Anda di halaman 1dari 5

STUNTING 

atau disebut gagal tumbuh pada anak balita akibat kurang gizi kronis
menimbulkan dampak ikutan yang lebih serius. Dari pertumbuhan jasmani yang kurang
sehat, perkembangan kecerdasan intelektual yang tidak maksimal, tentu saja akan
mengurangi semangat untuk belajar, implikasinya akan mengalami dan sekaligus
menaikkan angka putus sekolah.

Naiknya angka putus sekolah akan mengubah atau setidaknya memengaruhi orientasi
hidup anakanak stunting tersebut, untuk segera mendapat pekerjaan. Tentu saja dapat
dipastikan bahwa mereka akan bekerja di sektor padat karya pekerjaannya berat
dengan penghasilan kecil kecuali apabila mereka membuka usaha sendiri.

Stunting menjadi bagian dari persoalan kependudukan yang lebih kompleks, dan
merupakan problema aktual yang terusmenerus meminta perhatian dan kesungguhan
para petinggi dan pemangku kepentingan di negeri ini secara berkesinambungan.

Secara nasional, angka stunting masih berada di angka 27,6% pada 2019. Dan dampak
pandemi Covid-19 ini angka naik menjadi 27,68 %.

Rencana awal, 2020 bisa turun menjadi 24,1%, 2021 jadi 21,1%, 2022: 18,4 %, 2023:
16,0%, dan 2024: 14,0 %. Di Jawa Tengah, angka stunting pada tahun 2019 masih
cukup tinggi. Paling tinggi Kabupaten Wonosobo 38,57%, Demak 35,76 %, Kabupaten
Pekalongan 34,74 %, Brebes 34,65%, dan Sragen 32,40%.

Islam menawarkan konsep mencegah dan mengatasi problema stunting ini, dengan


merencanakan keluarga dan kependudukan melalui keluarga samawa dan penanganan
keluarga melalui zakat secara berkelanjutan. Karena itu, dalam merencanakan
keturunan, musti dilakukan dengan pernikahan yang direncanakan, dan dilaksanakan
oleh pasangan yang sudah memiliki kecakapan dan kemampuan, agar keluarga yang
dibangun mampu meraih kebahagiaan dan ketenangan (sakinah) berdasarkan cinta
(mawaddah), dan kasih sayang (rahmah) (QS. Al-Rum (30): 21). Untuk dapat
mewujudkan rumah tangga yang bahagia, maka diperlukan kesiapan dan kematangan,
termasuk di dalamnya usia menikah, yang benar-benar siap, usia 19 tahun (UU No
16/2019).

Pernikahan Dini

Berdasarkan data DP3AP2KB Jawa Tengah tercatat ada 11.301 kasus pernikahan
anak usia dini perempuan dan 1.671 bagi laki-laki (5/4/2021). Untuk dapat mencari
solusi secara tepat, kiranya diperlukan langkah-langkah sebagai berikut: pertama, data
yang akurat bagaimana kondisi keluarga yang termasuk dalam kategori stunting?

Angka, 27,68% menurut laporan rutin seksi Kesga Gizi Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
Tengah 2020 sebanyak 226.686 balita stunting.
Angka tertinggi Kabupaten Brebes 19.166, Banyumas 14.146, Banjarnegara 13.346,
Kebumen 11.958, Tegal 11.655, dan Cilacap 11.037. Yang paling kecil angka
stuntingnya adalah Kota Magelang 445, Kota Salatiga 620, dan Kota Surakarta 830.

Bagaimana data riil keluarga yang ”melahirkan” angka stunting, perlu treatmen khusus,
bagaimana karakteristik mereka, berapa jumlah anak, bagaimana mata pencaharian
dan penghasilan mereka, dan berkesinambungan (sustainable).

Kedua, memahamkan konsep agama dalam pembangunan keluarga dan keturunan


yang berkualitas, tidak keluarga lemah, yang dikhawatirkan akan menjadi beban dalam
masyarakat (QS. An-Nisaí (4): 9). Agama tegas melarang pergaulan bebas, karena
merusak masa depan mereka. Ketiga, merevitalisasi pelaksanaan program
Kependudukan, Keluarga Berencana, dan Pembangunan Keluarga (KKB-PK)
merupakan suatu keniscayaan.

Karena generasi berencana (genre) juga perlu disiapkan. Hindari 4T, yakni tidak
melahirkan terlalu muda, tidak terlalu banyak (anak), tidak terlalu rapat (jarak kelahiran),
dan tidak terlalu tua. Insya Allah dengan program hindari 4T tersebut, bakal sukses.
Kalau perencanaan itu sudah dipahami masyakarat, itu saja sudah sangat mendukung
program KKBBK.

Keempat, kerja sama dengan para tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam
melakukan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) terutama kepada warga yang
secara ekonomi membutuhkan perhatian atau miskin. Mereka membutuhkan afirmasi,
edukasi, dan advokasi agar mendapatkan prioritas dan perhatian.

Bahkan, jika memungkinkan, bukan sekadar KIE, tetapi perlu langkah kebijakan
afirmatif dari pemerintah yang mengelola anggaran, dan dilaksanakan secara periodik
dan berkesinambungan. Kelima, bekerja sama dengan Baznas (Pusat, Provinsi, dan
Kabupaten/ Kota) untuk dapat mendistribusikan zakat berupa pembuatan program
khusus untuk mengentaskan anak-anak stunting secara khusus.

Mereka ini jelas mustahiq zakat prioritas pertama dan kedua (fakir dan miskin).
Mengapa?

Anak-anak yang berkualitas hanya bisa lahir dari keluarga yang berkualitas. Salah satu
tujuan utama zakat, menurut ëUmar bin al-Khaththab ra, adalah mengubah mustahik
menjadi muzakki. Keenam, alokasi anggaran secara affirmatif dari APBN dan APBD
Provinsi dan kabupaten/kota.

Problem stunting ini butuh kebijakan politik yang konkrit dan terukur. Kepala daerah
harus memiliki parameter, berapa persen bisa menurunkan atau menghapus
angka stunting di daerahnya.

Jika problem mengatasi stunting ini gagal, pasti berdampak pada bonus demografi.


BKKBN tidak akan mampu bekerja sendirian, karena itu perlu bermitra dan bersinergi
dengan semua pemangku kepentingan. Ketujuh, siapkan tenaga pendamping yang bisa
memantau secara rutin perkembangan dan kemajuan dari anak-anak yang
mengalami stunting.

Ini bisa dilakukan dengan bekerja sama dengan perguruan tinggi dijadikan sebagai
program pengabdian kepada masyarakat berupa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik.
Allah aílam bi sh-shawab. (37)

—Ahmad Rofiq, Wakil Ketua Umum MUI dan Direktur LPPOM MUI Provinsi Jawa
Tengah.

Bagaimana data riil keluarga yang ”melahirkan” angka stunting, perlu treatmen khusus,
bagaimana karakteristik mereka, berapa jumlah anak, bagaimana mata pencaharian
dan penghasilan mereka, dan berkesinambungan (sustainable).

Kedua, memahamkan konsep agama dalam pembangunan keluarga dan keturunan


yang berkualitas, tidak keluarga lemah, yang dikhawatirkan akan menjadi beban dalam
masyarakat (QS. An-Nisaí (4): 9). Agama tegas melarang pergaulan bebas, karena
merusak masa depan mereka. Ketiga, merevitalisasi pelaksanaan program
Kependudukan, Keluarga Berencana, dan Pembangunan Keluarga (KKB-PK)
merupakan suatu keniscayaan.

Karena generasi berencana (genre) juga perlu disiapkan. Hindari 4T, yakni tidak
melahirkan terlalu muda, tidak terlalu banyak (anak), tidak terlalu rapat (jarak kelahiran),
dan tidak terlalu tua. Insya Allah dengan program hindari 4T tersebut, bakal sukses.
Kalau perencanaan itu sudah dipahami masyakarat, itu saja sudah sangat mendukung
program KKBBK.

Keempat, kerja sama dengan para tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam
melakukan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) terutama kepada warga yang
secara ekonomi membutuhkan perhatian atau miskin. Mereka membutuhkan afirmasi,
edukasi, dan advokasi agar mendapatkan prioritas dan perhatian.

Bahkan, jika memungkinkan, bukan sekadar KIE, tetapi perlu langkah kebijakan
afirmatif dari pemerintah yang mengelola anggaran, dan dilaksanakan secara periodik
dan berkesinambungan. Kelima, bekerja sama dengan Baznas (Pusat, Provinsi, dan
Kabupaten/ Kota) untuk dapat mendistribusikan zakat berupa pembuatan program
khusus untuk mengentaskan anak-anak stunting secara khusus.

Mereka ini jelas mustahiq zakat prioritas pertama dan kedua (fakir dan miskin).
Mengapa?

Anak-anak yang berkualitas hanya bisa lahir dari keluarga yang berkualitas. Salah satu
tujuan utama zakat, menurut ëUmar bin al-Khaththab ra, adalah mengubah mustahik
menjadi muzakki. Keenam, alokasi anggaran secara affirmatif dari APBN dan APBD
Provinsi dan kabupaten/kota.
Problem stunting ini butuh kebijakan politik yang konkrit dan terukur. Kepala daerah
harus memiliki parameter, berapa persen bisa menurunkan atau menghapus
angka stunting di daerahnya.

Jika problem mengatasi stunting ini gagal, pasti berdampak pada bonus demografi.


BKKBN tidak akan mampu bekerja sendirian, karena itu perlu bermitra dan bersinergi
dengan semua pemangku kepentingan. Ketujuh, siapkan tenaga pendamping yang bisa
memantau secara rutin perkembangan dan kemajuan dari anak-anak yang
mengalami stunting.

Ini bisa dilakukan dengan bekerja sama dengan perguruan tinggi dijadikan sebagai
program pengabdian kepada masyarakat berupa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik.
Allah aílam bi sh-shawab. (37)

Sebagai upaya pencegahan, Islam menawarkan beberapa langkah sebagaimana


firman Allah SwT dalam QS Al-Baqarah ayat 233 sebagai berikut :

۞‫ضا َع ۚ َة َو َع َلى‬
َ َّ‫ت ي ُۡرضِ ۡع َن َأ ۡو ٰ َلدَ هُنَّ َح ۡو َل ۡي ِن َكا ِم َل ۡي ۖ ِن لِ َم ۡن َأ َرادَ َأن ُي ِت َّم ٱلر‬
ُ َ‫َو ۡٱل ٰ َول ِٰد‬
ۚ ‫ۡٱل َم ۡولُو ِد َلهُۥ ِر ۡزقُهُنَّ َوك ِۡس َو ُتهُنَّ ِب ۡٱل َم ۡعر‬
ِ‫ُوف‬
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para
ibu dengan cara ma´ruf.”

Tiga hal yang perlu diperhatikan dari ayat di atas. Pertama, hendaknya seorang ibu
menyusui anak-anak selama dua tahun. Anjuran serupa juga disosialisasikan oleh
dunia kesehatan internasional. Bahkan anak usia 0-6 bulan tidak boleh mendapan
asupan makanan apapun kecuali ASI (ASI Eksklusif). Kenapa hanya ASI? Karena tidak
ada makanan bagi bayi selengakap kandungan gizi dalam ASI. Dalam ASI
mengandung setidaknya 200 zat gizi dan memberikan kekebalan buat bayi hingga 20
kali lipat. Maka ASI sangat diperlukan dalam pembentukan kualitas generasi cerdas
masa depan.
Lalu bagaimana jika si ibu yang menyusui justru kekurangan gizi? Maka langkah kedua,
tugas sang ayah adalah memastikan bahwa ibu dari anak-anaknya memperoleh
asupan gizi yang baik. Termasuk selalu menjaga kebahagiaan batinnya, yang
digambarkan oleh ayat di atas dengan memberikan pakaian dengan cara yang baik.
Kalau seorang ibu dalam kondisi bahagia dan terjaga gizinya, maka secara otomatis
akan menghasilkan ASI dengan kualitas terbaik pula.
Dalam ayat lain disebutkan :

ۚ ‫َو َعاشِ رُوهُنَّ ِب ۡٱل َم ۡعر‬


  ِ‫ُوف‬
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” (QS An-Nisa : 19)
Maksudnya, tanggung jawab ayah (memberi makan dan member pakaian dengan cara
yang baik) tersebut hendaknya sudah dilakukan sejak ia menikah dengan calon ibu dari
anak-anaknya. Sebab dari ibu yang sehat dan bahagia makan akan lahir anak-anak
yang sehat pula lagi cerdas.
Ketiga, secara tersirat, dari QS Al-Baqarah ayat 233 di atas, keluarga (baik ayah
maupun ibu) harus membiasakan pola hidup sehat. Yaitu dengan membuadayakan
pola makan yang sehat, memperhatikan kebersihan dan keindahan lingkungan rumah
dengan tata sanitasi yang baik, serta membentuk jasmani bugar dengan olahraga.

Jamaah shalat Jum’at yang berbahagia


Pola hidup sehat tidak identik dengan sesuatau yang mahal maupun sesuatu yang
kelihatan besar. Justru dari hal-hal kecil pola hidup sehat nantinya berkembang menjadi
kebiasaan. Misalnya, membuang sampah pada tempatnya, mengkonsumsi makanan
halal lagi tayyib, dan membasuh tangan selepas beraktifitas.

Sebuah pendapat mengatakan, bahwa makanan halal lagi tayyib ialah buah-buahan
maupun sayur-sayuran hasil menanam sendiri dan daging maupun telur juga hasil
bertenak sendiri.

Anda mungkin juga menyukai