Anda di halaman 1dari 18

B.

REAKSI INTI
Reaksi inti pada dasarnya adalah interaksi antara proyektil yang terdiri dari
partikel dasar, foton, neutron, atau inti multinukleon dengan suatu inti target. Akibat
interaksi tersebut dapat berupa penghamburan projektil atau eksitasi inti target yang
diikuti oleh transformasi nuklir menjadi inti lain dengan cara menangkap atau
melepaskan partikel sub atomik.
Tabel 1 menampilkan perbedaan antara reaksi kimia dengan reaksi inti.
Tabel 1. Perbedaan antara reaksi kimia dan reaksi inti.
Reaksi Kimia Reaksi Inti
1. Atom diubah susunannya melalui 1.Unsur (atau isotop dari unsur yang
pemutusan dan pembentukkan ikatan sama) dikonversi dari unsur yang
kimia. satu ke unsur lainnya.
2. Hanya elektron dalam orbital atom 2. Proton, neutron, elektron, dan
atau molekul yang terlibat dalam partikel dasar lain dapat saja
pemutusan dan pembentukkan terlibat.
ikatan.
3. Reaksi diiringi dengan penyerapan 3. Reaksi diiringi dengan penyerapan
atau pelepasan energi yang relatif atau pelepasan energi yang sangat
kecil. besar.
4. Laju reaksi dipengaruhi oleh suhu, 4. Laju reaksi biasanya tidak
tekanan, konsentrasi, dan katalis. dipengaruhi oleh suhu, tekanan,
dan katalis.

a. Notasi Bethe (Notasi Reaksi Inti)


Reaksi inti yang merupakan proses transformasi inti atom target, yang
umumnya terjadi melalui penembakan inti atom target dengan proyektil yang
dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan seperti berikut :
A1 A2 A3 A4
Z1 X+ Z a → Z b+ Z Y
2 3 4

Dengan :
X = inti atom target
a = partikel penembak (proyektil)

1
b = partikel yang terpancar (ejektil)
Y = inti produk (rekoil)
Secara singkat untuk menyatakan reaksi inti dapat dituliskan dalam bentuk
notasi Bethe, bentuk umum dari notasi Bethe yang menggambarkan reaksi di atas
adalah:
A1
X(a,b)A4Y
Dalam notasi Bethe ini, inti target digambarkan di depan kurung, proyekil
dan ejektil ditulis di dalam kurung dan terpisah dengan tanda “,” sebagai pemisah,
di belakang kurung ditulis inti produk. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
contoh-contoh berikut :
a. 24
Mg(d,α)22Na
b. 23
Na(n,𝜸)24Na
c. 35
Cl(n,p)35S
d. 63
Cu(p,p3n9α)24Na

b. Tipe Reaksi Inti


Suatu cara untuk menyederhanakan penamaan reaksi inti hanyalah dengan
menyebutkan (a,b) pada inti sasaran. Jadi, untuk reaksi 35Cl (n,p) 35S disebut reaksi
(n,p) pada 35Cl. Berdasarkan sifat-sifat dari a dan b maka reaksi-reaksi inti
dibedakan ke dalam beberapa jenis seperti diuraikan berikut ini.
1. Hamburan Elastik
Pada penembakan inti, dimana hasilnya a = b dan X = Y, disebut peristiwa
hamburan elastik. Partikel penembak menumbuk inti sasaran, ia kehilangan
sebagian energi kinetiknya, yang dialihkan pada inti sasaran. Tidak terjadi
perubahan energi potensial total, dan energi kinetiknya kekal. Jumlah energi
yang ditransfer ke inti sasaran dapat dihitung dengan rumus :
θ
4 m M sin2
2
EM= 2
Em
( m + M)
dengan Em adalah energi kinetik awal dari partikel penembak dengan massa m,
dan EM adalah energi kinetik yang diterima oleh inti sasaran dengan massa M.

2
Teta () adalah besar sudut penyimpangan dari arah datang semula dengan arah
setelah menumbuk inti sasaran.
Hamburan elastik digunakan dalam perlambatan neutron cepat oleh
moderator di dalam reaktor nuklir. Contoh reaksi hamburan elastik adalah
sebagai berikut :
235
U+ n 236
U* 235
U+n
2. Hamburan Inelastik
Suatu proses penghamburan dianggap inelastik jika sebagian energi kinetik
partikel misil digunakan untuk menaikkan energi potensial inti sasaran, antara
lain berupa eksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi. Dalam kasus ini energi
kinetik sistem tidak kekal.
Contoh :
1T 107
107
Ag (n,n)107mAg Ag
44,35
Pada contoh di atas netron berenergi tinggi mengakibatkan inti target 107Ag
berada dalam keadaan tereksitasi dengan waktu hidup 44,35 detik, proses ini
memancarkan netron dengan energi kinetik lebih rendah.
3. Reaksi Fotonuklir
Reaksi-reaksi inti yang diinduksi oleh sinar-X atau photon  berenergi
tinggi (>10 MeV) dipandang sebagai reaksi-reaksi fotonuklir. Dalam reaksi ini
a =  dan b lebih sering adalah n atau p dan bila menggunakan photon dengan
energi sangat tinggi maka b kemungkinan besar adalah d, t atau  atau bahkan
campuran partikel-partikel.
a. 9
Be (ᵞ, n) 8Be  2α
b. 2
H (ᵞ, n) 1H
4. Tangkapan Radioaktif
Bila partikel misil diserap oleh inti sasaran, inti sasaran tereksitasi yang
kemudian memancarkan radiasi satu atau lebih photon gamma (). Reaksi yang
paling umum adalah (n, ), dimana hasilnya adalah isotop dari inti sasaran yang
massanya satu satuan massa lebih besar.

3
Contoh :
23
Na (n, ) 24Na, 31P (n, ) 32P, 179Au (n, ) 180Au.
Selain reaksi (n, ) ada pula reaksi (p, ), tetapi disini inti hasilnya bukan
isotop dari inti sasaran.
Contoh :
19
F (p,  ) 20Ne, 27Al (p, ) 28Si.
Reaksi inti jenis lain meliputi reaksi (n,p), (p,n), (n, ), (,n), d,p), (d,n),
(,t).
5. Reaksi Nuklir Khusus
Dalam reaksi-reaksi yang telah disebutkan terdahulu, perbedaan massa inti
sasaran dengan inti hasil hanya satu atau beberapa unit massa. Ada sejumlah
reaksi inti yang mengakibatkan inti sasaran tersobek-sobek atau terpecah
menjadi dua bagian yang massanya lebih kurang sama. Yang termasuk dalam
kelompok reaksi demikian adalah :
a) Penguapan (evaporasi) yaitu bila berbagai nukleon dan atau gabungan
nukleon seperti partikel alpha meninggalkan inti sasaran. Contoh : 27Al
(d,p) 24Na.
b) Spalasi yaitu reaksi yang sedikit lebih hebat dari evaporasi. Sejumlah
besar nukleon dilemparkan keluar dan hasilnya jauh lebih ringan dari inti
sasaran. Contoh : 63Cu (p,p3n9) 24Na.
c) Fisi yaitu suatu proses dimana inti yang tereksitasi oleh neutron atau cara
lain, membelah menjadi dua bagian yang massanya seimbang. Contoh :
235
U + n 236
U* 137
Te + 97Zr +2n
Probabilitas reaksi dapat pula dinyatakan sebagai probabilitas untuk
I
menemukan partikel b pada partikel datang a atau I o . Persamaan

rumusnya adalah :
I σN
=
Io A
Dengan :
 = luas efektif dan N = jumlah inti atom.

4
d) Fragmentasi jika inti tereksitasi hebat, sekitar 0,5 GeV pecah menjadi dua
fragmen, yaitu satu fragmen ringan dan satu fragmen berat dengan rasio
N/Z sama dengan induknya. Energi eksitasinya tidak terdistribusi secara
merata diantara fragmen ringan dan fragmen berat.
e) Pelucutan/Stripping Reaction proyektil pada reaksi stripping sebelum
mencapai target pecah menjadi beberapa bagian karena pengaruh gaya
Coulomb. Satu atau beberapa bagian dari proyektil tersebut dapat
mencapai inti, sedangkan bagian lainnya terlepas. Deutron yang dipercepat
dapat dianggap terdiri satu proton dan satu neutron, pada proses ini
neutron lebih mudah ditangkap oleh inti, seperti pada contoh reaksi :
Cu + d (=n+p) 64Cu + p
63

Pada reaksi pelucutan, diperoleh inti produk yang lebih berat daripada inti
target.
c. Kekekalan Pada Reaksi Nuklir
Pada reaksi inti berlaku beberapa hukum-hukum kekekalan diantaranya
jumlah proton (Z), jumlah neutron (N), kekekalan massa, kekekalan momentum
angular dan linear, dan kekekalan energi.
1. Kekekalan proton dan neutron
Kecuali pada reaksi peluruhan β, pada semua reaksi nuklir lambat, jumlah
proton dan jumlah neutron, selalu konstan sehingga nomor massa (A) awal dan
akhir reaksi konstan. Dengan kata lain muatan dan massa reaktan sama dengan
muatan massa produk, seperti pada reaksi 24Mg(d,α)22Na harus dipenuhi :
Zreaktan= Zproduk = 13
Nreaktan= Zproduk = 13
Seperti halnya reaksi peluruhan β, pada reaksi yang berlangsung proyektil
berenergi sangat tinggi (E ≥ 0,3 GeV) dihasilkan π meson dan anti partikel,
jumlah Z dan jumlah N juga tidak konstan, tetapi jumlah keduanya (A)
(konstan).
Cu(p + pπ+) 63Ni
63

5
Z reaktan (=30) tidak sama dengan jumlah Z produk (=29). N reaktan
(=34) tidak sama dengan jumlah N produk (=35). Tetapi A reaktan (=64)
sama dengan jumlah A produk (=64).
2. Kekekalan Momentum
Momentum suatu proyektil, a (yang bermassa m dan berkecepatan v) pada
suatu reaksi nuklir sama dengan momentum inti majemuk (X +a) sehingga :
mv = (m+ M)V
Dengan :
M : massa inti target
V : kecepatan inti majemuk
Inti majemuk adalah “persenyawaan” inti target dan projektil yang berada
pada keadaan tereksitasi. Dari hukum kekekalan momentum linear tersebut
diperoleh :
m
V= v
m +M
Energi kinetik yang berasal dari proyektil sebagian ditransfer menjadi
energi kinetik inti majemuk (energi translasi) dan sebagian ditransfer menjadi
energi eksitasi inti majemuk. Besarnya energi kinetik proyektil yang ditranfer
menjadi energi translasi (Tr) adalah :
1
Tr = (m+M)V2
2
m
Tr = Ta
m+ M
Ta adalah energi kinetik proyektil
Sedangkan besarnya energi proyektil yang ditransfer menjadi energi
eksitasi inti majemuk adalah :
m
(Ta - Tr ) = Ta
m+ M
Selain kekekalan momentum sudut linear, pada reaksi inti juga harus
dipenuhi hukum kekekalan momentum sudut.
3. Kekekalan Energi

6
Pada reaksi inti, total energi reaktan harus sama dengan total energi
produk. Untuk reaksi :
X+e→b+y
Berlaku :
(mx + ma)931 + Ea = (mb +my)931 + Eb + Ey
E : energi kinetik
931 : pengubah satuan massa menjadi satuan energi (MeV), dengan asumsi
bahwa inti target tidak mempunyai energi kinetik.
Jika persamaan diatas disusun ulang maka diperoleh :
(mx + ma – mb - my)931= Eb + Ey= Q,
atau
Q= 931 ∆m
∆m : massa yang hilang
Q : energi reaksi
Jika Q berharga positif berarti terjadi pengurangan massa dan reaksi ini
disebut reaksi eksoergik, jika Q berharga negatif berarti terjadi perolehan
massa dan reaksinya disebut reaksi endoergik. Pada umumnya harga Ey sulit
diukur, sehingga untuk harga Q diperoleh dari ∆m.
4. Ambang Energi Reaksi Inti
Ambang energi reaksi inti adalah energi minimum yang diperlukan agar
reaksi inti dapat berlangsung. Dari pengertian ini, maka ambang energi tidak
penting dalam reaksi eksoergik, tetapi sangat penting untuk kelangsungan
reaksi endoegrik.
Harga ambang energi pada reaksi endoergik sama dengan –Q seperti yang
M
telah dibahas sebelumnya, bahwa fraksi [ ] dari energi kinetik proyektil
m+ M
(Ea) digunakan untuk energi eksitasi inti majemuk, sehingga reaksi hanya
mungkin berlangsung jika :
M
[ ]Ea ≥ Q
m+ M
atau,

7
m
Ea ≥ [1+ ]Q
M
Dengan demikian, jika deutron berenergi 8 MeV ditembakkan pada inti
target magnesium, energi yang digunakan untuk reaksi 24Mg(d,α)23Na hanya
24
x 8 = 7,38 MeV.
2+ 24
d. Penampang Lintang Reaksi
Penampang Lintang Reaksi merupakan suatu ukuran kebolehjadian
berlangsungnya reaksi, dinyatakan dalam satuan barn ( 1 barn = 10-24 cm2). Pada
reaksi inti, dimana seberkas partikel (flux) proyektil mengenai inti target, maka
penampang lintang reaksinya dinyatakan dalam persamaan :
Ri = αil.n.x
Dengan,
R : jumlah total dari proses tertentu yang terjadi dalam suatu target satuan waktu
l  : jumlah partikel penembak persatuan waktu
n  : jumlah inti target per sentimeter kubik target
x  : tebal target dalam sentimeter
αi : penampang lintang reaksi dinyatakan dalam sentimeter kuadrat
1. Penampang Lintang Geometri dan Penampang Lintang Reaksi
Penampang lintang geometri dari inti sperik dinyatakan dalam persamaan
πR2, dimana R adalah jari-jari inti. Jari-jari inti dapat dihitung berdasarkan
persamaan 1,4xA1/3 F, dengan A adalah massa atom.
Penampang lintang reaksi berbeda dengan penampang lintang geometri,
dan tidak terdapat hubungan nyata antar keduanya. Penampang lintang
geometri mempunyai rentangan harga sempit, sedang penampang lintang
reaksi mempunyai rentang harga lebar (10-3 – 10-5 b). Sebagai contoh : isotop
216
Po dan 27Al berturut-turut jari-jarinya adalah 8,4 F dan 4,2 F , berarti jari-jari
216
Po dua kali lebih besar dari pada jari-jari 27Al (merupakan rentangan sempit),
sedangkan penampang lintang reaksinya berturut-turut 0,554 dan 2,217 b
(rentangan lebar). Selanjutnya dalam reaksi penembakan terhadap target yang
sama dengan proyektil dan energi yang juga sama, dapat dinyatakan dengan
lebih dari satu penampang lintang reaksi; tergantung dari tipe reaksi yang

8
terjadi. Jika 235U ditembaki dengan neutron lambat membentuk inti senyawa
236
U*, dari tujuh kejadian yang mungkin, terdapat 6 kejadian yang merupakan
reaksi fissi, sedang satu kejadian lainnya merupakan reaksi peluruhan gamma.
Dengan demikian penampang lintang reaksinya dapat dinyatakan dalam 3
macam, yaitu penampang lintang reaksi fissi (=580 barn), penampang lintang
reaksi peluruhan gamma (=107 barn), dan penampang lintang reaksi total (687
barn).
2. Penampang lintang reaksi Penangkapan Neutron-Hukum 1/v
Pada umumnya penampang lintang reaksi penangkapan neutron
berbanding terbalik dengan kecepatan neutron. Kenyataan ini dinamakan
hukum 1/v.
Lebih jelas dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 1. Variasi Penampang Lintang Reaksi dengan


Energi

9
e. Teori Inti Majemuk
Berdasarkan model inti, yaitu model tetes cairan. Bohe (1936) mengusulkan
teori pembentukkan inti majemuk yaitu interaksi antara proyektil dengan inti
target. Beberapa konsep dasar dari teori ini diutarakan sebagai berikut.
1. Konsep inti majemuk
1) Inti majemuk (C*) tersusun atas proyektil dan inti target, maka :
A1 A2 A1 A
Z1 X+ Z a → → Z C∗¿
2

1
Z1 2

Contoh :
Mg + d → 26Al*
24

Cu + p → 64Zn*
63

Ni + α → 64Zn*
60

2) Inti majemuk berada dalam keadaan tereksitasi, energi eksitasi inti


majemuk adalah jumlah energi kinetik proyektil ditambah dengan energi
ikat mejemuk.
3) Energi eksitasi dari proyektil terdistribusikan pada nukleon-nukleon inti
majemuk secara acak. Waktu (t) yang diperlukan untuk mendistribusikan
energi oleh partikel (dengan kecepatan V) pada inti target dengan diameter
2R, dinyatakan dalam persamaan :
2R
t=
V
Jika neutron cepat berenergi 1 MeV, dengan kecepatan ~107 ms-1 dan
menumbuk inti target berdiameter ~10-14 m, maka diperlukan waktu
randomisasi energi ~10-21s. Jika neutronnya berkecepatan ~10-2s, maka
waktu randomisasinya 10-17s, ini disebut waktu alamiah inti.
4) Reaksi X(a,b)Y dapat dibagi dalam dua tahap, yaitu tahap pembentukkan
inti majemuk dan tahap peluruhan inti majemuk menjadi produk
berlangsung lebih lambat (kira-kira 10-15-10-14a) dibandingkan dengan waktu

10
alamiah inti (kira-kira 10-17-10-21s). Dengan demikian waktu hidup inti
majemuk relatif lebih lama.
Implikasi dari konsep inti majemuk itu antara lain :
a. Inti majemuk yang sama dapat dibentuk melalui lebih dari satu cara, yaitu
dari pasangan proyektil dan target yang berbeda.
b. Produk peluruhan yang terbentuk tidak tergantung pada modus
pembentukkannya (melupakan sejarah pembentukkannya).
c. Produk peluruhan inti majemuk tidak tergantung pada modus pembentukkan
inti majemuk tersebut, tetap relatif tergantung pada energi eksitasi.
d. Karena bebas dari energi pembentukkan, maka proses peluruhan inti
majemuk menjadi produk, terpancar secara isotropik (hampir seragam pada
segala arah), tanpa ada hubungannya dengan arah proyektil.
2. Tingkat eksitasi inti majemuk
Total energi eksitasi dari inti majemuk diperoleh dari dua faktor yaitu :
a. Transfer energi kinetik proyektil
b. Energi ikat inti majemuk
Contoh soal :
Jika 24Mg ditembaki dengan deutron berenergi 8 MeV, maka energi eksitasi
pembentukan inti majemuk 26Al* dapat dihitung sebagai berikut :
(i) Energi eksitasi inti majemuk yang berasal dari energi deutron :
24
x 8 MeV = 7,38 MeV
26
(ii) Energi ikat inti majemuk :
∆m = (m (24Mg) + m (2d) – m (26Al*)) 931
∆m = (23,985045 + 2,014102 – 25,986900) 931
∆m = 0,012247 x 931
∆m = 11,40 MeV
Dengan demikian, energi eksitasi Al* = 7,28 MeV + 11,40 MeV = 18,78 MeV.
Berdasarkan konsep inti majemuk, total energi eksitasi terdistribusi secara
acak pada nukleon-nukleon inti majemuk. Kebolehjadian distribusi energi
eksitasi secara merata (seragam) pada setiap nukleon sangat kecil. Untuk lebih

11
jelasnya, pada reaksi (Mg + d), jika energi eksitasinya terdistribusi secara
18,78
merata, maka setiap nukleon memperoleh energi sebesar = 0,72 MeV.
26
Hal ini tidak mungkin terjadi, sebab energi nukleon tersebut terlalu kecil untuk
mengatasi fermi gap (~8) MeV, sehingga tidak mungkin terjadi pemecahan
nukleon.
Dari uraian tersebut, jelaslah bahwa energi eksitasi terdistribusi secara
acak, sehingga memungkinkan terjadinya konsentrasi energi pada kelompok
nukleon tertentu lebih besar dibandingkan pada nukleon lainnya. Setiap
pendistribusian berhubungan dengan tingkat energi dan bervariasi dari suatu
kejadian ke kejadian lainnya.
3. Waktu hidup dan lebar setengah puncak
Waktu hidup inti majemuk (inti tereksitasi) dapat ditentukan berdasarkan
nilai lebar setengah puncak (┌) yang diperoleh dari spektrum energi inti
tereksitasi. Nilai ┌ diperoleh melalui pengukuran setengah tinggi puncak-
puncak resonansi yang bervariasi antara 0,1 sampai 104 eV, dan tergantung
pada besarnya energi eksitasi dan massa inti. Setiap tingkat eksitasi juga
mempunyai waktu hidup rata-rata (τ = 1/ tetapan peluruhan).
Berdasarkan prinsip ketidakpastian, maka untuk tingkat eksitasi berlaku :
∆τ i ∆τ = ђ = 1,0544 x 10-34 Js
Waktu hidup rata-rata diberikan oleh persamaan :
ђ 6,6 x 10−16
τ= = s , ┌ dalam eV
┌ ┌
Jika ┌ yang bervariasi antara 0,1 – 10-4, maka eV, τ bervariasi antara 10-15
sampai 10-12s.

12
Gambar 1. Tangkapan resonansi neutron pada 0,65 eV oleh Iridium.
Setiap modus peluruhan mempunyai harga lebar setengah puncak yang
berbeda, oleh karena itu :
┌total = ┌ɤ+ ┌n + ┌2n + ┌r + ┌α + ....
Dengan ┌ɤ, ┌n ...... adalah lebar setengah puncak untuk masing-masing
modus peluruhan.
f. Reaksi Interaksi Langsung
Reaksi Inti Langsung (berenergi tinggi dengan E 750 MeV sampai rentang
GeV) mempunyai sifat khusus, yaitu menunjukkan variasi penampang lintang
yang sangat sedikit akibat tingginya energi proyektil, sehingga puncak
resonansinya hampir tidak ada.
Pada reaksi inti dengan proyektil berenergi ultra tinggi, sebagian besar fraksi
energi partikel proyektil ditransfer ke suatu atau sebagian kecil nukleon pada inti
target. Pemancaran neutron segera terjadi karena energi proyektil mampu
mengatasi semua penghalang. Proyektil mampu menumbuk beberapa nukleon dan
segera setelah penumbukan tersebut terjadi pemancaran. Proses pemancaran
nukleon tertentu memiliki arah tertentu pula, dan terpencar secara non-isotropik
(tergantung arah datangnya proyektil).
Menurut teori interaksi langsung reaksi inti terjadi dalam dua tahap :
a. Emisi nukleon-nukleon gasip, sesuai dengan arah proyektil.
b. Evaporasi partikel-partikel dari inti residu.
g. Reaksi Inti Spesifik
Blatt dan Weisskopf mengklasifikasikan reaksi inti berdasarkan :
1. Proyektil alamiah : Neutron, proton, deutron, triton, alfa, ion-ion berat
atau foton.
2. Energi partikel proyektil: Rendah (< keV), sedang ( 1-500keV), tinggi
(0,5-10 MeV), sangat tinggi (<10 MeV).
3. Massa inti target : Ringan (<25), sedang (25-80) dan berat (>80).
Berikut dibahas beberapa reaksi inti yang didasarkan pada klasifikasi
tersebut.
1. Reaksi dengan Neutron

13
Karena netron tidak mendapatkan halangan Coulomb, maka reaksi inti
yang diinduksi netron pada berbagai macam energi tidak hanya berjumlah
banyak, tetapi juga penting jika ditinjau dari aspek teori dan penggunaan.

a) Neutron energi E < 1 keV


Reaksi neutron berenergi rendah dengan inti target ringan maupun inti
target berat adalah : (n, n), (n, ɤ), dan (n, r).
b) Neutron berenergi sedang
Tipe reaksi yang terjadi sama dengan tipe reaksi yang terjadi pada
neutron berenergi rendah, berdasarkan urutan menurunnya penampang
lintang terjadi reaksi: (n, n), (n, ɤ) , (n, r). reaksi ini terjadi pada semua
inti target sedang.
c) Neutron berenergi tinggi
Reaksi neutron berenergi tinggi dengan inti target sedang
menghasilkan (n, n), (n, α), (n, p). Jika inti targetnya berat, maka tipe
reaksi yang terjadi adalah (n, n), (n, p), (n, γ).
Contoh :
35
Cl (n, α) 32P
203
Tl (n, α) 200Au
35
Cl (n, p) 35S
d) Neutron berenergi sangat tinggi
Reaksi neutron berenergi sangat tinggi dengan inti target sedang
menghasilkan tipe reaksi : (n, 2n), (n, n), (n, p), (n, np), (n, 2p), (n, α),
(n, m) adalah reaksi evaporasi.
Contoh :
79
Br (n, 2n) 78Br
65
Cu (n, nα) 61Co
63
Cu (n, α2n) 58Cu
2. Reaksi dengan partikel bermuatan
Reaksi partikel bermuatan dengan inti target mungkin dapat
berlangsung jika energi proyektil mampu mengatasi halangan Coulomb

14
reaksi yang terjadi berdasarkan penurunan penampang lintang reaksinya
diuraikan di bawah ini.

Energi tinggi
Energi sedang Energi sangat tinggi
(0,5 MeV < E < 10
(< E, 500 keV) (E> 10 MeV)
MeV)
Inti sedang Inti sedang Inti sedang
(p, n), (p, γ), (p, α), (p, (p, n), (p, p), (p, α), (p, 2n), (p, n), (p, p),
r) (p, r) (p, np), (p, 2p), (p, α)
Inti berat Inti berat Inti berat sama dengan
Energi partikel belum (p, n), (p, p), (p, J) tipe reaksi yang
cukup untuk terjadi pada inti
melangsungkan reaksi sedang

3. Reaksi dengan deuteron


Reaksi dengan deutron yang dipercepat memberikan hasil yang
spesifik, dengan karekteristik :
a. Sederhana dan umumnya terjadi penurunan energi ikat inti dengan
penurunan energi ikat rata-rata 1,115 MeV.
b. Distribusi muatan tidak simetris.
c. Pada keadaan dasar merupakan suatu triplet, dengan spin paralel untuk
proton dan neutron.
Reaksi inti target dengan deutron sulit dipastikan terjadinya inti
majemuk, khususnya pada reaksi striping. Pada reaksi ini deutron pecah
menjadi dua partikel. Salah satu partikel ditangkap target, sebagaimana
dalam reaksi (d,p) dan (d,n). Hal ini hanya mungkin terjadi pada deutron
berenergi tinggi.
A A +1
Z X +d → Z X+p
Contoh : 18Br (d,p)82Br
A A +1
Z X +d → Z+1 X +n
Contoh : 57Fe(d,n)58Co

15
Rekasi (d,p) kemungkinan terjadi pada energi rendah dan disebut
reaksi Oppenheimer-Philips. Deutron pecah menjadi n + p, sehingga inti
target mudah menangkap neutron (tanpa halangan Coulomb), sedang
protonnya dilepaskan.
Beberapa tipe reaksi dengan deutron berenergi tinggi dan sangat tinggi
diuraikan sebagai berikut :
Energi tinggi Energi sangat tinggi

(d, p), (d, n), (d, pn) (d, p), (d, 2n), (d, pn)
(d, 2n), (d, α) (d, 3n), (d, d), (d,t), (d,m)
Contoh : Contoh :
24
Mg (d, α) 22Na 75
As (d, 2n) 75Se
75
As (d, p6n) 70As
7
Li (d, t) 6Li

4. Reaksi dengan Triton


Tipe reaksi yang terjadi sama seperti pada tipe reaksi dengan deutron,
reaksi Oppenhiemer-Philips dalam hal ini (t,p) dan (t,d), misalnya :
C (t,p) 14C; 59Co(t,p)61Co; 63Cu(t,d)64Cu
12

5. Reaksi dengan alpha


Reaksi dengan partikel pertama kali digunakan dalam eksperimen
Ruttherford (1919), yaitu :
N + α → p + 17O
14

Partikel alpha diperoleh dari peluruhan radioaktif alam yang berenergi


lemah dan fluxnya terbatas. Partikel alpha dengan inti target menghasilkan
hamburan (α, α). Hal inilah yang menjadi dasar postulat inti atom oleh
Rutherford. Reaksi inti dengan partikel alpha dapat berlangsung pada
kondisi energi tinggi atau sangat tinggi. Tipe reaksi yang terjadi adalah
sebagai berikut :
Energi tinggi Energi sangat tinggi

(α, n) 109Ag (α,n) 112In (α, n) 109Ag (α,2n) 111In

16
Energi Tinggi Energi sangat tinggi
(α,p), (α, α), (α, J) (α,n), (α, p), (α, np),
Contoh : (α,2p), (α, 2p), (α, np)
200
Au (α,n)203Tl (α, 2p), (α, d)
239
Pu (α, 5n) 238CM (α,m)
239
Pu (αp2n)240Am

h. Interaksi Fotonuklir
Proses eksitasi inti yang menghasilkan peluruhan tidak hanya disebabkan oleh
partikel berenergi tinggi, tetapi dapat pula disebabkan oleh foton berenergi tinggi.
Reaksi ini di sebut reaksi fotonuklir.
1. Sumber Foton Berenergi Tinggi
a. Foton berenergi tinggi dapat diperoleh melalui perlambatan elektron
berenergi tinggi.
b. Foton berenergi tinggi dapat pula dihasilkan dari reaksi penangkapan
radiatif, misalnya :
7
Li(p,𝜸)24He (E𝜸 = 17,6 MeV)
3
H(p,𝜸)4He (E𝜸 = 14,8 MeV)
c. Anihilasi gamma hasil penembakan elektron berenergi tinggi terhadap inti
target tebal. Pada anihilasi terbentuk 2 foton sinar gamma, yang masing-
masing berenergi 0,51 MeV.
2. Tipe Reaksi Fotonuklir
a. Reaksi (𝜸,𝜸) yaitu eksitasi inti yang dilanjutkan dengan deeksitasi berupa
pemancaran radiasi. Contoh : 115In(𝜸,𝜸)115In
b. Reaksi (𝜸,p), (𝜸,n), dan (𝜸,2n)
Reaksi ini dapat berlangsung jika energi foton mencapai 7-8 MeV.
Penghalang Coulomb diduga akan mempersulit reaksi (𝜸,p), tetapi
kenyataannya penampang lintang reaksi (𝜸,p) lebih besar dari pada
penampang lintang reaksi (𝜸,n). Hal ini diperkirakan terjadi karena adanya
interaksi langsung antara energi foton dengan proton sebelum energi foton
itu ditransfer pada setiap nukleon.

17
Contoh reaksi : (γ, n) : 9Be + γ  8Be + n
(γ, p) : 28S + γ  27Al + p
(γ, 2n) : 26Al + γ  24Mg + 2n

c. Reaksi (𝜸,α) misalnya : 51V(𝜸,α)47Sc; 16O(𝜸,α)12C.


d. Reaksi (𝜸,m) yaitu reaksi penangkapan foton yang diikuti dengan evaporasi
nukleon.
Contoh : 
C(𝜸,3α); 16O(𝜸,4α); 19F(𝜸,2n)17F; 24Mg(𝜸,αpn)18F; 15As(𝜸,αp2n)68Zn;
12

107
Ag(𝜸,8Li)99Ru.

18

Anda mungkin juga menyukai