Edisi 1
MODUL 01
Pengantar Psikologi
Lingkungan
Dr. Dipl. Psych. Ratna Djuwita, Psikolog
Dra. Amarina Ariyanto, M.Psi., Ph.D
Daftar Isi
Modul 01 1.1
Pengantar Psikologi Lingkungan
Latihan 1.12
Rangkuman 1.12
Tes Formatif 1 1.12
Latihan 1.16
Rangkuman 1.17
Tes Formatif 2 1.17
Latihan 1.22
Rangkuman 1.23
Tes Formatif 3 1.23
satu gejala alam serius yang nyata-nyata terjadi, tetapi tampaknya sebagian besar
manusia menganggap hal ini bukan sebagai ancaman. Sebuah survei untuk mengetahui
pandangan masyarakat tentang dampak pemanasan global mengungkapkan bahwa 18%
orang Indonesia tidak percaya bahwa aktivitas manusia dapat menyebabkan perubahan
iklim, dan 6% lainnya bahkan yakin bahwa tidak terjadi perubahan iklim. Bahkan 8%
beranggapan bahwa isu pemanasan global adalah hoax (Heriyanto, 2019). Survei ini
menunjukkan bahwa masih cukup banyak orang Indonesia yang tidak menyadari bahwa
mereka berperan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di bumi.
Bumi yang diperkirakan para peneliti telah berusia kurang lebih 4,54 miliar tahun
telah bertahan dan akan tetap bertahan menghadapi berbagai bencana alam, seperti
perubahan cuaca yang drastis, gempa bumi, letusan gunung, kebakaran, banjir, juga
tsunami. Bahkan, jika terjadi perang dan setiap negara menggunakan persenjataan
nuklirnya yang mengakibatkan kepunahan semua makhluk hidup di bumi, bumi tetap
akan ada dan secara perlahan proses evolusi dan kehidupan akan dimulai kembali
(Barrow, 2014). Memang, mungkin bumi akan memerlukan beberapa miliar tahun lagi
untuk dapat merestorasi diri dan bumi kembali mencapai keadaannya seperti sekarang.
Namun bumi akan bertahan. Pertanyaannya justru apakah manusia dan makhluk hidup
lainnya masih ada?
Penebangan hutan secara ilegal, membuang sampah ke sungai sehingga merusak
biota laut, polusi udara, dan banyak contoh lainnya menjadi bukti bahwa manusia
bertindak secara tidak bertanggung jawab terhadap bumi. Manusia lupa bahwa
manusialah yang membutuhkan bumi untuk bertahan hidup. Sebuah pepatah tua dari
Afrika, yaitu “rawatlah bumi dengan baik; bumi bukanlah warisan orang tuamu;
melainkan dipinjamkan oleh anak cucumu”. Dari pepatah ini, dapat disimpulkan bahwa
manusia sudah sejak lama menyadari bahwa manusia yang membutuhkan bumi untuk
bertahan hidup. Contoh yang paling sederhana mungkin dapat dilihat dari bagaimana
berbagai tanaman masih dapat bertahan tanpa air, tetapi manusia hanya dapat bertahan
beberapa hari tanpa air.
Gambar 1.1
Manusia Membutuhkan Bumi untuk Mempertahankan Eksistensi Spesies Manusia.
Oleh karena itu, Manusia Perlu Lebih Peduli dan Berperilaku Ramah Terhadap Bumi.
MSLK5110 Modul 01 1.5
Jika memang manusia yang membutuhkan bumi untuk bertahan hidup maka
sudah sepatutnya manusia yang proaktif berusaha melestarikan kehidupan di bumi ini.
Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk melestarikan bumi, salah satunya adalah
dengan menerapkan teori-teori psikologi melalui psikologi lingkungan.
Setelah mempelajari modul ini, Anda diharapkan mampu:
1. Menjelaskan kembali bagaimana peranan psikologi dalam mencegah dan
menyelesaikan permasalahan lingkungan yang terjadi.
2. Menjelaskan kembali definisi psikologi lingkungan dan memberikan berbagai
contoh dari ruang lingkup psikologi lingkungan.
3. Menjelaskan kembali sejarah perkembangan psikologi lingkungan.
Selamat belajar!
1.6 Pengantar Psikologi Lingkungan
Kegiatan
Belajar
Mengapa Psikologi
Lingkungan Penting? 1
M engapa psikologi lingkungan penting untuk dipelajari? Para ilmuwan telah
mendokumentasikan berbagai ancaman yang berdampak buruk pada
kelangsungan hidup seluruh biosfer di planet bumi, seperti polusi, kelebihan penduduk,
perubahan iklim, kepunahan spesies, penggundulan hutan, penipisan lapisan ozon,
hilangnya lapisan atas tanah, dan kerusakan terumbu karang (Carson, 2002). Saat ini,
salah satu ancaman besar lingkungan yang sangat mengkhawatirkan adalah bencana
banjir besar yang disebabkan oleh semakin luasnya penyusutan gunung-gunung es di
Kutub Utara akibat pencairan es yang semakin cepat sehingga membuat permukaan air
laut semakin meningkat. Jika mencairnya es di kutub terjadi secara lebih cepat daripada
perhitungan manusia, tentu akan terjadi bencana alam yang sangat besar.
Sebagian besar orang mengatakan bahwa bencana alam merupakan hal yang tidak
terhindarkan. Benarkah demikian? Apakah semua bencana alam memang merupakan
proses alam dan tanpa keterlibatan manusia? Jika direnungkan secara mendalam,
mungkin hanya letusan gunung berapi dan gempa bumi yang dapat dikatakan sebagai
bencana alam murni yang terjadi tanpa campur tangan manusia. Akan tetapi,
peningkatan suhu udara global yang memicu mencairnya gunung-gunung es di wilayah
kutub, kebakaran hutan, polusi, dan banyak permasalahan lingkungan lainnya sering
kali terjadi karena perilaku manusia. Adanya kemajuan teknologi dan kegiatan industri
berdampak pada kerusakan bumi akibat perilaku manusia. Kerusakan pun semakin
parah dan cepat.
Lalu, apa kaitannya keberlangsungan manusia maupun bumi dengan psikologi?
Ketika kita membicarakan kerusakan di bumi yang kita tinggali, bukankah ini
merupakan ranah ilmu para pakar biologi, geologi, mungkin teknik lingkungan? Lalu di
mana peranan psikologi?
Psikologi memang bukan merupakan ilmu yang langsung terkait dengan gejala-
gejala alam yang terjadi di bumi kita. Tetapi saat ini, tidak dapat dipungkiri bahwa
peranan psikologi sebagai ilmu yang membahas tentang dinamika perilaku manusia
sangat penting. Sekarang bayangkan, Anda sedang berjalan di sebuah kawasan
pertokoan, lalu ada seorang sales membagikan brosur tawaran pembelian kendaraan.
Saat ini, Anda tidak berminat untuk membeli kendaraan tersebut. Anda segera mencari
tempat sampah karena Anda memutuskan untuk membuang brosur tersebut. Setelah
mencari, Anda tidak menemukan tempat sampah, namun Anda melihat bahwa di pojok
ruangan terdapat tumpukan sampah yang berserakan. Mungkin Anda seperti sebagian
besar orang di Indonesia akan membuang brosur tersebut di tumpukan sampah yang
MSLK5110 Modul 01 1.7
terlihat. Perilaku Anda akan berbeda jika ruangan tersebut sangat bersih. Kemungkinan
besar, Anda akan mengantongi brosur tersebut sampai menemukan tempat sampah. Di
sinilah peranan ilmu psikologi menjadi penting karena akan membahas mengapa
manusia akan berperilaku berbeda.
Mengapa perilaku Anda berbeda? Hal ini disebabkan konteks lingkungan fisik
yang berbeda. Peristiwa ini adalah salah satu bukti bahwa lingkungan fisik tempat kita
berada akan memengaruhi perilaku yang kita pilih. Penelitian yang dilakukan oleh
(Cialdini, Reno, & Kallgren, 1990) menunjukkan bahwa keadaan lingkungan yang kotor
dengan sampah atau tidak bersih dapat menyiratkan norma sosial yang berlaku dan akan
memengaruhi pilihan perilaku individu dalam konteks tersebut. Ketika berada di
lingkungan kotor, manusia tersebut akan berpikir bahwa adalah hal yang wajar untuk
membuang sampah sembarangan di tempat itu. Sebaliknya, ketika ia berada di
lingkungan yang sangat bersih, manusia akan mempersepsikan bahwa ia diharapkan
untuk tidak mengotori tempat tersebut. Jadi, lingkungan fisik memengaruhi manusia
dan kemudian manusia juga memengaruhi lingkungan fisik tersebut. Kesimpulannya,
interaksi manusia dengan lingkungan fisik selalu berjalan timbal balik.
Berbagai penelitian terkait psikologi lingkungan telah menunjukkan bahwa ada
interaksi timbal balik antara manusia dengan lingkungan fisik di mana manusia berada.
Yang dimaksud dengan lingkungan fisik adalah semua benda hidup maupun mati yang
ada di bumi, yang ada di lingkungan di mana manusia hidup. Lingkungan fisik dapat
dibedakan sebagai lingkungan alamiah dan lingkungan buatan. Lingkungan alamiah
adalah gunung, hutan, pantai, tanah, air, berbagai kekayaan bumi, dan semua makhluk
hidup termasuk juga berbagai tanaman. Lingkungan alamiah adalah bagian dari bumi
yang terbentuk melalui proses evolusi. Lingkungan fisik dapat juga merupakan buatan
manusia, seperti gedung-gedung, taman bermain, jalanan, dan termasuk juga
lingkungan hijau buatan, seperti hutan kota, danau buatan, dan sebagainya. Mengapa
ada interaksi timbal balik antara lingkungan fisik dengan manusia? Interaksi timbal
balik ini terjadi karena manusia membutuhkan lingkungan untuk dapat bertahan hidup.
Manusia tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan fisik di mana ia berada.
Tanpa memperhatikan lingkungan fisik maka perilaku manusia menjadi tidak
jelas apakah dapat dianggap baik atau buruk, sesuai atau tidak sesuai. Keberadaan
lingkungan akan menjadi konteks dan memberi makna pada perilaku manusia (Bonnes
& Secchiaroli, 1995). Contohnya, ketika seseorang memakai baju renang di pantai maka
perilakunya akan dinilai sebagai perilaku yang normal. Tetapi, jika orang yang sama
menggunakan baju renang untuk pergi kuliah, tentu dia akan dianggap sebagai orang
yang aneh. Jika misalnya, seorang laki-laki dewasa berloncat-loncat gembira di stadion
olahraga karena dia gembira dengan kemenangan tim favorit sepak bolanya maka
perilakunya akan dianggap wajar. Namun, perilaku yang sama—loncat-loncat
gembira—akan dianggap orang lain sebagai perilaku tidak wajar, jika dilakukan di acara
pemakaman.
Selain memberi makna pada perilaku, tidak dapat dipungkiri bahwa manusia dan
makhluk hidup lainnya sangat tergantung pada lingkungan fisik untuk kelangsungan
hidup. Walaupun teknologi telah berkembang dengan sangat canggih, manusia dan
1.8 Pengantar Psikologi Lingkungan
makhluk hidup lainnya tetap sangat tergantung pada alam. Semua makhluk hidup
membutuhkan udara untuk bernafas, sinar matahari, air, dan makanan yang semuanya
disediakan oleh alam. Ada pula beberapa tokoh yang berpandangan bahwa ada
keterikatan instingtif antara manusia dengan keseluruhan sistem makhluk hidup di bumi
ini (Wilson, 1984). Artinya, tanpa diajari sekalipun manusia akan selalu mencari, ingin
selalu dekat dengan lingkungan yang alamiah yang memberinya kehidupan.
Wilson (1984) menyebut keterikatan ini dengan istilah biophilia. Menurut
pandangan biophilia, kebutuhan manusia akan lingkungan alam bukan hanya untuk
kelangsungan hidupnya, melainkan karena ada hubungan afektif yang mendalam.
Sayangnya, dengan perkembangan zaman, manusia semakin berjarak dengan
lingkungan alamnya dan tidak peduli akan keberlangsungan bumi dan segala isinya.
Banyak perbuatan manusia terhadap bumi yang dilakukan hanya karena mementingkan
faktor ekonomi. Perbuatan manusia ini telah menyebabkan degradasi atau kerusakan
lingkungan. Jika manusia dibiarkan untuk terus melakukan pengrusakan bumi, maka
apakah bumi akan punah? Tidak. Yang kemungkinan punah adalah manusia dan
berbagai binatang yang sebenarnya telah mengalami masa evolusi yang panjang.
Dari perjalanan sejarah, tampaknya sebagian besar manusia masih keliru
menafsirkan hubungannya dengan bumi dan alam, seolah-olah manusia dapat mengatur
semua dengan teknologi yang merupakan hasil industri moderen. Dalam abad ke-21 ini,
sebagian besar manusia hidup menggunakan berbagai alat bantu yang merupakan hasil
industri modern. Contoh bahwa masyarakat masih berpikir keliru dapat dilihat di kota
Jakarta, dengan kemacetan dan tingkat polusi sudah mencapai titik kritis. Dalam
keadaan seperti ini, untuk memperbaiki kenyamanan dan kesehatan lingkungan
hidupnya jika penduduk Jakarta berpikir secara rasional dan tidak egois, mereka akan
berusaha mengurangi pembelian kendaraan motor pribadi. Namun, kenyataan tingkat
pembelian kendaraan roda dua maupun mobil pribadi di Jakarta selalu meningkat
(Kundalini & Latif, 2018; Widowati, 2019). Kita dapat mempertanyakan apakah orang
Jakarta tidak menyadari bahaya polusi dan tidak menyadari bahwa dengan makin
banyaknya kendaraan maka kemacetan kota sulit dihindari? Informasi tentang tingkat
polusi di Jakarta sudah sering disiarkan baik melalui media televisi, radio surat kabar
maupun media-media sosial yang tidak resmi, namun sampai saat ini belum terjadi
perubahan perilaku penggunaan kendaraan dari mayoritas penduduk Jakarta.
Gejala-gejala perilaku manusia yang seolah tidak peduli pada risiko akibat
perubahan dan pencemaran lingkungan bukan hanya terjadi di Jakarta saja, melainkan
juga terjadi secara umum di dunia. Mengapa demikian? Jawaban dari pertanyaan ini
sangat terkait dengan Ilmu Psikologi, yaitu bagaimana kita dapat memahami cara
manusia memersepsikan risiko. Pemahaman tentang cara berpikir ini menjadi penting
karena akan memberikan informasi yang bermanfaat tentang cara mengintervensi
maupun mencegah terjadinya kerusakan lingkungan di masa yang akan datang.
Berikut akan dijelaskan beberapa kecenderungan yang keliru (bias) dalam proses
berpikir manusia terkait permasalahan-permasalahan yang terjadi di bumi kita (Böhm,
2019; Mensah, 2019). Proses yang keliru ini juga dilakukan dalam menilai risiko dari
berbagai masalah lingkungan.
MSLK5110 Modul 01 1.9
Gambar 1.2
Masyarakat yang Menjadi Relawan Membersihkan Stadion
pada Asian Games 2018
Ada pula pemikiran heuristik yang disebut dengan availability heuristik, yaitu
kecenderungan untuk menyimpulkan sesuatu berdasarkan sering dan mudahnya
kejadian tersebut terjadi. Terkait risiko masalah lingkungan, orang menjadi lebih
percaya dan menjadi peduli terhadap global warming pada hari di mana ia mengalami
hari yang panasnya ekstrem karena informasi tentang global warming telah begitu
banyak ia dengar dan disampaikan oleh media maupun pihak lain (Joireman, Truelove
& Duell, 2010).
Belakangan ini juga mulai diteliti heuristik yang bukan merupakan proses
kognitif, namun lebih merupakan proses emosi dalam pengambilan keputusan. Affect
heuristik menggambarkan kondisi affeckt (emosi) seseorang berperan penting dalam
menentukan penilaian risiko. Bila seseorang merasa positif akan sesuatu, ia akan
menilai hal tersebut memberikan risiko yang kecil, namun memberi manfaat besar bagi
dirinya. Penilaian yang sebaliknya akan terjadi bila ia merasa negatif tentang sesuatu
(Joireman dkk., 2010).
mulai terlihat sekitar 18 tahun kemudian. Pada awalnya ikan-ikan dan kucing
menunjukkan perilaku yang janggal dan beberapa tahun setelahnya korban manusia
yang meninggal akibat kelumpuhan syaraf otak mulai terjadi. Limbah air raksa tersebut
berasal dari sebuah pabrik baterai (Harada, 1995). Bahaya dari pencemaran air raksa ini
juga sudah diketahui para pengusaha emas di Indonesia, namun para pelaku yang terkait
seolah tidak mengindahkan himbauan pemerintah (Pambagio, 2017). Kemungkinan
besar ketidakpedulian ini terjadi karena efek samping penggunaan air raksa pada
penambangan emas tidak langsung terlihat.
Carilah beberapa contoh berita dari surat kabar atau media sosial yang
menceritakan peranan manusia dalam mencegah kerusakan lingkungan dan diskusikan
faktor-faktor apa saja yang berperan dalam peristiwa tersebut?
Saat ini cukup banyak insiatif yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun
pihak-pihak nonpemerintah, seperti LSM atau perusahaan swasta yang menggunakan
dana CSR (Corporate Social Responsibility) untuk memperbaiki kerusakan lingkungan.
Motivasi yang mendasari kegiatan-kegiatan ini dapat disebabkan faktor internal, seperti
sikap ataupun nilai-nilai yang terinternalisasi dalam diri manusia, tetapi juga mungkin
disebabkan faktor-faktor eksternal, misalnya motif ekonomi, ”ikut-ikutan”, paksaan,
dan sebagainya. Selain itu ada banyak faktor lain yang juga berperan, seperti pendidikan,
pengetahuan, sikap, nilai, komitmen moral, place attachment, dan lain-lain.
Kegiatan
Belajar
lingkungan dapat dibedakan menjadi dua topik bahasan, yaitu bagaimana dampak
lingkungan terhadap perilaku manusia dan bagaimana dampak perilaku manusia
terhadap lingkungan.
Lingkungan alami adalah bumi dengan semua aspeknya, seperti sinar matahari,
suhu udara, hujan, hutan, sungai, laut, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan masih banyak
lagi yang terbentuk secara alamiah. Mungkin Anda agak meragukan apakah lingkungan
alamiah dapat akan memengaruhi perilaku dan kegiatan manusia. Sebuah penelitian
yang dilakukan (Klimstra dkk., 2011) menemukan bahwa keadaan cuaca dapat
memengaruhi suasana hati tergantung dari jenis tipe manusia. Tipe manusia pecinta
musim panas akan memiliki suasana hati yang lebih baik jika cuaca cerah dan suhu
hangat. Sebaliknya, tipe pembenci musim panas justru akan lebih baik suasana hatinya
ketika musim hujan.
Selain lingkungan alamiah, kita juga dikelilingi oleh lingkungan fisik yang
merupakan hasil karya manusia atau kadang disebut sebagai lingkungan buatan atau
lingkungan binaan. Lingkungan buatan dapat menyerupai lingkungan alamiah,
misalnya hutan kota, danau buatan, dan berbagai tiruan alam lainnya, namun dapat juga
berbentuk benda mati. Umumnya, sebagian besar lingkungan fisik buatan yang diteliti
dalam psikologi adalah ruang/gedung dengan semua tata ruang, interior maupun
peletakan benda-benda sebagai isi ruang. Yang menjadi topik penelitian, misalnya
dampak dari warna, cahaya, pengudaraan, tata letak ruang, dan benda terhadap perilaku
manusia berinteraksi dalam ruang.
Perlu juga diingat bahwa ruang tidak selalu harus berarti berada di dalam
bangunan. Ruang luar yang sengaja dibuat, seperti taman bermain, jalan, dan sebagainya
juga merupakan lingkungan fisik. Salah satu penelitian yang dapat menjadi contoh
bagaimana lingkungan fisik buatan manusia berdampak pada perilaku manusia adalah
eksperimen (Heydarian, Pantazis, Carneiro, Gerber & Becerik-Gerber, 2016). Mereka
memanipulasi iluminasi cahaya dalam ruang kerja kantor dan menemukan bahwa
partisipan cenderung lebih menyukai pencahayaan yang lebih mendekati dengan
pencahayaan alami (dengan keberadaan jendela dan derajat keterangan yang
menyerupai pencahayaan alami). Selain itu, partisipan akan lebih cepat membaca dan
memahami sebuah tugas bacaan jika mereka berada dalam ruang dengan simulasi
pencahayaan yang mendekati pencahayaan alami.
Tata ruang bangunan juga dapat memengaruhi interaksi antar manusia. Sebuah
penelitian yang dilakukan oleh (Beijersbergen, Dirkzwager, van der Laan &
Nieuwbeerta, 2016) menunjukkan bahwa arsitektur penjara akan memengaruhi persepsi
para narapidana tentang hubungannya dengan para sipir penjara. Ternyata, para
narapidana yang ditempatkan di penjara yang berbentuk “panopticon” akan
memersepsikan hubungan interpersonal dengan para sipir lebih negatif daripada para
narapidana yang ditempatkan di gedung dengan desain yang lebih modern (misalnya
desain kampus).
MSLK5110 Modul 01 1.15
Gambar 1.3
Sebelah Kiri adalah Penjara dengan Desain Panopticon dan Sebelah Kanan
adalah Desain Penjara yang Mengikuti Tata Letak Kampus
Jelaskan mengapa ruang lingkup psikologi lingkungan tidak hanya terbatas pada
dampak lingkungan terhadap manusia saja? Beri beberapa contoh!
Ruang lingkup psikologi lingkungan dapat dibedakan menjadi dua topik bahasan,
yaitu bagaimana dampak lingkungan terhadap perilaku manusia dan bagaimana dampak
perilaku manusia terhadap lingkungan. Tetapi kedua hal ini sebenarnya tidak
terpisahkan. Lingkungan fisik dapat memengaruhi manusia, misalnya air sungai atau
laut yang meluap menyebabkan banjir dan akan memengaruhi perilaku manusia. Tetapi
MSLK5110 Modul 01 1.17
Ada pendapat yang menyatakan bahwa terjadi transaksi antara manusia dengan
lingkungan fisik. Mengapa disebut transaksi, apa maksudnya?
1.18 Pengantar Psikologi Lingkungan
Kegiatan
Belajar
Sejarah Psikologi
Lingkungan 3
I stilah psikologi lingkungan mulai dikenal sebagai salah satu cabang psikologi di
akhir tahun 1960-an. Dapat dikatakan bahwa usia psikologi lingkungan relatif muda
dibandingkan dengan cabang-cabang psikologi lainnya. Ilmu psikologi sendiri juga
merupakan ilmu yang masih muda, walaupun para filsuf, seperti Aristotele (384-322
SM) dan Plato (427-347 SM) telah memikirkan tentang dasar-dasar psikologi. Namun
secara resmi, psikologi dianggap sebagai ilmu adalah ketika Wundt (1832-1920)
mendirikan laboratorium di Leipzig, di tahun 1879. Laboratorium tersebut didirikan
dengan tujuan untuk meneliti mind manusia yang terbentuk melalui pandangan,
pengalaman, emosi, dan elemen-elemen dasar lainnya secara ilmiah dan objektif. Itu
sebabnya Wund dianggap sebagai Bapak dari Ilmu Psikologi (Ciccarelli & Meyer,
2010). Jadi, dapat dikatakan bahwa psikologi sebagai ilmu baru berusia sekitar 140
tahun.
Jika ditelusuri, ada dua masa yang menandai kelahiran dari psikologi lingkungan:
masa ketika psikologi baru saja lahir di pertengahan abad 18 dan setelah masa akhir
abad ke-19. Pemikiran tokoh-tokoh psikologi bahwa ada interaksi antara lingkungan
fisik dengan perilaku manusia, telah muncul tidak lama setelah lahirnya psikologi.
Tokoh pertama yang diketahui menggagas ide psikologi lingkungan adalah Hellpach
(1877-1955). Hellpach adalah salah seorang mahasiswa Wundt yang meneliti dampak
alam seperti matahari dan bulan terhadap kegiatan manusia. Hellpach dianggap sebagai
tokoh pertama yang memperkenalkan istilah Psychologie der Umwelt yang berarti
psikologi lingkungan. Selain Hellpach, ada juga kakak beradik Hans Muchow dan
Martha Muchow yang juga meneliti isu-isu yang terkait psikologi lingkungan. Salah
satu karya kakak beradik Muchow yang terkenal adalah Der Lebensraum des
Großstadtkindes (Ruang Kehidupan Anak di Kota Besar). Buku ini beberapa kali
dicetak ulang dan memengaruhi munculnya ide dari Stern, seorang tokoh psikologi
lingkungan modern yang membahas tentang adanya personal world yang menjadi cikal
bakal konsep psikologi lingkungan yang penting (Pol, 2006). Namun, hasil penelitian
dari kakak beradik Muchow tersebut belum dapat dikatakan sebagai ilmu yang berdiri
sendiri karena penelitian mereka belum dilakukan secara sistematis dan tidak secara
khusus meneliti interaksi manusia dengan lingkungannya (Steg dkk., 2013).
MSLK5110 Modul 01 1.19
Gambar 1.4
Tahapan Sejarah Psikologi Lingkungan
Akar-akar psikologi lingkungan yang lebih modern ditemukan pada ide-ide yang
dikemukakan oleh Egon Brunswik (1903-1955) dan Kurt Lewin (1890-1947).
Pemikiran kedua tokoh ini dipengaruhi oleh pandangan psikologi Gestalt pada masa itu
yang menekankan bahwa perilaku tidak dapat dilepaskan dari konteks lingkungan di
mana perilaku itu terjadi. Kedua tokoh ini, terutama Lewin dianggap sebagai Bapak dari
psikologi lingkungan modern (Pol, 2006). Karya-karya Lewin nantinya akan
menginspirasi para perintis psikologi lingkungan, seperti Roger Barker, Urie
Bronfenbrenner, dan Robert Sommer.
Penelitian psikologi lingkungan mulai sangat berkembang pada akhir 1940-an
dan 1950-an. Pada masa ini, Perang Dunia bisa dianggap telah selesai dan negara-negara
yang kuat mulai membangun kembali kota-kota yang hancur akibat perang. Salah satu
tokoh penting yang menyadari pentingnya peranan lingkungan fisik adalah Perdana
Menteri Inggris Winston Churchill (1874-1965). Dalam salah satu pidatonya di tahun
1944, ia mengatakan: “First we shape our buildings, and afterwards, our buildings
shape us.” Perkataan Churchill ini sering dipakai dalam artikel atau buku psikologi
lingkungan untuk menjelaskan pemahaman bahwa terdapat interaksi timbal balik antara
lingkungan yang dibangun manusia dan manusia itu sendiri (Bell, Green, Fisher &
Baum, 2001). Beberapa tokoh yang juga sangat berperan dalam kelahiran kedua
psikologi lingkungan pada masa ini adalah William Ittelson dan Harold Proshansky dari
City University of New York. Mereka mendapatkan dana penelitian dari pemerintah
Amerika Serikat untuk meneliti bagaimana pengaturan spasial atau arsitektur dari
sebuah rumah sakit jiwa akan berpengaruh pada perilaku pasien (Bonnes & Secchiaroli,
1995). Dari penelitian di rumah sakit jiwa ini, mereka menyimpulkan bahwa cara
1.20 Pengantar Psikologi Lingkungan
pengaturan ruang di rumah sakit akan memengaruhi pola interaksi pasien (Holahan,
1972). Pada tahun 1964, Ittelson untuk pertama kalinya memperkenalkan istilah
‘environmental psychology’ di New York di tahun 1964 pada sebuah Konferensi
Asosiasi Rumah. Pada kurun waktu yang tidak jauh berbeda, ada peneliti-peneliti lain
di Kanada, Inggris, Swedia, dan Jepang yang tertarik pada isu-isu interaksi bangunan
fisik dengan perilaku manusia (Bonnes & Secchiaroli, 1995). Maka dari itu, dapat
dikatakan bahwa pada masa 1960-an sampai 1970-an, psikologi lingkungan paling
berkembang di Amerika Serikat.
Penelitian-penelitian di awal perjalanan psikologi lingkungan memang sering
dilakukan dalam setting laboratorium. Adalah Roger Barker (1963, 1965) yang tidak
menyetujui penelitian-penelitian yang dilakukan di laboratorium. Barker juga dianggap
sebagai salah satu pendiri psikologi lingkungan dan beliau mengusulkan istilah
ecological psychology. Pendekatan ekologis yang kemudian banyak diikuti para peneliti
lingkungan ini mementingkan penelitian dilakukan di situasi yang alamiah yang
mempertimbangkan baik faktor manusia, situasi sosial pada saat itu, termasuk juga
faktor ruang dan keadaan fisik (Bonnes & Secchiaroli, 1995; Corral-Verdugo, Garcia-
Cadena & Frías-Armenta, 2010). Pandangan Barker dan beberapa tokoh lain yang
akhirnya memberi ‘warna’ yang agak berbeda dengan cabang psikologi lain, yaitu
bahwa psikologi lingkungan adalah ilmu yang perlu dikembangkan dari data-data yang
berasal dari gejala alamiah dan bukan direkayasa di laboratorium.
Jika kata kunci “environmental psychology” dan “ecological psychology”
ditelusuri melalui situs Google Cendekia maka terlihat ada peningkatan yang pesat dari
artikel hasil penelitian maupun buku-buku dengan topik psikologi lingkungan sejak
1960-an. Tentu, ada kemungkinan bahwa peningkatan ini disebabkan kemajuan
teknologi yang memudahkan para peneliti dan penulis dalam mendiseminasikan hasil
penelitian mereka. Dari data-data ini juga terlihat bahwa topik psikologi lingkungan
masih merupakan topik yang banyak diminati dan dianggap penting. Berikut adalah
grafik dari jumlah artikel atau buku yang ditemukan melalui penelusuran Google
Cendekia (diunduh pada tanggal 3 Mei 2019).
Gambar 1.5
Jumlah Artikel Psikologi Lingkungan
MSLK5110 Modul 01 1.21
Dari Gambar 1.5 dapat dilihat bahwa ada peningkatan minat yang signifikan
terhadap topik-topik psikologi lingkungan sejak tahun 2000-an. Dari data-data ini dapat
disimpulkan bahwa saat ini, kaum ilmuwan menganggap bahwa kaitan antara perilaku
manusia dengan lingkungan merupakan topik yang penting untuk dipelajari. Topik-
topik yang menjadi pembahasan psikologi lingkungan sekarang ini makin bervariasi dan
banyak sekali penelitian tentang lingkungan dilakukan secara multidisiplin ataupun
inter dan intra disiplin.
Jika ditelusuri lebih dalam, dapat dilihat bahwa topik-topik yang muncul di awal
sejarah psikologi lingkungan sangat berbeda dengan topik-topik yang sekarang. Pada
awal kelahiran psikologi lingkungan, topik-topik yang dibahas cenderung terkait
dengan psikologi arsitektur. Salah satu penelitian yang menjadi tonggak penting dalam
perkembangan psikologi lingkungan adalah penelitian dari Ittelson dan Proshansky
yang berjudul “Some Factors Influencing the Design and Function of Psychiatric
Facilities”. Ittelson adalah tokoh yang pertama kali memperkenalkan istilah
‘environmental psychology’ pada Conference of the American Hospital Association on
Hospital Planning di New York, di tahun 1964. Judul presentasi Ittelson pada waktu itu
adalah ‘Environmental Psychology and Architectural Planning’. Mereka meneliti
kaitan desain rumah sakit dengan perilaku pasien di dalamnya. Minat akan topik ini
ternyata juga terjadi di beberapa negara lainnya dan sejak saat itu artikel-artikel yang
membahas kaitan lingkungan fisik dan manusia bertambah terus (Bonnes & Secchiaroli,
1995).
Dalam sepuluh tahun pertama perjalanan psikologi lingkungan, topik-topik yang
dibahas dan diteliti cenderung bernuansa arsitektur, misalnya proxemics, interpersonal
space, crowding, territoriality, privacy, cognitive map (Bonnes & Secchiaroli, 1995).
Namun, topik-topik yang berwarna arsitektur hanya mendominasi sampai tahun
pertengahan tahun 1980-an. Setelah pertengahan tahun 1980-an, topik-topik yang
cenderung mempermasalahkan isu keberlanjutan (sustainability) mulai muncul (Gifford,
2007a; Pol, 2007). Kemungkinan besar perubahan arah minat pada topik keberlanjutan
ini terjadi karena makin kuatnya dukungan terhadap Greenpeace (Gifford, 2007b).
Greenpeace adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang terbentuk
di awal tahun 1970-an. Pada masa itu sekelompok orang Amerika dan Kanada yang
terdiri dari kelompok pencinta kedamaian, para hippie, veteran Perang Dunia II dan
putus sekolah memprotes keberadaan pembangkit tenaga nuklir. Dukungan terhadap
Greenpeace ini secara perlahan membawa perhatian para peneliti lingkungan pada hal-
hal yang terkait kelangsungan hidup semua makhluk hidup, termasuk manusia.
1.22 Pengantar Psikologi Lingkungan
Gambar 1.6
Salah Satu Kampanye Greenpeace di Media Sosial
Saat ini Greenpeace adalah salah satu LSM terbesar dan berpengaruh di dunia
(Zelko, 2017). Oleh karena mereka konsisten menyuarakan pentingnya menjaga bumi
untuk keberlanjutan semua makhluk hidup di muka bumi ini dan karena kekhawatiran
mereka juga terbukti secara empiris maka Greenpeace telah menginspirasi dan
memengaruhi banyak LSM maupun kebijakan-kebijakan politik berbagai negara. Oleh
karena itu, penelitian-penelitian di atas tahun 1980-an juga banyak yang mendalami isu
keberlanjutan ini. Perkembangan psikologi lingkungan mungkin memang tidak secepat
cabang-cabang psikologi lainnya—seperti yang diramalkan oleh (Stokols, 1995)—
karena sulitnya mengembangkan teori-teori besar (grand theory) yang dapat
memayungi berbagai disiplin ilmu, selain juga beragamnya permasalahan akibat
interaksi lingkungan fisik dengan manusia yang muncul dan harus dicarikan jalan
keluarnya.
Topik dan judul penelitian psikologi lingkungan pada kurun waktu tertentu
mencerminkan isu yang sedang diminati atau menjadi kebutuhan pada masa itu. Di awal
perjalanan psikologi lingkungan, perang dunia baru saja selesai dan negara-negara Barat
sedang membangun kembali. Saat ini bumi sedang mengalami krisis air, polusi, dan
banyak masalah lingkungan lainnya termasuk juga dampak dari kemajuan teknologi.
Hal ini juga tercermin dari topik-topik penelitian yang menjadi minat kaum akademis.
Jika ditelusuri, ada dua masa yang menandai kelahiran dari psikologi lingkungan:
masa ketika psikologi baru saja lahir di pertengahan abad 18 dan setelah masa akhir
abad ke-19. Secara resmi, psikologi lingkungan diakui sebagai sebuah ilmu yang berdiri
sendiri di tahun 1960-an. Pada awal kelahiran psikologi lingkungan, topik-topik yang
dibahas cenderung terkait dengan psikologi arsitektur dan saat ini topik-topik psikologi
lingkungan justru lebih mengarah ke isu keberlanjutan atau sustainability.
Pada dasarnya manusia ingin hidup dalam keadaan ’harmonis’. Namun, ketika
ada permasalahan yang muncul dan sulit diselesaikan, ada kemungkinan manusia tidak
mau mengakui adanya permasalahan tersebut. Manusia kemudian mengecilkan masalah
tersebut, dampaknya dan kemungkinan risiko yang bisa terjadi. Manusia melakukan
proses berpikir heuristik yang cenderung intuitif, cepat, dan bias.
Tidak dapat kita pungkiri bahwa berbagai permasalahan yang terkait dengan
keberlangsungan alam memang memerlukan berbagai terobosan teknologi dan bantuan
dari berbagai ilmu lain. Ilmu yang terkait dengan perbaikan lingkungan fisik atau bumi
tidak hanya dapat dimonopoli oleh psikologi. Namun, peranan psikologi memang
penting karena pada dasarnya justru perilaku manusia yang perlu diubah. Psikologi
dapat membantu memahami mengapa manusia berperilaku tidak ramah pada
lingkungannya dan faktor-faktor apa yang dapat mengubahnya. Dengan memahami cara
berpikir manusia terhadap alam maka dapat dikembangkan intervensi-intervensi yang
dapat mencegah maupun mengatasi makin buruknya permasalahan lingkungan di bumi
ini.
Hubungan antara manusia dan lingkungan disebut transaksi karena manusia dan
lingkungan selalu saling memengaruhi. Ketika lingkungan fisik memengaruhi manusia
(misalnya udara yang terlalu panas menyebabkan seorang individu sulit berkonsentrasi).
Kemungkinan besar manusia akan mencari cara untuk memengaruhi keadaan akibat
keadaan lingkungan fisiknya (misalnya dengan menyalakan pendingin udara). Dampak
dari alat pendingin udara akan memengaruhi kualitas udara yang kembali akan
memengaruhi manusia dan proses ini akan berjalan terus-menerus.
Glosarium
Biophilia : Keterikatan atau keinginan manusia untuk selalu dekat
dengan lingkungan alamiah yang memberinya
kehidupan atau makhluk hidup lain di sekitarnya.
Keterikatan atau keinginan tersebut merupakan
kecenderungan bawaan atau muncul tanpa diajari
sekalipun.
Lingkungan fisik : Semua benda hidup maupun mati yang ada di bumi, di
lingkungan sekitar manusia, dan berhubungan timbal
balik dengan manusia.
Daftar Pustaka
Barrow, C. (2014). Environmental change and human development: Controlling
nature? Routledge.
Beijersbergen, K. A., Dirkzwager, A. J., van der Laan, P. H., & Nieuwbeerta, P. (2016).
A social building? Prison architecture and staff–prisoner relationships. Crime &
Delinquency, 62(7), 843-874.
Bell, P. A., Green, T., Fisher, J. D., & Baum, A. (2001). Environmental psychology.
New Jersey.
Bell, P. A., Greene, T. C., Fisher, J. D., & Baum, A. (2001). Environmental psychology
(5th edition). London: Lawrence Erlbaum.
Cialdini, R. B., Reno, R. R., & Kallgren, C. (1990). A focus theory of normative
conduct: Recycling the concept of norms to reduce littering in public places.
Journal of personality and social psychology, 58(6), 1015.
Ciccarelli, S., & Meyer, G. (2010). Psychology. New Delhi: Pearson Education.
Diananto, W. (2018). Hingga hari ke-15 Asian Games, 15.000 kg sampah plastik
terkumpul. In teras.id.
MSLK5110 Modul 01 1.27
Heriyanto, D. (2019). One in five Indonesians don't believe human activity causes
climate change. The Jakarta Post.
Heydarian, A., Pantazis, E., Carneiro, J. P., Gerber, D., & Becerik-Gerber, B. (2016).
Lights, building, action: Impact of default lighting settings on occupant
behaviour. Journal of Environmental Psychology, 48, 212-223.
Joireman, J., Truelove, H. B., & Duell, B. (2010). Effect of outdoor temperature, heat
primes and anchoring on belief in global warming. Journal of Environmental
Psychology, 30(4), 358-367.
Klimstra, T. A., Frijns, T., Keijsers, L., Denissen, J. J., Raaijmakers, Q. A., Van Aken,
M. A., dkk. (2011). Come rain or come shine: Individual differences in how
weather affects mood. Emotion, 11(6), 1495.
Kundalini, D., & Latif, A. (Eds.). (2018). Statistik transportasi DKI Jakarta 2018.
Jakarta: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta.
Nkwachukwu, O. I., Chima, C. H., Ikenna, A. O., & Albert, L. (2013). Focus on
potential environmental issues on plastic world towards a sustainable plastic
recycling in developing countries. International Journal of Industrial Chemistry,
4(1), 34.
1.28 Pengantar Psikologi Lingkungan
Pol, E. (2006). Blueprints for a history of environmental psychology (I): From first birth
to American transition. Medio Ambiente y Comportamiento Humano, 7(2), 95-
113.
Smith, J., Shearman, D., & Positano, S. (2007). Climate change as a crisis in world
civilization: why we must totally transform how we live. Edwin Mellen Press.
Steg, L. E., Van Den Berg, A. E., & De Groot, J. I. (2013). Environmental psychology:
An introduction: BPS Blackwell.
Tversky, A., & Kahneman, D. (1981). The framing of decisions and the psychology of
choice. Science, 211(4481), 453-458. doi:10.1126/science.7455683