan dengan rata-rata pertahun (1821-1838)
kurang lebih 8.000 orang. Dari 16.000 orang di tahun
1821, menjadi 62.150 di tahun 1829, dan 83.000 di
tahun 1832 menjadi 100.000 di tahun 1829, dan 83.000
di tahun 1832 menjadi 100.000 di tahun 1833 dan
157.000 orang di tahun 1838 (Houtsma, dkk., 1919: 681-
683). Hal ini barangkali karena pengaruh didirikannya
Sekolah Militer di Mesir dan arena sebagian besar pelajar
(35%) yang dikirim ke luar negeri mendapat tugas
mempelajari masalah kemiliteran.
Dalam rangka mengatur dan memodernisasi militer
berikut Mesir pada umumnya, Muhammad Ali berkiblat ke
Barat. Karenanya pelatih militer dan tenaga pengajar di
sekolah-sekolah yang dibangunnya mayoritas didatangkan
dari Barat, sistem dan kurikulumnya menurut Barat,
bahkan pembangunan angkatan bersenjatanya sebagai•
mana disebutkan sebelumnya juga diserahkan kepada
tenaga yang berasal dari Barat. Sekolah-sekolah yang
pertama dibangun adalah sekolah militer dan sekolah-
sekolah yang mendukung peningkatan bidang kemiliteran.
Besarnya perhatian Muhammad Ali terhadap masalah
kemiliteran dapat dipahami berkaitan dengan ambisinya
mempertahankan kekuasaan.
Karena itu dapat dilihat dari titik perbedaan kebijak•
sanaan militer yang ditempuh Muhammad Ali dari ke•
bijakan tradisional sebelumnya. Muhammad Ali me•
nempuh sikap keterbukaan dan bersahabat dengan
Eropa, mengadakan pembaruan militer dari segi sistem
dan persenjataan dengan tenaga pelatih dari Barat, dan

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


101
ia mengambil petani sebagai anggota angkatan
bersenjata, sedang sebelumnya dari para budak.
Mesir adalah negeri pertanian, dan untuk mem•
pertinggi hasil-hasil pertanian, Muhammad Ali di samping
memperbaiki irigasi lama, mengadakan irigasi baru,
memasukkan penanaman kapas dari India dan Sudan (1821-
1822) dan mendatangkan ahli pertanian dari Eropa untuk
memimpin pertanian. Untuk kemajuan ekonomi ia juga
membawa perbaikan dalam bidang pengangkutan (Nasution,
1979: 36). Di Kairo terutama di bagian utara dibangun
tanggul-tanggul guna menahan air terusan, khususnya di
tahun-tahun kurang terjadi banjir. Di beberapa daerah
terusan-terusan dan pompa uap memberikan peluang bagi
petani meningkatkan produksi pertanian mereka (Nettleton,
1967: 284). Terusan Mahmudiah yang menampung arus
perdagangan sungai Nil dan Iskandariyah mengalami
perkembangan pesat. Dalam perkembangan berikutnya,
Iskandariyah menjadi salah satu kota perdagangan Laut
Tengah, sehingga banyak orang Eropa yang tinggal di sana
dan akhirnya penduduknya bertambah dari 15.000 orang
di tahun 1805 menjadi
150.000 orang di tahun 1847 (Nettleton, 1967: 284).
Pengolahan katon meningkatkan dengan cepat produksi
pertanian yang merupakan salah-satu sumber devisa negeri
Mesir dan Muhammad Ali juga mengimpor pabrik tekstil dan
gula (Hitti, 1974: 432).
Muhammad Ali menyita harta kekayaan kaum Mamluk
dan demikian pula harta-benda orang Mesir yang berada di
bawah kekuasaannya (Nasution, 1979: 36). Pada 1815 ia
mulai menguasai hasil kapas, rami dan batang lenan

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


di Sudan. Dua tahun kemudian ia kuasai pula hasil nila,
bijian dan tumbuh-tumbuhan minyak lainnya. Kemudian
ia membentuk tim penyelidik yang bertugas menyelidiki
keabsahan harta milik tetap. Pemilik tanah yang menurut
penyelidikan tidak sah, maka sejak itu, ia mengelola
lahannya sebagai petani dan bukan pemilik tanah, sebab
tanah itu jatuh menjadi milik Pasya (Brockelman, 1974:
544).
Dari upaya-upaya dilakukan ini, Muhammad Ali
bermaksud• melakukan gebrakan-gebrakan besar dalam
rangka meningkatkan perekonomian rakyat Mesir. Akan
tetapi, bagi mereka upaya-upaya itu masih terlalu dini,
mereka belum siap menyambut kehidupan modern
karena masih terpengaruh dengan budaya lama, santai
dan senang dengan kehidupan sederhana. Akhirnya
usaha Muhammad Ali berakhir dengan kegagalan, karena
keku• rangan tenaga ahli dan ketiadaan pasaran
(Nasution, 1979: 36).
Dalam rangka membenahi bidang pendidikan dan ilmu
pengetahuan, Muhammad Ali mendirikan kementerian
pendidikan dan Council of Education (Hitti, 1974: 724). Ia
mendirikan sekolah Teknik (1816), Sekolah Kedokteran
(1829), Sekolah Pertambangan (1834), Sekolah Pertanian di
tahun 1836 (Nasution, 1979: 38). Boleh dikatakan bahwa
sekolah-sekolah serupa ini barulah pertama kali didirikan di
dunia Islam, sekolah-sekolah yang jauh berlainan dengan
sekolah-sekolah tradisional yang ada pada waktu itu
(Nasution, 1979: 38). Sekalipun demikian he did not creat a
national education system. For his school were tied to very
limited goals: the staffing of his administration and

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


101
his military machine (Savory, 1976: 150).
Seirama dengan pembenahan di bidang pendidikan
ini, Muhammad Ali mengirim pelajar-pelajar Mesir untuk
belajar ke Eropa terutama ke Paris. Pertama kali para
pelajar dikirim tahun 1809 antara 1809 sampai 1826
sejumlah 20 orang pelajar dikirim ke Itali, Prancis, dan
Inggris untuk mempelajari percetakan, kelautan, teknik
dan yang berkaitan dengan itu. Orang yang pertama kali
dikirim adalah Niqula Nasabki yang pernah belajar
percetakan di Roma pada 1815-1820, yang kemudian
ditunjuk sebagai direktur percetakan Bulak (1821-1831).
Kedua adalah Utsman Nur al-Din yang mempelajari ilmu
pengetahuan kemiliteran dan kelautan di Italia dan
Prancis (1809-1817 M) yang kemudian menjadi admiral
angkatan laut Mesir (Lughod, 1963: 35).
Menurut Ibrahim Abu Lughod, 35% dari pelajar yang
dikirim, mempelajari bidang kemiliteran dan ilmu
kelautan, 27% bidang teknik industri, 18% bidang
engineering, 7% bidang pengobatan, 6% bidang
administrasi, hukum dan politik, 4% bidang pertanian
dan 3% mempelajari bidang chemistry. Umumnya yang
mempelajari bidang kemiliteran dan kelautan adalah
keluarga Muhammad Ali sendiri (Lughod, 1963. hlm.35).
Menurut statistik di antara 1813 dan 1849 M.,
Muhammad Ali mengirim 313 pelajar Mesir ke Italia,
Prancis dan Austria. Di Paris didirikan satu rumah
Mesir untuk menampung pelajar-pelajar itu (Nasution,
1979: 37) Pengiriman para pelajar itu menghabiskan
biaya sebesar LE. 272.360 (Hitti, 1974: 724).
Dampak negatif pembaruan di bidang pendidikan ini,

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


terutama dengan didirikannya sekolah-sekolah modern,
adalah melemahnya peran lulusan sekolah-sekolah
tradisional dan para ulama, karena lapangan kerja lebih
terbuka bagi lulusan sekolah modern. Para lulusan sekolah
tradisional dan ulama tidak mengetahui ilmu pengetahuan
modern dan bahasa asing, yang pada giliran• nya
menyempitnya lapangan kerja bagi mereka baik di lapangan
pemerintah maupun swasta. Selain itu, atmosfir Meser yang
sebelumnya tidak tersentuh oleh kebudayaan• Barat
kemudian mengalami perkembangan yang cukup pesat
dengan adanya pembaruan di bidang pendidikan.
Muhammad Ali dengan bantuan tenaga-tenaga ahli
bahasa asing dan orang yang bekerja di dewannya mela•
kukan usaha penerjemahan buku-buku Eropa ke dalam
bahasa Arab. Upaya ini pada mulanya tidak berhasil de•
ngan baik, karena para penerjemah bukanlah ahli dalam
ilmu-ilmu yang terkandung dalam buku-buku yang perlu
diterjemahkan itu. Hasil terjemahan tidak sempurna dan
juga karena penerjemahan tersebut dilakukan secara
sambilan (Nasution, 1979: 39). Oleh sebab itu, pada 1836
ia mendirikan Sekolah Penerjemah, yang kemudian
diserah• kan kepada Rifa’ah al-Tahtawi yang pernah
belajar di Paris untuk memimpinnya dan sejak itu
penerjemahan berjalan lancar. Sekolah penerjemahan ini
tahun 1841 menjadi sekolah Bahasa-bahasa,
administrasi, dan akuntansi dan tahun 1875 menjadi
Sekolah Hukum dan Administrasi (Lughod, 1963: 32).
Penerjemahan di Sekolah Penerjemahan ini dibagi
empat bagian, bagian Ilmu Pasti, bagian Ilmu Kedokteran,
Ilmu fisika, Sastra dan Bahasa Turki. Yang terakhir ini

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


101
bertugas menerjemahkan buku-buku pedoman militer yang
akan dipakai oleh perwira-perwira Turki yang terdapat
dalam Angkatan Perang Muhammad Ali (Nasution, 1979:
37). Di antara buku-buku yang diterjemahkan adalah A
History Of Italy, Histoire De I’ Empire De Russie Sous Purre Le
Grans, Travels in America, Travels in India, The Pince, Apercu
Historique Sules Moeurs Et Coutomes Des Nations dan
Naopelon Code (Lughod, 1963: 32).
Adapun para penerjemah adalah Abdullah Aziz,
Hasan Abu al-Su’ud, M.M. Bayya, Abduh Khalifah
Mahmud, H. Al-Jubayli, Hasan Qasim, Ahmad Abid al-
Tahtawi, Abdullah Husayn, R. R. Tahtawi, Sa’ad Niam
dan Utsman Jalal (Lughod, 1963: 32).
Dengan adanya penerjemahan ini pandangan orang
Mesir mulai kenal dengan negara-negara Barat, negara-
negara di Timur jauh dan Amerika. Dunia yang digam•
barkan buku-buku Barat itu jauh berlainan dari dunia
yang mereka kenal dari buku-buku karangan orang Islam
di abad pertengahan. Juga mereka mulai kenal dengan
filsafat Yunani, adat istiadat Barat yang jauh berlainan
dengan adat istiadat Islam (Lughod, 1963: 32).
Di samping gerakan penerjemahan buku-buku asing,
Muhammad Ali juga menerbitkan untuk pertama kalinya
(1828) surat kabar resmi dalam bahasa Arab yang
bernama Al-Waqa’I al-Mishriyah (Hitti, 1974: 724).
Bidang kesehatan dan kebersihan tidak luput dari
perhatian Muhammad Ali. Di Iskandaria ia membangun
sebuah karantina dan menunjuk konsul-konsul asing
menjadi suatu Dewan Kebersihan yang mendapat suntikan
dana dan wewenang penuh dari pemerintah. Sesudah

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


tahun 1840 kedatangan wabah penyakit dapat dikurangi,
kesehatan rakyat semakin membaik dan produksi per•
tanian juga mengalami peningkatan (Nettleton, 1967: 432).

C. KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa usaha-
usaha pembaruan yang dilakukan Muhammad Ali mulai
dari pembenahan militer lengkap dengan teknik per•
senjataan modern, industrialisasi perekonomian, moder•
nisasi sistem pendidikan, penerjemahan buku-buku Eropa
sampai kepada masalah kesehatan dan kebersihan.
Sekalipun demikian tidak semua usahanya itu berhasil baik,
karena sebagian terlalu dini bagi rakyat Mesir dan mereka
masih terpaksa dengan kebiasaan-kebiasaan lama seperti
senang hidup sederhana dan lain lain.



SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


101
2
AL-TAHTAWI DAN IDE-IDE
PEMBARUANNYA
Oleh: Amany Lubis

A. RIWAYAT HIDUP AL-TAHTAWI

R ifa’ah Badawi Rafi al-Tahtawi umumnya dikenal de•


ngan sebutan al-Tahtawi (1216-1290 h./1801-1873)
hidup dalam masa empat orang Pasya yang hidup
di Mesir, yaitu Muhammad Ali (1805-1848), Abbas (1848-
1854), dan Said (1854-1863) dan Ismail (1863-1875). Al-
Tahtawi berasal dari Tahta di Mesir Selatan. Orangtuanya
petani pemilik tanah yang diambil oleh Muhammad Ali
Pasya ketika dilancarkan pengambil-alihan tanah-tanah
milik rakyat oleh Raja, sehingga untuk membiayai
sekolah al-Tahtawi dibantu oleh keluarga ibunya.
Pendidikan dasar diselesaikan di kota kelahirannya,
kemudian masuk Al-Azhar pada usia 16 tahun.
Kecerdasan dan ketekunan al-Tahtawi menarik perhatian

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


salah seorang ulama al-Azhar, Syeikh Hasan al-Attar,
yang banyak bergaul dengan tentara Prancis yang datang
bersama Napoleon. Al-Tahtawi juga berkenalan dengan
mereka. Perkenalan ini akhirnya membawa tumbuhnya
wawasan baru dalam pandangan al-Tahtawi mengenai
perlunya mempelajari ilmu pengetahuan umum dan
teknik, di samping pelajaran-pelajaran keagamaan yang
diperolehnya di al-Azhar.
Keadaan Mesir seperti halnya keadaan negeri Islam
lainnya ketika itu jauh tertinggal dengan kemajuan yang
telah dicapai oleh Eropa, terutama Prancis yang mengusai
Mesir. Lembaga pendidikan di Mesir hanya menekankan•
pengajaran dan pendidikan keagamaan. Tidak meng•
herankan bila masyarakat dan bahkan kalangan terpelajar
merasa asing dengan peralatan-peralatan yang dibawa
ekspedisi Napoleon ke Mesir, seperti teleskop, mikroskop,
alat-alat untuk percobaan kimia dan lain sebagainya.
Lembaga-lembaga pendidikan di Mesir di waktu itu belum
memungkinkan para pelajarnya mengenali atau meng•
gunakan alat-alat tersebut.
Dalam kondisi masyarakat yang demikian, perkenalan
al-Tahtawi dengan para ahli Prancis telah menumbuhkan
dorongan yang besar untuk mempelajari ilmu pengetahuan
lebih jauh yang membawa kemajuan Eropa umumnya dan
Prancis khususnya. Setelah al-Tahtawi menamatkan
pendidikan di al-Azhar (1817-1822), ia dipercaya me•
ngemban tugas mengajar di almamaternya sendiri, tetapi
dua tahun kemudian dia mendapat tugas baru sebagai
imam tentara. Ketika Muhammad Ali mengirim pelajar-
pelajar Mesir ke Prancis untuk belajar dalam bidang-

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


101
bidang militer, teknik, kedokteran dan lain-lain, al-
Tahtawi termasuk salah seorang di antara mereka
dengan tugas sebagai imam mahasiwa. Dari tangan
mereka inilah tumbuh pemikiran baru di Mesir di mana
al-Tahtawi turut memainkan perannya.
Al-Tahtawi sangatlah gemar membaca dan mem•
pelajari ilmu-ilmu yang baru baginya. Dengan tekun ia
mempelajari ilmu-ilmu yang baru baginya. Dengan tekun
ia mempelajari bahasa Prancis secara otodidak atau
memanggil guru privat ke rumahnya setelah ia tinggal di
Paris. Dengan modal penguasaan bahasa yang baik, ia
dapat mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan
dari buku-buku berbahasa Prancis. Ia juga mempelajari
teknik penerjemahan. Al-Tahtawi pernah mendapat
hadiah dua buku karangan Silvestre de Sacy atas
keunggulannya dalam penguasaan bahasa Prancis;
kemudian kedua buku tersebut diterjemahkan oleh al-
Tahtawi sendiri ke dalam bahasa Arab. Pada ujian akhir
setelah lima tahun tinggal di Paris al-Tahtawi melahirkan
12 buku terjemahan hasil karyanya sendiri, diantaranya
Kitab al-Ma’ad dan Nubzah fi Tarikh Iskandar Al-Akbar.
Tiba di Kairo al-Tahtawi diangkat sebagai guru
bahasa Prancis dan penerjemah di Sekolah Kedokteran.
Tidak lama kemudian Muhammad Ali memindahkannya
ke sekolah Artileri untuk mengepalai bagian terjemah,
khususnya bidang-bidang teknik, geometri, dan militer.
Atas hasil jerih payah dan kontribusi al-Tahtawi dalam
bidang pengembangan ilmu pengetahuan, ia diberi gelar
kehormatan Bek.
Pada 1835 al-Tahtawi mendapat tugas men•dirikan

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


sekolah Terjemah (Qalam Al-Tarjamah) yang kemudian
namanya berubah menjadi sekolah Bahasa-Bahasa Asing
(Al-Alsun). Beberapa bahasa yang diajarkan adalah
bahasa Prancis, Italia, Turki, Persia, dan Bahasa Arab
sendiri. Selain mata pelajaran bahasa diajarkan pula
ilmu teknik, sejarah, dan ilmu bumi. Kegiatan
menerjemah bahasa di sekolah ini dilakukan oleh staf
khusus dan para mahasiswanya. Menurut keterangan
sekitar 2000 buku yang berhasil diterjemahkan ke
bahasa Arab dan Turki oleh lembaga ini dari 1822-1842.
Selain tugas sebagai penerjemah dan mengepalai
sekolah militer, al-Tahtawi juga memimpin penerbitan
majalah sastra Raudah al-Madaris. Ia pernah meminpin
surat kabar al-Waqai’ al-Misriah yang bukan hanya
memuat berita-berita resmi, tetapi juga pengetahuan-
pengetahuan tentang kemajuan Barat. Al-Tahtawi adalah
seorang penulis yang aktif; ia tak pernah berhenti
menulis dan menerjemah hingga akhir hayatnya di tahun
1873. Atas jasa al-Tahtawi akhirnya Mesir mempunyai
banyak penerjemah, intelektual, insinyur, baik mereka
itu muridnya langsung atau pemikir-pemikir yang
berpengaruh oleh karya-karya yang sangat berguna itu.

IDE-IDE PEMBARUAN AL-TAHTAWI


Gerakan pembaruan yang jelas terlihat di Mesir
bermula setelah terusirnya pasukan Prancis di tahun 1801.
Pengaruhnya yang paling besar adalah masuknya
peradaban Barat ke negara-negara Arab, khususnya Mesir.
Aspek-aspek yang menyebabkan timbulnya gerakan pem•
baruan di abad XIX adalah berdirinya sekolah-sekolah

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


101
modern dan nilai-nilai baru dan lembaga-lembaga seperti
yang terdapat di Barat, seperti percetakan, pers, semangat
kebebasan pribadi, lembaga-lembaga sastra dan ilmiah,
perpustakaan umum, museum, dan seni sandiwara. Posisi al-
Tahtawi dalam gerakan ini jelas sangat kuat. Ia adalah
seorang pemikir dan sastrawan, sehingga ia dijuluki bapak
pembaruan di Mesir karena jasanya yang besar dalam
memasukkan ide-ide dan kebudayaan Barat ke Mesir.
Dalam buku Takhlis al-Ibriz, ia menyatakan gagasan-
gagasannya mengenai soal-soal kehidupan secara umum:
politik, sosial, ekonomi, pendidikan, dan militer yang
bersumber dari pengalamannya selama tinggal di Prancis. Ia
mengungkapkan bahwa ciri-ciri kehidupan modern adalah
kebebasan pribadi (al-hurriyah al-syakhsiah). Pengaruh
konsep ini besar sekali di dunia Arab, sehingga melahirkan
pemikiran-pemikiran yang bebas sehingga membuka mata
rakyat untuk menuntut persamaan hak dan kewajiban.
Jiwa kebebasan ini telah diterapkan oleh pelajar-pelajar
Mesir yang dikirim Muhammad Ali ke Paris; terlihatlah
mereka selalu berusaha melepaskan diri dari adat kebiasaan
yang menghantarkan kepada kemunduran. Al-Tahtawi juga
menyatakan bahwa keadilan adalah dasar dari kemajuan
negara dan menjamin ketenteraman antara penguasa dan
rakyat. Secara terselubung ia mengkritik keadaan sosial di
Mesir di mana tersebarnya kezaliman dan pungli. Rakyat
terlalu banyak dibebani pajak, sehingga mereka selalu
mengeluh.
Sebenarnya al-Tahtawi setibanya di Paris sangat
kaget melihat ilmuwan di sana menyatakan bahwa bumi
itu bulat, tetapi akhirnya diyakininya juga. Doktrin baru

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


ini disampaikan kepada rakyat Mesir dengan sangat hati-
hati, agar para pembacanya tidak menolaknya atau tidak
menertawakannya. Jadi, dalam mengungkapkan ide-ide
baru ia bersikap sebagai penerjemah saja tanpa
menyatakan pendapat pribadinya, apakah ia setuju atau
tidak.
Al-Tahtawi berpendapat bahwa memajukan ekonomi
adalah penting karena ia menyadari itulah sebab kemak•
muran. Kesejahteraan seperti di Eropa akan tercapai•
dengan memajukan ekonomi. Al-Tahtawi ingin mengubah
kebiasaan yang dipengaruhi oleh ajaran tarekat untuk tidak
mementingkan dunia agar taraf hidup dapat dinaikkan.
Dalam bukunya Manahij al-Bab al-Alba al-Tahtawi
mengatakan bahwa raja yang baik ialah yang mampu
menjalankan kekuasaannya dengan baik, tetapi agar
kekuasaan itu tidak menimbulkan kesewenang-wenang•
an perlu dibatasi oleh syari’at dan syura ulama. Raja
harus tunduk pada ketentuan-ketentuan syari’at dan
menjadikan ulama sebagai pembantunya agar dapat
memberikan tuntunan yang sesuai dengan tuntunan
syari’at. Di samping ulama pun harus melengkapi penge
tahuannya sejalan dengan ilmu dan teknik agar dapat
memahami ajaran-ajaran syari’at dengan benar dan
sesuai dengan perkembangan zaman. Sejak umat Islam
mengalami kemunduran sesudah Baghdad jatuh, umat
Islam semakin sempit pandangannya dengan membatasi
diri untuk mempelajari soal-soal keagamaan saja dan
meninggalkan falsafat, aljabar, kimia, sejarah, dan ilmu
pengetahuan lain yang pernah berkembang di zaman
keemasan Islam. Akibatnya negeri-negeri Islam tertinggal

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


101
dari kemajuan yang dicapai di Eropa. Menyadari hal ini al-
Tahtawi berjuang keras untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan melalui penerjemahan buku-buku asing ke
dalam bahasa Arab dan menulis sendiri beberapa buku.
Dalam bagian lain bukunya Manahij al-Bab al-Misriah,
al-Tahtawi mengemukakan konsep Plato mengenai negara
yang menyatakan bahwa Negara tersusun dari 4 golongan
yaitu, raja, ulama, dan para cendekiawan, tentara, dan
kaum produsen. Keempat golongan ini merupakan
komponen yang saling melengkapi satu sama lain. Raja
sebagai penguasa harus didampingi ulama dan cendekiawan
yang membantu pelaksanaan kekuasaan raja sesuai dengan
tujuan yang benar. Dua golongan yang lain adalah golongan
yang diperintah, harus memiliki loyalitas dan ketaatan pada
golongan yang memerintah. Mengingat konsep kerajaan
merupakan sistem yang berlaku di se• luruh dunia Islam
pada waktu itu, maka al-Tahtawi dalam teori politiknya
banyak menggambarkan sistem kerajaan yang ideal.
Kemudian ia melanjutkan bahwa pemerintah kerajaan akan
mengalami stagnasi karena tidak men• dapatdukungan dan
ketaatan dari rakyat. Sedang untuk menjaga agar ketaatan
benar-benar terwujud dalam ke• hidupan “bernegara”, harus
dikembangkan hubungan antara yang memerintah dan yang
diperintah secara baik; masing-masing mempunyai hak dan
kewajiban.
Sekalipun raja memduduki takhtanya bukan dipilih
oleh rakyat, dalam hal ini golongan tentara dan kaum
produsen, jadi raja tidak bertanggung jawab kepada mereka
(tanggung jawab raja semata kepada Allah). Namun raja
tidak boleh melupakan rakyat, tidak boleh bersikap

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


zalim dan sewenang-wenang kepada rakyat sebab hal itu
bertentangan dengan ketentuan syari’at Allah. Untuk itu,
raja harus mengerahkan tenaga dan pikiran untuk
memajukan perekonomian dan perdagangan, pertanian dan
pendidikan. Produksi bahan-bahan kebutuhan bagi
kehidupan rakyat harus pula dikembangkan untuk
mencapai kesejahteraan dan kemajuan perekonomian.
Demikian pula, produksi peralatan militer dan pendidikan
personel harus mendapat perhatian raja untuk menjamin
terwujudnya tentara yang mampu menangkal serangan
musuh dan menjamin keamanan nasional.
Al-Tahtawi menulis buku al-Mursyid al-Amin li al-Banat
wa al-Banin dalam bidang pendidikan. Ia mengemukakan
pentingnya pendidikan bagi wanita agar dapat mengetahui
hak dan kewajiban sosial yang menjadi tanggung jawab
dalam hubungan dengan lawan jenis maupun hak dan
kewajiban sesama mereka sendiri. Wanita harus diajarkan
baca tulis, berhitung, dan pengetahuan lain. Dengan
pendidikan wanita akan lebih cerdas dan beradab, se•
hingga mereka mampu mendampingi suami sebagai istri
maupun sebagai kawan berdiskusi untuk menyelesaikan
masalah-masalah rumah tangga atau kemasyarakatan.
Menurut al-Tahtawi, penekanan terhadap wanita hanya
untuk memenuhi kebutuhan suami sebenarnya adalah
warisan jahili’ah sebelum Islam. Dikatakan selanjutnya
bahwa pendidikan wanita akan menyebabkan mereka
memiliki budi pekerti yang baik dan terpuji yang pada
gilirannya akan berpengaruh terhadap pendidikan anak-
anak mereka. Tentang pendidikan wanita ini, al-Tahtawi
mendasarkan argumentasinya kepada hadis Nabi yang

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


101
artinya menyatakan bahwa baca tulis adalah mubah.
Demikian pula pembaruan dengan kalangan pria dalam
kelas juga tidak dilarang sepanjang hal itu bersifat wajar
dan sesuai dengan kodrat masing-masing.
Al-Tahtawi adalah pemikir Mesir pertama yang menya•
takan dengan jelas pentingnya pendidikan wanita. Setelah ia
wafat masalah hak dan kedudukan wanita sering diangkat
menjadi topik pembahasan dalam artikel-artikel dan
ceramah-ceramah. Adapun masalah kerudung wanita tidak
banyak dibahas di masa itu sampai Qasim Amin menulis
bukunya Tahrir al-Mar’ah. Hal ini disebabkan oleh karena
kebanyakan pembela wanita setelah al-Tahtawi adalah
kaum Nasrani. Konsep pendidikan yang dikemukakan al-
Tahtawi ini pada dasarnya adalah anjuran emansipasi
wanita (Tahrir al-Mar’ah) seperti yang dikemukakan Qasim
Amin, tetapi al-Tahtawi mengemukakan konsep ini 30 tahun
lebih dulu, sejak dia berada di Prancis.
Di bagian lain dari buku-buku yang ditulisnya al-
Tahtawi melontarkan ide baru tentang hubungan al-wathan
(patriotisme). Konsep pemikiran ini untuk pertama kali
muncul di dunia Islam, terutama bila dikaitkan dengan
pendidikan, yaitu bahwa tujuan pendidikan bukanlah
semata-mata pengajaran ilmu pengetahuan dan
keterampilan, tetapi juga untuk membentuk sikap
kepribadian dan patriotisme. Pemikiran yang mapan kala itu
ialah bahwa seluruh dunia Islam adalah tanah air (watan)
bagi orang muslim. Dengan konsep cinta tanah air ini, al-
Tahtawi menawarkan pandangan baru mengenai konsep
tanah air yang tidak berdasarkan pertalian agama,
sebagaimana pandangan yang berlaku ketika

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


itu. Ditekankannya bahwa Mesir adalah tanah air orang-
orang Mesir, sekalipun mereka tidak beragama Islam.
Tumbuh pemikiran alternatif untuk mengembangkan
ikatan persaudaraaan; yang pertama ikatan berdasarkan
kesamaan agama dan yang kedua berdasarkan ikatan
tanah air. Tidak dipersoalkan mana yang penting, sebab
kedua-keduanya sama penting. Tetapi, dalam
perkembangan selanjutnya persaudaraan setanah air
lebih banyak dianut di negeri-negeri Islam dari pada
persaudaraan seagama, ikatan setanah air berdirinya
Negara-negara Islam dewasa ini.
Salah satu pengalaman al-Tahtawi yang lain selama
tinggal di Prancis ialah sikap masyarakat yang tidak
memer• cayai qada dan qadar Tuhan, mereka tidak
memercayai ketergantungan manusia kepada Tuhan.
Tentang hal ini al-Tahtawi tidak sependapat. Sebaliknya
dia melihat masyarakat Mesir bersikap fatalistik.
Menyerahkan semua soal kehidupan kepada qada dan
qadar Tuhan tanpa melakukan ikhtiar terlebih dahulu. Al-
Tahtawi mencela kedua-duanya. Manusia tidak boleh
menyerahkan bulat-bulat semua soal kehidupannya
kepada Tuhan tanpa mau berusaha; demikian pula
manusia tidak boleh menolak adanya qada dan qadar
Tuhan sebab hal itu menyalahi kodrat manusia sendiri.

C. KESIMPULAN
Sebagai penerjemah sering kali al-Tahtawi hanya
menyampaikan ide-idenya kepada masyarakat tanpa
menyatakan pendapatnya sendiri; seperti yang dilaku•
kannya dalam cabang ilmu geografi atau mengenai konsep

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


101
demokrasi. Jadi, konsep demokrasi yang dibawanya belum
bisa berpengaruh karena di Prancis sendiri di kala itu belum
juga mantap. Al-Tahtawi hanya membahas masalah-
masalah tersebut, bukan harus untuk dite• rapkan
langsung; barulah di kemudian hari konsep-kon• sep ini
berkembang dan diterapkan. Meniru langkah yang
dilakukan al-Tahtawi, akhirnya para pembaru mulai
meninggalkan tradisi taklid dan menghasilkan karya-karya
bebas. Al-Tahtawi telah berhasil memengaruhi kaum
terpelajar di Mesir, khususnya para ulama al-Azhar.



Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


3
JAMALUDDIN AL-
AFGHANI IDE-IDE
PEMBARUAN DAN
KEGIATAN POLITIK
Oleh: H.A. Hafizh Anshari

A. PENDAHALUAN

D i dalam sejarah perkembangan modern di dunia


Islam, nama Sayyid Jamaluddin al-Afghani tercatat sebagai
salah seorang tokoh besar dan pemimpin pembaruan yang
sangat berpengaruh. Ide-ide pembaruan yang dilontarkannya
bergema di seluruh dunia Islam, sehingga di mana-mana
kaum muslimah bangkit berjuang membebaskan diri dari
cengkeraman kolonialisme dan
berusaha memperbaiki keadaan mereka.
Ia, putra Safdar, keturunan Husain bin Ali bin Abi
Thalib, yang lahir di As’adabad, dekat Konar, wilayah Kabul,
Afghanistan, pada 1254 H/1839, telah mencurahkan

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


101
hidup dan perhatiannya untuk kebangkitan dan kejayaan
umat Islam (Lewis, dkk., 1965: 416-417). Ia sangat pri•
hatin terhadap dominasi Barat di dunia Timur, despotisme
sejumlah penguasa muslim, dan kelemahan serta kemun•
duran umat Islam. Karena itu, ia melanglang buana dari
satu negara ke negara lain menyerukan persatuan Islam,
mengingatkan kaum muslimin akan bahaya imperialisme
Barat, dan membangkitkan semangat mereka untuk ber•
juang mewujudkan kejayaan sebagaimana kejayaan yang
pernah diperoleh umat Islam pada zaman klasik (650-1250).

“Di mana pun ia berada,” kata Ahmad Amin, “saya


melihat api yang menyala-nyala, pemikiran-pemikiran
yang bangkit, tuntutan-tuntutan yang menggebu-gebu,
dan pemerintahan yang terguncang. Ia telah menetapkan
tujuan hidupnya dan mencurahkan segenap
ke•mampuan• nya untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu
membangkitkan negara-negara Islam dari kelemahan,
membuka pandangan bangsa-bangsa akan hak-hak
mereka, melepaskan be• lenggu bangsa asing dari
mereka, menetapkan batas-batas penguasa dan rakyat,
dan mengikat negara-negara Islam dengan satu ikatan
kekhalifahan• di Istambul (Amin, 1965: 291).
Aktivitasnya Sayyid Jamaluddin al-Afghani (selanjut•
nya disebut al-Afghani) memang tidak terbatas di tempat
kelahirannya, Afghanistan. Ia juga bergelut dalam dunia
politik di berbagai negara. Ia pernah tinggal di India, Mesir,
Turki, Iran, Inggris, dan Prancis. Bahkan, pengaruh terbesar
yang ditinggalkannya bukan di negerinya sendiri, melainkan
di Mesir; sekalipun ia berada di negara ini hanya

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


sekitar delapan tahun atau di tahun 1871-1879
(Nasution, 1988: 51-53). Selama ia berada di Mesir,
banyak tokoh yang dekat dan menjadi muridnya, antara
lain Muhammad Abduh, Sa’ad Zaglul (pemimpin
kemerdekaan Mesir), Ibrahim al-Laqani, Ibrahim al-
Halbawi, Mahmud Sami al-Barudi, Ibrahim al-Muwailihi,
dan Adib Ishak (Amin, 1965: 292).
Dalam kepastiannya sebagai filsuf, penulis, orator,
dan jurnalis (Gibb dan Kramers, 1953: 85), di samping
politikus uang ulung, ditambah dengan pengalaman yang
banyak dan kedalaman ilmu pengetahuan yang
dimilikinya, di mana pun ia berada, ia selalu mendapat
simpati dan memperoleh banyak pengikut, sekaligus di•
benci dan dimusuhi oleh sebagian yang lain. Ia dibenci
karena di mana pun ia berada, ia selalu meneriakkan
penentangan terhadap kolonialisme dan despotisme
penguasa. Karenanya, kaum imperialis dan para
penguasa despotis tidak senang terhadapnya. Ia juga
menyerukan pembaruan pemahaman dan interpretasi
ajaran-ajaran Islam agar ajaran agama tersebut sesuai
dengan situasi dan kondisi perkembangan zaman.
Seruan terakhir ini membuat sebagian tokoh agama,
khususnya kelompok tradisional, tidak menyukainya
karena hal itu dianggap dapat menodai ajaran agama.
Perjalanan hidup al-Afghani yang cukup panjang penuh
dihiasi dengan aktivitas dan perjuangan untuk kemajuan
dan kejayaan Islam. Sampai ia wafat di Istambul (Turki)
pada 9 Maret 1897 karena kanker yang menyerang rahang,
kemudian menjalar ke lehernya (Adams, 1933: 12). Ide-ide
baru yang dibawa dan aktivitas politik yang

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


101
dilakukannya memberikan pengaruh yang besar
terhadap gerakan pembaruan dan perlawanan terhadap
kolonialisme di periode sesudahnya.

IDE-IDE PEMBARUAN
Apabila ide pembaruan Muhammad Ali Pasya (1765-
1849) yang lebih menonjol adalah pembaruan di bidang
pranata sosial dan melahirkan sejumlah kaum intelektual
berpendidikan Barat dan Rafi’ al-Tahtawi (1801-1873) di
bidang pemikiran, maka ide pembaruan al-Afghani yang
pokok adalah di bidang politik. Karena itu, beberapa
penulis lebih menempatkan al-Afghani sebagai pemimpin
politik ketimbang pemimpin dan pembaru dalam Islam.
“Tetapi”, demikian Prof. Dr. Harun Nasution, “tak boleh
dilupakan bahwa kegiatan politik yang dijalankan al-
Afghani sebenarnya didasarkan pada ide-idenya tentang
pembaruan dalam Islam. Kegiatan politik itu timbul
sebagai akibat yang semestinya dari pemikiran-
pemikirannya tentang pembaruan” (Nasution, 1988: 54).
Jika dilihat kapasitas ilmu agama yang dimiliki al-
Afghani dan latar belakang aktivitas politik yang dilaku•
kannya, apa yang dikemukakan oleh Harun Nasution di
atas cukup beralasan, antara lain karena:
Aktivitas politik yang dilakukan al-Afghani menentang
dominasi Barat dan despotisme penguasa didasarkan
pada kenyataan bahwa dominasi Barat dan despotisme
penguasa tersebut sangat merugikan umat Islam dan
membawa mereka kepada kemiskinan, kebodohan, dan
keterbelakangan. Umat Islam sendiri ketika itu bersifat
statis dan fatalistis, menyerahkan diri kepada

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


nasib,dan tak berbuat apa-apa kecuali taat dan patuh
kepada penguasa (Amin, 1965: 294). Kenyataan ini
merupakan salah satu faktor penyebab lemah dan
mundurnya mereka. Fatalisme dan statisme itu terjadi
antara lain karena kekeliruan pemahaman terhadap
ajaran agama, khususnya pemahaman tentang qada
dan qadar. Bagi al-Afghani qada dan qadar mestilah
dipahami sebagai hukum kausalitas (Nasution 1988:
55), bukan pasrah tanpa berbuat apa-apa,
Dominasi Barat dan despotisme penguasa yang menye•
babkan kaum muslimin menderita dan sengsara adalah
suatu perbuatan aniaya. Tuhan tidak membenarkan
orang berbuat zalim dan memerintahkan umat Islam
untuk memerangi kezaliman.
Slogan perjuangan yang dibawa al-Afghani ialah firman
tuhan “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah
keadaan suatu kaum kecuali mereka sendiri yang
mengubah keadaan mereka (surah al-Ra’d ayat 11).
Selama beberapa abad, ayat ini seperti tidak mendapat
perhatian. Umat Islam telah terjebak ke dalam jurang
kejumudan dan kepasrahan yang naïf.
Aktivitas politik dan ide-ide pembaruan al-Afghani
bertujuan untuk kepentingan dan kemajuan umat
Islam. Memperhatikan umat Islam dan berusaha
memperbaiki keadaan mereka merupakan bagian
dari ajaran Islam. Tidak ada fakta sejarah yang
menun• jukkan bahwa kegiatan politik al-Afghani
bertujuan untuk mengantarkannya ke puncak
kekuasaan ter• tinggi.
Di samping ahli politik, al-Afghani juga ahli agama,

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


101
bahkan dalam usia relatf muda, 18 tahun, dapat
dikatakan bahwa segala ilmu pengetahuan Islam
telah dipelajari dan diketahuinya (Adams, 1933: 4).
Sejak kecil ia rajin menuntut ilmu. Pada usia lima
sampai sepuluh tahun ia belajar di sekolah di
kampungnya. Sejak umur sepuluh tahun ke atas ia
belajar di berbagai daerah di Iran dan Afghanistan.
Dalam usia 18 tahun, disamping pengetahuan
agama, ia juga telah mempelajari dan mengetahui
logika, filsafat, fisika, metafisika, matematika,
astronomi, kedokteran, anatomi, dan lain-lain. Ia
juga pandai berbahasa Afgan, Persia, Turki, dan
Arab, di usia tersebut. Dalam usia 18 tahun ini pula
ia berangkat ke India untuk menambah ilmu
pengetahuan. Ia mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan
Barat dan metodologi berpikir mereka serta belajar
bahasa Inggris, dan tinggal di India selama sekitar
satu setengah tahun (Adams, 1933: 5).
Dengan beberapa alasan di atas, adalah logis bila
dikatakan bahwa ide-ide pembaruan dan aktivitas yang
dilakukan al-Afghani tidak terlepas dari kerangka ke•
agamaan. Aktivitas politik yang dilakukannya serta ide-
ide yang terkandung di dalamnya merupakan wujud dari
pembaruan yang dicanangkannya.
Al-Afghani adalah pelopor gerakan salafiyah modern
(Lewis dkk., 1965: 416). Ide-ide pembaruan tampaknya
tecermin pada pemikiran-pemikiran yang terkandung di
dalam gerakan Salafiyahnya ini. Salafiyah, menurut H.
Munawir Sadzali, MA, adalah suatu aliran keagamaan
yang berpendirian bahwa untuk dapat memulihkan

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


kejayaannya, umat Islam harus kembali kepada ajaran
Islam yang masih murni seperti yang dahulu diamalkan
oleh generasi pertama Islam, yang biasa disebut salaf
(pendahulu) yang saleh” (Sjadzali, 1990: 124). Pemikiran-
pemikiran yang terkandung di dalam gerakan Salafiyah al-
Afghani ini meliputi tiga komponen utama:
Keyakinan bahwa kebangunan dan kejayaan
kembali Islam hanya mungkin terwujud kalau
umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang
masih murni, dan meneladani pola hidup para
sahabat Nabi, khususnya Al-Khulafa al-Rasyidun.
Perlawanan terhadap kolonialisme dan dominasi
Barat, baik politik, ekonomi, maupun kebudayaan.
Pengakuan terhadap keunggulan Barat dalam
bidang ilmu dan teknologi, dan karenanya umat
Islam harus belajar dari Barat dalam dua bidang
tersebut, yang pada hakikatnya hanya mengambil
kembali apa yang dahulu disumbangkan oleh
dunia Islam kepada Barat, dan kemudian secara
selektif dan kritis memanfaatkan ilmu dan
teknologi Barat itu untuk kejayaan kembali
dunia Islam (Sjadzali, 1990: 125).
Ide pembaruan yang terkandung dalam komponen
pertama di atas tampaknya adalah keperluan akan adanya
interpretasi baru terhadap ajaran-ajaran Islam, sehingga
ajaran tersebut sesuai dengan perkembangan zaman. Pada
komponen kedua terkandung ide anti-kolonialisme dan
dominasi Barat yang melahirkan gagasan al-Afghani tentang
persatuan umat Islam atau lebih popular dengan sebutan
pan-Islamisme. Sedangkan pada komponen ketiga

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


101
terkandung pemikiran tentang pengambil-alihan ilmu
dan teknologi dari Barat ke dunia Islam. Berikut ini akan
dibahas ide-ide tersebut secara ringkas.

Interpretasi Baru terhadap Ajaran Islam


Salah satu faktor penyebab kemunduran umat Islam,
menurut pandangan al-Afghani, adalah ditinggalkannya
ajaran Islam yang sebenarnya dan mengikuti ajaran-ajaran
yang datang dari luar lagi asing bagi Islam (Nasution, 1988:
51-53). Hal ini antara lain karena umat Islam terbelenggu
oleh taklid dan tertutupnya pemikiran untuk melakukan
ijtihad. Kecenderungan terhadap taklid mengakibatkan
mereka dengan mudah dipermainkan oleh orang-orang yang
tidak bertanggung jawab sehingga ajaran-ajaran Islam yang
sebenarnya hanya tinggal di atas kertas. Apa yang
dikatakan oleh orang-orang terdahulu (ulama atau tokoh
tertentu yang dikagumi) dipegang erat-erat tanpa dilakukan
penilaian kritis dan penyelidikan akan kebenaran pendapat
itu. Akibatnya banyak ajaran Islam yang dipahami secara
keliru.
Salah satu contoh yang dikemukakan al-Afghani ialah
pemahaman tentang qada dan qadar. Akibat pemahaman
yang tidak tepat, kepercayaan terhadap qada dan qadar
membawa kepada sikap statis dan fatalistik. Padahal, umat
Islam di zaman klasik dapat maju, bersikap dinamis,
melahirkan peradaban yang tinggi, sehingga dikagumi oleh
dunia internasional, karena keyakinan dan kepercayaan
mereka terhadap adanya qada dan qadar. Bagi umat Islam
di masa lampau, keyakinan kepada qada dan qadar justru
memupuk keberanian dan kesabaran mereka dalam meng•

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


hadapi berbagai macam bahaya dan kesukaran sehingga
mereka dapat keluar sebagai pemenang dan memperoleh
kejayaan. Menurut al-Afghani, “qada dan qadar
sebenarnya mengandung arti bahwa segalau sesuatu
terjadi menurut ketentuan sebab-musabab. Kemauan
manusia merupakan salah satu dari mata rantai sebab-
musabab itu” (Nasution, 1988: 51-53).
Penulis tidak menemukan uraian lengkap tentang qada
dan qadar menurut al-Afghani; namun, dari penjelasan
singkat di atas dapat dikatakan bahwa al-Afghani tetap
memercayai adanya qada dan qadar, hanya pengertiannya
yang tidak sama dengan pemahaman mayoritas umat ketika
itu. Mayoritas kaum muslimin memahami qada dan qadar
sebagai suatu ketentuan Tuhan yang bersifat mutlak dan
tidak bisa diubah. Segala-galanya sudah ditetapkan-Nya.
Manusia hanya menjalani apa yang sudah menjadi
ketetapan Tuhan itu. Bagi al-Afghani qada dan qadar adalah
hukum kausalitas (sebab-akibat) yang disebut oleh Ahmad
Amin sebagai sunnatullah (Amin, 1965: 138). Karena itu,
apa pun yang terjadi pada diri manusia tergantung kepada
usaha manusia itu sendiri.
Karena pemahaman keagamaan yang berkembang di
zamannya ternyata membawa umat Islam kepada sikap
statis dan fatalistis sehingga mereka berada dalam
kemunduran dan keterbelakangan, maka al-Afghani
melontarkan ide pembaruan berupa dorongan untuk
melakukan interpretasi baru terhadap ajaran agama.
Dengan interpretasi baru ini, Islam akan mampu men•
jawab setiap tantangan zaman. Idenya ini tampaknya di•
dasari oleh keyakinannya bahwa Islam adalah agama

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


101
yang sesuai untuk semua bangsa, semua zaman, dan
semua keadaan (Nasution, 1988: 54). Konsekuensi dari
pandangan dan keyakinannya ini adalah keharusan umat
Islam melakukan ijtihad. Memang, baginya pintu ijtihad
tidak tertutup (Nasution, 1988: 55). sebagaimana diyakini
oleh mayoritas umat ketika itu. Di samping itu, al-
Afghani adalah salah seorang penentang taklid yang gigih
berjuang membebaskan kaum muslimin dari belenggu
taklid (Enayat, 1982: 56).
Jalan pikiran al-Afghani sebagaimana tecermin dalam
contoh qada dan qadar di atas menunjukkan bahwa ia
adalah seorang rasional. Memang, jika dilihat pemikiran-
pemikiran dan aktivitas serta gerakan pembaruan yang
dilakukannya, al-Afghani tampaknya juga meniupkan angin
rasionalisasi ke dunia Islam; angin yang selama berabad-
abad tidak berhembus. Tetapi, rasionalisme yang
dikembangkan al-Afghani tidaklah liberal, dalam arti bebas
nilai sama sekali. Rasionalisasinya yang dikembangkannya
tetap terikat dengan ajaran dasar agama. Dalam hal
emansipasi wanita, misalnya, ia memandang kemampuan
intelektual wanita tidak berbeda dengan laki-laki. Ia
berpendapat, wanita boleh saja bekerja di luar rumah jika
memang diperlukan, tetapi harus didasari oleh niat dan
tujuan yang baik. Ia juga tidak melarang wanita membuka
tutup kepalanya, asal tidak sampai menimbulkan hal-hal
yang negatif (Amin, 1965: 114). Karena itu, wanita
mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendi•
dikan sebagaimana laki-laki. Namun, perlu dicatat di sini
bahwa al-Afghani tidak mencetuskan konsep emansipasi
wanita. Ia hanya bicara sedikit mengenai masalah ini.

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


Pan-Islamisme
Ide pembaruan al-Afghani yang terpenting adalah
gagasan tentang persatuan umat Islam (Pan-Islamisme).
Beberapa penulis menyebutkan bahwa persatuan umat
Islam yang dimaksudkan oleh al-Afghani ialah per•
satuan di bawah naungan seorang khalifah. Charles C.
Adams, misalnya mengatakan, tujuan utama yang ingin
dicapai oleh al-Afghani dalam perjuangannya ialah
menegakkan persatuan seluruh umat Islam di bawah
satu pemerintahan Islam yang dikepalai oleh seorang
khalifah yang berkuasa penuh, sebagaimana di zaman
keemasan Islam dahulu (Adams, 1933: 13). Hal senada
juga dike• mukakan oleh H.A.R Gibb dan J.H. Kramers
(Gibb dan Kramers, 1953: 85). Bahkan, Ahmad Amin
lebih tegas menyebutkan• bahwa ikatan negara-negara
Islam menjadi satu yang dikehendaki oleh al-Afghani
adalah ikatan kekhalifahan di Istambul (Amin, 1965:
291). Pernyataan-pernyataan ini menggambarkan seolah-
olah al-Afghani ingin mengembalikan sistem kekhalifahan
di dunia Islam sebagaimana zaman kejayaan Islam
dahulu. Benarkah demikian, kiranya perlu dikaji
kembali. Pernyataan-per• nyataan tersebut barangkali
muncul dari kesimpulan adanya gerakan Salafiyah yang
dipelopori oleh al-Afghani karena Salafiyah, sesuai
dengan namanya, berorientasi kepada masa lampau, dan
masa lampau itu memakai sistem kekhalifahan.
Karena al-Afghani tidak memberikan penegasan khu•
sus dalam masalah ini, maka untuk memahami maksud al-
Afghani dapat dilihat dari pendiriannya tentang

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


101
pemerintahan. Ini dapat ditelusuri dalam tulisan Prof. Dr.
Harun Nasution berikut:
Corak pemerintahan otokrasi (menurut al-Afghani, pen.)
harus diubah dengan corak pemerintahan demokrasi. Kepala
negara harus mengadakan syura dengan pemimpin-pemimpin
masyarakat yang banyak mempunyai pengalaman.
Pengetahuan manusia secara individual terbatas sekali. Islam
dalam pendapat al-Afghani, menghendaki peme• rintahan
republik yang di dalamnya terdapat kebebasan
mengeluarkan• pendapat dan kewajiban kepala negara
tunduk kepada undang-undang dasar (Nasution, 1988: 56).

Ada dua hal penting yang perlu mendapat perhatian


dari tulisan di atas, yaitu demokrasi dan republik yang
merupakan ide pemerintahan ideal menurut al-Afghani.
Demokrasi biasanya diartikan “bentuk atau sistem peme
rintahan yang segenap rakyat turut serta memerintah
dengan perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat”
(Moeliono, 1989: 195). Republik berarti “pemerintahan
yang berkedaulatan rakyat dan dikepalai oleh seorang
presiden” (Moeliono, 1989: 195). Apabila diperhatikan
sejarah khalifah-khalifah sejak zaman al-Khulafa’a al-
Rasyidun hingga zaman Turki Ustmani tidak akan dite•
mukan sistem pemerintahan sebagaimana pengertian
demokrasi dan republik di atas. Karena itu, kalau al-
Afghani ingin mengembalikan sistem kekhalifahan, dalam
arti sebagaimana kekhalifahan di masa lampau berarti
bertentangan dengan pendiriannya tentang bentuk
pemerintahan yang dikehendakinya.
Dengan demikian, Pan-Islamisme yang dicanangkan
oleh al-Afghani bukanlah dimaksudkan untuk mengum•

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


pulkan kekuasaan di tangan seorang khalifah sebab hal
itu sangat sulit dilakukan karena beberapa hal, antara
lain:
Umat Islam sudah terpecah-pecah ke dalam ber•
bagai negara dan telah memiliki pemerintahan
sendiri-sendiri.
Meskipun kesadaran nasionalisme belum tum•
buh subur di zaman al-Afghani, namun
pengaruh• etnis yang ditunjang oleh eksistensi
pemerintahan masing-masing, menyebabkan
timbulnya kesu• litan mempersatukan umat
Islam di bawah satu pemerintahan.
Para penguasa muslim yang berasal dari
berbagai macam latar belakang rata-rata
berambisi untuk menjadi penguasa tertinggi
sehingga sulit di• harapkan mereka bersedia
tunduk kepada perin• tah satu orang.
Tidak ada figur pemersatu yang bisa diterima
secara mutlak oleh semua pihak.
Al-Afghani sendiri tampaknya tidak menghendaki
kekuasaan berada di tangan satu orang. Yang dikehen•
dakinya ialah umat Islam seluruhnya tunduk kepada al-
Qur’an dan menjadikan agama sebagai penunjuk jalan.
Tiap Negara Islam yang sudah ada hendaknya berusaha
sekuat tenaga membela Negara Islam yang lain karena
wujud Negara Islam yang satu berkaitan erat dengan
eksistensi• Negara Islam yang lain (Amin, 1965: 84).
Dengan demikian, Pan-Islamisme yang dibawa al-Afghani
merupakan suatu ikatan politik yang mempersatukan
umat Islam seluruhnya yang didasarkan atas solidaritas

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


101
akidah Islam dengan tujuan membina kesetiakawanan
dan persatuan umat Islam (Sjadzali, 1990: 125-126).
Umat Islam yang ingin dipersatukan oleh al-Afghani
lewat gagasan Pan-Islamismenya ini tidak terbatas hanya
untuk kaum Sunni saja, tetapi seluruh kaum muslimin
dari aliran apa pun, termasuk kaum Syi’ah. Karena itu, al-
Afghani dikenal sebagai tokoh yang berusaha
mempersatukan Sunni-Syi’ah. bahkan, menurut Hamid
Enayat, al-Afghani lebih taat asas dibanding dengan
pemersatu yang lain (dalam hal ini Muhammad Abduh)
karena latar belakangnya sendiri yang berakar pada
tradisi Sunni maupun Syi’ah dan karena statusnya yang
“tak bernegara” sehingga ia mampu menyerukan
toleransi supra-mazhab (Enayat, 1982: 83).
Gagasan Pan-Islamisme al-Afghani ini ditanggapi
positif oleh Ahmad Amin sehingga ia mengecam Sa’ad
Azhlul yang mengatakan, “Nol ditambah nol sama dengan
nol,” Artinya, Negara terjajah biarpun bersatu tetap tidak
akan bisa berbuat apa-apa. Pernyataan Sa’ad Zaglul itu,
kata Ahmad Amin, tidak benar. Yang benar ialah, “Minus
lima dikali minus lima sama dengan plus dua puluh
lima”. Satu Negara jajahan mungkin tidak mempunyai
arti apa-apa, tetapi kalau semua negara jajahan bersatu
tentu sanggup menghadapi kolonialisme Eropa (Amin,
1965: 139).
Al-Afghani menganggap perlu umat Islam bersatu
karena ia melihat bahwa salah satu faktor lemahnya
umat Islam adalah karena mereka tidak bersatu itu. “Tali
persaudaraan Islam telah terputus, bukan di kalangan
awam saja, tetapi juga di kalangan alim ulama. Ulama

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


Turki tidak kenal lagi pada ulama Hejaz, demikian pula
ulama India tidak mempunyai hubungan dengan ulama
Afghanistan. Tali persaudaraan antara raja-raja Islam juga
sudah terputus” (Amin, 1965: 139). Di samping itu, ide Pan-
Islamisme ini muncul tentu tidak lepas dari gerakan politik
yang dilakukannya: Menentang imperialisme dan dominasi
Barat dan despotisme para penguasa. Ia dikenal seorang
yang sangat anti terhadap kolonialisme dan merupakan
orang Islam pertama yang menyadari sepenuhnya akan
bahaya dominasi Barat (Stoddard, 1921: 63).
Untuk mewujudkan ide Pan-Islamismenya, al-Afghani
menggunakan segala kemampuan yang dimilikinya, baik
berpidato, menulis, berorganisasi, maupun melalui jalur
pengajian dan diskusi-diskusi dan pendekatan dengan para
tokoh terkemuka. Namun, usahanya itu tidak berhasil
(Nasution. 1988: 56), barangkali karena beberapa hal:
Para penguasa muslim dan umat Islam belum siap
menerima gagasan Pan-Islamisme yang dilontarkan•
nya.
Jalan yang ditempuh oleh al-Afghani adalah cara-cara
revolusioner. Dan ini tampaknya merupakan
sikapnya• yang tidak bisa diubah sehingga ia disebut
sebagai seorang revolusioner Islam yang tidak hanya
menyerukan• perlawanan terhadap para penguasa
muslim yang despotis (Fernau, 1955: 67). Hal ini
tentu tidak bisa diterima oleh para penguasa muslim
yang berambisi untuk tetap bertahan di atas
singgasana kekuasaannya, padahal, bagaimanapun,
keberhasilan Pan-Islamisme, pada akhirnya banyak
tergantung pada para penguasa muslim itu.

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


101
Al-Afghani, sekalipun seorang tokoh besar, tetapi
tidak semua orang dapat menerimanya. Bahkan go•
longan ulama pun ada yang menolaknya seperti
ulama-ulama konservatif di Mesir karena usahanya
yang ingin menghidupkan pelajaran filsafat, suatu
ilmu yang dianggap musuh oleh mereka (Adams,
1933: 7). Akibatnya, tentu gagasan-gagasannya tidak
bisa berjalan mulus.
Pengaruh Barat sangat kuat di dunia Islam, terutama
pengaruh terhadap para penguasa muslim, sehingga
dalam beberapa hal, al-Afghani tidak bisa berbuat
banyak. Ia diusir dari Mesir pada 1879 Khedewi
Taufiq atas tekanan Inggris menunjukkan kuatnya
pengaruh Barat terhadap penguasa Mesir itu
(Nasution, 1988: 52).
Di dunia Islam tidak ada pemimpin atau penguasa
yang dapat diterima menjadi pemimpin dunia Islam
dan dapat dijadikan tokoh sentral.
Belajar dari Barat. Meskipun al-Afghani sangat anti
kolonialisme dan dominasi Barat, namun di pihak lain
ia menganjurkan umat Islam agar mempelajari ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dikuasai oleh bangsa-
bangsa Barat. Ia berpendapat, untuk men• capai tujuan
kaum muslimin (persatuan umat Islam dan melepaskan
diri dari cengkeraman bangsa Barat), mereka harus
memiliki teknik kemajuan Barat dan mempelajari
rahasia-rahasia kekuatan Eropa (Stoddard, 1921: 65).
Kemajuan yang dicapai oleh Barat, baik di bidang
militer, politik, ekonomi, maupun kebudayaan, tidak
lain karena mereka menguasai

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


dunia ilmu pengetahuan. Karena itu, untuk bias
maju, umat Islam juga harus mempelajari ilmu
pengetahuan dan teknologi mereka.
Dalam jangka waktu yang cukup lama, banyak
ulama Islam yang tidak membenarkan kaum muslimin
mempelajari sesuatu dari Barat karena Barat bukan
beragama Islam sehingga apa pun produk mereka tidak
bisa diterima. Ketika itu memang yang dikenal oleh umat
Islam adalah “Islam” dan “kafir”.
Sebenarnya, kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan
tek• nologi Barat sudah diperkenalkan oleh Napoleon
Bonaparte ketika ia melakukan ekspedisi ke Mesir (1798-
1801 M) dan ketika Muhammad Ali Pasya berkuasa di
Mesir (1805-1849 M), ia banyak mengirim mahasiswa ke
Eropa serta mendirikan beberapa lembaga pendidikan
yang diilhami oleh kemajuan Eropa, namun sampai
pada+ zaman al-Afghani masih banyak ditemui ulama-
ulama konservatif yang tidak menyukai dipelajarinya
ilmu pengetahuan Barat itu.
Untuk mengatasi masalah ini, al-Afghani
menegaskan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi yang
dimiliki Barat sekarang berasal dari orang Islam. Karena
itu, mem• pelajari ilmu pengetahuan dan teknologi dari
Barat pada hakikatnya adalah mengambil kembali milik
umat Islam itu (Sjadzali, 1990: 125).

Kegiatan Politik
Dalam perjalanan sejarah hidup al-Afghani sejak usia
remaja hingga akhir hayatnya, ia selalu terlibat dalam
kegiatan politik. Ini tentu tidak bisa terlepas dari tujuan

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


101
pokok yang ingin diperjuangkannya, yaitu kemerdekaan
kaum muslimin dari dominasi Barat dan umat Islam
memperoleh kejayaannya kembali. Ia menyadari bahwa
tujuan itu bisa dicapai melalui proses yang panjang lewat
jalur pendidikan dan adaptasi ajaran agama Islam dengan
keadaan zaman, namun ia yakin pula bahwa aksi
revolusioner tidak dapat dihindarkan (Antonius, 1981: 69).
Karena itulah, di mana pun ia berada, ia selalu menyulut
api revolusi menentang dominasi Barat dan despotisme
penguasa karena despotisme penguasa pada dasarnya juga
merupakan faktor lemah dan mundurnya umat Islam.
Aktivitas politik tampaknya dimulai setelah ia
kembali dari menunaikan ibadah haji tahun 1857. Ia
diangkat menjadi pegawai Pangeran Dost Muhammad
Khan, Amir yang memerintah di Afghanistan ketika itu.
Dost Muhammad Khan sendiri memerintah di
Afghanistan sejak 1819 sampai 1863. Ia digantikan oleh
Shir Ali Khan dari 1863 hingga 1866 (Robinson, 1987: 2).
Pada masa pemerintahan Shil Ali ini, ia diangkat menjadi
penasihat di tahun 1864 (Nasution, 1988: 51). Ketika
terjadi perang saudara antara Shir Ali dengan
Muhammad A’zam Khan, al-Afghani berpihak kepada
Muhammad A’zam, dan berhasil menang. Muhammad
A’zam naik takhta, al-Afghani pun diangkat menjadi
Perdana Menteri saat ia berumur 27 tahun (Adams, 1933:
5). Tak lama kemudian perang saudara pecah lagi. Kali
ini dengan bantuan tentara dan emas dari Inggris Shir Ali
menang, Muhammad A’zam diusir dan meninggal dunia.
Meskipun al-Afghani berpihak kepada Muhammad
A’zam, namun karena ia seorang sayyid yang sangat ber

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


pengaruh, Shir Ali tidak berani memusuhinya secara
terang-terangan. Namun, demi keamanannya, al-Afghani
berangkat ke India (1869). Tetapi, di sini ia tidak lama
karena tekanan pemerintah setempat yang dimotori oleh
Inggris karena India ketika itu sudah di bawah
kekuasaan Inggris. Pada 1879 ia pindah ke Mesir dan
tinggal di sana sampai 1879. Kegiatan politik yang
menonjol yang dilakukannya di sini ialah menghubungi
para tokoh dan pejabat, menulis artikel di media-media
cetak yang ada, berbicara di berbagai forum pertemuan
dan majelis-majelis tertentu, dan memberikan pelajaran
politik di tempat mana pun ia berada (Amin, 1965: 292).
Di samping itu, ia juga mendirikan partai Al-Hizb al-
Wathani yang bertujuan• untuk memperjuangkan
pendidikan universal, kemerdekaan pers, dan pemasukan
unsur-unsur Mesir ke dalam posisi-posisi penting dalam
militer. Salah seorang anggota partai ini, Khedewi Taufiq,
berhasil naik takhta, berkat dukungan al-Hizb al-
Wathani, setelah Khedewi Ismail, ayahnya, digulingkan,
Khedewi Taufiq yang naik takhta 25 Juni 1876
diharapkan dapat berbuat banyak sesuai dengan
tuntutan partai, ternyata tidak seperti yang diharapkan.
Akibat tekanan Inggris, al-Afghani sendiri diusir oleh
Khedewi Taufiq, September 1879 (Adams, 1933: 7).
Dari Mesir sekali lagi al-Afghani pergi ke India dan
tinggal di Hyderabad Deccan. Di sini ia menulis sebuah
karya berjudul The Refutation of the Materialist (Bantahan
Terhadap Golongan Materialis) dalam bahasa Parsi yang
berisi pembelaan terhadap Islam dari serangan kaum
Dahriah. Kemudian ia pergi ke Eropa dan menetap di

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


101
Paris sekitar tiga tahun. Di sini ia membentuk sebuah
perkumpulan bernama Al-‘Urwah al-Wusqa yang bertujuan
untuk memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela
Islam, dan membawa umat Islam kepada kemajuan. Anggota-
anggotanya adalah kaum muslimin yang berasal dari India,
Mesir, Rusia, Afrika Utara, dan lain-lain. Perkumpulan ini
selanjutnya menerbitkan sebuah majalah dengan nama yang
sama Al-‘Urwah al-Wusqa (Nasution, 1988: 53). Namun
majalah ini hanya sempat terbit 18 edisi. Edisi pertama
diterbitkan pada 15 Jumadil Awwal 1301 H/ 12 Maret 1883
dan yang terakhir tanggal 26 Zulhijjah 1301
H/17 Oktober 1883 (Amin, 1965: 82) karena peredarannya
di negeri-negeri Islam dihalangi oleh penguasa kolonial
(Sjadzali, 1990: 118). Kegiatan politik lain yang cukup
penting bagi al-Afghani ialah keterlibatannya dalam usaha
penyelesaian sengketa Rusia-Persia yang timbul akibat
politik pro-Inggris pemerintah Persia. Tetapi karena terjadi
perselisihan paham dengan Syah Nasir al-Din, al-Afghani
akhirnya meninggalkan Persia. Yang terakhir ia tinggal di
Istambul (Nasution, 1988: 53). Ia datang ke sini karena
diundang oleh Sultan Abdul Hamid pada 1892 (Stoddard,
1921: 64). Sultan Abdul Hamid tertarik dengan ide Pan-
Islamisme al-Afghani. Karena itu, segera al-Afghani di•
angkat menjadi Kepala Biro Propaganda Pan-Islamisme
(Nasution, 1988: 54).
Meskipun pada mulanya kerja sama kedua tokoh ini
berjalan baik, namun akhirnya hubungan mereka
merenggang, karena terdapat perbedaan prinsip yang men•
dasar di antara keduanya. Al-Afghani mempunyai pemi•
kiran yang demokratis, sementara Sultan Abdul Hamid

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


ingin mempertahankan otokrasi lamanya. Al-Afghani
tidak dapat keluar dari Istambul karena dilarang Sultan,
sampai ia wafat pada 1897.

C. PENUTUP
Ide pembaruan terpenting dari al-Afghani adalah
pembaruan di bidang politik yang didasari oleh
pemikiran-pemikiran keagamaan. Meskipun idenya,
semacam Pan-Islamisme tidak berhasil baik, namun,
pengaruhnya sangat besar di kemudian hari dengan
lahirnya usaha-usaha pembebasan diri dari kolonialisme.
Bahkan pengaruh itu menjalar sampai ke Indonesia yang
tecermin dari perjuangan Syarikat Islam.
Ide-ide pembaruan yang dicetuskan oleh al-Afghani
yang diikuti dengan aktivitas politik tanpa henti merupa•
kan wujud dari kerinduannya yang dalam akan kejayaan
dan keagungan Islam seperti yang pernah dialami di
masa klasik. Ia juga meninggalkan sejumlah warisan
hidup yang tak ternilai harganya, antara lain Syekh
Muhammad Abduh, murid terkasihnya.



SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


101
4
MUHAMMAD ABDUH: TEOLOGI
RASIONAL DAN IDE-IDE
PEMBARUAN
Oleh: Ahmad Rofiq

PENDAHULUAN

D alam peta pembaruan dalam Islam,


Abduh (1849-1905) boleh jadi merupakan tokoh yang
Muhammad

paling berpengaruh, bukan saja di Mesir yang


menjadi wilayah garapannya melalui Universitas Al-Azhar,
tetapi juga di seluruh dunia Islam, termasuk Indonesia. Di
dunia Arab, menurut J.L. Esposito, ia dicatat sebagai bapak
modernisme Islam (Esposito, 1988: 132). Muhammad
Abduh, memang bukan yang pertama melakukan gerakan
pembaruan, tetapi ide-idenya yang mencakup aspek-aspek
politik, agama, dan khususnya pendidikan serta reformasi
sosial melahirkan gaung pembaruan yang masih

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


terasa hingga kini. Di Indonesia, gerakan pembaruan
yang dimotori oleh al-Irsyad dan Muhammadiyah,
tampaknya juga dipengaruh Muhammad Abduh melalui
tulisan-tulisannya dan karya-karya muridnya. Lebih dari
itu atas pengaruh pemikirannya, telah melahirkan ulama-
ulama modern, seperti Mustafa al-Maraghy, Mustafa abd
al-Raziq, Farid Wajdi, dan lain-lain.
Basis pemikiran pembaruan Abduh, adalah panda••
ngannya• bahwa agama dan akal saling melengkapi,
agama dan sains tidak ada pertentangan (Esposito, 1988:
132). Namun menurut Abduh, hal ini tidak mendapat
perhatian yang memadai dari umat Islam. Umat Islam
telah tenggelam dalam samudra taklid dan bid’ah yang
menjadikan• me• reka tertidur berkepanjangan. Islam
sebagai ajaran, me• nurut Abduh, sebenarnya
diturunkan kepada umat Islam yang berpikir jauh ke
depan karena kemampuan akalnya. Ketika Abduh terlibat
polemik dengan Ernest Renan, Filsuf Prancis. Abduh
sempat mendesak Renan tentang keunggulan ajaran
Islam. Tetapi ketika Renan me• nanyakan umat mana di
antara umat Islam yang meru• pakan gambaran Islam
yang hebat itu. Muhammad Abduh pun bagai tanduk
terkesima dan dengan sedih berkata bahwa umat Islam
mundur karena meninggalkan ajaran agamanya•.
Sebaliknya orang-orang Kristen Eropa maju karena•
meninggalkan ajaran agamanya (Esposito, 1988: 15).
Sebagai tokoh pembaru kiranya tidak perlu diper•
debatkan, corak pemikirannya menjadi dasar ide-ide
pembaruannya• memengaruhi dunia Islam, termasuk di
Indonesia (Nasution, 1987: 97). Tulisan ini akan mencoba

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


101
mengungkap pemikiran teologi dan ide-ide pembaruannya.

BIOGRAFI SINGKAT MUHAMMAD ABDUH


Muhammad Abduh lahir pada 1849 bertepatan
dengan tahun 1265 H di daerah perkampungan wilayah
Mesir. Bapaknya bernama Abduh Khairullah pernah
masuk penjara karena dituduh terlibat sebagaimana
kakeknya, menentang pemerintahan Muhammad Ali.
Abduh mula-mula dibesarkan di Mahallat Nasr, dengan
kegiatan menulis dan membaca di rumah. Dilanjutkan
belajar menghafal al-Qur’an dan bisa diselesaikan dalam
tempo dua tahun. Pada usia 14 tahun, ia dikirim oleh
orang tuanya ke Tanta untuk meluruskan bacaannya di
masjid al-Ahmadi. Selain itu, Abduh juga belajar bahasa
Arab dan fiqh, namun karena metode menghafal yang
tidak disertai dengan penjelasan, meski satu setengah
tahun ia tempuh, ia masih belum mengerti apa-apa
(Nasution, 1987: 97). Dan tampaknya hal ini membawa
akibat yang kurang menguntungkan bagi dirinya. Ia
tinggalkan Tanta dan pulang ke Mahallat Nasr dengan
niat tidak akan belajar lagi.
Tahun 1292 H/1366 ia kawin dan 40 hari setelah itu,
oleh orang tuanya, Abduh dipaksa kembali ke Tanta.
Konsisten dengan niatnya, ia memilih lari ke Kanisah Urin,
dan bertemulah dengan seorang sufi kerabat ayahnya
Syeikh Daswisy Khadr. Ahmad Amin melukiskan, kalau saja
Abduh tidak bertemu dengan Syeikh Darwisy, Abduh yang
terkenal itu adalah Abduh sebagai petani yang hanya
dikenal di kampungnya yang terdaftar dalam buku mutasi
penduduk yang tercatat dalam daftar kelahiran dan

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


kematian (Amin, 1965: 283). Atas bimbingan dan dorongan
Syeikh Darwisy, Abduh bangkit dari keputusasaan dan
mulailah ke Tanta, ia telah dapat memahami apa yang
diberikan gurunya dan yang ia baca sendiri. Beberapa bulan
kemudian ia pergi ke al-Azhar, yang dianggap sebagai pusat
kajian Islam. Di al-Azhar, Abduh tampaknya juga kecewa,
karena metode pengajarannya tidak jauh berbeda dengan di
Tanta yaitu menghafal, dan mempelajarinya terbatas ilmu-
ilmu agama dan bahasa Arab, Logika, Matematika, Ilmu
ukur dan sebagainya tidak dipelajari (Nasution, 1987: 12).
membaca buku biografi, ilmu alam atau falsafah adalah
haram malahan memakai sepatu adalah bid’ah (Nasution,
1987: 13). Meskipun Muhammad Ali dan al-Tahtawi, telah
merintis pembaruan pendidikan modern, bahkan berkiblat
ke Barat, dan juga merangkul akademisi al-Azhar, dikotomi
pendidikan tampaknya tak dapat dihindarkan; sayap
tradisional begitu kokoh dengan pendiriannya, sementara
pendidikan sekuler – jika boleh dikatakan demikian –
berjalan didukung kekuasaan politik dan militer yang
bertambah mapan. Di mata rakyat awam, citra Muhammad
Ali terasa menakutkan, maka rakyat termasuk ayah
Muhammad Abduh berpindah-pindah tempat.

Bagi ulama al-Azhar, ilmu-ilmu umum atau sains


dipandang termasuk fardhu kifayah dan cukup diajarkan
oleh ulama di luar al-Azhar (Aqqad t.t: 39), seperti Syeikh
Hasan al-Jabarti, karena itu al-Azhar telah terlepas dari
kewajiban mengajarkan ilmu-ilmu demikian. Segala se•
suatu yang datang dari Eropa dipandang haram dan
membawa kekafiran.

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


101
Menghadapi kenyataan demikian, Abduh, meski tetap
menuntul ilmu di al-Azhar, tetapi berusaha mencari ilmu-
ilmu dunia di luar al-Azhar. Di antaranya ia belajar kepada
Syeikh Hasan al-Tawil, yang tahu filsafah, logika, ilmu ukur,
soal-soal dunia dan politik (Nasution, 1987: 13). Selain itu
Abduh lebih suka membaca buku-buku yang dipilihnya di
perpustakaan al-Azhar. Abduh juga belajar falsafah, mate•
matika, teologi dan lain-lain kepada Jamaluddin al-Afghani
yang datang ke Mesir di penghujung tahun 1286 H/ 1870.
Bahkan, ia sempat memengaruhi banyak temannya untuk
belajar kepada tokoh pembaru dari Afghanistan ini.
Perkenalan intelektualnya ini nanti banyak mewarnai
kariernya, dan bekerja sama dalam menyebarkan gagasan-
gagasan pembaruan. Kecenderungan teologinya sempat
mengguncangkan tokoh-tokoh di al-Azhar, karena ia me•
nyebarkan pemikiran Mu’tazilah. Ia sempat dituduh ingin
menghidupkan kembali aliran Islam liberal. Tekadnya untuk
membasmi taklid dan Abduh tidak ingin melakukan taklid
baik kepada Asy’ari maupun Mu’tazilah. Yang Abduh
utamakan adalah bagaimana membangun argumen yang
kuat (Ridha, 1931: 134).
Di tengah-tengah kesibukan belajarnya, Abduh sejak
perkenalannya dengan al-Afghani, telah memulai menulis
artikel-artikel di harian al-Ahram yang baru saja didirikan
(Nasution, 1987: 15), meliputi sains, sastra Arab, politik,
agama dan sebagainya. Tahun 1877 Abduh menyelesaikan
studinya di al-Azhar, dengan hasil “baik”, penilaian yang
dinilai tidak fair, karena penguji-pengujinya tidak senang,
bahkan berniat menjatuhkannya. Seharusnya Abduh men•
dapat predikat amat baik. Bahkan kalau saja ada predikat

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


cum laude, seharusnya ia memperoleh derajat akademik
tertinggi ini (Ridha, 1931: 103).
Karier akademinya dilanjutkan sebagai pengajar
kampus almamaternya dan di Darul Ulum dan juga men•
jadikan rumahnya sebagai tempat belajar bagi murid-
muridnya. Di Azhar, ia mengajarkan logika, teologi dan
falsafah. Di Darul Ulum ia mengajar sejarah dengan buku
Mukaddimah karya Ibnu Khaldun sebagai buku referensi. Di
rumah, ia mengajarkan etika dengan merujuk buku Tahzib
al-Akhlaq karya filsuf Islam Ibn Maskawaih, dan Sejarah
Peradaban Eropa karangan F. Guizot dari Prancis, Bagi
Abduh, sasaran pengajarannya adalah mendidik mahasiswa
berpikir karena itulah majelis pengajarannya selalu
dikerumuni banyak mahasiswa. Selain mengajar,
tampaknya Abduh tidak bisa menolak keterlibatan politik,
akibat pengaruh gurunya al-Afghani. Hal ini karena pe•
nguasa Mesir, Khedewy Ismail, dalam melancarkan
modernisasi yang dirintis Muhamma Ali, mengubah Kairo
dan Iskandariah bagaikan kota Eropa dengan pinjaman
dana dari Inggris dan Prancis. Untuk kepentingan program
ini, Inggris dan Prancis turut campur tangan soal urusan
dalam negeri Mesir. Inilah, yang oleh al-Afghani ditentang. Ia
membentuk al-Hizb Watani (Partai Nasional Mesir) untuk
membangkitkan semangat cinta tanah air rakyat Mesir yang
dirintis al-Tahtawi (Nasution, 1987: 61).
Muhammad Abduh sendiri tidak segan-segan mem•
bicarakan isu nasionalisme di dalam kuliah-kuliah dan
tulisannya di koran. Cara ini tampaknya cukup efektif untuk
membakar semangat nasionalisme Mesir, melawan rezim
Khedewy Ismail yang telah terperangkap dalam kekuasaan

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


101
Inggris dan Prancis. Karena terdesak, ia menyerahkan
kekuasaannya kepada anaknya Khedewy Tewfik.
Penguasa baru mengusir al-Afghani dan Abduh dari
Mesir, 1879. Tetapi jiwa Nasionalisme telah tumbuh
subur di kalangan rakyat Mesir. Tahun 1882 pecah
pemberontakan Urabi Pasya, tetapi gagal. Abduh sendiri
tidak setuju dengan cara politik Urabi yang menuntut
parlemen. Karena Abduh tahu bahwa rakyat Mesir belum
matang untuk kehidupan parlemen. Bagi Abduh, yang
terpenting justru pendidikan yang baik, yang dapat
mencerdaskan rakyat (Nasution, 1987: 17).
Keterlibatannya dalam pemberontakan ini, menerima
hukuman dibuang ke luar negeri setelah ditahan selama
3 bulan. Mula-mula ia memilih Beirut, kemudian atas
undangan al-Afghani, ia datang ke Paris untuk kemudian
membentuk gerakan dan penerbitan al-Urwah al-Wusqa.
Tema sentralnya menentang kolonialisme Eropa di dunia
Islam, meski hanya terbit 18 kali selama delapan bulan.
Tahun 1885 Abduh berpisah dengan al-Afghani dan
kembali ke Beirut untuk kemudian memusatkan
perhatian dan kegiatannya pada ilmu dan pendidikan. Ia
menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan ijtihadnya sendiri.
Tanpa terikat kepada penafsir klasik. Ia juga mengajar di
madrasah Sultaniyah logika, teologi, sejarah Islam dan
Fiqh. Orang Nasrani juga ikut belajar di sini, selain orang
Islam Sunni, Syi’ah dan Druz. Ceramah-ceramahnya di
madrasah Sultaniyah kelak menjadi buku monumental
Risalah al-Tauhid.
Tahun 1888 Abduh baru bisa kembali ke Mesir, atas
lobbying kalangan istana dengan Lord Cromer dari pihak

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


Inggris, dan Ahmad Mukhtar Pasya dari pihak kerajaan
Ustmani serta teman-teman Abduh di Kairo (Nasution,
1987: 19 dan Amin, 1965: 310). Tetapi niatnya mengajar
kembali di Dar al-Ulum tak disetujui oleh Khedewy
Tewfik karena dikhawatirkan pemikiran politiknya akan
memengaruhi para mahasiswa.
Untuk itu ia diangkat sebagai hakim pengadilan
negeri, mulanya di Benha di Zagazig. Kemudian
dipindahkan ke Kairo menjadi hakim pengadilan negeri.
Tahun 1890 diangkat menjadi Penasihat pada Mahkamah
Tinggi (Nasution, 1087: 19). Keadilan menjadi pegangan
utama dalam menjalankan tugasnya sebagai hakim.
Selain itu cita-citanya memperbarui kurikulum al-Azhar
tetap men• dapat perhatiannya.
Tahun 1899 Abduh diangkat menjadi mufti Mesir,
suatu jabatan resmi penting yang berwenang menafsirkan
hukum syari’ah untuk seluruh Mesir, dan fatwa-fatwa yang
dikeluarkannya memiliki sifat mengikat. Produk pemikiran
hukumnya diwarnai kebebasan ijtihadnya dengan tidak
terikat dengan produk pemikiran hukum ulama-ulama
sebelumnya. Pada tahun ini juga ia diangkat menjadi Majelis
Syura, dewan legislatif Mesir Majelis Syura di saat
hubungan dengan pemerintah tidak harmonis. Berkat
ketekunan dan cita-citanya mendidik rakyat memasuki
kehidupan politik demokrasi berdasarkan musyawarah, ia
dapat menjadi mediator kedua lembaga di atas. Pemerintah
telah menaruh kepercayaan kepada Majelis Syura dalam
membahas ren•cana-rencana pem• bangunannya untuk
kepentingan rakyat Mesir. Meskipun demikian,
keterlibatannya di kancah politik tampaknya

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


101
tidak sepenuhnya menjadi pilihannya. Bahkan, ia
menulis “aku berlindung kapada Allah dari politik, kata
dan arti politik” (Abduh, 1973: 100-1).
Apresiasinya terhadap kemajuan sains dan
kebudaya• an Barat, ditunjuk melalui upaya memperluas
cakrawala pengetahuannya. Pada usia 44 tahun, Abduh
belajar bahasa Prancis. Begitu pentingnya bahasa untuk
mengetahui sains Barat, ia seakan mensyaratkan bahwa
orang yang tidak mengetahui salah satu bahasa Eropa
di zaman modern, tidaklah bisa disebut ulama (alim).
Pilihannya kepada bahasa Prancis, karena di Mesir telah
didominasi kebudayaan Prancis. Setelah menguasai
bahasa Prancis, ia banyak membaca buku-buku Prancis
meliputi falsafah, sosiologi, pendidikan, psikologi, etika,
matematika, ilmu alam, sejarah dan karya-karya
orientalis tentang Islam. Masa-masa liburan selama
belajarnya digunakan ber• kunjung ke Eropa
mengunjungi Universitas Oxford dan Cambridge. Juga
menjumpai ilmuwan-ilmuwan Barat seperti Gustave
Lebon, H. Spencer, W. Blunt dan E. Brown. Yang
terakhir ini bahkan menganggapnya sebagai guru.
Tahun 1905, tepatnya pada 11 Juli, Abduh harus
memenuhi panggilan Tuhan, setelah agak lama
menderita kanker hati, dan belum sempat menunaikan
ibadah haji, karena faktor politis, yaitu kecurigaan
Khedewy Abbas di Mesir dan sultan Abdul Hamid
Istambul (Nasution, 1987: 27).

TEOLOGI RASIONAL
Corak teologi Muhammad Abduh adalah teologi
rasional. Corak tersebut dapat ditelusuri melalui karya-
Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern
karyanya, antara lain Risalah al-Tauhid, Hasyiyah al-Syarh al-
Dawwani li al-Aqaid al-Adudiah, dan Tafsir al-Nanar. Di
kalangan ilmuwan, sistem teologi Abduh tetap kontroversial.
C.C. Adams misalnya berkesimpulan bahwa ajaran teologi
Muhammad Abduh termasuk dalam teologi Ahlussunnah
(Adams, 1933: 115). Horten sebagaimana dikutip Prof.
Harun Nasution, menganggap Abduh meng• ikuti
Ahlussunnah secara ekstrim (Nasution, 1987: 3).
Michel dan Abd al-Raziq yang menerjemahkan Risalah
al-Tauhid ke dalam bahasa Prancis cenderung menilai
Abduh dalam sifat-sifat Tuhan sebagai pengikut Asy’ari, dan
dalam kebebasan memberi kritik sebagai seorang Mu’tazilah
modern (Nasution, 1987: 3). Mereka yang me• nilai Abduh
sebagai Ahlussunnah umumnya berpegang kepada buku
Risalah al-Tauhid, yang ditulis pada 1885 dari kumpulan
ceramahnya di madrasah Sultaniyah. Prof. Harun Nasution
melalui penelitiannya yang intens dalam tesis Ph. D-nya
berkesimpulan bahwa corak teologi Muhammad Abduh
adalah Mu’tazilah (Nasution, 1987:
atau paling tidak banyak persamaannya dengan
Mu’tazilah (Dunia, 1958: 62). Sependapat dengan ini, adalah
Jomier, Usman Amin, Gardet dan Anawati, Caspar,
Kerr dan Sulaiman Dunia. Malahan yang terakhir ini
menilai Abduh memberikan kedudukan akal lebih tinggi
daripada Mu’tazilah.
Akal menurut Abduh memiliki kemampuan bukan
hanya empat masalah; mengetahui tuhan, kewajiban
mengetahui tuhan, mengetahui baik dan buruk dan
mengetahui kewajiban berbuat baik dan meninggalkan
kejahatan, tetapi mempunyai dua kelebihan, yaitu pertama,

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


101
mengetahui adanya kehidupan, tetapi mempunyai dua
kelebihan, yaitu pertama, mengetahui adanya kehidupan
akhirat sesudah kehidupan dunia, dan kedua, mengadakan
hukum-hukum tentang apa-apa yang diketahui akal itu dan
mengajak manusia untuk tunduk kepada hukum itu
(Nasution, 1987: 92). Karena memberikan kedudukan tinggi
kepada akal, maka peran wahyu lebih banyak ber• fungsi
konfirmasi. Karena pada dasarnya antara akal dan agama
tidak terdapat pertentangan (Esposito, 1989: 132). Umat
manusia saat Islam datang --kata Abduh-- telah mencapai
usia dewasa dan menghendaki agama yang rasional
(Nasution, 1987: 45). Apa yang mereka cari terdapat dalam
Islam. Nabi juga berbicara kepada akal dan membuat akal
menjadi hakim antara apa yang benar dan apa yang salah.
Di dalam Islam agama berteriak kepada akal, sehingga ia
tersentak dari tidurnya yang panjang (Nasution, 1987: 148).

Bagi Abduh, pemikiran rasional adalah jalan untuk


memperoleh• iman yang sejati. Iman tidak sempurna, kalau
tidak didasarkan atas akal. Dan akallah yang menjadi
sumber keyakinan pada Tuhan dan Ilmu serta
kemahakuasaan-Nya dan para Rasul (Nasution, 1987: 124).
Namun demikian, kemampuan akal menurut Abduh,
memiliki keterbatasan. Karena itu, manusia tetap memer•
lukan wahyu yang berfungsi pertama, untuk memberi
penjelasan tentang alam gaib yang penuh rahasia. Kedua,
untuk mengatur masyarakat manusia dengan baik – atas
dasar prinsip keadilan. Maka nabi-nabi pun dikirim Tuhan
ke permukaan bumi (Nasution, 1987: 60). Selain itu, wahyu
menjelaskan kepada akal cara beribadat dan berterima

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


kasih kepada Tuhan, mengetahui perincian kebaikan dan
kejahatan, menguatkan pendapat akal melalui sifat
sakral dan absolut yang terdapat dalam wahyu (Nasution,
1987: 61).
Karena akal mendapat porsi yang tinggi, maka
Abduh terlebih dahulu mempelajari falsafah kemudian
baru melihat teks ayat. Kalau teks ayat sesuai dengan
falsafah dan pemikirannya, arti harfiah ayat diterima.
Tetapi kalau tidak sesuai, teks ayat diberi arti
metamorforsis, atau setidak-tidaknya bahwa yang
dimaksud bukan arti harfiah dan menyerahkan kepada
Allah maksud dari ayat itu (Nasution, 1987: 93).
Dalam kaitannya dengan masalah teologi Qadariyah
dan Jabariyah, Muhammad Abduh sepaham dengan
teologi Mu’tazilah yang menganut paham Qadariyah.
Muhammad Abduh sangat menonjolkan bahwa Sunnah
Allah, hukum alam adalah ciptaan Tuhan.
Daya manusia untuk memilih dan melakukan per•
buatannya, menurut Abduh telah diciptakan Allah sejak
lahir, sementara Mu’tazilah berpendapat daya tersebut
diciptakan Allah ketika sebelum melakukan perbuatan.
Selanjutnya dalam pembahasannya mengenai sifat-sifat
Tuhan, keadilan Tuhan, diciptakannya kalam Tuhan,
kehendak mutlak Tuhan, antropomorfisme dan melihat
Tuhan di akhirat, dan perbuatan Tuhan. Muhammad
Abduh sejalan dengan Mu’tazilah (Nasution, 1987: 95).
Maka wajar saja apabila orang lain menyebutnya sebagai
Mu’tazilah. Tetapi menurut orang Mu’tazilah sendiri,
Muhammad Abduh jelas tidak cukup syarat disebut
sebagai Mu’tazilah. Karena kata ak-Khayyat, orang baru

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


101
dapat disebut Mu’tazilah adalah orang yang percaya kepada
Ushul al-Khamsah Mu’tazilah, yaitu tauhid, al-‘adl, al-amr bi
al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar (Nasution, 1987: 52).
Dengan demikian uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
corak teologi Muhammad Abduh adalah teologi rasional.

IDE-IDE PEMBARUAN MUHAMMAD ABDUH


Ide-ide pembaruan yang disampaikan Muhammad
Abduh sebenarnya telah mulai tampak sejak mudanya kala
ia harus menimba ilmu pengetahuan. Sikapnya yang tidak
pernah puas menghadapi pola pengajaran, baik ketika di
Tanta maupun di al-Azhar, secara diam-diam telah coba
diatasinya melalui usahanya sendiri (otodidak). Lebih-lebih
di al-Azhar yang hanya memberikan pelajaran bahasa Arab
dan ilmu agama, dan mengharamkan sains dan falsafah
yang datang dari Barat. Melalui perpustakaan dan orang-
orang yang dipandang kompeten seperti Syeikh Hasal al-
Tawil, ia mendapat banyak pengetahuan umum seperti
logika, falsafah, ilmu ukur, sejarah, politik dan lain-lain.
Perkenalannya dengan Syaikh Jamaluddin al-Afghani
memberi nuansa baru bagi perjalanan hidupnya. Selain
sebagai guru al-Afghani juga sebagai sahabat terutama
dalam menerbitkan al-Urwa al-Wutsqa.
Ketika keduanya dalam pengasingan, keterlibatan
Abduh dalam bidang politik, dirasakannya sebagai peng•
hambat untuk melancarkan ide-ide pembaruannya.
Karena itu ia memilih memusatkan perhatiannya dalam
bidang pengajaran dan pendidikan. Muhammad al-Bahy,
pemikir modern Mesir, mencatat bahwa pemikiran Abduh
di bidang pendidikan dan pengajaran mencakup:

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


Perlawanan terhadap taklid dan kemazhaban.
Perlawanan terhadap buku-buku yang tendensius,
untuk diperbaiki dan disesuaikan dengan pemikiran
rasional dan historis.
Reformasi al-Azhar yang merupakan jantung umat
Islam; jika ia rusak maka rusaklah umat, dan jika
baik maka baiklah umat;
Menghidupkan kembali buku-buku lama untuk
mengenal intelektualisme Islam yang ada dalam sejarah
umatnya, serta mengikuti pendapat-pendapat
yang benar disesuaikan dengan yang ada (Bahy, 1986:
84).
Prof. Harun Nasution, mencatat bahwa yang menjadi
tujuan hidup Muhammad Abduh adalah dua:
Membebaskan pemikiran dari ikatan taklid dan me•
mahami ajaran agama sesuai dengan jalan yang
ditempuh ulama zaman klasik (salaf) zaman sebelum
timbulnya perbedaan-perbedaan paham, yaitu
dengan kembali kepada sumber-sumber utamanya;
Memperbaiki bahasa Arab yang dipakai baik di
instansi-instansi pemerintah, maupun surat-surat
kabar dan masyarakat pada umumnya dalam surat-
menyurat mereka (Nasution, 1983: 24).
Dua kutipan di atas dengan jelas menunjukkan ide-
ide pembaruan Muhammad Abduh, terutama dalam
bidang• pendidikan, meskipun dalam kenyataan
tidak bisa terlepas dari masalah-masalah politik
dalam rangka membangkitkan kesadaran bangsa
Mesir (Nasionalisme). Konsekuensinya, ia ditangkap,
ditahan, dan diasingkan merupakan pengalaman

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


101
yang biasa dalam karier hidupnya. Tetapi Abduh tidak
pernah putus asa, termasuk juga dalam menghadapi
kelompok-kelompok tradisionalis yang selalu menen•
tang ide-ide pembaruannya. Ia sering dituduh Mu’tazi
lah dan ingin menghidupkan ajaran liberal yang pernah
mencatat nuktah hitam dalam sejarah pemikiran Islam
yang terkenal dengan peristiwa Mihnah.
Langkah konkret pembaruannya telah dimulai sejak ia
lulus dari al-Azhar dan mendapat hak dan wewenang
mengajar di al-Azhar. Ia mulai mengajarkan pelajaran
yang tergolong fardhu kifayah menurut kelompok
tradisionalis,• jika tidak malah diharamkan, seperti
logika, teologi, falsafah, sejarah, etika, dan peradaban
Eropa. Agar ide-ide pembaruannya tidak hanya diserap
oleh kalangan akademisi, ia juga rajin menulis artikel-
artikel di harian, terutama al-Ahram agar dapat diserap•
oleh khalayak umum. Tulisannya mencakup sains,
sastra Arab, jurnalistik, politik, agama, sosial dan
sebagainya (Nasution, 1983: 24). Lahan untuk
menyebarkan gagasan pembaruannya semakin luas,
ketika ia pada 1880 diangkat menjadi pimpinan redaksi
al-Waqai’ al-Misriyah.
Ia juga menulis artikel-artikel mengenai masalah sosial,
politik, hukum, agama, pendidikan dan kebu• dayaan
(Nasution, 1983: 15). Atas gagasannya pada 15 Januari
1895, Khedewy Abbas mengeluarkan keputusan•
tentang pembentukan dewan pimpinan al-Azhar, yang
terdiri dari ulama-ulama besar dari Mazhab Hanafi,
Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Ia diangkat sebagai wakil
pemerintah Mesir, di mana ia bertindak

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


sebagai motor dan jiwa penggerak dari dewan ini
(Nasution, 1983: 20). Hal ini tidak lain sebagai
penjabaran dari komitmennya untuk memberantas
taklid dan kejumudan serta bid’ah dan khurafat yang
membuat umat menyeleweng dari ajaran Islam yang
sebenarnya. Bagi Abduh, umat Islam harus kembali ke
ajaran-ajaran Islam yang otentik; ajaran Islam
sebagaimana terdapat di zaman salaf, yaitu zaman
sahabat dan ulama-ulama besar (Nasution, 1987: 63).
Namun demikian, ajaran Islam harus disesuaikan
dengan keadaan modern karena zaman telah berubah.
Karena itu, diperlukan interpretasi baru, dan pintu
ijtihad perlu dibuka. Tetapi tidak sembarang orang boleh
berijtihad. Baginya seorang mujtahid perlu memenuhi
syarat. Pendapat ulama lama tidak mengikat. Ijtihad
dijalankan langsung dari al-Qur’an dan Hadis. Abdullah
Mahmud Syahatain dalam penelitiannya berkesimpulan
bahwa metode penafsiran al-Qur’an yang digunakan
Abduh terdapat 9 poin (Syahataih, t.t: 42). Bagi
Muhammad Abduh, al-Qur’an dan Hadis melarang umat
Islam bersifat taklid. Al-Qur’an berbicara kepada
manusia bukan semata kepada hatinya tetapi juga
kepada akalnya. Karena itu, agama Islam adalah agama
rasional. Wahyu tidak membawa hal-hal yang
bertentangan dengan akal. Kalau zahir ayat bertentangan
dengan akal, haruslah dicari interpretasi yang membuat
ayat itu sesuai dengan pendapat akal.
Selain itu, Abduh menonjolkan konsep sunnatullah
(natural laws), kebebasan manusia dalam kemauan dan
perbuatan (free will dan free act), dan umat Islam harus

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


101
mempelajari dan mementingkan sains. Konsekuensinya,
umat Islam harus mementingkan soal pendidikan. Dan
ini sudah ditempuh dalam perbaikan dan pembaruannya
pada Universitas al-Azhar. Selain untuk al-Azhar yang
telah dimodernisasi, ia juga memikirkan untuk
memasukkan pendidikan agama yang kuat pada sekolah-
sekolah pemerintah, seperti administrasi, militer,
kesehatan, dan perindustrian. Atas usulnya didirikanlah
Majelis Pengajaran Tinggi ((Nasution, 1983: hlm. 63-68).
Abduh tidak ingin terjadi dualisme pendidikan terus-
menerus berkelanjutan, karena itu sedapat-dapatnya ia
ingin memperkecil jurang pemisah antara ulama dan
ilmuwan. Jadi, bagi Muhammad Abduh faktor pendidikan
adalah segala-galanya. Artinya, untuk membangkitkan
kesadaran nasional rakyat Mesir adalah dengan
mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan dengan jalan
politik, meski ia sama sekali tidak dapat melepaskan
keterlibatannya dalam politik.

KESIMPULAN
Muhammad Abduh yang hidup akhir abad ke-19 dan
awal 20 adalah pemikir pembaru Islam yang berpengaruh
baik di dunia Arab maupun dunia Islam pada umumnya.
Corak teologinya serupa dengan Mu’tazilah, bahkan dalam
menempatkan akal lebih tinggi daripada Mu’tazilah itu.
Meski demikian, Muhammad Abduh menurut orang
Mu’tazilah sendiri belum cukup syarat untuk disebut
sebagai Mu’tazilah. Ia memiliki corak teologi rasional, karena
tidak mau taklid kepada para ulama terdahulu.
Ide-ide pembaruannya yang menonjol adalah di bidang

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


pendidikan dan pengajaran. Ia memasukkan pelajaran
umum seperti sains, politik, sejarah, falsafah, teologi,
matematika, etika, kebudayaan Barat pada kurikulum
Universitas al-Azhar. Di samping itu juga memasukkan
pelajaran agama pada sekolah-sekolah umum. Hal ini ia
maksudkan agar umat Islam tidak memisahkan antara
urusan agama dan keduniaan. Dan semua itu untuk
kemajuan dan kepentingan umat Islam dalam mengejar
ketertinggalannya dari dunia Barat.



SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


101
5
RASYID RIDHA DAN IDE-IDE
PEMBARUANNYA
Oleh: Cecep

A. RIWAYAT HIDUP RASYID RIDHA DAN


LANGKAH-LANGKAH PERJUANGANNYA

R asyid Ridha adalah murid Muhammad Abduh


terdekat. Ia lahir pada 1865 di al-Qalamun,
desa di Libanon yang letaknya tidak jauh
yang
suatu

dari kota Tripoli (Suriah). Menurut keterangan ia berasal


dari keturunan al-Husain, cucu Nabi Muhammad. Oleh
karena itu, ia memakai gelar al-Sayyid di depan namanya
(Nasution, 1975: 69).
Seperti halnya anak-anak seusianya, mula-mula Ridha
dimasukkan ke madrasah tradisional di kampungnya untuk
belajar baca tulis, al-Qur’an, dan dasar-dasar ilmu hitung.
Setelah selesai ia meneruskan belajar ke sekolah

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


al-Rasyidiyyah, sekolah milik pemerintah di Tripoli. Di
samping Nahwu Saraf dan ilmu hitung, diajarkan pula ilmu-
ilmu yang lainnya, seperti geografi, teologi, hukum Islam
dan yang lainnya. Adapun bahasa pengantar yang
dipergunakan ialah bahasa Turki sebab alumni sekolah ini
dipersiapkan untuk menjadi pegawai di pemerintahan Turki.
Oleh karena, Ridha tidak berminat untuk menjadi pegawai
Turki, segera ia meninggalkan sekolah ini padahal baru satu
tahun ia belajar di sekolah ini (al-Adawi, t.t.: 23).
Pada 1882 ia meneruskan pelajarannya ke sekolah
Nasional Islam di Tripoli. Sebenarnya sudah sejak lama
tertanam di benak Ridha keinginan untuk bisa belajar di
sekolah ini, namun ayahnya baru mengizinkan setelah
Ridha dipandang cukup dewasa untuk tidak terpengaruh
dengankehidupandanpergaulankota.Sekolahinijauhlebih
maju ketimbang sekolah yang disebut sebelumnya karena
bukan hanya ilmu-ilmu agama Islam yang dipelajarinya,
ilmu-ilmu umum pun seperti mantiq, olahraga, fasafah juga
dipelajari. Bahasa pengantar yang dipergunakan adalah
bahasa Arab di samping bahasa Turki dan Prancis. Sekolah
ini didirikan oleh Syaikh Husain al-Jisr, seorang ulama
berpikiran modern yang berpendapat bahwa umat Islam
tidak akan maju kecuali dengan menguasai ilmu agama dan
ilmu dunia sekaligus dengan metode modern. Sekolah ini
didirikan untuk mengimbangi sekolah-sekolah Kristen dan
Amerika di Suriah yang menarik tidak sedikit anak-anak
penduduk setempat. Hanya sekolah ini tidak berumur
panjang karena mendapat tantangan dari Turki Ustmani (Al-
Syirbasyi, t.t.: 121). Sungguhpun sekolah ini telah
dibubarkan, Ridha meneruskan hubungan baiknya

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


101
dengan Syaikh al-Jisr dan berusaha mengikuti kuliah-
kuliahnya di tempat lain, Madrasah al-Rahbiyyah di
Tripoli, sehingga akhirnya ia berhasil mendapatkan ijazah
dan kewenangan untuk bisa mengajar.
Selain al-Jisr yang memengaruhi perkembangan
kepribadiannya,• dua tokoh idolanya, Jamaluddin dan
Syaikh Muhammad Abduh, amat memengaruhi kepri•
badian dan perkembangan pemikirannya. Meskipun pada
awalnya pemikiran-pemikiran kedua tokoh dimaksud
dicerna melalui tulisan-tulisannya dalam Majalah Al-
‘Urwah al-Wusqa yang diterbitkan oleh keduanya di
tempat isolasinya, Paris, konon Ridha tidak merasa puas
membaca majalah itu sebelum menyalin dengan
tangannya sendiri dan mendiskusikannya dengan al-Jisr.
Timbullah dalam diri Ridha keinginan dan kerinduan
untuk bisa bergabung dengan kedua tokoh dimaksud
namun tak kesampaian, karena al-Afghani meninggal
sebelum Ridha sempat melaksanakan obsesinya.
Di bulan Syawal tahun 1897 belum lama setelah
Jamaluddin al-Afghani wafat. Ridha bermaksud Hijrah ke
Mesir karena di Mesir dinilai lebih memberikan harapan
untuk dapat berkarya dan mengeluarkan gagasan-ga•
gasannya baik dalam bentuk tulisan maupun lisan. Lebih
dari itu, sebenarnya ia ingin berguru kepada orang yang
paling dekat dengan al-Afghani. Pada 3 Januari 1898 Ridha
tiba di Mesir melalui Iskandaria, dan pada tanggal 23 dalam
bulan yang sama ia menuju Kairo dan hari berikutnya ia
berjumpa dengan Syaikh Muhammad Abduh di rumahnya
(Al-Syirbasyi t.t.: 136). Sebelum ia datang di Mesir,
sebenarnya Ridha pernah men•dapat kesempatan

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


baik berjumpa dan berdialog dengan Muhammad Abduh,
sewaktu Abduh berada dalam pembuangannya• di Beirut.
Perjumpaan-perjumpaan dan dialog•nya dengan
Muhammad Abduh meninggalkan kesan yang baik dalam
dirinya. Pemikiran-pemikiran pembaruan yang
diperolehnya dari Al-Jisr yang kemudian diperluas lagi
dengan ide-ide al-Afghani dan Abduh amat memengaruhi
jiwanya (Nasution, 1975: 70). Suatu waktu ia ditanya,
mengapa Anda memilih meninggalkan tanah kelahiran
sendiri, yang di sana tidak kau jumpai kemunkaran dan
kata-kata kasar seperti di Mesir ini. Ridha menjawab, di
tanah airku aku tidak mempunyai kemerdekaan untuk
mengutarakan yang hak baik secara lisan maupun
tulisan, padahal hati kecilku berkata mengutarakan yang
hak adalah kewajibanku. Seandainya aku mempunyai
kebe• basan melakukan semua ini di negeriku tentu aku
berada di sana.
Setelah agak lama berada di Mesir, sebagai langkah
pertama, Ridha mendesak dan meyakinkan gurunya,
Muhammad Abduh agar mau menerbitkan sebuah media
Dakwah wa al-Islah untuk kemajuan umat Islam. Karena
ide ini dinilai baik akhirnya guru setuju dan di bulan Syawal
tanggal 22 tahun 1315 H/ 15 Maret 1898 terbitlah majalah
perdana dengan nama Majalah al-Manar.
Dalam nomor perdananya dijelaskan bahwa tujuan
al-Manar sama dengan al-‘Urwah al-Wusqa yakni sebagai
media pembaruan dalam bidang agama, sosial, ekonomi,
menghilangkan paham yang menyimpang dari Islam,
peningkatan mutu pendidikan dan membela umat Islam
dari ketidakadilan politik Barat (Adams, 1933: 181).

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


101
Ridha melihat bahwa al-Qur’an yang merupakan
hidayah bagi manusia harus dipahami untuk selanjutnya
diaktualisasikandalamrealitassosial.Al-Qur’anyangmasih
merupakan konsep samawi itu perlu diinterpretasikan
secara modern. Itulah sebabnya, sebagai langkah kedua, ia
mendesak gurunya, Muhammad Abduh agar segera
menafsirkan al-Qur’an secara modern. Obsesi Ridha
berhasil setelah di tahun 1896 guru mulai memberikan
kuliah mengenai tafsir modern di al-Azhar (Al-Syirbasyi, t.t.:
14). Keterangan-keterangan yang diberikan guru ia catat
untuk seterusnya ia susun dalam bentuk karangan teratur.
Apa yang ia tulis ia serahkan kepada guru untuk diperiksa.
Setelah mendapat persetujuan, karangan itu ia siarkan
dalam majalah al-Manar. Dengan demikian timbullah apa
yang kemudian dikenal dengan tafsir al-Manar. Muhammad
Abduh memberikan kuliah-kuliah Tafsir sampai ia
meninggal di tahun 1905. Setelah guru meninggal, murid
meneruskan penulisan tafsir sesuai dengan jiwa dan ide
yang dicetuskan gurunya. Muhammad Abduh sempat
memberikan tafsir sampai dengan ayat 125 surat al-Nisa
(Jilid III dari Tafsir Al-Manar) dan selanjutnya
adalah tafsiran murid sendiri (Nasution, 1985: 71).
Sepeninggalan Muhammad Abduh, selain aktif me•
nulis, Ridha juga aktif dalam bidang politik dan dakwah.
Tercatat tidak kurang dari delapan kali ia melakukan
kunjungan ke berbagai negara dalam rangka kegiatan
politik dan dakwah.
Di antaranya ke Istambul untuk mempersatukan
kelompok Turki dan kelompok Arab setelah Sultan Abdul
Hamid turun takhta, sekaligus mencari dukungan dana

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


bagi pendirian Jam’iyyah wa al-Irsyad. Untuk maksud yang
sama ia juga pergi ke India dan berhasil mendapatkan
sumbangan dana yang cukup besar untuk proyeknya itu.
Madrasah ini dengan segera didirikan karena tersiar
informasi dari berbagai penjuru khususnya dari Jawa,
Sudan, Singapura tentang kegiatan-kegiatan misionaris. Di
tahun 1912 madrasah itu secara resmi dibuka dan langsung
menerima pendaftaran mahasiwa baru dari seluruh dunia
Islam dengan seleksi ketat dan prioritas bagi peserta yang
datang dari negara-negara yang sangat membutuhkan kader-
kader dakwah.
Pada 1916 sementara Perang Dunia I masih berlang•
sung dia pergi ke Hijaz untuk menunaikan ibadah haji dan
sekaligus mengucapkan selamat atas keberhasilan Syarif
Husain memberontak terhadap kekuasaan Turki. Pada 1920
dia menjadi presiden Kongres Nasional Siria yang memilih
Faisal sebagai Raja Siria (Inayat, 1988: 169).
Pada 1925 dalam kapasitasnya sebagai seorang ang•
gota Partai Persatuan di Kairo ia pergi ke Jenewa untuk ikut
serta dalam Kongres Suria Palestina. Dalam tahun yang
sama ia berkunjung ke Hijaz untuk yang kedua kalinya
untuk mengahiri Kongres Islam yang membicarakan soal
pemerintahan Islam dan jabatan Khalifah. Waktu itu Hijaz
sudah dikuasai oleh Raja Abdul Aziz bin Su’ud, setelah
berhasil mengusir Syarif Husain. Terakhir pada 1931 ia
pergi ke Palestina atas undangan seorang sahabat dan
muridnya, Amin Husaini, Mufti Palestina, untuk menghadiri
kongres yang membicarakan kehadiran masyarakat Yahudi
di Palestina dan kemungkinan mendirikan satu Universitas
Islam di sana (Sjadzali, 1990: 124). Di masa

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


101
tua, meskipun kesehatannya selalu terganggu, ia tidak
mau tinggal diam dan senantiasa aktif. Akhirnya ia me•
ninggal dunia di bulan Agustus 1935, sekembalinya
meng• antarkan Pangeran Su’ud dari kapal Suez
(Nasution, 1975: 72).

IDE-IDE PEMBARUANNYA
Sebagai seorang intelektual yang merasa bertanggung
jawab atas keterbelakangan umat Islam dan terpanggil
untuk mencari terapi penyembuhannya, Ridha berusaha
keras melahirkan konsep-konsep untuk memperbaiki
kehidupan umat Islam dengan melakukan analisis terlebih
dahulu apa sebab-sebab keterbelakangan umat tersebut.
Paling tidak ada tiga masalah pokok, menurut Ridha, yang
perlu segera diperbarui, yaitu:

A. BIDANG AGAMA
Ridha prihatin melihat kondisi umat Islam yang jauh
ketinggalan dari Barat. Setelah sekian lama merenung, ia
berkesimpulan bahwa keterbelakangan umat Islam ternyata
bukanlah karena ajaran Islam itu sendiri, tetapi justru
karena umat Islam telah salah memahami Islam. Islam
dianggap sebagai beban dan penghalang dalam dinamika
kehidupan, padahal sebenarnya Islam sangatlah mudah dan
sederhana untuk diamalkan, tetapi karena sudah dimasuki
upacara-upacara spiritual yang sifatnya bukanlah
merupakan prinsip Islam kelihatannya menjadi berat dan
sekaligus penghalang bagi dinamika kehidupan. Akhirnya,
aktivitas dan dinamika umat Islam menjadi lemah dan tidak
sesuai dengan jiwa semangat ajaran Islam

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


itu sendiri.
Dalam pandangan Ridha, telah masuk banyak bid’ah
yang merugikan bagi perkembangan dan kemajuan umat
Islam. Di antara bid’ah itu ialah pendapat bahwa dalam
Islam terdapat ajaran kekuatan batin yang membuat
pemiliknya dapat memperoleh segala apa yang
dikehendakinya, sedangkan kebahagiaan di akhirat dan
dunia sebenarnya diperoleh melalui hukum alam yang
diciptakan Tuhan (Nasution, 1975: 72). Untuk itu Ridha
berpendapat bahwa umat Islam harus dibawa kembali
kepada ajaran Islam yang sebenarnya, murni dari segala
bid’ah, sederhana dalam ibadah dan sederhana dalam
muamalahnya. Dalam soal muamalah hanya dasar-dasar
yang diberikan seperti keadilan, persamaan,
pemerintahan Syura. Perincian-perincian dan
pelaksanaan dari dasar-dasar itu diserahkan kepada
umat untuk menentukannya (Nasution, 1975: 73).
Islam, demikian Ridha, melarang manusia berlebih-
lebihan dalam agama, memberantas ajaran-ajaran pe•
nyiksaan diri demi agama. Ini dibuktikan dengan diper•
bolehkannya memakan makanan yang lezat-lezat dan
memakai• perhiasan yang indah dan elok asal tidak ber•
lebih-lebihan dan tidak bersikap sombong (Al-Syirbasyi,
t.t.: 455).
Rasyid Ridha sebagai Muhammad Abduh, menghargai
akal, namun penghargaannya terhadap akal tidak setinggi
penghargaan yang diberikan guru (Al-Syirbasyi, t.t.: 74).
Salah seorang teman Ridha bercerita bahwa pada suatu
waktu ia dan kawan-kawannya terlibat diskusi dalam
masalah•-masalah politik, sehingga diskusi itu tidak

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


101
menghasilkan kesimpulan. Ridha adalah salah seorang
dari peserta diskusi. Setelah ia melihat semua kawan•
nya tidak mampu memberikan jawaban, Ridha mencoba
mengutarakan pemahamannya dengan penuh kesung•
guhan. Ternyata jawaban Ridha itu dinilai tepat dan
memuaskan• para peserta diskusi, sehingga keluarlah
komentar dari kawan-kawannya bahwa Ridha hafal
secara lafazh dan makna akan Sulam Hanafi. Padahal
pengakuan Ridha sendiri apa yang ia utarakan, hanya
berdasar pemahaman akalnya. Sehingga sejak itulah,
Ridha tidak mau menerima sesuatu kecuali bisa
dimengerti oleh akal (Adawi, t.t.: 73). Kelihatannya Ridha
percaya bahwa akal yang sehat dan merdeka bakal bisa
mencapai kebenaran yang hakiki.
Masih berhubungan dengan akal ini, lebih jauh Ridha
berkata bahwa al-Qur’an datang memberi petunjuk kepada
seluruh pengikut mazhab dan penganut agama-agama
kuno, agar mereka mempergunakan akalnya disertai
perasaan dan hati nurani untuk sampai kepada ilmu dan
petunjuk serta ketenteraman dalam beragama. Agar tidak
menganggap cukup hanya dengan mengikuti saja jejak
nenek moyangnya dalam bermazhab dan beragama, sebab
perbuatan taklid itu merupakan pelanggaran terhadap fitrah
kemanusiaan, pemerkosaan terhadap akal, pikiran dan
kalbu, yang justru dengan itu manusia jadi berbeda dan
istimewa dibanding makhluk lain (Al-Syirbasyi, t.t.: hlm.
428). Ridha meyakini bahwa Islam itu adalah agama yang
menjunjung ilmu dan menganjurkan kebebasan berpikir
dan dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari
(Al-Syirbasyi, t.t.: 429). Tesis Ridha ini menghargai

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


kemerdekaan akal yang berujung pada masih terbukanya
kesempatan ijtihad, sekaligus mengecam sikap taklid yang
hanya akan memenjarakan umat Islam dalam kejumudan.
Faktor utama keterbelakangan umat Islam dalam
pandangan Ridha ialah adanya paham fatalisme di kalangan
umat Islam. Sebaliknya salah satu sebab yang membawa•
masyarakat Eropa kepada kemajuan ialah paham dinamika
yang terdapat di kalangan mereka. Padahal Islam
mengandung ajaran dinamika. Orang Islam disuruh
bersikap aktif. Dinamika dan sikap aktif itu terkandung
dalam kata jihad. Jihad dalam arti berusaha keras dan
bersedia mengorbankan harta bahkan jiwa untuk mencapai
tujuan perjuangan. Paham jihad serupa inilah yang
menyebabkan umat Islam di zaman klasik dapat menguasai
dunia (Nasution, 1975: 74).
Terhadap sikap fanatik yang terdapat di zamannya ia
menganjurkan supaya toleransi bermazhab dihidupkan.
Menurutnya, yang perlu dipertahankan dan tidak perlu
diubah• adalah yang berkaitan dengan ajaran dasar
Islam (ushul), sedangkan yang bukan ushul dan bersifat
muala• mat diberikan kemerdekaan bagi setiap orang
untuk men• jalankannya sesuai dengan pilihannya
(Nasution, 1975: 37).
Kelihatannya Ridha masih mentolerir tentang keber•
adaan mazhab dan menilai semua mazhab itu benar sejauh
masih mempunyai landasan dalam al-Qur’an dan hadis.
Ridha sendiri menganut mazhab salaf yang dikembangkan
Taimiyyah dan dipelopori Ahmad Ibn Hanbal. Malah ada
sumber yang menyatakan bahwa Ridha adalah pengamal
Thariqat Naqsyabandiyah (Al-Syirbasyi, t.t.: 125). Sebelum•

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


101
nya ia banyak mengenal dunia tasawuf lewat Kitab Ihya
Ulumuddin karya Imam Ghazali dan ternyata kitab Ihya
ini berpengaruh terhadap pola hidupnya.

PENDIDIKAN
Dalam upaya mengejar keterbelakangan dalam segala
bidang Ridha menilai bahwa pembaruan dalam bidang
pendidikan adalah prinsip dan tidak perlu ditunda-tunda.
Keberhasilan dalam bidang pendidikan merupakan syarat
mutlak untuk mencapai kemajuan. Pembaruan dalam
bidang pendidikan, bagi Ridha, di samping fasilitas harus
mencukupi, yang paling penting adalah penyempurnaan dan
pembaruan dalam bidang kurikulum. Untuk itu, Ridha
berpendapat bahwa perlu ditambahkan ke dalam kurikulum
itu mata pelajaran sebagai berikut: teologi, pendidikan
moral, sosiologi, ilmu bumi, sejarah, ekonomi, ilmu hitung
(matematika), ilmu kesehatan, bahasa-bahasa asing dan
ilmu mengatur rumah tangga (sema•cam pkk), di samping
fiqih, tafsir, hadis dan lain-lain yang biasa diberikan di
madrasah-madrasah (Nasution, 1975: 71).
Peradaban Barat modern, menurut Ridha, didasarkan
atas ilmu pengetahuan dan teknologi, yang sama sekali
tidak bertentangan dengan Islam. Demi kemajuan Islam,
umat harus mau menerima peradaban Barat. Ia menga•
takan bahwa kemajuan umat Islam di zaman klasik karena
mereka menguasai bidang ilmu pengetahuan. Barat maju
karena mereka mengambil ilmu pengetahuan yang
dikembangkan umat Islam. Dengan demikian, meng• ambil
ilmu pengetahuan Barat modern sebenarnya berarti
mengambil kembali ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


umat Islam (Nasution, 1975: 100-101).
Dalam berbagai artikel yang dimuat dalam al-Manar,
sering Ridha mengungkap tentang kedudukan harta dalam
Islam. Harta harus dijadikan sarana untuk mencapai cita-
cita hakiki yaitu Ridha Tuhan. Harta tidak boleh dijadikan
tujuan dan sasaran hidup manusia. Dalam kaitannya
dengan masalah pendidikan, Ridha berpendapat bahwa
umat Islam harus berani berkorban dengan harta untuk
membangun sarana pendidikan. Membangun sarana pen•
didikan lebih baik ketimbang membangun masjid. Baginya,
masjid tidak mempunyai nilai yang berarti apabila• orang-
orang yang saleh didalamnya hanyalah orang-orang yang
bodoh. Menurutnya, pembangunan sarana pendidikan
adalah media yang dapat menghapus kebodohan. Satu-
satunya cara menuju kemakmuran adalah• perluasan dan
pemerataan pendidikan secara umum (Adams, 1933: 195-
196).
Gagasan pembaruan Ridha dalam bidang pendidikan
ini tampaknya tidak terlepas dari pengaruh dua tokoh
yang mendahuluinya, yaitu al-Jisr dan Abduh. Al-Jisr,
misalnya, berpendapat bahwa satu-satunya jalan yang
harus ditempuh umat Islam untuk mencapai kemajuan
adalah memadukan ilmu-ilmu ke-Islaman dan ilmu-ilmu
sekuler dengan menggunakan metode modern (Adawi,
t.t.: 24 dan Al- Syirbasyi, t.t.: 121).
Demikian pula halnya Abduh, di mana ia mengatakan
bahwa umat Islam harus mau mempelajari dan memen•
tingkan• ilmu pengetahuan, sekolah-sekolah modern harus
dibuka, di mana-mana ilmu pengetahuan modern perlu
diajarkan di samping pengetahuan agama. Dengan

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


101
memasukkan ilmu pengetahuan modern ke dalam al-
Azhar dan dengan memperkuat pendidikan agama di
sekolah-sekolah pemerintah, demikian Abduh, bahaya
dualisme dan dikotomi antara ilmu pengetahuan agama
dan umum akan dapat diperkecil (Nasution, 1987: 67).
Pengaruh al-Jisr tampak lebih kentara ketika di
tahun 1912 Ridha mendirikan Madrasah al-Dakwah wa al-
Irsyad. Kalau al-Jisr mendirikan madrasah di Tripoli untuk
mengimbangi misionaris Kristen, demikian juga Ridha
membangun Madrasah ini untuk menangkal misionaris
Kristen dalam skala besar. Ridha berpendapat bahwa
missionaris Kristen hanya akan bisa ditangkal dengan
penyebaran dai-dai profesional yang kelak akan
dihasilkan sekolah ini ke berbagai penjuru dunia. Dai-dai
yang dicita-citakan Ridha ialah mereka yang mampu
dalam ilmu keagamaan secara baik dan mengenal secara
luas ilmu-ilmu dunia, di samping memiliki kepribadian
yang mantap. Dakwah yang dilaksanakan adalah dakwah
dalam arti luas dengan metode dan teknik yang cocok
untuk setiap daerah.

C. POLITIK
Sebagaimana al-Afghani, Ridha melihat perlunya
dihidupkan kembali kesatuan umat Islam. Salah satu sebab
kemunduran umat Islam ialah perpecahan yang terjadi di
kalangan mereka. Kesatuan yang dimaksud bukanlah
kesatuan yang didasarkan atas kesatuan bahasa atau
kesatuan bangsa, tetapi kesatuan atas dasar keyakinan
yang sama. Oleh karena itu, ia tidak setuju dengan gerakan
nasionalisme yang dipelopori Mustafa Kamil di Mesir dan

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


gerakan Nasionalisme Turki yang dipelopori Turki Muda.
Ia menganggap bahwa paham nasionalisme bertentangan
dengan ajaran persaudaraan seluruh umat Islam. Per•
saudaraan• dalam Islam tidak kenal pada perbedaan
bahasa, tanah air dan perbedaan bangsa (Nasution,1975:
hlm. 74). Semua umat bersatu di bawah satu keyakinan,
satu sistem moral dan satu sistem pendidikan dan
tunduk pada satu sistem hukum. Hukum dan undang-
undang tidak dapat dijalankan tanpa kekuasaan
pemerintah. Oleh karena itu, kesatuan umat perlu
mengambil bentuk negara. Negara yang dianjurkan
Rasyid Ridha ialah negara dalam bentuk kekhalifahan.
Kepala Negara ialah khalifah. Khalifah karena
mempunyai kekuasaan legislatif harus mempunyai sifat
mujtahid, tetapi dalam hal itu khalifah tidak boleh
mempunyai sifat absolut bangsa (Nasution, 1975: 74).
Ridha bukan hanya mempertahankan lembaga kekhi•
lafahan, malah mempertahankan lembaga khilafah ini agar
tetap di tangan bangsa Turki. Al-Manar, majalah yang
dipimpinnya meskipun ide dasarnya sebagai media
pembaruan, secara politis majalah ini merupakan sarana
untuk mendukung kekhalifahan Turki. Lebih dari itu,
pengertian Jami’ah Islamiyyah bagi Ridha ialah persatuan
dan kesatuan umat Islam di bawah kepemimpinan Sultan
Abdul Hamid (Marakisy t.t.: 114).
Sulit mencari alasan mengapa Ridha begitu loyal ter•
hadap imperial Turki, khususnya kepada Sultan Abdul
Hamid. Rupa-rupanya dalam kapasitasnya sebagai se•
orang pembaru ia merasa perlu mendapatkan dukungan•
moral dari penguasa, lebih-lebih setelah Ridha men•

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


101
dirikan Madrasah al-Dakwah wa al-Irsyad, bukan hanya
memerlukan dukungan moral, tetapi juga dukungan
material, sungguhpun harapan yang disebut terakhir ini
tidak didapatinya kecuali dari India. Ridha adalah
penganut Sunni fanatik yang meyakini bahwa kedudukan
Sultan Turki adalah sebagai pengganti (khalifah) dan
penerus Nabi yang secara syar’i wajib ditaati.
Mengulang betapa pentingnya mewujudkan khilafah
dalam dunia Islam, Ridha mengatakan bahwa mendirikan
khilafah itu adalah kewajiban yang berdasar atas syara,
berdosa semua umat bila tak seorang pun mendirikannya.
Malah umat menempati posisi jahiliyyah bila mati tanpa
terwujud khilafah. Semua umat dituntut untuk me•
realisasikannya. Suara umat ditampung dan diwakili oleh
ahlu al-Halli wa al-‘Aqdi. Jadi ahlu al-halli wa al-‘aqdi inilah
yang harus bertanggung jawab atas keberadaan khilafah
dan kemaslahatan umat secara umum (Ridha t.t.: 58).
Mengenai tesis Ridha ini, kalau boleh menilai,
tampaknya profesi ini merupakan kesimpulan yang ter•
gesa-gesa. Karena kalau kita kaji ayat-ayat dalam al-Qur’an,
seperti kata para ahli, tidak ada satu pun yang menyatakan
bahwa negara itu harus mengambil bentuk khilafah.
Memang benar dalam hidup bermasyarakat tiap kelompok•
manusia memerlukan penguasa yang mengatur dan
melindungi kehidupan mereka, tetapi pemerintahan itu
tidak mesti mengambil bentuk khilafah, melainkan dapat
beraneka ragam bentuk dan sipfatnya disesuaikan dengan
perkembangan zaman, sebab masalah ini masalah ijtihadi,
bisa berbentuk konstitusional, kekuasaan abso• lut,
republik atau bentuk lainnya. Kedudukan negara

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


dalam Islam adalah sebagai suatu alat (instrumen) untuk
membumikan cita-cita moral Islam berupa kebebasan,
keadilan, kemakmuran persamaan, persaudaraan dan
sebagainya sesuai dengan petunjuk al-Qur’an, namun al-
Qur’an sendiri tidak menunjukkan bentuk atau model
pasti yang harus diambil. Itulah sebabnya ulama
bersilang pendapat mengenai bentuk dan sistem
instrumen tersebut. Dengan demikian, mengenai sistem
pemerintahan ini termasuk masalah ijtihad, sejauh tidak
bertentangan denga cita-cita moral Islam bentuk dan
sifat mana pun yang diambil tidak dilarang dalam Islam.
Mengenai siapa ahlu al-halli wa al-aqdi ini, kelihatannya
konsep Ridha agak maju selangkah ketimbang pemikir
klasik lainnya. Bagi Ridha, ahlu al-halli wa al-aqdi bukan
hanya terdiri dari ulama mujtahid saja, tetapi jug dari
pemuka-pemuka masyarakat di berbagai bidang, termasuk
bidang perdagangan, perindustrian dan sebagainya (Ridha
t.t.: 58). Tetapi baru sampai batas itu konsep ahlu al-halli
wa al-aqdi dalam pandangan Ridha. Ia tidak menjelaskan
lebih lanjut tentang bagaimana pengangkatan ahlu al-halli
wa al-aqdi itu, apakah dipilih oleh rakyat atau ditunjuk oleh
khalifah. Selanjutnya, ahlu al-halli wa al-aqdi ini tidak
berakhir dengan usainya pengangkatan Khalifah. Mereka
terus berperan sebagai pengawas terhadap jalannya
pemerintahan dan harus menghalangi dari berbuat penye•
lewengan, kalau perlu dengan jalan kekerasan. Menurut
Ridha, mereka harus mengadakan perlawanan terhadap
kezaliman dan ketidakadilan Khalifah. Dan kalau ke•
pentingan umat dibahayakan, mereka dapat mengakhiri
kekuasaannya dengan perang atau kekerasan sekalipun

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


101
(Maharakisi t.t.: 138 Sjadzali, 1990: 135).
Ridha membedakan antara fungsi khalifah dan ahlu
al-halli wa al-aqdi. Fungsi khalifah ialah menyebarkan
ke• benaran, menegakkan keadilan, memelihara agama
dari serangan musuh dan bermusyawarah dalam hal-hal
yang tidak ada nasnya dalam al-Qur’an, dengan
pengawasan ahlu al-halli wa al-aqdi (Ridha t.t.: 140).
Begitu berat tugas Khalifah, maka khalifah haruslah
seorang mujtahid besar dan di bawah Khalifah serupa
inilah kemajuan dapat dicapai dan kesatuan umat dapat
diwujudkan. Dalam ke• satuan ini termasuk segala
golongan umat Islam. Untuk mewujudkan• kesatuan
umat meletakkan harapan pada kerajaan Ustmani, tetapi
harapan itu hilang setelah Mustafa Kamil berkuasa di
Istambul. Selanjutnya ia meletakkan harapan• itu pada
kerajaan Saudi Arabia setelah Abdul Aziz berkuasa, tetapi
itu pun tak jadi kenyataan (Nasution, 1975: 75).

D. PENUTUP
Setelah mengkaji prestasi, karier dan gagasan-
gagasan Ridha dalam pembaruan agaknya penulis
mempunyai kecenderungan untuk menempatkan Ridha
dalam kelompok• pembaru bercorak tradisional yang
bersifat moderat. Ide-ide Ridha, memang tidak jauh ber•
beda dengan apa yang telah diungkap kedua gurunya, Al-
Afghani dan Abduh. Namun, dalam beberapa hal ide-ide
Ridha dalam bidang pendidikan dan politik tampak lebih
jelas dan realistis. Dan ide-idenya, dalam bidang politik
sangat berpengaruh dalam masyarakat Indonesia.

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam
101

Anda mungkin juga menyukai