Anda di halaman 1dari 37

KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN

ORGANOLEPTIK SOSIS BELUT AKIBAT


PERBEDAAN RASIO DAGING BELUT DAN
TEPUNG TAPIOKA

PROPOSAL PENELITIAN

Diajukan sebagai persyaratan dalam mencapai


Gelar Sarjana S-1 Program Studi Teknologi Hasil Pertanian

Disusun oleh:
Wiwid Widyanti
D.111.17.0067

PROGRAM STUDI S-1 TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS SEMARANG
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Skripsi : Karakteristik Fisikokimia Dan Organoleptik Sosis Belut Akibat

Perbedaan Daging Belut dan Tepung Tapioka

Nama : Wiwid Widyanti

Nim : D.111.17.0067

Program Studi : S – 1 Teknologi Hasil Pertanian

Lulus :

Mengetahui,

Pembimbing utama, Pembimbing anggota

................................... .......................................

Dekan Ketua Jurusan

Fakultas Teknologi Pertanian Teknologi Hasil Pertanian,

Dr. Ir. Haslina, M.Si Ir. Sri Haryati, M.Si


NIS.06557002101009 NIS. 06557002101014

i
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................3
C. Tujuan Penelitian............................................................................................3
D. Manfaat Penelitian..........................................................................................3
E. Hipotesis...........................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................5
A. Daging Belut....................................................................................................5
B. Sosis..................................................................................................................6
C. Tepung Tapioka............................................................................................14
D. Angkak...........................................................................................................15
E. Analisis Sifat Kimia......................................................................................18
F. Analisis Sifat Fisik........................................................................................19
G. Uji Organoleptik.......................................................................................20
BAB III METODE PENELITIAN....................................................................22
A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan................................................................22
B. Rancangan Percobaan..................................................................................23
C. Prosedur Penelitian......................................................................................24
D. Perubah Pengamatan...................................................................................26
F. Analisis Data..................................................................................................30

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Belut memiliki kandungan gizi yang lengkap diantaranya, 303

kkal/100gr yang lebih tinggi dibandingkan daging sapi dan telur. Belut

kaya akan protein, lemak, vitamin A, fosfor, zat besi, omega 3 dan

kalsium. Kalsium pada daging belut cukup tinggi dibandingkan dengan

daging sapi yaitu, 20mg/100gr sedangkan daging sapi hanya 11mg/100gr.

(Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 1989).

Untuk memperpanjang umur simpan belut perlu dilakukan proses

pengolahan. Salah satu proses pengolahan yang dapat dilakukan adalah

dengan cara dibuat sosis.

Sosis adalah bahan pangan yang berasal dari potongan kecil daging

yang digiling dan diberi bumbu, dapat langsung disiapkan dan segera

dimasak untuk dimakan. Sosis atau sausage berasal dari kata salsus yang

berarti menggiling dengan garam (Buckle et al.). Sosis merupakan produk

pengolahan pangan. Daging digiling dan dihaluskan, dicampur bumbu-

bumbu kemudian diaduk hingga tercampur rata dan dimasukan kedalam

selongsong (Winarno, 1990).

Tepung tapioka diperoleh dari hasil ekstraksi umbi ketela pohon

(Manihot utilissima) yang umumnya terdiri dari tahap pengupasan,

pencucian, pemarutan, pemerasan, penyaringan, pengendapan,

1
pengeringan dan penggilingan. Penggunaan tepung tapioka dalam

pembuatan sosis sebagai bahan pengisi yang diharapkan dapat

meningkatkan kekuatan dan elastisitas sosis yang dihasilkan. Bahan

pengisi dan bahan pengikat adalah komponen penting dalam pembuatan

sosis karena akan mempengaruhi kualitas sosis yang dihasilkan (Astawan,

2009).

Bahan pendukung yang biasanya berpengaruh terhadap mutu sosis

salah satunya adalah bahan pengisi. Bahan pengisi yang pada umumnya

digunakan pada sosis adalah produk tepung atau pati seperti tepung

jagung, tepung beras, tepung kentang, dan tepung tapioka (Sisson &

Almira, 1974 dalam Irfan, 1988). Bahan pengisi mempunyai kemampuan

untuk mengikat sejumlah besar air, namun kemampuan emulsifikasinya

rendah (Albert, 2001). Menurut Purwosari dan Afifah (2016) Jumlah

bahan pengisi berpengaruh terhadap hasil jadi sosis ikan gabus meliputi

tekstur, kekenyalan dan kesukaan tetapi tidak berpengaruh terhadap hasil

jadi sosis ikan gabus meliputi warna, aroma, dan rasa. Sosis ikan gabus

yang terbaik adalah yang menggunakan jumlah tapioka 14%.

Penambahan angkak dalam pembuatan sosis ayam berperan sebagai

pemberi pigmen merah, sebagai pengganti nitrit. Angkak merupakan

alternatif yang cukup baik, karena angkak juga mampu berperan sebagai

pengawet daging. Karena angkak juga bersifat antimikrobial serta sebagai

pembangkit rasa (flavouring enhancher).Angkak merupakan pengawet dan

pewarna alami dan menyehatkan. Warna merah angkak sangat potensial

2
sebagai pengganti warna merah sintetis, yang saat ini penggunaannya sangat

luas pada berbagai produk makanan.

B. Rumusan Masalah

Apakah ada pengaruh perbedaan ratio daging belut dan tepung

tapioka terhadap sifat fisikokimia (kadar air,tekstur kekenyalan dan kadar

protein) sosis daging belut.

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pengaruh ratio daging belut dan tepung tapioka pembuatan

sosis daging belut terhadap sifat fisikokimia dan organoleptik.

2. Mengetahui ratio yang terbaik terhadap kadar air, kadar protein , Tekstur

dan organoleptik.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi kepada

masyarakat tentang ratio daging belut dan tepung tapioka sebagai bahan

baku pada pembuatan sosis daging belut.

E. Hipotesis

Diduga dengan pengaruh ratio daging belut dan tepung tapioka dapat

mempengaruhi sifat fisikokimia (kadar air, tekstur kekenyalan, dan kadar

protein,).

H0 : Tidak terdapat pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati

3
H1 : Ada pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Daging Belut

Belut merupakan kelompok air breathing fishes, yaitu ikan yang

mampu mengambil oksigen langsung dari udara selama musim kering

tanpa air disekelilingnya. Belut memiliki alat pernapasan tambahan yakni

brupa kulit tipis berlendir yang terdapat dirongga mulut. Alat ini

berfungsi menyerap oksigen secara langsung dari udara (Sarwono,2003).

Belut merupakan hewan hemaprodit, yaitu jenis ikan yang bisa berubah

kelamin, dimasa muda berjenis kelamin betina, dimasa berikutnya yaitu

jika sudah usia tua akan berubah menjadi berjenis kelmin jantan.

Belut sawah atau lindung (Monopterus albus) adalah sejenis ikan

yang mempunyai nilai ekonomi dan ekologi.Ikan ini dapat dimakan, baik

digoreng, dimasak dengan saus pedas atau digoreng renyah sebagai

makanan ringan.Secara ekologi, belut dapat dijadikan indicator

pencemaran lingkungan karena hewan ini mudah beradaptasi. Klasifikasi

belut sawah.

Kingdom : Animalia
Filum : Chordate
Class : Actinopterygii
Ordo : Synbranchiformes
Family : Synbranchidae
Genus : Monopterus
Spesies : M. Albus
Sumber : Saparinto (2018)

5
Daging belut meruapkan sumber protein hewani yang dianjurkan.Hal ini

karena daging belut memiliki kandungan gizi yang lengkap.Berikut adalah tabel

kandungan gizi belut sawah dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1.Kandungan Gizi Belut per 100 g.

Kompisisi Belut
Protein 18,4 g
Lemak 27 g
Kalori 303 cal
Zat besi 2,0 mg
Kalsium 20 mg
Fosfor 200 mg
Vitamin A 1600 SI
Vitamin B 0,1 mg
Vitamin C 2 mg
Air 58 g
Sumber:Saparinto (2018)

B. Sosis

Sosis adalah produk makanan yang diperoleh dari campuran daging

halus (tidak kurang dari 75%) dengan tepung atau pati tanpa penambahan

bumbu-bumbu dan bahan tambahan makanan lain yang diizinkan dan

dimasukan ke dalam selongsong sosis. Bahan baku yang digunakan untuk

membuat sosis terdiri dari bahan baku utama dan bahan tambahan. Bahan

baku utama yaitu daging, es, minyak, garam, dan lemak. Sedangkan bahan

tambahannya yaitu bahan pengisi, bahan pengikat, bumbu-bumbu, bahan

penyedap dan bahan makanan lain yang diizinkan (bahan inovasi). Istilah

sosis berasal dari kata dalam bahasa latin “salsus”, yang memiliki arti

garam, sehingga sosis dapat diartikan sebagai daging giling yang diawetkan

dengan garam. Sosis didefinisikan sebagai makanan yang dibuat dari daging

6
yang dicacah serta dibungkus dalam casing menjadi bentuk silinder

(Kramlich, 1973).

Sosis merupakan salah satu jenis emulsi, namun emulsi sosis bukanlah

emulsi sesungguhnya seperti mayonaise atau emulsi minyak dalam air

lainnya. Emulsi sosis yang secara umum dimaksud oleh industri sosis adalah

campuran daging yang digiling halus, lemak, dan bumbu-bumbu. Lemak

pada sosis dibungkus oleh protein daging dengan struktur serupa dengan

emulsi, walaupun bukan emulsi minyak dalam air yang sesungguhnya.

Protein larut garam terutama mayonaise diekstrak dengan garam dan selama

proses pencacahan membentuk sejenis emulsi yang dibungkus partikel

lemak.

Sosis yang bermutu baik adalah produk sosis yang telah memenuhi

standar mutu secara kimia, secara organoleptik sosis harus kompak, kenyal

dan bertekstur empuk, serta rasa dan aroma yang baik sesuai dengan bahan

baku yang digunakan. Kualitas sosis sebagai produk daging ditentukan oleh

kemampuan saling mengikat antara partikel daging dan bahan-bahan yang

ditambahkan (Koapaha, dkk., 2011). Syarat mutru sosis daging dalam SNI

01-3820-1995 yaitu:

Tabel 2. Syarat Mutu Sosis


Kriteria uji Satuan Persyaratan
Keadaan :
a. Bau - Normal
b. Rasa - Normal
c. Warna - Normal
d. Tekstur - Bulat Panjang
Air % b/b Maks 67.0
Abu % b/b Maks 3.0
Protein % b/b Min 13.0

7
Lemak % b/b Maks 25.0
Karbohidrat % b/b Maks 8.0
Bahan tambahan makanan :
a. Pewarna dan pengawet Sesuai dengan SNI-0222-1995
Cemaran logam :
a. Timbal (Pb) Mg/kg Maks 2.0
b. Tembaga (Cu) Mg/kg Maks 20.0
c. Seng (Zn) Mg/kg Maks 40.0
d. Timah (Zn) Mg/kg Maks 40.0
e. Raksa (Hg) Mg/kg Maks 0.03
Cemaran arsen Mg/kg Maks 0.1
Cemaran mikroba :
a. Angka total lempeng Koloni/gr Maks 105
b. Bakteri bentuk Koli APM/gr Maks 10
c. Escherichia coli APM/gr <3
d. Enterococci Koloni/gr 102
e. Clostridium - Negatif
perfringens
f. Salmonella - Negatif
g. Staphilococcus aureus Koloni/gr Maks 102
Sumber: SNI 01-3820-1995

Sosis merupakan salah satu produk emulsion meat dalam

pembuatannya juga memanfaatkan bahan tambahan lain untuk

menghasilkan sifat fisikokimiawi dan organoleptik pada sosis. Bahan

penyusun yang dipilih dan digunakan dalam proses bervariasi, sesuai

dengan produk yang diinginkan (Kramlich, et al. 1973). Bahan – bahan

dalam pembuatan sosis antara lain :

a. Daging Belut

Pembuatan sosis digunakan jenis daging tak berlemak, yaitu

daging yang mengandung sedikit lemak dan merupakan sumber

protein yang sangat berperan terhadap kestabilan emulsi dan

membentuk sifat produk akhir. Selama pembentukan emulsi sosis,

protein daging berfungsi mengikat air dan mengemulsi lemak (Naruki,

8
1992).

Salah satu daging yang digunakan pada pembuatan sosis adalah

daging udang. Daging ayam mengandung protein, vitamin, lemak, air,

karbohidrat, dan mineral yang terdapat pada Tabel 3.

Tabel .3 Komposisi Kimia Udang


Komposisi Kimia Jumlah Komposisi
Protein (g) 14
Lemak (g ) 27
Kalori ( cal ) 303
Karbohidrat ( g ) 0
Fosfor (mg) 200
Kalsium (mg) 20
Vitamin B (mg) 0.1
Vitamin A (SI) 1600
Sumber : Arpah, M. 1993

Memilih daging segar yang perlu diperhatikan yaitu warna

daging yang putih kekuningan, warna lemak yang putih kekuningan

dan merata dibawah kulit, memiliki bau yang segar, kekenyalan yang

elastis dan tidak ada tanda – tanda memar atau tanda lain yang

mencurigakan (Litbang Deptan, 2007).

b. Lemak

Lemak yang ditambahkan pada sosis bisa berasal dari daging

atau lemak yang sengaja ditambahkan. Lemak yang ditambahkan

dapat berupa lemak hewani maupun lemak nabati. Lemak nabati

memiliki aroma yang kurang dari lemak hewani, namun lemak nabati

lebih mudah di dapat dan harganya jauh lebih murah, sehingga sering

9
digunakan dalam pembuatan sosis. Penambahan lemak berpengaruh

terhadap tekstur sosis yang dihasilkan. Penambahan lemak terlalu

sedikit akan menghasilkan sosis yang keras dan kering, sedangkan jika

terlalu banyak akan menghasilkan sosis yang lunak dan keriput.

c. Air es atau es

Menurut Kramlich (1973), penambahan air dalam bentuk es atau

air es bertujuan untuk melarutkan garam dan mendistribusikannya

secara merata ke seluruh bagian massa daging, memudahkan ekstraksi

protein serabut otot, membantu pembentukan emulsi dan

mempertahankan suhu daging agar tetap rendah selama penggilingan

dan pembuatan adonan. Suhu yang tinggi dapat menyebabkan

ketidakstabilan emulsi yang terbentuk (Price dan Schweigert, 1987).

Menurut Pisula (1984), suhu optimum untuk ekstraksi protein serabut

otot adalah 4 – 5˚C, sedangkan suhu untuk mempertahankan kestabilan

adonan tidak diperkenankan lebih dari 20˚C.

Tekstur dan keempukan produk akhir dari sosis dipengaruhi

oleh kandungan air yang ditambahkan. Penambahan air yang terlalu

banyak akan menyebabkan tekstur sosis menjadi lunak, sedangkan

penambahan air yang terlalu sedikit menyebabkan tekstur sosis

menjadi keras (Kramlich, 1971).

d. Bahan pengisi dan pengikat

Pada pembuatan sosis perlu ditambahkan juga dengan bahan

pengisi dan pengikat. Bahan pengisi adalah bahan yang mengandung

10
karbohidrat yang dapat menyerap air secara maksimal, berperan kecil

sebagai pengemulsi. Beberapa produk yang dapat dimanfaatkan

sebagai bahan pengisi, antara lain : tepung terigu, tepung tapioka,

tepung kentang, dan remahan roti (FAO, 2005).

Bahan pengikat adalah bahan bukan daging yang dapat

mengemulsi lemak dan meningkatkan kapasitas mengikat air, dimana

air dan lemak akan terikat oleh protein untuk membentuk suatu

emulsi. Bahan pengikat yang umum digunakan adalah susu skim,

tepung kedelai, Isolate Soy Protein (ISP), Textured Vegetable Protein

(TVP) dan konsentras kedelai.

Tapioka adalah salah satu bahan pengikat pada sosis. Sosis sebagai

produk emulsi ditentukan oleh kemampuan saling mengikat diantara

bahan – bahan yang digunakan, oleh sebab itu digunakan suatu bahan

yang mampu mengikat dan berperan sebagai stabilitas emulsi,

misalnya tepung tapioka. Tapioka mempunyai amilopektin tinggi,

tidak mudah menggumpal, daya lekatnya tinggi, tidak mudah pecah,

atau rusak dan mempunyai suhu gelatinisasi relatif rendah

(Prinyawiwatkul, 1997). Pati tapioka mempunyai sifat mudah

mengembang (swelling) dalam air panas. Selain itu, pati tapioka

mempunyai kadar amilosa sebesar 17-23% dan suhu gelatinisasi

berkisar 52-64˚C (Hui, 1992). Selain tapioka, bahan lain yang

berfungsi sebagai pengikat adalah susu skim. Susu skim membantu

pengikatan air dan minyak karena susu skim mengandung protein

11
yang juga mampu berperan sebagai stabilizer. USDA membatasi

penambahan bahan pengisi dan bahan pengikat pada emulsi daging

maksimal 3,5%.

e. Garam – garam fosfat

Garam – garam polifosfat adalah bahan tambahan kimia yang

sering ditambahkan untuk meningkatkan kekenyalan produk. Senyawa

ini dapat meningkatkan daya ikat air dan menstabilkan tektur daging

dengan meningkatkan kelarutan dari protein. Garam polifosfat juga

dapat mengurangi pertumbuhan mikroba dan mengurangi oksidasi

lipid. Pada produk sosis, garam – garam polifosfat seperti Sodium

Tripoly Phosphat (STPP). Hal ini disebabkan karena sifatnya yang

lebih mudah larut dalam air dibandingkan garam – garam difosfat.

Penambahan dibatasi pada konsentrasi 0,05 - 0,5% (Heinz dan

Hautzinger, 2007).

f. Bahan – bahan lain

Bahan – bahan lain yang sering ditambahkan dalam pembuatan

sosis adalah garam dapur dan bumbu – bumbu. Garam merupakan

bumbu yang biasa ditambahkan pada sosis. Penambahan garam

bervariasi tergantung dari penerimaan konsumen terhadap rasa asin,

biasanya berkisar antara 1 – 5%. Sosis yang difermentasi umumnya

mengandung garam 3 – 5 persen, sosis segar 1,5 – 2 persen dan

produk sosis masak mengandung 2 – 3 persen. Garam berfungsi untuk

memberi cita rasa dan mengawetkan sosis. Sebagai pengawet garam

12
dapat menurunkan Aw sosis, sehingga dapat menghambat

pertumbuhan bakteri (Kramlich, 1971).

Penambahan bahan penyedap dan bumbu digunakan untuk

menambah atau meningkatkan flavour (Suparno, 1998) . Bumbu –

bumbu yang digunakan yaitu berupa rempah – rempah seperti bawang

putih, bawang merah, lada, pala, dan andaliman. Beberapa bumbu

juga berperan sebagai bahan pengawet dan senyawa antioksidan yang

baik, sehingga dapat mengurangi pemakaian antioksidan sintetis.

g. Selongsong

Selongsong atau casing sosis ada dua tipe, yaitu selongsong

alami dan selongsong buatan. Selongsong alami berasal dari saluran

pencernaan ternak. Selongsong sapi berasal dari oesphagus, usus

kecil, usus besar, bagian tenga, caecum, dan kandung kencing.

Sedangkan selongsong domba dan kambing berasal dari usus kecil.

Keuntungan selongsong alami adalah dapat dimakan, bergizi tinggi,

dan melekat pada produk. Kerugiannya adalah produk tidak awet.

Selongsong buatan terdiri dari empat jenis, yaitu sellulosa, kolagen

yang dapat dimakan, kolagen yang tidak dapat dimakan, dan plastik.

Keuntungan selongsong buatan adalah dapat diwarnai, bisa dimakan

dan melekat pada produk. Casing Polymida merupakan casing untuk

sosis yang terbuat dari plastik. Casing jenis ini tidak dapat dimakan,

dapat dibuat berpori atau tidak, bentuk dan ukuran dapat diatur, tahan

terhadap panas, dan dapat dicetak (Astawan, 2009).

13
C. Tepung Tapioka
Menurut SNI 01-3451-1994, tapioka adalah pati (amilum) yang

diperoleh dari umbi kayu segar (Manihot Utilissima) setelah melalui

cara pengolahan tertentu, dibersihkan dan dikeringkan. Proses ekstraksi

umbi kayu relative mudah, karena kandungan protein dan lemaknya

rendah. Jika proses pembuatannya dilakukan dengan baik, pati yang

dihasilkan akan berwarna putih bersih.

Tepung tapioka digunakan sebagai bahan tambahan dalam

pembuatan sosis, berfungsi sebagai pengikat dan perekat bahan lain.

Kualitas tepung yang digunakan sebagai bahan makanan sangat

berpengaruh terhadap makanan yang dihasilkan. Tepung yang baik

kualitasnya dapat dilihat berdasarkan ciri-ciri sebagai berikut.

Persyaratan tepung tapioka yang bermutu baik menurut

Murtiningsih dan Suyanti 2011 antara lain:

a.)Warna tepungnya putih, bebas dari kotoran dan serpihan kayu.

b.)Memiliki kandungan air yang rendah.

c.)Tingkat kekentalan dan daya rekatnya tinggi.

Menurut Hermawan 2002, tapioka dapat juga digunakan sebagai

bahan pengental, bahan pengisi, dan bahan pengikat dalam industri

makanan. Misalnya, dalam makanan bayi, puding, es krim, dan industri

farmasi. Energi yang dihasilkan dari 100 g makanan olahan tepung tapioka,

setara dengan energi 100 g nasi. Berikut kandungan nutrisi per 100 g

tapioka.

14
Tapioka dalam pembuatan sosis, digunakan sebagai bahan pengisi

sosis, dengan kadar penggunaannya hanya 10% dari berat daging yang

digunakan. Bahan pengisi adalah bahan yang ditambahkan dalam proses

pembuatan produk olahan daging yang harus mempunyai kemampuan

mengikat sejumlah air. Bahan pengisi ini berfungsi untuk mengikat daging

agar lebih menyatu, sehingga menghasilkan sosis yang memiliki tekstur

yang padat dan kenyal. Fungsi dari tapioka adalah bahan pengikat di mana

kemampuan sosis sebagai bahan restrukturasi ditentukan oleh kemampuan

saling mengikat diantara bahan - bahan yang digunakan.

Tapioka mempunyai amilopektin tinggi, tidak mudah menggumpal

dan daya ikatnya tinggi, tidak mudah pecah dan mempunyai suhu

gelatinisasi relative rendah. Pati tapioka mempunyai sifat mudah

mengembang (swelling) dalam air panas (Telje, 2011).

Tabel 4. Komposisi Kandungan Nutrisi per 100 gram Tapioka


Kandungan Nutrisi Kadar
Energi (kkal) 381
Protein (g) 0,3
Lemak total (g) 0,1
Karbohidrat (g) 91,3
Kalsium (mg) 2,0
Sodium (mg) 9
Magnesium (mg) 3
Fosfor (mg) 13
Mangan (mg) 0,1
Sumber : Daftar Komposisi Bahan Makanan, 2005

D. Angkak
Angkak telah banyak digunakan di Negara-negara Asia terutama Cina,

Jepang, Thailand dan Philipina kurang lebih 600 tahun yang lalu. Red rice

atau angkak digunakan untuk mewarnai makanan seperti pada ikan, keju

15
China, dan untuk pembuatan anggur merah di negara-negara oriental

(Timur) (Hidayat dan Saati, 2006).

Angkak merupakan produk hasil fermentasi dengan substrat beras

yang menghasilkan warna merah karena aktivitas kapang Monascus

Purpureus sebagai metabolit sekunder. Sejak dulu angkak sudah banyak

digunakan sebagai pewarna alami makanan. Disamping itu angkak dapat

pula digunakan untuk mengawetkan daging karena mempunyai sifat anti

bakteri, mengobati penyakit asma, gangguan saluran cerna, mabuk laut dan

luka memar dalam seni pengobatan China, meningkatkan intensitas warna

merah pada pengolahan daging, serta menambah aroma (Hidayat dan Saati,

2006).

Pigmen angkak banyak dihasilkan dari beberapa jenis kapang.

Beberapa galur yang mampu memproduksi pigmen adalah Monascus

purpureus, Monascus rubropunctatus, Monascus rubiginosus, Monascus

major, Monascus barkari dan Monascus ruber yang menghasilkan pigmen

warna merah. Dari berbagai macam galur tersebut yang paling umum

digunakan adalah Monuscus purpureus. Monascus purpureus juga disebut

Monascus anka atau Monascus kaoliang. Pigmen merah merupakan salah

satu warna yang menarik karena warna merah sangat populer pada pewarna

makanan dan merupakan warna pigmen yang alami pada makanan (Hidayat

dan Saati, 2006).

Secara tradisional, pembuatan angkak umumnya dilakukan dengan

menggunakan beras sebagai substrat, melalui sistem fermentasi padat. Beras

16
yang cocok digunakan sebagai substrat adalah nasi pera, yaitu yang

memiliki kadar amilosa tinggi, tetapi rendah amilopektin. Mengingat nasi

yang pera harganya jauh lebih murah dibandingkan nasi yang pulen.

Angkak dibuat dengan cara memasukan sekitar 25gram nasi ke dalam

cawan petri, yang kemudian disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu

121˚C selam 15 menit. Tujuan sterilisasi adalah untuk membunuh semua

mikroba agar tidak mengontaminasi dan menggangu proses pembuatan

angkak. Setelah didinginkan hingga suhu sekitar 36˚C, nasi tersebut

diinokulasi dengan 2 gram inokulum Monascus purpureus. Setelah itu,

campuran tersebut diaduk hingga rata dan diinkubasi pada suhu 27-32˚C

selama beberapa hari.

Penggunaan angkak sebagai pewarna alami telah banyak diaplikasikan

khususnya di wilayah Asia. Angkak bahkan telah menjadi komoditi ekspor

Cina ke negara-negara di bagian timur Asia. Angkak yang diekspor

berbentuk cake atau serbuk. Pada produk daging, pigmen merah dapat

digunakan sebagai pengganti nitrat atau nitrit. (Pattanagul, 2002) meneliti

penggunaan angkak sebagai pewarna merah pada produk sosis. Dari

penilitianya diketahui bahwa kadar optimum angkak yang digunakan adalah

1,6% (w/w). (Shehata et al., 1998) menyatakan penggunaan angkak

bersama dengan nitrit diketahui bersinergi dalam meningkatkan kualitas

warna sosis. Perebusan daging selama 30 menit pada temperatur 100˚C

tidak mempengaruhi intensitas warna daging yang telah diberi angkak.

Untuk daging yang dimasak dengan menggunakan microwave, lama

17
pemasakan mempengaruhi intensitas warna akibat terjadinya reaksi Mailard.

Selain itu untuk meningkatkan kestabilan pigmen, daging dapat dikemas

dalam kondisi vakum.

Gambar 1. Angkak (kiri: sebelum dihaluskan, kanan: setelah dihaluskan)

F. Analisis Sifat Kimia

Analisis kimia pada penelitian ini meliputi penentuan kadar air, kadar

abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat, kadar pati, kadar

amilosa dan amilopektin. Namun pada penelitian ini analisa kimia hanya di,

kadar protein, dan kadar air. Sifat kimia suatu bahan akan mempengaruhi

karakteristik dari produk yang dihasilkan. Analisis ini bertujuan untuk

mengidentifikasi kandungan nutrisis seperti kadar air, kadar protein pada

suatu zat makanan dari bahan pakan dan pangan. Analisis proksimat

memiliki manfaat sebagai penilaian kualitas pakan atau bahan pangan

terutama pada standar zat makanan yang seharusnya terkandung

didalamnya.

1. Kadar Protein

Kadar protein suatu bahan makanan sering digunakan untuk

18
menentukan mutu suatu bahan makanan (Winarno, 2002). Menurut

Rompins (1998), kadar protein sosis dipengaruhi oleh jumlah dan

jenis daging, dan jenis bahan pengisi dan pengikat yang ditambahkan.

Kadar protein sosis menurut Dewan Standarisasi Nasional (1995)

dalam SNI 01-3820-1995 yaitu minimum sebesar 13%.

2. Kadar Air

Kadar air merupakan banyakanya air yang terkandung dalam

bahan yang dinyatakan dalam persen. Kadar air juga salah satu

karakteristik yang sangat pentung pada bahan pangan, karena air dapat

mempengaruhi penampakan, tekstur, dan cita rasa pada bahan pangan.

Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya

awet bahan pangan tersebut, kadar air yang tinggi mengakibatkan

mudahnya bakteri, kapang, dan khamir untuk berkembang biak,

sehingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan (Winarno, 1997).

Semakin rendah kadar air dalam bahan pangan, maka semakin tinggi

daya tahan bahan tersebut (Winarno, 2002). Menurut Aberle et al.

(2001), kadar air sosis mempunyai kisaran nilai 45-50% dari berat

akhir produk daging dan sebagian besar kadar air disumbang oleh

daging yang digunakan.

G. Analisis Sifat Fisik

1. Tingkat Kekenyalan

19
Kekenyalan adalah kemampuan produk pangan untuk pecah

akibat gaya tekan(Soekarto, 1990). Faktor yang mempengaruhi

kekenyalan daging digolongkan menjadi faktor antemortem (genetik,

spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, dan umur) dan faktor

postmortem (metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan,

dan pH daging). Kekenyalan terbentuk sewaktu pemasakan, protein

akan mengalami denaturasi dan molekul-molekulnya mengembang.

Kondisi tersebut mengakibatkan gugus reaktif pada rantai polipeptida

terbuka dan selanjutnya akan terjadi pengikatan kembali pada gugus

reaktif yang sama atau berdekatan (Winarno, 1988). Selain faktor

pemasakan yang mempengaruhi tingkat kekenyalan ini adalah STPP,

sosis yang tingkat kekenyalannya kurang baik ini kemungkinan

diakibatkan oleh casing yang kurang sempurna. Saat pengemasan atau

pemasukan sosis kedalam selongsong terjadi sedikit kesalahan berupa

tidak dilakukan pengurutran pada sosis. Bertambahnya penggunaan

tapioka menjadikan sosis lebih kenyal (Gadiyaram dan Kannan,

2004). Menurut Moedjiharto (2003) pembentukan kekenyalan

berkaitan dengan daya elastisitas dan berhubungan dengan

kemampuan pengikatan air oleh pati dan kelarutan protein miosin,

campuran dengan lemak, gula, garam, dan pati.

20
G. Uji Organoleptik

Uji Organoleptik merupakan salah satu cara untuk mengetahui

penerimaan dan penilaian panelis terhadap suatu produk. Rasa

menempati peringkat pertama yang sangat menentukan penerimaan

konsumen.Uji organoleptik adalah cara penilaian dengan hanya

menggunakan indera manusia (sensorik). Penilaian organoleptik

merupakan cara yang paling banyak dilakukan dalam menentukan

tanda-tanda kesegaran ikan karena lebih mudah dan lebih cepat

dikerjakan, tidak memerlukan banyak peralatan serta murah

(Hadiwiyoto, 1993).

Pelaksanaan uji organoleptik memerlukan paling tidak dua

pihak yang bekerja sama, yaitu panelis dan pelaksana kegiatan

pengujian. Keduanya berperan penting dan harus bekerja sama,

sehingga proses pengujian dapat berjalan dan memenuhi kaidah

objektivitas dan ketepatan. Pelaksanaan suatu pengujian sensori

membutuhkan sekelompok orang yang menilai mutu atau memberikan

kesan subjektif berdasarkan produser penguraian sensori tertentu.

Kelompok ini disebut panel dan anggotanya disebut panelis

(Setyaningsih, 2010).

Penilaian pada secara inderawi (Organoleptik) dilakukan dengan

memakai indera pengecap, pembau dan peraba pada saat bahan pangan

21
dimakan(warna, rasa, Aroma dan tekstur). Interaksi dari hasil penilaian

alat-alat tersebut dipakai untuk mengukur mutu dan perkembangan

produk baru (Idris, 1984).

Pengujian sensori merupakan cara pengujian untuk mengukur

tingkat kesukaan yang bertujuan untuk mengetahui tingkat penerimaan

panelis terhadap semua produk yang dibuat (Kartika, 1988).

22
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Penelitian ini berlangsung selama bulan Mei 2020 sampai Juli 2020.

Pembuatan sosis belut dilakukan di Laboraturium Rekayasa pangan

Teknologi Pertanian Universitas Semarang, pengujian (Kimia) dilakukan di

Laboratorium Kimia dan Biokimia Universitas Semarang.

B. Bahan dan Alat

1. Bahan

Bahan yang digunakan untuk pembuatan sosis belut ini antara

lain : daging belut, Angkak ,minyak nabati, es, air es, tepung tapioka,

susu skim, STPP, garam, bawang putih, merica, dan jahe.

a). Bahan uji kadar protein :

1). Detruksi (2 gram sosis, 2 tablet kjeldahl, 3 butir batu

didih, 15 ml H2SO4).

2). Destilasi (100ml aquadest, 60 ml NaOH 40%, 25

mlH3BO3, methyl red).

3). Titrasi (HCl 0,02N)

2. Alat

Alat yang digunakan untuk penelitian ini antara lain : selonsong sosis,

kompor gas, panci, timbangan digital, baskom, sendok, blender, alat

23
penggiling daging (chopper), solet, kertas saring, refrigerator, wadah

tertutup, talenan, kain hitam, pisau, label, dan pipping bag.

a). Alat uji kadar protein :

Timbangan analitik, labu kjeldahl, soxhlet, sentrifus, penetrometer,

distilasi, erlemeyer, tabung reaksi, rak tabung, pipet tetes, dan pipet

skala.

b). Alat Uji Kadar Air

Botol timbang, oven, desikator.

d). Alat Uji Tektur ( Kekenyalan )

Tekstur Analyzer merk LLDYD, tipe 1000S.

C. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan yaitu Rancangan Acak

Lengkap (RAL) dengan 1 faktor perbedaan ratio daging udang dan tepung

tapioka dengan 5 perlakuan dan 4 kali ulangan. Penetapan Rasio bahan

pengisi tapioka mengacu pada penelitian Purwosari dan Afifah (2016) dan

Pra penelitian 7 maret 2020. Adapun perlakuan yang diterapkan adalah

sebagai berikut:

P1: Daging Belut 94% dan Tepung Tapioka 6%

P2: Daging Belut 90% dan Tepung Tapioka10%

P3: Daging Belut 86% dan Tepung Tapioka 14%

P4: Daging Belut 82% dan Tepung Tapioka 18%

P5: Daging Belut 78% dan Tepung Tapioka 22%

Tabel 6. Formulasi Bahan Pembuatan Sosis Belut (%)

24
Bahan Perlakuan
(gram) P1 P2 P3 P4 P5
Daging 94 90 86 82 78
Belut
Tepung 6 10 14 18 22
Tapioka
Angkak 0,75 0,75 0,75 0,75 0,75

Susu skim 5 5 5 5 5
Es 20 20 20 20 20
Garam 2 2 2 2 2
STPP 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3
Minyak 5 5 5 5 5
sayur
Bawang 1 1 1 1 1
putih
Merica 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5
Jahe 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5
Sumber : Purwosari dan Afifah, 2016 yang telah dimodifikasi
Variabel yang diamati:

1. Tingkat kekenyalan(SNI 2372.6-2009)

2. Kadar air (AOAC, 1995)

3. Kadar protein dengan Metode Kjeldahl-mikro (AOAC, 1995)

4. Organoleptik

D. Prosedur Penelitian

1. Pembuatan sosis daging belut

Daging belut dipotong – potong dan dicuci. Selanjutnya daging dicuci

dan digiling dengan alat penggiling daging (chopper). Daging giling

dicampur dengan bahan – bahan seperti minyak sayur (3%), garam (2%)

dan STPP (0,3%), Bubuk angkak (0,75%), susu skim (5%), es dan air es

(20%), bumbu – bumbu (2%), dan penambahan rasio daging belut dan

25
tepung tapioka dengan konsentrasi masing-masing daging belut ( 94%, 90%,

86%, 82%, 78%) sedangkan tepung tapioka (6 %, 10%, 14%, 18%, 22% ).

Setelah bahan – bahan tercampur sempurna. Proses pencampuran dilakukan

menggunakan food processor atau chopper. Proses pencampuran ini

bertujuan untuk mencampur semua bahan sehingga mendapatkan adonan

yang merata., Adonan sosis yang telah melalui proses pencampuran

kemudian dimasukan ke dalam casing atau selongsong sosis.Pengisian ke

dalam casing atau selongsong sosis dilakukan dengan cara manual yaitu

menggunakan papingbag kemudian diikat dengan menggunakan tali. Sosis

dimasak dalam air yang mendidih pada suhu sekitar 85 - 90˚C selama 45

menit. Setelah selesai pemasakan, dilakukan penirisan lalu Pendinginan

sosis dilakukan untuk menjaga kualitas sosis yang dihasilkan. Pendinginan

dilakukan pada suhu ruang kemudian disimpan dalam refrigerator.

Selanjutnya dilakukan uji kadar protein, uji kadar air, dan uji tekstur

(kekenyalan). Proses pembuatan sosis dapat dilihat pada Gambar 3

Belut

Air bersih Pencucian Air kotor

Pembersihan belut

Penimbangan

26
Penggilingan V:
60 rpm

Es dan air es, garam,


bumbu, susu skim, Pencampuran
minyak, angkak, dan
tepung tapioka (6%, 10%,
14 %, 18 %, 22 %)

Pengisian casing ( p.
10 cm, d. 1,5 cm)

Pengukusan 85 -
90⁰C, 45 menit

Pendinginan
Analisis

Fisik - tekstur
Kimia - kadar air, kadar
Sosis belut protein
Organoleptik - aroma,
rasa, warna, tekstur

Gambar 3. Diagram alir pembuatan sosis daging belut

Sumber : (Syaiful, 2010), yang sudah dimodifikasi.

E. Perubah Pengamatan

Tolak ukur karakteristik mutu dari sosis daging ayam berupa

pengamatan karakteristik kimiawi dengan uji kadar protein, uji kadar lemak,

dan uji kadar air. Dan pengamatan karakteristik fisik dengan uji tekstur

tingkat kekenyalan. Prosedur analisa untuk variabel pengamatan sebagai

berikut:

1. Kadar Protein (Sudarmadji dkk., 1997) adalah :

27
Penentuan kadar protein sosis daging ayam dilakukan dengan metode

Kjeldahl yang terdiri dari tiga tahapan proses yaitu proses destruksi,

destilasi, dan titrasi.

a. Tahap Destruksi

Menimbang dua gram sampel dan memasukannya ke dalam

tabung Kjeldahl kemudian menambahkan 2butir tablet Kjeldahl, 3

butir batu didih dan 15 mlH2SO4 pekat. Selanjutnya dipanaskan pada

alat destruksi di dalam lemari asam pada suhu 410 ˚C selama 1 jam

(sampai sampel jernih).

b. Tahap Destilasi

Menambahkan 100ml aquades ke dalam tabung Kjeldahl hasil

destruksi kemudian dimasukan ke dalam alat destilasi. Selanjutnya

menambahkan 60ml NaOH 40%. Hasil destilasi ditampung dalam

Erlenmeyer yang berisi25 ml H3BO3dan indikator Methyl red.

c. Tahap titrasi

Hasil destilasi kemudian dititrasi dengan larutan standar HCl 0,2

N hingga larutan berubah warna dari hijau menjadi pink (merah muda)

d. Perhitungan

( S−B ) x N HCL x 14 x 6,25


Kadar protein (%) = x 100%
W x 100

Dimana :

W = Berat sampel (g)

S = Jumlah titrasi sampel (ml)

B = Jumlah titrasi blanko (ml)

28
N = Normalitas larutan standar HCL

14 = Berat atom Nitrogen

6,25 = Faktor konversi protein

2. Kadar air ( Sudarmadji, 1989)

Timbang sampel bahan sebanyak 1-2 gram dalam botol timbang

yang telah diketahui beratnya. Kemudian dikeringkan dalam oven

pada suhu 100 - 105˚C selama 3-5 jam, tergantung dari bahannya.

Kemudian didinginkan dalam desikator selama 5 menit dan

ditimbang. Dipanaskan kembali dalam oven selama 30 menit,

didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai beratnya konstan

(selisish penimbangan berturut-turut kurang dari 0,2 mg).

Pengurangan berat merupakan banyaknya air air dalam bahan atau

dapat dituliskan dengan rumus :

B 1−B 2
Kadar air (%) = X 100%
B
Keterangan : B = Berat sampel (gram)
B1 = Berat (sampel + cawang ) sebelum dikeringkan
B2 = Berat (sampel + cawang) setelah dikeringkan

3. Tekstur (kekenyalan)

Pengujian kekenyalan dapat dilakukan dengan alat Instrument

LLDYD Tekstur Analyzer, merk LLDYD, tipe 1000 S, spesifikasi

Load Max 5000 N (Extention max 1000mm ). Prosedur pelaksanaan

pengujian kekenyalan adalah kabel data dari Teksture Analyzer

dipastikan telah tersambung ke CPU komputer kemudian komputer

dinyalakan. Jarum penusuk sampel (proble) dipasang dan diatur

29
posisinya sampai mendekati sampel, kemudian program dari monitor

diaplikasikan untuk menjalankan probe. Sebelumnya dipastikan

bahwa nilai yang ada pada monitor nol, kemudian pilih menu start test

pada monitor sehingga probe akan bergerak sampai menusuk sampel

sosis, pengujian selesai apabila probe kembali ke posisi semula. Hasil

yang terlihat dalam bentuk grafik dan angka.

4. Uji Organoleptik

Pengujian dilakukan oleh 20 orang panelis tidak terlatih.

Masing- masing panelis disajikan 5 sampel dan kuisioner yang berisi

skala Mutu hedonik.terhadap organoleptik (warna, aroma, dan tekstur)

sosis belut.

Tabel 6. Kuisioner Uji Organoleptik Mutu Hedonik Warna


PENILAIAN SKOR NILAI
Agak Merah Muda 1
Merah Muda 2
Agak Merah Tua 3
Merah Tua 4
Sangat Merah Tua 5

Tabel 7. Kuisioner Uji Organoleptik Mutu Hedonik Aroma


PENILAIAN SKOR NILAI
Sangat Bau Belut 1
Agak Bau Belut 2
Sedikit Bau Belut 3
Tidak Bau Belut 4
Sangat Tidak Bau Belut 5

Tabel 8. Kuisioner Uji Organoleptik Mutu Hedonik Tekstur


PENILAIAN SKOR NILAI
Sangat Lembek 1
Lembek 2
Agak Lembek 3

30
Kenyal 4
Sangat Kenyal 5

Tabel 9. Kuisioner Uji Organoleptik Mutu Hedonik Rasa


PENILAIAN SKOR NILAI
Sangat terasa daging belut 1
Terasa daging belut 2
Sedikit terasa daging belut 3
Agak terasa daging belut 4
Tidak terasa daging belut 5

H. Analisis Data

Data yang diperoleh dari percobaan dan pengujian kemudian dilakukan

analisa data dengan analisis ragam atau ANOVA (Analyis of Variance).

Analisis ragam dengan membandingkan F hitung dengan F tabel.

Apabila nilai F hitung ≥ F tabel pada taraf 5 %, maka oerbedaan

perlakuan berbeda nyata (Gomez dan Gomez, 2007). Jika analisis

menunjukkan hasil yang berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut Beda Nyata

Jujur (BNJ) pada taraf uji 5%.

a.Pengujian parametrik (untuk datatingkat kekenyalan, kadar protein, dan

kadar air) Kaedah pengambilan keputusan dilakukan dengan

membandingkan F hitung dengan F tabel yaitu :

F hitung < F tabel (taraf uji 5% maka H0 diterima H1 ditolak)

F hitung ≥ F tabel (taraf uji 5% H0 ditolak H1 diterima)

b.Pengujian non parametric (Uji organoleptik)

X hitung < X tabel ( Taraf uji 5 %), maka H0 diterima atau ditolak H1

X hitung ≥ X tabel ( Taraf uji 5 %), maka H1 diterima atau ditolak H0

31
DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] Association of Official Analitycal Chemist. 1984.


Official Method of Analysis of The Association of Official Analitycal of
Chemist. The Association of Analitycal

Buckle K.A.,R.A. Edward, G.H. Flat, dan M. Wootton. 1987. Ilmu pangan. Penerjemah
; H.purnomo dan adiono. Jakarta ; penerbit univesitas Indonesia.

Biochemical, nutritional and microbiological quality of fresh and smoked mud eel fish
Monopterus albus—a comparative study (Abstract). e-Journal Food Chemistry,
Vol. 61, Issues 1-2, Januari 1998

Desrosier, N.W.1988. Teknologi pengawetan makanan penerjemah: muchji


muljoharjdo. Jakarta: universitas indonesia press.

Heyne, k. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia I. Bogor: Badan penelitian dan


pengembangan kehutanan, departemen kehutanan.

Hidayat. 2009. Pengantar konsep dasar keperawatan salemba medika. Jakarta.

Jacoeb A.M, Pipih Suptijah, Rezki Kamila. 2014.


The Contents af Fatty Acid, Cholestrol, and Description of Tissue in Fresh and
Boiled Eel (Abstract).
Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia Vol. 17 No. 2.

Manley, D. 2011. Biscuit, Cracker, and Cookie Recipes for the Food Industry.
Ebooks download http://lib.freecollege.org/view.php?id=446404. (01 November
2013).

Makassar : Universitas Hassanudin, Fakultas Pertanian.


http://repository.unhas.ac.id/bitstre am/handle/123456789/1988/Samp ul,
%20daftar%20isi,Abstrak.pdf?seq uence=1 [29 Oktober 2013].

Purba, M.1995. Ilmu kimia. Erlangga, Jakarta.

Rahayu, w.p.1998. Petunjuk penilaian organoleptik. Fakultas teknologi pertanian IPB,


Bogor.

Rohman, abdul. 2007. Kimia farmasi analisis. Pustaka pelajar. Yogyakarta.

Sandita A. Indra Topik Maulana, Livia

32
Syafnir. 2014. E-Proceding: Perbandingan Komposisi Asam Lemak antara
Minyak Belut (Monopterus albus) dan Minyak Sidat (Anguilla sp.) dengan
metoda KG-SM. Proceding Farmasi (Gel 2 Th Akad 2014-2015). Jakarta (16
September 2015)

Sudarmaji,S.B. Haryono, Suhardi., 2007. Analisis Bahan makanan pertanian. Pernerbit


Liberty. Yogyakarta.

Sudarminto S Youno dan Tri susanto. 1998. Pengujian fisik pangan. Universitas
Brawijaya. Jurusan teknologi hasil pertanian. Fakultas teknologi pertanian

Soekarto, S.T.1985. penilaian organoleptik (untuk industri pangan dan hasil pertanian).
Penerbit barata karya Aksara, Jakarta.

Tri WA., Y.S Darmanto., Eko S. 2009.


Physicochemical Properties Of Some Dried Fish Products In Indonesia: Vol. 12
Chapter 2 hlm 73-80.

Vishwanath,W. H Lilabati, M Bijen. 1998.


Biochemical, nutritional and microbiological quality of fresh and smoked mud
eel fish Monopterus albus—a comparative study (Abstract). e-Journal Food
Chemistry, Vol. 61, Issues 1-2, Januari 1998

Winarno, F.G. 1991.


Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta. Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama.

33

Anda mungkin juga menyukai