Anda di halaman 1dari 16

TEKNOLOGI HASIL TERNAK:

PENGARUH SUBSTITUSI BAHAN TAMBAHAN DENGAN


PERLAKUAN PENGAWETAN YANG BERBEDA TERHADAP
KUALITAS ORGANOLEPTIK PADA BAKSO

Kelompok 1
Kelas D
Disusun Oleh:
Diandari Meliana Setianingsih 205050100111008
Za’im Jundi Muhammad 205050100111026
Aninda Athaya Thufaila Syahada 205050100111034
Fauzan Augusta Utomo 205050100111035
Siti Nur Asiah Putri 205050100111044
Gust Rizky Ananda Nasution 205050100111066
Nirmas Ardi Saputra 205050100111070
Muhammad Riza Fauzy Rukmana 205050100111085

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2022

1
DAFTAR ISI
COVER ..................................................................................................................................... 1
DAFTAR ISI............................................................................................................................ 2
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 3
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 3
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................... 3
1.3 Tujuan ....................................................................................................................... 4
1.4 Manfaat .................................................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................. 5
2.1 Bakso......................................................................................................................... 5
2.2 Pengawetan .............................................................................................................. 5
A. Pengawetan Bakso menggunakan Edible Coating................................................ 5
B. Pengawetan Bakso Menggunakan asap cair......................................................... 6
C. Pengawetan Bakso Menggunakan Ekstrak Daun Salam .................................... 6
2.3 Uji Organoleptik Bakso............................................................................................. 6
BAB III PEMBAHASAN ....................................................................................................... 7
3.1 Bakso......................................................................................................................... 7
3.2 Pengawetan .............................................................................................................. 8
3.3 Uji Organoleptik ....................................................................................................... 9
A. Pengaruh perlakuan pengawetan edible coating terhadap kualitas
organoleptik bakso ........................................................................................................ 11
B. Pengaruh perlakuan pengawetan asap cair terhadap kualitas organoleptik
bakso............................................................................................................................... 11
C. Pengaruh perlakuan pengawetan ekstrak daun salam terhadap kualitas
organoleptik bakso ........................................................................................................ 11
BAB IV PENUTUP ............................................................................................................... 13
4.1 Kesimpulan ............................................................................................................. 13
4.2 Saran ....................................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 14
DOKUMENTASI DISKUSI ................................................................................................ 16

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bakso merupakan salah satu olahan daging secara tradisional, yang
sangat terkenal dan digemari oleh semua lapisan masyarakat, karena memiliki
rasa yang khas, enak, dan kaya gizi. Bakso adalah produk pangan yang terbuat
dari bahan utama daging yang dilumatkan, dicampur dengan bahan lain,
dibentuk bulatan, dan selanjutnya direbus. Istilah bakso, biasanya diikuti
dengan nama jenis daging yang digunakan sebagai bahan baku utamanya,
seperti bakso sapi, bakso ayam, dan bakso ikan. Bahan baku pembuatan bakso
dapat berasal dari berbagai daging jenis ternak, antara lain, sapi, babi, ayam dan
ikan. Bakso memiliki kandungan protein dan kadar air tinggi serta pH netral,
sehingga rentan terhadap kerusakan dan daya awet maksimal 1 hari pada suhu
kamar.
Bahan baku bakso dapat berasal dari berbagai daging jenis ternak,
seperti: sapi, babi, ayam dan ikan. Syarat mutu bakso daging menurut SNI 01-
3818- 1995 adalah kadar air maksimal 70%, abu maksimal 3%, protein minimal
9% dan lemak minimal 2 %, sehingga bakso mengandung nutrisi cukup tinggi.
Bahan baku pembuatan bakso pada umumnya terdiri dari bahan baku utama
dan bahan baku tambahan. Bahan pengisi yang ditambahkan pada bakso ikan
yaitu tepung tapioka, garam, bumbu-bumbu, dan es. Fungsi bahan pengisi
adalah memperbaiki sifat emulsi, mereduksi penyusutan selama pemasakan,
memperbaiki sifat fisik dan citarasa, serta menurunkan biaya produksi. Bumbu-
bumbu yang umumnya digunakan dalam pembuatan bakso ikan adalah bawang
merah, bawang putih, garam dan merica. Bawang merah dan
bawang putih berfungsi sebagai antioksidan.

1.2 Rumusan Masalah


• Bagaimana kualitas organoleptik bakso yang diberi pengawet berbahan
edible coating?
• Bagaimana kualitas organoleptik bakso yang diberi pengawet berbahan
asap cair?
• Bagaimana kualitas organoleptik bakso yang diberi pengawet berbahan
ekstrak daun salam?

3
1.3 Tujuan
• Mengetahui kualitas organoleptik bakso yang diberi pengawet berbahan
edible coating
• Mengetahui kualitas organoleptik bakso yang diberi pengawet berbahan
asap cair
• Mengetahui kualitas organoleptik bakso yang diberi pengawet berbahan
ekstrak daun salam

1.4 Manfaat
• Diharapkan agar kita semua dapat mengetahui dan memahami apa saja
kandungan yang terdapat didalam bakso.
• Memberikan informasi terkait penggunaan bahan tambahan untuk
pengawetan yang berbeda didalam bakso itu berpengaruh atau. tidak
dengan organoleptic yang ada didalamnya

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bakso
Olahan daging yang sudah lama dikenal dan sangat digemari
masyarakat Indonesia adalah bakso. Bakso merupakan produk olahan daging
yang dihaluskan terlebih dahulu setelah itu dicampur dengan bumbu, tepung,
dan kemudian dibentuk sesuai selera lalu direbus dalam air panas. (Siska dkk.,
2013)
Kualitas bakso ditentukan oleh kualitas bahan mentah yang digunakan
dan cara pemasakan. Produk olahan daging seperti bakso telah banyak dikenal
oleh seluruh lapisan masyarakat. Secara teknis pengolahan bakso cukup mudah
dan dapat dilakukan oleh siapa saja. Bila ditinjau dari upaya kecukupan gizi
masyarakat, bakso dapat dijadikan sebagai sarana yang tepat, karena produk ini
bernilai gizi tinggi dan disukai oleh semua lapisan masyarakat (Widyaningsih
dan Murtini, 2006) melalui Mahbub dkk. 2012
2.2 Pengawetan
Bakso merupakan perishable food yang mudah terkontaminasi oleh
mikroba saat proses penyimpanan. Bakso yang tidak menggunakan bahan
pengawet memiliki masa simpan maksimal satu hari pada suhu kamar dan dua
hari pada suhu dingin. Menurut Damiyati (2007) bakso merupakan bahan
pangan yang mudah rusak karena bakso memiliki kandungan protein dan kadar
air yang tinggi serta memiliki pH netral. (Mahbub dkk., 2012)
A. Pengawetan Bakso menggunakan Edible Coating
Salah satu cara penggunaan karaginan sebagai bahan pengawet adalah
dengan pembuatan edible coating karaginan. Menurut Kenawi et al. (2011)
edible coating dari kemasan biodegradabel adalah teknologi baru yang
diperkenalkan dalam pengolahan pangan yang untuk memperlama masa
simpan. Metode penggunaan edibe coating yakni dengan cara pencelupan (dip
application). Metode pencelupan memiliki beberapa keuntungan dan kerugian
seperti pendapat Anonim (2010) bahwa pencelupan (dip application)
mempunyai keuntungan antara lain ketebalan materi coating yang lebih besar
serta memudahkan pembuatan dan pengaturan viskositas larutan. Kerugiannya
adalah munculnya deposit kotoran dari larutan. (Mahbub dkk., 2012)

5
B. Pengawetan Bakso Menggunakan asap cair
Hasil penelitian Arnim et al. (2012) dalam Suminar dkk. (2015)
menunjukkan bahwa asap cair dapat digunakan sebagai salah satu bahan
pengawet bakso. Masa simpan bakso tersebut dapat ditingkatkan hingga 15
hari pada suhu 4 ± 1°C dengan menggunakan asap cair pada konsentrasi 7%.

C. Pengawetan Bakso Menggunakan Ekstrak Daun Salam


Penambahan ekstrak daun salam pada produk makanan dapat
memperpanjang masa simpan karena memiliki daya penghambat aktivitas
antibakteri (Yulianti dan Cakrawati, 2017).

2.3 Uji Organoleptik Bakso


Uji Organoleptik atau biasa disebut uji indera atau uji sensori
merupakan cara pengujian dengan menggunakan indera manusia sebagai
alat utama untuk pengukuran daya penerimaan terhadap produk.
Pengujian organoleptik mempunyai peranan penting dalam penerapan
mutu. Pengujian organoleptik dapat memberikan indikasi kebusukan,
kemunduran mutu dan kerusakan lainnya dari produk (Wahyuningtias, 2010).
Warna bakso sangat dipengaruhi oleh warna daging yang berhubungan
dengan kandungan mioglobin pada daging (Lawrie, 2003). Nilai warna bakso
daging sapi yang disubstitusi daging domba tidak berbeda nyata secara hedonik.
Hal ini diduga karena kandungan mioglobin daging sapi dan domba hampir
sama dikarenakan sama-sama daging merah (ruminansia). (Aaf dkk., 2020)
Penambahan jumlah daun kelor berpengaruh terhadap warna bakso
karena daun kelor mengandung klorofil. Menurut Muchtadi,dkk (2011) sayuran
hijau banyak mengandung pigmen klorofil, biasanya terdapat pada daun dan
permukaan batang tanaman. (Shofia, 2016).

6
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Bakso
Bakso merupakan salah satu produk olahan daging yang banyak
dikonsumsi di Indonesia dan dianggap sebagai makanan yang ekonomis oleh
kebanyakan masyarakat Indonesia (Arief et al., 2012). Menurut Siska (2013)
Bakso merupakan produk olahan daging yang dihaluskan terlebih dahulu
setelah itu dicampur dengan bumbu, tepung, dan kemudian dibentuk sesuai
selera lalu direbus dalam air panas. Hal ini sesuai dengan Kusnadi (2012)
menyatakan bahwa bakso merupakan salah satu produk olahan hasil ternak
yang bergizi tinggi dan banyak digemari masyarakat. Produk olahan bakso pada
umumnya menggunakan bahan baku daging dan tepung. Daging ternak yang
biasa digunakan untuk pembuatan bakso umumnya adalah daging sapi dan
dapat juga dengan menggunakan ternak yang lain seperti daging ayam, kelinci
dan ikan.

Menurut Widyaningsih (2006) dalam Mahbub (2012) menyatakan


bahwa kualitas bakso ditentukan oleh kualitas bahan mentah yang digunakan
dan cara pemasakan. Hal ini sesuai dengan Astati (2013) menyatakan bahwa
kualitas bakso sangat dipengaruhi oleh bahan penyusunnya, seperti kualitas
daging. Kualitas daging yang digunakan untuk membuat bakso harus baik,
artinya daging yang akan diolah harus dalam keadaan segar. Semakin segar
kondisi daging, maka akan semakin bagus pula mutu bakso yang dihasilkan.
Namun, apabila daging yang akan diolah tidak dalam kondisi segar maka mutu
baksonya pun akan semakin jelek. Daging dengan kandungan lemak yang tinggi
akan menghasilkan tekstur bakso yang kasar (Pamungkas, 2014). Selain
kualitas daging, faktor lain yang dapat mempengaruhi kualitas bakso adalah
bahan mentah, tepung yang digunakan, bahan-bahan tambahan dan
perbandingan adonan serta cara pemasakan (Untoro dkk., 2012).

Tepung memiliki peran penting dalam memperbaiki tekstur bakso,


meningkatkan daya ikat air, mengurangi penyusutan akibat pemasakan, dan
peningkatan tingkat elastisitas produk (Montolulu et al. 2013). Pemilihan jenis
tepung yang digunakan untuk membuat bakso juga termasuk salah satu faktor
yang dapat mempengaruhi kualitas bakso. Biasanya pada proses pembuatan
bakso menggunakan tepung tapioka atau tepung terigu biasa. Penggunaan

7
tepung tapioka pada bakso bertujuan untuk menghasilkan tekstur bakso yang
kenyal, sedangkan penggunaan tepung terigu bertujuan untuk membantu
meningkatkan volume bakso sehingga dapat menghasilkan tekstur bakso yang
kenyal dan padat. Perbandingan adonan juga menjadi faktor penentu
keberhasilan dalam pembuatan bakso. Apabila perbandingan adonan tidak
sesuai dengan ketentuan, maka bakso yang dihasilkan pun juga akan tidak baik.

3.2 Pengawetan
Pengawetan pangan merupakan suatu proses yang ditujukan untuk
mencegah terjadinya perubahan-perubahan yang tidak diinginkan pada produk
pangan sehingga memiliki daya simpan yang lebih lama. Perubahan-perubahan
yang tidak diinginkan yaitu menurunnya nilai gizi dan mutu sensori pada
produk pangan. Oleh karena itu, diperlukan suatu proses pengawetan dengan
cara mengontrol pertumbuhan mikroorganisme dan mengurangi terjadinya
perubahan-perubahan kimia, fisik, dan fisiologis pada produk pangan. Salah
satu produk pangan yang mudah mengalami kerusakan adalah bakso. Daging
bakso memiliki kandungan gizi, nilai pH, serta kadar air yang tinggi sehingga
menyebabkan produk bakso memiliki masa simpan yang relatif singkat. Hal
tersebut sesuai dengan Mahbub dkk. (2012) yang menyatakan bahwa bakso
merupakan perishable food yang mudah terkontaminasi oleh mikroba saat
proses penyimpanan. Bakso yang tidak menggunakan bahan pengawet
memiliki masa simpan maksimal satu hari pada suhu kamar dan dua hari pada
suhu dingin.
Edible coating merupakan suatu lapisan tipis yang dibuat dari bahan
yang dapat dimakan (edible) dan dibentuk untuk melapisi produk pangan yang
memiliki fungsi untuk melindungi produk segar dan dapat memberikan efek
yang sama dengan Modified Atmosphere Packaging (MAP) dengan
menyesuaikan komposisi gas internal. Menurut Kenawi (2011) edible coating
dari kemasan biodegradable adalah teknologi baru yang diperkenalkan dalam
pengolahan pangan yang untuk memperlama masa simpan. Hal ini sesuai
dengan Firmansyah (2020) yang menyatakan bahwa salah satu cara untuk
memperpanjang masa simpan bakso dengan cara yang aman adalah dengan
menggunakan edible coating. Contohnya adalah substitusi edible coating
menggunakan agar-agar dengan penambahan ekstrak jahe sebagai antimikroba
sehingga dapat mempertahankan masa simpan bakso pada suhu ruang maupun
suhu dingin.

8
Adapun metode pengawetan lainnya dengan menggunkan metode Asap
cair, Asap cair adalah hasil pirolisis bahan berkayu, yaitu bahan yang
mengandung selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Suhu pirolisis dapat ber- kisar
dari 450°C sampai 750°C dan memberikan komposisi kimia senyawa organik
yang berbeda- beda (Wijaya et al., 2008), meliputi senyawa golongan alkohol,
fenol, aldehida, karbonil, dan keton (Achmadi et al., 2013). Dari identifikasi
dan uji keamaman, dengan LD50 lebih dari 15000 mg/kg bobot mencit, asap
cair tempurung kelapa aman untuk digunakan dalam produk pangan (Budijanto
et al., 2008). Namun, fraksi tar dalam asap cair dapat juga mengandung
senyawa hidrokarbon aromatik polisiklik (polycyclic aromatic hydrocarbons,
PAH) dan residu tar yang bersifat karsinogenik, sebagai- mana sudah diketahui
secara umum untuk produk berlignin yang dibakar. Oleh sebab itu, asap cair
kasar perlu dimurnikan guna menghilangkan atau meminimumkan komponen-
komponen yang bersifat karsinogenik tersebut. Dalam eksperimennya,
Darmadji dan Triyudiana (2006) menyimpulkan bahwa selain sedimentasi,
redistilasi ulang di bawah suhu 100°C dapat menghilangkan benzopirena.
Redistilasi asap cair pada suhu 80°C menghasilkan senyawa-senyawa asam
karboksilat dan fenolik yang dapat berperan sebagai antibakteri dalam
pengawetan ikan (Achmadi et al., 2013).
Suhu yang digunakan pada saat redistilasi akan memengaruhi
kandungan senyawa fenol dan asam-asam organik lainnya. Oleh sebab itu, perlu
ditemukan kondisi suhu pemurnian terbaik di bawah 100°C yang aman untuk
digunakan sebagai bahan pengawet pangan. Dalam percobaan ini ditentukan
kondisi redistilasi terbaik untuk menghambat per- tumbuhan mikroba pada
bakso sapi.
3.3 Uji Organoleptik
Syarat mutu bakso yang baik berdasarkan SNI, yaitu bau bakso yang
normal atau bau khas dari daging yang digunakan, rasa yang gurih, warna yang
normal (keabu-abuan), teksturnya kenyal, dan tidak mengandung bahan
tambahan makanan yang berbahaya. Uji organoleptik merupakan cara
pengujian dengan menggunakan indera manusia sebagai alat utama untuk
mengukur kualitas sebuah produk. Uji organoleptik memiliki relevansi yang
tinggi dengan kualitas produk karena berhubungan langsung dengan selera
konsumen. Selain itu, cara ini juga cukup gampang dan cepat untuk dilakukan,
hasil pengukuran dan pengamatannya juga cepat diperoleh. Dengan demikian,
uji organoleptik bisa menolong analisis usaha untuk meningkatkan produksi
atau pemasaran produk bakso. Menurut Aaf (2020) Nilai warna bakso daging
sapi yang disubstitusi daging domba tidak berbeda nyata secara hedonik. Hal

9
ini diduga karena kandungan mioglobin daging sapi dan domba hampir sama
dikarenakan sama-sama daging merah (ruminansia). Hal ini sesuai dengan Putri
(2009) dalam Purwanto (2015) yang menyatakan bahwa perubahan warna
tersebut akibat dari jumlah pigmen mioglobin yang teroksidasi menjadi
metmyoglobin dan polimerisasi protein.
Hasil anava ganda jumlah daun kelor terhadap warna berpengaruh nyata
terhadap organoleptic bakso, Hasil uji Duncan warna bakso dengan
penambahan daun kelor 5 g berada pada kolom 1 dengan nilai 2,014 Berbeda
nyata dengan penambahan 10 g dan 15 g dengan nilai 2,700 dan 2,814 yang
berada pada kolom 2 menghasilkan warna yang sama yaitu warna hijau karena
terletak pada kolom yang sama. Hasil uji Duncan penambahan 5 g berwarna
hijau lebih muda di bandingkan dengan penambahan 10 g dan 15 g.
Penambahan jumlah daun kelor berpengaruh terhadap warna bakso karena daun
kelor mengandung klorofil. Menurut Muchtadi,dkk (2011) dalam Shofia Ulfa
(2016) sayuran hijau banyak mengandung pigmenklorofil. Sedangkan hasil
penelitian pada aroma bakso yaitu, aroma bakso disebabkan daun kelor
mengandung enzim lipoksidasea. Menurut Fellow (1990) daun kelor memiliki
minyak atsiri dan enzim lipoksisase yang menyebabkan aroma langu.
Sedangkan pada uji tekstur menunjukkan bahwa Penambahan daun
kelor 5 g berada pada kolom 2 dengan nilai 3,000 menghasilkan bakso
bertekstur cukup kompak, kurang terlihat serat bakso daun kelor. Hasil uji
Duncan penambahan 5 g menghasilkan tekstur lebih kompak dibanding dengan
penambahan 10 dan 15 g. Hal ini sesuai dengan pernyataan Soeparno (2005)
dalam Shofia Ulfa (2016), yang menyebutkan bahwa daya ikat air dapat
mempengaruhi tekstur, kekenyalan, warna, kesan jus, dan keempukan. Bila air
yang digunakan terlalu banyak maka keempukannya juga meningkat. Kenaikan
kadar air bakso disebabkan karena adanya tapioka yang mampu menyerap air.
Selain itu menurut Deman (1997) protein daging denaturasi pada rentang suhu
57-75˚C dan mempunyai pengaruh yang kuat terhadap tekstur, kemampuan
menahan air, dan pengerutan. Jumlah daun kelor mempengaruhi tekstur bakso,
semakin banyak jumlah daun kelor maka teksturnya semakin tidak kompak atau
rapuh dan dan terlihat serat bakso daun kelornya. Menurut Barcey dalam
krisnadi (2013) daun kelor memiliki kandungan serat 5 kali lebih banyak
dibanding sayur pada umumnya yang menyebabkan tekstur bakso lebih rapuh.
Penelitian dilanjutkan dengan memproduksi 12 bakso, dimana bakso
kontrol (A1B1) adalahdiolah terlebih dahulu untuk menentukan suhu perebusan
awal untuk pembentukan kulit bakso terbaik (Suarti et al.2016). Daging
dicairkan dengan cepat (Diana 2018), dan dibentuk menjadi bulatan dengan
berat yang ditetapkan 20 gram (Chakim et al. 2013). Pada suhu 65°C diperoleh

10
kulit bakso terbaik. Sampelnya lebih juicy dibandingkan dengan sampel lain
diperlakukan dengan perlakuan suhu didih awal 75 ° C dan 85 ° C yang lebih
keras tekstur.

A. Pengaruh perlakuan pengawetan edible coating terhadap kualitas


organoleptik bakso
Kualitas organoleptik bakso tetap terjaga, hal ini berdasarkan Mahbub,
dkk. (2012) penggunaan edible coating karaginan dengan konsentrasi yang
berbeda berpengaruh terhadap tekstur, warna dan kekenyalan bakso sapi selama
penyimpanan. Tekstur, warna dan kekenyalan yang paling optimal diperoleh
pada perlakuan edible coating karaginan dengan konsentrasi 1%. Metode
pemberian edible coating karaginan dengan konsentrasi 1% dapat diterapkan
karena dapat menjaga kualitas bakso sapi dilihat dari tekstur, warna dan
kekenyalan. Pada penilaian organoleptic terhadap warna, bakso yang diberi
coating dengan berbagai konsentrasi memberikan kesan pelapisan tidak terlalu
tipis dan tidak terlalu tebal serta memberikan kesan mengkilat dan terlihat lebih
cerah dan kesan pelapisan tidak terlalu mencolok dengan adanya penambahan
antimikroba seperti ekstrak jahe yang berwarna kuning keemasan.

B. Pengaruh perlakuan pengawetan asap cair terhadap kualitas


organoleptik bakso
Redistilat asap cair cangkang kelapa sawit memiliki warna yang
lebih jernih, bau yang khas, dan mudah menguap. Masa simpan bakso
menggunakan redistilat asap cair lebih panjang dibandingkan dengan kontrol,
yaitu dapat bertahan hingga 18 jam pada suhu ruang dibandingkan kontrol
yang hanya dapat bertahan kurang dari 12 jam. Asap cair dapat digunakan
untuk memberikan rasa, aroma, dan tekstur pada produk pangan

C. Pengaruh perlakuan pengawetan ekstrak daun salam terhadap kualitas


organoleptik bakso
Berdasarkan hasil penelitian Yulianti dan Cakrawati (2017)
Penambahan ekstrak daun salam terhadap menurunkan nilai kesukaan warna
bakso selama penyimpanan. Bakso dengan penambahan ekstrak daun salam
memiliki warna putih keabuan yang berubah menjadi kuning seiring lama
waktu penyimpanan. Pada rasa, penyimpanan bakso selama 6 hari di suhu ruang
menyebabkan terjadinya penurunan nilai kesukaan terhadap rasa bakso.
Kemudian pada aroma, Semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun salam yang
ditambahkan, semakin rendah nilai aroma bakso

11
Hasil analisis organoleptik, TPC dan kadar air menunjukan bahwa
penambahan konsentrasi ekstrak daun salam 1 dan 2% merupakan konsentrasi
yang optimal untuk memperpanjang masa simpan bakso pada suhu ruang (27
oC) sampai hari ke-2

12
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
• Bakso merupakan produk olahan daging
• Pengawetan pangan mencegah terjadinya perubahan-perubahan yang tidak
diinginkan pada produk pangan sehingga memiliki daya simpan yang lebih
lama
• Pengawetan bakso dengan perlakuan edible coating dapat menjaga kualitas
organoleptik bakso dan memperpanjang umur simpan
• Pengawetan bakso dengan perlakuan asap cair cangkang kelapa sawit
berpengaruh pada kualitas organoleptik bakso dan memperpanjang umur
simpan
• Pengawetan bakso dengan perlakuan ekstrak daun salam dapat mempengaruhi
kualitas organoleptik bakso, namun dapat memperpanjang umur simpan

4.2 Saran
Diadakan penelitian mengenai perlakuan pengawetan mana yang paling
optimal terhadap bakso dengan tetap terjaganya kualitas organoleptik

13
DAFTAR PUSTAKA
Aaf Falahudin, R. S. (2020). Uji Organoleptik Bakso Berbahan Baku Daging Sapi.
AGRIVET, 8(1), 33-37.
Achmadi, S. S., H. D. Kusumaningrum., dan I. Anggara. Redistilat Asap Cair
Cangkang Kelapa Sawit Sebagai Bahan Pengawet Bakso Sapi. J. Teknol.
dan Industri Pangan. 26 (1): 1-8
Arief, I. I., B. S. L. Jenie, T. Suryati, G. Ayuningtyas, and A. Fuziawan. 2012.
Antimicrobial Activity of Bacteriocin From Indigenous Lactobacillus
plantarum 2C12 and Its Application on Beef Meatball as Biopreservative.
Journal of the Indonesian Tropical Animal Agriculture. 37(2): 90-96.
Astati. 2013. Tingkat perubahan kualitas bakso daging sapi bali bagian sandurng lamur
(Pectoralis profundus) selama penyimpaan dengan pemberian asap cair.
Jurnal Teknosains. 7(1): 10-19.
Falahudin, A., R. Somanjaya., dan T. Rustandi (2020) Uji Organoleprik Bakso
Berbahan Baku Daging Sapi yang Sidubtitusi Daging Domba. Agrivet. 8
(1): 33-37
Firmansyah, M. (2020). Aplikasi Edible Coating Pada Bakso Ayam. EDUFORTECH,
5(2), 128-136.
Kenawi, M.A., M. M. A. Zaghlul and R. R. Abdel-Salam. 2011. Effect of two natural
antioxidants in combination with edible packaging on stability of low fat
beef product stored under frozen condition. Biotechnology in Animal
Husbandry 27 (3): 345-356.
Kusnadi, D. C., V. P. Bintoro, dan A. N. Al-Baari. 2012. Daya Ikat Air, Tingkat
Kekenyalan dan Kadar Protein Pada Bakso Kombinasi Daging Sapid an
Daging Kelinci. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. 1(2): 28-31.
Mahbub, M. A., Y. B. Pramono., dan S. Mulyani. 2012. Pengaruh Edible Coating
Dengan Konsentrasi Berbeda Terhadap Tekstur, Warna, dan Kekenyalan
Bakso Sapi. Animal Agricultural Jurnal. 1 (2): 177-185.
Montolalu, S., N. Lontaan., S. Sakul., dan A. Dp. Mirah (2013) Sifat Fisiko-Kimia dan
Mutu Organoleptik Bakso Broiler Dengan Menggunakan Tepung Ubi Jalar
(Ipomoea batatas L). Jurnal Zootek. 32 (5): 1-13
Pamungkas M. C., B.D. Prabowo, I. Maflahah. 2014. Pengukuran preferensi konsumen
bakso. Agrointek. 8(1): 32-39.
Purwanto, A., A. Ali., dan N. Herawati. 2015. Kajian Mutu Gizi Bakso Berbasis
Daging Sapi dan Jamur Merang (Volvariella volvacea). Jurnal Teknologi
Pertanian. 14 (2) : 1-8.
Sari, Dhita., J, Hermanto., and N. Edhi Suyatma. 2021. Beef Substitution with Soy
Protein Isolate and the effect on Quality and Meatball Cost.

14
International Journal of Multicultural and Multireligious Understanding.
8(5): 519-526.
Ulfa, S., dan R. Ismawati. (2016) Pengaruh Penambahan Jumlah dan Perlakuan Awal
Daun Kelor (Moringa oleifera) Terhadap Sifat Organleptk Bakso. E-
Journal Boga. 5 (3): 83-90.
Untoro, N. S., Kusrahayu, dan B. E. Setiani. 2012. Kadar Air, Kekenyalan, Kadar
Lemak, dan Cita Rasa Bakso Daging Sapi Dengan Penambahan Ikan
Bandeng Presto (Channos Channos Forsk). Animal Agriculture Journal.
1(1): 567-583.
Wahyuningtias, D. (2010). Uji organoleptik hasil jadi kue menggunakan bahan non
instant dan instant. Binus Business Review, 1(1), 116-125.
Yulianti, T., & Cakrawati, D. (2017). Pengaruh Penambahan Ekstrak Daun Salam
Terhadap Umur Simpan Bakso. Agrointek: Jurnal Teknologi Industri
Pertanian, 11(2): 37-44.

15
DOKUMENTASI DISKUSI

16

Anda mungkin juga menyukai