Anda di halaman 1dari 28

MSLK5110

Edisi 1

MODUL 01
Pengantar Psikologi
Lingkungan
Dr. Dipl. Psych. Ratna Djuwita, Psikolog
Dra. Amarina Ariyanto, M.Psi., Ph.D
Daftar Isi

Modul 01 1.1
Pengantar Psikologi Lingkungan

Kegiatan Belajar 1 1.6


Mengapa Psikologi Lingkungan
Penting?

Latihan 1.12
Rangkuman 1.12
Tes Formatif 1 1.12

Kegiatan Belajar 2 1.13


Definisi dan Ruang Lingkup Psikologi
Lingkungan

Latihan 1.16
Rangkuman 1.17
Tes Formatif 2 1.17

Kegiatan Belajar 3 1.18


Sejarah Psikologi Lingkungan

Latihan 1.22
Rangkuman 1.23
Tes Formatif 3 1.23

Kunci Jawaban Tes Formatif 1.24


Glosarium 1.25
Daftar Pustaka 1.26
MSLK5110 Modul 01 1.3

H ubungan manusia dan lingkungan tidak terpisahkan, keduanya saling


memengaruhi secara timbal balik. Sejak keberadaannya di bumi, manusia
berusaha untuk dapat bertahan hidup. Untuk kelangsungan hidupnya manusia
bereproduksi, dan tentunya makan dan minum dari alam sampai satu saat manusia akan
wafat. Sejarah menunjukkan bahwa pada hampir semua budaya, pada umumnya
seseorang yang telah wafat akan dikembalikan ke alam, misalnya dengan dimakamkan
di tanah baik dalam keadaan utuh ataupun dibakar. Walaupun kita tidak dapat
menghitung berapa jumlah pasti manusia yang sudah wafat, kenyataan menunjukkan
bahwa dalam beberapa ratus tahun terakhir, jumlah populasi manusia selalu bertambah.
Oleh karena bertambah banyak maka manusia menyebar dan melakukan berbagai
kegiatan di bumi yang disadari atau tidak, pasti membawa perubahan terhadap bumi.
Perubahan pada bumi ini kembali berpengaruh pada manusia. Jadi, manusia dan bumi
atau yang dalam modul ini dinyatakan sebagai lingkungan fisik, saling memengaruhi
secara terus-menerus.
Peran lingkungan fisik dalam kehidupan manusia sering kali dianggap tidak
penting. Fakta bahwa manusia adalah makhluk hidup paling cerdas di bumi terkadang
membuat kita beranggapan bahwa manusialah yang paling berkuasa dalam menentukan
pilihan perilakunya. Oleh karena merasa paling cerdas dan berkuasa, manusia
menebang hutan, menutup danau, membangun berbagai fasilitas tanpa memikirkan
dampak jangka panjang yang akan terjadi. Manusia yakin bahwa pembangunan dan
perubahan di alam akan meningkatkan kenyamanan hidup manusia dan semua ada di
bawah kendali manusia.
Keyakinan ini akan berbalik ketika bencana alam telah terjadi. Contoh sederhana,
jika banjir terjadi, manusia cenderung menyalahkan alam. Alamlah yang menyebabkan
semua bencana terjadi dan manusia seolah-olah tak berdaya untuk mencegahnya.
Padahal hubungan manusia dan alam saling memengaruhi satu sama lain. Misalnya saja
bencana banjir yang sering terjadi di perkotaan jika ditelusuri sebabnya maka umumnya
akan ditemukan bahwa banyak got dan sungai yang tersumbat sampah dan
kemungkinan besar hal ini disebabkan manusia membuang sampah secara sembarangan.
Jika ditelusuri lebih dalam lagi akan ditemukan bahwa lahan hijau di perkotaan sangat
kurang, padahal lahan hijau sangat penting peranannya dalam menyerap air hujan.
Kurangnya lahan hijau tentu tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan karena
keputusan yang dibuat manusia.
Ada juga bencana alam yang memang kemungkinan besar terjadi bukan karena
campur tangan manusia seperti misalnya tsunami yang terjadi karena pergeseran
lempeng bumi di dalam laut atau letusan gunung berapi. Namun yang sangat penting
diingat—terlepas dari asal mula sebuah gejala alam terjadi—semua kejadian yang
terjadi di alam, di bumi kita, dampaknya pasti akan memengaruhi kehidupan manusia.
Seperti misalnya sekarang ini banyak sekali perubahan alam yang terjadi yang secara
tidak disadari sudah memengaruhi perilaku manusia. Pemanasan global adalah salah
1.4 Pengantar Psikologi Lingkungan

satu gejala alam serius yang nyata-nyata terjadi, tetapi tampaknya sebagian besar
manusia menganggap hal ini bukan sebagai ancaman. Sebuah survei untuk mengetahui
pandangan masyarakat tentang dampak pemanasan global mengungkapkan bahwa 18%
orang Indonesia tidak percaya bahwa aktivitas manusia dapat menyebabkan perubahan
iklim, dan 6% lainnya bahkan yakin bahwa tidak terjadi perubahan iklim. Bahkan 8%
beranggapan bahwa isu pemanasan global adalah hoax (Heriyanto, 2019). Survei ini
menunjukkan bahwa masih cukup banyak orang Indonesia yang tidak menyadari bahwa
mereka berperan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di bumi.
Bumi yang diperkirakan para peneliti telah berusia kurang lebih 4,54 miliar tahun
telah bertahan dan akan tetap bertahan menghadapi berbagai bencana alam, seperti
perubahan cuaca yang drastis, gempa bumi, letusan gunung, kebakaran, banjir, juga
tsunami. Bahkan, jika terjadi perang dan setiap negara menggunakan persenjataan
nuklirnya yang mengakibatkan kepunahan semua makhluk hidup di bumi, bumi tetap
akan ada dan secara perlahan proses evolusi dan kehidupan akan dimulai kembali
(Barrow, 2014). Memang, mungkin bumi akan memerlukan beberapa miliar tahun lagi
untuk dapat merestorasi diri dan bumi kembali mencapai keadaannya seperti sekarang.
Namun bumi akan bertahan. Pertanyaannya justru apakah manusia dan makhluk hidup
lainnya masih ada?
Penebangan hutan secara ilegal, membuang sampah ke sungai sehingga merusak
biota laut, polusi udara, dan banyak contoh lainnya menjadi bukti bahwa manusia
bertindak secara tidak bertanggung jawab terhadap bumi. Manusia lupa bahwa
manusialah yang membutuhkan bumi untuk bertahan hidup. Sebuah pepatah tua dari
Afrika, yaitu “rawatlah bumi dengan baik; bumi bukanlah warisan orang tuamu;
melainkan dipinjamkan oleh anak cucumu”. Dari pepatah ini, dapat disimpulkan bahwa
manusia sudah sejak lama menyadari bahwa manusia yang membutuhkan bumi untuk
bertahan hidup. Contoh yang paling sederhana mungkin dapat dilihat dari bagaimana
berbagai tanaman masih dapat bertahan tanpa air, tetapi manusia hanya dapat bertahan
beberapa hari tanpa air.

Gambar 1.1
Manusia Membutuhkan Bumi untuk Mempertahankan Eksistensi Spesies Manusia.
Oleh karena itu, Manusia Perlu Lebih Peduli dan Berperilaku Ramah Terhadap Bumi.
MSLK5110 Modul 01 1.5

Jika memang manusia yang membutuhkan bumi untuk bertahan hidup maka
sudah sepatutnya manusia yang proaktif berusaha melestarikan kehidupan di bumi ini.
Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk melestarikan bumi, salah satunya adalah
dengan menerapkan teori-teori psikologi melalui psikologi lingkungan.
Setelah mempelajari modul ini, Anda diharapkan mampu:
1. Menjelaskan kembali bagaimana peranan psikologi dalam mencegah dan
menyelesaikan permasalahan lingkungan yang terjadi.
2. Menjelaskan kembali definisi psikologi lingkungan dan memberikan berbagai
contoh dari ruang lingkup psikologi lingkungan.
3. Menjelaskan kembali sejarah perkembangan psikologi lingkungan.

Selamat belajar!
1.6 Pengantar Psikologi Lingkungan

Kegiatan
Belajar

Mengapa Psikologi
Lingkungan Penting? 1
M engapa psikologi lingkungan penting untuk dipelajari? Para ilmuwan telah
mendokumentasikan berbagai ancaman yang berdampak buruk pada
kelangsungan hidup seluruh biosfer di planet bumi, seperti polusi, kelebihan penduduk,
perubahan iklim, kepunahan spesies, penggundulan hutan, penipisan lapisan ozon,
hilangnya lapisan atas tanah, dan kerusakan terumbu karang (Carson, 2002). Saat ini,
salah satu ancaman besar lingkungan yang sangat mengkhawatirkan adalah bencana
banjir besar yang disebabkan oleh semakin luasnya penyusutan gunung-gunung es di
Kutub Utara akibat pencairan es yang semakin cepat sehingga membuat permukaan air
laut semakin meningkat. Jika mencairnya es di kutub terjadi secara lebih cepat daripada
perhitungan manusia, tentu akan terjadi bencana alam yang sangat besar.
Sebagian besar orang mengatakan bahwa bencana alam merupakan hal yang tidak
terhindarkan. Benarkah demikian? Apakah semua bencana alam memang merupakan
proses alam dan tanpa keterlibatan manusia? Jika direnungkan secara mendalam,
mungkin hanya letusan gunung berapi dan gempa bumi yang dapat dikatakan sebagai
bencana alam murni yang terjadi tanpa campur tangan manusia. Akan tetapi,
peningkatan suhu udara global yang memicu mencairnya gunung-gunung es di wilayah
kutub, kebakaran hutan, polusi, dan banyak permasalahan lingkungan lainnya sering
kali terjadi karena perilaku manusia. Adanya kemajuan teknologi dan kegiatan industri
berdampak pada kerusakan bumi akibat perilaku manusia. Kerusakan pun semakin
parah dan cepat.
Lalu, apa kaitannya keberlangsungan manusia maupun bumi dengan psikologi?
Ketika kita membicarakan kerusakan di bumi yang kita tinggali, bukankah ini
merupakan ranah ilmu para pakar biologi, geologi, mungkin teknik lingkungan? Lalu di
mana peranan psikologi?
Psikologi memang bukan merupakan ilmu yang langsung terkait dengan gejala-
gejala alam yang terjadi di bumi kita. Tetapi saat ini, tidak dapat dipungkiri bahwa
peranan psikologi sebagai ilmu yang membahas tentang dinamika perilaku manusia
sangat penting. Sekarang bayangkan, Anda sedang berjalan di sebuah kawasan
pertokoan, lalu ada seorang sales membagikan brosur tawaran pembelian kendaraan.
Saat ini, Anda tidak berminat untuk membeli kendaraan tersebut. Anda segera mencari
tempat sampah karena Anda memutuskan untuk membuang brosur tersebut. Setelah
mencari, Anda tidak menemukan tempat sampah, namun Anda melihat bahwa di pojok
ruangan terdapat tumpukan sampah yang berserakan. Mungkin Anda seperti sebagian
besar orang di Indonesia akan membuang brosur tersebut di tumpukan sampah yang
MSLK5110 Modul 01 1.7

terlihat. Perilaku Anda akan berbeda jika ruangan tersebut sangat bersih. Kemungkinan
besar, Anda akan mengantongi brosur tersebut sampai menemukan tempat sampah. Di
sinilah peranan ilmu psikologi menjadi penting karena akan membahas mengapa
manusia akan berperilaku berbeda.
Mengapa perilaku Anda berbeda? Hal ini disebabkan konteks lingkungan fisik
yang berbeda. Peristiwa ini adalah salah satu bukti bahwa lingkungan fisik tempat kita
berada akan memengaruhi perilaku yang kita pilih. Penelitian yang dilakukan oleh
(Cialdini, Reno, & Kallgren, 1990) menunjukkan bahwa keadaan lingkungan yang kotor
dengan sampah atau tidak bersih dapat menyiratkan norma sosial yang berlaku dan akan
memengaruhi pilihan perilaku individu dalam konteks tersebut. Ketika berada di
lingkungan kotor, manusia tersebut akan berpikir bahwa adalah hal yang wajar untuk
membuang sampah sembarangan di tempat itu. Sebaliknya, ketika ia berada di
lingkungan yang sangat bersih, manusia akan mempersepsikan bahwa ia diharapkan
untuk tidak mengotori tempat tersebut. Jadi, lingkungan fisik memengaruhi manusia
dan kemudian manusia juga memengaruhi lingkungan fisik tersebut. Kesimpulannya,
interaksi manusia dengan lingkungan fisik selalu berjalan timbal balik.
Berbagai penelitian terkait psikologi lingkungan telah menunjukkan bahwa ada
interaksi timbal balik antara manusia dengan lingkungan fisik di mana manusia berada.
Yang dimaksud dengan lingkungan fisik adalah semua benda hidup maupun mati yang
ada di bumi, yang ada di lingkungan di mana manusia hidup. Lingkungan fisik dapat
dibedakan sebagai lingkungan alamiah dan lingkungan buatan. Lingkungan alamiah
adalah gunung, hutan, pantai, tanah, air, berbagai kekayaan bumi, dan semua makhluk
hidup termasuk juga berbagai tanaman. Lingkungan alamiah adalah bagian dari bumi
yang terbentuk melalui proses evolusi. Lingkungan fisik dapat juga merupakan buatan
manusia, seperti gedung-gedung, taman bermain, jalanan, dan termasuk juga
lingkungan hijau buatan, seperti hutan kota, danau buatan, dan sebagainya. Mengapa
ada interaksi timbal balik antara lingkungan fisik dengan manusia? Interaksi timbal
balik ini terjadi karena manusia membutuhkan lingkungan untuk dapat bertahan hidup.
Manusia tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan fisik di mana ia berada.
Tanpa memperhatikan lingkungan fisik maka perilaku manusia menjadi tidak
jelas apakah dapat dianggap baik atau buruk, sesuai atau tidak sesuai. Keberadaan
lingkungan akan menjadi konteks dan memberi makna pada perilaku manusia (Bonnes
& Secchiaroli, 1995). Contohnya, ketika seseorang memakai baju renang di pantai maka
perilakunya akan dinilai sebagai perilaku yang normal. Tetapi, jika orang yang sama
menggunakan baju renang untuk pergi kuliah, tentu dia akan dianggap sebagai orang
yang aneh. Jika misalnya, seorang laki-laki dewasa berloncat-loncat gembira di stadion
olahraga karena dia gembira dengan kemenangan tim favorit sepak bolanya maka
perilakunya akan dianggap wajar. Namun, perilaku yang sama—loncat-loncat
gembira—akan dianggap orang lain sebagai perilaku tidak wajar, jika dilakukan di acara
pemakaman.
Selain memberi makna pada perilaku, tidak dapat dipungkiri bahwa manusia dan
makhluk hidup lainnya sangat tergantung pada lingkungan fisik untuk kelangsungan
hidup. Walaupun teknologi telah berkembang dengan sangat canggih, manusia dan
1.8 Pengantar Psikologi Lingkungan

makhluk hidup lainnya tetap sangat tergantung pada alam. Semua makhluk hidup
membutuhkan udara untuk bernafas, sinar matahari, air, dan makanan yang semuanya
disediakan oleh alam. Ada pula beberapa tokoh yang berpandangan bahwa ada
keterikatan instingtif antara manusia dengan keseluruhan sistem makhluk hidup di bumi
ini (Wilson, 1984). Artinya, tanpa diajari sekalipun manusia akan selalu mencari, ingin
selalu dekat dengan lingkungan yang alamiah yang memberinya kehidupan.
Wilson (1984) menyebut keterikatan ini dengan istilah biophilia. Menurut
pandangan biophilia, kebutuhan manusia akan lingkungan alam bukan hanya untuk
kelangsungan hidupnya, melainkan karena ada hubungan afektif yang mendalam.
Sayangnya, dengan perkembangan zaman, manusia semakin berjarak dengan
lingkungan alamnya dan tidak peduli akan keberlangsungan bumi dan segala isinya.
Banyak perbuatan manusia terhadap bumi yang dilakukan hanya karena mementingkan
faktor ekonomi. Perbuatan manusia ini telah menyebabkan degradasi atau kerusakan
lingkungan. Jika manusia dibiarkan untuk terus melakukan pengrusakan bumi, maka
apakah bumi akan punah? Tidak. Yang kemungkinan punah adalah manusia dan
berbagai binatang yang sebenarnya telah mengalami masa evolusi yang panjang.
Dari perjalanan sejarah, tampaknya sebagian besar manusia masih keliru
menafsirkan hubungannya dengan bumi dan alam, seolah-olah manusia dapat mengatur
semua dengan teknologi yang merupakan hasil industri moderen. Dalam abad ke-21 ini,
sebagian besar manusia hidup menggunakan berbagai alat bantu yang merupakan hasil
industri modern. Contoh bahwa masyarakat masih berpikir keliru dapat dilihat di kota
Jakarta, dengan kemacetan dan tingkat polusi sudah mencapai titik kritis. Dalam
keadaan seperti ini, untuk memperbaiki kenyamanan dan kesehatan lingkungan
hidupnya jika penduduk Jakarta berpikir secara rasional dan tidak egois, mereka akan
berusaha mengurangi pembelian kendaraan motor pribadi. Namun, kenyataan tingkat
pembelian kendaraan roda dua maupun mobil pribadi di Jakarta selalu meningkat
(Kundalini & Latif, 2018; Widowati, 2019). Kita dapat mempertanyakan apakah orang
Jakarta tidak menyadari bahaya polusi dan tidak menyadari bahwa dengan makin
banyaknya kendaraan maka kemacetan kota sulit dihindari? Informasi tentang tingkat
polusi di Jakarta sudah sering disiarkan baik melalui media televisi, radio surat kabar
maupun media-media sosial yang tidak resmi, namun sampai saat ini belum terjadi
perubahan perilaku penggunaan kendaraan dari mayoritas penduduk Jakarta.
Gejala-gejala perilaku manusia yang seolah tidak peduli pada risiko akibat
perubahan dan pencemaran lingkungan bukan hanya terjadi di Jakarta saja, melainkan
juga terjadi secara umum di dunia. Mengapa demikian? Jawaban dari pertanyaan ini
sangat terkait dengan Ilmu Psikologi, yaitu bagaimana kita dapat memahami cara
manusia memersepsikan risiko. Pemahaman tentang cara berpikir ini menjadi penting
karena akan memberikan informasi yang bermanfaat tentang cara mengintervensi
maupun mencegah terjadinya kerusakan lingkungan di masa yang akan datang.
Berikut akan dijelaskan beberapa kecenderungan yang keliru (bias) dalam proses
berpikir manusia terkait permasalahan-permasalahan yang terjadi di bumi kita (Böhm,
2019; Mensah, 2019). Proses yang keliru ini juga dilakukan dalam menilai risiko dari
berbagai masalah lingkungan.
MSLK5110 Modul 01 1.9

A. PENYIMPULAN RISIKO SECARA HEURISTIK

Heuristik juga disebut sebagai mental shortcut merupakan kecenderungan


manusia untuk mengambil keputusan secara cepat tanpa menganalisisnya berdasarkan
data-data yang tepat. Proses berpikir heuristik ini kadang memberi hasil yang baik,
namun sebenarnya penyimpulannya cenderung dilakukan secara simpel dan intuitif
sehingga hasilnya mungkin keliru. Misalnya, dalam menilai risiko berbagai masalah di
lingkungan kita, proses berpikir heuristik ini juga dilakukan. Manusia cenderung
membesarkan risiko dari kejadian-kejadian yang sensasional, meskipun jarang terjadi
dan justru mengecilkan risiko dari kejadian-kejadian ‘biasa’ yang lebih sering terjadi.
Contohnya polusi di Jakarta. Oleh karena setiap hari langit di Jakarta di pagi hari
telah tertutup smog maka warga Jakarta memersepsikannya sebagai sesuatu yang biasa,
sedangkan jika ada isu penyakit langka (misalnya ketika terjadi flu Hongkong), warga
justru akan lebih cenderung panik. Padahal tingkat kemungkinan masyarakat akan
mengalami penyakit terkait pernafasan jauh lebih tinggi akibat smog daripada flu
Hongkong. Contoh ini menjelaskan mengapa masyarakat seolah tidak peduli dengan
tingkat polusi yang sedang terjadi.
Proses berpikir heuristik juga dapat terjadi dalam kecenderungan yang disebut
unrealistic optimism (Böhm, 2019), di mana manusia menilai bahwa mereka akan lebih
mungkin mengalami hal yang positif dan bukan hal/kejadian yang negatif dibandingkan
orang lain. Menghadapi risiko masalah lingkungan, seperti banjir, gempa ataupun polusi
udara, penilaian tentang kemungkinan mereka mengalami banjir atau masalah
lingkungan lain dianggap sangat kecil dibandingkan orang lain sehingga manusia tidak
melakukan apa yang disebut dengan perilaku melindungi lingkungan atau pro
lingkungan, misalnya memilah sampah, mematikan lampu, tidak membuang sampah ke
kali, dan lain-lain.
Kesalahan penyimpulan juga dapat terjadi karena “kemasan informasi” yang
diberikan. Penulisan informasi yang berbeda tentang sebuah masalah yang sama dapat
mengubah penilaian dan keputusan yang diambil (Tversky & Kahneman, 1981).
Bagaimana informasi tentang risiko masalah lingkungan dirumuskan sangat
menentukan respon yang muncul. Jika informasi dikemas dengan menekankan kerugian
yang akan dialami atau biaya yang harus dikeluarkan maka manusia akan cenderung
tidak melakukannya, sedangkan jika informasi dikemas dengan menekankan hal-hal
yang akan berdampak positif pada mereka misalnya, keuntungan, manfaat yang akan
didapat, atau kebanggaan maka lebih besar kemungkinannya masyarakat akan tergerak
untuk melakukan perilaku yang diharapkan.
Hal ini dapat kita amati dalam kejadian sehari-hari. Misalnya, ketika masyarakat
diminta menjaga kebersihan di acara pertandingan sepak bola atau bahkan setelah sholat
Idul Fitri, maka biasanya hanya sedikit orang yang akan memenuhi permintaan panitia.
Tetapi himbauan yang diberikan oleh panitia Asian Games di tahun 2018, ternyata
diikuti oleh para pengunjung karena permintaan dikemas secara positif: “Untuk
menunjukkan kebanggaan bangsa di hadapan kontingen negara lain”. Ada beberapa
artikel di surat kabar maupun media sosial yang menceritakan bagaimana penonton
Asian Games dengan sukarela membersihkan sampah (Diananto, 2018).
1.10 Pengantar Psikologi Lingkungan

Gambar 1.2
Masyarakat yang Menjadi Relawan Membersihkan Stadion
pada Asian Games 2018

Ada pula pemikiran heuristik yang disebut dengan availability heuristik, yaitu
kecenderungan untuk menyimpulkan sesuatu berdasarkan sering dan mudahnya
kejadian tersebut terjadi. Terkait risiko masalah lingkungan, orang menjadi lebih
percaya dan menjadi peduli terhadap global warming pada hari di mana ia mengalami
hari yang panasnya ekstrem karena informasi tentang global warming telah begitu
banyak ia dengar dan disampaikan oleh media maupun pihak lain (Joireman, Truelove
& Duell, 2010).
Belakangan ini juga mulai diteliti heuristik yang bukan merupakan proses
kognitif, namun lebih merupakan proses emosi dalam pengambilan keputusan. Affect
heuristik menggambarkan kondisi affeckt (emosi) seseorang berperan penting dalam
menentukan penilaian risiko. Bila seseorang merasa positif akan sesuatu, ia akan
menilai hal tersebut memberikan risiko yang kecil, namun memberi manfaat besar bagi
dirinya. Penilaian yang sebaliknya akan terjadi bila ia merasa negatif tentang sesuatu
(Joireman dkk., 2010).

B. PENYIMPULAN PENGURANGAN RISIKO BERDASARKAN WAKTU


(TEMPORAL DISCOUNTING)

Temporal discounting merupakan kecenderungan untuk menganggap risiko yang


masih lama akan terjadi sebagai risiko yang kecil dibandingkan risiko yang langsung
dirasakan. Manusia cenderung memersepsikan dampak dari sebuah gejala atau masalah
secara subjektif, terutama jika dampaknya tidak langsung dirasakan. Dalam
kenyataannya, banyak sekali dampak dari kerusakan lingkungan yang baru akan terlihat
atau dirasakan setelah bertahun-tahun terjadi. Contoh nyata adalah akibat tragedi di
Minamata Jepang. Dampak dari pencemaran air raksa (methylmercury) di air laut baru
MSLK5110 Modul 01 1.11

mulai terlihat sekitar 18 tahun kemudian. Pada awalnya ikan-ikan dan kucing
menunjukkan perilaku yang janggal dan beberapa tahun setelahnya korban manusia
yang meninggal akibat kelumpuhan syaraf otak mulai terjadi. Limbah air raksa tersebut
berasal dari sebuah pabrik baterai (Harada, 1995). Bahaya dari pencemaran air raksa ini
juga sudah diketahui para pengusaha emas di Indonesia, namun para pelaku yang terkait
seolah tidak mengindahkan himbauan pemerintah (Pambagio, 2017). Kemungkinan
besar ketidakpedulian ini terjadi karena efek samping penggunaan air raksa pada
penambangan emas tidak langsung terlihat.

C. CARA BERPIKIR SECARA DERET TAMBAH

Pengurangan risiko juga terjadi karena masyarakat awam memperkirakan


dampak buruk dari kerusakan lingkungan akan terjadi lebih lambat daripada kenyataan.
Orang awam akan berpikir dengan deret tambah, sedangkan banyak permasalahan
lingkungan terjadi menurut deret ukur. Misalnya saja kalau seorang awam diminta
menghitung berapa lama sebuah danau akan tertutup oleh enceng gondok, jika satu
tanaman enceng gondok memerlukan waktu 52 hari untuk mencapai diameter 1 m 2.
Kemungkinan besar orang awam akan membagi luas danau dengan diameter enceng
gondok, lalu dikalikan dengan 52 hari. Hal yang sering dilupakan orang awam adalah
bahwa setiap enceng gondok akan memiliki beberapa tunas yang akan berkembang biak
secara bersamaan. Hal yang sama juga terjadi pada populasi manusia.
Memahami bagaimana manusia memersepsikan risiko lingkungan ini merupakan
pemahaman yang penting untuk memperkirakan secara ilmiah apa yang terjadi ketika
manusia dihadapkan pada beberapa isu lingkungan. Perilaku melindungi lingkungan
juga dikenal dengan berbagai istilah: ramah lingkungan, pro-lingkungan, peduli
lingkungan, dan masih banyak istilah lainnya. Inti dari makna perilaku-perilaku ini
adalah mengajak dan mendorong manusia untuk melindungi, memelihara, menghargai
berbagai hal yang meningkatkan keselarasan dan keberlanjutan kondisi lingkungan.
Makin banyak orang yang menunjukkan kepeduliannya pada lingkungan, akan lebih
banyak orang yang melindungi lingkungan, melihat lingkungan sebagai bagian penting
untuk keberlanjutan kehidupan manusia. Namun perilaku peduli lingkungan
dipengaruhi oleh banyak hal lain seperti pengalaman masa kecil, pengetahuan dan
pendidikan, kepribadian, nilai, sikap, tanggung jawab dan komitmen moral, place
attachment, norma dan kebiasaan, perasaan dan banyak faktor demografi lain.
Selain itu, interaksi antara manusia dan lingkungan juga sangat berperan dalam
meningkatkan perilaku pro lingkungan. Penelitian menemukan adanya hubungan antara
tipe kepribadian big five dengan perilaku konservasi energi, transportasi, makanan,
pembuangan limbah dan pembelian barang —meskipun kekuatan dampaknya berbeda
beda— tergantung apakah perilaku tersebut berada pada domain sosial privat, publik
atau organisasi (Gifford, 2014). Berdasarkan pemahaman tentang faktor ini dan proses
kognitif yang menimbulkan berbagai bias di atas maka dapat dipertimbangkan
pendekatan yang sesuai agar permasalahan yang lebih besar dapat dicegah.
1.12 Pengantar Psikologi Lingkungan

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah


latihan berikut!

Carilah beberapa contoh berita dari surat kabar atau media sosial yang
menceritakan peranan manusia dalam mencegah kerusakan lingkungan dan diskusikan
faktor-faktor apa saja yang berperan dalam peristiwa tersebut?

Petunjuk Jawaban Latihan

Saat ini cukup banyak insiatif yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun
pihak-pihak nonpemerintah, seperti LSM atau perusahaan swasta yang menggunakan
dana CSR (Corporate Social Responsibility) untuk memperbaiki kerusakan lingkungan.
Motivasi yang mendasari kegiatan-kegiatan ini dapat disebabkan faktor internal, seperti
sikap ataupun nilai-nilai yang terinternalisasi dalam diri manusia, tetapi juga mungkin
disebabkan faktor-faktor eksternal, misalnya motif ekonomi, ”ikut-ikutan”, paksaan,
dan sebagainya. Selain itu ada banyak faktor lain yang juga berperan, seperti pendidikan,
pengetahuan, sikap, nilai, komitmen moral, place attachment, dan lain-lain.

Hubungan manusia dan lingkungan tidak terpisahkan, keduanya saling


memengaruhi secara timbal balik. Apa yang terjadi di bumi akan memengaruhi bumi
atau lingkungan fisik. Kondisi alam dan lingkungan ini akan memengaruhi perilaku dan
kehidupan manusia; dan tidak dapat dihindarkan pula, berbagai kegiatan manusia
kemudian akan memengaruhi keadaan bumi. Banyak sekali permasalahan yang
sekarang terjadi di bumi merupakan akibat dari perilaku manusia. Perilaku pro
lingkungan tampaknya belum banyak menjadi perilaku yang dianggap penting, benar
dan dianjurkan untuk dilakukan. Selain itu, masalah lingkungan juga terjadi karena cara
berpikir manusia yang bias dalam memersepsikan risiko-risiko permasalahan alam yang
sedang terjadi. Oleh karena itu, terkait dengan perilaku dan cara berpikir manusia maka
psikologi lingkungan dapat berperan dalam menyelesaikan maupun mencegah masalah-
masalah lingkungan.

Mengapa manusia cenderung mengecilkan atau meremehkan risiko yang dapat


terjadi akibat kerusakan lingkungan? Carilah beberapa kasus nyata dan bahas kesalahan
berpikir apa yang telah terjadi?
MSLK5110 Modul 01 1.13

Kegiatan
Belajar

Definisi dan Ruang Lingkup


Psikologi Lingkungan 2
J ika kita berbicara tentang definisi dari psikologi lingkungan maka sebelumnya kita
harus memahami apa yang dimaksud dengan Ilmu Psikologi itu sendiri. Psikologi
berasal dari kata psyche (jiwa) dan logos (ilmu). Pada awalnya, psikologi memang
didefinisikan sebagai ilmu jiwa. Namun, dengan berkembangnya ilmu, psikologi kini
didefinisikan sebagai ilmu tentang perilaku (Lahey, 2012). Salah satu persyaratan ilmu
adalah bahwa gejala yang diamati harus dapat diukur. Perilaku manusia ada yang dapat
diobservasi sehingga dapat diukur secara objektif. Sedangkan jiwa sulit untuk
diobservasi, itu sebabnya jiwa diartikan sebagai proses mental. Proses mental memang
tidak dapat diobservasi secara langsung, namun proses mental manusia seperti misalnya
sikap, pandangan, cara pengambilan keputusan, dan hal-hal lain yang tidak dapat
diobservasi secara langsung tetap dapat diukur secara objektif melalui metode dan alat
ukur.
Jika psikologi adalah ilmu tentang perilaku maka psikologi lingkungan adalah
satu cabang psikologi. Banyak orang yang beranggapan bahwa psikologi hanya perlu
dipelajari untuk menjadi seorang psikolog yang nantinya akan menangani klien secara
individual. Pandangan seperti ini tidak sepenuhnya benar. Memang ada beberapa
cabang ilmu psikologi yang fokus utamanya adalah apa yang terjadi di dalam diri
manusia dan bagaimana membantu manusia menyelesaikan masalah yang
dipersepsikan, namun ada beberapa cabang ilmu psikologi yang sangat menekankan
interaksi manusia dengan lingkungan di luar diri manusia. Salah satu cabang ilmu
psikologi yang sangat menekankan interaksi dengan lingkungan sekitar adalah psikologi
sosial. Psikologi sosial sendiri sangat dipengaruhi ilmu-ilmu sosial lainnya, seperti
sosiologi, antropologi, hukum, politik, ekonomi, dan masih banyak ilmu lain yang
memengaruhi perkembangan psikologi sosial. Psikologi lingkungan sendiri sering kali
dianggap sebagai salah satu topik psikologi sosial, namun dalam perkembangannya saat
ini, psikologi lingkungan dapat dikatakan sebagai cabang psikologi yang juga terkait
dengan berbagai ilmu lainnya.
Dalam psikologi lingkungan, manusia dilihat sebagai unit analisis yang tidak
dapat dipisahkan dengan lingkungan di mana ia berada. Dari berbagai definisi yang ada,
dapat disimpulkan bahwa psikologi lingkungan adalah cabang ilmu psikologi yang
meneliti bagaimana hubungan timbal balik antara individu dengan lingkungan fisik,
baik lingkungan yang alami maupun lingkungan fisik yang dibangun manusia (tidak
alami) (Bell, Greene, Fisher & Baum, 2001; Gifford, 2014; Steg, Van Den Berg & De
Groot, 2013). Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup psikologi
1.14 Pengantar Psikologi Lingkungan

lingkungan dapat dibedakan menjadi dua topik bahasan, yaitu bagaimana dampak
lingkungan terhadap perilaku manusia dan bagaimana dampak perilaku manusia
terhadap lingkungan.
Lingkungan alami adalah bumi dengan semua aspeknya, seperti sinar matahari,
suhu udara, hujan, hutan, sungai, laut, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan masih banyak
lagi yang terbentuk secara alamiah. Mungkin Anda agak meragukan apakah lingkungan
alamiah dapat akan memengaruhi perilaku dan kegiatan manusia. Sebuah penelitian
yang dilakukan (Klimstra dkk., 2011) menemukan bahwa keadaan cuaca dapat
memengaruhi suasana hati tergantung dari jenis tipe manusia. Tipe manusia pecinta
musim panas akan memiliki suasana hati yang lebih baik jika cuaca cerah dan suhu
hangat. Sebaliknya, tipe pembenci musim panas justru akan lebih baik suasana hatinya
ketika musim hujan.
Selain lingkungan alamiah, kita juga dikelilingi oleh lingkungan fisik yang
merupakan hasil karya manusia atau kadang disebut sebagai lingkungan buatan atau
lingkungan binaan. Lingkungan buatan dapat menyerupai lingkungan alamiah,
misalnya hutan kota, danau buatan, dan berbagai tiruan alam lainnya, namun dapat juga
berbentuk benda mati. Umumnya, sebagian besar lingkungan fisik buatan yang diteliti
dalam psikologi adalah ruang/gedung dengan semua tata ruang, interior maupun
peletakan benda-benda sebagai isi ruang. Yang menjadi topik penelitian, misalnya
dampak dari warna, cahaya, pengudaraan, tata letak ruang, dan benda terhadap perilaku
manusia berinteraksi dalam ruang.
Perlu juga diingat bahwa ruang tidak selalu harus berarti berada di dalam
bangunan. Ruang luar yang sengaja dibuat, seperti taman bermain, jalan, dan sebagainya
juga merupakan lingkungan fisik. Salah satu penelitian yang dapat menjadi contoh
bagaimana lingkungan fisik buatan manusia berdampak pada perilaku manusia adalah
eksperimen (Heydarian, Pantazis, Carneiro, Gerber & Becerik-Gerber, 2016). Mereka
memanipulasi iluminasi cahaya dalam ruang kerja kantor dan menemukan bahwa
partisipan cenderung lebih menyukai pencahayaan yang lebih mendekati dengan
pencahayaan alami (dengan keberadaan jendela dan derajat keterangan yang
menyerupai pencahayaan alami). Selain itu, partisipan akan lebih cepat membaca dan
memahami sebuah tugas bacaan jika mereka berada dalam ruang dengan simulasi
pencahayaan yang mendekati pencahayaan alami.
Tata ruang bangunan juga dapat memengaruhi interaksi antar manusia. Sebuah
penelitian yang dilakukan oleh (Beijersbergen, Dirkzwager, van der Laan &
Nieuwbeerta, 2016) menunjukkan bahwa arsitektur penjara akan memengaruhi persepsi
para narapidana tentang hubungannya dengan para sipir penjara. Ternyata, para
narapidana yang ditempatkan di penjara yang berbentuk “panopticon” akan
memersepsikan hubungan interpersonal dengan para sipir lebih negatif daripada para
narapidana yang ditempatkan di gedung dengan desain yang lebih modern (misalnya
desain kampus).
MSLK5110 Modul 01 1.15

Sumber: diambil dari Beijersbergen dkk. (2016)

Gambar 1.3
Sebelah Kiri adalah Penjara dengan Desain Panopticon dan Sebelah Kanan
adalah Desain Penjara yang Mengikuti Tata Letak Kampus

Selain membahas dampak lingkungan fisik terhadap perilaku manusia baik


lingkungan alam maupun lingkungan buatan manusia, psikologi lingkungan juga
membahas tentang bagaimana interaksi perilaku manusia dan lingkungan secara timbal
balik. Interaksi yang timbal balik ini oleh para tokoh psikologi lingkungan juga disebut
sebagai ‘transaksi’ (Gifford, 2014; Steg, Berg & de Groot, 2013). Disebut sebagai
‘transaksi’ karena lingkungan fisik dan manusia selalu saling memengaruhi.
Pada dasarnya, ketika mengalami masalah maka manusia akan selalu berusaha
untuk bertahan hidup ‘mencari jalan keluar’ dalam keadaan lingkungan apapun. Sering
kali, manusia berhasil mengatasi masalah yang ia persepsikan berasal dari lingkungan
dan merasakan dampak positif bagi dirinya. Namun, bukan tidak mungkin cara tersebut
justru menyebabkan konsekuensi negatif (cost) terhadap lingkungan yang kemudian
berbalik kembali pada manusia sebagai masalah yang harus diatasi sehingga ada proses
saling memengaruhi antara manusia dan lingkungan yang terus-menerus terjadi.
Contohnya, penciptaan kantong plastik sebagai pengganti kemasan makanan.
Kemasan atau pembungkus makanan selalu berubah mengikuti zaman. Pada masa
manusia primitif dan mulai menetap di satu daerah, mereka mulai menggunakan kayu
dan dedaunan untuk menyimpan makanan mereka. Dengan kemajuan industri, manusia
kemudian berhasil menciptakan gelas sebagai tempat menyimpan makanan. Namun
karena gelas sangat mudah pecah sehingga manusia mencoba berbagai sumberdaya
alam sebagai kemasan dan ditemukanlah berbagai bentuk kemasan yang masih kita
gunakan saat ini, seperti kemasan dari logam, kertas maupun plastik (Risch, 2009). Pada
awalnya dianggap sebagai terobosan yang positif karena plastik merupakan kemasan
yang memiliki sejumlah karakteristik yang sangat menguntungkan, seperti kekuatan,
fleksibilitas, dapat menjadi isolator listrik dan relatif murah. Namun, ketika plastik
menjadi sampah yang sangat sulit terurai, mencemari tanah maupun lautan
(Nkwachukwu, Chima, Ikenna & Albert, 2013), saat ini masyarakat dihimbau untuk
menghindari penggunaan plastik satu kali pakai. Para ilmuwan juga sedang berupaya
untuk mencari jalan keluar akibat dari sampah plastik dan para ilmuwan sosial juga
1.16 Pengantar Psikologi Lingkungan

berupaya menemukan pendekatan yang dapat mengubah perilaku manusia agar


mengurangi sampah-sampah yang sulit diurai.
Selain masalah plastik ini, masih banyak contoh masalah lingkungan akibat
‘transaksi’ antara manusia dengan lingkungan fisiknya. Topik-topik seperti perilaku
membuang sampah, polusi, pengrusakan hutan, penambahan populasi manusia dan
masih banyak lagi masalah lingkungan yang kini terjadi, perlu dicarikan jalan keluarnya.
Itu sebabnya beberapa tokoh berpandangan bahwa saat ini sustanaible psychology dan
pro-environmental behavior menjadi tema yang sangat penting (Bonnes & Bonaiuto,
2002).
Dalam modul-modul berikutnya akan dibahas tentang metode-metode yang
sering digunakan dalam penelitian psikologi lingkungan, berbagai teori yang menjadi
dasar analisis gejala interaksi manusia dengan lingkungan fisik, dampak lingkungan
terhadap persepsi manusia, dampak perilaku manusia terhadap lingkungan, peranan
lingkungan buatan terhadap persepsi manusia akan ruangan, peranan lingkungan fisik
dalam merestorasi stres dan atensi, penerapan konsep psikologi lingkungan dalam
bangunan-bangunan yang diperuntukkan bagi masyarakat luas, perilaku peduli
lingkungan dan dilema sosial.
Manusia adalah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap kondisi
lingkungan sekarang ini. Perilaku manusia merupakan penyebab utama keadaan
lingkungan alam yang memprihatinkan saat ini, sekaligus menjadi satu-satunya solusi
untuk permasalahan ini. Masalah lingkungan yang terjadi sekarang ini terjadi karena
perilaku manusia, dan perilaku manusia terkait dengan cara pikir, keyakinan, nilai-nilai
juga cara pandang manusia tentang bagaimana seharusnya ia berinteraksi dengan bumi
itu sendiri (Smith, Shearman & Positano, 2007; Winter & Koger, 2014). Jika kita
berbicara tentang perilaku manusia, maka psikologi adalah cabang ilmu yang paling
tepat untuk menjelaskan mengapa manusia berperilaku tertentu.

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah


latihan berikut!

Jelaskan mengapa ruang lingkup psikologi lingkungan tidak hanya terbatas pada
dampak lingkungan terhadap manusia saja? Beri beberapa contoh!

Petunjuk Jawaban Latihan

Ruang lingkup psikologi lingkungan dapat dibedakan menjadi dua topik bahasan,
yaitu bagaimana dampak lingkungan terhadap perilaku manusia dan bagaimana dampak
perilaku manusia terhadap lingkungan. Tetapi kedua hal ini sebenarnya tidak
terpisahkan. Lingkungan fisik dapat memengaruhi manusia, misalnya air sungai atau
laut yang meluap menyebabkan banjir dan akan memengaruhi perilaku manusia. Tetapi
MSLK5110 Modul 01 1.17

manusia juga dapat memengaruhi lingkungan fisik, misalnya dengan membuang


sampah sembarangan dalam jangka waktu lama juga akan menyebabkan banjir. Selain
manusia dapat memengaruhi lingkungan secara negatif, manusia juga berpotensi
menjaga kelestarian lingkungan.

Psikologi Lingkungan adalah cabang dari Ilmu Psikologi yang meneliti


bagaimana hubungan timbal balik antara individu dengan lingkungan fisik, baik
lingkungan alamiah maupun lingkungan yang dibangun manusia. Yang dimaksud
dengan lingkungan fisik adalah seluruh bagian dari bumi yang alamiah dan juga
lingkungan fisik yang dibangun oleh manusia. Ruang lingkup psikologi lingkungan
meliputi gejala-gejala yang terjadi sebagai dampak pengaruh lingkungan fisik terhadap
manusia maupun dampak manusia terhadap lingkungan fisik, khususnya terhadap alam.
Manusia adalah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap kondisi
lingkungan sekarang ini. Perilaku manusia merupakan penyebab utama keadaan
lingkungan alam yang memprihatinkan saat ini, sekaligus menjadi satu-satunya solusi
untuk permasalahan ini. Oleh karena itu, peranan psikologi sebagai ilmu perilaku
menjadi sangat penting.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa terjadi transaksi antara manusia dengan
lingkungan fisik. Mengapa disebut transaksi, apa maksudnya?
1.18 Pengantar Psikologi Lingkungan

Kegiatan
Belajar

Sejarah Psikologi
Lingkungan 3
I stilah psikologi lingkungan mulai dikenal sebagai salah satu cabang psikologi di
akhir tahun 1960-an. Dapat dikatakan bahwa usia psikologi lingkungan relatif muda
dibandingkan dengan cabang-cabang psikologi lainnya. Ilmu psikologi sendiri juga
merupakan ilmu yang masih muda, walaupun para filsuf, seperti Aristotele (384-322
SM) dan Plato (427-347 SM) telah memikirkan tentang dasar-dasar psikologi. Namun
secara resmi, psikologi dianggap sebagai ilmu adalah ketika Wundt (1832-1920)
mendirikan laboratorium di Leipzig, di tahun 1879. Laboratorium tersebut didirikan
dengan tujuan untuk meneliti mind manusia yang terbentuk melalui pandangan,
pengalaman, emosi, dan elemen-elemen dasar lainnya secara ilmiah dan objektif. Itu
sebabnya Wund dianggap sebagai Bapak dari Ilmu Psikologi (Ciccarelli & Meyer,
2010). Jadi, dapat dikatakan bahwa psikologi sebagai ilmu baru berusia sekitar 140
tahun.
Jika ditelusuri, ada dua masa yang menandai kelahiran dari psikologi lingkungan:
masa ketika psikologi baru saja lahir di pertengahan abad 18 dan setelah masa akhir
abad ke-19. Pemikiran tokoh-tokoh psikologi bahwa ada interaksi antara lingkungan
fisik dengan perilaku manusia, telah muncul tidak lama setelah lahirnya psikologi.
Tokoh pertama yang diketahui menggagas ide psikologi lingkungan adalah Hellpach
(1877-1955). Hellpach adalah salah seorang mahasiswa Wundt yang meneliti dampak
alam seperti matahari dan bulan terhadap kegiatan manusia. Hellpach dianggap sebagai
tokoh pertama yang memperkenalkan istilah Psychologie der Umwelt yang berarti
psikologi lingkungan. Selain Hellpach, ada juga kakak beradik Hans Muchow dan
Martha Muchow yang juga meneliti isu-isu yang terkait psikologi lingkungan. Salah
satu karya kakak beradik Muchow yang terkenal adalah Der Lebensraum des
Großstadtkindes (Ruang Kehidupan Anak di Kota Besar). Buku ini beberapa kali
dicetak ulang dan memengaruhi munculnya ide dari Stern, seorang tokoh psikologi
lingkungan modern yang membahas tentang adanya personal world yang menjadi cikal
bakal konsep psikologi lingkungan yang penting (Pol, 2006). Namun, hasil penelitian
dari kakak beradik Muchow tersebut belum dapat dikatakan sebagai ilmu yang berdiri
sendiri karena penelitian mereka belum dilakukan secara sistematis dan tidak secara
khusus meneliti interaksi manusia dengan lingkungannya (Steg dkk., 2013).
MSLK5110 Modul 01 1.19

Gambar 1.4
Tahapan Sejarah Psikologi Lingkungan

Akar-akar psikologi lingkungan yang lebih modern ditemukan pada ide-ide yang
dikemukakan oleh Egon Brunswik (1903-1955) dan Kurt Lewin (1890-1947).
Pemikiran kedua tokoh ini dipengaruhi oleh pandangan psikologi Gestalt pada masa itu
yang menekankan bahwa perilaku tidak dapat dilepaskan dari konteks lingkungan di
mana perilaku itu terjadi. Kedua tokoh ini, terutama Lewin dianggap sebagai Bapak dari
psikologi lingkungan modern (Pol, 2006). Karya-karya Lewin nantinya akan
menginspirasi para perintis psikologi lingkungan, seperti Roger Barker, Urie
Bronfenbrenner, dan Robert Sommer.
Penelitian psikologi lingkungan mulai sangat berkembang pada akhir 1940-an
dan 1950-an. Pada masa ini, Perang Dunia bisa dianggap telah selesai dan negara-negara
yang kuat mulai membangun kembali kota-kota yang hancur akibat perang. Salah satu
tokoh penting yang menyadari pentingnya peranan lingkungan fisik adalah Perdana
Menteri Inggris Winston Churchill (1874-1965). Dalam salah satu pidatonya di tahun
1944, ia mengatakan: “First we shape our buildings, and afterwards, our buildings
shape us.” Perkataan Churchill ini sering dipakai dalam artikel atau buku psikologi
lingkungan untuk menjelaskan pemahaman bahwa terdapat interaksi timbal balik antara
lingkungan yang dibangun manusia dan manusia itu sendiri (Bell, Green, Fisher &
Baum, 2001). Beberapa tokoh yang juga sangat berperan dalam kelahiran kedua
psikologi lingkungan pada masa ini adalah William Ittelson dan Harold Proshansky dari
City University of New York. Mereka mendapatkan dana penelitian dari pemerintah
Amerika Serikat untuk meneliti bagaimana pengaturan spasial atau arsitektur dari
sebuah rumah sakit jiwa akan berpengaruh pada perilaku pasien (Bonnes & Secchiaroli,
1995). Dari penelitian di rumah sakit jiwa ini, mereka menyimpulkan bahwa cara
1.20 Pengantar Psikologi Lingkungan

pengaturan ruang di rumah sakit akan memengaruhi pola interaksi pasien (Holahan,
1972). Pada tahun 1964, Ittelson untuk pertama kalinya memperkenalkan istilah
‘environmental psychology’ di New York di tahun 1964 pada sebuah Konferensi
Asosiasi Rumah. Pada kurun waktu yang tidak jauh berbeda, ada peneliti-peneliti lain
di Kanada, Inggris, Swedia, dan Jepang yang tertarik pada isu-isu interaksi bangunan
fisik dengan perilaku manusia (Bonnes & Secchiaroli, 1995). Maka dari itu, dapat
dikatakan bahwa pada masa 1960-an sampai 1970-an, psikologi lingkungan paling
berkembang di Amerika Serikat.
Penelitian-penelitian di awal perjalanan psikologi lingkungan memang sering
dilakukan dalam setting laboratorium. Adalah Roger Barker (1963, 1965) yang tidak
menyetujui penelitian-penelitian yang dilakukan di laboratorium. Barker juga dianggap
sebagai salah satu pendiri psikologi lingkungan dan beliau mengusulkan istilah
ecological psychology. Pendekatan ekologis yang kemudian banyak diikuti para peneliti
lingkungan ini mementingkan penelitian dilakukan di situasi yang alamiah yang
mempertimbangkan baik faktor manusia, situasi sosial pada saat itu, termasuk juga
faktor ruang dan keadaan fisik (Bonnes & Secchiaroli, 1995; Corral-Verdugo, Garcia-
Cadena & Frías-Armenta, 2010). Pandangan Barker dan beberapa tokoh lain yang
akhirnya memberi ‘warna’ yang agak berbeda dengan cabang psikologi lain, yaitu
bahwa psikologi lingkungan adalah ilmu yang perlu dikembangkan dari data-data yang
berasal dari gejala alamiah dan bukan direkayasa di laboratorium.
Jika kata kunci “environmental psychology” dan “ecological psychology”
ditelusuri melalui situs Google Cendekia maka terlihat ada peningkatan yang pesat dari
artikel hasil penelitian maupun buku-buku dengan topik psikologi lingkungan sejak
1960-an. Tentu, ada kemungkinan bahwa peningkatan ini disebabkan kemajuan
teknologi yang memudahkan para peneliti dan penulis dalam mendiseminasikan hasil
penelitian mereka. Dari data-data ini juga terlihat bahwa topik psikologi lingkungan
masih merupakan topik yang banyak diminati dan dianggap penting. Berikut adalah
grafik dari jumlah artikel atau buku yang ditemukan melalui penelusuran Google
Cendekia (diunduh pada tanggal 3 Mei 2019).

Gambar 1.5
Jumlah Artikel Psikologi Lingkungan
MSLK5110 Modul 01 1.21

Dari Gambar 1.5 dapat dilihat bahwa ada peningkatan minat yang signifikan
terhadap topik-topik psikologi lingkungan sejak tahun 2000-an. Dari data-data ini dapat
disimpulkan bahwa saat ini, kaum ilmuwan menganggap bahwa kaitan antara perilaku
manusia dengan lingkungan merupakan topik yang penting untuk dipelajari. Topik-
topik yang menjadi pembahasan psikologi lingkungan sekarang ini makin bervariasi dan
banyak sekali penelitian tentang lingkungan dilakukan secara multidisiplin ataupun
inter dan intra disiplin.
Jika ditelusuri lebih dalam, dapat dilihat bahwa topik-topik yang muncul di awal
sejarah psikologi lingkungan sangat berbeda dengan topik-topik yang sekarang. Pada
awal kelahiran psikologi lingkungan, topik-topik yang dibahas cenderung terkait
dengan psikologi arsitektur. Salah satu penelitian yang menjadi tonggak penting dalam
perkembangan psikologi lingkungan adalah penelitian dari Ittelson dan Proshansky
yang berjudul “Some Factors Influencing the Design and Function of Psychiatric
Facilities”. Ittelson adalah tokoh yang pertama kali memperkenalkan istilah
‘environmental psychology’ pada Conference of the American Hospital Association on
Hospital Planning di New York, di tahun 1964. Judul presentasi Ittelson pada waktu itu
adalah ‘Environmental Psychology and Architectural Planning’. Mereka meneliti
kaitan desain rumah sakit dengan perilaku pasien di dalamnya. Minat akan topik ini
ternyata juga terjadi di beberapa negara lainnya dan sejak saat itu artikel-artikel yang
membahas kaitan lingkungan fisik dan manusia bertambah terus (Bonnes & Secchiaroli,
1995).
Dalam sepuluh tahun pertama perjalanan psikologi lingkungan, topik-topik yang
dibahas dan diteliti cenderung bernuansa arsitektur, misalnya proxemics, interpersonal
space, crowding, territoriality, privacy, cognitive map (Bonnes & Secchiaroli, 1995).
Namun, topik-topik yang berwarna arsitektur hanya mendominasi sampai tahun
pertengahan tahun 1980-an. Setelah pertengahan tahun 1980-an, topik-topik yang
cenderung mempermasalahkan isu keberlanjutan (sustainability) mulai muncul (Gifford,
2007a; Pol, 2007). Kemungkinan besar perubahan arah minat pada topik keberlanjutan
ini terjadi karena makin kuatnya dukungan terhadap Greenpeace (Gifford, 2007b).
Greenpeace adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang terbentuk
di awal tahun 1970-an. Pada masa itu sekelompok orang Amerika dan Kanada yang
terdiri dari kelompok pencinta kedamaian, para hippie, veteran Perang Dunia II dan
putus sekolah memprotes keberadaan pembangkit tenaga nuklir. Dukungan terhadap
Greenpeace ini secara perlahan membawa perhatian para peneliti lingkungan pada hal-
hal yang terkait kelangsungan hidup semua makhluk hidup, termasuk manusia.
1.22 Pengantar Psikologi Lingkungan

Sumber: diunduh dari https://twitter.com/greenpeaceid?lang=en

Gambar 1.6
Salah Satu Kampanye Greenpeace di Media Sosial

Saat ini Greenpeace adalah salah satu LSM terbesar dan berpengaruh di dunia
(Zelko, 2017). Oleh karena mereka konsisten menyuarakan pentingnya menjaga bumi
untuk keberlanjutan semua makhluk hidup di muka bumi ini dan karena kekhawatiran
mereka juga terbukti secara empiris maka Greenpeace telah menginspirasi dan
memengaruhi banyak LSM maupun kebijakan-kebijakan politik berbagai negara. Oleh
karena itu, penelitian-penelitian di atas tahun 1980-an juga banyak yang mendalami isu
keberlanjutan ini. Perkembangan psikologi lingkungan mungkin memang tidak secepat
cabang-cabang psikologi lainnya—seperti yang diramalkan oleh (Stokols, 1995)—
karena sulitnya mengembangkan teori-teori besar (grand theory) yang dapat
memayungi berbagai disiplin ilmu, selain juga beragamnya permasalahan akibat
interaksi lingkungan fisik dengan manusia yang muncul dan harus dicarikan jalan
keluarnya.

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah


latihan berikut!

Carilah beberapa judul dan abstrak penelitian psikologi lingkungan yang


dilakukan pada awal sejarah psikologi lingkungan (1960 – 1980) dan bandingkan
dengan penelitian yang dilakukan di antara 1980 – 2000 maupun di antara tahun 2000
sampai dengan sekarang. Kesimpulan apa yang dapat ditarik?
MSLK5110 Modul 01 1.23

Petunjuk Jawaban Latihan

Topik dan judul penelitian psikologi lingkungan pada kurun waktu tertentu
mencerminkan isu yang sedang diminati atau menjadi kebutuhan pada masa itu. Di awal
perjalanan psikologi lingkungan, perang dunia baru saja selesai dan negara-negara Barat
sedang membangun kembali. Saat ini bumi sedang mengalami krisis air, polusi, dan
banyak masalah lingkungan lainnya termasuk juga dampak dari kemajuan teknologi.
Hal ini juga tercermin dari topik-topik penelitian yang menjadi minat kaum akademis.

Jika ditelusuri, ada dua masa yang menandai kelahiran dari psikologi lingkungan:
masa ketika psikologi baru saja lahir di pertengahan abad 18 dan setelah masa akhir
abad ke-19. Secara resmi, psikologi lingkungan diakui sebagai sebuah ilmu yang berdiri
sendiri di tahun 1960-an. Pada awal kelahiran psikologi lingkungan, topik-topik yang
dibahas cenderung terkait dengan psikologi arsitektur dan saat ini topik-topik psikologi
lingkungan justru lebih mengarah ke isu keberlanjutan atau sustainability.

Topik-topik penelitian yang muncul di awal sejarah psikologi lingkungan sangat


berbeda dengan topik-topik penelitian yang dilakukan sekarang. Jelaskan
perbedaannya.
1.24 Pengantar Psikologi Lingkungan

Kunci Jawaban Tes Formatif

Jawaban Tes Formatif 1

Pada dasarnya manusia ingin hidup dalam keadaan ’harmonis’. Namun, ketika
ada permasalahan yang muncul dan sulit diselesaikan, ada kemungkinan manusia tidak
mau mengakui adanya permasalahan tersebut. Manusia kemudian mengecilkan masalah
tersebut, dampaknya dan kemungkinan risiko yang bisa terjadi. Manusia melakukan
proses berpikir heuristik yang cenderung intuitif, cepat, dan bias.
Tidak dapat kita pungkiri bahwa berbagai permasalahan yang terkait dengan
keberlangsungan alam memang memerlukan berbagai terobosan teknologi dan bantuan
dari berbagai ilmu lain. Ilmu yang terkait dengan perbaikan lingkungan fisik atau bumi
tidak hanya dapat dimonopoli oleh psikologi. Namun, peranan psikologi memang
penting karena pada dasarnya justru perilaku manusia yang perlu diubah. Psikologi
dapat membantu memahami mengapa manusia berperilaku tidak ramah pada
lingkungannya dan faktor-faktor apa yang dapat mengubahnya. Dengan memahami cara
berpikir manusia terhadap alam maka dapat dikembangkan intervensi-intervensi yang
dapat mencegah maupun mengatasi makin buruknya permasalahan lingkungan di bumi
ini.

Jawaban Tes Formatif 2

Hubungan antara manusia dan lingkungan disebut transaksi karena manusia dan
lingkungan selalu saling memengaruhi. Ketika lingkungan fisik memengaruhi manusia
(misalnya udara yang terlalu panas menyebabkan seorang individu sulit berkonsentrasi).
Kemungkinan besar manusia akan mencari cara untuk memengaruhi keadaan akibat
keadaan lingkungan fisiknya (misalnya dengan menyalakan pendingin udara). Dampak
dari alat pendingin udara akan memengaruhi kualitas udara yang kembali akan
memengaruhi manusia dan proses ini akan berjalan terus-menerus.

Jawaban Tes Formatif 3

Pada awal kelahiran psikologi lingkungan, topik-topik penelitian yang dibahas


cenderung terkait dengan psikologi arsitektur. Sebagai contoh, desain rumah sakit
terhadap perilaku pasien di dalamnya. Topik-topik yang berwarna arsitektur hanya
mendominasi sampai pertengahan tahun 1980-an. Setelah pertengahan tahun 1980-an
hingga kini, topik-topik penelitian terkait psikologi lingkungan cenderung
mempermasalahkan isu keberlanjutan (sustainability).
MSLK5110 Modul 01 1.25

Glosarium
Biophilia : Keterikatan atau keinginan manusia untuk selalu dekat
dengan lingkungan alamiah yang memberinya
kehidupan atau makhluk hidup lain di sekitarnya.
Keterikatan atau keinginan tersebut merupakan
kecenderungan bawaan atau muncul tanpa diajari
sekalipun.

Heuristic : Proses mental cepat (mental shortcut) yang


memungkinkan manusia untuk memecahkan masalah
dan mengambil keputusan dengan cepat dan efisien.

Interaksi timbal balik : Hubungan saling memengaruhi antara manusia dan


lingkungan fisik di sekitarnya.

Lingkungan alamiah : Lingkungan fisik yang terbentuk secara alami melalui


proses evolusi. Contohnya: gunung, hutan, pantai,
tanah, air, berbagai kekayaan bumi, dan semua makhluk
hidup lainnya termasuk hewan dan tumbuhan.

Lingkungan buatan : Lingkungan fisik yang merupakan buatan atau karya


manusia, seperti gedung-gedung, taman bermain,
jalanan, termasuk juga lingkungan hijau buatan, seperti
hutan kota, danau buatan, dan sebagainya.

Lingkungan fisik : Semua benda hidup maupun mati yang ada di bumi, di
lingkungan sekitar manusia, dan berhubungan timbal
balik dengan manusia.

Psikologi : Ilmu yang mempelajari perilaku dan proses mental


manusia.

Psikologi lingkungan : Cabang Ilmu Psikologi yang meneliti hubungan timbal


balik antara individu dengan lingkungan fisik di
sekitarnya, lingkungan alamiah maupun buatan.
1.26 Pengantar Psikologi Lingkungan

Daftar Pustaka
Barrow, C. (2014). Environmental change and human development: Controlling
nature? Routledge.

Beijersbergen, K. A., Dirkzwager, A. J., van der Laan, P. H., & Nieuwbeerta, P. (2016).
A social building? Prison architecture and staff–prisoner relationships. Crime &
Delinquency, 62(7), 843-874.

Bell, P. A., Green, T., Fisher, J. D., & Baum, A. (2001). Environmental psychology.
New Jersey.

Bell, P. A., Greene, T. C., Fisher, J. D., & Baum, A. (2001). Environmental psychology
(5th edition). London: Lawrence Erlbaum.

Böhm, G. (2019). Environmental Risk Perception. In L. Steg & Judith I. M. de Groot


(Eds.), Environmental psychology: an introduction (second edition). John Wiley
& Sons Ltd.

Bonnes, M., & Bonaiuto, M. (2002). Environmental psychology: From spatial-physical


environment to sustainable development. In R. B. Bechtel & A. Churchman
(Eds.). Handbook of environmental psychology (pp. 28-54). New York: John
Wiley & Sons, Inc.

Bonnes, M., & Secchiaroli, G. (1995). Environmental psychology: A psycho-social


introduction: SAGE.

Carson, R. (2002). Silent spring. Houghton Mifflin Harcourt.

Cialdini, R. B., Reno, R. R., & Kallgren, C. (1990). A focus theory of normative
conduct: Recycling the concept of norms to reduce littering in public places.
Journal of personality and social psychology, 58(6), 1015.

Ciccarelli, S., & Meyer, G. (2010). Psychology. New Delhi: Pearson Education.

Corral-Verdugo, V., Garcia-Cadena, C. H., & Frías-Armenta, M. (2010). Psychological


approaches to sustainability: Current trends in theory, research and
applications.

Diananto, W. (2018). Hingga hari ke-15 Asian Games, 15.000 kg sampah plastik
terkumpul. In teras.id.
MSLK5110 Modul 01 1.27

Gifford, R. (2007a). Environmental psychology and sustainable development:


Expansion, maturation, and challenges. Journal of Social Issues, 63(1), 199-212.

Gifford, R. (2007b). Environmental psychology: Principles and practice. Optimal


books Colville, WA.

Gifford, R. (2014). Environmental psychology matters. Annual review of psychology,


65, 541-579.

Harada, M. (1995). Minamata disease: methylmercury poisoning in Japan caused by


environmental pollution. Critical reviews in toxicology, 25(1), 1-24.

Heriyanto, D. (2019). One in five Indonesians don't believe human activity causes
climate change. The Jakarta Post.

Heydarian, A., Pantazis, E., Carneiro, J. P., Gerber, D., & Becerik-Gerber, B. (2016).
Lights, building, action: Impact of default lighting settings on occupant
behaviour. Journal of Environmental Psychology, 48, 212-223.

Holahan, C. (1972). Seating patterns and patient behavior in an experimental dayroom.


Journal of Abnormal Psychology, 80(2), 115.

Joireman, J., Truelove, H. B., & Duell, B. (2010). Effect of outdoor temperature, heat
primes and anchoring on belief in global warming. Journal of Environmental
Psychology, 30(4), 358-367.

Klimstra, T. A., Frijns, T., Keijsers, L., Denissen, J. J., Raaijmakers, Q. A., Van Aken,
M. A., dkk. (2011). Come rain or come shine: Individual differences in how
weather affects mood. Emotion, 11(6), 1495.

Kundalini, D., & Latif, A. (Eds.). (2018). Statistik transportasi DKI Jakarta 2018.
Jakarta: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta.

Lahey, B. B. (2012). Psychology: An introduction (eleventh edition). New. York: The


MacGraw-Hill Companies, Inc.

Mensah, J. (2019). Sustainable development: Meaning, history, principles, pillars, and


implications for human action: Literature review. Cogent Social Sciences, 5(1),
1653531.

Nkwachukwu, O. I., Chima, C. H., Ikenna, A. O., & Albert, L. (2013). Focus on
potential environmental issues on plastic world towards a sustainable plastic
recycling in developing countries. International Journal of Industrial Chemistry,
4(1), 34.
1.28 Pengantar Psikologi Lingkungan

Pambagio, A. (2017). Tragedi Minamata mengancam Indonesia.

Pol, E. (2006). Blueprints for a history of environmental psychology (I): From first birth
to American transition. Medio Ambiente y Comportamiento Humano, 7(2), 95-
113.

Pol, E. (2007). Blueprints for a history of environmental psychology (II): From


architectural psychology to the challenge of sustainability. Medio Ambiente y
Comportamiento Humano, 8(1/2), 1-28.

Risch, S. J. (2009). Food packaging history and innovations. Journal of agricultural


food chemistry, 57(18), 8089-8092. doi:10.1021/jf900040r

Smith, J., Shearman, D., & Positano, S. (2007). Climate change as a crisis in world
civilization: why we must totally transform how we live. Edwin Mellen Press.

Steg, L., Berg, A. E. v. d., & de Groot, J. I. M. (2013). Environmental psychology: An


introduction. The British Psychological Society and John Wiley & Sons, Ltd.

Steg, L. E., Van Den Berg, A. E., & De Groot, J. I. (2013). Environmental psychology:
An introduction: BPS Blackwell.

Stokols, D. (1995). The paradox of environmental psychology. American Psychologist,


50(10), 821.

Tversky, A., & Kahneman, D. (1981). The framing of decisions and the psychology of
choice. Science, 211(4481), 453-458. doi:10.1126/science.7455683

Widowati, H. (2019). Berapa jumlah kendaraan di DKI Jakarta? From databoks.

Wilson, E. O. (1984). Biophilia. Harvard University Press.

Winter, D. D. N., & Koger, S. M. (2014). The psychology of environmental problems:


Psychology for sustainability. Psychology Press.

Zelko, F. (2017). Scaling Greenpeace: From local activism to global governance.


Historical Social Research/Historische Sozialforschung, 318-342.

Anda mungkin juga menyukai