Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

NERS TK 1B
GRATIFIKASI
(PBAK)

DOSEN MATA KULIAH: Herwati, SKM. M. Biomed


DISUSUN OLEH KELOMPOK 1 NERS TK 1B:
Aldiny Rahmi Yusma (223310962) Fifi Arsyka (223310972)

Ananda Anisa Rahmah (223310963) Fitrah Indah Lestari (223310973)

Annisa Ryandi (223310964) Habib Maulana (223310974)

Annisa Uz-Zatii Rahmah (223310965) Isnaini Khairinnisa (223310976)

Arifa Humaira Chandra (223310966) Jerry Buhpeldin (223310977)

Azra Maitul Afkar (223310967) Kevin Adzani (223310978)

Delfiyana (223310968) Lili Auliana (223310979)

Diva Amiroh Azzahra (223310969) Muhammad Rahim (223310980)

Early Rahmalina Syahri (223310970) Nada Nabila Armensyah P (223310981)

Fanny Amelia Outri (223310971) Najla Haura Agfi (223310983)

SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN


POLTEKKES KEMENKES RI PADANG
TP 2022/2023
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, karena dengan izin dan ridho-Nya
makalah yang sederhana ini dapat kami selesaikan. Shalawat dan salam semoga tetap dapat disampaikan
kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kedamaian dan rahmat bagi semesta
alam, yang membuat kami berada pada kehidupan yang terang dengan ilmu pengetahuan seperti saat
ini.

Ucapan terima kasih tidak lupa pula kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
menyelesaikan makalah ini, baik dari segi materi, tenaga, dan doa. Kami menyadari bahwa dalam
makalah ini banyak terdapat kesalahan dari segi manapun. Untuk itu kami mohon maaf sebesar
besarnya. Kami berharap makalah ini sedikit banyaknya memberikan manfaat khususnya bagi kami
sendiri.

Kami minta jika terjadi kesalahan dan kekurangan dalam penyusunan makalah ini, besar
harapan kami atas masukan dan kritknya agar dapat menjadi perbaikan isi materi dari makalah ini. Atas
nama penulis kami ucapkan terima kasih.

Padang, 05 oktober 2022

Penulis

i|Page
DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................................................i
Daftar Isi.......................................................................................................................................ii

Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang...............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................................3
C. Tujuan Penulisan............................................................................................................3

Bab II Pembahasan
A. Pengertian Gratifikasi.....................................................................................................4
B. Sejarah Gratifikasi..........................................................................................................4
C. Program Pengendalian Gratifikasi..................................................................................7
D. Kultur Gratifikasi............................................................................................................10
E. Etika Perilaku Gratifikasi................................................................................................12
F. Peran serta Masyarakat....................................................................................................14
G. Perlindungan Pelapor......................................................................................................19
H. Fraud di bidang Kesehatan..............................................................................................22

Bab III Penutup


A. Kesimpulan..................................................................................................................................28
B. Saran.............................................................................................................................................29

Daftar Pustaka.................................................................................................................................30

ii | P a g e
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemberian dalam arti luas Yakni, meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount),
komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata,
pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam
negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau
tanpa sarana elektronik.

Gratifikasi dapat diartikan positif atau negatif. Gratifikasi positif adalah pemberian hadiah
dilakukan dengan niat yang tulus dari seseorang kepada orang lain tanpa pamrih artinya pemberian
dalam bentuk "tanda kasih" tanpa mengharapkan balasan apapun. Gratifikasi negatif adalah
pemberian hadiah dilakukan dengan tujuan pamrih, pemberian jenis ini yang telah membudaya
dikalangan birokrat maupun pengusaha karena adanya interaksi kepentingan. Dengan demikian
secara perspektif gratifikasi tidak selalu mempunyai arti jelek, namun harus dilihat dari
kepentingan gratifikasi. Akan tetapi dalam praktik seseorang memberikan sesuatu tidak mungkin
dapat dihindari tanpa adanya pamrih. Di negara-negara maju, gratifikasi kepada kalangan birokrat
dilarang keras dan kepada pelaku diberikan sanksi cukup berat, karena akan mempengaruhi pejabat
birokrat dalam menjalankan tugas dan pengambilan keputusan yang dapat menimbulkan
ketidakseimbangan dalam pelayanan publik, bahkan di kalangan privat pun larangan juga
diberikan, contoh pimpinan stasiun televisi swasta melarang dengan tegas reporter atau
wartawannya menerima uang atau barang dalam bentuk apa pun dari siapapun dalam menjalankan
tugas pemberitaan. Oleh karena itu gratifikasi harus dilarang bagi birokrat dengan disertai sanksi
yang berat (denda uang atau pidana kurungan atau penjara) bagi yang melanggar dan harus
dikenakan kepada kedua pihak (pemberi dan penerima).

Korupsi merupakan salah satu kata yang cukup populer di masyarakat dan telah menjadi
tema pembicaraan sehari-hari. Namun demikian, ternyata masih banyak masyarakat yang belum
mengetahui apa itu korupsi. Pada umumnya, masyarakat memahami korupsi sebagai sesuatu yang
merugikan keuangan negara semata. Padahal dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

1|Page
joncto Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
ada 30 jenis tindakan korupsi. Ke-30 jeis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat
dikelompokkan mnjadi tujuh, yaitu:

i) kerugian keuangan Negara;

ii) suap-menyuap;

iii) penggelapan dalam jabatan;

iv) pemerasan;

v) perbuatan curang;

vi) benturan kepentingan dalam pengadaan; dan

vii) gratifikasi.

Dari berbagai jenis korupsi yang diatur dalam undang-undang, gratifikasi merupakan salah
satu hal yang relatif baru dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia. Gratifikasi
diatur dalam Pasal 12B Undang-Undang tersebut di atas. Dalam penjelasan pasal tersebut,
gratifikasi didefinisikan sebagai suatu pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang,
barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan
wisata, pengobatan Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya, yang diterima di dalam negeri maupun yang
di luar ngeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronika maupun tanpa
elektronika. Meskipun sudah diterangkan di dalam undag-undang, ternyata masih banyak
masyarakat Indonesia yang belum memahami definisi gratifikasi, bahkan para pakar pun maih
memprdebatkan hal ini.

2|Page
B. Rumusan Masalah

Dari paparan materi berikut ini adalah rumusan masalahnya:

1. Apa itu pengertian gratifikasi?


2. Bagaimana sejarah gratifikasi?
3. Bagaimana program pengendalian gratfikasi?
4. Bagaimana kultur gratifikasi?
5. Bagaimana etika perilaku gratfikasi?
6. Bagaimana peran serta masyarakat?
7. Bagaimana perlindungan pelapor?
8. Bagiaman fraud di bidang kesehatan?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan papara rumusan masalah maka tujuan dari penulisan antara lain;

1. Menjelaskan pengertian gratifikasi.


2. Menjelaskan sejarah gratifikasi.
3. Menjelaskan program pengendalian gratfikasi.
4. Menjelaskan kultur gratifikasi.
5. Menjelasakan etika perilaku gratifikasi.
6. Menjelaskan peran serta masyarakat.
7. Menjelaskan perlindungan pelapor.
8. Menjelaskan fraud di bidang kesehatan.

3|Page
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Gratifikasi

Gratifikasi adalah suatu pemberian, imbalan atau hadiah oleh orang yang pernah mendapat
jasa atau keuntungan atau oleh orang yang telah atau sedang berurusan dengan suatu lembaga
publik atau pemerintah dalam misalnya untuk mendapatkan suatu kontrak.

Pelarangan atas segala bentuk pemberian hadiah atau gratifikasi kepada seseorang terkait
kapaitasnya sebagai pejabat atau penyelenggara negara bukanlah sesuatu yang baru. Gratifikasi
menjadi perhatian khusus, karena merupakan ketentuan yang baru dalam perundang-undangan dan
perlu sosialisasi yang lebih optimal. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mendifinisikan gratifikasi sebagai pemberian dalam arti
luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat atau diskon, komisis, pinjaman tanpa bunga,
tiket perjalanan, perjalana wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya, baik yang diterima
di dalam negeri maupun di luar negeri, yang dilakukan menggunakan sarana elektronik atau tanpa
sarana elektronik.

Gratifikasi pada dasarnya adalah “suap yang tertunda” atau sering juga disebut “suap
terselubung”. Pegawai negeri atau penyelenggara negara (Pn/PN) yang terbiasa menerima
gratifikasi terlarang lama kelamaan dapat terjerumus melakukan korupsi bentuk lain, seperti suap,
pemerasan dan korupsi lainnya. Sehingga gratifikasi dianggap sebagai akar korupsi. Gratifikasi
tersebut dilarang karena dapat mendorong Pn/PN bersikap tidak obyektif, tidak adil dan tidak
professional. Sehingga Pn/PN tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.

B. Sejarah Gratifikasi
Penerimaan hadiah atau gratifikasi merupakan penerimaan yang dianggap suap
apabila berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas atau kewajibannya.
Pegawai negeri atau penyelenggara negara terkadang menerima pemberian atau hadiah dari
rekanan, teman, atau kenalan, yang mengandung benturan kepentingan baik dalam
pelayanan kepentingan publik ataupun ketika diberikan dengan melihat kedudukan atau
wewenang yang melekat pada jabatan. Muladi menyatakan bahwa penerimaan gratifikasi
bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara merupakan kebiasaan yang berpotensi
koruptif, karenanya pengendalian gratifikasi disebut sebagai budaya tandingan (counter

4|Page
culture), sebab dalam perkembangan global gratifikasi untuk pejabat menjadi hal yang
terlarang dalam etika bisnis perdagangan dunia.
Istilah gratifikasi baru dikenal dalam ranah hukum pidana Indonesia sejak tahun 2001
melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Pasal
12B dan 12C undang-undang tersebut mengatur delik gratifikasi dan mencantumkan
ancaman pidana bagi setiap pegawai negeri/penyelenggara negara yang menerima segala
bentuk pemberian tidak sah dalam pelaksanaan tugasnya.

Agar pemberian tersebut tidak dianggap sebagai suap, maka pegawai negeri
atau penyelenggara negara wajib melaporkannya kepada Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dalam jangka waktu paling lama 30 hari kerja sejak tanggal gratifikasi
tersebut diterima.
Ada dua sisi yang seimbang pada ketentuan tentang gratifikasi, yaitu ancaman
pidana berat bagi penerima gratifikasi sekaligus peniadaan tuntutan pidana bagi
pegawai negeri atau penyelenggara yang beriktikad baik melaporkan kepada
KPK gratifikasi yang diterima. Dengan kata lain, ketentuan mengenai gratifikasi
mengakomodasi aspek pencegahan dan penindakan sekaligus.
Sebagai salah satu bentuk delik korupsi, penerapan pasal gratifikasi dapat
menggunakan sistem pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas
dan khusus. Artinya, ketika seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara
didakwa menerima gratifikasi senilai Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau
lebih, maka dia wajib membuktikan bahwa pemberian gratifikasi yang didakwakan
bukan suap atau tidak berhubungan dengan jabatan atau berlawanan dengan tugas
atau kewajibannya.
Selain itu, keberadaan pasal gratifikasi diharapkan dapat memperkuat UU
Tipikor, khususnya menghadapi fenomena kekayaan penyelenggara negara yang
berasal dari penerimaan tidak sah (illicit gratification). Saat pasal gratifikasi dirumuskan,
sistem pembalikan beban pembuktian diperkenalkan untuk mempermudah proses
pembuktian tentang penerimaan-penerimaan yang tidak sah dan berindikasi sebagai
suap kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Penerapan sistem ini sebenarnya terkait dengan penggolongan tindak pidana
korupsi sebagai kejahatan yang pemberantasannya perlu dilakukan secara luar
biasa. Hal ini terlihat pada Rapat Paripurna terbuka DPR-RI 21 Mei 2001 melalui
pernyataan Pemerintah bahwa “dengan demikian pemberantasan korupsi harus
dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain penerapan ‘sistem pembuktian
terbalik’ yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa.”2
Menurut Indriyanto Seno Adji, dasar pengaturan pembalikan beban
pembuktian dari penuntut umum menjadi terdakwa adalah bagian dari kesadaran
bahwa penanganan korupsi merupakan “serious crime” yang memerlukan
penanganan luar biasa (extraordinary enforcement or measures) melalui

5|Page
pergeseran komprehensif atas sistem pembuktian yang ada. Artinya, dalam tindak
pidana korupsi beban pembuktian ini diletakkan pada terdakwa. Kewajiban untuk
membuktikan bahwa terdakwa bersalah yang awalnya berada di pundak penuntut
umum kemudian bergeser dan menjadi beban terdakwa (reversal of burden proof/
omkering van bewijslast).

Dalam rangka memperkuat pemahaman terhadap ketentuan tentang


gratifikasi dan mengefektifkan penerapan pengendaliannya, Direktorat Gratifikasi
KPK melakukan kegiatan penguatan regulasi implementasi Pasal 12B UU
Tipikor (Gratifikasi) melalui kajian atas implementasi delik gratifikasi pada
sejumlah putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Kajian tersebut dilakukan
melalui serangkaian kegiatan, mulai dari pengumpulan dokumen dan bahan
akademik terkait gratifikasi, wawancara dan diskusi kelompok terarah untuk
menganalisis norma hukum mengenai gratifikasi yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan, dan penyelenggaraan
forum ahli untuk membahas ketentuan gratifikasi (expert forum of gratification).
Kajian ini berfokus pada enam hal, yaitu:
1. Analisis delik gratifikasi pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi;
2. Penerapan pasal 12B & 12C UU Tipikor;
3. Penerapan pasal gratifikasi dengan menggunakan asas pembalikan
beban pembuktian;
4. Tindak pidana gratifikasi sebagai predicate crime dalam pencucian uang;
5. Penerapan penuntutan bagi pemberi gratifikasi; dan
6. Penerapan pelaporan gratifikasi sebagai syarat penghapusan penuntutan
pemidanaan Pasal 12B UU Tipikor.
Melalui analisis putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, akan terlihat
perkembangan penerapan pasal gratifikasi dalam putusan-putusan pengadilan.
Beberapa putusan yang ditelaah memberikan pemahaman mengenai unsur-unsur
apa saja yang ada dalam pasal gratifikasi, bagaimana penerapan pembalikan beban
pembuktian dalam praktik pengadilan tindak pidana korupsi, penggunaan khusus
pasal gratifikasi untuk menyasar kasus-kasus tertentu yang tidak terjangkau pasal
suap pasif, dan penerapan pasal gratifikasi dihubungkan dengan Tindak Pidana
Pencucian Uang (TPPU). Selain itu, dilakukan juga analisis mengenai perkara
gratifikasi dengan vonis bebas agar dapat dipelajari konstruksi hukum apa yang
harus dibangun dan hal-hal apa saja yang harus diperhatikan ketika mengajukan
perkara gratifikasi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan hasil wawancara, diskusi kelompok terarah untuk menganalisis
putusan-putusan terkait gratifikasi, dan pertemuan forum pakar dengan ahli hukum,
banyak pemahaman yang didapatkan terkait pengaturan delik gratifikasi, mulai dari
sejarah pembentukan pasal gratifikasi, telaah dari segi materiil dan formil terkait

6|Page
implementasi pasal gratifikasi, hingga saran dan masukan yang diberikan untuk
prospek penerapan pasal gratifikasi di kemudian hari.
Melalui kajian implementasi delik gratifikasi pada putusan pengadilan tindak
pidana korupsi, diharapkan adanya pemahaman yang lebih mendalam mengenai
Pasal 12B UU Tipikor dan penguatan penerapan pasal ini di kemudian hari. Kajian
ini juga diharapkan dapat meningkatkan kesadaran pelaporan bagi pegawai negeri
atau penyelenggara negara dalam hal penerimaan gratifikasi dengan memahami
fungsi penerapan pelaporan gratifikasi dalam Pasal 12C UU Tipikor sebagai dasar
peniadaan penuntutan delik gratifikasi.

C. Program Pengendalian Gratifikasi


Program Pengendalian Gratifikasi (PPG)
Program yang bertujuan untuk mengendalikan penerimaan gratifikasi secara transparan
dan akuntabel, melalui serangkaian kegiatan yang melibatkan partisipasi aktif badan
pemerintahan, dunia usaha, dan masyarakat untuk membentuk lingkungan pengendalian
Gratifikasi.

Manfaat yang Diperoleh dari Penerapan PPG


1. Bagi Instansi
• Meningkatkan Pemahaman pegawai/pejabat terkait praktik gratifikasi
• Meningkatkan kesadaran pelaporan gratifikasi di lingkungan instansi
• Meminimalisasi kendala psikolgis melaporkan gratifikasi ke KPK
• Menciptakan dan menjaga lingkungan yang terkendali praktik gratifikasi
• Sebagai masukan perbaikan kebijakan dan strategi bagi manajemen Instansi
2. Bagi Pemangku Kepentingan
• Ketentuan gratifikasi menjadi lebih implementatif
• Mendorong terciptanya layanan publik yang bersih dari praktifk gratifikasi

PROGRAM PENGENDALIAN GRATIFIKASI SEBAGAI SEBUAH SISTEM


Input:
• Komitmen outcome
• Perangkat Aturan Internal Gratifikasi
• Unit Pengendalian Gratifikasi

7|Page
Proses:
• Internalisasi aturan
• Diseminasi PPG
• Pengelolaan laporan Gratifikasi
• dsb.
Output :
• Kesadaran Melapor
• Laporan
• Manajemen Tools Outmeens Lingkungan Pengendalian yang Transparan dan Akuntabel

TAHAPAN PPG
Tahapan PPG terdiri dari dua tahap :
TAHAP PRA-IMPLEMENTASI dan IMPLEMENTASI
1. Komitmen Pengendalian Gratifikasi
2. Penyusunan Aturan Pengendalian Gratifikasi
3. Pembentukan Unit UPG
TAHAP PASCA-IMPLEMENTASI (MONITORING Dan EVALUASI):
Kegiatan Monitoring dan Evaluasi oleh KLOP dan/atau dengan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK)

Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) adalah unit yang dibentuk atau ditunjuk oleh
pimpinan KLOP untuk menjalankan fungsi pengendalian gratifikasi.
UPG dibentuk dengan Surat Keputusan pimpinan KLOP, beranggotakan dari personil yang
menjalankan fungsi pengawasan atau kepatuhan atau fungsi lain yang sejenis.
Aturan Pengendalian Gratifikasi memuat hal-hal berikut :

Prinsip dasar pengendalian gratifikasi Yaitu: tidak menerima, tidak memberi dan menolak
pemberian gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas/
kewajibannya.
Jenis-jenis gratifikasi yang wajib dilaporkan; Memuat jenis gratifikasi yang wajib
dilaporkan kepada KPK dan/atau instansi.

8|Page
Jenis-jenis gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan; Memuat jenis gratifikasi yang tidak
wajib dilaporkan kepada KPK dan/atau instansi.
Mekanisme dan tata cara pelaporan gratifikasi; Menjelaskan prosedur dan tata cara
pelaporan gratifikasi kepada KPK dan/atau instansi.
Unit Pengendalian Gratifikasi; Menguraikan tugas dan kewenangan unit pelaksana fungsi
pengendalian gratifikasi di instansi.
Perlindungan bagi Pelapor; Menjelaskan jaminan perlindungan dan kerahasiaan pegawai
negeri dan penyelenggara negara yang melaporkan penerimaan gratifikasi.
Penghargaan dan Sanksi; Menjelaskan penghargaan bagi pegawai negeri dan
penyelenggara negara yang patuh terhadap aturan pengendalian gratifikasi dan sebaliknya.
Penyediaan sumber daya yang dibutuhkan; Menyediakan sumber daya yang dibutuhkan
dalam melaksanakan
pengendalian gratifikasi, antara lain sumber daya manusia, anggaran serta
sarana dan prasarana pendukung
Untuk itu dibutuhkan UPG atau Unit Pengendalian Gratifikasi.

UPG berperan sebagai motor penggerak kegiatan pengendalian gratifikasi. Kehadiran UPG
dapat mengurangi tekanan psikologis untuk melaporkan gratifikasi kepada KPK karena
penerima gratifikasi cukup melapor ke UPG.

UPG juga dapat menjadi perpanjangan tangan KPK dalam hal pusat informasi gratifikasi.
Selain itu, UPG berperan sebagai unit yang memberikan masukan kepada pimpinan
lembaga untuk memperbaiki area yang rawan gratifikasi atau korupsi.

Tugas-tugas UPG antara lain:


a) Mempersiapkan perangkat aturan, petunjuk teknis dan kebutuhan lain yang sejenis untuk
mendukung penerapan pengendalian gratifikasi;
b) Menerima, menganalisa dan mengadministrasikan laporan penerimaan dan penolakan
gratifikasi dari Pn/PN;
c) Meneruskan laporan penerimaan gratifikasi kepada KPK;
d) Melaporkan rekapitulasi laporan gratifikasi secara periodik kepada KPK;

9|Page
e) Menyampaikan hasil pengelolaan laporan gratifikasi dan usulan kebijakan pengendalian
gratifikasi kepada instansi;
f) Melakukan sosialisasi aturan gratifikasi kepada pihak internal dan eksternal instansi;
g) Melakukan pengelolaan barang gratifikasi yang menjadi kewenangan instansi;
h) Melakukan pemetaan titik rawan penerimaan dan pemberian gratifikasi; dan
i) Melakukan monitoring dan evaluasi penerapan pengendalian gratifikasi bersama KPK.

Keberhasilan Pengendalian Gratifikasi ditunjukkan dengan terciptanya Budaya Anti


Gratifikasi yang tercermin dari tingkat pemahaman dan kepatuhan pejabat dan pegawai
suatu instansi terhadap aturan gratifikasi.

Bentuk nyata dari budaya anti gratifikasi yaitu sikap menolak gratifikasi yang dilarang,
melaporkan penerimaan gratifikasi, mampu memberikan pemahaman aturan gratifikasi
kepada orang lain, serta mengapresiasi Pelapor gratifikasi di lingkungannya.

Dengan penerapan pengendalian gratifikasi di instansi diharapkan dapat mengubah budaya


permisif penerimaan atau pemberian gratifikasi yang dilarang, menjadi budaya menolak
pemberian gratifikasi (budaya anti gratifikasi).

D. Kultur Gratifikasi

Anti gratifikasi harus mulai dilakukan dari diri sendiri, di mulai dari sekarang agar menjadi
kebiasaan, sehingga lama kelamaan akan menjadi budaya bagi instansi pemerintah, masyarakat
dan negara. Cara menerapkan anti gratifikasi diantaranya yaitu

1. Langkah pertama dan utama yaitu menolak secara langsung, secara tegas, dan jelas, namun
dilakukan secara sopan. Terutama terhadap gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan,
berlawanan dengan kewajiban dan tugas, diserahkan secara langsung, dan terdapat konflik
kepentingan.
2. Apabila menolak gratifikasi, bisa menyampaikan himbauan kepada pemberi gratifikasi
tersebut untuk tidak lagi memberikan gratifikasi kepada siapapun. Apabila karena sesuatu hal
pemberian gratifikasi tersebut tidak dapat ditolak, contoh pemberi gratifikasi menyerahkan

10 | P a g e
melalui orang lain (satpam, atau petugas front office, pengemudi atau keluarga) atau
bersikukuh untuk memberikan sesuatu walaupun sudah ditolak, maka pemberian gratifikasi
tersebut dapat (terpaksa) diterima, namun gratifikasi tersebut harus dilaporkan maksimal
dalam jangka waktu 30 hari kerja sejak diterima kepada Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK).

Gratifikasi merupakan akar dari korupsi. Pada awalnya gratifikasi dianggap hanya sebagai
tanda terima kasih atas pelayanan yang diberikan, sehingga dianggap wajar. Hanya sekedar uang
rokok, atau uang lelah, dianggap hal yang lumrah karena banyak juga orang lain yang
menerimanya. Apabila sudah menjadi anggapan hal yang wajar atau lumrah, akan menjadi
kebiasaan dan meningkat menjadi suatu kewajiban, dimana pelayanan yang seharusnya diberikan
secara gratis tidak akan dilakukan tanpa adanya suatu pemberian gratifikasi. Bagi pegawai negeri
tersebut juga dapat menumbuhkan mental pengemis atau pemeras, serta menghilangkan rasa malu.
Bagi pribadi yang lain, kebaikan dari pemberi gratifikasi akan menjadi investasi hutang budi.
Seseorang yang sudah sering menerima “kebaikan gratifikasi” dari orang lain, suatu saat bisa
merasa tidak enak untuk tidak memberikan bantuan yang mungkin melanggar hukum atau
peraturan. Penerimaan gratifikasi akan mendorong seorang penyelenggara negara atau pegawai
negeri untuk bersikap tidak obyektif, tidak adil dan tidak profesional. Sehingga tidak dapat
melaksanakan tugasnya dengan baik.

Seorang penyelenggara negara atau pegawai negeri telah menerima gaji dari negara untuk
melakukan tugas-tugasnya, termasuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sehingga tidak
sepantasnya seorang pejabat publik atau pegawai negeri itu menerima pemberian atas pelayanan
yang mereka berikan. Seseorang tidak berhak meminta dan mendapatkan sesuatu melebihi haknya
sekedar ia melaksanakan tugas sesuai tanggungjawab dan kewajibannya.

Budaya anti gratifikasi harus terus digaungkan pada setiap instansi pemerintah, agar dapat
terwujud birokrasi yang bersih dan bebas dari korupsi. Implementasi budaya anti gratifikasi harus
mendapat dukungan dan komitmen yang kuat dari unsur pimpinan, pejabat, dan seluruh pegawai
pada instansi tersebut, serta dicanangkan dihadapan stakeholder dan masyarakat umum, serta di
publikasikan pada media massa atau media sosial. Implementasi budaya tersebut pun harus terus
dijaga dan dipelihara sepanjang tahun, sehingga menjadi habit, kebiasaan yang seharusnya terjadi
dalam kehidupan kita. Menurut hemat penulis budaya anti gratifikasi dapat dibangun secara efektif

11 | P a g e
melalui pencanangan Zona Integritas Wilayah Bebas Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan
Melayani (ZI WBK/WBBM).

E. Etika Perilaku Gratifikasi

Fakta moral yang mesti menjadi perhatian dalam penyusunan peraturan tentang gratifikasi
adalah rendahnya moralitas pejabat publik. Pengaturan gratifikasi, harus berangkat dari
pertanyaan: bagaimana mengatur pejabat publik yang hanya memiliki modal moral rendah? Sudah
umum diketahui, di Indonesia ada kecenderungan bahwa tiap orang yang mem punyai jabatan
politik, atau, lebih khusus lagi, jabatan publik sebagai penyelenggara negara, merasa perlu
menegaskan statusnya yang baru.

Meski begitu, penegasan status ini tak dilakukan melalui kinerja dan prestasi, tapi melalui
perubahan gaya hidup. Karenanya, jabatan politik dan jabatan publik tidak dihayati sebagai
tanggung jawab dan amanah, tetapi justru sebagai kesempatan menampilkan gaya hidup baru di
luar akal sehat.

Realitas tersebut, nyaris belum bergeser dari gambaran Clifford Geertz tentang The Theatre
State. Seperti diuraikan Geertz tentang negara klasik di Bali pada abad ke19, negara tidaklah
mempunyai kekuasaan memerintah terlebih dahulu, yang kemudian dipentaskannya lewat
berbagai drama ke negaraan. Sebaliknyalah, berbagai pentas, glamor, dan keagungan lebih
menonjol daripada karya. Pentas glamor, bukan hanya sekadar tanda kekuasaan, melainkan telah
menjadi kekuasaan itu sendiri.

Hal yang terasa amat kurang dalam negara Indonesia adalah kesanggupan memerintah, yaitu
statecraft , regnancy, atau rule. Pejabatpejabat lebih banyak diwarnai semangat negara teater.
Mereka sangat dekat dengan mental estate (status atau tingkatan sosial), dan begitu hirau dengan
model state liness ( pentas, glamor, dan keagungan ). Bahkan di daerah yang paling miskin
sekalipun, kebijakankebijakan megah glamor selalu berulang setiap kali. Bentuknya nyaris
seragam, mulai dari pengadaan mobil baru, biaya sewa rumah (meski sudah ada rumah pribadi),
perjalanan dinas, biaya purna bhakti, dan lain sebagainya.

12 | P a g e
Realitas moral sosial seperti ini, sebenarnya sudah cukup menjelaskan mengapa penegakan
hukum di negeri ini tidak pernah maksimal, Kata kuncinya, karena kesadaran etis kita masih sangat
rendah. Kedepankan Moralitas Tanggung jawab untuk mengelola hukum secara benar,
membutuhkan basis moral yang lebih tinggi dari sekadar moralitas anak anak. Moralitas dimaksud,
oleh Kohlberg, disebut moralitas orang dewasa. Yakni moralitas yang sudah berada pada tahap
konvensional dan pascakonvensional. Berbeda dengan moralitas prakonvensional yang berpusat
pada diri sendiri, maka moralitas konvensional lebih berorientasi pada konvensi, prinsip, dan
hukum.

Ada juga mereka yang taat asas, dan tidak mudah diajak kompromi dan bermain dengan
hukum. Moralitas inilah yang amat langka di negeri ini, sehingga wajah hukum kita begitu buruk.
Masih ada moralitas yang lebih tinggi dari moralitas taat asas ini, yakni moralitas pasca-
konvensional. Moralitas ini memiliki dua jenis, yaitu moralitas "akal kritis" dan "moralitas hati
nurani". Mereka yang sudah berada pada level moralitas akal kritis, selalu memperjuangkan
keadaan yang lebih baik bagi kepentingan bersama.

Perjuangan moralitas tersebut adalah, bahwa menghadapi pejabat dengan moralitas rendah,
butuh kebijakan kriminal yang keras:

(1). Aturan harus ketat/rigid,

(2). Sanksi ha rus keras,

(3). Law enforcement harus ketat,

(4). Kontrol harus kuat dan ketat,

(5). Reward and punishment harus berjalan konsisten.

Dalam menyusun aturan tentang gratifikasi, perlu memperhatikan moralitas eksternal dan
moralitas internal dari hukum. Moralitas eksternal, terkait dengan eksistensinya sebagai aturan
dalam ruang publik di mana kesederajatan, keadilan, dan keadaban dipertahankan dan dibela.
Moralitas internal: Aturan Primer, harus: rasional, jelas, tegas, prediktabel, koheren (tidak
tumpang tindih), akseptabel wajar dan berada dalam batas kemampuan orang ratarata,
mengandung ka idah (ada nilainilai yang dibela).

13 | P a g e
Karena itu, aturan gratifikasi harus berangkat dari beberapa asumsi/pengandaian ontology.
Pertama, tiap orang cenderung melakukan kesalahan, dan karena itu tingkah laku yang benar dan
tidak merugikan orang lain, tidak dapat diserahkan kepada kehendak pribadi tiap orang, tetapi
perlu diatur dengan peraturan hukum positif. Melalui larangan gratifikasi misalnya, seorang
pejabat secara tidak langsung dicegah dari berbuat banyak kesalahan dan diselamatkan dari
berbagai keteledoran dan kecerobohan.

Kedua , Penyelenggara negara (PN/pn), karena posisi/jabatannya, rawan power tends to corrup
Mereka jauh lebih rentan terha dap kesalahan dan kejatuhan, karena memiliki kekuasaan yang
dalam dirinya selalu mengandung kecenderungan untuk disalahgunakan. Inilah sebabnya,
pejabat/penyeleng gara negara wajib tunduk pada pengawasan publik, termasuk melalui hukum.
Sebagai pe nyelenggara negara harus mempunyai moral courage untuk menyadari kerentanannya
itu, bersedia dikontrol, dan bersedia menerima sanksi akibat kesalahannya.

Ketiga, PN/pn adalah pejabat publik yang diberi kepercayaan, diberi kewenangan, dan
memiliki kekuasaan untuk mengelola kepen tingan negara dan publik. Di titik ini, mereka memikul
kewajiban etis untuk:

a) Menjaga marwah jabatan agar tetap dipercaya dan di hormati oleh publik,
b) Cegah disalahgunakan dan divenalisasi,
c) Tidak merugikan publik dan negara.

Maka larangan gratifikasi harus dikaitkan dengan tiga hal itu.

F. Peran Serta Masyarakat

Peran dan Fungsi Masyarakat Dalam Mencegah dan Memberantas Gratifikasi Kepada
Pegawai Negeri

Tugas dan fungsi masyarakat dalam pemberantasan gratifikasi kepada para pegawai negeri.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2000 Pasal 2 yang menyatakan peran
serta masyarakat berhak mencari, memperoleh dan memberikan informasinya. Dengan demikian
keikutsertaan masyarakat dalam memberantas gratifikasi bisa membantu aparat penegak hukum
polisi, kejaksaan, dan pejabat penyidik yang berwenang dalam menyelidik dan menyidik dimana

14 | P a g e
terjadinya kasus tindak pidana gratifikasi yang terjadi di lingkungan, daerah, bahkan di negara
sekalipun, agar kasus tindak pidana gratifikasi bisa menurun di negara ini karena keikutsertaan
masyarakat dan penegak hukum dalam memberantas gratifikasi.

Peran masyarakat dalam memberantas gratifikasi kepada para pegawai negeri dapat
dilakukan melalui penanaman pemahaman terhadap dampak, akibat serta risiko yang harus
dihadapi jika melakukan gratifikasi bahkan bahaya gratifikasi bagi diri sendiri, keluarga,
masyarakat, bangsa, dan negara. Dampak dari gratifikasi bisa diajarkan sejak dini pada waktu
masih mengenyam pendidikan sekolah dasar, sampai pada pendidikan perguruan tinggi.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana. Pasal 41


tentang peran serta masyarakat menyebutkan sebagai berikut:

1. Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan


tindak pidana korupsi.

2. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam
bentuk:

a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanyadugaan telah


terjadi tindak pidana korupsi;

b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan


informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang
menangani perkara tindak pidana korupsi;

c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada


penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;13

d. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang


diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;

e. hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal:

1). melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c.

15 | P a g e
2). diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan disidang
pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan yang berlaku.14

3). Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai hak dan
tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi.

4). Hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi.

5). Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat


dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana
dimaksud dalam pasal ini, diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Penanaman pada diri sendiri:

1. Niatkah bekerja sebagai ibadah

Jika setiap pekerjaan kita niatkan sebagai salah satu bentuk ibadah kepada Tuhan, maka
pastinya kita akan bekerja dengan sungguh-sungguh dan sesuai aturan yang berlaku serta tidak
akan melakukan kesalahan ataupun kecurangan yang dapat merugikan orang lain termasuk
menerima gratifikasi. Yakinlah bahwa Tuhan tidak pernah tidur, Tuhan akan melihat dan
mengetahui niat atau setiap apapun yang kita kerjakan. Kita hanya berdoa dan berharap semoga
yang kita kerjakan akan bernilai ibadah.

2. Ingat keluarga

Keluarga adalah orang yang terdekat yang tulus menyayangi kita. Mereka selalu ada disaat
kita senang maupun susah, sehingga saat kita bekerja dan diminta melakukan sesuatu yang tidak
sesuai dengan aturan maka kita harus ingat keluarga karena mereka adalah orang pertama yang
ikut merasakan bahkan menanggung beban ataupun kesalahan kita.

3. Mensyukuri apa yang kita miliki sekarang

16 | P a g e
Rumput tetangga lebih hijau daripada rumput sendiri, ungkapan ini memiliki arti apa yang
dimiliki oleh orang lain, biasanya terlihat lebih baik dari apa yang kita miliki. Hal inilah yang
membuat seseorang memilih jalan pintas dengan melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan
aturan, atau menerima gratifikasi agar tercapai keinginan untuk memiliki sesuatu seperti milik
orang lain atau bahkan lebih. Padahal mereka tidak tahu jika itu baik untuk orang lain belum tentu
baik buat kita, sehingga untuk menghindari hal tersebut, kita harus bersyukur dengan apa yang kita
miliki. Bersyukur adalah salah satu kunci kebahagiaan karena dengan bersyukur hati kita
merasakan ketenangan.

4. Memahami kebutuhan dan keinginan

Terkadang kita tidak dapat membedakan antara kebutuhan dan keinginan, bahkan banyak
orang yang lebih memprioritaskan keinginan dari pada kebutuhan sehingga pengeluaran lebih
besar dari pendapatannya. Seperti pepatah, lebih besar pasak daripada tiang. Golongan orang
seperti inilah yang mudah terpengaruh dengan godaan menerima gratifikasi. Untuk menghindari
hal tersebut perlu kiranya kita betul-betul memahami mana yang termasuk kebutuhan dan mana
yang termasuk keinginan, dan membuat daftar skala prioritas dan tetap menerapkan budaya hidup
hemat dan menyesuaikan dengan pendapatan.

5. Jangan ragu katakan tidak/tolak gratifikasi dan laporkan

Pemberian tanda terima kasih atas jasa yang telah diberikan oleh sesorang merupakan
kebiasaan yang berlaku secara umum di masyarakat. Namun kebiasaan ini harus kita tepis karena
hal ini dapat menjadi salah satu faktor, seseorang melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan
aturan, kita akan merasa berat atau tidak enak telah menerima barang atau bahkan uang dari
penerima jasa. Untuk menghindari hal tersebut jangan ragu katakan tidak atau menolak
pemberian/gratifikasi, jika posisi kita tidak memungkinkan untuk menolak maka kita bisa
menerima numun segera melaporkan kepada pihak yang berwenang.

6. Faktor lingkungan dan pergaulan

Lingkungan adalah salah satu faktor yang sangat berpengaruh dengan perilaku kita. Jika
lingkungan atau pergaulan kita baik maka perilaku kita juga pastinya akan sama dengan teman
disekitar kita, dan sebaliknya. Jadi saat seseorang berada di posisi lingkungan yang kurang

17 | P a g e
kondusif maka pintar-pintarlah bergaul, jangan sampai kita salah memilih teman yang dapat
menjerumuskan kita ke hal-hal negatif.

7. Menghindari atau meminimalisir pertemuan dengan stakeholder

Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah salah satu pihak yang rawan menerima gratifikasi
terlebih lagi yang memiliki jabatan atau ASN yang berhubungan langsung dengan stakeholder
dalam pemberian layanan. Terkadang penerima jasa/stakeholder merasa telah terbantu dengan
layanan yang kita berikan, sehingga mereka memberikan tanda terima kasih baik berupa uang
maupun barang. Jika kondisi ini berulang, bisa jadi pemberian tersebut menjadi wajib, dan setiap
ASN selesai memberikan layanan, dia akan selalu berharap akan menerima imbalan, sehingga
kinerjanya akan terpengaruh dengan ada tidaknya imbalan. Untuk menghindari hal tersebut kita
harus tanamkan niat dan komintmen bahwa gaji yang kita terima setiap bulan adalah imbalan/hak
kita setelah bekerja, sehingga kita tinggal melaksankan kewajiban kita untuk bekerja dengan
sungguh-sungguh dalam memberikan layanan prima ke stakeholder. Sedangkan jabatan
merupakan bonus atau apresisasi yang diberikan kepada kita yang telah bekerja bersungguh-
sungguh.Jika kita belum yakin akan komitmen kita untuk tidak menerima gratifikasi atau masih
bisa tergoda menerima gratifikasi maka sebaiknya kita menghindari atau meminimalisir pertemuan
dengan stakeholder.

8. Memahami Gratifikasi

Ketidaktahuan atau ketidakpahaman juga dapat membuat kita menerima gratifikasi karena
gratifikasi itu selalu diidentikkan menerima uang atau barang dari pengguna layanan/stakeholder.
Padahal penggunaan fasilitas kantor yang tidak sesuai juga merupakan gratifikasi misalnya
penggunaan kendaraan dinas ke warung kopi. Jadi untuk terhindar dari gratifikasi kita harus paham
apa itu gratifikasi, tindakan apa saja yang termasuk gratifikasi dengan cara membaca aturan,
mengikuti sosialisasi, pelatihan-pelatihan atau webinar terkait gratifikasi

9. Tidak memberikan gratifikasi kepada Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara yang berhubungan


dengan jabatan;

10. Menolak permintaan gratifikasi dari Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara:

18 | P a g e
11. Melaporkan kepada instansi yang berwenang jika mengetahui praktik gratifikasi yang dilarang.
Peran organisasi masyarakat sipil, yaitu mengawasi pelaksanaan pelayanan publik dan
memfasilitasi pengaduan atau keluhan terkait gratifikasi kepada KPK, penegak hukum dan instansi
yang berwenang.

G. Perlindungan Pelapor
Perlindungan pelapor gratifikasi

Dari berbagai jenis korupsi yang diatur dalam undang-undang gratifikasi merupakan suatu
hal yang relatif baru dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi (Muhardiansyah, Zulaih dan
Susilo, 2010, p. iii) sehingga dapat disimpulkan bahwa gratifikasi adalah bentuk korupsi yang
paling baru. Fakta ini selaras dengan pengetahuan masyarakat yang juga masih kecil tentang apa
itu gratifikasi, ruang lingkup, dan contohnya dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih lagi, di dalam
Undang-undang Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi bahwa setiap
gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila
berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Dari pasal
tersebut banyak masyarakat yang bingung membedakan antara suap dan gratifikasi. Pada dasarnya,
perbedaan antara kedua hal ini terletak pada adanya kesepakatan atau meeting of minds. Suap
merupakan tindakan transaksional untuk mencapai keuntungan bersama, sementara gratifikasi
adalah hal yang sifatnya tidak dapat dihindari karena terjadi setelah seseorang melaksanakan
kewajiban atau tugasnya.

Dalam wilayah Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, pedoman pengendalian gratifikasi


telah diatur pada Peraturan Gubernur Nomor 56 Tahun 2017 tentang Pedoman Pengendalian
Gratifikasi di Lingkungan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Prinsip dasar serta batasan
pemberian yang tidak termasuk gratifikasi juga telah disebutkan dalam peraturan tersebut. Untuk
memberantas korupsi jenis ini, perlu adanya kesadaran dari diri pegawai/penyelenggara
negara/pejabat publik lainnya agar melaporkannya ke pihak yang berwenang mengkoordinasikan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yaitu Komisi Pemberantas
Korupsi (KPK).

19 | P a g e
Kita dapat menggolongkan pelaporan dalam memberantas gratifikasi ke dalam dua bentuk.
Pertama, sebagai masyarakat yang melihat dan tidak terlibat langsung atas tindakan gratifikasi atau
dugaan tindakan gratifikasi, maka saksi pelapor dapat melaporkannya melalui Whistle Blowing
System. Kedua, sebagai penerima barang gratifikasi langsung, baik menerima ataupun menolak
objek gratifikasi, dapat menyampaikan tindakan tersebut ke KPK melalui e-mail, datang langsung,
atau Aplikasi Gratifikasi Online (GOL) atau melalui Unit Pengendali Gratifikasi (UPG) yang ada
di wilayahnya. Unit Pengendali Gratifikasi (UPG) merupakan perpanjangan tangan dari KPK agar
mampu menjangkau lebih jauh tindakan korupsi yang mungkin ada di wilayah tertentu.

Menurut data statistik dari situs KPK, sejak 2019 ke 1 Oktober 2021 jumlah pelapor
gratifikasi mengalami penurunan sebesar 43,8%, dari 2.881 menjadi 1.503 pelapor. Hal ini sejalan
dengan Corruption Perception Index Indonesia yang mengalami peningkatan sejak 2019 dari skor
85 menjadi 102 di 2020. Fakta ini menandakan bahwa kasus korupsi di Indonesia semakin
berkurang. Namun, bagaimana jika kabar bahagia ini muncul karena justru masyarakat Indonesia
yang tidak mau atau takut untuk melaporkan tindakan korupsi atau dugaan tindakan korupsi? Maka
dari itu, masyarakat Indonesia perlu membekali diri dengan edukasi hukum yang berlaku di
negaranya.

Pelapor dan saksi pelapor gratifikasi memiliki hak perlindungan hukum. UUD 1945 Pasal
28G ayat 1 yang berbunyi Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman
dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi menjadi dasar hukum tertinggi perlindungan pelapor dan saksi pelapor di
Indonesia.

Kemudian diatur lebih lanjut pada pasal 15 UU KPK yang menyebutkan bahwa KPK
berkewajiban memberi perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan
ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selain itu, hal ini juga telah diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban yang perwujudannya dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan
Saksi Korban (LPSK). Pelapor dan saksi pelapor gratifikasi yang menghadapi potensi ancaman,

20 | P a g e
baik yang bersifat fisik ataupun psikis, termasuk ancaman terhadap karir pelapor dapat
mengajukan permintaan perlindungan kepada KPK atau LPSK.

Pada pasal 17 Pergub Kaltim 56/2017 juga menyebutkan secara jelas bahwa pelapor
gratifikasi berhak mendapat perlindungan hukum, meliputi:

a. Perlindungan dari tindakan balasan atau perlakuan yang bersifat administratif


kepegawaian yang tidak objektif dan merugikan pelapor, namun tidak terbatas pada
penurunan peringkat jabatan, penurunan penilaian kinerja pegawai, usulan pemindahan
tugas/mutasi atau hambatan karir lainnya;
b. Pemindahtugasan/mutasi bagi pelapor dalam hal timbul intimidasi atau ancaman fisik
c. Bantuan hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku di lingkungan Pemprov Kaltim
dan
d. Kerahasiaan identitas.

Sebaliknya, jika:

1. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal
diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya; dan atau

2. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan
kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima
bayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri,
akan dikenakan sanksi sesuai Pasal 12B ayat (2) UU no. 31/1999 jo UU No. 20/2001
pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

21 | P a g e
Maka dari itu, masyarakat tidak perlu ragu lagi untuk melaporkan tindak pidana korupsi
yang ada di sekitarnya agar terwujud pemerintahan yang bebas korupsi. Wana Alamsyah, 2021,
Kinerja Penindakan Kasus Korupsi Tahun 2020 Undang-Undang Dasar 1945 Undang-undang
Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban Peraturan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 56 Tahun
2017 tentang Pedoman Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Pemerintah Provinsi Kalimantan
Timur.

H. Fraud di Bidang Kesehatan


• Korupsi dan Fraud Secara Umum dan Dalam Sektor Kesehatan
Istilah korupsi sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Istilah korupsi kerap
dikaitkan dengan perilaku penyelewengan dana negara oleh aparat negara itu sendiri. Berbeda
dengan korupsi, istilah Fraud belum umum diketahui masyarakat Indonesia. Namun, sejak
program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) digulirkan awal 2014 lalu, istilah Fraud santer
terdengar dan digunakan di sektor kesehatan. Istilah Fraud digunakan juga sektor kesehatan untuk
menggambarkan bahwa perbuatan curang di sektor kesehatan mencakup ketiga bentuk ini.
The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), sebuah organisasi profesional yang
bergerak dibidang pemeriksaan atas kecurangan dan mempunyai tujuan untuk memberantas
kecurangan yang berkedudukan di Amerika Serikat dan telah memiliki cabang di Indonesia,
mengklasifikasikan Fraud (kecurangan) dalam beberapa klasifikasi, dan dikenal dengan istilah
“Fraud Tree” yaitu sistem klasifikasi mengenai hal-hal yang ditimbulkan oleh kecurangan sebagai
berikut:
a. Penyimpangan atas aset (Asset Misappropriation). Asset misappropriation meliputi
penyalahgunaan/ pencurian aset atau harta perusahaan atau pihak lain. Ini merupakan
bentuk Fraud yang paling mudah dideteksi karena sifatnya yang tangible atau dapat
diukur/ dihitung (defined value).
b. Pernyataan palsu atau salah pernyataan (Fraudulent Statement). Fraudulent statement
meliputi tindakan yang dilakukan oleh pejabat atau eksekutif suatu perusahaan atau
instansi pemerintah untuk menutupi kondisi keuangan yang sebenarnya dengan
melakukan rekayasa keuangan (financial engineering) dalam penyajian laporan

22 | P a g e
keuangannya untuk memperoleh keuntungan atau mungkin dapat dianalogikan dengan
istilah window dressing.
c. Korupsi (Corruption). Jenis Fraud ini yang paling sulit dideteksi karena menyangkut
kerja sama dengan pihak lain seperti suap dan korupsi, di mana hal ini merupakan jenis
yang terbanyak terjadi di negara-negara berkembang yang penegakan hukumnya lemah
dan masih kurang kesadaran akan tata kelola yang baik sehingga faktor integritasnya
masih dipertanyakan. Fraud jenis ini sering kali tidak dapat dideteksi karena para pihak
yang bekerja sama menikmati keuntungan (simbiosis mutualisma). Termasuk
didalamnya adalah penyalahgunaan wewenang/konflik kepentingan (conflict of
interest), penyuapan (bribery), penerimaan yang tidak sah/illegal (illegal gratuities),
dan pemerasan secara ekonomi (economic extortion).
Secara umum, Fraud adalah sebuah tindakan kriminal menggunakan metode-
metode yang tidak jujur untuk mengambil keuntungan dari orang lain (Merriam-
Webster Online Dicionary). Secara khusus, Fraud dalam jaminan kesehatan
didefinisikan sebagai sebuah tindakan untuk mencurangi atau mendapat manfaat
program layanan kesehatan dengan cara yang tidak sepantasnya (HIPAA, 1996).
Berdasar Permenkes 36 tahun 2015 tentang Pencegahan Kecurangan (Fraud)
dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN), Fraud dalam jaminan kesehatan adalah tindakan yang dilakukan
dengan sengaja oleh peserta, petugas BPJS kesehatan, pemberi pelayanan kesehatan,
serta penyedia obat dan alat kesehatan untuk mendapat keuntungan finansial dari
program JKN dalam SJSN melalui perbuatan curang yang tidak sesuai ketentuan.

• Penyebab Fraud Layanan Kesehatan


Secara umum, menurut Cressey (1973), terdapat 3 faktor yang pasti muncul bersamaan
ketika seseorang melakukan Fraud. Pertama adalah tekanan yang merupakan faktor pertama yang
memotivasi seseorang melakukan tindak kriminal Fraud. Kedua adalah kesempatan yaitu situasi
yang memungkinkan tindakan kriminal dilakukan. Ketiga adalah rasionalisasi, yaitu pembenaran
atas tindakan kriminal yang dilakukan.
Dalam banyak kasus, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Shahriari (2001), Fraud
dalam layanan kesehatan terjadi karena: (1) tenaga medis bergaji rendah, (2) adanya

23 | P a g e
ketidakseimbangan antara sistem layanan kesehatan dan beban layanan kesehatan, (3) penyedia
layanan tidak memberi insentif yang memadai, (4) kekurangan pasokan peralatan medis, (5)
inefisiensi dalam sistem, (6) kurangnya transparansi dalam fasilitas kesehatan, dan (7) faktor
budaya.
“Ketidaknyamanan” dalam sistem kesehatan menyebabkan berbagai pihak melakukan
upaya “penyelamatan diri” untuk bertahan hidup selama berpartisipasi dalam program JKN.
Dokter maupun rumah sakit dapat melakukan coping strategy sebagai langkah untuk menutupi
kekurangan mereka atau paling tidak memang bertujuan mencari keuntungan meskipun dari
sesuatu yang illegal (Lerberghe et al. 2002). Mekanisme koping ini hadir ketika sistem pengawasan
lemah dan tidak mampu menutupi peluang oknum untuk melakukan Fraud. Oknum tentu akan
terus menerus melakukan kecurangan ini sepanjang mereka masih bisa menikmati keuntungan
dengan kesempatan yang selalu terbuka untuk melakukan kecurangan (Ferrinho et al. 2004).

• Pelaku dan Dampak Fraud Layanan Kesehatan


Banyak aktor yang dapat terlibat dalam terjadinya Fraud layanan kesehatan. Di Indonesia,
aktor-aktor potensial Fraud yang disebut dalam Permenkes No. 36 tahun 2015, adalah peserta,
petugas BPJS Kesehatan, pemberi pelayanan kesehatan, dan/atau penyedia obat dan alat
kesehatan.
Fraud dalam bidang kesehatan terbukti berpotensi menimbulkan kerugian finansial negara
dalam jumlah yang tidak sedikit. Sebagai contoh, pontesi kerugian akibat Fraud di dunia adalah
sebesar 7,29 % dari dana kesehatan yang dikelola tiap tahunnya. Data dari FBI di AS menunjukkan
bahwa potensi kerugian yang mungkin ditimbulkan akibat Fraud layanan kesehatan adalah sebesar
3 – 10% dari dana yang dikelola. Data lain yang bersumber dari penelitian University of
Portsmouth menunjukkan bahwa potensi Fraud di Inggris adalah sebesar 3 – 8 % dari dana yang
dikelola. Fraud juga menimbulkan kerugian sebesar 0,5 – 1 juta dollar Amerika di Afrika Selatan
berdasar data dari Simanga Msane dan Qhubeka Forensic dan Qhubeka Forensic Services
(lembaga investigasi Fraud) (Bulletin WHO, 2011).
Menurut Vian (2002), Fraud akibat penyalahgunaan wewenang dapat mengurangi sumber
daya, menurunkan kualitas, rendahnya keadilan dan efisiensi, meningkatkan biaya, serta
mengurangi efektivitas dan jumlah. Di Indonesia, Fraud berpotensi memperparah ketimpangan
geografis. Ada kemungkinan besar provinsi yang tidak memiliki tenaga dan fasilitas kesehatan

24 | P a g e
yang memadai tidak akan optimal menyerap dana BPJS. Penduduk di daerah sulit di Indonesia
memang tercatat sebagai peserta BPJS namun tidak memiliki akses yang sama terhadap pelayanan.
Bila mereka harus membayar sendiri, maka biaya kesehatan yang harus ditanggung akan sangat
besar. Fraud dalam layanan kesehatan di daerah maju dapat memperparah kondisi ini. Dengan
adanya Fraud, dana BPJS akan tersedot ke daerah-daerah maju dan masyarakat di daerah terpencil
akan semakin sulit mendapat pelayanan kesehatan yang optimal (Trisnantoro, 2014).

• Sistem Anti Fraud Layanan Kesehatan


Saat ini di Indonesia sudah terbit Permenkes No. 36 tahun 2015 tentang Pencegahan
Kecurangan (Fraud) dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN) sebagai dasar hukum pengembangan sistem anti Fraud layanan kesehatan
di Indonesia. Dalam peraturan menteri ini, sudah mencakup kegiatan-kegiatan seperti membangun
kesadaran, pelaporan, deteksi, investigasi, dan pemberian sanksi. Kegiatan-kegiatan ini sesuai
dengan rekomendasi European Comission tahun 2013. Komisi negara-negara eropa ini juga
merekomendasikan bahwa kegiatan anti Fraud harus berjalan sesuai alur seperti skema pada
Gambar 1 berikut:

Implementasi siklus anti Fraud tidak serta merta dapat berjalan mulus. Penelitian Sparrow
(1998) menunjukkan 7 faktor yang membuat kontrol fraud di lingkungan manapun sulit dicegah:

25 | P a g e
(1) fraud hanya terlihat ketika dilakukan deteksi dan seringkali hanya mewakili sebagian kecil dari
kecurangan yang dilakukan; (2) indikator kinerja yang tersedia masih ambigu dan belum jelasnya
apa yang disebut keberhasilan pelaksanaan fraud control plan; (3) upaya kontrol fraud terbentur
data banyak yang harus diolah oleh SDM terbatas; (4) pencegahan fraud bersifat dinamis bukan
satu statis. Sistem pencegahan fraud harus cepat dan mudah beradaptasi dengan model-model
fraud baru; (5) penindakan fraud umumnya bersifat tradisional. Kekuatan ancaman sanksi fraud
baru terlihat dari penangkapan pelaku dan beratnya sanksi dijatuhkan bagi pelaku; (6) pihak
berwenang terlalu percaya diri dengan model kontrol fraud baru. Bila sebuah model terlihat dapat
mengatasi bentuk fraud yang sering muncul, upaya pengembangan model fraud ini tidak akan
optimal; (7) pencegahan fraud seringnya hanya dialamatkan untuk bentuk fraud yang sederhana.

• Kegiatan-Kegiatan dalam Impelementasi Sistem Anti fraud Layanan Kesehatan


Detil kegiatan dalam siklus anti Fraud adalah sebagai berikut:
1. Pembangunan Kesadaran
Pembangunan kesadaran merupakan kunci untuk mencegah terjadinya atau meluasnya
Fraud layanan kesehatan (Bulletin WHO, 2011). Membangun kesadaran tentang potensi Fraud dan
bahayanya di rumah sakit merupakan salah satu upaya pencegahan terjadi atau berkembangnya
Fraud. Dalam Permenkes No. 36/ 2015, pembangunan kesadaran dapat dilakukan oleh dinas
kesehatan kabupaten/ kota dengan pembinaan dan pengawasan dengan melalui program-program
edukasi dan sosialisasi.
2. Pelaporan
Pihak yang mengetahui ada kejadian Fraud hendaknya dapat membuat pelaporan.
Permenkes No. 36/ 2015 mengamanatkan bahwa pelaporan dugaan Fraud minimalnya mencakup
identitas pelapor, nama dan alamat instansi yang diduga melakukan tindakan kecurangan JKN,
serta alasan pelaporan. Laporan disampaikan kepada kepala fasilitas kesehatan maupun dinas
kesehatan kabupaten/ kota.
3. Deteksi
Dalam Permenkes No 36 Tahun 2015 deteksi potensi Fraud dapat dilakukan dengan analisa
data klaim yang dilakukan dengan pendekatan: mencari anomali data, predictive modeling, dan
penemuan kasus. Analisis data klaim dapat dilakukan secara manual dan/atau dengan
memanfaatkan aplikasi verifikasi klinis yang terintegrasi dengan aplikasi INA-CBGs. Dalam

26 | P a g e
melakukan analisis data klaim tim pencegahan kecurangan JKN dapat berkoordinasi dengan
verifikator BPJS Kesehatan atau pihak lain yang diperlukan.
4. Investigasi
Dalam Permenkes No. 36 tahun 2015 disebutkan bahwa investigasi dilakukan oleh tim
investigasi yang ditunjuk oleh oleh Tim Pencegahan Kecurangan JKN dengan melibatkan unsur
pakar, asosiasi rumah sakit/asosiasi fasilitas kesehatan, dan organisasi profesi. Investigasi
dilakukan untuk memastikan adanya dugaan kecurangan JKN, penjelasan mengenai kejadiannya,
dan latar belakang/ alasannya. Pelaporan hasil deteksi dan investigasi dilakukan oleh Tim
Pencegahan Kecurangan JKN dan paling sedikit memuat: ada atau tidaknya kejadian Kecurangan
JKN yang ditemukan; rekomendasi pencegahan berulangnya kejadian serupa di kemudian hari;
dan rekomendasi sanksi administratif bagi pelaku Kecurangan JKN.
5. Pemberian Sanksi/Penindakan
Pemberian sanksi dilakukan untuk menindak pelaku Fraud. Berdasar Permenkes 36 tahun
2015, pihak yang berhak memberikan sanksi adalah Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi,
dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Sanksi yang direkomendasikan dalam Permenkes
adalah sanksi administrasi dalam bentuk: teguran lisan; teguran tertulis; dan/atau perintah
pengembalian kerugian akibat Kecurangan JKN kepada pihak yang dirugikan.
Dalam hal tindakan kecurangan JKN dilakukan oleh pemberi pelayanan, sanksi
administrasi dapat ditambah dengan denda paling banyak sebesar 50% dari jumlah pengembalian
kerugian akibat tindakan kecurangan JKN. Bila tindakan kecurangan JKN dilakukan oleh tenaga
kesehatan, sanksi administrasi dapat diikuti dengan pencabutan surat izin praktek. Selain sanksi
administrasi, kasus Fraud dapat juga dikenakan sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 379 jo Pasal
379a jo Pasal 381 KUHP. Walaupun tidak disebut secara langsung dalam pasal-pasal tersebut,
namun Fraud dalam JKN dikategorikan sebagai penipuan.

27 | P a g e
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Gratifikasi adalah suatu pemberian, imbalan atau hadiah oleh orang yang pernah mendapat
jasa atau keuntungan atau oleh orang yang telah atau sedang berurusan dengan suatu
lembaga publik atau pemerintah dalam misalnya untuk mendapatkan suatu kontrak.
Gratifikasi pada dasarnya adalah “suap yang tertunda” atau sering juga disebut “suap
terselubung”. Pegawai negeri atau penyelenggara negara (Pn/PN) yang terbiasa menerima
gratifikasi terlarang lama kelamaan dapat terjerumus melakukan korupsi bentuk lain,
seperti suap, pemerasan dan korupsi lainnya.
Anti gratifikasi harus mulai dilakukan dari diri sendiri, di mulai dari sekarang agar menjadi
kebiasaan, sehingga lama kelamaan akan menjadi budaya bagi instansi pemerintah,
masyarakat dan negara.
Budaya anti gratifikasi harus terus digaungkan pada setiap instansi pemerintah, agar dapat
terwujud birokrasi yang bersih dan bebas dari korupsi.
Fakta moral yang mesti menjadi perhatian dalam penyusunan peraturan tentang gratifikasi
adalah rendahnya moralitas pejabat publik. Pengaturan gratifikasi, harus berangkat dari
pertanyaan: bagaimana mengatur pejabat publik yang hanya memiliki modal moral
rendah? Sudah umum diketahui, di Indonesia ada kecenderungan bahwa tiap orang yang
mem punyai jabatan politik, atau, lebih khusus lagi, jabatan publik sebagai penyelenggara
negara, merasa perlu menegaskan statusnya yang baru.
Peran masyarakat dalam memberantas gratifikasi kepada para pegawai negeri dapat
dilakukan melalui penanaman pemahaman terhadap dampak, akibat serta risiko yang harus
dihadapi jika melakukan gratifikasi bahkan bahaya gratifikasi bagi diri sendiri, keluarga,
masyarakat, bangsa, dan negara. Dampak dari gratifikasi bisa diajarkan sejak dini pada
waktu masih mengenyam pendidikan sekolah dasar, sampai pada pendidikan perguruan
tinggi.

28 | P a g e
B. SARAN
Berdasarkan pada kesimpulan di atas, maka dari itu penulis memberikan saran agar :
1. Bagi pemerintah hendaknya lebih bersifat tegas dalam penegakan hukum terhadap gratifikasi,
dari segi penjatuhan sanksi yang di rasa kurang menimbulkan efek jera bagi pejabat Negara, dari
segi peraturan lebih di perinci lagi mengenai nominal pemberian yang berupa uang, berapa
nominal yang di anggap sudah memenuhi kriteria dalam pemberian gratifikasi, dan
mensosialisasikan gratifikasi ini kepada masyarakat agar masyarakat lebih memahami
pemberian yang dilarang untuk diberikan kepada pejabat Negara.
2. Kepada pejabat Negara (pegawai negeri sipil dan penyelenggara Negara) hendaknya lebih
bersikap terbuka dan jujur terhadap penerimaan yang di terima di luar kewenangannya,
bersikap kooperatif dengan aparat penegak hukum terkhusus KPK, untuk melaporkan atas
segala penerimaan gratifikasi yang di terimanya.
3. Bagi masyarakat untuk lebih bersikap bijaksana dalam bertindak, bekerjasama dengan aparat
penegak hukum untuk melawan perbuatan gratifikasi, serta menjahui tindakan pemberian yang
tidak seharusnya dan sepatutnya diberikan kepada pejabat Negara.

29 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

Manoppo, Reinnheart. "Peran Penegak Hukum dan Masyarakat dalam Memberantas Gratifikasi
Kepada Pegawai Negeri." Lex Crimen 4.3 (2015).

Manoppo, Reinnheart. "Peran Penegak Hukum dan Masyarakat dalam Memberantas Gratifikasi
Kepada Pegawai Negeri." Lex Crimen 4.3 (2015).

Mudrika Jaya Rapi, Kepala Seksi HI KPKNL Mamuju "Tips Ampuh Terhindar dari Godaan
Gratifikasi".

https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-mamuju/baca-artikel/13641/Delapan-Tips-Ampuh-
Terhidar-Dari-Godaan-Gratifikasi.html

https://acch.kpk.go.id/en/artikel/paper/48-riset-publik/672-korupsi-dalam-pelayanan-kesehatan-
di-era-jaminan-kesehatan-nasional-kajian-besarnya-potensi-dan-sistem-pengendalian-fraud

Wagino. (2021). Membangun budaya anti gratifikasi. Diakses dari


https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-ternate/baca-artikel/14486/Membangun-Budaya-Anti-
Gratifikasi.html

30 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai